Anda di halaman 1dari 8

Penggalan Naskah Monolog I

MARSINAH
MENGGUGAT -
1
Karya Ratna Sarumpaet (Satu Merah Panggung)
ALAM DILUAR ALAM KEHIDUPAN. DISEBUAH PERKUBURAN.
MARSINAH SEORANG PEREMPUAN MUDA, USIA 24 TAHUN,
SEORANG BURUH
KECIL DARI SEBUAH PABRIK ARLOJI DI PORONG, JAWA
TIMUR, TANGGAL 9 MEI
1993 DITEMUKAN MATI TERBUNUH., DIHUTAN JATI DI
MADIUN. DARI HASIL
PEMERIKSAAN OTOPSI, DIKETAHUI KEMATIAN PEREMPUAN
MALANG I
NI
DIDAHULUI PENJARAHAN KEJI, PENGANIAYAAN DAN
PEMERKOSAAN DENGAN
MENGGUNAKAN BENDA TAJAM. KASUS KEMATIAN
PEREMPUAN INI KEMUDIAN
RAMAI DIBICARAKAN. BANYAK HAL TERJADI. ADA
KEPRIHATINAN YANG
TINGGI YANG MELAHIRKAN BERBAGAI PENGHARGAAN. TAPI
PADA SAAT
BERS
AMAAN BERBAGAI PELECEHAN JUGA TERJADI DALAM
PROSES
MENGUNGKAP SIAPA PEMBUNUHNYA. SETELAH MELALUI
PROSES YANG AMAT
PANJANG DAN TAK MEMBUAHKAN APA-APA, KASUS UNTUK
JANGKA WAKTU
CUKUP PANJANG, DAN SEKARANG., SETELAH MARSINAH
SEBENARNYA SUDAH
MENGIKHLASKAN
KEMATIANNYA MENJADI KEMATIAN YANG SIA
-SIA, TIBA
-
TIBA SAJA KASUS INI DIANGKAT KEMBALI. MENDENGAR HAL
ITU MARSINAH
SANGAT TERGANGGU, DAN MEMUTUSKAN UNTUK
MENENGOK SEBENTAR KE
ALAM KEHIDUPAN, TEPATNYA, PADA SEBUAH ACARA
PELUNCURAN SEBUAH
BUKU YANG DI TULIS B
ERDASARKAN KEMATIANNYA. INILAH UNTUK
PERTAMA KALINYA MARSINAH MENGUNJUNGI ALAM
KEHIDUPAN. KAWAN
-
KAWAN SENASIB DI ALAM KUBUR TAMPAKNYA KEBERATAN.
DAN DARI
SITULAH MONOLOG INI DIMULAI.
____________________________________________________________
________
ADA SUARA
-SUARA MALAM. PERTUNJUKAN INI TERJADI DI SEBUAH
PERKUBURAN. MARSINAH TAMPAK MERINGKUK DI SEBUAH
BALE, GELISAH.
DIA TERTEKAN, RAGU AKAN KEPUTUSAN YANG DIBUATNYA.
Kalau saja dalam kesunyian mencekam yang dirasuki hantu
- hantu ini aku dapat merasakan
kesunyian yang sebenar
-benarnya sunyi. Kalau saja dalam kesunyian ini aku dapat menutup
telingaku dari pekik mengerikan, raung dari rasa lapar, derita yang tak
habis
-habis.
Kalau saja
sesaat saja aku diberi kesempatan merasakan betapa diriku
adalah milikku sendiri....
DIKEJAUHAN, TERDENGAR SUARA ORANG-ORANG YANG
SEDANG
MEMBACAKAN AYAT
-AYAT, YANG SEMAKIN LAMA TERASA SEMAKIN DEKAT
DAN SEMAKIN ENGGEMURUH. MARSINAH BANGKIT
PERLAHAN, MURUNG.
Apa gerangan kata Ayahku tentang waktu yang seperti ini.... Kejam
rasanya seorang diri,
diliputi amarah dan rasa benci. Tersekap rasa takut yang tak putus
-putus menghimpit.....
