K a r y a : Iwan Simatupang
Para Pemain :
Orang Tua
Penjual Balon
Wanita
Pemuda
Pemudi
Berlaku
Di sebuah taman, dalam jangka waktu kurang lebih satu jam, terus menerus.
BUNYI GURUH
Lelaki : Entah.
Orang Tua : Tidak, tidak ! Yang lebih tua mesti tahu diri, dan mengalah. Ini musim
kemarau.
BUNYI GURUH
Lelaki : Maksudmu, bukan musim hujan, dan bukan pula musim kemarau ?
Lelaki : (DIAM)
Orang Tua : (MERENUNG) Dan kalau segala-galanya sudah ber-tambah jelas, maka kita
pun sudah saling bengkak-bengkak, karena barusan saja telah cakar-cakaran. Dan siapa tahu,
salah seorang dari kita tewas pula dalam cakar-cakaran itu. Atau keduanya kita. Dan ini
semua, hanya oleh karena kita telah mencoba mengambil sikap yang agak kasar terhadap
sesama kita (TIBA-TIBA MARAH) Bah ! Persetan dengan segala musim! Dengan segala
musim !
Lelaki : Pakai silakan segala ! Ini kan taman ? (TIBA-TIBA MARAH) Dia duduk,
kalau dia mau duduk. Dan tidak duduk kalau dia memang tidak mau duduk. Habis perkara !
Bah! (MELIHAT DENGAN GERAM KEPA-DA PB)
Lelaki : Mengapa ?
Penj. Balon : Itu hanya alasan saya saja untuk dapat memegang-megang balo. Saya
pencinta balon.
Orang Tua :Mengapa merasa heran ? Dia pencinta balon, titik. Seperti juga orang lain,
pencinta harmonika, pencinta mobil balap, pencinta perempuan-perempuan cantik. Apa yang
aneh dari ini semuanya ?
Lelaki : (MASIH BELUM HABIS HERANNYA) Jadi kau ini sebenarnya bukan
penjual balon ?
Penj. Balon : Karena saya lihat bahwa bapak juga menyukainya. Saya suka melihat orang
yang suka.
Orang Tua : (TERTAWA) Ah, ini bukan lagi kesukaan namanya, tapi kenangan.
Kenangan pada dulu. Tidak nak, sebaiknya bila kau sudi, terima kembali balonmu ini.
Penj. Balon : Saya tak sudi, dan tak berhak menerima kenangan orang (MENOLAK
BALON)
MASUK WANITA DENGAN MENDORONG KERETA BAYI
Wanita : (MENGGAPAI KEARAH BALON) Berikan kepada saya, kalau tak seorang
pun menghendakinya.
Wanita : (MELERAI) Sudah, sudah! Jangan berkelahi hanya karena itu. Bukan itu
maksud saya tadi dengan meminta balon itu.
Lelaki : Ooo, baik, baik ! Jadi, nyonya bukanlah nyonya ? kalau begitu, nyonya
apa ? Nona barangkali….?
Orang Tua : Ahaa…! Nyonya bukan, nona pun bukan…. Ahaaa…! (TERTAWA)
Orang Tua : (KEPADA PB) Aha, pergi dengan kau ? Ahaaai….. Akhirnya sang putri
bertemu dengan pangerannya di tengah sebuah taman. Dan, Ahaa ! Si anak pun akhirnya
bertemu dengan sang ayahnya…. (TERBAHAK-BAHAK)
Penj. Balon : (SEMAKIN GUGUP OLEH SIKAP W) Tidak ! Tidak ! Bukan saya !
(MENCOBA MENUTUP MUKANYA DENGAN KEDUA TANGANNYA)
Wanita : (GERAM) Ayo, buka tanganmu. Aku mau melihat kau ! Ayo !
(MERENGGUT TANGAN PB DARI MUKANYA)
Wanita : Kurang ajar ! Kau telah lari, ha ! Lari, dan kau tinggalkan aku sendirian
dengan seluruh keadaan ke dalam mana kau tempatkan aku dengan per-buatanmu. Aku
sendirian harus menanggung semuanya. Aku, seorang wanita, sendirian, hah ! (ME
RENGGUT KEDUA TANGAN PB DARI MUKA-NYA DENGAN SANGAT KUAT) Ayo,
Buka !
