Anda di halaman 1dari 19

KELOMPOK 3

NAMA : 1. AYU BALLO (NIM 2201010077)


2. MARIA ANJELINA SURTIN (NIM 2201010101)
3. LUIS FEBYANO (NIM 2201010030)
4. MARTALYA SONIATI (NIM 2201010068)
5. MARCHELLA PUTRI PRATAMA DIMA (NIM 2201010078)
6. SARLIN SARLOTA LELO DJERU (NIM 2201010044)
7. CLARINTIA WELYZARI PANDIE (NIM 2201010085)
MATA KULIAH : DRAMATURGI
❖ MENGKAJI UNSUR-UNSUR DRAMA :
1. TEMA
2. ALUR/PLOT
3. KARAKTER/PENOKOHAN
4. SETTING/LATAR

NASKAH PERTAMA
PETANG DI TAMAN
Karya : Iwan Simatupang
Produksi : Teater Kencana
Sutradara : Efriadi
“Itulah celakanya dari setiap taman. Setiap orang yang datang atau lewat, menganggap
merdeka dirinya untuk mencampuri setiap pembicaraan. Ya, setiap penghidupan yang
kebetulan sedang berlaku di situ.”

PARA PEMAIN
FIKRYOSEPH sebagai ORANG TUA (OT)
RIZZAL sebagai LELAKI SETENGAH BAYA (LSB)
BACHRUDIN sebagai PENCINTA BALON (PB)
AYU ERLITA sebagai WANITA (W)

RINGKAS CERITA
Dalam cuaca yang tidak menentu. Seorang Tua terbatuk-batuk menyeret langkahnya menuju Taman.
Seorang Lelaki Setengah Baya yang entah dari mana asalnya, juga memasuki Taman. Terjadilah
perdebatan antara kedua orang asing tersebut, tentang cuaca yang mereka sendiri tidak mengetahui
secara pasti musim apa sebenarnya kini. Perdebatan belum lagi mendapatkan hasil yang memuaskan
bagi mereka, datanglah Seorang Pencinta Balon yang mereka kira Penjual Balon. Si Pencinta Balon
menjadi terganggu oleh kesalahan tafsiran tersebut. Dan ini pun dialami oleh Seorang Wanita yang
datang kemudian bersama Bayinya. Kejadian di Taman merupakan konflik-konflik yang tidak ada
hubungannya satu sama lain, yang menceritakan pergulatan Manusia dalam kehadirannya melawan
kesepian dan ketidakmengertian. Yang sangat ironis dari cerita ini ialah dimana Taman yang
seharusnya merupakan tempat kenyamanan dan ketenangan bagi orang-orang yang mengunjunginya
justru di sini menjadi sebaliknya. (Efr.)

ADEGAN SATU
TAMAN. BANGKU.
ORANG TUA MASUK, BATUK-BATUK, DUDUK DI BANGKU.
MASUK LAKI-LAKI SETENGAH BAYA, DUDUK DI BANGKU.

LSB : Mau hujan.


OT : Apa?
LSB : Hari mau hujan. Langit mendung.
OT : Ini musim hujan?
LSB : Bukan, musim kemarau.
OT : Di musim kemarau, hujan tak turun.
LSB : Kata siapa?
OT : Ini bulan apa?
LSB : Entah.
OT : Kalau begitu, saya benar. Ini musim hujan.
LSB : Bulan apa kini rupanya?
OT : Entah.
LSB : Kalau begitu saya benar. Ini musim kemarau.
OT : Salah seorang dari kita musti benar.
LSB : Kalau begitu, baiklah saya mengalah. Ini musim hujan.
OT : Tidak, tidak. Yang lebih muda musti tahu menghormati yang lebih tua. Ini musim hujan.
(SUARA GEMURUH)
OT : Kita sama-sama salah.
LSB : Maksudmu, bukan musim hujan dan bukan pula musim kemarau?
OT : Habis mau apa lagi?
LSB : Beginilah kalau gila hormat.
OT : Kamu bagaimana?
LSB : Ah, kita boleh lebih kasar sedikit.
OT : Lantas?
LSB : Akan lebih jelas, musim apa sebenarnya kini.
OT : Dan kalau sudah bertambah jelas?
LSB : (DIAM)
OT : (MERENUNG) Dan kalau segalanya sudah bertambah jelas, maka kita pun sudah saling
bengkak-bengkak, atau tewas, karena barusan saja telah cakar- cakaran. Dan siapa tahu, salah seorang
dari kita tewas pula dalam cakar-cakaran itu, atau keduanya. Dan ini semua, hanya karena kita telah
mencoba mengambil sikap yang agak kasar terhadap sesama kita (TIBA-TIBA MARAH) Bah! Persetan
dengan segala musim.

BUNYI GEMURUH. TAK LAMA KEMUDIAN, MASUK PENCINTA BALON.


BALON-BALONNYA BERANEKA WARNA.

OT : (KEPADA PB) Silahkan duduk.


PB : (BIMBANG, MASIH SAJA BERDIRI)
OT : Ayo. Silahkan duduk (MENEPI KE BANGKU)
LSB : Tentu saja bapak telah membuat dia menjadi ragu-ragu.
OT : Kenapa?
LSB : Pakai dipersilahkan segala. Ini ..... kan taman. (TIBA-TIBA MARAH) Dia duduk kalau dia mau
duduk. Dan dia tidak duduk, kalau dia memang tak mau duduk. Habis perkara. BAH! (MELIHAT GERAM
KEPADA PB)
PB : (DUDUK)
LSB : (MASIH MARAH) Mengapa kau duduk?
PB : Eh ..... Saya mau duduk.
OT : (TIBA-TIBA TERTAWA TERPINGKAL-PINGKAL)
LSB : (SANGAT MARAH) KENAPA BAPAK TERTAWA?
OT : (DALAM TAWA) Karena .... saya mau ketawa. (TERTAWA TERBAHAK- BAHAK)

ADEGAN DUA
BERBUNYI GEMURUH, BERHEMBUS ANGIN. BALON-BALON KENA HEMBUSAN ANGIN. SEBUAH BALON
MAU LEPAS. CEPAT-CEPAT PB MENANGKAPNYA. LSB MENERKAM BALON ITU, INGIN SUPAYA IA LEPAS
SEMUA. DARI TANGAN PB, TERBANG KE UDARA. PB DAN LSB BERGUMUL, BALON-BALONNYA KINI
TERBANG SEMUANYA DARI TANGAN PB. SEBUAH BALON DAPAT DITANGKAP OLEH ORANG TUA,
YANG KEMUDIAN DAPAT PERMAINAN GEMBIRA SEPERTI KANAK-KANAK ATAU ANAK KECIL SAJA.

