(TAMAN, BANGKU. OT MASUK, BATUK-BATUK, DUDUK DI BANGKU. MASUK LSB, DUDUK DI BANGKU)
OT Apa?
Terdengar petir
LSB Entah.
OT Entah.
OT Tidak, tidak. Yang lebih tua mesti tahu diri, dan mau mengalah. Ini musim kemarau.
Bunyi petir
OT Maumu bagaimana?
OT Lantas?
LSB (diam)
OT (merenung) Dan kalau semuanya bertambah jelas, maka kit pun sudah berkelahi,
karena perdebatan barusan, dan siapa tahu salah seoraang dari kita mati karena
perdebatan itu. Atau kita berdua. Dan ini semua hanya gara-gara kita mencoba
mengambil sikap agak kasar terhadap sesama. (tiba-tiba marah). Bah! Persetan
dengan musim! Dengan segala musim!.
(BUNYI PETIR. TAK BERAPA LAMA KEMUDIAN MASUK PB. BALONNYA BERANEKA
WARNA)
OT Memangnya kenapa?
LSB Pakai silahkan segala!. Ini kan taman! (tiba-tiba marah) dia duduk atau tidak,
terserah dia, habis perkara! (melihat geram kepada PB)
PB (duduk)
OT (tertawa keras)
OT/LSB (tercengang)
LSB Oo, itu… ini! (merogoh dompetnya dari saku belakang) nah, ini sekedar pengganti
kerugian.
PB (berdiri) tidak! (duduk di bangku, tangisnya menjadi-jadi) saya tak mau dibayar.
PB (menggeleng-gelengkan kepalanya)
LSB Mengapa?
PB Itu alasan saya saja untuk dapat memegang balon. Saya pencinta balon.
OT Mengapa merasa aneh? Dia pencinta balon, titik. Seperti juga orang lain, pencinta
harmonika, pencinta mobil balap, pencinta perempuan cantik. Apa anehnya dari
semua itu?
PB Karena saya lihat bapak juga menyukainya. Saya suka melihat orang yang suka.
OT Ahh, ini bukan lagi kesukaan namanya, tapi kenangan. Tidak nak, sebaiknya kau
ambil kembali balonmu ini.
PB Saya tak sudi dan tak berhak menerima kenangan orang (menolak balon)
W (menggapai ke arah balon) berikan pada saya saja, jika memang tak seorangpun
yang mau.
W (melerai) sudah. Sudah! Jangan berkelahi hanya karena itu, bukan ini yang saya
maksud tadi.
LSB (kesal melihat W menangis) Ah, air mata lagi! Persetan! Mengapa nyonya datang
kesini!?
LSB O…baik, baik! Jadi nyonya bukan nyonya. Kalau begitu nyonya apa? Nona
barangkali!?
W (gugup) Ti…(menangis)
PB Sungguh kasar, biadab kalian! (menuntun W duduk di bangku). Sudahlah bu, jangan
hiraukan mereka, sebaiknya ibu lekas pergi saja dari sini, sebelum mereka menghina
ibu lebih parah lagi nanti. Pergilah!
OT (kepada PB)Ahaaa…pergi dengan kau? Ahaaa! Akhirnya sang putri bertemu sang
pangerannya di tengah taman. Dan…ahaa! Si anakpun bertemu dengan
bapaknya!...(terbahak).
PB (tersadar) siapa bilang saya….(melihat silih berganti pada OT, W dan ke dalam kereta
bayi) tidak, tidak. Saya bukan….
LSB Menuduh apa bung? Kau tampaknya begitu bernafsu bicara soal suatu tuduhan yang
sebenarnya tak ada. Kemudian, kau tampaknya bernafsu menolak tuduhan itu,
hingga…(tertawa) saya kini benar-benar mulai curiga dan menuduh kau tentang
suatu yang…terus terang saja, sesuatu yang belum jelas bagi saya.
