Oleh:
David : Peyon
Nim : 2020011074123
Prodi : PPKn
Semester : XII
Komunikasi untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman antara sesama pimpinan dan
aktivis mahasiswa memang sesuatu yang lazim terjadi, apalagi bila sebelumnya sudah saling
kenal satu sama lain. Hal ini juga terjadi diantara sesama pimpinan ormas Kelompok
Cipayung, yang sebelumnya sudah sempat berhimpun dalam wadah perjuangan bersama,
KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
Akan tetapi, KAMI juga tidak bertahan lama, terutama ketika kekompakan mahasiswa
mulai terganggu oleh masuknya berbagai kepentingan politik praktis dalam perjuangan
mahasiswa. Besarnya peranan perjuangan mahasiswa (KAMI) dalam menumbangkan Orde
Lama –dan melahirkan Orde Baru—memang menarik minat berbagai kekuatan politik untuk
memanfaatkan mahasiswa. Hal ini yang melemahkan kekompakan mahasiswa, karena
sebagian dari pimpinan dan aktivisnya kemudian terseret ke dalam perjuangan politik
praktis, sementara sebagian lagi bertahan pada posisi peran sebagai kekuatan moral (morale
forces).
Dengan masuknya beberapa orang pimpinan dan aktivis KAMI di MPR(S) dan DPR
(GR), muncul pandangan bahwa aspirasi mahasiswa sudah bisa disalurkan melalui mereka
yang duduk di parlemen, dan sudah saatnya mahasiswa back to campus untuk kembali
belajar sebagaimana biasa. Akan tetapi, sebagian lagi berpendapat bahwa perjuangan
mahasiswa harus tetap dilanjutkan. Sebab situasi dan kondisi nasional masih jauh dari
keadaan yang diharapkan.
Implikasi dari keadaan ini, KAMI terus melemah dan pada tahun 1969 akhirnya bubar
ketika beberapa ormas mahasiswa menyatakan keluar dari wadah perjuangan ini. Pun
demikian, perjuangan mahasiswa masih tetap berlanjut. Mahaiswa tetap kritis, terhadap
keadaan bangsa dan negara. Ini setidaknya tampak pada aksi-aksi “Mahasiswa Menggugat.”
Gerakan Penghematan, Komite Anti Korupsi (KAK), protes terhadap pembangunan Taman
Mini Indonesia Indonesia Indah karena dianggap sebagai suatu pemborosan, dan
sebagainya.
Menghadapi situasi seperti ini, pimpinan GMNI secara tegas menyatakan diri tetap
berjuang pada jalur kemahasiswaan. Kalau pun, kemudian beberapa orang pimpinan pusat
GMNI duduk di MPR(S) dan DPR(GR), itu bukan mewakili mahasiswa, melainkan
mewakili Partai Nasional Indonesia (PNI).
Dengan bubarnya KAMI, maka ormas-ormas mahasiswa tentu tidak memiliki wadah
perjuangan bersama yang melembaga. Namun, ketiadaan wadah resmi tidak jadi halangan
bagi sesama pimpinan mahasiswa membina hubungan satu sama lain. Kontak-kontak
komunikasi sesungguhnya terus berlanjut meski bersifat hubungan antar pribadi. Secara
umum, situasi saat itu dirasakan mulai kurang kondusif bagi perjuangan mahasiswa. Tapi
disisi lain, dorongan idealisme untuk tetap memberikan sumbangsih bagi bangsa dan negara,
mendorong para pimpinan ormas untuk saling berkomunikasi, bertukar pikiran untuk
membicarakan berbagai persoalan yang dihadapi bersama.
