Anda di halaman 1dari 18

PART 1

NENEK SIHIR NAIK SAPU TERBANG

Banyak orang tua melarang anaknya bermain bersamanya. Bahkan, mereka menyebut
Lauren kecil terkena kutukan.

Suasana pantai sangat lengang. Hanya terdengar embusan angin sepoi-sepoi menerpa
tubuh. Jiwa raga saya menyatu dengan alam. Hening, terasa damai. Hanya dalam
hitungan detik, kedamaian yang saya rasakan itu tiba-tiba hancur berantakan,
berhamburan. Sebuah bola api berwarna merah menyala muncul dari laut mendekati
saya. Saya diam terpaku, mematung, tak sanggup lari. Di depan mata saya, bola api itu
lantas meledak dengan dahsyat! Banyak sekali mayat di sekitar saya! Oh, Tuhan. akan
ada bom... Bali!

Seperti itulah penglihatan (vision) yang muncul dalam pikiran saya. Prosesnya sulit
diduga, datang begitu saja. Begitu tiba-tiba, saat saya sedang melakukan meditasi di
Pantai Kuta. Entah kenapa, saya dilanda perasaan yang begitu kuat bahwa akan ada
sesuatu yang dahsyat menimpa Pulau Dewata.

Empat hari setelah saya pulang ke Jakarta, terdengar berita menggemparkan itu.
Sayangnya, tak banyak yang percaya ketika sebelumnya saya sempat memberi
pernyataan melalui sebuah stasiun televisi di sana agar semua pihak berhati-hati. Mereka
malah mengatakan, sebagai Pulau Dewata, Bali dilindungi banyak dewa-dewi. Jadi, tak
usah cemas.

Ya, wajar saja jika tak semua orang bisa menerima dan memahami vision saya itu.
Bahkan, sejak kecil saya sudah tak asing lagi dengan perlakuan serta pandangan curiga
orang-orang di sekitar. Banyak orang tua yang melarang anaknya berteman dengan saya.
Mereka menganggap saya gadis kecil yang aneh. Ada juga yang tega mengatakan bahwa
saya terkena kutukan, bahkan menjuluki saya "nenek sihir yang naik sapu terbang"!

Padahal, apa yang harus saya lakukan? Menampiknya pun saya tak bisa. Karena, saat
kejadian-kejadian aneh itu berlangsung, saya sendiri masih terlampau kecil untuk
mengerti. Saya tidak menyadari bahwa sesungguhnya saya memiliki ’bakat’ untuk
melihat masa depan, yang di kemudian hari sering disebut sebagai kekuatan supranatural.

Gadis Sebatang Kara di Tengah Perang


Lahir di Negeri Kincir Angin, di sebuah kota kecil Eindhoven, 23 Januari 1932, kisah
hidup saya sedari kecil mungkin terdengar menyedihkan. Maklum saja, di usia tiga bulan
saya sudah ditinggal Mama untuk selama-lamanya. Anna Breche, itu nama lengkap ibu
saya. Sayangnya, saya tak sempat mengenal sosok beliau. Ayah yang saya panggil papa
berasal dari Belgia, Lau Van Hooff, seorang arsitek. Karena tuntutan pekerjaannya, ia
memboyong keluarganya ke Belanda.

Tapi, saya juga tak lama merasakan kasih sayang ayah. Sejak Mama meninggal, Papa
mengajak saya kembali ke Belgia, lalu beliau menikah lagi dengan adik ibu saya. Mereka
memberi saya seorang adik perempuan yang usianya hanya berbeda tiga tahun dari saya.
Sementara, dari perkawinan pertamanya (sebelum dengan ibu saya), Papa juga
memberikan tiga orang kakak tiri. Saya tak begitu dekat mengenal mereka.

Hmm, agak rumit memang ’pohon keluarga’ saya. Namun, saya tak pernah menyadarinya
sampai suatu ketika Papa meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Sejak itu, secara resmi
saya memang tinggal bersama ’ibu kedua’ (yang juga bibi saya) dan Ria, adik tiri saya.
Namun, boleh dibilang, Opa dan Oma-lah yang mengasuh saya sejak kecil. Opa berdarah
Persia-Prancis, sementara Oma berdarah Spanyol.

Setelah berusia 6 tahun, saya baru mengetahui bahwa orang-orang yang biasa saya
panggil Opa dan Oma tersebut bukanlah kakek dan nenek kandung saya. Nenek buyut
saya, Antoineta (yang juga tinggal bersama kami dan paling berperan penting dalam
kehidupan masa kecil saya), menceritakan semuanya secara terus terang.

Akibatnya, dalam usia yang sangat dini, saya sudah berpikir keras tentang makna hidup
ini. Nenek Antoineta-lah yang dengan sabar mengajari saya agar menjalani hidup apa
adanya. Menerima dengan lapang dada segala keadaan. Belajar untuk tidak cepat putus
asa dan sakit hati. Apalagi menyakiti sesama ciptaan-Nya.

Dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana. Misalnya, jangan me-mukul binatang, apalagi
membunuhnya. Kalau saya memetik kembang hanya untuk dibuang sia-sia, saya kena
marah! Walau dari luar saya terlihat cuek dan senang berpenampilan tomboi (karena
tidak suka pakai rok dan lebih klop berteman dengan anak laki-laki), sesungguhnya saya
adalah gadis kecil yang sensitif. Menyendiri, bermain di alam, dan berteman dengan
hewan --burung-burung, kelinci, kucing, anjing-- adalah rutinitas sehari-hari.

Saya masih ingat betul, ’teman curhat’’ saya ketika berusia delapan tahun adalah seekor
kodok hijau yang gendut. Bummel, itu nama yang saya berikan untuknya, selalu saya
bawa ke tempat tidur dan menjadi teman bicara yang setia. Bertahun-tahun kami menjadi
sa-habat karena Bummel adalah pendengar yang baik. Paling-paling dia hanya
berkomentar, "Wak... wak... wak...," ketika saya asyik mengoceh panjang lebar
dengannya. Ha...ha...ha....

Pendek kata, saya menjelma jadi anak yang tumbuh terlalu cepat. Bukan soal fisik, tetapi
lebih dalam hal pemikiran. Saya sudah memikirkan hal-hal yang sebetulnya ’belum
waktunya’ dipikirkan oleh anak-anak seusia saya. Apalagi, waktu itu juga masa perang
(awal Perang Dunia II). Semua orang tidak bisa bebas ke mana-mana. Malam hari, ketika
sedang enak-enaknya tidur, terpaksa harus bangun karena alarm tanda bahaya berbunyi,
dan kami semua harus masuk ke shelter (lubang perlindungan) bawah tanah.

Situasi perang juga menuntut kami harus mampu membela diri. Keadaan juga
mengharuskan saya menjadi gadis pemberani dan mampu hidup mandiri. Mungkin
karena itu, tanpa sadar sikap saya terbentuk menjadi keras. Apalagi, ketika saya berusia
10 tahun, Opa berpulang, dan tiga tahun kemudian, giliran Oma meninggalkan saya
selamanya. Saya harus merelakan kepergian Oma Antoineta yang begitu saya cintai.
Di usia 16 tahun, saya tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Untunglah, kedisiplinan
diri dan nilai-nilai yang ditanamkan Oma Antoineta sudah telanjur melekat kuat dalam
diri saya, sehingga membuat saya mampu bertahan menghadapi cobaan demi cobaan.

