Anda di halaman 1dari 12

BAHASA DAN GENDER: ANALISIS JUMLAH KATA (AMOUNT OF TALK)

DAN KESANTUNAN PADA TUTURAN MELARANG DI NOVEL BUMI


MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA NOER
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat kaitan antara bahasa dan gender yang dilakukan
dengan mengidentifikasi tuturan melarang pada Novel Bumi Manusia karya Pramudia
Ananta Noer dan terjemahnya. Penelitian ini menganalisa penggunaan tuturan
melarang antara laki-laki dan perempuan dalam jumlah kata, dan kesantunan dari
tuturan. Kualitas dari Tuturan juga menjadi hal yang dianalisa dalam penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan perempuan menggunakan lebih banyak kata dalam
tutran dari pada laki-laki, baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran.
Sedangkan analisis kesantunan menunjukkan bahwa kesantunan yang digunakan
dalam tuturan melarang tidak memiliki banyak perbedaan antara laki-laki maupun
perempuan. Hal lain yang menjadi faktor berpengaruh adalah strata sosial, jarak sosial,
power atau keefisiensian penggunaan tuturan. Hasil kesantunan pada tuturan melarang
pada laki-laki adalah 35% Bald on Record, 25% kesantunan positif dan 40%
kesantunan negative. Sedangkan perempuan 35% Bald on Record, 35% Kesantunan
positif dan 35% kesantunan negative. Terjemahan tuturan baik laki-laki maupun
perempuan 95% akurat dan 5% kurang akurat. Sedangkan keberterimaan tuturan dari
40 data dari tuturan laki-laki dan perempuan adalah 100% berterima.

PENDAHULUAN

Sebuah interaksi diwujudkan melalui bahasa sebagai peranti abstrak dalam


mengutarakan maksud. Alhasil, pada tataran sosial tertentu, masing-masing pelaku
memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan suatu kepentingan. Fenomena ini
didukung oleh Wardhaugh dan Fuller (2015) dalam buku An Introduction to
Sociolinguistics. Mereka menyatakan bahwa performance (latar belakang) dan konteks
merupakan penyebab language variation ada di masyarakat.

Lebih lanjut, Eckert (dalam Wardhaugh dan Fuller, 2015) mengklasifikasikan


keragaman bahasa berdasarkan posisi pembicara dan struktur sosial. Pengelompokan
tersebut dikenal sebagai Three Waves of Variation Studies. Setiap wave memiliki
bagian bahasan tersendiri. Pada perspektif ini, permasalahan gender menjadi atensi
lebih, karena merupakan substansi dari dua pengelompokan. Hal tersebut senada
dengan Cameron (dalam Weatherall, 2002) bahwa batasan, fokus, serta identitas
merupakan indikator penting antara bahasa dan pengguna sebagai cerminan.

Kajian mengenai bahasa dan gender sudah dimulai sejak awal Yunani kuno
(Li, 2014). Penelitian didasari oleh drama yang merepresentasikan perbedaan seksisme
tersebut. Barulah pada abad 20, topik itu menarik minat banyak antropolog serta
linguis.

Meski bahasa dan gender menjadi kajian menarik bagi para praktisi, topik
tersebut baru menjadi bahasan independen dalam linguistik sekitar tahun 1960. Ketika
gerakan feminisme mulai bermunculan satu dekade kemudian, teori-teori pun
berkembang. Hingga awal 2010, cakupan pembahasan sudah meluas dengan
melibatkan analisis percakapan untuk mengetahui berbagai pengaturan formal atau
informal. Selain itu, ada pula fitur berupa jumlah pembicaraan serta turn (giliran
berbicara).

