Anda di halaman 1dari 94

Antologi Pemenang Lomba

Menulis Puisi dan Cerpen Tulis.me

Aditya Idris | Sastrawady | Ahadul Fauzi Ahmady | Muhammad


Abdul Hadi | Muhamad Ghifari Muharam | M. Zain Al Din |
Mochamad Faris Dzulfiqar | Adi Putra Purnama

Bayu Hartendi | Gilang Perdana | Andre Wijaya | Raymondus Braja


Restu | Afriyan Arya Saputra | Muhlifa Sulihati | Dini Mizani |
Wilfridus Setu Embu
 
 
 
CV Jejak, 2018
Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi
Copyright © CV Jejak, 2018
Penulis:
Aditya Idris, dkk
Editor:
Akhmad Zulkarnain
ISBN : 978-602-474-045-0
ISBN Elektronik : 978-602-474-046-7
Penyunting dan Penata Letak:
Tim CV Jejak
Desain Sampul:
Andi Tri Saputra
Penerbit:
CV Jejak
Redaksi:
Jln. Bojong genteng Nomor 18, Kec. Bojong genteng
Kab. Sukabumi, Jawa Barat 43353
Web : www.jejakpublisher.com
E-mail : publisherjejak@gmail.com
Facebook : Jejak Publisher
Twitter : @JejakPublisher
WhatsApp : +6285771233027

Cetakan Pertama, Mei 2018


93 halaman; 14 x 20 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak maupun mengedarkan buku dalam
bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit
maupun penulis

2 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Daftar Isi
DAFTAR ISI ........................................................................................... 3

CERPEN ................................................................................................... 5
Muharram ........................................................................................... 6
Seekor Babi yang Berenang di Tepi Laut ...................................... 16
Moko: Bukan Jenis Serangga yang Merepotkan .......................... 23
Cara Mati Paling Aduhai di Dunia ................................................ 33
Pil Mimpi........................................................................................... 42
Anjing-Anjing di Depan Pagar ...................................................... 53
Pintu Pelahap Ingatan ..................................................................... 64
Maling ................................................................................................ 71

PUISI ...................................................................................................... 79
Cahaya Zohal .................................................................................... 80
Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi ...................... 82
Berjantung Pisang ............................................................................ 84
Percakapan di Geladak.................................................................... 87
Terra Rossa ........................................................................................ 88
Pulanglah; Dandy Hidayatullah ................................................... 89
Lelaki Berwajah Tembaga ............................................................... 91
Akad................................................................................................... 92

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 3


4 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi
CERPEN

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 5


Muharram
Karya Aditya Idris
Juara 1 Kategori Cerpen

D
ulu, ia pernah mencintai seorang lelaki di desanya dan
sempat mengatakan cinta. Sehingga dirinya sempat
merasa sempurna sebagai perempuan. Perlahan-lahan,
keinginan itu digantikan oleh puji-pujian berbahasa Bugis. Sebuah
keinginan yang bisa mendekatkannya pada Dewata. Kini, ia
memang benar-benar seorang pendeta Bugis Kuno. Dirinya telah
bertekad untuk terus berada di atas perahu yang dipilihnya.
Karena, ialah sang Bissu muda.

***

Muharram. Sebuah nama yang diberikan oleh kedua orang


tuaku. Namun sepertinya, nasib tak memihak kepadaku. Maut
merenggut hidup kedua orang tuaku saat aku masih tertidur di
dalam ayunan buatan ibuku. Mak Sade’, kini menjadi orang tua
dan tumpuan hidupku. Aku diasuh, dirawat, dan dibesarkan
olehnya. Mak Sade’ seorang bangsawan yang terpandang. Sebagai
seorang Puang Lolo yang menyertai Puang Matoa Rala. Mereka
adalah bissu titisan Datu Patoto yang disegani oleh segelintir orang
di Tanah Bugis.

6 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Aku kini menjelma menjadi lelaki cantik. Sebagai calabai,
hidupku penuh serpihan luka. Cacian dan makian sudah terbiasa
aku terima. Telah kebal telingaku mendengar ocehan orang-orang
sekitar. Hujatan menghujani setiap aku melangkahkan kaki di
bawah langit yang teduh.

Aku memang menawan. Tanpa mantra pemikat, pijar


cahaya bidadari telah memendar dari wajahku. Membuat lelaki
terbakar berahi dan para perempuan dihanguskan dengki.

“Nak, jadilah bissu.”

Kalimat singkat yang baru saja keluar dari mulut Puang


Matoa membuatku ternganga.

“Percayalah, nak. Niscaya kau akan dilindungi Batara Guru.


Dikasihi Dewata. Dan yang terpenting, dihormati orang-orang.”

Aku sadar. Mungkin inilah jalanku. Semuanya dimulai saat


malam itu aku pernah bermimpi. Roh leluhur mendatangiku
dengan pakaian serba cahaya. Berkilauan membuat mata silau.
Berbicara dengan bahasa yang tak kumengerti. Meludahi mulutku
sebelum pergi ditelan kelam. Ketika aku membuka mata, Puang
Matoa Rala telah berada di sampingku dengan senyum yang
penuh dengan kebahagiaan. Seakan telah tahu tentang mimpi
yang baru saja kualami. Namun, Puang Matoa Rala tak
mengeluarkan sepatah kata pun.

***

Proses irebba telah siap kujalankan. Para tetua telah


memandikanku. Kini tubuh telanjangku hanya dibungkus kain
kafan. Tak berbeda dengan sosok mayat yang telah siap diusung

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 7


ke rumah terakhirnya. Aku kini bersemayam di loteng bagian
depan bola arajang. Alunan seruling membelah dendang musik
suci nan sakral terus dimainkan sebagai pelengkap prosesi
perwujudanku.

Aku meresapi kenangan, memasuki lorong waktu. Atap


rumah yang terbuka membuat penglihatanku tembus ke langit
penuh bintang gemintang. Aku mati suri. Di bawah kerlap-kerlip
bintang malam aku teringat seseorang. Dia yang telah membawa
cahaya terang melebihi purnama, menerangi hidupku yang selalu
diselimuti gerhana kegelapan. Aku yang tak lagi butuh cahaya
bintang, bulan, bahkan matahari. Bagiku, orang itu adalah Nur
Ilahi yang sanggup menerangi semesta dirinya. Namun, nasib baik
tak berpihak kepadaku. Aku tak habis pikir, setelah menyerahkan
selembar hatiku, dia menguap hilang dalam kabut Silariang. Di
bawah temaram cahaya yang menyepuh malam, aku memainkan
memoriku.

“Ah ... di mana dia?”

***

Pemuda itu bernama Kahar. Bagiku, dirinya hanya indah


untuk dipandangi, namun tak mungkin untuk diraih. Aku
tersadar bahwa diriku tak lebih dari seorang calabai. Aku
meyakini, dia hanya dapat dikalahkan oleh malaikat. Aku yang
senantiasa dihujani cacian di mana pun berada. Sedangkan dia
dikepung pujian setinggi langit. Tak sedikit wanita berusaha
memikat hatinya. Di antara banyak gadis itu, Andi Fatimah yang
paling tergila-gila. Seisi kampung telah tahu, gadis cantik

8 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


keturunan bangsawan itu telah berulang kali pergi ke dukun
meminta mantra jimat pekasih untuk menjerat Kahar.

Namun, terkadang kehidupan sulit untuk diketahui


maunya. Tak ada satu jiwa pun yang mampu meramalkan putaran
roda takdir. Saat itu, malam merayap gulita. Nyanyian binatang
kelam berirama dengan gemericik air sungai yang dimainkan ikan
di sekelilingnya. Sungai yang dikerumuni bakau dan berlumpur
serta terkesan angker. Sangat jelas terdengar di telinga letupan
mata air yang bergelembung serta katak yang memimpin keriuhan
malam itu. Sesekali lolongan anjing menimpali, meraung-raung di
kejauhan. Barangkali ada babi hutan mengamuk di tengah rimba
mengorek-ngorek mencari makan.

Aku dilanda kesepian. Berdiam diri di pinggir sungai


menjadi pilihan untuk mengusir rasa sendiri ini. Di dalam gubuk
usang di bawah pohon Mangrove tua. Mencoba mengkhayalkan
kehidupan yang telah kualami. Tiba-tiba, bunyi kecipak air
mengusik telinga. Dadaku berdebar saat seseorang memanggil
namaku.

“Aram. Aku datang ....”

Meremang bulu romaku. Bukan karena takut. Bukan karena


leluhur mendatangiku. Namun, karena aku hafal suara yang
memanggilku.

“Buat apa kau ke sini?”

Rambut panjangku luruh menjuntai sampai ke bahu.


Menghiasi paras cantikku. Kecantikan melingkupi. Matanya
menjilati kepolosanku.

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 9


“Untuk membuktikan cintaku padamu!”

Aku tersentak. Kalimat yang baru saja dilontarkan Kahar


membuat hatiku diretakkan kebahagiaan. Lelaki kekar itu
mendekatiku, ingin menyentuh wajahku. Aku mencoba menepis
dengan gerakan lemah tak bertenaga. Ia berhasil merenggut
rambutku, membuat mataku mendongak.

“Pergilah Kahar. Banyak yang menantikanmu.”

“Kau salah. Tak ada yang mampu menarik hatiku.”

Aku tak menolak ketika dia mengikuti dorongan nalurinya


menyelusuri tubuhku yang meremang. Aku hanyut terbawa arus
perasaan yang lena. Kami berpandangan dalam diam waktu itu.
Kemudian saling menyentuh tanpa kata-kata. Bayang-bayang
siksaan mencambuk hatiku. Cemas tak berujung. Kahar
menatapku lekat.

“Oh, Dewata. Aku takut mendapatkan karma. Semoga para


malaikat menutup mata saat ini.” Aku berbisik sambil tersenyum
bahagia.

“Aku akan merantau. Ikutlah denganku. Besok malam,


tunggu aku di rumahmu.”

***

“Silariang!”

“Silariang!”

“Kahar membawa lari Andi Fatimah!”

10 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Teriakan-teriakan geram memecah kampung. Dalam
keremangan malam, terlihat ayah Andi Fatimah menghunus
badik. Berlari menuju gerbang kampung. Hatiku seketika pecah
bersama cermin yang kuremas. Sambil membalut luka di telapak
tanganku, aku berusaha untuk menutupi rasa sakit yang jauh lebih
sakit.

Aku menangis. Sejak sore aku menantikan kehadirannya.


Menunggu dia menepati janjinya untuk membawaku pergi dari
kehidupan di kampung ini. Sejak sore aku tak pernah berhenti
tersenyum memandangi wajah seorang perempuan berkerudung
putih dan teramat jelita di bayangan cermin yang kupegang.
Sungguh, tak pernah sekalipun aku meminta wajah cantik dan
jiwa perempuan ini kepada Tuhan. Keduanya membuatku
menjadi manusia yang tidak utuh. Hanya Kahar yang mampu
membuat diriku sempurna.

Namun, semuanya buyar seketika. Tepat tengah malam,


Kahar meninggalkanku dengan goresan luka. Aku sangat
mencintainya. Namun, kehidupan dunia tak mengizinkan. Aku
berharap, kelak di negeri kayangan, Batara Guru merestui
hubungan kami. Dan mulai saat ini aku berjanji akan membiarkan
hatiku kosong ditumbuhi ilalang sunyi. Bagiku, menjadi bissu
adalah jalan terbaik untuk menghapus siri’.

***

Kini, wuju—salah satu dalam prosesi irebba—telah nyaris


purna. Serupa rembulan yang perlahan-lahan menyabit purnama.
Apakah ini mimpi? Aku seakan melihat sosok seorang berjalan
dalam gelap mengikuti lentara yang ada di hatinya. Melangkah

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 11


hati-hati seperti berharap tak ada telinga yang terusik atau mata
yang terjaga. Dia mendatangiku yang sedang diterpa kemuliaan
cahaya bulan, untuk memenuhi hajat. Lalu aku mengendus bau
jarak empat ayunan kaki sampai aku tersadar kafanku koyak.
Nafsu binal menggerayangi tubuhku. Ia menggeledah hingga aku
berahi.

“Apa yang kau lakukan?”

“Aku ingin membalas dendam dengan merelakan


mahkotaku kau renggut. Akan kutanam benihmu di rahimku.”

“Kau gila!”

Ia tertawa geli. Senyum sinis berkembang di wajah


cantiknya.

“Aram. Kau tak sebanci yang kukira.”

Ia melesat pergi ibarat angin lalu mengabarkan berita.


Menciptakan prahara. Guncangan yang sangat hebat. Kuambil
satu keputusan. Angkat kaki dari kehidupan ini.

***

Telah habis kususuri hutan. Tibalah aku di padang ilalang


yang bergoyang disapu angin seperti tarekat. Di ujung sana
Sungai Segeri mengalir deras. Aku berjalan tergopoh menerobosi
ilalang laksana musafir yang kehausan. Langit tetap biru berawan.
Matahari mendaki puncak. Bukit-bukit membatu. Tuhan, inikah
takdirku? Tak ada gema suara Tuhan membalas. Kutanggalkan
pakaian lalu berendam. Riak air sungai menyergap kulitku.

“Celaka! Calabai!”

12 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


“Bunuh saja!”

“Jangan. Kita nikmati dulu.”

Entah dari mana datangnya. Tiga orang pemuda


menghampiriku. Bau tuak menguar dari mulut mereka. Aromanya
masam dan tajam. Aku memanggil Tuhan. Memanggil Puang
Matoa Rala. Ma’ Sade. Bissu-bissu lainnya. Namun, tak satu pun
yang datang. Mulutku komat-kamit mendaraskan doa-doa
penolak bala yang telah diajarkan. Aku menjerit.

“Tak ada yang menolongmu.”

Aku tersentak. Tubuhku kejang. Tangisku terhenti seketika.


Sebelum para bajingan menyadarinya, sesosok tubuh melayang-
layang serupa elang. Ia meradang dan menerjang mereka. Dalam
sekejap, para berandalan yang berusaha menggagahiku
tersungkur dan terluka. Mereka berlari. Menyisakan seorang putra
bangsawan yang telah lama menjadi purnama dalam hidupku.

“Terima kasih, Kahar.”

Dia memelukku. Seakan-akan membalaskan rindunya yang


telah dia pendam. Aku membalas. Berkali-kali aku menghujat
Tuhan atas takdirku. Namun, berkali-kali pula aku bersyukur.
Kami tertawa berbahagia. Lupa waktu. Lupa tempat. Kami tak
sadar. Bahaya mengintai. Ternyata bukan hanya kami berdua di
danau itu. Aku dengan jelas melihat sosok itu. Namun, kami
terlambat menyadarinya. Makhluk bersisik itu mendekat.

“Buaya!”

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 13


Kami tak dapat lagi menghindar. Aku terjepit dilema. Tetap
bersamanya atau berlari melanjutkan hidup. Tak ada pilihan.
Mulut hewan itu telah menganga. Gigi taringnya menerka dan
mencabik-cabik menjadi remah-remah daging. Air keruh telah
berubah warna merah. Tuhan, masih bisa kulihat nama-Mu
menjulang ke langit. Setitik cahaya di kalbuku bermukim di bukit
itu.

***

Hampir tiga minggu kemudian ....

Ditemukan sesosok mayat mengambang di tengah lautan.


Mengembung. Membusuk dan tinggal separuh. Semua warga tahu
siapa dia. Mereka tahu tentang perbuatan kotor apa yang telah
dilakukan jasad itu semasa hidupnya.

Sementara itu, di sebuah rumah panggung, seorang


perempuan duduk di muka jendela menggeraikan rambutnya.
Termangu. Mata nanar memandang di luar sana. Tak lama
berselang, senyum penuh luka tersungging di bibirnya. Ia
mengusap-usap perutnya yang telah berisi janin.

“Sabar, nak.”

Tepat di sampingnya, sosok bissu itu ikut tersenyum.


Memandangi sang gadis yang terus menyanyikan janin di
perutnya. Mencium perut perempuan itu. Dia tersenyum kembali.

“Andi Fatimah. Jagalah anak kita ....”

