Anda di halaman 1dari 3

Jika kekecewaan berwujud.

[muthiahkarimah]

/1/
Terserah mau dibilang durhaka atau bahkan tidak tahu diri,tapi
kompetisi itu telah merebut separuh jiwaku. Karena kenyataanya
sebanyak apapun kesal yang kusimpan akan lenyap disusul suara sakit
kekalahan lawanku.
Suatu malam, ketika keluargaku sedang berkumpul di ruang TV,aku
dikagetkan dengan pertanyaan horor dari Ibuku. “Buat apa ikut-ikutan
berkelahi? Apalagi berharap menang dan dapat medali? oleh jadi esok
hanya akan jadi aib untuk hidupmu sendiri” Aku hanya menolehkan
kepala kearah ayah, memberi kode agar memberiku pertolongan. “ya
tidak apa-apa dong.. bela diri itu penting dijaman edan begini.
Apalagi dia perempuan, sekolahnya juga jauh dari kita..”Aku
tertolong. Ibu hanya pergi sambil menyinyir pada ayah, sebagai bukti
nyata penolakkannya soal jawaban ayah barusan.
Esoknya keadaan kembali baik-baik saja. Keadaan canggung itu
sudah tidak ada. Seperti biasa ibu membeli sayuran di tukang sayur
keliling, tentu saja sambil mengobrol hangat dengan tetangga-
tetangga lainnya. Kutunggu lumayan lama ibu belum juga muncul
dari tukang sayur. Aku mulai curiga, aku mengintip dari balik tirai
jendela kamarku mencoba memahami percakapan ibu-ibu.
“Anakku mulai bisa memanah jarak 10 meter loh jeng.. hebat ya..
sudah lama sebetulnya ingin sekali saya melihat dia jadi atlet
memanah,tapi ayahnya selalu support dia berantem saja. Katanya sih
bela diri, tapi saya tidak yakin toh ujung-ujungnya kalau susah lapor
kita” Kata ibuku sambil teliti memilih cabai. Sebenarnya aku agak
terkejut dengan perkataan ibu barusan. Memang setahun yang lalu
aku iseng ikut ekskul memanah di sekolah, tapi kan sekadar iseng.
Aku tak mau ambil pusing, dan mulai melupakan kejadian barusan.
Lebih baik mulai menata mimpi jauh di sekolah kota.
/2/
Hari itu tiba, aku mengangkat tinggi medali emas sambil berfoto
bangga atas kemenanganku bersama pelatih dan kawan-kawanku
lainnya . Kupikir ibu salah menilai bakatku, hari ini mungkin jadi
awal harapannya padaku mulai tumbuh.
Sesampainya di rumah, aku bergegas meraih ponsel untuk menelpon
ayah dan ibu. Sayangnya hari itu tak ada jawaban atas keduanya.
Kupikir mereka juga lumayan sibuk disana. Beberapa menit kemudian
sebuah pesan masuk
“nak.. doakan ibumu ya.. jam 02.00 malam ini akan di operasi”
Tubuhku membeku menatap ponsel, astagah!,
kapan ibu sakit? Bukankah selama ini selalu bugar saat menjahiliku
yang sibuk latihan?
‘Ya Tuhan ibu kenapa?’batinku dalam hati.
Malam itu tubuhku kokoh berdiri tegak menghadapNya,mengadah
tangan di dalam sunyi malam, kuserahkan segalanya sambil menahan
isak tangis berlebihan karena terus memikirkan kemungkinan
terburuk.
Tapi dia yang pergi tak akan meminta izin kepada dia yang tak
pernah berjuang mempertahankan keberadaannya.
Ibuku sudah pulang, benar-benar pulang dan tak mungkin kembali.
Aku hanya bisa menangis dan menyesali kepergiannya tanpa
perjumpaan terakhir. Aku belum pulang ke rumah dan sungguh
belum saat itu.
Tapi kenapa bisa terjadi seperti ini? Dua rasa yang tak ada kaitannya
atau bahkan berlawanan terjadi bersamaan.
Kuputuskan itu segera bergegas menuju terminal membeli tiket bus
ke rumah.
Aku pulang dengan tertunduk, pusaranya masih basah. Sama pula
kedua kelopak mataku yang mulai sayu kelelahan menggambarkan
hancurnya hatiku.
“ini ada titipan dari ibu” Ayah memberiku selembar kertas kecil.
Aku membukanya langsung terduduk di atas tanah liat merah
pemakaman.
Untuk pemanah terhebat Ibu.
“jadi tangguh yaa nak.. pulanglah sejauh apapun mimpimu berlayar”
-Ibu
Dua peluru nuklir atau bahkan kedua Bom Hiroshima mungkin setara
dengan perasaan ini, ternyata kecewaan ibu tak pernah hilang,
harapnya melenceng terlalu jauh kepadaku yang dipenuhi idealisme
tak beralasan. Apa sulitnya menjadi kenyataan atas harapan seorang
ibu?
Mudah saja, asal egomu tak pernah melumpuhkan hati.

Anda mungkin juga menyukai