CERPEN ................................................................................................... 5
Muharram ........................................................................................... 6
Seekor Babi yang Berenang di Tepi Laut ...................................... 16
Moko: Bukan Jenis Serangga yang Merepotkan .......................... 23
Cara Mati Paling Aduhai di Dunia ................................................ 33
Pil Mimpi........................................................................................... 42
Anjing-Anjing di Depan Pagar ...................................................... 53
Pintu Pelahap Ingatan ..................................................................... 64
Maling ................................................................................................ 71
PUISI ...................................................................................................... 79
Cahaya Zohal .................................................................................... 80
Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi ...................... 82
Berjantung Pisang ............................................................................ 84
Percakapan di Geladak.................................................................... 87
Terra Rossa ........................................................................................ 88
Pulanglah; Dandy Hidayatullah ................................................... 89
Lelaki Berwajah Tembaga ............................................................... 91
Akad................................................................................................... 92
D
ulu, ia pernah mencintai seorang lelaki di desanya dan
sempat mengatakan cinta. Sehingga dirinya sempat
merasa sempurna sebagai perempuan. Perlahan-lahan,
keinginan itu digantikan oleh puji-pujian berbahasa Bugis. Sebuah
keinginan yang bisa mendekatkannya pada Dewata. Kini, ia
memang benar-benar seorang pendeta Bugis Kuno. Dirinya telah
bertekad untuk terus berada di atas perahu yang dipilihnya.
Karena, ialah sang Bissu muda.
***
***
***
***
“Silariang!”
“Silariang!”
***
“Kau gila!”
***
“Celaka! Calabai!”
“Buaya!”
***
“Sabar, nak.”
***
O
mbak berdebur, menonjok-nonjok batu karang dan
menghempaskan anak-anak ikan bernasib malang ke
dinding karang. Sepanjang siang hingga matahari sudah
condong ingin segera menyelam di batas pandangan, Sulandi
hanya dapat ikan-ikan kecil berwajah kasihan tadi. Sesungguhnya,
istrinya takkan marah walaupun ia pulang dengan ember kosong
sekalipun. Setiap malam Jumat, mereka dapat uang lumayan hasil
ngepet. Kadang bahkan tak perlu setiap minggu; jika mereka malas
atau cuaca sedang hujan atau isu-isu soal kehilangan uang mulai
merebak, mereka cuti dahulu.
“Ya terserah!”
***
“Bodoh kau. Apa kau pikir dengan jadi gila, kau putus
kontrak sama Tuhan?”
Ternyata benar kata Wak Kinan. Berarti bisa jadi babi itu ....
Pikiran Sulandi mengawang-awang. Setelah benang pancing
berhasil tergulung sempurna, ia berbalik badan. Wajah pemuda
rambut panjang tepat di wajahnya, mata mereka sama tinggi.
Hidung mereka beradu. Sulandi keder.
D
isebabkan apa pun, kesedihan akan, dan selalu menjadikanmu
tampak seperti serangga dalam jeratan lidah kadal. Ia akan
membantumu membusuk, atau memuntahkanmu kalau kau
dirasanya terlampau merepotkan.
"Masalah duit?"
***
***
***
Aku hafal betul ayam itu. Ayam dengan bekas luka di sisi
kiri kepalanya. Ayam yang pernah disepak Moko beberapa bulan
sebelumnya.
***
Pertanyaannya membingungkan.
***
S
epanjang Kalan Juwono bertarung, baru kali ini ia benar-
benar kewalahan. Tak biasanya, semua jurus yang ia
kerahkan dengan mudah terbaca mata lawan. Setiap
tendangan yang ia layangkan, ditangkis tepat sebelum kakinya
mendarat mengenai tubuh musuh. Tiap kali ia mencoba
mengambil senjata pamungkasnya, ia selalu terhadang. Apalagi
lelaki di depannya hanyalah anak muda ingusan. Dengan
tampang semuda ini, bagaimana bisa ia menguasai aji dan jurus
bertahan yang semestinya dipelajari puluhan tahun lamanya? Hal
ini masih menjadi misteri baginya.
