Embrio PMII lahir di tengah situasi kegaduhan politik yang berefek pada ketidakstabilan
kehidupan berorganisasi. Situasi yang menyatakan kecenderungan gerakan yang dilakukan oleh para
pemuda lebih dimobilisasi oleh kepentingan partai politik. Praktisnya pada momen pemilu 1955,
beberapa organisasi gerakan didomplengi oleh partai, seperti Himpunan Mahasiswa Indonesia
dibawah partai masyumi, GMNI menjadi underbow PNI dan menjadi alat dari PKI. Hal ini
menimbulkan kenyataan terjadinya dikotomi gerakan itu sendiri. Masyumi sebagai partai islam yang
didukung oleh kalangan pemuda dari ormas islam yaitu NU dan Muhammadiyah yang terwadai
dalam organ HMI gagal dalam pemenangan kontestasi pemilu pada waktu itu. Hal ini menimbulkan
rasa kekecawaaan dari para pendukungnya. Sehingga menimbulkan gejolak di tubuh organisasi yang
mendukungnya. HMI mengalami pergolakan dalam dirinya. Aspirasi dari setiap kadernya tidak lagi
bisa berposisi secara merata. Aspirasi dari para pemuda NU mendapat posisi kedua dan dirasa sudah
tidak seperti yang diharapkan. Atas dasar hal tersebut muncullah keinginan yang kuat untuk
mendirikan wadah tersendiri sebagaimana IMM pada naungan Muhammadiyah.
Perjalanan untuk memenuhi hasrat mendirikan wadah tersendiri dari kalangan anak-anak NU
yang sedang belajar di perguruan tinggi tidaklah berjalan secara mulus, dipenuhi dengan tantangan
dan rintangan. Di tubuh NU sendiri belum memberikan lampu hijau untuk pendirian organisasi baru.
NU menganggap belum perlu adanya pendirian organisasi tersendiri untuk menauingi mahasiswa
NU. Namun bukanlah mahasiswa jika patah semangat dan patah arang dengan adanya rintangan.
Semangat untuk mendirikan organisasi baru tetaplah membara yang dibumbui dengan kemauan
yang keras ditambah dengan fenomena munculnya organisasi-organisasi mahasiswa baru dibawah
naungan payung induknya. Hingga puncaknya tak dapat dibendung lagi berdirilah beberapa
organisasi kemahasiswaan NU yang berbasis di daerah. Seperti IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul
Ulama) pada akhir 1955 di Jakarta yang dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto, di Surakarta berdiri
KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad dan PMNU
(Persatuan Mahasiswa NU) berdiri di Bandung. Namun kemunculan organisasi-organisasi ini tidak
mendapat apresiasi dari tubuh NU bahkan tidak mendapat restu hingga ditentang pendirian organ-
organ ini. NU dalam hal ini melalui Pengurus Besarnya memberikan alasan bahwa Badan otonom NU
yang mecakup sektor pelajar baik dalam usia siswa maupun mahasiswa yaitu IPNU baru berdiri 2
tahun sebelumnya yakni 24 Februari 1954 di Semarang, terdapat kekhawatiran hal ini akan
melemahkan eksistensi IPNU.
Seiring berjalanannya waktu gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali
pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Namun gagasan ini masih ditentang
kembali karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU hingga pada muktamar III IPNU di Cirebon
(27-31 Desember 1958) muncullah suatu jalan kompromi atas
gagasan tersebut dengan membentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU dan ditunjuk sebagai
ketua Isma’il Makki (Yogyakarta). Akan tetapi langkah ini dalam perjalanannya tidak sesuai apa yang
diharapkan dan dicita-citakan. Pola pikir yang terbangun tidak sesuai dengan pola pikir mahasiswa
sehingga memunculkan ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Disamping itu terasa
adanya intervensi sikap politik dari PP IPNU, sehingga para mahasiswa pun tidak bebas dan geraknya
terbatas.
