Anda di halaman 1dari 13

KUNCI DARI NOVEL SELANJUTNYA TENTANG PERJUANGAN KEDUA

ORANG TUA NAOMI.

Desember. 20. 1986


Siapa yang pernah menyaksikan terbentuknya embun di pucuk daun? Bagaimana prosesnya
sejak berupa uap basah yang hinggap di lembaran tipis hijau berserat sampai membuat
bening serupa bola kristal mungil. Tak seorang pun tahu itu, namun bukan berarti yang
tenang dan hening tidak terluka.
Matahari mengantar perempuan mungil kecil cantik mata berwarna biru dan rambut ikal,
tetapi ada yang ganjil, di balik tubuhnya bersarang neraka besar dan di balik pundaknya
mengemban seruang masalah.
Ibuku berkerja sebagai pemuas birahi laki-laki dan Ayah seorang pengedar narkoba, abadi
rasanya orang-orang melabeli diriku sebagai anak rusak yang tidak terurus. Semuanya
melekat pada pundakku, di balik semua itu ada kanker yang menjalar. Berulang kali aku
harus mengendap di rumah sakit, kedua orang tuaku terus bekerja agar dapat membiayai
kebutuhanku. Aku selalu saja ditinggal sendirian di rumah sakit, jika pun Ibu datang
tubuhnya pasti sudah penuh dengan bercak merah di leher dan Ayah pasti setengah sadar.
Tetapi aku menyadari itu semua, mereka berdua berjuang agar aku tetap hidup dan bertahan
dari penyakit.
Ketika aku sekedar ingin menghirup udara segar di luar rumah, orang-orang sudah
menjauhi ku padahal Ibu terkena HIV setelah kelahiranku, bukan saat ia mengandung.
Bahkan mereka semua enggan berdekatan denganku, mereka beranggapan bahwa HIV
adalah penyakit kutukan siapa pun yang terkena berarti ia telah dikutuk. Sungguh sialnya
nasib keluargaku.
Kedua orang tuaku tidak pernah berhenti berjuang agar aku tersenyum, aku sangat
memahami hal itu. Pernah di suatu hari aku mengalami kritis hebat, saat itu mereka
mengutuk diri mereka sendiri sepertinya takdir tidak dapat dielakkan, namun di balik
rencana kematian hebat itu aku masih diberi kesempatan merasakan hangatnya matahari
dan udara segar.
Bagi semua orang pekerjaan orang tuaku adalah pekerjaan hasil haram dan juga anaknya
pasti mengalami kesialan, setidaknya dalam pikiran mereka aku juga akan terkena HIV,
ternyata Naomi bersih dari HIV ketika melalui check up di rumah sakit berkali-kali tidak ada
gejala sedikit pun.
Hari itu, hari di mana pertama kali bersekolah. Setigma yang melengket membuatku tidak
memiliki teman, semua orang menjauhiku, menghardikku hingga sampai ada yang
menyumpahiku agar cepat mati. Sungguh aku tidak pernah menemukan adab baik selama
hidup, seiring waktu berjalan telingaku kebal atas semua hal yang membuatku sakit, aku
memaklumi apa yang dikerjakan kedua orang tuaku dan tidak membenci mereka barang
sedikit pun.
Hingga suatu saat penyakit HIV itu merenggut nyawa Ibu dan Ayah ditembak polisi saat ia
sedang mengedarkan narkoba di tengah jalan. Satu hari yang menyakitkan aku alami, kedua
orang tuaku meninggal serentak di saat bersamaan dan ketika itu aku sedang berjuang
melawan penyakit.
Setelah kematian kedua orang tuaku, cerita negatif makin bertebaran tentang diriku, bagi