Ketakutan yang tak bisa diapa-
apakan..... Tidak bisa bunuh, atau dilawan.....
MARSINAH SEPERTI MENDENGAR SUARA-
SUARA DARI MASA LALUNYA, SUARA
-
SUARA DERAP SEPATU, YANG MEMBUATNYA GUSAR.
Suara
-suara itu.... Dia datang lagi.... Seperti derap kaki seribu serigala
menggetar bumi....
Mereka datang menghadang kedamaiku..... mereka m
engikuti terus..... Bahkan sampai ke liang
kubur ini mereka mengikutiku terus....
Kalau betul maut adalah tempat menemu kedamaian..... Kenapa aku masih
seperti ini?
Terhimpit ditengah pertarungan
-pertarrungan lama.... Kenapa pedih dari luka lamaku masih
terasa menggerogoti hati dan perasaanku...... Kenapa amarah dan
kecewaku masih seperti
kobaran api membakarku ?
TERDENGAR SUARA SESEORANG NEMBANG, LIRIH.....
TEMBANG ITU SESAAT
SEOLAH MENGENDURKAN KETEGANGAN MARSINAH. DIA
BICARA, LIRIH.
Dengan berbagai cara nek Poeirah, nenekku, mengajarkan kepadaku
tentang kepasrahan.....
Dia mengajarkan kepadaku bagaimana menjadi anak yang menerima dan
pasrah...... Pasrah itu
yang kemudian menjadi kekuatanku..... Yang membuatku selalu
tersenyum menghadapi
kepahitan yang bagaimanapun. Kemiskinan keluargaku yang melilit......
Pendidikanku yang
harus terputus ditengah jalan.....
Perempuan ini jugalah yang mengajarkan kepadaku betapa hidup
membutuhkan kegigihan......
Tapi kegigihan seperti apa y
ang bisa kuberikan sekarang...... Pada saat mana aku sudah menjadi
arwah seperti ini, dan mereka masih mengikutiku terus ?
Sulit mungkin membayangkan bagaimana dulu kemiskinan melilit
keluargaku...... Bagaimana
setiap pagi dan sore hari aku harus berkeliling menjajakan kue bikinan
Nenekku, demi seratus
duaratus perak. Aku nyaris tak pernah bermain dengan anak-
anak sebayaku. Kebahagiaan masa
kecilku hilang...... Tapi aku ikhlas...... Karena dengan uang itu aku bisa
menyewa sebuah buku
dan membacanya sepuas
- puasnya.
Berupaya meningkatkan pendidikanku yang pas
-pasan..... Merindukan kehidupan yang lebih
layak.... Berlebihankah itu ? Memiliki cita
-cita..... Memiliki harapan
-harapan..... Berlebihankah
itu ?
Lalu kenapa cita-
citalah yang akhirnya mem
perkenalkanku pada arti kemiskinan yang
sesungguhnya. Kenapa harapan-
harapanku justru menyeretku berhadapan dengan ketidak
berdayaan yang tak terelakan ?
DERAP SEPATU DARI MASA LALU ITU KEMBALI
MENGGEMURUH MEMBUAT
MARSINAH KEMBALI TEGANG.
***
Penggalan Naskah Monolog II
DEMOKRASI
Karya Putu Wijaya
SEORANG WARGA DESA TANG TANAHNYA KENA GUSUR
MEMBAWA PELAKAT
BERISI TULISAN DEMOKRASI.SETELAH MEMANDANG DAN
PENONTON SIAP
MENDENGAR ,IA BERBICARA LANGSUNG
Saya mencintai demokrasi. Tapi karena saya rakyat
kecil, saya tidak kelihatan sebagai
pejuang, apalagi pahlawan. Nama saya tak pernah masuk Koran. Potret
saya tak jadi tontonan
orang. Saya hanya berjuang dilingkungan RT gang Gugus Depan.
