Novel Komedi
Siti Nurbaya yang ini luar biasa. Ia menyanggupi tawaran menikah dengan saudagar kaya tua
Datuk Maringgih. Utang kedua orang tuanya lunas. Tidak ada cerita kawin paksa. Nurbaya pun
membuka Wisma Atlet Ksatria Mahameru. Ambisinya, mencetak atlet remaja Nusantara
berkaliber dunia.
Tibalah ajang Olimpiade di Jakarta. Kontingen Nurbaya mendapat saingan berat dari Negeri
YunaniRatu Medusa si rambut ular dan Herculesyang berhasrat besar menambang
medali emas. Trik brilian apa yang akan dikembangkan Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih?
BERSAPA KEMBALI
ostalgia masa lalu tentang kenestapaan Siti Nurbaya agaknya musti kita
tinggalkan. Teruntuk Almarhum Marah Rusli, saya memohon maaf sebesar besarnya
telah berniat sengaja mengocar ngacirkan masterpiece Anda. Namun saya bertujuan
mulia. Nama besar Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih saya geser sedikit menjadi lebih
ceria. Karena zaman yang saya dan pembaca hadapi telah berubah dari Anda, Tuan
Rusli. Kami butuh kesegaran berupa tawa. Itulah landasan berpikir saya menulis novel
ini.
Medusa dan Hercules saya hadirkan untuk meramaikan suasana. Mereka
merekrut remaja remaja kuat di Negeri Yunani. Ajang Olimpiade akan menunjukkan
mana yang hebat antara polesan pelatih Nusantara atau Barat. Masing masing tim
dituntut mempersiapkan diri semaksimal mungkin untuk mempertahankan harga diri.
Sanggupkah ksatria ksatria tanah air menggulingkan dominasi para jagoan Yunani dan
bangsa bangsa lain? Pertanyaan besar itu terjawab dalam Ksatria Mahameru.
Terima kasih teruntuk Almarhum Marah Rusli yang telah mengisi masa kecil
saya dengan kisah Siti Nurbaya yang sangat indah. Novia Kolopaking, Almarhum HIM
Damsyik, Gusti Randa, dan seluruh kru serial televisi Siti Nurbaya TVRI, saya
memberikan penghargaan yang tinggi atas kerja keras Anda semua.
Selalu saya berterima kasih kepada legenda komedi Nusantara yang seolah tak
pernah berhenti membisiki saya agar terus berkarya; Presiden Abdurrahman Wahid,
Bang Benyamin Suaeb, dan Warkop DKI. Semoga komedi negeri kita terus berjaya dan
tetap LEGITlincah, elegan, dan menggigit.
Kepada Renny Aprilia Gunawan, terima kasih atas dorongan yang bertubi tubi
agar saya terus berkarya hebat. Para Ksatria Pencocot; Nugie, Widi, Ichwan, Ayol,
Aminullah, Wido, Penyo, Budi, dan Jenderal Gowel, matur nuwun telah jadi sparing
partner mengeruk ide ide cemerlang di jagat ini. Teman teman S1 Teknik Sipil UGM,
saya haturkan penghormatan bagi Anda semua telah memberi ruang bagi saya untuk
berkicau. Sahabat Teknik Sipil S2 Hidro UGM; Adi Surya, Puput, Chandra, Revy,
Irnovia, Tuty, Yulyana Aurdin, Ana Moemoe, Alamsyah, dan Rifky, saya berutang budi
tentang arti kebersamaan. Saya berterimakasih pula untuk sahabat Anggit yang telah
memberi pelajaran tak berhingga berupa mind management. Riri, Siswanto, dan Galih,
tak lupa kuberikan kisah indah ini buat kalian. Terus semangat!
Selamat berekreasi imajinatif buat para pembaca. Kita mengobrol dan
bercengkerama dalam ruang yang hangat sembari minum teh atau kopi spesial melalui
novel ini. Terima kasih yang tulus saya haturkan kepada Anda.
DANIERA
TENTANG PENULIS
yang
ciamik
membuat
penulis
itu.
Sayang,
Kolopaking
sudah
Penulis menggabungkan kisah Siti Nurbaya dengan tokoh mitologi Yunani disertai riset
yang tidak main main. Meskipun tingkat keyakinannya tidaklah penuh seratus persen,
namun penulis memastikan cerita akan menghibur pembaca di kala sedih maupun
senang. Percayalah sama dia.
Di sela proyek merampungkan novel novelnya, penulis memanfaatkan waktu luangnya
dengan berolah tubuh lewat capoeira, badminton, dan renang. Kadang ia melakukannya
dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Bahkan satu tarikan napas ketiga olahraga itu
ia lakukan dengan ajaib. Di alam mimpi tentunya untuk kombinasi ini.
6 Hero & Ancaman Bom di Borobudur merupakan debut novel penulis. Novel
keduanya yang berjudul Dua Burung Gereja di Kubah Emas Masjid juga siap
meramaikan khazanah literasi Nusantara. Penulis sekarang tengah sibuk menulis novel
keempatnya Adam dan Hawa yang bergenre komedi cerdas.
DAFTAR ISI
Bagian 2: Akselerasi
Perekrutan Bibit Muda ................................................................................
Rapat Pertama Ratu Medusa ........................................................................
Zona Papua - Sulawesi ................................................................................
Zona Kalimantan Bali & Nusa Penida .......................................................
Zona Jawa Sumatera .................................................................................
Bagian 3: Victory
Yunani: Kecerdikan Medusa .......................................................................
Perjanjian Suci Menuju Olimpiade Jakarta ...................................................
Pembukaan Olimpiade .................................................................................
Venue ke Venue ...........................................................................................
Konspirasi Hercules dan Cat Woman ...........................................................
Bagian 4: Sayonara
Penutupan Olimpiade ....................................................................................
Jamuan Makan Malam .................................................................................
Sampai Jumpa di Olimpiade Berikutnya........................................................
Jawara ...........................................................................................................
Tokoh tokoh
Siti Nurbaya
Perempuan berdarah campuran; Jawa dan
Minangkabau. Progresif, bermental baja dan
Datuk Maringgih
Juragan kaya raya. Punya beragam jenis usaha
yang tersebar di seluruh negeri. Salah satunya
Ratu Medusa
Perempuan berambut ular. Masa kecilnya suram.
Terdidik oleh alam, ia tumbuh sangat hebat.
Hercules
Menteri Pemuda dan Olahraga yang pemalas dan
miskin kreasi. Ia anak Dewa Zeus namun sangat
Cat Woman
Atlet naturalisasi Yunani asal Negeri Amerika
Serikat. Mentalnya licik, suka menggosip, dan
Arjuna
Ksatria berbudi halus yang mahir memanah.
Meskipun berkesan lambat dalam mengambil
Punakawan
Pembantu Ksatria ArjunaSemar sang Romo,
Gareng, Petruk, dan Bagong. Berempat mereka
Bagian 1:
KECEPATAN AWAL
Sekarang pukul sepuluh malam. Banyak pasien telah terlelap. Mereka melupakan
sejenak rasa sakit.
Di gang Flamboyan. Suara merintih terdengar. Di kuping terasa nikmat untuk
sekadar mendekat. Oleh mereka berhati peka, rasa simpati akan timbul. Ini tempat
perawatan bagi orang sakit untuk sembuh. Ialah sebuah kewajiban untuk menjaga otak,
obrolan, dan tingkah laku agar berisik tidak terjadi di sini.
Aku nggak mau seperti ini .
Suara setengah menyayat pecah. Nada terakhirnya meliuk bagaikan biduanita
dangdut kesetanan di atas panggung mendendangkan tembang sedih namun terus
bergoyang heboh. Kali kedua. Kembali, kalimat yang sama meluncur. Sangat keras.
Suara perempuan. Sangat tidak mungkin jika lelaki karena cita rasa suaranya lepas dari
mulut tanpa tersangkut bola jakun.
Kamar 212 lah suara itu berasal. Di lantai 2 kamar nomor 12 tepat di samping
WC. Bukan kamar kontrakan si Wiro Sableng, pendekar dungu yang sering mengaku
ngaku cerdas. Di sini, bau hutan cemara dari pewangi lantai menguar. Sejuk dan
menenangkan. Namun tetap saja tak menghentikan jeritan seorang perempuan di dalam
kamar rawatan itu.
Istri Datuk yang masih bertahan adalah Siti Nurbaya. Ia sedang ada di dalam
kamar 212. Bukan dia yang sedang dirawat atau digips kakiknya menggantung ke atas.
Sejak dulu, Siti Nurbaya selalu menjaga dirinya agar tidak cidera saat beraktivitas. Saat
disuruh Mamak atau Ayahnya untuk menimba air, ia selalu melakukan pemanasan.
Siap, Mak! Saya puntir puntir ini kaki sama badan dulu! teriak Nurbaya dari
pekarangan Rumah Gadangnya suatu waktu.
Cepatlah kau, Nak! seru si Mamak dari jendela rumah sembari menginang.
Lima menit lagi, Mak. Otot otot di bokong saya masih kaku.
Nurbaya tahu jika perintah orang tua wajib ia laksanakan. Tidak boleh
mendengus atau berkata ah karena Tuhan akan murka. Setelah badan lentur, Nurbaya
berlari ke sumur, dan menimba air dengan gembira. Walhasil, lengan tangannya besar.
