BABAK PERTAMA
BAPAK BERSANDAL KULIT SILANG, IBU BERSELOP TUTUP. BAPAK MENONTON TV.
IBU MEMBACA BUKU. BAPAK MEMENCET REMOTE KONTROL. BERDECAK-DECAK
SEBAL, LANTAS MEMATIKANNYA. SUASANA SEPI.
MUSIK BLUES FADE IN. LAMPU MEREDUP. BAPAK MELAMUN. IBU MASIH
MEMBACA. MUSIK BLUES FADE OUT. LAMPU TERANG.
BAPAK :Bu….
IBU :Ya….
IBU :(Sambil membaca sampulnya) Oh, ini buku baru: Cara Melawan Teror
IBU :Baru juga mulai baca. Belum tahu isinya. Habis diajak ngomong terus sih!
IBU : (Melihat sampul belakang) Apa ya katanya?(Membaca) Buku ini perlu dibaca penduduk Negara-
negara yang akan hancur, karena dalam masyarakat seperti itu kendali hukum sangat mengendor,
tatanan nilai kabur, sehingga melahirkan anarki. Setiap orang berbuat seenak perutnya sendiri dan
memaksakan kehendaknya dengan teror . itulah gunanya buku ini: Cara Melawan Teror. Perlu
dibaca oleh mahasiswa, aktifis, wartawan, penasehat hukum dan berbagai profesi yang rawan
terror. Buku ini juga berguna bagi siapa saja yang merasa perlu lebih siap melawan teror.
BAPAK :Apa?
IBU :Keterlaluan
IBU :Apa?
IBU :Wah, aku nggak mau jadi analis politik amatiran. Bapak saja yang ngomong.
BAPAK :Apa?
IBU :Kalau bapak lupa, artinya sengaja melupakannya. Itu juga berarti bapak ikut
berdosa.
BAPAK :Waduh, menyangkut dosa lagi! Gawat sekali rupanya. Aku paling malas berdosa.
BAPAK :Iya.
IBU :Kayaknya bapak selalu lupa deh dengan dosa-dosa bapak yang terbesar. Toh
semua itu aku bisa maafkan. Tapi tidak untuk yang satu ini.
BAPAK :Aneh. Aku bisa lupa dosa-dosaku. Tapi yang satu ini tidak boleh lupa. Kalau lupa,
itulah dosa yang terbesar.
IBU :Lho!
BAPAK :Aduh! Manusia itu kan pelupa Bu! Masa aku tidak boleh lupa!?
IBU :Yah, manusia pelupa, manusia cepat lupa, apalagi yang menyangkut dosa.
BAPAK :Wah, apa ya? Kamu bilang tadi, ada hubungannya dengan cara melawan teror
IBU :Gawat.
IBU :Ya.
BAPAK :Tidak mikul dhuwur mendem jero? Melupakan yang buruk mengingat yang baik?
IBU :Kenapa?
BAPAK :Terror!
BAPAK :Te-ror….
BAPAK :Te-ror-te-ror-te-ror….hmmm….
BAPAK :Aku belum ingat apa yang ada hubungannya dengan kita. Tapi kalau mendengar kata itu, aku jadi
ingat apa yang terjadi pada zaman geger-gegeran dulu itu.
IBU :Itu dia. Dosa orang lain dicatat besar-besaran. Dosa sendiri menguap entah kemana.
Sebetulnya tidak. Semuanya jelas. Siapa yang bisa melupakannya? Aku masih kecil waktu itu.
Malam-malam semua orang berkumpul. Mereka membawa golok, clurit, pentungan dan entah apa
lagi. Mereka mengepung rumah itu selepas tengah malam. Mereka berteriak-teriak, karena yang
dicarinya naik ke atas genteng. Orang itu lari dari atap satu keatap lainnya seperti musang. Kadang-
kadang dia jatuh, merosot. Orang-orang mengejarnya juga seperti nengejar musang. Aku masih
inget suara gedebugan di atas genteng itu. Orang-orang mengejar dari gang ke gang, suaranya juga
gedebukan. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan parang. Orang itu lari. Terpeleset,
hamper jatuh ke bawah, merayap lagi. Sampai semua tempat terkepung. Orang itu terkurung….