mereka kematian itu adalah hukuman dari alam karena selama hidup kedua orang tuaku
bagi mereka tidak pernah melakukan hal baik.
Ternyata sebaliknya, di balik pekerjaan kedua orang tuaku ternyata mereka selalu membagi
rejekinya kepada orang-orang yang membutuhkan di luar desa, karena orang tuaku tahu
bahwa warga sekitar tidak akan pernah menerima uang ini karena bagi mereka ini adalah
uang haram.
Tetapi di luar sana banyak anak jalanan yang Ibu dan Ayah bantu, hingga mereka telah
dianggap seperti orang tua mereka sendiri. Hari itu aku kira aku akan sendirian
mengantarkan kepergian mereka, ternyata sudah berbondong-bondong orang di luar sana
menanti kedatangan jenazah kedua orang tuaku. Ada yang tubuhnya penuh tato, perempuan
bergaya terbuka dan laki-laki penuh luka di sekujur tubuhnya. Aku terkejut ketika melihat
semua orang yang ada di ruangan itu menangis, tetapi aku rasa pada hari itu harus terlihat
tegar, aku menahan semua air mata dan menyembunyikan di balik mata biru. Ketika itu aku
berpikir apa yang harus aku lakukan agar bisa menjadi lebih hebat dari Ibu dan Ayah, hari
itu juga aku menemukan tekadku bahwa tidak akan ada lagi orang-orang yang akan
merasakan kesepian.
Hari demi hari aku lalui, hingga akhirnya tidak ada jalan lain. Di umurku ke tujuh belas
tahun aku harus menjual rumah sepeninggalan Ibu dan Ayah. Lalu beranjak dari desa yang
selalu menghakimi dan menghardikku. Ketika itu melalui kenalan orang tuaku, aku
dipersilakan tinggal di rumah mereka beberapa waktu hingga aku memiliki tempat tinggal
sendiri dan memiliki pekerjaan tetap di kota. Aku harus bekerja sampingan guna membiayai
seluruh pengobatanku sendiri, banyak sekali orang-orang baik menawarkan pengobatan
untukku. Dari para pengedar narkoba dan teman-teman Ibu pemuas birahi laki-laki,
terkadang aku menerima bantuan itu dan sering pula aku menolaknya. aku merasa bahwa
harus terus berjuang agar tetap hidup dan harus bisa membantu banyak orang di luar sana.
Tetapi ada suatu ketika di mana aku terduduk di kota yang banyak tawar, di saat itu semua
menjadi satu dalam balutan masalah. Penyakitku semakin meradang dan kehidupanku
seperti memiliki batas waktu. Hingga saat ini pun aku masih tinggal di rumah teman Ayah
dan Ibu karena semua uang hasil kerjaku tidak cukup untuk menyewa tempat tinggal sendiri.
Pernah di suatu ketika aku merasa bahwa aku harus menjadi seperti Ayah dan Ibu, selain
menjual diriku dan menjual narkoba di dalam prostitusi bukankah itu akan mengumpulkan
uang yang banyak dalam waktu singkat. Tetapi sungguh sialnya tidak ada satu pun kenalan
Ibu dan Ayah memperbolehkan aku melakukan itu semua.
Aku benar-benar merasa sepi, kedua orang tuaku hanya bisa menyapaku melalui mimpi dan
aku tahu semua hanya menjadi bunga tidur yang tidak akan menjadi kenyataan. Hingga saat
ini aku hanya menunggu waktu kapan harus tidur selamanya dan di akhir pencarianku
tentang ketenangan aku menemui kalian berdua.

