Anda di halaman 1dari 222

1.

No Man’s Land

Lapisan langit beserta awan putih yang mengirinya terlihat seperti roti lapis bagiku. Di bawah
kilau cahaya matahari, awan-awan berwarna putih yang berjalan mengitari bumi ini terlihat seperti
susu kental manis yang biasa kutuangkan di atas roti tawar. Jangan salahkan aku, karena memang
seperti itulah kebiasaanku. Jarang sekali kubeli selai apel atau jenis-jenis selai lainnya untuk
kutuangkan ke atas roti, apalagi kacang Nutella yang bahkan harganya saja terkadang membuatku
tergidik. Bagiku, rasa manis itu sudahlah cukup.

Sedikit kecelakaan menimpaku beberapa waktu yang lalu. Ketika itu, lelaki asing menembakku,
meremukan tulang keringku hingga kakiku tak dapat berjalan sempurna—hingga kini. Sebagai
seorang polisi, tentu hal seperti itu sudah sepatutnya kuhadapi, menghadapi bahaya yang
untungnya saja tak sampai mengambil nyawaku. Namun, hingga kini sang penembak belum
diketahui. Tak ada jejak sama sekali. Tak ada rekaman yang menunjukan dirinya, tak ada jejak
sepatu yang dapat kuikuti hingga ke rumahnya—atau mungkin sebenarnya bukan aku, tetapi
teman-temanku yang lain. Aku sendiri pada akhirnya mulai putus asa, membiarkan semua hal
berlalu begitu saja. Toh, jika memang beruntung, mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi.

Gerakanku masih kaku bak orang tua yang sudah tak dapat menahan beban tubuhnya dengan kedua
kakinya, terpaksa menggunakan alat bantu seperti tongkat. Namun, keadaanku lebih baik. Jika
sebelumnya aku benar-benar tak dapat bergerak dengan kedua kakiku, kini secara paksa kugeret
kakiku ini, memerintahkannya untuk berjalan, dan tentu saja kudapatkan proses yang cukup baik.
Aku hampir tak merasakan sakit lagi ketika berjalan. Terapi yang kujalani sendiri ini terbukti
ampuh.

Kesatuanku memberikan kompensasi padaku untuk tak bekerja. Sejujurnya, aku sendiri sudah tak
ingat berapa hari tak masuk kerja. Bahkan, Loka sudah memulai tahun ajaran barunya. Aku
ditembak ketika ia telah menerima rapor, dan sekarang ia sudah masuk kembali, artinya sekitar
satu atau dua minggu. Waktu yang cukup lama dan sebenarnya aku sedikit merasa tak nyaman
pada teman-teman kantorku. Aku tahu, mereka tidak peduli, sejatinya mereka akan terus-terusan
mengomel padaku.
"Istirahat saja," kata mereka. Namun, sehari tanpa bekerja—di luar bebas tugas—terasa seperti
libur bagiku, dan libur selama dua minggu atau tiga minggu tentu saja terlalu lama. Ah, aku
meralatnya, tentang sudah berapa lama aku tak masuk kerja. Aku baru ingat, Loka sudah masuk
sekitar satu minggu.

Selain itu, Wijaya—rekan kerjaku yang terbaik—selalu berusaha untuk mengunjungiku setiap
hari. Pernah sehari ia tak sengaja tertidur, dan esoknya ia segera minta maaf padaku. Padahal aku
tak memintanya untuk mengunjungiku, apalagi setiap hari.

Besukan dari teman-teman kantorku membuat ruang tamuku penuh. Bunga, kartu ucapan, hingga
bingkisan kecil yang sebenarnya tak kuperlukan seolah-olah semuanya menumpuk tak berharga
begitu saja. Namun, aku tetap tak dapat menolaknya. Masih untung mereka menjengukku, kan?

Aku kembali masuk ke dalam rumah, berjinjit dengan susah payah dan berusaha meminimumkan
rasa sakit yang mungkin terjadi pada kakiku. Sungguh, sedikit kesalahan saja, maka rasa sakit itu
pasti akan kembali menjalar pada otakku, membuatku harus menahan teriakan agar tak terlihat
seperti seorang lelaki lemah yang konyol, tertembak hanya karena ambisinya untuk memecahkan
suatu kasus. Pada akhirnya pun sang pelaku tidak berhasil kuselamatkan.

Jika kupikir kembali seluruh kasus yang kutangani sebelumnya—kasus yang membuat kakiku
terluka seperti ini—aku benar-benar merasa konyol. Oh, ya ampun, kenapa bisa-bisanya aku salah
menetapkan tersangka dan terpaksa mencari tersangka lain setelah kuyakinkan diriku bahwa
tersangka sebelumnya bukanlah pelakunya?

Sialnya lagi, kenapa si orang asing itu tiba-tiba datang di hadapanku? Dan yang paling penting,
kenapa dia menghabisi nyawa sang pelaku?

Kepalaku berdenyut. Biarpun aku tak melihatnya, aku yakin urat-urat yang memenuhi seluruh
bagian kepalaku timbul senyap di balik kulit cokelatku ini. Selain itu, aku melakukan kesalahan
dengan bertumpu terlalu keras pada kaki kananku yang tertembak, kembali menjalarkan rasa sakit
yang luar biasa pada tubuhku, tetapi aku berusaha untuk menahannya.
Aku bertumpu pada tembok, menyandarkan telapak tanganku sebagai bantuan, menopang tubuhku
agar tak jatuh, juga menghilangkan rasa sakit pada kaki kananku.

Kuangkat kakiku yang terluka, rasa sakitnya berkurang secara berangsur-angsur. Setidaknya,
keadaan ini tak bertambah parah.

Kutarik napas dalam, kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Keringat dingin mulai
membanjiri pelipisku, tetapi aku tak dapat menyerah begitu saja. Jika aku terjatuh, tak dapat
bangkit lagi, artinya aku harus menunggu Loka untuk pulang sekolah dan aku tak menginginkan
hal itu terjadi. Jadi, kupaksa diriku untuk bekerja lebih keras. Lagipula, tolol, aku sendiri yang
ingin keluar dan merasakan sedikit semilir angin ketika aku tak dapat berbuat apa-apa, kan?

Sofa yang berada lima meter di depanku tampak bergerak menjadi 50 meter di hadapanku. Aku
tahu, keadaannya tidak seperti itu, tetapi mataku seolah memberikan ilusi yang tak terelakkan.
Bahkan, tak sampai di sana, begitu aku berjuang sekeras tenaga untuk mencapainya, aku bahkan
berusaha untuk menghempaskan diriku, berbaring di atas sofa agar sisa satu meter yang seharusnya
tak kujalani, tak perlu kulakukan secara susah payah. Jadi, ya, aku sedikit curang, tetapi dunia ini
telah mencurangiku dulu dengan melukai kakiku. Aku dapat melakukannya tanpa masalah jika
tulang keringku tak remuk.

Aku pernah membaca, ketika masalah terjadi pada tulang, seperti patah atau remuk—yang kualami
ini—maka orang tua sepertiku akan mendapatkan pengobatan yang lebih lama dibandingkan anak
kecil. Pertumbuhan mereka cukup membantu, sedangkan aku di sini pun masih berharap, mencari
secercah harapan apakah kakiku dapat pulih dengan sempurna atau tidak, apakah kalsium yang
mengalir pada tulang-tulangku dapat memperbaikinya atau tidak.

Oh, astaga, aku tidak ingin libur lebih lama.

Mungkin, bagi kebanyakan orang, libur bekerja adalah sebuah hal yang menyenangkan terlepas
dari sebab yang terjadi—tak ingin ada yang tertembak. Namun, khusus untukku, liburan seperti
ini bukanlah hal yang kuinginkan. Sendirian di rumah benar-benar memuakkan. Mungkin, jika
istriku masih hidup, aku akan berkata lain. Namun, kenyataannya, kehidupan seperti ini
memuakkan, kan?
Aku pun tak lepas dari pemikiran gila dan berandai-andai ketika aku tua nanti. Apakah Loka akan
meninggalkanku dengan kehidupannya? Apakah dia akan meninggalkanku sendirian? Ketika
umurku semakin tua, tubuhku semakin rentan, tak berdaya, tak berguna, apakah dia akan
meninggalkanku begitu saja? Aku tak pernah memiliki kesempatan untuk melihat orang tuaku
sampai ke tahap itu dan aku tak memiliki pengalaman akan hal itu. Oh, sialan, bahkan seharusnya
aku sudah mati jika membandingkannya dengan orang tuaku. Namun, tetap saja aku ingin
mengetahuinya, kan?

Aku tidak tahu semenjak kapan diriku terlihat begitu tolol, memperhatikan seluruh kehidupanku
di masa mendatang, berandai-andai Loka telah sukses nanti, mungkin memiliki perusahaan atau
bekerja di tempat yang ia cita-citakan. Mungkin, karena selama tiga minggu ini aku hanya dapat
berdiam diri, duduk, tidur, membaca berita, dan semacamnya? Entahlah, tetapi mungkin saja, kan?

Ponselku sendiri tak pernah kulepaskan dari jangkauanku. Aku selalu menyimpannya di tempat
yang aman. Kantong celanaku, di atas meja ruang keluarga, termasuk di atas tempat tidur di mana
aku terbaring dan mengistirahatkan tubuhku. Aku tahu, seharusnya aku tak melakukannya.
Namun, hanya itulah hiburan yang dapat kulakukan selama tiga minggu ini—bermain ponsel.

Aku tak memiliki media sosial yang begitu aktif. Biasanya, aku hanya memanfaatkan platform
untuk berkomunikasi, tak lebih dari itu. Sejauh ini, ponsel yang kini berada di genggamanku tak
pernah kugunakan lebih dari mencatat berkas-berkas kasus yang tak sempat kutulis, membaca
berita dan meludahi tiap berita dengan judul clickbait, atau memainkan beberapa permainan papan
yang telah diimplementasikan ke dalam bentuk digital.

Kini, pilihanku tertuju pada portal berita daring. Namun, aku tidak terlalu banyak berharap pada
konten yang disediakan. Umumnya, mereka memberikan hal yang sama. Gosip mengenai artis,
kasus terbaru yang mengguncang dunia, atau hal-hal tolol lainnya mengenai video atau gambar
yang viral—tentu hanya beberapa saat.

Ah, ya, terkadang, ketika aku sedang benar-benar bosan pun terkadang kuketikan beberapa
pertanyaan tolol yang bahkan aku sendiri tak tahu apakah ada orang lain yang pernah
memikirkannya atau tidak.
Kulihat history pencarianku sebelumnya.

Mengapa bayi bernapas ketika tak seorang pun mengajarinya bernapas?

Tuh, kan? Benar-benar pertanyaan bodoh, bukan? Bahkan, entah sudah berapa puluh pertanyaan
tolol semacam itu tersimpan dalam history pencarian ponselku. Aku yakin, aku bukanlah satu-
satunya orang seperti itu—spesies langka yang patut dijadikan patung dan diawetkan setelah
menjadi mayat—tetapi tetap saja aku salah satunya. Ya, anggap saja sedang kupoles kemampuan
deduksiku dengan menanyakan hal yang tidak-tidak.

Di saat yang bersamaan, ketika jempolku menggeser layar ponselku, aku mendengar ketukan
pintu. Tiga kali, dan sudah pasti aku tahu siapa yang akan datang. Ketukannya khas, berirama,
seperti sengaja dibuat jeda antara satu ketukan dengan ketukan yang lain. Aku sudah mengetahui
kedatangannya, hanya saja karena kemampuan motorikku yang sedang terbelenggu ini, aku
terpaksa berteriak.

"Masuk saja, tidak dikunci!"

Dan di saat itulah Wijaya muncul, menyembul dari balik pintu. Seperti biasa, ia akan mengangkat
kedua alisnya tinggi-tinggi, menyunggingkan bibirnya dengan tangan yang masih memegang
kenop pintu, sedangkan badannya akan menyamping, sedikit menyerong ke kiri agar ia bisa
berbalik dengan mudah dan segera menutup pintu.

Ia mengucapkan salam, dan aku membalasnya.

"Kau tidak pernah datang sesiang ini," sahutku, segera setelah seluruh raga Wijaya berada dalam
ruangan ini. Memang, seingatku sekarang masih pukul tiga sore. Seharusnya, Wijaya tak
mengunjungiku di saat seperti ini, karena sudah jelas ia memiliki pekerjaan di kantornya. Kalaupun
tidak ada pekerjaan, seharusnya ia bisa pura-pura bekerja.

Aku sudah tahu apa yang akan ia ucapkan selanjutnya. Segera setelah ia menganga, sepersekian
detik setelahnya, aku segera memotong.

"Tapi tidak apa-apa."


Wijaya menghentikan gumamannya yang bahkan belum sempat terlontarkan. Sebagai gantinya, ia
kaku bagaikan boneka lilin sambil kembali menutup mulutnya.

"Diam di rumah sungguh membosankan," gerutuku sembari meletakan ponselku setelah kutekan
tombol kuncinya. "Terima kasih kau sudah bersusah payah selalu mengunjungiku."

"Tidak masalah, Pak," katanya, kemudian segera mengambil kursi dan memberikan jarak yang
cukup sempit di antara kami. "Anda sudah seperti saudara saya sendiri."

"Tidak ada saudara yang memanggil saudaranya dengan sebutan Pak."

"Pengecualian untuk Anda, Pak." Ia terkekeh. Gigi-giginya menyembul keluar dari balik bibirnya.
Namun, dalam sekejap semua mimik itu hangus, bagaikan diterpa angin puting beliung yang entah
datang dari mana. Raut Wijaya menjadi tak seperti biasanya, menjadi 'bukan Wijaya'.

"Ada sesuatu?" tanyaku, memperhatikan suasana yang tak beres. Wijaya menatapku dalam-dalam.
Tentu, aku tahu jelas ada sesuatu yang tidak biasanya terjadi. Wijaya tak pernah bersikap seperti
itu sebelumnya. Biasanya, ketika ia mengunjungiku, ia langsung menanyakan kabarku, kabar
Loka, terkadang menepuk kakiku untuk sekadar gurauan yang tak lucu. Namun, tidak kali ini.

Sesuatu yang terjadi, di luar kebiasaan, bukankah mencurigakan?

Wijaya mangut-mangut, tetapi tak begitu yakin. Ia mengerang kecil, sedikit ragu akan apa yang
hendak diucapkannya—mungkin. Namun, aku memberikan isyarat bahwa ia harus menjawab
pertanyaanku, cepat atau lambat. Tentu lebih cepat lebih baik.

"Kasus pembunuhan," timpalnya dengan segera, mengisi kekosongan yang agak canggung.
"Terjadi sekitar empat atau lima hari lalu. Mayatnya ditemukan di gang daerah Jendral Soedirman.
Tempat yang cukup sepi."

Aku mendengus kecil. "Oh, sialan. Aku tak dapat menyelidikinya bersamamu, ya?" Aku berusaha
menggodanya, hendak mendorong bahunya sampai baru kusadari bahwa jarakku tidak sedekat itu.
Aku malah mengayunkan lengan, berpura-pura bergelantungan pada tiang maya yang mungkin
telah terjatuh—bahkan dalam benakku.
"Saya tidak menyelidikinya," cetus Wijaya. "Apa Anda kenal Pak Goto?"

"Goto?"

"Goto Suwarsono."

"Oh, dari bagian keuangan?" Aku menerka. Lelaki gembul dengan kumis tipis yang menghiasi
wajahnya. Aku tak begitu mengenalnya, tetapi kurasa aku mengetahuinya. Beberapa kali
berpapasan di lorong kantor, beberapa kali bertemu di kantin. Aku mengingat label namanya.
Tetapi, kurasa aku mengingat nama lengkapnya karena kami pernah berkenalan walaupun hanya
sekali-kalinya, tak pernah berkomunikasi lagi sejak saat itu.

"Kenapa dia menyelidiki kasus pembunuhan?" Aku bertanya. Tentu dengan alasan yang jelas.
Kenapa bagian keuangan harus menyelidiki kasus pembunuhan ketika divisi kami sendiri saja
berjumlah delapan orang—tujuh tanpaku. Bukan alasan yang tepat sehingga tak ada seseorang
yang kosong, semuanya dipenuhi oleh pekerjaan. Maksudku, bahkan kurasa aku dapat
menyelidikinya meskipun sedang berada dalam keadaan seperti ini.

"Beliau tidak menyelidiki kasus itu, Pak." Wijaya mengangkat alisnya, seolah-olah menanyakan
kembali pertanyaanku sebelumnya. Namun, aku pun memberikan reaksi yang sama. Kenapa
Wijaya harus memberikan nama yang bahkan tak pernah kuingat-ingat dalam keseharianku?

Namun, seluruh pertanyaan itu terjawab, tepat ketika Wijaya melontarkan kalimat selanjutnya.

"Beliau adalah korbannya."

Aku terkejut bukan main. Bahkan, beberapa kali kupicingkan mataku hanya untuk memastikan
bahwa Wijaya tak sedang mempermainkanku seperti berita-berita clickbait yang selama tiga
minggu ini selalu berusaha menarik perhatianku.

Aku tahu jelas dia tak sedang main-main. Wijaya sedang serius, seserius burung hantu yang
hendak menangkap tikus putih di ladang gandum.
"Para pembenci polisi?" Aku menerka. Maksudku, jika korbannya adalah seorang polisi, orang
macam apalagi yang menjadi tersangka utamaku?

"Saya tidak tahu, Pak. Saya tak menyelidikinya. Saya hanya tak sengaja melintasi tempat
pembunuhan itu di pagi hari, ketika aku hendak melakukan penyelidikan untuk kasus yang lain."

"Kasus apa?"

"Sudah selesai. Tenang saja, Pak."

Kenapa banyak sekali orang brengsek yang bisa-bisanya menghabisi nyawa orang dengan mudah.
Maksudku, apakah manusia memang dilahirkan seperti itu? Tentu tidak, kan? Oh, lingkungan
sialan.

"Jadi, siapa yang menyelidikinya?"

Aku tak dapat menerkanya. Aku berpikir, mungkin Wijaya tak dipilih karena sedang menyelidiki
kasus lain. Mungkin Pak Bagus, Pak Tanto atau yang lainnya, tetapi aku tak ingin salah menerka.
Jadi, kuputuskan jawabanku berada pada mulut Wijaya. Apapun yang ia katakan, itulah
jawabanku.

Sayangnya, artinya jawabanku akan selalu salah.

"Tak pernah ada yang menyelidikinya, Pak."

Aku termangu.

"Kenapa?"

"Mereka menyebutkan Pak Goto menjadi korban perampokan, bukan pembunuhan. Mereka
menyerahkannya pada bagian perampokan."

Aku mengangguk pelan. Ceritanya tak mungkin hanya sampai di sana. Jika Wijaya merasa ada hal
penting lainnya hingga ia mendatangiku hanya untuk menceritakan hal ini, ia memiliki sesuatu
yang lain. Sesuatu yang ia yakini bahwa kasus itu bukan sekadar perampokan biasa. Jadi, aku
bertanya.

"Apa yang menyebabkanmu berpikir bahwa Pak Goto adalah korban pembunuhan?"

Wijaya merogoh sakunya. Tepatnya, ia berusaha mencari ponselnya sembari berkata, "Apa
perampok yang—" Wijaya berusaha melepaskan kunci ponselnya. "merampok seseorang dan
segera—" Wijaya terus mengutak-atik ponselnya sambil berbicara. "Pergi meninggalkan
korbannya akan meninggalkan kertas seperti ini?"

Wijaya menyodorkan ponselnya padaku, menyebrangi meja dengan melayang. Sedangkan aku,
dengan sigap menangkapnya, berusaha memastikan jika ponsel itu tak harus terjatuh dengan sia-
sia.

Pada layar ponselnya, aku melihat sebuah foto. Satu galeri berisi tiga buah foto. Aku cukup
bersyukur karena ponsel di zaman sekarang ini sudah sangat canggih. Kameranya cukup baik,
hampir sama dengan kualitas kamera analog yang dulu pernah kupinjam dari teman.

Namun, tetap saja kontennya tak memerlukan kualitas foto sebagus ini. Aku hanya melihat
beberapa potret kertas. Tiga, tepatnya. Namun, semuanya sama.

Sobekan kertas dari buku tulis pasaran yang biasa digunakan oleh anak-anak sekolah ini seolah
memberikanku sesuatu. Coretan torus yang sangat banyak melintang di setiap baris kertas ini.

"Kertas itu saya temukan di dalam saku baju Pak Goto. Saya rasa Pak Goto tak akan menyimpan
benda aneh seperti itu. Jadi, ya, saya rasa benda itu disisipkan oleh sang pembunuh."

Sebaliknya, aku menjadi semakin tak mengerti akan satu hal.

"Atas dasar apa mereka mengasumsikan Pak Goto adalah korban perampokan?"

"Dompetnya hilang, hanya itu."

"Hanya itu?"
"Ya." Wijaya memastikanku.

Hanya karena dompetnya hilang mereka langsung memastikan bahwa rekan kerja kami—biarpun
aku tak mengenalnya—adalah korban perampokan sedangkan mereka tahu bahwa tiga lembar
kertas berisi penuh dengan torus tak jelas ini terselip di baju korban?

Kenapa?
2. Nice to Meet Me

Sejujurnya, mendapatkan barang bukti dalam bentuk fisik akan sangat membantu. Walaupun foto
yang Wijaya ambil ini cukup memberikan seluruh gambaran mengenai secarik kertas dengan
bekas lipatan yang rapi—enam buah—tetapi aku tetap berharap dapat menyentuh fisik benda ini.
Namun, seperti yang Wijaya katakan, ia tak menyelidiki kasusnya. Barang itu pasti sedang
tersimpan dengan rapi seperti benda suci yang tak boleh disentuh oleh siapapun—dikarantina.

Guritan pensil itu berdiri seolah-olah menjadi pagar, menahan serangan serigala buas yang hendak
menyerang sang penulis. Torus-torus kecil dibuat serapi mungkin, biarpun masih terdapat
beberapa bagian yang tidak menunjukan hal itu—menyembul keluar atau melebihi garis baris.
Walaupun memang kelihatannya sama, tetapi aku sungguh yakin jika jumlah torus yang ditorehkan
oleh sang penulis tidaklah sama, kecuali untuk kertas yang kedua.

Kertas yang kedua memiliki jumlah torus yang lebih sedikit—walaupun tetap saja banyak—
mungkin dua puluh kurangnya dari dua kertas yang lain. Tentu, itu artinya hanya ada satu cara
bagiku untuk mengetahuinya.

"Kau sudah menghitung jumlahnya?" tanyaku pada Wijaya sambil meluruskan kakiku. Sedangkan
Wijaya dengan sigap menjawab.

"Tiga ratus empat belas."

"Perbagiannya?"

"Seratus—err...," Wijaya bergumam. Kemudian, dia segera menarik kembali ponselnya setelah
memberikan isyarat padaku untuk segera mengembalikannya. Dia tidak menghapalnya, tetapi aku
tidak menyalahkannya. Lagipula, untuk apa menghapalkan jumlah bilangan yang belum diketahui
kegunaannya sama sekali?

Dengan geseran jarinya, akhirnya Wijaya mendapatkan ilham untuk menjawab pertanyaanku.
"Seratus sebelas, delapan puluh dua, seratus dua puluh satu."
Aku menelisik, menggantungkan lenganku, membiarkan telapak tangannya kembali ke atas,
meminta ponsel Wijaya untuk kembali. Lalu, segera setelah ia mengembalikannya, kembali
kuperhatikan galeri yang sebelumnya kulihat. Walaupun dalam sekilas aku dapat melihat foto yang
lainnya, yang sedikit menarik perhatianku, tetapi dengan cepat ibu jari kugeserkan, seolah
berusaha menimbulkan percikan api antara ibu jari dan layar ponsel ini.

"Kau tidak salah hitung, kan?" Aku bertanya sekali lagi, sekadar memastikan, tetapi nada bicaraku
terdengar seperti orang yang tidak yakin, seolah-olah Wijaya adalah orang yang paling tak dapat
kupercaya di dunia ini. Namun, ia tampaknya mengerti bahwa aku tidak bermaksud seperti itu.

"Saya menghitungnya beberapa kali, Pak. Saya rasa tidak."

Tegukan ludahku tampaknya terdengar hingga keluar ruangan. Kerongkonganku yang sedari tadi
kering membuatku sedikit malu, tetapi aku berusaha untuk menutupinya.

"Seperti biasa, kau sangat rajin," pujiku. Tentu, aku sudah tahu akan hal itu, karenanya aku
bertanya, tidak berinisiatif untuk mengambil kertas dan pensil, mengikuti goresan-goresan pensil
ini dan berusaha membuat replika dari barang bukti yang ada. Aku sangat tahu Wijaya telah
melakukannya.

"Apakah Anda mengetahui sesuatu mengenai goresan-goresan pensil di kertas itu, Pak?"

Aku menggeleng. "Belum," balasku. "Tetapi aku yakin ia sengaja memecahnya menjadi tiga
bagian. Jika ia memang ingin membuat kita menghitung jumlah keseluruhannya, seharusnya ia tak
menyisakan setengah bagian dari masing-masing kertas."

Kukembalikan ponsel Wijaya, menyodorkannya melalui atas meja, membiarkan benda itu
menyebrangi lautan kaca.

"Kapan kasus itu ditutup?" tanyaku selanjutnya.

"Mungkin tiga atau dua hari yang lalu."

"Mereka tidak mengetahui tentang kertas itu?"


"Tentu saja tahu, Pak." Wijaya memicingkan matanya, mempertanyakan pertanyaanku. Tentu saja,
itu adalah hal bodoh yang dapat kutanyakan, tetapi sama seperti riwayat pencarianku, kan? Hal-
hal bodoh seperti itulah yang biasanya dianggap terlalu bodoh sehingga dilewatkan banyak orang.
"Tapi lebih mudah untuk mengasumsikan bahwa kertas ini milik Pak Goto, sebuah catatan, entah
catatan apa."

"Dia dibunuh pagi hari, ya?"

"Mungkin ketika akan berangkat bekerja—dugaan saya, Pak. Gangnya memang sepi."

Aku mengangguk. Tidak aneh. Sebuah pembunuhan di tempat yang sepi, tanpa saksi mata, seluruh
kejahatan seperti itu dapat dilakukan dengan mudah. Selain itu, berdasarkan kesaksian Wijaya,
mayat ditemukan dengan luka tusuk pada perutnya. Sengaja ditorehkan pelaku, kemudian tidak
langsung menarik pisaunya, tetapi mencabik perut Pak Goto terlebih dahulu. Ke arah kanan,
mungkin juga sedikit ke kiri, membuat luka yang lebih besar dan berhasil mengeluarkan sebagian
kecil dari usus Pak Goto.

Aku tak dapat membayangkan lokasi kejadian. Menjijikkan.

Sebenarnya, setelah kuingat-ingat, aku pernah membaca berita itu di portal berita daring. Namun,
aku tak menyangka bahwa kejadian itu menimpa salah seorang anggota polisi. Seingatku, mereka
hanya mengatakan sesosok mayat ditemukan dengan usus yang menjuntai keluar. Setengah
berbohong karena Wijaya mengatakan hanya sebagian kecil, tidak sampai menjuntai.

Aku tak pernah peduli pada kasus itu, karena kasus itu adalah satu kasus yang dapat terjadi di mana
saja. Namun, tentu pemikiranku saat ini berubah.

"Seseorang membunuh anggota polisi hanya untuk satu buah dompet?" aku bergumam, sedikit
keras, membuat Wijaya menatapku lurus-lurus. "Tidak sebanding dengan apa yang didapatkan.
Kurasa tidak mungkin akan seorangpun juga yang hendak melakukannya."

"Saya setuju, Pak."

"Kau telah memberikan argumenmu untuk membuka kasus itu kembali?"


"Ya." Wijaya mendorong badannya, sedikit membungkuk sambil mengepalkan kedua tangannya
di masing-masing lutut. "Mereka menolaknya."

"Alasannya?"

"Tidak jelas."

Ketika Wijaya berkata seperti itu, aku mengangkat sebelah alis.

"Maksud saya, Pak, mereka memberikan alasan yang tidak jelas. Tidak masuk akal. Katanya kasus
sudah ditutup dan seluruh bukti mencuatkan bahwa kasus ini adalah perampokan, bukan
pembunuhan."

"Mereka mengabaikan kertas itu?"

"Seperti yang saya bilang, Pak." Wijaya membuat jeda, beberapa detik sebelum ia meneruskan dan
berusaha membuat nada bicaranya terdengar setenang mungkin. "Akan lebih mudah menganggap
kertas-kertas itu adalah catatan Pak Goto, entah catatan apa."

Aku menghela napas. Beradu argumen bukanlah keahlian Wijaya. Maksudku, biarpun seluruh data
yang digunakannya valid, Wijaya lebih sering mengalah daripada memaksakan kehendaknya. Dan
dalam hal ini, tentu sifatnya itu akan membuatnya jatuh, tak dapat bangkit kembali untuk
meneruskan kasus yang dianggapnya belum selesai. Aku tidak mengatakan bahwa ia adalah orang
yang tolol karena ia tak dapat memberikan argumen yang jelas serta menekan. Tentu, setiap orang
memiliki kelebihan dan kekurangan, kan?

Akhirnya, setelah aku berpikir untuk kesekian kali, menatap kaki kananku yang belum juga
sembuh setelah beberapa lama. Memastikan bahwa seluruh otakku bekerja dengan baik, seluruh
sel turut ambil andil untuk memutuskan jawaban. Aku berkata, "Aku akan membantumu
menyelidiki kasus ini."

===
Ketika aku membuka pintu kulkas, aku berharap kaleng berisi susu kental manis yang memang
sengaja kudinginkan masih terisi, setidaknya setengah penuh. Namun, kejadian yang berlaku
adalah sebaliknya. Ketika kuangkat kaleng besi itu, aku hampir tak dapat merasakan apapun—
sangat ringan—seolah-olah aku mengambil sebotol kaleng berisi udara.

Aku menimbang-nimbang, mengangkatnya beberpaa kali dan kembali berharap secara ajaib benda
ini akan menjadi berat. Namun, tentu saja tak akan terjadi. Kurasa, berat kaleng kosong ini sama
dengan beban yang kuangkat sekarang—setidaknya hampir sama—membuktikan bahwa kaleng
ini benar-benar kosong.

"Loka, susunya kau habiskan, ya?" kataku, setengah berteriak setelah sebelumnya menutup pintu
kulkas. Kemudian, di balik pintu kamarnya, Loka menjawab tak kalah kerasnya.

"Lupa! Loka belum buang kalengnya!"

Loka tak menjawab pertanyaanku, tetapi jawabannya itu cukup menjelaskan apa yang ia lakukan
secara menyeluruh. Ia menghabiskannya, mungkin untuk hal yang sama seperti yang akan
kulakukan. Jadi, aku melenguh pelan dan segera membuang kaleng yang sudah kosong itu. Tentu,
sambil berjinjit karena perban putih bersih yang masih melilit di kakiku ini menandakan bahwa
kakiku belum berada dalam keadaan yang baik.

Pintu kamar Loka terbuka, ia setengah berlari sambil membawa-bawa pulpen di tangan kanannya.
Sedangkan aku, di samping tempat sampah, hanya menatapnya turun dari tangga dengan terburu-
buru.

Kabel earphone melintang melalui bajunya dengan beberapa segmen kabel yang mengait di
lehernya. Loka lebih terbiasa untuk menggunakan sebelah suara dibanding menggunakan
keduanya, tak heran kenapa ia tetap dapat mendengar teriakanku. Namun, suara musik rock tahun
90-an terdengar menggema dari kamarnya. Ponselnya masih menyala dan ia belum sempat
menekan tombol pause. Aku yakin akan hal itu.

Red Hot Chilli Pepper. Setidaknya selera anak itu cukup bagus. Lantunan rock ballad menemani
kami berdua. Beberapa ketukan nada bahkan terasa familier di telingaku. Laguku ketika aku berada
di akademi kepolisian, ketika aku hanya bisa mendengarkannya dari radio tape yang kurasa sudah
tak dikenal oleh anak-anak muda.

Aku ingat dengan jelas radio itu. Memiliki dua pengeras suara di samping kiri dan kanannya. Satu
buah antena yang dapat dipanjangkan terpasang pada bagian atasnya. Namun, sebagai alternatif
yang lain, sebuah pemutar kaset sengaja dijadikan aksesoris tambahan bagi siapapun yang
memiliki kaset dengan pita hitam yang menggulung di dalamnya untuk mendengarkan lagu-lagu
kegemarannya. Zaman sekarang, tentu sudah lebih canggih. Sebuah ponsel dapat memuat radio
dan benda-benda lain. Efektif dan efisien dibandingkan dengan kehidupanku dulu.

Aku membuang kaleng itu, tepat setelah Loka menghentikan kedua kakinya, berdiri di samping
meja sambil memperhatikanku dengan seksama. Alisnya mengerut akibat telinganya yang
mendengar kaleng kosong sengaja dijatuhkan dan membuat gemerisik akibat gesekannya dengan
plastik.

"Aku telah membuangnya," kataku, memberitahunya. Tetapi pada akhirnya Loka melanjutkan
perjalanannya, mendekatiku, membuat jarak antara kami semakin sempit.

Keramik lantai itu berpadu dengan langkah kaki yang Loka berikan. Langkah berat karena seluruh
pijakannya tak dijinjit seperti yang kulakukan.

"Maaf," celetuknya dengan segera. "Loka lupa ngebuang kalengnya. Terus, kenapa Bapak jalan-
jalan ke dapur?"

Aku—dengan segenap kekuatanku—membalas. "Aku terluka, Loka, bukan lumpuh permanen dan
tak dapat berjalan selamanya." Loka meraih kedua lenganku, kemudian berusaha menyelipkan
salah satu bahunya pada ketiakku. Namun, aku mengelak, menjauhkan tubuhnya itu dariku.

"Aku bisa melakukannya sendiri," beritahuku.

"Tapi kan belum pulih, Pak."


"Iya. Makanya harus dipulihkan, kan?" Aku tersenyum kecut. "Tetap saja, terima kasih karena
mau membantuku." Kuberikan nada seramah mungkin, padahal dalam hati aku telah mengomel
karena rencanaku untuk memakan roti tawar berlapis susu kental manis sirna sudah.

Loka masih berdiri mematung ketika aku berjalan terpogoh-pogoh. Demi apapun, aku tidak
berlebihan. Aku tidak ingin terlihat seperti orang sakit, tetapi memang keadaannya seperti itu. Dan
aku yakin benar Loka hendak membantuku, hanya saja tertahan akibat ketakinginanku dan
melepaskan niat baiknya. Selain itu pun, bukan berarti aku ingin terlihat tangguh, menjadi seorang
laki-laki sejati yang masih dapat beraktivitas meskipun kakinya terluka. Aku hanya ingin lukaku
cepat sembuh, jadi anggap saja ini seperti latihan bagiku agar kakiku semakin cepat pulih.

Oh, bahkan kurasa bayi yang baru berjalan saja dapat melangkahkan kakinya lebih baik daripada
kondisi yang sedang kualami ini.

Untuk sesaat, aku merasa sedikit menyesal akan perkataanku sebelumnya, yang kuberikan pada
Wijaya. Aku akan membantunya, kata-kata itu terus terngiang di dalam kepalaku, padahal aku
sendiri yang mengucapkannya. Namun, baru kusadari, dengan kondisi seperti ini, apa yang bisa
aku lakukan? Oh, bahkan ketika aku mencoba menjadi aktor, setelah melakukan berbagai casting
dan diterima untuk memerankan sebuah tokoh, kurasa aku tak akan bisa. Memerankan tokoh
manusia saja tampaknya aku tak akan bisa.

"Kamu lanjut belajar aja," kataku seraya menghempaskan tubuhku sambil terus dibayangi oleh
lapisan roti tawar di dalam benakku. Mungkin, tanpa kusadari air liurku menetes. Aku tidak begitu
kelaparan, hanya saja ingin kurasakan sekali lagi—kegiatan yang tak dapat kulakukan sekarang
ini.

Namun, Loka membantah perintahku. Namun, ucapannya tetap tak terdengar seperti bantahan,
lebih seperti pembelaan diri.

"Udah selesai, kok."

"Itu kamu bawa-bawa pulpen buat apa?"

"Diputer-puter."
Aku—yang tengah terduduk dengan kaki yang diselonjorkan—menatapnya heran. Maksudku,
demi apapun, kenapa dia harus memutar pulpen?

Aku memandanginya ketika ia sedikit tertawa. Namun, tatapan keherananku membuat seluruh
mimik yang diberikannya sirna. Ia berhenti, tetapi digantikan oleh gerakan tangannya yang
berhasil membuat pulpen itu berputar. Sungguh, sebuah keterampilan yang luar biasa. Tetapi apa
gunanya ia memiliki keterampilan itu?

Jadi, daripada aku menasihatinya, membuat kegiatannya terganggu dan dia kembali membenciku.
Aku segera melayangkan topik baru, topik yang seharusnya tidak kuberikan karena sesungguhnya
Loka tak pernah mengatakan akan membantuku juga Wijaya. Namun, aku benar-benar merasa
harus membocorkannya.

"Kalau Bapak mengatakan: seratus sebelas, delapan puluh dua, seratus dua puluh satu. Apa yang
kamu pikirin?"

Loka menghentikan gerakannya, tetapi ia berhasil menangkap pulpen itu dan tak membiarkannya
mendarat di lantai, menimbulkan benturan sehingga ujung pulpen menjadi penyok. Lalu, alih-alih
menjawab pertanyaanku, Loka pun memberikan ekspresi yang sama denganku sebelumnya.
Tatapan keheranan.

Aku tahu, dia bukan anak kandungku, tetapi tampaknya wajah kami tak dapat dibedakan
seandainya kami melakukan hal itu bersamaan.

Akhirnya, setelah menghentikan kegiatannya cukup lama, Loka bertanya padaku.

"Apaan tuh?"

Kupangku dadaku, menyilangkan kedua lengan sambil memandang wajahnya yang belum
berubah—sama sekali.

"Kode."
Loka terlihat berpikir. Oh, kupikir dia hanya akan menganggap pertanyaan ini adalah pertanyaan
bodoh lainnya yang kulontarkan, menganggapnya angin lalu. Namun, Loka memberikan
gambaran yang berbeda. Bahkan, tidak seperti sebuah pencitraan, anak itu benar-benar berpikir.

"Morse?" terkanya. Namun, aku sendiri tak mengetahuinya. Jelas, karena bukan aku yang
membuatnya. Jadi, aku malah bertanya balik.

"Morse?"

"Ganjil jadi titik, genap jadi strip," jelasnya.

Kemudian, di dalam pikiranku, aku membayangkan deretan angka-angka itu. seratus sebelas,
delapan puluh dua, seratus dua puluh satu. Jika benar apa yang dikatakan Loka, maka deretan
angka itu akan membentuk tiga buah huruf. SMR. Namun, jika sebaliknya, ganjil yang menjadi
strip dan genap yang menjadi titik, maka OIR akan terbentuk. Aku tidak tahu apakah sang pelaku
hanya memberikan singkatan, atau ketiga kertas itu akan membentuk sebuah kata yang terdiri dari
tiga huruf, seperti 'hai' atau semacamnya. Aku belum mengambil kesimpulan.

"Mungkin," balasku. "Ada pemikiran lain?"

Loka kembali berpikir.

Sesungguhnya, aku cukup bangga karena Loka memikirkannya hingga sejauh itu. Aku sendiri
tidak pernah melakukannya. Kupikir deretan angka itu hanyalah sebuah kombinasi yang
kuperlukan untuk membuka brankas atau semacamnya, tak pernah terpikirkan untuk
mengonversinya menjadi deretan huruf. Setidaknya aku membuka kemungkinan yang lain.

"Braille?" Loka kembali menerka. Namun, ia langsung menyanggah pemikirannya sendiri. "Eh,
nggak mungkin deh, ada angka yang kembar."

"Iya, ada angka yang kembar."

"Angkanya sampai ratusan, kan?"

Aku mengangguk.
"ASCII?"

Hah?

"Apa itu?"

"Karakter di komputer." Loka menjelaskannya secara singkat, tetapi aku yakin jawabannya pasti
lebih panjang dari itu. Tidak mungkin lima buah huruf yang disusun sedemikian rupa sehingga
membentuk sebuah singkatan dapat dijelaskan secara ringkas. Maksudku, apa kepanjangannya?
Gunanya untuk apa? Apa benar-benar hanya karakter di komputer? Lalu maksud karakter yang
dikatakan Loka itu apa?

Namun, belum sempat aku bertanya, Loka melanjutkan.

"Kayaknya kalau angka-angkanya di sekitar sana, konversinya jadi huruf, deh. Tunggu sebentar."
Loka segera berlari, menyusuri tangga dan sengaja melangkahi satu anak tangga—tak
menginjaknya—agar perjalanannya dapat diselesaikan dengan lebih cepat. Lalu, lantunan musik
yang entah sudah berapa lama memenuhi ruangan ini—bahkan aku pun sebelumnya tak sadar
bahwa musik itu masih menyala—segera dihentikan, seirama dengan keluarnya Loka dari kamar
sambil menggenggam ponselnya.

Memang, ruangan di bawah ini terbuka. Lorong kecil yang tak ditembok, hanya dipagari saja
membuatku dapat memperhatikan seluruh gerak-geriknya. Mungkin, sang arsitek memang
merancangnya seperti itu, membuat suasana di rumah ini lebih terbuka, tetapi aku tetap tak
keberatan.

Loka memainkan ponselnya sambil menuruni tangga. Untuk sesaat, aku berharap dia tidak jatuh.
Oh, astaga, dasar anak zaman sekarang.

"Berapa angkanya tadi, Pak?" Loka terus berjalan sambil memperhatikan ponselnya. Bahkan,
tanpa sekilas melirik padaku. Namun, aku tak dapat menghentikannya sekarang ini. Dia antusias,
raut wajahnya seolah-olah sedang menandakan rasa kebahagiaan akibat permainan yang tak
sengaja kuberikan ini.
Jadi, aku lebih memilih untuk menjawabnya daripada membiarkan usahanya menjadi sia-sia.

"Seratus sebelas, delapan puluh dua, seratus dua puluh satu."

Loka menggeser-geserkan jemarinya di atas layar ponselnya sembari memberikan huruf-huruf


yang telah dikonversikan.

"o, r, y, r-nya kapital."

Ory? Apakah maksudnya original atau apa?

Tunggu, Loka mengatakan jika r yang dituliskan adalah kapital.

Untuk sesaat, aku terkejut. Namun, Loka membuat gambaran yang berbeda.

"Ah, ini mah Bapak weh yang narsis." Kemudian, Loka tertawa kecil, membuatku terpaksa
membalasnya dengan cara yang sama. Memberikan senyuman khas yang biasa kuberikan. Namun,
jauh di dalam diriku, aku terkejut, sedikit bingung, memikirkan jawaban Loka yang membuatku
bergidik.

Ory.

Ryo.

Roy.

Ada 17576 kemungkinan kombinasi tiga huruf, 140608 jika kuanggap huruf kapital dan huruf kecil
berbeda. Dan kombinasi itu artinya adalah satu di antara 140607 kemungkinan yang lain. Aku
tahu, bisa saja itu hanyalah kebetulan. Mungkin memang benar angka-angka itu seharusnya
dikonversikan ke dalam kata 'hai', bukan namaku. Namun, bagaimana caranya?

Bagaimana jika ternyata Loka benar? Bagaimana jika memang maksud dari kertas-kertas itu
adalah namaku? Aku tidak tahu dengan pasti. Apakah ini sebuah kesalahan? Apakah memang si
pelaku menuliskan namaku?
Jika memang benar ia menuliskan namaku. Lalu untuk apa?

Oh, brengsek. Belum sempat kupikirkan kenapa mereka memutuskan bahwa kasus yang terjadi itu
murni perampokan, kini bertambah kembali satu hal yang membuat otakku berputar.

Kenapa namaku?
3. Cloud Connected

Bau apek akibat air-air yang memenuhi dinding gang berlumut segera menusuk hidungku. Selokan
kecil yang kering terlihat di sepanjang gang, melintang di samping kiri dan kanan jalan. Gang ini
sangat kecil, mungkin hanya muat untuk disusupi sebuah sepeda motor. Jika dua sepeda motor
saling berpapasan, aku yakin salah satunya terpaksa mengalah, menghentikan lajunya dan segera
menepikan kendaraannya. Kemudian, harus menerima dengan lapang dada seandainya ada
beberapa bagian di antara kendaraan mereka yang saling bergesekan. Dengan itu, jangan ditanya
lagi bagi orang-orang yang memiliki mobil. Tentu, tak akan masuk, mereka lebih memilih untuk
memarkirkannya di sisi jalan raya daripada harus melebarkan gang ini.

Jemariku menyusupi celah-celah tembok yang tidak dibangun dengan cukup baik. Rapuh,
beberapa semen bahkan sudah terkoyak, seolah-olah mereka tidak peduli dengan pondasi
bangunan yang ada. Sedangkan Wijaya berjalan dengan cepat, meninggalkanku di belakang hanya
untuk mencapai tempat kejadian perkara lebih dulu daripada aku.

Begitu sampai, dapat segera kulihat jejak coklat akibat darah yang telah mengering. Walaupun
tenggang waktu telah berjalan sekitar seminggu, jejak darah itu masih dapat kuperhatikan dengan
jelas. Aku yakin, genangan darah—ketika belum mengering—itu akan menusuk hidung orang-
orang yang lewat. Aku dapat membayangkannya, bagaimana orang-orang ketakutan sekaligus
tertarik untuk mengobservasi jejak darah yang sekarang telah berganti warna. Orang-orang pasti
membersihkannya, termasuk beberapa anggota kepolisian, tetapi mereka tak memiliki pilihan lain
selain menunggu darah yang telah menyatu dengan aspal untuk menghilang dengan sendirinya.

Jejak itu tak berbentuk geometris, tetapi beberapa bagian lebih besar daripada bagiannya yang lain,
membuatku berasumsi bahwa Pak Goto tertelungkup sambil memegangi perutnya. Kemudian,
jalanan yang agak miring ini mengalirkan darah kentalnya. Tidak begitu cepat, tetapi aku yakin
benar. Lalu, beberapa bagian darah yang mengalir melekat pada tubuh Pak Goto. Mungkin
tangannya. Semakin jejak itu mengarah padaku, semakin kecil pula lebar yang dibuatnya.

Pak Goto ditusuk di perutnya. Artinya, dia dihadang oleh seseorang. Dalam benakku, melintang
sepintas imajinasi liar yang membuat mataku seolah memvisualkan apa yang tengah terjadi kala
itu. Seorang pria gembul dengan pria lainnya yang berpapasan. Ketika Pak Goto hendak berjalan
melintasinya, mengambil langkah lain agar tak bertabrakan, lelaki itu malah menyerangnya.
Namun, satu pertanyaan terlintas dalam benakku.

Kenapa orang itu rumit-rumit memaksakan kertas yang dituliskannya—jika memang ia yang
menuliskannya—untuk disisipkan ke dalam saku Pak Goto? Dari gambaran yang dapat kujelaskan
secara realistis, seharusnya Pak Goto rubuh dengan kepala yang menghadap aspal. Artinya, saku
bajunya akan tertutupi oleh tubuhnya dan juga aspal. Wajahnya pasti mendarat di aspal.

"Bagaimana korban ditemukan?" Aku segera bertanya pada Wijaya ketika kami memandangi jejak
darah yang telah mengering itu.

Wijaya mengusap keningnya. Tidak terlalu panas, tetapi mungkin ia hanya merasa kurang nyaman.

"Saksi menemukan mayat korban yang sudah tak bernyawa."

"Maksudku, posisinya." Aku mengatakannya sambil memperhatikan jejak itu, sedangkan Wijaya
malah menatapku penuh heran.

"Terbujur di atas aspal."

"Menghadap ke atas atau ke bawah?"

"Setahu saya ke bawah, Pak," balasnya lagi.

Kurasa analisisku tak salah. Namun, aku tak dapat menyalahkan Wijaya yang berasumsi bahwa
kertas itu memang disisipkan oleh sang pelaku. Selama aku belum tahu siapa yang menulisnya,
aku belum dapat menyalahkan siapapun. Jadi, sebagai gantinya, aku ingin meyakinkan Wijaya
terlebih dahulu.

"Kau yakin kertas itu disisipkan oleh si pelaku?" tanyaku, menaikan sedikit nada suara dan
menyebabkan pita suaraku tercekik. Memang, kemacetan yang terjadi di jalan raya membuat
bising. Beberapa orang membunyikan klaksonnya.
"Saya tidak tahu, Pak. Saya hanya menebak," adunya. "Saya tak memiliki bukti jika si pelaku
menyisipkan kertas itu, tetapi mereka pun tak memberikan alasan yang kuat jika tulisan itu
memang dibuat oleh Pak Goto."

Menganalisis berdasarkan kemungkinan yang masih ambigu. Langkah yang bagus.

Sejujurnya, aku hendak berjongkok, memperhatikan goresan-goresan coklat yang menyatu itu
lebih dekat, tetapi kakiku tak dapat berkompromi. Bahkan, masih untung aku dapat datang ke
tempat ini. Aku mencoba beberapa kali untuk menurunkan tinggi badanku, membungkuk, tetapi
memang belum saatnya. Tidak terlalu sakit, tetapi masih dapat kurasakan tekanan yang luar biasa
pada kakiku. Aku tak ingin membiarkannya terluka, remuk kembali. Jadi kuurungkan niat itu.

"Jika Pak Goto yang menuliskannya, kira-kira apa yang ingin dia tuliskan?" Sama seperti Wijaya,
aku mencoba membuat asumsi yang lain, asumsi yang disanggah oleh Wijaya. Namun, tak ada
salahnya, kan? Toh seperti yang ia katakan, mereka tidak memberikan alasan yang kuat mengapa
Pak Goto membuat catatan itu dan apa alasannya. Anggap saja aku hanya ingin mencari tahu.

"Atau langsung saja, deh." Akhirnya aku memotong setelah Wijaya memutar bola matanya dua
kali tanpa jawaban. "Jika Pak Goto yang menuliskannya, kira-kira hal apa yang dia inginkan
dariku?"

Wijaya sempat terpana untuk beberapa saat. Ia memperhatikanku dari kepala hingga kaki, seolah-
olah menganggapku orang sakit yang memerlukan perawatan lebih. Namun, kuberikan wajah
seriusku sebaik mungkin. Kutekan kedua alisku hingga keningku mengerut. Aku tak tersenyum
sama sekali, sedangkan Wijaya kembali memberikan tatapan herannya.

Ia memiringkan kepalanya. "Maksud Anda, Pak?"

Aku menghela napas. Kemudian, kukumpulkan kekuatan untuk mengatakannya.

"Kemarin malam aku berdiskusi dengan Loka. Kurasa kertas itu semacam kode. Kode itu
menunjukan namaku."

"Bagaimana mungkin?"
"ASCII," aku menjawab, tetapi berharap Wijaya tak menanyakannya lebih lanjut, seperti tentang
apa itu ASCII atau kepanjangannya, sebab aku tak akan bisa menjawabnya. Namun, tentu sebagai
seseorang dengan generasi yang berada di bawahku, tampaknya Wijaya lebih mengerti dan ia
langsung membulatkan mulutnya, mengeluarkan bunyi o seperti kereta api.

"Ory, sebenarnya, tetapi kurasa itu adalah sebuah anagram karena huruf r yang dienkripsikannya
adalah kapital." Sekali lagi, aku menghela napas. "Itu hanya dugaan, tetapi mungkin terlalu
kebetulan untuk disebut kebetulan. Aku akan lebih senang jika memang si pelaku yang
menyisipkan kertas itu, tetapi tidak jika Pak Goto yang melakukannya."

Wijaya menganggukan kepalanya sebanyak dua kali, tetapi pelan seperti biasanya. Kemudian, ia
berjongkok sambil memandangi jejak darah itu.

"Saya mengerti kenapa Anda berpikir Pak Goto yang menuliskannya, Pak," sahutnya. "Pasti
karena posisi meninggalnya, kan?"

"Ya. Akan sangat sulit dengan keadaan seperti itu. Makanya aku memastikannya. Namun, seperti
yang kau katakan, kita tidak memiliki alasan yang kuat untuk memastikannya, kecuali banyak
coretan pensil di atas kertas di rumah Pak Goto." Aku membuat jeda, mengambil napas agar tak
mati hanya karena terlalu banyak bicara.

"Kau sudah mengunjungi rumah Pak Goto?"

Wijaya—di sela-sela kesibukannya dalam memandangi jejak darah—menjawab, "Belum, Pak.


Tepat ketika saya ingin mengambil kasus ini, mereka menetapkan kasus ini sebagai perampokan."

Aku mengangguk mengerti. Kemudian, Wijaya mengangkat tubuhnya ketika seseorang melintasi
kami. Ia menatap kami berdua, tiga jika jejak darah itu kuanggap sebagai makhluk hidup.
Kemudian, melintas begitu saja, seolah-olah kami hanya seonggok daging tanpa perasaan.

Dari caranya berjalan, bersikap dan memandangi jejak itu, kurasa aku mengerti mengapa tempat
ini menjadi sepi. Orang-orang di tempat ini tak begitu suka bersosialisasi. Hanya dugaanku, tetapi
mungkin saja. Selain itu, mungkin juga karena kasus perampokan disertai pembunuhan yang baru
terjadi sekitar seminggu lalu di tempat tinggal mereka.
Kemudian, dari arah sebaliknya, sesosok lelaki tegap berseragam terlihat mendekati kami.
Mungkin lebih tinggi dariku sekitar lima sentimeter, membuatnya terlihat lebih seperti monster
daripada manusia. Bahkan, beberapa orang saja telah menganggap tinggiku terlalu tinggi, apalagi
orang itu.

Lelaki itu setengah berlari. Wajahnya tak memiliki aksesoris sepertiku. Tak berjambang dengan
rambut sedikit ikal berwarna hitam gelap. Bahunya kokoh, maju mundur akibat lengan yang
diayunkannya. Kemudian, segera setelah ia menyadari bahwa aku menyadari kehadirannya, ia
melambaikan tangan sambil tetap menggerakan kedua kakinya.

Wijaya memberitahu, dia berasal dari bagian perampokan. Namanya Alexander, padahal tak
tampak darah eropa sama sekali pada wajahnya. Ia adalah ajun Komisaris seperti kami. Wajahnya
terlihat lebih tua dari seharusnya, tetapi kumis dan janggut yang sengaja dicukur turut
membantunya untuk terlihat lebih muda.

Begitu sampai, ia tak bernapas dengan menggebu-gebu, tak terlihat lelah sama sekali. Bahkan,
sebaliknya, ia segera bertanya pada kami.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya dengan segera. Nada suaranya sangat rendah, seolah-
olah aku mendengar ayahku sedang berbicara dengan rokok yang selalu disembunyikannya—tak
ingin terlihat olehku.

"Kau Wijaya, kan? Dan ... eh—" Lelaki itu segera memperhatikan seragamku, tepatnya
memperhatikan label namaku. "Roy," lanjutnya. Namun, segera setelahnya, ia tersenyum
sumringah. "Ah, kau yang pernah menyelidiki kasus pembunuhan manekin itu, ya?"

Aku mengangguk. "Itu sudah sangat lama."

"Aku tahu," balasnya. "Jadi, kenapa kalian ada di sini?"

"Memastikan bahwa kasus ini benar-benar murni perampokan." Aku segera memotong
pembicaraan sebelum Wijaya membalasnya.
Secara tiba-tiba, alis Alex melejit. Bahkan, senyum yang sedari tadi dilemparkannya menghilang.
Ia menatapku kuat-kuat, memastikan aku tak berlari menghindari pandangannya yang sudah pasti
tidak akan kulakukan.

Lalu, sepersekian detik kemudian, ia mengganti arah pandangannya, melihat Wijaya yang seolah
enggan terlibat dalam perkelahian.

Beberapa orang kembali melewati kami. Kini, mereka hanya menatap heran ke arah kami
bertiga—empat jika jejak darah itu tetap kuhitung sebagai makhluk hidup.

"Kalian tak benar-benar berpikir bahwa kasus ini ditetapkan sebagai kasus perampokan tanpa
alasan yang jelas, kan?"

Namun, kubusungkan dadaku.

"Yang kudengar, kasus ini ditetapkan sebagai kasus perampokan hanya karena seseorang dengan
tololnya mengambil dompet seorang polisi dan pergi meninggalkan mayatnya begitu saja."

"Bukan, bukan," Alex menyanggah. Ia menggelengkan kepalanya dengan mata terpejam. "Yang
menjadi masalah dalam kejadian ini bukanlah apa yang terjadi, melainkan siapa yang
melakukannya."

"Kalian sudah tahu siapa pelakunya?"

"Kami belum mendapatkan identitasnya. Tetapi jelas kami tahu siapa pelakunya," balasnya lagi
dengan segera. "Kami mendapatkan saksi, seseorang melihat sang pelaku berlari keluar dari gang
ini, membawa mobilnya lalu pergi. Orang itu tak mengingat nomor polisinya, ia hanya bilang
bahwa orang itu—mungkin si pelaku—membawa mobil Avanza keluaran tahun 2010-an. Aku
kemari ingin meminta penjelasannya lebih rinci. Banyak hal yang perlu kulakukan hingga akhirnya
aku dapat menemui saksi."

Lelaki itu menjelaskannya dengan sangat panjang lebar. Untuk orang yang terlihat tua seperti
dirinya, sungguh ia adalah orang yang cerewet. Namun, tentu tak dapat kusalahkan sifat seperti
itu. Mungkin memang sudah bawaannya. Andai ia menumbuhkan sedikit kumis untuk menghiasi
wajahnya, aku yakin ia akan lebih terlihat seperti orang tua pemburu anak-anak yang akan
dijualnya dalam sindikat perdagangan manusia daripada seorang polisi.

"Kau yakin motif kali ini benar-benar dilakukannya atas dasar perampokan?" aku memastikannya
sekali lagi.

"Dari seluruh perbuatannya. Ya, orang itu adalah seorang perampok. Ditambah dengan diambilnya
dompet Pak Goto."

Aku dan Wijaya beradu pandang.

"Kau menghapal seluruh bentuk wajah perampok, ya? Sampai yakin orang yang melakukannya
adalah orang yang sama hanya berdasarkan keterangan saksi."

"Hah? Tentu saja tidak." Alex mendengus pelan. "Dia selalu menggunakan pakaian yang sama.
Serba hitam, dari baju hingga celananya, bahkan dia selalu menggunakan topi hitam. Rekan-
rekannya pun seperti itu."