Dialah satu-satunya orang yang mau menerima keberadaan saya apa adanya. Oma
Antoineta percaya pada ’keajaiban-keajaiban’ yang saya lihat dan rasakan. Usia saya baru
7 tahun ketika vision itu datang, tepatnya tahun 1939, ketika Perang Dunia II belum lama
pecah. Saya duduk di bangku kelas satu SD dan sedang belajar di kelas bersama teman-
teman. Tiba-tiba terdengar suara bisikan di telinga saya, menyuruh saya cepat-cepat
keluar dari kelas. Berulang kali suara itu terdengar, tanpa saya tahu siapa yang
mengucapkannya.

Untuk sesaat saya diam dan bimbang. Tapi, akhirnya saya menyampaikan apa yang saya
dengar kepada ibu guru. "Bu, kita diminta cepat berkemas dari ruangan ini. Kita harus
segera pergi harus...!"

Tapi, ibu guru menganggap saya sedang mempermainkannya. Akibatnya, saya dimarahi
dan diusir pulang. Saya pun keluar kelas dengan gelisah sekaligus sedih. Sedih karena
dianggap mengarang cerita bohong. Sambil menangis saya pulang ke rumah. Setiba di
rumah, tangis saya makin menjadi-jadi, karena Oma ikut me-marahi saya. Oma pun tidak
memercayai cerita saya. Dianggapnya saya sedang berkhayal.

Hanya Oma Antoineta yang menghibur saya. Dia percaya pada semua perkataan saya,
termasuk suara-suara misterius yang saya dengar. Tak lama kemudian, kami pun
mendengar kabar mengenaskan; sekolah saya hancur terkena bom! Ratusan orang tewas
dalam peristiwa itu!

Sejak saat itulah saya mulai menyadari bahwa diri saya berbeda. Terutama karena setelah
itu masih terjadi lagi rentetan peristiwa yang sebelumnya sempat ’bermain-main’ di
telinga dan pelupuk mata saya. Singkat kata, sebelum peristiwa-peristiwa aneh yang
kerap tidak masuk akal itu benar-benar terjadi, saya sudah terlebih dulu mengetahuinya
lewat ’penglihatan’ maupun ’pendengaran’.

Hal itu tidak sekadar firasat semata. Prosesnya bahkan mence-ngangkan. Misalnya saja,
telinga saya tiba-tiba menangkap suara yang mengatakan, "Ada tabrakan!" Setelah
mendengar suara gaib itu, hati saya biasanya jadi gundah gulana. Hati saya pun terkoyak
ketika kecelakaan itu sungguh terjadi, padahal lokasinya cukup jauh dari rumah kami!
Duh! Mungkin, itulah penyebab banyak orang tua keberatan anak-anaknya bermain
dengan saya. Mereka takut bakal terjadi sesuatu yang mengerikan.

Pada saat-saat seperti itu, Oma Antoineta menjadi orang yang paling memahami diri
saya. Tak sekadar pengganti orang tua dan teman, bagi saya beliau adalah seorang sufi
yang bijaksana. Ketaatannya sebagai seorang muslimah menjadi panutan saya. Nilai-nilai
filosofis tertanam lewat cara hidupnya sehari-hari. Contohnya, ketika suatu hari ia
mengalami musibah perampokan, Oma Antoineta malah masih bisa bernyanyi. Saya
heran dan bertanya penasaran, "Apa Oma tidak sedih?"

Jawaban beliau masih saya ingat sampai sekarang. "Aduh," katanya, "kamu bisa
bayangkan kalau saya perampoknya? Mengambil barang orang adalah dosa besar. Jadi,
saya bersyukur karena bukan saya perampoknya. Mungkin, barang yang hilang itu bukan
rezeki saya lagi, sudah saatnya berganti pemilik."
Nah, dalam sekali falsafahnya, bukan? Hal-hal yang dicontohkan Oma Antoineta
membuat saya mampu melihat segala sesuatu dalam hidup ini dari sudut pandang yang
berbeda.
PART 2

NENEK SIHIR NAIK SAPU TERBANG

Banyak orang tua melarang anaknya bermain bersamanya. Bahkan, mereka menyebut
Lauren kecil terkena kutukan.

Hidup untuk Mengemban Misi


Bahwa saya memiliki sesuatu yang lain dalam diri saya, hal itu memang sudah saya
sadari. Tapi, baru saat berusia 12 tahun, saya mulai meyakini betul bahwa saya memiliki
indra keenam yang tajam.

Bom peperangan yang bisa meledak sewaktu-waktu membuat saya pernah mengalami
suatu kejadian yang sulit dipercaya. Sampai detik ini, kalau mengingat kembali peristiwa
itu, saya sungguh merasa sangat bersyukur. Saya masih diizinkan untuk terus hidup.

Bagaimana tidak, kedua orang teman yang terkurung bersama saya selama tiga hari tiga
malam di dalam shelter, tidak dapat diselamatkan lagi. Saya beruntung karena tim SAR
menemukan tempat perlindungan kami, yang tertutup rata oleh puing-puing bangunan
yang hancur lebur akibat bom, pada saat yang tepat. Menurut Oma Antoineta, saat
ditemukan, kondisi saya amat mengenaskan. Bahkan, saya sempat disangka sudah mati.

Saya masih ingat betul ketika kami bertiga terkurung di dalam shelter yang runtuh.
Rasanya pita suara kami nyaris putus akibat berteriak-teriak minta tolong, tanpa seorang
pun yang mende-ngar. Sangat mengerikan.

Apalagi, kami juga kehabisan persediaan bahan makanan dan minuman. Saat itu, saya
belum tahu bagaimana nasib kedua teman saya, soalnya saya sudah keburu kehilangan
kesadaran. Hanya, sebelum black out, samar-samar saya masih sempat mendengar suara
yang mengatakan bahwa belum saatnya saya mati. “Kamu harus hidup. Kamu masih
punya tugas penting di dunia ini….”

Entah berapa hari kami terkurung di dalam shelter itu. Saat siuman, tahu-tahu saya sudah
ada di rumah sakit. Kepada Oma Antoineta, saya lalu menceritakan pesan dari ‘suara’
yang saya dengar itu. Bahwa saya selamat karena masih ada misi yang harus saya jalani
dalam hidup, meski saat itu saya belum tahu persis apa yang dimaksudkan dengan ‘tugas
penting’ itu.
Saya agak terhibur karena Oma Antoineta ternyata mendukung saya sepenuhnya. Dengan
mata berbinar, dia mengatakan, sebagai keturunan kaum gypsy, kami memang
dianugerahi bakat khusus untuk bisa melihat masa depan. Namun, Oma Antoineta tidak
ingin kekuatan itu malah menjadi beban bagi saya. Ya, sejak itulah, untuk pertama
kalinya saya menyadari bahwa saya memiliki indra keenam yang harus digunakan
dengan tanggung jawab yang besar!

Masa Remaja yang Hilang


Benarkah saya kehilangan masa remaja? Bisa jadi, orang berpikir demikian, jika
mengetahui masa remaja saya yang tidak seperti remaja pada umumnya. Berpesta dansa
atau bergaul hura-hura nyaris tidak pernah saya lakukan. Setelah ditinggal pergi oleh
orang-orang tercinta, dari hari ke hari hidup saya lebih banyak diisi dengan belajar dan
bekerja.

Sejak Oma Antoineta meninggal dunia, seorang bibi berbaik hati memasukkan saya ke
sebuah asrama. Mungkin dia berpikir, itu jalan terbaik agar hidup keponakannya tertata
lebih baik. Tapi, tidak bagi saya. Sebagai ‘pelakon utama’, saya tahu betul apa yang saya
inginkan. Tinggal di asrama sama saja memasung kebebasan hakiki saya.
Bukan kehidupan teratur pemberian orang lain yang bisa mem-bahagiakan saya,
melainkan perjuangan dan kegigihan diri saya sen-diri. Karena itulah, saya tidak tahan
hidup di asrama. Baru seminggu di sana, saya memutuskan untuk… kabur!