ALUR CERITA TENTANG KE DUA ORANG TUA NAOMI YANG MEMBESARKANNYA


HINGGA IA MENJADI SESEORANG YANG KUAT.
BERAWAL LAHIR DARI KOTA PEPERANGAN KARENA KEADAAN EKONOMI YANG
BERAT IBU DAN AYAHNYA NAOMI BEKERJA SEBAGAI PENGEDAR NARKOBA DAN
PSK.

NAOMI LAHIR SAAT PEPERANGAN TERJADI DI RUMAH SAKIT.


LIMA BELAS TAHUN KEPERGIAN BUMI
“Selama lima belas tahun Naomi berpegangan pada harapan kosong, siapa tahu
Ibuk, Bapak dan Bumi keluar dari lautan berjalan-jalan menemui dirinya di dalam mimpi. Ini
cara menghibur diri yang bodoh , Naomi tahu betul bahwa ia tidak akan pernah bertemu
mereka di kehidupan sekarang.”
Dinding rumah yang dihiasi photo kenang-kenangan membuat tatapan Naomi
kosong, ia selalu melihat kursi tempat di mana Bumi duduk menikmati teh pagi hari.
“Bu, ayo keluar cari udara segar”, ucap Ede. Naomi hanya mengangguk. Ede
menggendong Naomi duduk di kursi roda, kain sutra peninggalan almarhum menyilumti
paha Naomi. Sepanjang perjalanan tidak sepata katapun keluar dari mulutnya Naomi.
Terkadang tubuhnya bergetar dan menangis sesenggukan. Ede sudah terbiasa menghadapi
hal seperti ini, ia benar-benar sabar menghadapi tingkah laku Ibunya selama kepergiaan
Bapak.
Ede mendorong kursi roda pergi ke tempat di mana Ibu dan bapaknya selalu
menghabisikan waktu sore hari. Setiba di sana mata Naomi berbinar ia seperti merasakan
kehadiran Bumi yang begitu kuat, Naomi menutup kedua mata dan membukanya kembali,
ia teringat setiap perjalanan yang telah dilalui bersama Bumi.
“Ede”, suara Ibunya memecahkan keheningan.
“Ada yang ingin Ibu ceritakan, tentang bagaimana nenek dan kakekmu
membesarkan Ibu, hingga akhirnya Ibu bertemu dengan Bapakmu”, Ede mengangguk,
membenahi tempat duduknya dan menggenggam tangan Ibunya.
JANGAN MATI DULU, JANGAN HARI INI

