Anda di halaman 1dari 7

Judul : Misteri Seorang Tukang Cukur

Terbit : 23 September 2018

Koran : Jawa Pos

Pengarang : Agus Noor

TUKANG Cukur itu mencukur dengan jarinya. Tak ada sisir, gunting, pisau, atau
alat cukur apa pun. Hanya dengan jari tengah dan telunjuk, dan kres kres kres,
rambut kita dipotongnya rapi. Tak hanya itu, selesai cukur, perasaan menjadi lebih
lega…

Cerita itu berkembang sejak empat bulan lalu. Sejak Tukang Cukur itu muncul di
alun-alun kota. Di sebelah selatan berderet pepohonan beringin besar dan rindang.
Di situ banyak pedagang nangka. Beberapa gerobak tukang bakso dan mi ayam.
Penjual es cendol, warung pecel, penjual siomay dan gorengan. Kau bisa juga
menemukan tukang ojek yang mangkal, orang-orang yang berteduh santai ngobrol
atau main catur. Orang-orang silih datang pergi di alun-alun itu. Makanya, semula
ia disangka gelandangan yang hanya sedang numpang berteduh. Kemeja dan
celananya kumal. Bersandal jepit dan berpeci hitam yang sudah buduk.
Perawakannya kurus, terlihat ringkih, dengan kulit cokelat gelap dan wajah tua
yang muram. Mungkin berusia 70 tahun lebih. Ia mulai dikenali karena hari-hari
kemudian selalu muncul dan duduk di tempat yang sama, baju yang tak pernah
ganti, menggelar koran, dan termangu menunggu. Tak ada yang menyangka
bahwa ia seorang tukang cukur.

Begini. Kau pasti dengan gampang mengenali seorang tukang cukur dari peralatan
yang dibawanya. Bertahun lalu, pernah ada tukang cukur yang mangkal di
pojokan alun-alun. Di bawah pohon beringin ia pakukan cermin dan menyiapkan
bangku meja kayu. Dari kejauhan pun, kau akan segera tahu bahwa itu adalah
tempat potong rambut. Tapi, tukang cukur itu sudah meninggal. Tempat
mangkalnya diganti anaknya yang lebih memilih jualan es cendol. Ketika makin
banyak salon dan barbershop, usaha tukang cukur seperti itu memang sama sekali
tak menguntungkan.

Berbeda dengan Tukang Cukur ini, yang tak membawa peralatan cukur apa pun.
Ia hanya menenteng tas kain bekas kantong terigu kusam lusuh dan kursi lipat
kayu, yang kemudian diletakkan di sampingnya. Bila tak ada potongan kardus
bertulisan CUKUR RAMBUT yang sepertinya ditulis asal-asalan dan ditaruh
begitu saja di sisi kursi lipat itu, orang tak akan tahu bahwa ia tukang cukur.

“Bener Sampean bisa nyukur?” tanya orang yang penasaran.

“Semua orang itu ya sebenarnya bisa nyukur. Nyukur itu sesungguhnya


bersyukur, Mas.”

“Jawabannya kok muter-muter gitu.”

“Kalau Mas mau cukur, ya mari saya cukur.”

“Masak nyukur nggak ada alat cukur? Nggak bawa gunting?!”

“Lho motong rambut kan ndak mesti pakai gunting.”

“Lah Sampean mau motong rambut pakai apa? Pakai cangkul?”

Orang-orang yang mendengar percakapan itu tertawa.

Mungkin karena penasaran atau mungkin juga karena kasihan melihatnya berhari-
hari hanya bengong, akhirnya ada yang minta dicukur. Bahkan sebelum dicukur,
orang itu sudah memberinya uang. Barangkali niatnya hanya ngasih rezeki.
Tukang cukur itu mengucapkan terima kasih berkali-kali, kemudian
mempersilakan duduk di kursi lipat.

Pada saat itulah orang-orang tercengang melihat Tukang Cukur itu. Dan cerita
tentangnya dengan cepat menyebar ke seantero kota.