Pada pertemuan Cipayung I ini, para pimpinan empat ormas mahasiswa berhasil
menyusun naskah “Kesepakatan Cipayung” yang tidak hanya menggambarkan profile
Indonesia yang didambakan bersama, tapi juga bagaimana mewujudkan Indonesia yang
dicita-citakan itu, dan apa peran generasi muda dalam pembangunan Indonesia itu. Dalam
suasana yang khusyuk, diiringi lagu “Bagimu Negeri” naskah tersebut ditandatangani oleh
para Ketua Umum ormas mahasiswa, Akbar Tanjung, Ketua Umum Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Soerjadi, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Chris Siner Key Timu, Ketua Umum
Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI, dan Binsar
Sianipar, Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
Jalinan komunikasi antar ormas Kelompok Cipayung pun semakin intens. Pertemuan
Cipayung II yang digelar di Jakarta pada 16 April 1972, hasilnya selain mempertegas
Kesepakatan Cipayung I, juga melahirkan evaluasi umum perkembangan kehidupan bangsa
saat itu. Evaluasi yang dituangkan dalam naskah berjudul “ Kesimpulan Umum Cipayung
II” ditanda-tangani oleh Ridwan Saidi (HMI), Gambar Anom (HMI), Soerjadi (GMNI),
Budi Hardjono (GMNI), Natigor Siagian (GMKI), Jannes Hutagalung (GMKI), Chris Siner
Key Timu (PMKRI), Eko Tjokrodjojo (PMKRI).
Kerasnya tekanan terhadap ormas-ormas mahasiswa –agar mau melebur dalam wadah
tunggal—menimbulkan berbagai kesulitan untuk penyelenggaraan pertemuan Cipayung
berikutnya. Apalagi, di saat bersamaan aksi-aksi protes mahasiswa terus marak di berbagai
kota. Meletusnya kerusuhan massa, tanggal 10 Januari 1974 yang kemudian dikenal sebagai
“Peristiwa Malari,” langsung mau pun tak langsung berdampak bagi mahasiswa ini, tentu
juga amat berpengaruh bagi Kelompok Cipayung. Apalagi setelah itu, Menteri Pendidikan
& Kebudayaan, Syarif Thayeb menerbitkan Surat Keputusan Nomor 028/U/1974 (populer
dengan sebutan: SK 028) yang menempatkan semua aktivitas mahasiswa di dalam kampus
berada dalam pengendalian efektif rektor.Pun demikian, pada 23 hingga 25 Januari 1976,
Kelompok Cipayung dapat menggelar Pertemuan Cipayung III, dan pada pertemuan ini,
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) untuk pertama kali ikut dalam Kelompok
Cipayung sehingga Kelompok Cipayung berjumlah 5(lima) ormas mahasiwa.
Terbentuknya Kelompok Cipayung sudah jelas karena adanya komunikasi yang erat
antar pimpinan ormas mahasiswa untuk saling bertukar pikiran. Dari proses komunikasi ini,
terjalin rasa kebersamaan dalam menghadapi persoalan bersama. Karena besarnya keinginan
itu, maka ia mampu mengatasi berbagai perbedaan antar ormas. Kelompok Cipayung
terbentuk karena adanya kemauan kuat –dan tentu disertai kemampuan— dari pimpinan
lima ormas mahasiswa mengatasi perbedaan-perbedaan (bukan menghilangkannya).
Kuncinya, adalah meletakkan kepentingan bangsa, negara dan mahasiswa pada agenda
bersama. Memang, ada faktor subyektif dan obyektif yang berperan mendorong proses
terjadinya pertemuan pertemuan yang kemudian melahirkan kesepakatan-kesepakatan
bersama Kelompok Cipayung.
