Anda di halaman 1dari 5

Waktu Itu

Jumat Malam Itu


Kami berkendara. Aku diboncenginya dengan motor tuanya yang sudah cukup jelek,
tanpa helm. Seperti biasa, ia membawa motor dengan terburu, padahal tak ada yang
mengejar.

Aku tidak merasakan apa-apa. Kami memang terbiasa begini.

Kemudian, ia menyelip ke tengah sebuah truk yang seharusnya belum diizinkan


berada di lokasi tersebut dan sebuah taksi berwarna biru.

Yang terakhir kuingat sebelum bencana itu terjadi, spion motornya dan taksi biru itu
bertubrukan.

Motornya oleng.

Kami jatuh.

Aku berteriak. Kedua mataku menutup. Menolak mengetahui apa yang akan terjadi
selanjutnya.

Jumat Tengah Malam Itu

Morfin.

Aku bertahan dengan segala anganku untuk diberi morfin.

Terbang rasanya enak, kan?

Aku ingin mengambang sejenak dan melupakan kepedihan yang melanda tubuhku.

Morfin pasti enak.


Namun rasa sakit memaksaku terjaga.

Aku melihat orang-orang berpakaian putih lalu lalang. Bicara apa mereka?
Malaikatkah mereka?

Bodoh, itu suster-suster.

Ah iya, suster-suster.

Bolak-balik. Aku dibawa ke ruang hangat yang bercat agak gelap dan berpencahayaan
agak redup, kemudian dipindahkan ke ruang dingin yang terlalu putih dan terang.

“Tahan sebentar lagi, ya.” Dari semua yang mereka ucapkan, hanya itu yang aku
ingat.

Aku lebih banyak menutup mata. Terlalu lelah untuk tetap mengamati sekitar.
Lagi pula sudah gelap. Tidak banyak juga yang bisa dilihat selain suster-suster. Ada beberapa
yang cukup cantik.
Seperti yang ini.

“Kami angkat selimutnya ya, maaf kalau agak sakit.”

Ah, agak sakit tidak ada apa-apanya dibanding dilindas ban truk pengangkut batu, bukan?

Mereka memindahkan tubuhku. Aku mau dibawa lagi ke tempat lain. Ke mana lagi?

Ah, sudahlah.

Sabtu Pagi Itu

Aku membuka mataku. Langit-langit warna putih.

Tercium bau obat-obatan khas rumah sakit.

Aku belum pindah tempat lagi ya?

Seorang dokter tampan duduk di depan ranjangku. Dokter jaga ruang rawat intensif
memang harusnya punya standar ketampanan sendiri, biar pasien cepat pulih!
“Kamu sudah bangun?”

Dia bisa bicara!

“Sudah, Dok.” Suaraku serak. “Saya haus.”

Kamu hot banget sih!

“Suster, ambilkan air hangat ya.”

Sudah, cukup menggoda dokternya.

Aku memandang kaki kananku. Seluruhnya dibalut perban, bahkan dipakaikan papan.
Terasa nyeri di seluruh bagian. Tidak ada kemungkinan untuk menggerakkannya
sekarang. Tidak ada kemungkinan untuk duduk dalam waktu dekat juga.

“Ini airnya, Mbak.” Seorang perempuan dengan pakaian berwarna putih dari atas
kepala sampai bawah kaki datang membawa segelas air dan sedotan.

Aku mengangkat kepalaku. Bagaimana caraku minum?

Suster itu menekan salah satu tombol di pinggir ranjang. Ajaib, ranjang terlipat di
bagian tengah, membuatku seolah mengangkat kepala tanpa aku menggerakkan
tubuhku. Tentunya tidak ia tekan terlalu lama, aku tidak boleh sampai duduk, kakiku
tak boleh digerakkan.

Aku meminum seluruh isi gelas itu. Haus sekali ya, sudah berapa lama aku tidak
minum?

“Sekarang pukul berapa ya, Sus?”

“Pukul sembilan lewat, Mbak.”

“Waduh.” Pantas.

“Habis ini Mbak puasa lagi ya, Mbak. Nanti siang Mbak mau dioperasi harusnya.”

Waduh.

“Oke, Sus. Terima kasih ya.” Siap-siap ya, Perut.


Suster itu menunduk sejenak sebelum kembali bertanya, “Mbak kenapa bisa begini
kakinya, Mbak?”

Cerita itu. Aku punya perasaan bakal kuulang terus-menerus.


“Jadi, …”

Sabtu Siang Itu

This one is for my fallen soldier. You fought well. You really did.

Pukul sebelas siang, dokter tulangku datang. Dengan arogansi dokter senior
menyeruak tak terkendali, tanpa usaha pembendungan sama sekali. Agak muak
melihatnya.

“Buka perbannya, saya mau lihat kondisinya.”

Segera saja suster membuka perban yang membebat erat kaki kananku.

Kakiku tumpah.

Bau busuk samar tercium dari daging lembek yang lupa dimasukkan ke freezer. Ibuku
berteriak. Tidak mungkin ada yang siap melihat daging cincang yang mulai busuk.

Aku menolak melihatnya. Sebenarnya, aku masih bisa sedikit merasakannya. Benda-
benda kenyal lembek berlendir itu bergelantungan di tulang betis dan tulang keringku.
Orang-orang yang melihat berkata, warna dagingnya sudah bukan merah, sudah agak
membiru. Memang sudah agak membusuk. Salah, memang sudah membusuk.

Dokter sombong itu memandangi sesuatu yang dulunya alat gerak kanan bagian
bawah milikku. Sepertinya memeriksa, tapi tanpa menyentuh. Untunglah ia masih
mengenal rasa sakit.

“Ini harus diamputasi.”

Aku menghela napas. Seburuk itu ya?

Ibuku makin histeris. Ia berjalan keluar ruangan. Menolak menerima kenyataan.


Aku menutup mata. Mengingat-ingat bagaimana biasanya kakiku terlihat. Bentuknya
tidaklah bagus, lemak di sana-sini, ukurannya terlalu besar, sulit mencari ukuran yang
tepat karena pinggangku tak terlalu lebar. Tapi mereka yang menopangku. Mereka
kaki, mereka berjalan. Tanpa kaki, bagaimana bisa berjalan? Mungkin bisa,
menggunakan tangan atau kursi roda, tapi buat yang pernah mengecap tanah dengan
telapak kaki, … pasti berbeda. Nantinya, aku bukan lagi manusia normal.

Nantinya, aku bukan lagi manusia normal.

“Tutup lagi saja, Sus.”

Dokter sombong itu kemudian menghampiri ibuku. Entah apa yang ia katakan.
Sepertinya tidak membuat keadaan lebih baik. Ibuku menangis sekeras-kerasnya.
Tangisannya terdengar sampai ke dalam ruang perawatan intensif.

Nantinya, aku bukan lagi manusia normal.

Ia kemudian beralih kepadaku. Sebelum ia sempat berkata-kata, aku keburu bicara.


“Kalau memang cuma itu yang bisa dilakukan, potong saja. Saya bisa
pakai prosthetics nanti, kan?”

Ah, aku memang tidak pernah normal.

Dijadwalkanlah pukul satu siang operasi pemotongan kaki kananku.

Aku memandang kaki kananku untuk terakhir kalinya. Tidak pernah ada upacara
perpisahan untuknya. Tapi memang tidak akan pernah ada perpisahan yang cukup
layak. Prajurit ini setia padaku sampai akhir hayatnya. Tidak ada, tidak akan ada
pemakaman yang cukup layak.

Sampai jumpa nanti

Anda mungkin juga menyukai