Berbekal tekad bahwa saya mampu menghidupi diri sendiri, saya pun berjuang mati-
matian bekerja membanting tulang. Pekerjaan pertama saya adalah pencuci piring
restoran. Dengan roti dan secangkir minuman di tangan, pukul 05.30 pagi saya sudah
berjalan kaki menahan hawa dingin menuju ke tempat kerja. Selesai bekerja beberapa
jam, saya sekolah sampai pukul 15.00 sore.

Pukul 17.00 saya kembali bekerja sebagai kasir di toko sepatu hingga pukul 20.00
malam. Sedikit waktu yang tersisa di malam hari saya gunakan untuk belajar. Tak jarang
sambil terkantuk-kantuk karena kecapekan. Jadi, saya benar-benar tak punya waktu lagi
untuk bersenang-senang seperti remaja lainnya.

Kehidupan seperti itu berlangsung selama beberapa tahun. Tak apa, yang penting saya
bisa membayar kos dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Beruntung biaya sekolah
gratis, sehingga saya masih bisa menabung. Harus diakui, saya sangat hemat dalam
urusan keuangan. Makan dan rekreasi bukanlah prioritas saya. Saya bersyukur bisa hidup
mandiri dan tidak putus sekolah.

Walaupun prestasi tidak terlalu istimewa, saya tidak pernah ting-gal kelas. Saya hanya
bertekad, kalau tidak rajin menuntut ilmu, apa yang akan saya miliki kelak? Kesadaran
untuk giat menuntut ilmu ini secara tidak langsung muncul akibat dorongan dari adik tiri
saya. Ria selalu bilang, ”Kakak sekolah, deh, biar pintar.”

Mungkin, orang akan berpikir, alangkah keringnya masa remaja saya. Pernahkah saya
jatuh cinta? Ha... ha... ha... rasanya saya tidak pernah mengalami yang namanya ‘cinta
monyet’, ‘cinta kingkong’, atau apa pun namanya. Tapi, memang, ada masa-masa saya
dekat dengan beberapa pemuda. Saya punya teman khusus di kolam renang (karena
waktu itu saya gemar berenang), saya juga punya teman dekat di klub hand ball
(semacam permainan kasti).

Tapi, ya, cuma begitu. Tidak pernah benar-benar berpacaran. Jujur saja, kehidupan yang
keras membuat saya tumbuh menjadi gadis yang sulit untuk bermanja-manja, apalagi
kepada pria. Bila harus menunduk malu-malu atau mengalah pada anak laki-laki, aduh…
saya tidak bisa!

Kepincut Pria Indonesia


Kalau dipikir-pikir, hidup ini memang ajaib. Walaupun saya hidup sebatang kara,
ternyata ada saja orang berhati emas yang punya andil memajukan kehidupan saya.
Bukan sanak, bukan saudara. Profesor Van der Berg adalah seorang ahli parapsikologi
dari Universitas Leuven. Dia bertemu saya setelah saya lulus dari sekolah menengah.
Katanya, dia menangkap sinar pada diri saya. Ada bakat spesial yang tersembunyi, tapi
saya tidak punya kemampuan untuk mengasahnya!

Selama itu saya memang menjalani hidup apa adanya, mengalir seperti air. Bahkan,
saking sibuknya memenuhi kebutuhan perut, saya sempat ‘lupa’ bahwa sebetulnya saya
punya kemampuan khusus. Sekali waktu saya terpikir juga untuk mengetahui, apa, sih,
misi penting yang harus saya lakukan di dunia ini?

Saya memang pernah mendatangi sejumlah orang tua yang, kabarnya, memiliki
kemampuan paranormal, untuk membantu saya menemukan jawaban yang selama ini
saya cari. Tetapi, karena tidak mendapatkan jawaban memuaskan, akhirnya semua itu
terlupakan begitu saja. Saya baru tersadarkan kembali setelah bertemu dengan Prof. Van
der Berg.

Pria yang baik hati itu --bersama istrinya-- tidak memiliki keturunan, dan mengajak saya
untuk tinggal bersama mereka. Mulanya saya menolak karena sudah terbiasa hidup
sendiri. Namun, melihat ketulusan mereka, hati saya luluh juga. Bersama Prof. Van der
Berg, saya bisa mengenal kehidupan di Afrika dan mempelajari manfaat ramuan obat-
obatan di sana. Bahkan, atas budi baiknya pula, saya bisa menekuni ilmu para-psikologi
di Universitas Leuven.

Saya juga bisa pergi ke Prancis untuk belajar ilmu para-psikologi, yang pada dasarnya
merupakan ilmu psikologi eksperimental. Di Eropa, baru perguruan tinggi di Prancis,
Belanda, dan Belgia, yang memiliki jurusan para-psikologi. Setelah belajar sembari
bekerja selama dua tahun di Prancis, akhirnya tiba waktunya saya kembali pulang ke
Leuven. Menjelang kepulangan saya itulah, Prof. Van der Berg yang saya cintai dan
hormati, meninggal dunia.

Lagi-lagi hati saya hancur. Untuk kesekian kalinya saya harus kehilangan orang yang
saya sayangi. Tak cuma berperan sebagai ayah angkat, Prof. Van der Berg juga sudah
saya anggap sebagai mentor yang rajin meyakinkan saya, bahwa dengan menekuni ilmu
parapsikologi, saya bisa menerima diri saya secara apa adanya dengan lebih baik. Seperti
layang-layang yang putus talinya di udara, saya kehilangan semangat belajar.

Entah berapa lama keadaan itu berlangsung. Sementara, kehidupan di Eropa seusai
perang kondisinya sangat berat bagi saya untuk bisa meneruskan studi. Namun, Tuhan
memang Mahabesar. Dalam keterpurukan hati itulah saya justru dipertemukan dengan
seorang pria. Pemuda berkulit cokelat dan berambut hitam pekat itu adalah mahasiswa
jurusan arsitektur di universitas Leuven. Namanya Natakusuma. Belakangan saya tahu
bahwa dia berasal dari Indonesia, kelahiran Bandung.

Kisah pertemuan kami sangat romantis. Mirip adegan sinetron, saya berkenalan di
perpustakaan kampus. Tanpa sengaja tangan kami saling bersentuhan ketika mengambil
sebuah buku dengan judul yang sama! Hmm, saat mata saya bertatapan dengannya, hati
saya berdebar kencang. Ah, inikah yang namanya jatuh cinta?
Setelah pertemuan pertama itu, kami menjadi dekat, terutama karena kami memiliki
minat yang sama. Ketika akhirnya pemuda itu melamar saya untuk menjadi istrinya, saya
tak mampu menolak. Tahun 1952, di usia 20 tahun, saya resmi menjadi istrinya dan
diboyong ke Indonesia. Ya, Indonesia. Sebuah negara yang pernah saya lihat di peta,
namun tak pernah terpikir selintas pun untuk tinggal di sana….
PART 3

KULIHAT MAUT ‘MENGHAMPIRI’ SUAMI & ANAKKU

Ditinggal lebih dahulu oleh suami dan anak semata wayangnya, membuatnya nyaris
menyerah.

Tidak pernah saya bayangkan bahwa saya akan menetap di negeri orang. Tepatnya tahun
1953, saya meninggalkan negeri kelahiran saya menuju Indonesia. Di tempat yang serba
asing ini, saya pelan-pelan berusaha beradaptasi, bahasa, makanan, maupun budaya.