Mendengar kata topi itu membuatku bergidik. Aku tersentak, mungkin jatuh jika tak kusiapkan
keseimbangan dengan sebaik mungkin. Bahkan, dalam beberapa saat, jantungku terasa berdegup
kencang.

"Topi?" aku memastikan.

"Ya."

"Apa mereka sering menggunakan pistol?"

"Beberapa kali dalam aksinya. Jadi, ya."

Tenggorokanku seolah tercekat. Napasku terasa berhenti. Dalam bayang-bayang benakku, kembali
kudapati seluruh adegan yang mengerikan itu. Bagaimana seorang lelaki dengan topi hitamnya
menusukan pisau pada perut korban serta membiarkan istri korban terkulai lemas tak sadarkan diri
di sampingnya.
Pria yang selama ini kucari, selama ini kukejar. Lelaki itu telah melukai kakiku, menembakan
senjata apinya dan mengarahkannya pada betisku, membuat otot-ototku sobek.

Dalam sekejap, seluruh kejadian itu kembali terlintas dengan cepat.

"Maaf," kataku setelahnya, ketika pandanganku kembali membaik, ketika seluruh reka ulang
adegan yang sengaja dibuat oleh otakku menghilang. "Tetapi kurasa kasus ini akan lebih dari
sekadar perampokan."

===

Aku menjadi semakin yakin bahwa tulisan itu memang dibuat oleh sang pelaku. Aku sangat yakin
ia sengaja menuliskan namaku. Aku harus menarik kembali kata-kataku bahwa aku akan merasa
lebih senang jika sang pelaku yang menuliskannya, kenyataannya tidak seperti itu.

Aku tak tahu siapa orang itu, di mana ia tinggal, mengapa ia sampai sengaja mendatangi kota
Bandung padahal kasus sebelumnya terjadi di Jakarta, ketika aku berusaha mengungkapkan
kenyataan sebuah kasus keji yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Sekarang, orang itu benar-benar
mendatangi kota kelahiranku, kota tempatku tinggal.

Sudah pasti dia meletakan kertas itu bukan tanpa alasan. Apakah orang itu ingin bertemu
denganku? Apakah orang itu hendak mengancamku? Apa yang bisa dilakukannya?

Orang itu sudah membunuh seorang anggota polisi, seharusnya dia dapat melakukan itu padaku,
menunggu momen yang tepat agar aku berjalan keluar rumah, menyekapku, kemudian menghabisi
nyawaku. Jadi, apakah dia benar-benar hanya ingin menakut-nakutiku? Tetapi kenapa?

Bahkan, Wijaya memberikan reaksi yang sama mengingat apa yang kukatakan padanya. Kode
ASCII itu terlalu kebetulan untuk sebuah kebetulan. Ia sengaja meletakannya dan aku tahu itu.

Aku dan Wijaya memohon pada Alex untuk ikut menyelidiki kasus ini. Tentu, awalnya ia menolak.
Kasus ini masih ditetapkan sebagai sebuah kasus perampokan, tetapi pengalamanku mengatakan
hal yang lain. Aku yakin benar dia sengaja menghabisi nyawa seseorang, bukan atas dasar
perampokan. Namun, dengan pengakuan Alex yang mengatakan bahwa orang itu termasuk ke
dalam salah satu anggota perampok, tentu membuka peluang bagiku untuk menyelidiki pria itu
lebih jauh.

Aku terpogoh-pogoh, membuat Alex bertanya-tanya apa yang terjadi pada kakiku. Tentu,
sebenarnya aku tak ingin menceritakannya, tetapi secara terpaksa aku mengatakannya. Setidaknya,
dengan bukti yang kuat ini, aku dapat memaksanya untuk membiarkan aku dan Wijaya ikut
menyelidiki kasus yang ada. Jadi, ya, kami berhasil membujuk Alex untuk ikut menyelidikinya.

Namun, hatiku belum terlalu teguh.

Apakah aku siap? Maksudku, orang itu bisa pergi berkelana dengan bebas di luar sana. Aku tak
pernah berhasil mendapatkan dirinya, siapapun, tak ada, dan dia kembali dengan membawa pesan
yang dapat menyulut kemarahan siapapun.

Dia sengaja melakukannya.

Apa yang diinginkannya?


4. Eternal Havoc

Enam puluh detik. Itulah kalimat pertama yang Alex berikan ketika aku berusaha mengorek
informasi mengenai orang itu darinya.

"Mereka lihai, selalu melaksanakan seluruh aksinya dalam enam puluh detik. Lebih atau kurang,
berhasil atau gagal, mereka akan pergi setelah enam puluh detik."

"Bagaimana kau mengetahuinya?"

"Kamera pengawas. Mereka memeriksa jam dengan teliti, bergerak dengan cepat, mereka terlatih
untuk melakukannya."

"Termasuk orang bertopi itu?"

"Mereka semua menggunakan topi."

Aku mangut-mangut. Tak pernah kuduga bahwa orang itu merupakan salah satu anggota
perampok. Aku pikir orang itu hanyalah pembunuh keji yang selalu menunggu targetnya untuk
mendatangi kandang, terkunci, membiarkannya kelaparan kemudian mati. Ternyata tidak hanya
itu.

Setelah permohonanku untuk ikut menyelidiki kasus ini disetujui, akhirnya Alex mempersilakanku
bertemu dengan saksi, tentu saja dalam pengawasannya. Seorang wanita paruh baya yang bekerja
sebagai ibu rumah tangga. Kala itu—akunya—ia sedang membersihkan ruang tamu. Dan di saat
itu pulalah ia mendengar teriakan seseorang yang kemudian langsung dibekap, menghindari orang
itu untuk menarik perhatian orang lain lebih jauh.

Penasaran, akhirnya ibu itu menengok keluar dan melihat tetangganya tengah terkapar bersimbah
darah. Di saat yang bersamaan, seseorang dengan berpakaian serba hitam berlari menjauhi tempat
kejadian, menaiki mobil Avanza seperti yang sebelumnya diceritakan oleh Alex. Ibu itu menjerit,
pasti, hingga akhirnya bekapan yang mungkin dilakukan si pelaku sebelumnya tak ada gunanya.
Orang-orang keluar, mengerumuni mayat Pak Goto yang sudah tak tertolong lagi.
Satu hal yang menjadi daya tarik bagiku adalah tak adanya jejak darah di sepanjang jalan gang.
Aku tidak begitu yakin akan pemikiranku, tetapi tampaknya si pria bertopi itu segera menyakukan
pisaunya, menghindari tetesan darah pada jalur pelariannya. Seandainya tidak ada saksi, tentu tak
akan ada orang yang tahu apakah Pak Goto diserang oleh tetangganya sendiri atau seorang
perampok.

Namun, semuanya masih tampak abu-abu. Kami tak mendapatkan informasi yang lebih, hanya itu
saja. Beberapa kali kutanyakan pertanyaan-pertanyaan yang kuharap dapat membantu
penyelidikanku—Alex, sebenarnya—tetapi semanya tetap nihil. Ibu itu tak tahu menahu.

Akhirnya, pilihanku jatuh untuk memeriksa lokasi kejadian. Tak hanya tempat korban terjatuh,
tetapi juga lingkungan yang ada. Loka dan Alex turut membantu. Ketika aku mencoba memeriksa
gang bagian depan, bagian yang menuju ke arah jalan raya, mereka lebih memilih untuk mencari-
cari sesuatu—hal yang tidak diketahui wujudnya—pada bagian gang yang lebih dalam, menelisik
jauh hingga mendapatkan sebuah lapang basket yang terlalu dipaksakan untuk ada di dalam gang
itu.

Sekali lagi, tak ada jejak darah, semuanya benar-benar bersih.

Aku telah memeriksa setiap sudut yang mungkin berguna, mendapatkan sesuatu yang tak pernah
kupikirkan sebelumnya. Tempat sampah, beberapa bagian pot bunga hingga sela-sela tegel.
Namun, semuanya nihil. Sebagai gantinya, orang-orang malah menatap heran ke arahku, melihat
seorang polisi pincang yang tengah mencari sesuatu.

Alex dan Wijaya pun demikian, tak mendapatkan apa-apa. Mereka kembali tak berselang lama
setelah kami berpisah.

"Tak ada apa-apa, Pak," beritahu Wijaya. Namun, tentu aku tak membutuhkan jawabannya itu,
sebab Wijaya tidak membawa apa-apa.

"Aku tahu," balasku. "Alex, boleh aku meminta tolong padamu?"

Alis Alex mengerut. "Minta tolong apa?"


"Aku ingin kau memberitahuku mengenai orang itu. Ada beberapa hal yang ingin kuketahui."

===

Enam puluh detik. Kalimat yang paling banyak dilontarkan oleh Alex, seolah-olah kalimat itu
menjadi mantra suci sebelum ia memberitahu segala hal mengenai pelaku perampokan yang
sedang diusut olehnya. Namun, aku sendiri tak dapat mempersalahkannya. Setiap kasus—hampir
setiap—memiliki keunikannya tersendiri. Mungkin, bagi bagian perampokan, teknik perampokan
dan bagaimana cara mereka melancarkan aksinya lah yang menjadi titik berat untuk para polisi
bagian perampokan, sedangkan aku selalu menganggap kerumitan metode pembunuhan, cara
berkilah sang pembunuh hingga kesulitan penyelidikan sebagai standar utama dalam penetapan
kesulitan kasus.

Sebenarnya, pada beberapa kasus pun aku tak berhasil menangkap pelaku. Maksudnya, aku
berhasil menetapkan tersangka, dan dengan suara hatiku, aku sangat yakin bahwa mereka lah
pelakunya. Bagaimana cara mereka mengungkapkan alibi mereka, hubungan mereka dengan para
korban ataupun yang lainnya. Sialnya, kurangnya barang bukti terkadang membuat mereka lepas
dari jeratan hukum. Di saat itu lah aku tak dapat berbuat apa-apa.

Ketika itu terjadi, aku tak memiliki banyak pilihan selain mengikuti perkembangan berita. Orang-
orang—sekali lagi—akan menghina kami yang kurasa sebenarnya ditujukan untukku. Mereka pun
tidak bodoh, aku tahu, tetapi sistemnya tidak berjalan semudah itu. Semua orang dapat berbohong.
Jika kau ingin mendapatkan kejujuran, maka kau harus memaksanya untuk berkata jujur. Dalam
hal ini, bukti yang kuat berlaku, bagaikan benda suci yang keadaannya selalu dipuja-puja.

Alex memberitahuku mengenai kawanan perampok itu. Namun, fokusku tertuju pada salah satu
orang yang ia gambarkan sebagai seorang lelaki berperawakan tinggi dan sedikit kurus, selalu
mengenakan topi berlidah yang dijulurkan terlalu ke bawah, membuat penglihatannya berkurang
tetapi orang-orang pun tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Berumur kisaran 30 hingga 40
tahun, dan kurasa aku dapat yakin bahwa dia lah orangnya. Orang-orang lain yang Alex gambarkan
tidak memenuhi seluruh gambaran yang terlintas dalam benakku.
Bahkan, Alex sendiri pun membagikan beberapa rekaman padaku juga Wijaya, memperlihatkan
bagaimana cara mereka beraksi. Terstruktur, rapi, seperti telah berlatih selama bertahun-tahun.
Mereka melakukannya seperti sebuah koreografi dalam tarian. Halus dan apik.

Aku meminta salinannya—pasti—dan Alex tak keberatan.

Jika sebelumnya aku cukup kesal akan tindakannya, banyak bicara dan memperlihatkan seolah
dirinya adalah pemimpin dalam penyelidikan ini, tampaknya sekarang aku mulai menyukainya.
Dia tipe orang yang mudah berteman dengan siapa saja. Omongannya selalu dapat dikaitkan
dengan masalah apapun, bahkan termasuk bercanda di saat yang tidak tepat, tetapi tetap membuat
atmosfer menjadi stabil. Tidak memandang rendah siapapun dan selalu mengapresiasi seluruh
pekerjaan orang-orang, sangat berkebalikan denganku yang sering mengomentari hal-hal kecil,
aturan-aturan yang tidak dijalankan seperti tidak menyalakan lampu tanda sebelum si pengemudi
belok ke kanan.

Seperti yang Alex ceritakan, seluruh pekerjaan yang mereka lakukan sangat mudah teridentifikasi.
Mereka selalu mengenakan pakaian yang sama—serba hitam dengan topi yang digunakan untuk
menutup wajah. Tidak hanya itu, memang semua pekerjaan yang mereka lakukan terjadi dalam
waktu 60 detik—kurang atau lebih, sekitar itu. Mereka membobol minimarket dan warung
internet, pilihan yang cukup cerdas mengingat sistem keamanan di dua tempat semacam itu
tidaklah terlalu tinggi. Berbeda dengan bank dengan sistem keamanan yang lebih terjamin.

Sebenarnya, ketika di masa hiatusku bekerja, saat aku benar-benar dilanda kebosanan, aku
memang mendapati beberapa berita yang bercerita mengenai kasus perampokan. Namun, kupikir
semua jenis perampokan sama saja, tak ada yang menarik darinya. Namun, kini harus kuhilangkan
seluruh pemikiranku itu. Sama seperti kasus pembunuhan, beberapa orang menggunakan metode
mereka secara khusus, terperinci, mencolok dibandingkan dengan yang lain.

Alex mengambil kursi pribadinya, mempersilakan aku dan Wijaya untuk duduk di atas kursi kayu
dengan desain yang tidak begitu estetik. Sederhana, standar, tidak memiliki daya tarik yang
berlebih sehingga aku dapat fokus pada pekerjaanku yang lain dibanding menimbang-nimbang
harga yang akan kutawarkan seandainya aku ingin membeli kursi ini.
Aku hampir merasa seperti berada di tempat sendiri jika tempat ini tak lebih berantakan. Alex
tampaknya lebih sembarangan dari diriku. Tumpukan kertas berada di atas mejanya, seolah tak
pernah dibersihkan. Beberapa puntung rokok bekas pakai tersimpan di dalam asbak putih dengan
corak naga, belum dibersihkan. Selain itu, tampaknya orang ini tak pernah menggunakan lemari
untuk menyimpan arsip sama sekali, melihat seluruh tumpukan kertas berada di atas mejanya—
tentu saja tak mungkin.

Ketika awal kami memasuki ruangan ini, ia segera menawarkanku rokok, tetapi tentu saja kutolak.
Bukan bermaksud untuk mengacuhkan sikap baiknya—peduli denganku—tetapi memang aku
telah bertekad pada diriku sendiri untuk tak menghisap batang itu lagi selamanya, dan aku tidak
ingin hari ini menjadi hari pertama bagiku untuk mematahkan janjiku sendiri. Selain itu, Wijaya
tampaknya tak merokok, sehingga Alex menjadi enggan untuk melakukannya di depan kami.
Mungkin malu, mungkin pula ia tak ingin meracuni kami berdua. Apapun alasannya, itu
pilihannya.

Kantor Divisi perampokan berada di lantai dua. Berbeda dengan divisi pembunuhan yang masing-
masing memiliki ruangan pribadi, tertutup dan kedap suara, menghindari orang-orang untuk
mencuri dengar, divisi perampokan lebih terbuka. Mereka tidak menggunakan ruangan berdinding
bata yang dicat berwarna gelap, melainkan hanya membuat sekat-sekat di antara meja. Aku dapat
memahami apa yang terjadi. Jumlah mereka banyak, sebab perampokan lebih sering terjadi
dibandingkan dengan pembunuhan, membuat mereka membutuhkan personel lebih banyak
dibandingkan dengan divisiku. Jadi, sudah pasti ruangan yang tak cukup membuat mereka terpaksa
berbagi ruangan.

Kutawarkan untuk berdiskusi di ruanganku, membuat suasana privasi yang lebih nyaman
digunakan untuk bertukar informasi. Namun, Alex menolak. Kemudian, karena ia adalah tuan
rumahnya, aku tak dapat membujuknya lebih jauh.

"Aku tak percaya kita sudah bekerja sangat lama, kita tak mengenal satu sama lain," ujarnya di
tengah pembicaraan kami secara tiba-tiba. Membuat suasana tidak terlalu tegang, mungkin itu
yang dipikirkannya.
"Aku tak begitu sering keluar dari ruanganku," balasku, memberitahu. "Jangankan dengan
divisimu, divisiku sendiri saja tak terlalu dekat. Aku terkejut karena mereka datang menjengukku
ketika ... kau tahu, kan? Kecelakaan ini." Kunaikkan celanaku, membuat perbanku terlihat untuk
beberapa saat, kemudian menutupnya kembali.

Wijaya menjulurkan lengannya setelah ia merasa puas melihat rekaman yang Alex berikan. Ia
mengembalikan ponselku padaku seraya bertanya pada Alex.

"Sudah berapa lama Anda menyelidiki kawanan perampok itu?"

"Satu atau dua tahun? Mungkin lebih. Sebelumnya aku tak begitu memperhatikan mereka sampai
aku menyadari bahwa beberapa perampokan dilakukan oleh orang yang sama."

Alex menyandarkan bahunya, senyaman mungkin sehingga tampaknya ia bisa segera tertidur
seandainya Wijaya tak kembali menepisnya dengan sebuah pertanyaan.

"Apa yang menjadi kendala Anda untuk menyelidikinya, Pak Alex?" Wijaya mengucapkan itu
dengan nada yang sama seperti yang biasa ia lontarkan. Aku merasa ia bertanya padaku, untung ia
merujukkan kalimat itu pada orang yang ia maksud.

"Tampaknya mereka profesional."

"Seprofesional apa?"

"Kalian sudah melihat rekaman itu, kan?" Alex mengangkat sebelah alisnya, menepiskan seluruh
rasa penasaran dari dalam dirinya, tetapi ia tak dapat melakukannya. Ia melihat kami berdua secara
bergantian seolah-olah aku dan Wijaya adalah orang terbodoh yang pernah ditemuinya. "Kalian
tidak melihat gerakan mereka?"

"Hanya karena mereka melakukan semuanya dalam 60 detik?"

"Itu salah satunya." Alex menjatuhkan kedua lengannya di atas meja, membuat kegaduhan yang
sebenarnya tak diperlukan. "Lihatlah cara mereka melakukannya, kalian memperhatikan apa dari
tadi?"
Aku ingin memberikan pertanyaan tambahan, tetapi Alex tak mengizinkannya. Tatapan tajamnya
benar-benar memerintahkanku untuk mengamatinya kembali secara seksama. Memang,
sebelumnya aku terlalu memperhatikan orang yang kuduga telah melukaiku, menyebabkan
robekan pada betisku sehingga aku tak menyelidik gerakan-gerakan mereka. Sedangkan Wijaya,
tampaknya ia tak mengerti, mulutnya menganga. Tak begitu lebar, tetapi seekor lalat tetap bisa
masuk ke dalamnya. Jadi, aku kembali menyalakan rekaman itu, mengeluarkan ponsel yang
sebelumnya telah dikembalikan Wijaya.

Aku berusaha untuk melihat satu rekaman dari beberapa rekaman yang ada.

Mereka hendak menyerang sebuah minimarket. Lima orang, tepatnya. Seperti yang telah
diberitahukan sebelumnya, mereka semua berpakaian serba hitam. Perampokan terjadi sekitar
pukul sepuluh malam. Minimarket sedang sepi, hanya ada seorang kasir dengan seorang pembeli.
Namun, begitu kuperhatikan gerakan mereka, aku baru menyadari sesuatu.

Terstruktur, sistematis, cepat, itulah gambaran yang bisa kuberikan setelah memutar ulang
rekaman ini beberapa kali.

Aku mencoba melihat rekaman-rekaman yang lain. Metode yang digunakan selalu sama, tak ada
bedanya. Di setiap tempat, di segala kondisi yang berbeda. Tidak seratus persen sama, tetapi secara
garis besar aku dapat menemukan kemiripan antara satu kejadian dengan kejadian yang lainnya.

Mereka tidak menyerbu dengan mengancam, mengacungkan pistol mereka atau membuat gerakan
bodoh lainnya. Sebaliknya, mereka menyerbu, menyerang, mengambil barang yang mereka
inginkan. Satu orang menjadi eksekutor, melumpuhkan semua orang yang dianggap menjadi
hambatan dalam melakukan aksi mereka—orang yang kucari selama ini. Ia memiliki teknik bela
diri, tidak hanya dasar, tetapi kurasa ia sudah terampil melakukannya. Ia tak akan bergerak
mendekati orang yang akan dilumpukannya, melainkan menyamping, kemudian mengambil
kesempatan dengan sangat cepat, tidak membiarkan orang-orang dapat melihat wajahnya dengan
jelas.

Orang itu sudah terlatih melakukannya.


Dua orang yang lainnya berjaga di pintu depan, menyiapkan stun gun seandainya seseorang
mendekati target tempat perampokan mereka, sedangkan dua orang yang lainnya bertugas untuk
membawa seluruh barang rampokan.

Mereka sudah menyiapkannya. Tempat yang sepi, cara penanggulangan masalah, bagaimana cara
mereka mengeksekusi seluruh rencana mereka.

"Bahkan kurasa beberapa di antara mereka pernah mendapatkan pelatihan khusus dalam
penggerebekan," Alex bergumam, membuat pandanganku untuk sesaat terlempar ke arahnya.
Kemudian, menyadari apa maksudnya, kembali kulayangkan pandanganku pada layar ponsel
dengan mantap.

Ya, gerakannya terlihat seperti itu. Mereka tidak terburu-buru. Mereka bergerak dengan
melindungi satu sama lain. Jelas mereka tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang akan
dilakukan seandainya semua berjalan tak sesuai dengan rencana. Namun, sejauh ini, semuanya
tampak berjalan sesuai rencana mereka. Tak ada interupsi sama sekali.

"Kau berpikir para perampok ini adalah polisi?"

Entah kesimpulan dari mana, tiba-tiba saja terlintas dalam benakku. Maksudku, oh, sialan, dua
orang telah terluka, salah satunya mati akibat serangan mereka. Dan seluruh gerakan ini,
bagaimana jika sebenarnya salah satu anggota perampok itu hanya ingin membunuh para polisi
yang mungkin akan menjadi ancamannya karena tahu bahwa ia adalah polisi?

Tapi bukankah aku tak mengetahui hal itu sebelumnya?

Namun, Alex pun tampak sangat terkejut mendengar pertanyaanku.

"Apa? Tidak, tentu saja tidak." Ia menggaruk kepalanya. "Aku hanya mengatakan orang-orang itu
tampaknya pernah melakukan latihan khusus. Aku tak mengatakan mereka haruslah polisi, bisa
saja mereka hanya melihat bagaimana cara polisi bekerja dan mereka menirunya."

Alex mengendus pelan seperti seseorang yang sedang menghirup nikotin.


"Lagipula untuk apa polisi harus merampok? Aku tak ingin menangkap diriku sendiri, lagipula
lebih baik menjual narkoba daripada harus melakukan aksi seperti itu, terlalu beresiko."

Alex tertawa dengan keras, tetapi aku tak memberikan reaksi apa-apa, membuatnya segera
menyadari tindakannya itu. "Itu tidak lucu. Maaf—"

"Tidak, tidak," aku berkilah. Kemudian, kutarik kedua lenganku dengan kujadikan sandaran bagi
kepalaku yang mulai sedikit pusing. Segera setelahnya, Wijaya mengambil ponselku setelah
meminta izin. Aku lupa, dia belum melihat ulang rekaman itu. "Itulah yang selalu terjadi. Aku
tahu, kedengarannya tolol, tetapi kau harus melihat seluruh kemungkinan?" Aku menengok,
melihat Wijaya. "Benar kan, Sherlock?"

Namun, Wijaya terlihat canggung, ia belum siap mendengarkan pertanyaan dariku, membuatnya
menjawab dengan kaku. "Oh—ya, tentu, Pak. Ah, maksud saya, seluruh kemungkinan akan ada di
dunia ini. Jadi, ya, mungkin."

Ia kembali mencoba melihat rekaman itu, sedangkan aku mencoba untuk masuk ke dalam topik
yang seharusnya kami bicarakan. "Percayalah, aku telah menyelidiki banyak kasus, di antaranya
memiliki beberapa penyelesaian yang tak pernah kuduga sebelumnya."

Namun, Alex masih tak nyaman dengan pernyataan yang berbentuk pertanyaan itu.

"Tentu, siapa yang tahu?"

Dia mengucapkannya seperti seseorang yang baru saja kehabisan makanan, kemudian menyesal
karena telah menghabiskannya. Namun, sekali lagi, aku berusaha untuk tak membiarkannya
menggangguku kembali pada topik yang ada.

"Ada ide kira-kira kenapa salah satu anggota kawanan perampok itu membunuh seorang polisi jika
kau berpikir ini adalah sebuah pembunuhan?"

"Itu yang sedang aku selidiki." Oh, sialan. "Seandainya kita bisa mengikuti alur pemikiran
perampok itu. Minimal satu di antaranya. Oh, sialan."
"Ah, sebetulnya—" Alex menggigit bibirnya. "Kami tahu bagaimana mereka merekrut orang-
orang baru."

"Benarkah?"

Alex mengangguk.

Sungguh, sebuah pernyataan yang luar biasa. Baru terlintas di dalam benakku, ternyata aku
memiliki sebuah ide. Ide tolol, tetapi mungkin berhasil.

"Aku akan bergabung dengan mereka."


5. Eternal Havoc II

Ruangan ini terasa hampa. Keheningan menyeruak dari balik-balik dinding. Alex dan Wijaya
terkejut—tentu. Mereka melihatku seperti melihat hantu gila yang baru saja menampakkan dirinya
untuk pertama kali. Lidah Alex menjulur lebih panjang dibanding biasanya—respon spontannya.

"Kau bercanda?" adalah pertanyaan pertama yang langsung terlontar dari mulut Alex. Namun, aku
meyakinkan pilihanku. Tidak, tentu saja. Aku mengucapkannya dengan sungguh-sungguh,
menajamkan tatapan mataku dan segera mengerutkan kedua alisku, memberikan pertanyaan balik
padanya.

"Tidak. Memangnya kenapa?"

"Belum pernah ada yang mencoba masuk ke dalam sindikat itu."

"Kalau begitu biarkan aku menjadi yang pertama."

Alex menderu. Tidak keras, namun suasana hening dalam ruangan ini membuatnya terdengar
begitu jelas. Jika Indonesia memiliki musim dingin, mungkin aku sudah melihat kepulan asap putih
mengepul keluar dari balik mulutnya.

Alex tak kalah dariku, memberikan tatapan herannya, tetapi dalam konteks yang berbeda. Jika aku
mengisyaratkan bahwa rencana itu adalah rencana yang terbaik, Alex menggambarkan sebaliknya.
Mungkin ia sudah menganggapku tak waras dan merasa perlu mengantarkanku ke rumah sakit
jiwa. Namun, alih-alih berdiri dan menarik tanganku untuk keluar dari kantor ini, ia lebih memilih
untuk menarik tubuhnya, mencoba bersandar lebih rileks pada bangku putarnya yang lebih nyaman
dari tempat dudukku ini.

"Tahu bagaimana cara mereka merekrut anggota baru saja sudah merupakan keuntungan. Aku tak
ingin mengambil resiko hubungan kami dengan orang-orang itu terputus."

"Hubungan?"
"Salah satu di antara kami menjadi informan." Alex menarik napas sebelum melanjutkan
kalimatnya. "Berhasil menjadi mata-mata dan menjadi bagian dari rekrutmen anggota. Aku tak
ingin mengabaikan hal itu. Perlu waktu yang lama untuk kami—dia—agar bisa melakukannya.
Jika ia ketahuan mengirim polisi ke dalamnya, sudah dipastikan ia akan dicurigai dan kau tahu
artinya, kan?"

Aku mangut-mangut, setengah malas dengan alisku yang masih belum diposisikan sebagaimana
mestinya.

"Apakah mereka termasuk ke dalam organisasi yang terstruktur?" tanyaku sembari sedikit
mendongakan kepala. Setelahnya, kujilat kedua bibirku, memastikan keduanya tak kering dan
membuat kulit-kulit yang melapisinya pecah.

"Mungkin." Alex mengangkat kedua bahunya. "Kami ingin mencari tahu."

"Berapa lama? Satu tahun lagi untuk satu kemajuan?" Kuberikan nada tinggiku, membuat matanya
terpicing dan benar-benar tak menyangka akan pertanyaanku. Di samping itu, Wijaya hanya
memperhatikan obrolan dua arah kami. Aku yakin, ia ingin mengatakan sesuatu. Mulutnya komat-
kamit, tetapi kedua bibirnya terkunci rapat akibat melihat obrolan antara dua orang laki-laki yang
lebih tua dari dirinya. Tentu, Wijaya memang terlalu sopan, bahkan untuk menginterupsi
pembicaraan kami meskipun dalam kepalanya telah timbul jutaan pertanyaan dan siap meledakkan
kepalanya.

Aku tak tahu apakah Alex merasa tersinggung atau berusaha untuk mengucapkan terima kasih
padaku. Ia tak dapat menyangkal pertanyaanku. Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar. Aku
sendiri tak yakin segila apa sekelompok, sindikat, organisasi, atau apalah itu. Namun, jika aku
melihat peluang, probabilitas bahwa kami—atau mungkin aku—dapat berkecimpung dan
menelusup lebih dalam pada kelompok itu, mengapa tidak?

Akhirnya, Wijaya mengaitkan kesepuluh jarinya, membuat gerakan khusus yang hanya dilakukan
oleh dirinya saat ini, seperti hendak berdoa. Namun, segera setelah yakin bahwa di antara kami—
aku dan Alex—tak akan ada lagi yang berbicara, Wijaya seolah meyakinkan dirinya untuk
memberikan seluruh pendapatnya dalam waktu yang singkat.
"Pak—" Wijaya menolehkan wajahnya padaku, membuatku pun melakukan hal yang sama
padanya, membuat kami saling menatap secara empat mata, "Saya rasa Anda menanggapi kasus
ini terlalu personal."

Kuangkat sebelah alisku.

"Personal bagaimana?"

Wijaya menunjuk betis kananku, lantas membuatku secara refleks untuk melihat ke arahnya.
Biarpun tertutup oleh celana berwarna cokelat gelap ini, aku tahu yang Wijaya maksudkan adalah
apa yang berada di baliknya—luka di kakiku.

"Mungkin," balasku segera setelah mengetahui apa yang Wijaya maksudkan. "Tapi jika memang
hal itu bisa membantunya kenapa tidak?"

Namun, Wijaya kembali melontarkan argumennya, tak kalah dariku. "Selain itu mereka sudah tahu
jika Anda polisi kan, Pak? Saya rasa—"

"Oleh sebab itu aku yakin," tukasku, memotong pembicaraan Wijaya dan membuatnya sedikit
tersentak. Walaupun aku mengucapkannya sesantai mungkin, berusaha merendahkan nada
suaraku, tetapi tampaknya Wijaya tetap kaget. Mungkin memang benar apa yang dikatakannya,
mungkin memang aku yang terlalu menanggapinya secara personal, berusaha mencari tahu
identitas si penembak kakiku itu dan ingin segera meringkusnya. Namun, bukan berarti
pernyataanku sebelumnya salah. Jika aku bisa menelusup ke dalam kelompok itu, bukan tidak
mungkin divisi perampokan bisa mendapatkan informasi lebih dari yang kudapatkan.

Jadi, kurasa tak ada pilihan yang salah.

Kuketukkan kedua kakiku, membuat kebisingan antara sol sepatu dengan lantai keramik keras
yang khas. Selain itu, tampaknya Alex semakin tak tahan untuk merokok. Tangannya berkali-kali
merogoh kantung celana di mana ia menyimpan sebungkus rokok yang sebelumnya ditawarkan
padaku dan Wijaya. Namun, berkali-kali juga tangan itu berakhir dalam keadaan kosong, tak
mengambil apa-apa.
Sejujurnya, aku menunggu di antara mereka untuk kembali bertanya padaku, bagaimana aku dapat
yakin. Namun, semuanya terlalu terpaku untuk mendengarkan penjelasanku selanjutnya, sehingga
secara terpaksa aku memberikannya tanpa diminta.

"Orang yang menembak kakiku itu menyelipkan tiga kertas pada saku seragam Pak Goto."

"Kita belum tahu siapa yang menulisnya." Alex menyela sambil berusaha meyakinkan pilihanku
sekali lagi. Namun, hatiku tetap tak terpengaruh.

"Asumsikan penulisnya adalah si pembunuh."

Aku memulainya. Oh, sialan, kembali pada sebuah asumsi. Gila, kenapa aku tak dapat lepas dari
investigasi semacam ini? Aku tahu, telah berkali-kali kukatakan pada diriku untuk tak membangun
seluruh kronologi kejadian berdasarkan asumsi. Cari bukti valid, bangun ulang kejadiannya, tidak
seperti ini. Namun, sialannya, aku tak memiliki alternatif lain untuk menyangkal balasan Alex,
dan aku mengerti akan hal itu.

Namun, bukankah selama ini pun mereka hanya mengasumsikan bahwa coretan kertas itu dibuat
oleh Pak Goto?

"Si pembunuh, dengan ciri-ciri yang sama yang menembak kakiku, mengetahui namaku," lanjutku.
"Dia memiliki banyak kesempatan untuk membunuhku. Maksudku, aku tinggal sendirian. Loka
sekolah, istriku sudah meninggal dan aku tak memiliki sanak saudara dekat yang berada di dekatku
selama 24 jam. Orang itu memiliki pistol, lengkap dengan peredam. Dia bisa masuk ke dalam
rumahku, menyelinap, membunuhku secara diam-diam. Namun, dia malah meninggalkan kertas
itu."

Wijaya memalingkan wajahnya. Aku yakin dia sudah tahu ke mana pembicaraan ini akan kubawa.
Namun, Alex yang belum pernah tergabung ke dalam divisi pembunuhan tampak antusias
mendengarkan dongengku.

"Dia tak membunuhku. Alih-alih, dia malah membunuh Pak Goto. Aku tidak tahu apa alasannya."
Aku menghela napas sesaat setelah kukeluarkan sejumlah paragraf yang menguras napasku.
"Kurasa ia memanggilku."
Alex menyilangkan kedua tangannya tepat di depan dadanya. "Untuk apa?"

"Aku tidak tahu."

"Bagaimana jika itu caranya untuk menemukanmu? Bagaimana jika sebenarnya dia hanya
memancingmu untuk keluar dan akan membunuhmu segera setelahnya? Mungkin ia tidak begitu
pintar untuk mencari tahu alamat rumahmu."

"Cukup pintar untuk mengetahui namaku." Sanggahku. "Aku bukan humas. Walaupun mungkin
beberapa surat kabar mengutip ucapanku, kurasa tidak dengan fotoku. Selain itu, dia menembakku
dalam waktu yang singkat, segera kabur setelahnya, hanya memerlukan waktu kurang dari dua
detik baginya untuk menembakku, kemudian berpaling dan segera lari. Aku yakin ia tak menyadari
kedatanganku yang tiba-tiba itu. Ia terkejut—pasti, dan jika aku memakai label nama saat itu, aku
yakin dia tak sempat membacanya, mungkin saat itu pun dia tak tahu bahwa aku adalah seorang
polisi karena segera menembak kakiku. Yang dapat ia andalkan hanyalah penglihatannya terhadap
wajahku. Dan itu dilakukannya kurang dari dua detik. Selain itu, media tak memberitakanku,
mengenai kasus penembakan yang dilakukannya. Untunglah saat itu kesalahan penyelidikan,
melepaskan terdakwa yang bahkan sudah dijatuhi hukuman lebih menarik perhatian media massa
daripada memberitakan diriku."

Alex memiringkan wajahnya.

"Intinya," lanjutku. "Dia orang gila yang sebelumnya tak mengetahui siapa diriku, secara tiba-tiba
mengenalku. Tak menutup kemungkinan dia mengetahui alamatku. Selain itu—"

"Satu-satunya cara untuk menarik perhatian Pak Roy adalah dengan melakukan satu pembunuhan.
Orang yang menembak kaki Pak Roy tahu bahwa Pak Roy tergabung ke dalam divisi
pembunuhan," timpal Wijaya secara tiba-tiba, bahkan tanpa aba-aba. "Dan satu-satunya cara untuk
memberitahukan informasi mengenai dirinya tanpa membocorkan identitas dirinya adalah dengan
melakukan satu perampokan. Bagaimanapun, ia tahu Pak Roy bekerja di bagian pembunuhan dan
ia tahu bahwa Anda, Pak—" Alex menjulurkan lengannya, mengadahkan tangannya ke atas
dengan maksud menunjuk Alex. "Sedang menyelidiki kelompoknya atau setidaknya semacam
itu."
Aku tak menyangkal seluruh selaan Wijaya. Kurang lebih hal yang sama memang akan kuucapkan.
Tampaknya, Wijaya telah tak tahan untuk menuangkan seluruh pemikirannya ke dalam teks yang
terstruktur, dan pada akhirnya bendungan itu pun bocor, terbelah, membiarkan seluruh aliran
pemikiran keluar dari mulutnya.

Aku tersenyum mendengar pemikiran Wijaya sembari memalingkan wajahku padanya. Ia


memberikan reaksi yang positif, kembali melemparkan senyum padaku—seperti biasanya.
Sedangkan Alex tampak bingung dengan analisis yang kami bangun berdua—masing-masing, sih.
Aku tahu, dia tidak bodoh sehingga tak akan mengerti apa yang diucapkan Wijaya, tetapi
tampaknya ia masih tak dapat menerima seluruh analisis yang kuberikan serta Wijaya tambahkan.

Pada akhirnya, Alex mendengus, sedikit tertawa sambil memperlihatkan gigi-giginya yang tidak
begitu putih, tetapi tersusun rapi. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, seolah terkesima akan
analisis yang kami berdua lontarkan.

"Tapi, Pak Roy," Wijaya berkata setelah beberapa detik. "Saya tetap tak setuju dengan rencana
Anda untuk masuk ke dalam organisasi itu. Yang dikatakan Pak Alex mungkin ada benarnya juga."

"Begitu pula dengan apa yang kukatakan, kan?" Aku berkilah dengan cepat. "Maksudku, dia punya
waktu, kesempatan, tetapi dia malah menyia-nyiakannya dan seolah-olah berusaha menarik
perhatianku."

"Bagaimana dengan kondisi Anda, Pak? Anda belum bisa berjalan dengan sempurna."

Benar, walaupun separuhnya tetap salah. Aku terluka, bukan pincang, lagipula tampaknya
beberapa hari lagi keadaanku dapat membaik, kan?

"Kita tak memiliki pilihan," ucapku sambil menyilangkan kedua lenganku tepat di depan dadaku,
sedangkan Alex melakukan hal yang sebaliknya. Mungkin, ia merasa pegal sehingga harus
kembali menaruh kedua lengannya di atas meja. "Ia menulis namaku. Dan kurasa ia berusaha
berhubungan denganku sambil tetap menjaga jarak."

"Bagaimana kau tahu?"


Aku menggeleng. "Aku tidak tahu, aku hanya berpikir bahwa hal itu benar."

Kemudian, di sela pembicaraan kami, Wijaya kembali tertawa kecil, membuatku dan Alex
memalingkan wajah, melihatnya yang tengah berseri-seri dan berusaha menutupi mulut dengan
kedua tangannya.

"Jika Anda merasa hal itu benar, Pak, saya rasa saya tak dapat menyangkalnya," sergahnya secara
segera, menghindari keadaan canggung di mana kami memperhatikan dirinya yang tengah
berusaha memperbaiki kembali alur pernapasannya. "Anda satu-satunya orang sejauh ini yang
saya kenal yang dapat menyelidiki kasus yang telah ditutup." Wijaya berhasil mengatur perutnya
yang sedari tadi sesenggukan. Kini, suara tawanya telah teredam. "Tapi, bagaimanapun, saya tetap
tak setuju dengan ide Anda, Pak. Saya tak dapat memaksa Anda untuk tak melakukannya, tetapi
saya tak dapat mencegahnya."

Alex memandangi kami secara bergantian, terlihat bingung dengan pembicaraan kami, membuat
Wijaya melanjutkan perkataannya.

"Setidaknya kali ini jangan sampai tertembak lagi."

Aku mendorong bahunya, agak keras, membuat ia terpental tetapi tak begitu jauh. Badannya masih
menetap pada posisi sebelumnya, sedangkan aku hanya bisa menertawakan omongannya.

"Baiklah, aku menyerah." Alex mengangkat kedua tangannya seolah-olah ia adalah penjahat yang
berhasil kami bekuk, menunggu untuk kedua tangannya diborgol dan dijebloskan ke penjara. "Aku
tak tahu apa yang ada di pikiran kalian, tetapi terserah kalian. Aku akan mencoba menghubungi
orang-orang dan memberitahu bahwa ada satu orang gila dari divisi pembunuhan yang berusaha
menyelidiki satu pembunuhan—mungkin—dan malah berniat untuk masuk ke dalam sindikat
perampok di mana si pembunuh itu tergabung untuk mengungkapkan motif pembunuhan, identitas
si pembunuh, juga—"

"Jangan buat rencana ini menjadi resmi," kataku, pelan.


Aku memotong pembicaraannya yang dilakukan secara panjang lebar sembari memperhatikan
sekitar. Kosong, sama seperti sebelumnya, hanya ada tujuh orang dan jarak di antara kami
berjauhan. Kurasa mereka tak dapat mendengar omonganku barusan—aku harap.

Kemudian, Alex terlihat bertanya-tanya. Sebelah alisnya dinaikkan, kepalanya dimiringkan dan
melihatku bagaikan seonggok daging yang belum juga matang setelah dimasak selama berjam-
jam. Kemudian, ia bertanya, "Kenapa?"

Sekali lagi, aku berusaha memastikan sekitar, merendahkan nada bicaraku, lebih rendah dari
sebelumnya dan memastikan tak ada siapapun yang dapat mendengarnya.

"Personal," ungkapku singkat, tetapi Alex tampaknya memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Mulutnya menganga, menandakan ia belum paham.

"Si pembunuh itu seolah-olah memanggilku secara pribadi. Dia tak melibatkan kelompoknya.
Apapun itu, kurasa dia sengaja melakukannya. Jika harapannya tak terwujud, ternyata aku
memanfaatkannya untuk meringkusnya, salah-salah mereka malah membunuhku—mungkin kita
semua—terlebih dahulu sebelum kita mendapatkan identitasnya juga identitas bos mereka.
Bukankah kau ingin menghentikan para perampok itu?"

Alex mengangguk berat, tampak malas untuk melakukannya, mungkin berharap untuk tidak
melakukannya, tetapi ia tak dapat menyangkal argumenku.

"Ya," katanya dengan pelan.

"Aku ingin menangkap orang itu atas tuduhan penyerangan dan pembunuhan, sedangkan kau ingin
menangkap yang lainnya atas dasar perampokan. Aku memiliki ide dan hanya aku yang memiliki
akses untuk melakukannya. Kita tak dapat melibatkan semua orang terlebih dahulu. Buat ini
menjadi rahasia. Begitu aku tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, aku akan memberitahu
kalian. Bagaimana?"

Alex berpikir dengan keras. Ia jatuhkan dagu pada kepalan tangannya, menunduk sedikit dan
terlihat berpikir. Sedangkan aku hanya melihat Wijaya yang sedari tadi melepaskan obrolan pada
kami berdua, seolah-olah berusaha keluar dari pembicaraan ini dan tak ingin terlibat. Namun, aku
tahu dia ingin membantuku, hanya saja ia masih tak dapat menerima rencanaku.

Hingga akhirnya, Alex setuju.

"Tapi, tetap harus kuberitahu satu hal padamu," akhirnya Alex melanjutkan pembicaraan. "Kita
harus menunggu sampai kakimu membaik, setidaknya sampai bisa berlarti sehingga koneksi kita
bisa memasukanmu ke dalam sindikat itu."

"Tentu. Aku tak keberatan. Mungkin satu atau dua minggu lagi aku sudah bisa berperan sebagai
seorang manusia, perampok gila yang melakukan seluruh aksinya dalam 60 detik."

===

Satu minggu telah berlalu. Kakiku berangsur membaik. Aku sudah bisa berjalan dengan normal
tanpa sedikitpun menimbulkan kecurigaan bagi orang-orang sekitar dan berusaha menarik celana
panjangku, berusaha meyakinkan dirinya bahwa aku memang pernah terluka.

Kusisir pemandangan sekitar—taman kecil dengan pemandangan hijau sejauh mata memandang.
Melihat orang-orang berwajah tanpa dosa yang berjalan melaluiku. Betapa beruntungnya hidup
mereka, tampak tak memiliki masalah. Ketika seseorang mengalami stereotip yang buruk,
berjuang melawan omongan orang-orang di sekitar karena telah terlanjur mengambil jalan yang
salah, orang-orang ini masih dapat berjalan dengan bebas, tak mengetahui masalah yang ada.

Seorang lelaki yang berjalan santai di balik jaketnya, seorang wanita yang sengaja membawa
anjingnya untuk berjalan-jalan di pagi hari, serta seorang pria bertopi yang tampaknya tengah
memperhatikanku—lelaki itu.

Aku beranjak dari tempat dudukku, sesegera mungkin. Mengempaskan tubuhku keluar dari zona
nyaman, berlari menuruni anak tangga dan mengambil sisi kanan, berusaha menarik kerah lengan
lelaki itu. Namun, sialannya, sesegera mungkin aku berada di sana, lelaki itu telah tiada.
Taman ini memiliki pohon-pohon yang tinggi menjulang. Ia bisa kabur ketika perhatianku
teralihkan pada anak tangga, ketika aku tak ingin terjatuh. Namun, bukan berarti orang itu dapat
menghilang dengan segera, bukan?

Aku mencari, terus mencari hingga napasku terasa sangat tipis—tercekik. Seluruh penjuru taman
ini, aku terus mencarinya, bahkan hingga ke dalam bilik-bilik toilet yang biasanya selalu kuhindari.
Tak ada siapapun. Kosong.

Dia menghilang begitu saja, bagaikan angin yang berembus menunjukan jalan. Hilang. Setiap aku
berjalan satu langkah di belakangnya, dia selalu melesat meninggalkanku.

Dia mengawasiku—benar. Namun, rencana ini tampaknya akan berjalan dengan mulus. Seperti
yang kukatakan, orang itu mencariku secara personal bukan kelompok. Aku tak tahu apa
alasannya. Namun, bagaimanapun aku tak dapat lengah.

Aku harap semua akan baik-baik saja.


6. Sinnerman

Embusan napasku melayang di udara. Tak terlihat, tetapi aku bisa merasakannya. Mobil ini
dipenuhi oleh hawa panas beserta keringat yang menjalar keluar dari dalam tubuhku. Memang,
sengaja kumatikan mesin mobil dan tak kunyalakan pengatur suhu. Meskipun kuturunkan jendela,
tetapi tidak sepenuhnya udara dari luar dapat menembus masuk ke dalam teritori ini. Aku tidak
membukanya secara menyeluruh, hanya sebagian kecil agar aku tak kehabisan oksigen di dalam
mobil.

Memang, sedikit aneh, padahal hari sudah malam. Namun, keringatku terus bercucuran.

Rencana kami akan dilaksanakan dalam waktu yang tak begitu lama. Informan Alex memberitahu
lokasi perampokan selanjutnya tanpa keterangan waktu yang jelas, membuatku dan Alex terpaksa
menunggu lama, menguji keberuntungan kami di malam hari. Sedangkan Wijaya sengaja
memosisikan diri untuk duduk pada bangku di depan minimarket, berpura-pura sedang menikmati
kopi hangat yang sengaja disediakan oleh minimarket sambil mengotak-atik ponselnya.

Beberapa minggu setelah rencana kami buat, pada akhirnya kami akan mengeksekusinya.

Kakiku sudah baikan, aku mulai bisa berlari meskipun tak kulakukan secara intens—mencegah
hal yang buruk terjadi. Selain itu, sebagai bentuk keyakinanku untuk melaksanakan rencana ini,
aku mulai berolahraga, mencoba meyakinkan mereka bahwa aku memiliki kemampuan fisik yang
tidak dapat dianggap remeh, termasuk dalam melakukan tindak kejahatan. Aku harus
mempersiapkannya.

Semilir angin meniup daun-daun di pepohonan, membuat suasana gelap terasa semakin menjadi-
jadi. Sebuah minimarket dua puluh empat jam berada di hadapan kami. Cahaya putih berkilauan
pada atap minimarket, menandakan bahwa tempat itu memang sedang buka. Pintu kaca
memperlihatkan dua orang pegawai kasir yang sedang menata sekumpulan bungkus rokok yang
dipajang sedemikian rupa sehingga terlihat apik dan menarik.

Biarpun sebenarnya kami dapat memarkirkan mobil lebih jauh, tetapi kami tak ingin mengambil
resiko itu. Jarak antara mobilku dan minimarket mungkin sekitar enam atau tujuh besar rumah
yang berada terletak di sisi jalan. Sengaja kuparkirkan mobil di depan rumah seorang warga,
mencoba berkamuflase sehingga jika seandainya pun para perampok itu merasakan sesuatu yang
janggal mengenai keadaan yang ada saat ini, aku harap mereka tak mencapai konklusi bahwa kami
sedang menunggu mereka.

Rencana yang kami buat cukup sederhana. Wijaya berperan sebagai eksekutor sedangkan aku dan
Alex sebagai support seandainya terjadi hal yang tidak kami inginkan. Begitu mereka muncul,
Wijaya hanya perlu menarik diri, menjauh dari target tetapi tidak begitu jauh. Menunggu mereka
semua beraksi, dan sebelum detik keenam puluh, Wijaya hanya perlu melumpuhkan beberapa di
antara mereka, membuat serangan kejutan dan kuharap itu dapat membuat mereka panik. Malam
yang gelap tentu menjadi nilai tambah bagi Wijaya, karena mereka tidak dapat melihatnya dengan
jelas, sedangkan dengan penerangan yang ada di minimarket itu, aku yakin Wijaya dapat mengunci
targetnya dengan sempurna.

Seandainya terdapat kesalahan, maka aku dan Alex hanya perlu keluar dan membantu Wijaya,
bersiaga untuk menembak seandainya memang diperlukan.

"Ini pertama kalinya informan kami mengetahui lokasi perampokan mereka selanjutnya," beritahu
Alex padaku di sela-sela kebosanan kami. Ia mendongak, melihat ke atas, tetapi entah
memperhatikan objek apa karena kurasa tak ada benda yang dapat diidentifikasi olehnya selain
penghalang sinar matahari yang tak digunakan. "Biasanya kami kesulitan untuk mengetahui lokasi
perampokan mereka selanjutnya."

"Sebuah keberuntungan, mungkin?"

"Sangat beruntung," timpalnya. Dan aku harap keberuntungan ini tak berakhir sampai di sini saja.
Setidaknya, aku tetap membutuhkan hal itu seandainya ikut tergabung ke dalam kawanan
perampok yang menjadi incaranku sekarang ini.

"Kau tidak khawatir dengan rekan kerjamu itu?" Alex memicingkan kedua matanya,
memfokuskan retina matanya untuk melihat segala gerak-gerik Wijaya. Tubuh Wijaya terlihat
seperti semut kecil yang menempel pada jendela, kecil dan hampir tak terlihat. Namun, kurasa ia
hanya memainkan ponselnya, keluar dan masuk menu utama. "Maksudku, dia sendirian di sana,
akan menghadapi lima orang perampok bersenjata. Aku tahu serangan kejutan seperti yang kau
canangkan cukup baik untuk membuat para perampok itu kocar-kacir, tetapi tetap saja. Aku tidak
ingin dia ditembak dan dijadikan manusia guling—babi guling versi kanibal." Alex mengeluarkan
selera humor rendahannya, sungguh. Bahkan, nada bicaranya saja tak mendukungku untuk tertawa
sedikitpun.

"Dia tahu apa yang sedang dilakukannya," balasku. "Aku tak pernah mendapatinya melakukan
kejar-kejaran antara detektif dan pembunuh atau melakukan baku tembak di medan perang. Tetapi
aku yakin dia tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi genting. Dia bisa berpikir cepat."

"Kau sendiri pernah melakukan aksi heroik yang tolol?"

"Dua atau tiga kali. Empat jika luka tembak di kakiku ini termasuk dalam salah satu daftar aksi
heroik." Untuk sesaat kembali kucoba untuk melihat luka pada betis kananku yang tak dapat
kulakukan karena terhalang oleh komponen-komponen mobil, Dashboard luas dan gelap cukup
membuat mataku gelagapan untuk mencarinya. "Percaya atau tidak, dulu aku benar-benar
tempramen."

Aku ingat beberapa kali pernah baku hantam dengan rekan kerjaku dulu—Yudha—yang sekarang
telah menjadi atasanku hanya untuk memutuskan suatu kasus, pembunuhan atau bunuh diri. Saat
itu, aku dan Yudha—yang sekarang telah menjadi Komisaris—mengunjungi sebuah apartemen
tempat di mana korban ditemukan tenggelam di sebuah bathub kecil dengan keran air yang masih
menyala. Ruangan terkunci. Korban ditemukan telanjang oleh temannya yang berencana bermain
bersamanya—kegiatan anak kuliah di masa senggang.

Aku berpikir bahwa anak itu adalah korban pembunuhan karena tak dapat menentukan motif yang
tepat sehingga anak itu memilih untuk bunuh diri. Maksudku, kenapa ada seorang anak yang
hendak berkumpul bersama teman-temannya, kemudian memutuskan untuk bunuh diri?
Sedangkan Komisaris Yudha menganggap itu adalah bunuh diri. Tentu bukan tanpa alasan, dia
melihat lingkungan yang ada. Tertutup dan tak ada orang yang keluar. Dari kamera CCTV pun,
kami tak menemukan ada seseorang yang keluar masuk pintu apartemen walaupun aku menduga
kamera itu tetap dapat dimanipulasi.
Kenyataannya? Sungguh tolol. Penyelesaian kami berdua tak ada yang tepat. Jantung anak itu
lemah, berhenti tepat ketika ia akan berendam dan naasnya ia tercebur ke dalam bathtub berisi air
hangat. Kepalanya terperosok masuk ke dalam sedangkan bagian bawah tubuhnya terlihat seperti
berlutut, membuat siapapun menduga bahwa kepala anak itu sengaja dipaksakan untuk menyelam
ke dalam air. Tololnya, aku dan Yudha berkelahi untuk masing-masing hal yang tidak tepat.

Ketika aku bekerja bersamanya dulu pun, beberapa kali pernah kukejar tersangka pembunuhan.
Ketika ia tak dapat berkutik, aku dan Yudha berlari setengah mati, mencoba menarik kerah baju
tersangka yang pada akhirnya menuju atap gedung dan memilih untuk mengakhiri hidupnya
daripada harus tinggal di balik jeruji besi. Tentu, hal itu membuat reputasiku buruk. Aku
mendapatkan suspen serta penahanan kenaikan pangkat karena kinerjaku yang buruk. Pada saat
itu, aku benar-benar merasa tolol dengan tak berpikir lebih jauh mengenai keadaan tersangka. Dia
hanya lelaki biasa, melakukan satu kesalahan karena pikirannya menjadi gelap dan melakukan
pembunuhan, tetapi aku terlalu memaksanya untuk menyerahkan diri sehingga ia memilih jalan
yang lain.

Mulai saat itu, aku selalu mencoba bersikap tenang, walaupun acap kali aku kelepasan untuk
menyelidiki satu kasus lebih jauh hingga kakiku ditembak oleh orang asing. Kurasa insting
seseorang tak dapat dihilangkan semudah itu. Namun, kurasa keadaanku sekarang jauh lebih baik.

"Ketika kerabat-kerabatku tahu bahwa aku bekerja di bagian perampokan, mereka selalu berpikir
bahwa aku adalah jenis orang yang menggerebek tempat para perampok, menembakkan senjata
api ke kaki tersangka untuk membuatnya lumpuh atau hal-hal semacam itu." Alex mendengus
pelan. "Orang tuaku pun berpikir seperti itu. Mereka tak pernah menyangka bahwa aku adalah
orang yang bekerja di atas kertas, menganalisis kejadian untuk perampokan."

"Mereka memang tidak tahu, kau tak dapat menyalahkannya."

"Bagaimana denganmu?"

"Apanya?"
"Keluargamu, teman-temanmu, ketika mereka tahu bahwa kau bekerja menangani kasus tidak
seperti di game-game yang banyak beredar. Tidak seperti Sherlock Holmes. Mereka pasti kecewa,
kan?" Alex tertawa kecil, seolah-olah ia sudah tahu jawabannya.

"Orang tuaku sudah meninggal dan aku anak tunggal."

Tawanya berhenti secara tiba-tba. "Oh, maaf." Alex segera menggaruk kepalanya, menyibakkan
rambut hitam dan membuat beberapa helai rambut jatuh menimpa pundaknya. "Aku tidak
bermaksud menyinggung ke sana."

"Kau tidak tahu," kataku. "Aku tak menyalahkanmu. Selain itu, jika teman-temanku mengadakan
reuni sekolah, mungkin aku adalah orang yang paling terakhir untuk diingat. Mungkin pula lebih
dari itu, mereka tak menyadari bahwa aku tak hadir."

"Kau tidak benar-benar serius, kan?"

Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku super serius. Namun, tampaknya tatapan tajamku sudah
cukup menjelaskan semuanya. Alex menenggak ludahnya sehingga kerongkongannya berbunyi.

"Aku pikir orang yang tempramen akan sangat diingat oleh teman-teman sekolahnya."

"Aku orang yang keras kepala," beritahuku. "Tetapi ketika aku sekolah dulu, aku lebih memilih
untuk diam daripada dimusuhi oleh seluruh teman sekelas. Mungkin ketika aku bekerja, aku tak
dapat memilih untuk diam karena aku merasa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kasus
yang kutangani berjalan dengan baik. Aku sering memaksakan pemikiranku pada rekan-rekan
kerjaku."

Alex mendengarkan dengan seksama. Ia memalingkan wajahnya, tetapi aku masih fokus untuk
mengawasi Wijaya dan kasir-kasir toko yang berada di dalam, memastikan jika seandainya
perampok itu telah datang.

"Wijaya tahu benar akan hal itu," lanjutku.


Alex mengetukkan jari telunjuk dan jari tengah kanannya ke atas dashboard, seolah-olah ingin
meledakkan airbag yang ada di dalamnya. "Oh, jadi karena itu Wijaya bilang dia tak bisa
menghentikanmu ketika kau membicarakan rencana ini?"

Aku tertawa kecil, terdengar menyepelekan dengan napas yang menderu-deru. "Mungkin."