Penj. Balon : Buka saya ! Bukan saya ! Saya Cuma berbuat sekali saja !
Wanita : Ayo, buka tanganmu ! (KEPADA OT DAN L) Tolong lah saya tuan-tuan !
Lelaki : Bukan saya tak mau menolong. Tapi saya secara prinsip tak sudi ikut-ikut
campur dalam urusan yang bukan urusan saya.
Lelaki : Bah ! Apa pula maksudmu dengan kalimat datar serupa itu. Saya Orang
Tua. Semua kami melihat, bahwa bapak memang seorang tua, dan sedikit pun tak ada
memperlihatkan tanda-tanda, bahwa bapak adalah kebalikan dari ucapan itu.
Orang Tua : (GELI) Katakanlah saya hanya ingin mempertegas kedudukan saya dalam
peristiwa yang sedang kita hadapi ini, yakni, ketuaan saya melarang saya terlibat sedikit pun
di dalamnya. Dan kalau kalian tanya bagaimana pendirian saya dalam peristiwa kalian yang
sedikit rumit ini, maka jawab saya ; Saya pro kalian berdua, terlepas dari pertanyaan apakah
benar atau tidak peristiwa itu telah benar-benar terjadi. Tegasnya saya pro setiap peristiwa
beginian.
Orang Tua : Kata-kata saya yang mengemukakan pendirian saya itu adalah perbuatan
saya !
Penj. Balon : (SANGAT DAHSYATNYA) Bukan saya! Bukan saya! Sungguh mati, saya
Cuma melakukannya sekali saja, tak lebih…
Lelaki : Diam, bangsat ! Cuma sekali… Itu kan sudah cukup ? Maumu berapa kali,
ha ? Serakah ! Jadi, kau mengaku sekarang ?
Penj. Balon : (TERUS MERAUNG-RAUNG PUTUS ASA) Bukan saya ! Cuma sekali !
Orang Tua : (SANGAT KESAL) Ya, menolong dengan melakukan apa yang lazimnya
dilakukan pada setiap orang yang pingsan seperti dia ini.
Orang Tua : ….dan kau laki-laki. Bah ! Lagi-lagi ucapan cemplang. Semua orang
melihat, bahwa dia ini wanita dan kau memang laki-laki. Lalu, mau apa ?
Lelaki : Maksud saya, saya…. eh, segan bersentuhan dengan tubuh wanita.
Orang Tua : Apa ? Apa-apaan ini ! Ayo, lupakan kelaki-lakianmu dan tolong aku !
Lelaki : Saya adalah jenis laki-laki yang bila bersentuhan dengan tubuh wanita bisa
terus…
Orang Tua : (MEMOTONG) Saya tahu, saya tahu. Tapi, laki-laki mana yang tidak…?
Orang Tua : (SANGAT TERCENGANG) Prinsip ? Ah, kata siapa ini soal prinsip. Aku
malah lebih cenderung menyebutnya sebagai penyakit. Ah, persetan dengan semuanya.
Bukankah setiap prinsip adalah penyakit juga ? Dan sekarang kuminta dengan hormat pada
kau; hentikan kesukaanmu yang berlebih-lebihan pada, dan dengan, kata-kata itu. Sadarlah,
bahwa dalam peristiwa seperti ini yang sangat segera dibutuhkan adalah perbuatan, tindakan
cepat. Dan tindakan cepat itu di sini adalah menolong aku berbuat sesuatu dengan wanita
pingsan ini.
Lelaki : Kalau tak salah, dengan orang pingsan… entah dia perempuan, entah dia
laki-laki… kita tak dapat ber-buat apa-apa selain daripada menantikan pingsannya lewat
dengan sendirinya.
Orang Tua : Ya, ya, tapi bagaimana bila pingsannya ini tak bakal lewat ?