Ada kejadian lucu ketika saya bertemu pertama kali dengan keluarga suami di Bandung.
Tanpa ragu, saya menyalami tangan mertua sebagai tanda hormat perkenalan. Mereka
memang menerima saya dengan baik. Tapi, di kemudian hari, akhirnya saya tahu juga
(melalui cerita suami), bahwa sebenarnya saya tergolong menantu ‘kurang ajar’. Lho?

Rupanya, sikap saya yang enggan melakukan sungkem, kurang berkenan di hati keluarga
suami. Tapi, mau bagaimana lagi? Untuk urusan sungkem-sungkeman ini saya memang
belum mampu melakukannya. Bahkan, sampai saat ini saya anti melakukan sungkem!
Ha...ha…ha....

Walau demikian, tekad saya untuk melebur dalam tata cara Indonesia yang lain, saya
lakukan dengan sepenuh hati, terutama belajar bahasa Indonesia dan mencicipi beragam
makanannya. Sejak awal kedatangan ke Indonesia, sedapat mungkin saya berusaha
menggunakan bahasa Indonesia. Saya mengatakan kepada suami agar jangan berbicara
menggunakan bahasa Belanda dengan saya. Dengan kekerasan hati, akhirnya saya
berhasil menaklukkan kedua hambatan tersebut. Malah, saya jadi ketagihan rendang!
Sebagai arsitek yang baru lulus, tentu saja Nata, suami saya, belum punya apa-apa.
Karena itu, kami memulai rumah tangga dari nol dengan menyewa sebuah garasi di Jl.
Sawo, Menteng, Jakarta Pusat, yang dirombak menjadi paviliun. Selama lima tahun, kami
terus berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Baru pada
tahun 1958, suami saya --yang saat itu bekerja sebagai pemborong bangunan-- mengajak
saya pindah ke Kotabumi, Lampung Utara. Selama dua tahun kami tinggal di daerah
perkebunan.

Putra kami, Mario Lorens Natakusuma, lahir di RS Xaverius, Tanjung Karang. Itulah
saat-saat paling bahagia dalam hidup saya, menikmati kehidupan berumah tangga yang
harmonis. Nata sangat memahami ‘bakat’ saya. Dia selalu berpikir positif, bahkan tanpa
ragu pernah mempertemukan saya dengan Pak Rahim, seorang para-normal terkenal
tahun 1960-an, di Jakarta, saat kami sudah kembali sudah kembali ke Ibu Kota.

Nata ingin agar potensi saya bisa terus diasah. Bahkan, ia juga mau mendengarkan
nasihat saya yang melihat sesuatu tentang dirinya. Misalnya, dua minggu sebelum
Gunung Agung di Bali meletus (1961), saya keukeuh melarangnya berangkat ke Bali.
Untunglah dia mau mendengarkan, sehingga ia luput dari musibah.

Namun, dia pernah juga mengabaikan saran saya. Nata malah marah besar dan
mengatakan agar saya tidak usil menyerempet urusan politik! Saya ingat benar, saat itu
bulan Januari tahun 1965, saya memintanya agar tidak menerima borongan pekerjaan dari
Istana Negara. Saya cemas karena ‘melihat’ suatu kekacauan akan terjadi, dan saya tidak
ingin suami saya terlibat. Tiga minggu lamanya Nata mendiamkan saya. Saya sedih
karena suami sendiri tidak memercayai saya.

Benar saja, beberapa bulan kemudian, di akhir September, meletus peristiwa G-30S, dan
terjadi kekacauan di mana-mana. Proyek dari istana yang sedang digarap Nata sontak
berantakan “Maafkan saya. Saya bangkrut karena tidak mau mendengarkan kamu,”
akhirnya dia mengaku bersalah dan minta maaf pada saya. Apa yang bisa saya lakukan
selain memaafkannya? Kekuatan supranatural saya memang sulit untuk dipahami.

Lagi-Lagi Kehilangan
Bulan Desember yang basah, tahun 1972. Sore itu kami sedang duduk bersama di
beranda rumah. Tiba-tiba saya ‘melihat’ pemandangan yang tidak biasa. Saya melihat
Nata tertidur pulas sekali. Matanya terpejam dan mulutnya tersenyum damai. Tetapi,
mengapa ia tertidur di kursi, lama sekali tidak bangun-bangun?

Sebuah perasaan aneh yang sulit dilukiskan membuat saya tiba-tiba nyeletuk,
menyarankannya agar memeriksakan jantungnya ke dokter. “Ah, ada-ada saja. Saya kan
bukan pasienmu. Selama ini kamu kan tahu saya sehat-sehat saja,” candanya, tanpa
mengindahkan saran saya yang serius. Duh, bagaimana saya harus menjelaskan bahwa
saya tidak berkelakar? Saya benar-benar ‘melihatnya’….

Peristiwa itu akhirnya terjadi pada tanggal 23 Februari 1973, ketika Nata sedang asyik
menggambar. Sebelumnya saya sudah memperingatkan dia agar segera tidur. Tapi,
katanya dia belum mengantuk, Ia lalu menyuruh saya tidur lebih dulu. Berulang kali saya
mondar-mandir ke ruang kerjanya, sampai akhirnya saya benar-benar ketiduran. Pukul
03.42 dini hari saya terbangun dan menggerutu karena melihat lampu di ruang kerja Nata
masih menyala terang.

Namun, ketika mendatanginya, saya mendapati dia sedang tertidur di kursi. Pulas sekali.
Matanya terpejam dan mulutnya tersenyum damai, persis seperti yang pernah saya ‘lihat’
sebelumnya. Hati saya pun mendadak pedih luar biasa. Saya tahu bahwa dia sudah pergi.

Jadi, jauh sebelum penderitaan itu datang, saya sendiri sudah lama merasakannya. Saya
sudah melihat dan merasakan apa yang akan terjadi. Bencana alam, tabrakan, kekacauan
politik yang mengerikan, dan kepergian orang-orang tercinta! Derita ini terlalu berat bagi
saya!

Sepeninggal suami, saya tinggal berdua dengan Mario, anak sema-ta wayang kami yang
masih kecil. Semua harta disita oleh bank karena perusahaan yang didirikan Nata
bangkrut. Dia meninggalkan banyak utang sehingga rumah kami pun ikut disita. Satu-
satunya perhiasan yang tersisa hanyalah sebuah cincin kawin.

Hanya dengan sebuah koper berisi pakaian dan menggandeng si kecil Mario, saya keluar
dari rumah dengan perasaan nelangsa luar biasa. Selama ini saya sudah sering berpindah-
pindah rumah mengikuti suami, dan itu saya lakoni dengan lapang dada. Bersamanya,
saya menjalani hidup apa adanya. Berat dan ringan kami jinjing dan pikul bersama. Tapi,
sekarang, tanpa Nata di samping saya, terus terang saya menjadi gamang.

Rasanya, di titik inilah saya hampir saja menyerah. Saya merasa tidak kuat lagi menjalani
hidup. Ditinggal suami untuk selamanya tanpa harta sepeser pun, aduh, saya bingung
mau pergi ke mana? Apakah saya harus pulang kembali ke Belanda? Merepotkan
keluarga suami, saya sungkan. Mungkin, karena sebelumnya saya sudah terbiasa hidup
mandiri. Tapi, sungguh, dalam keadaan seperti ini --luntang-lantung tanpa pekerjaan di
negeri orang-- benar-benar menguras habis tenaga dan pikiran saya.