***

14 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Daftar Istilah

Bissu = Pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Kebanyakan waria atau


putri bangsawan
Puang Lolo = Wakil ketua bissu
Puang Matoa = Ketua bissu
Datu Patoto = Sang Penentu Takdir
Calabai = Asal kata Sala Baine (bukan perempuan/waria); Lelaki yang
memiliki sifat perempuan yang sangat kental
Batara Guru = Nenek moyang orang Bugis
Irebba = Prosesi yang dijalani calabai untuk menjadi bissu
Bola arajang = Rumah tempat tinggal bissu dan tempat penyimpangan
pusaka kerajaan
Silariang = Kawin lari
Siri’ = Harga diri dan kehormatan

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 15


Seekor Babi yang Berenang
di Tepi Laut
Karya Sastrawady
Juara 2 Kategori Cerpen

O
mbak berdebur, menonjok-nonjok batu karang dan
menghempaskan anak-anak ikan bernasib malang ke
dinding karang. Sepanjang siang hingga matahari sudah
condong ingin segera menyelam di batas pandangan, Sulandi
hanya dapat ikan-ikan kecil berwajah kasihan tadi. Sesungguhnya,
istrinya takkan marah walaupun ia pulang dengan ember kosong
sekalipun. Setiap malam Jumat, mereka dapat uang lumayan hasil
ngepet. Kadang bahkan tak perlu setiap minggu; jika mereka malas
atau cuaca sedang hujan atau isu-isu soal kehilangan uang mulai
merebak, mereka cuti dahulu.

Hidup penuh kewaspadaan tak hanya dimiliki koruptor


atau teroris. Malahan, pengguna ilmu ngepet lebih tragis nasibnya
kalau-kalau mereka ketahuan. Sulandi ingat betul berita seekor
babi terduga jadi-jadian yang dibantai dan disodok dari pantat.
Dalam hal ini, terkadang manusia lebih babi daripada babi itu
sendiri.

16 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Seekor ikan berkecipak, kabur lagi ke tengah laut setelah
ombak menggulungnya ke permukaan. “Sialan!” kutuk Sulandi
pada gebyur-gebyur air pasang. Ia bersiap menggulung benang
pancingnya ketika seorang pemuda dengan rambut sangat
panjang, duduk di pagar beton tempatnya memancing. Sulandi tak
ingin bertanya macam-macam, ia sudah capek dan matahari sudah
semakin menyusut di kejauhan. Belum lagi peluh menguyup di
sekujur tubuh membuat keberadaannya pasti terdeteksi oleh
makhluk apa pun yang memiliki indera penciuman; membuatnya
ingin segera mandi lalu mengaso sambil minum kopi dan nonton
acara lawak di TV.

“Menurut abang, kalau aku bunuh diri sekarang, bakal


masuk neraka, enggak?”

“Hah?” kaget Sulandi. Kampret, ia malah memulai percakapan,


pikirnya.

“Ya, tergantung,” jawab Sulandi asal-asalan.

“Tergantung apa, bang?”

“Tergantung kau jadi mati atau tidak.”

Pemuda itu mencibir. Tangannya menggelung rambut


panjangnya, namun dengan segera ia biarkan berkibar lagi.
“Abang lebih suka di surga atau neraka?” tanyanya lagi.
Pertanyaan itu tentu membuat Sulandi kikuk. Jika ia jawab lebih
menyukai surga, rasanya ada yang salah. Semusyrik apa pun
Sulandi dan istrinya, diam-diam mereka masih percaya bahwa
pengguna ilmu hitam pasti akan mulus lancar masuk neraka.
Hanya saja, mereka tak pernah membahas hal-hal demikian.

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 17


“Surga, lah!” jawab Sulandi.

“Bapakku sepertinya masuk neraka, bang, makanya aku


mau ikut.”

“Ya sudah ikut saja.”

“Abang enggak tanya kenapa bapakku masuk neraka?”

“Itu urusan Tuhan, kenapa aku harus tahu?” jawab Sulandi.


Diam sebentar ia mendengar jawabannya sendiri. Kapan pula ia
terakhir kali mengucapkan kata Tuhan?

“Bapakku ... dulu membunuh orang. Belum jelas apakah


setelah di-dor polisi, ia sudah tobat apa belum.”

Sulandi merapikan segala perlengkapannya. Tak lupa lima


ekor ikan seukuran ibu jari ia masukkan ke plastik bekas
minimarket. “Jangan kelamaan bang, sudah gelap,” wantinya
pada pemuda berambut panjang.

“Kelamaan untuk bunuh diri atau ...?”

“Ya terserah!”

Pemuda itu bangkit. Kini ia berdiri di pembatas beton dan


laut tersebut sembari mengembangkan tangan bak seseorang
sedang mendapat wahyu. Air laut berputar-putar, gelombang
meninggi di cakrawala. Sesaat, Sulandi yakin ia dan kota tepi
pantai ini akan segera diazab dengan tsunami dan pemuda ini
sesungguhnya adalah utusan Yang Maha Kuasa. Namun, ombak
kembali menyusut. Deburannya dengan ramah menyapa tanggul
dan ikan-ikan kecil berwajah kasihan kembali menampar dinding.

18 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


“Enggak jadi, bang.”

Sulandi geram. Namun, ia juga ogah berurusan lebih lanjut.


Sulandi meloncat ke sepedanya dan melesat menuju jalan yang
mulai berubah oranye ditimpa petang.

***

“Kemarin ...” Wak Kinan menggantung pertanyaannya


seraya menyulut kretek. Bau khas tembakau menyeruak seantero
warung kopi Indah Bersama. “Kulihat kau berdebat sama laki-laki
yang rambut panjang itu?”

Sulandi ikut-ikutan ngudud. Disembulkannya asap dari


mulutnya yang membentuk bulat seperti ikan. “Itulah Uwak kan,
sudah tahu saya diajak ngobrol orang gila bukannya ditolong.”
Asap kembali berebut tempat di udara.

“Hush! Dia enggak gila! Cuma agak stres sedikit.”

“Apa bedanya, wak?”

“Setidaknya laki-laki itu masih selalu datang ke musala


kalau magrib.”

Sulandi berteriak minta gorengan tempe mendoan pada


Ade, pelayan warung kopi Indah Bersama. Tak lama, mendoan
datang bersama berupa-rupa jenis gorengan lain yang tak diminta.
Sudah satu paket ternyata. “Ha! Gila tapi kok ikut salat!” sambar
Sulandi.

“Bodoh kau. Apa kau pikir dengan jadi gila, kau putus
kontrak sama Tuhan?”

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 19


Sulandi tak menjawab. Ia berusaha mencari topik untuk
membelokkan arah pembicaraan. Namun Wak Kinan justru
mengupas persoalan lebih dalam.

“Kau masih ingat cerita babi yang dibantai di kampung


sebelah? Yang disodok ....”

“Ingat ingat ingat! Terus kenapa?!” potong Sulandi.

“Kabarnya babi itu sebenarnya jelmaan bapaknya.”

Sulandi tersedak. Tetapi reaksinya ditanggapi biasa oleh


Wak Kinan. Bagaimanapun, akan mengejutkan memang
mengetahui lawan bicaramu kemarin sore adalah keluarga jadi-
jadian. “Tapi, kemarin orangnya sendiri yang bilang bapaknya di-
dor polisi karena bunuh orang?” buru Sulandi.

“Ada kan, orang yang menipu diri sendiri biar kenangan


suramnya jadi sedikit lebih baik?” Wak Kinan segera
menandaskan rokoknya dan pamit untuk nandur.

Sulandi tertinggal sendiri di Warung Kopi Indah Bersama.


Sebuah arem-arem ia ambil, namun ia kembalikan lagi karena
selera makannya hilang melihat tusuk gigi mencocok ujung
bungkusnya. Ia pun pamit setelah bersungut-sungut karena baru
sadar Wak Kinan pergi tanpa membayar.

Pertemuan pertama bisa saja kebetulan. Kalau bertemu dua


kali, agaknya ada maksud tersembunyi. Itulah yang dipikirkan
Sulandi ketika pemuda rambut panjang kembali menyapanya di
pinggir laut. Sulandi lagi-lagi hanya mendapat ikan kecil berwajah
kasihan. Melihat pemuda rambut panjang membuatnya semakin
uring-uringan.

20 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


“Sudah dapat, bang?” lagi-lagi pemuda rambut panjang
membuka suara.

“Dapat apa? Ikan?” Sulandi menunjuk ember dengan


hidung dan gerakan wajahnya. Sulandi bertekad untuk tidak
banyak bicara pada pemuda rambut panjang. Bisa kacau hidupnya
jika benar ayah si pemuda adalah babi ngepet dan pemuda ini
masih sedikit waras; bisa-bisa ia ketahuan.

“Bapakku sepertinya masuk neraka, bang, aku susul boleh


enggak ya?”

Sulandi diam saja. Mata pancingnya keluar dari permukaan,


lalu disambar angin kencang hingga menyulitkan Sulandi untuk
menggulungnya.

“Bapakku mati dibunuh orang gila, bang. Sebelumnya dia


duluan yang bunuh orang gilanya,” ujar pemuda lagi.

Ternyata benar kata Wak Kinan. Berarti bisa jadi babi itu ....
Pikiran Sulandi mengawang-awang. Setelah benang pancing
berhasil tergulung sempurna, ia berbalik badan. Wajah pemuda
rambut panjang tepat di wajahnya, mata mereka sama tinggi.
Hidung mereka beradu. Sulandi keder.

“Ma, mau apa kau, hah?!” Sulandi memberikan perlawanan


dengan mendorong bahu sang pemuda. Tetapi, pemuda tetap
hening dengan tatapannya. Sulandi hendak kabur, namun dicegah
oleh tangan kekar pemuda rambut panjang. Rambutnya terburai
oleh angin, membuatnya menggores-gores wajah Sulandi.

“Gila! Lepas! Lepaskan!” Sulandi berontak. Cengkeraman


pemuda semakin kuat. Mendengar ribut-ribut, warga mulai

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 21


mencari asal suara. Ketika belasan orang penasaran tiba di sana,
yang tampak adalah Sulandi sedang meninju pemuda rambut
panjang, yang terduga stres dan rajin salat itu, hingga membuat
sang pemuda jatuh ke laut. Tak butuh waktu lama bagi warga
untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Beberapa orang yang baru pulang melaut dengan tombak masih
menancap pada ikan tongkol, rela melepas tongkol tak berdaya
tersebut untuk segera diacung-acungkan ke udara, menambah
panas suasana.

Dalam hujan pukulan dan teriakan dan suara cebur orang


yang hendak menyelamatkan sang pemuda, terdengar seseorang
berteriak, “Babi! Babi!” sambil menunjuk ke tengah laut. Seekor
babi yang gemuk dan sehat berenang menjauh ke cakrawala.
Setelah beberapa kali liukan, kepalanya menukik ke dalam gelap
lautan. Sulandi sendiri meninggal setelah entah siapa mencocok
pantatnya dengan tombak ikan.

Cilacap, Januari 2018

22 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Moko: Bukan Jenis
Serangga yang Merepotkan
Karya Ahadul Fauzi Ahmady
Juara 3 Kategori Cerpen

D
isebabkan apa pun, kesedihan akan, dan selalu menjadikanmu
tampak seperti serangga dalam jeratan lidah kadal. Ia akan
membantumu membusuk, atau memuntahkanmu kalau kau
dirasanya terlampau merepotkan.

Tahu apa kau soal pekerjaan?! Begitulah pertanyaan yang,


kata temanku, Moko, karena diucapkan dengan penuh penekanan,
seolah berbaris empat belas tanda seru di belakangnya, maka
ketika menyentuh gendang telinga rasanya seperti makian. Ia
menerangkan kejadian yang barusan dialaminya itu kemarin sore
ketika aku sedang leyeh-leyeh di risban di pekarangan depan
rumahku sambil menunggu air seduhan kopi menyerah dengan
panasnya sendiri.

Moko berjalan pelan dari barat ke timur dengan seolah


menunjukkan kepada apa dan siapa pun yang memafhumi definisi
'raut muka murung'. Supaya lebih mudah, kau bayangkan saja
wajah berhala Latta, kemudian lemparkan bayangan tersebut pada

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 23


wajah orang yang menurutmu tengah murung. Tampak seperti
itulah Moko pada saat melintas di hadapanku. Meskipun,
barangkali, ia tak berniat benar menunjukkan apalagi
memamerkan muka sedihnya. Hanya saja, ia tak diberkati
kemampuan menyembunyikan hal demikian. Ia memang bukan
jenis orang yang lahir bersama gelontoran nasib baik.

Sementara Moko berjalan dan sedikit lagi sampai di depan


rumahku, dua ekor ayam betina hitam dan cokelat berjalan
berlawanan arah dengannya. Sebetulnya aku tak ingin
menceritakan binatang yang bentuk dan perangainya lucu itu
kepadamu, kalau saja ayam yang berjalan di depan, yang hitam,
tidak disepak Moko dan berkeok sekuatnya. Kemudian lari
sekuatnya sambil tetap berkeok. Aku terkejut. Berdeham. Lalu
kupanggil Moko untuk bergabung bersamaku. Ia menurut, dan
minta maaf atas apa yang barusan ia lakukan. Kubilang tak apa,
itu bukan ayamku. Lagi pula, menyepak sesuatu yang hidup di
saat muka tampak murung dan pikiran kacau dan perasaan sedih,
sepertinya menyenangkan.

"Kau kenapa?" tanyaku setelah setengah batang rokok


terbakar bersama keheningan.

"Aku berantem lagi, sama istriku."

"Masalah duit?"

Aku tidak tahu kenapa pertanyaan itu yang melintas di


kepala untuk kemudian berubah menjadi suara yang keluar dari
batang leherku. Sewaktu Moko pertama kali cerita pun, beberapa
bulan yang lalu, aku mengajukan pertanyaan demikian. Mungkin,

24 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


otakku telah menyetel pertanyaan tersebut sebagai satu-satunya
tanggapan untuk setiap keluhan orang yang telah menikah. Atau
pertanyaan tersebut cuma bentuk ketakutanku terhadap
pernikahan? Aku tidak tahu.

"Memangnya apa yang bisa dipermasalahkan kalau duit


sudah banyak?"

"Batang pelirmu lumpuh; kandang burung istrimu dimasuki


burung liar; istrimu menolak dimasuki burungmu dengan alasan
takut burungmu terjangkit virus flu burung; dan lain sebagainya."

"Asu, kowe!" makinya. Lalu tertawa.

Setelah itu, aku mengajak Moko masuk rumah karena azan


magrib sudah saling bersahutan di kejauhan, meskipun di dekat
tempatku tinggal teronggok sebuah langgar. Sebabnya, langgar
yang berjarak seratus langkah dari rumahku itu baru akan
mengumandangkan azan enam sampai sepuluh menit kemudian.
Begitulah: muazin di tempatku punya kehendaknya sendiri dan,
cuma tersisa dirinya di kampungku yang mau mengumandangkan
panggilan Tuhan. Satu-satunya orang yang pernah berbagi
pelantang suara dengannya sudah meninggal dua tahun lalu
karena terjatuh atau sengaja menjatuhkan diri sewaktu memetik
kelapa muda, aku tidak tahu persis yang mana penyebabnya.
Barulah sesudah azan berkumandang, Moko melanjutkan
kisahnya yang menyedihkan.

***

Pada sore dua hari berikutnya, terdengar keok ayam dari


arah depan rumahku. Moko mengucap salam. Karena wajib, aku

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 25


menjawab salamnya dan kubukakan pintu. Setelah kupersilakan
duduk, tanpa pembukaan apa pun, Moko mengeluhkan
keberangkatan istrinya merantau ke Batam yang mendadak.
Mukanya tampak lebih murung dari kedatangannya sebelumnya.
Seperti tahi kuda terpapar terik matahari pukul dua belas. Atau
seperti pantat kerbau selepas membajak sawah dan terpapar terik
matahari pukul dua belas. Kalau setiap tamu yang datang
kepadaku membawa perangai seperti Moko, aku mau pindah
agama saja, lah.

***

Pernikahannya baru berumur sebelas bulan yang pada saat


itu berlangsung di kediaman orang tua istrinya yang tak jauh dari
rumahku. Semenjak itu pula Moko kerap mengunjungiku
kemudian mengajakku bercakap-cakap mengenai keadaan
kampung dan perasaannya setelah menikah yang buntutnya
adalah lenguhan sedih akibat perlakuan buruk dari istrinya.