Di sebuah kota kecil dekat perbatasan terjadi perang antara dua negara, kota yang
penuh harapan hancur saat rudal membentur seluruh perkotaan. Para tentara bayaran
negara sebelah telah menduduki sebagian kota, mereka membunuh setiap orang yang
melintas di hadapan mereka bahkan para perempuan diperkosa secara bergiliran lalu
dibunuh dengan tidak wajar, memasukan muncung senjata ke alat kelamin setelah mereka
diperkosa. Orang-orang berlarian mencari persembunyian dalam hutan, hingga tempat
pembuangan tinja dan goa.
Salah satu bangunan rumah sakit dihatam dengan dhasyatnya oleh rudal dan
menghancurkan sebagian gedung. Puing-puing bangunan berserakan, korban-korban
berjatuhan, para perawat dan dokter kalang kabut, mereka berlarian menyelamatkan para
korban yang semakin terus bertambah. Di ujung ruangan rumah sakit dua orang perempuan
berada di dalam ruangan bersalin, mereka sedang mempertaruhkan hidupnya ditengah-
tengah peperangan, tembakan peluru dan suara ledakan bom menjadi bunyi bising yang
mengganggu proses persalinan.
Ada pula seorang laki-laki yang sedang berjaga di depan rumah sakit menghadang
para tentara bayaran bermodalkan senjata bekas puing-puing bangunan. Tidak lama
kemudian rudal ke dua mengenai bagian belakang gedung, geterannya membuat dua
perempuan itu ketakutan. Laki-laki itu berlari menuju ruangan bersalin ia mendengar suara
tangisan kecil dari dalam ruangan. Laki-laki itu mendorong pintu dan melihat bayi
perempuan lucu dengan tali pusar yang masih meyangkut ditubuh Ibunya. Dokter dengan
cekatan memutus tali pusar dan langsung mengevakuasi kedua perempuan itu, tiba-tiba
rudal berikutnya menghantam ruangan bersalin, Laki-laki menghadang reruntuhan
bangunan dengan tubuhnya, saat ia tersadar bayi di sebelah kiri merkea sekaligus Ibunya
telah menghembuskan napas terakhir dan dokter masih tersandar diujung ruangan.
Beruntung istri dan anaknya masih selamat, Istrinya mengalami pendarahan hebat.
“Bawa anak ini jauh dari kota, Pak”
“Aku tidak bisa meninggalkanmu, Bu”
“Bapak harus menyelamatkannya”, Air mata laki-laki itu berlinang. Saat
meninggalkan ruangan dan berlari dari kejauhan ia mendengar sang istri memanggilnya.
“Bapak”
“Nama anak perempuan kita Elisa Naomi Cutler”, teriaknya sambil tersenyum, pahit.
Bapak membalikan badannya dan berlari sekencang mungkin menuju pintu darurat rumah
sakit, setiba di pintu darurat Bapak melihat segerombol tentara bayaran sedang berjaga-
jaga, Bapak kembali berlari sekencang mungkin ke sebuah ruangan, ia membuka jendela
melihat ke bawah ruangan setinggi satu tingkat, ia mencari kain mengikat Naomi dibagian
depan tubuhnya membuka jendela dan mulai merayap melalui pinggir dinding yang rapuh.
Tentara bayaran yang bergerombol itu sedang sibuk menembaki orang-orang yang berlarian
seperti segerombolan kucing yang dikejar ribuan anjing. Bapak terus merayap pelan-pelan,
sesekali menghembuskan napasnya. Ketika Bapak melihat ke bawah dan Bapak meyakini
telah aman jauh dari tentara bayaran Bapak turun dan berlari ke dalam hutan.
Di pohon besar Bapak menghembuskan napasnya ke langit sembari melihat wajah
kecil Naomi, Bapak tersenyum tetapi hatinya hancur lebur disaat Bapak harus meninggalkan
istri yang Bapak cintai. Ketika akan tertidur Bapak mendengar suara tawa dari balik hutan
sebelah, Bapak berjalan pelan-pelan memastikan keadaan aman dan ternyata satu kompi
besar tentara bayaran sedang berisitrahat di sana. Saat Bapak akan mundur beberapa
langkah Bapak menginjak ranting pohon bunyiannya terdengar, seorang tentara bayaran
langsung menatap ke arah hutan tempat persembunyian Bapak dan Naomi. Tentara bayaran
itu semakin dekat dengan mereka, tatapan bengis dan tajam terlihat dari wajah mereka
para tentara bayaran yang haus darah.
Tentara itu mengunuskan senjatanya dan memukul-mukul rawa di depan mereka,
Bapak hanya bisa berharap bahwa tentara itu tidak akan sadar dengan keberadaan mereka.
Bapak menatap mata Naomi “Jika Naomi menangis sudah pasti ketahuan”,batin Bapak.