Malam itu juga, sebelum meninggalkan rumah kami yang penuh kenangan, saya khusyuk
berdoa. Saya memohon kepada-Nya, jika memang saya tidak dibutuhkan lagi di dunia,
tolong ambil saya secepatnya. Tetapi, kalau saya memang masih punya tugas (tiba-tiba
saya teringat lagi saat-saat terbebas dari timbunan shelter yang roboh akibat bom), tolong
berikan saya kemampuan untuk bertahan dan berjuang agar dapat mengubah kehidupan
saya.

Kalau dipikir-pikir kembali, rasanya malam itu saya nyaris gila. Saya berdoa, berlutut,
menangis sejadi-jadinya, dan bernegosiasi dengan-Nya. Kok, bisa-bisanya saya ‘berani
mati’ mengadakan perjanjian dengan Sang Pencipta? Mungkin, karena saya sudah
mentok. Saya merasa hidup sudah tak lagi bermakna.

Beruntung seorang teman berbaik hati meminjamkan uang untuk menyewa sebuah kamar
di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Mungkin, itulah jawaban Tuhan untuk saya, bahwa
masih ada pertolongan dari-Nya. Selanjutnya, karena harus membiayai hidup saya dan
Mario, saya berusaha untuk bangkit lagi. Saya mulai berjualan pakaian dan berbagai
barang kebutuhan sehari-hari. Apa pun rela saya lakukan asalkan halal.

Sampai pada suatu hari, saya bertemu dengan seorang pedagang kopi, yang sudi
memercayakan saya untuk ikut berjualan. Dari teman ke teman, bahkan dari pintu ke
pintu, saya menjajakan kopi bubuk. Tak jarang saya menerima perlakuan tidak
menyenangkan. Mungkin, mereka curiga karena saya wanita asing, berambut pirang, dan
tinggi besar pula. Namun, hal-hal seperti itu tak saya ambil hati. Yang penting, saya
mampu memperoleh sedikit keuntungan.

Pada tahun 1978, terjadi perampokan di sebuah pabrik di Cibinong. Pedagang kopi yang
baik hati itu (dan tahu tentang ‘bakat’ saya) lantas mengajak saya untuk membantu
direktur pabrik yang sedang mengalami kesulitan. Tanpa mengharapkan imbalan sepeser
pun saya bersedia membantu untuk ‘melihat’ siapa yang terlibat dalam perampokan
tersebut. Berbekal kekuatan supranatural yang sulit saya jelaskan, akhirnya diketahui
bahwa dalang perampokan adalah satpam pabrik itu sendiri.

Rupanya, rencana Tuhan kembali bekerja di dalam kehidupan saya. Sebuah harian ibu
kota, Buana Minggu, memuat berita tersebut. Bahkan, pengasuh harian itu menawarkan
sebuah pekerjaan yang tak pernah saya bayangkan, yaitu ‘buka praktik’ di kantor mereka
di kawasan Tanah Abang, sebagai paranormal!

Terus terang, mulanya saya merasa keberatan. Saya tidak punya ambisi untuk
memanfaatkan talenta saya untuk dikomersialkan. Lagi pula, apa enaknya, sih,
mengetahui hari esok? Sekian lama saya sudah mengalaminya sendiri. Hasilnya hanya
menimbulkan banyak kejadian aneh, sekaligus selaksa penderitaan. Mengapa orang lain
yang lebih beruntung dari saya justru ingin merasakannya?

Namun, pedagang kopi yang akhirnya menjadi teman baik saya itu menyarankan agar
saya memanfaatkan potensi khusus itu. “Tidak usah berpikir yang bukan-bukan,”
katanya, tegas. ”Kamu itu memiliki potensi luar biasa, mengapa harus disembunyikan?
Toh, dengan menjalani profesi paranormal, kamu justru punya banyak kesempatan untuk
membantu orang lain.”

Kalimat yang dia ucapkan intinya hampir sama dengan dukungan suami saya selama ini.
Mengasah potensi. Bahkan, saya lantas disentakkan oleh suatu realitas bahwa ternyata
saya juga bisa, membantu orang banyak melalui ‘bakat’ saya ini. Ah, Tuhan, apakah ini
jawaban yang saya tunggu-tunggu selama ini? Inikah misi pen-ting yang harus saya
emban?

Entah bagaimana ceritanya, akhirnya jadi juga saya menerima tawaran untuk ‘buka
praktik’ di Tanah Abang. Mula-mula yang datang hanya satu dua orang per hari, sampai
akhirnya menjadi banyak sekali. Saking banyaknya, mereka sampai ‘mengejar’ saya ke
rumah. Setelah enam bulan di Tanah Abang, saya memutuskan lebih baik buka praktik di
rumah saja.
Dan, ketika para klien memberi imbalan tanpa saya minta, saya pun mulai berpikir secara
rasional. “Inikah jalan untuk mencari nafkah dari-Nya yang harus saya tempuh?”
Apalagi, saat itu Mario sedang membutuhkan biaya besar untuk mendaftar ke ASRI,
Yogyakarta.

Sejak lama dia memang tertarik mendalami seni, terutama seni rupa. Saya juga tidak
pernah melarangnya untuk bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan Rendra. Prinsip
saya dalam mendidik anak, hidupnya adalah miliknya sendiri, bukan milik saya. Tugas
saya hanya mendampingi dan memberikan yang terbaik untuk bekal kehidupannya kelak.
PART 4

KULIHAT MAUT ‘MENGHAMPIRI’ SUAMI & ANAKKU

Ditinggal lebih dahulu oleh suami dan anak semata wayangnya, membuatnya nyaris
menyerah.

Ketemu Jodoh Lagi


Berangsur-angsur, kehidupan saya menjadi lebih baik. Dari kamar kontrakan di Kampung
Melayu, saya akhirnya bisa mengontrak rumah di kawasan Kebon Baru, Tebet. Di
sinilah, suatu hari, melalui seorang teman, saya berkenalan dengan seorang pelaut
ganteng asal Tapanuli, Hendrik Pasaribu.

Ketika melihat pemuda lulusan AIP angkatan tahun 1974 itu memasuki pintu rumah saya,
hati saya langsung berdetak kencang. Sungguh mati, saya tidak pernah mengenal dia, tapi
mengapa rasanya saya tidak merasa asing dengan sosoknya? Seolah kami pernah bertemu
di suatu masa, ratusan tahun silam....

“Kamu percaya reinkarnasi?” Entah kenapa, saya spontan bertanya seperti itu kepadanya.
Dan, ketika dia menjawab, ”ya,” saya mengatakan lebih lanjut, “Di kehidupan
sebelumnya, rasanya kamu pernah menjadi saudara saya. “

“Ya, ya,” katanya, tak kalah antusias. ”Saya juga merasa aneh, karena kamu seperti tidak
asing lagi bagi saya.”
Saya ingat betul, saya lantas mengatakan kepada seorang teman (yang juga merupakan
teman Hendrik) bahwa saya dan Hendrik memang berjodoh. “Laki-laki ini akan menjadi
suami saya,” ujar saya, yakin.

Teman saya malah tertawa. “Mana bisa?” katanya. Dia lantas mengingatkan bahwa usia
Hendrik jauh lebih muda daripada saya. Bedanya sampai 15 tahun. Bahkan, statusnya
pun masih bujangan! Dianggapnya saya hanya berkelakar, mengada-ada.

“Kita buktikan saja. Toh, saya dan Hendrik harus menyelesaikan karma,” jawab saya,
ikut tertawa. Ya, saya memang sangat percaya pada karma dan reinkarnasi. Apa yang kita
tanam, itulah yang akan kita petik. Pohon pepaya tidak mungkin berbuah pisang, bukan?
Terbukti, Saya dan Hendrik Pasaribu ternyata benar berjodoh. Hal itu juga yang Hendrik
yakinkan kepada saya, ketika setelah 12 tahun mengarungi perairan Samudra Indonesia,
akhirnya dia memutuskan untuk berlabuh total, dan melamar saya untuk menjadi istrinya!