Seperti Aak Ade Rai yang gagah itu. Dadanya padat mengencang. Berkah dari manut
pada Mamak dan Ayah sangat luar biasa. God bless us.
Sudahlah, Mbak Medusa. Istirahatlah. Tenangkan dirimu. Tak usah disesali.
ucap Nurbaya.di samping ranjang yang di atasnya membujur perempuan berparas cantik
namun botak. Ia tak punya sehelai ramputpun.
Kekuatanku hilang, Sis! jerit si perempuan pesakitan yang ternyata Ratu
Medusa. Perempuan Yunani berambut ular.
Nurbaya mengelus ngelus dan menepuk lembut lengan Medusa. Ia ingin
menyalurkan rasa empatinya, berharap si perempuan gundul di hadapannya tenang.
Mataku . Medusa melengking lagi. Mataku buta! Aku nggak bisa lihat
cowok cakep lagi . Kurang ajar itu Hercules. Bedebah Cat Woman!
Medusa punya kekuatan gaib. Barang siapa menatap matanya, orang itu akan
menjadi batu. Sekarang si ratu berkepala ular tak mampu berbuat apa apa. Ia telah
nyaris binasa oleh Hercules yang diperalat Cat Woman. Mereka berdua berkomplot dan
mencukur habis rambut ular Medusa. Mata si ratu juga mereka cungkil.
Aku tak bisa hidup begini . Medusa bangkit, merangkul paksa Nurbaya.
Tapi ia seperti merangkul udara. Nurbaya yang berbaju pink tak tepat untuk direngkuh
Medusa yang hatinya sedang hancur total.
Di sini, Mbak.
Nurbaya menarik lembut tangan Medusa yang basah oleh air mata. Ia
merangkul teman barunya, Medusa, yang sebelumnya musuh dirinya di ajang
Olimpiade. Mereka saling bersaing di pentas olahraga empat tahunan yang telah
berakhir sehari lalu.
Ya, karena tim kita dapat juara dua, Datuk! kata Arjuna bersemangat. Semar di
belakangnya memancarkan wajah yang sumringah. Bercahaya. Ketiga anaknya memilih
duduk di lantai. Mereka tampak kelelahan.
Tim mana yang jadi juara umum? Bola mata Maringgih berputar. Bibirnya
bergetar bagaikan menahan kekecewaannya tim Nusantara tak berhasil jadi jawara.
Yunani, Datuk! kata Arjuna polos. Kita sudah maksimal, Tuk. Empat tahun
lagi kita balas.
Maringgih menelan ludahnya. Ia mencoba menata hatinya untuk legawa
menerima kekalahannya. Masih terbentang waktu memperbaiki kekurangan. Latihan
lebih keras lagi. Merombak strategi agar lebih tepat sasaran. Semuanya.
Ratu Medusa kabarnya dirawat di sini, Datuk? Arjuna bertanya sambil
meletakkan jemparingnya yang berukuran besar. Kostumnya menyala nyala.
Maringgih mengangguk. Wajahnya kusam.
Ada apa dengan dia, Datuk? tanya Arjuna yang menunjukkan rasa kuatirnya.
Eh eh tidak ada apa apa! ucap gagu Maringgih. Dia ada di dalam. Sama
istriku. Mau jenguk?
Sejurus Arjuna dan empat Punakawan membuntuti Maringgih yang berjalan
terseret. Rembulan di atas rumah sakit suram. Ia seolah merasakan beban yang tengah
Medusa tanggung saat ini. Para kelelawar memeriahkan malam. Mereka berlomba
menyesap pepaya dan buah buahan ranum lain di pekarangan Atau kalau mau mereka
menubruk seorang janda yang berkeliaran di malam buta ini. Darah di leher perempuan
itu berasa gurih dan membangkitkan semangat hidup.
Dua perempuan dan lima lelaki berkumpul dalam ruang 212. Maringgih menuju
sisi ranjang Medusa. Ia menatap iba perempuan yang kini tengah hancur secara
kejiwaan. Nurbaya menggenggam tangan suaminya itu. Meremasnya, seolah ia mulai
paham gelagat Maringgih yang bersiap memohon izin untuk berpoligami.
Hentikan, Pa! seru Nurbaya. Aku tahu yang ingin kau lakukan .
Mendadak mata Nurbaya banjir. Ia terisak sesenggukan.
Ada apa, Ma? Aku tak maksud apa yang kau katakan! Maringgih tak kalah. Ia
ikut ikutan menumpahkan air matanya. Di malam ini kecengengannya kambuh.
Gareng membuka tasnya. Ia mengulurkan tisu secara bergantian. Ke Nurbaya
yang langsung menarik kuat, sedangkan Maringgih malu malu kucing menerima
tawaran tisu.
Sudah, Pa , teriak Nurbaya. Kali ini Nurbaya yang menguasai ruangan. Ia
meraung sejadi jadinya. Perempuan memang peka jika ada keganjilan. Aku tak mau
DIMADU!
Bagaimana Mama tahu aku akan minta izin menikahi Medusa?! ucap
Maringgih keheranan.
Ratu Medusa meloncat. Setinggi sepuluh senti yang menimbulkan bokongnya
beradu dengan kasur. Ranjang bergoyang seolah tsunami menghantam. Medusa
memelotot lototkan matanya, menampar nampar pipinya sendiri, berharap ini tak tengah
terjadi pada dirinya.
Apa? Aku mau disunting? ia bertanya dalam napas memburu bagaikan seorang
banteng matador. Oleh siapa?
Dalam batin Medusa, ia sangat antara berharap dan emosi. Selama ini, tak ada
cowok yang berani mendekatinya. Mereka takut dan beralasan beristri perempuan
berambut ular adalah kecelakaan. Amarahnya meledak karena ia tak tahu siapa lelaki
yang Nurbaya maksud; gendut dengan perut sebesar karung beras, berkumis tebal bak
Hitler atau Andi Alfian Mallarangeng, atau malah seorang cebol jelek namun baik hati?
Katakan segera siapa dia, Mbak Nur! Medusa menggayuh gayuh tangan
Nurbaya. Tambah satu lagi masalah dalam dirinya; suami, setelah matanya buta dan
rambutnya yang botak.
Papa. ucap Nurbaya lirih. Datuk Maringgih yang akan meminangmu, Mbak
Medusa.
Arjuna dan Punakawan pendampingnya tenang berdiri. Mereka tidak mau
terlibat dalam urusan tiga orang di depan mereka. Medusa menarik napas, dadanya
mengembung.
Apakah kau rela aku jadi madumu, Mbak Nur? tanya Medusa. Suaranya
melembut pasrah.
Tidak! Nurbaya berkata menekan. Terus terang. Diriku tidak mendukung
poligami, Mbak Medusa. Harap dirimu memahami pilihanku.
Maringgih menelan ludah. Dalam tubuhnya bergejolak. Keringat dinginnya
mengucur.
Sudah cukuplah kau bermain asmara, Pa! kata Nurbaya sembari menatap
dalam suaminya Maringgih. Ingatkah kau saat kau berjanji dengan bersimpuh. Kau
elus elus kakiku. Hatiku panas waktu itu, Pa. Nyaris kau kutendang. Tapi aku punya hati
welas asih. Kuterima permintaan maafmu, Pa. Ingat tidak?
Maringgih terdiam. Memorinya muncul lagi. Ia malu. Keteguhan prinsipnya
sedang diuji sekarang. Secepat kilat ia melihat kepala Medusa yang terbalut perban. Ia
menunduk kembali.
cepat balik ke rumah. Sang bini, Srikandi, sudah mengoceh berderai derai di ujung
telepon. Karena panik, Arjuna memberi instruksi ke Semar dan tiga anaknya pada jalan
yang salah. Mereka berada di pesta rakyat tahunan. Penonton ramai. Penuh. Mereka
bersorak sorai, mengelu ngelukan Arjuna adalah dewa yang turun dari kahyangan.
Hibur kami, Dewa! Kami haus tontonan bermutu! teriak seorang ibu bertubuh
gendut sambil mendorong dorong Arjuna naik panggung.
Kalian juga berempat. Lucu sekali kostum kalian! seorang bapak menarik
paksa Semar dan tiga anaknya ke panggung menyatu dengan Arjuna, si tuan besar
mereka.
Semar sebagai pengayom menenangkan penonton. Ia menaikkan telunjuk tangan
kanannya ke hidung. Sebelah kiri memegang mikrofon yang sudah menyala merah.
Mohon kalian para warga tenang. ucapnya. Ketiga anaknya anteng di
sebelahnya.
Tolong kita berpikir jernih. lanjutnya. Saya tahu, kalian sudah muak dengan
apa yang kalian lihat sehari hari. Korupsi oleh pejabat lepas nurani, perkosaan
perempuan tua belia bahkan janda, pengutilan pensil di swalayan. Semua. Kalian pasti
butuh sesuatu yang segar dan menghibur. Tapi kalian harus ingat, sesuatu yang tidak
murni berasal dari kalian, pasti kalian akan cepat bosan dan meninggalkannya cepat. Itu
sudah pasti. Ide hiburan musti dari kalian. Silakan dipikirkan.