Tetapi Naomi tidak menangis sama sekali. Tentara bayaran itu membalikan badan dan
kembali ke gerombolannya, Bapak dapat bernapas lega sesaat. Bulan bertengger di langit,
Bapak tersentak saat mendengar suara tangisan Naomi untuk pertama kalinya, untungnya
para tentara bayaran sudah pergi meninggalkan tempat peristirahatan mereka. Bapak
mengelus-ngelus kepala Naomi, setelah Naomi kembali tertidur Bapak bangkit dari
duduknya berlari menuju ke dalam hutan.
Dari kejauhan Bapak melihat kerlip lampu dari balik rawa, Bapak berjalan seperti
tikus yang menghendap-hendap. Ketika Bapak akan sampai dikerlip lampu tiba-tiba suara
ledakan besar menghantam dan meratakan tempat persembunyian para pengungsi, suara
tembakan membredel habis tubuh mereka ladang hijau berubah menjadi lautan darah.
Bapak menghentikan langkah dan mundur ke belakang, tiba-tiba pundaknya ditahan
seseorang. “Ssttt”, tubuh Bapak bergidik. Belum sempat membalikan badan Bapak ditarik
memasuki goa yang tak jauh dari tempat pembantaian para pengungsi.
Tatapan kosong menghantui para pengungsi yang tidak siap menghadapi maut.
Mereka ketakutan seakan-akan esok tidak dapat lagi melihat matahari terbit, beberapa dari
mereka menutupi goa mendorong batu besar agar tertutup cela pintu masuk dan beberapa
lagi mengumpulkan lumut guna menipu para tentara bayaran. Para pengungsi tertidur
dengan setengah nyawa, tiba-tiba seseorang membangunkan Bapak dan memberikan
sebotol air.
“Ini ada air untuk Bapak”
“Terima kasih”
“Wajah anak Bapak terlihat pucat, apa dia baru saja lahir?”
“Iya, anak saya baru saja lahir. Rumah sakit diserang oleh para tentara bayaran. Saya
lari menghindari mereka dan meninggalkan istri saya di sana, sesuai permintaannya”,
Perempuan itu termenung mendengar perkataan Bapak.
“Bapak harus mencari tempat istirahat, jika ia ingin selamat”, Bapak hanya bisa
menganggukan kepala. Tatapannya kosong penuh kebingungan.
Perempuan itu pergi dan membagikan minuman kepada para pengungis lainnya,
tiba-tiba terdengar suara kokangan senjata. Semua para pengungsi menunduk, seorang
tentara bayaran menembak ke sembarang tempat menghabiskan peluru yang masih tersisa
ke arah goa. Bapak bersembunyi di balik cela goa sebelah dan yang lain bersemubunyi di
balik bebatuan, saat Bapak akan menunduk tiba-tiba peluru nyasar menyambar pelipis mata
dan mengenai kepala pengungsi yang tepat di belakangnya. Peluru itu menembus kepala
hingga kebagian tengkorak belakang. Seorang ibu-ibu teriak membuat para tentara bayaran
mengetahui tempat persembunyian mereka, satu persatu tentara bayaran masuk dan mulai
memeriksa setiap sudut goa. Tempat persembunyiannya Bapak masih belum ketahuan
tetapi beberapa orang telah tertangkap dan digotong keluar. Hanya tersisa beberapa orang
yang bersembunyi di dalam goa yang masih selamat, saat tentara bayaran sudah berhenti
melihat ke dalam goa. Bapak mengambil ancang-ancang berlari keluar goa, dibawah hujan
deras berlari sambil menggendong Naomi, Bapak melepas pakiaannya menutupi tubuh
Naomi. Para tentara menyadari bahwa masih ada orang di dalam goa, mereka mengecek
kembali ke dalam dan sebagiannya berlari mengejar Bapak.
Tentara bayaran tekecoh tidak dapat menyusul Bapak, tentara yang putus asa
menembaki mereka ke setiap sudut berharap salah satu peluru dapat mengenai para
pengungsi yang selamat dari dalam goa. Bapak tidak menghentikan langkahnya, ia berpacu
dengan waktu dengan detak jantung yang tidak beraturan. Saat Bapak terduduk di bawah
pohon ia baru menyadari bahwa kaki kirinya tertembak, Bapak cepat merobek celananya
dan mengikat pahanya dengan seelai kain. Wajah Bapak perlahan memucat, keringat
bercucuran melalui kening membasahi kelopak mata. Napas Bapak masih terengah-engah,
tak berapa lama kemudian Bapak tidak sadarkan diri dengan Naomi yang tertidur di
pangkuannya.
Firasat Bapak memang tidak dapat diragukan ia terbangun dari tidur dan mulai
merayap pelan, ia mendengar jejak langkah yang tak jauh dari mereka. Suasana hutan tiba-