Harapan dan cita-cita mendirikan organisasi akhirnya menuai hasil. IPNU mengadakan
Konferensi Besar (KONBES) I pada tanggal 14-17 Maret 1960 bertempat di Kaliurang Yogyakarta,
forum ini menghasilkan keputusan tentang perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara
khusus di perguruan tinggi serta membentuk tim perumus pendirian organsisasi yang beranggotakan
13 orang dari berbagai daerah. Setelah ditunjuk, pada tanggal 19 Maret 1960 tiga orang dari tim
perumus yakni Hisbullah Huda, Said Budairy, dan M Makmun Syukri berangkat ke Jakarta untuk
menghadap Ketua Tanfidziah PBNU pada waktu itu KH Dr Idham Khalid untuk meminta nasehat
sebagai pedoman pokok permusyawaratan yang akan dilakukan. KH Idham Khalid memberikan
nasehat hendaknya organisasi yang akan dibentuk itu benar-benar dapat diandalkan sebagai kader
partai NU dan menjadi mahasiswa yang berprinsip ilmu untuk diamalkan bagi kepentingan rakyat,
bukan hanya ilmu untuk ilmu.
Pada tanggal 14 – 16 April 1960 kemudian diadakan musyawarah mahasiswa nahdliyin yang
bertempat di Taman Pendidikan Putri Khadijah (Sekarang UNSURI/ Sekolah Mu’amalat NU
Wonokromo) Surabaya. Dalam musyawarah ini menghasilkan keputusan berdirinya organisasi
nahdliyin yang diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia disertai peraturan dasarnya yang
kemudian diberlakukan mulai tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 H,
sehingga PMII dinyatakan berdiri pada tanggal 17 April 1960. PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia) sendiri diambil sebagai nama setelah adanya berbagai usulan, delegasi dari Bandung dan
Surakarta mengusulkan nama PMII, sedangkan delegasi dari Yogyakarta mengusulkan nama
Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny, hingga akhirnya disepakati PMII yang diambil. Akan
tetapi menjadi persoalan kembali kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Hingga
akhirnya disepakati huruf “P” merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi
“Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Disamping itu dalam musyawarah tersebut memutuskan
membentuk tiga orang formatur yakni H. Mahbub Junaidi sebagai ketua umum, A.Cholid Mawardi
sebagai ketua I, dan M.Said Budairy sebagai sekretaris umum PB PMII. Dan baru pada bulan Mei
1960 susuan pengurus pusat PMII periode pertama tersusun secara lengkap.
Dari uraian historis diatas secara global faktor-faktor yang menjadi penguat berdirinya PMII
adalah sebagai berikut
Karena ketidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak
muda NU yang ada di Perguruan Tinggi.
Adanya rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim (NU) untuk mengembangkan kelembagaan
politik menjadi underbow NU dalam upaya merealisasikan aspirasi politik.
Kekecewaan mahasiswa NU yang saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi mempresentasikan
paham mereka (mahasiswa NU) dan HMI ditengarai lebih dekat dengan partai Masyumi.
Merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap
menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya.
Pada dasawarsa 50’an ada keinginan anak-anak NU yang sedang belajar di perguruan tinggi untuk
mendirikan sebuah organisasi
Lahirlah IMANU, KMNU, PMNU yang berada pada lingkup daerah masing-masing
Muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU
yang diketuai oleh Isma’il Makki (Yogyakarta).
konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Hasil konferensi
memutuskan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi dan
untuk itu, ditunjuk tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU.
Yaitu : 1. A. Khalid Mawardi (Jakarta), 2. M. Said Budairy (Jakarta), 3. M. Sobich Ubaid (Jakarta), 4.
Makmun Syukri (Bandung), 5. Hilman (Bandung), 6. Ismail Makki (Yogyakarta), 7. Munsif Nakhrowi
(Yogyakarta), 8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta), 9. Laily Mansyur (Surakarta), 10. Abd. Wahhab Jaelani
(Semarang), 11. Hizbulloh Huda (Surabaya), 12. M. Kholid Narbuko (Malang) dan 13. Ahmad Hussein
(Makassar)
Diadakan musyawarah mahasiswa nahdliyin di Taman Pendidikan Putri Khadijah (Sekarang UNSURI/
Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo) Surabaya pada tanggal 14 – 16 April 1960. Dengan keputusan
sebagai berikut :
Berdirinya organisasi mahasiswa nahdliyin, dan organisasi tersebut diberi nama Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Penyusunan peraturan dasar PMII yang dalam mukodimahnya jelas dinyatakan bahwa PMII
merupakan kelanjutan dari departemen perguruan tinggi IPNU – IPPNU.