KAU bisa mendengar suara rambut tergunting jari-jari itu. Ketika helai demi helai
rambut tercukur, rasanya seperti ada yang perlahan dibebaskan dari pikiran.
Terasa ada semilir lembut yang merayap hangat di kulit kepalamu ketika jari-jari
itu menggunting rambutmu. Kepalamu jadi segar, perasaanmu jadi ringan dan
tenang. Terlebih ketika ia mulai memijiti kepalamu pelan-pelan.

Ia tak pernah mau menjelaskan, kenapa bisa memotong rambut dengan jarinya.
Orang-orang hanya menduga, mungkin ia pernah tirakat atau sejenisnya, hingga
diberi kelebihan seperti itu. Tukang Cukur itu hanya tersenyum bila ada yang
menganggapnya punya kesaktian. Saya selalu menganggap rambut itu seperti
kebaikan, katanya. Bukankah kita tak perlu bertanya dari mana kebaikan datang?
Dari mana pun kebaikan datang, ya mesti kita terima dengan syukur. Begitu saja.
Dan seperti rambut ini, kebaikan akan selalu tumbuh kembali meskipun dihabisi
berkali-kali.

Sebenarnya ia tak banyak bicara saat mencukur. Bila ditanya, ia lebih sering
menjawab dengan gumam atau anggukan. Dan ia akan terus diam bila ada yang
ingin tahu nama dan riwayatnya. Karena tak pernah mau menyebutkan namanya,
orang-orang kemudian memanggilnya “Pak Kur” , dari cukur, Tukang Cukur.

Cerita ajaib makin banyak disampaikan mereka yang telah bercukur. Kang
Wahyudi, misalnya. Orang sering heran dengan Kang Wahyudi. Kepalanya
gundul plontos, tapi selalu rajin bercukur. Ia selalu bilang bahwa ia sesungguhnya
tak hanya bercukur, tapi ingin membersihkan rambut. Bila kepala kita bersih,
begitu juga pikiran kita. Pikiran orang gundul lebih terbuka, begitu kelakarnya.
Begitu tumbuh rambut sedikit saja, ia pasti langsung bercukur membersihkannya.
Hampir semua barbershop dan salon cukur di kota ini sudah pernah ia datangi.
Baru kali ini saya merasa begitu nyaman menggunduli rambut, katanya, ya
dengan Tukang Cukur itu. Dan ia tak mau pindah-pindah tukang cukur lagi.

Biasanya, sebelum rambut dikerik, kepala dibasahi lebih dulu dengan busa sabun
atau pelicin agar tak timbul perih atau tergores luka. Makanya saya merasa aneh,
ketika Pak Kur tak membasahi kepala saya dengan apa pun, kata Kang Wahyudi
sambil mengelus-elus kepalanya yang kinclong. Tetapi, kepala saya begitu adem
ketika jari Tukang Cukur itu mengerik rambut saya dengan jarinya. Seperti ada
embun membasahi kulit kepala saya. Benar seperti kata Tukang Cukur itu, kata
Kang Wahyudi, bercukur itu sebenarnya membersihkan diri. Karena itulah, orang
yang ibadah haji mesti bercukur. Ini tak sekadar rambutmu dipangkas atau
dirapikan. Tapi, membuat kita merasa bersih dan nyaman. Terasa seperti
berembus dingin udara pegunungan yang membuat pori-pori kepala saya menjadi
begitu peka, kata Kang Wahyudi. Seakan ada yang perlahan merembes keluar.
Rasanya semua persoalan beban hidup menguap lewat kepala saya.

Mungkin benar seperti yang dikatakan Pak Kur, semua orang memang harus
bercukur, karena itu tanda kita bersyukur. Itulah kelebihan orang gundul. Karena
berarti orang gundul orang yang paling tulus bersyukur, Kang Wahyudi tertawa.
Dan jari-jari itu, ah, jari-jari Tukang Cukur itu, saya bisa merasakan kulit jarinya
yang kasar bergesekan dengan kulit kepala saya. Jari-jari itu lebih tajam daripada
pisau cukur baja yang paling tajam sekalipun.