***
Yogyakarta, 2018
A
dalah perjalanan tidur seorang manusia fana. Begitulah
disebutnya mimpi yang absurd saat kepalanya pulih
untuk berlogika. Semua itu membuatnya sumringah
sekaligus terengah-engah. Pagi itu ia terbangun di sofa kerja.
Memikirkan beberapa masalah, diam tanpa kopi dan roti. Tanpa
seseorang yang nyata, hanya lukisan kakek tua tergeletak belum
dipaku. Ya, hari ini aku harus datangi psikiater! Ucapnya sambil
menjabat batang sikat gigi juga handuk beludrunya.
***
“Kita telah sampai pada tujuan, RS. Ing dengan ID 9i5e7 kami
rekomendasikan Anda untuk menemui Dr. Tsurso Sp.KJ. ID 2k1j3l9i1j6f
yang berada di lantai sebelas ruang konsultasi kejiwaan.”
“Ibu tidak memiliki kelainan apa pun, hal itu dapat terjadi
barangkali bagi mereka penyuka tidur.” Mungkinkah penjelasan
menggelikan itu muncul dari mulut psikiater? Asumsi itu
sesungguhnya kalah jauh dibanding para robot di lantai bawah,
dengan segala kecanggihan yang ada. Semua orang suka tidur,
mustahil manusia tidak tidur. Renung Rukini sembari membenahi
kardigannya setelah di luar gedung itu.
“Mohon maaf, kami tidak mengenali Anda. Fitur kami belum di-
upgrade untuk dapat merekognisi klien dari suara dan wajah.”
”Hei! Di sini hanya ada kau seorang! Ah, bukan orang, tapi
kau sebesi. Tak perlu menyebut kami, tapi saya saja!” Mengapa pula
ia harus berdebat, ia merasa gila sendiri berbicara dengan besi-besi
basi itu. Setelah memberikan tanda pengenal, Rukini menuju lab.
Duduk sejenak di lobi. Minum obat dari psikiater arkais itu.
Mengamati sejenak pil berwarna biru dan hitam. Pikiran liarnya
mencuat, menandakan ada sesuatu yang harus didobrak pada pil
di tangannya. Lalu pusing sesaat dan terhempas lagi khayalannya
tentang tidur-tidur anehnya. Pil ini akan membatu! simpulnya.
***
1
Penyakit Alzheimer adalah kondisi kelainan yang ditandai dengan penurunan daya ingat,
penurunan kemampuan berpikir dan berbicara, serta perubahan perilaku pada penderita
akibat gangguan di dalam otak yang sifatnya progresif atau perlahan-lahan.
2 Anda sadar menyadari bahwa Anda sedang bermimpi. Kesadaran bahwa Anda sedang
bermimpi untuk mengontrol pengalaman Anda, teknik latihan visualisasi, atau pemenuhan
pengalaman keinginan.
3 Kondisi di mana Anda berada dalam keadaan setengah tertidur dan setengah terbangun.
4
Periode transisi di mana Anda akan merasa seolah-olah sedang memasuki sebuah tempat
hitam kelam.
***
5 Sleepwalking atau tidur berjalan adalah gangguan yang menyebabkan seseorang untuk
berdiri dan berjalan saat tidur. Sleepwalking biasanya terjadi saat seseorang berada di
tahap tidur dalam, ke tahap yang lebih ringan atau tahap sadar. Orang yang mengalami
sleepwalking tidak dapat merespon saat kejadian, dan biasanya tidak mengingatnya.
Kadang, ia dapat berbicara yang tidak masuk akal.
B
erita yang beredar: diketemukan bangkai seekor anjing.