Faktor subyektif dimaksud adalah kesadaran akan pentingnya peranan mahasiswa dalam
berbagai perubahan kearah kemajuan bangsa Indonesia, baik dimasa lampau, masa kini dan
tentu juga dimasa mendatang, Hal ini setidaknya terlihat dalam peristiwa-peristiwa
kebangkitan nasional 1908, peristiwa sumpah pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan 1945,
dan terutama pada saat transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Jadi, ada semacam
kesadaran historis akan status peran mahasiswa yang strategis dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Sedangkan faktor obyektifnya adalah situasi dan kondisi sosial politik yang dirasakan
sudah tidak kondusif lagi bagi perjuangan mahasiswa. Besarnya peranan mahasiswa dalam
proses transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, disatu sisi telah merangsang
keinginan kekuatan-kekuatan politik yang ada untuk menyeret mahasiswa masuk ke kancah
politik praktis, pada sisi lain ada pula yang berkehendak membatasi ruang gerak mahasiswa,
sebab tuntutan mahasiswa –yakni Tri Tura —sebagian sudah tercapai. Untuk itu, aksi-aksi
jalanan seyoganya diakhiri dan aktivitas mahasiswa cukup di dalam kampus saja.Dengan
demikian, mahasiswa dihadapkan pada pilihan yang amat dilematis, karena karakteristik
gerakan mahasiswa bukanlah gerakan politik, melainkan tetap gerakan moral. Sebaliknya,
mahasiswa juga tidak bisa berdiam diri melihat kenyataan yang berkembang justru masih
jauh dari harapan.
Menghadapi kenyataan seperti ini, maka sikap ormas-ormas mahasiswa yang tergabung
dalam Kelompok Cipayung cukup tegas yakni, menegaskan pandangannya tentang ke-
Indonesia-an yang menjadi harapan mahasiswa, keberadaannya yang tak terpisahkan dari
masyarakat, serta jatidirinya sebagai mahasiswa, pewaris masa depan yang menuntut syarat-
syarat tertentu agar dapat mempersiapkan diri mengemban tugas dimasa mendatang.
Inisiatif ini berbentuk usaha membuka diri dalam memahami apa artinya anugerah
Tuhan untuk kita hidup di Indonesia, mempergunakan ilmu dan teknologi dalam
memecahkan persoalan-persoalan masyarakat, menerima pikiran-pikiran yang beraneka
ragam dari berbagai golongan generasi muda dalam masyarakat, dan kesediaan
mempersiapkan diri untuk mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan pernyataan sikap ini, Kelompok Cipayung sebenarnya ingin menegaskan
keberadaannya bukan sebagai kelompok politik, karena –sebagai mahasiswa—masih dalam
fase “mempersiapkan diri.” Tapi, juga tidak akan menutup mata pada keadaan
disekelilingnya karena apa yang terjadi dihari ini pasti berdampak bagi masa depan yang
menjadi tanggung jawabnya. Untuk dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya,
mahasiswa mesti memiliki kebebasan mengutarakan pendapat, serta mengekspresikan
dirinya, sesuai dengan ketentuan hukum yang menaunginya, serta kaidah-kaidah keilmuan
sebagaimana layaknya insan akademis.
Berpijak pada pendirian ini, maka Kelompok Cipayung jelas menolak segala bentuk
pemanfaatan (penunggangan) mahasiswa oleh kekuatan politik apa pun, dan juga menolak
segala bentuk kebijakan yang membatasi kebebasannya mengutarakan pendapat dan
berkreasi. Sikap ini tentu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial politik saat itu, yang
dirasakan menghambat kebebasan mahasiswa. Bahkan karena itu, dari 1973 hingga awal
1976 ormas-ormas Kelompok Cipayung sulit menggelar pertemuan untuk menggodok sikap
bersama. Baru pertengahan 1976, terselenggara pertemuan Cipayung III, yang pesertanya
sudah menjadi 5(lima) ormas, sehubungan dengan ikut sertanya PMII di dalam Kelompok
Cipayung.