PB (semakin gugup) Tidak! Tidak! Bukan saya! (mencoba menutupi wajahnya dengan
kedua telapak tangannya)
W (geram) Ayo, buka tanganmu, aku mau melihat kau! Ayo! (merenggut tangan PB
dari wajahnya).
W Kurang ajar! Kau telah lari ha! Lari dan kau tinggalkan aku sendirian. Karena
perbuatanmu aku harus menanggung semuanya. Aku seorang wanita, sendirian!
Cuih! Ayo buka!
LSB Bukan saya tak mau menolong, tapi saya secara prinsipil tak mau ikut campur dalam
urusan yang bukan urusan saya.
LSB Sial! Apa maksud perkataanmu; saya orang tua. Semua juga tahu, bapak memang
seorang tua, dan sedikitpun tak ada memperlihatkan tanda-tanda bapak adalah
kebalikan dari ucapan itu.
OT (geli) katakanlah saya hanya ingin mempertegas kedudukan saya dalam peristiwa
yang kita hadapi ini. Ke-tua-an saya melarang saaya terlibat sedikitpun ke dalamnya.
Dan kalaau kalian tanyakan bagaimana pendirian saya dalam peristiwa yang sedikit
rumit ini, maka jawab saja, saya pro pada kalian berdua, lepas dari pertanyaan
apakah benar atau tidak, peristiwa itu telah benar-benar terjadi. Tegasnya; saya pro
pada setiap peristiwa beginian.
LSB Omong kosong! Yang diminta sekarang dari bapak adalah perbuatan!
LSb Bagus, bagus! Bicaralah terus dan sebentar lagi kita saksikan mereka berdua akan
saling bantai (maju menolong W merenggut tangan PB dari mukanya)
PB (meraung) Bukan saya! Bukan saya! Sungguh mati, saya cuma melakukannya satu
kali saja, tak lebih…
LSB Diam bangsat! Cuma sekali….itukan sudaah cukup? Maumu berapa kali ha? Serakah!
Jadi kau mengaku sekarang!?
Setelah bergumul, LSB behasil membuka tangan PB dari wajahnya, lantas tangan PB
dikepit ke belakang punggungnya.
W (maju dekat sekali ke wajah PB) Bangsat! Laki-laki jahanam! Kurang aj…(tiba-tiba
memekik) Bukan! Bukan! Ya Tuhan, bukan dia.
PB (teriak putus asa) Bukan saya, bukan saya! Cuma sekali! Cuma sekali!
OT (repot mengipasi W yang sudah dibaringkan di bangku) Sudah! Cukup! Biar kau
melakukannya lebih dari sekali tidak penting lagi. Kemarilah, daripada kau berteriak-
teriak begitu, lebih baik kau (melihat ke LSB) kalian menolong wanita ini.
OT (sangat kesal) Ya, menolong dengan melakukan apa yang lazimnya dilakukan untuk
orang pingsan.
OT Segan? Kenapa?
OT …dan kau laki-laki. Lagi-lagi ucapan camplang. Semua orang juga tahu, dia ini
perempuan dan kau laki-laki. Lantas kau mau apa?
LSB Saya adalah jenis laki-laki yang bila bersentuhan dengan tubuh perempuan bisa saja
terus…
OT (tercengang) Prinsip? Akh, kata siapa ini soal prinsip. Aku malah lebih cenderung
menyebutnya sebagai penyakit. Akh, persetan dengan semuanya. Bukankah prinsip
adalah penyakit juga? Dan sekarang kuminta dengan hormat padamu; hentikan
sikap sok mu itu. Sadarlah, bahwa dalam peristiwa seperti ini yang sangat
dibutuhkan segera adalah perbuatan. Tindakan cepat! Dan itu adalah menolong aku
berbuat sesuatu dengan wanita pingsan ini.
LSB Kalau aku tak salah, dengan orang pingsan, entah dia laki-laki atau perempuan kita
tak dapat melakukan apa-apa selain menunggu ia siuman. Tapi…
OT Tapi apa?
OT Yang…
W Sungguh kasar kalian! Kasar…(ke bayi dalam kereta) ssst…sst… diamlah nak. Laki-laki
semuanya sama saja, kasar. Tanpa kecuali.