Hendrik mengatakan, walaupun (setelah ketemu saya) dia sudah kembali berlayar selama
enam bulan, nyatanya dia selalu ingin pulang ke pelukan saya. “Saya ingin membina
rumah tangga bersamamu dengan kesadaran dan komitmen penuh,” katanya, tegas. Duh,
wanita mana yang hatinya tidak meleleh mendengar janji seperti itu?

Hendrik yang saya kenal kemudian memang akhirnya menjadi sahabat baik saya. Kami
bahkan seperti saudara saja (selain tentunya sebagai kekasih!). Putra saya, Mario,
mendukung sepenuhnya. Sebelum menikah dengan saya, Hendrik berteman cukup baik
dengan Mario dan ia memanggilnya ‘Bung Hendrik’. Mereka kerap bercanda bersama.
Mungkin, itulah yang akhirnya mendekatkan kami sebagai suatu keluarga yang utuh.
Saya dan Hendrik Pasaribu menikah 29 Mei 1982, di saat usia saya hampir setengah
abad!

Kebahagiaan saya makin bertambah ketika Mario juga akhirnya menikah dengan pujaan
hatinya. Berturut-turut, di bulan Juni tahun 1982 dan 1983, Mario menghadiahi kami dua
orang cucu lelaki yang tampan: Nuh Prabawa dan Kreshna. Nama cucu per-tama saya itu
diberi oleh Rendra.

Cobaan Berat Itu Datang Lagi


Vision yang menghampiri saya tidak pernah diundang datangnya. Baik dalam keadaan
senang maupun sedih, dia tiba-tiba menjelma di dalam benak saya. Saat sedang
menantikan kelahiran cucu kedua di rumah sakit itulah saya kembali mendapat pertanda
tidak enak.

Ada sebuah rumah yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Dan, yang menjadi pertanda
buruk, di altar rumah itu saya melihat ada sebuah peti mati. Lalu, sekelebat saya melihat
Mario mendatangi saya. Namun, tiba-tiba saja ia berubah wujud menjadi tengkorak!
“Duh, Mario, kamukah yang berada dalam peti mati di altar rumah itu?” batin saya
bertanya-tanya. Namun, sekuat daya, saya mencoba menghilangkan resah yang mendera
akibat bayangan buruk itu.

Sampai suatu saat, tanpa diduga saya harus pindah rumah lagi ke Jalan Klingkit, Menteng
Atas. Rumah itu besar dan memiliki halaman yang luas. Setelah seminggu berada di sana,
saya baru menyadari bahwa saya tidak asing lagi dengan rumah itu. Apalagi, rumah itu
memiliki altar. Di altar itulah saya pernah ‘melihat’ peti mati itu!

Ya, Tuhan, cobaan apa lagi yang akan datang menimpa saya? Saya lantas berdoa habis-
habisan, hampir sepanjang hari, selama berbulan-bulan. Saya berdoa agar kami
sekeluarga terhindar dari malapetaka. Tapi, entah kenapa, sisi lain diri saya menyadari
sepenuhnya bahwa saya tak akan pernah bisa mampu menolak takdir yang akan datang!

Malam, 3 Oktober 1985. Mario datang minta izin main band bersama teman-temannya ke
luar kota. Saat itu saya melakukan suatu hal yang tak pernah saya lakukan sebelumnya.
Saya menonton televisi sendirian di ruang tamu. Dan, saat saya melihat Mario
mendatangi saya dari pintu masuk, jantung saya tiba-tiba terasa sakit sekali, seolah
ditusuk pisau belati yang sangat tajam. Menimbulkan luka berdarah yang tak terperikan.

“Jangan pergi, Mario!” Tiba-tiba saja saya melarangnya. Suatu hal yang juga tak pernah
saya lakukan sebagai orang tua, yaitu melarang anak untuk melakukan sesuatu yang dia
inginkan.

“Ada apa, Mami? Jangan bercanda, ah. Saya tak mungkin membatalkan kontrak,”
katanya. Ia malah tertawa melihat kecemasan saya yang berlebihan. Akhirnya dia pun
pergi setelah mencium kening saya dengan lembut.
Saya ingin menangis sejadi-jadinya. Saya tahu sesuatu akan terjadi menimpanya. Dan,
saya juga tahu pasti, saya tidak mampu mencegahnya! Bahkan, saya tidak bisa berbicara
apa-apa lagi ketika dia berpesan bahwa saya tidak boleh lagi menonton teve sendirian
seperti ini.

Nuh dan Kreshna, kedua cucu saya yang tampan, dimintanya untuk selalu menemani
saya. “Mereka harus selalu di bawah bimbingan Mami. Mereka anak Mami dan Bung,”
katanya, ter-senyum. Lalu, dia pergi. Setelah sampai di muka pintu pagar, dia kembali
lagi, merangkul dan mencium saya berulang kali. Membuat saya tambah yakin bahwa
Mario memang akan pergi. Putra semata wayang saya akan pergi jauh....

Benar saja. Pukul 08.00 pagi, telepon di rumah saya berdering. Kabar itu disampaikan
pihak kepolisian. Mario kecelakaan! Dia mengalami luka parah dan ketiga teman yang
sedang bersamanya langsung meninggal dunia! Bergegas saya lari ke RS Tangerang,
sementara suami saya bergegas ke kantor polisi.

Saya hampir pingsan ketika mendapati Mario yang sedang kritis. Tapi, saya masih diberi
kesempatan bertemu dengannya dalam keadaan hidup. Bahkan, dia sempat berpesan,
untuk kesekian kalinya, agar kedua anak lelakinya yang masih kecil, Nuh dan Kreshna,
berada dalam bimbingan saya. Setelah itu, dia koma dan tidak pernah sadarkan diri lagi.
Ya, Tuhan, sekali lagi Engkau mengambil permata hati saya.

PART 5

Kematian Mario, putra tunggal saya, benar-benar meludeskan cadangan daya tahan saya.
Saya pun memberontak kepada-Nya. Saya menantang, saya berteriak, bahkan saya
memaki-Nya. Mengapa Dia tak henti ‘membanting’ saya, nyaris tanpa jeda? Mengapa
Dia begitu senang mempermainkan hidup saya, seolah saya boneka yang bisa Dia
mainkan seenaknya? Bahkan, harta saya satu-satunya yang tersisa, Mario, juga harus
diambil-Nya begitu cepat. Kehilangan Mario adalah pukulan terberat bagi saya. Entah
berapa lama saya berkubang dalam penderitaan, dan membuat saya sempat kehilangan
tujuan hidup.
Tuhan ‘Meledek’ Saya
Tapi, masih ada Hendrik, suami saya. Juga dua bocah kecil, cucu saya. Saat itu, Nuh baru
berusia 1 tahun 3 bulan, dan Kreshna, 2 tahun 3 bulan. Mereka masih sangat
membutuhkan saya. Sebelum meninggal, Mario memang sudah berpisah dari istrinya.
Sang istri memutuskan meninggalkan Mario (berikut kedua anaknya), untuk memulai
hidup baru.

Menatap kedua bocah kecil itu, tak jarang hati saya tercabik. Di satu sisi, saya begitu
mencintai mereka. Di sisi lain, mereka selalu menghadirkan bayang-bayang Mario di
pelupuk mata saya. Tapi, kalau saya tidak segera bangkit dari kesedihan, bagaimana
nasib mereka kelak? Bukankah sebelum meninggal, Mario berpesan agar saya selalu
menjaga kedua putranya sebaik mungkin? “Mereka adalah anak-anak Mami dan Abang
juga….” Amanat terakhir Mario itu terus terngiang di telinga saya.