tiba merubah mencekam para tentara mulai membakar hutan dari setiap sudut, guna
mengepung orang-orang yang dapat melarikan diri dari penyergapan dalam goa. Bapak
menutup sebagian wajah Naomi agar tidak menghirup asap, ia sangat berhati-berhati
menggerakan tubuhnya.
“Aku melihat orang di sana”, Teriak salah satu tentara.
“Dimana!”, Segerombol tentara mulai mengejar dan menyisir setiap hutan. Wajah
Bapak semakin pucat ia mati langkah dan tidak dapat bergerak sementara, Bapak pun
menduga-duga, siapa yang dilihat para tentara mereka atau orang lain.
“Dar..”, Bunyi senapan pertama tidak mengenai korban. Orang-orang di dalam hutan
mulai berteriak, berlarian ke sana kemari. Bapak menunggu waktu yang tepat agar dapat
berlari sekencang mungkin. Tembakan kedua dan seterusnya tidak berhenti, saat itu Bapak
berlari lebih jauh ke dalam hutan. Kaki Bapak tidak sekuat sebelumnya ia berlari pincang,
darah mengalir dari paha kirinya.
“Braaak.”, Bapak dan Naomi terjatuh di dalam lobang sedalam 7 meter. Lobang yang
dibuat warga guna menjerat hewan liar. Bapak meringkuk kesakitan tangan kanannya patah,
Bapak menginggit tangan kirinya guna menahan rasa sakit agar tidak berteriak sehingga
membuat para tentara bayaran mendengar mereka. Bapak menyandarkan tubuhnya dan
menangis tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Naomi yang masih tertidur di dekapannya
menggerak-gerakan tubuhnya. Bapak meletakan Naomi di atas tanah yang terlapisi bajunya
lalu mengangkat kepalanya melihat ke langit terang yang terpancarkan cahaya hutan
terbakar. Tentara bayaran tak henti-hentinya mengejar korban dan membakar hutan secara
sporadis, mereka menembaki peluru ke segala penjuru. Memperkosa para korban
perempuan muda, membunuh anak-anak dan menyiksa orang tua hingga kehilangan nyawa.
Bapak selalu terbangun lima belas menit sekali, hatinya tidak tenang, keringat yang
bercucuran dari tubuhnya membasahi seluruh tubuhnya. Ranting pohon yang terbakar
mulai berjatuhan beberapanya jatuh ke dalam lobang, Bapak dengan cekatan memadamkan
bara api rantin dengan tangannya, Naomi masih tertidur nyenyak bersama senyum
diwajahnya.
“Krak..”, Jantung Bapak berdetak. Ia menatap ke atas lobang.
“Braaak”, Pohon besar jatuh menutupi lobang, bara api yang masih menyala di
batang pohon berjatuhan ke dalam lobang. Bapak memeluk Naomi dan menutupinya
dengan punggung. Bara api berjatuhan mengenai punggung Bapak, ia menatap wajah
Naomi yang tersenyum memberikannya kekuatan lalu Bapak meneteskan air matanya
membasahi wajah Naomi.
Aroma kulit terbakar bercampur wewangian amis darah mulai terasa baunya, Bapak
masih setia memeluk Naomi, agar bara api tidak mengenai tubuhnya.
“Tuhan, selamatkan kami”, Bapak berdoa sembari menahan rasa sakit dan sesak
dalam dadanya. Langit menjadi lebih gelap dari sebelumnya kilatan petir menandakan hujan
yang tidak kunjung turun, Bapak pingsan dan tidak sadarkan diri. Kaki tertembak, tangan
patah dan punggung yang terbakar api menjadi paduan rasa sakit yang komplit.
Rintik hujan mulai membanjiri lubang Naomi yang masih tertidur pula situ menangis,
Bapak terbangun dari tidurnya dan langsung menggendong Naomi dengan tangan kirinya.
Tangan kanan yang sakit karena patah Bapak paksa digerakan. Tinggi air sudah sampai
sedada Bapak, tidak lama lagi air akan menutup mereka berdua di dalam lobang. Bapak
mengangkat Naomi dan meluruskan kedua tangannya menjulang ke atas, Tangisan Naomi
tak kunjung henti, Bapak cukup panik ketika Naomi menangis. Pikirnya “Apakah tentara
bayaran akan mendengar suara tangisan Naomi”, Bapak menggerakan kedua kakinya
berenang menuju permukaan lobang. Naomi di tidurkannya di samping permukaan lobang
dan Bapak berusaha bangkit keluar dari lobang. Bapak dan Naomi menghadap ke langit,
tangisan Naomi berhenti ketika ia tak lagi tergenang air di dalam lobang. Bapak mengambil
napas, memaksakan tubuhnya untuk bergerak dan belari sejauh mungkin ke dalam hutan.