Kepalanya dipenggal dan ditancapkan di ujung pagar
rumah pemiliknya. Badannya tercecer di jalanan. Darah
dari bangkai kepala itu masih menetes saat diketemukan. Pemilik
anjing tampak tercenung di pelataran. Warga yang heboh tampak
bergerombol di depan pagar. Anjing dari ras Doberman itu sangat
terkenal karena ia adalah satu-satunya anjing di kampung itu.
***
***
***
***
***
P
ercaya atau tidak, di kota ini sebuah pintu yang melongo,
lengkap dengan kosen dan lantai yang menyangganya,
adalah landmark yang kami banggakan. Saudara dapat
melihat pintu yang dimaksud di bundaran alun-alun yang tak jauh
dari pantai. Pintu tersebut dibuat dari kayu meranti yang merah
tua warnanya, setiap dua bulan sekali mereka memernisnya
dengan minyak diesel agar pintu itu lebih tahan dari serangan
cuaca. Kata orang dulu, pintu itu merupakan satu-satunya yang
tersisa ketika tsunami menyapu seluruh bangunan di kawasan ini.
Sekali lagi, kata orang dulu jika saudara tak tahan dengan cobaan
hidup—misalnya beberapa pekan setelah bencana waktu itu—
cukup buka dan masuki pintu itu, dan niscaya dunia hari kemarin
terhapus seperti mimpi usai bangun tidur.
“Bukannya ada sisi baik dari semua itu, pak? Pintu ke mana
saja ala komik Doraemon membawa orang bertamu ke berbagai
belahan dunia. Tapi, pintu ini tak kalah hebatnya, dia beraura
kematian, namun menawarkan harapan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup. Dari sudut pandang saya, dua-duanya
adalah pintu pembebasan, memang terkesan seperti perlarian, tapi
saya kira lebih tepat kalau dikatakan sebagai mendekati sisi lain
dari kenyataan.”
Kami tak tahu sihir apa atau kutukan siapa yang membuat
pintu itu jadi pelahap ingatan di kemudian hari. Barangkali oleh
kesedihan kami yang mengucur bersama air mata dan menetesi
kayu yang akan dibuat jadi peti mati dan pintu. Andai kami dapat
menduga untuk apa pintu itu kemudian, sungguh lapang tembak,
tenggelam, ataupun penyakit adalah ampunan terbaik dari sang
maut. Sebelum menjadi pelahap ingatan, pintu itu melahap
karakter, moral, harapan, juga kewarasan.
T
olong ... Tolong ... Maling ... Maling ...!!!
Tong tong tong tong tong ... tong tong tong tong tong ... tong
tong tong tong tong ... suara kentongan saut-menyaut,
berbunyi membelah malam yang sunyi, warga kian
banyak yang berlari menuju asal bunyi.
“Bagaimana kejadiannya?”
***
“Iya ... benar ... benar ... kita bertindak sendiri saja,” sahut
beberapa lelaki yang lainnya.
***
“Sudah.”
“Sudah.”
Tolong ... tolong ... maling ... maling ... sapi hilang ... tolong ...!!!
“Bagaimana kejadiannya?”
“Delapan warga.”
“Sudah ... sudah ... sudah ... bagaimana kalau nanti kita
lapor ke pemerintahan. Ini sudah di luar kemampuan kita,” seru
seorang warga mencoba mencairkan suasana.
“Ya, benar ... benar ... benar ... setuju ... setuju ....”
***
***
: buat Ra
/1/
inilah sajak yang tak pernah selesai
menghitung tiap cemasmu—kau membacanya
dan berharap akan menemukan sajak lain
yang tak melarikkan banyak pertanyaan
semisal: "di mana kau menulis sajak ini?"