PB : (DUDUK DI TAMAN SAMBIL MENANGIS)


OT : (MASIH GEMBIRA BERMAIN-MAIN DENGAN BALON)
LSB : (KEPADA PB) Mengapa ........ hey, kau menangis?
OT : (SAMBIL BERMAIN-MAIN TERUS DENGAN BALON) Karena memang dia mau menangis.
PB : Bukan, bukan karena itu (TIBA-TIBA)
OT/LSB : (TERCENGANG) Em?
LSB : Kalau begitu, kau menangis karena apa?
PB : Karena balon-balon saya terbang.
OT : (MENGERTI) Oooooo, dia pedagang yang merasa dirugikan.
LSB : Ooooo, itu (MEROGOH DOMPET DARI SAKU CELANANYA) Nah, ini sekedar pengganti
kerugianmu.
PB : (MENGGELENG SAMBIL BERDIRI) Tidak (DUDUK DIBANGKU) *
(TANGISNYA MENJADI-JADI) Saya tak mau dibayar.
OT/LSB : (SEREMPAK) Tak mau?
PB : Saya lebih suka balon.
LSB : Kenapa?
PB : (MENGGELENGKAN KEPALANYA)
LSB : (TAK MENGERTI) Tapi, kau kan menjualnya?
PB : Itu hanya alasan saya saja untuk memegang balon-balon. Saya pencinta balon.
LSB : Apa-apaan ini?!
OT : Mengapa merasa aneh? Dia pencinta balon, seperti juga orang lain pencinta harmonika,
pencinta mobil balap, pencinta perempuan-perempuan cantik. Apa yang aneh dari ini semuanya?
LSB : (MASIH HABIS HERANNYA) Jadi, kau sebenarnya bukan penjual balon?
OT : (KEPADA PB) Ini, terima balonmu kembali.
PB : Tidak, bapak pegang sajalah terus.
OT : (HERAN) Saya pegang terus?
PB : Karena saya lihat bahwa bapak juga menyukainya. Saya suka melihat orang yang suka balon.
OT : (TERTAWA KECIL) Ah, ini bukan lagi kesukaan namanya, tapi kenangan. Kenangan kepada
dulu. Tidak, anak. Sebaiknya bila kau sudi menerima kembali balon ini.
PB : Saya tak sudi, dan tidak berhak menerima kenangan orang.
W : (MASUK. MENGGAPAI KE ARAH BALON) Berilah kepada saya, kalau tak seorang pun
menghendakinya.
OT : (TIBA-TIBA MEMECAHKAN BALON ITU, LALU MELIHAT DENGAN GELI PADA WANITA ITU)
LSB : Kenapa bapak pecahkan? (SANGAT MARAH)
OT : Karena saya memang mau memecahkannya. Jelas? (TERTAWA)
LSB : Jahanam. Orang tua keparat. (MENERKAM ORANG TUA)
W : (MELERAI) Sudah, sudah. Jangan berkelahi hanya karena itu. Bukan itu maksud saya dengan
meminta balon itu.
LSB : Lepas, lepaskan saya, biar saya hajar dulu dia.
W : Jangan, jangan. (MENANGIS)
LSB : (KESAL MELIHAT WANITA ITU MENANGIS) Ah, air mata lagi, persetan. Mengapa nyonya
datang kemari?
W : (TIBA-TIBA SANGAT MARAH) Siapa bilang saya nyonya?
LSB : O, baik, baik. Jadi nyonya bukanlah nyonya. Kalau begitu nyonya apa? Nona barang kali?
W : (GUGUP) Ti ......... (MENANGIS)
OT : Ahaaaaa, nyonya bukan ........ nona pun bukan. Ahaaaaaaaaa (KETAWA)
PB : Sungguh kasar, sungguh biadab kalian. (MENUNTUN WANITA ITU SUPAYA DUDUK
DIBANGKU) Sudahlah bu,. Jangan hiraukan mereka. Sebaiknya ibu lekas-lekas saja pergi dari sini
sebelum mereka menghina ibu lebih parah lagi nanti. Pergilah.
OT : (KEPADA PB) Ahaaaaa, pergi dengan kau? Ahaaaaa, akhirnya sang putri bertemu sang
pangerannya di tengah taman. Dan ...... ahaaaaa, sianakpun akhirnya bertemu dengan sang ayah
(TERTAWA TERBAHAK-BAHAK)
PB : (TIBA-TIBA MENYADARI MAKNA KATA-KATA ORANG TUA ITU) Siapa bilang saya .........
(MELIHAT SILIH BERGANTI KEPADA ORANG TUA, WANITA DAN KE DALAM KERETA BERISI OROK) Tidak,
tidak ........ saya bukan ...........
OT : (CEPAT-CEPAT NYELETUK) Bukan apanya, nak?
PB : (KEPADA ORANG TUA) Bapak mau menuduh saya?
LSB : Menuduh apa, bung? Kau nampaknya begitu bernafsu untuk berbicara tentang sesuatu dan
tuduhan yang sebenarnya tidak ada. Kemudian, kau tampaknya begitu bernafsu menolak tuduhan itu,
ingat. Tuduhan yang tidak ada itu, hingga ..... (TERTAWA) Saya ini benar-benar mulai curiga, dan benar-
benar menuduh kau tentang sesuatu yang dengan terus terang saja aku katakan belum jelas bagiku
sendiri ....
PB : (BINGUNG) Tidak, tidak.
W : (DENGAN BERNAFSU SEKALI DATANG MENDEKAT PADA PB, MEMPERHATIKAN WAJAH PB
DENGAN SANGAT TELITI)
PB : (SEMAKIN GUGUP DENGAN SIKAP WANITA ITU) Tidak, tidak. Bukan saya. (MENCOBA
MENUTUPI WAJAHNYA DENGAN KEDUA TANGANNYA)
W : (GERAM) Ayo, buka tanganmu. Aku mau melihat kau, ayo!!! (MERENGGUT TANGAN PB DARI
MUKANYA)
PB : Tidak! Bukan saya. Bukan saya.
W : Jahanam. Ayo, buka tanganmu kataku. Buka. Buka!
PB : Kurang ajar. Kau telah lari, ha! Lari, dan kau tinggalkan aku sendiri dengan seluruh keadaan
kedalah mana kau tempatkan aku dengan perbuatanmu. Aku sendirian harus menanggung semuanya.
Aku seorang wanita, sendirian. Bah! (MERENGGUT DENGAN SANGAT KUAT KEDUA TANGAN PB DARI
MUKANYA) Ayo, bukaaaaaaaa!!!
PB : Bukan saya. Bukan saya. Saya Cuma berbuat sekali saja.
OT : (NYELETUK) Itukan sudah cukup, tolol.
LSB : (MENINGKAH OT) Belum tentu, menurut ilmu kedokteran modern.
W : Ayo, buka tanganmu (KEPADA OT DAN LSB) Tolonglah saya tuan-tuan.
OT : Bukan saya tak mau menolong. Tapi secara prinsipil, saya tak sudi ikut campur dalam urusan
yang bukan yang bukan urusan saya.
W : (KEPADA OT) Ayo, pak, tolonglah saya.
OT : Saya orang tua.
LSB : Bah! Apa pula dengan maksudmu itu, dengan kalimat kotor serupa itu. Saya orang tua. Kami
semua melihat bahwa bapak memang orang tua, dan tidak ada tanda-tanda yang memperlihatkan
bahwa bapak adalah kebalikan dari ucapan itu.
OT : (GELI) Katakanlah saya ingin mempertegas kedudukan saya dalam peristiwa yang sedang kita
hadapi ini, yakni: ketuaan saya melarang saya terlibat sedikit pun di dalamnya. Dan kalau kalian
tanyakan bagaimana pendirian saya dalam peristiwa kalian yang sedikit rumit ini, maka jawab saya:
saya pro kalian berdua. Lepas dari pertanyaan apakah benar apakah tidak peristiwa itu telah benar-
benar terjadi. Tegasnya, saya pro setiap peristiwa beginian.
LSB : Kata-kata, hanya kata-kata muluk. Sedang yang diminta dari bapak sekarang ini adalah
perbuatan.
OT : Kata-kata saya yang mengemukakan pendirian saya itu adalah perbuatan saya.
LSB : Bagus. Bagus. Berkatalah terus dan persaksikanlah betapa kedua mereka ini sebentar lagi
bakal saling telan menelan.
PB : (SANGAT DAHSYAT) Bukan sayaaaaaaaa! Bukan saya, sungguh mati saya hanya melakukan