Para penonton di bawah panggung menggaruk garuk kepalanya. Mereka tidak
tahu harus berbuat apa. Tidak ada sama sekali ide dalam otak mereka. Selama ini
cekokan yang mereka dapat. Tantangan Semar tidak ada yang mampu menjawab.
Seorang perempuan tunjuk tangan. Nurbaya. Ia menggamit suaminya yang kurus
kerontang, Maringgih. Naik panggung dengan percaya diri, ia mengajukan tangannya.
Hiburan apa yang terbaik buat warga di sini. Di kota ini. Di negeri ini?
Nurbaya menelengkan kepalanya. Ia memutar pinggangnya sedikit agar saraf di otaknya
beraksi. Memanas untuk bisa mengalirkan ide yang hebat.
Olahraga! seru Nurbaya dengan tangan mengepal. Mulai malam ini, saya
berikrar untuk memajukan olahraga bersama warga.
Maringgih melonjak seperti atlet lompat jangkit. Ia sangat bersemangat jika
istrinya membahas olahraga. Ini karena kegemaran Maringgih menari salsa. Saat
keringat mengucur deras, membasahi seluruh badan, itulah keseksian tampak kentara.
Maringgih selalu mengajak Nurbaya tiap malam berlatih salsa. Dengan itu, hubungan
mereka semakin hot dan terikat erat.
Setelah acara pesta rakyat ini, saya bersama suami saya Datuk Maringgih akan
membuka sanggar olahraga. Seluruh biaya dari kami, warga tinggal memakai fasilitas
yang akan kami beli. Apapun keinginan warga; suka berenang akan kami bikinkan
kolam. Senam, kami siap membuat tempatnya. Berkuda, kami berdua sekuat tenaga
menghadirkan kuda kuda hebat dari seluruh penjuru negeri.
Tepuk tangan membahana. Hadirin mengangkap kobaran semangat yang
digelontorkan oleh seorang Nurbaya. Semangat mereka terpantik sempurna malam ini.
Imajinasi mereka telah hadir kuat. Besok, mereka akan menyebarkan berita
menyenangkan dan menggairahkan ini ke penjuru kota. Ke seluruh negeri jika mereka
mampu.
Kami mengharapkan bantuan para hadirin di sini. Warga semua. Mulai besok,
mari kita rumuskan bagaimana membikin olahraga yang asyik dan menjadi gaya hidup.
Bagaimana, Saudara saudara?
tangannya
bergoyang
goyang
riang
menampilkan
jam
tangan
sederhananya.
Dengan senang hati, Pak Semar. Mas Arjuna boleh membantu apa saja. Saya
dan suami memberi kebebasan untuk berkreasi. Nurbaya berkata sangat cepat. Otak
dan hatinya langsung melesat seperti anak anak panah di punggung Arjuna.
Itu jemparing buat apa, Mas Arjuna? Nurbaya bertanya pada Arjuna.
Busur panah ini? tunjuk Arjuna ke jemparingnya. Tingginya sedagu empunya.
Gagangnya yang kokoh berwarna cokelat tua yang menentramkan. Senarnya mengilat
oleh lampu. Buat pajangan saja, Mbak Nurbaya.
Ah, Mas Arjuna rendah hati sekali! seru Nurbaya. Pasti Anda jago memanah,
ya?
Arjuna tersipu. Pipinya merona. Ia ksatria yang tidak banyak bicara. Berucap
seperlunya. Logatnya yang gemulai hanya kalah oleh suara kentutnya yang seperti bom
nuklir. Arjuna mengakui kelemahan itu di hadapan Semar dan tiga anaknya.
Hebat! seru Nurbaya ke hadirin. Kita sudah punya mahaguru memanah. Mas
Arjuna. Selanjutnya kita bersama akan mencari pelatih berbakat lain. Dari cabang
olahraga lain. Juga atlet atlet yang kelak membanggakan kita. Hari Minggu besok, kita
akan memulai. Siapa yang tertarik, datanglah ke rumah kami. Jam 9 pagi.
Mohon maaf, Mbak Nurbaya. Sudah cukup? tanya Semar.
Apanya, Pak Semar? Nurbaya tak tahu maksud Semar.
Obrolan di mikrofon Anda.
Semar berkata tanpa bermaksud memotong pembicaraan. Ia tahu batasan mana
kesopanan atau kelancangan.
Cukup, cukup. Kami tunggu wahai Hadirin!
Nurbaya turun dari panggung. Maringgih menyambut dengan pelukan mesra
hangat. Semar bersama tiga anaknya dan Arjuna yang dianggap dewa segera
menginstruksi warga untuk turut bergabung di padepokan Nurbaya esok hari. Mereka
manut dalam anggukan yang mantap. Kata olahraga terus mengiang di telinga,
merambat ke otak, dan menyebar ke seluruh tubuh warga. Semar tersenyum ke Arjuna.
Namun melotot ke tiga anaknyaGareng, Petruk, dan Bagong. Seolah ia ingin berkata
semua tadi adalah hal sangat penting yang harus dilaksanakan biar warga sehat jasmani
dan ruhani.
Ya, Mas Datuk. Saya mendengar. ucap Arjuna sangat bijaksana. Rautnya yang
tampan masih terus terusan mendebarkan jantung Nurbaya. Tapi Nurbaya punya Tuhan
yang tak membolehkan perselingkuhan terjadi.
Kau harus menikahi Ratu Medusa! Maringgih langsung berlari ke pojok ruang
perawatan 212. Kesal dan kecewa tampak dari gerak tubuhnya yang seperti kilat. Ia
menunduk.
Mata Nurbaya melebar. Ia senang. Dalam hatinya, ide ini sangat brilian.
Kemungkinan Maringgih berpoligami musnah. Selain itu, Nurbaya mendapat tembok
yang tinggi untuk segera memupus rasa kagumnya pada Arjuna. Karena ksatria gagah
itu menikah dengan Medusa.
Medusa menoleh noleh. Ia tahu sebelumnya sosok Arjuna yang tampan itu telah
mengunguguli anak buah Yunaninya pada Olimpiade Jakarta. Andai matanya tidak
buta, ia akan melompat mengiyakan sekaligus menarik Arjuna seketika ke KUA untuk
menikah. Medusa tersenyum.
Bagaimana, Mas Arjuna? tanya Nurbaya.
Maringgih masih bergeming. Ia mengeluarkan hape dan berpura pura sedang
bermain angry birds. Dalam cemberut ia menggoyang goyangkan tangannya.
Sa ya ., Arjuna terbata bata berkata.
Semar maju selangkah. Ia ingin berucap sesuatu namun tertahan.
Apa karena Mbak Medusa buta dan botak kepalanya? tanya Nurbaya.
Hati Medusa kembali teriris. Ia menekan nekan dada. Payudaranya. Akalnya
melenting ke angkasa. Meringis dirinya.
Saya sanggup, jawab Arjuna. Tapi .
Arjuna menoleh ke Semar. Ia seolah meminta pertimbangan punakawannya itu.
Dua telapak tangan Semar membentuk huruf T: Time out. Ia dan Arjuna
memohon waktu sebentar untuk berdiskusi. Lima menit mereka berada di luar ruangan.
Di dalam, semua gelisah. Gareng, Petruk, dan Semar saling berbisik berisik.
KERIUT .
Arjuna muncul kembali. Semar yang membuntutinya menjentikkan jari
telunjuknya ke arah Bagong. Ia meminta anak bungsunya untuk berdiri di dekatnya
sambil tetap mendekap kardus rahasianya.
Semar mengambil waktu bicara setelah tahu Arjuna kikuk ingin memulai.
Tadi kami berdua berembug, katanya. Tuan Arjuna bersedia menikahi
Medusa.
Alhamdulillah . seru Nurbaya sambil meremas remas kepala Medusa. Kau
bisa jadi warga Indonesia, Mbak Medusa . Naturalisasi lewat pernikahan!
Benarkah? tanya Medusa menengok kanan dan kiri. Ada seorang pangeran
yang akan menunggangiku?
Aduh, Mbak Medusa jadi aneh. Nurbaya menelan ludahnya. Mbak dapat
kabar baik langsung amnesia. Anda bukan kuda .
Ya maksudku, ada lelaki yang bersedia meminangku. Menerima apa adanya
diriku. Dengan kebutaanku. Rambutku yang gundul seperti ini? Medusa menepis
tangan Nurbaya dari kepalanya. Ia memijat mijat kepalanya sendiri seperti seorang
kapster salon pemula sedang ujian creambath.
Ada! seru Nurbaya. Arjuna telah memutuskan mau jadi suamimu!
Wah! Medusa bersorak kegirangan. Ia mengepalkan tangannya.
Semar meletuskan kentutnya. Ia berkali kali memohon ampun atas khilafnya ini.
Lalu ia melanjutkan perkataannya yang sempat terputus.
Bagong membuka kardus. Ia melongok untuk tahu apa yang ada di dalamnya.
Tertawalah dirinya. Kardus ia serahkan ke ayahnya Semar. Ia duduk bersimpuh sambil
memegang megang perutnya yang kaku oleh tawanya yang pecah.
Ada apa, Gong? Kenapa kau bisa tertawa seperti itu? Arjuna bertanya.