Entah sudah berapa jam aku dan Alex mengobrol, membicarakan berbagai topik tak penting yang
tak ada hubungannya dengan rencana kami sekarang ini, seolah-olah berusaha untuk
menghilangkan hawa gerah yang membuat keringat kami bercucuran. Oh, ya ampun, malam yang
sangat aneh. Di sisi lain, aku sedikit merasa kasihan pada Wijaya karena ia berada di seberang
sana. Aku tahu, pukul sebelas malam, sendirian dan hanya ditemani segelas kopi bukanlah
pengalaman yang begitu menyenangkan untuk orang semacam Wijaya. Walaupun ia terlihat
mengotak-atik ponselnya, aku sedikit ragu bahwa ia sedang berkomunikasi dengan seseorang. Hari
ini adalah minggu kerja, dan kurasa kebanyakan orang telah tidur.

Di samping itu, aku menguap beberapa kali. Rasa kantuk mulai menjalar pada tubuhku. Bahkan,
aku sengaja menyiapkan permen karet untuk berjaga-jaga seandainya aku tertidur secara tak
sengaja. Setidaknya, ada kegiatan yang dapat kulakukan seandainya itu terjadi.

Alex pun sama, bedanya dia meminta permen karet dariku.

Kemudian, beberapa jam lagi telah berlalu. Hari telah berganti, empat puluh menit telah berjalan
untuk hari yang baru, tetapi kami tak mendapatkan appaun. Wijaya mulai gelisah. Sang kasir
beberapa kali mendekati Wijaya, tetapi aku tak tahu percakapan apa yang mereka bicarakan. Aku
hanya melihat gestur di antara mereka, bagaimana Wijaya memberikan lengannya, membuat
telapak tangannya terangkat dengan kelima jari yang dibukakan. Gestur untuk mengatakan 'tidak',
membuatku menduga bahwa sang kasir bertanya mengenai masalah yang sedang dihadapi oleh
Wijaya dan ia berkata bahwa tidak ada masalah.

Aku dan Alex pun semakin gelisah. Bajuku sudah basah kuyup, tetapi tekadku untuk tak
menyalakan pengatur suhu tetap kuteguhkan. Aku tak ingin mereka mendengar suara pengatur
suhu yang menyala pada mobil yang terparkir.
Beberapa jam berlalu kembali. Tanpa sadar, kedua mataku tertutup untuk sekian detik, beberapa
kali. Microsleeping, sehingga aku mulai mengunyah permen karetku. Lalu, seolah menjadi
bayanganku, Alex melakukan hal yang sama.

Semakin lama, harapanku semakin pupus. Fajar mulai menyingsing, jalanan berubah warna
menjadi coklat keemasan akibat sinar matahari yang mulai menerpa permukaan kota Bandung.
Bahkan, para pekerja minimarket itu telah berganti shift. Dua orang pria yang sebelumnya
kuperhatikan membersihkan minimarket dengan seragam biru mereka pada akhirnya pergi,
digantikan oleh seorang lelaki bertubuh gempal dengan otot lengan yang keras serta wanita pendek
dengan tinggi sekitar 150 sentimeter dengan seragam yang sama.

Jantungku semakin berdegup kencang. Kedua tangan kurekatkan dan kusimpan tepat di depan
mulutku. Aku menimbang-nimbang apa yang sebenarnya sedang terjadi dan apa yang harus
kulakukan selanjutnya. Namun, semakin lama aku berpikir, kusadari bahwa hari sudah semakin
pagi. Aku melewatkan malam tanpa tidur.

Kedua mataku kukerjapkan beberapa kali.

"Alamatnya benar, kan?" Kupastikan bahwa tak ada kesalahan dari kami. Alex mengangguk, dan
artinya alamat yang diberikan oleh informan itu tidaklah salah. Namun, tak ada kejadian apapun,
bahkan hingga ayam telah berkokok.

Para perampok itu tidak datang.

Aku menghela napas. Kubuat panggilan melalui ponsel untuk menghubungi Wijaya. Untungnya,
baterainya masih ada biarpun menurut pengakuan Wijaya sudah berada dalam kondisi lemah.
Ketika aku memintanya untuk kembali, ia mengangguk setuju sambil bergumam dalam keadaan
mengantuk. Suaranya serak, hampir seperti panggilan yang dilakukan dalam keadaan sinyal jelek.
Kemudian, segera setelahnya, ia beranjak dari kursi dan segera merekatkan resleting jaketnya,
membuat bagian tubuh atasnya semakin tertutup.

Sekali lagi, aku benar-benar berharap bahwa perampok itu datang. Aku berharap bahwa saat ini
aku tengah tertidur dan waktu pada dunia nyata belum menunjukkan pukul dua belas malam.
Namun, tidak seperti itu. Aku tengah tersadar saat ini, aku tidak tidur. Aku mencubit pipi dan dapat
kurasakan sakit yang membuatku yakin bahwa aku tidak sedang tertidur.

Aku dan Alex saling beradu pandang, menyadari bahwa pekerjaan yang kita lakukan saat ini tidak
membuahkan hasil.

Para perampok itu tidak datang.

Kenapa? Atau mungkin lebih tepatnya, bagaimana mungkin?


7. Shadow on the Sun

Kehidupan yang mudah tentu akan membuat manusia menjadi lemah. Ketika seseorang
mengajarkan kerabatnya untuk memakan ikan, maka selamanya sang kerabat akan mengalami
ketergantungan pada orang itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, seandainya orang
itu mengajarkan untuk memancing ikan, maka sang kerabat dapat bekerja secara mandiri untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan siapapun tahu bahwa memakan ikan yang telah tersedia tentu
lebih mudah dilakukan daripada harus memancingnya terlebih dahulu—asumsikan orang itu tidak
alergi makanan laut.

Tentu, sebuah tantangan dalam kehidupan amat diperlukan oleh manusia agar ia dapat bertahan
hidup di dunia seperti ini. Namun, jika hal itu berkaitan dengan pekerjaan, aku lebih memilih untuk
selalu menerimanya dan menghabisinya dengan sukses daripada harus membiarkannya meninju
kehidupanku, membuatnya babak berlur. Namun, yang terjadi saat ini adalah kebalikannya.

Berulang kali pikiranku bertanya-tanya, apa yang harus kulakukan? Aku terlalu meremehkan
mereka untuk tak menyadari bahwa aku sedang mengawasi mereka, mencari pergerakan mereka
selanjutnya untuk menginterupsi seluruh kegiatan yang akan mereka lakukan. Dan kini, ketika
mereka membalasnya dengan tidak menampakkan batang hidungnya, aku kebingungan.

Beberapa kali kupastikan agar otakku memberikan kemungkinan yang terbaik, tetapi pernyataan
Alex setelahnya membuatku tak dapat berpikir lebih jauh selain mereka menyadari keberadaanku,
mungkin juga dengan Wijaya dan Alex.

"Koneksi kita terputus," beritahu Alex. Tentu, maksudnya adalah ia tak dapat menghubungi
kembali sang informan dengan cara yang sama. Membuatku berasumsi bahwa orang itu ketahuan.
Brengsek, memang. Kebocoran informasi yang kudapatkan tidak sepenuhnya merupakan sebuah
keberuntungan. Aku bertanya-tanya, apa yang terjadi pada orang itu? Apakah dia ketahuan atau
hanya menjaga jarak untuk sesaat agar tak menimbulkan kecurigaan?

Namun, semakin lama aku memikirkannya, pikiranku semakin kelut. Orang itu tak dapat
dihubungi tepat setelah ia memberitahu Alex lokasi perampokan selanjutnya. Siapapun yang
menyelidiki kasus itu, tentu tak dapat berpikir jauh, berkutat pada ketahuannya sang informan.
Mungkin lebih buruk—mereka membungkamnya. Brengsek. Harusnya ketika Alex mengatakan
bahwa mereka membuat strategi yang cerdas, aku mempertimbangkan kemampuan analisis
mereka dalam menemukan pengkhianat yang ada di antaranya.

Bertumpu pada meja, siku kiriku menopang beban kepala yang sengaja kutempelkan di antara ruas
jariku. Di sisi yang lain, lengan kananku mengetuk meja berkali-kali. Aku tak ingat telah berapa
lama melakukannya, mungkin dua puluh atau tiga puluh menit dengan pikiran yang semrawut
hingga secara tiba-tiba Wijaya muncul dari balik pintu ruanganku.

Aku yang terlihat seperti pengangguran segera merapikan baju dan menepuk bagian pinggul
beberapa kali sambil merapikan bagian baju yang sedikit keluar untuk kembali masuk ke dalam
celanaku sambil bertanya padanya.

"Ada informasi lanjutan?"

Namun, Wijaya menggeleng. "Tidak ada, Pak."

Aku menarik napas dalam sambil memejamkan mataku. Sejujurnya, dalam hati aku telah
menggerutu, mengucapkan kata brengsek sebanyak empat kali. Tetapi, aku berusaha untuk terlihat
tenang dan menjaga emosi.

Sebelumnya Alex memberitahu bahwa para perampok itu hanya akan merekrut anggota baru
seandainya satu atau lebih dari mereka tertangkap. Sebisa mungkin, mereka akan membunuh
kawanannya sendiri, menutup mulutnya agar tak memberikan informasi apapun. Namun,
pekerjaan itu tentu tak dilakukan oleh mereka, melainkan para calon anggota mereka dan
seharusnya aku mempertimbangkan itu. Sialan, aku pikir aku bisa memanipulasi dengan mudah
kematian para perampok yang kurencanakan untuk ditangkap, semuanya di luar dugaan.

"Pak Alex masih berusaha mencari cara untuk menghubunginya," beritahu Wijaya. "Saya tidak
ingin mengatakan ini, Pak, tetapi dengan asumsi terburuk, mungkin hubungan kita benar-benar
terputus."

"Dan akulah yang menyebabkan semuanya," timpalku dengan segera sambil menolehkan wajahku
pada bagian ruangan yang lain, dinding gelap dingin yang tak diberi hiasan apa-apa.
"Saya rasa tidak seperti itu juga, Pak, mungkin hanya kebetulan."

"Benar. Tetapi bukan berarti tak mungkin karena aku mencanangkan rencana itu, kan?" Akhirnya
kukembalikan palingan wajahku pada Wijaya. "Aku tak ingin terdengar seperti orang melankolis
yang bodoh dengan menyalahkan diriku sendiri. Tapi, demi apapun—" Aku berusaha mencari
kalimat yang tepat. "Aku merasa ikut campur dalam urusan orang lain dan aku mengacaukannya."

Wijaya tak mengatakan apapun. Aku yakin, dalam hatinya dia sangat setuju, hanya saja ia tak ingin
membuatku tersinggung dengan mengatakan itu secara gamblang. Sebagai gantinya, lelaki itu
malah diam terpaku, berdiri seperti orang-orangan sawah yang hanya bisa digerakan oleh petani
untuk mengusir burung pemakan padi.

Lalu, selang beberapa detik, akhirnya Wijaya berkata, "Saya mengerti, Pak." Kemudian, segera
setelahnya ia pamit meninggalkan ruangan, kembali membiarkanku berdua bersama pikiranku
yang kusut.

Seperti yang kukatakan, aku tak suka terdengar menyalahkan diriku sendiri atas segala kesalahan
yang terjadi, membuatku seperti remaja edgy yang mencoba menarik perhatian. Namun, kondisi
yang berbeda terjadi saat ini. Jika kesalahan itu hanya melibatkan diriku serta kasus yang
kutangani, aku tidak akan terlalu mempermasalahkan hal itu. Sialannya, pekerjaan Alex terganggu
olehku. Satu-satunya hal yang dapat kupertimbangkan untuk memperbaikinya adalah kembali
menyelidiki para perampok itu, mencari tahu siapa bosnya dan meringkus secara langsung,
menyebabkan mereka tak akan melakukan kejahatan yang sama lagi seandainya tak ada pemimpin
yang baru. Namun, koneksi yang terputus tentu membuatku sulit untuk menyusup ke dalam
kelompok itu.

Aku telah melihat peta, mencari tahu di mana lokasi-lokasi yang pernah menjadi incaran mereka,
tetapi aku tetap tak menemukan titik terang. Tak berpola, seolah-olah mereka bekerja berdasarkan
urutan nomor yang acak. Aku tak dapat memprediksinya. Beberapa kali mereka melakukan
kejahatannya di daerah utara, kemudian secara tiba-tiba mereka melakukannya di daerah selatan.
Kemudian terbang ke barat dengan kuantitas yang tak menentu. Cepatnya pergerakan dan sulitnya
mengidentifikasi wajah mereka—biarpun ada—membuat kepolisian tak dapat bergerak dengan
lincah. Selain itu, umumnya mereka menggunakan sepeda motor yang berbeda-beda. Hasil
pencurian—mungkin. Yang artinya mereka pun melakukannya dengan baik karena hingga saat ini
kepolisian tak berhasil menangkapnya, berbeda dengan para begal yang melakukan aksinya secara
terang-terangan, menangis ketika tahu bahwa kehidupannya akan terancam di dalam penjara.

Bagaimana aku dapat terhubung dengan mereka lagi?

Kutarik lenganku kuat-kuat, meregangkan sendi-sendi yang mengikat bagian lengan dengan
tubuhku sambil tetap memikirkannya. Tak ada koneksi lagi. Tentu hal itu sangat buruk. Aku tak
dapat menunggu mereka melakukan aksinya dengan berharap pada keberuntungan—hampir tak
mungkin. Satu-satunya informasi yang bisa kudapatkan hanyalah pembunuhan yang dialami oleh
Pak Goto, tak ada yang lain, atau mungkin aku hanya belum menemukan yang lainnya saja.

Kemudian, aku menimbang-nimbang segala konsekuensi lain yang mungkin akan kuterima. Untuk
saat ini, aku lebih memilih untuk menghindari tatap muka Alex daripada harus berpapasan dalam
keadaan yang canggung dan suasana yang tidak nyaman. Aku sendiri tak ingin melibatkan Wijaya
sebagai seorang rekan kerja karena tentu saja penyelidikan yang akan kulakukan tidaklah resmi.
Semua telah memutuskan bahwa kematian Pak Goto didasari atas dasar perampokan, bukan
pembunuhan, mereka tak akan mengizinkanku menyelidiki kasus itu dengan membukanya
kembali tanpa alasan yang kuat. Selain itu, putusnya kontak informan kami dengan para perampok
itu menambah nilai pendukung agar kasus yang terjadi pada Pak Goto dinyatakan sebagai kasus
perampokan. Jelas, mereka akan mengasumsikan bahwa Pak Goto pun menyelidiki perampokan
itu dengan menggarap beberapa informasi keuangan seperti uang transfer yang mencurigakan atau
semacamnya.

Orang-orang, selain aku Wijaya dan Alex—secara tidak langsung Loka—mungkin tak pernah
menanggapi tiga kertas yang terselip di saku baju Pak Goto sebagai sesuatu yang aneh. Aku tak
tahu bagaimana mereka akan menyimpulkannya, tetapi aku sendiri belum mendengar kabar
terbaru mengenai penjelasan yang logis dari mereka, apa arti dari coretan-coretan itu ketika aku
sendiri mengasumsikan bahwa tulisan itu merujuk pada namaku.

Pada akhirnya, aku telah memutuskannya. Mungkin, menyelidiki kematian Pak Goto adalah jalan
terbaik yang dapat kulakukan. Aku tak memiliki pilihan lain yang lebih baik.
===

Mengambil informasi mengenai aparat kepolisian bukan tersangka kasus pembunuhan masih
menjadi hal yang aneh bagiku. Tombol-tombol keyboard sedikit basah karena keringat tanganku
seolah menjadi benda sakral dan menyimpan beragam kutukan bagi siapapun yang memiliki dan
membacanya. Aku mengambil berkas ini melalui akses jaringan lokal pada gedung kantorku. Basis
data menyimpan berbagai dokumen dalam bentuk teks beserta gambar yang bersesuaian.
Komputer bututku seolah terpaksa didiamkan sebagaimana adanya untuk mendukung server yang
baik, sehingga semua polisi yang bekerja di tempat ini dapat mengaksesnya dengan mudah.
Walaupun sebenarnya terdapat penyimpanan dokumen fisik, tetapi penyimpanan data berbasis
komputer sudah mulai digunakan di tempat ini. Lebih efisien dan tetap minim penyerangan karena
data disimpan secara lokal. Walaupun begitu, tentu diperlukan perangkat pendukung yang tidaklah
murah. Menyimpan berkas kasus yang terkumpul selama bertahun-tahun saja memerlukan gudang
penyimpanan yang amat luas, artinya spesifikasi komputer yang digunakan pun harus memumpuni
dalam penyimpanan data untuk gudang besar yang sama.

Pak Goto pria kelahiran tahun 1985, lima tahun lebih muda dariku. Berasal dari Jawa Tengah,
tetapi masuk ke dalam akademi kepolisian di Jawa Barat. Memiliki pangkat Ajun Komisaris Polisi,
sama sepertiku. Memiliki seorang istri dan dua orang anak. Alamat rumahnya terletak cukup dekat
dari rumahku, memerlukan waktu sekitar setengah jam perjalanan menggunakan mobil dengan
memperhitungkan kemacetan yang ada. Rekap kinerjanya pun sebenarnya tak begitu menarik
perhatian. Kasus-kasus biasa, tidak pernah mendapatkan penghargaan lebih karena menyelidiki
kasus sulit maupun mendapatkan penahanan kepangkatan karena melanggar kode etik kepolisian.
Jenis orang yang sangat biasa. Aku tidak bermaksud untuk jahat, tetapi tampaknya wajar jika aku
tidak ingat dengan dirinya.

Pak Goto sendiri pernah tergabung ke dalam kejahatan lalu lintas selama beberapa tahun. Namun,
pada akhirnya dia dipindahkan pada bagian keuangan. Aku tidak tahu alasannya, tetapi kurasa
karena lelaki itu tak begitu menyukai pekerjaan yang banyak turun ke jalan—makna secara
denotasi. Lebih suka bekerja sendiri dan melakukan penyelidikan atas dasar kecurigaan daripada
mengejar tersangka seperti yang banyak terjadi pada bagian lalu lintas. Hal itu tidak tertuliskan,
aku hanya menduganya.
Pak Goto adalah salah satu orang dari orang-orang biasa yang ada di mana saja. Tak pernah
berhubungan dengan perampokan, membuatku bertanya-tanya untuk apa lelaki itu membunuh Pak
Goto? Apakah atas dasar ini juga pada akhirnya orang-orang memutuskan untuk menutup kasus
ini sebagai kasus perampokan? Apakah karena memang tak ada motif yang tepat?

Namun, tentu aku mendapatkan satu kesimpulan lain yang tak dipikirkan oleh orang-orang. Si
perampok itu membunuh Pak Goto karena ingin menarik perhatianku.

Sekali lagi, kurasakan sesak di dada. Jika memang begitu adanya, rasanya aku benar-benar ingin
menginjak kepala lelaki itu hingga pecah.

Tanpa sadar, tanganku terkepal, bersiap untuk memukul. Aku menggeram, napasku menderu.
Sialan, gerutuku.

Kututup jendela aplikasi, membuat tulisan-tulisan putih dengan latar hitam menghilang begitu saja
dari pandanganku, memberikan tampilan latar pegunungan berwarna hijau mencuat segera
setelahnya. Namun, aku tak ingin berlama-lama. Kumatikan komputerku setelah menyalin data
dokumen mengenai Pak Goto pada ponselku, membiarkan kabel USB tersambung dan secara ajaib
memindahkan data yang ada pada komputer pada ponselku. Layar telah mati, menghitam,
merefleksikan bayangan diriku. Kumis yang semakin memanjang dengan potongan janggut yang
tak rapi serta jambang yang telah tumbuh menyeruak seperti rumput liar. Rambut pendekku
tumbuh seperti akar serabut, hanya saja dengan intensitas yang lebih tinggi. Lurus, tetapi agak
keras, membuatnya terlihat tumbuh memanjang ke atas.

Aku tidak begitu sering bercermin dan hal itu cukup membuatku terkejut. Penampilanku
berantakan. Kurapikan rambutku, menyisirnya dengan sela-sela jari dan menarik bagian-bagian
rambut ke belakang yang percuma saja karena pada akhirnya rambutku kembali pada posisi
awalnya.

Pada akhirnya, aku menarik diriku ke atas, mendorong kursi yang sedari tadi kududuki dan segera
berjalan keluar ruangan. Di antara lorong yang entah sudah berapa ribu kali kulalui, aku tetap dapat
merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Jantungku tak henti-hentinya berdegup kencang.
Aku harus menyelesaikan semuanya sampai beres, memperbaiki semuanya hingga kesalahan ini
dapat dimaafkan. Selama itu, aku berjanji tak akan pernah mengontak Alex terlebih dahulu. Aku
tak dapat memaafkan diriku sendiri seandainya aku tak memperbaiki kesalahanku. Oh, sialan.

Setengah berlari, kembali kuambil ponselku, merogoh kantong dan beraharap tak adanya lubang
pada bagian bawah sehingga secara tak sengaja ponselku bisa terjatuh. Membuka kunci,
memeriksa dokumen yang sebelumnya telah kupindahkan. Segera setelahnya, aku berusaha
mengingat-ngingat alamat yang tertera pada kertas digital itu, utamanya adalah nomor rumahnya.
Menguapkannya berulang-ulang pada mulutku dengan sangat pelan, membuatku terlihat seperti
bersiul daripada bergumam. Aku tahu, biarpun dia dibunuh di gang tempat rumahnya berada, aku
tak pernah tahu secara pasti nomor rumahnya—tak sempat mengetahuinya.

===

Aku telah sampai. Rumah yang sedikit kecil bagiku tampak di hadapan wajahku. Namun, dengan
nuansa abu-abu yang cemerlang, rumah ini memberikan kesan nyaman bagi siapapun yang
melewatinya. Halaman depannya tidaklah begitu luas, mungkin hanya memiliki panjang lima
meter dan dua meter lainnya yang menjorok ke dalam. Sandal-sandal berserakan di depan
rumahnya dengan pintu gerbang kecil setinggi dadaku. Rumah ini tampak ramai. Pintunya tak
terbuka, tetapi dari jumlah sendal yang ada di depan, mungkin empat atau lima orang berada di
dalam rumah ini.

Aku membuka pagar, kemudian mengetuk pintu tanpa melepas sepatuku dan seorang wanita
berumur sekitar tiga puluhan muncul di hadapanku. Dalam keadaan terbuka, aku tahu bahwa diriku
ini—sekarang—sedang menjadi pusat perhatian. Pasang mata tertuju ke arahku, termasuk tiga
orang anak kecil berbaju putih yang tengah duduk di lantai, melihatku seolah aku adalah monster
asing yang siap menerkam mereka. Namun, mereka tak memberikan reaksi berlebihan. Mereka
hanya bengong.

Kurasa, saudara-saudara dari keluarga yang ditinggalkan sedang berkunjung. Walaupun kejadian
itu telah lewat dari seminggu, tampaknya mereka tak dapat melupakan sosok lelaki itu begitu saja.
Bahkan, sang wanita yang membuka pintu ini pun terlihat bersedih. Matanya sembab dan
memerah. Hidungnya sesenggukan biarpun tidak terlalu diperlihatkannya.
Aku memperkenalkan diri, dan perempuan itu menerimaku dengan baik. Mungkin, karena ia
menganggap bahwa aku adalah salah satu teman dari Pak Goto. Seragam polisiku yang kusut
bergerak seirama dengan ayunan tanganku. Perempuan itu mempersilakanku untuk masuk, tetapi
aku tak ingin mengganggu susana yang ada. Aku bukan keluarga mereka dan aku tak ingin
mnghancurkan momen yang ada. Tidak sopan jika aku menginterupsi mereka—orang-orang yang
sedang bersedih.

Pada akhirnya, perjalananku pun menjadi sia-sia walaupun tidak sepenuhnya. Perempuan itu
memberitahu bahwa ia adalah istri dari Pak Goto, sehingga kuputuskan untuk mengunjunginya
lagi di malam hari, setidaknya kuharap para tamu itu telah pergi dan aku bisa berbicara dengan
perempuan ini secara privasi. Aku tak dapat mengejutkan mereka dengan mengatakan bahwa
aku—orang gila yang dengan seenaknya ikut campur dalam kasus ini—merasa bahwa kasus ini
melibatkanku, karena ketololanku, karena si pembunuh itu berusaha berkomunikasi denganku dan
sekarang aku berusaha untuk menemuinya.
8. Night of the Hunter

"Kau pernah bekerja bersamanya?"

"Hanya beberapa kali."

Di bawah rembulan temaram, langit gelap tak dihiasi apapun. Entah sejak kapan, baru kusadari
bahwa selama ini aku tak pernah melihat bintang berkelip di atas langit yang menjulang. Apakah
karena cahaya lampu di perkotaan sehingga intensitas cahaya bintang ketika sampai di bumi
melebur dengannya? Aku tidak tahu.

Aku dapat mendengar Wijaya yang bernapas—menderu. Di balik ponselnya, aku yakin hidungnya
terlalu dekat dengan gawai itu. Namun, atmosfer hatiku sedang tak dapat diajak bercanda. Aku tak
terusik sama sekali, bahkan aku tak memikirkannya sedikitpun.

"Beliau lebih suka bekerja sendiri," lanjut Wijaya dengan suara yang lebih melengking dari
biasanya karena sinyal yang tidak stabil. "Tak lama setelahnya saya bergabung dengan divisi
pembunuhan, Pak."

Kutarik leherku, meregangkan otot-ototnya supaya tak begitu pegal, membuatku menatap
penghalang sinar matahari yang tak terpakai.

Aku baru ingat, sebelumnya Wijaya pun tergabung ke dalam divisi lalu lintas. Sekarang, aku
mengerti kenapa ia begitu peduli pada orang itu. Secara tak langsung, Wijaya membuat ikatan
yang baik dengan rekan-rekan kerjanya, walaupun menurut pengakuannya Pak Goto lebih suka
bekerja sendiri. Aku memahami hal itu—sangat memahami. Wijaya cerdas, tidak selalu merasakan
kehendaknya tetapi tetap selalu memberikan penjabaran pikirannya yang pintar melalui susunan
kalimat yang terstruktur dan mudah dipahami. Selain itu, kunjungan setiap harinya ke rumahku
cukup menunjukkan bahwa Wijaya adalah orang gila yang memperhatikan sekitar, merasa
bertanggung jawab akan segala yang terjadi.

"Pak Goto memang tidak sering bekerja sama, Pak, dan tampaknya Pak Goto lebih suka bekerja
pasif di balik layar."
"Aku mengerti," balasku. Namun, segera setelahnya, aku berniat mengakhiri pembicaraan ini.

"Sebentar lagi ada yang harus kulakukan. Terima kasih, WIjaya." Aku segera menutup ponsel
sambil menghela napas. Baiklah, sekarang saatnya.

Sepatu pantovelku mengetuk keras aspal jalanan meskipun tak menimbulkan suara. Kembali
kususri gang ini, tetapi dengan suasana yang berbeda. Cahaya lampu dari masing-masing rumah
menghiasi sisi jalan, tetapi aku tak mendapati kesan yang lebih baik. Temaram dan gelap, hal itu
tetap tak menghilang. Rasa dingin menusuk tulangku. Di balik jaket hitamku, kaos putih yang
kukenakan tampaknya tak berhasil menghalau rasa dingin yang ada.

Burung-burung liar yang bertengger pada kabel menyemarakkan kedatanganku, seolah


memberikan informasi pada atasannya bahwa orang asing telah datang, siap menghancurkan
kehidupannya. Selain itu, beberapa tikus tampak berlarian menjauhiku. Gang ini tak lebih seperti
kebun binatang luas dengan binatang-binatang tak lazim yang sengaja dilepaskan. Lebih ramai
dari siang hari tetapi dalam konteks yang tak baik. Jika kubandingkan dengan perumahanku,
tempat ini seperti tempat orang-orang mati. Sejauh perjalanan tak kutemui seorang pun manusia
yang lewat, berpapasan denganku. Aku tak tahu apakah ini karena efek pembunuhan yang terjadi
belum lama ini sehingga orang-orang takut keluar, atau memang pengakuan 'gang sepi' yang
diberikan oleh Wijaya benar adanya.

Seluruh rute perjalanan yang kulakukan sama seratus persen seperti yang kulakukan sebelumnya
di siang hari. Aku tak berniat untuk tersasar, sehingga aku memilih untuk menghindari resiko itu
dengan tak mencari rute baru, rute yang lebih pendek atau malah semakin panjang.

Kini, tepat di depan rumah Pak Goto, sandal-sandal yang sebelumnya kutemukan siang tadi telah
menghilang. Di hadapanku, pintu berwarna cokelat yang dihiasi oleh pahatan unik diterangi
cahaya neon putih yang menyembul dari atap. Aku mengetuk pintu, beberapa kali hingga akhirnya
wanita yang tadi menyambutku, kembali menyambutku.

Aku memberikan salam, memasuki rumahnya setelah melepas sepatu tetapi tetap membiarkan
kaos kaki hitamku terpasang. Bagian ruangan depan, demi apapun, benar-benar kecil. Ukurannya
tak lebih besar dari tempat ATM yang biasanya ada di mall-mall besar. Dua buah sofa—satu sofa
panjang dan satu sofa kecil—beserta satu buah meja yang bahkan ukurannya saja tak menyamai
sofa itu sengaja disimpan untuk menjamu tamu. Sama seperti bagian luar rumah, ruangan ini
dipenuhi oleh warna abu-abu dengan garis hitam menjulang pada bagian tengah dinding, ditarik
menjadi garis lurus yang sangat rapi.

Dua anak kecil—keduanya lelaki—segera berlari mengiringi perjalanan wanita itu yang tengah
menuntunku ke ruangan depan. Tak ada alasan pasti, anak-anak itu hanya ingin bersama sang
ibu—kuduga—dan membuatku secara spontan melemparkan senyum. Aku tahu, wajahku terlihat
seperti monster dengan kumis dan janggut yang tidak dicukur rapi, tetapi setidaknya aku tak ingin
membuat anak-anak itu ketakutan. Melihat tingkah dan seluruh kelakuannya, kurasa anak-anak itu
belum berumur lebih dari sepuluh tahun. Salah satu di antara mereka bahkan mungkin baru lima
atau enam tahun.

Sang ibu segera duduk dengan tempelan anak-anaknya yang tampak lengket dan tak bisa
dilepaskan. Satu anak di antaranya—yang lebih tua—duduk di samping sang ibu sedangkan anak
yang lebih kecil lebih memilih untuk melekatkan kedua tangannya pada kaki sang ibu. Dari
wajahnya, mereka tampak tak mengetahui apa yang sedang terjadi, seperti seorang bayi polos yang
dilahirkan di dalam neraka. Kemudian, segera setelahnya sang ibu mempersilakanku untuk duduk.

Namun, baik duduk maupun berdiri, perhatianku tetap teralihkan pada kedua anak itu. Mereka
benar-benar polos, melihatku dengan tatapan keheranan sambil menyeka hidung dengan tangannya
biarpun tak kutemukan lendir lengket mengalir dari dalam hidung mereka. Kemudian, aku berkata,
"Perkenalkan, saya Roy."

"Ya, tadi siang kita sudah berkenalan."

Aku lupa.

"Saya hanya ingin mengucapkan bela sungkawan," kataku. Kemudian, mendorong tubuhku untuk
sedikit membungkuk agar tak terlihat seperti manusia serakah yang menginginkan seluruh harta
wanita itu. "Saya baru sempat datang, maaf."
"Terima kasih banyak." Perempuan itu tersenyum, tulus, sedangkan kedua anaknya
memperhatikanku dan ibunya secara bergantian seperti melihat pertandingan bulu tangkis dalam
gerakan lambat.

Kurasa aku tahu apa yang ada di pikiran perempuan itu. Walaupun sudah lewat masanya, kurasa
cara meninggal Pak Goto yang tak wajar masih menyisakan rasa kesal dalam dirinya. Perempuan
itu menggeram, tetapi ditahan saat meliaht kedua anak yang berada di antaranya. Perempuan itu
mencoba tabah, walaupun aku tahu dia benar-benar ingin membalik meja.

"Sebenarnya saya dan Pak Goto tidak terlalu dekat," lanjutku. Di saat yang sama, aku berhasil
membuatnya kembali memalingkan wajahnya padaku sebelum keadaan canggung memenuhi
ruangan ini. "Tapi teman saya pernah bekerja bersama beliau. Mendapati ceritanya, saya rasa—"
Mulutku terhujam oleh rasa takut. Aku memang terbiasa untuk berbasa-basi di saat tertentu, tetapi
aku sendiri belum pernah mendengar cerita luar biasa mengenai Pak Goto. Membaca berkasnya
pun seluruhnya biasa. Apa yang harus kukatakan selanjutnya?

"Beliau orang yang sangat baik." Mulutku berkelut, hendak meludah akan kebohonganku tetapi
aku tak ingin mengacaukan suasana. Perempuan itu tersenyum kecil, mengapresiasi kebohonganku
yang tak diketahuinya. Sedangkan aku tersenyum simpul.

"Iya, kan?" Aku melirik ke arah dua bocah itu. Namun, mereka memberikan reaksi yang sama—
tak mengetahui apa yang terjadi. Kemudian, dengan segera sang ibu menyingkapkan kedua
lengannya, berusaha meraih kedua anaknya, membuat si kecil duduk di sebelah saudaranya.

"Alfa dan Beta," sebut perempuan itu. "Saya lupa belum mengenalkan mereka pada Anda, Pak."

"Tidak apa-apa," balasku. "Saya bisa mengerti keadaannya."

Perempuan itu mendorong pelan kedua anaknya, memberikan instruksi untuk menggapai lenganku
dan memberi salam. Namun, mereka berdua terlalu kecil untuk menanggapinya, mendorong tubuh
mereka hanya membuat kedua anak itu duduk terdiam, menengok pada ibunya dan bertanya-tanya
apa yang sedang terjadi seolah mereka baru saja melihat fenomena yang sangat langka. Jadi, untuk
mengakhirinya, aku berkata, "Bisa saya berbicara secara privasi? Maksud saya ... di luar
pendengaran—"Aku tak melanjutkannya. Sebagai gantinya, aku melirik ke arah dua anak itu.

Namun, perempuan itu terlihat kebingungan. "Membicarakan apa?"

"Tentang suami Anda, bu—" Aku mencoba mengingat-ingat namanya dan berharap tak salah
menebaknya. Aku sedikit lupa. "Nisa."

Namun, tak ada sanggahan dari perempuan itu. Untunglah, mungkin itu artinya tebakanku benar.
Sebagai gantinya, perempuan itu menatapku serius—hampir tak berkedip—untuk beberapa saat.
Namun, aku benar-benar meyakinkannya bahwa ada sesuatu yang harus kubicarakan dengannya.

Jika memang si orang bertopi itu membunuh Pak Goto untuk menarik perhatianku—selain suasana
perumahan tentunya—kurasa ada alasan yang tepat mengapa dia melakukan hal itu pada Pak Goto.
Setidaknya, aku pernah melihatnya membunuh seorang pelaku pembunuhan tepat di depan mataku
walaupun hanya sekilas, dan lelaki itu tak membunuh istri dari sang pelaku yang ada bersamanya.
Sebagai gantinya, si pria bertopi malah memosisikan sang istri sedemikian sehingga perempuan
itu dapat duduk di posisi yang nyaman. Walaupun tidak begitu, seharusnya lelaki bertopi itu
mengawasi Pak Goto untuk waktu yang cukup lama sehingga ia bisa melakukan aksinya seminggu
lalu.

Akhirnya, Ibu Nisa membawa kedua anaknya untuk diam di kamarnya beberapa saat. Tak lama
setelahnya, ia kembali sendirian, mereka ulang posisi yang sebelumnya ada, hanya saja tanpa dua
anak kecil dan segera membuatku bertanya.

"Apa Anda pernah melihat orang mencurigakan di sekitar rumah Anda?"

Pertanyaan standar, aku tahu benar. Selain itu, kurasa pertanyaan itu telah dilontarkan oleh para
polisi yang mendatangi rumah Pak Goto, tetapi aku hanya perlu memastikannya lagi.

"Tidak. Sungguh," balasnya.

"Bagaimana dengan orang bertopi dengan pakaian serba hitam? Apa Anda pernah melihatnya?"
"Tidak pernah."

"Apa yang Anda lakukan sehari-hari?"

Perempuan itu tampak takjub. Bukan karena mendengar pertanyaanku, tetapi lebih ke tak percaya
karena aku dapat menanyakan hal semacam ini padanya di saat yang tidak tepat. Namun, alih-alih
melemparkan sandal ke mukaku, perempuan itu mencoba berkooperatif biarpun tampaknya
merasa lelah akan semua pertanyaan—yang belum seberapa—yang kuberikan.

Perempuan itu melihat ke segala arah. Gelisah, setidaknya semacam itu, aku tidak tahu pasti.
Apakah dia takut memberikan informasi mengenai keadaan yang ia lakukan sehari-hari atau
karena ia tak ingin bayang-bayang suaminya yang telah tiada kembali menghinggapi pikirannya
ketika ia menelusuri kehidupannya?

Yang pasti, akhirnya setelah beberapa saat perempuan itu menjawab, "Saya seorang guru."

"Di mana?"

"Sebenarnya bukan benar-benar guru. Saya hanya mengajar. Les privat."

"Oh," kataku. "Lembaga atau bukan?"

"Saya mengajar sendiri," balasnya. "Murid-muridnya anak-anak yang tinggal di sektiar rumah
saya, tetapi tak jarang ada yang berasal dari luar lingkungan ini ketika murid-murid saya mengajak
mereka."

Aku memperhatikan sekitar. Jujur, aku tak ingin menyinggungnya, tetapi aku tak dapat menahan
satu pertanyaan penting yang muncul begitu saja ketika perempuan itu mengaku mengajar seorang
diri.

"Maaf, bukan ingin menyinggung Anda, Bu. Apa Anda mengajar di ruangan sekecil ini?"

"Di bagian belakang rumah ada halaman yang luas," timpalnya. Namun, tak terlihat sama sekali
wajah kesal pada diriya, seolah-olah perempuan itu sudah terbiasa untuk menerima pertanyaan
yang sama.
Aku tak dapat melihat bagian belakang rumah ini karena lorong kecil yang menghubungi ruangan
depan dan bagian belakang rumah ini membuat penglihatanku terbatas. Namun, kurasa aku bisa
menerima pernyataannya. Aku pernah menemui seseorang yang memiliki mobil mewah dengan
harga berkali-kali lipat daripada mobilku, tetapi untuk mempertahakannya, dia terpaksa tinggal di
rumah petak. Lebih butut dan mengerikan dari ruang kerjaku yang telah berantakan dan sering
dihinggapi tikus untuk mencari makan.

"Oh, saya mengerti," kataku. "Lalu, apa yang biasa Anda lakukan sebelum mengajar? Maksud
saya, jika Anda mengajar les, berarti Anda mengajar sore hari, kan?"

"Ya." Perempuan itu menjawab singkat. Belum selesai, terinterupsi terlebih dahulu oleh tegukan
ludahnya yang tak begitu tampak. "Hanya pekerjaan biasa. Memasak, mencuci, kegiatan yang
amat biasa."

"Anda mengajar anak-anak kelas berapa saja?"

"Hanya anak SD."

"Bagaimana dengan anak-anak Anda?"

"Mereka juga ikut belajar bersama teman-teman yang lain."

"Ah, maksud saya—" Kutarik kepalaku beberapa sentimeter ke belakang. "Apa yang biasanya
anak-anak Anda lakukan? Apakah mereka sudah sekolah atau belum."

"Oh," Ibu Nisa tampak memahami kesalahannya dalam menafsirkan pertanyaanku. "Mereka
sekolah. Alfa kelas tiga dan Beta kelas satu." Secara tiba-tiba air mata Ibu Nisa mengalir perlahan.
Matanya kembali memerah dan ia berusaha untuk menyingkirkannya. Berkali-kali ia seka matanya
hanya untuk menyembunyikan kesedihannya, tetapi tetap saja percuma karena tubuhnya tak dapat
berkoordinasi dengan baik.

Aku merasa seperti deja vu. Di saat yang bersamaan, aku kembali melihat wajah dari istriku
bertahun-tahun yang lalu. Sikap yang sama, perasaan yang sama juga keinginan yang sama—tak
ingin menangis di depan orang asing. Keadaannya sama. Bahkan, aku melihat kedua anak itu
seperti Loka saat pertama kali bertemu denganku. Lugu dan polos, tak tahu apa-apa.

Perempuan itu pasti memikirkan apa yang akan terjadi pada anaknya. Bagaimana mereka bisa
tumbuh besar tanpa figur ayah yang baik biarpun sebenarnya biasa saja. Itu juga yang terjadi pada
istriku—yang sekarang telah tiada—saat itu.

"Apa kedatangan saya terlalu menganggu?"

Sedetik kemudian, perempuan itu terkejut. Hendak meng'iya'kan jawaban dari pertanyaanku
sekaligus ingin tetap bersikap sopan pada tamunya.

"Tidak, tentu saja tidak," katanya. Berbohong—dugaku.

Namun, mengetahui keadaannya, aku segera berdiri. Kukira waktu satu minggu cukup panjang
bagi seorang perempuan yang ditinggalkan oleh pasangan hidupnya. Ternyata dugaanku salah.
Lalu, sambil mengampil bolpoin yang telah kusiapkan sebelumnya, kutarik secarik kertas dari saku
celanaku yang juga telah kusiapkan sebelumnya. Aku bersyukur, karena pilihanku untuk
membawa benda ini tidak sia-sia.

"Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan lagi. Tetapi tidak apa-apa, saya tak
memaksa." Aku berbicara sambil terus menulis, menggoreskan tinta hitam di atas kertas. Aku
bukan pegawai kantoran, aku tak memiliki kartu nama.

"Anda bisa menghubungi saya di nomor ini, Bu," kataku, sembari menyodorkan kertas yang telah
kutulisi dan diterimanya dengan baik. Perempuan itu mengambilnya tanpa masalah dan tanpa
keraguan, membuatku berasumsi bahwa sebenarnya dia masih memiliki banyak hal untuk
dibicarakan.

Namun, pilihanku sudah bulat. Aku berjalan keluar setelah menitipkan salamku pada Alfa dan
Beta.

===
Di bawah langit yang menggantung, sang rembulan terus menatapku sambil cekikikan. Ia
menyimpan satu rahasia yang tak ingin diketahui olehku. Namun, dalam langkah kakiku yang
pasti, dia menilik seluruh gerakanku. Tepat ketika kupijakan kaki di atas tanah ketika keluar dari
mobil, langkah-langkah pelan yang kulakukan dari ambang pintu mobil menuju rumahku, hingga
kekita kutarik kenop pintu sambil melepaskan sepatu yang bahkan tak kuperlukan bantuan tangan.

Aku ingin berbaring di atas tempat tidurku yang nyaman, menganggap hari ini sebagai hari biasa
yang selalu kulalui. Sudah pukul sepuluh malam. Kemacetan sebelumnya membuat perjalananku
terhambat biarpun tak kukunjungi alamat Pak Goto dengan begitu lama.

Di saat aku membuka pintu, di saat itu pulalah seluruh harapanku untuk beristirahat sirna. Ketika
kupijakan kakiku masuk ke dalam rumahku, menutup pintu dan hendak berjalan ke lantai atas.
Seseorang memanggil namaku. Namun, yang jelas bukanlah Loka.

Suaranya serak, rendah, lebih pantas menjadi diikuti oleh seorang lelaki tua yang terdeformasi dari
seorang ahli taktik perang menjadi kurir narkoba. Atau mungkin perampok.

Aku berbalik.

Lelaki bertopi itu tengah menodongkan pistolnya padaku.


9. Dark Necessities

Mulut lelaki bertopi itu berkilah pelan sambil menjilati bibir-bibirnya. Namun, seluruh
kemampuan otakku terpusat pada netraku. Aku tak mendengar dengan jelas akan apa yang
diucapkannya. Sebaliknya, mataku terus memperhatikan raga lelaki itu. Apakah penglihatanku
tidak salah?

Aku mematung. Bahkan, napasku seolah berhenti. Dalam benakku, aku mulai bertanya-tanya,
apakah dia orang yang dicari? Apakah dia setolol itu untuk hadir di depan wajahku dan
menyerahkan dirinya? Namun, dia membawa pistol, menodongkannya padaku. Jelas dia ingin
mengambil alih keadaannya. Dia tak menyuruhku untuk berbalik kembali, mengangkat tangan dan
menggeledahku, tetapi aku tak ingin mengambil resiko dengan bergerak secara tiba-tiba dan
membuatnya kembali melukai kakiku—aku baru saja sembuh.

Lengkingan tajam menusuk telingaku. Namun, tentu itu hanyalah imajinasiku. Sebaliknya,
rumahku benar-benar sepi. Sekali lagi, dalam otakku kembali berkumpul berbagai skenario yang
dapat kulakukan dengan konsekuensi-konsekuensi yang bersesuaian. Tetapi, kakiku tetap tak
dapat bergerak.

Kini aku melihat wajahnya dengan jelas. Rahangnya kotak tetapi wajahnya benar-benar bersih
berwarna kecokelatan khas laki-laki Indonesia. Topinya berwarna hitam dan baru kusadari
terdapat border merah di ujung pangkal lidahnya. Jeans hitamnya tak begitu ketat beserta kaos
polo yang dikenakannya. Ia adalah laki-laki biasa jika seandainya ia tak menodongkan pistolnya
padaku. Namun, kini ia terlihat seperti monster yang ingin memakan mangsanya.

Akhirnya, fokusku mulai goyah. Kini, seluruh inderaku bekerja sesuai dengan fungsinya masing-
masing. Keterkejutanku mulai sirna biarpun tak sepenuhnya hilang. Aku mulai bisa mendengar
dia berkata, "Aku ingin berbicara denganmu."

Nadanya benar-benar rendah, terkesan tak ada suara. Namun, jelas ia tak berbisik karena aku dapat
mendengarnya berbicara dari jarak sekitar lima meter.
Aku berusaha menenangkan diriku. Aku tidak boleh panik, tidak boleh membuat kekacauan.
Sekalipun aku benar-benar ingin lari, menelepon semua kontak yang ada dalam ponselku dan
mengatakan bahwa orang gila ini ada di rumahku, aku tak dapat melakukannya.

Jadi, setelah menarik napas dalam, aku membalas dengan nada yang tak kalah rendahnya.

"Dengan pistol?"

Lelaki itu terkekeh. "Tidak. Tentu saja tidak."

Lelaki itu berjalan mendekat. Pelan, tetapi tanpa keraguan. Kaki-kakinya diangkat tanpa masalah,
seolah-olah tubuhnya ringan seperti kapas. Begitu tempatnya berdiri hanya terpaut sekitar satu
meter atau kurang dariku, akhirnya ia menurunkan pistol dengan peredam yang masih terpasang.
Kini, aku benar-benar bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tak ada ciri khusus yang dapat
menggambarkan dirinya sebagai seorang maniak. Sungguh, ia tipe orang yang bisa di mana saja.
Jika ia tak mengenakan pakaian serba hitam dan menodongkan pistolnya padaku, mungkin aku
sudah mengira ia alumni yang sama dari sekolahku, hanya saja aku tak dapat mengingat namanya.

"Aku hanya tak ingin kau lari dan tak dapat kukejar. Mungkin juga karena aku ingin terlihat sedikit
lebih keren." Sekali lagi, pria itu terkekeh. Namun, aku tak memberikan reaksi apapun. Aku tak
dapat terlibat dengan candanya.

Sempat terpikirkan dalam benakku untuk segera menyerangnya, mendorong tubuhnya dan
membuatnya terjatuh kalau-kalau tak segera kuingat bahwa lelaki ini—setidaknya berdasarkan
rekaman—adalah seorang ahli bela diri. Aku tak mengetahui banyak hal mengenai jenis-jenis bela
diri. Yang pasti, pria ini dapat mengayunkan lengannya dengan cepat dan tepat.

Dia tak merasa membutuhkan pistol itu karena ia tahu bahwa ia akan menang—apapun yang
kulakukan. Aku tak memiliki pilihan lain selain mencari tahu apa yang diingikannya. Tentu dengan
berusaha tetap tenang dan tak membuat gerakan sia-sia.

Aku hanya perlu mencari waktu yang tepat dan memikirkan cara terbaik untuk melawannya.

"Kau akan membunuhku sekarang?"


Lelaki itu menggeleng. "Tidak."

"Tidak atau belum?"

"Sudah kubilang tidak."

Aku ingin mundur karena kurasa jarak kami terlalu dekat, tetapi lelaki itu pasti terus mendekatkan
tubuhnya.

"Kau membunuh Pak Goto?"

"Ya."

Demi apapun, lelaki ini mengatakannya dengan lantang, tanpa perasaan bersalah, seolah-olah hal
itu sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari.

Aku kembali berkutat dengan pertanyaan.

"Kenapa aku harus percaya kau tidak akan membunuhku kalau kau membunuh Pak Goto?"

"Aku memiliki alasan-alasan tertentu," katanya. Kemudian, mukanya terlihat bosan. Matanya
menyipit dan alisnya sedikit tergantung. "Kau tidak akan percaya padaku. Tapi harus kukatakan
bahwa aku berada di pihakmu."

Mataku gelagapan. Tentu, aku ingin langsung berkata tidak, mempertanyakan kalimat yang baru
saja dilontarkan dari mulutnya. Namun, pada akhirnya aku mencoba untuk lebih sarkastik.

"Kalau aku adalah orang dengan tujuan membunuh seorang polisi hanya untuk mengambil
dompetnya. Ya, kau berada di pihakku."

Aku mengharapkan sebuah reaksi yang berlebihan. Selama perbincangan ini, dia selalu terlihat
santai, berkata tanpa beban. Aku berharap—setidaknya sekali saja—melihatnya marah dan
bagaimana aku bisa menemukan kelemahan atas emosinya.

Namun, reaksinya terbalik.


Ia merogoh saku celananya, melemparkan sebuah kotak kecil yang cukup tebal dan berwarna
coklat. Dompet. Namun, bukan sekadar dompet. Itu adalah dompetku.

Suara dompet yang terjatuh itu seolah terngiang dalam kepalaku. Mataku melotot, menatap tak
percaya. Aku ingin mengambilnya, memastikan bahwa dompet itu memang benar-benar
dompetku. Namun, bagian koyak pada beberapa sisi telah menunjukkannya. Aku sangat mengenal
dompetku. Yang tak kumengerti adalah bagaimana ia bisa mendapatkannya?

Terakhir, aku mengambil uang dari dompetku ketika aku makan sore. Makan di jajanan kaki lima
dekat sebuah kampus. Aku ingat benar, kukeluarkan dompet itu dan menarik uang pecahan dua
puluh ribuan. Segera setelahnya, aku langsung masuk ke dalam mobil dan berkendara pulang
sambil menunggu waktu yang tepat untuk mengunjungi rumah Ibu Nisa.

Mana mungkin dia bisa melakukannya secepat itu? Maksudku, aku tak menyadari keberadaannya.
Ketika kembali kumasukkan dompet itu ke dalam saku, kemudian berjalan menelusup di antara
kerumunan orang-orang, itu tak memakan waktu hingga satu menit. Apakah dia mengawasiku
selama ini? Tetapi kenapa aku tidak menyadarinya?

Dia selalu mengenakan topi dan pakaian hitam. Tapi, tunggu. Bagaimana jika saat itu ia tak
mengenakan topi maupun pakaian hitam? Apa itu yang dilakukannya sehingga aku tak menyadari
keberadaannya? Apakah dia sengaja menggunakan pakaian serba hitam sehingga ia bisa
berkamuflase seandainya ia tak ingin terlihat oleh banyak orang?

Ia memberikan sebuah stigma padaku. Ciri khas berpakaiannya selalu terlintas di dalam benakku,
membuatku lengah dan tidak menyadari keberadaannya. Namun, artinya satu hal selanjutnya akan
menjadi pertanyaan yang terus terbayang-bayang dalam benakku. Bagaimana mungkin tak
kusadari bahwa seseorang menelusupkan jemarinya ke dalam kantongku dan mengambil dompet
yang tersimpan pada celana bagian belakang?

"Aku bisa melakukan hal itu secara diam-diam." Secara tiba-tiba lelaki itu berkata, membuat
lamunanku buyar dan menatapnya. "Aku tidak akan membunuhnya di tempat terbuka hanya untuk
mengambil dompetnya. Selain itu, jika aku ingin pun aku dapat melakukannya secara diam-diam
seperti mengambil dompetmu ini."
"Kapan kau mengambilnya?" tanyaku, setengah berteriak. Demi apapun, seluruh logika yang ada
di dalam otakku tak mampu menampung keajaiban ini.

"Di saat yang tepat."

Seorang pembunuh tak akan mengungkapkan pembunuhannya tanpa didasari salah satu dari dua
hal: keinginannya atau terpaksa. Kurasa, hal yang sama berlaku untuk perampok—pencopet untuk
saat ini. Demi apapun, aku kesal. Namun, segera kutegaskan kembali pada diriku. Aku tak boleh
terbawa emosi dan melakukan gerakan tiba-tiba. Dia lebih handal. Percayalah.

Sialannya, aku tak mengantongi pistol yang kuletakkan di meja kamarku.

"Kau yang menulis namaku melalui coretan pensil di kertas-kertas itu?" tanyaku, memastikan.

Namun, sama seperti sebelumnya, lelaki itu benar-benar menjawab dengan dingin.

"Ya."

"Aku tak mengerti," kataku. "Kau melakukan hal itu. Kemudian mendatangi rumahku, berbicara
empat mata dan berkata ingin berbicara denganku." Aku meneguk ludah. "Kenapa tak langsung
melakukan hal itu daripada harus membunuh Pak Goto dan meninggalkan kertas-kertas berisi
coretan bocah yang terlihat tak bermakna?"

"Aku mengujimu."

"Dengan membunuh seseorang?"

"Sekaligus membunuh seseorang." Matanya tak bergerak sama sekali. Dia menatapku tajam, lurus,
mencoba membuatku ketakutan. "Ada pertanyaan lain?"

Alih-alih menjawab. Aku lebih memilih untuk diam. Aura yang berbeda langsung terasa pada
tubuhku. Aneh, mengerikan, mencekam dan berbahaya. Seperti yang kukatakan, lelaki bertopi
yang sedang berdiri di depanku adalah tipe orang yang dapat kutemukan di mana-mana. Namun,
begitu kembali melihatnya lebih dalam, tentu ia lebih dari itu. Kurasakan getaran pada dadaku.
Dia tidak main-main dan tidak suka main-main.
Aku sudah sering diancam. Orang-orang itu—yang melakukan sebuah pembunuhan—selalu
bersumpah bahwa mereka tidak melakukan pembunuhan, menghardikku dengan berbagai lontaran
kata yang kasar, bahkan beberapa di antaranya menyumpahi aku untuk mati. Namun, begitu
kenyataan terkuak, kebanyakan dari mereka memilih untuk diam, menyadari kesalahan sikapnya
dan selalu berusaha menghindari diriku. Mereka semua tertunduk, tak berani melihat wajahku.

Untuk saat ini, sebenarnya aku merasakan sebuah kemiripan. Lelaki bertopi ini berusaha
mengintimidasiku, seolah-olah aku melihatnya berusaha meyakinkan bahwa dirinya tak bersalah,
hanya saja dalam cara yang berbeda. Sialannya lagi, dia tak menghindari pertanyaanku. Dia
mengakuinya—seluruhnya—seperti yakin bahwa tak mungkin ada manusia yang dapat
menangkap dan memidanakannya. Untuk saat ini, mungkin benar, tetapi lelaki ini terlihat begitu
yakin.

Semakin lama aku tak menjawab, semakin lama pula lelaki itu menunggu jawabanku. Ia
memiringkan kepalanya. Tak ada senyum, tak ada ekspresi apapun. Dia hanya melihatku seperti
tatapan kosong, tetapi tidak. Ia memperhatikan gerak-gerikku, bersiaga seandainya aku melakukan
tindakan bodoh. Kemudian, pada akhirnya ia mengangkat sebelah alisnya, tahu bahwa aku tak
akan menjawab apa-apa.

Jadi, dia berkata, "Aku membutuhkan bantuanmu."

Kalimat itu mengejutkanku, lebih buruk daripada mendapatinya tengah menodongkan pistol ke
arahku. Aku terpukau. Sekali lagi, aku tak dapat berkata apa-apa sebelum kutenggak ludahku yang
sudah bergumul di dalam mulut. Namun, yang keluar hanyalah kalimat tak berbentuk akibat rasa
terkejut yang memenuhi pikiranku.

"Kau butuh ... apa?"

"Bantuanmu."

Sekali lagi, aku mendengarnya. Aku benar-benar tak salah mendengarnya. Ia mengatakan itu.

"Dari seseorang yang menodongkan pistol, dan kau berpikir aku akan membantunya—
membantumu?"
"Aku tidak membunuhmu."

"Kau akan melakukannya segera setelah aku membantumu, bukan? Karena untuk saat ini kau
membutuhkanku."

Lelaki itu tertawa geli. "Itu dua hal yang berbeda," katanya. "Aku bisa mencari yang lain jika kau
tidak mau melakukannya."

"Kalau begitu cari yang lain."

Aku berdalih di dalam hati. Apakah dia akan menanggapi komentarku? Bagaimana dia akan
menanggapi komentarku? Positif atau negatif? Sampai saat ini dia masih belum menggerakan
tubuhnya, bola matanya, seluruhnya. Dia masih berdiri di sana seperti sedang mengunci target
mangsa.

Namun, dia mengangkat lengannya dengan cepat. Dalam sekian detik, kukira dia benar-benar akan
menembakku, menghancurkan tulang kepala dan menumpahkan isi-isinya, membuat lantai
rumahku menjadi kotor. Namun, ia tak melakukannya. Alih-alih membunuhku, dia menonjok
dadaku dengan cepat. Kepalan tangannya bahkan bergerak lebih cepat dari seekor anjing yang
berlari.

Aku tersungkur, terlempar dengan rasa sakit yang berselimut dalam perutku. Aku batuk setelah
terjerembab dan jatuh depan anak tangga pertama. Pukulannya kuat, sungguh, membuat kedua
lenganku secara otomatis menggenggam bagian-bagian perut untuk membuatnya nyaman.

Sekali lagi, aku batuk.

Lelaki itu berjalan mendekat. Pelan, sebagaimana sebelumnya. Aku berusaha berdiri, tetapi lelaki
itu telah lebih dulu berada di hadapanku. Ia memukul tengkukku, kembali membuatku terjatuh.
Kepalaku mendarat tepat di atas keramik yang dingin. Namun, hanya rasa sakit yang mendera di
dalam permukaan kulitku. Untungnya, hidungku sedikit membantu gigi-gigiku untuk tak rontok.
Lelaki itu mengangkat kerah bajuku, menariknya dengan kasar, tetapi tetap tak dapat kutemukan
emosi pada dirinya. Ia melihatku bagaikan sebuah benda yang hendak dibuang. Tak ada perasaan
bersalah, amarah, benci atau apapun itu. Dia menatapku dingin.