KESEPAKATAN CIPAYUNG
Kami, generasi muda bangsa sebagai penerus dan pewaris bangsa di masa depan belajar
dari sejarah masa lampau, bahwa disorientasi selalu terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa,
selalu akan menghambat kemajuan bangsa. Oleh karenanya kesatuan perjuangan generasi
muda untuk membangun negeri ini adalah merupakan tuntutan bangsa secara
mutlak.Kecintaan terhadap negara dan bangsa yang tumbuh dari generasi ini, adalah
manifestasi dari kecintaan akan Indonesia di masa depan, oleh karena itu generasi ini
merindukan INDONESIA YANG KITA CITA-CITAKAN sebagai berikut:
1. Indonesia yang digambarkan dalam Pembukaan UUD 1945, yakni masyarakat yang
adil, makmur, spiritual dan material berdasarkan Pancasila.
2. Indonesia yang kuat, bersatu, cerdas dan modern, demokratis dan adil, menjunjung
tinggi martabat manusia dan wibawa hukum, sehat dan makmur, bebasdari ketakutan dan
penindasan, berperanan dalam pergaulan antar bangsa-bangsa, Indonesia yang layak sebagai
tempat dan kehidupan manusia selaku makhluk Tuhan.
3. Indonesia yang hanya mungkin dicapai dengan pembangunan ke pembangunan,
dengan kerja keras, jujur, hemat, dilandasi dengan semangat pioner melalui pengorbanan.
4. Indonesia yang hanya dapat dibangun atas pikiran dan tekad bersama yang erat dan
terarah dari generasi ke generasi bangsa Indonesia, dengan tidak mengenal perbedaan
agama, suku, daerah, umur dan golongan, karena tekad yang demikian inilah yang
mencetuskan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi 1946 dan Orde Baru sekarang
ini.
5. Dalam rangka membangun masa depan dalam Indonesia yang dicita-citakan, maka
pembentukan dan pembinaan generasi pembangun selaku generasi penerus adalah mutlak.
Kita bercita-cita membangun masa depan yang lebih baik dari masa kini dan masa kemarin,
karena itu generasi pembangunan memerlukan keberanian melihat dan menilai dasar-dasar
pembangunan masa depan dan meninggalkan pola-pola lama, ikatan-ikatan lama, yang
menghalangi usaha pembangunan masa depan yang baru. Generasi pembangun itu
mempunyai ciri-ciri khas yaitu bebas dan terbuka, positif, Ciri-ciri khas itu merupakan unsur
dalam melihat masa depan serta menilai masa kini dan masa lampau.
6. Generasi pembangun mutlak turut menentukan isi, bentuk, corak dan watak dari
Indonesia yang kita cita-citakan, dengan memberikan kemungkinan dan kesempatan untuk
menyampaikan pikiran-pikiran, pendapat-pendapat dan tenaga melalui kebebasan yang
bertanggung jawab, yang dijamin atas dasar hukum, dan untuk itu pembangunan generasi
pembangun menjadi kewajiban bersama.
7. Generasi muda pembangun ini, akan mempunyai peranan bila dalam generasi muda
pembangun itu sendiri ada inisiatif untuk mengubah dan mempersiapkan diri menerima dan
memikul tanggung jawab masa depan dalam mencapai Indonesia yang kita cita-citakan itu.
Inisiatif ini berbentuk usaha membuka diri dalam memahami apa artinya anugerah Tuhan
untuk kita hidup di Indonesia, mempergunakan ilmu dan teknologi dalam memecahkan
persoalan-persoalan masyarakat, menerima pikiran-pikiran yang beraneka ragam dari
berbagai golongan generasi muda dalam masyarakat, dan kesediaan mempersiapkan diri
mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara.
MELAHIR KNPI.
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Kelompok Cipayung, yang merupakan forum
komunikasi dan kerjasama Himpunan Mahasiswa Islam, Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia aktif melakukan diskusi dan pertemuan
secara informal.Forum tersebut tak jarang menghasilkan pemikiran-pemikiran kritis untuk
kemajuan bangsa. Dalam perkembangannya, forum ini membuat kesepakatan bersama
untuk kerjasama demi Indonesia.