Di RT yang saya pimpin itu, seluruh warga pra demokrasi. Dengan be
ringas mereka akan
berkoar kalau ada yang anti pada demokrasi. Dengan gampang saya bisa
mengarahkan mereka
untuk maju demi mempertahankan demokrasi. Semua kompak kalau sudah
membela demokrasi.
MENGACUNGKAN PLAKATNYA.
Demokrasi!
TERDENGAR SERUAN
WARGA BERSEMANGAT MENYAMBUT: DEMOKRASI!
Demokrasi!
SERUAN LEBIH HANGAT LAGI:
Demokrasi!
SERUAN GENAP GEMPITA: DEMOKRASI! IA MENURUNKAN
PLAKAT
Bener kan? Hanya salahnya sedikit, tak seorang pun yang benar
-benar mengerti apa arti
demokrasi.
MENIRUKAN SAL
AH SEORANG WARGANYA.
“Pokoknya demokrasi itu bagus. Sesuatu yang layak diperjuangkan sampai
titik darah
penghabisan. Sesuatu yang memerlukan pengorbanan besar. Sesuatu yang
menunjang suksesnya
pembagunan menuju kemasyarakat yang adil dan makmur. “Kata mereka.
Saya kira itu sudah cukup. Saya sendiri tidak mampu menerangkan apa
arti demokrasi.
Saya tidak terlatih untuk menjadi juru penerang. Saya khawatir kalau
batasan
-batasan saya
tentang demokrasi akan disalahgunakan. Apalagi kalau sampai terjadi
perbedaan tafsir yang
dapat menjadikannya kemudian bertolak belakang. Atau mungkin, karena
saya sendiri tidak
benar-
benar tahu apa arti kata demokrasi.
Pada suatu kali, Rt kami yang membentang sepanjang gang Gugus Depan
dapat
kunjungan petugas yang mengaku dating da
ri kelurahan. Pasalnya akan diadakan pelebaran
jalan, sehingga setiap rumah akan dicabik dua meter. Petugas itu
menghimbau, agar kami, seperti
juga warga lain, merelakan kehilangan itu, demi kepentingan bersama.
MENIRUKAN PETUGAS
“ Walaupun hanya dua meter, tapi sumbangan saudara
-saudara sangat penting artinya
bagi pembangunan dan kepentingan kita bersama di masa yang akan
datang. Atas nama
kemanusiaan kami harap saudara-
saudara mengerti.”
NAMPAK BINGUNG
Warga kami tercengang. Hanya dua meter? Kok enak saja mengambil dua
meter, demi
pembangunan siapa? Bagaimana kalau rumah kami hanya enam meter kali
empat. Kalau diambil
dua meter kali enam, rumah hanya akan cukup untuk gang. Kontan kami
tolak. Bagaimana bisa
hidup dalam gang dengan rata
-rata 5 orang anak?
Tidak bisa itu tidak mungkin!
“Tapi ini sudah merupakan keputusan bersama,” kata petugas tersebut.
Kami makin tercengang saja. Bagaimana mungkin membuat keputusan
bersama tentang
kami, tanpa rembukan dengan kami. Seperti raja Nero saja.
“Soalnya masyarakat disebelah sana,” lanjut petugas itu sambil menunjuk
ke kampong
disebelah,” mereka semua adalah karyawan yang aktif pabrik tekstil.
Semua memerlukan jalan
tembus yang bisa dilalui oleh kendaraan. Dengan difungsikannya gang
Gugus Depan ini menjadi
jalan
yang tembus kendaraan bermotor , mobilitas warga yang hendak masuk
pekerjaan atau
pulang akan lebih cepat. Itu berarti efisiensi dan efektifitas kerja. Mikrolet
dan bajaj akan bisa
masuk. Itu akan merupakan sumbangan pada pembangunan. Dan
pembangunan itu a
kan
dinikmati juga oleh kampong disebelahnya, karena sudah diperhitungkan
masak
-masak.”
Diperhitungkan masak
-masak bagaimana? Kami tidak pernah ditanya apa-
apa? Tanah ini
milik kami, bantah saya.