MATAHARI TERBIT

Matahari terbit dan menyinari seluruh hutan, Bapak tidak menghentikan larinya
sama sekali, hingga Bapak merasa aman ia terduduk di bawah pohon di tengah-tengah
hutan luas. Sudah dua mereka berdua bertahan di dalam hutan dan tidak menemukan
pengungsian sama sekali, Bapak merasa bahwa tubuhnya sudah tidak dapat di gerakan lagi,
pandangannya memudar dan ia pingsan karena luka yang ia terima.
“Bapak harus menyelamatkannya”, Bapak terbangun mendengar suara dalam
mimpinya, Naomi sudah terbangun dari tidurnya. Untuk beberapa saat bapak termenung
matanya memerah kesal dan saat ia menundukan kepala, ia melihat wajah Naomi yang
tersenyum memandangnya. Bapak seperti menemukan semangat baru untuk tetap
bertahan hidup saat melihat wajah Naomi.
Bapak bangun dari tidurnya dan berjalan beberapa kilo ke dalam hutan, berharap
menemukan pengungsian lainnya. Ternyata ia tidak menemukan sama sekali. Bapak hanya
melihat mayat-mayat yang terbunuh dan berserakkan di rawa-rawa dengan kaki pincangnya
Bapak berjalan dan mengirimkan doa bagi mereka-mereka yang telah mendahuluinya.
Sudah berpuluh kilo Bapak berjalan wajahnya pucat basi karena sudah dua hari tidak
mendapatkan makanan mengisi energi, wajah Naomi sudah tidak secerah hari kemarin.
Naomi terlihat sangat kelelahan dan ia mulai menangis sepanjang jalan.
“Dar”, peluru melintas ditelinga Bapak. Tidak butuh waktu lama, bapak tidak
membalikan badannya dan mulai berlari secara vertikal agar tentara bayaran susah
membidik mereka. Bapak menutup kepala Naomi ke dadanya, Naomi terus menangis dan
tidak berhenti. Bapak semakin dalam masuk ke dalam hutan, tentara masih belum terkecoh
dengannya. Bapak melihat rongga besar dari balik batang pohon, ia menyelinap ke dalam
batang pohon dan menutup mulut Naomi dengan kedua tangannya. Bapak terpaksa
melakukan itu jika tidak ia akan ketahuan para tentara bayaran, Naomi menjadi susah untuk
bernapas tetapi mau tidak mau Bapak harus menutup mulut Naomi.
Tentara mengitari batang pohon tempat persembunyian, Bapak hitung jumlah dari
tentara bayaran itu. Tiga orang dengan persenjataan yang lengkap, Bapak menunggu
momentum terbaik ia menghitung dalam hatinya. Ketika para tentara bayaran mereka saling
terpisah, Bapak meletakan Naomi yang sudah tidak memangis. Bapak menarik salah satu
tentara bayaran menggulung lehernya dengan akar pohon hingga tewas. Bapak mulai
menyisir ke selatan pohon dan memperhatikan gerak-gerik tentara bayaran menunggu
waktu yang tepat ketika tentara itu lengah. Bapak mengambil besi dalam sakunya, ia
menghitung dalam hati.
“Satu..dua..tiga..”, Besi kecil menancap di bawah dagu tentara dan menembus ke
bagian jidatnya dan tergeletak. Saat Bapak akan membalikan badan, tentara satunya
melihat dan mulai menembak dengan sembarangan. Bapak berlari mengelilingi setiap sudut
dari sekitaran batang pohon. Ia mengambil bomb asap dari tentara pertama yang ia bunuh,
Bapak melepar tepat dibawah kaki tentara itu ia tidak bisa melihat sama sekali, Bapak
menahan napasnya beberapa detik masuk ke dalam bomb asap dan menekan leher tentara
itu dengan pergelangan tangannya. Tentara itu kejang-kejang, Bapak sebenarnya tak kuasa
melakukan itu semua. Ia tidak pernah membayangkan akan membunuh tiga orang sekaligus,
baginya membunuh adalah hal yang paling tidak pernah terbayangkan dalam hidup. Bapak
kembali kebatang pohon menggendong Naomi dan berjalan lebih jauh lagi ke dalam hutan.