Wanita dan pria tidak berbicara dengan cara yang persis sama satu sama lain di
komunitas mana pun (Holmes, 2013). Hal tersebut disebabkan oleh teori tabu, sikap
sosial serta kejantanan, prestise tersembunyi, dan wanita sebagai pelopor perubahan
(Wibowo, 2012). Lebih lanjut, Lakoff (dalam Holmes, 2013) mencetuskan 10 fitur
linguistik yang digunakan untuk mengukur tingkat kesantunan, sehingga perbedaan
bahasa antara kedua gender semakin jelas terlihat. Fitur linguistik yang dicetuskan
Lakoff masih terbatas pada penanda bersifat satuan lingual, sehingga penilaian
kesantunan tidak bisa dilakukan secara menyeluruh. Adapun Brown dan Levinson
(1987) mengemukakan strategi kesantunan, yaitu: 1) bald-on record (tedeng aling-
aling), 2) positive politeness, 3) negative politeness, 4) off-record (tidak langsung).

Penggunaan bahasa di masyarakat didasari oleh sebuah konsensus, sehingga


apabila terjadi diskriminasi seperti pada topik bahasa dan gender, maka akan selalu
menjadi sebuah isu yang hangat diperbincangkan. Apalagi, jika banyak bahasa di
dunia ini mengandung ketimpangan sosial tersebut dalam praktik sehari-hari.
Misalkan, dalam Bahasa Inggris, istilah-istilah umum seperti chairman dan spokesman
memiliki tendensi ke salah satu gender. Untuk menghindari kesan maskulinitas, istilah
tersebut dapat diubah menjadi bentuk yang lebih netral menggunakan person sebagai
penanda pelaku. Pada pergaulan sehari-hari pun, sapaan guys tanpa disadari sudah
mengacu ke suatu gender, karena akar katanya berasal dari guy. Pachter mengatakan
bahwa you all dan everyone dinilai setara (dikutip dari Republika, 2018).

Ketidaksetaraan berbahasa antara dua gender juga terjadi pada Bahasa Jepang
di mana wanita dan pria memiliki pengucapan berbeda untuk mengekspresikan
sesuatu. Contohnya, kata “ayah” akan diucapkan otoosan oleh wanita, sementara pria
adalah oyaji. Hal ini tidak jauh berbeda dengan wanita di Zulu, Afrika, yang dilarang
mengucapkan bunyi /z/, sehingga ada pergantian.

Berbeda dengan Bahasa Indonesia, ketimpangan mengenai gender dapat


teratasi menggunakan dua cara yaitu penambahan suffiks dan analisis biner. Untuk
memperjelas pelaku, terdapat dua sebutan pada sebuah profesi, misalkan karyawan
dan karyawati. Sementara analisis biner mengacu pada perbandingan unsur
maskulinitas dan feminisme pada sebuah kata. Contohnya, mahasiswa dan mahasiswi.

Isu mengenai bahasa dan gender mengedepankan pada unsur kesetaraan dalam
berekspresi, sehingga dalam menerjemahkan perlu perlakuan khusus untuk
mendapatkan hasil atau produk yang lebih netral atau menyampaikan pesan yang
setara antara BSu dan BSa. Hal ini senada dengan pernyataan Meng (2019) bahwa
permasalahan gender merupakan bahasan yang relevan di hampir semua praktik sosial
begitu pula pada penerjemahan.

Menerjemahkan teks yang mengandung unsur seksisme memiliki kesulitan


tersendiri, karena penerjemah harus memberikan nuansa transformasi sosial budaya
masing-masing negara secara tepat. Transformasi sosial tersebut berupa konteks dan
keberterimaan substansi yang disajikan, sehingga penerjemah pun perlu
memperhatikan identitas (penulis, penerjemah, pembaca), dimensi historis antara
bahasa sumber dan bahasa target, serta analisis wacana sebagai alat evaluasi teks
secara keseluruhan (Federici, 2013).

Seiring berjalannya waktu, para peneliti mengembangkan orientasi gender dan


penerjemahan yaitu mengacu pada ras, etnis, kelas, dan elemen sosial-politik. Hal
tersebut menyebabkan tumpang tindih pada implikasi kajian linguistik dari perspektif
transkultural dan translingual. Bahkan, gender dan penerjemahan dapat dianalisa
menggunakan instrumen Critical Discourse Analysis, karena memiliki perspektif kritis
pada substansi kompleks seperti power dan ideologi. Alhasil, CDA dapat
menghubungkan antara praktik sosial dan wacana struktur, sehingga fungsi aktual dan
kontekstual bahasa akan tampak.