Enam bulan belakangan, kedatangannya untuk


mengeluhkan perlakuan si Istri terhadapnya semakin gencar saja.
Meskipun demikian, Moko sadar betul dengan keadaannya dulu
sewaktu meminang perempuan itu. Ia tidak memiliki apa-apa. Ia
tidak membawa apa-apa. Sampai sekarang, Moko menjadi bentuk
nyata istilah "datang dengan cuma membawa pelir" dalam arti
yang sebenar-benarnya. Karena itu ia tak memiliki niat untuk
melawan maupun meninggalkan istrinya. Dan, kukira, Moko tak
memiliki sikap yang bisa membikin istrinya kerepotan.

Setelah menyesap kopi kemasan yang kubikinkan, Moko


menambah daftar keluhannya dengan memaparkan bahwa ia,

26 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


sebetulnya, keberatan untuk tinggal bersama ibu mertuanya yang
tujuh bulan belakangan menjadi sakit-sakitan. Tetapi ia juga
bingung, untuk saat ini, keadaan tidak memungkinkannya pulang
ke Salatiga. Di tempat asalnya ia tidak memiliki tempat tinggal
maupun saudara yang dapat ia tumpangi tinggal. Saudara satu-
satunya, kakak perempuannya, sepuluh tahun lalu dibawa
suaminya bertransmigrasi ke Lampung. Kendati kakaknya masih
tinggal di Salatiga pun, ia akan segan—kalau dibilang enggan
terlalu berlebihan—pulang dan dekat-dekat dengannya.
Masalahnya adalah, kakaknya itu mempunyai kesulitan dalam
menyembunyikan perasaan. Ia akan mengatakan apa pun yang
melintas dalam batok kepalanya, tanpa sungkan dan perasaan
bersalah sesudahnya, dan hal semacam itu, kautahu,
membayangkannya saja cukup menjengkelkan.

***

Tiga bulan setelah keok ayam kedua, Moko kembali


menyeruput kopi bikinanku. Kali ini masih pagi. Terlalu pagi,
malah. Pukul enam. Tapi mukanya tampak lebih manusiawi.

Televisi di meja ruang tamu menayangkan berita tentang


seorang selebriti tanah air yang video persetubuhannya tersebar
dan menggemparkan setiap gerombolan orang di warung-warung
kopi, di teras-teras rumah, atau di serambi tempat ibadah. Aku
meraih remote control dan mengganti saluran. Kali ini, pembawa
acara menyampaikan berita soal seorang politikus yang seminggu
lalu tersangkut kasus korupsi. Tapi entah kenapa, sejauh ini,
orang-orang di tempatku tampak enggan membicarakan kejadian

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 27


tersebut. Seolah-olah penayangan berita mengenai politik,
politikus dan korupsi adalah murni bonus pembelian televisi.

Sementara itu, Moko bercerita kalau istrinya di Batam telah


mengiriminya uang hasil kerja selama dua bulan. Buat biaya
berobat Ibu Mertua sama modal usaha, katanya. Setelah itu, ia
bangkit lalu keluar rumah dan mengambil tujuh batang petai dari
keranjang di belakang jok motornya untuk ia berikan kepadaku.

"Begitulah, menurut agama juga, kan, pekerjaan paling


bijaksana adalah berdagang dengan jujur," jawabnya setelah
kutanyai apakah petai yang memenuhi keranjangnya merupakan
barang dagangan.

"Bagaimana caramu berjual-beli?"

"Aku membeli hasil pertanian sebelum buah-buahan itu


matang atau layak jual. Aku harus menaksirnya dengan sehati-hati
mungkin agar tidak terlalu murah saat membeli atau kemudian
rugi waktu menjualnya. Yah, kau tahulah, biar penjual itu
bersahabat dan menjual apa saja miliknya kepadaku."

"Lalu, sejauh ini hasilnya gimana, Ko?"

"Belum tahu, sih. Petai ini dagangan pertamaku," jawabnya


dengan penuh kegirangan. Lalu terbahak. Dan aku keheranan.

Setelah itu, ia pamit untuk menjual dagangannya di Pasar


Sumpiuh. Aku mengantarnya keluar.

Di pekarangan depan rumahku tak jauh dari risban di


bawah pohon jambu air, seekor ayam betina hitam tampak sedang
mencari sesuatu. Ia mengorek-orek tumpukan daun, membolak-

28 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


balikkan daun-daun itu, kemungkinan sambil berharap ada
sesuatu yang dapat ia santap. Lalu, ia melihat kepadaku.
Menatapku agak lama, seolah mengatakan, "Tolong, lindungi aku
dari keparat di depanmu," atau yang semacam itu.

Aku hafal betul ayam itu. Ayam dengan bekas luka di sisi
kiri kepalanya. Ayam yang pernah disepak Moko beberapa bulan
sebelumnya.

***

Aku sedang membetulkan risban di pekarangan depan


rumahku ketika Moko mematikan mesin sepeda motornya. Radio
yang kugantungkan pada sebuah paku di pohon jambu air sudah
mengulang iklan obat sakit kepala sebanyak tujuh belas kali.
Terpikir olehku bahwa tujuan iklan diperdengarkan berkali-kali
tak lain adalah untuk membikin pendengarnya senewen, lalu
membanting radionya, kemudian sakit kepala saat tersadar apa
yang barusan ia lakukan. Yah, kau pasti tahulah seperti apa
kelanjutannya.

Empat bulan berlalu, keranjang di belakang jok motor Moko


kosong. Mukanya tampak murung. Dan sedih. Lagi. Lalu ia
mengeluarkan bungkus Djarum 76 dari saku celana sebelah
kirinya. Ia menggeretnya sebatang, menawariku, mengapitkannya
pada bibir, kemudian membakarnya. Aku juga demikian.

"Kau ada pekerjaan, enggak?" tanyanya.

"Ini aku lagi kerja."

"Maksudku, pekerjaan betulan. Yang dibayar dan duitnya


bisa dipakai."

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 29


"Tidak ada. Aku saja menganggur."

"Aduh. Bagaimana, ya?"

Pertanyaannya membingungkan.

"Bagaimana kalau nanti istriku pulang, ya?"

Sudah kubilang, pertanyaannya membingungkan.

"Aku kehabisan modal. Kau punya duit? Kupinjam dulu


buat modal berdagang." Ia mengatakannya sambil menyenggol-
nyenggol pinggangku dengan jari telunjuk tangan kanan.

"Punya, tapi tidak untuk dipinjam-pinjamkan. Aku masih


malas buat kerja lagi."

"Aduh. Bagaimana, ya?"

Obrolan itu berlangsung sekitar tiga puluh menit kemudian,


dengan kata 'aduh' dan 'bagaimana' yang meluncur dari
kerongkongannya mendominasi pembicaraan kami. Setelah
kusimpulkan, kurang-lebih beginilah penyebab Moko berlaku
demikian:

Cara berdagang yang ia anut selama ini membikinnya rugi


habis-habisan, sementara Moko sendiri tak mau mengubah cara
berdagang layaknya pedagang-pedagang lain yang memegang
prinsip "di mana barang diinjak, maka di tempat lain barang dapat
dijunjung setinggi mungkin"; istrinya cuma mengirim uang untuk
biaya pengobatan ibunya dan Moko tak cukup punya nyali untuk
mengatakan kalau bisnisnya carut-marut; dan yang terakhir, yang
menurut pengakuannya paling menjengkelkan, adalah sakit yang
diderita ibu mertuanya semakin parah saja, dan ia musti

30 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


membantunya buang hajat plus menyeboki plus mengganti
pakaian dalam plus mencuci pakaian-pakaian milik yang
bersangkutan.

***

Dua minggu setelah kunjungan Moko yang terakhir, saat


tujuannya meminjam uang, seekor ayam berkeok sampai serak.
Aku terkejut. Mungkin ia baru saja memecah rekor keok ayam
paling keras di Kabupaten Banyumas. Kau pasti sudah mafhum
apa dan siapa penyebab ayam itu berbuat demikian, bukan?

Setelah membuka pintu yang sebelumnya diketuk beberapa


kali, bahkan bisa dibilang digedor, Moko masuk tanpa
mempertimbangkan terlebih dahulu niatku membuka pintu.
Tampaknya tujuan Moko diciptakan adalah untuk menunjukkan
bahwa raut muka murung, jauh lebih menyedihkan daripada
penyebab murung itu sendiri.

Aku mengurungkan niat awal untuk mengajak Moko


duduk di risban, melainkan bersimpati, kemudian menyilakannya
duduk lalu kubikinkan segelas kopi.

Selama menunggu makhluk bernama dispenser


memanaskan air, kubuka kemasan kopi Cap Kadal Mati, lalu
menyeduhnya, Moko tetap bergeming dan bergeming dan tampak
seperti arca Buddha di dalam 72 stupa di Candi Borobudur. Yang
membedakan keduanya cuma Moko dapat mengembik dan arca
Buddha tidak; Moko memakai kemeja pendek motif kotak-kotak
sementara arca Buddha bertelanjang dada; arca Buddha dihormati

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 31


banyak orang sementara Moko, sejauh yang kuketahui, ia lebih
sering diejek daripada dimuliakan.

Sampai kepamitannya—entah pulang atau ke mana, aku


tidak tahu—ia berkata sedikit saja. Kurang-lebih begini: "Istriku
meledak dengan mengeluarkan kalimat 'Tahu apa kau soal
pekerjaan?!' setelah kutanya apa yang ia lakukan sampai ia pulang
dengan perut membuncit."

Cuma itulah yang Moko ceritakan kepadaku. Selebihnya, ia


cuma diam dan murung dan sedih dan, kukira, ia bukan jenis
serangga yang merepotkan.

32 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Cara Mati Paling Aduhai
di Dunia
Karya Muhammad Abdul Hadi
Juara Harapan 1 Kategori Cerpen

S
epanjang Kalan Juwono bertarung, baru kali ini ia benar-
benar kewalahan. Tak biasanya, semua jurus yang ia
kerahkan dengan mudah terbaca mata lawan. Setiap
tendangan yang ia layangkan, ditangkis tepat sebelum kakinya
mendarat mengenai tubuh musuh. Tiap kali ia mencoba
mengambil senjata pamungkasnya, ia selalu terhadang. Apalagi
lelaki di depannya hanyalah anak muda ingusan. Dengan
tampang semuda ini, bagaimana bisa ia menguasai aji dan jurus
bertahan yang semestinya dipelajari puluhan tahun lamanya? Hal
ini masih menjadi misteri baginya.

Sore itu, selepas ia pulang berkuda mengelilingi ladang


tembakau, juragan tua itu mendapati seorang anak muda ingusan
duduk di beranda rumahnya. Sebuah pemandangan yang tak
termaafkan, pikir Kalan. Bagaimana tidak, potongan bajunya yang
compang-camping mengingatkan Kalan pada pekerja romusha
yang memakai karung goni semasa penjajahan Nippon. Giginya

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 33


tonggos dan ketika bersalaman, telapak tangannya kasar seperti
permukaan batu asahan.

Setelah menambatkan kudanya pada balok jati di halaman,


Kalan beranjak menuju beranda. Ia mencuci tangannya yang tidak
kotor. “Apa keperluanmu, Anak Muda?” tanya Kalan sok
berwibawa.

Meskipun sudah tua, Kalan tetap dikenal sebagai mantan


pendekar tak terkalahkan dari Sauman. Ia pernah berguru pada
Muhammad Naim bin Marjuki Tengklek, lelaki tua kesohor yang
mendirikan perguruan Mangkok Merah dengan jurus mematikan.
Aji dan jurus itu mampu mendatangkan angin puyuh dan badai
kecil hanya dengan memutar mangkuk berwarna merah sebagai
maskot perguruannya. Sayangnya, ia tidak tamat belajar di sana,
dan pindah, berkhianat ke musuh perguruan, Triman Djoewir A.S.
Kemenangan demi kemenangan mengantarkan nama Kalan
Juwono menjadi legenda di kalangan para pendekar.

Namun, ketika usianya beranjak senja, ia dikalahkan oleh


tubuhnya sendiri. Pukulan tangannya yang kuat semakin
melemah. Tendangannya yang dulu mampu merobohkan pohon
bungur, kini hanya bisa mematahkan pohon pisang. Waktu
memusnahkan segalanya, termasuk segala kegesitan yang ia
miliki.

Ia mengundurkan diri dari dunia persilatan, kemudian


memilih menanam dan berdagang tembakau.

34 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


“Saya berasal dari Johor Baru,” ujar anak muda itu, “sudah
sebulan ini saya berpacaran dengan putri bapak,” lanjutnya. “Saya
bermaksud mengawininya.”

Kalan terkejut, jijik dengan pendengarannya. Ia terperangah


oleh keberanian lelaki muda yang tampangnya lebih mirip
gabungan antara pengemis, tukang jagal, dan kecoa. Anak muda
sinting dan tak memiliki malu ini mengutarakan keinginan
mempersunting anak gadis tercantik satu-satunya. Bahkan tanpa
basa-basi sebagai pengantar, tanpa pendahuluan sebagai latar
belakang. Alih-alih langsung menolak lamaran yang begitu kurang
ajar, Kalan malah bertanya. “Apa yang kau miliki, Anak Muda,
sampai-sampai lelaki cungkring sepertimu berani melamar gadis
anak juragan tembakau dan pendekar terkenal?”

“Saya seperti kau, Kalan Juwono. Pendekar dan lelaki


hidung belang,” sungut anak muda itu tanpa tata krama. “Para
perempuan menyukai lelaki yang mirip dengan ayah mereka. Dan
anak gadismu menyukai saya. Saya hanya menyarankan agar kau
menerima lamaran saya supaya anak gadismu tidak patah hati,”
jawab pemuda itu dengan wajah datar dengan ketenangan seperti
cicak mengintai seekor nyamuk.

Benar-benar picik, pikir Kalan. Ia membayangkan wujud


pelet yang dulu pernah ia gunakan semasa ia muda. Ia menerka-
nerka, ilmu pelet jenis manakah kira-kira yang dipakai anak muda
ini sehingga mampu mengguna-gunai anak gadisnya.

“Bukankah kau dulu juga sering menggunakan pelet, Kalan


Juwono?”

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 35


Kalan seperti dihantam godam. Ia kaget bukan kepalang
menyadari benaknya kecolongan. Anak muda di hadapannya
seperti bisa membaca pikiran. Tak ada yang tahu bahwa ia
mempelajari ajian pelet untuk menggaet anak-anak gadis semasa
ia masih pendekar muda. Hal ini sangat memalukan, pikirnya.
Bagaimana tidak, Kalan adalah lelaki bau, dengan wajah mirip
badut, bibir sumbing, dan bekas cacar di sepanjang tubuh, namun
ia mampu memacari gadis-gadis tercantik di Sauman.

Pada zaman dulu, kejantanan adalah segalanya. Orang-


orang mengira bahwa Kalan adalah pendekar hebat yang memiliki
segala kekuatan fisik yang tidak dipunyai laki-laki lain. Wajar saja,
ia mampu memacari perempuan-perempuan muda hingga janda-
janda manis di dusun-dusun Sauman. Tidak ada yang tahu bahwa
alat kelamin Kalan nyaris impoten dan ia menderita ejakulasi dini.
Tidak jantan sama sekali.

Melihat Kalan terdiam, anak muda itu melanjutkan kata-


katanya. “Ceritakan kepadaku, kenapa kau keluar dari perguruan
Mangkok Merah dan berguru kepada Triman Djoewir A.S!”

Cemas karena anak muda ini mengetahui pikirannya lagi,


Kalan balas menatap tajam ke arah kedua mata anak muda muda
biadab yang memasuki beranda rumahnya tanpa izin.

“Muhammad Naim meninggal di suatu pagi, tak ada


pendekar hebat lagi di perguruan Mangkok Merah. Aku terpaksa
pergi mencari guru lain,” sahut Kalan Juwono jengkel. “Tak ada
rival Muhammad Naim yang sehebat Triman Djoewir A.S
sehingga aku memutuskan berguru kepadanya.”

36 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


“Kau berbohong, Muhammad Naim tidak meninggal. Kau
membunuhnya,” tukas anak muda itu.