/2/
kau boleh membayangkan setangkup kanopi
di beranda kafe—berteduh dari deras kata
kau dan aku mengobrol mesra, hanya kita
tak yakin apakah daftar menu selembar ini
menyediakan seporsi jawab tanyamu
/4/
inilah sajak yang kehilangan tanda titik
di ujung bait-baitnya—masih kaucari
ke mana kiranya ia menggelinding. Tapi
hanya aku kau temukan di kursi itu
menunggumu, masih sendirian
2018
oh Ken Endok
apakah kau ingin menangis?
aku saja ingin menggunting
tali pusar anakmu
yang tak lepas itu
ia Ken Angrok
Ken Angrok cucu Adam
kau peram dengan
gelinang sabar
tapi kau tinggalkan
bersama semak
dan belukar
Ken Endok
sebenarnya kaulah
anak panah itu
melesat dan menikam
dadamu sendiri
Ken Endok
oh dagingmu
tumbuh kembali
darahnya memaksamu
memejam
darah dagingmu
segera besar
Ken Angrok
melolosi umur
dan usia
menyimpan
lingkar lubang
di bawah pusarmu
Yogyakarta, 2018
seperti dermaga yang diam karena paham apa itu pulang dan
pergi,
cakrawala tegak, bercerita banyak, soal garis, soal awal yang
dirintis;
tentang jarak dua suasana, tentang langit yang sabar menunggu-
mendengarkan
camar-camar yang belum selesai menuturkan penjelasan
Di musim semi
Debu menandai roset, dan ubin khusyuk meratapi dingin
Ketika dikau menutur mimpi: mendapati makam yang kosong
Metro, 2018
Pulanglah!
kota hanyalah ilusi
pengasingan paling sedih
tempat;
di mana kau kehilangan dirimu sendiri
I
Suatu hari anak-anak kita begitu mencintai hujan sedangkan
kita begitu was-was. Membayangkan bagaimana bila suatu hari
salah satu dari kita, kau atau aku, tak lagi diizinkan bangun untuk
mengusap dagu satu sama lain
Apakah anak-anak akan tetap bermain hujan dan kau (kalau
ternyata aku yang mati lebih dulu) tetap awas. Bukan malah pergi
bekerja lebih lama dari para buruh yang meminta nasibnya dilihat
penguasa. Karena apa pun yang dikerjakan negara adalah
memanjangkan garis di layar komputer makin melaju tajam ke
atas sementara kita lebih menyukai jalan setapak penuh rumpun
bambu di sisinya yang menyelam makin dalam
Apakah kita masih setia mengucapkan selamat pagi pada
burung kertas di tiang kelambu bukan malah menengok ke tempat
kau atau aku dulu biasa membaca puisi sambil mengharapkan ada
dengkur lagi meskipun bukan milik aku atau kau. Jika demikian
bagaimana kita mempertanggungjawabkan cerita pastor tua
tentang perkawinan sebagai matematika yang janggal: satu
ditambah satu sama dengan satu.
III
Jika aku mati kau hanya perlu menyediakan sepotong tanah
lapang di matamu dengan sesedikit mungkin lilin. Kau tak perlu
mengibarkan bendera setengah tiang apalagi memutar lagu-lagu
patah hati terus-menerus.
Meskipun siapa saja akan patah hati apalagi aku, sebab
ketika mencinta seseorang kau berhenti menjadi dirimu sendiri
dan mulai berpikir dengan kepala orang lain, menulis dengan
bahasa orang lain, berjalan dengan antusiasme yang bukan kau.
Sialnya maut justru mengembalikan hidup dan jiwamu yang dulu
sedangkan kau yang sekarang tak mahir lagi mengenakannya.
Setelah upacara pemakaman yang jauh dari meriah itu,
dengan jiwa gadis dua puluhan dalam tubuh perempuan 70 tahun
kau kembali ke balai-balai tempat dulu jarimu terluka saat
menjahit lengan aku ke jantung kau. Mencari-cari puisi yang
pernah aku kirimkan karena tak bisa lagi memujamu diam-diam.
Sementara dari jauh aku memahat nama kau di nisan aku
sambil mengatur sepasang mata kau yang tak pernah bisa lepas
dari wajah aku.
------------------------------------------------
----------------------------
------------