Sekarang kardus berada di dekapan Semar. Ia mengambil napas dan memandang
lekat lekat Medusa yang dahinya mengernyit.
Kalian mau tebak isi kardus ini apa? tanya Semar sembari memindai seluruh
pengisi ruangan. Petruk menunjukkan tangannya.
Ya kamu, Petruk! Semar mempersilakan.
Petruk menerawang. Ia menerka nerka apa kesukaan ayahnya; makanan, ubi,
minuman, celana kolor warna hitam, sebuah kepala seorang perempuan cantik nan
bahenol, atau mas kawin untuk pernikahan Arjuna tuannya dan Medusa.
Ayo, katakan! seru Semar. Kok malah diam .
Petruk menggelengkan kepala sambil menurunkan tangannya. Ia belum mampu
mengungkapkan pendapatnya.
Yang lain . ucap Semar memancing jawaban.
Semua tidak tahu. Setelah adegan demi adegan terjadi di ruang 212 ini, seolah
energi meluap tak berbekas. Menjawab pertanyaan asal pun mereka tidak mampu.
Bagong, Semar menoleh ke Bagong. Apa tadi yang kau lihat sampai
terpingkal pingkal?
Aku, Romo? Bagong masih menetes neteskan air mata. Tadi saya malah
menangis, Romo .
Semar terhenyak. Bagaimana bisa tawa yang meledak Bagong mengatakannya
sebagai tangisan? Apakah anak bungsunya tadi kesurupan, rabun mata yang akut, saraf
otaknya terguncang, atau mengapa.
Coba terangkan kenapa kamu tadi menangis sejadi jadinya? tanya Semar.
Arjuna tersenyum simpul. Pada momen ini ia tampak sangat melankolik.
Baik, Romo. ujar Bagong sambil berdiri. Ia melihat dua kakaknya. Maafkan
aku, Kangmas Petruk dan Gareng.
Dua kakaknya itu melemparkan sorot mata mendukung adik kecilnya terus
berbicara.
Saya tadi melihat rambut perempuan. Hitam pekat. Tadi aku berpikir apakah itu
kepala manusia yang baru saja dipenggal! seru Bagong.
Nah, benar kan satu tebakanku! Petruk ikut berseru.
Semar menjewer telinganya sendiri sebagai tanda Petruk harus tenang.
Dan aku membayangkan kepala itu adalah ibuku. Bagong mulai terisak.
Mungkin aku terlalu berlebihan, Romo. Aku merasa Romo membunuh, Ibu!
Semar mendekati Bagong. Ia merangkul menyalurkan naluri kebapakannya dan
berujar:
Bagong, Romo masih punya naluri yang baik. Tidak mungkin Romo melakukan
kejahatan yang seperti kau sebut tadi. Kebaikan adalah fitrah. Kita tidak boleh
menampiknya, melakukan keburukan dengan alasan apapun.
Baik, Romo. kata Bagong manut. Namun sorot matanya masih menyimpan
pertanyaan yang setiap saat meluncur. Ia menahannya terlebih dahulu.
Semua ingin tahu apa yang ada di kardus ini? Semar seperti ingin mengunci
rasa penasaran seluruh orang di dalam ruangan ini. Jawaban sebentar lagi hadir.
Semar memasukkan tangannya yang gemuk. Ia memejam dan menarik berikut
satu rambut palsu berwarna cokelat. Wig ikal. Bergelombang bak ruas jalan yang
membuat keriting perut para pengendara yang melintasinya.
Ini untuk, Jeng Medusa. ulur Semar. Biar kepercayaan dirimu timbul lagi.
Pakailah ini setiap saat kau mau. Itu hadiah dariku. Kuminta dari para Raksasa yang
bermukim di Gunung Semeru. Mereka baik, bersimpati padamu, dan titip salam
persahabatan.
Nurbaya menyambut wig cokelat itu. Ia memegang tangan kiri Medusa. Si eks
ratu berkepala ular meraba raba, mengelus elus wig, dan meresapi setiap usapannya.
Terima kasih, Pak Semar. Medusa berucap. Tapi bagaimana dengan mataku?
Adakah di antara kalian yang mau mendonorkan mata kalian. Nurbaya satu. Bagong
satu. Aak Arjuna?
Semua mendelik. Ide Medusa berasa konyol. Untungnya, ia tak meratap. Hadiah
wig sudah membuat hatinya terhibur.
Jeng Medusa, kata Semar. Diajeng pengin bisa lihat lagi?
OFF COURSE, SIR! teriak lantang Medusa. Ranjang berguncang hebat.
Cepat, Pak Semar Bagaimana caranya?
Kembali, Semar memasukkan tangannya ke kardus. Ia mengaduk ngaduk seperti
seorang pesulap yang sebentar lagi mengeluarkan kelinci lucu yang berwajah tak
bersalah.
Satu wortel berukuran selengan Semar mengilat di udara. Warna jingganya yang
menyala membuat Maringgih yang sedari tadi diam maju. Ia mendekat Medusa yang
sudah tidak mungkin lagi ia poligami.
Ini harus Jeng Medusa makan. ucap Semar.
Saya makan kertas, Pak Semar? Oh tidak tidak saya bukan kutu buku!
Tangan medusa menangkis nangkis bagaikan pendekar badminton yang diserang
lawannya secara membabi buta.
Wortel, Dik Med , kata Maringgih lirih. Nurbaya melotot. Eh, eh
Wortel, Mbak Medusa.
Aku bukan kelinci, Pak Semar! seru Medusa.
Sudah, Mbak Medusa. Kau turuti saja apa yang Pak Semar katakan. kata
Nurbaya.
Tapi harus ada syaratnya, Jeng Medusa. Semar menarik wortelnya tepat di
depan perutnya yang bagaikan drum marching band.
Apa itu, Pak Semar? tanya Medusa sambil menelengkan kepalanya.
Semar memindai semua orang yang ada di ruang 212. Ia juga melihat kipas
angin, kalender yang menempel di dinding di sebelah kanan Medusa terbaring. Semar
terbatuk dua kali.
Ada dua, Semar mengacungkan dua jarinya. Tanda V ia bentuk seolah ingin
mengatakan mereka semua penyandang kemenangan, victory, dalam perdamaian, veace.
Perhatian tersedot ke sosok Semar.
Pertama, besok Jeng Medusa dan Arjuna menikah. Kita semua akan mengantar
ke KUA. Jeng Medusa serta merta menyandang WNI dan tinggal di negeri ini bersama
suami Anda. Arjuna.
Arjuna mengangguk setuju. Tiga anak Semar anteng. Nurbaya dan Maringgih
saling berangkulan seolah tengah menonton peserta lomba Stand Up Comedy yang
berkisah kegalauan dirinya yang menyayat hati. Tidak lelucon yang ia tampilkan di
panggung.
Kedua, tambah Semar. Saya mohon Jeng Medusa ikut terjun mendidik anak
anak muda di Padepokan. Melatih olahraga. Ilmu yang Jeng Medusa punya pasti cukup
buat kasih bekal remaja dan anak anak jadi atlet hebat di olimpiade empat tahun
mendatang. Go international. Itu saja, Jeng. Bagaimana?
Yes, I will! seru Medusa.
Semua sudah beres. kata Semar.
Semar sudah menunaikan tugasnya dengan sempurna. Nurbaya membantu
Medusa makan wortel ajaib yang sebentar lagi membuat matanya bisa melihat. Satu
kunyah, pahit. Medusa ingin memuntahkannya. Nurbaya menguatkan perempuan asli
Yunani itu untuk terus berjuang menelan wortel. Dua tiga kali Medusa mencoba
mengulang kunyahannya. Mulai manis meresap ke lidahnya. Sensasi luar biasa ia
dapatkan. Medusa kalap, menyerobot wortel ajaib itu, dan melahapnya tuntas. Ia pun
tertidur.
Seperempat jam ia terbangun. Di atas tubuhnya: Arjuna. Mereka berbalas
senyum. Cinta mulai mengalir pada diri mereka.
BAB 2 KAWIN
MEMAKSA SITI
NURBAYA
umpet di luar rumah. Ibu ibu bergosip, meletuskan tawa mereka tanpa menutup mulut.
Bapak bapak pun tak mau kalah. Mereka duduk memutari sebuah meja yang penuh
cangkir cangkir kopi dan dua asbak. Pidato saling bergiliran dari mulut mereka yang
berbuih buih.
Kisah ini dua tahun sebelum Ratu Medusa masuk rumah sakit dan terbujur
dalam kedepresiannya. Dua tahun pula sebelum pesta Olimpiade Jakarta berlangsung.
Sabtu malam setelah pertemuan Nurbaya dan Maringgih dengan ksatria bernama Arjuna
dan empat Punakawannya. Di sini, di Tanah Jawa. Tepatnya, di kaki Gunung Semeru.
Nurbaya tengah berada di sumur belakang rumahnya.
Rumahnya joglo. Bukan Gadang seperti yang orang orang sebut dan sebarkan.
Kisah ini berbeda karena Siti Nurbaya mempunyai darah campur campur. Seperti es
buah yang sedap dengan warnanya yang ramai, Nurbaya keturunan Minang seperempat,
Jawa seperempat, separuh lagi tidak terdeteksi. Karena lembar silsilah keluarga Nurbaya
dimakan rayap, hanya separuh yang tersisa, hanya dua etnis saja yang ia kenal dan tahu.