Penelitian mengenai identitas penerjemah yang berkaitan dengan bahasa dan


gender telah dilakukan oleh Najakh (2018). Peneliti mengidentifikasi jenis-jenis gaya
bahasa pada novel berjudul Of Mice and Men beserta terjemahannya di mana
dilakukan oleh penerjemah laki-laki dan perempuan. Dalam temuannya, didapatkan
hasil bahwa teknik yang digunakan dua penerjemah tersebut berbeda, sehingga
berpengaruh terhadap kualitas terjemahan (keakuratan, keberterimaan, keterbacaan).

Kajian bahasa dan gender yang berkolerasi dengan penerjemahan juga telah
dilakukan oleh Palupi (2019). Peneliti mengidentifikasi penerjemahan yang berbau
seksis menggunakan translation machine berupa Google Translate. Hasil yang didapat
adalah bahwa suatu gender mendapatkan stereotip khusus. Misalkan, kalimat “dia
seorang pengacara” diterjemahkan menjadi he is a lawyer. Sementara itu, kalimat “dia
seorang penari” diterjemahkan menjadi she is a dancer.

Berdasarkan pemaparan di atas, bahasa dan gender mempunyai hubungan


dengan kekuasaan di mana salah satu gender memiliki power yang lebih tinggi pada
situasi tertentu. Oleh karena itu, tulisan ini akan memaparkan data beserta
pembahasannya mengenai posisi suatu gender dalam sebuah percakapan dengan
menerapkan penilaian yang bersumber dari dua aspek yaitu jumlah pembicaraan dan
kesantunan. Data diperoleh dari novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Noer.
Peneliti memilih Novel ini karena mengandung unsur budaya Jawa yang masih sangat
kental dan status sosial merupakan hal yang sangat diperhitungkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Pemilihan novel ini berlatar waktu awal abad ke-20 di mana
kedudukan antara laki-laki dan wanita pada belum setara. Kemudian, peneliti menilai
kualitas terjemahan yang dilakukan oleh tiga rater sesuai dengan instrumen yang
dikemukakan oleh Nababan (2012).

METODE

Penelitian ini berjenis deskriptif kualitatif dengan desain embedded case study
dan berorientasi pada produk terjemahan. Hal ini dikarenakan sebelum penelitian
dilakukan, fokus penelitian adalah dalam bentuk variabel-variabel utama yang
ditentukan sebelumnya berdasarkan tujuan dan minat penelitian (Sutopo, dalam
Yulinda 2018).

Penelitian ini termasuk deskriptif kualitatif, karena dilakukan melalui


document review dalam pengumpulan data (Moleong, 2005). Selain itu, datanya
berupa kalimat-kalimat dalam ujaran, sehingga dapat memicu munculnya pemahaman
yang lebih nyata dari sekedar penyajian angka atau frekuensi (Sutopo, 2006).

Sumber data, lokasi penelitian, dan informan dipilih berdasarkan kriteria


tertentu (teknik purposive sampling). Data-data tersebut meliputi terjemahan tuturan
berbentuk larangan dari laki-laki dan perempuan dari novel berjudul Bumi Manusia
karya Pramoedya Ananta Noer.

Dalam studi ini, peneliti mengidentifikasi tuturan melarang yang dilakukan


oleh laki-laki dan perempuan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta
Noer. Kemudian, menganalisis teknik penerjemahan yang digunakan. Setelah itu, data
yang didapatkan digunakan untuk mengidentifikasi jumlah pembicaraan dan menilai
tingkat kesantunan dari dua variable tersebut.

Data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu data linguistik dan data
terjemahan. Data linguistik adalah tuturan berjenis melarang yang diucapkan oleh laki-
laki dan perempuan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Noer.
Kemudian, untuk data terjemahan meliputi teknik terjemahan yang digunakan untuk
menerjemahkan ucapan serta kualitas penerjemahan yang meliputi aspek keakuratan
dan keberterimaan.