Lelaki : Dalam hal yang demikian, maka dalam arti yang sesungguhnya kita tak lagi
berhadapan dengan seorang wanita pingsan, tapi…
Wanita : Sungguh laki-laki kasar, kasaar… (KEPADA BAYI) Sstt, sstt, sstt…
diamlah nak, diam. Laki-laki semuanya sama saja tanpa kecuali (MENANGIS)
Penj. Balon : (BERHASIL MENAHAN L) Apa-apaan ini ? Kau mau membunuh bayi ini
barangkali ! Gila, benar-benar telah gila kau !
Orang Tua : Ya, kau sebenarnya telah menyebutkan kata yang setepatnya. Yakni Ibu
(KEPADA W) Ya, sebaiknya ibu pergi saja.
Orang Tua : Nah, bagus, dan jagalah dia (MELIHAT KEDALAM KERETA) baik-baik.
Dia (OT LALU BERDIRI DI SAMPING W, MELIHAT KEPADA BAYI) sungguh manis,
anak yang sehat. (MENGITIK-NGITIK BAYI, KEDENGARAN SUARA BAYI
TERTAWA-TAWA)
Penj. Balon : (BERDIRI DI SAMPING OT DAN W, IKUT MELI-HAT LUCU KEPADA
BAYI DALAM KERETA ITU)
BUNYI GEMURUH
Orang Tua : Nah, dengar tuh. Hujan bakal datang. Lekaslah ibu pulang.
Lelaki : Kalau ibu berjalan cukup cepat, ibu masih bisa kering sampai di rumah.
Orang Tua : Siapa yang mau main kata-kata ? Lihat tuh, langit justru mulai terang.
Penj. Balon : Dan saya… sekiranya ditanyakan secara jujur kepada saya sedikit pun tak
memahami persoalan apa yang sebenarnya yang ada antara kalian berdua. (DUDUK DI
BANGKU. MEMUNGUT BALON YANG DIPECAHKAN OT DARI TANAH, MENIUP
SOBEK-AN-SOBEKANNYA MENJADI BALON KECIL)
Orang Tua : Itulah celakanya dari tiap taman. Setiap orang yang datang ataulewat taman,
menganggap dirinya merdeka untuk mencampuri setiap pembicaraan, ya setiap pembicaraan,
ya setiap penghidupan, yang ke-betulan sedang berlaku di situ.
Lelaki : Habis, ini kan taman ?! Ini adalah tempat terbuka untuk umum. Di setiap
tempat umum, ada pembicaraan umum. Oleh sebab itu, setiap orang boleh saja terus ikut
bicara. Demi pendapat umum ! Kalau bapak mau punya pendapat tersendiri, yah… jangan
datang ke taman !
Orang Tua : Kau enak saja bicara. Ke mana saja ! (SEDIH, PILU) Saya tak dapat ke
mana-mana.
Lelaki : Mengapa ?
Orang Tua : (TIBA-TIBA MENANGIS) Tak ada orang yang menginginkan saya.
Seorang pun tidak.
Orang Tua : Delapan orang. Tapi, tak seorang pun dari mereka yang menyukai saya.
Lelaki : (KEPADA PB) Oo, jadi minah adalah memang istrinya, dan rupanya ia
minggat.
Orang Tua : Minah, minah mengapa kau tinggalkan aku, setelah kita hidup bahagia
delapan tahun.
Lelaki : Wah, delapan tahun. Kalau begitu, dia setiap tahun dapat seorang anak.
Penj. Balon : Hebat juga si Minah, eh istri bapak kita ini, maksud saya.
Lelaki : Hebat ? Itu kau katakan hebat ? Huh, begitu rupanya tanggapanmu tentang
manusia dan kemanusiaan ya ? Itu tafsiranmu rupanya tentang wanita, ya ? Aku menyebutnya
; iseng ! Manusia lelaki yang tak punya fantasi, lalu merongrong tubuh manusia perempuan.
Penj. Balon : Merongrong gimana, ah ! Kalau si perempuan tidak mau dirongrong, saya
kira seluruh persoalan dan filsafat iseng itu tak akan pernah ada.
