Anda di halaman 1dari 3

Anak Zombie

Di tempat kerja keesokan harinya aku menyerahkan surat pengunduran diri. Atasanku sudah
mendengar rumor dan menegaskan lebih baik mengambil cuti saja sementara waktu. Rekan-rekan
kerjaku terkejut mendengar bahwa aku ingin berhenti, namun tak satu pun berusaha keras
membujukku untuk tidak melakukannya. Berhenti bekerja ternyata tak terlalu sulit. Setelah kau
memutuskan untuk membebaskan dirimu dari sesuatu, hanya sedikit yang tidak bisa kau singkirkan.
Bukan —maksudku bukan hanya sedikit. Setelah kau memutuskan sesuatu, tidak ada yang tidak
bisa di singkirkan. Dan setelah kau mulai menyingkirkan sesuatu, kau akan memiliki kenginginan
untuk menyingkirkan segala hal. Seolah-olah kau akan mempertaruhkan segalanya dan mengambil
keputusan. Persetan, aku akan pertaruhkan semuanya. Tak perlu disisakan, aku sudah pusing.

Aku mengemaskan semua barang dan berkehendak untuk meninggalkan jakarta dan kembali ke
singaraja, tempatku dilahirkan. Melihat kembali suasana di mana tempat ku dilahirkan dan
tempatku dibesarkan membuatku merasakan perasaan yang amat susah dijelaskan, aku
memutuskan untuk melahirkannya di tempatku dilahirkan, tidak—maksudku melahirkan sang buah
hati, seorang anak yang akan mewarisi darah dagingku.

Sejenak aku termenung memikirkan apakah anak yang aku kandung ini akan mendapatkan hidup
yang layak nantinya. Saat itu juga jantungku kembali berdentam-dentam. Adrenalin terpompa deras.
Telapak tangan semakin berkeringat. Lututku gemetar. Aku bergeming. Kaku. Saat ini aku merasa
seperti sedang diselimuti dengan ketakutan, pikiran ini kembali lagi. Rasa takut yang ku alami
semakin lama semakin membesar. Semakin aku melarikan diri rasa takut tersebut semakin
mengejarku.

Hari demi hari ku jalani dengan perasaan yang tidak tenang, mungkin saja aku kuat menghadapi
cibiran orang orang mengenai anakku nanti namun apakah anakku sanggup mendengarnya. Tidak,
tidak akan kubiarkan anakku menjalani hidupnya dengan penuh hinaan. Aku bekerja sebagai
penjual kue keliling. Tak peduli dengan lelah aku bekerja dari pagi hingga pagi, aku rasa aku hanya
perlu bertahan beberap bulan saja.

“Oekk…oeekk” malam ini dipenuhi dengan suara tangisan bayi. Selama sembilan bulan aku
mengandung anak ini. Hingga saat ini tidak ada satu pun orang di desa yang peduli dengan ku dan
anak ku, mereka semua hanyalah menganggap ku seperti angin lewat. Sekarang aku sangatlah
mengharapkan segalanya dari anakku. Hari demi hari kita lewati bersama, namun suatu ketika aku
merasakan bahwa anakku bukanlah anak seperti biasanya. Kulitnya pucat dan sangat kering,
kantung matanya sangat hitam seperti tidak tidur berhari hari. Saat anakku tumbuh besar aku
menyadari bahwa anakku tidak memiliki perasaan, ia hanyalah memiliki rasa lapar seperti zombie
yang tidak sabar menyantap darah manusia. Lagi-lagi aku merasakan hal ini, rasanya seperti hidup
ku sebentar lagi akan lenyap. Bagaimana aku harus menghadapinya. Apa yang harus aku lakukan.

Aku memutuskan untuk mengurung anakku dibawah tanah agar penduduk desa tidak
mengancamnya untuk meninggalkan desa ini. Mau tidak mau aku harus berburu setiap harinya
untuk memenuhi nafsu makan anakku. Setiap pagi aku pergi ke hutan untuk berburu. Besoknya
juga sama seperti itu. Kegiatanku hanyalah berburu hewan di tengah gelapnya hutan. Hari ini aku
mendapatkan seekor babi, dengan langkah kaki yang besar aku berlari sambil membawa hasil
buruan. Yang bisa kudengar hanya suara alas kaki ku berderak sepanjang jalan berbatu, seperti lagu
latar sebuah film yang berlebihan. Anakku pasti sangat senang jika aku membawakan banyak
makanan untuknya. Seperti yang kuduga, anakku menyantap makanannya dengan sangat lahap. Ia
menyantap makanannya seperti zombie yang kelaparan, namun aku tidak merasakan rasa senang
dari raut wajah anakku. Mau bagaimana lagi, aku berjalan menuju ke kamar ku untuk beristirahat
karna aku tahu besok aku harus berburu lagi, lagi dan lagi.

Keesokan harinya aku mendapatkan seekor rusa yang gemuk, sepertinya anakku akan merasa
sangat puas dengan apa yang aku bawakan. Namun disamping itu aku ingat bahwa anakku tidak
memiliki perasaan, yang ia miliki hanyalah nafsu makan. Di keesokan harinya aku mendapatkan
tiga ekor ayam, aku rasa ini sudah cukup untuk memuaskan nafsu makan anakku. Keesokan harinya
lagi aku mendapatkan dua ekor ayam. Dan aku melakukan hal ini selama bertahun tahun.

Hingga pada suatu ketika wabah tersebut sudah tidak bisa ditahan, seluruk penduduk desa
terpaksa meninggalkan desa tersebut dan hewan hewan pun sudah punah diburu. Aku mengambil
resiko untuk berpergian jauh agar mendapatkan mangsa untuk dimakan anakku. Tidak peduli jika
ditengah jalan aku mati kelaparan. Mungkin inilah cara ku menunjukkan rasa sayang kepada
anakku, apapun akan ku lakukan demi anakku tercinta. Hari sudah mulai gelap aku belum
mendapatkan seekor hewan, hawa dihutan saat itu sangatlah dingin. Tidak ada cahaya lampu, yang
ada hanyalah cahaya bintang diatas langit, rasanya seperti aku sedang di cengkam oleh pepohonan.
Aku memutuskan untuk balik dan kembali berburu besok.

Namun sampai dirumah aku tidak tega melihat anakku merintih kelaparan, aku menahan air
mataku untuk terjatuh. Tanganku gemetar, isi pikiranku sangatlah kacau. Hatiku seperti akan remuk.
Dengan terpaksa aku memotong kedua tanganku dan ku berikan kepada anakku untuk disantapnya.
Kini hanyalah tersisa kaki dan badanku, mungkin besok aku akan memberikan kedua kaki ku dan
besoknya aku akan memeberikkan badanku.

Benar, keesoknya aku memotong kedua kaki ku dan memberikannya lagi kepada anakku, anakku
terlihat sangatlah puas menyantap kaki ibunya. Sekarang hanya tersisa tubuhku, sebelum aku
memberikannya kepada anakku, aku memeluk tubuh anakku dan menyerahkan diri untuk
disantapnya. Namun siapa sangka sebelum menyantap tubuhku. Anakku mengeluarkan suara untuk
pertama kalinya

“Aku baru tahu, ternyata tubuh ibu sangatlah hangat.” ucapnya dan memelukku dengan pelukan
yang hangat

Nama penulis : Leticia Chandra Purnama

Anda mungkin juga menyukai