Selanjutnya, data yang sudah terkumpul akan dianalisis menggunakan teori


yang berbeda. Untuk produk terjemahan berupa tuturan, penulis mengaplikasikan
instrumen yang dicetuskan oleh Nababan (2012) di mana menilai aspek keakuratan,
keberterimaan, dan keterbacaan yang dinilai oleh tiga rater. Namun, dalam tulisan ini
terbatas pada aspek keakuratan dan keberterimaan. Kemudian, untuk bahasan
kesantunan, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson
(1987).

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Hasil dari analisis terjemahan yang dilakukan dengan mengidentifikasi data,


mengelompokkan data berdasarkan gender, menjumlahkan penggunaan kata per
tuturan, menganalisa kesantunan dalam penggunaan tuturan melarang serta menilai
kualitas terjemahan, keakuratan dan keberterimaan oleh tiga rater menggunakan teori
Nababan, Nuraeni, & Sumardino (2012). Dalam penelitian ini terdapat 40 data yang
terdiri dari 20 tuturan yang diucapkan laki-laki dan 20 tuturan yang diucapkan
perempuan. Data yang diambil dapat dilihat pada Lampiran 1. Sedangkan jumlah kata,
kesantunan dan kualitas terjemahan dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.

Tabel 1. Tabel Jumlah kata dalam Bsu dan Bsa


Jumlah Kata Bsu Frequency Bsa Frequency
Laki-laki 206 41,3% 280 43,1%
Perempuan 293 58,7% 370 56,9%
Total 499 100% 650 100%

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 40 data tuturan melarang terdapat 499
kata dalam bahasa sumber. Laki-laki menggunakan 206 kata atau 41,3%. Sedangkan
perempuan mengunakan 293 kata atau 58,7%. Sehingga penggunaan kata-kata dalam
tuturan melarang pada bahasa sumber lebih banyak digunakan oleh perempuan
dibandingkan laki-laki. Pada bahasa sasaran, jumlah kata meningkat setelah di
terjemahkan, pertimbangan keakuratan dan keberterimaan dapat menjadi faktor
peningkatan kata-kata dalam tuturan melarang. Dalam data pada bahasa sasaran laki-
laki menggunakan 280 kata atau 43,1%. Sedangkan perempuan menggunakan 370
kata atau setara dengan 56,9%. Penggunaan kata-kata dalam tuturan melarang pada
bahasa sasaran juga lebih banyak digunakan oleh permepuan dibanding laki-laki. Dari
hasil tabel di atas dapat simpulkan bahwa, baik dalam bahasa sumber maupun bahasa
sasaran perempuan lebih banyak menggunakan kata-kata dalam tuturan melarangnya
daripada laki-laki.

Tabel 2. Kesantunan Tuturan Melarang


Jumlah Kata Laki-Laki Frequency Perempuan Frequency
Bald on Record 7 35% 7 35%
Kesantunan Positif 5 25% 7 35%
Kesantunan Negatif 8 40% 6 30%
Jumlah 20 100% 20 100%

