Anda di halaman 1dari 3

Aku Lupa Nama Mereka

Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara dengan ayah seorang penulis novel
komedi ternama. Kata-kata konyol yang lahir didalam bukunya tak lepas dari kehidupannya
yang aneh. Kekayaan harta telah ia makan sendiri, ia membangun sebuah rumah yang
ditidurinya sendirian hingga menjadi istana megah berlantai tujuh. Sedangkan aku dan kedua
saudaraku hanya ditinggalkan dengan rumah kecil berisi buku-buku berdebu. Sudah beberapa
tahun kami tidak melihat wajahnya yang menyebalkan, karena ia tidak ingin bertemu dengan
kami. Belakangan ini kudengar bahwa ayah sedang mengalami flu berat. Sebenarnya aku
sedikit kasihan dengannya, ia hanya dirawat oleh beberapa pelayan yang mungkin sebenarnya
tidak memedulikannya. Kupikir mungkin juga ia merasa kesepian, tapi apa artinya kesepian
jika harta dapat memenuhi kebutuhan. Aku juga memiliki seorang ibu, Ibu adalah seseorang
yang menyayangi anak-anaknya. Sayangnya ibu meninggal dunia beberapa tahun lalu karena
komplikasi penyakit. Disinilah momen tersedih didalam keluarga kami. Momen ini terus
membanjiri suasana tangis dirumah. Aku juga dapat melihat air mata ayah menetes ke lantai
untuk pertama kali, tapi hanya satu tetes karena tetesan berikutnya ia tadah di sebuah gelas
kemudian malamnya ia minum.

Suatu saat, ayah menghubungi kami bertiga. Ia meminta kami untuk datang
kerumahnya. Sangat mengejutkan jika seseorang yang telah meninggalkanmu tiba-tiba
mengundangmu kerumahnya. Esoknya aku tiba dirumah mewahnya. Disini aku bertemu
kedua saudaraku yang telah lama berpisah. Mereka adalah “O” kakakku yang seorang
psikolog gila karena kliniknya tidak laku dan “S” adikku yang seorang pengedar narkoba.
Kami hanya menatap satu sama lain, tidak ada gerakan atau suara lain. Kemudian kami
diarahkan menuju sebuah ruang tamu untuk menunggu ayah yang sedang berada di kamar
mandi.

Seseorang mulai bergumam, beberapa terlihat lesu. Sudah satu jam kami masih
menunggu, tapi tak ada yang pergi berlalu. Semua masih terpaku membentuk sebuah
lingkaran di meja tamu. Situasi canggung, sunyi. Terkadang mata saling melihat dan sepatah
kata mulai terlempar untuk memecah suasana.” Sudah satu jam ayah tidak datang juga, apa
dia mau mengejek kita?” kata S dengan kesal. “Dia juga tahu kau akan tetap menunggu,
hahaha dasar” sahut O. Tiba-tiba datang seorang pelayan menghela nafasnya dan berkata
bahwa ayah terjatuh di kamar mandi. Setelah dibawa ke rumah sakit, ayah dinyatakan
meninggal dunia. Kematian ayah mengundang perhatian publik. Kami memberitakan bahwa
ayah terjatuh karena serangan jantung mendadak, padahal kami bertiga sebenarnya sama -
sama tahu bahwa ayah terpeleset muntahan ingusnya sendiri. Bahkan saat menggendongnya
dari kamar mandi S adikku terpeleset dan kami sama sama jatuh sehingga ayah terbentur ke
lantai untuk kedua kalinya.

Beberapa hari setelah kematian ayah kami diberikan sebuah peti peninggalan ayah. Peti
itu dikatakan sakral, bersinar, bersih dan mengkilap warnanya. Salah satu dari pelayan ayah
yang memberikannya kepada kami. Ia menjelaskan bahwa peti ini adalah sebuah gerbang
pintu untuk menuju dunia lain. Tidak dijelaskan bagaimana dunia lain yang ia maksudkan.
Akhirnya kami memutuskan untuk berunding satu sama lain. S dan O rupanya tertarik untuk
menggunakan peti itu, namun tidak dengan diriku. Pelayan tadi kembali menambahkan
bahwa jika telah memasuki dunia lain maka tidak ada jalan untuk kembali.

Kami terkejut, dan mulai memukirkannya lagi. O memutuskan untuk menggunakan


peti itu. O adalah orang yang bisa dibilang mulai kehilangan akalnya sendiri, ia jatuh miskin
setelah menginvestasikan seluruh uangnya pada sebuah klinik yang ternyata tidak laku dan
hutangnya tersebar dimana-mana. S juga memutuskan untuk setuju. Tidak seperti O, S bukan
orang yang membutuhkan banyak uang. Tetapi S adalah seorang buronan negara, selama ini
ia harus hidup menderita dalam persembunyian. Lalu bagaimana dengan diriku? Aku dengan
yakin menolak untuk pergi ke dunia lain. Hidupku memang telah hancur, tidak punya uang
maupun pekerjaan apalagi teman dan pasangan. Tapi aku selalu bertahan hidup.

Akhirnya O dan S masuk kedalam peti itu tapi tidak denganku. Pelayan tadi
mengucapkan selamat kepadaku karena menjadi orang yang terpilih. Aku telah mengetahui
maksudnya. Aku terpilih untuk mewarisi seluruh kekayaan ayah karena menjadi satu-satunya
yang tetap hidup dan tidak menyerah pergi ke dunia lain. Sebenarnya aku pernah diceritakan
oleh ayah, ia dulu merupakan orang yang menolak peti itu. Namun tidak kuceritakan kepada
saudara-saudaraku supaya mereka dapat memilih sesuai dengan takdir dan keinginan mereka.
Aku tidak merasa senang ataupun sedih. Tidak merasa bersalah ataupun tidak bersalah.
Apakah aku salah? Aku selalu hidup seperti ini. Hidup untuk bertahan atau hidup untuk
selalu menang. Disinilah aku merasa hidupku telah selesai. Akhirnya aku memutuskan untuk
mengakhiri hidupku sendiri, dengan cara yang tidak menyakitkan tentunya. Namun gagal,
dan aku tidak jadi melakukannya. Akhirnya aku menerima pemberian tuhan ini. Aku hidup
dengan sangat nyaman dan bahagia. Hidup dengan aman serta berkeluarga.

Kutuliskan cerita ini agar kalian mengetahui cerita hidupku yang cukup berbeda, unik
dan tidak dapat dipercaya. Sekarang sudah 20 tahun lamanya aku jadi lupa nama saudaraku,
maaf jika hanya kusebut O dan S. Akupun tidak yakin ada huruf O dan S di nama mereka.
Terima kasih. Salam hangat.

Anda mungkin juga menyukai