Sekali lagi, Kalan seperti tersambar petir. Tak ada yang


mengetahui dua rahasia tadi kecuali dia dan anjingnya. Semasa
mudanya dulu, Kalan memelihara seekor anjing kerempeng di
Mangkok Merah. Anjing ini ia latih berburu dan sebagai kawan
ketika ia kesepian. Ingatannya berlompatan pada masa-masa
terbaik dan terburuk dalam hidupnya, dan kembali setelah letih
dan compang camping. Ia juga ingat saat-saat ia berlatih jurus-
jurus baru yang ia temukan sendiri di luar perguruannya di
Mangkok Merah. Hanya anjing itu saja yang menemaninya. Ia
teringat masa-masa penuh berahi dan menggagahi gadis-gadis
cantik yang ia guna-gunai. Celakanya, suatu hari ia lancang
memasang pelet kepada anak gadis Muhammad Naim. Tak pelak
lagi, gadis ini akhirnya tergila-gila dan mengandung, hamil oleh
benihnya.

Seminggu setelah ia tahu kabar kehamilan itu, Muhammad


Naim memanggilnya. Kalan menyadari bahwa nasibnya akan
tamat di perguruan Mangkok Merah.

Sebelum ia benar-benar tamat dan mampus, ia


membubuhkan racun serangga ke dalam kopi hitam milik guru
kesohor itu. Ia sadar, racun serangga tidak mungkin membunuh
pendekar gaek yang telah hidup hampir seabad tanpa sehari pun
pernah sakit. Setidaknya kopi hitam yang disesap Muhammad
Naim akan membuat gerakan pukulannya menjadi gemulai dan
matanya berkunang-kunang. Di saat seperti itulah, Kalan
membelesakkan butiran-butiran tasbih yang Muhammad Naim

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 37


gunakan berzikir ke mulut guru gaek itu. Muhammad Naim
dipaksa menelan biji-biji suci yang ia pilin-pilin setiap selesai
sembahyang. Akhirnya guru terhebat perguruan Mengkok Merah
tewas di tangan Kalan Juwono.

Tak ada yang tahu.

Saudara-saudara seperguruannya hanya tahu bahwa Kalan


adalah murid paling berduka ketika mereka mendapati bahwa
Kalan lah yang pertama kali menemukan mayat guru mereka kaku
dan tak bernyawa.

Ia menyimpan rahasia memalukan dan dosa-dosa keji itu


serapat-rapatnya.

“Kau benar. Tak ada yang mengetahui rahasiamu. Hanya


kau dan aku. Karena aku adalah jelmaan anjingmu,” ujar anak
muda itu. “Aku bermaksud membalas dendam atas kematian guru
kita, Muhammad Naim.”

Kalan Juwono terkekeh. Andai kata yang dilontarkan oleh


anak muda di depannya adalah lelucon, ini adalah lelucon paling
tidak lucu yang pernah ia terima, tapi ia tertawa juga mendengar
kata-kata jenaka yang menggelitik telinganya.

“Baiklah, akan kulayali balas dendammu, Anak Muda,”


jawab Kalan. Masih dengan kekeh-kekeh kecilnya.

Dan inilah pertarungan yang paling melelahkan yang


pernah dialami Kalan. Ia mengeluhkan dadanya yang bengek dan
tangannya yang tidak segesit dulu lagi. Meski begitu, ia tetap
sadar bahwa tiap tendangan dan pukulannya masih mematikan
dan tak bisa dianggap remeh dan main-main. Anehnya, semua

38 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


gerakan yang ia lancarkan seolah terbaca oleh anak muda ini.
Berkali-kali ia menyarangkan pukulan tipuan, tapi lawannya telah
mengetahui sasarannya sebelum pukulan itu mengenai tujuan.

Tak ada jalan lain, pikir Kalan. Ia bermaksud mengeluarkan


mangkuk merah dari tempatnya, tapi gerakannya selalu terbaca. Ia
ingin mengeluarkan angin puyuh kecil itu.

Sebelum ia benar-benar menyentuh mangkuk merah, anak


muda ini telah menotok ulu hati Kalan, dada kanan dan dada kiri,
tulang rusuk paling ujung, serta batang leher.

“Ini totokan lima jari Triman Djoewir A.S,” pikir Kalan.


Ketika Triman mengajarinya jurus itu, ia mempraktekkannya
pertama kali ke anjing peliharaannya. Pikirnya ini hanya lelucon
Triman saja sebelum ia pergi menamatkan silatnya di perguruan
itu. Lima totokan tersebut lah yang mengantarkan anjing itu ke
alam baka.

Dan kini, anjingnya membalas dendam dengan totokan


yang sama.

***

Kalan Juwono akhirnya mati, lalu mayatnya dibuang di


tempat sampah oleh anak muda ini. Tak lama, burung pemakan
bangkai berpesta pora atas daging segar dan darah merah
pendekar silat gaek tersebut. Kalan baru meyadari, kematian
bukanlah seperti keyakinan yang ia kira. Kematian hanya
peralihan bentuk dan wujud yang lain. Kini Kalan hidup dengan
mengaik, berkaok-kaok sambil mengepakkan sayap. Baru kali ini
ia begitu nelangsa. Kekalahan pertarungan benar-benar

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 39


mengguncang jiwanya. Bagaimanapun juga, ia harus balas
dendam, pikirnya.

Didorong oleh perasaan frustrasi dan balas dendam yang


membara, akhirnya Kalan Juwono berangkat ke Johor Baru. Di
sana ia berharap dapat bertemu dan mematok bola mata anak
muda yang telah mengalahkannya. Namun, sesampainya di sana,
ia malah sakit hati menemukan anak muda itu telah mendirikan
perguruan silat baru, yang dengan waktu singkat, sangat populer
dengan jurus-jurus yang amat ia kenal. Jurus-jurus yang ia pelajari
dan temukan sendiri.

Ia teramat marah lagi kala menyaksikan anak


perempuannya, gadis cantik yang anak muda itu pacari, malah
tertawa-tawa bahagia tanpa tahu bahwa anak muda itu adalah
lelaki keparat yang telah membunuh ayahnya.

Karena lengah mengintip dan menyaksikan pemandangan


yang mencabik-cabik hatinya, Kalan, yang berupa seekor burung
pemakan bangkai, menjadi teledor. Ia tidak sadar telah bertengger
di ranting terendah di dekat tanah. Seekor anjing kelaparan
mengendap-endap lama, mengintai waktu yang tepat di
belakangnya.

Sedetik kemudian, anjing kerempeng tersebut telah


menerkam tubuh Kalan. Dan begitulah, ketika membuka mata,
Kalan Juwono terbangun dengan wujud baru. Ia dipaksa memijak
tanah dengan empat kaki. Lidahnya terjulur dan suara yang keluar
dari mulutnya hanyalah kaing dan guk. Demikianlah, kerjaannya
kemudian hanyalah menunggu dan mengintai di bawah pohon
bungur di depan perguruan silat anak muda itu. Sampai sebulan

40 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


kemudian, seorang laki-laki dengan potongan mirip dengannya,
mengambil anjing kerempeng itu sebagai binatang peliharaan.

Ia akan terus menunggu untuk membalas dendam sampai ia


terlahir kembali sebagai wujud manusia.

Yogyakarta, 2018

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 41


Pil Mimpi
Karya Muhamad Ghifari Muharam
Juara Harapan 2 Kategori Cerpen

A
dalah perjalanan tidur seorang manusia fana. Begitulah
disebutnya mimpi yang absurd saat kepalanya pulih
untuk berlogika. Semua itu membuatnya sumringah
sekaligus terengah-engah. Pagi itu ia terbangun di sofa kerja.
Memikirkan beberapa masalah, diam tanpa kopi dan roti. Tanpa
seseorang yang nyata, hanya lukisan kakek tua tergeletak belum
dipaku. Ya, hari ini aku harus datangi psikiater! Ucapnya sambil
menjabat batang sikat gigi juga handuk beludrunya.

Berpuluh-puluh lembar data penelitiannya menumpuk di


atas meja kaca, sebagian judulnya tertulis, Memasuki Ruang Baru
Untuk Hidup: Tidur. Akhir-akhir ini, wanita yang umurnya masih
seumur jagung itu, seringkali merasa aneh, karena tidurnya yang
selalu dibenihkan mimpi-mimpi. Meskipun itu terdengar umum
bagi fenomena tidur manusia. Bedanya, dia bermimpi dengan alur
dan konflik yang diinginkan, ia bisa menghidupkan harapan-
harapan yang mustahil ada dunia nyata. Seperti sutradara bagi
film, atau dalang dengan wayangnya. Semua semaunya akan ada
dalam mimpinya. Walau bumi ini kaya akan perubahan,
menjadikan manusia sebagai prototipe yang serba praktis.
Melahirkan mesin-mesin penurut, tak mengeluh mengantarkan

42 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


kopi dan roti padanya setiap pukul tujuh pagi. Juga jelmaan koki
otomatis yang dengan sigap menggasak-gusuk dapur setelah ia
pulang dari laboratorium. Ataupun keset dinamis yang cermat.
Cukup dengan menginjakkan kaki bersepatunya, kinclong sudah
dalam beberapa menit, seperti hasil asahan kain anak penyemir
sepatu langganan ayahnya sewaktu menunggu kereta di peron
dahulu.

***

Mobil autopilot menebas jalan kota atau bahkan lebih dari


sekedar kota. Suara wanita itu kentara keluar dari mulutnya, di jok
belakang ia duduk.

“ID 9i3l2b95e9, Rukini Zoya. Bawa aku ke psikiater


terdekat!”

“Data dikonfirmasi, perintah teridentifikasi. Duduk dan nikmati


perjalanan, dalam dua puluh menit kita akan sampai tujuan.”

Rukini, profesor muda lulusan teknik kimia itu mendengus


sebal. Bagaimana bisa ia hidup di bumi ini? Memang sudah maju
pesat, teknologi melesat, tapi keperluan pangan jadi macet.
Ditambah mesti belajar kode-kode aneh, kode acak yang harus
diingat otak kecilnya demi mendapatkan tanda pengenal. Sejak
kapan ia harus memberikan deratan angka campuran huruf
supaya bisa saling kenal? Coba perhatikan saja, di luar sana bagi
mereka yang tidak seberuntung dirinya akan sulit menghitung
jumlah abjad di sepenggalan nama yang lalu dijadikannya kode
identitas. Total 26 alfabet dibagi tiga kelompok penandaan. Mulai
dari huruf A sampai I ditandai dengan angka satu sampai

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 43


sembilan. Lanjut huruf J hingga R pun sama angkanya, namun
ditambah A sampai I. Begitu huruf S sampai Z diberi pula angka
sama, ditambah huruf J sampai K berturut-turut. Semua kode
bodoh itu dibiarkan memasuki otaknya. Dunia ini mulai gemar
bercanda rupanya. Ia heran.

“Kita telah sampai pada tujuan, RS. Ing dengan ID 9i5e7 kami
rekomendasikan Anda untuk menemui Dr. Tsurso Sp.KJ. ID 2k1j3l9i1j6f
yang berada di lantai sebelas ruang konsultasi kejiwaan.”

Rukini menaiki elevator yang disediakan di dekat pintu


masuk, tak didapatinya pegawai yang berdaging di sana. Hanya
komposisi besi yang digerakkan listrik, mondar-mandir menerima
tamu, menyapu lantai, memberi bunga, dan semuanya suara robot
yang tidak pernah belajar intonasi, gestur, mimik, salam, memuji,
tertawa, menghina, menghujat, berteriak, berbisik, atau mendesah.

Elevator itu mengantarnya langsung tepat di hadapan pintu


ruang praktik, sedari tadi ia hanya berdiri memainkan proyeksi
digital di tangannya. Elevator sekarang lebih pintar, tidak seperti
di pasar swalayan tempat ibunya membeli sayur kala dulu. Cukup
menekan nama dokter yang tertera dan sampai, tanpa ada acara
tersesat segala.

“Ibu tidak memiliki kelainan apa pun, hal itu dapat terjadi
barangkali bagi mereka penyuka tidur.” Mungkinkah penjelasan
menggelikan itu muncul dari mulut psikiater? Asumsi itu
sesungguhnya kalah jauh dibanding para robot di lantai bawah,
dengan segala kecanggihan yang ada. Semua orang suka tidur,
mustahil manusia tidak tidur. Renung Rukini sembari membenahi
kardigannya setelah di luar gedung itu.

44 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


“Tolong berikan ID dan nama Anda.”

“Ayolah! Kita sudah saling kenal, aku yang membelimu dan


kau yang aku pilih untuk dibeli.”

“Mohon maaf, kami tidak mengenali Anda. Fitur kami belum di-
upgrade untuk dapat merekognisi klien dari suara dan wajah.”

”Hei! Di sini hanya ada kau seorang! Ah, bukan orang, tapi
kau sebesi. Tak perlu menyebut kami, tapi saya saja!” Mengapa pula
ia harus berdebat, ia merasa gila sendiri berbicara dengan besi-besi
basi itu. Setelah memberikan tanda pengenal, Rukini menuju lab.
Duduk sejenak di lobi. Minum obat dari psikiater arkais itu.
Mengamati sejenak pil berwarna biru dan hitam. Pikiran liarnya
mencuat, menandakan ada sesuatu yang harus didobrak pada pil
di tangannya. Lalu pusing sesaat dan terhempas lagi khayalannya
tentang tidur-tidur anehnya. Pil ini akan membatu! simpulnya.

***

Bersama beberapa barang lab yang dibawa ke rumah,


dimulailah ekspedisi kasus yang ada pada dia sendiri. Hal
pertama yang dilakukan adalah tidur. Dua jam lebih ia melakukan
risetnya di alam tidur. Terkadang lucu sekali pikirnya, orang
macam mana yang melakukan riset lapangan tanpa perlu keluar
rumah, tidak menguras tenaga. Rukini bangun dan langsung
menyerbu lembaran kosong. Menulis sesuatu. Memasukkan hasil
perjalanan di alam tidur dengan kalimat.

Satu minggu lebih dihabiskannya dengan tidur, menulis


data, meracik bahan-bahan kimia, kadang bertemu koleganya
untuk beberapa kepentingan lab. Pilnya itu tergeletak tinggal tiga

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 45


butir. Ternyata benda itu memiliki pengaruh, benar dugaannya
bahwa pil itu akan membantunya. Pil itu memberikan sensasi
segar untuk melakukan tidur, semenjak seminggu yang lalu
sebabnya ia produktif tidur. Tapi, yang dibutuhkan adalah pil
yang juga selain membuat antusias untuk tidur, juga
memperpanjang durasi mimpi dalam tidur. Selama ini
keterbatasannya ialah waktu, ia sangat nyaman berada di dunia
mimpi. Ia membuat istana yang lebih besar dari zaman kekaisaran
Ottoman, namun sewaktu meletakkan batu pertama, dahanam
robot rumah tangga membangunkannya. Jadi, perlu menunggu
tidurnya lagi untuk menyelesaikan istananya. Tidurnya kali ini
tidak boleh terbangunkan oleh gangguan apa pun, dan dengan
waktu yang lebih lama. Mimpinya harus berhenti sekehendaknya.
Dan ia akan terbangun. Sayangnya hal itu ia tidak tahu caranya.

Sore hari, Rukini pergi ke lab menemui beberapa orang di


sana. Sudah lima orang diberi pertanyaan yang sama, tentang
tidur dan mimpi. Semuanya menjawab sama. Mereka seperti
menganggap tidur hanyalah sebuah sarana penyembuhan dari
lelah. Tak seorang pun merasa di dalam tidur ada mimpi yang
muncul memberikan petualangan baru. Orang-orang itu hanya
bilang hitam, gelap, tak ada apa-apa, buruk, indah, tidak jelas, dan
membosankan. Mimpi sudah sepatutnya menjadi angan saja, tak
bisa disentuh. Jadi, mereka melupakannya. Mereka belum sadar,
mimpi jika dihayati akan dapat disentuh dan memberi sensasi
nyata bahwa apa-apa yang belum pernah dan ingin dilakukan di
dunia nyata benar-benar mampu terealisasi. Mimpi adalah
peluruh kemustahilan. Akhirnya Rukini putuskan membuat pil
mimpi di mana orang-orang bisa menelaah jauh mimpinya,

46 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


menjadi kuasa atas mimpi dan menentukan jalan hidup di
dalamnya.