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 20 data tuturan laki-laki, 7 data
merupakan Bald on Record di mana penutur menyampaikan tuturan melarang secara
langsung, terus terang, gambling, kongkret atau jelas. Penutur mengabaikan muka
penutur dan mitra tutur karena efektivitas kalimat atau situasi atau untuk
memperlihatkan kepedulian pada mitra tutur, frekuensi penggunaan adalah 35%.
Sedangkan kesantunan positif yang digunankan laki-laki adalah 5 tuturan setara
dengan 25%. Tuturan ini digunakan karena hubungan yang sangat dekat pada mitra
tutur, atau penggunaan basa-basi untuk mencairkan suasana. Sedangkan kesantunan
negative digunakan sebanyak 8 tuturan setar dengan 40%. Kesantunan negative
digunakan karena adanya jarak sosial, ataupun power. Dapat juga ditandai dengan
tuturan yang tidak langsung, rasa hormat atau adanya permohonan maaf. Sedangkan
perempuan menggunakan bald of record sama banyaknya dengan kesantunan positif
yaitu sebanyak 7 kali setara dengan 35%. Kesantunan negative digunakan sebanyak 6
kali setara dengan 30%. Dapat disimpulkan bahwa, tidak ada perbedaan yang begitu
besar pada penggunaan kesantunan laki-laki dan perempuan. Hal ini dikarenakan,
penggunaan kesantunan dalam tuturan melarang dipengaruhi juga oleh power, strata
sosial, jarak sosial dan situasi yang ada pada saat tuturan berlangsung.
Tabel. 3 Kualitas Terjemahan Tuturan Laki-Laki
Kualitas Rata-rata Frequency Percentage
Akurat 2,72 17 data 85%
Kurang Akurat 2 3 data 15%
Tidak Akurat - - 0%

Berterima 2,84 20 data 100%


Kurang Berterima - - 0%
Tidak Berterima - - 0%

Tabel. 4 Kualitas Terjemahan Tuturan Perempuan


Kualitas Rata-rata Frequency Percentage
Akurat 2,64 17 data 85%
Kurang Akurat 2 3 data 15%
Tidak Akurat - - 0%

Berterima 2,81 20 data 100%


Kurang Berterima - - 0%
Tidak Berterima - - 0%

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 20 data baik dari laki laki maupun
perempun 17 data akurat dan 3 data kurang akurat dengan rerata keakuratan pada
tuturan laki-laki 2,72 dan perempuan 2,64. Sedangkan tuturan yang kurang akurat rata-
rata dari laki-laki dan perempuan adalah 2. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terjemahan tuturan melarang adalah akurat. Sedangkan pada keberterimaan baik laki-
laki maupun perempuan adalah berterima dikarenakan hasil penilaian dari 3 rater
menunjukkan keberterimaan dengan rerata tuturan laki-laki 2,84 dan perempuan 2,81.

PEMBAHASAN

Dalam pembahasan ini, tidak semua data tuturan melarang dari Novel Bumi
Manusia dan terjemahanya akan dibahas. Dari 20 data tuturan laki-laki, akan disajikan 2
data sebagai representasi data keseluruhan. Sama halnya dengan data tuturan melarang
pada perempuan hanya akan dibahas 2 data dari 20 data.

Datum 02

Bsu: “Siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet!” dengusnya dalam Melayu-
pasar, kaku dan kasar, juga isinya (31)

Bsa: “Who gave you permission to come here monkey!” He hissed his sentence in
bazaar Malay, awkwardly and, in accord with its contents, crudely. (47)

Datum di atas merupakan sebuah tuturan yang diucapkan seorang laki-laki Tuan
Mellema, seorang asing yang kaya raya kepada Minke, seorang pribumi yang
bersekolah disekolah elite pada saat itu. Situasi tuturan adalah ketika Minke sedang
makan malam di rumah Tuan Mellema atas ajakan Nyai dan Annelies anaknya. Pada
saat itu Tuan Melemma datang dalam keadaan mabuk dan mengucapkan tuturan
tersebut. Tuturan ini berjumlah 7 kata dalam bahasa sumber dan 8 kata pada bahasa
sasaran. Tuan Mellema menggunakan Bald on Record sebagai jenis kesantunan di mana
dia tidak memedulikan muka penutur atau pun mitra tutur. Hal ini juga didukung
dengan tingginya strata sosial dari Tuan Melemma sehingga dia dapat mengatakan hal
langsung yang dirasa kurang santun kepada Minke. Kualitas terjemahan dari tuturan ini
adalah kurang akurat dengan nilai 2 dan keberterimaan dalah berterima dengan nilai 2,3.