sekali saja, tak lebih ........
OT : (GELI) ....... dan tak kurang!
LSB : Diam, bangsat! Cuma sekali itu kan sudah cukup. Maumu berapa kali, ha? Serakah! Jadi, kau
mengaku sekarang?
W : (HISTERIS) Aku ....... aku ditinggalkannya, dan dia meninggalkan aku dan dia menghilang. Dan
aku menghadapi akibatnya. (BUAS) Ayo, buka tanganmu!
LSB : (SANGAT DAHSYAT) Buka! Buka! (SETELAH BERGUMULAN SEBENTAR LSB BERHASIL
MERENGGUTKAN DUA TANGAN PB DARI WAJAHNYA HINGGA TE SEDANG KEDUA TANGANNYA TERUS
DIKEMPIT OLEH LSB KE BELAKANG PUNGGUNGNYA)
PB : Bukan saya, bukan saya.
W : (MAJU DEKAT SEKALI, MELIHAT WAJAH PB) Bangsat, laki-laki jahanam. Kurang ajar! (KETIKA
SUDAH MELIHAT WAJAH PB, WANITA ITU TERKEJUT) Bukan ........? Bukan kau (PINGSAN, TAPI CEPAT
-CEPAT DIPEGANG OLEH ORANG TUA)
OT/LSB : (SEREMPAK) Bukan dia?
PB : Bukan saya, bukan saya. Cuma sekali, cuma sekali.
LSB : (GEMAS, MELEPASKAN TANGAN PB) Huh, bukan kau .......!
PB : Bukan saya, bukan, bukan saya. Cuma sekaliiiiiiiii
OT : (OT REPOT MENGIPASI WANITA YANG DALAM PADA ITU SAYA TERGOLER KAN DI BANGKU)
Sudah cukup. Biar kau melakukannya lebih dari sekali, sekarang ini soal itu sudah tak penting lagi.
Mari, daripada kau berteriak-teriak tak berguna itu lebih baik kau ........ (MELIHAT KE LSB) Kalian ........
menolong saya dengan dia ini (TERUS MENGIPAS WANITA)
LSB : Menolong bagaimana?
OT : (SANGAT KESAL) Ya, menolong apa saja yang lazim dikerjakan.
LSB : Saya merasa agak segan?
OT : Segan? Kenapa?
LSB : Dia, eh ....... perempuan.
OT : ..... Dan kau laki-laki. BAH! Laki-laki ucapannya complang. Semua orang melihat bahwa dia
ini memang wanita dan kau laki-laki. Lalu, mau mu apa?
LSB : Maksud saya ....., saya .... eh, segan bersentuhan dengan perempuan.
OT : Apa? Apa-apaan ini, ayo .... lupakan kelaki-lakianmu itu dan tolonglah aku.
LSB : Saya adalah jenis laki-laki yang bila bersentuhan dengan tubuh wanita, bisa saja terus ...........
OT : (CEPAT MEMOTONG) Saya tahu, saya tahu. Tapi laki-laki mana yang tidak .........
LSB : O, jadi bapak menganut prinsip yang sama?
OT : (SANGAT TERCENGANG) Prinsip? Ah, kata siapa ini soal prinsip. Aku malah lebih cenderung
menyebutnya sebagai penyakit. Ah, persetan dengan semuanya. Bukankah setiap prinsip penyakit
juga? Hentikan kesukaan yang agak berlebihan itu, sadarlah bahwa dalam peristiwa seperti ini, yang
sangat segera dibutuhkan adalah perbuatan tindakan cepat. Dan tindakan cepat itu disini adalah
perbuatan tindakan cepat. Dan tindakan cepat itu disini adalah menolong atau berbuat sesuatu
dengan wanita yang pingsan ini.
LSB : Kalau aku tidak salah, dengan orang pingsan, entah dia perempuan entah dia laki-laki, kita
tak dapat berbuat apa-apa selain menantikan pingsannya lewat dengan sendirinya.
OT : Ya, ya. Tapi bagaimana bila pingsannya ini tak bakal lewat?
LSB : Dalam hal yang demikian, maka dalam arti yang sesungguhnya kita telah berhadapan lagi
dengan seorang wanita pingsan tapi .......... .
OT : (SANGAT TAKUT) Tapi apa?
LSB : Ya, bisa saja dengan wanita yang ............
OT : (SANGAT TAKUT) Yang.......??? (SUARA OROK DALAM KERETA MENANGIS)
W : (MENDENGAR OROK MENANGIS, WANITA ITU TIBA-TIBA BERDIRI, LALU CEPAT-CEPAT
MENUJU KERETA) Anakku, anakku. (BERUSAHA MENYURUH DIAM OROKNYA DENGAN CARA
MENGGOYANGKAN KERETANYA) Kalian telah membuat dia bangun, BAH! Laki-laki kasar kalian semua
(SUARA OROK MENANGIS TERUS) (LSB, OT, PB, SALING BERPANDANGAN)
W : Sungguh laki-laki kasar, kasar ...... (KEPADA OROKNYA DALAM KERETA) Ssssst, ssst, ssst ....
diamlah, anak, diam. Laki-laki semua sama saja, kasar. Tanpa terkecuali. (MENANGIS)
LSB : Stop, stop, stop dengan air matamu, mau apa kau? (OROK DALAM KERETA TAMBAH KUAT
MENANGIS, MAU MENYERBU KE KERETA OROK) Stop menangis, stooooop!!!
W : (MENCEGAH LSB) Jangan ..... jangan apa-apakan anakku.
PB : (BERHASIL MENAHAN LSB) Apa-apaan ini? Kau mau membunuh orok ini? Barangkali kau gila,
benar-benar telah gila kau.
LSB : (DALAM RANGKULAN KASAR DARI PB) Sudah aku katakan stop! Berhenti. Jangan menangis,
jangan ada yang menangis. Jangan lagi ada yang menangis...... aku tak kuat melihatnya. Aku tak kuat
(MENANGIS TERSENDU. OT, W, PB MELIHAT TERHARU KEPADA LSB YANG MENCOBA MENINDAS
TANGIS ISAKNYA. MEREKA TERHARU. DAN DIANTARA ISAKNYA, LSB MEMISAHKAN) Jangan ..... lagi ada
yang menangis ........ aku tak kuat ..... tak kuat melihatnya ..............
PB : Sebaiknya ibu pergi sekarang (KEPADA WANITA)
OT : Ya, sebenarnya kau telah menyebutkan kata yang sebenarnya. Yakni, ibu. (KEPADA WANITA)
Ya, sebaiknya ibu pergi saja.
W : (GUGUP) Ibu ..... saya ibu ..... (MELIHAT KEPADA BAYINYA DALAM KERETA) Baik, baik, saya
kira juga lebih baik bila saya pergi.
OT : Nah, bagus dan jagalah. (MELIHAT KE DALAM KERETA) Baik-baik dia. (OT LALU BERDIRI DI
SAMPING WANITA, MELIHAT KEPADA OROK DI DALAM KERETA) Sungguh manis. Anak yang sehat.
(MENGITIK-ITIK OROK KEDENGARAN SUARA OROK TERTAWA)
PB : (BERDIRI DI SAMPING IT, DAN W, IKUT MELIHAT OROK DENGAN LUCUNYA)
LSB : (BERHENTI ISAKNYA DAN JUGA MELIHAT OROK ITU DI SAMPING OT, W DAN PB MELIHAT
TERSENYUM KEPADA OROK TERSEBUT)
OT : (TERUS MENGITIK OROK YANG TERUS TERTAWA DENGAN GELINYA) (BUNYI GURUH) Nak,
dengan itu, hujan bakal datang. Lekaslah ibu pulang.
PB : Nanti dia ..... (MENUNJUK KEPADA KERETA) ..... dia basah, bisa sakit.
LSB : Kalau ibu berjalan cukup cepat, ibu masih bisa kering sampai di rumah.
W : Baiklah. (MELIHAT TERHARU PADA KETIGANYA) Terima kasih banyak, kawan-kawan. Berkat
kalian bertiga, aku telah menemui diriku kembali. Pertemuan dengan kali ini tak akan mudah dapat
aku lupakan (MENJABAT TANGAN PB) Maafkan aku, aku telah menempatkan diri saudara tadi dalam
kedudukan yang sangat memalukan. (MENJABAT TANGAN OT KEMUDIAN TANGAN LSB) Harap
saudara-saudara sudi memaafkan aku dan semoga kita saling bertemu lagi (PERGI)
OT/LSB/PB : Sampai bertemu lagi ....... lagi bu. (KEMUDIAN MEREKA SALING BERPANDANGAN PENUH
ARTI)