Ia membaca artikel, disebutkan pernah ada orang yang


menjual pil mimpi sebelumnya! Tapi, kasus dan khasiatnya
berbeda dengan dirinya. Jelasnya, pil itu mengaktifkan sistem
neurotransmitter yang terkait dengan kesadaran sehingga
pengguna dapat memiliki mimpi sesuai ekspektasinya. Di dalam
mimpinya, sekarang sudah purna istana megah berdiri, dan itu
tidak bisa dihilangkan. Memang benar, jalan mimpinya hadir
sesuai niatnya. Tapi, keinginan yang sudah terpenuhi itu akan
tetap ada dalam mimpi yang selanjutnya, bahkan jika ia sengaja
tidak tidur dua hari dan setelahnya bermimpi maka kejadian di
mimpi yang sebelumnya tetap ada. Seperti sedang membaca buku
karangan sendiri yang dibatasi penanda untuk dibaca selanjutnya.
Sehingga seolah ia hidup seperti sedia kala di dunia nyata yang
masa lalunya tak dapat diubah, sedangkan masa depannya dapat
ditentukan sendiri. Jadi, setiap keputusan tetap dipertimbangkan
agar tak ceroboh.

Beragam rumus dan data sudah dicampurkannya,


menghasilkan tesis baru yang mencengangkan. Tangan-tangan
dingin robot di rumahnya cekat mengantarkan ini dan itu,
semalaman ia suntuk mengombinasikan ramuan yang didapatinya
dari banyak referensi. Rukini memasukan obat tidur skala rendah:
trazodone ditambah senyawa alkaloid nootropic yang biasa
digunakan oleh penderita Alzheimer 1 dengan dosis seimbang.

1
Penyakit Alzheimer adalah kondisi kelainan yang ditandai dengan penurunan daya ingat,
penurunan kemampuan berpikir dan berbicara, serta perubahan perilaku pada penderita
akibat gangguan di dalam otak yang sifatnya progresif atau perlahan-lahan.

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 47


Bahan-bahan itu sepertinya sudah umum digunakan dalam
pembuatan pil yang dapat memicu Lucid Dream2. Rukini bisa saja
menyelesaikan ramuan itu dengan kombinasi bahan-bahan tadi.
Tapi, itu tidak cukup baginya, lucid dream hanya menyediakan
waktu yang terbatas, apalagi orang perlu melakukan tahapan
latihan relaksasi sebelum memasuki sleep paralysis3, lalu blackout4,
dan menuju proses dreaming agar keadaan rasional dalam
mimpinya tetap terjaga. Tidak pragmatis dalam pelaksanaannya sama
saja mengulang produk lama itu. Lirihnya sambil menggoyangkan
tabung labu Erlenmeyer berisi cairan bening.

Jalanan riuh, persisnya depan bangunan tua yang dijadikan


objek wisata. Orang-orang bergumul menjeda kaki mereka menuju
tempat kerja demi melihat Rukini yang memesona. Bagaimana
tidak, ia masih tertidur pulas di pelataran taman, dengan baju tipis
pendek, celana sepaha dan dibekali bantal leher menyapitnya.
Rukini berteriak dalam mimpi tidurnya. Kegirangan. “Akhirnya
telah tercipta sebuah negeri impian, menjadi orang berpengaruh di
sini, ya! Paling! Sangat! Lihat alangkah menyenangkan, melihat
kedua kuda dengan sepatu koboi tertancap di kaki-kaki runcing
itu. Istana megahku! Di setiap penjurunya dikelilingi bermacam
menara, Eiffel dari Prancis, Pisa Italia, Monas Indonesia, Tokyo
Skytree Jepang, Kanton Cina, Ostankino Rusia, dan Big Ben
London. Aku tak mau berhenti begini saja, mimpi sekarang ini aku

2 Anda sadar menyadari bahwa Anda sedang bermimpi. Kesadaran bahwa Anda sedang
bermimpi untuk mengontrol pengalaman Anda, teknik latihan visualisasi, atau pemenuhan
pengalaman keinginan.
3 Kondisi di mana Anda berada dalam keadaan setengah tertidur dan setengah terbangun.
4
Periode transisi di mana Anda akan merasa seolah-olah sedang memasuki sebuah tempat
hitam kelam.

48 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


akan membuat laboratorium apung. Aku tak akan menyelesaikan
mimpi ini, biarkan aku tetap tidur!” Rukini begitu bahagianya,
berbeda sekali dengan kecutnya di dunia nyata. Beberapa waktu,
dunia yang Rukini rintis itu menggelagar berat tergoyahkan
sesuatu.

“Ada apa ini, penjaga?” Ia sengaja menghadirkan manusia


lain sebagai pegawai, bosan dengan desing mesin robot.

“Entahlah, nyonya, barangkali gempa bumi. Atau tsunami!


Tenanglah seluruh sistem keamanan sudah dipasang benteng
pelindung dari gundukan awan yang secara otomatis membentuk
setengah bulatan. Kita akan seperti ikan bakar yang dilindung
tudung dari ancaman taring kucing.”

Tapi, sekian lama getaran itu membuatnya pusing, ia tak


tahan lagi. Barangkali di luar terjadi sesuatu. Siapa sangka dengan
berhenti bermimpi sejenak akan menghentikan gempa di
mimpinya. Akhirnya ia pun memutuskan berhenti dan seluruhnya
menghitam lalu kilau cahaya masuk matanya, tapi berisik
mengejutkan bangunnya. Seperti suara orang atau robot menyatu
bagai gulungan benang wol. Mendentum-dentum. Malu, awal
hidupnya merasakan hal serendah ini. Dikerumuni puluhan wajah
berseri, mencemooh, menertawakan, simpati, bingung bahkan
wajah berhasrat diri. Sungguh, tubuhnya terekspos seenaknya,
setiap mata menjilatinya tanpa bayaran, tanpa izin dan haknya.
Kamu harus lari, tutup wajahmu, bersembunyi di suatu tempat, panggil
mobil itu. Ayo Rukini! sarannya dalam hati dan tak perlu rumit
berpikir, mengilat ia bergerak sesuai rencana.

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 49


Seseorang diduga Prof. Rukini tertidur di taman bangunan tua,
sebilah judul di bilik halaman koran hologram di tangannya.
Siaran berita memampang wajah dan tubuhnya. Ia berdiri, tak
terima atas perlakuan itu. Melemparkan gundukan pipet ukur ke
layar. Duduk kembali dan merenungkan musabab kejadian tadi.
Apakah sleepwalking5 efek samping dari obat buatannya itu?
Berbahaya! Baginya dalam masa percobaan obat ini telah
menimbulkan kerugian, ia perlu mengatur unsur lainnya. Vibrasi
di mimpinya mucul karena seseorang mengguncang-guncangkan
badannya agar bangun, tapi ia tidak bangun karena hal itu. Ia
bangun karena keputusannya untuk bangun. Berarti masalah tidur
sudah terselesaikan, namun tinggal mencari resep lain supaya
kejadian di luar tidur yang mengenai tubuh tidak memengaruhi
mimpi.

“Aku pasti menyelesaikannya! Mereka memperlakukanku


sepertimu, robot! Mereka harus melupakan kejadian memalukan
itu, menertawakan seorang profesor tidaklah humanis. Bukan juga
robotis,” keluhnya.

***

Pil berwarna merah putih, dibungkus rapi dalam kemasan


kalengan dan dapat diisi ulang dengan kuota 40 butir. Rukini
sangat yakin kali ini, setelah percobaan keduanya. Tidak ada tidur
berjalan, tidak ada guncangan di mimpi meski ia sudah mengatur

5 Sleepwalking atau tidur berjalan adalah gangguan yang menyebabkan seseorang untuk
berdiri dan berjalan saat tidur. Sleepwalking biasanya terjadi saat seseorang berada di
tahap tidur dalam, ke tahap yang lebih ringan atau tahap sadar. Orang yang mengalami
sleepwalking tidak dapat merespon saat kejadian, dan biasanya tidak mengingatnya.
Kadang, ia dapat berbicara yang tidak masuk akal.

50 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


robot di rumahnya untuk membangunkan dengan cara sekasar
mungkin pada tubuhnya. Uji klinis di lab dilakukan secara
tertutup. Tanpa opini publik, hanya koresponden dari kalangan
sejawat peneliti saja. Total dua puluh orang.

Setahun lebih pemasaran pil tersebut pesat. Rukini penuh


tabungannya. Tapi, ada satu yang kosong di hatinya. Meskipun ia
sadar masih ada hati di dadanya. Sebuah pertanyaan menggebu-
gebu ke ulu. Ia memikirkan kasus perampokan ruko kesehatan,
puskesmas, apotek, rumah sakit, laboratorium. Sebulan lamanya
masyarakat liar memecahkan kaca jendela, ratusan bahkan ribuan
dari mereka berdesakan mengambil pil mimpi. Kebanyakan
mereka berbaju lusuh yang sudah begitu lama menunggu
mukjizat, agar selamat keluar dari dunia penindas mereka. Para
calo berkeliaran menjajakan pil dengan harga merosot, melihat
kesempatan bisnis pada saat yang tepat. Kelompok sederhana di
desa-desa minoritas, menggadai rumah, lembu besi sekaligus
sawahnya, dan apa pun juga demi butir-butir pil mimpi. Ia
seorang profesor, mestinya menyejahterakan rakyat sesamanya.
Tapi, ini 360 derajat dari itu. Rukini menangis, menggenggam
sekaleng pil. Para wanita rela menjajakan payudara dan segala
bulunya demi sekantong pil. Buruh-buruh pabrik itu siap
mendemo agar memberikan pil sebagai upahnya. Pengamen dan
tukang doger robot rela memohon pada debu jalanan dan bisingnya
agar dapat pil penenang itu. Para pengurus negara mengerahkan
segala muslihat agar mulus meraup ratusan ton pil secara
sembunyi-sembunyi. Mereka saling jontok untuk dibayar satu pil
yang dapat menenangkan mereka berabad-abad. Mirisnya!

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 51


Ia semakin bersalah, setelah ingat hasil bakaran rambut
yang dicampur air ludahnya adalah resep pil itu. Rambutnya
tinggal satu-dua helai yang panjang. Sisanya lenyap demi tercipta
pil itu. Tenggorokannya kering sering meludah. Semua
dirahasiakannya dari publik. Nyatanya, mereka sangat menyukai
efek dari hal yang dianggap hina: rambut dan air ludah yang
dibakar. Matanya menelisik tempatnya dulu bereksperimen.
Memandang kosong robot-robot setianya. Melihat kelopak bunga
lavender putih terkapar layu di sebelah vasnya. Tanpa aba-aba, ia
melangkah masuk ke sana. Mengambil sisa rambutnya dan
meludah. Membawa sesendok dari botol berisi air kencingnya.
Diminumnya cairan hasil rakitannya, tanpa sebuah pil dan tanpa
dosis. Ia serius mengikrarkan diri pada mimpi. Sebagai mahluk
terbatas menuju yang tak terbatas. Sebuah ruang di mana mimpi
dan kenyataan sudah hilang. Denyutnya berhenti dalam antara tak
bermimpi dan yang tak nyata. Tidur namun ia tak melanjutkan
mimpinya. Hanya kosong.

Tak ada perkabungan atas kematiannya. Setiap sudut kota,


tak ada manusia. Hanya beberapa saja. Robot tetap hidup seperti
biasanya, mereka tak pernah tidur bahkan bermimpi. Mereka
hanya menanti majikan mereka bangun dalam waktu secepatnya.
Jika dapat berpikir, pasti mereka bertanya mengapa majikan
mereka kuat tidur dari hari ke minggu ke bulan ke tahun ke windu
ke abad, ke tua hingga ke kematian? Dasar bodoh. Mulut besi itu
tertawa.

52 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Anjing-Anjing
di Depan Pagar
Karya M. Zain Al Din
Juara Harapan 3 Kategori Cerpen

B
erita yang beredar: diketemukan bangkai seekor anjing.
Kepalanya dipenggal dan ditancapkan di ujung pagar
rumah pemiliknya. Badannya tercecer di jalanan. Darah
dari bangkai kepala itu masih menetes saat diketemukan. Pemilik
anjing tampak tercenung di pelataran. Warga yang heboh tampak
bergerombol di depan pagar. Anjing dari ras Doberman itu sangat
terkenal karena ia adalah satu-satunya anjing di kampung itu.

***

Seorang pemuda, Laksmi namanya, baru saja pulang dari


salat subuh ketika melihat pemandangan ganjil di depan jalan
yang dilaluinya. Seekor anjing. Dari warna dan jenis bulunya,
Laksmi mengenal anjing itu seperti mengenal pemiliknya. Dengan
setengah berlari, Laksmi menuju rumah sang pemilik dan
membunyikan bel rumah. Tak ada respons. “Anjing! ayo bangun!
anjing kesayanganmu matiii!” Laksmi berucap-ucap sendiri sambil
tidak sabaran menekan-nekan bel untuk kesekian kali. Masih tak

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 53


ada respons. Ada kiranya lima belas menit Laksmi berdiri gusar di
depan pagar rumah sang pemilik. Sekelebat perhatiannya sempat
tertuju pada ujung sebuah pagar rumah itu sebelum kemudian ia
abaikan. Sepertinya penghuni rumah itu sedang tidur sangat lelap
hingga bunyi-bunyian apa pun tak bisa mengusiknya. Setelah
merasa usahanya sia-sia belaka, Akhirnya pemuda itu
memutuskan untuk pulang dengan tergesa-gesa.

***

Ketika matahari mulai menampakkan diri menembus kabut


abu-abu, seorang penjual sayur, Totok namanya, dengan kayuhan
paling bertenaga membawa sepeda sayurnya ke sebuah rumah
dengan pagar abu-abu. Saat itu di benaknya hanya terbayang
onggokan daging nyaris tak berbentuk yang dilihatnya tadi di
tengah jalan. Bangkai anjing. Seolah ada sosok entah hewan buas
atau setan yang mengoyaknya sebelum akhirnya memenggalnya.
Bangkai itu tak berkepala.

Sesampai di depan rumah yang ditujunya, yang dilihat


Totok adalah kengerian lain. Sebongkah kepala anjing tertancap di
ujung salah satu besi pagar rumah di depannya. Darah yang masih
menetes-netes, otot-otot leher yang terburai bergelayutan, serta
moncong kepala tak bertuan yang mengacung dengan sedikit
terbuka ke arah siapapun yang berdiri di depan pagar membuat
Totok refleks melangkah mundur dengan rasa ngeri, menaiki
sepeda sayurnya, dan pergi menjauh dari rumah itu sambil
berteriak-teriak menyebar berita.

***

54 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


“Bagaimana jika seorang muslim memelihara anjing, ma?"
itu pertanyaanku sepuluh tahun lalu ketika aku masih seorang
gadis berumur dua belas.

Aku tahu, meminta adik pada mama adalah mustahil,


makanya aku ingin punya anjing. Dan hal itu bukan berarti
seorang adik senilai dengan seekor anjing. Aku hanya ingin punya
teman bermain sendiri. Anak-anak lain selalu merundungku, jika
tidak menjauhiku. Kata salah satu dari mereka, aku anak haram
dan nanti masuk neraka. Kata yang lain, aku dan mama harus
pindah dari kampung karena memberikan kesan buruk pada
lingkungan. Kata yang lain lagi aku dan mama adalah pembawa
sial buat kampung dan kami tidak boleh dekat-dekat dengannya.

Sesungguhnya, ejekan-ejekan itu kuabaikan saja, dan aku


tetap bisa bermain dengan beberapa dari mereka selama yang
mereka lakukan hanya sebatas mengejek. Sampai pada suatu sore
dengan langit oranye yang kecut, sepulang dari bermain di taman,
seorang tukang sayur mengejar-ngejarku dengan senyuman paling
aneh, dan masih kuingat kata-katanya waktu mengejarku, katanya
anak pelacur akan jadi pelacur juga. Aku tak begitu mengerti apa
maksudnya waktu itu, tapi aku lari saja karena wajah tukang
sayur itu begitu menakutkan. Keriput wajah setengah baya yang
terimpa cahaya sore menampakkan kilap keringat dan bekas-
bekas udara kotor yang menghitam di sekitar pinggir mata, sela
hidung, dan leher. Kuceritakan kejadian itu pada mama di malam
harinya, dan sejak saat itu aku tak diperbolehkan ke luar rumah
sering-sering. Dan karena itulah aku jadi berpikir, mempunyai
adik atau anjing akan menjadi teman di rumah yang
menyenangkan.