Kang Wahyudi bercerita tentang bocah bajang yang diantar ibunya ke Tukang
Cukur itu. Rambut bocah itu panjang gimbal dan sudah seperti akar. Diantar
ibunya, yang sudah menjamas rambut gimbal anaknya dengan air tujuh sumber,
bahkan telah meruwatnya dengan upacara potong rambut, tetapi rambut anak itu
tak pernah bisa dipotong. Pisau dan gunting yang digunakan untuk mencukur
rambut gimbal bocah itu selalu patah. Rambut gimbal itu terus memanjang.
Kepala bocah itu penuh bintil-bintil merah koreng. Si ibu tahu tentang Tukang
Cukur itu karena bermimpi didatangi seseorang—ia yakin itu adalah Nabi Khidir.
Mulamula bocah itu ketakutan dan meronta, tetapi perlahan tenang setelah
Tukang Cukur itu mengusap-usap rambut gimbalnya. Bahkan kemudian tertidur
pulas. Setelah itu, dengan tenang, Tukang Cukur tersebut memulai memangkas.
Kres kres kres kres. Jari-jari itu terlihat ringan memotong. Seperti pisau tajam
memangkas alang-alang. Koreng di kelapa bocah itu seketika bersih.

Kadang, kata Kang Wahyudi, saya membayangkan, dengan pelan pun jari Tukang
Cukur itu bisa menyayat urat leher atau memotong kayu yang keras.

Berkali-kali Kang Wahyudi menyarankan agar ia bercukur ke Tukang Cukur itu.


IA menganggap semua cerita itu hanyalah bualan yang dilebihlebihkan, tetapi
juga membuatnya penasaran. Seorang kenalan yang bertahun-tahun selalu
mengeluh kepalanya gampang pusing berkata kepadanya, “Entah kenapa, setelah
saya cukur sama Pak Kur, kepala saya tak lagi pening. Kini terasa enteng.” Ia
punya keluhan serupa, merasa ada yang tak beres di kepalanya. Sudah mencoba
berobat ke banyak tempat. Tapi tak kunjung membaik. Itu membuatnya makin
tergoda untuk mendatangi Tukang Cukur itu.

Sore yang cerah dan ia merasa itu saat yang baik untuk bercukur. Ia mengendarai
mobil menuju alun-alun. Mobil ia parkir tak jauh dari tempat mangkal Tukang
Cukur itu. Baru saja hendak membuka pintu, ia langsung terkesiap. Tangannya
gemetar. Wajah Tukang Cukur itu! Dan ia melihat juga jari-jari itu. Di dunia ini
ada ha-hal buruk yang tak akan pernah bisa kau lupakan. Pelan ia bersandar dan
memejam. Bahkan, bila wajah itu tersembunyi dalam kegelapan pun, ia pasti akan
mengenalinya.

Kini ia tahu kenapa orang-orang bercerita bahwa Tukang Cukur itu tak pernah
mau mengungkap nama dan masa lalunya. Siapa pun tak ingin mengingat masa
lalu yang buruk. Sepanjang malam ia terus-menerus disergap kegelisahan.
Bayangan Tukang Cukur itu hilir mudik dalam ingatannya. Perawakan Tukang
Cukur itu memang tak seperti 20 tahun lalu, tapi ia tetap mengenalinya. Tubuhnya
lebih ringkih dan wajahnya tak setegar ketika ia melihatnya dalam tahanan.