Datum 10

Bsu: “Tuanmuda, sesuatu telah terjadi di rumah. Hanya aku yang tahu. Noni dan Nyai
tidak. Begini, Tuanmuda, jangan terkejut. Sementara ini jangan Tuanmuda tinggal di
Wonokromo. Berbahaya.” (118)

Bsa: “Young Master, something has happened at the house. Only I know. Noni and Nyai
don’t. Young Master mustn’t be startled. For the moment Young Master mustn’t stay at
Wonokromo. It’s dangerous.” (152)

Datum di atas merupakan sebuah tuturan yang diucapkan seorang penjaga laki-
laki, Darsam, yang bekerja pada Nyai Ontosoro kepada Minke, kekasih dari anak
majikanya. Tuturan ini berjumlah 25 kata dalam bahasa sumber dan 31 kata pada bahasa
sasaran. Darsam menggunakan kesantunan negative di mana ia menggunakan kata Tuan
sebagai penghormatan dan pesan yang tidak langsung untuk melarang. Strata sosial
pada tuturan ini juga menjadi peran penting yang membuat Darsam memutuskan
menggunakan tuturan dengan kesantunan negative. Kualitas terjemahan dari tuturan ini
adalah akurat dengan nilai 2,3 dan berterima dengan nilai 2,7

Datum 22

Bsu: “Tak perlu kau ketahui. Untuk apa? Sedang aku sendiri tak ada keinginan untuk
tahu. Mama pun tidak ingin tahu.” (18)

Bsa: “You don’t need to know. What for? Even I have no desire to know. Even Mama
doesn’t want to know.” (33)

Datum di atas adalah sebuah tuturan yang diucapkan oleh Annelies kepada
kekasihnya, Minke. Situasi tuturan adalah ketika Minke sedang bertanya pada Annelies
tentang keberadaan ayahnya. Tuturan ini berjumlah 18 kata dalam bahasa sumber dan
33 kata pada bahasa sasaran. Annelies menggunakan kesantunan positif sebagai jenis
kessantunan di mana merupakan orang yang dekat dengan Minke, sehingga atas
kedekatanya ia tidak perlu menghawatirkan muka mitra tutur karena mereka sudah
sama- sama mengerti. Kualitas terjemahan dari tuturan ini adalah akurat dan berterima
dengan nilai masing-masing adalah 3.

Datum 36

Bsa: “Ayoh pulang! Semua! Jangan masuki rumah terkutuk ini,” bisiknya megap-
megap.

Bsu: “Come on, come home! Everyone! Don’t go into that accursed house!” she
whispered, gasping. (271)

Datum di atas merupakan sebuah tuturan yang diucapkan oleh Nyai Ontosoro
pada Minke, anaknya Annelies, dan Darsam. Tuturan ini berjumlah 8 kata dalam bahasa
sumber dan 11 kata pada bahasa sasaran. Nyai Ontosoroh menggunakan Bald on record
sebagai jenis kesantunan di mana dia tidak memedulikan muka penutur atau pun mitra
tutur. Kesantunan ini dipakai untuk efisiensi pesan yang disampaikan. Hal ini juga
didukung oleh power. Nyai Ontosoro sebagai orang yang dituakan, majikan, dan orang
tua bagi Annelies dan Minke. Kualitas terjemahan dari tuturan ini adalah kurang akurat
dengan nilai 2, dan berterima dengan nilai 2,7.

Dari data yang disajikan, dapat ditarik benang merah bahwa strata sosial,
hubungan atau kedekatan, dan power dapat mempengaruhi bagaimana seseorang dalam
menggunakan bahasa untuk melarang mitra tutur. Alhasil, dalam hal tersebut muncullah
sebuah variasi yang berbeda dalam mengutarakan maksud di mana faktor kelas sosial
lebih berpengaruh daripada gender.

Sementara itu, bentuk tuturan dari para tokoh dalam mengutarakan maksud
melarang ke mitra dapat diucapkan secara langsung maupun tidak langsung. Mitra tutur
memahami maksud pembicara meski tidak dikatakan secara gamblang. Namun, dari
empat data yang disajikan, data pertama tidak memenuhi teori Goffman’s Face, karena
pembicara tidak menjaga muka mitra tutur. Pembicara melontarkan kata-kata yang
kasar.