Pernah waktu kecil Nurbaya jadi bulan bulanan sebayanya ketika main layang
layang di sawah. Ia perempuan sendiri, sedangkan yang lain laki laki. Satu temannya
yang berbadan bongsor dan giginya tonggos berseru dari kejauhan.
Nur, pulanglah kau! Emakmu bantu masak rendang. Sebentar lagi buka itu
warung Padang dia!
Nurbaya cemberut. Ia melotot dan meninju ninju udara. Sangat kesal ia diserang
perkataan seperti itu. Tomboi si Nurbaya. Tak suka pakai rok, mainnya sama teman laki
laki. Memasak sangat ia benci. Ia lebih suka bermain, berlari, kejar kejaran, bahkan adu
jotos. Sama teman laki laki. Tak pernah sekalipun ia adu mulut atau jambak rambut
dengan teman perempuannya.
Ngapain KAU, Gembrot! tantang Nurbaya. Apa kau mau layang layangmu
jadi nasi padang? Biar nggak bisa terbang heh?! Mewek kau .
Teman teman lelaki Nurbaya mundur. Mereka tak mau berurusan panjang
dengan Jagoan Betina begitu mereka sebut Nurbaya. Tinggi yang di atas rata rata
bocah perempuan, suaranya yang lantang, dan pandangan yang kalau malam seperti
elang dan malam bagaikan burung hantu, membuat Nurbaya disegani baik lawan
apalagi kawan.
Suara deham menyadarkan Nurbaya dari lamunannya. Tangannya terangkat dari
ember yang penuh busa sabun. Ia mencelupkannya ke air bilasan dan mengusap ke
roknya yang berwarna ungu. Maringgih suaminya mengelus rambut kepala Nurbaya.
Bukan rambut ketiaknya.
Kau terlalu bekerja keras, Sayang! sapa Maringgih. Malam malam dingin
begini kok nyuci .
Maringgih bertemu Nurbaya untuk kali pertama saat ia berumur tiga puluh enam
tahun. Ia sudah menikah dengan istrinya yang ketiga, seorang perempuan cerewet
bertubuh jangkung. Nurbaya ketika itu masih sangat muda. Dua belas tahun. Gadis yang
superaktif ini mengguncang jiwa Maringgih.
Jelas Maringgih hanya menelan ludah, tak ingin menubruk Nurbaya muda. Ia tak
ingin masuk penjara dengan tuduhan phedofilia, menyukai anak di bawah umur.
Maringgih sangat sadar jika usia Nurbaya sama dengan anak perempuan bungsunya.
Satu kelas. Tertutuplah sudah kekaguman Maringgih pada Nurbaya kecil.
Takdir berkata lain. Empat belas tahun berlalu. Nurbaya tumbuh dewasa, cantik,
memancarkan aura bunga desa yang menguar harum bak bunga Arnoldi. Bunga
Bangkai Bengkulu. Maringgih sudah berumur lima puluh tahun berstatus duda kaya.
Istri terakhir ia cerai karena punya kelainan: mengutil macam macam pena di swalayan.
Penyakitnya sukar disembuhkan. Sudah ke luar masuk sel polisi tak pernah jera.
Nurbaya, ya? tanya Maringgih penuh pengharapan. Mulut lelaki lima
dasawarsa itu menganga bak kuda nil yang siap melumat apapun makanan yang
diberikan sang pawang.
Siapa Anda, Pak Tua? Nurbaya malah bertanya. Ia sedang sibuk melayani
pembeli di warung milik ayahnya.
Lupa ya sama saya, Nurbaya .
Maaf, Bapak. Saya sibuk nih. Mohon belanja terlebih dahulu. Setelah rampung,
saya hitung berapa uang yang harus Bapak bayar.
Maringgih pura pura berkeliling di warung. Ia sesekali mencuri pandang
Nurbaya yang sigap menimbang beras, tepung terigu, atau telur. Pesona Nurbaya dari
belia sampai dewasa tak luntur dalam mata dan hati Maringgih yang mulai berkeriput di
sana sini.
Angin semilir masuk ke warung. Rambut Nurbaya yang sebokong tersibak.
Jantung Maringgih nyaris copot kalau ia tidak tiarap. Ia merasa rambut Nurbaya sangat
indah bagaikan selendang satu bidadara yang turun dari Kahyangan.
Bapak kenapa Anda telungkup di lantai? tanya Nurbaya sambil berlari kecil
mendekat Maringgih. Anda kena serangan jantung?
Nurbaya sangat panik. Ia berteriak teriak memanggil ayah dan ibunya.
Maringgih menganggap ini sebuah kesempatan untuk merebut hati Nurbaya pujaannya
sejak empat belas tahun lalu. Lelaki tua itu pura pura pingsan.
Maringgih yang kurus kerontang berhasil dibopong Nurbaya tanpa ke luar energi
berarti.
Maringgih
menahan
senyum
kepuasan
saat
perempuan
idamannya
Maringgih sekarang tiduran di sofa dalam rumah orang tua Nurbaya. Ia masih
pura pura pingsan. Sesekali mata kirinya membuka. Sedikit dalam hitungan detik saja.
Bunyi ketepak kaki mendekat. Nurbaya mendekat mendekatkan minyak angin ke
hidung Maringgih.
Bau apa ini?! Maringgih tersentak dan bangkit. Minyak pemanggil arwah
gentayangan!
Tenang, tenang Bapak Tua . kata Nurbaya panik. Ayah, Ibu sepertiya
bapak tua ini kepalanya terantuk lantai di warung tadi. Kram otak. Jadi dia bicara aneh
.
Ayah dan ibu Nurbaya kelimpungan. Mereka menghambur ke dapur dan
kembali membawa seember kecil air panas.
Ayah dan ibu, buat apa ini air panas? tanya Nurbaya. Maringgih masih
berakting lemas, ekspresinya ia buat tolol, dan bernapas seperti ayam baru digorok
tukang jagal.
ADUH Ya buat kompres kepala bapak itu! seru ayah Nurbaya.
Aku tidak sakit .... Maringgih berkata. Ia memutar mutar bola matanya. Cuma
syok saja tadi.
Tolong ambilkan air putih, Bu. teriak Nurbaya. Dia mungkin pendarahan di
otak, Bu.
Air putih datang. Maringgih meneguk perlahan. Ia menata suara dan geliat
tubuhnya. Biar Nurbaya dan kedua orang tuanya menyangka ia telah waras.
Alhamdulillah, ucap Maringgih sambil mengeluarkan sisir dari saku belakang
celananya. Ia merapikan rambut kepala dan kumisnya yang tak ada. Terima kasih telah
menyelamatkan saya dari maut.
Ayah dan ibu Nurbaya mengelus dada masing masing. Tidak bertukar raba.
Mereka bersyukur tidak akan ada berita yang menyebutkan Seorang Kakek Kejang
kejang di Warung Nurbaya di surat kabar. Berempat mereka pun mengobrol.
Jadi Anda bapak Sri Markumningsih teman SD saya? Nurbaya terperangah.
Maringgih mengangguk mantap nan elegan.
Markumningsih yang mana, Nduk? tanya ibu Nurbaya. Nduk penggalan
genduk, anak gadis. Bukan handuk pengering badan lepas mandi.
Ya, saya bapak Sri Markumningsih. Waktu itu saya titipkan ke neneknya.
Sekali kali saya jenguk di kota. Rumah saya di kaki Gunung Semeru.
Oh, Wong Gunung . seru Ayah Nurbaya. Nada suaranya terdengar
meremehkan. Ia belum tahu saja jika Maringgih memiliki seabrek usaha yang
dikomando dari kaki gunung.
Ya, Bapak. Saya lahir dan hidup di gunung. ucap Maringgih yang usianya
sebaya dengan ayah Nurbaya.
Kerja apa, Pak? tanya ayah Nurbaya.
Petani saja, Pak. Maringgih menjawab. Oya, panggil saja saya Mas. Nama
saya Datuk Maringgih.
Datuk Maringgih? Nama apa itu, Mas? tanya ibu Nurbaya. Nurbaya
mencermati wajah lelaki yang baru saja ia selamatkan dari kematian. Tahi lalat yang
bisa disebut kutil karena saking besarnya, hidung bangir, dan jambang milik Maringgih
ia resapi.
Datuk karena saya waktu kecil sering batuk, Pak. Maringgih menjelaskan.
Bukan karena TBC kan? tanya ayah Nurbaya.
Tidak, Pak. jawab Maringgih. Maringgih karena ibu saya saat melahirkan, pas
saya mau ke luar, beliau meringkik seperti kuda. Diberilah nama Maringgih. Datuk
Maringgih.
Oh begitu. Nurbaya berkata.
Kau sudah besar, Nurbaya . Maringgih berucap lirih.
Apa, Mas Maringgih?
Tidak, tidak .
Perempuan cantik itu memanggil Mas Maringgih. Akankah ia melabuhkan
hatinya ke Maringgih saat ini juga? Maringgih tak mau berspekulasi terlalu cepat. Ia
sadar ia sudah tua, keriput, ubannya hampir menguasai kepalanya. Namun jiwanya
menggelegak. Ia punya harta yang berlimpah. Inilah trik agar Nurbaya takluk padanya.