Lelaki : Ah, kau tahu apa ! Seolah filsafat iseng itu hanya lah filsafat ranjang dan
hormon yang berlebihan saja. Seandainya bapak kita yang terhormat ini punya fantasi sedikit,
maka apa yang hendak kukatakan adalah ; alangkah baiknya, sekiranya selama delapan tahun
di berumah tangga dengan istrinya yang bernama minah itu, dia cukup membuat dua anak
saja dan enam novel misalnya, (DENGAN SIKAP YANG SANGAT MENYANGSIKAN)
Tunggu dulu pak ! Minah ini sebenarnya siapa ?
Orang Tua : (SUARA DATAR) Kucing betina saya. Kucing yang saya sayangi.
Orang Tua :Dia senantiasa pulang kembali. Tapi kali ini, dia telah menghilang lebih dari
seminggu (MERAUNG) Minah, minah…!
Lelaki : Pulanglah, pak. Taman ini diadakan kotapraja untuk dapat sekedarnya
menghibur warga kotanya yang letih, yang risau. Apa pula kata mereka nanti di koran, bila
esok pagi mereka dapati bapak di sini mati kedinginan ?
Orang Tua : (TERISAK-ISAK KECIL) Mati adalah lebih baik bagiku dalam keadaanku
seperti sekarang ini, minah tak ada lagi, minah…..
Lelaki : Benar, dan aku pun sependapat dengan bapak. Hanya kematian bapak di
rumah, akan lebih menyamankan kotapraja daripada di sini.
Lelaki : (TERSENYUM) Tak lebih baik sedikit pun dari bapak. Habis, kita mau
berbuat apa lagi ? Seperti kata Penjual balon tadi ; aku mencoba menjadikan dari
kegagalanku suatu barang tontonan indah di taman. Bapak lihat kembang api itu, di sana,
bagus, Bukan ? Dan bapak baca tulisan dipapan yang dipancangkan oleh kotapraja di
hadapannya ? Dilarang memetik bunga. (TERSENYUM).
Orang Tua : Ya, kau pengarang dan mahir benar kau membenam-kan deritamu dibalik
kata-kata yang sewaktu-waktu dapat kau hamburkan. Tapi bagaimana nak dengan
kesunyianmu ? Ikutlah saya ke rumah saya yang apak itu. Agar adan teman saya. Dan agar
ada teman anak.
Orang Tua : Maafkan saya…istri saya sudah delapan tahun meninggalkan saya, tepatnya
dua minggu, setelah saya membawa minah dari jalanan…Oh… minah…! minaaah ! (SADAR
DARI KETERHANYUTANNYA, MEMEGANG TANGAN L, SUARANYA MENINGGI)
Ayo, anak ikut saja ke rumah saya…
Lelaki : Terima kasih pak. Kebersamaan kita seperti yang bapak gambarkan tadi
lebih parah lagi daripada kesendirian kita masing-masing.
Orang Tua : Naluri saya…dan ingat ! Ini naluri orang tua, lho…. berkata keadaan anak
tak jauh bedanya dari keadaan saya.
Lelaki : Saya tak akan meningkahinya. Tapi telah saya katakan : Usia yang lebih
muda ada pada saya. Kemungkinan-kemungkinan dari kesepian saya jauh lebih banyak.
Orang Tua : (TERTAWA RAGU) Tidak, tidak ! Aku tak mau bertemu kau lagi.
(TERSENYUM) Selamat malam, Nak ! Mudah-mudahan tidurmu nyenyak di mana saat kau
akan tidur malam ini (SAMBIL BATUK-BATUK, PERGI PELAN-PELAN, LENYAP
DARI PENTAS)
Lelaki : (GELAK TIBA-TIBA) Ya, ya. Bangku ini sudah ada orangnya (DIA
DUDUK DI BANGKU) tapi ini kan taman. Di sana ada bangku kosong (TERTAWA) Ke
sana lah kalian. Saya tak akan melihat, sungguh… (GELAK) Lagi pula, saya sangat
mengantuk.
Lelaki : Ayo, pergilah ke sana, jangan sia-siakan kesempatan, selagi kalian masih
muda. (GELAK) Saya benar-benar tak akan melihat. Lagi pula saya amat letih, amat
mengantuk….