ADEGAN KETIGA
BUNYI GURUH
LSB : Langit telah gelap benar. Hari mau hujan.
OT : Kata siapa?
LSB : Alaaaaa, mau main pencak dengan kata-kata lagi?
OT : Siapa yang mau main pencak dengan kata-kata? Lihat itu, langit justru mulai terang.
LSB : (HERAN) Dan guruh yang barusan?
OT : (TAMBAH JENAKA) Ya, tetap guruh. Soalnya sekarang adalah ....... bahwa guruh yang barusan
saja kita dengar itu, sedikitpun tak ada sangkut pautnya dengan hujan. Hujan tak bakal turun lagi.
Jelas?
LSB : Sungguh saya tak memahami lagi (GELENG-GELENG KEPALA DUDUK DI BANGKU MEMUNGUT
BALON-BALON)
PB : Dan saya ....... sekiranya ditanyakan secara jujur kepada saya. Sedikit pun saya tak
memahaminya apa yang sebenarnya yang ada di antara kalian berdua. (DUDUK DI BANGKU,
MEMUNGUT BALON-BALON YANG DIPECAHKAN OT DARI TANAH. MENIUP SOBEKKANNYA MENJADI
BALON-BALON KECIL)
OT : Itulah celakanya dari setiap taman. Setiap orang yang datang atau lewat, menganggap
merdeka dirinya untuk mencampuri setiap pembicaraan. Ya, setiap penghidupan yang kebetulan
sedang berlaku di situ.
LSB : Habis ..... ini kan taman. Ini adalah tempat terbuka untuk umum. Di setiap tempat umum,
ada pembicaraan umum. Oleh sebab itu setiap orang terus berbicara. Demi pendapat umum, kalau
bapak mau mendapatkan tersendiri ......... yah jangan ke taman.
OT : Lalu saya harus ke mana?
LSB : Ke mana saja, asal jangan ke taman.
OT : Kau enak saja bicara. Ke mana saja ....... (SEDIH, PILU) Jadi saya tak dapat ke taman.
LSB : Mengapa?
OT : (TIBA-TIBA MENANGIS) Tak ada seorang pun yang menginginkan saya. Seorang pun tidak.
LSB : Anak-anak bapak?
OT : Delapan orang. Tapi tak seorang pun yang menginginkan saya. Seorang pun tidak.
LSB : Terlalu. Dan ...... istri bapak, bagaimana?
OT : (TIBA-TIBA MERAUNG) Mince ......... Mince!
PB : (DALAM SAAT ITU TELAH SIAP MEMBUAT BEBERAPA BALON-BALON KECIL DARI SOBEKKAN-
SOBEKKAN BALONNYA TADI) Siapa Mince?
LSB : Sssst ..... ibu. Maksud saya, istri bapak kita ini.
PB : (TERPERANJAT) Ibu?!
LSB : Istri bapak kita ini.
PB : Oooo, katakan sejak tadi dong. Hhhh, saya benar-benar dibikin kaget oleh perkataan ibu itu
tadi. Eh ..... mengapa ibu .... Eeee, istri bapak kita ini rupanya?
LSB : Ssssst, jangan kuat-kuat. Saya sendiri belum tahu.
OT : (MERAUNG-RAUNG) Mince ....... Mince!
LSB : Siapa Mince, pak?
OT : Mince ..... oh, Mince.
LSB : Apakah Mince itu istri bapak?
OT : Mince, Mince. Mengapa kau tinggalkan aku setelah kita hidup delapan tahun.
LSB : Wah, delapan tahun. Kalau begitu, dia setiap tahun dapat seorang anak.
PB : Hebat juga di Mince, eh ..... istri bapak kita ini maksud saya.
LSB : Hebat? Itu kau katakan hebat? Huh, begitu rupanya tanggapanmu tentang manusia dan
kemanusiaannya, ya? Itu tafsiranmu rupanya wanita, ya? Aku menyebutnya iseng. Manusia yang tak
punya fantasi, lalu meronggong tubuh manusia lain.
PB : Meronggong gimana, ah. Kalau si perempuan tak mau dirongrong, saya kira seluruh
persoalan dan filsafat iseng itu tak pernah ada.
LSB : Ah, tahu apa. Seolah filsafat iseng itu hanyalah filsafat ranjang dan hormon yang berlebihan
saja. Seandainya, bapak kita ini punya fantasi, maka apa yang aku katakan adalah: Alangkah
bahagianya alangkah baiknya, sekiranya selama delapan tahun dia berumah tangga dengan istrinya
yang bernama Mince itu cukup membuat anak dua orang saja dan enam buah novel misalnya.
PB : Ahaaa, kau seorang pengarang rupanya. Pengarang gagal yang kemudian terdampar di
taman untuk menganalisa peristiwa-peristiwa kecil sebagai hiburan untuk melupakan kegagalanmu
itu.
LSB : Tahu apa pula kau tentang makna sebenarnya dari kegagalan? Betapa banyak kejadian,
bahkan kegagalan itu merupakan penampilan yang paling prinsipil terhadap karya-karyanya yang tak
punya mutu kepalang tanggung. Dan jangan lupa, tidak ada yang lebih dapat merasakan apa arti
berhasil selain daripada dia yang mengalami kegagalan.
OT : Mince! O, Mince. Telah kucari-cari kau ke mana-mana. Di mana kau Mince.
LSB : Apakah salah seorang anak dari anak bapak yang delapan orang itu tak ada di rumah?
OT : Tidak.
PB : Apakah bapak sudah pasang iklan di koran?
LSB : Soal-soal itu tak layak dikorankan.
LSB : Soal-soal itu tak layak dikorankan.
PB : Banyak saja iklan-iklan yang demikian. Seperti yang saya baca pagi tadi di salah satu koran
berbunyi: “Adinda, Nur ..... Kembalilah kepada kakanda, pintu rumah kakanda selalu terbuka lebar
untuk kau, karena kakanda telah memaafkan semuanya”
LSB : (MARAH) Laki-laki bubur, ha! Setelah istri yang bernama Nur itu berbuat jahanam dengan
laki-laki lain, kemudian lari karena ketahuan berbuat begitu,. Nah, sekarang suami berwatak daun
pisang pembungkus itu mau mengambil seorang pahlawan dari roman-roman abad pertengahan, dan
sikap ini dipertontonkan pada kita, masyarakat dari abad XX ini dengan medium komunikasi yang
paling prinsipil paling vulgar, surat kabar. BAH!
PB : Vulgar? Melalui iklan surat kabar adalah cara yang paling praktis. Dan jangan lupa, bukan
suami si Nur itu saja yang telah berbuat begitu.
LSB : Pada abad XX ini akan lebih tertolong apabila mereka menolak iklan-iklan bergaya si suami si
Nur itu. Dan tahu kita ... berapa lagi lelaki yang berkeliaran macam suami si Nur itu di luar kantor iklan
surat kabar? Bayangkan, sekiranya semua senasib dengan suami si Nur ini berbuat hal yang sama.
OT : (NYELETUK) Saya juga telah menyuruh menyiarkan kehilangan Mince melalui radio.
LSB : Tsyk, tsyk, tsyk. Hebat. Dan bagaimana hasilnya?
OT : Nol.
LSB : Seperti yang aku duga. Tsyk, tsyk, tsyk.
OT : (MERAUNG) Mince ...... oh Mince!
LSB : (DENGAN SIKAP YANG MENYANGSIKAN) Tunggu dulu, pak. Mince ini sebenarnya siapa?
OT : (SUARA DATAR) Kucing.
LSB/PB : (TERCENGANG) Kucing???!!!
OT : Iya, kucing betina saya. Kucing yang saya sayangi. Dia senantiasa pulang kembali. Tapi kali
ini, dia telah menghilang lebih dari seminggu (MERAUNG) Mince ....... Mince!
LSB : (KESAL SEKALI) Kucing!!! Dan istri bapak sendiri di mana?
OT : Ada di rumah.
LSB : Di rumah? Rumah siapa?
OT : Rumah saya, sudah tentu.
LSB : Ah, rupanya bapak mempermain-mainkan kami. Kata bapak tadi bapak tidak bisa ke mana-
mana. Tak seorang pun yang menyukai bapak.
OT : Benar, sebenarnya. Dan istri saya juga tak suka kepada saya.
LSB : Mengapa?
OT : Dia istri saya yang kedua. Dia hanya menginginkan harta saya saja. Dan setelah harta saya
habis dijualnya untuk dibelikan barang-barang yang di hadapan notaris dinyatakan sebagai miliknya
sendiri, lalu saya tak ingin dia lihat lagi katanya.
LSB : Lalu, siapa yang ingin dilihatnya sekarang?
OT : Laki-laki lain, yang lebih muda dan lebih gagah.
LSB : Hmmmm, tentu, tentu. Masakkan dia bakal mencari laki-laki yang jauh tua dan lebih buruk
dari bapak. Dan sekarang di mana laki-laki yang lebih muda dan lebih gagah.
OT : Di rumah saya tentu.
LSB : Hmm, ya sudah tentu. Sudah tentu.
OT : Dia telah mengganti kedudukan saya dalam arti yang menyeluruh.
LSB : Hmmm, tentu ..... tentu. Kecuali sikat gigi bapak sajalah saya kira yang tak ikut diambilnya.
OT : Juga sikat gigi saya.
LSB : Wah, laki-laki yang sungguh hebat. Sungguh hebat, juga sikat gigi. Dan lalu, bapak kini tidur
di mana?
OT : Di rumah saya juga, tapi di gudangnya. Sebelah kamar babu, dan bersama Mince.
LSB : Kalau boleh saya mengajukan pertanyaan yang terakhir, istri bapak yang pertama sekarang
ada di mana?
OT : Mati. Delapan tahun yang lalu.
LSB : Namanya?
OT : Mince! (TIBA-TIBA DIA MERAUNG KEMBALI) Mince, Mince.
LSB : (TERMANGU-MANGU, MENGERTI KINI DUDUK PERSOALANNYA YANG SEBENARNYA)
PB : (SANGAT KESAL, GERAM) Bah! (KARENA MEMECAHKAN BALON- BALON KECIL-KECIL
SEMUANYA SATU PERSATU)
LSB : (KEPADA PB) Hai, mengapa kau?!
PB : (SANGAT KESAL, SEBUAH BALON KECIL SULIT DIPECAHKAN DENGAN TANGANNYA) (DENGAN
SANGAT MARAHNYA BALON KECIL ITU DITARUHNYA DI ATAS TANAH) (LALU DIINJAK-INJAKNYA
DENGAN GEMASNYA) Bah!!! (IA PERGI) (LENYAP DARI PENTAS)