Bapak dan ibu, Maringgih berkata pada orang tua Nurbaya.
Ya, Mas Maringgih. jawab bersamaan orang tua Nurbaya.
Maringgih memindai ruang tengah rumah orang tua Nurbaya. Tampak perabotan
lusuh. Tidak spesial. Tivi juga berukuran sangat kecil. Tidak mantap di mata. Maringgih
mendongak ke atas. Genteng banyak yang bolong. Nuraninya tersayat ketika
membayangkan Nurbaya harus pontang panting menaruh ember saat hujan deras agar
rumah tidak banjir. Ia tak tega.
Bunda, Maringgih menengok ke ibu Nurbaya. Ia mengganti sebutan dengan
bunda agar rasa mereka terkunci. Ayahanda. Begitupun pada ayah Nurbaya.
Izinkan saya memberi bantuan dana lunak. Saya melihat warung Anda butuh dorongan
semangat berupa uang untuk maju.
Wah, Mas Maringgih baik sekali . Orang tua Nurbaya berteriak duet.
Betapa hancur hati Nurbaya. Pacarnya selingkuh sama janda. Mending kalau si
perempuan kurang kerjaan itu seksi menawan mata. Ini, sudah nenek nenek. Samsul
Bahri pacar keparat, begitu Nurbaya berteriak. Janji janji untuk menikahi, mengajak
berbulan madu ke Taman Safari Afrika, dan membangunkan istana megah, ternyata
hanya bualan tak bermutu. Nurbaya menangis sesenggukan di pojok warung tokonya
sambil memegang selembar surat. Tangannya terkulai lemas. Ia membeku.
Ini tidak yang pertama kali Samsul Bahri melukai hati Nurbaya. Berkali kali.
Mereka putus sambung. Kali ini sudah tidak bisa dimaafkan. Kelakuan lelaki
pengangguran itu sungguh keterlaluan. Ia tidak pernah berpikir jika usia Nurbaya sudah
kelewat matang untuk menikah.
Ibu Nurbaya langsung melempar nampan berisi sayur mayur tahu anaknya
meringkuk. Sang ayah yang baru saja membayar tagihan listrik dari petugas PLN pun
berlari.
Ada apa, Bu? Kenapa anak kita? tanya si ayah kelabakan sambil memencet
mencet jidat Nurbaya. Kurang ajar?! Siapa yang menghamili anakku .
Ayah Nurbaya meraung. Ia menekak lehernya seolah dunianya telah runtuh. Si
istri membentak dan menjerit jika Nurbaya tidak sedang mengandung anak haram.
Lalu kenapa, Nur . Si ayah mengelap air matanya dengan punggung
tangannya.
Kenapa, Nak . ucap si ibu tenang dan menentramkan.
Nurbaya memeluk ibunya sambil menarik hidung ayahnya. Erat. Ketat. Tak
menjurus laknat. Rasa sakit yang menggumpal di dada seketika pecah. Namun Nurbaya
adalah cewek yang luar biasa. Ia langsung mampu mengendalikan diri.
Tak apa apa, Ayah Ibu. Nurbaya menatap lekat lekat orang tuanya. Biarlah
Bang Samsul kawin sama janda tua pilihannya. Saya ikhlas.
LAGI?! Pengangguran itu melukai hatimu, Nur . Si ayah meradang.
Kubunuh dia! Kalau waktu ayah sempat!
Ayah, kontrol emosimu! kata si ibu. Istighfar, Ayah!
Suntikan dana Datuk Maringgih yang berkali kali membawa petaka. Ayah dan
ibu Nurbaya membelanjakannya salah sasaran. Warung berubah gudang penampung
barang yang salah sasaran. Sebelumnya usaha orang tua Nurbaya sukses menjual aneka
kebutuhan rumah tangga; beras, sabun, minyak goreng, Giliran dapat gelontoran utang,
mereka banting stir jualan perhiasan emas. Warga yang sederhana kurang membutuhkan
kemewan itu. Bisnis orang tua Nurbaya pun gulung tikar.
Bu, gimana ini Bu . kata ayah Nurbaya cemas. Jidatnya ia tempel koyo cabe
berwarna cokelat muda.
Aduh, Yah Ibu juga bingung. Nggak tahu mau nutup utang sama Mas
Maringgih gimana! Uang makan kita juga makin menipis!
Ibu Nurbaya berputar putar di ruang tamu. Ia sesekali menendang kaki meja lalu
mengaduh menyadari tindakan konyol dirinya. Bersiul siul mengurangi galau jiwanya,
ia berharap menjelma burung yang bebas terbang di angkasa.
Timbul ide cemerlang dari Ayah Nurbaya. Tubuhnya bergetar getar seolah ia
mendapat wahyu untuk memecahkan kasus membelit ini. Ia menatap istrinya lekat
lekat.
Bu, kalau Ibu kerja jadi tukang ojek gimana? tawar ayah Nurbaya.
Si ibu sontak kaget. Pikirannya yang kacau semakin semrawut. Amarahnya
melonjak saat membayangkan suaminya ongkang ongkang di rumah tanpa melakukan
kegiatan apapun. Dirinya yang mencari duit. Setor uang untuk makan sekeluarga.
Ayah kerja apa? Jaga warung? Wong sudah bangkrut, Yah . ucap si ibu
nelangsa.
Kepala Ayah Nurbaya seperti tertimpa genteng waktu sepasang kucing kalap
bercinta. Ia mengajukan usul agar dirinya pergi ke Arab Saudi atau Hong Kong untuk
sekadar mengumpulkan uang. Tiap bulan ia akan kirim uang buat sang istri dan
Nurbaya buat bekal resepsi pernikahan. Tapi Ibu Nurbaya keberatan. Susah senang
kudu bersama.
Jauh darimu serasa di Kutub Utara, Yah. Dingin siang dan malam. Tak pernah
ada kehangatan yang menjalari tubuhku.
Tidak senyum lagi yang tampak dari bibir Ibu Nurbaya. Seringai. Bak beruang
kutub yang telat makan ikan, ia berkata sejujurnya jika ia tak mampu berpisah dengan
suaminya. Ayah Nurbaya.
Oke kalau begitu, Bu. ucap Ayah Nurbaya. Kita sebaiknya minta pendapat
Mas Maringgih. Biar ada masukan. Eh siapa tahu utang utang dianggap lunas. Atau
malah dikasih lagi.
Ibu Nurbaya mendengus keras. Hidungnya ber
Ayah, jangan terus terusan pengin dikasihani. Kita punya kekuatan, Yah. Kita
keenakan dibantu orang terus.
Ayah Nurbaya terdiam, berpikir ada benarnya juga perkataan istrinya.
Kita telepon dulu, Mas Maringgih. Gimana?
Ya sudah, Yah. Obrolkan baik baik.
Handphone Ayah Nurbaya sebesar satu batu bata. Sudah sepuluh tahun ia tak
pernah ganti. Membeli yang baru baginya sangat mudah saat masa jaya. Ia beralasan
telepon ini telah menemani pasang surut hidupnya. Bersejarah dan telah meresap ke
relung hati yang paling dalam.
Halo, Ayah Nurbaya menempelkan telepon ke telinga kirinya. Telinga
kanannya rada tuli karena setahun lalu tersengat lebah betina.
Yah, belum dipencet pencet nomornya tadi! seru Ibu Nurbaya.
Oh, LUPA!
Satu kekurangan Ayah Nurbaya: pelupa. Sudah berapa kali ia kesasar saat
belanja ke Pasar Induk. Suatu kali ia pernah lupa masuk rumah bini orang yang sedang
ditinggal melaut. Hampir ia remuk redam. Wajah wajah sangar warga sudah siap
melumat mentah mentah Ayah Nurbaya. Untung seribu akal, ia mengaku Bang Rhoma
Irama. Semua bisa teratasi dengan fantastis.
Lima menit ia coba mengontak. Menunggu.
TUT TUT .
Nyambung, Bu! Ayah Nurbaya sangat senang nomor Datuk Maringgih bisa
menerima.
Assalamualaikum, Pak . Teriak Maringgih dari ujung telepon. Suaranya
sangat kencang bernuansa mengejan.
Lagi apa, Juragan? sapa Ayah Nurbaya merayu Maringgih agar luluh hatinya.
Ini di atas pohon kelapa! Cari sinyal susah, Pak Gubernur .
Loh, kok gubernur?
Pak Fauzi Kumis kan? tanya balik Maringgih. Saya turun dulu, Pak
Kegigit rangrang nih. Sinyal sudah sip!
Suara kerosak terdengar. Lalu mengaduh. Satu butir kelapa jatuh tidak menimpa
kepala Maringgih. Tapi seekor tupai yang lewat tanpa permisi. Inilah hukuman bagi
manusia ataupun binatang yang tidak gemar beruluk salam minta permisi.
Gimana gimana, Pak Gubernur? tanya Maringgih. Ia masih tetap ngeyel
menganggap suara Ayah Nurbaya gubernur.
Saya Ayah Siti Nurbaya .
Oh . Maringgih gelagapan. Maaf, Daddy. Ada apa gerangan Daddy
telepon? Uang kiriman sudah diambilkah?