Saat itu, sebagai tentara muda, ia bertugas sebagai interogator. Di antara para
tahanan yang terlihat bingung dan pasrah pada nasibnya, lelaki itu satu-satunya
yang tetap bersikeras bahwa ia tak tahu-menahu soal semua gegeran yang terjadi
di Jakarta. Berkali-kali diinterograsi, lelaki itu tetap bersikukuh bahwa ia tak
terlibat dengan semua kekacauan yang terjadi. Lelaki itu terus menjelaskan: saya
memang sering main ketoprak di acara-acara yang diselenggarakan partai itu, tapi
saya bukan orang kiri! Sikap keras itulah yang membuatnya jengkel sebagai
interogator. Ia ingat perintah komandannya: tugasmu adalah membuat mereka
semua mengaku!
Bermacam siksaan tak membuat lelaki yang ia kenal sebagai pimpinan Kelompok
Ketoprak Mardi Budaya itu goyah. Sebagai anak muda, ia suka menonton pentas-
pentas ketoprak. Termasuk saat Mardi Budaya manggung di kampungnya. Yang
paling diingatnya ialah ketika ia terpesona oleh lelaki itu, yang memainkan
Mangir dalam lakon Mangir dan Pembayun. Seakan ia menyaksikan Mangir yang
sesungguhnya di atas panggung. Ia merasakan suasana gaib yang membuatnya
merinding. Kisah cinta di tengah intrik kekuasaan Mataram itu sungguh-sungguh
menancap dalam ingatannya. Cinta yang kuat tak akan gentar menghadapi takdir
paling buruk sekalipun. Lelaki itu mampu menghadirkan tokoh Mangir yang
tegar, bahkan saat mengetahui kematiannya akan tiba.

Saat lelaki itu terus-menerus disiksa dalam tahanan, ia seperti menyaksikan lagi
keteguhan Mangir. Bahkan ketika istrinya diseret dan ditodong pistol di
hadapannya, sorot mata lelaki itu tak juga goyah. Kematian tak akan pernah
mengubah kebenaran, katanya. Ia begitu jengkel pada keteguhan lelaki itu.

Sampai kemudian, lelaki itu dipindah ke tahanan pusat. Setelah itu, ia mendengar
lelaki tersebut ada di antara ratusan tahanan yang dibuang ke Pulau Buru…

MESKI Tukang Cukur itu tak pernah menceritakan nama dan riwayat hidupnya,
ia yakin Tukang Cukur tersebut pastilah lelaki Mangir itu. Wajah itu tak pernah
bisa ia lupakan. Terutama jari-jarinya. Ia memutuskan pindah ke kota ini karena
ingin melupakan lelaki itu. Bila ia tetap tinggal di kota kelahirannya, ia cemas
suatu kali akan bertemu dengan lelaki itu. Tetapi, masa lalu seperti punya cara
sendiri untuk muncul kembali. Adakah Tukang Cukur itu muncul ke kota ini
karena tahu ia tinggal di sini?

Jari-jari Tukang Cukur itu, ah, jari-jari Tukang Cukur itu. Tak pernah bisa ia
lupakan, saat ia begitu jengkel pada tahanan yang terus tak mau mengakui semua
tuduhan itu. Ia memaksa lelaki itu meletakkan telapak tangan dan membuka jari-
jarinya di atas meja. Ketenangannya membuat ia mendengus jengkel. Di atas
meja, jari-jari tangan yang hitam kusam itu terlihat seperti lembaran daun kering.
Ia selalu teringat bagaimana lelaki itu menggambarkan adegan kematian Mangir
dalam lakon ketoprak: saat Mangir sujud menyembah Panembahan Senopati.
Kepala Mangir bukan dihantamkan ke batu penopang singgasana, tapi dikepruk
dengan batu itu. Lebih memperlihatkan kekejaman. Kekuasaan selalu
membutuhkan darah untuk menegakkannya. Sambil membayangkan kepala
Mangir dihantam dengan batu Sela Gilang hingga pecah bersimbah darah, ia
mengambil palu besi, dan berkali-kali menghantam jari-jari itu. Lelaki itu menjerit
dan pingsan. Tulang jari-jari itu remuk. Terutama jari tengah dan telunjuknya.
Menjadi gepeng.

Seperti pisau. Seperti sepasang bilah gunting.

Anda mungkin juga menyukai