ADEGAN KEEMPAT
DIKAJAUHAN TERDENGAR SUARA ORANG AZAN, MENUNJUKKAN PUKUL ENAM PETANG/MAGRIB

OT : (PILU) Pulang ke rumah mana, anak?


LSB : Ke gudang apekmu, sebelah kamar babumu.
OT : Tanpa Mince?
LSB : (PILU SEKALI) Ya, tanpa Mince. Mince kedua-duanya .......
OT : (MENANGIS TERISAK-ISAK SEDIH KECIL) Tak dapat aku nak, tak dapat. Dan juga aku tak mau.
LSB : Pulanglah, pak. Taman ini diadakan Kota praja untuk dapat sekedar menghibur warganya
kotanya yang letih, yang risau. Apa pula kata mereka nanti di koran, bila esok pagi mereka melihat
bapak di sini mati kedinginan.
OT : Mati adalah lebih bagiku dalam keadaan seperti ini. Mince tak ada lagi. Mince ..............
LSB : Benar, aku pun sependapat dengan bapak. Hanya kematian bapak dalam gudang apekmu itu
akan lebih menyamankan Kotapraja daripada di sini.
OT : Mati di taman lebih indah.
LSB : (TERTAWA) Indah, iya ..... bagi pencinta roman picisan, yang menyukai judul-judul seperti:
“MATI DI TENGAH TAMAN” atau “TAMAN MAUT”. Pulanglah pak. Nantikan dengan tawakal di gudang
apekmu yang penuh dengan cecunguk dan tikus sampai hari penghabisanmu. Sungguh sangat
menyedihkan. Tapi sayang sekali ..... jalan lain memang tak ada lagi bagi bapak.
OT : (MERENUNG) Cecunguk ..... tikus.
LSB : ........ dan kesepian.
OT : Dan kau anak? Bagaimana dengan kau sendiri?
LSB : (TERSENYUM) Tidak lebih baik sedikit pun dari bapak. Habis kita mau berbuat apa lagi?
Seperti kata pencinta balon tadi, aku menjadikan kegagalanku sebagai barang tontonan di taman.
Bapak lihat kembang itu? Bagus, bukan? Dan bapak baca tulisan di papan yang dipancangkan oleh
Kota praja di hadapannya. DILARANG MEMETIK BUNGA (TERSENYUM)
OT : Iya, kau pengarang dan mahir benar kau benamkan deritamu dibalik kata-kata yang sewaktu
waktu dapat kau hamburkan. Tapi bagaimana, anak, dengan kesunyianmu? Ikutlah saya ke gudang
apek saya itu. Agar ada teman saya. Agar ada teman, nak.
LSB : Terima kasih pak, kebersamaan kita yang bapak gambarkan itu lebih-lebih parah lagi
daripada kesendirian kita masing-masing.
OT : Naluri saya ..... dan ingat, ini naluri orang tua, lho. Keadaan anak tak jauh bedanya dengan
keadaan saya.
LSB : Saya tak akan menyangkalnya. Tapi, telah saya katakan tadi, usia yang lebih muda ada pada
saya. Kemungkinan dari kesepian saya jauh lebih banyak.
OT : Artinya, anak tak mau ikut saya?
LSB : Selamat malam, pak. (MENYALAMI DENGAN SANGAT MESRANYA PADA ORANG TUA) Siapa
tahu, besok kita bertemu lagi.
OT : Besok?
LSB : Ya, besok. Mengapa bapak sangsi dengan hari esok?
OT : (TERTAWA SAYU) Tidak, tidak, aku tidak mau lagi bertemu dengan kau (TERSENYUM) Selamat
malam, anak. Mudah-mudahan tidur nyenyak di mana saja kau akan tidur malam ini. (SAMBIL BATUK-
BATUK, PERGI PELAN-PELAN LENYAP DARI PENTAS)
LSB : (MELIHAT KE LANGIT) Syukurlah, hujan tak bakal turun, mudah-mudahan hujan tak bakal turun
pada malam ini. Tidur di bawah jembatan dengan udara kotornya yang bertumpuk di sini membuat
bengekku semakin menjadi.
LSB MENAIKKAN LEHER BAJUNYA. BANGKU DIBERSIHKAN DENGAN TANGANNYA. SEMUA GERAK
GERIKNYA MENANDAKAN BAHWA IA MAU TIDUR MALAM ITU. SEPERTI JUGA MALAM-MALAM
SEBELUMNYA. DALAM MALAM YANG BAKAL DATANG LAGI DI BANGKU ITU
................................................. PERLAHAN-LAHAN LAMPU MATI. DAN SELESAILAH SANDIWARA INI.

