Yang terakhir kuingat sebelum bencana itu terjadi, spion motornya dan taksi biru itu
bertubrukan.
Motornya oleng.
Kami jatuh.
Aku berteriak. Kedua mataku menutup. Menolak mengetahui apa yang akan terjadi
selanjutnya.
Morfin.
Aku ingin mengambang sejenak dan melupakan kepedihan yang melanda tubuhku.
Aku melihat orang-orang berpakaian putih lalu lalang. Bicara apa mereka?
Malaikatkah mereka?
Ah iya, suster-suster.
Bolak-balik. Aku dibawa ke ruang hangat yang bercat agak gelap dan berpencahayaan
agak redup, kemudian dipindahkan ke ruang dingin yang terlalu putih dan terang.
“Tahan sebentar lagi, ya.” Dari semua yang mereka ucapkan, hanya itu yang aku
ingat.
Aku lebih banyak menutup mata. Terlalu lelah untuk tetap mengamati sekitar.
Lagi pula sudah gelap. Tidak banyak juga yang bisa dilihat selain suster-suster. Ada beberapa
yang cukup cantik.
Seperti yang ini.
Ah, agak sakit tidak ada apa-apanya dibanding dilindas ban truk pengangkut batu, bukan?
Mereka memindahkan tubuhku. Aku mau dibawa lagi ke tempat lain. Ke mana lagi?
Ah, sudahlah.
Seorang dokter tampan duduk di depan ranjangku. Dokter jaga ruang rawat intensif
memang harusnya punya standar ketampanan sendiri, biar pasien cepat pulih!
“Kamu sudah bangun?”
Kamu hot banget sih!
Aku memandang kaki kananku. Seluruhnya dibalut perban, bahkan dipakaikan papan.
Terasa nyeri di seluruh bagian. Tidak ada kemungkinan untuk menggerakkannya
sekarang. Tidak ada kemungkinan untuk duduk dalam waktu dekat juga.
“Ini airnya, Mbak.” Seorang perempuan dengan pakaian berwarna putih dari atas
kepala sampai bawah kaki datang membawa segelas air dan sedotan.
Suster itu menekan salah satu tombol di pinggir ranjang. Ajaib, ranjang terlipat di
bagian tengah, membuatku seolah mengangkat kepala tanpa aku menggerakkan
tubuhku. Tentunya tidak ia tekan terlalu lama, aku tidak boleh sampai duduk, kakiku
tak boleh digerakkan.
Aku meminum seluruh isi gelas itu. Haus sekali ya, sudah berapa lama aku tidak
minum?
“Waduh.” Pantas.
“Habis ini Mbak puasa lagi ya, Mbak. Nanti siang Mbak mau dioperasi harusnya.”
Waduh.
This one is for my fallen soldier. You fought well. You really did.
Pukul sebelas siang, dokter tulangku datang. Dengan arogansi dokter senior
menyeruak tak terkendali, tanpa usaha pembendungan sama sekali. Agak muak
melihatnya.
Segera saja suster membuka perban yang membebat erat kaki kananku.
Kakiku tumpah.
Bau busuk samar tercium dari daging lembek yang lupa dimasukkan ke freezer. Ibuku
berteriak. Tidak mungkin ada yang siap melihat daging cincang yang mulai busuk.
Aku menolak melihatnya. Sebenarnya, aku masih bisa sedikit merasakannya. Benda-
benda kenyal lembek berlendir itu bergelantungan di tulang betis dan tulang keringku.
Orang-orang yang melihat berkata, warna dagingnya sudah bukan merah, sudah agak
membiru. Memang sudah agak membusuk. Salah, memang sudah membusuk.
Dokter sombong itu memandangi sesuatu yang dulunya alat gerak kanan bagian
bawah milikku. Sepertinya memeriksa, tapi tanpa menyentuh. Untunglah ia masih
mengenal rasa sakit.
Dokter sombong itu kemudian menghampiri ibuku. Entah apa yang ia katakan.
Sepertinya tidak membuat keadaan lebih baik. Ibuku menangis sekeras-kerasnya.
Tangisannya terdengar sampai ke dalam ruang perawatan intensif.
Aku memandang kaki kananku untuk terakhir kalinya. Tidak pernah ada upacara
perpisahan untuknya. Tapi memang tidak akan pernah ada perpisahan yang cukup
layak. Prajurit ini setia padaku sampai akhir hayatnya. Tidak ada, tidak akan ada
pemakaman yang cukup layak.