Di satu sisi, upaya pemerintah mendorong wadah tunggal bagi mahasiswa terus
berlangsung. Ali Moetopo tertarik pada Kelompok Cipayung karena mempermudah
pemerintah Orde Baru memantau dan mengontrol kelompok-kelompok tersebutSeorang
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) yang juga kawan Ali
Moetopo, Midian Sirait memiliki gagasan yang menarik perhatian sang Mayor Jenderal
yakni menyatukan pemuda termasuk mahasiswa dalam sebuah organisasi wadah. Midian
Sirait menyatakan organisasi wadah pemuda dimaksudkan untuk menghimpun keberagaman
latar belakang partai dan organisasi para pemuda dan mahasiswa.
Pada masa Orde Baru, mahasiswa menjadi salah satu kekuatan politik dalam usaha
melengserkan Soekarno dan juga sebagai salah satu promotor Orba. Mahasiswa pada masa
itu percaya bahwa Orde Baru merupakan jawaban atas kebutuhan modernisasi dan reformasi
yang mereka tuntut dari rezim Soekarno. Membuat sebuah organisasi wadah untuk
mahasiswa dapat berarti “mengamankan” kekuatan politik ini.
Namun, keterangan pers yang dikeluarkan oleh PB-HMI, PP-PMKRI, DPP-GMNI, PP-
GMKI dan PP-PMII---yang dimuat di Kompas, 19 Desember 1973---menyatakan Komite
Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) bukan terdiri dari organisasi-organisasi Pemuda dan
Mahasiswa. Namun, terdiri dari pribadi-pribadi yang berasal dari beragam organisasi
pemuda dan mahasiswa yang ada.Pada peringatan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober
1974, KNPI menyelenggarakan kongres pertama. Pada momen itu pula, AD/ART mereka
disusun. Organisasi ini langsung mendapat restu dari pemerintahan Orde Baru dan pada
tahun itu pula, mereka mengikuti unjuk rasa mahasiswa dalam penentangan masuknya
modal asing. Tahun berikutnya, mereka juga turut serta dalam demonstrasi Malari.
Menjadi pengikat jiwa perjuangan dan komitmen pemuda Indonesia untuk berperan aktif
dalam setiap dinamika sosial politik bangsa, menjaga serta memastikan bangsa ini akan
berlabuh pada kejayaan dan kesejahteraan
Sepanjang masa Orde Baru, KNPI dekat dengan pemerintahan Soeharto. KNPI yang terdiri
dari pribadi-pribadi dari kelompok Cipayung, binaan kader Golkar dan tentara kemudian
banyak yang bergabung ke Partai GolkarSetelah David Napitupulu, KNPI dipimpin Akbar
Tanjung. Mereka kemudian menjadi orang penting di Golkar dan pemerintahan. David
pernah menjadi ketua sayap pemuda Golkar, Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia
(AMPI), lalu Duta Besar Meksiko. Sementara Akbar Tanjung, pernah menjadi Wakil
Sekjen Golkar serta Menteri Negara Perumahan Rakyat.Tokoh KNPI terkenal lainnya
adalah Cosmas Batubara dan Abdul Gafur. Cosmas pernah tercatat sebagai anggota DPR
dan Menteri Negara Perumahan Rakyat. Selain itu, ada juga mantan dokter Angkatan
Udara bernama Abdul Gafur, yang pernah jadi Menteri Pemuda dan Olahraga zaman
Soeharto.
Jajaran pimpinan KNPI memang kebanyakan berasal dari Angkatan 1966 yang sukses
melengserkan Soekarno dari kursi presiden. Mereka bukan sekadar parlemen jalanan,
melainkan pemimpin organisasi mahasiswa. Pada era 1980-an banyak pemuda Angkatan
1966 kemudian menjadi anggota bahkan pemimpin partai atau organisasi masyarakat,
hingga menjadi pejabat negara.KNPI berjaya sepanjang Orde Baru. Ketika Soeharto
tumbang dan menandai berakhirnya era Orde Baru, KNPI ternyata tetap bertahan.Idrus
Marham terpilih sebagai Ketua Umum di masa reformasi. Idrus mewacanakan peremajaan
KNPI atau penyegaran kembali peran KNPI di tengah realitas politik nasional. Peremajaan
tersebut memaksa KNPI untuk independen serta kembali memposisikan pemuda sebagai
mitra kritis pemerintah.