PB (menahan LSB) apa-apaan ini? Kau mau membunuh bayi ini ha!? Gila! Benar-benar
sinting kau!
LSB (dalam rangkulan PB) sudah kukatakan berhenti! Stop! Jangan menangis. Jangan lagi
ada yang menangis! Jangan lagi ada yang menangis…aku tak kuat mendengarnya…
tak kuat… (menangis tersedu-sedu).
OT, W dan PB melihat haru pada LSB yang mencoba meredakan tangisnya. Dalam
isaknya LSB terus berkata; janganlah…lagi ada yang menangis…. Aku tak kuat…tak
kuat melihatnya.
OT Ya, kau sebenarnya telah menyebutkan kata yang setepatnya. Yakni Ibu. (kepada W)
ya, sebaiknya Ibu pergi saja.
W (agak gugup) Ibu… saya Ibu… (melihat kepada bayinya dalam kereta) baik, baik. Saya
kira juga lebih baik bila saya pergi.
OT Nah bagus. Dan jagalah dia (melihat ke dalam kereta) baik. Dia (OT lalu berdiri di
samping W melongok bayi) sungguh manis, anak yang sehat. (menggelitik bayi
dalam kereta. Terdengar tawa bayi)
LSB (isaknya berhenti dan juga pelan-pelan pergi berdiri di samping bayi dalam kereta)
OT (terus menggelitik bayi yang terus tertawa) Nah, dengar tuh. Hujan akan turun.
Lekaslah Ibu pulang.
OT/LSB/PB Sampai Bertemu lagi bu…(kemudian mereka saling pandang penuh arti)
BUNYI PETIR
OT (tambah jenaka) Ya, tetap petir dong. Soalnya sekarang adalah, bahwa petir yang
barusan saja kita dengar itu sedikitpun tak mempunyai sangkut-paut dengan hujan.
Hujan tak akan turun, jelas?
LSB Sungguh saya makin tak paham.(geleng kepala lalu duduk di bangku)
PB Dan saya, sekiranya ditanyakan secara jujur kepada saya sedikitpun tak memahami
apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian berdua. (duduk di bangku. Memungut
pecahan balon di tanah. Meniup sobekannya menjadi balon kecil).
OT Itulah lucunya dari tiap taman. Setiap orang yang datang, lewat di taman
menganggap dirinya merdeka untuk mencampuri setiap pembicaraan. Ya, setiap
penghidupan yang kebetulan sedang berlaku di situ.
LSB Habis, ini kan taman!? Ini adalah tempat terbuka bagi umum. Di setiap tempat
umum, ada pembicaraan umum. Oleh sebab itu, setiap orang boleh saja terus ikut
bicara. Demi pendapat umum! Kalau bapak ingin punya pendapat sendiri, janganlah
datang ke taman.
OT kau enak saja bicara. Kemana saja!? (sedih, pilu) saya tak dapat kemana-mana.
LSB Kenapa?
OT (tiba-tiba menangis) Tak ada seorangpun yang menginginkan saya. Tak seorang pun.
PB (terperanjat) I-B-U?
PB O…ngomong dong dari tadi. Hiii, saya dibuat kaget oleh perkataan Ibu itu tadi… eh,
mengapa ibu, eh istri bapak kita ini rupanya?
OT Minah! Minah!
LSB (kepada PB) O, jadi minah itu memang istrinya dan rupanya minggat.
OT Minah! Minah! Mengapa kau tinggalkan aku setelah hidup bahagia bersama delapan
tahun.
LSB Delapan tahun. Kalau begitu tiap tahun dia dapat anak satu.
LSB Hebat!? Itu kau katakan hebat? Huh, begitu rupanya tanggapanmu tentang manusia
dan kemanusiaan ya? Itu tafsiranmu tentang wanita ya? Aku menyebutnya: ISENG!
Manusia lelaki yang tak punya fantasi, lalu merongrong tubuh manusia perempuan.