Aku bersungut, kemudian tertawa pelan. Aku sendiri tidak yakin, apakah aku menertawai
pilihanku untuk menyuruhnya mencari yang lain, atau menyukai kelakuannya yang tak dapat
mengendalikan diri dan menghancurkan ambisinya—tak memenuhi keinginannya. Yang pasti,
kemudian aku tersenyum sinis sembari berkata, "Kau benar-benar akan mencari yang lain, ya?"

Namun, lelaki itu menjawab, "Untuk saat ini, belum."

Aku berusaha menarik kerahnya tepat ketika ia mengatakan itu. Ia sedang menggunakan satu
tangan, seharusnya aku dapat menghajar wajahnya. Kulesatkan lengan kiriku, berusaha menarik
bajunya. Namun, si brengsek itu bergerak dengan cepat. Ia menyadari gerakanku. Segesit mungkin
ia tahan gerakanku, menangkisnya dengan lengan yang tak sedang bekerja.

Aku kembali berusaha menyerangnya melalui tanganku yang lain. Namun, si brengsek ini kembali
menangkisnya. Bahkan, tak lama dari itu, ia segera memberikan serangan balasan. Ia
melemparkanku setelah sebelumnya meninju daguku ke arah yang berlainan. Kurasakan sakit pada
punggung, lebih sakit dari terjatuh dari lantai dua. Mataku mulai berkunang-kunang dan kurasakan
amis pada mulutku.

Gusiku berdarah.

Dia tak terlalu berotot, lelaki itu mendapatkan keuntungan dan benar-benar gesit. Gerakannya
lebih cepat dari gerakanku. Darah mulai muncrat dari mulutku ketika aku batuk.

Kepalaku masih tak fokus. Tubuhku oleng ke sana dan kemari ketika aku berusaha berdiri. Aku
pikir dia akan menyerangku dengan bertubi-tubi dan mengakhiri hidupku dengan pistolnya atau
menghajarku hingga mati. Namun, sebaliknya. Laki-laki itu berjalan ke atas ketika tumpuan kedua
tanganku tampak tak dapat menahan beban tubuhku.

Aku tak fokus. Mataku masih berkunang-kunang. Aku berusaha berdiri sambil membenarkan
pandanganku. Lalu, pada saat itulah aku menyadari sesuatu.
Lelaki itu mengangkat pistolnya, kemudian bergerak menuju kamar Loka.

Aku berteriak dalam hati. Tidak!

Aku mencoba mengucapkannya dan mengulanginya terus-terusan, tetapi rahangku terasa kaku.

Kupaksakan diriku untuk bergerak maju, tetapi lelaki itu telah sampai pada lokasinya. Ia berada di
depan kamar Loka dengan pintu yang tertutup.

Aku berdalih. Aku mohon dia tak bermaksud membunuh Loka. Namun, di saat yang bersamaan,
dia berkata, "Kalau kau tidak peduli dengan nyawamu. Kita lihat seberapa peduli kau dengan
nyawa orang lain."

Jantungku terasa berhenti mendadak.


10. Dark Necessities II

Lelaki itu keluar seolah menyambutku, menyemburkan seluruh ketakutan yang sebelumnya
menghinggapi kepalaku. Kepalaku yang sedari tadi terasa pusing akibat dihajar, seolah-olah tak
peduli. Aku melihat Loka ditarik dengan kasar. Mulutnya disumpal oleh kain dan ia berusaha
berteriak. Kedua tangannya diikat ke belakang sehingga Loka tak dapat mencakar-cakar lelaki
bertopi itu. Lelaki itu mengunci lehernya, tetapi tidak begitu kuat sehingga Loka masih dapat
bernapas. Loka meronta-ronta dan aku kebingungan. Sedangkan lelaki itu tetap teguh pada
pendiriannya—tanpa ekspresi.

Dalam yang yang cepat, aku yakin berulang kali kuucapkan 'hentikan semua itu' pada si lelaki
bertopi. Namun, alih-alih menimbulkan suara, mulutku terasa kaku, sulit digerakkan. Tebuka pun
tak mengeluarkan mampu mengeluarkan sepatah kata. Aku melotot dan dia kembali
mengacungkan pistol beserta peredam yang menempel pada moncongnya.

"Bagaimana?" katanya, setengah teriak. Yang pasti nada rendahnya sudah tak ada. Jika standar
suara lelaki itu sebelumnya berada pada oktaf pertama, maka ia sudah mencapai empat oktaf untuk
saat ini, setara dengan tingginya nada bicaraku.

Aku mematung. Aku berteriak dalam hati, menghardiknya beberapa kali dan menyaksikan
berbagai kekejaman yang dapat kulakukan padanya di dalam otakku. Namun, kenyataannya tidak
seperti itu.

Aku bingung. Dia mengambil kendali. Apa yang harus kulakukan?

Aku bisa berharap keajaiban datang, seseorang dengan anehnya tiba-tiba muncul dari balik
jendela, menerjang lelaki itu dan berhasil menyelamatkan Loka. Itu yang biasanya terjadi dalam
sebuah film. Namun, keadaan berbeda. Jika sebuah film mengisahkan perkelahian antara
protagonis dan antagonis, maka aku adalah seseorang yang tinggal di samping rumah mereka. Tak
ada yang menyorotku, tak ada yang tahu bahwa aku sedang kesulitan dan mereka tidak peduli.

Bulir keringat mulai memenuhi pelipisku, tetapi tak dapat kuseka biarpun keadaannya membuatku
tak nyaman. Aku hanya bisa bernapas secara berat.
Si lelaki bertopi itu tampak runyam.

"Aku akan memberimu tiga kesempatan." Pada akhirnya lelaki bertopi itu melanjutkan
keadaannya, melihatku yang tak akan bereaksi. "Diam lebih dari sepuluh detik atau mengucapkan
hal yang tak ingin kudengar akan melukai anak ini. Pelanggaran ketiga, kau tahu sendiri, kan?"

Sama seperti sebelumnya, aku tak menjawab apapun.

Namun, segera setelah sepuluh detik berlalu, pemandangan yang tak kuinginkan terjadi.

Lelaki itu mendorong Loka dengan kasar, membuatnya tersungkur dan jatuh ke bawah. Aku tak
dapat menyaksikannya dengan jelas, tetapi pembatas jalan dengan lubang-lubang tertentu akibat
kayu-kayu yang sengaja tak diberdirikan rapat membuatku dapat melihatnya secara samar-samar.

Lelaki itu menembakkan pistolnya, hampir tak bersuara karena peredam yang menempel. Bahkan,
teriakan Loka yang tersumpal oleh kain tampaknya lebih keras dari suara pistol itu. Loka
menggeram, bagaikan lagu kematian untukku.

Aku tak percaya lelaki itu benar-benar melakukannya.

"Tunggu!" Aku berteriak dengan begitu kencang, hampir memecah masing-masing jendela yang
ada di rumahku.

Aku baru sadar, lelaki itu berkata bahwa ia tak ingin mendengar hal yang tak diinginkannya, dan
kata tunggu adalah salah satunya. Lelaki itu menembakkan peluru keduanya.

Pikiranku berkelut. Aku ingin mengambil keputusan terbaik, tetapi teriakan Loka melengking di
telingaku. Redaman kain tetap tak membuatnya terdengar lebih baik. Aku mendengar Loka
menangis dan aku tak tahu ke arah mana lelaki itu menembaknya. Bukan kepala—pasti. Apakah
dadanya, perutnya, kakinya, tangannya? Aku tidak tahu. Aku tak dapat memikirkan hal-hal tolol
semacam itu. Dia menembaknya, si brengsek itu.

"Aku akan membantumu, Brengsek!"


Aku tak berpikir panjang. Aku benar-benar ketakutan. Jika tembakan itu melukai perutnya,
diafragmanya atau organ-organ penting lain di sekitarnya, aku tak ingin mengambil resiko dengan
berlama-lama mendengarkan ucapan-ucapan si brengsek itu.

Loka masih meringis. Aku dapat mendengarnya dengan jelas. Aku hampir menangis, sungguh.
Bukan karena dia adalah anakku dan ia sedang kesakitan, bukan karena aku tak dapat membalas
kelakuan si brengsek itu untuk saat ini. Aku ingin meminta maaf karena sudah menyeretnya ke
dalam permasalahan ini.

Napasku menggebu-gebu, setengah terisak. Aku khawatir. Berbeda dengan si brengsek yang
bahkan tampaknya tak begitu peduli akan seorang anak yang sedang terkulai lemas, terkula. Sialan.

"Aku tak menyukai panggilan brengsek itu padaku."

Aku segera melotot. Tidak, sialan.

Aku mengambil ancang-ancang untuk berlari. Betisku kembali terasa sakit akibat struktur tulang
yang belum sepenuhnya pulih, tetapi aku tak peduli. Kalau aku bisa melompat lebih dari lima
meter, maka aku akan benar-benar melompat.

Jika si sialan itu menarik pelatuknya kembali, maka aku bersumpah untuk membunuhnya.

Namun, lelaki bertopi itu pada akhirnya berkata, "Tapi setidaknya kau bilang akan membantuku."

Ia memalingkan wajahnya, melihatku, kemudian kembali ke Loka. Teriakannya sudah menipis,


Loka sudah lebih tenang.

"Hanya melesat menggores dagingnya, dia tidak akan mati," beritahunya. Namun, apakah itu
benar? Apakah Loka hanya terluka ringan sehingga dia bisa lebih tenang sekarang ini? Bagaimana
jika sebaliknya? Bagaimana jika dia menembak Loka hingga ia terluka parah, dan Loka tidaklah
semakin tenang, tetapi semakin sekarat?

Aku tak dapat melihatnya dengan jelas—sialan.

Aku berusaha menghentikan perbincangan ini dengan cepat.


"Apa yang kau inginkan?" tanyaku.

"Aku ingin kau memberikanku satu arsip kasus enam tahun lalu."

"Hanya itu?"

"Benar."

"Apa yang akan kau lakukan dengan arsip itu?"

Lelaki itu tak menjawabnya.

"Hei!"

Namun, tetap, lelaki itu tak menjawabnya. Alih-alih, ia berjalan menyusuri tangga, kemudian
melihat ponselku yang tampaknya terjatuh karena ia menyerangku. Namun, lelaki itu tak peduli.
Ia bergerak mendekatiku yang kaku. Kakiku mengunci seluruh gerakanku.

Lelaki itu berdiri, tepat di hadapanku terpaut beberapa meter. Sekali lagi, aku dapat merasakan
aura tubuhnya. Si monster brengsek yang sedang menatapku tajam. seperempat bola mata
hitamnya mengenai kelopak atas mata.

"Kau ingat pertemuan pertama kita?" tanyanya, segera setelahnya.

Tentu, aku sangat ingat. Selain itu, berbekas pula.

"Ya," balasku. "Kau membunuh seorang lelaki berumur lima puluhan, kemudian kabur karena
kedatanganku yang tiba-tiba. Kau tidak—" Aku hampir berkata bahwa ia tak menyadari
kehadiranku ketika aku ingat Loka tengah terluka di atas sana. Aku tak ingin membuat konversasi
ini menjadi semakin panjang. Jadi, segera kuralat perkataan yang bahkan belum kuucapkan.

"Kau tidak melakukan hal yang baik pada pertemuan pertama kita."

"Dia membunuh anaknya sendiri."

"Kau membunuhnya, tidak ada bedanya."


Lelaki itu tertawa.

"Tentu saja ada," balasnya. "Kau tahu apa yang terjadi pada polisi itu?"

"Pak Goto?"

"Ya."

"Kau membunuhnya. Hanya itu yang aku tahu."

Sekali lagi, lelaki itu tertawa.

"Kau tidak tahu keadaannya. Aku harap semuanya berjalan seperti itu." Kemudian, dalam
beberapa detik, ia membuat jeda. "Jangan pernah menyelidiki kematiannya."

"Wejangan dari si pembunuh. Kau pikir aku akan mengikutinya?"

Namun, lelaki itu menghinaku. "Terserah kau saja, kau memang orang brengsek yang tak akan
berhenti bekerja saat kau ingin tahu."

"Jadi, kasus apa yang kau inginkan?" Aku kembali pada topik permulaan. Aku hanya
menginginkan semua perbincangan ini selesai, sialan.

"14 Februari, enam tahun lalu. Kasus Lima."

"Lima kasus?"

"Lima—nama orang."

Nama macam apa itu?

"Siapkan berkasnya, aku akan menghubungimu ketika aku menginginkannya."

Menghubungiku? Bagaimana caranya?


"Ah, dan kau ingat ketika aku bilang aku tidak akan membunuhmu, bukannya belum?" Lelaki itu
memicingkan kedua matanya. "Kurasa aku harus meralatnya. Jika kau tak mendapatkan apa yang
kuinginkan. Kau tahu apa yang akan terjadi."

Aku diam. Demi apapun, masih banyak pertanyaan yang kubutuhkan jawabannya. Namun, terus
kutekankan dalam otakku—aku tak dapat melakukannya. Loka menungguku.

Akhirnya, lelaki itu pergi, meninggalkan kekacauan dalam rumahku. Baru kusadari, tumpahan
darahku mengenai beberapa tegel keramik dan membuatnya terlihat menjijikkan. Mungkin terlihat
artistik bagi para seniman manapun, tetapi bagiku pemandangan itu terlihat seperti kubangan
lumpur yang biasa babi jadikan tempat untuk mandi.

Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari dengan setruman kuat pada kakiku—belum sembuh
total. Namun, aku tetap tak peduli. Selesai kususuri anak tangga, dengan segera dapat kulihat Loka
yang tengah terkulai lemas. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia masih meringis, tetapi tak
berteriak.

Oh, astaga! Dia masih hidup.

Aku menggapai tubuhnya, segera melepaskan sumpalan pada mulutnya dan memeluknya. Aku
yakin, jika tangannya tak terikat, ia pun pasti akan melakukan hal yang sama. Aku berusaha
membuatnya merasa lebih baik.

Loka tidak menangis, tetapi tangannya bergetar hebat. Ia tak pernah memiliki pengalaman untuk
berinteraksi dengan seorang penjahat—utamanya perampok dan pembunuh—secara langsung.
Kasar, brengsek dan benar-benar sialan.

Aku bertanya berkali-kali, apakah dia baik-baik saja? Tetapi Loka tak menjawabnya. Ia masih
terguncang, tubuhnya bergetar seperti terkena gempa bumi yang berasal dari dirinya.

Aku melihat luka hasil tembakan pria bertopi brengsek itu. Dia mengucapkan yang sesungguhnya.
Pelipis Loka tergores. Dagingnya terbuka dan mempertontonkan warna merah akibat darah yang
mengalir melaluinya. Aku tidak tahu si brengsek itu pada awalnya berniat membunuh Loka dengan
menembak kepalanya atau dia benar-benar tak akan menembak kepala Loka, hanya melukai
pelipisnya, seolah-olah ia menunjukan bahwa dirinya memiliki tingkat akurasi yang sangat baik,
apalagi pada objek bergerak dalam jarak yang sangat dekat. Itu tidaklah mudah.

Luka kedua berada pada betisnya. Sama seperti pelipis Loka, hanya tergores sedikit, tak benar-
benar menembus daging seperti yang pernah lelaki bertopi itu lakukan padaku.

Namun, akibatnya dua buah keramik di rumahku harus diganti. Keramik-keramik itu pecah beserta
selongsong peluru yang bergulir di antaranya, sedikit jauh dari retakan keramik akibat pantulan.
Namun, aku tak peduli. Selama Loka masih selamat, semuanya baik-baik saja.

Lukanya tidak seserius yang pernah kudapatkan. Peluru tak bersarang pada tubuhnya, tetapi aku
tak dapat mengambil resiko untuk tak membawanya ke rumah sakit. Aku tak tahu apakah serpihan-
serpihan kecil peluru sempat meledak dan bersembunyi di balik tubuhnya, menyebabkannya luka
dalam atau tidak. Aku bukan dokter, aku tidak tahu, jadi dengan segera kutarik tubuh Loka secara
perlahan dan berusaha membantunya berjalan.

Tubuhnya masih bergetar hebat.

Aku tahu, luka fisik dapat sembuh dengan cepat, tetapi aku tak tahu apakah kejadian ini akan
menyebabkan trauma yang mendalam bagi Loka atau tidak. Ia sudah dewasa, aku tahu. Dia sudah
berumur tujuh belas tahun dan seharusnya sudah bisa memiliki pekerjaan secara legal seandainya
pun dia keluar dari sekolahnya, tetapi ia tak pernah mengalami hal ini—separah ini.

Aku pernah menemui korban pemerkosaan yang sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat
antara sebelum dan setelah kejadian. Trauma mendalam mengakibatkannya menjadi seperti itu.
Belum lagi kerabat-kerabatnya yang malah menjauhi wanita itu karena menganggapnya sebagai
aib. Maksudku, astaga, luka memori bukanlah sesuatu yang dapat dianggap sepele. Padahal
perempuan itu berumur dua puluhan.

Aku mengambil dompet dan ponselku yang berserakan di lantai, sedangkan kunci mobilku masih
tertanam dengan rapi pada saku celana. Namun, sebelum aku mengantarnya masuk ke dalam
mobil, aku mengambil pisau untuk memutuskan cable zipper yang sedari tadi mengunci lengan
Loka dan membebaskannya. Ia telah bisa menggunakan kedua tangannya, tetapi Loka tetap tak
memanfaatkan hal itu. Ia duduk, menatapku dengan darah yang masih mengalir membanjiri
pelipisnya. Lukanya memang tidak terlalu dalam, tetapi cukup melukainya.

Aku mengambil kotak P3K yang biasa kusimpan pada lemari dapur. Biasanya, kotak itu akan
digunakan oleh istriku yang secara tak sengaja melukai beberapa bagian tubuhnya ketika
memasak. Jangan salah, dia profesional, hampir tak pernah terluka, tetapi tak ada salahnya untuk
berjaga-jaga, kan? Namun, mengisi kotak itu dengan berbagai benda yang dapat meringankan luka
menjadi kebiasaanku biarpun tak pernah ada yang memasak lagi—aku dan Loka tak pandai
memasak.

Aku mencoba menghentikan pendarahannya, mengambil perban dan segera melilitkannya,


melingkari bagian atas kepala Loka, begitu pula dengan bagian kaki. Tidak sangat membantu,
tetapi setidaknya sedikit membantu. Kemudian, segera setelahnya, secara segera bercak coklat
menodai perban putih yang melilit pada tubuhnya.

Merasa cukup, aku mengisyaratkannya untuk berdiri dan segera mengunjungi rumah sakit untuk
pengobatan yang lebih baik—dari ahlinya.

Walaupun aku benar-benar bersyukur karena lelaki itu tak membunuh Loka, tetapi dalam hati aku
benar-benar berniat untuk membunuhnya ketika satu kesempatan datang. Aku tak akan menyia-
nyiakannya—pasti.

Loka masih sadar, tubuhnya mulai normal dan tak memberikan reaksi tiba-tiba atas kejadian
apapun. Dia sudah lebih nyaman ketika duduk di bangku pengemudi dan mengenakan sabuk
pengamannya. Ah, bahkan di keadaannya yang seperti itu dia masih ingat untuk mengenakan
sabuk pengaman. Aku cukup bangga.

Tujuan utamaku hanya satu—rumah sakit. Hampir tengah malam, dan seharusnya tak memakan
waktu lebih dari dua puluh menit untuk mencapai tempat itu. Aku hanya perlu memutar satu kali,
kemudian mengikuti jalan raya sebelum akhirnya belok kanan. Borromeus tak begitu jauh dari
tempat tinggalku. Dengan suasana yang ada, seharusnya tak ada kemacetan biarpun mungkin
masih ada beberapa kendaraan yang berlalu lintas memenuhi jalanan. Tapi bukan berarti semuanya
akan mengunjungi rumah sakit, kan?
Di saat yang sama, aku tersenyum simpul.

Aku tahu, menggunakan ponsel ketika berkendara bukanlah perbuatan terpuji, bahkan dilarang. Di
saat biasa, seharusnya Loka akan menegurku, melemparkan ponselku jika perlu. Namun,
keadaannya saat ini membuatnya tak banyak berbicara.

Lelaki itu memang lebih unggul dariku, apalagi secara fisik. Mungkin keterampilannya dalam
menggunakan pistol juga lebih hebat dariku. Dia cerdas—pasti. Jika tidak, bagaimana mungkin
dia bisa menemukan tempat tinggalku? Dan satu lagi hal yang kuketahui darinya, dia dapat
berkamuflase dengan hebat dan mengambil barang orang tanpa diketahui. Hal itu mengerikan,
tentu.

Namun, dia melupakan satu hal. Orang lain pun dapat melakukan hal yang sama.

Kuotak-atik ponselku, menggeserkannya beberapa kali. Segera setelah aku yakin bahwa rencana
yang kususun secara mendadak itu berjalan dengan baik, napasku sedikit menggebu-gebu akibat
tawaan kecil yang mengalir mengubah bentuk bibirku.

Rencanaku berjalan seperti apa yang kuharapkan.


11. Animus Vox

Rumah sakit bukanlah tempat kegemaranku. Bukan karena suasananya, tempat di mana orang-
orang yang tak sehat dan berkumpul menjadi satu atau segala cerita mistisnya mengenai pasien
yang tidak berhasil selamat meskipun sang dokter telah berusaha mati-matian untuk menjaga detak
jantungnya tetap stabil, tetapi desain serta peta lokasi masing-masing ruangan pada rumah sakit
selalu membuatku bingung. Bagiku, seluruh lantai terlihat sama dengan lorong-lorong yang
umumnya dicat putih. Pintu-pintu yang membatasi antar ruangan pun seolah mendukungku untuk
mengeksplorasi lebih jauh seandainya tak ingin tersasar. Jika tak ada papan petunjuk, sudah pasti
aku akan tersesat meskipun rumah sakit ini telah kukunjungi ratusan kali.

Loka mendapatkan penanganan langsung. Perban yang menutupi kepala dan kakinya segera
dilepaskan begitu ia disandarkan pada sebuah kasur empuk. Aku berbohong, mengatakan bahwa
aku dan Loka sedang latihan menembak karena ia ingin mencobanya. Ketika kupikir dia pergi
untuk buang air kecil, aku menembaknya dan tak sengaja melesat mengenai tubuhnya. Terdengar
tolol—memang—tetapi aku tak memiliki cerita lain yang lebih baik.

Penahan rasa sakit diberikan pada Loka dengan dosis yang tepat, membuatnya terpejam dalam
dalam beberapa menit setelah matanya sayup-sayup hingga akhirnya tertutup. Aku tidak diminta
keluar ruangan secara paksa, tetapi sang dokter tetap mempersilakanku. Namun, tentu tak
kulakukan. Ini bukan sebuah operasi, aku hanya ingin memastikan bahwa tak ada serpihan peluru
bersarang pada tubuh Loka dan menyebabkan luka dalam. Untungnya, doaku tampaknya
terkabulkan.

Sang dokter mengatakan bahwa Loka baik-baik saja, tak ada pendarahan di dalam tubuhnya, hanya
pendarahan luar dan itupun tidak terlalu dalam. Penangananku—katanya—sudah cukup baik.
Dalam hati, entah sudah berapa kali kuucapkan rasa syukur. Dia akan baik-baik saja.

Peluru itu hanya menggores sedikit tulangnya, tetapi tidak sampai menghancurkannya. Sabetannya
membuat daging-dagingnya terkelupas, tetapi seharusnya luka luar itu bisa pulih dengan
sendirinya, tak harus sampai memberikan alat bantu untuk membuatnya kembali berfungsi dengan
normal. Hal itu berlaku baik bagi luka pada bagian kepala maupun kakinya.
Loka mungkin mendengarkan kebohonganku saat itu. Mungkin dia bertanya-tanya akan cerita
khayalanku yang benar-benar bodoh, tetapi ia tak memberikan tanggapan apapun. Ia tak berusaha
meralat cerita yang ada dengan mengatakan bahwa orang gila memasuki rumah kami, membuat
sebuah perjanjian dengan melukai anakku. Aku tidak memberikan isyarat apapun padanya, tapi
tampaknya Loka mengerti kenapa aku memilih untuk menyembunyikan cerita itu.

Aku membayar biayanya. Terlihat sia-sia, tetapi cukup membuatku puas untuk merasa bahwa
semua hal akan baik-baik saja. Sang dokter melilitkan perban yang lebih baru dan juga dengan
lilitan yang lebih baik, tidak semrawut seperti yang kulakukan karena terburu-buru. Lukanya
seharusnya akan sembuh dalam waktu yang tak lama—katanya.

Akhirnya, malam ini berlalu. Terasa sangat lama dan benar-benar brengsek. Meskipun beribu
pertanyaan telah melintasi pikiranku, tetapi aku lebih memilih untuk menyuruhnya beristirahat,
tak perlu masuk sekolah untuk beberapa hari jika perlu. Ia memang tidur untuk sekarang ini, namun
aku ragu bahwa ia bisa memejamkan matanya dengan mudah. Kurasa, dengan seluruh kejadian
yang menimpanya malam ini, ia masih terjaga biarpun raganya tetap dibiarkan untuk melayang di
atas kasur. Namun, untuk urusan bolos sekolah, anak itu menolaknya. Aku tidak tahu apakah
karena ia merasa sekolah diperlukan dalam hidupnya atau dia memang seorang anak luar biasa
yang dapat menganggap kejadian malam ini adalah hal yang sepele dan patut dilupakan, yang pasti
dia tetap bersikukuh.

Di lain pihak, ketika aku menutup pintu kamarnya, aku tak berencana langsung tidur. Kuambil
ponsel yang kusakukan, membuka beberapa menu dan galeri sehingga kutemukan tempat di mana
keluaran dari hasil rekaman suara ada. Terpotong pada menit ke dua puluh. Waktu yang sangat
sebentar jika kubandingkan dengan hajaran-hajaran lelaki bertopi yang ditujukan padaku itu.
Padahal, aku mematikan rekaman itu ketika mengantarkan Loka ke rumah sakit.

Namun, aku tidak terlalu peduli. Yang penting, seluruh ucapan pria bertopi itu ada di tanganku.

Segera setelahnya, kuberikan pesan singkat pada Wijaya.

Besok pagi ada yang ingin kubicarakan denganmu.


===

Wijaya mendengarkan rekaman itu dengan seksama ketika jemariku mengetuk-ketuk pelipis
secara bergantian. Ia melakukannya berulang kali, memastikan bahwa tak ada sepatah katapun
yang terlewatkan. Memang, suaranya sedikit kecil—apalagi suara lelaki bertopi itu—karena saat
kurekam pembicaraan kami, kukantongi ponselku ke dalam kantung baju polo. Namun, lebih baik
daripada tak ada sama sekali, kan?

"Orang itu mengaku bahwa dia yang membunuh Pak Goto?" Wijaya akhirnya menggambarkan
ketertarikannya dengan sebuah pertanyaan.

Gerakan jemariku kuhentikan. "Ya."

"Bukan atas dasar perampokan?"

"Dia tak mengatakannya secara langsung." Aku berusaha mengambil posisi yang nyaman sembari
berbicara. "Tapi dia bilang dia tak akan membunuh Pak Goto hanya untuk sebuah dompet. Kurasa
cukup meyakinkan."

"Lalu untuk apa?"

"Aku tidak tahu—belum," balasku. "Tapi kau mendengarnya memintaku untuk mencari arsip
kasus enam tahun lalu pada tanggal 14 Februari, kan? Suatu kasus yang berkaitan dengan Lima."

"Lima?"

"Nama orang."

Wijaya menaikkan sebelah alisnya. Aku tahu, dia memberikan pertanyaan yang sama sepertiku
ketika pertama kali mendengarnya. Nama macam apa itu?

Namun, kini aku dapat mengklarifikasinya. Lima bukanlah nama orang, kurasa hanya sebuah
sebutan yang digunakan lelaki bertopi itu untuk seorang lelaki bernama Luthfi, seorang laki-laki
yang bunuh diri akibat overdosis.
"Saya tak mendengarnya meminta Anda untuk mencari arsip kasus itu, Pak."

"Ponselku jatuh di dekat ketika ia memukulku dan ia mengucapkan itu di lantai dua. Kalau kau
bertemu dengannya, kau pasti merasa membutuhkan pengeras suara untuk mendengarnya
berbicara." Pemandangan yang sama seperti yang tadi malam terjadi segera terlintas di dalam
benakku. "Teriakannya terdengar seperti kita yang sedang berbicara di ruangan ini. Suaranya
rendah dan tidak begitu keras."

"Ah." Wijaya menarik ponselku, menggeserkan bagian pengatur waktu dan menariknya beberapa
menit ke belakang, berusaha mendengarnya dan memastikan bahwa ia mendapati waktu yang pas
untuk menyamakannya dengan ceritaku. Namun, usahanya tak berhasil. Sebagai gantinya, ia
berkata, "Saya mengerti."

"Dan kasus itu—" Aku mengambil tumpukan kertas hasil salinan yang kudapatkan dari berkas
yang tersimpan di ruang bawah tanah. Dokumennya sangat banyak, aku tak ingin membuang-
buang tinta bagus dengan mencetak tulisan-tulisan ini ke dalam kertas. Tinta fotokopi di kantor
kami memang memiliki kualitas yang lebih buruk, tetapi harganya tidak semahal tinta printer.
Walaupun aku memiliki kewenangan untuk menggunakannya, tetapi tetap menjadi kewajibanku
untuk tak menyia-nyiakannya. "Kurasa berkaitan dengan lelaki ini."

"Anda rasa?"

"Dia hanya bilang mengenai tanggalnya, 14 Februari enam tahun lalu. Dia tak memberitahuku
kasus apa yang diinginkannya. Perampokan? Pembunuhan? Percobaan bunuh diri? Aku
mengambil asumsi jika dia ingin aku yang melakukannya, mungkin berkaitan dengan hilangnya
nyawa seseorang." Aku menarik napas. "Ada empat kasus yang berkaitan dengan hal itu.
Penemuan mayat, hari di mana matinya korban. Tapi aku hanya menemukan satu kasus di mana
seseorang dengan inisial L terpampang di dalam berkas. Namanya Luthfi, berumur 27 tahun kala
itu, meninggal karena overdosis. Ditemukan di dalam rumahnya sedang duduk di sofa dengan
televisi yang masih menyala."

"Kenapa Anda begitu yakin bahwa itu adalah kasus yang diinginkannya, Pak?"
"Kau mendengar bahwa dia mengujiku, kan?" Kukembangkan kedua kelopak mataku,
menggantungkan alis dan menunggu jawaban dari Wijaya. Namun, aku tak memiliki kesabaran
sebanyak itu hingga akhirnya kulanjutkan. "Kurasa dia ingin mencari tahu jalan pikiranku. Dia tak
bisa membunuhku karena dia tahu dia hanya bisa mengandalkanku, jalan pikiranku. Setidaknya
dia belum menemukan yang lain. Mungkin dia sudah membunuhku jika ia mengetahui ada orang
lain yang juga bisa diandalkan. Dan ... di saat itulah keadaan ...." Seluruh pemandangan itu kembali
melintasi benakku, begitu nyata, sehingga suara tembakan yang teredam pun tampaknya terdengar
sekali lagi di dalam otakku.

Teriakan Loka yang tertahan oleh gumpalan kain yang sewaktu-waktu dapat membuatnya tersedak
seolah-olah tak dapat lepas dari pikiranku. Di saat yang bersamaan, aku berpikir bahwa Loka
benar-benar akan mati.

"Aku tak pernah berpikir si brengsek itu benar-benar akan menembakkan pistolnya. Ketika
pertama melihatnya, aku yakin bahwa dia tak akan membunuh Loka, dia hanya ingin
mengintimidasiku dan membuatku menuruti keinginannya. Aku menolak, berpura-pura tertekan,
tetapi di saat itulah dia menembakkan pistolnya dan aku berpikir ulang. Dia bisa saja membunuh
Loka. Aku tak dapat berpikir lagi dan akhirnya menyetujui keinginannya. Sialan, padahal aku bisa
menggali lebih dalam."

Aku tahu ketika sepatu Loka berserakan di pintu depan, sesuatu yang tak beres terjadi. Apalagi,
ketika itu kutemukan sebuah mobil asing yang tak pernah ada sebelumnya di lingkunganku. Aku
telah mencatat nomor polisinya, melacak siapa pemiliknya dan di mana tempat tinggalnya, tetapi
aku belum melakukan hal lain yang lebih jauh. Catatan itu telah kusimpan di dalam ponsel
seandainya sewaktu-waktu akan kukunjungi sang pemilik mobil yang tampaknya adalah korban
pencurian. Namun, untuk saat ini fokusku tetap berteguh pada lelaki bertopi itu. Aku hanya ingin
meyakinkan Alex bahwa kasus ini bukanlah kasus perampokan, melainkan memang sebuah
pembunuhan berencana. Sialnya, aku tidak bisa menemukan saat yang tepat untuk
memberitahunya.

Aku tak peduli jika mereka tetap ingin mengambil tindakan brengsek untuk menangkap kawanan
perampok itu, tetapi aku tahu lebih jauh bahwa apa yang dilakukan lelaki bertopi pada Pak Goto
itu bukanlah sekadar perampokan, tetapi memang berdasar pada sebuah pembunuhan. Aku ingin
menghukumnya lebih berat, hukuman mati jika bisa.

Namun, di saat yang sama perasaan bersalah timbul dalam benakku. Pikiranku mengenai sang
informan itu tampaknya sudah jelas. Jika memang si brengsek itu mengatakan yang sebenarnya,
yang artinya dia hanya ingin menguji tindakanku, maka seharusnya membiarkan sang informan
membocorkan rencana mereka padaku adalah salah satu rencana mereka, melihatku apakah benar-
benar datang atau tidak. Aku tidak tahu apa maksudnya menginginkanku bertindak seperti itu,
tetapi kurasa tak mungkin akan salah. Mungkin dia ingin memastikan bahwa aku memang sering
bertindak gegabah yang entah akan digunakannya untuk apa.

"Aku beruntung karena aku tak berpikir panjang dan langsung menyalakan rekaman. Kurasa si
brengsek itu tak menyadarinya. Dia terlalu merasa dirinya sempurna. Kurasa aku bisa menyelidiki
identitasnya melalui kasus ini. Jika dia benar-benar menginginkannya, ia pasti memiliki motivasi
yang sangat kuat, kan?" Akhirnya, aku menambahkan. Dengan nada ketus dan lebih tampak
enggan untuk berdiskusi. Tetapi, tentu tidak seperti itu.

"Apa lelaki itu benar-benar seperti itu, Pak? Maksud saya, dari cerita Anda, tampaknya—"Wijaya
menimbang-nimbang. Ia ragu, tetapi pada akhirnya ia melanjutkan kalimatnya. "Berbahaya."

"Dia perampok biasa. Dia hanya melakukan pembunuhan di sela-sela waktu."

"Saya tahu. Dia merampok, membunuh, bahkan mencopet. Tapi jika Anda lihat dari sisi lainnya,
Pak. Bagaimana mungkin ada seseorang yang dapat menembak pelipis seseorang tanpa menembus
otaknya?"

"Mungkin dia hanya beruntung."

"Dua kali?" Wijaya tampak ragu, tak percaya mendengar ucapanku. "Tiga kali jika Anda
menghitung luka yang ada pada kaki Anda yang tak membuat Anda mati. Seperti yang Anda
bilang, Pak, dia tak benar-benar berniat membunuh Anda ataupun Loka. Bukankah dia sendiri
yang bilang bahwa dia tidak akan membunuh Anda? Dan dia tidak melakukannya."

"Kenapa kau menjadi seorang simpatisan seperti itu? Pada orang brengsek semacam dia, lagi?"
Wijaya terkejut. Ucapanku terlalu keras, aku menyadarinya. Dengan nada yang lantang seperti itu,
pasti aku benar-benar terdengar sedang marah-marah. Sungguh, aku tak berniat seperti itu. Namun,
napasku terlanjur menggebu-gebu. Aku menatapnya tajam dan dia menatapku dengan tak percaya,
seolah-olah aku adalah orang terakhir yang ingin dia kunjungi.

"Saya tak bermaksud menyinggung Anda, Pak," katanya dengan nada yang lebih rendah. "Saya
hanya ingin mengatakan bahwa lelaki itu memiliki kekuatan untuk membunuh Anda, membunuh
siapapun yang ada di sekitarnya. Dia ahli dan dia sudah melakukan hal itu beberapa kali. Dua kali
sejauh penglihatan kita. Anda mengatakan bahwa dia merasa dirinya sempurna. Bagaimana
dengan Anda sendiri?"

Ludah yang telah bergumul di dalam mulutku terasa pahit.

"Selama kita bekerja sama, Pak, kita belum pernah menemukan orang seperti ini. Kita pernah
menemui beberapa psikopat gila yang dapat membunuh siapapun, seseorang yang melakukan
kekerasan hingga mengancam kita, berharap kita untuk mati, tetapi pada akhirnya nyali mereka
ciut ketika kebenaran terungkap. Dan orang ini—sedikit berbeda." Wijaya mendorong kepalanya,
lebih jauh daripada jangkauan tanganku sehingga aku harus melompat jika ingin menangkap
kepalanya. "Dia memiliki kemampuan, cerdas seperti yang Anda bilang. Kita belum tahu
identitasnya, kita belum bisa menyergapnya. Namun, lelaki itu memiliki keberanian untuk
menunjukkan wajahnya tepat di depan Anda—hanya di depan Anda—seolah-olah yakin ia tak
akan tertangkap. Bagaimana jika dia memang memiliki prinsip seperti itu?"

"Aku sempat memikirkan hal yang sama."

Namun, Wijaya tak peduli, dia meneruskan ucapannya.

"Yang ingin saya tekankan adalah, orang ini tampaknya tak akan peduli dengan apa yang ia
lakukan, tetapi dia memegang janjinya. Mungkin karena ia tak takut akan apapun, tetapi saya tak
ingin Anda melihat itu sebagai kelemahan, Pak. Saya tahu Anda merasa bahwa dia merasa dirinya
terlalu sempurna, tetapi Anda pun memanfaatkan hal itu dan tak jauh berbeda dengannya. Anda
pun merasa rencana yang Anda lakukan seluruhnya sempurna. Sekarang? Informan Alex tak ada
kabar, Loka terluka." Gumaman Wijaya terdengar nyaring dalam telingaku, padahal dia berbicara
dengan nada yang biasa saja. "Anda harus mulai memikirkan seluruh tindakan Anda sebelum
melakukannya, Pak. Ketika Anda mengejar Raymond, Anda terlalu gegabah mengejarnya
sehingga Anda disetrum, beruntung kala itu Raymond tak menghabisi nyawa Anda. Selain itu,
ketika Anda mengejar Pak Cakra, pada akhirnya Anda mengalami luka tembak. Masih untung di
bagian kaki, bukan pada kepala Anda. Selama ini saya pikir saya tak dapat menghentikan Anda
dari seluruh tindakan Anda yang terburu-buru, Pak. Tapi orang ini berbeda, dia bukan Raymond
yang hanya bergantung pada peralatannya atau Pak Cakra yang bahkan tak dapat
menyembunyikan kejahatannya, orang ini berbeda."

"Pepatah dari seseorang yang lebih muda dariku dengan masa kerja yang bahkan lebih sedikit
dariku."

Wijaya menggeram pelan. Ia kesal—mungkin. Tetapi aku belum bisa menerimanya. Orang itu
melukai Loka, bagaimana jika hal yang sama terjadi pada anaknya? Dan sekarang, dia memintaku
untuk tak bertindak ... sebut saja seperti diriku.

"Saya hanya ingin bilang bahwa sebaiknya Anda tak bertindak seenaknya seorang diri untuk kasus
ini, Pak. Paling tidak ceritakan terlebih dahulu pada saya. Karena jelas lelaki bertopi itu bukan
orang sembarangan."

"Aku meneleponmu."

"Sebelum melakukan suatu tindakan."

"Seperti segera berlari keluar setelah melihat sepatu Loka yang berantakan dan melihat sesuatu
yang ganjil?" Aku bertanya dengan nada mengejek. Cukup menyebalkan, bahkan di telingaku
sendiri.

"Laki-laki itu memegang janjinya, saya hanya ingin mengatakan hal itu. Saya tak ingin tahu apa
yang terjadi seandainya Anda melakukan sesuatu yang ... sebut saja di luar keinginannya. Saya tak
ingin Anda menganggap seluruh rencana yang akan Anda lakukan itu—semuanya—berjalan
dengan lancar. Loka tidak meninggal adalah sebuah keberuntungan karena lelaki itu memegang
janjinya, bukan ketika lelaki itu menembak pelipis dan kakinya."
"Jadi, kau ingin aku bekerja sama dengannya?"

"Untuk menghindari hal yang tak diinginkan."

"Kenapa kau tak berpikir dia akan membunuhku ketika aku memberikan berkas itu?"

Wijaya tak menjawabnya. Di saat yang bersamaan, dia lebih memilih untuk diam, kemudian
berdiri meninggalkan ruanganku. Di saat itu, tepat ketika ia di depan pintu dengan tangan yang
masih memegangi kenop pintu, Wijaya berkata, "Lelaki bertopi itu mengunjungi saya sebelum
mengunjungi Anda, Pak."
12. Das Malefitz

Aku terhenyak untuk sesaat, ucapan terakhir Wijaya sebelum meninggalkan ruanganku memaksa
untuk hinggap di dalam pikiranku. Pikiranku yang berkabut seolah dibumbui oleh amisnya darah
sehingga siapapun yang melewatinya bisa muntah dengan cepat. Berantakan dan berbau tak sedap.

Perlu waktu beberapa detik hingga akhirnya kuputuskan untuk berlari kecil meninggalkan
ruangan, menemui Wijaya yang tengah berjalan di dalam lorong tanpa melongok sedikitpun ke
arahku sebelum aku berteriak memanggilnya. Jika aku sedang berada di stasiun kereta api,
mungkin orang-orang sudah melihatku seperti orang gila yang tak memiliki teman, berusaha
menyapa siapapun yang berpotensi untuk menemani perjalananku.

Wijaya berhenti, dia berbalik tetapi tak berjalan mendekatiku. Sebaliknya, aku mendekatinya.

"Apa maksudmu menemuimu?" Aku tak berbasa-basi lagi. Bahkan, tembakanku lebih mantap dari
seharusnya, mendapatkan lebih dari seratus poin.

Namun, Wijaya tak segera membalas ucapanku. Kulihat rautnya dengan jelas, ia tak ingin
membicarakannya. Mungkin, karena merasa aku adalah orang tertolol yang pernah ditemuinya
sehingga ia merasa tak perlu membicarakannya denganku. Namun, pada akhirnya ia terpaksa
membuka mulut.

"Malam setelah rencana Anda. Anda ingat kan, Pak? Ketika kita menunggu perampokan itu."

Aku kembali mengingatnya. Tentu, bagaimana mungkin aku bisa melupakannya?

Aku mengangguk. "Ya."

"Informan Alex bukannya tak ada kabar seperti yang saya katakan sebelumnya. Dia ketahuan.
Mereka membunuhnya dan menghancurkan jasadnya. Cairan asam."

"Lelaki bertopi itu yang memberitahukannya padamu?"


Wijaya mengangguk, sedikit ragu untuk melakukannya, tetapi dia tak menolak untuk
melanjutkannya hingga beberapa kali anggukan. Kemudian, di saat yang bersamaan, aku tak dapat
memberikan respon yang baik. Tubuhku lebih kaku dari batang pohon besar yang ditiup angin
topan tetapi tetap bergeming. Sebagai gantinya, kurapikan beberapa bagian bajuku yang kusut,
menenggelamkannya dalam celana dan membuat bahuku terasa tertarik akibat kain yang
dimasukkan terlalu dalam.

"Saya berbohong ketika mengatakan bahwa tak ada kabar lagi dari informan Alex, maaf."

"Lalu—" aku menarik napas sekali lagi, "Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa dia memegang
janjinya?"

Wijaya memicingkan kedua matanya, terlihat seolah ingin menyerudukku, tetapi tentu saja tak
dilakukannya.

"Lelaki itu tak membunuh saya, Pak, seberapa besarpun kesempatannya."

Aku tidak setuju. "Biar kutebak, dia bilang tak memiliki alasan untuk membunuhmu?"

"Iya."

"Ia mengatakan hal yang sama padaku."

"Lelaki itu pun berkata—" Wijaya melemparkan bola matanya ke arah yang berlainan, terlihat
seperti melemparkan penglihatannya sebagai bentuk penyegaran dari pemandangan yang ada di
depannya—diriku. "Dia meminta maaf karena ia tak berhasil menyelamatkan informan itu.
Teman-temannya—katanya—bertindak lebih dulu sebelum ia bisa mengambil tindakan."

"Dan kau memercayainya?"

"Kenapa saya tak bisa memercayainya, Pak?"

Aku berdecak, kemudian menggeleng tak percaya. "Demi apapun, Wijaya! Dia orang jahat!"
"Kenapa Anda berusaha membebaskan Janu ketika semua orang berpikir bahwa dia membunuh
saudaranya sendiri, Pak?"

Aku terperanjat. Pertanyaan itu tak pernah keluar dari mulut Wijaya sebelumnya, setidaknya
dengan nada lantang dan tinggi seperti itu, berusaha menantang diriku. Temponya yang cepat
terlihat mengubah Wijaya secara signifikan. Pribadi tenangnya seolah hilang karena keegoisanku.
Sejujurnya, aku kaget, tetapi aku tak ingin memperlihatkannya secara terang-terangan. Jadi, aku
membalas, "Itu kasus yang berbeda. Aku memiliki bukti yang kuat untuk meyakinkan orang-orang
agar Janu keluar dari penjara. Untuk kasus ini, bahkan secara terang-terangan pun lelaki bertopi
itu mengaku membunuh Pak Goto, kan?"

Wijaya menjilat kedua bibirnya. Ia tahu bahwa emosinya sudah mencapai puncak kepalanya,
hampir melewati batas, sehingga ia berusaha untuk menahan amarahnya daripada harus memukul
wajahku dan menciptakan memar biru yang memalukan.

Demi apapun, aku tidak tahu percakapan seperti apa yang Wijaya lakukan bersama lelaki bertopi
itu. Namun, yang pasti bukanlah sesuatu yang bagus. Apakah dia berhasil mencuci otak Wijaya?
Bagaimana jika rencana berikutnya adalah memerintahkan Wijaya untuk mengambil nyawaku?
Mungkin saja, kan?

Sekali lagi, kugelengkan kepala, tetapi kali ini lebih untuk menghancurkan seluruh halusinasi tolol
yang secara tiba-tiba melewati otakku dan seolah berkata 'selamat pagi'.

Hingga akhirnya, sebuah kalimat terlontar dari mulut Wijaya. "Bagaimana jika lelaki bertopi itu
jujur, Pak?"

"Tidak mungkin."

"Saya mohon, Pak Roy—" Wijaya kini terdengar berdalih, tetapi tetap lebih buruk dari Loka yang
meminta uang padaku untuk membeli pulsa. Kemudian Wijaya kembali melangkahkan kakinya,
meninggalkanku yang tentu saja tak kuterima begitu saja. Secara sigap, kucoba untuk meraih bahu
Wijaya, menariknya dan sekali lagi membuat langkahnya berhenti. Wijaya terlihat enggan untuk
melancarkan argumennya lebih lanjut, dan aku tahu benar ada sesuatu yang tak beres dengannya—
bukan Wijaya yang biasanya.

Aku menatap matanya dalam-dalam, menajamkan alisku dan sekali lagi Wijaya tak ingin
membalas tatapanku.

"Ada sesuatu yang lain yang belum kau beritahukan padaku, kan?" Aku mencoba meyakinkan
diriku sendiri bahwa tebakanku tak salah. Jika Wijaya memiliki suatu masalah yang tak
terselesaikan, maka ia akan membicarakannya denganku—khusus yang berkaitan dengan suatu
kasus. Namun, jika dia tak menceritakannya padaku, maka hal itu lebih terkait pada masalah
pribadi. Aku tak yakin hal itu berkaitan dengan rumah tangganya, lebih seperti bersangkutan
denganku. Entah karena hasil cuci otak yang dilakukan lelaki bertopi itu berhasil atau memang
suatu hal terlarang yang baru saja ditemui Wijaya, mengganggu pikirannya dan tak dapat ia
bagikan padaku.

Dalam dua detik, kulepaskan genggamanku, bahunya kini kembali mengembang, tetapi aku tak
mendapatkan jawaban yang diinginkan. Dengan cepat, Wijaya memberitahuku bahwa memang
ada sesuatu yang tak ia beritahukan padaku—belum, tepatnya. Namun, ia merasa harus
memastikannya sekali lagi.

Aku sendiri, secara tak sabar mendesaknya untuk membicarakan hal itu, tetapi entah sejak kapan
Wijaya menjadi keras kepala. Berulang kali ia gelengkan kepalanya, menandakan bahwa ia tidak
siap untuk membicarakannya. Namun, aku tak ingin terlihat kasar di depan semua orang. Beberapa
rekan kerjaku mulai memperhatikan, bagaimana aku terlihat memaksa Wijaya untuk membagikan
pendapatnya denganku secara tak menyenangkan, seperti seorang laki-laki bertubuh besar yang
tengah menyerang anak autis dengan buku-buku jarinya yang entah untuk apa digesekkan.

Jadi, aku menyerah. Wijaya pergi dan aku tak mendapatkan apa-apa selain hasil jerih payahku
untuk menelisik laporan yang lebih jauh mengenai seorang lelaki muda—jika dibandingkan
denganku—yang mati sia-sia karena overdosis obat-obatan. Harus kuakui, kasus seperti ini banyak
terjadi, betapa membludaknya orang-orang aneh yang sengaja mencampurkan obat-obatan—racun
lebih tepatnya—untuk membuat tipisnya batas antara hidup dan mati. Maksudku, jika tak mampu
membeli minuman keras, kenapa harus membuatnya dengan formula yang tidak benar? Bagiku
lebih seperti bunuh diri daripada kecelakaan.

Aku telah memiliki visi yang jelas. Jika memang kasus ini adalah kasus yang diinginkan oleh lelaki
bertopi itu, maka aku dapat menelisik lebih jauh mengenai kehidupannya. Motif yang kuat pasti
mendorongnya untuk mengambil berkas ini, dan kurasa aku bisa menemukan koneksi yang tepat
di antaranya. Selain itu, dengan adanya rekaman yang sengaja kupasang, aku dapat meyakinkan
semua orang bahwa pembunuhan yang ditimpakan pada Pak Goto tidaklah didasari perampokan.
Si lelaki bertopi sendiri itu yang mengakuinya. Jika sebelumnya aku hanya dapat bergantung pada
keinginanku, mungkin kali ini aku bisa mendapatkan bantuan penuh untuk menangkap lelaki
bertopi itu—mungkin.

Aku ingat, Alex mengatakan bahwa ia memerlukan waktu yang sangat lama hanya untuk
menyusup ke dalam kelompok itu, tetapi alasan utamanya tidak ditujukan untuk satu orang,
melainkan satu kelompok. Dan saat ini, dengan bergabungnya divisi perampokan dan
pembunuhan, setidaknya aku bisa berharap peluang untuk menarik lelaki bertopi itu keluar dari
persembunyiannya semakin besar. Dan di saat yang bersamaan, dia bisa membocorkan informasi
mengenai kelompok perampoknya.

Sekali tepuk dua lalat. Tidak buruk, kan?

===

Di luar sana, ratusan ribu orang tengah beraktivitas. Beberapa di antaranya mungkin tengah meniti
jemarinya di atas keyboard, menuliskan berbagai simbol untuk ditampilkan di depan layar ponsel
maupun komputer personal mereka, mengirimkan berbagai status di media sosial yang seharusnya
tak dibagikan untuk orang banyak. Aku sendiri termasuk salah satu orang yang menjadi bagian
dari kelompok itu—untuk saat ini. Kedua jempolku terasa kaku saat menyentuh layar, tetapi
permukaan halusnya menggeser halaman putih untuk mencari berita lain yang mungkin dapat
menarik perhatianku.

Ini bukan pilihanku, tetapi aku tak memiliki banyak alternatif untuk membuang waktu. Di ruangan
komisaris Yudha, tak ada mainan apapun yang dapat kumainkan dan kurasa mengacak-acak
ruangannya hanya akan membuatnya melotot padaku. Jadi, daripada aku diberi skorsing karena
perbuatan tak menyenangkan, aku memilih untuk mencari berbagai hal yang mungkin dapat
menarik perhatianku, tentu saja melalui dunia maya, seperti: bagaimana cara memorak-
porandakan kantor Komisaris Yudha tanpa membuatnya marah.

Pada akhirnya, aku mengajukan permohonan agar kasus yang dialami oleh Pak Goto dikeluarkan
dari bagian perampokan dan dialihkan pada bagian pembunuhan. Aku tak bermaksud untuk
mengambilnya secara paksa, menjadi seseorang yang egois dan menganggap dapat menyelesaikan
kasus itu seorang diri. Hanya saja aku ingin memberitahukan pada semua orang, khususnya orang-
orang yang berada pada divisiku juga divisi perampokan, bahwa kasus yang terjadi bukanlah kasus
sembarangan. Aku setuju dengan ucapan Wijaya, "Orang ini berbahaya." Namun, aku tak memiliki
alasan lain untuk menahan diri menangkap orang itu. Dia adalah orang gila yang berani
menampakan wajahnya di depan wajahku, memperlihatkan ancaman dan menganggapku sebagai
makhluk rendahan yang tak dapat berbuat apa-apa. Bagaimanapun, aku tak dapat membiarkannya.

Kuserahkan rekaman itu pada Komisaris Yudha, tentu saja setelah kusalin dan kusimpan dalam
penyimpanan data di cloud, berjaga-jaga seandainya kejadian buruk menimpa ponselku. Selain itu,
sebagai bentuk pencegahan tambahan, aku menyimpannya di dalam komputer butut kantorku.
Jadi, aku tak perlu berteriak histeris seperti seorang mahasiswa yang kehilangan data skripsinya
sebelum ia hendak mengajukan sidang.

Akhirnya, secara sigap Komisaris Yudha mendengarkan ceritaku. Ia setuju dan akan segera
melaporkannya pada para pengurus—komisaris-komisaris yang lain—kasus itu. Musyawarah luar
biasa, katanya. Jadi, di sinilah aku, tak dapat bergerak lebih jauh sebelum mendapatkan keputusan
musyawarah itu, dan sialnya di saat yang bersamaan aku tak membawa apapun untuk
menghilangkan rasa bosanku dalam menunggu—tentu selain ponsel ini.

Baru saja aku ingin mengeluh, mengeluarkan kata kasar ketika jarum panjang telah berputar
hampir setengah lingkaran, secara tiba-tiba Komisaris Yudha membuka pintu dan membuatku
terkejut. Ia mendorong pintu dengan kasar. Wajahnya muram, alisnya menajam. Namun, aku tidak
begitu memperhatikan suasana hati yang sebenarnya tergambar dengan jelas pada wajahnya.

"Bagaimana?" Aku bertanya secara langsung tanpa adanya basa-basi.


Reaksi yang sama diberikan Komisaris Yudha padaku.

"Orang-orang tak menyetujuinya."

Tentu, secara spontan aku berdiri setelah melemparkan ponselku scara halus ke atas meja. Aku
tidak dapat memercayainya.

"Kenapa?"

Aku bertanya-tanya. Jujur saja, di dalam hatiku beragam pertanyaan telah bercampur, carut marut.
Walaupun hanya satu kata yang terlontar keluar dari mulutku, rangkaian kalimat yang lain seolah
memenuhi indera pendengaranku—tentu secara imajinatif.

Napasku mulai tersengal, kerutan wajahku tak kalah buruknya dengan kerutan wajah yang
ditampilkan Komisaris Yudha.

"Mereka tetap menganggap kasus itu sebagai kasus perampokan."

"Kau mendengar rekaman itu, kan?"

Komisaris Yudha tak menjawabnya, antara ia memang tak ingin menjawabnya atau karena merasa
tindakanku sedikit—banyak, sih—tak sopan. Sialannya, aku tak dapat menahannya lagi.

Brengsek, gerutuku.

Akhirnya, aku mencoba menenangkan diriku, berpikir lebih baik, mencoba untuk tak melihat
mereka sebagai sesuatu yang salah. Aku telah melakukannya pada Wijaya dan hal itu tak berakhir
dengan baik.

Jadi, aku mencoba mengganti pertanyaan sebelumnya. Lebih halus, lebih tertuju, biarpun
sebenarnya memiliki makna yang sama, memastikan bahwa mereka salah tanggap.

"Kenapa mereka tak mengambil keputusan bahwa kasus ini merupakan kasus murni pembunuhan
dan tetap menetapkannya sebagai kasus murni perampokan?"
Komisaris Yudha kini berdiri sambil menyakukan kedua lengannya. Kemudian, ia berkata,
"Rekaman itu bisa dibuat-buat."

"Hah?"

Aku pikir aku akan menemukan alasan yang lebih baik, aku hanya mendengar omong kosong yang
tak lebih dari gurauan yang tak lucu.

Mulutku menganga, dua kali lebih lebar dari biasanya hingga kurasa bola tenis dapat melesat
masuk melalui mulutku untuk melanjutkan perjalanan mengelilingi kerongkongan. Alasan tak
logis macam apa itu?

"Itu tidak masuk akal."

Namun, Komisaris Yudha tak menyanggah.

"Aku tahu," katanya. Aku yakin benar bahwa dia mengucapkan itu secara sungguh-sungguh, tetapi
tampaknya ia memang tak dapat melakukan apapun.

"Astaga! Demi apapun! Loka terluka karenanya dan mereka menganggapku mengada-ada?"

"Mereka mungkin baru akan percaya jika melihat keadaan anakmu itu secara langsung."

Benar. Pilihan itu dapat membuat pernyataanku langsung valid seratus persen. Tetapi orang
brengsek macam apa aku memanfaatkan anakku sendiri hanya untuk meyakinkan orang-orang itu
bahwa mereka melakukan kesalahan? Loka terluka karena aku dan aku malah memanfaatkannya?
Tidak mungkin kulakukan.

Gumamanku dalam hati tak berhenti begitu saja, tetapi mulutku yang sedari tadi menganga, kini
telah menutup sempurna. Kukeluarkan napas melalui mulutku secara perlahan, membuat suhu
ruangan yang berbeda untuk beberapa saat.

"Ada sesuatu yang mereka sembunyikan." Akhirnya, satu kalimat pendek keluar dari mulutku,
memecah bendungan yang sedari tadi menahanku untuk berbicara. "Mereka tak ingin melepaskan
kasus itu. Karena itulah mereka terus berusaha untuk menahan kasusnya, memberikan pernyataan
brengsek yang bodoh hanya untuk menahan kasus itu dalam tanganan mereka."