➢ TEMA : Keresahan
Tema yang diangkat oleh Iwan Simatupang dalam drama ini adalah keresahan, karena pada
drama ini menceritakan perasaan yang membuat setiap orang ingin mengutarakan segala
perasaan. Percakapan yang terjadi cukup luas pembahasannya karena semua tokoh memiliki
kisah sendiri-sendiri.

➢ ALUR/PLOT : Alur Maju


Alur atau kerangka drama Petang di Taman karya Iwan Simatupang menggunakan alur maju,
karena diceritakan secara runtut dari awal hingga akhir. Oleh karena itu, unsur-unsur plot
meliputi:
a. Pelukisan Awal Cerita
Pengenalan situasi pada drama Petang di Taman terdapat pada kutipan berikut.
Orang Tua
“(MERENUNG) Dan kalau segala-galanya sudah ber-tambah jelas, maka kitapun sudah saling
bengkak-bengkak, karena barusan saja telah cakar-cakaran. Dan siapa tahu, salah seorang
dari kita tewas pula dalam cakar-cakaran itu. Atau keduanya kita. Dan ini semua, hanya oleh
karena kita telah mencoba meng-ambil sikap yang agak kasar terhadap sesama kita (TIBA-
TIBA MARAH) Bah ! Persetan dengan segala musim! Dengan segala musim !”

b. Komplikasi atau Pertikaian Awal


Kutipan berikut menunjukkan pada adanya konflik yang terdapat pada drama Petang
di Taman karya Iwan Simatupang.
Pencinta Balon
“Sungguh kasar….! Sungguh biadab kalian………! (MENUNTUN WANITA DUDUK DI BANGKU)
Sudahlah , bu ! Jangan hiraukan mereka. Sebaiknya ibu lekas-lekas pergi dari sini, sebelum
mereka menghina ibu lebih parah lagi. Pergilah !”
Orang Tua
“(KEPADA PB) Aha, pergi dengan kau ? Ahaaai….. Akhirnya sang puteri bertemu dengan
pangerannya di tengah sebuah taman. Dan, Ahaa ! Si anakpun akhir-nya bertemu dengan
sang ayahnya…. (TERBAHAK-BAHAK)”

c. Klimaks atau Titik Puncak Konflik


Puncak konflik terdapat pada kutipan berikut.
Wanita
“Kurang ajar ! Kau telah lari, ha ! Lari, dan kau tinggalkan aku sendirian dengan seluruh
keadaan kedalam mana kau tempatkan aku dengan per-buatanmu. Aku sendirian harus
menanggung semua-nya. Aku, seorang wanita, sendirian, hah ! (ME RENGGUT KEDUA
TANGAN PB DARI MUKA-NYA DENGAN SANGAT KUAT) Ayo, Bukaa !“
Pencinta Balon
“Buka saya ! Bukan saya ! Saya Cuma berbuat sekali saja !”
Orang Tua
“(NYELETUK) Itukan sudah cukup tolol !”
d. Penyelesaian
Penyelesaian drama Petang di Taman karya Iwan Simatupang tergambar pada
kutipan dialog berikut.
Wanita
“Baiklah (MELIHAT TERHARU KEPADA KETIGA-NYA) Terima kasih, kawan-kawan ! Berkat
kalian bertiga, aku telah menemukan diriku kembali. Per- temuan dengan kalian ini tak akan
mudah dapat kulupakan. (MENJABAT TANGAN PB) Maafkanlah aku, aku telah menempatkan
diri saudara tadi dalam kedudukan yang sangat memalukan. (MENJABAT L, KEMUDIAN OT)
Harap saudara-saudara memaafkan aku. Dan semoga kita saling bertemu lagi (PERGI LENYAP
DARI PENTAS)”

➢ KARAKTER/PENOKOHAN :
a. Orang Tua (OT)
Orang Tua ini merupakan tokoh antagonis dalam drama ini, di mana menjadi fokus
dari tokoh-tokoh lainnya dan setiap kali muncul dalam pembicaraan. Orang Tua memiliki sikap
yang berwibawa, menghormati orang lain dan mengalah.
b. Lelaki Separuh Baya (LSB)
Lelaki separuh baya ini merupakan tokoh antagonis dalam drama ini, di mana menjadi
fokus dari tokoh-tokoh lainnya dan setiap kali muncul dalam pembicaraan. Lelaki separuh
baya adalah orang yang pemarah.
c. Penjual Balon (PB)
Penjual balon merupakan tokoh tritagonis, ia mempunyai sikap yang kekanak-
kanakan dan gampang menangis.
d. Wanita (W)
Wanita merupakan tokoh tritagonis, ia adalah orang yang gampang menangis dan tidak
berpikir sebelum bertindak .
f. Gadis
Gadis adalah tokoh tritagonis, ia adalah orang yang genit dan tidak memiliki pikiran
panjang karena melakukan hal yang menjijikan di tempat umum.