Persidangkan dalam musyawarah mahasiswa nadhiyin dimulai tanggal 14 – 16 April 1960, sedangkan
peraturan dasar PMII dinyatakan berlaku mulai 21 Syawal 1379 H atau bertepatan pada tanggal 17
April 1960, sehingga PMII dinyatakan berdiri pada tanggal 17 April 1960.
Memutuskan membentuk tiga orang formatur yaitu H. Mahbub Junaidi sebagai ketua umum,
A.Cholid Mawardi sebagai ketua I, dan M.Said Budairy sebagai sekretaris umum PB PMII. Susuan
pengurus pusat PMII periode pertama ini baru tersusun secara lengkap pada bulan Mei 1960.
Independensi PMII
Kenyataan politik yang memjadikan NU sebagai salah satu partai politik serta ketidaksehatan
politik dalan sejarah perpolitikan Indonesia membawa efek pada perjalanan roda organisasi PMII.
Peristiwa besar terjadi pada diri PMII. Saat itu pada dasawarsa 70’an situasi politik nasional
mengalami kekisruhan. partai NU kalah oleh partai golkar, kekalahan ini memicu pergolakan di tubuh
PMII. Disamping itu rezim yang memimpin yakni rezim yang memimpin yakni rezin orde baru mulai
mengkerdilkan peran partai politik, termasuk partai NU. Disamping itu pergerakan mahasiswa juga
mulai dibatasi, mulai digiring dengan digulirkannya kebijakan NKK/BKK. Sontak melihat realitas
tersebut PMII berpikir untuk mengambil sikap. Dan jawaban dari realitas tersebut adalah
dicetuskanlah “Independensi PMII” melalui MUBES III PMII pada tanggal 14 Juli 1972 di Murnajati
Lawang Malang, Jawa Timur, yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Murnajati.
DEKLARASI MURNAJATI
Bismillahirrahmanirrahim
“Kamu sekalian adalah sebaik-baik umat yang dititahkan kepada manusia untuk memerintahkan
kebaikan dan mencegah perbuatan yang mungkar” (Al-Qur’an)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) insyaf dan yakin serta tanggung jawab terhadap masa
depan kehidupan bangsa yang sejahtera selaku penerus perjuangan dalam mengisi kemerdekaan
Indonesia dengan pembangunan material dan spiritual. Bertekat untuk mempersiapkan dan
mengembangkan diri dengan sebaik-baiknya:
Bahwa pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang memiliki
pribadi luhur, taqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta bertanggungjawab dalam mengamalkan
ilmu pengetahuannya
Bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) selaku generasi muda Indonesia sadar akan
peranannya untuk ikut serta bertanggungjawab bagi berhasilnya pembangunan yang dapat dinikmati
secara merata oleh seluruh rakyat
Bahwa perjuangan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang menjunjung tinggi nilai-nilai
moral dan idealisme sesuai dengan deklarasi Tawangmangu menuntut berkembangnya sifat-sifat
kreatif, keterbukaan dalam sikap dan pembinaan rasa tanggung jawab
berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
serta dengan memohon rahmat Allah SWT, dengan ini menyatakan diri sebagai organisasi
independent yang tidak terikat dalam sikap dan tindakan kepada siapa pun dan hanya komited
dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan pancasila
Interdependensi PMII
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa PMII lahir dari rahim NU. Sejak awal berdirinya
PMII menginduk pada naungan NU sampai pada keputusannya menyatakan independensi.