DISINI MASIH MENCERITAKAN BAPAK YANG BERJUANG MELAWAN TENTARA


SENDIRIAN HINGGA IA MENEMUKAN TEMPAT TINGGALNYA SEMENTARA.
HIDUP YANG DIPERTARUHKAN

Bunyi hujan membangunkan Bapak dari tidur. Ia terkejut, saat terbangun sudah
berada di dalam ruangan. Bapak melihat ke dadanya ia sudah tidak menggendong Naomi.
Bapak berdiri dan berpegangan pada dinding rumah, ia membuka pintu kamar dan melihat
seorang perempuan sedang menggendong Naomi. Tatapan Bapak masih kabur ia mendekati
perempuan itu, perempuan itu tidak bergerak sama sekali.
“Naomi”, Bapak menangis. Perempuan itu hanya tersenyum.
“Anak Bapak, baik-baik saja”, Bapak menggendong dan mencium kening Naomi,
perempuan itu membuka pintu agar udara segar masuk ke dalam ruangan mereka.
“Terima kasih, kau telah menyelamatkan kami”, perempuan itu hanya mengangguk. Bapak
terduduk di kursi dan menyanyikan lagu untuk pertama kalinya untuk Naomi.

“There's something happening here, but what it is ain't exactly clear, there's a man with a
gun over there, telling me I got to beware, i think it's time we stop. Children, what's that
sound?”, Naomi tersenyum ketika mendengar suara Bapaknya menyanyikan lagu.

Perempuan itu mengintip dari balik dapur. Tangannya bergetar, matanya berembun.
Perempuan itu mengusap air matanya sembari berjalan membawakan teh dan roti.
Perempuan itu meletakan teh di meja dan duduk berharapan dengan mereka.
“Siapa nama anak Bapak?”
“Elisa Naomi Cutler”
“Halo Naomi”, Perempuan itu menyentuh tangan kanan Naomi.
“Nama saya Eliz”
“Saya Sam”, Bapak menjabat tangan Eliz.
“Terima kasih karena telah menolong saya dan Naomi”
“Memang sudah seharusnya”
“Kota sedang tidak aman, sebaiknya kalian beristirahat di sini dulu untuk beberapa
waktu kedepan”, Eliz menyeruput minumnya.
“Terima kasih Eliz”
Eliz kembali ke dapur dan mempersiapkan makan siang, Bapak.

DI SINI PARA TENTARA MENYAMBANGI TEMPAT TINGGAL ELIZ SEBAGAI ANAK DARI
KOMANDAN TENTARA BAYARAN YANG TELAH GUGUR.

Anda mungkin juga menyukai