Komisaris Yudha tak memberikan reaksi. Sedangkan aku, di samping mulutku yang berucap,
pikiranku seolah menjadi mulut kedua untuk berbicara. Aku mendengar dua suara sekaligus.

"Masalahnya bukanlah pada Pak Goto. Masalahnya pada divisi perampokan. Mereka ingin
mengambil kasus ini."

Aku bermonolog seperti orang gila ketika Komisaris Yudha—masih dengan kedua lengannya yang
disakukan—tak berkomentar apa-apa. Sedangkan kini kutepuk dahiku dengan telapak tanganku.

Aku tahu, mereka menetapkan kasus ini sebagai perampokan, tetapi sebelumnya aku selalu
menganggap bahwa mereka melakukan kesalahan dalam dugaan. Aku tak pernah mengira bahwa
mereka memang sengaja menutupi kasus ini sebagai kasus perampokan. Dan kini, dengan
teguhnya pendirian mereka dalam menetapkan kasus ini, kurasa tak ada penjelasan logis lain lagi
selain mereka—orang-orang yang berada dari divisi perampokan—ingin mengambil kasus ini.

"Apa yang kaubicarakan?" Akhirnya, Komisaris Yudha memberikan tanggapannya setelah


mematung beberapa saat. Dan di saat yang bersamaan, dia berjalan menuju kursinya, menarik bahu
kursi itu sehingga papan tempat Komisaris Yudha biasa duduki terambil, keluar dari
persembunyiannya.

"Mereka memaksa kasus ini ditetapkan sebagai kasus perampokan," beritahuku. Namun, kulihat
Komisaris Yudha terlalu sibuk memosisikan dirinya untuk duduk senyaman mungkin. Kini,
jambang tipis yang memenuhi wajahnya telihat berkilauan di balik penerangan lampu.

Ketika aku mencoba menangkap lelaki bertopi itu, bayarannya adalah seorang informan yang mati.
Bahkan, lebih buruk lagi, aku tak mendapatkannya. Setidaknya, aku dapat menangani kasus ini
secara leluasa jika memang kasus ini ditetapkan sebagai kasus pembunuhan.

Ternyata tidak semudah itu.


"Yang tadi berkumpul tidak hanya orang-orang yang membawahi divisi perampokan, Roy."
Komisaris Yudha berkata. "Sebagian besar dari mereka tidak setuju. Aku tak berkutik."

"Berapa orang yang tidak setuju?"

"Enam dari sembilan orang."

"Membawahi divisi apa saja?"

"Aku tidak ingat." Komisaris Yudha terlihat tak senang dengan pertanyaanku. "Dengar, aku tahu
kau marah, tetapi keputusan sudah dibuat."

"Kau tidak dapat melakukan apapun? Maksudku—"

Belum sempat kuselesaikan kalimat itu, Komisaris Yudha segera memotongnya, tak memedulikan
seluruh kalimat yang belum kusempurnakan.

"Enam dari sembilan orang, Roy!"

Aku menarik napas, menajamkan penglihatanku. Aku melihat Komisaris Yudha sebagai mangsa,
dan aku yakin benar bahwa ia merasa tertantang.

Aku seharusnya tak melakukannya, itu tak sopan. Tetapi aku benar-benar tak dapat menerima
alasan tak logis semacam itu.

"Aku percaya akan ceritamu, tetapi mereka bukan diriku."

"Alasan itu irasional!"

"Kalau kau memperlihatkan keadaan anakmu, mungkin mereka akan memikirkannya lebih jauh."

"Loka sedang terguncang dan aku tak ingin membuatnya terlihat seperti bahan tontonan yang
sengaja kumanfaatkan!"

"Kalau begitu aku tak dapat membantumu, brengsek!"


Kepalaku terlihat melejit menembus angkasa. Aku tak pernah mendengar panggilan itu lagi dari
Komisaris Yudha, setidaknya setelah perkelahian kami saat aku dan dia masih berada di dalam
golongan yang sama, ketika ia belum menjadi atasanku. Dan kini, ia melakukannya lagi,
memberikan panggilan itu.

Tidak, aku tidak merasa tersinggung. Panggilan itu malah membuat Komisaris Yudha menganggap
pernyataanku secara serius. Dia akan memanggilku seperti itu ketika kami beradu argumen,
menentukan siapa yang salah atau benar, termasuk memaksakan kehendak kami masing-masing.
Aku sendiri terkadang memanggilnya dengan sebutan yang sama, tetapi tak pernah kuucapkan
secara gamblang lagi ketika aku tahu bahwa ia mendahuluiku dan menjadi atasanku.

Sebagai gantinya, aku berdeham. Dari lubuk hatiku, aku tak menyangkal bahwa apa yang
dikatakan Komisaris Yudha itu ada benarnya. Mereka hanya perlu melihat Loka sehingga mereka
terpaksa percaya. Namun, dalam pikiranku, aku kembali berdalih untuk tak melakukannya. Sekuat
mungkin kututup mulutku, mencegahnya untuk berkata 'ya, akan kuperlihatkan.'

Aku pernah berada dalam keadaan terguncang, ketika ayah tiriku sendiri berusaha menarik
tubuhku, membantingku, mungkin berusaha membunuhku. Aku tahu benar perasaannya—tak
ingin melakukan apapun. Dan ketika kuantarkan Loka ke rumah sakit, aku dapat melihat hal yang
sama berada dalam dirinya, biarpun tentu secara mental Loka sudah lebih dewasa daripada diriku
kala itu. Namun, bukan berarti rasa trauma tak akan hinggap dalam kepalanya.

Aku tak ingin melakukannya, tetapi aku harus melakukannya jika ingin membuka kasus ini secara
resmi—membuatku mendapatkan dukungan penuh untuk melakukannya. Penyelidikan tak resmi
bukanlah hal yang kusukai ketika aku tahu benar akan sesuatu yang tengah terjadi. Orang-orang
akan menanyakan penyelidikanku, motif apa yang kulakukan dan kenapa harus kulakukan. Aku
tak bisa mendapatkan akses seluas mungkin. Aku sudah tahu apa diinginkan lelaki bertopi itu
dengan memberikan pesan rahasia brengsek yang tak begitu rahasia, tak ada alasan lagi bagiku
untuk melakukan penyelidikan ilegal dan menghilangkan nyawa seseorang—informan itu—jika
apa yang dikatakan Wijaya adalah benar.

Jadi, apa yang harus kulakukan?


13. Das Malefitz II

Kalau keteguhan hatiku goyah, mungkin aku sudah meminum minuman keras malam ini,
menghilangkan seluruh pemikiran konyol mengenai segala bentuk kemungkinan yang akan terjadi
pada diriku selanjutnya. Pertengkaranku dengan Wijaya benar-benar tak berakhir dengan baik,
kasus itu pada akhirnya tidak dimandatkan kepadaku dengan alasan tolol yang tak masuk akal,
kemungkinan buruk apalagi yang bisa kudapatkan?

Namun, di saat yang bersamaan, aku bersikeras menatap berkas yang diinginkan lelaki bertopi itu.
Overdosis, batinku. Tidak lucu jika aku mati konyol seperti pria yang ada di dalam berkas ini
hanya karena satu hari brengsek yang tak dapat kuhindari.

Kupindai seluruh foto yang ada, lima belas lembar yang umumnya berfokus pada sang mayat.
Beberapa di antaranya hanya sekadar foto barang bukti yang sengaja dijejerkan. Botol obat
nyamuk, pengusir rasa sakit dan sebagainya seolah sengaja diletakkan sedemikian rupa sehingga
memberikan posisi terbaik untuk diambil gambarnya, seperti seorang wanita yang berulang kali
menekan tombol potret pada ponselnya hanya untuk hasil yang terbaik.

Jika kuperhatikan secara teliti, aku dapat melihat foto lengan lelaki itu—yang mati karena
overdosis—dan menyimpulkan keadaan yang sebenarnya. Beberapa luka suntik seolah sengaja
diukirkan pada ruas antara lengan atas dan bawahnya. Bahkan, tidak hanya satu, melainkan
beberapa kali yang sebenarnya membuatku sedikit penasaran.

Kalau dia menggunakan alat untuk memakai narkoba, kenapa pada akhirnya pilihannya jatuh
pada miras oplos rendahan?

Aku tak pernah mendalami ilmu mengenai narkotika, bagaimana cara kerjanya dan macam-macam
jenisnya. Namun, aku yakin jika lelaki yang ada di foto ini setidaknya pernah menggunakan
narkoba yang sengaja disuntikkan pada arteri tubuhnya, ia bukan lelaki murahan yang akan
menjatuhkan pilihannya pada minuman alkohol kadar rendah yang dicampur dengan racun tikus.

Hal tersebut tentu menarik perhatianku. Namun, apakah hal yang sama juga menarik perhatian
lelaki bertopi itu? Jika iya, memangnya kenapa?
Sekali lagi, aku mencoba membolak-balik berkas kasus itu, mencari sesuatu yang mungkin
kutinggalkan. Namun, kasus ini bukanlah kasus spesial yang memerlukan penahanan khusus.
Korban tidak memiliki keluarga, kedua orang tuanya telah meninggal ketika ia masih kecil hingga
akhirnya ia dibesarkan di sebuah yayasan yatim piatu. Yayasan itu pun mengaku telah lama tak
mendengar kabar Luthfi. Akunya, terakhir Luthfi meninggalkan tempat itu ketika ia akan kuliah,
tetapi anak itu menolak untuk memberitahukan tempat di mana ia berkuliah. Kemudian, sejak saat
itu, dia tak pernah terlihat lagi hingga akhirnya berita buruk ini—kematiannya karena overdosis—
kembali mengingatkan mereka bahwa mereka memiliki satu anak yang hilang.

Bukan tipe anak yang biasanya dibesarkan dalam sebuah yayasan. Setahuku, mereka selalu
memiliki ikatan yang kuat, kecuali jika memang sang pemilik yayasan tak mengurus anak-anaknya
dengan baik.

Pada akhirnya, aku mencatat alamat yayasan itu. Sedikit pinggiran dan lumayan jauh, tetapi aku
tak memiliki pilihan lain selain mengunjunginya. Setidaknya, dari sana aku bisa mendapatkan
informasi mengenai kematian Luthfi. Dan brengseknya, seandainya saja kasus pembunuhan Pak
Goto resmi diberikan padaku, seharusnya aku bisa menyelidiki kasus ini, bertanya kembali pada
para penyidik dan semua orang yang terlibat dalam kasus ini dengan menggunakan Pak Goto
sebagai alasan utama—tentu mereka tak akan menolak.

Sekarang, masalah selanjutnya adalah mengenai divisi perampokan. Apa yang sebenarnya mereka
inginkan dan kenapa mereka begitu keras kepala untuk tak melepaskan kasus itu?

Aku sempat berpikir untuk menanyakan hal yang sama pada Alex, tetapi aku tak dapat menjamin
bahwa ia akan memberikan jawaban yang dapat membuatku puas. Aku harus ingat, mau tak mau
dia merupakan bagian dari divisi perampokan dan tak ada alasan yang jelas bagiku untuk
memercayainya. Bukankah awalnya dia juga bersikeras bahwa kasus ini adalah kasus
perampokan? Bukan berarti aku harus memusuhinya, lebih seperti melakukan pencegahan dari
hal-hal yang tak diinginkan.

Aku ingin menghubungi Wijaya, tetapi pertemuan terakhir kami tidak berjalan dengan baik,
membuatku mengurungkan niat dan kembali menaruh ponsel di dalam saku.
Aku menghela napas. Aku kembali bekerja sendiri, tetapi kali ini secara denotasi.

Akhirnya, aku menutup amplop coklat ini. Tetapi aku tak bermaksud untuk membawa amplop
cokelat ini ke rumahku. Setidaknya, salinan ini tak boleh jatuh ke tangan lelaki bertopi itu untuk
saat ini. Aku tak ingin mengambil resiko, kembali menemuinya tengah menelusup di antara ruang
tamu dan dapur rumahku, kemudian secara paksa ia mengambil salinan berkas ini dariku. Jadi,
daripada kejadian itu benar-benar secara nyata menimpaku, aku lebih memilih untuk menyimpan
berkas ini di loker pribadiku, kemudian menguncinya dan mencoba menariknya dua kali,
memastikan bahwa kotak ini memang tak dapat dibuka dengan mudah.

Aku pun tak membawa kunci itu pulang, aku menyimpannya di dalam laci. Kemudian, keluar dari
ruangan, melakukan hal yang sama pada loker itu, memutar kunciku dua kali sambil
mendengarkan bunyi slot yang mendesak masuk ke dalam lubang.

Kantor ini aman—aku harap. Jika ada orang asing atau masyarakat sipil yang berjalan-jalan di
sekitar sini sendirian tanpa pengawasan, orang-orang pasti akan menyadarinya. Jika lelaki bertopi
itu secara ajaib mendapatkan seragam cokelat dan berkamuflase menjadi seorang polisi palsu, aku
hanya dapat mengharapkan yang terbaik.

Jadi, tepat ketika aku mengendarai mobil, sengaja kuletakkan kunci kantorku di tempat yang tak
biasa. Aku menyimpannya di balik lembaran uang pecahan dua ribu yang biasa kusimpan di dalam
asbak rokok—pengganti tempat uang receh yang biasa kugunakan untuk membayar biaya parkir.
Sebelumnya, aku tak pernah memikirkan hal itu. Dan jika lelaki bertopi itu memang selalu
mengawasiku, mengetahui seluruh jalan pemikiranku, maka mencari kunci kantor di dalam asbak
adalah salah satu misi tersulit baginya.

Seharusnya malam ini akan menjadi malam yang biasa. Berkendara malam, pulang setelah
menghabiskan hari-hariku di kantor, bersiaga menunggu keadaan terburuk hinggap di kota ini
adalah makanan sehari-hari bagiku. Kemudian, akan kubaringkan tubuhku di atas kasur, menutup
kedua mataku dan terlelap dalam mimpi. Namun, hari ini tidak berjalan sebagaimana biasanya.
Pikiranku kelut, spion tengah yang tergantung pada atap mobilku pun seolah menggambarkan hal
yang sama, memantulkan bayangan diriku di balik gelap tanpa senyum.
Aku berharap penyelidikan tak resmiku besok dapat berjalan dengan lancar. Di samping itu, aku
pun tetap berupaya mencari cara terbaik untuk mengetahui alasan yang akan diberikan oleh divisi
perampokan jika seandainya aku berhasil menangkap lelaki bertopi itu. Untuk saat ini, mungkin
lebih bijak jika aku menghindari mereka dan tetap fokus dalam menangkap lelaki bertopi itu.

Aku telah sampai, mengagumi rerumputan yang tumbuh secara liar, memenuhi halaman rumahku.
Mungkin, terakhir kali aku memotongnya sekitar satu bulan yang lalu ketika aku masih dapat
berjalan dengan baik. Kini rumahku terlihat seperti berada di antah berantah, mengerikan dan tak
terurus. Namun, dengan lampu yang menyala, setidaknya tidak membuat rumahku seperti rumah
kosong.

Rencana yang kususun sebelumnya: mandi, mengganti pakaian, tidur, tampaknya akan berjalan
sempurna sampai tiba-tiba Loka mendatangiku dengan segera setelah mendengarkan decitan pintu
yang tak dapat kutahan. Sambil berlari kecil, ia berteriak, "Pak, ada paket!"

Namun, aku tak dapat menahan rasa candaku.

"Kamu jadi tukang paket?"

Tentu, Loka tak menanggapinya dengan serius. Jika aku adalah temannya, bukan orang tuanya,
mungkin dia sudah menghinaku dan mengeluarkan kata kasar seperti, "Eh, si kampret!" atau
semacamnya. Namun, pada akhirnya dia lebih memilih untuk membalas, "Ya kali."

Aku cekikikan.

Loka membawa sebuah kotak kecil yang dibungkus oleh kertas coklat. Sangat tidak rapi. Demi
apapun, bahkan kurasa anak TK pun dapat membungkusnya dengan lebih rapi.

Namun, aku berusaha untuk tak menghiraukannya. Sebagai gantinya, aku bertanya pada Loka.

"Siapa yang ngirim?"

"Nggak tahu, udah ada di luar rumah pas Loka pulang. Nggak ada alamatnya."

"Luar?"
Loka mengangguk.

Aku bergidik ngeri. Kuambil paket itu, kotak kecil yang tidak terlalu berat, tetapi jelas berisi. Tak
tertera nama pengirim, bahkan namaku pun tak tertulis jelas. Hanya nama depanku—Roy—tak
lebih dari itu. Untuk sesaat, pikiranku melambung ke mana-mana.

Aku dapat menebak sang pengirimnya, tetapi belum sempat kukeluarkan sepatah kata, Loka
tampaknya memperhatikan raut wajahku yang tiba-tiba berubah. Serius, mengancam, mengerikan.

"Pak," katanya dengan segera, membuatku melirik ke arahnya.

Dalam benakku, tak terlintas pikiran yang lain selain Loka. Aku sengaja pulang cepat malam ini,
baru pukul enam malam karena aku tak ingin membiarkannya sendirian terlalu lama. Aku tahu,
aku terdengar tolol. Dia anak laki-laki, seharusnya bisa menjaga dirinya sendiri, mungkin aku
terdengar terlalu memanjakannya, tetapi seluruh sikap sialanku itu hanyalah karena aku tak ingin
sesuatu yang buruk terjadi kembali padanya, apalagi karena rencanaku.

"Kamu nggak apa-apa?" Aku bertanya, memastikan bahwa seluruh kejadian yang menimpanya
sebelumnya tidak berpengaruh buruk dan Loka mengangguk.

Namun, aku tahu benar bahwa ia masih merasakan ketakutan. Matanya mengerjap beberapa kali
dan tidak dapat fokus. Pikirannya melayang-layang dan aku menduga otaknya sengaja melakukan
teleportasi serta perpindahan waktu hanya untuk menggambarkan batas antara kehidupan dan
kematian, ketika lelaki bertopi itu menggoreskan pelurunya pada pelipis Loka. Mungkin pada saat
yang bersamaan, Loka mengira ia akan mati, sama seperti aku saat itu. Anak ini hanya ingin terlihat
tegar, dewasa menyikapinya, padahal aku yakin benar pikirannya sedang kacau.

Aku menepuk bahunya dua kali, kemudian tersenyum kecil. Loka tak memberikan respon positif
seolah-olah terkaanku memang tepat.

"Sebenernya kamu tahu kan siapa yang ngirim?" aku bertanya, kembali memastikan.

Namun, Loka tampak enggan menjawabnya. Lidahnya kaku di antara kedua bibirnya yang sedikit
menganga. Hingga akhirnya, ia berkata, "Mungkin."
Aku tahu, dia telah menduga bahwa pengirim paket ini adalah sang lelaki bertopi. Loka hanya
ingin membuatnya terlihat normal. Kemudian, di saat yang bersamaan aku mencoba membuatnya
tenang walaupun tak berjalan mulus. Sudah ribuan kali aku berusaha mendekatkan diri pada lawan
bicaraku, mencoba menghentikan isak tangis yang akan keluar dari kedua matanya, tetapi sebagian
besar tak berhasil.

Pikiran Loka kembali tampak kosong. Matanya melihat ke arah dinding putih yang bahkan tak
memiliki desain apa-apa. Otaknya penuh, tetapi raganya seolah sengaja diletakkan di tempat ini
sebagai pajangan.

Aku sudah ribuan kali berurusan dengan pelaku kejahatan, tetapi aku belum pernah berhubungan
langsung dengan korban kejahatan. Maksudku, secara resmi. Seluruh pendekatan yang biasanya
kulakukan hanya berdasarkan pengalamanku, tak lebih dari itu. Jadi, aku tak tahu apakah sikapku
akan terlihat profesional atau tidak. Namun, satu yang pasti, pilihanku tetap jatuh pada tak
memberikan Loka pada mereka. Loka bukan tipe orang yang selalu ingin diperhatikan. Bahkan,
mungkin sebaliknya. Dia lebih senang sendiri, dan menjadi pusat perhatian kurasa akan membuat
kondisinya semakin buruk.

Aku meninju pelan dadanya, seperti yang biasa kulakukan pada Wijaya. Kepalan tanganku
berhasil mendorong tubuhnya, tetapi tidak terlalu jauh. Untuk sesaat, Loka terlihat kaget. Alisnya
menggantung dan wajahnya menunjukan reaksi spontan yang tak begitu baik. Namun, akhirnya ia
mengerti bahwa maksud dari dorongan kepalan tanganku itu tak lebih dari sekadar pesan bahwa
untuk saat ini, aku akan lebih seperti menjadi temannya daripada seorang ayah. Kurasa dengan
begitu ia bisa merasa lebih leluasa untuk berinteraksi denganku. Walaupun sebenarnya tentu
keadaan sekarang pun telah baik.

Loka membalas seranganku, lebih keras daripada yang kulakukan. Dan kini, kami malah sibuk
beradu. Kuletakan paket yang belum kubuka itu, berusaha mendaratkan serangan pada Loka.
Tentu, sepelan mungkin sebagai bentuk gurauan.

Loka tampak melupakan segalanya, dan hal itulah yang kubutuhkan. Sebuah tanda yang
menunjukan bahwa anak itu baik-baik saja.
Akhirnya, setelah puas, aku kembali pada permasalahan utama. Paket itu.

Loka mencoba meyakinkanku bahwa dirinya baik-baik saja. Ia memberikan senyuman kecutnya
yang buruk dan kubalas dengan tak kalah buruknya.

Aku menyobek kertas cokelat itu. Bungkus tipisnya membuatku dengan mudah menggapai bagian
dalam. Sebuah kotak hitam dengan engsel pada salah satu sisinya, lebih mirip tempat cincin, hanya
saja dengan ukuran yang lebih besar—yang jelas bukan tempat cincin biarpun mirip.

Kutarik salah satu ujung kotak yang berhadapan langsung dengan engselnya. Kemudian, kudapati
sebuah ponsel berwarna putih dengan merk ternama. Ukuruannya cukup besar sebagaimana ponsel
kebanyakan yang ada sekarang ini. Selain itu, sebuah earphone nirkabel terletak di sampingnya,
berwarna hitam elegan seolah-olah ditujukan untuk bangsawan kelas atas.

"Kamu mau HP?" tanyaku pada Loka, setengah bercanda.

Namun, Loka membalas tak kalah buruknya dari pertanyaanku.

"Ogah!" katanya, seolah-olah menunjukan bahwa ia yakin benar jika pengirim paket ini adalah
lelaki bertopi itu. Dan jelas, karena dendam yang ada pada dirinya, Loka tak mungkin
menerimanya.

Candaan ringan itu harus terhenti. Senyuman wajahku kembali menghilang.

Kuperhatikan ponsel itu. Sungguh, ponsel yang sangat biasa.

Aku mengambilnya, memperhatikan sisi-sisinya yang tampaknya masih baru. Ponsel ini dalam
keadaan mati, tetapi aku tak ingin menyalakannya terlebih dahulu sebelum memastikan bahwa
benda ini benar-benar aman.

Aku mencabut baterainya. Baterai tanam yang juga sudah umum digunakan untuk perangkat
elektronik saat ini. Aku tak mendapatkan nomor serinya. Dilepas, mungkin? Begitu pula dengan
ponsel ini. Kode produksinya sengaja dihilangkan agar aku tak dapat mengikuti jejaknya. Yang
jelas, siapapun pengirim paket ini, ia tak ingin keberadaannya diketahui.
Tentu, aku pun begitu. Aku tak akan memberitahukan keberadaanku secara cuma-cuma pada orang
brengsek yang merasa bisa menghinaku.

Aku berjalan menuju kamar mandi sambil membawa ponsel dan earphone itu. Dan di belakang
perjalananku, Loka bertanya-tanya, "Apa yang akan Bapak lakukan?"

Aku tidak akan berbohong. Aku ingin terlihat keren.

Aku tidak menjawabnya, tetapi sengaja kuposisikan diriku agar Loka dapat melihat apa yang
kulakukan secara jelas. Kutenggelamkan ponsel itu, tentu dengan earphone yang terlihat sengaja
disimpan sebagai satu paket. Dalam alunan yang pelan, ponsel itu akhirnya mencapai permukaan
bak mandi.

"Kita tak tahu apakah ponsel itu dibuatnya menjadi alat sadap atau tidak," kataku.

Mungkin dia pikir aku akan dengan bodoh menyalakan ponsel itu, bermain dalam permainannya
seperti yang biasa orang-orang lakukan di dalam film. Tentu tak akan kuberikan kesempatan
seperti itu padanya.

Namun, ada satu hal yang ia lupakan.

Dalam film dengan tema seperti itu, sang penjahatlah yang biasanya kalah.
14. Suicide Mission

Setiap manusia di dunia pasti punya kesalahan, tetapi hanya yang pemberani yang akan
mengakuinya.

Kalimat sederhana yang hampir saja kulupakan. Umurnya telah lama, tetapi sepotong lirik lagu itu
kini terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Biarpun kala itu umurku sudah tak pantas untuk disebut
sebagai anak-anak, tetapi kurasa perkembangan mentalku berjalan tak sesuai. Sebuah tontonan
yang seharusnya disajikan untuk bocah berumur sepuluh tahun tetap tak lepas dari mataku yang
kala itu berumur dua puluhan. Namun, aku tetap bersyukur karenanya. Jika tidak? Mungkin niatku
untuk menggenggam ponsel, mencari kontak Wijaya dan berusaha menghubunginya tak akan
pernah terjadi.

Mungkin aku akan terdengar egois—mungkin juga memang begiu—tetapi aku tetap tak dapat
memikirkan jalan terbaik yang lain selain menghubungi rekan kerjaku itu. Tentu, perasaanku tidak
dapat menerimanya begitu saja. Sebaliknya, semua bercampur aduk. Ada perasaan takut,
bagaimana jika Wijaya tak menerima panggilanku? Selain itu, jika dia mengangkatnya, bagaimana
caraku memulai pembicaraan?

Dering kedua, jempolku hampir saja mengetuk tombol merah yang berkilauan di depan mataku.
Namun, tepat di saat yang bersamaan, Potongan angka muncul secara tiba-tiba, menandakan waktu
yang berjalan dimulai dari detik nol. Panggilanku diangkat.

Sesegera mungkin kutempelkan layar ponsel pada kupingku. Aku tak bergerak dengan cepat
sehingga tak dapat mendengar kalimat Wijaya, tetapi aku yakin ucapannya tak lebih dari sekadar
sapaan sebagaimana pembicaraan dalam telepon terjadi.

Aku belum bisa berkata apa-apa. Mulutku kaku tak bergerak, lidahku terasa berkelut ketika
celanaku mulai merosot akibat ikatan tali pinggang yang mulai kendor. Namun, seolah
menghilangkan kesunyian yang terjadi, Wijaya berkata, "Pak Roy?"
Aku pikir dia akan memberikan nada ketus. Namun, demi apapun, suara Wijaya terdengar seperti
biasanya. Tenang tanpa adanya interferensi dari emosinya yang mungkin telah stabil. Maksudku,
aku yang meneleponnya lebih dulu dan dia menerimanya seolah tak terjadi apa-apa.

"Aku minta maaf akan apa yang terjadi siang tadi." Napasku berderu tak beraturan. Aku merasa
bersalah, itulah yang terjadi. Mataku tak dapat fokus, seolah-olah sebuah tikaman menusuk
retinaku dalam-dalam. Kucoba medendangkan lagu, menghalau berbagai racauan yang menjerit-
jerit di dalam otakku.

Sekali lagi, Wijaya membalas dengan tenangnya.

"Saya mengerti," katanya. Tak ada apapun lagi. Hanya itu.

"Aku tidak ingin terdengar menjadi orang palling brengsek di muka bumi ini, berkelahi denganmu
kemudian dengan mudahnya meminta maaf padamu seolah-olah meminta maaf adalah pekerjaan
termudah dan membuatku tampak tak melakukannya dengan tulus." Sekelebat bayangan muncul
dalam pikiranku. Bagaimana melalui dunia maya—biasanya—orang-orang dapat meminta maaf
dengan mudah tanpa dapat kita ketahui apakah orang itu melakukannya atas kesadarannya atau
karena ia tak ingin kehidupan dunia mayanya terganggu sehingga ia tak dapat menikmati dunia
itu, apalagi untuk orang-orang yang tak terbiasa berinteraksi di dunia nyata.

Namun, begitu kembali mengingat motivasiku untuk menelepon Wijaya, sekali lagi perasaan
bersalahku muncul. Aku tak benar-benar meneleponnya hanya untuk meminta maaf. Ada hal lain
yang—anggap saja—ingin kudiskusikan dengan Wijaya. Aku benar-benar tak memiliki pilihan
lain.

"Pak," Wijaya bergumam, hampir tertelan oleh suara berisik akibat sinyal yang melemah. Namun,
akhirnya ia melanjutkan, "Saya mengerti kala itu Anda sedang dalam keadaan yang tak baik. Saya
tak pernah menganggap hal itu sebagai dendam pribadi."

Aku tersenyum.

"Terima kasih," balasku secara segera. Dan di seberang sana, aku dapat mendengarnya cekikikan.
Setidaknya, aku sedikit merasa lega karena Wijaya yang kukenal masih seperti yang kukenal.
Aku sedikit bingung akan pilihanku selanjutnya. Kedua tanganku terasa mengeras, seolah berubah
menjadi batu. Aku tak ingin menghancurkan niat baik Wijaya dengan mengutarakan sejumlah
pertanyaan padanya. Dia mau menjawab panggilanku saja sudah sangat beruntung. Selain itu,
keberanianku untuk menghubunginya pun tidaklah mudah. Aku tak ingin merusak momen yang
ada saat ini.

"Ah, kututup teleponnya, ya?" Aku meminta izin pada Wijaya dan dia membalasnya dengan
respon positif, membuatku menutup panggilan itu dengan lega, tetapi tetap dengan sejumlah
pertanyaan yang tak terjawab.

Pada akhirnya aku tak memberitahunya tentang pengiriman paket misterius itu. Pada akhirnya aku
tak menitipkan Loka padanya karena merasa ketakutan bahwa sang lelaki bertopi itu masih
meneror rumahku. Memang, awalnya aku berniat menyuruh Loka untuk mengunjungi rumah
Wijaya setiap hari, belajar bersama Riska—saudara tiri Wijaya yang lebih seperti anak tiri. Aku
tak ingin mengambil resiko sehingga Wijaya harus bertemu—sekali lagi—secara langsung dengan
pria bertopi itu. Di kesempatan kedua, aku tak dapat memastikan bahwa lelaki itu tak akan benar-
benar menembak kepala Loka.

Diriku yang tengah berbaring ini tampaknya semakin tenggelam dalam rasa kantuk. Kuletakkan
ponsel di sampingku, menindih kasur empuk seperti aku yang tengah terlena dengan kenyamanan
kasur ini. Mataku mulai terpejam. Otakku mulai rileks. Kemudian, hanya perlu beberapa saat
hingga aku terbuai dalam mimpi.

===

Pada akhirnya aku hanya dapat meminta Loka untuk segera menghubungiku seandainya dia telah
pulang sekolah. Aku menyuruhnya untuk tak segera pulang ke rumah kemudian menempati rumah
itu seorang diri—berbahaya. Apalagi dengan dikirimkannya ponsel itu yang kurasa akan
digunakan oleh sang lelaki bertopi sebagai alat penyadap.

Kemudian, di balik kemudi, otakku kembali carut marut. Speedometer mobil ini tak menunjukan
angka lebih dari tiga puluh, tetapi tampaknya aku telah melayang melesat dengan kecepatan yang
tiga kali lipat lebih cepat dari itu. Perutku mual dan membuatku tak dapat sarapan dengan nyaman.
Sekarang, keadaannya tak lebih baik, aku masih merasakan hal yang sama.

Satu jam perjalanan kulalui. Dinginnya kota Bandung tak kurasakan karena jendela mobilku yang
tertutup. Sebaliknya, kurasakan panas mulai menjalar melalui permukaan tubuhku. Para
pengendara yang tak disiplin sungguh menjadi alasan utamanya. Beberapa kali mobilku disalip
oleh sepeda motor, tetapi aku yakin satu atau dua di antaranya menggores bodi mobilku. Bahkan,
lebih buruk dari itu, ketika aku akan berbelok ke kiri—dengan lampu tanda yang telah
kunyalakan—entah bodoh atau apa, seorang pengendara motor menyalip kendaraanku dari
samping kiri. Aku menginjak rem secara mendadak, tubuhku terasa terpelanting, tetapi sialannya
si pengendara motor itu telah berjalan terlalu jauh. Tak meminta maaf, tak merasa bersalah,
sungguh sebuah ketololan bagi orang-orang yang tak tahu dasar dalam berkendara.

Pada akhirnya aku memasuki jalanan kecil yang agak sempit. Sebuah plang tanda yayasan itu
tertanam di samping persimpangan, berwarna hijau dengan tulisan putih yang sejujurnya tak begitu
menarik perhatian, tetapi tetap kelihatan. Aku tak perlu melakukan tukikan tajam hanya untuk
masuk ke dalam jalanan ini karena telat membaca. Namun, satu hal yang kutakutkan adalah
seandainya sebuah mobil bergerak melaju dari arah yang berlawanan. Jalanan ini kurasa hanya
muat untuk satu mobil. Bahkan, aku merasa harus menutup kaca spionku seandainya tak ingin
membuat goresan pada permukaannya.

Perjalanan berlanjut hingga beberapa menit. Sebuah lapangan luas seolah menjadi napas segar
bagiku. Pedal gas kuinjak, melaju lebih kencang dan segera mengantisipasi seandainya sebuah
mobil benar-benar bergerak menuju ke arahku.

Lapangan rumput yang tak begitu luas itu sedikit gersang. Tanahnya sedikit kering, mungkin
karena dalam beberapa bulan ini tak pernah hujan. Bahkan, beberapa bagian di antaranya tak
memiliki rumput yang tumbuh, seolah membentuk pola rahasia tertentu. Di sekelilingnya, terdapat
jalanan yang mengelilingi beserta rumah-rumah sebagai pemukiman. Namun, sebuah gedung di
bagian utara berdiri sendiri, segera menarik perhatianku ketika aku keluar dari mobil.
Sama seperti plang jalanan sebelumnya, gedung itu ditandai dengan tulisan yang sama, hanya saja
ukurannya lebih besar. Jika tanda itu tidak ada, mungkin rumah itu terlihat seperti rumah biasa,
tak akan pernah kuduga bahwa tempat itu merupakan yayasan yatim piatu.

Kutarik pakaianku dan membuatnya terlihat serapi mungkin. Kemudian, kedua kakiku kuayunkan
seirama dengan semilir angin yang menabrak pori-pori tubuhku. Kini, aku dapat merasakan
dinginnya kota Bandung.

Dalam benakku, beragam pertanyaan telah timbul. Tentu umumnya berkaitan dengan Luthfi—
anak asuh mereka. Hanya saja kurasa beberapa pertanyaan keluar dari jalurnya, seperti mungkin
mencari tahu apakah ada di antara mereka—anak-anak itu—yang senang menggunakan topi atau
pakaian hitam. Memang, sewajarnya aku berpikir bahwa anak seperti itu tak ada, karena kurasa
sang lelaki bertopi itu pun mulai giat mengenakan topinya ketika mulai tergabung dengan sindikat
perampoknya. Namun, tak ada salahnya, kan?

Begitu aku sampai, tempat ini ternyata lebih buruk dari yang aku duga. Aku pernah mengunjungi
beberapa yayasan, di antaranya memiliki tempat yang lebih luas dengan halaman depan yang dapat
digunakan untuk bermain. Bahkan, beberapa di antaranya memiliki gedung khusus untuk anak-
anak belajar di luar sekolahnya—umumnya agama. Tempat ini tak lain seperti rumah kecil yang
dapat dimiliki siapa saja—bahkan rumahku lebih besar. Kini, satu pertanyaan timbul dalam
benakku, apakah sang pemilik yayasan telah memiliki izin untuk membangun yayasan?

Aku tak mengatakan hal itu tidak boleh, tetapi aku harap sang pemilik dapat memberikan tempat
yang lebih baik. Lagipula, tanah di sekitarnya masih cukup luas. Selain itu, jika yayasan ini saja
masih terlihat seperti ini, bagaimana bentuknya enam tahun lalu?

Kuketuk pintu dengan aturan seperti biasanya—tiga ketukan. Aku menunggu beberapa saat tetapi
tampaknya tak ada jawaban. Jadi, sekali lagi kulakukan hanya untuk menunggu hasil yang
maksimal.

Untung saja pada usahaku yang kedua, aku tak perlu mendobrak pintu karena merasa sang pemilik
tak ada di sini, kabur setelah melihatku dari balik jendela. Seorang wanita paruh baya—mungkin
lebih tua sedikit dari itu—segera menyambutku. Ia kebingungan—tentu. Namun, hal itu tak
membuatnya melepaskan senyum sebagai bentuk keramahtamahannya dalam menerima tamu.

Aku memperkenalkan diri, berusaha menjabat tangannya yang tidak ia terima secara langsung.
Maksudku, dia berusaha untuk membalasnya, hanya saja tetap menghindari kontak langsung
denganku. Aku mengerti, tentu karena urusan agama dan aku tak terlalu keberatan dengan hal itu.
Jadi, sebagai gantinya kusebutkan namaku dan memberikan alasan utamaku ke sini—tak secara
langsung tapinya.

"Saya sedang meyelidiki sebuah kasus." Kalimat itulah yang mewakili seluruh perasaanku. Aku
tidak berbohong, tetapi tidak jujur seluruhnya. Aku tak mengatakan bahwa kasus ini berkaitan
dengan anak asuhnya yang hilang enam tahun lalu—aku tak ingin ia mengusirku duluan.
Walaupun begitu, tentu pada akhirnya perempuan itu akan tahu juga, kan?

Sang ibu bernama Maharani—sang pemilik yayasan. Ia memintaku memanggilnya sebagai Ibu
Rani. Kemudian, ia mempersilakanku masuk dan menjamuku dengan berbagai jamuan kecil, kue-
kue yang biasanya kutemui di saat hari lebaran. Namun, perutku yang mual masih belum membaik.
Biarpun aku menerimanya, aku tak berniat memakannya, hanya sekadar membuatnya merasa
senang karena dapat menjamu tamunya dengan baik.

Lebih dari itu, Ibu Rani hampir membuatkanku minuman seandainya tak kutolak secara halus.

"Tidak perlu repot-repot, Bu," kataku, memberitahunya. Namun, walaupun begitu, ia tetap
memaksa hingga akhirnya kutolak tawaran itu berkali-kali.

"Saya hanya ingin menanyakan beberapa hal, tidak akan lama," lanjutku, hingga akhirnya Ibu Rani
menanggapi jawabanku dan duduk di sofanya, tak membuatkanku minum.

Dari penampilan, Ibu Rani tak terkesan seperti Ibu tiri yang jahat dan berpura-pura baik di depan
orang asing. Kedua lengannya sengaja dikaitkan dan dikepalkan di atas pahanya. Tubuhnya sedikit
membungkuk, tetapi kurasa itu karena usianya yang telah menua. Di balik kerudung putihnya, aku
rasa helaian-helaian rambutnya telah berubah warna menjadi putih atau mungkin abu-abu. Potret
seorang ibu-ibu biasa bagi orang-orang kebanyakan, tak mungkin ada yang menganggap bahwa
ibu Rani adalah orang yang jahat—kurasa pun memang begitu.

Akhirnya, setelah lidahku bergulat dengan rahang atas mulutku, aku kembali memberitahunya.

"Saya ingin menanyakan beberapa hal mengenai Luthfi, anak asuh Ibu."

Akhirnya, raut wajahnya yang sedari tadi tampak biasa, berubah menjadi kecemasan. Mungkin
Ibu Rani memiliki beberapa anak asuh dengan nama yang sama, tetapi aku yakin bahwa ia tahu
orang yang kumaksudkan. Wajahnya terlihat enggan untuk membahas anak itu, tetapi kurasa
moralnya memaksa Ibu Rani untuk bekerja sama denganku.

"Saya meminta maaf jika harus mengungkit masalah ini. Tapi, Anda tahu, kan, Bu? Anak Anda
yang ditemukan meninggal karena ...."

Aku berhenti, tetapi bukan karena tak sanggup mengucapkan kata itu. Secara tiba-tiba otakku
membangunkanku, kembali mengonstruksi beberapa keadaan yang kutemui melalui arsip kasus
itu. Aku mengingat penyebab kematian yang dialami oleh Luthfi. Overdosis, itulah yang
dituliskan, tetapi kemudian kembali kuingat tempat kejadian perkara yang bahkan tak kutemui
secara langsung. Obat-obatan rendahan dikumpulkan, dijajarkan sedemikian rupa. Aku tahu benda
itu diambil oleh tim penyidik, sengaja diletakkan dengan rapi sebagai bukti.

"Anda tahu kan, Bu?" Akhirnya aku mengganti kata itu agar terdengar lebih sopan. Tentu, tidak
secara langsung menggantinya dengan kata yang lebih baik, tetapi kurasa aku tak perlu
memperjelaskan maksud dari kataku itu.

Ibu Rani mengangguk. Dan tampaknya jelas bahwa kami sedang berdiskusi mengenai topik yang
sama. Kemudian, Ibu Rani menjawab, "Saya tak menyangka Luthfi akan seperti itu. Beliau anak
yang baik."

Sungguh, satu kalimat yang sudah sering kudengar. Sang pelaku adalah orang baik. Aku mengerti
jika mereka tak menyangka bahwa orang-orang yang dekat dengan mereka melakukan kejahatan,
tetapi bukan berarti mereka tak dapat melakukannya.
Aku ingin mengefektifkan waktu, tidak berbohong mengenai 'pertanyaan singkat' yang telah
kunyatakan sebelumnya. Jadi, aku bertanya, "Maaf jika ini mengganggu Anda, tetapi, Bu, jika bisa
saya tahu, bagaimana keseharian Luthfi di yayasan ini?"

Pertanyaan yang cukup bodoh, mengingat Ibu Rani telah mengatakan 'anak yang baik' sebelumnya.
Bahkan, kini Ibu Rani merincikan seluruh sikap dan perbuatan Luthfi yang diketahuinya.
Seluruhnya memang tak mengindikasikan hal-hal yang berkaitan dengan narkoba atau minuman
keras. Rajin, patuh, walaupun memang sering menyendiri. Ketika aku bertanya maksud dari
menyendiri yang dilontarkan oleh Ibu Rani, ia hanya menjawab mengenai sikapnya yang lebih
tertutup dibanding anak-anak yang lain. Tak begitu suka bermain, lebih senang belajar. Ketika ada
kegiatan, Luthfi hampir selalu menjadi anak terakhir yang diingat, tetapi bukan berarti kawan-
kawannya mengabaikannya.

Akhirnya, aku bergerak ke pertanyaan selanjutnya.

"Saya dengar Luthfi meninggalkan yayasan dengan alasan pergi kuliah, ya Bu?"

Ibu Rani mengangguk.

"Apakah Luthfi tak pernah memberitahu ke mana dia akan melanjutkan studinya?"

"Tidak."

"Bukan bermaksud menyinggung, Bu, tetapi kenapa? Maksud saya—sepengetahuan saya,


biasanya jika seorang anak di yayasan ingin melanjutkan studinya, dia akan memberitahu."

"Luthfi cuma bilang rahasia. Di hari berikutnya Luthfi pergi tanpa kabar."

"Bisa saya konfirmasi kapan Luthfi meninggalkan yayasan ini?"

"Sekitar tahun 2003, 2004 atau 2005. Maaf, saya lupa. Waktu itu ada di antara masa sebelum atau
setelah pemilu."

Pemilihan presiden di masa reformasi, ketika gencar-gencarnya orang-orang memberikan janji-


janjinya agar ia bisa duduk di kursi teratas kepemimpinan. Jika enam tahun—sekitar tahun 2012—
Luthfi berumur 27 tahun, berarti jika ia meninggalkan yayasan pada tahun 2003 umurnya sekitar
18 tahun. Tidak aneh jika kala itu dia memang meninggalkan yayasan dengan alasan kuliah.

"Apakah Luthfi meminta uang? Maksud saya untuk biaya kuliah atau semacamnya."

"Tidak pernah."

"Apakah Luthfi pernah berteman dengan seseorang? Mungkin dengan ciri khusus selalu
menggunakan topi dan pakaian hitam."

Ibu Rani tak menjawabnya langsung. Sekali lagi, ia memberikan tatapan keheranannya seolah-
olah aku baru saja memberikan pertanyaan terlarang. Kemudian, secara kaku ia menjawab, "Saya
rasa ... tidak."

Aku berusaha menghiraukannya. "Jadi, apakah Anda benar-benar putus kontak dengan Luthfi
setelah ia meninggalkan yayasan ini?"

Ibu Rani mengangguk.

Jika memberitahu segala hal mengenai kehidupan seseorang yang tak pernah ditemui setelah
meninggalkan kita saja sulit, maka memberitahukan hal yang sama dengan jangka waktu enam
tahun lalu tentu akan lebih sulit. Aku tak ingin kehilangan jejak—ini adalah jalan yang terbaik.
Namun, sebuah panggilan masuk ke dalam ponselku. Nama Wijaya tertera dengan jelas ketika aku
meminta izin pada Ibu Rani untuk menerima panggilan itu.

Suara WIjaya tampak terburu-buru. Napasnya menggebu-gebu di balik panggilan itu. Bahkan, aku
harus memberikan jarak yang cukup agar embusan napas itu tak mengganggu pendengaranku.

"Pak Alex ditemukan bunuh diri di rumahnya."

Aku terpaku. Belum selesai urusanku dengan sang lelaki bertopi, menyelidiki apa yang
diinginkannya, belum selesai pula aku menemukan alasan mengapa ia membunuh Pak Goto,
alasan mengapa divisi perampokan tak ingin melepaskan kasus itu, pikiranku mengenai keamanan
Loka, berpikir untuk kembali berhubungan baik dengan Wijaya—walaupun tampaknya sekarang
sudah cukup baik—kini aku mendengarkan berita brengsek yang tak pernah kuduga sebelumnya.
15. Suicide Mission II

Aku hampir terpelanting, hendak jatuh ketika menerobos kerumunan orang-orang yang penasaran.
Garis polisi berwarna kuning melintang di depan sebuah rumah sederhana dengan warna dominan
putih. Beberapa tanaman yang tampak menghiasinya terlihat merunduk, merenung, bersembunyi
di balik kerumunan orang-orang.

Berkali-kali aku berteriak, menyuruh orang-orang memberikanku jalan. Aku sedang memakai
seragam, aku tak perlu mengeluarkan lencana, tetapi orang-orang brengsek ini tampaknya tak
peduli. Aku menyikut dengan kasar, membuat orang-orang di antaraku mengeluh dan tampaknya
hendak menghajarku karena tindakan yang arogan, tetapi untuk saat ini aku tak akan
menanggapinya dengan serius. Dalam otakku hanya timbul satu adegan yang tak dapat kulepaskan
dengan segera: Alex bunuh diri.

Wijaya tak memberikan detailnya, atau mungkin lebih tepatnya tak kubiarkan Wijaya untuk
memberitahukan detail kasus itu padaku. Segera setelah ia memberitahuku, aku langsung meminta
alamat rumah Alex yang kebetulan terletak tak jauh dari tempatku kala itu—yayasan di mana
Luthfi pernah tinggal. Jadi, tanpa berpikir dua kali, aku segera pergi. Lagipula, Wijaya mengaku
belum pergi ke lokasi kejadian.

Di ujung ruangan, seorang wanita—kurasa istri Alex—sedang menangis ditemani beberapa orang
petugas yang tengah menemaninya. Seorang polisi wanita tampak menepuk-nepuk bahu istri Alex,
mencoba menenangkan dan meredakan isak tangis yang tampaknya sia-sia. Aku sendiri tak ingin
terlalu lama memperhatikan keadaan sekitar yang tak begitu penting. Dalam otakku hanya ada satu
perintah: cari di mana mayat Alex berada.

Beberapa petugas berlalu-lalang menuju garasi dan tempatku berdiri—ruang tamu. Aku sendiri
merasa bagaikan seorang tamu yang tak diundang dan menyelundupkan diri secara ilegal.
Semuanya tampak mengacuhkanku. Namun, sekali lagi kutegaskan dalam diriku: aku tak perlu
memedulikan hal itu.

Wijaya sendiri sebenarnya belum meninggalkan ruangannya, menuju tempat di mana Alex
ditemukan. Kabar yang cepat beredar di kantor membuatnya langsung menghubungiku. Aku
cukup bersyukur karena pilihanku untuk meminta maaf tampaknya memberikan keuntungan,
membuat Wijaya segera menghubungiku. Aku sendiri yakin Wijaya akan tetap bersikap
profesional, cepat atau lambat dia akan memberitahuku. Namun, pilihan 'cepat' adalah pilihan yang
kubutuhkan untuk saat ini.

Kedua sepatuku mengetuk dengan keras, melayangkan kaki-kaki ringanku seolah hendak terbang.
Kemudian, di ujung ruangan, sebuah pintu yang mengintegrasikan garasi dengan bagian dalam
ruangan—tepatnya dapur—segera kulihat. Seorang polisi berjaga di depan pintu dan tampak tak
peduli ketika aku berusaha memasuki garasi. Kami menggunakan seragam yang sama dan tanda
kepangkatanku lebih tinggi, mungkin orang itu tak ingin mencari masalah denganku. Jadi, tanpa
susah payah kumasuki garasi ini.

Bau karbondioksida lama dalam susana gelap yang menempel pada dinding-dinding ruangan
segera menusuk hidungku. Aku tak pernah menyukai bau ruangan tertutup yang dipenuhi oleh
bekas pembakaran gas kendaraan bermotor. Jadi, secara refleks aku menutup hidung karena tak
tahan akan aromanya. Untuk sesaat, aku pikir Alex menghilangkan nyawanya sendiri dengan
menghirup gas karbondioksida secara berlebihan, tetapi anggapanku itu kandas ketika kulihat
mayatnya yang belum dievakuasi—aku terlalu cepat datang ke sini.

Dari balik jendela mobil, aku dapat melihat Alex dalam keadaan tak bernyawa. Kedua matanya
terpejam dengan kepala yang menunduk ke bawah. Menggunakan pakaian casual yang dapat
ditemui di toko manapun, Alex lebih mirip seperti seorang preman berwajah seram daripada
seorang polisi. Namun, denyut nadinya yang kini telah berhenti membuatnya tak dapat melakukan
apapun.

Aku bukan orang pertama yang berada di lokasi kejadian. Kulihat beberapa petugas tengah
meneliti, mencaritahu penyebab kematian yang padahal sudah terlihat jelas. Tangan kirinya
menggenggam pistol. Bercak darah yang telah berubah warna—lebih gelap dari seharusnya—
timbul dari balik bajunya dengan sobekan pada perut bagian kirinya. Dan aku yakin, sebutir
peluruh bersarang dalam tubuh Alex, menunggu untuk dikeluarkan walaupun tetap tak akan
menyelamatkan nyawanya.
Aku mengerti mengapa Wijaya mengatakan Alex bunuh diri. Ia belum sampai di lokasi kejadian,
tidak mengetahui situasi yang ada dan hanya menyimpulkan seluruhnya berdasarkan desas-desus
yang beredar. Namun, melihat lokasi yang ada, aku yakin benar bahwa kasus ini bukan kasus
bunuh diri dan seseorang berusaha menutupinya—seseorang di antara kami, petugas yang bekerja.
Dan aku yakin benar Wijaya akan setuju dengan pendapatku.

Aku menelisik keadaan sekitar. Pintu garasi kini sengaja dibuka untuk memberikan pencahayaan
yang lebih baik. Seorang petugas menarik pintu besi ke atas dan membiarkan cahaya matahari
merasuki ruangan ini dengan mudah. Kemudian, dalam seketika orang-orang berteriak histeris,
menodongkan jari telunjuknya hanya untuk mencari mayat yang ada. Beberapa di antaranya
menutup mulut, berusaha untuk tidak muntah yang padahal kelihatan saja tidak, hingga akhirnya
mobil ambulans datang dan mayat Alex segera dipindahkan.

Tentu dengan susah payah karena sekali lagi, kerumunan orang-orang itu benar-benar tak dapat
dikondisikan—menutupi jalanan. Perlu waktu yang lama daripada standar seharusnya bagi mayat
Alex untuk dipindahkan. Bahkan, tidak hanya itu, orang-orang mengambil foto seolah=olah tubuh
yang tengah terbaring itu adalah tropi bergilir yang sangat jarang ditemukan. Aku tak dapat
mengerti dengan sikap mereka. Jika aku menjadi mereka, tentu aku tak akan mengambil gambar
seorang mayat, kemudian memamerkannya di media sosial. Sangat tidak etis, lebih seperti
brengsek.

Sebenarnya, aku mengenal beberapa petugas di tempat ini, tetapi aku lebih memilih menyendiri
sebelum benar-benar menangkap seseorang yang menyebarkan berita bohong itu—baik sengaja
maupun tidak sengaja. Pilihanku terjatuh pada petugas forensik yang tengah mengenakan sarung
tangan sintetisnya. Lengannya bergelayut di antara tumpukan kardus kosong seolah-olah mencari
sesuatu. Begitu aku menepuk pundaknya—tanpa mengatakan apapun—dia segera memalingkan
wajahnya.

Tentu, tanpa berbasa-basi, aku langsung bertanya siapa polisi pertama—yang memegang kendali
tempat ini—yang datang ke lokasi ini. Lalu, tanpa ragu sang petugas mengantarkanku pada orang
itu begitu aku memintanya. Seseorang yang kukenal, berasal dari divisi pembunuhan juga—
Guntur Pamungkas. Aku memanggilnya Guntur.
Guntur sedang berada di sebuah kamar, mencari secercah jejak yang mungkin ia harapkan berada
di sana—surat wasiat. Walaupun tentu saja aku yakin benda itu tak akan ditemukan, karena
bagaimanapun, aku yakin bahwa Alex tidak bunuh diri.

Guntur menatapku dengan penuh keheranan, tetapi tepat setelahnya ia menyambut kedatanganku
dengan penuh kegembiraan. Mulutnya menyeringai dan dia berusaha memberikan salam
terbaiknya, mengayunkan kedua lengannya kemudian menyodorkan lengan kanannya untuk
berjabat tangan.

Guntur adalah lelaki biasa yang bisa berada di mana saja, aku tidak kaget. Yang jadi pertanyaanku
adalah kenapa dia menyimpulkan kasus ini sebagai bunuh diri?

Sebenarnya, bisa saja aku bertindak baik, menjawab jabatan tangannya sambil melemparkan
senyum, membuat gigi-gigi putihku terlihat berseri di antara kedua bibir, tetapi sengaja tak
kulakukan dan tampaknya Guntur sedikit kecewa. Kedua lengannya ia kembalikan, bergelantung
di mana seharusnya berada.

Aku sendiri, tak berbasa-basi. Segera setelahnya, aku langsung bertanya, "Kau bilang kasus ini
bunuh diri?"

Namun, di luar dugaanku. Bukannya menyetujui atau menyanggahnya, Guntur malah menaikan
sebelah alisnya, memastikan bahwa aku baik-baik saja.

"Hah?"

Lelaki berumur 30 tahun dengan rambut sedikit ikalnya itu menimbang-nimbang pertanyaanku,
antara harus dijawab atau memang pertanyaan itu hanyalah sekadar gurauan. Tetapi, aku dapat
melihat dengan jelas bahwa dia pun tak mengerti akan apa yang kukatakan.

"Seseorang bilang bahwa Alex dinyatakan bunuh diri, dan petugas—" aku baru sadar bahwa
petugas forensik itu belum meninggalkan ruangan ini, seolah-olah sengaja menunggu sinema
mahal yang memperlihatkan dua orang laki-laki berprofesi sama berkelahi, persis seperti apa yang
terjadi padaku dan Komisaris Yudha dulu.
"Dia—" Akhirnya aku memilih untuk meralat kata itu, "Mengatakan bahwa kau yang pertama
datang di lokasi kejadian."

"Wah, wah, sabar, Roy." Guntur mengangkat kedua tangannya, seolah menepis seluruh lontaran
kalimatku itu. Jika ucapanku dapat ditampilkan secara visual, mungkin kedua tangan Guntur
terlihat menyerap berbagai huruf yang keluar dari mulutku. "Aku memang dikirim ke sini, tapi
bukan aku yang menyatakan bahwa korban bunuh diri."

"Lalu?"

"Orang yang menemukan Alex yang bilang jika Alex bunuh diri."

"Istrinya?"

Guntur menggeleng. "Temannya. Seorang polisi juga. Katanya dia ingin membicarakan suatu
kasus dengan Alex, sedikit pribadi, karena itu ia berniat menemuinya di rumahnya. Tetapi ia tak
menyangka jika Alex sudah menjadi mayat di dalam mobil, di garasi rumahnya sendiri."

Untuk sesaat, aku benar-benar dilanda rasa marah. Amukanku semakin mencuat, tetapi tetap tak
kutampilkan dan menyerang orang-orang yang ada di sekitar tempat ini secara fisik. Jiwaku
bergejolak, lebih mengerikan dari biasanya. Bukan sekadar kematian Alex, tetapi alasan brengsek
yang dibuat oleh temannya itu sungguh tak masuk akal.

Sejujurnya, aku benar-benar ingin menyembur Guntur dengan berbagai argumen valid yang tak
akan dapat disangkalnya, tetapi kurasa ia belum tahu benar masalah apa yang sedang terjadi—
kenapa aku tak menyukai divisi perampokan. Tentu, aku tak menanggapinya secara personal. Ini
benar-benar sudah dalam batas profesional. Jika pikiranku tepat, mereka ingin memalsukan
kematian Alex dan menutupinya sebagai bunuh diri. Kasusnya hampir sama dengan yang terjadi
pada Pak Goto. Bedanya, mereka kini benar-benar tak ingin sebuah penyelidikan dilakukan
terhadap Alex.

Apakah lelaki bertopi itu yang melakukannya? Tidak mungkin. Terlalu banyak kesalahan. Dia bisa
melakukannya secara diam-diam. Dia tak akan sebodoh itu membunuh seseorang di rumahnya
sendiri, kemudian meninggalkan mayatnya begitu saja dengan bukti yang terpampang jelas dan
menunjukan bahwa Alex tak bunuh diri. Lelaki bertopi itu tak akan melakukan kesalahan tolol
macam itu, jika memang dia profesional. Aku benci membelanya, tetapi perasaanku yang kuat
mengatakan hal itu.

Kugerakkan jemariku, membuat aliran darah lancar kembali, kemudian bertanya pada Guntur.