Maringgih sangat licin. Ia berbicara seperti seorang penari ular yang gemulai tak
mati terbelit mainannya. Ambisi besarnya masih ia lancarkan: meminang Siti Nurbaya
impiannya.
Saya sih .
Menolak? tanya Ayah Nurbaya yang cenderung mencari ketegasan seorang
Maringgih.
Saya sih oke oke saja, Daddy. terang Maringgih. Tinggal bagaimana si
Nurbaya apakah mau sama saya .
Baik. Kita anggap utang kita lunas?
Sip, Daddy. Uang bagi saya tidak masalah. Nurbaya di situ?
Ayah Nurbaya bertanya pada istrinya. Nurbaya sedang mengaji di langgar
menentramkan hatinya yang gundah gulana.
Nurbaya sedang mengaji, Mas Maringgih. kata Ayah Nurbaya. Saya dan istri
akan atur sedemikian rupa memberitahu anak saya. Segera saya telepon. Oke?
Oke, Daddy. Terima kasih.
KLAP. Telepon ditutup.
Nur, kau setuju ayah dan ibu menikahkanmu sama Mas Maringgih? sang ibu
berseru seolah menutupi niat sebetulnya menjual anaknya.
Tidak masalah, Bu. Pak tua kurus kering itu malah membuat Nur bergairah .
kata Nurbaya bersemangat.
Kalau begitu, ayo kita rayakan! seru Ayah dan Ibu hampir bersamaan.
Papa, pelupa parah. Nurbaya bersungut sungut. Arjuna sama Pak Semar dan
tiga anaknya. Besok bisa hadir tidak di acara kita?
Pasti, Ma! seru Maringgih. Sudah Papa hubungi. Mereka sangat siap
menyemarakkan pertemuan bergensi kita, Ma.
Nurbaya merasa dirinya obor PON, SEA GAMES, ASIAN GAMES, bahkan
Olimpiade. Ia tersulut dan berkobar kobar semangatnya menyambut esok hari. Serigala
melolong. Malam semakin larut.
Ma, kita bobo! pinta Maringgih.
Nurbaya menggeliang. Dagunya jatuh. Ia tersihir sosok Datuk Maringgih.
BAB 3 OLYMPUS
YANG
MENGGELIAT
berambut ular yang menjijikkan. Sudah berulang ulang si Emak memangkas rambut ular
putrinya itu. Tapi tetap saja tumbuh macam macam ular yang bermoncong
menyeramkan. Lidah mereka menjulur julur, liur menetes netes, dan matanya sipit
menguarkan aura kebencian mendalam.
Kesal cibiran tetangga yang mengatakan Medusa anak siluman, Emak pergi ke
dukun. Langkahnya cepat rapat rapat seolah menunjukkan kekisruhan hatinya.
Suaminya yang bernama Forkis tinggal jauh di seberang lautan. Kerja sebagai diplomat
yang tinggal di Jakarta Indonesia. Anaknya lahir cacat berambut ular. Dunia seperti
menimpa Emak Medusa. Ia pun mendekap putrinya yang tenang tak menangis. Si
mungil berrambut ular itu seakan tahu jika ia ikut ribut semakin menambah masalah
bagi orang tuanya.
Emak sudah di depan rumah Mbah Dukun. Ia menguluk salam. Tidak ada
jawaban. Malam ini kamis malam. Malam Jumat. Pon, Kliwon, Wage, Pahing, Legi,
hari pasaran Jawa tidak terdeteksi. Mudahnya, Jumat Kliwon biar berkesan horor dan
menakutkan sejagat raya. Angin berembus sepoi namun nakal. Rok emak tersingkap
memperlihatkan betisnya yang kencang tapi varises menjalarinya.
Aduh Mbah Dukun di mana ini, ya? gerutu Emak Medusa. Kalau orang
orang tahu aku ke sini, bisa meledak lagi mulut mereka. Semakin ganas menyerangku!
Sekali lagi ia berucap salam. Ada suara. Tapi malah auman singa. Sontak dada
Emak berdenyut. Ia mundur selangkah, berpikir apakah kembali ke rumah dan
menerima saja takdir rambut ular anaknya yang berparas menawan di gendongannya.
Ayolah, Mbah Dukun. Ke luarlah dirimu! Emak berkata dalam intonasi
kepasrahan.
Teriakan monyet terdengar. Emak tidak mundur selangkah. Namun ke samping.
Ia melongokkan dan memiringkan kepalanya. Telinga kanannya berhadapan dengan
daun pintu yang masih tertutup rapat.
Ini benar rumah Mbah Dukun atau kebun binatang mini, ya? ucap ketus Emak.
Medusa menguap. Ia tampak telah mengantuk. Satu ular berukuran sejari mematuk
hidung tuannya Medusa. Namun putri jelita itu tak menangis. Malah membelalakkan
mata dan tertawa keras.
Nak, sabarkan hatimu ya Emak berusaha semaksimal mungkin. Biar kau
sembuh, Nak!
Medusa kecil mengedipkan mata kirinya. Ia tak berpikir apakah emaknya akan
berhasil dalam usaha menyembuhkan rambut ular dirinya. Si kecil sudah sangat
bersyukur dengan usaha keras yang dilakukan emak. Tuhan jualah yang menilai.
Daun pintu membuka. Sebutir kepala muncul. Ia berambut pirang, berwajah
oriental, dan bibirnya bergincu sangat mencolok. Orange.
Anda siapa? ujarnya tak bersahabat. Si pemilik rumah, yang mungkin Mbah
Dukun, menatap lekat lekat tubuh Emak dari kepala-pundak-kaki-lutut-kaki-lutut. Ia
pun berkumur kumur. Ekspresi yang ganjil.
Saya Mama Medusa, Mbah . jawab Emak gagap.
Pintu terbuka lebar. Alamak. Si perempuan di hadapan Emak berbadan kuda.
Tampak kakinya bertapal emas. Mukanya merengut merah padam. Ia mengentakkan
kaki depan kanannya. Emak bergoyang laksana biduan dangdut terkena gempa bumi.
Kau panggil dirimu sendiri dengan Mama. Kau sebut aku: MBAH! bentak si
Perempuan Kuda itu. Apakah itu adil?!
Anu anu . Emak tak mampu berbicara lancar.
Anu suamimu? MANA? Sekali lagi perempuan berbadan kuda membentak.
Saya , Emak masih kesulitan berkata. Saya ha harus memanggil apa?
Nona! Nona Susu! sahut si perempuan kuda. Kalau orang kebanyakan sebut
Susu Nona, Susu Nona, itu salah! Asli punya tetap Nona Susu. Aku!
Medusa menangis keras.
Oh, kau bawa anakmu ke sini? Dia sakitkah? tanya Nona Susu. Si dukun.
Sisi melankolik Nona Susu menggeser amarahnya. Ia mendekati Emak, melihat
Medusa bayi yang menangis lebih kencang.
Kenapa rambutnya ular semua? kata Nona Susu. Gurat wajah ketakutan
timbul.
Itu maksud saya kemari, Nona Susu. ucap Emak lesu.
Nona Susu mengangguk. Satu helai rambutnya jatuh ke kepala Medusa. Ular
ular berebutan berhasrat memiliki sehelai rambut itu.
Ayo, masuklah! tawar Nona Susu. Kita bicarakan di dalam. Aku tak enak
sama tetangga. Kalau mereka tahu wujud sesungguhnya diriku, bisa dibakar habis
rumahku. Mereka akan menyangka aku dukun gila. Sedangkan aku hanya praktik lewat
telepon. Kau yang pertama ke sini. Cepat masuk!
Emak masuk ke rumah Nona Susu. Medusa bayi tertidur dalam pose mirip gadis
gadis zaman moderen yang enerjik, kenes, dan sedikit narsis. Perempuan dukun
bertubuh kuda berjalan ketepak-ketepok dengan buntutnya ke kanan-kiri.
Serigala melolong berirama menyayat. Dua kali lengkingan panjang dan ia
terdiam. Menyusul kokok ayam jago yang sepertinya amnesia dan sulit membedakan
siang atau malam. Rembulan bulat utuh. Angin mengalir tenang bersahaja.
Di rumah bercerobong hitam inilah Nona Susu bertahta. Emak duduk di kursi
tamu sambil menimang nimang Medusa bayi. Empunya rumah masih ada di dalam
kamar. Kembali auman singa dan teriakan monyet terdengar.
Anda baik baik saja, Nona Susu? tanya Emak tak bisa menahan kekuatirannya.
Tenang saja di situ. Aku lagi menyiapkan apa yang kau butuhkan!
Nona Susu menjawab dalam suara yang nyaris seperti bergumam.
Singa sama monyet siapa itu, Nona?
Oh, cuma bunyi penanda kalau aku dapat email dari pasien. kata Nona Susu.
Aku belum sempat balas. Sibuk bikin ramuan .
Emak memperhatikan jam berbentuk sarung tinju di dinding. Juga medali dan
trofi memenuhi ruangan ini. Sepertinya Nona Susu dahulu seorang atlet yang sangat
berprestasi. Tampak ia berjabat tangan dengan seorang lelaki bertubuh besar yang
mengalunginya medali. Wajah Nona Susu bersinar dalam senyumnya yang hangat dan
menawan.