➢ SETTING/LATAR :
a. Latar Tempat
Latar tempat drama Petang di Taman karya Iwan Simatupang adalah di taman.
b. Latar Waktu
Latar waktu pada drama Petang di Taman karya Iwan Simatupang terjadi pada malam hari.

c. Latar Suasana
Latar suasana pada drama Petang di Taman karya Iwan Simatupang memiliki suasana yang
menegangkan.
NASKAH KEDUA
SI MOMON JAGOAN KEBON SARI

PARA PEMERAN :
Si Momon : Aris ( momon )
Maria : Dina
Menir : M.Ichsanul Kamil
Lala : Iva
Emak : Nawal
Dudung : Leon Yoga
Pengawal : Aziz

Intro : Suara kicauan burung / pedesaan


Narasi :
Pada zaman dahulu kala hiduplah sorang pemuda gagah berani dari kota Malang. Ia bernama
Si Momon . Ia tinggal di sebuah desa di selatan kota Malang yang bernama desa Kebon Sari. Dan di
desanya pula ia dikenal sebagai jagoan silat. Tak segan ia membantu orang lain yang membutuhkan
bantuan. Sejak desa Kebon Sari di datangi oleh Sekutu , sering terjadi bentrok, antara penduduk
pribumi dengan Bule – bule Sekutu…. Sampai pada suatu hari datanglah Menir dengan kedua putrinya
dan 1 pengawalnya datang ke desa untuk mencari makan siang.
Menir : Ayo kita mengisi perut di warung itu ! ( sambil menunjuk warung pinggir jalan )
Maria & Lala : Ok pa, Let’s Goo !
( Di kedai makan Emak Pitung )
Menir : Di sini kalian orang makan apa ?
Emak : Disini makanan ndeso tuan Menir.
Menir : I pesan yang itu, itu dan itu
Emak : Sebentar tuan menir kulo pundutken, rumien ngge
Menir dan rombongannya memakan makanannya dengan lahap. Tapi setelah selesai makan Menir
dan rombongannya akan pergi dengan seenaknya tanpa membayar. Dan terjadilah keributan.
Back Sound
Emak : Ehhh… Menir, Makannya belum bayar, piye se nyludur ae !
Menir : You…!!! Memerintah I ? You orang tidak tau I ini siapa? ( mengacungkan jari telunjuk
ke arah emak )
Emak : Bukan Tuan Menir, bukannya saya mau memerintah tuan menir,,,, tapi memang
begitu seharusnya,,, siapa yang membeli harus membayar.
Menir : You tidak menghormati I ! ( sambil menggebrak meja )
Momon : Kurang Asem. ( Datang dengan emosi dan langsung menggebrak meja )
Maria : Who are you ??
Dudung : Kenalin neh , sohibku, my brotherhood Si Momon. (sambil menepuk pundak
momon.)
Menir : Maksud You apa? Beraninya you sama I !
Momon : Lakon Sopo ???!! ( sambil menempelkan jari yang di bentuk L ) Beraninya ganggu
emak dan buat keributan disini.
Menir : I yang berkuasa disini!
Momon : Ngaku – Ngaku ( sambil meringis )
Menir : You orang banyak omong. Pengawal…!!!! Habisi dia !!! (sambil nunjuk momon)
Pengawal : Baik Tuan
Perkelahian Dimulai….. Dan akhirnya si momonlah yang menang, dan menir pulang dengan
muka masam .
(Di rumah Menir)
Maria : Siapa dia papa? Menyebalkan sekali…
Lala : Yeah, Who’s that?
Pengawal : Banyak yang bilang dia jagoan di kota Malang.
Keesokan harinya Maria dan Lala sedang berjalan – jalan di taman . Tak sengaja Maria bertemu
dengan Si Momon. Maria dan Si Momon pun saling memandang dari kejauhan dan pada saat itulah
muncul benih – benih cinta diantara mereka berdua.
Backsound : Slank-Pandangan Pertama

Momon : Hai nona – nona cantik… ngapain disini ?


Maria : Sedang jalan – jalan . ( tersenyum dan tersipu malu )
Lala : “Iya , kita orang lagi cari udara segar. Sister I mau kesana dulu ya, mau lihat topeng
monyet !”
Maria : “Iya, jangan jauh - jauh”
Momon : Nona cantik,,, bolehkah kakang Momon menemani nona berkeliling desa Kebon Sari
ini ?
Maria : Of Course,,, ( sambil mulai berjalan )
Back Sound : A Tousand Years
Akhirnya mereka pun berjalan-jalan sambil berbincang – bincang . Tak di sangka si pengawal
melihat mereka berdua… buru – burulah si pengawal pulang dan melaporkan kejadian itu pada si
Tuan Menir.

Pengawal : Meniiiirrrrrrrr,,, Nona Maria sedang berjalan dengan mesranya bersama si Momon
di desa
Menir : What over dongkrak! ( kaget dan melotot karena marah )
Pengawal : Idiiihhh lebai gila ( sambil berbisik )

Alhasil Menir marah dan menyuruh pengawal untuk membawa Maria pulang.
Menir : Apa kamu bilaaangggg???? Yang bener???
Pengawal : Iya,,, Suwer deh… takewer – kewer.
Menir : Ayo kita kesana,,, kalau you orang bohong ke I . I hajar you orang!!
Pengawal : Baa.. baik tuan. ( langsung berlari menghampiri Maria Di taman….)
Menir : Mariaaa!!! (sambil berteriak ) What are you doing??? Pengawal seret Maria pulang.
Pengawal : Nona, Nona Maria,,, disuruh segera pulang oleh Tuan, Eh Papa Menir, Eh… Tuan
Menir papa Nona. ( sambil menarik tangan Maria dan di seret pulang ).
Maria : What? Apa – apaan ini papa… I don’t want to go home,,,!!!
Mooooo……Moooooonnnnnnn….. !!!!
Momon : Mariaaaaaaaaa,
Lala : Papa jangan kejam sama sister, kasihan dia.
Menir : You, juga pulaaang… cepat ( bentak menir )
Momon : Bapak apa itu suruh babunya seret – seret anaknya… Bapak apaan itu ? Gak genah blassssss.
Menir : Heh Mon. Maria tu anak – anak gue,,, keluarga gue… terserah gue dong mau gue
apain. ( Berbalik dan berjalan pulang )
Momon : Dasar menir… awas. Besok tak parani kowe,,, tak cegat,,, tak begal… pokok e ati –
ati..! ( berteriak sambil menunjuk – nunjuk ke arah Menir yang berjalan pergi.

Setelah itu di rumah menir …


Menir yang merasa kesal sekaligus takut akan ancaman Si Momon , menyuruh pengawal untuk
mengadakan Sayembara untuk menangkap si Momon dan membawanya ke hadapan Menir untuk di
bunuh.
(Pengawal menyebarkan selebaran Sayembara untuk menangkap Si Momon. )
Sampailah selebaran itu di tangan dudung.
Dudung : Barang siapa yang bisa menangkap si Momon akan mendapat hadiah yang sangat
besar dan berharga. ( Membaca selebaran sambil minum kopi di kedai Emak )
Backsound : Effect Chimes
Dudung : Hmmm,,, kereeennnn,, lumayan juga nih hadiah sayembaranya. Gimana kalau aku
aja yang jebak tuh Momon.
Emak : Opooo????? Momon ikuloh koncomu,,, kok Iso Isone,,, Mikir Opo???? Nangkep
Momon?????
Dudung : Alahhh,,,, Gak usak ikut campur deh mak!! ( tidak menghiraukan dan berjalan keluar
kedai )

Dudungpun pergi berjalan menuju kediaman si Menir. Sedangkan Emak yang mengetahui niat
buruk si Dudung langsung memperingatkan si Momon.
Emak : Momooon. Anakku seng Ganteng. Ati – ati sama si Dudung. Sekarang Dudung ke
rumah Menir untuk mendapatkan hadiah sayembara dari Menir. Sayembara untuk menangkapmu..!!!
Momon : AAAppppaaaaaaAAAAA? Tiidaaaaakkkkkk!!!
Emak : Wes tooo… Ojo Lebay!!
Momon : Yang Bener?
Emak : Enelannn!
Momon : Ciyuuus???
Emak : Hu’um
Momon : Mi apa?
Emak : Momonnnn… wong tuwo di guyoni. Pokok seng ati- ati lo le!
Momon : Engge Mak,,, Emakku saying. ( sambil berjalan pergi )
Apa iya si Dudung tega,,, diakan Sohibku ( ( sambil berpikir )