"Kau percaya Alex bunuh diri?"

Sebenarnya, pertanyaan itu terlalu halus. Aku ingin mengintimidasinya, berteriak padanya bahwa
Alex tidaklah bunuh diri, tetapi pada akhirnya aku lebih memilih untuk mendengarkan
pernyataannya. Guntur sudah bekerja di bagian pembunuhan lumayan lama—walaupun bisa
dibilang sangat sebentar jika dibandingkan denganku. Otaknya pasti berjalan sebagaimana
semestinya. Jika dia setuju, maka aku dapat mencurigainya bekerja dengan divisi perampokan,
menyembunyikan sesuatu dan menjadi salah satu koneksi bagiku untuk mencaritahu hal yang
sedang terjadi."

Namun, impianku itu kandas tatkala Guntur menjawab, "Sebenarnya tidak."

"Alasannya?"

Guntur berbalik, dia kembali pada kesibukannya sedangkan sang petugas forensik pada akhirnya
membiarkan kami berdua. Guntur memilah-milah berbagai pakaian yang tergantung, sibuk
mencari benda yang entah apa—aku pun tak tahu—di balik saku-saku kemeja juga celana yang
kurasa merupakan benda-benda kepemilikan Alex. Kemudian, di sela-sela pekerjaannya, Guntur
memberikan alasannya padaku.

"Kau melihat mayat Alex?"

"Tepat sebelum dievakuasi," kataku, "Ya. Aku melihatnya."

"Luka tembaknya tidak menunjukan bunuh diri. Kurasa temannya itu hanya menanggap Pak Alex
bunuh diri karena luka itu. Dia tak memiliki pengalaman di bagian pembunuhan. Deduksinya
mengenai keadaan mayat mungkin tak setajam kita. Kau juga pasti setuju kan, Roy?"
Aku bersyukur karena setidaknya di luar Wijaya dan Loka, orang-orang tak begitu tolol untuk
menangkap informasi secara mentah-mentah. Dan tentu aku setuju dengan Guntur, bahkan
pemikiran seperti itu adalah hal pertama yang terlintas dalam benakku segera setelah kulihan
mayat Alex yang terduduk di bangku pengemudi. Aku tidak yakin apakah Alex kidal atau tidak.
Namun, jelas dia menggenggam pistol dengan tangan kiri. Jika dia memegang pistol dengan tangan
kiri dan bunuh diri, seharusnya luka tembaknya berada di sebelah kanan. Aku tidak mengatakan
pasti, tetapi lebih ke 'seharusnya'. Sebab, lukanya itu terlalu mendekati pinggulnya, lebih masuk
akal jika seseorang menembaknya dari samping daripada Alex susah payah memosisikan
lengannya dalam keadaan yang tak nyaman. Atau setidaknya bisa lebih ke tengah dari lukanya saat
ini.

Aku sendiri sudah mencoba memeragakannya—tak nyaman.

Perut bagian kiri adalah sasaran yang tidak begitu pas. Bahu Alex tidak akan terasa nyaman jika
ia menggunakan tangan kiri dan seberapa buruknya pun keadaan Alex saat itu, aku yakin dia tak
akan melakukannya.

"Aku sangat setuju dengan pendapatmu," kataku, sekaligus mengapresiasi.

Guntur bukanlah teman dekatku, tetapi dia rekan kerja yang baik—setidaknya untuk saat ini.

"Bisa kau ceritakan mengenai keadaan di tempat kejadian perkara?" Aku berdalih, membuat
Guntur sekali lagi melepas pekerjaannya.

"Untuk apa?"

"Mungkin aku bisa membantumu."

Tidak, seharusnya aku mengatakan, "Agar aku bisa menangkap orang brengsek yang membunuh
Alex dan memasukannya ke dalam penjara." Tetapi kurasa pikiranku masih bisa menangkap dialog
yang lebih baik, lebih ramah dan sopan. Untungnya, Guntur menyukainya.

"Apa yang ingin kau ketahui?"


Aku menimbang-nimbang berbagai pertanyaan yang terlintas di dalam benakku. Mungkin
jumlahnya ratusan, tetapi sebagian besar berkutat pada fokus yang sama, hanya saja dengan diksi
yang berbeda. Mulai dari baik, hingga terburuk seperti menghina Guntur dan menyerangnya
dengan berbagai pertanyaan tolol seperti: "Brengsek! Ya semuanya, lah!"

"Apapun. Seperti apakah mobil itu dalam keadaan terkunci ketika Alex ditemukan, atau detailnya
mengapa teman Alex mengunjungi Alex di pagi hari."

Sejujurnya, aku telah menetapkan satu tersangka. Tentu, tak lain adalah teman Alex itu. Aku hanya
ingin memastikan seluruh kejadiannya, kronologi kasus seterang dan sejelas mungkin. Aku tak
ingin membuat kesalahan dengan membiarkan teman Alex itu pergi, keluar dari jeratan tindak
pidana hanya karena tak kukumpulkan bukti sejelas dan kronologi serunut mungkin. Itu adalah
tindakan bodoh.

"Menurut saksi. Ya, mobil itu dikunci."

"Bagaimana cara sang teman membukanya?"

"Tentu saja dengan kunci."

Aku bersungut, menatap Guntur dengan sungguh-sungguh. Apakah dia bercanda? Apakah dia
hanya ingin menguji selera humorku yang rendah di saat seperti ini?

Namun, Guntur tak memberikan pembelaan. Dia memang mengatakannya. Ya, sang teman
membuka pintu mobil dengan kuncinya.

"Kenapa dia punya kunci mobil Alex?"

Di balik kemejanya yang basah karena keringat, Guntur menjawab, "Dia mengambilnya dari atas
meja. Istri Alex yang mengatakannya."

Aku mendeham pelan. Alex bunuh diri dengan mengunci mobilnya, seolah-olah memperlihatkan
bahwa tak ada orang lain yang melakukannya. Bagaimana pun, si pelaku benar-benar ingin
memperlihatkan Alex terlihat seperti bunuh diri. Dia tidak terlalu pintar untuk memikirkan bahwa
siapapun dapat mengunci mobil dari luar. Jelas dia hanya ingin memperlihatkan Alex seperti
bunuh diri.

"Ah, aku pun mendapatkan kunci rumah di saku celana Alex." Guntur merogoh tas pinggangnya,
ia melemparkan sebuah kunci yang sengaja dibungkus oleh plastik dengan zipper kuat pada bagian
atasnya. Kunci biasa dengan gantungan buah apel yang ukurannya kecil.

Brengsek, memang, untung saja tangkapanku bagus. Jika tidak, mungkin gantungan kunci ini akan
pecah.

"Kapan perkiraan waktu kematian Alex?"

"Sekitar pukul satu atau dua malam. Selain itu kudengar bahwa pada malam yang sama, Alex pergi
keluar bersama seorang polisi. Kurasa dia bunuh diri setelahnya—kalau dia bunuh diri. Kalau
seseorang membunuhnya, aku tak tahu kapan."

"Seorang polisi? Orang yang sama dengan yang menemukannya?"

"Berbeda."

"Tunggu dulu." Kuketukan jari telunjuk pada pahaku. "Kau bilang Alex pergi keluar bersama
seorang polisi, benarkah?"

"Istrinya yang mengatakannya."

"Pintu garasi itu berisik, apalagi ketika kita membuka atau menutupnya. Kenapa istrinya tidak
menyadari jika Alex pulang saat itu?"

Guntur mengangkat kedua bahunya. Tentu, dia tidak tahu. Aku pun begitu. Atau mungkin lebih
tepatnya ... belum.

Akhirnya, aku berkilah dengan cepat, mengangkat kedua kakiku meninggalkan ruangan ini,
menyebrangkan diriku pada batas yang lain. Segera setelahnya, Guntur segera bertanya padaku,
apa yang akan kulakukan dan mengapa aku terlihat terburu-buru.
Aku tak ingin membocorkannya. Mungkin ini bukan kasusku, tetapi tentu berkaitan erat dengan
kasus yang kuselidiki secara ilegal dan aku tak ingin Guntur mengetahuinya.

Jadi, aku hanya membalas, "Memastikan satu hal sebelum menetapkan tersangka ... atau
menangkapnya sebagai pelaku kejahatan."

Jika asumsiku benar, maka sang teman Alex yang menemui mayat Alex itulah pelakunya. Dan
dengan ini, kurasa jalanku untuk menyelidiki apa yang tengah terjadi pada divisi perampokan
dapat terkuak, lebih lebar dari yang kuperkirakan. Ingin membuat Alex terlihat bunuh diri kurasa
sudah membuat motif yang cukup bagiku untuk mengatakan bahwa ada hal tak beres yang tengah
terjadi.
16. BVP

"Selama ini Pak Alex berusaha membantu Anda, Pak. Pak Alex mencoba mengikuti alur pemikiran
Anda. Beliau pada akhirnya merasakan kejanggalan yang ada, sama seperti yang Anda rasakan.
Bahkan, ketika Pak Alex tahu bahwa Anda berusaha melepaskan kasus itu dari divisinya, Pak Alex
berusaha mendukungnya, berbeda dengan kebanyakan rekan kerja. Setidaknya itu yang saya tahu
ketika terakhir saya mengontak Pak Alex."

Ucapan Wijaya itu benar-benar tak dapat kulepaskan dari ingatanku. Aku tak pernah berpikir
bahwa selama ini Alex berusaha membantuku secara diam-diam.

===

Kini, kedua matanya menelisik, merajut berbagai benang kebencian dan kemunafikan menjadi
satu. Bahkan, tampaknya lelaki itu telah tak peduli dengan hidupnya. Dia tersungging, kemudian
melipat kedua lengannya dan sengaja dipangkukan di depan dadanya. Wajahnya sumringah,
sungguh membuatku kesal—mungkin juga Guntur jika seandainya dia ada di sini. Si brengsek itu
tidak mengakui perbuatannya, tapi secara langsung aku tahu apa yang ia katakan.

"Benar. Lalu apa yang akan kau lakukan?"

Ruangan ini seolah menjadi saksi bahwa memang ada sesuatu yang tak beres, melingkupi
duniaku—pekerjaanku. Seorang polisi membunuh polisi bukanlah hal yang wajar. Tolol,
bagaimana jika masyarakat tahu? Sungguh, aku benar-benar ingin menghardiknya, menanamkan
wajahnya, melemparkan kepalanya ke atas meja dengan sangat keras hingga mematahkannya.
Apalagi dengan sunggingan bibirnya yang tampak sombong. Lebih buruk dari lelaki bertopi itu.

Sebelumnya, penyelidikanku yang tiba-tiba cukup membuahkan hasil. Seperti yang kuketahui
sebelumnya, pintu garasi itu, biarpun bukan benda dengan suara terberisik yang dapat ditemukan,
tetapi aku yakin siapapun yang mendengarnya—jika sedang berada di dalam rumah Alex—pasti
terbangun. Minimal membuka mata dan menyadari bahwa pintu garasi itu dibuka oleh seseorang.
Apalagi dengan masuknya mobil Alex dan kembali ditutupnya pintu itu, membuat kebisingan akan
semakin parah. Dengan tak sadarnya istri Alex akan suara itu, maka dapat kupastikan jika sesuatu
mendorongnya untuk meninggalkan alam sadarnya. Obat bius—tepatnya obat tidur—adalah satu
benda yang paling logis untuk menjelaskan situasi.

Tentu, pada awalnya aku mencoba berpikir positif. Namun, dengan tak melihatnya obat-obatan
yang mungkin dikonsumsi oleh istri Alex, maka dugaanku seseorang membuatnya mengonsumsi
obat yang sama tanpa ia ketahui. Jelas, hal itu benar-benar terjadi. Ketika aku mengonfirmasi
seluruh dugaanku, bahkan perempuan itu memberitahu bahwa ia merasa mengantuk setelah makan
malam.

Siapapun pasti berpikir bahwa hal itu adalah hal yang biasa. Maksudku, siapapun bisa mengantuk
setelah makan malam, tetapi kurasa tak akan separah itu sehingga istri Alex tak menyadari
kepulangan Alex. Bahkan, ia pun mengaku bahwa anaknya telat masuk sekolah karena ia tidur
terlalu lelap sehingga tak dapat membangunkan anaknya sepagi biasanya, yang memberikan
informasi baru: anaknya pun mengalami hal yang sama.

Aku yakin perempuan itu tak akan memberikan obat tidur pada masakannya sendiri. Jadi,
dugaanku yang lain seseorang memasukannya ke dalam makanan, dan sialannya pemikiranku itu
akan kontradiksi dengan keadaan yang sebenarnya terjadi. Malam itu, istri Alex hanya berdua
dengan anaknya yang bahkan umurnya baru mencapai umur sepuluh tahun. Tentu, mereka tak
akan melakukannya. Dugaanku berlanjut pada hal yang lain—air minum.

Di Indonesia, kebanyakan orang mengonsumsi air minum dari kemasan galon. Murah dengan
kapasitas yang besar, mungkin itu alasannya. Yang lebih mengejutkan—tidak terlalu mengejutkan
untukku—Teman Alex—Fandi—yang melakukannya di malam yang sama tepat ketika Alex
dibunuh. Membantu seseorang untuk mengganti galon dan mengisi ulang airnya untuk dikonsumsi
tentu merupakan perbuatan baik, siapapun tak akan menyangka bahwa satu rahasia brengsek
tersembunyi di baliknya, begitu pula dengan Alex dan istrinya. Sialan, memang.

Dan kini, ia sedang duduk di hadapanku, mempertanyakan jiwa profesionalku, apakah aku akan
mengambil tindakan ini secara personal—suka-suka—atau profesional, membiarkan hukum
berjalan sebagaimana semestinya, seolah-olah dia tahu bahwa aku akan melemparkan wajahnya
pada tembok dan menggesekan hidungnya hingga pesek atau membiarkannya mendekam di dalam
penjara, meratapi perbuatannya yang kurasa tak akan dilakukan.
Sedangkan satu orang lagi—Bagas—dihadapi oleh Guntur. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi
di ruangan seberang. Mungkin hal yang sama, mungkin juga tidak. Yang pasti, sejujurnya aku
berharap Wijaya ada di sini. Pembawaannya yang tenang mungkin bisa membuat interogasi ini
berjalan lebih baik. Tapi dia menolak ajakanku. Ada yang harus dikerjakan olehnya dulu, katanya.
Aku tak dapat memaksanya ke ruang interogasi karena memang tampaknya Wijaya terlalu sibuk
dengan tumpukan kertas yang menghiasi mejanya. Bahkan, dia saja pada akhirnya tidak jadi pergi
ke tempat kejadian.

Aku menunggu waktu yang tepat. Kedua jari telunjukku kuketukkan tanpa alasan yang pasti.
Kurasa orang-orang yang tengah memperhatikanku saat ini—jika ada—pasti akan bertanya-tanya
mengenai tindakanku barusan, memikirkan segala kemungkinan yang ada di pikiranku, apa yang
sebenarnya sedang kuperbuat. Namun, tidak ada motif apapun selain menunggu.

Akhirnya, aku berkata, "Kau mengakui perbuatanmu?"

Kemudian, Fandi bersungut. Ia bilang memang ia yang membawa Alex pergi dari rumahnya, tentu
tanpa sedikitpun rasa curiga dari Alex karena jelas mereka adalah rekan kerja.

"Aku tidak membunuhnya."

"Kau memasukan obat bius ke dalam galon di rumah korban."

"Iya, tapi bukan berarti aku membunuhnya, kan?"

Jemarinya menggelitik ruas-ruas jarinya yang lain. Kemudian ia tertawa cekikikan. Sungguh,
sebenarnya aku telah menahan diri untuk tidak melukai bibirnya itu—merobeknya.

"Mengapa kau melakukannya?" Aku bermaksud untuk mempertanyakan tindakannya itu—


memasukan obat tidur ke dalam galon air—tanpa menyebutkannya secara gamblang. Ia pasti tahu
apa yang ingin kutanyakan.

Kemudian, di sela napasnya, ia berkilah. "Roy, kau ahli deduksi yang hebat, kau sudah tahu
motifku, tak perlu menanyakannya lagi. Bahkan aku tak menyangka kau akan menangkapku
dengan segera, belum lewat dua belas jam sejak Alex ditemukan, loh. Tentu saja untuk membuat
keluarganya tidur dan tidak menyadari bahwa mayat Alex sudah dipulangkan ke rumahnya."

Aku bersungut, menajamkan tatapanku tetapi tetap membiarkannya berbicara. Dan sekali lagi,
Fandi tertawa.

Awalnya tentu Fandi berkilah mengenai penangkapan yang kulakukan. Namun ia tak dapat
berkutik ketika petugas forensik mengonfirmasi sidik jari Fandi yang tertempel pada galon, sesuai
dengan apa yang disebutkan oleh istri Alex. Dan sekarang, dia malah lebih menyebalkan dari
seorang wanita yang merengek karena dia merasa lapar tetapi tak ingin makan karena tak ingin
beberapa bagian tubuhnya tampak membesar.

Akhirnya, dengan rasa terpaksa aku kembali menanyakan hal yang mirip, tetapi tentu lebih tajam
lagi.

"Kalau begitu, kenapa kau mengambil nyawa Alex?"

Namun, sekali lagi Fandi berkilah, "Aku tidak membunuhnya. Astaga, Roy! Aku memang
membawanya keluar, tetapi bukan berarti aku yang membunuhnya." Kemudian, ia membuat jeda
beberapa saat sebelum akhirnya melanjutkan.

"Bagas yang melakukannya."

Sejujurnya, aku pun telah menduga hal itu. Aku hanya ingin mendengar pengakuan langsung dari
Fandi. Setidaknya, hal itu membuatku sedikit tenang karena Fandi memberikan pengakuannya
secara langsung, tercatat dengan jelas hingga hanya perlu kucek ulang dengan pernyataan Bagas
nantinya.

Jadi, aku langsung menanyakan pertanyaan selanjutnya.

"Kalian bersekongkol? Kalau begitu, pertanyaannya: kenapa?"

"Iseng."
Waktu melesat begitu cepat. Tanpa sadar aku sudah berdiri, merasakan hantaman keras pada
kepalan tanganku. Fandi terlempar, tersungkur dengan kedua lengannya yang jatuh terlebih
dahulu. Lebih buruk lagi, kini aku menendang wajahnya dan membuatnya berusaha menangkis
dengan kedua tangannya. Demi apapun, aku benar-benar tak sadar ketika melakukannya, seperti
tidur dalam waktu yang sebentar hanya untuk melihat pemandangan yang berbeda.

Wajah Fandi sedikit babak belur, beberapa bagian pipinya kotor akibat sol sepatu yang sebelumnya
menimpa kepalanya. Aku bersungut, bahuku naik turun dengan napas yang tersengal. Di saat yang
bersamaan, aku hampir menangis. Bukan karena tindakanku, melainkan karena perasaan
bersalahku akan hal yang menimpa pada Alex. Aku tahu, tampaknya semua tak relevan.
Maksudku, bahkan aku dan Alex bukanlah orang dekat, kami baru mengenal satu sama lain dalam
beberapa bulan. Tapi, demi apapun, aku merasa kematiannya didasari oleh perbuatanku.

Aku memaksakan kasus itu untuk dibuka, diberikan pada bagian pembunuhan. Aku berpikir Alex
pun terlibat dengan 'keanehan' yang terjadi pada bagian perampokan sampai pada akhirnya Wijaya
memberitahuku bahwa selama ini Alex berusaha mengikuti alur pemikiranku dan dia setuju. Si
brengsek itu mati dan aku tak pernah tahu bahwa dia berusaha membantuku selama ini hanya
karena aku tak ingin mengontaknya atas dua hal utama: informannya mati dan aku berpikir dia
terlibat pada kasus pembunuhan Pak Goto.

Kutarik kerah baju Fandi, mengangkat kepalanya yang bahkan tampak lebih buruk dari wajahku.
Tak beraturan dan lebih layak dimasukan ke dalam tempat sampah.

Aku setengah berteriak, "Kenapa kau dan Bagas melakukannya, Brengsek!?"

Jantungku berdegup dengan kencang. Kulit-kulitku terasa amat kencang dengan hawa panas yang
menjalar melalui kepalaku. Aku tak dapat menahannya.

Sekali lagi, kulemparkan kepala Fandi. Batok kepalanya beradu dengan dinginnya keramik
ruangan ini. Hantaman keras menimbulkan suara kencang. Bahkan, aku sempat berpikir batok
kepalanya pecah. Untungnya, Fandi masih sadar biarpun kurasa dia merasakan pusing yang luar
biasa.
Namun, tepat ketika pertanyaan itu kulontarkan, pintu ruang interogasi terbuka, memberikan
wujud Komisaris Yudha yang menatapku tajam. Akhirnya aku mengambil posisi sambil berusaha
menegakkan tubuh Fandi. Laki-laki ini terhuyung, hampir terjatuh di hadapanku jika saja aku tak
menarik lengannya.

Komisaris Yudha tak mengatakan apa-apa, tetapi dia memberi isyarat padaku untuk segera keluar.
Tentu, aku sedikit keberatan, tetapi kurasa dia akan tetap memaksaku untuk keluar—pasti. Dengan
dalih bahwa aku telah melakukan kekerasan, maka Komisaris Yudha tak akan pernah melepaskan
tatapan dari kedua matanya sebelum aku keluar dari ruangan ini.

Jujur saja, aku benar-benar ingin meludahi lelaki yang bahkan berdiri tegak saja tidak bisa. Kalau
perlu mengencinginya, tetapi hal itu hanya akan membuat Komisaris Yudha semakin marah.

Akhirnya aku tak dapat melawan. Aku keluar dengan hentakan kaki yang sengaja kukuatkan,
membuatnya bergema di dalam ruangan.

Bahkan, aku melewati Komisaris Yudha tanpa menyapanya sedikitpun.

Aku kembali ke ruanganku dalam keadaan yang buruk. Otakku masih panas dan kini pergelangan
tanganku terasa nyeri akibat menghantam perut Fandi. Jika aku mengingat wajahnya yang
menyeringai, maka sekali lagi aku ingin menghajarnya.

Secara tak sadar aku menggebrak meja.

Demi apapun, pikiranku sedang tak tentu arah. Pemikiranku bercabang menjadi banyak dengan
alur utama yang tak tentu. Aku ingin mengungkap identitas si lelaki bertopi, menanyakan motifnya
membunuh Pak Goto. Kini, aku tahu sesuatu yang tak beres terjadi pada divisi perampokan dan
salah satu anggota mereka dibunuh oleh anggotanya sendiri. Apa sebenarnya kaitan diantara lelaki
bertopi, Pak Goto, Alex dan divisi perampokan itu? Aku tidak menemukan titik terang sedikitpun.

Tiba-tiba, pintu ruanganku diketuk.

Sejujurnya, aku sedang tak ingin menanggapi apapun. Topangan lengan untuk menahan keningku
adalah pilihan terbaik untuk mengusir perasaan buruk yang sedang kualami—tentu tanpa adanya
gangguan. Aku hampir mengusir sang pengetuk pintu hingga akhirnya bagian baik dalam diriku
memaksa ragaku untuk berdiri. Dengan malas, aku berjalan menghampiri pintu dan membukanya.
Kini, Wijaya berdiri di hadapanku.

Dia mengetahui kekesalanku. Aku yakin dia langsung mendapati hal itu begitu melihat wajahku.
Namun, Wijaya tampak berusaha menghindari perbincangan yang bisa kembali menyulut emosi.

Wijaya masuk setelah kupersilakan. Namun, bahkan belum sempat menempati ruangan ini hingga
sepuluh detik, Wijaya segera berkata, "Saya mendengarkan apa yang terjadi dari Komisaris
Yudha."

Aku tak membalasnya walaupun sebenarnya aku sangat ingin mendengarkan kelanjutannya.
Namun, pada akhirnya Wijaya tak mengindahkan sikapku. Sekali lagi, dia mengerti bahwa aku
sedang berada dalam kondisi yang tak baik.

"Saya mengerti mengapa Anda melakukannya, Pak."

"Kenapa Komisaris Yudha tidak datang ke ruanganku? Kenapa malah kau?"

"Ah." Wijaya membuat jeda beberapa detik. "Komisaris Yudha mengatakan mungkin lebih baik
saya yang datang menemui Anda, Pak."

"Mungkin," selaku. "Aku pernah berpikir untuk mencakar wajah Yudha, tidak pernah memikirkan
hal yang sama untukmu." Tentu, aku mengucapkannya dengan sedikit canda. Oh, untunglah,
setidaknya cukup untuk meredakan emosiku.

Pikiranku yang carut marut kini mulai terkendali. Aku rasa aku dapat berpikir dengan jernih mulai
dari sekarang. Jadi, agar kesempatanku tak hilang, aku segera bertanya pada Wijaya. "Kau juga
merasa ada sesuatu yang tak beres terjadi pada divisi perampokan, kan?"

Wijaya tak menjawab dengan segera. Alih-alih membuka kedua mulutnya, Wijaya lebih memilih
untuk mendekapkan kedua lengannya, menutupi kedua telapak tangannya dengan kedua bola mata
yang bergerak ke segala arah.
Aku benar-benar antusias ketika melihatnya seperti itu. Aku tahu benar dia sedang memikirkan
sesuatu, dan aku sangat yakin jika pemikirannya itu adalah pemikiran brilian yang telah
disusunnya selama beberapa lama. Wijaya tahu sesuatu—mungkin.

"Kau memikirkan sesuatu, kan?" aku berusaha mendorongnya untuk menjawab pertanyaanku dan
dia menoleh secara ragu. Wajahnya tampak canggung. Namun, pada akhirnya Wijaya menjawab,
"Ya. Benar, Pak."

"Apakah hal itu berkaitan dengan pekerjaan yang kau lakukan selama ini hingga tak dapat
membantuku menginterogasi Fandi dan aku tak perlu menghajar wajahnya?" Aku tertawa kecil.

Kenapa selera humor rendahanku tiba-tiba muncul jika aku mengobrol dengan Wijaya? Apakah
karena aku selalu menganggapnya sebagai juniorku yang selalu bisa kuajak bercanda? Astaga.
Atau aku mengidap bipolar sehingga keadaan hatiku dapat berubah secara drastis? Aku tidak tahu.
Yang pasti, tidak masalah selagi aku dapat mengontrol emosi dengan baik.

"Ini hanya dugaan saya, Pak. Tapi, pernahkan Anda berpikir mengapa si lelaki bertopi itu tak
pernah tertangkap?"

Aku benar-benar sedang tak ingin bermain teka-teki untuk saat ini. Jadi, aku segera menggeleng
dan membiarkan Wijaya menjawab pertanyaannya sendiri tanpa perlu menungguku untuk
berpikir.

"Bagaimana jika si lelaki bertopi itu memiliki imunitas?"

Sontak, aku membalasnya dengan pertanyaan singkat.

"Imunitas?"

Namun, di saat yang bersamaan otakku mengolah pemikiran, menghasilkan kesimpulan yang lebih
buruk—tak pernah kuduga sebelumnya.

"Kau berpikir si lelaki bertopi itu bekerja sama dengan polisi?"


Jika divisi perampokan benar-benar tak ingin melepaskan kasus itu, alasan yang sama sangatlah
logis. Itulah alasannya mereka tak ingin memberikan kasus itu padaku.

"Ketika Anda menanyakan hal itu pada Pak Alex, saya pun tak menanggapinya secara serius.
Tetapi jika melihat cara kerja para perampok itu, lalu apa yang terjadi sekarang, saya rasa tak ada
alasan lain yang lebih tepat."

Sekilas, bayangan yang sama, rasa penasaranku akan ucapan Alex kembali mencuat. Aku pernah
bertanya pada Alex mengenai pendapatnya, apakah dia berpikir bahwa para perampok itu adalah
polisi, tetapi aku benar-benar tak pernah memikirkan hal yang sama untuk kelanjutannya.

Pertanyaan sekilas yang tak pernah kupikirkan lagi dan ternyata menjadi salah satu kemungkinan
jawaban yang paling logis di antara semua kejadian ini.

Brengsek.

"Mungkin Pak Goto mengetahui hal yang sama. Anda mengerti kan, Pak? Pak Goto dari bagian
keuangan, mungkin dia mendapatkan hal yang aneh ketika secara tak sengaja mengecek satu kasus
yang berhubungan dengan hilangnya uang atau sebagainya."

"Kemudian mereka membunuh Alex karena berusaha mengungkapkan kasus itu yang secara tak
langsung akan memberikan jalan bagi kita mengetahui si lelaki bertopi."

Wijaya mengangguk, kemudian ia berkata, "Sebelumnya saya tak ingin membagikan pemikiran
itu pada Anda, Pak. Saya masih belum menemukan bukti yang pasti antara dugaan saya dengan
yang sebenarnya terjadi. Tapi mendengar apa yang terjadi dari Komisaris Yudha, saya pikir saya
harus memberitahukannya pada Anda." Wijaya menundukan kepalanya. "Maaf."

Aku tahu, aku biasanya merasa kesal ketika dia meminta maaf untuk hal yang sebenarnya tidak
perlu ia minta. Tetapi sungguh, aku seperti merasa bekerja bersamanya lagi biarpun secara tak
resmi. Sekali lagi, aku benar-benar merasa tolol karena tak pernah berpikir seperti itu. Namun,
jelas ada satu orang lagi dengan tingkat ketololan yang lebih tinggi dariku.
"Wijaya, kau bodoh, ya? Sama sepertiku." Aku tertawa kecil. "Selama ini kita bekerja sama,
kenapa tiba-tiba kita bekerja masing-masing?"

Biasanya, aku dan Wijaya bekerja sama di bawah naungan keputusan. Tetapi betapa tololnya
diriku—hal itu tidaklah mutlak. Aku dan Wijaya seharusnya bisa mengungkapkan seluruh kasus
lebih awal kalau saja tidak didasari egoku yang selalu ketakutan untuk membuka kasus ini.

Aku dan WIjaya bisa mnyelidikinya secara tak resmi, menangkap semua orang yang terlibat, baru
membuatnya menjadi resmi. Sekarang kami hanya perlu mencari bukti yang kuat antara
keterkaitan lelaki bertopi itu dengan divisi perampokan—seandainya apa yang Wijaya ucapkan itu
benar.

Dan tentu, ini semua untuk kematian Alex. Aku tak akan membuat kematiannya menjadi sia-sia.
17. Adagio

Akhirnya, kami malah bertukar pandangan. Pembukaan cerita mengenai deduksi yang Wijaya
lemparkan—yang sempat membuatku tercengang—kini menjadi padanan utama dalam buku
panduanku. Beberapa polisi di departemen ini bekerja untuk si lelaki bertopi. Hal yang sama pun
ditunjukan dengan betapa dirinya merasa berkuasa atas diriku kala itu, ketika ia melukai Loka dan
membuatku mengutuk perbuatannya. Dia tahu aku tak akan bisa menangkapnya karena ia bisa
keluar dengan bantuan orang dalam, entah bagaimana caranya. Kini, otakku berputar dua kali—
tidak semudah itu.

Sekarang aku mengerti kenapa Wijaya menginginkanku untuk terlihat bekerja sama dengan lelaki
bertopi itu, bagaimana orang itu dapat mengawasiku dua puluh empat jam hingga tahu seluruh
pergerakanku. Untuk sesaat, aku sedikit merasa ngeri jika seandainya seseorang yang berada di
dalam kantor ini—yang bekerja sama dengan lelaki bertopi itu—mengetahui tempat di mana aku
menyimpan kunci ruanganku. Namun, untungnya aku masih bisa melihat salinan kasus enam tahun
lalu. Tak ada bekas pergeseran, artinya tak ada yang melihatnya. Benda itu masih di sana.

Yang jadi pertanyaanku, jika dia menginginkan berkas itu, kenapa ia tak menggunakan teman
polisinya saja? Kenapa harus aku?

Wijaya mengedarkan pandangannya. Ke atas, ke bawah, ke manapun matanya tertuju. Pertanyaan


yang sama kulontarkan padanya dan tampaknya Wijaya pun belum memiliki alasan yang pasti.
Lidahnya menujulur beberapa saat untuk menjilati bibirnya yang kering, kemudian dia berkata,
"Saya pun belum mengerti sampai sana, Pak."

Walaupun jawabannya itu tidak membantu, setidaknya kini pikiranku sedikit lebih tenang
dibandingkan sebelumnya. Walaupun dengan analisis Wijaya, artinya aku harus berhati-hati
dengan setiap gerakan. Fandi dan Bagas—yang termasuk ke dalam aparat kepolisian—tak segan
untuk membunuh temannya sendiri. Tentu, itu bukan hal yang biasa, melainkan sebuah
kebrengsekan yang luar biasa.

"Aku benar-benar ingin menguburnya hidup-hidup," tukasku di sela pembicaraan tanpa adanya
pemicu apapun. Namun, melihat wajah Wijaya yang tampak bingung, aku melanjutkan.
"Fandi dan Bagas, bukan lelaki bertopi itu," kataku. "Aku lebih memilih untuk menghajar wajah
lelaki bertopi itu terlebih dahulu sebelum menguburnya hidup-hidup."

"Anda terdengar seperti seorang psikopat, Pak."

Aku tertawa kecil. "Tenang, Wijaya, aku hanya berani mengatakannya, tak akan pernah berani
melakukannya walaupun sangat ingin melakukannya."

Kemudian, Wijaya meniruku. Napasnya mendengus pelan.

"Saya tahu," katanya.

Terkadang aku merasa geli melihat tingkah orang-orang, betapa dirinya merasa hebat dengan
mengaku sebagai seorang pembunuh berdarah dingin, memamerkan beberapa ilustrasi kartun
untuk menunjukan betapa hebat dirinya. Jika kusandingkan, ucapanku itu mirip dengan berbagai
status yang mereka unggah di situs media sosial. Untuk orang yang menanggapinya secara serius,
pasti aku terdengar menjengkelkan. Aku yang mendengarkannya sendiri saja merasa sebal.

Kuangkat salinan kasus Luthfi enam tahun lalu, mengangkatnya dan melemparnya ke udara selama
beberapa detik, mengayunkannya ke depan dan membuat jarak tumpukan kertas yang berada di
dalam map itu menjadi lebih dekat dengan Wijaya.

"Apa kau benar-benar berpikir aku harus memberikan ini padanya?"

Untuk sesaat, Wijaya tampak enggan menjawab. Aku dapat mendengar suara hatinya yang
berkecamuk antara jawaban 'iya' dan 'tidak'. Tentu, untuk membuat semuanya lancar, seperti yang
dulu Wijaya katakan, aku harus bekerja sama dengan lelaki bertopi itu. Namun, kematian Alex
mungkin membuatnya berpikir dua kali.

Sekali lagi, Wijaya mengedarkan pandangannya ke mana-mana dengan kepala yang menetap pada
posisi stabil. Bola mata hitamnya seolah menyeruduk seluruh penjuru ruangan.

Akhirnya, Wijaya membalas, "Mungkin."

"Jadi? Ya atau tidak?"


Namun, dengan nada yang sama, Wijaya kembali menegaskan, "Mungkin."

"Wijaya, kau konsultanku."

Astaga, sejak kapan aku menjadi sangat bergantung pada anak ini? Apakah selama ini aku seperti
ini? Tapi, sialnya, terlalu terlambat bagiku untuk menarik ucapan itu. Aku benar-benar tak
menyukai sikapku itu, tapi pilihanku akhir-akhir ini tampaknya terus bergantung pada pilihan
Wijaya. Apakah hanya karena aku merasa ketakutan? Aku terdengar memaksa dan aku malah
membenci diriku karena hal itu.

Aku hampir menjulurkan lidahku, mengusapkannya pada pergelangan tanganku dan berharap rasa
menjijikkan itu akan hilang sampai kusadari bahwa hal memalukan semacam itu tak mungkin
kulakukan. Sebagai gantinya, aku memberitahu, "Seseorang mengirim ponsel padaku."

Wijaya mengambil salinan berkas itu, membuka beberapa halaman di antaranya walaupun aku
tahu dia tak membacanya sama sekali, hanya sebagai pengganti kekosongan agar beberapa bagian
tubuhnya memiliki pekerjaan, tidak menjadi disfungsional karena terlalu lama tak terpakai.
Sedangkan matanya tak berhenti melirik ke arahku, menunggu cerita selanjutnya.

"Mungkin lelaki bertopi itu yang mengirimkannya, mungkin bukan, aku tidak tahu," jelasku
dengan segera hingga akhirnya Wijaya menghentikan seluruh pergerakannya—tentu tidak dengan
napasnya.

"Bagaimana Anda bisa menduga bahwa lelaki bertopi itu yang mengirimkannya, Pak?"

Dengan nada datar, aku menjawab pertanyaannya.

"Tak ada alamat pengirim dan penerima. Hanya nama penerima—namaku. Aku pikir tak mungkin
akan ada orang yang susah payah mengirimkan sebuah ponsel untukku secara anonim. Satu-
satunya orang yang dapat kupikirkan saat itu hanyalah lelaki bertopi itu." Untuk sejenak, aku
mengambil napas. "Lagipula sebelumnya lelaki bertopi itu bilang dia akan menghubungiku ketika
dia akan mengambil barang yang dimintanya."

"Di mana ponsel itu, Pak?"


"Kutenggelamkan."

Aku pikir Wijaya akan menghinaku. Tentu, dalam benaknya, tindakanku itu pasti salah. Satu-
satunya cara agar kami—aku dan Wijaya—bisa menghubungi lelaki bertopi itu adalah dengan
membiarkannya bisa menghubungi kami. Ketika aku menenggelamkan ponsel itu, artinya aku
memutus satu-satunya komunikasi yang dapat dibuat.

Aku tidak memiliki pilihan selain membela tindakanku.

"Aku tidak ingin apapun terjadi pada Loka. Maksudku, bagaimana jika dia menyimpan alat pelacak
atau semacamnya dalam ponsel itu? Aku tak menemukannya dalam bentuk fisik, mungkin dia
memasangnya dalam bentuk aplikasi."

Sekali lagi, Wijaya tetap diam. Pikiran sehatku tentu akan lebih senang seandainya dia tetap
menyalahkan pilihanku, misalnya dengan mengatakan aku terlalu paranoid dan siapa tahu
pengirim paket itu bukanlah si lelaki bertopi, melainkan para penipu yang biasanya memberitahu
bahwa aku mendapatkan undian sebesar lima ratus juta, hanya saja untuk kali ini mereka benar-
benar mengirimkannya.

Di dalam pemikiranku yang terbatas, Wijaya bergelut dengan pemikirannya. Ia menaikkan sebelah
alisnya.

"Bagaimana jika si lelaki bertopi itu ahli komputer, Pak?"

"Hah?"

Dalam berbagai pilihan yang ada, aku benar-benar yakin kata 'ahli komputer' itu tak pernah
terlintas di dalam benakku.

"Mungkin yang Anda pikirkan ada benarnya. Mungkin lelaki bertopi itu memasang alat pelacak
dalam bentuk aplikasi dalam ponselnya."

"Aku tak mengerti kenapa kau berpikir sampai ke sana."


"Kode yang anak Anda pecahkan itu, Pak." Wijaya mendorong kepalanya, terlihat begitu antusias
di dalam ruangan yang remang-remang ini. "ASCII, kan?"

Aku tak menanggapi dengan serius. Aku merasa ingat-ingat lupa, jadi aku hanya mengangguk
dengan ragu.

"Ya, mungkin," kataku.

"Mungkin bukan ahli, tetapi kemungkinan besar dia memiliki ketertarikan pada bidang teknologi.
Informatika, mungkin."

"Aku orang yang lumayan kolot, Wijaya. Kalau membicarakan hal yang berkaitan dengan
teknologi, aku mundur. Ponsel saja hanya kugunakan untuk membaca berita, media sosial pun tak
banyak kugunakan, tak lebih dari itu. Lagipula, jika memang orang itu ahli komputer, kenapa?"

Mungkin aku tidak semenyebalkan kebanyakan orang-orang paruh baya yang sangat buta dengan
teknologi. Aku masih menjadi bagian dari konsumen, menggunakan berbagai teknologi canggih
berbasis digital, tetapi ketika istilah-istilah asing muncul di telingaku, aku tak lebih dari sekadar
robot yang tak berfungsi—tak dapat bekerja. Seluruh motorikku pasti akan terlepas dari syarafnya
dan membuatku tak dapat bekerja.

Beberapa orang di antaraku—teman-temanku—memang pernah menganggapku idealis, tetapi aku


tak keberatan karena memang benar adanya. Walaupun begitu, aku tetap tak tergabung dalam
kelompok mereka—orang-orang aneh—yang tak mendukung adanya kemajuan teknologi yang
terlalu canggih, tetapi mengunggah tulisan itu dalam dunia maya.

"Sebenarnya itu tidak rumit, Pak. Saya hanya mengatakan mungkin lelaki bertopi itu ahli komputer
berdasarkan ketertarikannya."

"Jadi ... pertanyaanku selanjutnya, memangnya kenapa kalau dia ahli komputer."

Sekali lagi, Wijaya memutar bola matanya. Dia tak memiliki jawaban yang pasti.
"Ya, setidaknya menambah profil orang itu." Kubereskan kemejaku yang mulai terasa tak nyaman.
Itu lebih baik daripada menunggu Wijaya mengucapkan hal yang tak akan diucapkannya tanpa
melakukan apapun.

Di saat yang bersamaan, kudengar ketukan pintu ruanganku. Tidak khas, aku tak mengetahui siapa
yang berusaha masuk dengan sopan. Namun, karena terlalu malas untuk beranjak dari kursi, aku
memerintahkan siapapun yang berada di balik pintu itu untuk masuk.

Guntur muncul begitu belahan pintu terbuka. Seragamnya carut marut seolah belum disetrika sejak
beberapa bulan yang lalu. Aku rasa dia pun sedikit kaget melihatku dan Wijaya tengah berbincang
dalam satu ruangan. Maksudku, Wijaya tak pernah terlibat dalam kasus pembunuhan Alex—
setidaknya secara langsung—dan aku yakin dia berpikir bahwa kini—di siang hari yang terik ini—
aku sedang berusaha memcahkan kasus yang sama seperti yang sedang ia lalui.

Tak berbasa-basi lagi, Guntur menyapa kami berdua, berusaha seramah mungkin. Kemudian,
karena di ruanganku hanya ada dua buah kursi dengan satu buah sofa keras yang hampir tak pernah
terpakai, akhirnya secara terpaksa kutarik kursiku setelah berdiri, memosisikan kayu itu untuk
berada di tengah-tengah ruangan dan membuat jarak di antara kami—aku, Wijaya dan Guntur—
tak terhalang oleh meja—itu pun kalau Guntur mau duduk di sofa, bukannya berdiri. Kulayangkan
lenganku, mengayunkannya tepat ke arah sofa sebagai tanda mempersilakan Guntur untuk
duduk—dia menerimanya.

Lututnya ditekuk, kini ia mengambil posisi untuk duduk sembari berkata, "Bagas tidak berbicara
apapun."

Aku tidak terkejut karenanya. Fandi pun melakukan hal yang sama, bahkan kurasa kelakuanku
lebih buruk daripada apa yang Guntur berikan pada Bagas. Setidaknya tangan Guntur tak terlihat
memar-memar akibat pukuran keras yang ia daratkan pada perut seseorang.

Sejauh penyelidikan yang aku dan Guntur jalani, sebenarnya kekurangan kami hanyalah motif.
Seluruh bukti dan kronologi tentu dapat kami susun sebaik mungkin. Fandi mengajak Alex untuk
pergi pada suatu malam, kemudian entah bagaimana caranya dia dengan berbaik hati sengaja
mengisi ulang air galon di rumah Alex sekaligus memasukan obat tidur ke dalamnya. Kemudian,
ia—atau Bagas—membunuh Alex, sengaja kembali memulangkan Alex yang telah menjadi mayat
ke rumahnya dengan keadaan sang istri dan anaknya yang tengah tertidur. Kemudian, dengan
sengaja mengunci pintu mobil dan menggunakan kunci duplikat rumah yang biasa Alex bawa
untuk keluar rumah. Dengan begitu, dia bisa kembali besok pada pagi harinya, berpura-pura ingin
membahas sebuah kasus yang padahal hanya digunakannya sebagai alasan untuk mengembalikan
kunci, seolah-olah memperlihatkan bahwa Alex bunuh diri dan Bagas baru mendatangi lokasi
kejadian.

Mungkin, Fandi dan Bagas sengaja bertukar posisi agar mereka tak tampak mencurigakan. Aku
tidak tahu itu.

Sebenarnya, tentu dengan bukti yang ada dan penjelasan yang menurutku masuk akal, kurasa dua
orang polisi brengsek itu sudah tak dapat berkutik dan harus bersiap menerima hukuman yang ada
di depan matanya. Walaupun tanpa motif yang jelas—yang sebenarnya kini dapat kuterka akibat
ucapan Wijaya—tentu seluruh bukti mengarah pada mereka—bukti yang tak dapat disangkal. Jika
tujuanku hanya untuk memenjarakan mereka, itu tak masalah. Namun, kini perlu kukonfirmasi
apakah mereka benar-benar bekerja untuk lelaki bertopi itu atau bukan. Jika ya, apakah alasannya
benar-benar hanya untuk membungkam Alex karena berusaha membantuku untuk menguak
dirinya? Jikapun kelanjutannya adalah benar seperti itu, kenapa si brengsek itu tidak membunuhku
saja?

Bajingan itu sudah membunuh dua polisi—Pak Goto dan Alex—yang tentu tak masuk di dalam
akal sehatku. Maksudku, jika targetnya adalah diriku, dia akan langsung membunuhku. Jikapun
tidak seperti itu, kenapa dia seolah-olah membuat semuanya berhubungan denganku? Apalagi di
kasus Pak Goto secara terang-terangan dia memberikan kode yang sengaja ditujukan untukku.

Pikiranku benar-benar semrawut, lebih buruk dari campuran mie instan dan nasi yang sengaja
dicampurkan menggunakan sendok dan garpu—terlihat sangat berantakan.

"Mereka bekerja pada si lelaki bertopi," beritahuku. Namun, dengan cepat Wijaya meralat
ucapanku.

"Mungkin," katanya, seolah-olah dia tak ingin disalahkan seandainya analisisnya tidaklah tepat.
Sebutan 'si lelaki bertopi' tampak asing di telinga Guntur. Wajahnya menunjukan rasa ingin tahu
yang dicampur dengan kekhawatiran akan orang yang kumaksud. Tentu, julukan itu memang
kuberikan khusus dan tak pernah kuberitahu pada siapapun—kecuali Wijaya.

Jadi, untuk menjelaskan keadaan, aku melanjutkan, "Kau ingat ketika seseorang menembak kakiku
sehingga aku harus berjalan tertatih-tatih hingga tak dapat pergi ke kantor?"

"Tentu," kata Guntur. "Aku memberimu ucapan semoga cepat sembuh kala itu."

"Orang yang sama membunuh Pak Goto. Dia mengakuinya. Mungkin juga di balik kasus ini, dia
memerintahkan Bagas dan Fandi untuk membunuh Alex, entah apa alasannya."

"Mengaku? Siapa?"

"Lelaki bertopi itu," tukasku dengan cepat. "Aku menyebutnya lelaki bertopi karena dia selalu
menggunakan topi dalam aksinya."

"Tidak pernah mendengarnya."

"Divisi perampokan menutupi kasus itu."

Sekali lagi, Guntur memberikan reaksi yang sama, tetapi kini ditambah dengan rasa bingung akan
seluruh ucapanku.

"Kenapa lelaki bertopi itu melakukannya? Dan kenapa divisi perampokan menutupi kasus itu?"

Kusilangkan kakiku, menimpa salah satu lututku dengan kaki yang lain, kemudian bersandar dan
membuat mimik wajah sesantai mungkin, padahal secara segera aku menyesal karena penahan
punggung kursi ini sangatlah buruk untuk kesehatan punggungku. Aku merasakan sakit begitu
bersandar.

"Aku tidak tahu alasannya, tetapi jelas divisi perampokan—atau mungkin beberapa di antaranya—
bekerja untuk lelaki bertopi itu," kataku sambil menahan rasa nyeri pada punggungku. "Tanpa
Alex tentunya. Dia menjadi korban."
"Aku tak mengerti." Guntur memiringkan wajahnya. "Apa yang sebenarnya sedang terjadi dan
siapa lelaki bertopi itu? Lalu apa maksudmu dengan divisi perampokan yang bekerja untuknya?"

Aku menghela napas. Jika kuceritakan secara mendetail, mungkin memerlukan waktu semalaman
bagiku, mulai dari saat ia menembak kakiku hingga kematian Alex. Namun, pada akhirnya aku
hanya menceritakan garis besar yang kudapatkan. Dia orang yang berbahaya, merasa dirinya
memiliki imunitas dan tak dapat digapai oleh siapapun, tetapi tetap memiliki kemampuan yang
hebat—utamanya bela diri. Dengan asumsi yang Wijaya berikan, mungkin orang itu pun menyukai
ilmu komputer—aku tidak tahu.

Guntur hanya mengangguk pelan, berusaha untuk mengerti akan informasi yang kuberikan hingga
cerita yang kusampaikan terpotong begitu aku mengingat lelaki itu—mungkin—mengirimkan
ponsel padaku.

Aku menghancurkan ponsel itu, yang artinya dengan sengaja aku menolak untuk berkomunikasi
dengan lelaki bertopi itu. Tentu bukan keinginannya agar aku melakukannya.

Di sela ceritaku, aku mengambil ponsel. Kulihat jam digital ponselku menunjukan pukul lima.
Seluruh cerita yang kusampaikan, interogasi yang kulakukan dan seluruh percakapan ini berjalan
begitu saja dengan cepat—tak kurasakan berlalu.

Setengah jam yang lalu Loka seharusnya sudah pulang. Dan aku memesannya untuk segera
menghubungiku ketika pulang.

Loka belum menghubungiku—atau tidak.


18. Adagio II

Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Getarannya bahkan tampak lebih cepat dari
pesawat terbang yang mampu menembus kecepatan hingga 800 kilometer perjam. Kemacetan
yang terjadi akibat kereta api yang melintas benar-benar membuatku tak tenang. Berulang kali aku
mencoba menginjak pedal gas dengan mobil yang menghalau pandanganku di sisi depan—sekitar
sepuluh sentimeter sebelum bumper mobilku beradu dengan mobilnya. Untungnya, aku masih bisa
menahan diri.

Sebelumnya, aku mencoba menghubungi Loka. Mungkin dia hanya lupa akan pesanku. Namun,
Loka benar-benar tak membalas pesanku, baik melalui pesan instan dengan media penyedia,
maupun pesan singkat—SMS—yang bahkan tampaknya tak terkirim. Aku mencoba menelepon
Loka, tetapi panggilanku tidak diangkat—lebih tepatnya tak tersambung. Suara wanita
mengatakan bahwa Loka berada di luar jangkauan.

Awalnya, Wijaya hampir ikut denganku, memastikan bahwa Loka baik-baik saja. Namun, aku tak
menginginkannya. Seberapa besar pun keterikatanku dengan WIjaya, Loka tetap tanggung
jawabku. Memiliki niat untuk menitipkannya pada Wijaya saja—dengan alasan Loka bisa belajar
bersama Riska—bagiku sudah terlalu berlebihan—biarpun sampai sekarang aku belum
memintanya. Apalagi jika ia sampai ikut-ikutan mencemaskan keselamatan Loka. Maksudku,
Loka bukan siapa-siapa bagi Wijaya—secara tak langsung. Jadi, dengan terpaksa aku memintanya
untuk tetap tinggal di kantor, bahkan lebih baik jika Wijaya ikut memeriksa kasus yang Guntur
tangani. Seperti yang pernah kukatakan, Wijaya tampak lebih baik dalam urusan menginterogasi
tersangka.

Sengaja kuletakan ponsel di atas dashboard, berandai-andai Loka akan menghubungiku dan
membuat layar ponsel yang sedang dalam keadaan statis itu menyala, menimbulkan penerangan
yang menyilaukan. Namun, semakin lama aku berharap kejadian itu terjadi, semakin besar pula
harapanku untuk pupus—tidak mungkin terjadi.

Sebelum pikiran-pikiran tolol merasuki otakku, mengacaukan seluruh syaraf dan memberikan
imajinasi mengerikan yang tak kuinginkan, aku mencoba bersenandung kecil di tengah keramaian
kota. Hal itu tak membuat perasaanku lebih baik, tetapi setidaknya pikiranku tak bergerak ke mana-
mana.

Sebenarnya, sekolah Loka tak begitu jauh jika kuhitung jarak antara kantorku dengan sekolahnya.
Namun, jalur-jalur satu arah membuatnya semakin rumit. Aku harus memutar cukup jauh,
mengambil persimpangan hingga satu kilometer hanya untuk kembali memasuki jalan raya
sebelum dapat kuinjak pedal gas dengan kencang dan melaju menuju sekolah Loka. Dengan
kecepatan yang sama, mungkin aku bisa sampai ke sekolah Loka hanya dalam waktu lima belas
menit, bahkan kurang dari itu. Tetapi jalanan ini membuatku mengulur waktu hingga setengah jam
lebih lama, itu pun dalam keadaan tak macet.

Akhirnya, dengan seluruh tekadku, aku sampai di depan gedung tua bercat putih dengan lapangan
parkir yang hampir kosong. Balok berwarna keemasan sengaja ditempelkan di depan gerbang
utama, menandakan kejayaan sekolah ini, tetapi aku tak memiliki waktu untuk memperhatikannya
dan mengagumi keindahannya.

Gerbang sekolah telah ditutup, membuatku terpaksa memarkirkan mobil tepat di depannya.
Untungnya, bagian yang ada dibuat sedikit menjorok ke dalam, sehingga ukuran mobilku tak akan
membuat kemacetan yang tak berarti. Kemudian, aku keluar, menapakkan kaki tepat di atas daun
kering yang baru saja gugur. Suara khasnya memenuhi telingaku. Namun, sekali lagi: aku tak
memiliki waktu untuk mengagumi keindahan suara itu.

Gerbang sekolah ini memang ditutup, tetapi tidak digembok untuk menghalau siapapun agar tak
dapat masuk. Aku ingat beberapa waktu yang lalu Loka bercerita bahwa ada beberapa
pembangunan di sekolahnya, menambahkan jumlah labolatorium dan ruang kelas. Kurasa, hal ini
berkaitan dengan cerita Loka karena secara tiba-tiba seorang satpam mendatangiku, meninggalkan
kursi tempatnya berjaga yang terletak sekitar dua puluh meter dari gerbang ini. Aku tidak tahu ia
merasa kebingungan karena melihatku—yang masih menggunakan seragam kepolisian—secara
tiba-tiba berusaha memasuki area sekolah ini atau bingung bagaimana cara mengusirku agar tak
mengganggu pekerjaannya. Yang pasti, secara canggung lelaki jangkung berkumis kotak yang
sepadan dengan rahangnya itu bertanya padaku.

"Punten Pak, aya naon?"


Memang, betapa bodohnya aku bahwa kegiatan sekolah sudah bubar setengah jam yang lalu. Tentu
kedatanganku terlalu menarik perhatian. Dan sejauh mata memandang, aku tak lagi melihat anak-
anak sekolah yang menunggu jemputan, kurasa sebagian besar dari mereka pun telah mengendarai
motor masing-masing—tak memerlukan jemputan.

Akhirnya, kuperhatikan tampak depan sekolah ini, menghentikan usahaku untuk membobol
gerbang—sepi dengan segala serangga yang menyangga. Saat malam tiba, aku yakin sekolah ini
sangat cocok untuk dijadikan tempat syuting film horor. Dengan pohon beringin yang tumbuh di
depannya dan menutup sebagian besar tempat parkir dengan tumpukan daun—membuat cahaya
matahari tak dapat masuk—aku akan memberikan film horor apapun, dengan latar sekolah ini,
nilai sempurna.

Bahkan, tak ada mobil guru yang terparkir, semuanya sudah pulang, menyisakan sang satpam—
yang kini berada di hadapanku—sendirian, mungkin juga bersama beberapa pekerja kasar di dalam
gedung.

"Ari barudak tos aruih, Pak?"

"Atos atuh Pak, kunaon kitu?"

Tentu bukan jawaban yang mengejutkan, seolah-olah satpam itu hanya mengonfirmasi rasa
kecemasanku—anak-anak sekolah sudah pulang. Namun, bukannya malah memperbaiki keadaan,
perasaanku makin tak tenang.

"Ningali budak anu palipisannana tatu teu, Pak? Siga kabesét saeutik."

"Ooh, si Loka?"

Aku tak akan berbohong, aku cukup kaget ketika satpam ini langsung mengetahui orang yang
kumaksud. Maksudku, dari ratusan siswa yang ada di sekolah ini, bagaimana satpam ini dapat
mengenal Loka secara spesifik? Bahkan, hanya dari penggambaran yang kuberikan secara tak
jelas, dia langsung tahu.

Namun, pada akhirnya aku berusaha mengenyampingkan pertanyaan-pertanyaan itu.


"Sumuhun, Pak," kataku.

"Tos uih Pak, nganggo motor upami abdi teu lepat mah."

"Oh, hatur nuhun atuh, Pak."

"Sawangsulna."

Jika satpam itu benar, artinya Loka menggunakan angkot. Tapi, ke mana? Pulang ke rumah kah?
Ke suatu tempat dulu kah?

Jarak sekolah Loka memang tidak terlalu jauh dengan rumah, setengah jam mungkin sampai.
Namun, agar tak mengusik rasa tenangku, sekali lagi aku berusaha menghubungi Loka, mengambil
ponsel dari atas dashboard dan sekali lagi melakukan panggilan pada nomornya.

Tetap tidak ada jawaban.

Kutinggalkan halaman depan sekolah yang sebelumnya sempat kujadikan tempat parkir, menarik
kecepatan mobil ini sedikit terlalu kencang karena kewaspadaan otakku tampaknya mulai goyah
akibat berbagai imajinasi brengsek yang seenaknya merasukiku. Klakson mobil membuyarkan
konsentrasi pada otakku, membuatku membanting setir ke arah kiri sekaligus menginjak rem.
Setidaknya, tidak terjadi kecelakaan dan pengemudi itu—yang membunyikan klaksonnya
untukku—tak mengambil tindakan berlebih seperti keluar dari mobilnya dan memaksaku
melakukan hal yang sama kemudian mengajak berkelahi.

Pernah beberapa kali aku mengalami kejadian yang mirip, utamanya memang karena pemikiranku
sedang terbagi dua atau lebih. Untungnya selalu berakhir dengan baik.

Setelah semua terasa lancar, kucoba untuk menyegarkan otakku, menarik napas dalam dan
mengembuskannya keluar—cukup efektif. Kuulangi langkah yang sama, keluar dari tempat ini,
kembali menuju rumah dan aku benar-benar berharap Loka ada di sana.

