Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan gelora panggilan ilahi,
disertai semangat perjuangan yang selalu membara. Pada waktu itu, memang berbagai
macam bid’ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena
kurangnya pendidikan dan da’wah Islamiyah kepada mereka.
Pada tahun pertama gerakan beliau, bersama dengan santri-santri yang berdatangan dari
daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil membongkar lebih kurang 200
tempat penyembahan dan berhala. Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta Arung Matoa Wajo,
Andi Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang pembangunan kembali
masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah kota
Sengkang pada waktu itu.
Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung
Matoa Wajo Andi Oddang kepada AG H. M. As’ad untuk digunakan sebagai tempat
pengajian, pendidikan, dan da’wah Islam. Sejak itulah beliau mendirikan madrasah di
Mesjid Jami’ itu, dan diberi nama al-Madrasah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo.
Tingkatan-tingkatan yang beliau bina pada waktu itu adalah: 1. Tahdiriyah, 3 tahun 2.
Ibtidaiyah, 4 tahun 3. Tsanawiyah, 3 tahun 4. I’dadiyah, 1 tahun 5. Aliyah, 3 tahun Semua
kegiatan persekolahan ini dipimpin langsung oleh AG H. M. As’ad, dibantu oleh dua
orang ulama besar, yaitu Sayid Abdullah Dahlan garut, ex. Mufti Besar Madinah al-
Munawwarah, dan Syekh Abdul Jawad Bone.
Beliau juga dibantu oleh murid-murid senior beliau seperti AG H. Daud Ismali, dan
almarhum AG H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Pengajian khalaqah (pesantren) yang
diadakan setiap ba’da shalat Subuh, ba’da shalat Ashar, dan ba’da shalat Magrib, yang
semula diadakan di rumah beliau, dipindahkan kegiatannya ke Mesjid Jami Sengkang.
Pesantren dan Madrasah yang didirikan dan dibina oleh beliau itulah yang menjadi cikal
bakal Pondok Pesantren As’adiyah sekarang. Terus Berkembang
Selain Pesantren dan Madrasah tersebut di atas, AG H. M. As’ad juga membuka suatu
lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an, yang dipimpin langsung oleh
beliau, dan bertempat di Masjid Jami Sengkang. Pada tahun 1350 H/1931 M. atas prakarsa
Andi Cella Petta Patolae (Petta Ennengnge), dengan dukungan tokoh-tokoh masyarakat
Wajo, dibangunlah gedung berlantai dua di samping belakang Masjid Jami Sengkang.
Sesuai dengan wasiat beliau beberapa saat sebelum wafat, peninggalan beliau berupa
Madrasah dan pesantren kemudian dilanjutkan pembinaannya oleh dua murid senior
beliau; AG H. Daud Ismail, dan AG H. M. Yunus Martan.
Pada tanggal 13 Agustus 1999, berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 1959, dan
Keppres RI No. 076/TK/Tahun 1999, Presiden RI telah menganugerahkan tanda
kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepada AG H. M. As’ad, karena jasa-jasa beliau
yang luar biasa terhadapa negara dan bangsa Indonesia. Tanda penghormatan itu diterima
di Jakarta atas nama beliau oleh putra beliau, H. Abd. Rahman As’ad. (Disadur kembali
dari berbagai sumber)
Komentar:
jOUL menulis:
Anak Satu2nya yg menerima Bintang Maha putra di Istana adalah Guru Besar Saya dan
Beliau masih menjadi Imam besar di Masjid Darurrahmah Toddopuli 2 Makassar
Sulawesi Selatan
Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI
(Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah, PSII, PII,
Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A. Wahid Hasyim juga
kemudain duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat
Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik
Indonesia).
Hampir seluruh kota-kota di pulau Jawa mereka singgahi salama zaman pendudukan
militer Jepang dan zaman Revolusi fisik (1945-1949), baik untuk urusan politik maupun
pertahanan TAir selama perang kemerdekaan.
Perkenalan ini terus berjalan hingga 5 hari sebelum KH A. Wahid Hasyim wafat pada
tanggal 19 April 1953 dalam usia 39 tahun. Wafat ketika sedang malakukan tugas selaku
Ketua Umum Pengurus Besar NU (partai politik yang berusia 2 tahun setelah
memisahkan diri dari partai Masyumi).
Musibah itu terjadi tatkala KH A. Wahid Hasyim mengalami kecelakan mobil di desa
Cimindi dekat Cimahi Bandung dalam perjalanan menuju ke Sumedang. Pada hari
wafatnya KH A. Wahid Hasyim telah lebih dari 7 tahun menjalani puasa sepanjang tahun,
kecuali pada hari-hari yang dilarang oleh Islam untuk menjalani puasa (Idul Fitri, Idul
Adha, dan hari Tasriq)
Jika kebetulan dalam perjalanan KH A. Wahid Hasyim harus makan dalam sebuah
restoran dan memesan berbagai jenis makanan ”kelas berat” aneka ragam, maka
tujuannya hanyalah untuk menyenangkan teman dalam perjalanan. Termasuk bila di
rumah, hanyalah untuk menghormati tamu saja.
Pada suatu hari KH Syaifuddin Zuhri menyertai KH A. Wahid Hasyim dalam suatu
perjalanan perjuangan ke daerah Jawa Barat. Seharian penuh keduanya disibukkan
dengan acara-acara yang sangat padat, sekalipun demikian, KH A. Wahid Hasyim tetap
berpuasa (sunnat). Ketika tiba di hotel, waktu sahur telah datang, sementara KH
Syaifuddin Zuhri baru menyadari kelengahannya. KH Syaifuddin Zuhri lupa
menyediakan santapan sahur bagi KH A. Wahid Hasyim.