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 55


"Anjing?" tanya mama tampak sedikit tidak percaya pada
permintaanku waktu itu. Aku sendiri langsung menunduk dan
bersiap diri bahwa jawabannya adalah: tidak boleh. Tidak boleh
seorang muslim memelihara anjing. Nanti rumahnya akan
tertimpa sial dan dijauhi rezeki seperti kata Laksmi, salah satu
temanku, ketika kami sedang main rumah-rumahan dan aku
menyuruhnya berperan sebagai anjing peliharaan.

Laksmi adalah satu-satunya anak yang tak pernah


mengejekku—mungkin dia suka kepadaku? Wajahnya lumayan
ganteng, berhidung mancung, dan berkulit kuning langsat. Anak
seorang penghulu. Perlakuannya yang tidak jahat kepadaku
membuat Laksmi menjadi teman terdekatku. Kami sering diejek-
ejek anak lain sebagai pasangan kekasih. Aih, cinta monyet kecil.
Tiap kali kami diejek seperti itu, kuperhatikan wajah Laksmi selalu
tampak merah. Mungkin ia malu. Aku sendiri cuek-cuek saja.
Malahan, biasanya langsung kugandeng tangannya erat-erat. Toh
aku senang juga. Laksmi juga satu-satunya yang masih beberapa
kali datang ke rumahku untuk bermain ketika aku tidak
diperbolehkan mama keluar rumah.

“Nak, pernah kau dengar cerita tentang Ashabul Kahfi?”


Mama mengelus rambutku. Aku mengangkat wajahku dan
menggeleng pada mama—dia tidak mengatakan: tidak boleh.

“Sudah lama kau tak kudongengi, umur berapa kau


sekarang? Ah iya, barangkali dua belas? Hmm, masih layak untuk
didongengi mamanya.” Sudah lama aku tidak didongengi mama.
Sejak aku bisa membaca, mama sudah tidak pernah lagi
mendongengiku. Katanya, aku bisa baca dongeng-dongeng itu

56 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


sendiri. Makanya, waktu mama bilang begitu, aku senang sekali.
Kupeluk pinggang mama dengan erat dan tak kulepaskan sampai
aku diangkat paksa olehnya lalu ditidurkan di ranjang tidur.
Kemudian mama berbaring di sebelahku dan mulai bercerita
tentang apa yang disebutnya tadi: Ashabul Kahfi.

Masih aku ingat sampai sekarang, itu cerita yang bagus.


Mama menceritakan tentang tujuh pemuda yang hidup dalam
pemerintahan raja zalim yang semena-mena. Raja zalim itu
memerintahkan seluruh rakyat untuk menyembahnya. Semua
takut akan hukuman yang menunggu jika melawan titah sang raja,
tapi tujuh pemuda itu menolak. Menyembah raja berarti
menyekutukan Tuhan yang selama ini mereka sembah. Mereka
pun diburu dan hendak dihukum pancung oleh tentara kerajaan.
Dengan membawa seekor anjing bernama Qithmir, tujuh pemuda
itu pergi meninggalkan kerajaan hingga sampai pada sebuah bukit
dengan gua besar di lerengnya. Di dalam gua itu, secara ajaib,
mereka dibikin tidur oleh Tuhan selama 309 tahun.

Ketika pagi tiba, mereka belum menyadari berapa lama


mereka tertidur. Salah satu dari mereka turun dari bukit menuju
kota untuk membeli bahan makanan secara diam-diam. Tamlikha,
nama salah satu pemuda yang turun ke kota, mendapati bahwa
kerajaan telah dipimpin oleh raja yang berbeda. Raja yang adil.
Raja yang menerima kepercayaan Tamlikha dan enam temannya.
Aku lupa apa yang terjadi selanjutnya, yang jelas cerita itu
berakhir dengan Tamlikha, keenam temannya, dan Qithmir sang
anjing, diundang raja menjadi tamu kehormatan lalu mereka
hidup bahagia.

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 57


“Lihat nak, Qithmir, anjing itu, tidak membawa sial,” kata
mama di penutup cerita, “besok kubelikan kau anak anjing.”

Maka demikianlah, akhirnya aku memiliki anjing. Tapi,


tidak kuberi nama Qithmir seperti di cerita itu. Kuberi nama adik
kecilku sekaligus teman bermainku sekaligus peliharaanku
sekaligus Qithmirku itu Nurani. Anjing Doberman lucu yang
mengikutiku ke mana pun aku melangkahkan kaki.

Sejak ada Nurani di rumahku, orang-orang tampak semakin


menjauhi keluarga dan rumahku. Tukang sayur, tukang koran,
tukang sate, atau tukang apa pun tidak pernah lagi tampak
berhenti di depan pagar rumah. Rasanya semakin sepi saja. Hanya
gonggongan Nurani yang terdengar menghibur. Aku tak tahu apa
sebabnya, tapi kata Laksmi, anjing itu hewan najis bagi orang
Islam. Waktu Laksmi bilang begitu, aku bilang padanya, “Ya
sudah, tak usah kau kemari lagi, rumah ini najis bagimu, sana-
sana, hus!” dan sejak saat itu Laksmi tak pernah bertamu lagi ke
rumahku—sejujurnya ini malah bikin aku makin kesepian.

Kupanggil Nuraniku, kupeluk dan kuelus lehernya.


Nuraniku ... Nuraniku ... hanya kau satu-satunya temanku.

Mama jadi jarang pulang sejak aku berumur lima belas


tahun. Rumah jadi makin hampa. Dulu kami berdua saja sudah
terasa sepi, apalagi sekarang. Dia bilang padaku bahwa
perempuan harus bisa dan terbiasa hidup sendiri. Maka, sejak saat
itu pula aku mulai memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Mama
hanya pulang sesekali dalam sebulan untuk memberi uang
belanja, lalu sore atau malamnya akan pergi lagi entah ke mana—
aku tidak pernah tanya. Aku belanja, mencuci, memasak,

58 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


membersihkan rumah, dan membesarkan Nuraniku sendiri.
Nurani ... Nurani ... hanya kau satu-satunya temanku.

Suatu malam, aku bermimpi. Seperti ada suara dari langit


yang menyuruhku menyembelih anjingku, Nurani. Aku tercekat.
Mimpi macam apa itu? Kudapati aku bangun berbasah keringat.

Suara itu, bagaimanapun, terngiang-ngiang terus di


telingaku hari itu. Aku takut. Takut jika itu pertanda harus
kehilangan Nurani.

Malam berikutnya aku bermimpi sama: ada suara dari


langit yang menyuruhku menyembelih anjingku. Mimpi-mimpi
sejenis terus muncul di malam-malam selanjutnya.

Di hari ketujuh, aku panggil Nurani sebangun tidur.


Kuceritakan padanya tentang mimpiku beberapa hari belakangan
ini. Tentu saja ia tak mengerti. Ia seekor anjing. Dan seketika
seperti ada yang menyadarkanku: ya, ia hanya seekor anjing. Dan
suara langit itu, mungkin wahyu?

Maka hari itu, siangnya, aku pergi ke rumah Laksmi. Aku


bukannya tidak pernah keluar rumah, hanya saja, jika keluar
rumah, aku yang sudah cukup besar waktu itu tak tahan dengan
gunjingan orang-orang. Dan perihal mengunjungi rumah orang
lain, memang sudah bertahun-tahun tidak kulakukan. Terakhir
adalah waktu aku umur sembilan tahun. Waktu itu, aku bersama
mama pergi mengunjungi rumah Pak RT untuk mengurus
administrasi kartu keluarga. Aku tak mengerti apa yang terjadi
waktu itu tapi, dari yang kuperhatikan, Pak RT hanya memberi

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 59


gelengan dan senyuman, sedang mama memohon seperti orang
kelaparan minta makan.

Saat aku sampai di depan pintu rumah Laksmi, ia sedang


mengaji. Rumah Laksmi tidak berhalaman dan berpagar seperti
rumahku. Jadi, kalau ada orang bertamu, bisa langsung sampai ke
depan pintu. Suara bacaan merdu Laksmi terdengar dari depan
pintu. Aku tidak tahu apakah boleh mengetuk pintu rumah orang
yang sedang mengaji, tapi, nyatanya tanganku bergerak sendiri
waktu itu. Demi mengetahui ada tamu di depan rumahnya,
Laksmi berhenti dari bacaannya lalu membukakan pintu. Ia agak
terperanjat mendapati aku di depan rumahnya. Ia menoleh ke
sana-ke mari mengedar pandangan, mengawasi, sekiranya jangan
sampai ada yang melihat aku bertandang ke rumahnya. Ayahnya
sedang kerja dan ibunya sedang sibuk di dapur. Dia ajak aku ke
taman biasa—tempat dulu kita bermain rumah-rumahan.

Sampai di sana, aku membuka omongan dengan


memintanya menceritakan kepadaku kisah Nabi Ismail yang
disembelih ayahnya. Ia mengernyit mendengar permintaanku
yang tiba-tiba. Kucubit pahanya dan dengan sedikit merengek
kuminta padanya sekali lagi untuk bercerita. Akhirnya ia mulai
bercerita. Itu cerita yang bagus.

Setelah Laksmi selesai bercerita, dia bertanya kepadaku,


“Ada apa ini sebenarnya?”

Aku hanya tersenyum. Lalu kuajak dia ke rumahku dan dia


mau meski selama di perjalanan matanya selalu waspada
mengawasi, jangan sampai ada orang yang melihat kami.
Sesampainya di rumahku, kupanggil Nurani untuk kutunjukkan

60 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


padanya. Bisa kulihat kekhawatiran Laksmi ketika melihat Nurani
yang kini sudah sedemikian besar mendekat.

“Tidak usah takut,” kataku, “Dia hanya menggigit orang-


orang yang salat.”

Laksmi sudah mau lari sampai harus kupegangi tangannya.

“Tidak-tidak, heh, cuma bercanda,” kataku dengan sedikit


tertawa.”Anjing tidak tahu kau salat atau tidak, yang tahu itu
Tuhan, benar, kan?”

Laksmi mulai tenang dan berkata kepadaku bahwa aku ini


muslim juga dan sebaiknya tidak dekat-dekat dengan anjing. Aku
mengangguk dan kukatakan padanya kalau besok aku ingin
diajarinya salat. Dia senang mendengar perkataanku. Sampai sore
menjelang, kami bercakap-cakap di teras rumah dengan dua
cangkir teh. Nurani kumasukkan ke dalam rumah agar tidak
membikin takut Laksmi. Sore itu adalah pertama kalinya sejak
beberapa tahun aku mendapatkan tamu. Rasanya menyenangkan
sekali. Laksmi ... Laksmi ... hanya kau satu-satunya tamuku hari
ini.

***

Kesaksian seorang kamling bernama Mat Jenggot: malam


itu dinginnya bukan main. Langit tampak bersih dari awan,
bintang gemerlapan, dan bulan seperti tersenyum. Saya sedang
berkeliling sendiri ke arah timur sedang teman saya ke arah barat.
Sambil membunyikan kentongan dan membawa senter, saya
berpatroli. Rute patroli saya adalah seperti biasa: dari pos ronda,
ke arah timur melewati deretan rumah-rumah warga, lalu lahan

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 61


terbuka milik Haji Maman yang katanya mau dibangun pesantren.
Dari situ saya belok ke arah selatan melewati tempat pembuangan
sampah terus menuju kuburan kampung. Dan kuburan kampung
itu adalah titik tolak saya belok ke barat, melewati rumah-rumah
warga lagi sampai melewati balai desa saya belok ke utara dan di
ujung jalan itu saya akan kembali ke pos ronda.

Waktu itu saya lihat jam tangan saya menunjukkan pukul


12.03. Sudah lewat tengah malam. Saya sedang berjalan di depan
lahan milik Haji Maman. Saya bunyikan kentongan sesekali sambil
menyentrongkan senter ke sana-ke mari. Saya mungkin saja salah
lihat, tapi saat saya arahkan senter ke salah satu barongan di lahan
milik Haji Maman, saya melihat sosok wajah perempuan
menghadap ke arah saya, ke arah senter. Rambutnya sebahu dan
mengembang seperti tak pernah disisir. Sosok wajah itu
tersenyum ke arah saya, maafkan perumpamaan saya, tapi saya
lihat senyumnya seperti orang yang sedang nafsu-nafsunya
memperkosa wanita kecil. Saya tercekat. Mungkin itu hantu.
Tanpa berpikir panjang saya langsung lari kembali ke arah pos
ronda, mengambil rokok dan sarung yang saya tinggalkan di sana,
lalu secepatnya pulang ke rumah, mengunci rapat pintunya, dan
yang saya lakukan selanjutnya hanya berbaring di samping istri
saya sambil membaca doa-doa. Oh, dan satu lagi. Sesaat sebelum
saya mengarahkan senter ke barongan itu, dari arah yang sama,
saya mendengar suara, seperti suara anjing terjepit.

***

Sejak kejadian menghebohkan di depan rumahku beberapa


tahun lalu, orang-orang, entah kenapa, jadi semakin menjauh dan

62 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


menghindar dari rumahku juga dariku—padahal aku sudah tidak
beranjing. Dua orang yang berkomunikasi denganku hanya mama
dan Laksmi. Mama jadi selalu pulang ke rumah setiap hari sedang
Laksmi selalu datang bertamu setiap hari. Laksmi ... Laksmi ...
kaulah satu-satunya tamuku setiap hari.

Kejadian menghebohkan itu terjadi pada esok harinya


setelah suatu pertandangan Laksmi yang menyenangkan ditemani
dua cangkir teh ke rumahku. Aku bangun agak kesiangan karena
malamnya begadang. Seperti biasanya, sebangun tidur aku
membukai tirai jendela dan pintu rumah untuk mempersilahkan
cahaya masuk. Dari pintu yang baru saja kubuka, bisa kulihat ada
segerombol orang di depan pagar rumahku. Saat itu mama sedang
tidak ada, seperti biasa.

Aku perhatikan dari pelataran rumah, mereka itu adalah


orang-orang yang menjauhiku, menggunjing mamaku, dan tak
pernah bertamu ke rumahku. Kuperhatikan dari mereka banyak
yang menutup mulut dengan tangannya, sehingga hanya terlihat
berpasang-pasang mata dengan pandangan iba ke arah salah satu
ujung pagar di depan mereka. Sebagian juga ada yang saling
berbisik-bisik sembil mengedik-ngedikkan pundaknya. Hari itu
aku puas sekali memperhatikan satu demi satu wajah dan
kelakuan orang-orang di depanku. Mama ... Nurani ... Laksmi ...
aku kedatangan tamu banyak sekali hari ini.

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 63


Pintu Pelahap Ingatan
Karya Mochamad Faris Dzulfiqar
Juara Harapan 4 Kategori Cerpen

P
ercaya atau tidak, di kota ini sebuah pintu yang melongo,
lengkap dengan kosen dan lantai yang menyangganya,
adalah landmark yang kami banggakan. Saudara dapat
melihat pintu yang dimaksud di bundaran alun-alun yang tak jauh
dari pantai. Pintu tersebut dibuat dari kayu meranti yang merah
tua warnanya, setiap dua bulan sekali mereka memernisnya
dengan minyak diesel agar pintu itu lebih tahan dari serangan
cuaca. Kata orang dulu, pintu itu merupakan satu-satunya yang
tersisa ketika tsunami menyapu seluruh bangunan di kawasan ini.
Sekali lagi, kata orang dulu jika saudara tak tahan dengan cobaan
hidup—misalnya beberapa pekan setelah bencana waktu itu—
cukup buka dan masuki pintu itu, dan niscaya dunia hari kemarin
terhapus seperti mimpi usai bangun tidur.