===
Cahaya matahari mulai meredup, kilauan jingga memenuhi jalanan yang aku yakin sebentar lagi
akan berubah menjadi hitam. Anak-anak berlarian ke sana ke mari tepat sebelum kumasuki
kompleks perumahanku. Kemudian, merasa aman, kuinjak pedal gas lebih kencang dari biasanya.

Kulihat rumahku seperti biasanya—sepi. Para tetanggaku memang tidak terlalu individualis, tetapi
bukan berarti kami tidak memiliki masa tenang di mana orang-orang hanya peduli pada
kegiatannya masing-masing. Lalu, begitu aku sampai di depan rumah, aku tak melihat adanya hal
aneh di sekitar tempat ini, motor yang biasa Loka gunakan terparkir tepat di halaman rumah dan
pintu rumah ini tak terkunci—seseorang membukanya. Mungkinkah Loka?

Begitu kumasuki rumah, membiarkan pintu bernyanyi dengan decitannya yang khas, di saat itu
pula aku dapat melihat sepatu Loka yang sengaja di simpan agak menjorok dari pintu depan.
Namun, sepatu itu tersimpan rapi—kebiasaan Loka. Aku berusaha untuk tenang, menutup pintu,
kemudian berteriak memanggil namanya.

Tak ada jawaban.

Untungnya, sebelum pikiranku buyar, aku dapat mendengar gemericik air disertai dengan bunyi
khas air yang jatuh dari gayung dan menyentuh tubuh manusia. Secara refleks aku beranjak,
menuju kamar mandi yang letaknya berada tepat di samping dapur rumah.

Lampunya menyala, pintunya tertutup. Kemudian, suara yang sama kembali terulang, membuatku
menggedor pintu dengan aturan '3 kali' yang klise sambil meneriakkan nama Loka.

Suara mendadak berhenti, guyuran air itu tak berlanjut seolah-olah kaget akan panggilanku.
Namun beberapa saat kemudian, aku mendengar balasan singkat yang benar-benar membuat
perasaanku tenang.

"Iya?"

Suara Loka.

Aku merosot sambil menyandarkan tubuhku pada dinding. Di saat yang bersamaan, tak kusadari
bahwa lenganku dengan merangah di dada, perasaan lega bercampur senang muncul begitu saja.
Dia baik-baik saja, batinku.

Iya, dia baik-baik saja.

===

Ketika Loka berganti baju, aku hanya menunggu dengan bersabar sembari berseluncur dalam
dunia maya sebagai pengusir rasa bosan. Kemudian, ketika akhirnya Loka siap, duduk di atas sofa
dengan kaos polos berwarna hitam dan celana pendek yang membuat lututnya terlihat jelas, aku
siap menghajarnya karena telah membuatku khawatir.

Sebelumnya, aku memang memintanya untuk membicarakan sesuatu, tentu setelah ia berganti
baju. Sengaja aku duduk di sofa ruang tengah agar ketika Loka menuju kamarnya, dia bisa
melihatku tengah duduk di sini—menunggunya. Jadi, tanpa perlu perintah yang lebih jelas, Loka
langsung mendatangiku seperti monster jinak yang sengaja kupanggil dalam permainan-
permainan RPG.

Kemudian, tanpa berbasa-basi lagi, aku bertanya pada Loka.

"Kok kamu nggak ngehubungi Bapak?"

Namun, Loka tampak cengengesan.

"HP-nya mati, lupa di-charge."

"Power Bank?"

"Nggak kebawa."

"Minjem punya temen?"

"Udah pada pulang."

"Kan bisa ngehubungi pas udah pulang."

"Tadi di-charge, tapi nggak dinyalain dulu, terus langsung mandi."


Aku menghela napas. Dulu, aku selalu kesal ketika Loka tak dapat melepaskan ponsel dari
kehidupannya. Bahkan, sebagian besar waktu tampaknya sengaja ia sisihkan hanya untuk berduaan
dengan benda kecil itu. Namun, di saat ini, aku malah berharap dia tak melepaskan benda kecil
itu. Seharusnya aku bisa senang karena setidaknya Loka tidak merasa hidupnya mati karena tak
ada ponsel yang tak dapat digunakannya—setidaknya selama beberapa jam. Tapi tentu aku akan
lebih bahagia jika di saat seperti ini ia dapat berkomunikasi denganku.

"Kamu nggak apa-apa, kan?"

"Nggak apa-apa gimana maksudnya?"

"Ya, nggak ada orang aneh, nggak ada paket lain yang aneh, nggak ada apa-apa pokoknya."

"Si Bapak Paranoid pisan, euy." Loka menampilkan gigi-giginya yang secara refleks terlihat
karena senyumnya melebar.

"Ya kamu luka-luka gitu, emang nggak takut?"

"Takut lah! Perasaan Loka udah pernah bilang." Loka tertawa. "Tapi ya masa harus takut terus,
Pak?"

Loka benar, satu kejadian yang biarpun amat sangat berpeluang menimbulkan trauma, tidak
seharusnya menjadi alasan untuk ketakutan setengah mati dan hidup tak tenang. Namun,
tanggapannya itu selalu tak berhasil kuproses dengan baik. Aku mengerti apa yang Loka ucapkan,
tetapi hatiku mengatakan yang sebaliknya.

Di sisi yang lain, aku cukup bersyukur karena Loka benar-benar bisa mengontrolnya dengan baik.
Ia tak berbohong dengan mengatakan bahwa dirinya berani menghadapi lelaki bertopi itu, berpura-
pura gagah agar terlihat seperti pahlawan. Namun, Loka membuatnya seolah terdengar seperti
lelucon tanpa harus menutupi perasaan yang sebenarnya. Tindakan yang patut kuacungi jempol.

"Kamu inget Riska?" Secara gamblang kulontarkan topik yang benar-benar keluar dari
pembicaraan sebelumnya. Rasa keterkejutan Loka akibat ketimpangan topik yang luar biasa
tergambarkan dengan jelas. Alisnya mengangkat dan senyumnya menghilang—sirna diterpa
angin.

"Anak, eh, adik temen Bapak itu? Inget kok."

Sebenarnya, perasaanku sedikit tergelitik. Kalau saja aku tak mengajak Loka ke pernikahan
Wijaya kala itu dan tak pernah memberitahukan segala hal mengenai pernikahannya, mungkin
Loka akan benar-benar menganggap Riska sebagai anak Wijaya, bukan adiknya. Bahkan, hal yang
sama terkadang terlintas pada benakku.

"Iya," kataku sembari mengangguk. "Kamu belajar bareng gih sama dia, buat persiapan masuk
perguruan tinggi."

"Mau kuliah ke mana aja belum tahu, Pak."

"Ya, makanya pikirin dari sekarang kalau nggak mau masuk akpol. Kalau nggak Bapak paksa
nih!"

Wajah Loka bersungut. Ia lebih seperti anak berumur lima tahun yang mainannya diambil daripada
seorang remaja tingkat terakhir sekolah menengah yang siap menuju perguruan tinggi. Tentu
dengan wajah yang lebih tua. Namun, karena tak dapat memberikan jawaban yang terbaik atas
permintaanku, Loka malah diam terduduk seperti patung Socrates yang hidup.

Sebenarnya, permintaanku itu hanya sebagai alasan agar Loka tak sendirian di rumah nantinya.
Ya, walaupun tak ada salahnya juga sih membuat mereka belajar bersama untuk menentukan masa
depan yang lebih baik.

"Nanti bapak hubungi teman Bapak, ya." Kuucapkan hal itu seolah-olah Loka sudah setuju dengan
keinginanku, padahal Loka tak lebih tampak dari sekadar ornamen tambahan yang digunakan
untuk menambah rasa estetis dari ruangan ini—sebagai ganti bunga-bunga yang telah layu dan
kubuang yang sebelumnya ditujukan untukku.

Tapi aku serius untuk menghubungi Wijaya, meminta agar Riska mau belajar bersama dengan
Loka. Walaupun tak akan kulakukan sekarang.
Namun, tepat ketika aku beranjak, meninggalkan Loka di ruang tengah sembari menatapku sebal,
panggilan masuk ke dalam ponselku. Nama Wijaya tertera pada layar ponselku. Apapun yang dia
inginkan, aku merasakan hal buruk akan terjadi.

"Halo?" Aku menyapa, tetapi tak kudengarkan suara balasan dalam waktu yang cepat. Aku
mendengarkan deru napas yang pada akhirnya dipelankan, mengetahui bahwa suara itu
membuatku merasa jijik dan ingin muntah.

"Halo?" Sekali lagi aku menyapa, mengatakannya dengan lebih jelas dengan harapan Wijaya
membalas sapaanku dengan baik dan bijak. Namun pada akhirnya aku tidak mendengarkan
suaranya.

"Roy." Di ujung sana, dia memanggilku, tetapi jelas bukan Wijaya yang berbicara. Nadanya serak
dan rendah, hampir tak terdengar, membuatku langsung berasumsi pada satu kesimpulan yang
jelas—orang yang jelas.

Kenapa dia menelepon dari ponsel Wijaya?

"Temui aku sambil membawa berkas yang kuinginkan itu."


19. 60 Detik dalam Kematian

Spektrum warna yang ditangkap oleh mataku sebenarnya tidak akan terlihat perbedaannya untuk
gelombang yang saling berdekatan. Namun, secara jelas dapat kupastikan bahwa malam ini—
setidaknya di ruangan ini—seluruhnya terlihat lebih gelap dari biasanya. Aku tidak pernah tahu
apakah cahaya yang tertangkap oleh mataku dipengaruhi oleh suatu perasaan atau tidak. Namun,
tanpa perlu berpikiran logis, jawabanku adalah ya—itu benar.

Kuaykunkan sebelah tanganku, bagaikan menepuk lalat dengan satu tangan yang tentu saja tak
akan berhasil, menyuruh Loka untuk kembali ke kamarnya dan tak berusaha mencuri dengar
percakapan yang kulakukan dengan lelaki bertopi ini. Namun, wajah Loka menunjukan antusias—
entah kesal atau ingin balas dendam—yang berbanding terbalik dengan kelakuannya—dia tetap
menuruti perintahku.

Jeda bicara sengaja kubuat dalam beberapa detik, memastikan Loka benar-benar telah kembali ke
kamarnya agar aku bisa berbicara dengan leluasa. Sebenarnya aku bisa mengambil ruangan yang
lain, menutupi diriku dan membuat pengamanan yang dua kali lebih besar untuk memastikan Loka
benar-benar tak mendengarkan pembicaraanku, tetapi aku tak ingin mengambil resiko bahwa
ternyata dia sudah berada di pintu depan rumahku dan mengambil kesempatan ketika aku lengah.

Sambil berjalan pelan agar langkahku tak terdengar sedikitpun, aku berkata, "Di mana aku harus
menemuimu?"

Namun, perhatianku tetap terfokus pada langkah kaki yang rasanya begitu berat. Aku membuka
tirai jendela, menampakan pemandangan gelap di luar dengan aspal hitam yang selalu menemani
rumahku. Lampu-lampu menghiasi pinggir jalan dengan cahaya yang seadanya. Rumah-rumah
lain tampak sepi dan aku tak melihat bayangan aneh yang berusaha mengintip dalam rumahku,
apalagi menemukan seseorang tengah berjalan di halaman rumahku.

"Kendarai mobilmu."

"Katakan saja di mana."


"Aku akan memberitahumu ketika kau sudah mulai mengendarai mobilmu."

Kupasang wajah masam. Orang ini benar-benar sialan.

"Kenapa aku harus menuruti perintahmu?"

Namun, bukannya menjelaskan, lelaki itu malah tertawa lepas—setidaknya itu yang dapat
kusimpulkan dari balik telepon.

"Aku yang memegang kendali, oke? Turuti saja kalau tidak ingin hal yang aneh terjadi."

Aku menarik napas dalam. Kemudian, baru saja hendak melontarkan satu kalimat, lelaki bertopi
ini malah memotong.

"Jangan tutup teleponnya, buat panggilan menjadi loud speaker, jangan berusaha mengontak
siapapun. Kau memiliki hal yang kuinginkan dan aku memiliki hal yang kau inginkan."

"Hal yang kuinginkan?"

"Kau benar-benar tolol, ya?" Aku tak dapat melihat wajah lelaki bertopi itu, tapi dari nada bicara
yang tak begitu tenang, kurasa ia bersungut marah dan hendak melemparkan kepalan tangannya
tepat di wajahku. "Aku pernah bilang jangan pernah menyelidiki kematian Pak Goto. Temanmu
itu—Alex—melakukannya, lihat apa yang terjadi, kan?"

"Aku tahu—" Aku hampir mengatakan bahwa dia lah pembunuhnya, atau setidaknya otak dalam
kasus ini. Namun, aku belum bisa membuatnya kesal, setidaknya aku harus mengorek sedikit
informasi yang bisa kudapatkan sebelum akhirnya ia memutuskan bahwa pembicaraan ini harus
diakhiri dan aku tak dapat mengulur waktu untuk tak segera mengambil jaket dan kunci mobil,
berkendara entah ke mana.

Jadi, sebagai gantinya, aku berkata, "Berkas itu bisa kau ambil sendiri. Kenapa kau
menginginkanku untuk mengambilnya?"

"Kau ingat berkas kasus itu? Korban, apa yang terjadi atau segala hal yang berkaitan dengan
kasus?"
"Luthfi, mati akibat overdosis. Sebuah kematian konyol. Aku benar-benar tak mengerti kenapa
kau menginginkannya."

"Lihat, kan? Kau mengambil berkas yang tepat padahal aku tak memberitahu secara spesifik
berkas yang kuinginkan seperti apa." Sekali lagi, aku dapat melihat wajah lelaki bertopi itu dalam
bayanganku. Tersenyum bangga seolah-olah pilihannya adalah pilihan yang terbaik—aku benci
itu.

"Kau melakukannya dalam satu kali tebakan, kau pikir aku akan sembarangan menyuruh orang?"
Lelaki bertopi itu memberikan jeda. "Walaupun tampaknya kau menghancurkan pemberianku dan
memaksaku untuk menghubungimu lewat jalur yang lain."

Ucapannya itu mengingatkanku pada satu hal lain.

"Di mana Wijaya?"

"Entahlah. Kenapa kau ingin tahu?"

Entah otakku yang telah berpikir terlalu keras sehingga performa kinerjanya saat ini sedang
menurun, atau memang daya tangkap otakku sedang tak bagus, aku melupakan satu hal penting.
Nama Wijaya tertulis dalam panggilan ini dan si lelaki bertopi itulah yang ada di baliknya. Dan
dia berkata bahwa dia memiliki hal yang kuinginkan.

Kemungkinan terburuk berkelebat di dalam benakku. Aku telah melihat apa yang dia lakukan pada
Loka dan lelaki bertopi itu benar-benar tak main-main mengenai urusan negosiasi. Ketika ia
mengambil alih, dia tak akan segan untuk melakukan tindakan apapun.

Brengsek, batinku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, apa yang harus kukatakan. Gerakanku
kini membeku—sekarang aku yang menjadi patung Socrates walaupun tak menyentuhkan
jemariku pada kening yang lebar.

"Bagaimana aku bisa tahu jika ini bukan perangkap yang kaubuat untuk menangkapku? atau
sengaja kaulakukan agar bisa kembali menembak anakku?"
"Entahlah. Bagaimana aku bisa tahu kau tak akan mencari cara untuk menangkapku dan tidak
membawa berkas itu?"

Ucapannya itu membuatku memikirkan sesuatu. Entah keajaiban apa yang menimpa diriku,
kudapatkan sebuah ide secara tiba-tiba—cukup cemerlang, tetapi aku sendiri tak yakin apakah
harus kulakukan atau tidak. Ide ini akan melibatkan Loka secara tak langsung. Aku tak
mengingkannya, tetapi probabilitas kemenanganku menghadapi lelaki bertopi ini akan menukik
tajam—mungkin hampir seratus persen.

Aku menimbang-nimbang. Sampai kapan aku harus menunggu? Lelaki bertopi ini bisa melakukan
apapun selama aku berusaha menangkapnya, tetapi cara itu adalah cara teraman yang
memberikanku jarak untuk tak melakukan kontak langsung dengannya. Namun, dengan
brengseknya, aku baru sadar bahwa Wijaya jatuh pada permasalahan ini karena aku merusak
ponselnya.

Di lain pihak, aku tidak tahu apakah Loka sudah siap dengan apa yang harus ia hadapi. Aku tahu
dia berusaha tegar, tetapi aku tak dapat mendengar kejujurannya. Anak itu berbohong hanya untuk
membuat dirinya nyaman.

Atau aku yang terlalu paranoid?

Apakah benar-benar sudah saatnya bagiku untuk melibatkan Loka dalam urusan brengsek
semacam ini? Pengalaman sekali seumur hidupnya yang tentu akan memberikan dampak pada sisi
psikologisnya?

Aku tidak tahu. Aku tidak yakin.

Dan di saat pikiran-pikiran itu memenuhi otakku, aku dapat mendengar lelaki bertopi itu berbicara.

"Teleponmu belum kau loud speaker-kan, kan?"

"Aku hanya perlu memastikan bahwa kau tak membuat perangkap untukku." Aku berbohong.
Sebenarnya aku hanya berusaha mengulur waktu. Aku berjalan menuju lantai dua secepat
mungkin, tapi tak berlari—menghindari hela napasku yang berat terdengar olehnya dan
menimbulkan kecurigaan.

Aku pernah memiliki kebiasaan mencatat nomor ponsel di sebuah buku catatan yang kini tak
begitu sering kulakukan karena hampir setiap orang lebih memilih menggunakan aplikasi pesan
instan atau media sosial untuk berkomunikasi. Dan jika ingatanku tak salah, beberapa rekan
kerjaku—utamanya dalam divisi pembunuhan—pun tak luput menjadi korban catatanku.

Aku mengambil buku itu, tepat di laci terbawah. Buku berwarna biru dengan pembatas merah yang
sudah usang itu tampak seperti sebuah artefak bagiku. Tak pernah kusangka aku akan
menggunakannya lagi. Beberapa lembar kubuka, kutemui nomor Guntur di sana—aku berharap
dia belum mengganti nomor ponselnya selama lima tahun belakangan ini. Jika tidak, maka aku tak
memiliki pilihan lain selain menghadapi lelaki bertopi itu sendirian.

Kemudian, aku menuju kamar Loka, membuka pintu dan melihatnya dengan memainkan ponsel
sambil tidur-tiduran. Dan tepat begitu kubuka pintu, dia melongok ke arahku dengan
keseimbangan kedua tangannya yang goyah. Ponselya lepas dan jatuh tepat di atas wajahnya,
membuatnya berteriak kecil.

Sewajarnya aku tertawa melihat momen itu, tetapi kutahan untuk saat ini. Demi apapun,
menyembunyikan rasa tawa di balik topeng kemuraman amatlah sulit. Aku bukan aktor profesional
dan mulutku yang tersenyum ini hampir saja mengeluarkan suara yang tak seharusnya didengar
oleh si lelaki bertopi.

Kuberikan isyarat pada Loka agar dia menghubungi nomor yang kuinginkan setelah menyodorkan
buku biru itu. Kemudian, Loka beranjak dan duduk pada kasurnya sambil melihat ujung jari
telunjukku yang mengarah pada nama Guntur. Lalu, kutarik lenganku yang tak sedang bekerja,
mendekatkannya pada telinga sambil mengayun-ayunkannya beberapa kali, membuatnya lebih
jelas, dan Loka tampaknya mengerti.

Sambil terus memberikan pertanyaan-pertanyaan tak penting, aku menunggu panggilan itu
tersambung—yang kuharap dapat tersambung. Pertanyaan-pertanyaan yang kuberikan pada lelaki
bertopi itu tak pernah terlepas dari kata 'mengapa', 'bagaimana' dan kata-kata dasar lainnya. Tentu
kubalut dengan tambahan-tambahan lain agar tampak menarik dan tak menimbulkan kecurigaan
untuknya.

Lalu, tepat ketika aku berkata, anggap aku bisa percaya padamu, Loka menyodorkan ponselnya
padaku. Angka digital bergerak semakin meninggi, menandakan waktu panggilan. Aku benar-
benar bersyukur karena sehari sebelumnya aku memastikan pulsa Loka akan mencukupi
seandainya dia akan menghubungiku, terlebih lagi dengan nomor Guntur yang tak berubah. Semua
rencana berjalan dengan lancar. Mungkin orang-orang tak akan tahu betapa bahagianya diriku saat
ini karena aku tak ingin nada bicaraku berubah meninggi dan membuat lelaki bertopi itu berpikir
bahwa aku melakukan hal yang tak diinginkannya—aku memang melakukannya.

Segera kurebut ponsel Loka, kemudian sekali lagi memastikan bahwa Guntur memang
mengangkat panggilan itu. Lalu mengubahnya ke dalam mode loud speaker agar dia bisa
mendengar percakapan yang kulakukan dengan lelaki bertopi itu. Tak lupa juga untuk me-loud
speaker-kan panggilan lelaki bertopi itu sembari berkata, "Ini yang kauinginkan, kan?"

"Ya."

"Tapi sekali lagi kutegaskan, jika kau benar-benar memanggilku hanya agar akhirnya
membunuhku, kau adalah orang pertama yang akan kuhantui."

"Kau tidak benar-benar percaya pada hantu atau semacamnya, kan?"

"Untuk saat ini aku ingin memercayainya."

Waktu yang ditampilkan pada ponsel Loka terus berjalan. Namun, aku tak mendengar suara
apapun. Aku menduga Guntur telah menyapa Loka sebelumnya, tetapi ketika kubuat mode yang
berbeda pada penerima suaranya, aku rasa Guntur tak perlu bertanya-tanya lagi akan siapa sang
penelepon yang sebenarnya. Namun, mengingat bahwa mungkin saja dia merasa bahwa panggilan
ini adalah panggilan iseng, aku berusaha memberinya sedikit petunjuk.

"Jadi, bisa kau jelaskan mengapa kau selalu menggunakan topi setiap waktu?"

"Apa pentingnya kau menanyakan pertanyaan semacam itu?"


"Anggap saja agar aku memercayaimu."

Aku harap pertanyaanku itu cukup jelas untuk Guntur—jika dia mendengarnya. Sore sebelumnya
kami telah membahas lelaki bertopi itu. Bagaimana dia bertindak, muncul secara tiba-tiba dan tak
melepas kemungkinan juga untuk menelepon secara tiba-tiba. Namun, biarpun waktu pada ponsel
Loka terus berjalan, aku tak dapat mendengar suara apapun dari baliknya. Benar-benar hening,
suara napas pun tak dapat kudengarkan. Apakah Guntur benar-benar mengangkat panggilan yang
Loka buat ataukah panggilan itu hanya terangkat secara tak sengaja?

Kemudian, masih dengan nada datarnya, lelaki bertopi itu menjawab, "Aku tak menginginkannya.
Kelompok perampok ini yang menginginkannya."

"Kenapa?"

"Tentu saja untuk menutupi wajah dari kamera. Kau benar-benar polisi, kan?"

"Aku tak pernah berkutat pada bagian perampokan," kataku. "Lagipula kupikir setiap perampok
lebih memilih menggunakan topeng daripada topi. Maksudku, itu lebih menutupi bagian wajah
kalian daripada menggunakan topi."

"Itu bukan pilihanku. Itu kesepakatan mereka. Aku hanya mengikuti," Lelaki bertopi itu
mengucapkannya dengan nada datar. "Satu-satunya hal yang kusumbangkan pada kelompok itu
hanyalah ide untuk melakukan semua aksi dalam enam puluh detik. Kau tahu kami menyebutnya
apa?"

Aku tak menjawabnya. Aku ingin mengetahuinya, tetapi tetap tak membiarkannya untuk tahu
bahwa aku tetap merasa antusias. Di samping itu, Loka hanya melongo memperhatikanku—
mungkin ponselnya. Aku tahu, dengan kehidupannya masa kini, ponsel menjadi barang penting
baginya. Biarpun Loka sudah tak terlalu bergantung pada benda kecil ini, tetap saja kehilangan
akses benda ini—padahal ada di depannya—merupakan salah satu kekejaman yang luar biasa
baginya. Mungkin dalam benaknya aku sudah menjadi seorang Lucifer dengan memberikan
siksaan yang tak pernah diduga.

Kemudian, lelaki bertopi itu melanjutkan, "Enam puluh detik dalam kematian."
"Dalam kematian?"

"Aku selalu menganggapnya seperti itu, pada akhirnya mereka pun berpikir demikian. Di saat itu,
kami tidak hidup, kami bisa melakukan apapun yang kami mau karena pada dasarnya kami telah
mati. Namun, tepat enam puluh detik setelahnya, tergantung pada pilihan kami, apakah kami akan
hidup kembali atau tidak. Kau mengerti, kan?"

Aku terhenyak.

"Tertangkap atau tidak. Itu pilihan kami. Kami bisa memilih untuk menyerahkan diri atau tidak.
Untuk saat ini kami tak melakukan hal itu."

"Kau mengatakannya seolah-olah kau yang mengatur semuanya dan polisi tak akan pernah bisa
menangkapmu."

Lelaki bertopi itu tak mengatakan apa-apa, tapi dia tertawa puas. Air matanya pasti akan keluar
ketika melihatku bersungut kesal. Bahkan, di saat yang bersamaan, Loka tampak menggeram. Aku
lupa ponselku ini dalam mode loud speaker dan Loka dapat mendengar semuanya. Mengingat
akan apa yang terjadi pada Loka, pasti dia merasakan kekesalan yang sama sepertiku.

Buah tak jatuh dari pohonnya. Lelaki bertopi itu pernah menembak kakiku, Loka pun tak luput
menjadi korbannya. Kini emosi kami terasa berpadu menjadi satu, menimbulkan kesan dahsyat
untuk melakukan balas dendam, telebih dengan kesombongannya. Demi apapun, aku benar-benar
tak sabar ingin menghajar wajahnya—menghajar wajahnya di dalam penjara merupakan nilai
tambah.

"Jadi, kita hanya akan terus mengobrol?" tanyanya.

"Aku lebih menyukai hal itu."

"Aku lebih menyukai jika kau segera mengendarai mobilmu."

Kembali kutengok ponsel Loka. Panggilan itu belum ditutup. Walaupun sejujurnya aku benar-
benar ingin memastikan bahwa Guntur mendengarkan seluruh percakapan kami, tetapi aku tak
dapat memastikannya secara jelas tanpa menarik perhatian lelaki bertopi ini. Jadi, aku membawa
ponsel Loka dan membuatnya kembali menatapku dengan rasa kesal karena mengambil harta
berharganya. Namun, kuberikan isyarat agar dia tak mengikutiku ketika aku mengambil kunci
mobil, keluar dari rumah dan menyalakan mesin sambil menyimpan kedua ponsel itu di atas
dashboard. Tentu tak lupa kuberikan isyarat pada Loka untuk terus waspada, setidaknya
menyuruhnya untuk menghubungi para tetangga jika sesuatu terasa tak beres.

"Jadi—" kataku sambil sedikit menaikan nada yang sedari tadi kubuat sedatar mungkin. Kuteguk
ludahku sambil memastikan panggilan menuju ponsel Guntur masih tersambung. Dan ya—masih
tersambung.

Kuharap Guntur mendengarkannya karena kurasa lelaki bertopi itu tak akan mengulang kata-
katanya. Tempat tujuannya mungkin hanya akan diucapkan sekali saja.

"Ke mana aku harus menemuimu?"

Dan lelaki bertopi itu memberikan sebuah alamat. Ah, tepatnya sebuah tempat. Tempat tergila
yang tak pernah kupikirkan.

Aku pikir dia akan menemuiku di sebuah tempat yang jauh dari kantor polisi. Sebaliknya, dia
berkata akan menungguku di samping rel kereta yang tak jauh dari kantorku. Memang tempat itu
sepi dan gelap. Seingatku tempat itu sangat jarang dilalui orang selain para pekerja kantoran yang
sengaja memotong jalan dan membuat estimasi perjalanan menjadi lebih cepat. Namun tempat itu
bukan tempat bagi siapa saja.

Keraguan semakin timbul dalam benakku. Apakah aku harus menerima tawarannya? Jika ya, apa
yang akan terjadi padaku? Jika tidak, apa yang akan terjadi pada Wijaya? Apakah Guntur
mendengarkan seluruh percakapan kami? Jika ya, apakah dia akan memanggil bala bantuan? Jika
tidak, apa yang harus kulakukan setelahnya?

Terlalu banyak keraguan. Aku tak dapat berpikir dengan jelas. Namun, aku kembali mengingat
ucapannya.

Enam puluh detik pada kematian.


Aku akan berusaha untuk tidak peduli dengan apa yang terjadi pada diriku selama perjalanan selain
menangkap lelaki bertopi itu. Dia pasti akan terkejut ketika aku menggunakan metodenya untuk
menangkapnya.
20. Do I Wanna Know?

Kegelisahanku semakin menyeruak. Jemari kakiku terasa tak dapat bergerak secara leluasa di balik
sandal jepit berwarna biru dengan logo putih yang menghiasi beberapa bagian sisinya. Keringat
dingin semakin menjalar melalui keningku ketika beberapa persimpangan lampu merah kulalui.

Malam ini masih ramai, dan aku merasa sedang sendirian—orang-orang tak tahu masalahku dan
mereka tak akan peduli. Aku dapat melihat senyum di balik wajah mereka karena kebahagiaan—
entah karena apa—yang mungkin sedang dijalani—berbanding terbalik denganku.

Waktu pada ponsel Wijaya masih bergerak. Beberapa kali kugeserkan jempolku di atas layarnya
hanya untuk memastikan hal itu, seolah-olah mencoba menghitung waktu yang tepat kapan bom
akan meledak—hanya saja waktunya bergerak maju. Sampai kemudian notifikasi baterai lemah
muncul dan membuatnya bergetar menimbulkan kebisingan. Ponsel itu bergetar dalam beberapa
detik dengan lampu latar yang semakin meredup—lima belas persen lagi.

Tentu, sontak aku kaget dan hampir melompat dari tempat dudukku kemudian kubanting setir ini.
Tapi, pada akhirnya aku masih bisa mengontrol tubuhku biarpun lelaki bertopi itu bertanya, "Apa
itu?"

Sambungan telepon memang tidak diputuskan, mungkin dia benar-benar takut jika aku
menghubungi seseorang—yang sebenarnya telah kulakukan. Tapi, daripada menimbulkan
kecurigaan akan getaran itu, aku segera memberitahu si lelaki bertopi bahwa secara tak sengaja
jariku mengetuk dashboard karena gugup. Aku tidak yakin jika seandainya baterai ponselku
melemah apakah sepatutnya lelaki bertopi itu mendengarnya atau tidak, dan aku tidak ingin
mengambil resiko dia sadar bahwa aku sedang membawa dua ponsel.

Perjalanan ke tempat tujuan harusnya tak memakan waktu hingga setengah jam, dan lelaki bertopi
itu sudah memperhitungkannya matang-matang. Dia memberikan tenggang waktu dengan estimasi
yang terlalu sempit, membuatku tak dapat bergerak ke mana-mana dan terpaku pada tempat tujuan.
Kemudian, di saat yang bersamaan aku menginjak pedal gas dengan kencang sebagai upaya
mengefektifkan waktu, setidaknya membuatku mendapatkan waktu tambahan untuk berpikir lebih
lama.
Berdasarkan asumsiku, lelaki bertopi itu berpikir aku memiliki berkasnya, dalam arti benar-benar
membawa berkas itu ke rumah kemudian mempersiapkan diri untuk bertemu dengannya. Padahal,
aku tidak benar-benar membawa berkas itu—berkas yang kusimpan di kantor. Sekarang, aku tak
dapat mengatakan apa-apa karena aku tak tahu apa yang akan dia lakukan pada Wijaya seandainya
dia mengetahuinya. Dalam benakku, lelaki bertopi itu bisa saja melubangi dada Wijaya sebanyak
tiga buah hanya karena aku mengatakannya. Tentu saja, siapa sih penjahat yang menyukai polisi
bergerak ke kantor polisi? Dia pasti berpikir aku berbohong—minimal memanfaatkan kesempatan
yang memang akan kulakukan.

Persimpangan terakhir telah kulalui. Ramainya Bandung Indah Plaza yang kulewati beberapa detik
lalu tampaknya tak membuat hatiku lebih baik. Terangnya balai kota tak membuat pandanganku
menjadi segar dan kembali membuatku senang. Kemudian, beberapa saat setelahnya, aku dapat
melihat kantorku yang bahkan tak bisa kusinggahi untuk sekarang ini. Aku terus melaju melewati
pintu perlintasan rel kereta api dan segera memarkirkan kendaraanku beberapa meter setelahnya.
Untuk sesaat, aku benar-benar merasa tempat ini kekurangan penerangan—gelap sekali.

"Aku sudah sampai," kataku, tetapi tak semata-mata memberitahu lelaki bertopi itu, namun juga
pada Guntur. Panggilannya belum terputus, tetapi aku tak dapat membawa ponsel Loka lebih jauh.
Jadi, aku menyimpannya di dalam dashboard mobil setelah mematikannya. Sedangkan untuk
ponselku yang asli, aku tetap membawanya ketika mendengar lelaki bertopi itu berkata, "Oke."

Aku keluar, melalui jalanan kecil seperti yang diberitahukan oleh lelaki bertopi itu. Dalam jarak
yang cukup jauh, aku melihat sekelebat bayangan menyerupai manusia, hitam dan tak begitu jelas
di hadapanku. Begitu langkah kakiku mulai menyentuh angka tiga puluh, wujud dari bayangan itu
semakin jelas. Seorang pria dengan pakaian serba hitam yang membuatnya sulit untuk dilihat.
Untuk sesaat aku berpikir bahwa orang itu akan berdiri, bersandar pada tembok yang menyangga
tanah tempat ditidurkannya rel kereta api dengan mobil berwarna hitam—yang senada dengan
pakaiannya—terparkir entah di mana, membawa Wijaya yang lengannya tengah terikat dengan
mulutnya yang disumpal kain. Namun, seluruh keadaan berbeda dengan bayanganku. Dia hanya
berdiri di sana, seorang diri, tak membawa apapun selain tubuhnya itu. Senjata api pun mungkin
tak ada jika penglihatanku tak salah menerka—aku tak melihat benda kecil terselip pada
pinggangnya.
Deduksiku itu terbukti ketika dia mengatakan, "Aku tak membawa apa-apa." Sambil mengangkat
kedua tangannya ke udara, seolah-olah mempersilakanku untuk menggeledah seluruh bagian
tubuhnya. Namun, pada akhirnya ia kembali pada posisi semula, membiarkan kedua lengan
digantung pada masing-masing bahu yang bersesuaian.

Aku mengambil pistol yang telah kubawa untuk berjaga-jaga, menariknya secepat mungkin,
menodongkan senjata api itu ke arahnya. Sungguh, demi apapun, kenapa dia tak membawa apa-
apa? Dia pasti tahu aku akan membawa perlengkapan selengkap mungkin, apalagi dia sendiri tahu
bahwa sebelumnya aku bergerak terlalu lama untuk mengendarai mobilku, tak ada alasan baginya
untuk tak curiga.

Aku menelisik ke arah sekitar, berpikir bahwa seseorang akan menyergapku. Aku berputar,
mengarahkan pandangan ke segala penjuru tetapi tak dapat kulihat siapapun selain dirinya itu.
Lelaki bertopi ini benar-benar datang sendirian jika tak ada orang yang secara tiba-tiba melompat
dan menutup kedua mataku dengan lengan besar.

"Kau merencanakan sesuatu?" Aku bertanya dengan lantang, seolah-olah memerintahkan seorang
pencuri untuk berhenti dan mengangkat kedua tangannya—secara teknis dia memang seorang
perampok, kan? Perampok yang merangkap menjadi seorang pembunuh untuk sebuah hobi.

"Rencana apa?"

"Kau tidak mungkin datang sendirian."

"Aku datang sendirian."

"Di mana Wijaya?"

"Aku tidak tahu." Dia menyeringai—dugaku. Aku memang tak dapat melihatnya, tetapi
mendengar nada bicaranya aku yakin seyakin-yakinnya.

"Aku tak akan memberikan berkas itu sebelum melihatnya."

"Kenapa?"
"Kau bilang kau memiliki barang yang kuinginkan dan aku memiliki barang yang kau inginkan,
kan? Kita bertukar atau tidak sama sekali."

Jarak kami mungkin hanya terpaut sekitar tiga atau empat meter. Tetapi demi apapun, aku merasa
berada di dalam kuburan sempit tanpa penerangan. Seandainya umurku masih lima atau enam
tahun, mungkin monster-monster berbagai bentuk sudah menyerangku dari segala arah.

Embusan angin tipis menerpa wajahku, dingin dan membuatku terasa membeku. Di saat yang
bersamaan, lelaki bertopi itu tampak linglung—sekali lagi hanya berdasarkan asumsiku.

"Kau berpikir aku mengambil ponselnya secara paksa, ya?"

Ya, batinku. Tetapi mulutku mengatakan hal yang lain, "Mungkin kau tidak akan mengaku, tetapi
jelas, kan? Hal apalagi yang bisa kauberikan padaku selain itu?"

"Aku bisa mengambil dompetmu tanpa kauketahui, kau ingat?" katanya. "Aku tidak ingin
terdengar sombong, tetapi aku ahli melakukannya. Tak hanya itu, mungkin kau sudah menduga
keterampilanku yang lain. Strategi, seni melarikan diri, fisik—sehingga kau tidak berani
mendekatiku padahal kau sedang mengacungkan pistol itu padaku."

"Kau bilang kau tidak ingin terdengar sombong, tetapi kau menyombongkan dirimu. Kontradiktif."
Setelaten mungkin kucari celah untuk melawan argumennya, setidaknya membuatnya kesal,
membuatnya menumpahkan segala informasi mengenai dirinya.

Dalam jarak sedekat ini, aku bisa saja menembak kakinya, tetapi itu artinya aku harus membuat
gerakan secepat mungkin sebelum refleksnya bekerja, dan tentu hal itu akan sulit dilakukan karena
dia memiliki refleks gerakan di luar batas kewajaran. Aku bisa menembak dadanya dengan sekali
tarikan, tetapi aku tak memiliki jaminan bahwa lelaki bertopi itu dapat menahan hidupnya lebih
lama—setidaknya sampai aku bisa mengantarnya ke rumah sakit. Lubang pada kepalanya tentu
akan kuhindari karena aku masih ingin mengetahui identitas dirinya.

Jadi, sebelum seluruh keadaan berubah, aku bertanya, "Jadi, kenapa kau membunuh Pak Goto dan
kenapa kau memerintahkan orang-orang untuk membunuh Alex, terus berusaha mengontakku dan
meminta berkas itu?"
"Aku telah memberikan alasannya padamu."

"Terakhir kau menemuiku, kau bilang kau memiliki alasan tersendiri."

"Itulah alasanku."

Aku hampir menanyakan pertanyaan selanjutnya sebelum perhatianku teralihkan pada sekelebat
bayangan lain, persis seperti yang kulihat pada lelaki bertopi ini. Bedanya, bayangan itu benar-
benar bergerak dan aku yakin berdasarkan bentuknya, itu bukanlah monster. Bayangan hitam itu
lebih mirip seperti seorang manusia yang mengendap-endap, bersembunyi dan berusaha untuk tak
terlihat.

Kemudian, seiring dengan beradaptasinya mataku dengan bayangan itu, aku dapat melihatnya
lebih jelas, sosok yang tak asing dalam hidupku. Guntur.

Si brengsek itu selama ini ternyata mendengar percakapanku dengan lelaki bertopi ini, ya? Sialan,
dia benar-benar membuatku cemas. Ternyata dia menerima panggilanku.

Demi apapun, aku ingin berteriak kegirangan, seolah-olah aku telah memenangkan sebuah
pertandingan. Namun, untuk menghindari kegagalan rencana—mungkin—yang Guntur buat, aku
tetap berusaha untuk tenang. Bahkan, lirikan mataku saja tak kupindahkan selain memberikan
pandangan pada lelaki bertopi itu. Untungnya, suasana yang gelap ini turut membantuku. Lelaki
bertopi itu tak curiga bahwa Guntur tengah mendekatinya dengan menekuk kedua lutut dan
melebarkan jarak masing-masing kaki, membuat sol sepatunya lebih ringan dan tak menimbulkan
suara yang berarti.

"Dan aku tidak membunuh Alex," kata lelaki bertopi itu, melanjutkan kalimat yang sebelumnya
terpotong karena perhatianku teralihkan oleh Guntur.

Artinya, aku hanya perlu mengobrol dengannya dan membuat perhatiannya benar-benar teralihkan
agar ia tak menyadari keberadaan Guntur.

"Ya, tak membunuhnya secara langsung," kataku. "Tak seperti yang kau lakukan pada Pak Goto."
"Aku—" Lelaki bertopi itu menekankan kalimatnya, tetapi tak sampai selesai karena Guntur—
yang sedari tadi melangkah secara perlahan—telah berada di belakangnya, melumpuhkannya dan
membuatnya ambruk dalam waktu yang cepat. Aku dapat melihat stun gun dengan listrik yang
masih menyala-nyala, seolah-olah Guntur sengaja menekan tombolnya untuk mencegah hal buruk
terjadi. Namun, seberapa lama pun kami menunggunya, lelaki bertopi itu telah lumpuh dan tak
sadarkan diri.

Aku mendekatinya. Kini lelaki bertopi itu tak dapat kusebut sebagai lelaki bertopi karena topinya
telah lepas, menyeruakkan rambut-rambut keluar dan menutupi seluruh permukaan kepalanya.
Rambut cepak ala tentara itu seolah-olah sengaja disembunyikan karena tak sesuai dengan
keinginannya.

Kubungkukan tubuhku, menarik dan mengeluarkan napas sekasar mungkin hingga suaranya dapat
terdengar. Kemudian, dalam kegiatan yang sama, aku berkata, "Kau menerima panggilanku, ya?"

Guntur hanya tersenyum sambil berkata, "Ya."

Sebelumnya, aku sempat berpikir bahwa panggilanku padanya mungkin akan sia-sia. Mungkin
ketika itu bukan Guntur yang menerima panggilan—mungkin istri atau anaknya—dan ia sedang
berada di kamar mandi, kemudian meninggalkan panggilan itu dengan menyimpan ponsel di atas
meja atau semacamnya karena ketakutan dan membuatku cemas. Setidaknya, kini aku yakin
bahwa pemikiranku itu salah.

"Aku ke sini secepat yang aku bisa," katanya. Namun, aku tidak peduli akan hal itu. Guntur
membuatnya seolah-olah ia datang terlalu lama, padahal bagiku yang terpenting sekarang adalah
lelaki bertopi—tak bertopi—ini telah dilumpuhkan. Setidaknya aku bisa membawanya ke kantor
polisi—tunggu dulu.

Jika aku membawanya ke kantor polisi, orang-orang akan melihatnya. Aku tak ingin mengambil
resiko itu. Jika memang benar beberapa polisi bekerja padanya, maka tak menutup kemungkinan
orang-orang itu akan berusaha mengeluarkannya, tidak sampai aku benar-benar bisa mendapatkan
bukti bahwa lelaki bertopi ini membunuh Pak Goto dan Alex.
Untuk pembunuhan Pak Goto, aku bisa memberikan rekaman itu. Suaranya akan menunjukan
dirinya sebagai seorang pembunuh. Namun bagaimana untuk Alex? Aku tak memiliki bukti Fandi
dan Bagas bekerja padanya dan belum bisa kubuat koneksi yang menyeluruh. Tak ada cara yang
lebih baik selain membuatnya mengakui kembali perbuatannya—cara paling mujarab tetapi sangat
sulit.

"Sekarang apa yang akan kita lakukan, Roy?" tanya Guntur sambil menatap lelaki ber ... tak
bertopi—uh, aku belum terbiasa—yang tengah terkapar itu.

Aku sendiri, sejujurnya masih bingung.

"Kau memiliki tempat di mana kita bisa mengikatnya, menginterogasinya?"

Guntur berdeham sejenak—tampak bingung juga.

"Mungkin?" lanjutnya. Namun, aku tak mempertanyakan hal yang lebih detail. Bagiku, ada saja
sudah cukup baik. Aku dapat melihatnya secara langsung nanti.

Kuangkat tubuh lelaki ini—pada akhirnya aku tak memanggilnya bertopi—lebih berat dari yang
kuduga. Tubuhnya yang ramping ternyata tak membuatnya ringan. Bahuku terasa menegang dan
aku benar-benar kesulitan sampai kemudian Guntur membantuku. Aku mengangkat bahu lelaki
ini sedangkan Guntur membawa kedua kakinya. Kemudian, secara kasar kusangkutkan kakiku
pada topi lelaki ini, mengangkatnya ke atas dan secepat kilat kuambil topi itu sebelum
keseimbanganku hilang. Untungnya aku berhasil walaupun kekuatanku sempat goyah.

Kusimpan topi itu di atas tubuh lelaki ini—yang sedang tergantung. Begitu hendak kutarik tubuh
lelaki ini ke mobilku, Guntur menyikapinya.

"Ke mobilku saja, Roy," katanya dan aku tak dapat menolak hal itu. Mobil siapapun tak masalah,
kan?

Ingat ketika aku bilang aku akan mulai berolahraga untuk menyiapkan diriku ikut tergabung dalam
kelompok perampok itu? Aku memang melakukannya, setidaknya beberapa kali sebelum pada
akhirnya aku tahu bahwa aku tak dapat bergabung dengan mereka. Jadi, pada akhirnya kuputuskan
kebiasaan baruku itu dan kini kedua bahuku terasa nyeri, seperti setelah mengangkat beban tak
wajar di luar batas kemampuan otot-ototku.

Ternyata, mobil Guntur diparkir pada sisi yang lain. Mobilku diparkir pada jalan bagian barat
sedangkan mobilnya diparkirkan pada bagian timur. Jalan kecil ini tidak terlalu panjang dan aku
sudah dapat melihatnya dalam beberapa langkah.

Aku berpikir bahwa semua masalah ini akan beres dengan segera—setidaknya begitu—hingga
ketika aku sampai di samping pintu mobil Guntur.

Wajahku langsung bersungut dengan alis yang ditekankan. Perlu beberapa detik bagiku menyadari
apa yang ada di dalam sana setelah Guntur memintaku untuk membuka pintu mobil. Aku benar-
benar terkejut, pemandangan yang tak pernah kuekspetasikan.

Fandi dan Bagas ada di dalam sana.

Di saat yang bersamaan, tubuhku terasa lumpuh. Aku terjatuh dengan kesadaran yang semakin
tipis. Tidak, bahkan lebih buruk dari itu. Kesadaranku langsung hilang.
21. Imprinting

Kurasakan dunia yang melambung-lambung dalam kegelapan. Hentakan-hentakan kuat dapat


kurasakan, mengalir melalui tubuhku. Kemudian, semua seolah berhenti. Tubuhku kini terasa
melayang dengan kedua tangan yang terikat, menjatuhkan seluruh kesadaranku pada raga yang tak
dapat bergerak ketika kusadari bahwa air sungai mengalir di sampingku—melewati beningnya
jendela mobil ini di tengah kegelapan.

Aku bangun, sedikit tersentak ketika kurasakan sebuah tamparan mendarat pada pipiku.
Kesadaranku yang sebelumnya tidaklah cukup untuk membuka kedua kelopak mata, kini secara
tiba-tiba mereka terbuka. Sekali lagi, seseorang menamparku dengan keras—membangunkanku.

"Dia sudah bangun."

Aku mendengar lontaran kalimat itu, tetapi aku tak yakin siapa yang mengatakannya. Bayang-
bayang wajahku masih terasa samar, telingaku belum bekerja cukup baik untuk menerima pesan,
membuat seluruh suara terdengar mendengung, apalagi di balik gemericik air yang tak berhenti.
Kemudian, pintu mobil terbuka dan tubuhku terhuyung, hampir terjatuh ke atas tanah seandainya
uluran tangan yang diberikan oleh seseorang yang lain—Fandi, Bagas atau Guntur, mungkin—tak
diberikan. Namun, bukan bertindak sebagai penyelamatku, selanjutnya orang itu malah menarikku
secara kasar, mencengkram kerah bajuku bagaikan benda usang yang telah tak terpakai. Aku
tercekik dan terpaksa melangkahkan kakiku sesuai dengan arahan yang diberikan—daripada mati.

Kini, kesadaranku telah pulih seratus persen. Dunia masih gelap, bintang-bintang tak menyinari
tetapi bulan yang menggantung menunjukkan hal itu. Tarikan kuat sebelumnya kini menyuruhku
untuk berlutut, membuat kain celanaku kotor. Di saat yang bersamaan, dapat kulihat lelaki bertopi
... maksudku tak bertopi yang masih tak bertopi itu melakukan hal yang sama. Bagas menekan
bahunya, membuatnya berlutut dan menghadap ke arahku, membelakangi air sungai yang tengah
mengalir.

Sekarang, aku tahu Fandi melakukan ini padaku. Namun, dia menambahkan pukulan keras pada
tengkukku, membuatku terjatuh. Kepalaku terjerembap, hampir masuk ke dalam tanah yang pahit.
Lebih buruk lagi, karena kebiasaan orang untuk membuang sampah sembarangan, dapat kurasakan
plastik bekas memenuhi mulutku yang tak siap akan serangan itu. Secara spontan, aku meludah,
kemudian terbatuk sambil merasakan sakit pada hidungku. Berita baiknya, kesadaranku semakin
pulih, lebih bagus dari sebelumnya.

Kerah bajuku kembali ditarik, membuat tubuhku terjengkang walaupun masih dapat kutangani.
Fandi tak memberikan kesempatan bagiku untuk melawan. Kemudian, di saat yang bersamaan,
Guntur berjalan mengelilingi kami bagaikan seorang senior tolol yang ingin menghajar juniornya
habis-habisan dalam masa orientas brengsek yang tak diperlukan tanpa persetujuan guru.
Maksudku, jika masa orientasi dipenuhi kekerasan, dengan nama orientasi itu, bukankah artinya
dengan kata lain mereka mengenalkan bahwa sekolah penuh dengan kekerasan?

Kini, sebagai tambahan yang lain, kurasakan kedua lenganku yang terikat. Cabble tie membuat
kedua lenganku kesemutan, apalagi dengan ikatannya yang terlalu kencang. Ketika aku mulai
meringis akibat rasa perih gesekan di antara cabble tie dan kedua lenganku, secara mendadak Fandi
membekap mulutku, membuat suaraku teredam hingga aku tak mengatakan apapun lagi.

Di seberang sana, si lelaki itu tampak lebih tenang. Aku yakin dia mendapatkan perlakuan yang
sama—Kedua tangan terikat dan tidak diperkenankan untuk berbicara—tetapi ia mengendalikan
dirinya dengan baik. Ia hanya menatap mereka bertiga—Fandi, Bagas dan Guntur—secara
bergantian. Tatapannya yang tak terelakkan itu tak pernah lepas dari kesan burung elang.

"Roy." Sekali lagi, aku mendengar seseorang berbicara. Dengan kesadaranku yang seutuhnya
beres, aku yakin benar jika Guntur yang mengucapkannya, tetapi hal itu tetap tak menguak
kebenaran akan siapa sang pelontar kalimat sebelumnya—aku tak peduli.

"Kau tahu orang-orang selalu menghormatimu. Kau yang paling senior di divisi kita, dan tentu aku
tak akan melupakan hal itu. Tapi ini di luar dunia pekerjaan—pekerjaan yang sebenarnya. Kau
membuatku bimbang untuk menangkapmu. Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Aku
tak pernah menyangka akan membawamu ke tempat seperti ini, apalagi dalam keadaan yang
kacau."

Aku tak menanggapinya walaupun sejujurnya batinku telah berkomat-kamit, melontarkan sejuta
kata yang tak dapat kulepaskan, melewati bendungan mulut yang terkatup rapat.
"Jangan terlalu menanggapi kelakuanku secara serius. Ini bukan diriku seperti biasanya, tetapi aku
tidak memiliki pilihan, Roy," katanya. "Aku akan tetap menghormatimu sebagai seniorku, tetapi
keadaan sekarang tidaklah seperti itu."

Napasku memberat. Tubuhku menggigil akibat terpaan angin yang dingin. Tulang-tulangku terasa
membeku.

"Apa yang kau inginkan?" tanyaku pada akhirnya. Aku tak dapat membendungnya lagi.

"Aku ingin kita bekerja sama."

"Kita sudah bekerja sama selama ini."

"Di luar konteks pekerjaan kita sebenarnya, Roy."

Kujilat kedua bibirku sedangkan Fandi kembali menekan bahuku, menanggapi nada bicaraku yang
semakin meninggi, menyuruhku untuk menurunkannya.

"Ketika kau mendatangi tempat Alex, sejujurnya aku terkejut. Aku tak menyangka kau akan datang
dan dengan mudah memberitahu semua orang bahwa kasus itu adalah kasus pembunuhan, bukan
bunuh diri."

"Semua orang bisa berpikir seperti itu."

"Tidak jika hanya aku yang menanganinya." Guntur mengangkat kedua bahu sambil mengadahkan
kedua lengannya. Ia menggerakan kumis tipisnya seperti sebuah fingerboard yang tidak dijalankan
dengan baik.

Dari kalimatnya, jelas dia membantu kasus itu untuk terlihat seperti bunuh diri. Pertemuanku
dengannya ternyata dipenuhi dengan kebohongan. Dia bukan tak merasa bahwa Alex bunuh diri,
dia tahu jika kasus itu merupakan kasus pembunuhan. Dia berpura-pura terkejut, dia berpura-pura
membuat teorinya sendiri dan mencoba mengikat keberadaannya denganku. Dia tahu semua itu
dan dia tak akan mengambil resiko agar aku curiga padanya. Dia di sana bukan karena kebetulan.
"Kau bukan ahli seorang ahli, bahkan kau tidak bisa membuat kasus itu terlihat seperti bunuh diri."
Aku tahu akan keadaanku, aku tahu Guntur ingin terlihat berkuasa, tetapi bukan berarti aku tak
dapat melawannya. Aku mencoba mencari celah, setidaknya melalui kalimat. Apakah dia akan
merasa tersinggung? Jika ya, apa aku bisa membuatnya lengah?

Tetapi tidak semudah itu. Emosi Guntur sama datarnya dengan Wijaya—dia mengendalikannya
dengan baik.

"Ya, dan aku yakin kau pun tak dapat merencanakan kasus yang sempurna kurang dari sepuluh
jam akibat kecerobohan."

"Kecerobohan?"

"Tembakan itu tak sengaja dilakukan ketika Alex melawan. Andai saja dia tak melawan."

Sekarang aku mengerti apa yang terjadi pada Alex. Sama seperti diriku sebelumnya. Aku terlalu
percaya pada seseorang hingga tak sadar bahwa orang yang kupercayai itu ternyata adalah orang
yang seharusnya tak boleh kupercaya. Inikah yang dinamakan musuh dalam selimut?

"Jadi, orang itu—" aku menatap tajam lelaki itu yang masih belum menghentikan edaran
pandangannya terhadap Fandi—yang sedang menekan bahuku, Bagas—yang sedang menekan
bahunya, dan Guntur—yang sedari tadi bolak-balik di depanku, menghalangi pandanganku
terhadap lelaki itu. "Kalian tidak bekerja padanya?"

Kemudian, Guntur melemparkan tatapannya, melihat lelaki itu tanpa membelakangiku seraya
berkata, "Tidak, tentu saja tidak. Bahkan aku baru mengetahui ada orang sepertinya ketika kau
menceritakan orang itu."

"Kau akan mengajaknya bekerja sama juga?"

"Tergantung. Roy, apa kau mau mengajaknya untuk bekerja sama? Dari ceritamu, orang ini
tampaknya memiliki keterampilan yang bagus."
Guntur mengucapkannya seolah-olah hidup lelaki itu ada di tanganku, membuatku harus
memutuskan seluruhnya secara cepat. Mengambil kesempatan agar dia ikut menerima tawaran
Guntur atau membiarkannya mati. Dengan seluruh sejarah perjalanan hidupku yang tak terikat
baik dengannya, tentu sewajarnya aku lebih memilih membiarkannya mati. Namun, seperti yang
selalu kutekankan—aku tidak seperti itu. Seluruh keinginanku membunuh manusia sebatas angan-
anganku, dalam pikiranku. Aku pernah berada dalam ambang batas kematian, ketika ayah tiriku
melemparkan tubuhku, aku tak dapat menjadi orang yang sama—itu selalu kutekankan.

Namun, aku lebih memilih untuk melontarkan pertanyaan lain.

"Kenapa aku harus bekerja sama denganmu?"

Kini, Guntur tidak menjawab dengan segera. Alih-alih membantu meringankan rasa penasaranku,
dia membusungkan dada sambil memangku kedua lengannya. Sebelah kakinya sengaja
dimasukan, membuatnya terlihat seperti aksi figur yang lama tak dibersihkan. Kemudian, Bagas
mengikuti di belakangnya dengan motif yang berbeda—mungkin dia lelah mempertahankan
posisinya.

"Kau yang menebak, Roy."

Aku menimbang-nimbang. Kenapa aku harus menebaknya?

"Karena aku yang terbaik?"

Tentu itu bukanlah pernyataan berbentuk pertanyaan yang pertama terlintas dalam benakku. Aku
hanya ingin membuat Guntur kesal karena aku tak mengikuti permainannya. Sekali lagi, si sialan
itu tetap tenang. Bukannya menghajar wajahku karena aku tak menanggapi pertanyaannya secara
serius, ia malah membalas, "Coba lagi."

"Agar aku bisa menggantikan posisimu dan membuatmu bertekuk lutut dengan tangan yang
terikat?"

"Coba sekali lagi."


"Karena kau hanya ingin terlihat keren seperti yang lelaki bertopi itu biasa lakukan tetapi pada
akhirnya ia berhasil tertangkap dan kini tak berbuat apa-apa?" Aku mengucapkannya tanpa jeda
dengan sekali tarikan napas. "Dan artinya kau bisa berada dalam posisi yang sama, kan? Aku tidak
melihat perbedaannya. Dia pembunuh, kau pembunuh. Astaga, apakah semua orang yang aku
kenal di dunia ini tak pernah baik?"

"Karena kau meninggalkan anakmu sendirian di rumah."

Aku tersentak, mataku melotot. Baiklah, sekarang seluruh perbuatan ini tidaklah lucu.

"Apa yang kau lakukan padanya?"

"Hanya mengirim seseorang. Tenang, masih aman, kok. Anakmu itu pasti berpikir jika orang itu
adalah polisi—memang benar. Aku belum menyuruhnya melakukan apapun."

Aku menggeram. Dadaku bergejolak. Kuulangi pertanyaanku, membuatku tampak tak menyimak
perkataan sebelumnya.