Mata Kakek Kopi memejam. Bibirnya komat kamit. Mata berputar putar seperti
gasing anak jalanan. Badannya mengejang. Emak ingin membantu tapi takut ia ikut
kesurupan seperti si kakek. Ia memperhatikan saja.
Kau, Emak Medusa? tanya Kakek Kopi dalam suara berat.
Benar, Kakek Kopi. jawab Emak.
AKU BUKAN KAKEK KOPI.
Siapa?
Kakek Kopi tengah kemasukan arwah pembantu yang ia sebutkan tadi. Ia
bersedekap.
Kau tahu Zeus? tanya Kakek Kopi format kesurupan.
Tahu. Dewa kita. Emak menjawab.
AKU! Kukuasai tubuh dan pikiran manusia ini. Apa yang sedang kau keluhkan,
Perempuan Manis .
Emak gelagapan. Ia antara yakin dan tidak dirinya sedang mengobrol dengan
Dewa Segala Dewa Yunani. Mulutnya serasa terkunci.
Kepala Kakek Kopi aka Dewa Zeus meneleng. Malah diam. Ayo cerita!
Ini, Dewa eh Dewa Zeus. Rambut anak saya ular! Gimana cara bikin normal,
Dewa Zeus .
Dewa Zeus tertawa keras. Volume suaranya bak letusan Gunung Tambora di
Kepulauan Nusantara. Ia berkata:
Bilang dari tadi. Aku tidak suka berbasa basi. Itu hal sangat mudah
dipecahkan.
Saya mohon, Dewa . Emak menunduk nunduk.
Aku kembali ke Kahyangan. Jaga baik baik anakmu. Dia aset. Potensinya
sangat besar dan jadi tugasmu untuk menjaga dan melejitkannya. Ingat pesanku: Jangan
jauh jauh dari olahraga. Ya, olahraga! Aku permisi. Ada duit buat bayar jasa konseling
Kakek Kopi?
Emak menjawab jika dompetnya ada beberapa lembar Euro.
Beri Kakek Kopi seikhlasnya. Karena ia juga butuh makan. Sama seperti diri
Anda.
Dewa Zeus menghilang. Kakek Kopi siuman dan bertanya apa yang sudah
terjadi. Emak terdiam.
Ah, aku tadi kemasukan arwah Suzanna, kan? Mengaku saja. Ongkos
konsultasi seratus Euro. Tidak bisa diganggu gugat. Karena Anda telah bertemu Ratu
Horor yang abadi itu.
Emak mengulurkan uang dan minta permisi. Dalam perjalanan, ia masih
bergulat dengan kecemasan jika Medusa tumbuh minder nantinya. Ia mengesiapkan rasa
itu dan meyakinkan dirinya jika anaknya bukan kelainan. Sebaliknya, ia punya potensi
besar.
Si pemilik salon mobil menjadi batu. Medusa panik. Ia bangkit dan menepuk
nepuk muka si patung. Memang sudah jadi batu. Hatinya berkecamuk, bagaimana bisa
ia seperti Ibu Malin Kundang di Tanah Minang yang mengutuk anaknya jadi batu juga.
Atau, ia seperti tengah menerima karmanya karena mengolok olok cerita rakyat Jawa
Bandung Bandawasa yang mengubah perempuan idolanya juga menjadi batu: Roro
Jonggrang si Prambanan yang jelita.
Bu, kau sedang tidak pura pura kan? tanya Medusa sambil memenggelitiki
payudara lalu menampar bokong si patung. Oh Dewa Aku salah padanya!
Medusa memukul jidatnya sendiri berulang ulang. Ia menyesal telah melanggar
apa yang telah Emak pesankan padanya. Dulu waktu masih SD, Emak bilang ke
Medusa seperti ini:
Medusa. Nak, kemarilah! si Emak melambai. Medusa kecil langsung
menubruk ibunya itu sambil menggonggong dan menjilat punggung tangannya.
Hentikan kelakuan anehmu ini, Nak!
O baik, Mak. Saya khilaf! ujar Medusa sambil merapikan rambutnya.
Mengelus ular ular tepatnya.
Emak menguap bak kuda nil bunting segera bersalin. Baunya menusuk hidung
Medusa. Kau sering merasakan sakit perut, Nak?
Ya, Mak. Kenapa itu, Mak? tanya Medusa.
Dalam perutmu ada sebuah kunci. Dulu kita bertemu Dewa Zeus. Di tempat
dukun. Ah, kau waktu itu masih bayi. Dan Dewa Zeus memberikan kunci itu pada
Emak. Sekarang ada di perutmu.
Lalu?
Medusa penasaran. Ia mencubit paha Emaknya yang mengaduh genit.
Mata Poseidon memberi kode. Medusa menebak nebak jika suaminya itu ingin
jalan jalan ke mal.
Aduh, Pa! Medusa berseru. Sendok terus ia jejalkan ke mulut suaminya. Papa
nanti malah jadi tontonan orang orang. Yang lain, Pa!
Poseidon menyemburkan buburnya. Tangannya yang masih aktif menampar
Medusa.
Wa uk ak jat!
Apa?! teriak Medusa. Kau kata aku WANITA BEJAT?!
Satu kedipan mengiyakan Poseidon lakukan. Senyumnya melebar. Inilah yang
membuat amarah Medusa melonjak. Ia selalu kewalahan menata emosinya.
BIM BIM .
Suara klakson motor dari depan. Satu karyawan Salon Mobil Athena tampak
berbicara dengan seorang yang masih di dalam kendaraannya. Medusa melongok dan
berucap:
Untung ada bel mobil mau masuk ke salon! gerutu Medusa pada suaminya.
Kalau NGGAK, Papa bernasib sama dengan mantan istrimu. Jadi patung!
Medusa mengambil kacamata hitam di atas bufet dan menghambur ke luar salon.
Menemui sang tamu. Ini untuk menghindari agar para pelanggan tak jadi batu kalau
kalau Medusa marah. Poseidon bergerak gerak tak jelas. Antara kebelet pipis, buang
hajat, atau pengin mengejar istrinya dan memukulkan tongkat golf ke kepalanya.
Selamat siang, Pak . Medusa menghampiri si tamu. Karyawannya yang
bertubuh cebol bergeser. Ia bermuka masam. Apakah gaji belum Medusa berikan
padanya atau ambeien tengah menyerangnya dengan membabi buta?
Geliat tubuh Perseus tak membuat nyaman. Aura jahatnya memenuhi seisi salon.
Ia mengeluarkan pedang.
Tuan! Medusa melonjak. Apa apaan yang Anda lakukan!
Aku akan memenggal kepalamu. Raja Polidektes menyuruhku!
Kilat seperti membentur atap salon mobil. Aroma permusuhan melingkupi.
Jantung Medusa berdegup kencang. Ia mengingat ngingat cepat apakah ia punya salah
dengan orang lain. Raja Polidektes? Tak pernah Medusa mengenalnya apalagi
berurusan dengannya.
Siapa Polidektes? tanya Medusa.
Pedang Perseus sudah mengilat ngilat. Darah sebentar lagi akan mengucur ke
lantai. Dari kepala sang Medusa.
Atasanku! jawab Perseus mendekat. Karyawan Medusa tak berani dan
bersembunyi di bawah meja mewek ketakutan dan kencing.
Kau dibayar berapa untuk penggal kepalaku? tanya Medusa merayu tapi sangat
tak kentara. Perempuan berrambut ular ini sangat piawai mengelabuhi.
Sejuta euro! jawab Perseus. Kenapa?
Medusa menarik napas dalam dalam. Ia menggoyangkan pinggulnya. Perseus
sejenak tergoda.
Untuk apa kepalaku? Medusa lembut bertanya kembali.
Buat koleksi Raja Polidektes. Sudah banyak kepala ia punya di istananya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum yang korup juga pernah ia tebas. Kepala Ranting
Kementerian Agama yang mata duitan juga.
Medusa mendekati Perseus. Sejurus Perseus tak berkutik. Dalam nuraninya ia
berkata jika berniat membunuh seorang perempuan adalah tindakan keji. Ia bergeming.
Tahukan kau, Om Perseus? Tak ada setitik niat jahatpun dalam darahku. Selalu
dalam pikiranku untuk berbuat baik. Aku ini orang lemah. Jadi rugi kalau Raja
Polidektes mengoleksi kepalaku. kata Medusa.
Tapi ini titah rajaku! bentak Perseus.
Begini saja. Kalau aku minta bertemu dengan rajamu dulu bagaimana?
Untuk apa? Aku tak dapat duit!
Medusa meraih tangan Perseus.
Kau bukan tukang pijit?! Kau musuhku. Aku harus memenggalmu. Biarpun kau
Perem . Seru Perseus.
Sudahlah . Medusa berucap sangat tenang.
Pedang jatuh ke lantai. Berdenting. Tulang kaki dan tangan Perseus seolah tanpa
daya. Ia takluk oleh Medusa.
Pertemukan aku dengan Raja Polidektes. pinta Medusa.
Baik, Nyonya . Perseus menarik kencang Medusa yang seolah terombang
ambing dalam larinya. Mereka masuk ke mobil menuju istana Raja Polidektes. Si
karyawan cebol dan suami Medusa tertinggal di salon mobil.