BackSound : Bob Marley-Greatest


Di rumah Menir
Menir dan pengawalnya sedang berbincang – bincang.
Dudung : Meniiirr
Pengawal : Heh,, Ngapain kesini?
Dudung : Eh gak usah nyolot kali…Bilangin tuh ke bosmu, ini Dudung minta hadiah
Menir : WHAT?Apa? Sini – sini duduk dulu. Maksud You orang apa?
Dudung : Saya tau kelemahannya Si Momon…! Hahahaha
Menir : Apa?
Dudung : Weittss,,, tunggu dul;u… Mana dulu hadiahnya,,, !!!
Menir : Okedeh,, Pengawal, ambil hadiahnya.
Pengawal : Baik tuan!!!(mengambil hadiah dan memberikan ke si Dudung )
Menir : Sekarang beri tahu I , apa kelemahan si Momon?
Dudung : Kelemahan si Momon adalah,, di tembak dengan peluru Emas
Menir : Peluru Emas,,, hahahaha

Kemudian Si Menir menyuruh Pengawalnya menangkap si Momon dan di bawa ke lapangan.


Menir : Heh, you orang bawa si Momon ke lapangan sekarang
Pengawal : Siap Tuan Menir.
Pergilah pengawal dan membawa si Momon ke lapangan.
Momon : Lepasin, Mau dibawa kemana aku?
BackSound : Armada
Pengawal : Diam aja, ikut aja
Nih,, kita udah sampe!!! (berjalan mendekati Menir yang menunggu dari tadi )
Menir : Eh Momon, gara – gara you bikin I marah. I akan bunuh you dengan tangan I.
HAHAHAHAHA!!!!
(Maria datang)
Maria : No Papa,,, Jangan…! ( sambil menangis dan memohon kepada papanya agar si
Momon di lepaskan. )
Momon : Sudahlah Maria, Jangan disitu (menyuruh maria menyingkir)
Lala : ( Menarik Maria ) Sudahlah sister, ayo menyingkir, dengarkan apa kata Momon
Eh you,,, tolong bantu I untuk menari Maria (Menyuruh Dudung )
Dudung : YaDeeeehh !!!
Maria : HELP ME!!! Pleasee!!!
Menir : ( Membidik Si Momon )
Momon : Ayo tembak!!
Menir : Rasain Nih.!! ( Menarik Pelatuk dan menembak )
Back Sound : Suara peluru + battle 31, battle 38
Momon : ( Menghindar dengan slow Motion ) Hahahahaha, Ngak kena kan? Gak tau apa nih
jurus namanya Kodok melompat dari bahaya
Menir yang kesal akhirnya mengganti pelurunya menjadi peluru emas, Dia membidiknya lagi
Menir : Nih, I kasih you peluru emas I. ( mengarahkan pistolnya lagi kea rah Momon.)
Maria : NOOOO MOOOMOOOONNN
Momon : ( Terjatuh ke tanah dan merasakan kesakitan karena terkena tembakan menir )
Maria : MOOOOMOOOOONNNNN!!!!!!! ( Berlari menghampiri Momon sambil menangis )
Momon : Maria…
Maria : Iya Momon.
Momon : I lup You Maria
Maria : Oh tayangggg,,, I Luph You tooo Beibh.. !!
(Saat Si Momon sedang merasakan kesakitan , Dudung sangat menyesal dan dia langsung merebut
pistol yang ada pada pengawal lalu dia langsung menembak kearah Menir)
Dudung : (Merebut dan menembak Menir )Meniirrrrrrr!!!
Dan akhirnya peluru itu menancap tepat di dadanya Si Menir. Menirpun tidak selamat, dan akhirnya
meninggal.
Dan pada akhirnya berkat perjuangan Momon. Mereka hidup dengan tentram dan bahagia. Hidup
saling berdampingan….Maria memutuskan tetap tinggal di Desa Kebon Sari dan menikah dengan Si
Momon. Da Adiknya Lala kembali ke Negaranya…
TAMAT

➢ TEMA : PERCINTAAN
Tema drama ini ialah tentang percintaan yang di balut suasana penjajahan zaman
dahulu.
➢ ALUR/PLOT : Alur Maju
Alur yang digunakan adalah alur maju karena diceritakan secara runtut dari awal hingga
akhir cerita.
a. Pelukisan Awal Cerita
“Pada zaman dahulu kala hiduplah sorang pemuda gagah berani dari kota Malang. Ia
bernama Si Momon . Ia tinggal di sebuah desa di selatan kota Malang yang bernama desa Kebon
Sari. Dan di desanya pula ia dikenal sebagai jagoan silat.Tak segan ia membantu orang lain yang
membutuhkan bantuan. Sejak desa Kebon Sari di datangi oleh Sekutu , sering terjadi bentrok, antara
penduduk pribumi dengan Bule – bule Sekutu…. Sampai pada suatu hari datanglah Menir dengan
kedua putrinya dan 1 pengawalnya datang ke desa untuk mencari makan siang”.
b. Komplikasi atau Pertikaian Awal
“Keesokan harinya Maria dan Lala sedang berjalan – jalan di taman . Tak sengaja Maria
bertemu dengan Si Momon. Maria dan Si Momonpun saling memandang dari kejauhan dan pada
saat itulah muncul benih – benih cinta diantara mereka berdua”.
c. Klimaks atau Titik Puncak Konflik
“Setelah itu di rumah menirr …
Menir yang merasa kesal sekaligus takut akan ancaman Si Momon , menyuruh pengawal untuk
mengadakan Sayembara untuk menangkap si Momon dan membawanya ke hadapan Menir untuk di
bunuh.
(Pengawal menyebarkan selebaran Sayembara untuk menangkap Si Momon. )”
d. Penyelesaian
“Saat Si Momon sedang merasakan kesakitan , Dudung sangat menyesal dan dia langsung merebut
pistol yang ada pada pengawal lalu dia langsung menembak kea rah Menir)
Dudung : (Merebut dan menembak Menir )Meniirrrrrrr!!!
Backsound : Battle 38
Dan akhirnya peluru itu menancap tepat di dadanya Si Menir. Menirpun tidak selamat,dan akhirnya
meninggal.
Dan pada akhirnya berkat perjuangan Momon. Mereka hidup dengan tentram dan bahagia. Hidup
saling berdampingan….Maria memutuskan tetap tinggal di Desa KebonSari dan menikah dengan Si
Momon. Da Adiknya Lala kembali ke Negaranya…”

➢ KARAKTER/PENOKOHAN :
Si Momon : Seorang pemuda gagah berani, suka membantu dan menolong orang lain.
Menir : Serang yang sombong, congkak, kasar.
Maria : Seseorang yang mudah jatuh cinta, sayang kepada Momon.
Lala : Adik yang menyayangi kakaknya Maria.
Dudung : Seseorang yang tidak konsisten. Seorang sahabat yang awalnya setia kepada
Momon tetapi karena uang ia berkhianat dengan Momon, kemudian menyesal akan
perbuatannya sehingga kembali menolong Momon.
Pengawal : Seseorang yang mengikuti perintah tuannya selayaknya pegawal pada umumnya.

➢ SETTING/LATAR :
a. Latar tempat : Desa kebon sari, di kedai makan Emak, di rumah Menir, di taman, di lapangan.

b. Latar waktu : Pada siang hari.

c. Latar suasana : Menegangkan, suasana romantis, suasana kemarahan, suasana kebahagiaan.

Anda mungkin juga menyukai