Pesan itu pulalah yang membuat saya berusaha keras untuk bangkit dan membenahi
hidup serta hati saya yang hancur lebur. Yang pertama kali saya lakukan adalah mencoba
menerima kenyataan. Mario sudah meninggal dan tidak akan pernah kembali ke pelukan
saya lagi. Selamanya. Sungguh tidak mudah! Hari-hari saya seolah berjalan bagai siput.

Namun, benar kata pepatah, waktu akan menyembuhkan luka. Dengan berlalunya waktu,
ditambah dengan kesibukan mengurus Nuh dan Kreshna, perlahan-lahan saya bisa
melupakan kesedihan saya. Tanpa bantuan baby sitter, saya mengasuh dua bocah lelaki
itu. Bayangkan, di usia hampir setengah abad, saya harus mengurus bayi lagi. Namun,
anehnya, lama-kelamaan saya makin menikmatinya.

Berserah diri dan bersyukur, mungkin itulah kunci utama saya bisa tetap bertahan. Di
tengah kegalauan dan kesedihan saya, untunglah Hendrik selalu mendukung. Sejak
menerima lamarannya, saya sudah tahu keteguhan hatinya, juga komitmennya.

Dia menikahi janda dengan satu anak, dan usia saya jauh lebih tua darinya, sehingga
kemungkinan kami tidak mendapatkan keturunan, sangat besar. Sementara, dia masih
muda dan bujangan. Toh, ia tidak pernah mempermasalahkan semua itu.

Ya, berkat dukungan Hendrik pula, akhirnya saya bisa mengembalikan rasa humor saya.
“Jangan-jangan Tuhan sedang mengajak saya bercanda. Dia ‘meledek’ saya. Dia
mengambil Mario, tapi menggantinya dengan dua anak lelaki sekaligus!”

Stroke Menyerang
‘Mami’ dan ‘Bapak’ adalah panggilan sayang Nuh dan Kreshna kepada saya dan
Hendrik. Dan, saya juga tahu, Hendrik sangat menyayangi mereka seperti anak sendiri.
Ketika Nuh dan Kreshna masih kecil, seperti halnya sebuah keluarga, kami juga sering
tamasya bersama. Menemani jalan-jalan, merayakan pesta ulang tahun mereka, atau
sekadar memasakkan makanan kesukaan keduanya, membuat saya benar-benar merasa
lengkap sebagai seorang ibu sekaligus nenek.

Tanpa terasa, dua bocah cilik itu kini sudah menjelma jadi pemuda yang tampan. Malam-
malam penuh tangis bayi, berlalu sudah. Rasanya baru kemarin saya melihat keduanya
belajar jalan, tumbuh gigi, dan saling gontok-gontokan berebut mainan. Tak dapat
disangkal, kehadiran mereka ibarat nyala pelita yang menghangatkan rumah dan hati
kami.
Sederet mimpi buruk yang menghantui saya bertahun-tahun pun sirna. Padahal,
sebelumnya, hampir setiap malam saya bermimpi hal yang sama. Saya dibuang dari
ketinggian sebuah pura ke laut. Sementara, suami saya sedang menjalani prosesi
pembakaran jenazah. Ya, saya dibuang ke laut dan suami saya dibakar, bukankah itu hal
yang sama?

Semula, saya tidak tahu bahwa peristiwa dalam mimpi itu terjadi di Pulau Dewata,
sampai akhirnya saya bertemu seorang pedande (pendeta Hindu Bali), dan melakukan
meditasi bersamanya. Ternyata, pura dalam mimpi saya adalah Pura Batu Bulan di daerah
Gianyar, Bali. Ya, saya memang percaya reinkarnasi. Karena itu, saya juga percaya,
ratusan tahun yang lalu, saya benar-benar pernah hidup di Bali. Ah, saya tidak tahu,
apakah mimpi buruk itu hilang karena saya akhirnya menemukan harta lain yang tak
kalah berharga, yaitu Nuh dan Kreshna.

Seiring dengan itu, profesi saya sebagai paranormal pun makin bersinar. Mungkin, karena
ramalan-ramalan saya dianggap jitu, orang makin banyak datang mencari saya untuk
minta bantuan. Bayangkan, tujuh hari dalam seminggu, saya melayani klien dan pasien-
pasien saya. Dan, kalau dihitung-hitung, setiap harinya saya bisa melayani 20 orang.

Melelahkan memang, tapi saya sungguh senang menjalaninya. Bukan karena alasan
materi semata. Ya, saya tidak munafik bahwa saya memang perlu uang untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari dan membesarkan kedua cucu saya. Tapi, lebih dari itu, saya
senang bisa menolong sesama.

Namun, kesibukan itu juga membawa konsekuensi tersendiri. Saya jadi sering lupa pada
usia. Dan, terus terang, saya pun dengan sengaja mengabaikan vision tentang diri sendiri.
Padahal, sebelum hari itu datang, tepatnya 23 November 2005, saya sudah ‘tahu’ bahwa
saya akan jatuh sakit.

Dan, benar saja. Pagi itu, ketika saya mau bangun ke kamar mandi untuk buang air kecil,
tiba-tiba saja tubuh saya tidak bisa bergerak. Karena tuntutan ke toilet tak tertahankan
lagi, saya terpaksa membangunkan Hendrik yang masih tidur nyenyak. “Pak, mau tolong
saya nggak? Saya kepingin ke kamar mandi.”

“Tumben,” jawabnya, masih mengantuk. ”Mami takut apa?”

“Saya… saya tidak bisa jalan!”

Akhirnya saya mengaku bahwa tubuh saya kaku dan tak bisa digerakkan sama sekali.
Mendengar rintihan saya, pagi itu juga saya langsung dilarikan ke RS Mitra Internasional
Jatinegara. Dari hasil pemeriksaan lengkap, saya dinyatakan menderita… stroke!

Kaki dan tangan saya yang sebelah kiri menjadi lumpuh mati rasa. Saya sangat tersiksa,
karena sebelum terkena stroke, pada dasarnya saya adalah orang yang sangat aktif dan
tidak bisa diam. Pendeknya, selalu mandiri melakukan segala sesuatu, dan sebisanya
tidak meminta bantuan orang lain.
Alhamdulillah, berkat tekad yang kuat untuk sembuh, serta menjalani terapi secara
disiplin, bagian kiri tubuh saya yang lumpuh akhirnya bisa normal kembali. Walaupun
belum sempurna, sekarang saya sudah merasa jauh lebih sehat. Dan, mungkin, karena
pernah merasakan sendiri bagaimana menderitanya orang yang kena stroke, kini saya
belajar menjadi orang yang jauh lebih sabar.

Selain itu, kini saya juga harus membatasi diri dalam menerima tamu. Cukup empat hari
seminggu. Rabu, Sabtu, dan Minggu, saya tidak terima tamu. Saya pun membatasi
jumlah klien, hanya 4 – 5 orang saja per hari. Ya, setiap penderitaan pasti ada hikmahnya.
Ya, saya bersyukur bisa merasakan sakit seperti ini, karena pada akhirnya saya mampu
bersabar sampai ke ujung-ujung rambut….
PART 6

Enggan disebut Paranormal


Bukannya bangga dikenal sebagai paranormal kondang, sebetulnya saya justru lebih
senang bila dikenal sebagai konsultan pribadi. Ya, itulah yang saya cantumkan di kartu
nama saya: Ny. Laurentia. Adviser. Mereka yang datang kepada saya kebanyakan adalah
orang-orang yang memerlukan pertolongan, minta dicarikan jalan keluar. Beraneka
masalah harus saya hadapi, dan sebagian besar adalah persoalan keluarga.