PB Merongrong gimana heh? Kalau si perempuan tidak mau dirongrong, saya kira
seluruh persoalan dan filsafat iseng tidak akan pernah ada.
LSB Ah, kau tahu apa? Seolah filsafat iseng itu hanya filsafat ranjang dan hormon yang
berlebihan saja. Seandainya bapak kita yang terhormat ini punya fantasi sedikit saja,
maka apa yang hendak aku katakan; alangkah baiknya, sekiranya selama delapan
tahun dia berumah tangga dengan istrinya yang bernama Minah itu cukup membuat
dua anak saja dan enam novel misalnya.
LSB Tahu apa pula kau soal makna sebenarnya dari kegagalan? Betapa banyak kejadian,
bahwa kegagalan itu merupakan penampilan yang paling prinsipil dalam karya-karya
yang punya mutu kepalang tanggung. Dan jangan lupa kau; tidak ada yang lebih
dapat merasakan apa arti berhasil selain dia yang telah mengalami kegagalan.
LSB Apa dia tak ada di rumah salah satu anak bapak yang delapan itu?
OT tidak ada.
PB Banyak saya baca iklan demikian. Seperti yang saya baca tadi pagi di salah satu
koran, bunyinya:ADINDA NUR! KEMBALILAH KEPADA KAKANDA. PINTU RUMAH
KAKANDA SELALU TERBUKA LEBAR UNTUK KAU. KAKANDA TELAH MEMAAFKAN
SEMUANYA.
LSB (marah) laki-laki bubur! Setelah istrinya yang bernama nur itu berbuat jahannam
dengan laki-laki lain, kemudian ari ketahuan berbuat begitu, nah sekarang sang
suami berwatak daun pisang pembungkus itu mau mengambil sikap seorang
pahlawan dari roman-roman abad pertengahan. Dan sikap ini di pertontonkannya
pada kita, masyarakat abad ke 20 ini, melaluui medium komunikasi yang paling
murah dan paling vulgar; surat kabar. Anjing!
PB Vulgar! Pasang iklan di surat kabar adalah cara praktis. Dan jangan lupa, bukan Cuma
suami si Nur itu saja yang yang telah berbuat seperti itu.
LSB Pers abad ke 21 ini akan lebih tertolong apabila mereka menolak iklan-iklan bergaya
suami si Nur itu. Dan tahukah kita berapa lagi berkeliaran lelaki macam suami si Nur
ini di luar kantor iklan surat kabar? Bayangkan, sekiranya semua senasib dengan
suami si Nur ini berbuat hal yang sama.
OT Nol
LSB (Dengan sikap yang agak menyangsikan) Tunggu dulu pak. Minah ini sebenarnya
siapa?
LSB/PB Kkk…ucing!?
OT Dia senantiasa pulang kembali. Tapi kali ini, dia telah menghilang lebih dari
seminggu (meraung) Minah! Minah!.
OT ada di rumah.
OT Rumah saya.
LSB Rupanya bapak mau mempermainkan kami. Kata bapak tadi, bapak tidak bias
kemana-mana. Tak seorangpun menyukai bapak.
LSB Mengapa?
OT Dia istri saya yang kedua. Dia hanya menginginkan harta saya saja. Setelah harta
saya habis, dia pun tak menginginkan saya lagi.
LSB Hmmm, tentu saja, masa dia mencari laki-laki yang lebih tua dan lebih buruk dari
bapak. Dan kini dimana laki-laki itu?
LSB Hm… tentu saja. Kecuali sikat gigi bapak saja yang saya kira tak diambilnya.
LSB Wah, laki laki yang sungguh hebat. Sungguh hebat! Juga sikat gigi bapak! Lalu bapak
tidur dimana kini?
OT Di rumah saya juga. Tapi di gudangnya. Sebelah kamar babu dan bersama Minah.
LSB Kalaulah saya boleh bertanya terakhir kalinya, istri bapak yang pertama ada di mana
sekarang?
LSB Namanya?