“Benarkah itu masih pintu yang asli, pak? Waktu seolah


lupa buat melapukkannya.”

“Mari kita dekati. Nah, sekarang coba Anda lihat baik-baik


kosen dan daun pintunya. Nah, begitu perdekat dan potret, pasti
kelihatan kalau itu bukan sembarang kayu. Apalagi jika dikaitkan
dengan bangunan di zamannya.”

64 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Bagi kami orang-orang tua di sini, terutama yang biasa
menikmati sore sambil duduk-duduk di bangku sekitar sini, masih
tak melupakan kejadian kelam yang keluar masuk pintu itu. Masa
di mana kota terasa seperti sebuah pabrik, kuburan massal,
sekaligus penjara. Seandainya pintu itu bisa bercerita sendirinya,
kami yakin dia akan mengungkapkan kehidupan malang dari
seseorang yang diasingkan, bagaimana nasibnya berhenti di
“bangsal pengasingan”. Mereka-mereka itu kalau tidak dijemput
ajal lewat penyakit atau kelaparan, maka tentara yang akan
menyeretnya ke lapang tembak. Menurut kami, pada masa
tersebut pintu itu belum melahap ingatan dari siapa pun yang
memasukinya, justru orang dan politik yang melakukannya.

“Anda masih tidak percaya rupanya.”

“Menurut penuturan seorang kawan, pintu yang autentik


sudah dicuri, bahkan mungkin saja dilenyapkan oleh pemerintah
waktu itu. Saya rasa, pak, tak ada yang lebih tahu selain mereka
yang pernah menghuni kamar berpintu tersebut.”

“Coba sebutkan, apalagi yang Anda dengar tentang lapang


tembak dan kuburan massal?”

“Katanya ada desas-desus kalau mereka yang tiba-tiba


hilang tidak berakhir di sana. Tapi, di tenggelamkan ke laut.”

“Itu zaman setelah tak ada lagi pemberontakan dan


kerusuhan. Dua puluh tahun sebelumnya, mayat pemberontak
ditumpuk di bawah sebuah pohon meranti merah. Sekarang sisa
pohon itu ada di depan kita. Tak ada kayu yang mengeluarkan
bau anyir darah selain dari pintu itu!”

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 65


Kalau diingat-ingat lagi, kami pernah berharap supaya
pintu itu hilang disapu tsunami. Walau setelah bencana tersebut
rezim lama ikut ambruk, tetap saja tak lebih baik lantaran terlalu
banyak orang yang mati sia-sia. Sialnya, rasa sakit hati kambuh
lagi. Lantaran di kemudian hari pemerintahan baru memaksa
warga kota berbondong-bondong memasuki pintu itu untuk
melupakan segalanya. Di satu sisi itu baik, mengingat mereka
pasti muak dengan trauma dan kematian. Namun, kami tahu ada
siasat sebusuk pintu itu yang terselubung di sana. Terutama bagi
kami yang memilih menjaga warisan sejarah, kami mesti
bersembunyi dan pura-pura lupa, sebab taruhannya adalah
dituduh sebagai kaki tangan pemberontak.

Sejak semula pintu itu memang sengaja dicanangkan


sebagai alat politik, instrumen kekuasaan. Lebih buruk lagi, secara
tak langsung kami turut campur tangan. Ada dari kami yang juga
bersimbah darah seperti pintu itu. Dia satu-satunya yang
ingatannya tak bisa dilahap oleh pintu itu.

“Bukannya ada sisi baik dari semua itu, pak? Pintu ke mana
saja ala komik Doraemon membawa orang bertamu ke berbagai
belahan dunia. Tapi, pintu ini tak kalah hebatnya, dia beraura
kematian, namun menawarkan harapan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup. Dari sudut pandang saya, dua-duanya
adalah pintu pembebasan, memang terkesan seperti perlarian, tapi
saya kira lebih tepat kalau dikatakan sebagai mendekati sisi lain
dari kenyataan.”

“Anda bicara macam orang yang melewati pintu itu.”

66 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


“Maaf kalau bapak tersinggung. Biar saya luruskan, maksud
saya dalam waktu tertentu, kalau terjadi bencana besar misalnya,
supaya semuanya dapat kembali bekerja seperti semula. Saya pun
berharap sejak saat ini hingga seterusnya biarlah pintu itu tetap
menjadi monumen, bukan alat. Saya yakin bagi mereka yang
mengenang darah di sana, bapak dan kawan-kawan adalah
pahlawan yang sebenar-benarnya.”

“Jujur saja, nak, sebelum pintu itu menjadi pelahap ingatan


kami sudah melarikan diri. Pahlawan sesungguhnya terlupakan di
balik pintu itu.”

“Bapak mengenalnya? Sudah barang tentu dia bukan


seseorang yang bunuh diri karena putus asa dan patah hati, bukan
juga orang gila yang dipasung sampai mati. Saya rasa cerita
tentang seseorang dengan pemikiran ‘berbahaya’ paling
mendekati kebenaran misteri sang penghuni kamar tersebut.”

“Nak, apakah dari seorang kawan yang kau dapat cerita


itu?”

“Sebagian dari veteran seperti bapak. Mungkin tak


seangkatan dengan bapak. Saya dengar cerita tentang si pencinta
yang bunuh diri menginspirasi para remaja patah hati untuk
mengunjungi pintu itu sambil membawa minuman, merayakan
kelupaan pada cinta yang gugur. Lalu, pada tren berikutnya pintu
tersebut dikunjungi para calon pelaut sebelum berlayar untuk
waktu lama. Menyedihkan memang, terutama tak banyak orang
yang dapat menerima ingatan buruk sebagai pintu harapan.”

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 67


“Secara pribadi, saya dapat memaklumi itu anak muda.
Selama kau ingin lupa demi kebaikanmu sendiri, demi melihat lagi
kesempatan di hari esok. Namun, yang saya sesalkan bagi mereka
yang dipaksa masuk ke sana karena memprotes betapa korupnya
pemerintahan waktu itu. Mari, saya akan tunjukkan sesuatu.”

Masih jelas dalam ingatan, betapa busuknya tanah di mana


pohon meranti merah itu tumbuh. Sekalipun waktu itu tinggal
kerangka yang berserakan, namun pembusukan malah
meninggalkan jejak sebagai noda kehitaman di atas tanah yang
juga ‘ditumbuhi’ rambut. Pohon itu lebih dari cukup untuk
membuat pintu dan kosennya. Batangnya benar-benar mereka
manfaatkan sampai bisa dibuat menjadi peti mati. Dan itu pun
masih tersisa, sehingga di kemudian hari kami buat jadi patung
dan plakat untuk menyentil pemerintah. Sisa terakhir dibuat jadi
sebuah papan.

“’Dilarang memasuki pintu ini! Jangan lupakan


kemanusiaanmu.’ Bapak yang mengukir tulisan di papan ini?
Tapi, untuk apa? Ah, benar adanya samar-samar tercium amis.”

“Bukankah lama-lama itu akan menyerupai sepotong


daging, dan bila bergetar sedikit saja tidakkah kau bisa merasakan
denyut nadi orang sekarat di sana? Ha ha ha, aku harap itu jadi
bagian dari nisanku kelak.”

“Mengapa bapak tiba-tiba tampak bersedih?”

“Karena dulu aku bersumpah, sebelum maut tiba pintu itu


akan kubakar! Tapi, lupakan saja. Oh, papan itu kubuat demi
keadilan, ini persoalan memanusiakan manusia. Orang biasa

68 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


sampai pemerintah harus membacanya. Dan yang paling
dilupakan adalah keadilan untuk satu-satunya orang yang terjebak
di belakang pintu itu.”

Kami tak tahu sihir apa atau kutukan siapa yang membuat
pintu itu jadi pelahap ingatan di kemudian hari. Barangkali oleh
kesedihan kami yang mengucur bersama air mata dan menetesi
kayu yang akan dibuat jadi peti mati dan pintu. Andai kami dapat
menduga untuk apa pintu itu kemudian, sungguh lapang tembak,
tenggelam, ataupun penyakit adalah ampunan terbaik dari sang
maut. Sebelum menjadi pelahap ingatan, pintu itu melahap
karakter, moral, harapan, juga kewarasan.

“Ini kulakukan demi menebus dosaku pada guru, mertua,


sekaligus sahabatku. Dialah sang panglima yang terpenjara di
bangsal pengasingan. Di kamar sempit yang tak dikunci sama
sekali! Coba kau bayangkan ini, nak, bagaimana rasanya
menyaksikan mayat istri, saudara, dan sahabatmu yang ditumpuk
dan darahnya meresap pada batang pohon yang kayunya adalah
satu-satunya pintu untuk melarikan diri. Pintu sialan yang dibuat
oleh menantunya sendiri. Ada dari kami yang pernah diam-diam
mengintip ke dalam kamar tak berjendela itu lewat lubang angin
yang sejengkal dari atap. Dia menyaksikan bagaimana sang
panglima meringkuk di pojok dan menghadap dinding. Dia tak
mampu menyentuh pintu itu. Pintu yang membuatnya gila sampai
mati. Sayangnya, penghinaan ini tak selesai di situ, mereka taruh
jasadnya ke peti busuk itu seolah berharap jiwanya merasakan
neraka walau dalam perjalanan menuju surga.”

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 69


“Sungguh, saya terharu. Bapak, apa yang bisa kubantu demi
meringankan semua beban masa lalu itu? Apakah dengan
membakar pintu tersebut?”

“Sebaiknya jangan, nak. Membantu kami berarti memasuki


medan perang. Sungguh, Anda tidak keberatan? Sekalipun
dianggap gila karena menceritakan sejarah ini? Baik, itu pilihan
Anda.”

Sampai sekarang kami masih mengingat ajaran terakhir


darinya. Buat apa melawan kalau kau akan tumbang? Katanya
yang berarti tidak melulu kemenangan itu sendiri, tapi
perlawanannya juga. Terutama perlawanan yang dikenang, dan
musuh kita mati-matian menghapuskan kenangan tersebut,
katanya di situlah terdapat nyala api perjuangan. Kenangan yang
membuat generasi mendatang terjaga dan siaga.

“Sejak awal kami memang kalah, nak, dan pintu pelahap


ingatan tersebut adalah simbol kemenangan mereka.”

70 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Maling
Karya Adi Putra Purnama
Juara Harapan 5 Kategori Cerpen

T
olong ... Tolong ... Maling ... Maling ...!!!

Tong tong tong tong tong ... tong tong tong tong tong ... tong
tong tong tong tong ... suara kentongan saut-menyaut,
berbunyi membelah malam yang sunyi, warga kian
banyak yang berlari menuju asal bunyi.

“Bagaimana kejadiannya?”

“Sama seperti yang kemarin. Sekarang sudah lima yang


kehilangan.”

“Apa ada yang melihat?”

“Tidak ada. Tiba-tiba sudah lenyap.”

Pagi harinya di warung, di pasar, di sawah, di tempat


menunggu anak sekolah, dan bahkan di emperan rumah, di mana
pun orang berkumpul, mereka membicarakan tentang kehilangan,
kemalingan. Terhitung sudah lima orang warga desa yang
berjuluk “Kandang Sapi” itu kehilangan, kemalingan. Kejadiannya
sama, tidak ada yang melihat, tiba-tiba sudah tidak ada di dalam
kandang.

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 71


Luas wilayah desa tersebut hanyalah kecil dan berbentuk
persegi. Separuh dari luas wilayah tersebut adalah ladang dan
padang rumput. Warga desa sebagian besar bekerja sebagai petani
dan memelihara sapi yang biasanya diumbar di ladang dan
padang rumput untuk makan di pagi hari. Jika dilihat dari
angkasa, di tengah desa berupa kumpulan rumah warga,
dikelilingi ladang dan padang rumput yang hijau, dengan banyak
sapi tersebar di antara warna hijau tersebut. Oleh sebab itu, desa
tersebut dijuluki “Kandang Sapi”.

***

Semburat cahaya matahari memancarkan dari ufuk timur


yang hangat membelah angin pagi musim kemarau yang dingin.
Gumpalan awan hanya terlihat beberapa di langit. Beberapa warga
berkumpul. Mereka membahas tentang kehilangan, kemalingan
yang enam hari berturut-turut telah terjadi.

“Bagaimana ini bapak-bapak? Kita harus bertindak, ini tidak


bisa dibiarkan begitu saja,” seorang lelaki paruh baya dengan
menenteng cangkul di pundaknya membuka pembicaraan.

“Bagaimana kalau kita lapor ke pihak yang berwenang? Biar


masalah ini ditangani mereka,” lelaki yang umurnya lebih muda
menambahkan.

“Tapi, saya sudah tidak punya uang. Sekarang sedang


musim kemarau, aneka hasil bumi yang ditanam juga belum bisa
dipanen. Ditambah dengan kehilangan sapi. Aku benar-benar
tidak memiliki apa-apa untuk sekarang ini,” keluh lelaki yang
sudah berumur kepala empat, yang termasuk korban kehilangan.

72 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


“Untuk apa uang? Kita cuma melapor.”

“Percuma saja melapor jika tidak ditangani. Sekarang semua


harus ada uang. Proses pun juga memerlukan uang.”

“Kita harus bertindak sendiri,“ teriak lelaki muda yang


berbadan kekar dengan semangat.

“Iya ... benar ... benar ... kita bertindak sendiri saja,” sahut
beberapa lelaki yang lainnya.

“Bagaimana kalau kita agendakan ronda bergilir setiap


malam?” kata lelaki yang termasuk dituakan, memecah keriuhan
warga yang saling bersautan.

“Benar ... ayo kita kabarkan ke warga yang lain tentang


rencana ini.”

Mereka membubarkan diri bagai semut yang keluar dari


sarangnya, menyebar ke pelosok desa untuk mengabarkan
rencana yang telah disepakati. Ronda bergilir dimulai malam ini
untuk menjaga keamanan desa dari maling sapi.

***

Embusan angin selatan terasa dingin menyentuh kulit,


pohon yang bergoyang bersorak berisik akibat daun dan ranting
yang saling bergesekan tertiup angin, langit terlihat cerah dengan
bintang tersebar kelap-kelip tanpa awan yang menutupi. Warga
yang mendapat bagian ronda malam ini mulai menyusuri tiap
sudut desa, jalan utama, jalan pinggiran desa menuju ladang, gang
sempit celah antarrumah, terutama kandang sapi setiap rumah
warga harus diawasi. Setiap inci bagian desa tak luput dari

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 73


pengawasan warga yang berkeliling. Hingga mendekati sepertiga
malam warga yang ronda berkumpul di pos penjagaan.

“Bagaimana, kalian sudah mengelilingi setiap bagian desa?”

“Sudah.”

“Kandang sapi setiap warga?”

“Sudah.”

“Syukurlah, kelihatannya aman.”

“Sepertinya begitu, setiap inci desa kami telusuri, gang


sempit celah antarrumah, jalan tepi desa, setiap kandang sapi
warga sudah kami periksa. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan.”

“Hari sudah mulai pagi, kalau begitu mari bapak-bapak kita


kembali ke rumah masing-masing.”

Mereka bergegas pulang ke rumah masing-masing setelah


menjalankan tugas. Kantuk terpancar dari mata-mata mereka.
Lelah terlihat dari langkah kaki yang sempoyongan. Namun,
kelegaan tergambar dari senyum di bibir mereka. Malam ini dirasa
aman, warga kembali ke rumah masing-masing

Tolong ... tolong ... maling ... maling ... sapi hilang ... tolong ...!!!

Tiba-tiba terdengar teriakan warga yang menggema


mengagetkan petugas ronda. Secepat kilat mereka mengayunkan
kaki ke sumber suara. Puluhan warga terbangun dan berlari
mendekat,

“Bagaimana kejadiannya?”

74 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


“Sama seperti yang kemarin. Sekarang sudah lima yang
kehilangan.”

“Tak ada yang melihat?”

“Tak ada. Tiba-tiba sudah tak ada.”

“Berapa warga yang ronda tadi malam?”

“Delapan warga.”

“Bagaimana bisa terjadi?”

“Kami sudah berjaga sampai sepertiga malam. Kami


berpencar ke segala penjuru desa. Setiap gang kami telusuri, setiap
kandang warga kami periksa, semua aman.”

