INDONESIA (PMII)
Seperti diuraikan oleh sahabat Chotbul Umam (mantan Rektor PTIQ Jakarta),
sebelum malaksanakan musyawarah mahasiswa nahdliyin, terlebih dahulu 3 dari 13
orang sponsor pendiri itu – terdiri dari :
1. Sahabat Hisbullah Huda (Surabaya)
2. Sahabat M. Said Budaury (Jakarta)
3. Sahabat Makmun Syukri BA (Bandung)
Pada tanggal 19 Maret 1960 mereka berangkat ke Jakarta menghadap ketua Umum
partai NU yaitu KH. DR. Idham Khalid untu meminta nasehat sebagai pegangan pokok
dalam musyawarah yang akan dilaksanakan. Dan pada tanggal 24 Maret 1960 mereka
diterima oleh ketua partai NU, dalam pertemuan tersebut selain memberikan nasehat
sebagai landasan pokok untuk musyawarah, beliau juga menekankan hendaknya
oraganisasi yang akan dibentuk itu benar-benar dapat diandalkan sebagai kader partai
NU, dan menjadi mahasiswa yang berprinsip ilmu untuk diamalkan bagi kepentingan
rakyat, bukan ilmu untuk ilmu. Yang lebih penting lagi yaitu menjadi manusia yang
cakap serta bertaqwa kepada Allah SWT. Setelah beliau menyatakan “merestui
musyawarah mahasiswa nahdliyin yang akan diadakan di Surabayaitu” ).
Pesan yang disampaikan oleh ketua partai NU tersebut, terasa sekali suasana
kepercayaan NU pada organisasi mahasiswa yang akan dibentuk ini. Bagaimana dengan
organisasi yang lain ?, keadaan yang demikian ini nampaknya dapat kita maklumi.
Keadaan waktu itu (1960-an) memang sangat kondusif bagi organisasi mahasiswa untuk
bersikap politis bahkan partai minded. Meningkatnya jumlah ormas-ormas mahasiswa
disertai oleh meningkatnya peran mereka secara kualitas dan terbukanya kesempatan
untuk mobilitas sosial dibidang politik ). Hal ini senada yang disampaikan oleh
Rocamora (dikutip oleh Burhan D. Magenda dalam Prisma nomor 12 Desember 1977)
tentang keterkaitan/hubungan antara organisasi mahasiswa dan partai politik. Rocamora
menunjukkan bagaimana pimpinan organisasi mahasiswa berafiliasi dengan partai
politik waktu itu. Proses regenerasi ini berjalan secara damai dan sesuai dengan prinsip-
prinsip organisasi. Gejala seperti itu juga terlihat hampir pada semua organisasi
mahasiswa, termasuk di dalamnya PMII yang baru dibentuk ).
Kalau PMII juga aktif dibidang politik, seperti yang disampaikan oleh Abd, Rohim
Hasan di depan forum Kongres PMII ke IV di Makasar pada tahun 1970 “mengapa
PMII mesti berpolitik ? bukankah itu akan mengganggu tugas utamanya, belajar dan
belajar ?, bukankah persoalan poltik itu nanti setelah lulus dan terjun ditengah
masyarakat ?, Ruang kuliah adalah preparasi untuk pekerjaan politik. Gerakan-gerakan
kita adalah sekaligus gerakan belajar dan gerakan politik).
Lebih lanjut ia mengatakan “Mengapa PMII mesti berpolitik baik secara praktis maupun
konsepsional, belajar dan berpolitik bukanlah suatu hal yang tabu, tetapi justru prinsip
berpolitik itu adalah bersamaan dengan keberadaan PMII itu sendiri. Hal ini ditegaskan
dalam dokumen historis PMII – Gelora Megamendung – Pokok-pokok pikiran training
course II PMII pada tanggal 17 – 27 April 1965 di Megamendung Bogor Jawa Barat –
yang menolak dengan tegas prisnsip ilmu untuk ilmu. PMII dengan tegas menetapkan
bahwa ilmu harus diamalkan, dalam arti untuk kepentingan agama, bangsa dan negara.
Bagi PMII organisasi tak lebih sebagai alat perjuangan, sedang berpolitik tak lain untuk
mengamalkan ilmu pengetahuan dalam perjuangan mengabdikan diri pada agama,
bangsa dan negara. Tugas setiap warga PMIIadalah memadukan ketinggian ilmu dan
kesadaran berpolitik. Berpolitik bagi PMII (waktu itu) dan terjun dalam kegiatan partai
dalam bentuk apapun).
Awal mula berdirinya PMII nampaknya lebih dimaksudkan sebagai alat untuk
memperkuat partai NU. Hal ini terlihat jelas dalam aktivitas PMII antara tahun 1960 –
1972 (sebelum PMII menyatakan diri independen) sebagian besar program-programnya
berorientasi politis. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi :
Pertama, adanya anggapan bahwa PMII dilahirkan untuk pertama kali sebagai
kader muda partai NU, sehingga gerakan dan aktivitasnya selalu diorientasikan untuk
menunjang gerak dan langkah partai NU.
Kedua, suasana kehidupan berbangsa dan bernegara pada waktu itu sangat kondusif
untuk gerakan-gerakan politk, sehingga politik sebagai panglima betul-betul menjadi
policy pemerintah orde lama. Dan PMII sebagai bagian dari komponen bangsa mau
tidak mau harus berperan aktif dalam konstalasi politik seperti itu ).
Lebih jauh Sahabat H. Mahbub Junaidi mengatakan (sambutan pada acara pancawarsa
hari lahir PMII) “Mereka bilang mahasiswa yang baik adalah mahasiswa non partai,
bahkan non politis, yang berdiri diatas semua golongan, tidak kesana, tidak kesini,
seperti seorang mandor yang tidak berpihak. Sebaliknya kita beranggapan, justru
mahasiswa itulah yang harus berpartisipasi secara konkrit dengan kegiatan-kegiatan
partai politik).
PMII merupakan Organisasi Kepemudaan yang berbasis Mahasiswa dan Memiliki 237
Cabang dan Memiliki 33 Pengurus Koordinator Cabang (PKC) tersebar diseluruh
penjuru Tanah Air. Dan salah satunya adalah PMII Cabang Kotabumi Lampung Utara
Yang Memiliki 5 (Lima) Komisariat dan 1 (Satu) Komisariat Persiapan disetiap
Perguruan Tinggi yang ada di Lampung Utara antara lain :
1. Komisariat Kota (STMIK Surya Intan)
2. Komisariat Cendikia (DCC)
3. Komisariat Sindang Sari (STKIP-M)
4. Komisariat Hasan Kepala Ratu (STIH-M)
5. Komisariat Bintang Sembilan (STAINU)
6. Komisariat Persiapan STIR Ibnu Rusyd
Tetapi sebelum menjadi cabang terlebih dahulu PMII Cabang Kotabumi menjadi
Komisariat Lampung Utara bagian dari PMII Cabang Lampung mulai tahun 1983,
Sebagai Ketua Umum Sahabat Teddy Djunaidi dan Ketua Komisariat Lampung Utara
Pada Saat Itu Sahabat Sahrul Efendi, SH,
Sehingga PMII Cabang Kotabumi Lampung Utara tetap Eksis baik didunia
Kepemudaan maupun di dunia Kemahasiswaan.