PB (sangat marah, sebuah balon kiranya sangat sulit untuk dipecahkan. Lalu ditaruhnya
di tanah. Di injak) bangsat! (Keluar panggung).
LSB (setelah diam hening sejenak) hari telah petang pak, pulanglah ke rumah. Itu lebih
baik bagimu dan bagiku.
OT Tanpa minah?
OT (menangis) Tak dapat aku, nak. Tak dapat. Lagipula aku tak mau.
LSB Pulanglah pak, taman ini dibuat untuk dapat sekedar menghibur warga kotanya yang
letih dan risau. Apapula yang akan mereka katakan nanti di korang, bila esok mereka
mendapati bapak di sini mati kedinginan.
OT Mati bagiku lebih baik dalam keadaan begini. Minah tak ada lagi. Minah….
LSB Benar, dan aku pun sependapat dengan bapak. Hanya kematian bapak dalam
gudang apek itu akan lebih enak dibanding di sini.
LSB (ketir) Indah. Ya…bagi pencinta roman picisan, yang menyukai judul-judul seperti
‘Mati di tengah Taman’ atau ‘Taman maut’ pulanglah pak, nantikanlah dengan
tawakal di gudang apekmu yang penuh cecunguk dan tikus itu di hari
penghabisanmu. Sungguh sangat menyedihkan! Tapi saying sekali…Jalan lain tak ada
lagi bagi bapak.
LSB (tersenyum) Tak lebih baik sedikitpun dari bapak. Habis, kita mau berbuat apa lagi?
Seperti kata Penjual Balon tadi; saya mencoba menjadikan kegagalanku sebagai
tontonan indah di Taman. Bapak lihat bunga itu? Di sana? Bagus bukan? Dana bapak
baca tulisan di papannya? “DILARANG MEMETIK BUNGA”…(tersenyum)…
OT Ya, kau pengarang, mahir benar kau memendamkan deritamu di balik kata-kata yang
sewaktu-waktu dapat kau hamburkan. Tapi bagaimana nak dengan kesunyianmu?
Ikut saya saja ke gudang apek itu, menghibur saya.
LSB Terima kasih pak, kebersamaan kita seperti yang bapak katakan, itu lebih parah
daripada kesendirian kita masing-masing.
OT Naluri saya! Ingat, ini naluri orang tua lho. Berkata, keadaan anak tak jauh bedanya
dengan keadaan saya.
LSB Selamat malam pak, (bersalaman) siapa tahu besok kita akan bertemu lagi.
OT (tertawa) Tidak, tidak. Aku tak mau bertemu kamu lagi! (tersenyum) selamat malam,
nak. Semoga tidurmu nyenyak (sambil batuk, ia pergi keluar panggung)
LSB menaikkan kerah bajunya. Bangku dibersihkan dengan tanganya. Semua gerak-
geriknya menandakan ia mau tidur malam itu. Seperti juga malam-malam
sebelumnya dan malam yang akan datang. Di bangku itu….
LSB (melihat ke langit) Syukurlah hujan tak akan turun. Atau…mudah-mudahan hujan tak
turun malam ini. Tidur di kolong jembatan, dengan udara kotorannya yang
bertumpuk di situ. Membuat bengekku kambuh lagi.
LSB (tertawa) Ya, ya. Bangku ini sudaah ada orangnya. (dia duduk di bangku) Tapi inikan
taman. Di sebelah sana ada bangku kosong. (tertawa) kesanalah kalian. Saya tak
akan melihat… lagipula saayaa sangat mengantuk.
LSB Ayo pergilah kesana. Jangan sia-siakan kesempatan. Selagi kalian masih muda. Saya
benar-benar tak akan melihat, sungguh. Lagipula saya amat letih.
Gadis daan Pemuda ragu-raagu sebentar, kemudian pergi kea rah yang ditunjuk LSB.
Tamat
Naskah lakon Taman karya Iwan Simatupang
Publikasi lakon ini untuk kemajuan perteateran Indonesia
(Non profit oriented)