Selingkuh, hubungan antara suami dan istri, orang tua dan anak, karier, rezeki, hingga
masalah narkoba. Belum lagi mereka yang menderita sakit, fisik maupun psikis. Ya,
banyak sekali orang yang stres akibat harus memikul beban hidup di luar batas
kemampuan mereka, hingga terkadang ingin bunuh diri. Aduh, kalau sudah
mendengarkan berbagai keluhan mereka, rasanya segudang beban hidup yang pernah
saya alami, seolah tak ada artinya.

Solusi yang saya tawarkan sebenarnya tidak macam-macam.Tidak semuanya butuh


lembaran kartu tarot dan vision ramalan. Terkadang, saya merasa mereka datang kepada
saya hanya karena membutuhkan seseorang yang mau menyediakan telinga untuk
mendengarkan curhat mereka. Kalaupun ada yang membutuhkan semacam ‘pegangan’,
tentu akan saya berikan semampu saya.

Jujur saja, pegangan itu sebetulnya sekadar sugesti diri agar mereka menjadi lebih
percaya diri saja. Pengambilan keputusan tetap ada di tangan mereka, bukan tergantung
pada saya. Setiap orang harus bisa mengubah nasibnya sendiri. Saya hanya membantu
mengarahkan.

Tidak mudah menyandang gelar paranormal papan atas di negeri ini. Dan, kalau boleh
jujur, saya tidak pernah suka disebut paranormal. Kesannya, kok, abnormal alias tidak
normal, ya? Kayak dukun! Ha...ha...ha.... Sesungguhnya, ilmu yang saya pakai jauh dari
ilmu klenik atau guna-guna ilmu hitam. Jadi, kalau saya diminta menyantet orang atau
menyembuhkan seseorang dengan memindahkan penyakitnya ke dalam telur, wah... jelas
saya tidak bisa!

Dan, kalau dibilang tarif saya mahal (satu juta rupiah untuk setengah jam konsultasi),
saya ndak mau comment apa pun. Dibandingkan rekan-rekan saya seprofesi, misalnya Ki
Joko Bodo, jelas tarif saya kalah jauh dari mereka. Lagi pula, sering kali saya tidak bisa
menolak jika ada klien yang hanya mampu membayar sebatas kemampuan mereka. Saya
cukup bahagia, jika melihat klien yang menangis saat masuk ke ruang praktik saya, bisa
keluar dengan tersenyum.

Kebutuhan untuk hidup mewah juga tak pernah ada di benak saya. Punya mobil dan
rumah mewah, atau perabot kristal, wah, tak pernah terpikirkan sedikit pun. Lihat saja
dandanan saya sehari-hari. Tas dan sepatu saya bukan yang bermerek. Makanya, saya
cuma senyum kalau ada teman yang nyeletuk, “Kok, tasnya nggak ganti-ganti?”

Pemborosan yang tidak perlu bukanlah gaya hidup saya. Sejak dulu saya terbiasa hidup
hemat. Kedua cucu saya tahu betul sifat omanya. Kacang merah sisa sup bisa saya daur
ulang menjadi es kacang merah. Ketupat sisa Lebaran yang belum basi saya keringkan
jadi semacam rengginang. Malah, orang sering menyebut saya ‘bule aneh’, karena lebih
menyukai tempe, tahu, sayur, dan buah. Dan, sepotong daging rendang, kalau kepingin
banget.

Berulang kali saya tuturkan lewat media, sebenarnya ulah manusia sendiri yang membuat
hidup ini menjadi makin berat. Bumi makin panas dan berbagai bencana alam terjadi
(hmm, saya ‘melihat’, masih ada 12 gunung lagi yang akan meletus di tahun 2008). Alam
sudah berteriak-teriak, tapi manusia masih juga tidak menyadarinya. Vision yang saya
lihat selalu memiliki keterkaitan satu sama lain. Manusia dan alam. Manusia dan hewan.
Manusia dan manusia itu sendiri. Sesama makhluk hidup. Mengapa harus saling
menyakiti?

Menjalani profesi sebagai paranormal, sungguh saya tak mau gegabah. I’m not playing
God. Hal itu senantiasa saya sadari. Karenanya, saya hanya bisa mengelus dada sembari
tertawa kalau ada orang yang berani memakai nama saya untuk tujuan tertentu. Misalnya,
baru-baru ini santer beredar kabar, ”Kata Mama Lauren, di Dunia Fantasi akan ada
wahana yang rusak dan berbuah bencana!”

Oh, my God! Kapan saya pernah bicara seperti itu? Saya tidak pernah ingin bikin sensasi
yang meresahkan masyarakat, apalagi merugikan pihak-pihak tertentu. Sudah terlalu
banyak gosip di negeri ini, mbok, jangan ditambah embel-embel, “Kata Mama Lauren.”
Kalau sudah begitu, mau tak mau saya harus membersihkan nama saya, misalnya dengan
membuat klarifikasi secara terbuka.

Harta Paling Berharga


Usia saya sekarang hampir 76 tahun. Rasanya tidak ada lagi yang ingin saya raih, kecuali
melihat kedua permata hati saya, Nuh (kini 24) dan Khresna (23), tumbuh menjadi pria
sejati yang tahu persis ke mana kaki mereka hendak melangkah. Saya dan Hendrik hanya
sekadar mengarahkan.

Nuh kini sudah kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Periklanan Universitas
Paramadina Jakarta. Dia juga pemain sinetron dan jagoan breakdance. Kalau dia terlalu
sibuk, kadang-kadang saya suka iseng mengirim SMS kocak padanya, bertuliskan alamat
rumah disertai embel-embel, “Ini alamat rumah kalau-kalau kamu lupa. Kalau sempat,
pulang, ya. Mami kangen kejailanmu.” Ha...ha...ha... Kreshna (yang memilih jurusan dan
universitas yang sama dengan kakaknya), kini juga sudah bekerja sebagai DJ.

Sesekali, mereka juga suka meminta saya meramalkan nasib mereka. Tapi, saya tidak
mau mengatakan apa yang saya lihat secara gamblang. Lagi pula, mereka juga tak
sepenuhnya mau menuruti anjuran saya. Misalnya, pada bulan puasa lalu, saya
menyarankan agar Kreshna jangan ke luar kota. Eh, dia bandel. Nah, betul kan, dia
mengalami kecelakaan. Untung hanya ringan saja.

Yang tak kalah saya syukuri, pada 29 Mei 2007 lalu, saya dan Hendrik merayakan
perkawinan perak. Dua puluh lima tahun menikah, nyatanya sampai sekarang perkawinan
kami adem ayem saja. Kuncinya simpel saja: harus punya kesadaran akan tanggung
jawab masing-masing. Bahkan, Hendrik tidak segan membantu mengetikkan materi
ramalan saya di komputer, ikut ke luar kota mendampingi saya talk show dan seminar.

Hingga kini, saya masih terus belajar dari kehidupan. Saya menyadari, secinta apa pun
saya kepada Nuh dan Kreshna, suatu hari kelak mereka akan membina keluarga masing-
masing, dan --lagi-lagi-- saya harus rela melepaskan mereka. Ya, bukankah hidup selalu
berputar silih berganti? Ada waktu untuk menggenggam, ada waktu untuk melepaskan….

Anda mungkin juga menyukai