Sejumlah baliho bergambar calon Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)
periode 2005--2008 dipasang di pintu masuk tempat berlangsungnya pembukaan Kongres
KNPI ke-11 di Jakarta, Senin (19/12/2005). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
membuka kongres tersebut.Sejumlah baliho bergambar calon Ketua Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI) periode 2005--2008 dipasang di pintu masuk tempat
berlangsungnya pembukaan Kongres KNPI ke-11 di Jakarta, Senin (19/12/2005). Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono membuka kongres tersebut.
Dinamika kepemimpinan
Kongres versi Ancol menghasilkan keputusan mengangkat Ketua Umum Ahmad Doli
Kurnia dan Sekretaris Jenderal Pahlevi Pangerang. Sedangkan keputusan Kongres KNPI
versi Bali memutuskan Azis Syamsudin sebagai Ketua Umum dan Sayed Muhammad
Mualiady sebagai Sekretaris Jenderal. Akibatnya, solidaritas organisasi kepemudaan yang
berhimpun di KNPI serta KNPI secara struktural di Provinsi, Kab/Kota hingga Kecamatan
terpecah.
Tensi konflik KNPI sedikit mereda saat terjadi kesepakatan rekonsilisasi antara Ahmad
Doli Kurnia dan Azis Syamsudin untuk mengakhiri kemelut. Langkah yang ditempuh
adalah dengan mengadakan Kongres Pemuda/KNPI XIII bersama, dimana ada kepanitiaan
bersama kedua versi KNPI dengan tajuk “Satu KNPI. Satu Pemuda, Satu Indonesia”.
Kongres yang digelar pada Oktober 2011 pada saat itu diharapkan menjadi kongres yang
mengedepankan spotifitas sehingga tidak berpotensi hadirnya dualisme kepemimpinan di
KNPI.
Hasil Kongres XIII 2011 menetapkan Taufan Eko Nugroho Ratorasiko sebagai Ketua
Umum DPP KNPI periode 2011--2014. Namun, KNPI kembali kisruh. Kisruh berlanjut
pada pada Maret 2012 saat Kongres KNPI tandingan menetapkan Akbar Zulfakar sebagai
Ketua terpilih DPP KNPI, meskipun Kementerian Pemuda dan Olahraga hanya mengakui
Taufan Eko Nugroho Ratorasiko sebagai Ketua Umum KNPI yang sah.
Polemik dualisme KNPI muncul kembali setelah Kongres Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI) XV memutuskan Haris Pertama sebagai Ketua Umum DPP KNPI periode
2018--2021. Haris Pertama menang dengan perolehan 84 suara, sementara lawannya Noer
Fajriansyah mendapat 82 suara pada Kongres pemilihan Ketum KNPI tanggal 18 hingga 22
Desember 2018 di Bogor yang diikuti oleh 167 peserta dari DPD provinsi dan OKP tingkat
Nasional. Menindaklanjuti hasil itu, Ketua Pimpinan Sidang Kongres XV KNPI, Sirajuddin
Abdul Wahab, kemudian menetapkan Haris sebagai Ketum KNPI.
Penetapan Haris digugat oleh empat orang pimpinan sidang Kongres XV KNPI, yaitu
Syahwan Arey, Heru Slana Muslim, Wazir Muhaemin, dan Salman Faisal. Sirajuddin
dianggap menyalahi tata tertib kongres dan AD ART KNPIMenteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly kemudian melakukan pemblokiran terhadap SK
pihak-pihak yang bertikai demi menghentikan dualisme kepemimpinan di KNPI. Sebagai
wadah organisasi pemuda, KNPI seharusnya hanya ada satu