Tak lama kemudian, sejumlah warga dari kiri kanan kami dat
ang. Mereka menghimbau
agar kami mengerti persoalan mereka. Mereka mengatakan dengan sedikit
pengorbanan itu,
ratusan kepala keluarga dari kiri kanan kami akan terlolong. Mereka
menggambarkannya sebagai
perbuatan yang mulia. Setelah menghimbau mereka mengi
ngatkan sekali lagi, betapa pentingnya
pelebaran jalan itu. Setelah itu mereka mengisyaratkan betapa tak
monolgnya kalau kami tidak
menyetujui usul itu. Dan setelah itu mereka mewantu
-wanti, kalau tidak bisa dikatakan
mengancam.

MARSINAH, perempuan buruh pabrik di Porong Sidoarjo itu adalah ingatan sosial
yang tak akan pernah terhapuskan. Sejak ditemukan menjadi mayat pada 8 Mei
1993, akibat penyiksaan hebat yang dialaminya karena menjadi motor penggerak
kawan-kawannya yang menuntut hak-hak buruh, tafsir atas dirinya tak akan pernah
lekang oleh zaman. Benarlah kiranya apa yang disampaikan oleh Mirek, tokoh di
novel The Book of Laughter and Forgetting, karya Milan Kundera itu, bahwa
perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.
Setiap upaya bagi tafisr baru pada Marsinah adalah upaya untuk melawan lupa
sembari mengekalkan ingatan dari sepenggal sejarah hitam Indonesia. Marsinah
menjadi penanda kisah keji kemanusiaan yang menerabas ruang dan waktu. Tak
hanya di Indonesia, kisah perempuan yang jadi simbol perlawanan buruh itu
menjadi milik dunia. Sejak kematiannya, hingga sekarang, tafsir baru dalam
banyak media dan disiplin hadir memberi peringatan.
Dan tafsir baru itu hadir pada kamis malam (14/03) di gedung pementasan Taman
Budaya Propinsi Sulawesi Tengah oleh penampilan monolog. Naskah lama karya
Ratna Sarumpaet berjudul Marsinah Menggugat (1997) itu diperankan dengan penuh
totalitas oleh akting Deita. Sutradara pementasan, Mohamad Nurdiansyah atau
yang lebih dikenal dengan nama panggilan Toto, menghidupkan kembali getir di
menit-menit terakhir Marsinah yang mengalami penyiksaan dan akhirnya secara
tragis dibunuh.
Tata panggung yang minimalis –hanya ada Marsinah sendiri dan sebuah bangku
tempat interogasi, sudah sangat menjelaskan kengerian penyiksaan yang tak
seharusnya dialami oleh siapapun manusia, kata Marsinah dalam sepenggal
monolog itu.
Deita yang memerankan kesakitan yang teramat sangat yang dialami Marsinah,
mengolah kesakitan itu sedemikian rupa dalam intonasi suara dan gerak tubuhnya.
Ada yang membahagiakan dari sana, muncul bakat-bakat baru seni peran yang
dilakoni perempuan, karena kesan aktor lelaki yang lebih sering dalam banyak
pementasan. Kritik setelah pementasan datang, kostum Deita yang kurang
menggambarkan kesakitan itu.
Pentas malam itu ditujukan untuk persiapan menghadapi perhelatan Festival
Monolog yang akan diselenggarakan di Jember, Jawa Timur, 25 – 27 Maret 2013.

Foto katalog pementasan

Sekali lagi, tafsir atas Marsinah tak hanya ada di naskah monolog atau drama, tapi juga
film yang pernah dikerjakan oleh Slamet Rahardjo, dan bahkan musik. Semua dari tafsir
itu awalnya mendapat penolakan dari negara. Apa yang telah dilakukan Toto dan Deita
adalah upaya yang tak hanya sekadar seni tapi juga komitmen kemanusiaan. Atas alasan
itu, kita seharusnya memberi apresiasi yang setinggi-tingginya.

Anda mungkin juga menyukai