"Apa yang kau lakukan padanya?"

Kemudian, sekali lagi Guntur mencoba menjawab sampai kuinterupsi dengan tambahan yang lain.

Aku menukas, sekencang yang aku bisa akibat tertahan oleh tenggorokan yang sakit akibat
kekeringan—aku belum minum.

"Kalau terjadi sesuatu padanya, kau akan membayarnya."

"Sudah kukatakan dia—"

"Akan kupotong kepalamu."

"Ro—"

"Akan kumasak."

"K—"
"Kemudian kumakan, Brengsek!"

Aku tak pernah menyangka—sekalipun tidak—bahwa ketika aku hidup aku benar-benar akan
mengucapkannya. Seluruh sumpah serapah gila itu tak pernah terlepas dari otakku, dan kini
semuanya keluar seperti semburan air yang melompat ke sana-sini melalui selang air. Ini kali
pertama bagiku benar-benar mengucapkan seluruh ancaman bohongku itu.

Jadi, apakah kali ini aku serius?

Kurasakan tendangan keras kembali melanda tengkukku. Dan sekali lagi, kurasakan tanah
bercampur plastik pahit menjalar menelusup di antara papila-papila lidahku. Bagian terburuk
adalah aku tak dapat meraba luka yang biasanya secara refleks kulakukan. Tendangan Fandi
tampaknya ditujukan karena aku terdengar tak ingin bekerja sama—memang benar, sih.

Kini, napasku mulai tertahan. Mulutku terbata-bata ketika hendak menghardik mereka. Fandi
menjenggut rambutku, bukan kerah bajuku lagi dan membuatku secara spontan berteriak,
melenguh pelan.

Aku tak dapat memercayainya. Orang-orang ini—aparat yang ditugaskan untuk melindungi
masyarakat—melakukan semua tindakan keji. Gila. Kenapa? Batinku. Tetapi mulutku terlalu
sibuk untuk mendesah pelan akibat kulit kepalaku yang hampir tercabut. Mungkin, beberapa
rambutku rontok akibat genggaman kuat Fandi yang tak dapat kutepis.

Aku mendongak, menahan rasa sakit akibat tarikan lengannya. Tetap meringis dengan seluruh rasa
kesal yang menyeruak di dalam dadaku. Lidahku terasa terbakar, komat-kamit tak jelas.

Namun, di saat yang bersamaan, perhatianku teralihkan pada pemandangan lain. Guntur ambruk
secara tiba-tiba. Aku sempat berikir lelaki itu jatuh tanpa alasan yang jelas hingga kurasakan angin
kencang berhembus melewati pelipisku. Bukan, itu bukan angin 'entah dari mana aku tak peduli',
melainkan angin yang terjadi secara tak sengaja ketika sebuah benda melesat dengan kencang.
Kasus kali ini bukanlah benda, tetapi kaki lelaki itu—lelaki bertopi—yang melintasi tubuhku, tepat
mengenai wajah Fandi dan membuatnya terpental jauh.
Kudorong tubuhku, melepaskan diri dari cengkramannya dan menyadari bahwa Bagas pun tak
lepas dari korban tendangan atau pukulannya. Mereka bertiga ambruk dalam sekejap. Demi
apapun, aku tak dapat memercayainya. Biasanya aku melihat hal yang sama dari layar kaca, dan
kini aku melihatnya secara langsung, bagaikan film aksi murahan yang hanya ingin menampilkan
adegan pertarungan tak berarti, tak dibalut dengan cerita yang bagus.

Namun, bagaimanapun juga, tindakannya sudah menyelamatkan kami berdua.

Aku terduduk, terengah-engah, menatap sekeliling dan melihat lelaki bertopi—sialan, sampai
kapan aku tak berhenti memanggilnya seperti itu?—itu berdiri di antara tumpukan raga tiga lelaki
lainnya. Kemudian, ia berkata, "Bantu aku menenggelamkan orang-orang ini."

"Hah?"

"Mereka hendak menenggelamkan kita. Aku melihat seutas tali yang dikeluarkan dari dashboard
ketika mereka membangunkanmu. Kita hanya perlu mencari pemberat."

Aku menatapnya tak percaya. Bukan karena keinginannya untuk menenggelamkan orang-orang
ini, melainkan pertanyaan lainnya yang lebih penting.

Tangannya pasti diikat oleh mereka bertiga juga, kan? Bagaimana mungkin dia bisa melepaskan
diri!?

"Tunggu! Bagaimana kau bisa bebas?"

"Apanya?"

"Mereka mengikat kedua lenganmu, kan!?"

"Ya."

"Lalu, bagaimana kau bisa bebas!?" Kuulangi pertanyaanku itu dengan penekanan yang lebih
dalam. Ya, benar, aku tak dapat menghentikan pertanyaanku itu. Bahkan, pertanyaan yang sama
menggema di dalam pikiranku, seolah-olah mengikuti seluruh ucapanku satu detik setelahnya.
Lelaki bertopi yang sekarang tak menggunakan topinya itu—ah, akhirnya aku memiliki panggilan
yang lebih bagus—melenguh pelan. Kemudian, secara ajaib, ia mengeluarkan benda tipis kecil
yang kini sudah ada di genggamannya. Silet, mungkin, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Ia
memotong cable tie yang sedari tadi mengganggu peredaran darahku. Aku dapat merasakan
kembali hemoglobin-hemoglobin kembali memenuhi seluruh luas jariku yang kuregangkan.

Kemudian, sekali lagi aku bertanya. "Bagaimana caramu mendapatkan benda itu?"

"Bukan urusanmu."

"Tentu saja urusanku."

"Bukan urusanmu dan kau akan membantuku menenggelamkan mereka, oke?"

Baiklah, kurasa pertanyaan mengenai keberadaan 'benda ajaib' itu tak lagi penting. Pertanyaan
selanjutnya.

"Kita tidak bisa membunuh mereka."

"Kita akan menenggelamkannya."

"Mereka memiliki keluarga. Kau benar-benar brengsek, bahkan hanya untuk memikirkannya!"

"Mereka tetap mati, Roy!"

Aku tersentak kaget.

"Aku mematahkan leher mereka," lanjutnya, membuatku menatap tak percaya. Sekali lagi
kuedarkan pandangan ke sekitar. Mereka masih terkapar, tetapi aku lupa untuk memperhatikan
detail yang ada. Perut mereka tak naik turun—sedikitpun. Mereka tak bernapas, atau mungkin
terlalu kesulitan untuk bernapas sehingga membuatnya terlihat tak bernapas. Aku tidak tahu
kejadian mana yang benar, tetapi tetap saja dua-duanya sama-sama buruk.

"Kita tak harus menenggelamkannya," tukasku.


Namun, secara langsung lelaki itu menjawab, "Lalu, apa yang akan kau katakan? Bilang pada
semua orang bahwa tiga polisi menculikmu dan hampir membunuhmu ketika secara tiba-tiba
orang yang lewat dan membantumu? Tidak, kan?" Lelaki bertopi itu kini membelakangiku,
berjalan menjauh sambil tetap berkata, "Aku akan membunuhmu jika membocorkan hal-hal
berkaitan tentang diriku di media massa. Dan jika kau tak membantuku, aku tak akan membantumu
menyelamatkan anakmu itu. Kau tahu dia sedang dalam bahaya, kan?"

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Loka. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk
menyelamatkannya. Namun, di sisi yang sama, menenggelamkan orang-orang itu? Aku tahu,
mereka orang-orang brengsek, tetapi ... astaga.

Apa yang harus kulakukan selanjutnya?


22. First Blood

Berkutat dalam divisi pembunuhan tak membuatku terbiasa untuk melihat pembunuhan tepat di
depan mata. Biarpun aku dapat berdalih dan menganggap seluruh aksi yang dilakukan oleh lelaki
bertopi itu merupakan bentuk pertahanan diri, namun pilihanku untuk membantunya
menenggelamkan korban tidak akan membantu melepaskannya dari jeratan hukum—kasus
pembunuhan. Lebih buruk lagi, aku terlibat secara langsung, menodai kedua tanganku dengan
gelapnya pemikiran ketika kedua bola mata melihat secara langsung proses yang berjalan.

Ketiga mayat itu tenggelam, tersembunyi di balik gelapnya malam dengan gemericik air yang terus
berputar di dalam otakku. Pemberat yang diikat pada kaki-kaki mayat telanjang itu seolah sengaja
menarik mereka, menyusupi berbagai celah untuk mengintip ngerinya neraka. Di sisi yang lain,
seluruh pakaian mereka yang ditanggalkan akan aku—atau lelaki bertopi itu—bakar untuk
menghilangkan jejak. Tidak mungkin pada tempat yang dekat, aku harus berkendara lebih jauh
lagi. Kini, hanya tinggal menunggu waktu hingga air sungai ini menyurut, menampakkan jejak-
jejak mayat yang ditenggelamkan. Walaupun kurasa waktu itu tak akan datang dengan cepat,
mengingat sudah berbulan-bulan hujan tak turun dan sungai ini masih mengalir dengan deras.
Selain itu, air sungai yang kotor kurasa tak akan membuat orang-orang menyadari bahwa tiga
mayat tenggelam—setidaknya dengan mata telanjang itu tak mungkin terjadi.

Kini, kegelisahan menyeruak dari dalam diriku. Di balik kemudi, aku tak tahu apa yang harus
kukatakan pada orang-orang seandainya mereka sadar bahwa pembunuhan itu—yang
melibatkanku—diketahui oleh khalayak ramai. Apa yang akan Loka katakan nantinya? Bagaimana
dengan tetangga-tetanggaku? Wijaya, juga teman-temanku yang lainnya mungkin tak akan pernah
mau menemuiku lagi selamanya untuk alasan apapun. Kalaupun aku berdalih bahwa mereka
hendak membunuhku terlebih dahulu, aku yakin tameng besar berupa kalimat, "Tetapi tak perlu
sampai membunuh." Akan menghujamku, padahal mereka tak berada di lokasi.

Aku masih berpikir seperti itu sampai si lelaki bertopi itu mengatakan yang sebaliknya—ada
benarnya juga. Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik sampai-sampai aku naif. Aku hanya
menginginkan dunia yang sempurna, tak ada kejahatan yang menerpa di dunia ini hingga kusadari
bahwa aku salah. Ketika sahabatku membunuh kedua orang tuanya, aku tak dapat menerima
kenyataan itu. Aku berusaha menghindar, menganggapnya sebagai seseorang tanpa kesalahan
yang tentu saja keadaannya tak seperti itu walaupun aku tahu dia bukanlah orang jahat. Sampai
saat ini, aku berusaha menanggapi seluruh hal dengan baik, berusaha menilai sisi positif segala
tindakan negatif yang orang-orang lakukan—walaupun masih sering kukomentari.

Aku tak pernah menyukai para pengendara sepeda motor yang menggunakan trotoar sebagai jalan
pintas. Namun, di sisi lain aku berusaha memakluminya, menganggap waktu hidup yang tersisa
bagi mereka tidaklah cukup hanya untuk menunggu barisan kendaraan maju—tentu saja aku tetap
memakinya dalam hati. Aku tak pernah menyukai orang-orang tolol yang melupakan lampu tanda
untuk berbelok, menambahkan peluang kecelakaan untuk timbul, menggunakan ponsel ketika
mengemudi, menyebrang jalan raya dan memotong jalur kendaraan yang melaju dengna kencang
padahal di sampingnya terdapat jembatan penyebrangan. Demi apapun, aku tidak menyukai
seluruh hal itu, tetapi aku tak mau menanggapinya secara berlebih. Mungkin mereka lupa, dan
tentu saja itu membuatku hipokrit.

Aku ingin menyapu bersih orang-orang semacam itu, tetapi di sisi lain aku tak ingin terlihat sebagai
seorang pahlawan brengsek yang dibenci banyak orang hanya karena memiliki idealisme yang
berbeda. Dan puncaknya, aku tak ingin melawan Guntur sampai pada akhirnya lelaki bertopi itu
secara paksa mematahkan lehernya. Dan sesaat setelahnya, aku masih memikirkan tentang
hidupnya, keluarganya, lupa bahwa dia adalah orang yang mengancam akan membunuhku.

Lelaki bertopi itu bilang bahwa aku bukanlah malaikat. Aku manusia, bisa mati. Aku memiliki sisi
baik dan jahat. Pada awalnya, kupikir dia hanya ingin meracuni pikiranku, membuatku terpaksa
memilih untuk membantunya menenggelamkan ketiga mayat itu. Namun, seiring berjalannya
waktu, aku tahu bahwa semua ini telah berjalan terlalu jauh.

Mereka mengumumkan perang, dan aku bersembunyi terlalu lama sehingga Alex menjadi
korbannya. Jika secara paksa kuambil kasus Pak Goto, mungkin aku dapat menggali lebih jauh
lagi, dan sekarang semua keadaan malah terasa semakin runyam.

"Kau orang paling tolol, brengsek, memalukan—walaupun pintar—yang pernah kutemui. Mereka
memaksamu untuk bergabung dengan mereka dengan mengancam keselamatan nyawa anakmu,
dan kau masih peduli dengan mereka? Kau gila, ya?"
Itulah pertanyaan pertama yang ia lontarkan ketika menyimpulkan tali tambang pada kaki-kaki
Fandi, mengikatnya dengan kuat, seraya membuatku berpikir.

"Kau melakukan hal yang sama sebelumnya."

"Aku tak membunuh anakmu."

"Hampir."

"Aku tak berniat melakukannya, semua itu kulakukan hanya untuk memaksamu mengambil berkas
itu."

"Lihat, kan?" kuangkat kedua bahuku. "Mereka mengancam nyawa Loka agar aku bergabung, apa
bedanya denganmu yang memaksaku untuk mengambilkan berkas itu padamu?"

Lelaki bertopi itu tak menjawabnya.

"Kau membunuh Pak Goto, mereka membunuh Alex. Jadi, apa bedanya?"

Dan sekali lagi, lelaki bertopi itu tak menjawabnya. Kedua lengannya masih sibuk membuat
simpul mati yang diikatkan dengan kuat, berusaha memastikannya untuk tak terlepas seandainya
ikatan tali itu tenggelam ke dalam arus sungai yang deras.

Namun, di saat akan kulontarkan pertanyaan selanjutnya, membuatnya terpojok, lelaki bertopi itu
segera berdiri, berbalik, berjalan dan menghadapiku. Tatapan tajamnya tak diberikan secara
gamblang, tetapi raut wajahnya memberikan kesan yang lebih menakutkan. Ia tak ingin main-
main.

"Kurasa mereka bertiga tak menggeledah pakaianku secara menyeluruh."

Lelaki bertopi itu menggulung kerah lengan pakaiannya, mengangkat tangan kanan dan segera
menggoyang-goyangkannya. Bagian lengan yang lain sengaja ia tadahkan, seolah-olah menunggu
sesuatu untuk muncul secara ajaib. Tentu, di balik kegelapan ini aku tak dapat melihatnya secara
jelas. Namun, ketika ia menghentikan seluruh pergerakannya, maka di saat itulah aku yakin bahwa
ia mendapatkan benda yang diinginkannya.
Kini, ia mencomot benda kecil itu dari telapak tangan kirinya. Namun, di saat yang bersamaan,
kurasa aku telah memecahkan permasalahan terbesar yang belum lama terjadi—bagaimana ia bisa
melepaskan ikatan itu. Pisau kecilnya pasti sengaja diletakkan di tempat yang sama, pada bagian
ikatan pakaian yang menganga. Aku tak pernah melihat pakaian yang serupa, sebuah kaos
berlengan panjang dengan sobekan kecil pada ujungnya, memberikan kesan modis yang tak
kusangka dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda kecil. Pikiranku mengatakan
dia mengguntingnya sendiri.

Cukup cerdik. Tapi kenapa? Apakah lelaki bertopi ini telah menyangka akan diculik oleh
seseorang, dibawa ke suatu tempat dengan lengan terikat sehingga ia harus menyediakan benda
kecil itu untuk kabur? Hal semacam itu bukanlah suatu kebiasaan yang wajar, terlebih lagi dia
yang merencanakan pertemuan ini, bukan diriku. Jadi, apakah artinya dia akan melakukan sesuatu
padaku dengan besi tajam itu? Tapi apa? Membunuhku?

Itu tidak mungkin. Benda yang kecil semacam itu hanya akan menggores bagian luar kulitku,
kecuali jika ia berhasil menusuk tengkuk dan melumpuhkan syaraf-syaraf penggerak motorikku—
yang seharusnya bisa dilakukannya sekarang.

Tentu, batinku bertanya-tanya, tetapi sodoran lengannya untuk memberikan benda kecil yang
entah apa itu sekarang membuatku menolak permintaan batinku itu. Sebuah kartu memori kini
meluncur dan hingga di lenganku. Memori ponsel biasa, tak ada yang istimewa hingga lelaki
bertopi itu berkata, "Aku pernah bilang jangan pernah melanjutkan penyelidikan mengenai
kematian Pak Goto."

Aku tak begitu ingat akan aturannya itu. Namun, alih-alih mencoba mengingat kembali, aku
melayangkan topik pembicaraan baru.

"Apa ini?"

"Data yang mungkin kauinginkan."

Aku berdeham, tetapi tak membalasnya, membuat lelaki bertopi itu melanjutkan, "Alasanku
membunuh Pak Goto dan bagaimana keterlibatan Guntur, Fandi serta Bagas."
Lelaki itu berjalan melaluiku, berjongkok untuk mencari-cari pemberat yang tepat sambil sesekali
melihat keadaan sekitar. Sepi, tentu saja, namun tak menutup kemungkinan seseorang melewati
tempat ini dan melihat aktivitas yang kami lakukan, kemudian kabur ketakutan tanpa tahu kejadian
yang ada secara menyeluruh.

Di sisi lain, badanku serasa terhuyung. Suara kecil dalam otakku komat-kamit, segera memaksaku
untuk mencari-cari ponsel yang kini entah berada di mana. Tentu, tanpa berbasa-basi segera kucari
ponsel itu, mengambil langkah pasti menuju mobil di mana aku tertidur. Begitu kubuka dashboard
mobil, tumpukan ponsel langsung menyeruak memenuhi indera penglihatanku. Salah satu di
antaranya milikku, satu yang lainnya kurasa milik Wijaya. Guntur menggeledah pakaian kami—
tentu saja.

Ponselku tak memiliki memori eksternal karena memang aku tak memerlukannya. Aku bukan
seorang lelaki yang dapat menghabiskan waktu untuk bermain game, menghilangkan seluruh isi
baterai dalam sehari kemudian terpaksa kembali mengisi dayanya untuk dipakai kemudian hari.
Jadi, aku tak menemui kesulitan untuk mengganti memori eksternal ponselku. Kemudian, logo
dari merk ternama muncul begitu ponsel ini kunyalakan, memberikan nada getar yang telah biasa
terjadi. Sedangkan di sisi lain, lelaki bertopi itu tetap mencari batu berukuran besar yang dapat
digunakan untuk menenggelamkan tiga mayat sekaligus.

Menunggu ponsel untuk melakukan booting selama beberapa detik ternyata cukup untuk membuat
keringatku turun, membuat cipratan kecil pada kursi mobil padahal semilir angin dingin merasuki
tubuhku. Di saat yang bersamaan, aku menggaruk punggung karena terasa gatal.

Sejujurnya, aku masih belum mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh si lelaki bertopi itu. Dan
sekali lagi, aku benar-benar tak mengerti akan tindakanku, berusaha mencari tahu apa yang
dimaksudkan oleh ucapannya itu, padahal bisa saja aku mencari batu berukuran besar, berpura-
pura akan membantunya untuk menenggelamkan korban-korbannya, padahal aku akan
menghantamkan batu itu ke bagian belakang kepalanya, membunuhnya, menambah satu mayat
lagi.

Namun, setelah beberapa saat, aku bersykur untuk memilih tak melakukannya.
Data yang diberikan lelaki bertopi itu tak lebih dari sekadar tabel yang terdiri atas beberapa kolom
dengan baris yang memanjang ke bawah. Sel-sel yang terbuat di antaranya terisi penuh. Siapapun
dapat berekspetasi, berusaha mencari tahu akan data yang sebenarnya dituliskan pada jejak digital
ini. Tak ada tulisan apapun yang dapat menceritakan isi dari seluruh tabel yang ada, tak ada catatan
tambahan yang tertera pada halaman terakhir—halaman ke-73. Yang kutemui hanyalah tulisan-
tulisan acak di dalam sel, terdiri atas susunan huruf kapital dengan bilangan-bilangan yang
bertebaran di antaranya. Umumnya terdiri atas enam digit, tetapi tak jarang terdapat tujuh digit
angka untuk beberapa bagian.

Juta, belasan juta, puluhan juta. Tiga hal itu langsung terlintas dalam benakku. Nominal uang
dalam jumlah banyak biasanya dibulatkan ke dalam ratusan ribu terdekat, dan aku dapat melihat
angka 0 sebanyak lima buah di belakang deretan angka masing-masing.

Penggelapan uang.

Aku yakin, tak ada asumsi yang dapat menjelaskan deretan angka itu dengan lebih baik, tetapi aku
tak ingin mengambil kesimpulan yang salah. Kutarik kedua kakiku, meninggalkan tumpuan lutut
di atas kursi penumpang dan masih melihat lelaki bertopi itu tengah berkutat dengan pekerjaannya.
Namun, tak memedulikannya, aku mengambil jarak terdekat di mana pita suaraku tak perlu bekerja
lebih untuk membicarakan hal ini—hal yang sedang ingin kutanyakan.

"Apakah data yang kau maksud itu data korupsi atau semacamnya?"

Aku pikir lelaki bertopi itu akan sekali lagi menanggapiku secara dingin, kembali pada raut
wajahnya yang mengesalkan dan cukup untuk membuat siapapun takut. Namun, ia berbalik dan
memberikan senyum brengseknya itu. Tentu dalam sekali tebak, aku yakin bahwa ia senang karena
setidaknya aku mencoba melakukan keinginannya.

"Bukan."

"Lalu?"

"Hasil dari perampokan."


"Jadi, orang-orang yang ada dalam daftar ini pernah melakukan perampokan?" Aku kembali
mengingat inisial-inisial yang ada dalam 73 halaman itu. Tujuh puluh tiga halaman bukanlah
jumlah yang sedikit, tetapi kurasa jumlah inisial yang ada tak sebanyak itu, karena kurasa aku
mendapatkan susunan huruf yang berulang-ulang.

"Aku lebih senang untuk menyebutnya, 'orang-orang yang ada dalam daftar ini adalah orang-orang
yang mendapatkan hasilnya, lengkap dengan pembagian hasilnya', karena tidak setiap orang yang
tertulis di sana pernah melakukan perampokan."

"Aku tidak mengerti."

"Polisi yang kubunuh itu tidak pernah melakukan perampokan, tetapi kurasa dia sering
memalsukan data untuk beberapa kasus yang melibatkan perampokan itu, melepaskan mereka dari
kejaran juga mengurus bagian pencucian uang."

Aku meneguk ludah, merasakan sisa-sisa enzim yang tak tergunakan sambil menatap tak percaya.

"Bagaimana aku bisa yakin dengan ucapanmu ketika kau hanya memberikanku sejumlah tabel
tanpa keterangan apapun?"

"Aku tidak memaksamu. Terserah saja," katanya. "Tapi aku bukan orang gila yang sengaja
membuat tabel-tabel itu hanya untuk membohongimu."

Aku bergumam pelan, merasakan decitan pada leherku dan terasa sedikit ngilu.

"Jadi," kataku, sembari menarik kembali ponsel yang sebelumnya telah kusakukan, menelisik
berbagai sudut data yang mungkin ketinggalan, sengaja menarik jemariku untuk mencari tulisan
tersembunyi yang mungkin saja ada. "Dari mana kaudapatkan memori itu?"

"Ponsel polisi itu."

Aku mematung, tak berkata apa-apa.


"Ponsel polisi itu yang ada di rumahnya, tersembunyi di balik tumpukan kertas yang ada di dalam
laci meja, baris kedua paling kiri. Aku kembali menyimpan ponselnya di tempat yang sama kalau
kau tak percaya." Lelaki bertopi itu melanjutkan, tetap pada nada datarnya yang tak dapat kunilai.

"Aku akan memeriksanya."

Itu bukanlah kalimat yang umum kuucapkan ketika tahu bahwa orang yang jelas-jelas bersalah,
berdiri di hadapanku. Mungkin seharusnya aku mengatakan, 'Kau kutangkap dan akan kuperiksa
ponsel itu' atau semacamnya, tetapi keadaan ini benar-benar membuatku bingung. Bagaimanapun,
lelaki bertopi itu melepaskanku dari jeratan kematian ... dengan membuat kematian yang lebih
banyak.

"Dan satu hal lagi, Roy." Ketika aku benar-benar ingin pergi, dia memanggilku, seolah-olah dia
tahu bahwa aku tidak ingin berlama-lama lagi di tempat yang gelap ini. Namun, aku tak dapat
menolaknya, kemudian menghentikan langkahku hanya untuk mendengarkannya berbicara.

"Kuharap kau tahu alasan mengapa kelompok perampokku sulit untuk ditangkap. Alasan
utamanya bukanlah karena aku yang menyusun strategi itu—salah satunya, sih—tapi ada hal yang
lain, dan kurasa kau akan mengerti."

Napasku berderu.

"Beberapa polisi bekerja sama dengan sindikat perampok itu. Aku mengerti. Alex berusaha
mengungkapkan sindikat itu, mengirimkan seorang mata-mata yang kurasa hanya diketahui oleh
beberapa orang. Lalu, ketika mereka merasa keberadaan mata-mata itu mengancam mereka,
mereka terpaksa membunuhnya. Benar, kan?"

Di luar dugaan, lelaki bertopi itu menggeleng. Dan dengan cara yang sama, ia menertawakanku,
merendahkanku dengan caranya yang menyebalkan.

"Mata-mata itu bagian dari mereka, temanmu Alex saja yang tak mengetahuinya. Ketika aku
membunuh polisi itu, tuduhan-tuduhan terjadi di antara kami, orang yang awalnya hendak
dijadikan sebagai mata-mata pada akhirnya—secara tangan besi—ditetapkan sebagai orang yang
bersalah. Itulah cerita yang sebenarnya."
Sekali lagi, aku terlonjak kaget. Aku tak pernah memosisikan sang mata-mata dalam deretan orang
yang bersalah. Dan sejujurnya, hal itu benar-benar membuatku tak dapat berpikir dengan jernih.
Semuanya lebih buruk dari yang kuduga. Hal-hal yang tak kuduga sebelumnya secara tak langsung
membukakan pikiranku.

Semua orang bisa menjadi orang yang bersalah.

Otakku semakin mengeruh. Apakah selama ini aku dipermainkan oleh mereka?

"Demi apapun, aku akan benar-benar mengungkapkan polisi-polisi yang bekerja pada sindikat
perampok itu."

Aku pikir seluruh percakapan kami telah beres. Tetapi sialannya, sekali lagi lelaki bertopi itu
memberikan pernyataan lanjutan yang sesungguhnya kuharapkan untuk tak pernah diucapkannya.
Aku berharap telingaku tuli untuk beberapa saat, tetapi tentu keinginanku itu tak akan terkabul.

"Ralat, sindikat perampok yang bekerja pada polisi."

Aku tak memiliki alasan untuk menahan diri lagi.

"Tanggalkan pakaian mereka. Polisi bisa mengidentifikasi korban dengan mudah di masa ini.
Setidaknya kita bisa membuat orang bertanya-tanya mengapa mereka ditelanjangi terlebih dahulu
sebelum ditenggelamkan, membuatnya lebih menarik perhatian daripada memikirkan motif
pembunuhan."

Dan di saat itulah, aku melihat tiga mayat tenggelam, ditelan air sungai seperti untaian mie instan
yang masuk ke dalam mulut. Aku ingin merasa bersalah, tetapi aku tak dapat merasakannya.

Mereka patut mendapatkannya.


23. Silent City

Sekarang, di balik bayang-bayang malam, kecepatan mobilku menukik tajam hingga dua kali lipat
dari biasanya. Kendaraan lain tak banyak berlalu lalang, membuatku secara leluasa dapat
menginjak pedal gas tanpa perlu takut mengalami kecelakaan. Di saat yang bersamaan, lelaki
bertopi itu tampak lebih gila. Jika aku mampu melajukan kecepatan mobilku hingga 60 kilometer
perjam, maka lelaki bertopi itu berjalan dua kali lipat lebih cepat—walaupun mungkin juga kurang.
Aku telah kehilangan jejaknya, tetapi tujuan kami tetap sama—rumahku.

Seluruh kejadian ini menunjukan bahwa perang yang tengah terjadi ternyata tidak semudah itu,
bukan dua sisi yang berlainan, berusaha bertahan dari serangan-serangan lawan. Kini, aku
berperang melawan orang-orangku sendiri—musuh dalam selimut.

Aku sering mendengar permasalahan yang sama, tetapi tentu bukan dalam bentuk nyata,
melainkan dalam dunia fiktif. Film-film abad 20, novel yang hampir tak pernah kuselesaikan untuk
dibaca, beberapa artikel bodong yang memperlihatkan kebobrokan sistem sehingga orang-orang
dengan mudahnya berkhianat tak pernah lepas dari pemikiranku. Sekarang, tidak hanya
pemikiranku, semuanya terjadi secara nyata—bahkan hingga memakan korban.

Ketika lingkungan sekitar yang sudah akrab dengan netraku muncul, dapat kulihat mobil yang
dikendarai lelaki bertopi itu—mobil Guntur—terparkir dengan cara yang menyebalkan. Badan
mobil tampak miring dan seolah-olah sengaja dilakukannya untuk menghalangi jalan. Lampu
mobil yang tidak dimatikan menghiasi jalanan gelap dan berusaha mengundang ribuan ngengat
untuk menyerangnya. Bagi siapapun yang melihatnya—orang-orang yang tak tahu akar
permasalahan mengapa si lelaki bertopi itu sengaja memarkirkan mobilnya seperti itu—tentu akan
kesal, bahkan mungkin dapat bertindak lebih jauh: menggoreskan coretan piloks dan memberikan
kata-kata yang tak menyenangkan. Namun, tentu tidak dengan diriku. Bahkan, sebaliknya, aku
benar-benar merasa dia peduli biarpun aku tak ingin menggantungkan nyawa Loka pada lelaki
asing yang bahkan tak kuketahui statusnya saat ini—kawanku atau musuhku.

Kemudian, sejauh mata memandang, aku tak melihat lelaki bertopi itu sama sekali.
Tindakan yang kulakukan lebih mulus dan terurus. Aku tetap mematikan mesin, membuat lampu
mobil padam dan menyebabkan malam kembali menjadi gulita. Lalu, walaupun aku keluar dengan
terburu-buru, remot kunci mobilku masih sempat kutekan, membuat tanda suara berbunyi satu
kali, menandakan mobil telah terkunci sempurna. Namun, mungkin perbedaan yang terjadi itu
hanyalah akibat dari kepemilikan. Sebelumnya, aku mengendarai mobilku sendiri, membuatku
merasa harus memperlakukannya sebaik mungkin. Sedangkan lelaki itu, toh dia mengendarai
mobil orang lain. Mobil itu dicuri pun tak menjadi masalah, kan?

Demi apapun, jantungku berdegup kencang, terlebih ketika kulihat pintu depan rumahku terbuka
dengan lebar. Biarpun mataku melotot, tetapi kekacauan dalam pikiranku membuatnya terlihat
seperti lorong dalam tak berujung. Gelap dan tak patut untuk dimasuki. Padahal, aku yakin
sebelumnya lampu depan telah kunyalakan.

Aku terlambat datang beberapa menit dari si lelaki bertopi itu, beragam kejadian pastilah mungkin
terjadi. Aku tak dapat menggambarkan betapa rumitnya cabang-cabang skenario yang muncul dari
dalam otakku. Namun, satu hal yang pasti: lelaki bertopi itu ada di sini dan seharusnya dia
memegang janjinya. Jika tidak, maka aku benar-benar tak akan menahan diri lagi, membiarkannya
berkeliaran dan membahayakan nyawa banyak orang.

Aku masuk ke dalam rumahku sendiri, tetapi benar-benar kurasakan aura yang berbeda. Ini
bukanlah rumahku yang nyaman, membuatku merasa aman dari segala bahaya, bukan pula tempat
peristirahatan yang selalu kudambakan. Hari ini, aku merasakan sesuatu yang lain—tak pernah
kurasakan sebelumnya. Aku benar-benar gugup, panik dan bergumam tak keruan. Keringat dingin
membanjiri pelipisku dengan gertakan gigi akibat satu-satunya kata yang ingin kuteriakkan—
Loka. Tetapi, aku tak ingin sebodoh itu dengan menarik perhatian siapapun yang tengah berada di
dalam rumahku—selain Loka, tentunya. Padahal, aku sendiri tak tahu apakah ancaman yang
diberikan Guntur itu hanya sebuah gertakan atau bukan.

Akhirnya, aku tak meneriakkan sepatah katapun juga. Kini, yang dapat kudengar hanyalah deru
napasku yang berat, lebih berat daripada setelah aku berolahraga—yang jarang kulakukan.
Kemudian, kusisir sekeliling, pemandangan yang sebenarnya biasa kudapatkan—setiap hari.
Semua tampak normal, tak ada bekas pengrusakan. Bahkan, tampaknya semua tak berubah
semenjak aku meninggalkan rumah ini—meninggalkan Loka sendirian.

Jadi, apakah hal ini pertanda baik atau pertanda buruk?

Aku tak dapat memutuskan, aku memilih untuk bersafari lebih jauh, mencari tahu apa yang
sebenarnya terjadi atau tidak pernah terjadi. Namun, begitu langkah kedua kutapakkan pada
keramik yang bahkan dinginnya tak dapat kurasakan karena aku masih memakai sepatu, lelaki
bertopi itu keluar dari kamar Loka, membuatku sedikit kecewa karena bukannya anak lelakiku
yang keluar dari tempat itu.

Lelaki bertopi itu keluar sendirian, tanpa membawa siapapun. Dengan gesturnya, dia menunjukkan
bahwa ia tak dapat menemukan Loka: kedua tangannya mengadah, kedua alisnya diangkat tinggi-
tinggi, dadanya membusung. Kemudian, tanpa sadar aku menggeram, mengepalkan lenganku,
pikiranku semakin kusut dan pandanganku semakin gelap.

Apakah Guntur tidak main-main?

===

Pangkuan kakiku tak membuat keadaan menjadi lebih baik. Kedua siku yang kusimpan pada kedua
pahaku berulang kali meleset akibat padanan yang tidak tepat dan membuatnya selip. Akhirnya,
aku memperbaiki posisi, menyimpan kedua lenganku pada masing-masing sisi, kemudian
mengangkat sebelah kakiku dan menyimpannya tepat di atas kakiku yang lain, membuat diri
terlihat seperti seorang penguasa yang menyebalkan.

Pada sisi yang lain, si lelaki bertopi tengah menyesap secangkir teh yang memang sengaja
kubuatkan untuknya. Perawakannya yang tegap dengan gestur bak seorang ahli militer
membuatnya terlihat patut disegani. Selain itu, wajahnya lebih santai daripada diriku. Aku sendiri
tak yakin apakah hal itu diakibatkan oleh relevansi antara dirinya dengan Loka yang tak begitu
dekat—tidak seperti diriku—atau memang dia dapat menguasai keadaannya dengan sangat baik.
Namun, setelah beberapa kali melakukan kontak dengannya—walaupun tak kuinginkan—pilihan
kedua lebih tepat untuk dijatuhkan pada dirinya.
Di samping itu, Loka sedang duduk termenung bersama dengan temannya, memandangi kami
berdua yang tak berkelahi dan malah berubah menjadi seperti teman dekat. Ia menatapku tak
percaya, hal yang sama pun ia lakukan demikian pada si lelaki bertopi. Ia meratapi raut wajah
kami, mencari-cari kesalahan yang sedang terjadi seolah-olah ia menginginkan kami untuk
berkelahi. Namun, tidak untuk saat ini.

Pada saat yang bersamaan, aku merasa lega sekaligus kesal. Lega karena ternyata tak ada kejadian
apapun yang tak kuinginkan menimpa Loka, juga kesal karena Loka yang muncul secara tiba-tiba
di hadapanku sebelumnya sempat membuatku kebingungan, membuatku menduga bahwa
sebelumnya ia diculik, diikat, disiksa, bahkan mungkin lebih buruk lagi—perlakuan yang sama
seperti yang Guntur lakukan padaku, dilakukan pada Loka.

Loka kembali tanpa luka sedikitpun, memanggilku dari jarak yang cukup jauh ketika aku
kebingungan mencarinya—masih di dalam rumah—membuatku segera berbalik karena aku kenal
betul dengan suaranya. Aku tahu, semuanya terdengar tolol, seolah-olah seluruhnya terdengar
seperti sebuah keberuntungan, tetapi kejadiannya tidak seperti itu.

Loka kabur setelah beberapa ketukan terdengar dari balik pintu—tentu setelah aku pergi. Menurut
pengakuannya, ketukan itu tak dikenalinya. Bukan aku, salah satu tetangga, maupun sanak saudara
dari keluarga ibunya. Sungguh, bagaimanapun aku benar-benar bangga akan kepekaan Loka.
Maksudku, bahkan dia bisa menganalisis hanya dari suara yang didengarnya.

Kemudian, segera setelahnya, bukannya membukakan pintu, Loka malah berdiam diri di dalam
kamarnya, sedikit ketakutan karena ia pikir si lelaki bertopi itu akan muncul dan tak akan main-
main untuk kedua kalinya. Ia tak dapat menghubungi siapapun karena ponselnya tengah kubawa,
membuat Loka secara terpaksa harus bertindak dalam situasi genting yang bahkan tak ia ketahui
tingkat bahayanya seperti apa. Namun, segera setelah ia tak mendengar suara ketukan lagi, secara
perlahan Loka membuka tirai jendela, mengintip keadaan di luar dari dalam rumah—tak ada siapa-
siapa.

Lalu, dia pergi dan berpura-pura untuk belajar bersama tetangganya—padahal mereka berbeda
sekolah.
Tak hanya itu. Ketika Loka kembali, ia tak sendiri. Temannya—Pandu—mengekor di belakang
sambil membawa buku tulis dengan pulpen yang diselipkan di antara kertas-kertas. Aku tak tahu
bagaimana Loka bisa berpura-pura akan belajar bersama di rumah Pandu, dan kembali ke sini
dengan membawa anak itu—berkacamata dengan kaos coklat bertuliskan Life is Strange. Yang
pasti, keterkejutan Loka ketika melihatku juga membuatnya terkejut.

Tambahan, mimik Loka ketika melihat lelaki bertopi itu sungguh tiada duanya. Rasa terkejut dan
bahagia begitu tampak pada wajahnya, tetapi di saat yang bersamaan dia mencoba
menyembunyikan hal itu karena Pandu berada tepat di belakangnya—padahal aku tahu dia sudah
menduga bahwa aku telah pulang, tentu karena mobilku yang terparkir di luar pekarangan rumah.
Kemudian, ia berubah menjadi ketakutan ketika melihat lelaki bertopi itu berada di lantai atas,
memandangi kami berdua dengan tatapan datarnya—bertiga dengan Pandu. Aku yakin benar jika
Loka ingin mengusirnya, tapi merasa tak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Dan di saat
yang bersamaan, aku sendiri melakukan hal yang sama.

Aku berbisik begitu mendekatinya.

"Tenang," kataku. Kemudian dengan celana berlumpur, kualihkan pandangan pada Pandu,
tersenyum, kemudian melanjutkan, "Mau belajar bareng, kan?"

Pandu yang tak mengetahui apa-apa hanya cengengesan, kemudian membalas pertanyaanku. "Iya
Pak."

Tawa kecil muncul dari mulutnya. Sungguh kepolosan yang kubutuhkan untuk menghilangkan
seluruh rasa beban yang mengalir melintasi pemikiranku.

Akhirnya, lelaki bertopi itu turun, seolah-olah memberikan rambu untuk Loka bahwa ia tak
mengklaim kamarnya, mempersilakan anak itu untuk menggunakan kamarnya seperti biasa.
Namun, bukan berarti Loka menanggapinya dengan baik. Loka mengernyitkan dahi, menatap tak
percaya. Bahkan, Loka melempar pandangannya padaku, memastikan bahwa keberadaan lelaki itu
di sini bukanlah main-main. Kemudian, sekali lagi aku memberitahunya untuk tak
mengkhawatirkan sesuatu secara berlebihan.
Lelaki bertopi itu hampir saja pergi sampai aku mencegahnya, menarik bahu lebarnya dan
mengajaknya untuk menunggu Loka untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang terpaksa ia
kerjakan untuk menghilangkan rasa takut—tentu bersama Pandu.

"Aku ingin meluruskan sesuatu antara kau dan aku. Selain itu aku ingin Loka mendengarnya."

Entah apa yang ada di pikirannya. Namun, jelas bahwa lelaki bertopi itu membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk memutuskan jawaban. Sesungguhnya, aku tidak begitu berharap bahwa ia akan
menerimanya. Maksudku, dia orang gila yang idealis, bertindak sesukanya dan bahkan kurasa ia
tak akan terlalu peduli dengan apa yang kuinginkan. Namun, sebaliknya.

"Di mana kau menyimpan laporan itu? Kau tidak membawanya, kan?"

Sungguh, pertanyaan yang begitu mendadak. Aku tak pernah berpikir ia akan menanyakannya lagi.
Kukira, dengan menunjukan bahwa aku mengikuti keinginannya, menenggelamkan ketiga mayat
itu, semuanya akan selesai.

Sekarang aku tidak dapat berkilah lagi.

"Aku menyimpannya di kantorku. Akan kuberikan padamu jika kau menerima permintaanku."

Sekali lagi, lelaki bertopi itu berdiam diri. Bahkan, cukup bagiku untuk menutup mata sepersekian
detik, mengistirahatkannya dari hari-hari yang melelahkan.

Lelaki bertopi itu mengetukkan jemarinya pada masing-masing paha. Kami beradu pandang
bagaikan dua ekor kucing yang tengah mempersiapkan performa terbaik untuk menjaga wilayah.
Kemudian, lelaki itu mengangguk.

"Oke," katanya, "Aku akan mengunci mobilnya dulu, aku akan menunggu anakmu ... Loka, kan?"

"Iya, Loka."

"Hingga Loka selesai."


Sebenarnya, lelaki bertopi itu bisa saja berbohong, kembali pada mobil curian—ya, curian secara
tak langsung, sih—kemudian menginjak pedal gas dan melaju pergi, mempermainkan
omongannya dan membuatku jengkel. Tapi, sekali lagi lelaki bertopi itu memegang janjinya. Ia
kembali biarpun aku tak mengantarnya hingga ke halaman depan. Dengan kunci yang diputar-
putarnya, ia kembali sambil bersiul, seolah-olah tak pernah terjadi apapun sebelumnya.

Gila, batinku. Dengan celana kotor dan rasa sakit yang masih menyusup di antara tulang-tulangku,
aku bahkan tak akan pernah bisa berpikir hingga memain-mainkan kunci mobil. Berpura-pura
dalam keadaan baik ketika berbicara pada Loka saja sudah membutuhkan banyak usaha bagiku,
apalagi mengondisikan diri dan menganggap semua kejadian mengerikan tak pernah terjadi.

Dia manusia, ya?

Pikiranku kusut. Sungguh, demi apapun, aku tak pernah memikirkan watak seseorang secara
mendalam seperti ini. Ya, mungkin pernah, tetapi tak pernah serumit ini. Jadi, aku membuat teh
manis dan menuangkannya ke dalam empat cangkir kecil. Dua cangkir yang kusimpan di atas meja
ruangan tengah, sedangkan dua lainnya sengaja kuantarkan ke kamar Loka, membuatku tak
sengaja memperhatikan mereka tengah mengerjakan soal-soal fisika yang bahkan tak pernah
kuingat lagi.

Aku berganti pakaian, membuatku seperti benda daur ulang yang mendapatkan sentuhan estetis
dan membuatku menjadi barang yang lebih mahal. Sejujurnya, aku ingin mandi, tetapi aku sendiri
tak ingin meninggalkan lelaki bertopi itu duduk sendirian terlalu lama. Bukan karena aku peduli,
tetapi karena aku masih tak dapat percaya padanya. Atau ... brengsek, aku merasa berada di batas
kebimbangan.

Ah, ya, karena sedikitnya komunikasi yang kulakukan dengan Loka—tentu, Loka kan kaget
setengah mati ketika bertemu dengan lelaki itu—rencana yang kubuat tak berjalan dengan lancar.
Rupanya sebelumnya Loka berpura-pura akan belajar bersama di rumah Pandu—dua rumah di
samping kanan rumahku. Namun, karena tingkat kesulitan yang di luar batas manusia—tentu
menurut Loka—akhirnya Loka memilih untuk pulang—selain itu ia merasa sudah sedikit lebih
aman dibanding suara ketukan asing ketika aku pergi. Namun, dengan dalih aku tak ada di rumah,
Loka mengajak Pandu untuk menginap di rumahku, dan jadilah sekarang ini kami berempat berada
di ruangan yang sama. Dua penghuni rumah, satu tamu undangan dan satu tamu tak diundang.

Rencanaku membuka forum terbatas pada tiga orang—aku, lelaki bertopi itu dan Loka—tak dapat
dilakukan, membuatku memutar otak untuk mencari kegiatan lainnya, setidaknya tidak membuat
seluruh pertemuan yang dilakukan secara mendadak ini menjadi canggung, dan tentu saja
pilihanku jatuh pada boardgame.

Aku mengambil satu buah permainan itu, jenis kooperatif dengan maksud mendekatkan aku, Loka
dan lelaki bertopi itu—yang padahal aku sendiri belum bisa menaruh seluruh kepercayaan
padanya. Tentu secara tak langsung membuat Pandu ikut terlibat. Segera setelah Loka dan Pandu
merasa cukup untuk belajar, aku mengajak mereka untuk bermain.

Memangnya siapa yang tak suka bermain?

Lelaki bertopi itu hampir menolaknya, menganggap ajakanku hanyalah omong kosong. Namun,
tamu yang tak sengaja datang ke dalam forum mendadak ini—Pandu—ternyata lebih komunikatif
dari yang kukira. Atau mungkin karena ia tak memiliki latar belakang apapun—utamanya yang
mengerikan—yang melibatkan dirinya dengan lelaki bertopi itu? Mungkin, kan?

Namun, ada satu masa di mana membuatku cukup terkejut.

Aku, Loka dan Pandu tentu sudah saling mengenal. Kami berada di lingkungan tetangga yang
sama—sangat dekat. Dan sekali lagi, lewat kepolosannya, Pandu bertanya,

"Nama om siapa?"

Bahkan, aku sendiri tak pernah terpikirkan untuk menanyakan hal yang sama. Seluruh skenario
buruk langsung melintasi benakku. Aku pikir lelaki bertopi itu akan berkilah, mulai dari tak
memberitahukan namanya hingga memberikan nama palsu.

Aku tidak tahu lelaki bertopi itu berbohong atau tidak. Namun, dengan seluruh kejadian yang ada,
bagaimana mungkin aku dapat menyimpulkan jika lelaki bertopi itu berbohong? Dia selalu
menepati janjinya, baik maupun buruk. Dia tak pernah bermain-main akan pernyataan maupun
pertanyaan.

Kemudian, lelaki itu hanya menjawab, "Luthfi."

Di antara semua orang, kurasa hanya diriku yang tak percaya akan jawabannya.

Apakah dia sengaja mengatakannya hanya untuk bercanda dan mempermainkanku? Atau ... tidak?
24. Ending

Menaiki roller coaster pada wahana permainan bukanlah kesukaanku. Ketegangan luar biasa yang
pasti akan kudapatkan tidak memberikan sedikitpun rasa kesenangan bagiku. Sebaliknya, perasaan
lega setelah memercayakan nyawaku pada penanggung jawab wahana permainan—turun dari
roller coaster—adalah bagian yang dapat membuatku senang berjingkrak-jingkrak, berbeda
dengan orang kebanyakan—sedih karena permainan yang mereka tunggangi telah berakhir.

Tentu hal itu bukan tanpa sebab. Maksudku, tentu aku akan menikmatinya biarpun tidak seheboh
orang-orang kebanyakan, tetapi mengetahui bahwa aku berada dalam titik yang paling aman dalam
hidup, itulah tujuan yang kuinginkan dari seluruh wahana permainan yang ada, termasuk roller
coaster.

Namun, kini aku tak akan membahas wahana itu, melainkan suatu kebimbangan yang membuatku
bingung untuk meletakkan posisi perasaanku. Senang? Sedih? Takut? Aku tidak tahu.

Aku lega karena pada akhirnya lelaki bertopi itu—yang mengaku bernama Luthfi—tidak berusaha
membunuhku, bahkan kami terlihat seperti berada dalam aliansi yang sama, tetapi di pihak yang
lain, pengakuannya membuatku bimbang.

Aku lega karena pada akhirnya seluruh intimidasi yang diberikan Guntur berakhir, membuatku
dapat bertemu dengan Loka dan menganggap seluruh perkataannya itu adalah gertak sambal.
Namun, di saat yang bersamaan kudapatkan informasi bahwa tidak hanya Guntur dan dua orang
temannya yang terlibat ke dalam sindikat perampokan, bahkan ada lebih banyak—sangat
banyak—aparat lainnya yang juga ikut terlibat.

Sekarang apa yang harus kulakukan?

Aku tidak benar-benar yakin bahwa daftar nama yang diberikan Luthfi memuat seluruh nama
polisi-polisi kotor yang berada di kantorku. Jika aku melaporkannya pada Komisaris Yudha atau
siapapun yang dapat kujadikan andalan untuk menangkap seluruh nama dalam daftar ini, tak ada
jaminan untukku jika mereka tidak terlibat. Tidak menutup kemungkinan bahwa ada nama-nama
yang belum tercantumkan, kan? Hal tersebut bisa menjadi bumerang dan kembali menyerangku.
Lebih buruk lagi, akan ada kesempatan kedua untuk orang-orang itu melukaiku juga Loka. Aku
tak ingin mengambil resiko.

Namun, cepat atau lambat, aku tetap harus membongkarnya.

Luthfi tak ingin terlibat lebih jauh. Seluruh petualangan yang kami lakukan bersama ditutupnya
dengan menerima berkas kasus yang sedari dulu telah ia minta. Ekspresi datarnya tak memberikan
informasi apa-apa, membuatku berdiri dilanda kebingungan. Apakah hanya kebetulan saja nama
lelaki bertopi itu Luthfi? Apakah Luthfi sebenarnya masih hidup dan ternyata selama ini dia
memalsukan kematiannya? Tapi bagaimana mungkin?

Namun, semua pertanyaan itu pada akhirnya tak pernah terjawab. Luthfi pergi menghilang seperti
biasanya. Namun, untuk kedua kalinya ia memberikan sebuah ponsel padaku beserta sindiran halus
karena aku malah merusak ponsel pemberiannya sebelumnya—ya, pada akhirnya ia mengaku yang
mengirimkan paket itu ke alamatku. Walaupun sebenarnya aku tak ingin serta merta menerima
pemberiannya itu—untuk kedua kalinya—tapi pada akhirnya aku tak dapat menolaknya. Ia hanya
berpesan bahwa ia akan menghubungiku lagi jika seandainya jalan yang ditempuhnya memang
secara terpaksa beririsan dengan jalanku.

Sumpah, aku tak pernah menyangka jika pada akhirnya aku tak mengeluarkan isi otak Luthfi
seperti yang sering kubicarakan pada Wijaya. Bahkan, di akhir pertemuan kami, aku merasa
berpisah dengan saudara jauh yang tak pernah kutemui sebelumnya.

Di samping itu, Wijaya mendengarkan ceritaku. Ingatanku mengenai lontaran kalimat Luthfi
bahwa Wijaya dapat dipercaya membuat mulutku tak berhenti berbicara, bahkan hanya untuk
sekadar minum. Ruangan yang pengap seolah membuatku harus menceritakan seluruhnya dalam
satu paragraf panjang, membuat leherku terasa tercekik dan kesulitan bernapas. Kemudian, di saat
yang sama Wijaya hanya mengangguk pelan sambil sesekali menunjukkan rasa ketertarikannya
terhadap ceritaku.

Namun, tentu aku tak membeberkan kasus pembunuhan yang Luthfi lakukan. Reaksi apa yang
akan diberikan Wijaya seandainya ia mengetahuinya? Terlebih jika ia menebak bahwa aku
membantunya—memang benar seperti itu, kan?
Hingga akhirnya, aku meminta pendapat Wijaya mengenai langkah selanjutnya yang harus
kulakukan, membuat anak itu terlihat seperti konsultan ahli dalam bidang kriminal dan selalu
memberikan masukan jitu untuk para polisi agar tak salah mengambil langkah. Namun, bahkan
belum berlangsung lebih dari empat detik, Wijaya berdeham, mengernyitkan dahinya dengan
jempol yang ditempelkan pada dagu.

Aku tak tahu apa yang sedang ia pikirkan, tetapi dengan dua kali putaran pada bola matanya, jelas
otak Wijaya tidak sedang melakukan pekerjaan mudah.

Aku sendiri sedang menimbang-nimbang.

"Aku bisa saja membeberkan catatan ini, buktinya mungkin bisa menyusul, kita bisa memeriksa
rekening mereka. Tapi seperti yang kuceritakan padamu, bisa saja orang di luar daftar ini—luput—
menyadarinya dan malah melakukan serangan balik."

Wijaya terlihat setuju dan tak setuju.

"Dari mana Luthfi mendapatkan catatan itu, Pak?" Sekali lagi, Wijaya mengernyitkan dahi.
Namun, kini ditambah dengan naiknya alis kanan.

"Aku tidak tahu," jawabku singkat. Namun, memang benar aku tidak tahu, kan?

"Bagaimana mungkin Anda yakin jika Luthfi tak sedang menjebak Anda, Pak?"

Sebenarnya, pertanyaan Wijaya itu tak membuatku kaget—sungguh. Aku telah menduganya,
bahkan pertanyaan yang sama pun sempat terpikirkan olehku—tentu untuk kutanya pada diriku
sendiri. Namun, jawabannya tak pernah kutemukan. Bagaimana aku bisa yakin dengan apa yang
diberikan Luthfi? Aku tidak tahu.

Namun, aku tak menanggapi pertanyaan dari Wijaya. Sebagai gantinya, kurogoh sakuku,
mengeluarkan ponsel Wijaya yang Luthfi titipkan padaku, membuat Wijaya terperangah.

"Lutfhi bilang dia mengambil ponsel darimu, kemudian menghubungiku dan terjadilah seluruh
kejadian seperti yang kuceritakan padamu sebelumnya."
Bahkan, Wijaya tak segera mengambil ponsel itu. Ia masih terperangah, matanya melotot melihat
layar ponsel yang mati dalam genggamanku, hingga akhirnya dia berkata, "Saya kira tertinggal di
kantor!"

Namun, merasa tak sempat menanggapi seluruh rasa keterkejutan Wijaya, aku memberitahunya,
"Lelaki itu adalah orang yang aneh. Maksudku, benar-benar aneh secara denotasi. Aku tak
mengerti dengan perilakunya. Tapi sejauh yang kudapatkan hingga saat ini," aku meneguk ludah
sebagai pembatas antara tarikan napasku. "Aku tak memiliki alasan untuk tak memercayainya, pun
aku tak memiliki alasan untuk memercayainya. Aku hanya berusaha berpikir bahwa orang yang
menjadi lawan pun dapat diandalkan. Juga sebaliknya—orang yang kita kenal malah berusaha
membunuh kita."

Sekali lagi, aku membuat jeda, memainkan kedua bola mataku.

"Siapa yang menyangka jika seorang polisi dapat membunuh polisi?"

Wijaya tak merasakan keanehan sedikitpun dalam kalimatku—tentu saja. Mungkin, dalam
otakknya kalimatku itu dikaitkan dengan kematian Pak Alex yang melibatkan Fandi dan Bagas.
Namun, lebih jauh dari itu, aku mengucapkan kalimat yang sama pada diriku sendiri.

===

Penemuan mayat Guntur, Fandi dan Bagas ternyata lebih cepat dari yang kukira. Hujan yang tak
kunjung muncul selama beberapa hari membuat air sungai surut dan penampakan ketiga mayat itu
lebih menarik perhatian. Lokasi pembunuhan yang berada di daerah timur menjadikan kasus
tersebut di luar tanggung jawabku—daerah utara. Namun, aku tetap mengikuti penyelidikan kasus
melalui berita-berita daring maupun cerita dari mulut ke mulut.

Penyelidikan menemui jalan buntu. Tak adanya saksi, penyebab kematian yang cukup biasa—
leher yang patah—dengan telanjangnya tubuh mereka membuat tujuan utamaku berjalan dengan
lancar. Orang-orang terlalu terpaku untuk memikirkan motif di balik penelanjangan mereka
daripada mencari kemungkinan orang-orang yang membenci mereka, hingga pada akhirnya
mereka menetapkan satu tersangka.
Pembunuhan yang terjadi pada Pak Goto dan Alex membuat mereka menetapkan seorang laki-laki
misterius sebagai tersangka pembunuhan—tentu yang mereka maksud adalah Luthfi. Motif yang
tak diketahui seolah-olah menjadi bantalan empuk bagi para penyelidik untuk berkilah dari 'kasus
yang tak dapat dipecahkan' ini. Bahkan, mereka berusaha bekerja sama denganku, kembali
menelusuri kasus kematian Alex, hingga akhirnya mereka menyimpulkan bahwa lelaki misterius
itu—Luthfi—memerintahkan Fandi dan Bagas untuk membunuh Alex, tetapi pada akhirnya Luthfi
mengambil nyawa dua polisi itu, serta mengambil nyawa Guntur selaku salah satu penyelidik
kasus yang bersangkutan, membuat mereka menyuruhku untuk berhati-hati karena bisa saja aku
merupakan target selanjutnya.

Aku hanya tersenyum, memberikan pesan singkat, "Ya, saya akan berhati-hati." Kemudian
beranjak dan berusaha melepaskan kasus itu selamanya.

Berita baiknya, kurasa orang-orang pada daftar yang Luthfi berikan padaku pun setuju dengan
berita yang beredar. Tak ada ancaman khusus yang mereka berikan padaku lagi. Aku tidak
terbebas, tetapi setidaknya aku bisa bernapas lega terlebih dahulu.

Masih banyak misteri yang belum kuungkapkan.

Siapa Luthfi? Apa yang harus kulakukan pada polisi-polisi kotor itu? Bagaimana caraku memilah
orang-orang baik yang dapat kupercaya atau tidak?

Satu kata: misteri.

Anda mungkin juga menyukai