Meskipun telah menyatakan independensi itu melalui deklarasi murnajati, kenyataan
menunjukkan bahwa kerangka berpikir perwatakan dan sikap sosial antara PMII dan
NU memiliki persamaan. Karena PMII mempunyai ideologi yang sama dengan NU,
yaitu ahlussunnah waljama’ah. PMII dan NU juga memiliki kesamaan nilai, kultur,
akidah dan cita-cita serta ikatan historis yang kuat. PMII memiliki kesadaran bahwa
dalam melaksanakan perjuangan diperlukan saling tolong. Karena PMII dengan NU
mempunyai persamaan–persamaan dalam persepsi keagamaan dan perjuangan,
maka guna untuk menyikapi berbagai kesamaan itu dan demi kemajuan bersama
serta untuk menjalin kerjasama program secara kualitatif dan fungsional, baik
melalui program nyata maupun persiapan sumber daya manusia, PMII siap
meningkatkan kualitas hubungan dengan NU atas prinsip kedaulatan organisai
penuh, interdependensi, dan tidak ada intervensi secara strutural dan kelembagaan.
Deklarasi ini dicetuskan dalam kongres X PMII pada tanggal 27 Oktober 1991 di
Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.
Dalam pandangan PMII, ulama adalah pewaris para nabi. Ulama merupakan
panutan karena kedalamannya dalam pemahaman keagamaan. Oleh karena itu,
interdependensi PMII–NU ditempatkan dalam konteks keteladanan ulama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Adanya persamaan paham keagamaan antara PMII dan NU. Keduanya sama-sama
mengembangkan wawasan keislaman dengan paradigma pemahaman Ahlussunah
Wal Jama’ah. implikasi dari wawasan keagamaan itu tampak pula pada persamaan
sikap sosial yang bercirikan tawasuth, tasamuh, tawazun, I’tidal dan amar ma’ruf
nahi munkar. Demikian juga didalam pola pikir, pola sikap, serta pola tindak PMII
dan NU menganut pola selektif, akomodatif dan integrative sesuai prinsip dasar Al-
muhafadhotu ‘ala qodimi `i-sholih wa `l-ahdzu bi `l-jadidi `l-aslah
1. Ukhuwah islamiyah
2. Amar ma’ruf nahi munkar
3. mabadi khoiri umah
4. `l-musawah
5. Hidup bedampingan dan berdaulat secara benar.
Implementasi interdependensi PMII – NU diwujudkan dalam berbagai bentuk
kerjasama:
Visi ke-Islaman yang dibangun PMII adalah visi ke-Islaman yang inklusif, toleran
dan moderat.
Dalam lingkup yang lebih kecil PMII mencoba menciptakan kader yang memiliki
pandangan yang luas dalam menghadapi realitas sosial, ekonomi, politik, dan
budaya. Memiliki pemahaman yang komprehensif tentang berbagai macam paham
pemikiran yang digunakan dalam menganalisa realitas yang ada, sehingga
diharapkan seorang kader akan mampu memposisikan diri secara kritis dan tidak
terhegemoni oleh suatu paham atau oordina yang dogmatis.
1. Pergerakan
Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba
(makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi
positif pada alam sekitarnya.
Perwujudan :
Perwujudan :
tanggung jawab keagamaan
tanggung jawab intelektual
tanggung jawab sosial kemasyarakatan
tanggung jawab individual sebagai hamba Tuhan
tanggung jawab individual sebagai warga bangsa dan negara
3. Islam
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang diyakini,
dianut, dipahami dan dijalankan dengan haluan / paradigma ahlussunah wal
jama’ah. Aswaja digunakan sebagai Manhajul Fikr (metode berpikir). yaitu konsep
pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam,
dan ikhsan. Sehingga tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif
dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya.
4. Indonesia
pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara yang mempunyai
falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45 yang terbentang dari Sabang
sampai Merauke, yang diikat dengan kesadaran wawasan nusantara serta memiliki
kesadaran kesatuan dan keutuhan dan senantiasa menjaganya.
Lambang PMII diciptakan oleh H.Said Budairi, beliau merupakan sekretaris umum
PB. PMII yang pertama. Seperti halnya umumnya lambang, Lambang PMII pun
memiliki arti dan makna dalam setiap goresannya. Secara umum makna lambang
PMII dapat dijabarkan dari bentuk dan warnanya.
Dari Bentuk :