Pada akhirnya, untuk menganalisa data yang tersaji, kajian antara Sosiolinguistik
dan Pragmatik mengalami tumpang tindih. Kajian Sosiolinguistik mengacu pada variasi
bahasa yang muncul lantaran disebabkan oleh status pembicara, sedangkan kajian
Pragmatik digunakan untuk mengukur bagaimana suatu tuturan dapat memberikan
dampak ke mitra tutur.

KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek amount
of talk, antara pembicara laki-laki dan perempuan pada dua versi novel, frekuensi
terbanyak terjadi pada pembicara perempuan. Temuan ini berkebalikan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Li (2014) yang mendapatkan hasil bahwa pembicara
laki-laki lebih banyak dalam amount of talk. Hal ini disebabkan oleh konteks situasi
bahwa perempuan cenderung lebih panjang dalam menyampaikan tuturan melarang.
Selain itu, dipengaruhi oleh faktor language and desire yang merupakan kajian dari
diskursif psikologi. Pada akhirnya, kajian itu pun berkaitan dengan language and
sexuality sebagaimana pernyataan Sonenschein (1969) bahwa: There were several
reasons for this, but a main one was the assumption that the specialized vocabulary of a
group reveals something about “the sociocultural qualities about that group.”
Sementara itu, pada aspek kesantunan, jenis kesantunan yang digunakan berbeda-beda
sesuai status yang disandangnya, entah itu berupa jabatan atau kedekatan dalam
hubungan. Terakhir, untuk kualitas terjemahannya, mayoritas dari tuturan
diterjemahkan secara akurat dan berterima, akan tetapi ada beberapa data kurang akurat
dan berterima.

DAFTAR PUSTAKA

Asrianti, S. (2018, August 25). Pakar: Hindari Kata “Guys” dalam Pergaulan,” Ini
Alasannya. Retrieved from https://www.republika.co.id/berita/gaya-
hidup/trend/18/08/25/pe088s282-pakar-hindari-kata-guys-dalam-pergaulan-ini-
alasannya.
Brown, P., Levinson, S. (1987). Politeness: Some Universals in Language Usage.
Cambridge: Cambridge University Press.
Federici, E. (2013). Gender and Translation: A European Map. Academia.edu.
Retrieved from
https://www.academia.edu/29638578/Gender_and_Translation_A_European_Map
_in_Transpotcross_2013_n._2_online_.
Holmes, J. (2013). An Introduction to Sociolinguistics. New York, USA: Routledge.
Li, J. (2014). A Sociolinguistic Study of Language and Gender in Desperate
Housewives. Theory and Practice in Language Studies, 4 (1), pp. 52-57.
doi:10.4304/tpls.4.1.52-57. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/276020899_A_Sociolinguistic_Study_o
f_Language_and_Gender_in_Desperate_Housewives
Meng, L. (2019). Gender in Literary Translation. Corpora and Intercultural Studies, 3.
https://doi.org/10.1007/978-981-13-3720-8. Retrieved from
https://www.springer.com/gp/book/9789811337192.
Moleong, L.J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Najakh, L. (2018). Analisis Teknik Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan Gaya
Bahasa dari Dua Penerjemah Beda Gender dalam Novel Of Mice And Men (Tikus
dan Manusia) Karya John Steinbeck. Surakarta, Indonesia: UNS
Nababan, M, Nuraeni, A & Sumardiono (2012). Pengembangan Model Penilaian
Kualitas Terjemahan. Solo: UNS
Palupi, M. E. (2019). Analisis Google Terjemahan Yang Mengandung Ungkapan
Bahasa Seksisme Terjemahan Bahasa Inggris. Wanastra, 11(1), 01–06.Sutopo.
(2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS
Wardhaugh, R., Fuller, J.M. (2015). An Introduction to Sociolinguistics. West Sussex,
UK: Blackwell Publishers.
Weatherall, A. (2002). Gender, Language, and Discourse. East Sussex, UK: Roudledge.

Anda mungkin juga menyukai