IBU :Aku tidak bisa lupa. Bukan hanya karena kejadian yang dialami orang itu, tapi apa yang dialami
keluarganya. Dia punya anak, punya istri, punya ibu. Semua melihat dia dikejar seperti musang.
Melihat dengan mata kepala sendiri orang itu merosot dari atas genteng ketika terpeleset dan tidak
ada lagi yang bisa dipegang. Orang-orang di bawah menunggunya dengan parang.
BAPAK :Bu!
IBU :Orang-orang itu menghabisinya seperti menghabisi seekor musang. Orang itu digorok seperti
binatang. Ibu menutupi mataku. Tapi aku tidak bisa melupakan sinar matanya yang ketakutan. Aku
masih ingat sinar mata orang-orang yang mengayunkan linggisnya dengan hati riang. Kok bisa?
Kok bisa terjadi semua itu. Bagaimana perasaan anaknya mendengar jeritan bapaknya? Bagaimana
perasaan istri mendengar jeritan suaminya? Bagaimana perasaan ibu mendengar jeritan anaknya?
Apa bapak yakin setelah tiga puluh tahun lebih mereka bisa melupakannya? Mereka mungkin ingin
lupa. Tapi apa bisa? Politik itu apa sih, kok pakai menyembelih orang segala?
IBU :Itulah pertanyaanku juga. Untuk apa? Tapi aku tidak sengaja mengingat-ingat. Aku ingat begitu
saja. Kenangan itu menempel seperti lintah. Dia lewat seperti kenangan.
BAPAK :Sejarah
IBU :Itulah dia pak. Sejarah. Sejarah itu ada. Hidup terus sampai hari ini.
BAPAK :Waktu
IBU :Waktu itu aku tidak tahu kalau sekolah libur. Aku berangkat ke sekolah. Ketika sampai di kelas,
aku Cuma mencium bau amis darah. Darah orang-orang yang disiksa menyiprat di tembok, papan
tulis dan bangku-bangku. Di mana-mana orang bergerombol, berteriak-teriak, mencari orang-
orang yang diburu.
BAPAK :Waktu
IBU :Begitu buruk. Begitu mengerikan. Tapi mengapa kita sekarang mengulanginya?
BAPAK :Satria!
IBU :Itulah. Bapak ini belum begitu tua kok sudah berusaha pikun. Tidak baik begitu pak. Kalau kita
melupakan kekejaman, kita akan mengulanginya.
BAPAK :Aku Cuma ingat bagaimana orang-orang menjauh ketika semua itu menimpa kita. Orang yang
malang malah dijauhi. Ada yang bilang. “Sorri aku baru menelpon sekarang, ini pun dari telepon
umum, karena aku takut teleponku disadap, aku harap semuanya baik-baik saja. Sorry, aku takut,
aku punya anak kecil soalnya” hmmmh. Saudara-saudara menjauhi semuanya. Takut, seperti kita
ini punya penyakit sampar.
IBU Habis begitu memang begitu caranya menilai. Pikiran kok dianggap menyatu dengan darah.
IBU :Begitu berkuasanya sehingga merasa berhak menguasai pikiran, dan sangat tersinggung kalau
orang berpikir lain.
IBU :Kerdil.
BAPAK :Kerdil.
BAPAK :Hallo! Ya? Salah! Salah sambung! Ini Cikini, bukan Jurang Mangu. Tidak apa-apa. Selamat
malam.
BAPAK :Ya, aku tahu. Aku juga sering diteror, dikira Satria.
LAMPU MEREDUP