“Nyatanya tetap ada yang kehilangan. Bagaimana bisa


dibilang aman?”

“Semalaman kami tidak tidur. Berkeliling memeriksa setiap


sudut desa. Semua aman.”

“Sudah ... sudah ... sudah ... bagaimana kalau nanti kita
lapor ke pemerintahan. Ini sudah di luar kemampuan kita,” seru
seorang warga mencoba mencairkan suasana.

“Ya, benar ... benar ... benar ... setuju ... setuju ....”

***

Matahari sudah mulai naik memecah hamparan biru langit.


Angin selatan yang kering berembus menggoyangkan pohon-
pohon, menari, menimbulkan suara desah mengiringi puluhan
pasang kaki bergegas menuju kantor pemerintah daerah. Beberapa
penjaga keamanan berjaga di depan gerbang kantor pemerintah

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 75


daerah. Mereka bersiap siaga, mencoba menghadang puluhan
warga yang berbondong-bondong mendatangi kantor pemerintah
daerah. Seorang petugas keamanan berbadan kurus namun
berwibawa yang adalah komandan keamanan, memakai baju
hitam bertuliskan “security” dengan topi bergambar burung
garuda terpasang di atas kepala, maju paling depan mengadang
rombongan warga.

“Berhenti, bapak-bapak. Ada apa ini? Apa maksud


kedatangan bapak-bapak sekalian secara ramai-ramai ke kantor
pemerintahan?” teriak komandan keamanan mengadang
gerobolan warga.

“Kami ingin bertemu dengan bapak Bupati.”

“Perihal apakah yang membuat bapak-bapak sekalian ingin


bertemu dengan Bupati?”

“Kami ingin melapor perihal hilangnya sapi kami.


Izinkanlah kami bertemu dengan bapak Bupati.”

“Baiklah. Tapi, ruang bapak bupati tak akan sanggup


menampung bapak-bapak semua. Oleh karena itu, alangkah
baiknya, cukup dua saja yang mewakili.”

Gerombolan warga berkerumun, bermusyawarah untuk


menentukan siapa yang akan menghadap bupati. Dua orang yang
mewakili haruslah cakap dan mampu menyampaikan
permasalahan yang sedang melanda warga desa Kandang Sapi.
Akhirnya disepakati dua orang yang mewakili untuk menghadap
bupati adalah tetua desa dan satu warga yang telah kehilangan
sapi.

76 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Didampingi komandan keamanan, mereka memasuki
gedung kabupaten. Melangkah menelusuri lorong-lorong dan
diiringi puluhan pasang mata yang mengawasi, mereka pun
sampai di depan sebuah ruangan dengan pintu kayu indah
berukir. Komandan keamanan mengetuk pintu, terdengar suara
serak nan berat dari dalam ruangan. Pintu dibuka, terlihat seorang
berseragam rapi yang agak sesak di bagian perut karena
membuncit, sedang duduk di sebuah kursi besar empuk di
belakang meja kerja yang berisi beberapa tumpuk map.

“Maaf, mengganggu bapak. Mereka adalah warga desa


Kandang Sapi yang hendak menghadap bapak,” kata Komandan
keamanan.

“Ya. Silakan duduk bapak-bapak, apa yang bisa saya bantu


untuk bapak-bapak sekalian?” Terlihat tangannya mengacung ke
depan mempersilakan dengan nada serak nan berat tanpa
mengangkat tubuhnya dari kursi.

“Begini, bapak Bupati. Warga desa kami sedang dilanda


musibah. Banyak ternak sapi kami yang lenyap secara tiba-tiba.
Ronda malam sudah kami lakukan, namun hasilnya tetap sama.”

“Ya, saya sudah mendengar tentang kasus tersebut dari


salah satu anak buah saya.”

“Kami mengharap sekali bantuan bapak Bupati terhadap


musibah yang sedang melanda desa kami.”

“Tenang, bapak-bapak. Saya akan menangani permasalahan


ini. Sudah kewajiban saya sebagai Bupati untuk melayani rakyat.”

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 77


“Terima kasih banyak, bapak Bupati. Akan kami sampaikan
kabar baik ini kepada seluruh warga desa Kandang Sapi.”

***

Langit tertutup awan mendung yang mulai menggumpal


gelap. Angin mulai bertiup kencang membawa udara dingin
mengenai kulit. Seluruh warga desa Kandang Sapi berkumpul.
Anak-anak, remaja laki-laki dan perempuan, orang tua serta lanjut
usia, seluruhnya memadati alun-alun kabupaten. Di depan mereka
terpasang sebuah panggung besar yang dipenuhi oleh pegawai
pemerintahan dengan sebuah mimbar yang sedang ditempati oleh
bupati berpidato.

“Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, remaja, laki laki dan


perempuan, wargaku semuanya. Saya telah mendengar sendiri
tentang musibah yang sedang melanda kalian semua. Sebagai
kepala pemerintah daerah, sudah menjadi kewajiban saya untuk
melayani serta memberikan kesejahteraan bagi seluruh warga
sekalian. Oleh karena itu, hari ini saya akan melaksanakan
kewajiban saya sebagai kepala pemerintah daerah. Wargaku desa
Kandang Sapi, saya persembahkan untuk kalian semuanya sebuah
monumen yang abadi untuk mengobati kesedihan kalian semua
atas musibah yang telah terjadi.”

Terompet berbunyi, musik marching band benderang, sebuah


kain hitam raksasa terbuka memperlihatkan sebuah patung sapi
besar gagah dengan mata berlian yang bersinar. Hujan turun
dengan deras. Seluruh wajah menyaksikan dengan mulut
menganga tanpa kata serta mata yang meneteskan air mata
bercampur dengan derasnya air hujan.

78 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


PUISI

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 79


Cahaya Zohal
Karya Bayu Hartendi
Juara 1 Kategori Puisi

Peniup angin yang kau kisahkan padaku ketika sebelum subuh


terdengar lenguh menjauh
telah membekaliku sehimpun getun
ke stasiun
Maka kubayangkan sepanjang Padang Panjang
rekah pada sebuah rembang petang

Namun kereta keburu merenggut


lalu berlalu membawaku, menemui kabut
Sepi menggumpal di pucuk-pucuk gunung
jalanan licin menggelincirkan jejakku ke pusaran agung

Di angkasa kabut masih tertebar di antara halimun fajar


tapi aku sadar, mungkin tak sadar,
angin meresapkan sejuk, ke bilai bunga birkin

Dahan-dahan hutan menghampar, menghantar


suatu senja suara samar, kata-kata gemetar:
Cinta bukan padang yang panjang nan menunggu
melainkan kincir yang berporos di pusar kalbu

80 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


bergerak karena angin,
bergerak karena ingin

Ketika kuturun dari kereta


Langit bagai telungkup nyiru
dengan geletar cahaya zohal
“Aku ingin kembali, Ibu.
Padang Panjang indah nian.”

Padang Panjang, 2018

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 81


Di Suatu Kafe yang Belum
Pernah Kita Kunjungi
Karya Gilang Perdana
Juara 2 Kategori Puisi

: buat Ra

/1/
inilah sajak yang tak pernah selesai
menghitung tiap cemasmu—kau membacanya
dan berharap akan menemukan sajak lain
yang tak melarikkan banyak pertanyaan
semisal: "di mana kau menulis sajak ini?"

/2/
kau boleh membayangkan setangkup kanopi
di beranda kafe—berteduh dari deras kata
kau dan aku mengobrol mesra, hanya kita
tak yakin apakah daftar menu selembar ini
menyediakan seporsi jawab tanyamu

82 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


/3/
adakah kata yang kau cari di sajak ini?
aku penyair tak pandai sembunyi, apalagi
menyembunyikan kata—atau cinta. Kau
dan kata boleh bermain petak umpet, aku
menunggumu di kursi ini saja

/4/
inilah sajak yang kehilangan tanda titik
di ujung bait-baitnya—masih kaucari
ke mana kiranya ia menggelinding. Tapi
hanya aku kau temukan di kursi itu
menunggumu, masih sendirian

2018

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 83


Berjantung Pisang
Karya Andre Wijaya
Juara 3 Kategori Puisi

anak panah lesat


menikam dadanya
ia telah lama menanti
mulutnya bergetah
barangkali pernah ia bicarakan
kita mencari-cari tentangnya
dari Kakawin Nagarakrtagama
kita tahu Ken Endok
betis perut padi telah
diperkosa Dewa Brahma
Brahma pencipta Lalateng
—nama ladangnya

oh kita tidak tahu


Ken Endok apakah
melahirkan anak
yang kasar tangan

84 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


kaki belalangnya
telah mengalir
air ketuban dari
rahimnya yang pecah

oh Ken Endok
apakah kau ingin menangis?
aku saja ingin menggunting
tali pusar anakmu
yang tak lepas itu

ia Ken Angrok
Ken Angrok cucu Adam
kau peram dengan
gelinang sabar
tapi kau tinggalkan
bersama semak
dan belukar

Ken Endok
sebenarnya kaulah
anak panah itu
melesat dan menikam
dadamu sendiri

kesalahan itu telah


tertanam di jantungmu

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 85


kau belum boleh mati
anak panah itu kau
cabut dari dadamu
dagingmu sobek
ada bunyi koyak
tapi kau belum
boleh mati

Ken Endok
oh dagingmu
tumbuh kembali
darahnya memaksamu
memejam

telah lama menanti


kami menyebutnya
Ken Angrok

darah dagingmu
segera besar
Ken Angrok
melolosi umur
dan usia
menyimpan
lingkar lubang
di bawah pusarmu

Yogyakarta, 2018

86 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Percakapan di Geladak
Karya Raymondus Braja Restu
Juara Harapan 1 Kategori Puisi

bagi laut, ombak adalah piranti bicara;


dan di telinga, suara angin yang terjaga adalah alat ucap cuaca

banyak kali pantai mengerti—kalau perahu yang tinggal landas


bukan dicuri; karena jika demikian tentu ia tak tahu kapan
terakhir kali buritan nampak di pelupuk daratan

seperti dermaga yang diam karena paham apa itu pulang dan
pergi,
cakrawala tegak, bercerita banyak, soal garis, soal awal yang
dirintis;
tentang jarak dua suasana, tentang langit yang sabar menunggu-
mendengarkan
camar-camar yang belum selesai menuturkan penjelasan

(di perjalanan pulang, di antara Jakarta dan Kupang, 2018)

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 87


Terra Rossa
Karya Afriyan Arya Saputra
Juara Harapan 2 Kategori Puisi

Di antara sebuah buldoser


Matahari terbenam cepat
Remang pada osuarium bertingkat.

Di musim semi
Debu menandai roset, dan ubin khusyuk meratapi dingin
Ketika dikau menutur mimpi: mendapati makam yang kosong

tidak lebih. Sebatas pendar petromaks was-was.


Dan kita saling tatap. Kau mengingat dua puluh abad
yang terlupakan.

Metro, 2018

88 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Pulanglah;
Dandy Hidayatullah
Karya Muhlifa Sulihati
Juara Harapan 3 Kategori Puisi

Di kotamu yang Batavia


kamarmu adalah kerikil
di antara bangunan-bangunan yang menggunung

Kota sepenuhnya godaan;


waktu tak pernah berharga
dan bianglala
selalu tertutup kehidupan yang baka

Sementara di bawah bohlam-bohlam


yang menyemburat ke lorong kenangan
kau adalah
sepi yang berkepanjangan

kau hanya terlalu betah


lantaran rumah bukan lagi wadah
untuk memulangkan lelah dan rindu
ke dalam hangat percakapan
yang telah lama hilang

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 89


Pulanglah!
Plaza tak mampu memberimu mimpi
dari asap knalpot yang pekat
pun tidak dari debu yang rontoknya kian mengakrab

Pulanglah!
kota hanyalah ilusi
pengasingan paling sedih
tempat;
di mana kau kehilangan dirimu sendiri

Probolinggo, 9 Januari 2018

90 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


Lelaki Berwajah Tembaga
Karya Dini Mizani
Juara Harapan 4 Kategori Puisi

dalam senyummu yang gulita,


aku tahu,
pada akhirnya hatimu akan terbenam habis
dalam genggam perempuan bermata rembulan
yang padanya sedu sedan, luka lebam kau sandarkan.
di sana juga kau biarkan hari-hari menggelembung disesaki cinta.

pada akhirnya kau memasrahkan diri,


melahap senja-senja merah
dan membiarkannya padam bersama
linang-linang gamang yang dahulu begitu lekat pada nadi.

lebih jauh lagi, rembang merenangi riak mata


memuara asin pada getas hatimu.

maka biarlah segala nan karam mengukur diam


dan kau teruslah melebur wajah tembaga
menjadi purnama tanpa gerhana
bagi perempuan rembulanmu.

Padang, 31 Januari 2018

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 91


Akad
Karya Wilfridus Setu Embu
Juara Harapan 5 Kategori Puisi

I
Suatu hari anak-anak kita begitu mencintai hujan sedangkan
kita begitu was-was. Membayangkan bagaimana bila suatu hari
salah satu dari kita, kau atau aku, tak lagi diizinkan bangun untuk
mengusap dagu satu sama lain
Apakah anak-anak akan tetap bermain hujan dan kau (kalau
ternyata aku yang mati lebih dulu) tetap awas. Bukan malah pergi
bekerja lebih lama dari para buruh yang meminta nasibnya dilihat
penguasa. Karena apa pun yang dikerjakan negara adalah
memanjangkan garis di layar komputer makin melaju tajam ke
atas sementara kita lebih menyukai jalan setapak penuh rumpun
bambu di sisinya yang menyelam makin dalam
Apakah kita masih setia mengucapkan selamat pagi pada
burung kertas di tiang kelambu bukan malah menengok ke tempat
kau atau aku dulu biasa membaca puisi sambil mengharapkan ada
dengkur lagi meskipun bukan milik aku atau kau. Jika demikian
bagaimana kita mempertanggungjawabkan cerita pastor tua
tentang perkawinan sebagai matematika yang janggal: satu
ditambah satu sama dengan satu.

92 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi


II
Sementara aku menunggui warung yang kita bangun susah
payah dengan pinjaman berilipat-lipat, kau membayangkan
bagaimana manusia dapat mencintai sepanjang-panjangnya jika
waktu dibatasi siang dan malam atau angka 12, 24, 31, 30, dan 29.

Saat itu di warung pinggir jalan sebelah warung kita


sekelompok mahasiswa meributkan cita-cita mereka yang tak
dapat dijangkau kurikulum. Mana bisa merdeka kalau untuk
menjelaskan hasil dari hampir semua pertanyaan mereka harus
mengutip jawaban orang lain

III
Jika aku mati kau hanya perlu menyediakan sepotong tanah
lapang di matamu dengan sesedikit mungkin lilin. Kau tak perlu
mengibarkan bendera setengah tiang apalagi memutar lagu-lagu
patah hati terus-menerus.
Meskipun siapa saja akan patah hati apalagi aku, sebab
ketika mencinta seseorang kau berhenti menjadi dirimu sendiri
dan mulai berpikir dengan kepala orang lain, menulis dengan
bahasa orang lain, berjalan dengan antusiasme yang bukan kau.
Sialnya maut justru mengembalikan hidup dan jiwamu yang dulu
sedangkan kau yang sekarang tak mahir lagi mengenakannya.
Setelah upacara pemakaman yang jauh dari meriah itu,
dengan jiwa gadis dua puluhan dalam tubuh perempuan 70 tahun
kau kembali ke balai-balai tempat dulu jarimu terluka saat
menjahit lengan aku ke jantung kau. Mencari-cari puisi yang
pernah aku kirimkan karena tak bisa lagi memujamu diam-diam.
Sementara dari jauh aku memahat nama kau di nisan aku
sambil mengatur sepasang mata kau yang tak pernah bisa lepas
dari wajah aku.

Di Suatu Kafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi | 93


CV Jejak akan terus bertransformasi
untuk menjadi media penerbitan dengan
visi memajukan dunia literasi di
Indonesia. Kami menerima berbagai
naskah untuk diterbitkan.

Silahkan kunjungi web


jejakpublisher.com untuk info lebih
lanjut

------------------------------------------------
----------------------------
------------

94 | Di Suatu Cafe yang Belum Pernah Kita Kunjungi

Anda mungkin juga menyukai