Di atas meja ada sebutir telur rebus dari sisa santapan sahur kemarin dan segelas teh
bagian KH Syaifuddin Zuhri ketika sore. Dengan sebutir telur dan segelas teh itulah KH
A. Wahid Hasyim bersahur. Padahal bila KH A. Wahid Hasyim mau lebih dari itu, KH
Syaifuddin Zuhri masih bisa membelikannya di sebuah warung dekat hotel yang masih
melayani para pembeli. Di sana masih bisa dipesan nasi goreng, sate ayam, gado-gado
dan sebagainya.
KH A. Wahid Hasyim berpakaian dengan disertai cita rasa dan daya insting yang begitu
kuat. KH A. Wahid Hasyim tahu benar mengenai kecocokan antara situasi dan
keserasianpakaiannya. Mengerti tentang menggunakan setelan celana, dan setelan sarung
dalam waktu yang tepat.
Pada suatu hari KH A. Wahid Hayim diundang Bung Karno ke Istana Presiden di
Yogyakarta. Di sana telah berkumpul Dr. Muhammad Hatta, Haji Agus salim, Mr.
Muhammad Yamin, dan tokoh nasional lainnya. Perundingan politik sedang berlangsung
berhubung atau situasi tanah air. Tiba di Istana Presiden, KH A. Wahid Hasyim langsung
bercengkrama dengan yang tengah menantikan kedatangannya. Sedangkan KH
Syaifuddin Zuhri yang mendampinginya duduk bersama para ajudan dan pengawal dalam
jarak 20 meter. Tiap kali KH A. Wahid Hasyim mengemukakan pendapatnya dalam
diskusi, maka para pejabat tinggi negara itu tergelak tertawa sebagai tanda persetujuan
dalam suasana gembira.
Setelah kira-kira satu jam, pertemuan para pemimpin itu pun usai. KH A. Wahid Hasyim
cepat-cepat meninggalkan mereka, meskipun tampaknya para koleganya ini masih
hendak menahan agar bisa bercengkerama lebih lama lagi. Terasa adanya suasana kangen
antara satu dengan lainnya. Tetapi KH A. Wahid Hasyim cepat-cepat menuju mobilnya.
Dalam mobil KH Syaifuddin Zuhri menanyakan, mengapa menghadiri pertemuan tingkat
tinggi itu, KH A. Wahid Hasyim cuma mengenakan sarung saja? Maka KH A. Wahid
Hasyim menjawab, ”Kedatangn saya bukan karena atas keinginan saya, melainkan atas
permintaan mereka. Buat mereka tidak menjadi persoalan pakaian yang saya kenakan.
Kecuali itu saya sengaja memakai sarung untuk mengangkat harkat kaum bersarung!”
Kemudian KH A. Wahid Hasyim menyambung pernyataannya, ”Para kyai kadang-
kadang tidak dihargai oleh mereka yang sok intilektual hanya karena sarungnya. Padahal
lihatlah, Ki Sarmidi Mangunsarkoro selalu mengenakan sarung, padahal beliau menteri P
dan K!” tandas KH A. Wahid Hasyim.
Membaca Buku
KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato. Terutama
sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir
dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari
referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris
sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.
Meskipun tidak pernah sekolah formal di bangku sekolah pemerintah Belanda, sejak dari
tingkat dasar sekalipun, namun KH A. Wahid Hasyim telah mulai belajar menulis dan
membaca huruf latin sejak dini secara self studie. Dari cara belajar non formal inilah KH
A. Wahid Hasyim mampu mempelajari berbagai buku dalam bahasa Belanda dan Inggris.
Pendidikan Agama
Menginjak usia sekitar 20-an tahun, KH A. Wahid Hasyim telah mulai sering membantu
KH Hasyim Asy’ari menyiapkan kurikulum dalam pesantren dan menjawab surat-surat
ayahandanya dalam bahasa Arab. Surat-surat ini banyak diterima dari para ulama di
berbagai pelosok tanah air yang menanyakan beberapa masalah hukum Islam aktual yang
sedang menjadi topik hanyag di masyarakat. Namanya mulai dikenal masyarakat seiring
seringnya KH A. Wahid Hasyim mewakili ayahandanya menghadiri pertemuan-
pertemuan ilmiah maupun ceramah-ceramah atas undangan pesantren-pesantren di daerah
lain.
Surat-surat yang datang dari teman-teman maupun orang yang tak dikenalnya, selalu
diperhatikan dan dijawab seperlunya. Diceritakan dalam suatu surat, si pengirim
menyatakan dirinya adalah seorang petani miskin yang diperlakukan tidak adil oleh
pamong desanya. KH A. Wahid Hasyim sangat antusias menerima surat dari orang yang
tak dikenal itu, diambulnya mesin ketik dan seketika itu pula ditulis jawabannya dengan
pendek.
”Surat Saudara sangat mengharukan saya. Harap dimaafkan, bahwa pada saat inii saya
belum sempat membalas surat Saudara. Insya Allah saya akan perhatikan benar-benar.
Bahkan saya berpikir akan datang kepada Saudara untuk turut memecahkan persoalan
Saudara. Wassalam”
Benar juga, di hari lain KH A. Wahid Hasyim datang ke daerah Kediri untuk menjumpai
si pengirim surat dan lalu datang kepada camat di daerahnya untuk mencari jalan
penyelesaiannnya. Akhirnya masalah si pengirim surat dapat dipecahkan.
Sudah menjadi kebiasaan KH A. Wahid Hasyim, bila berkunjung kepada seorang teman,
selalu membawa oleh-oleh, baik berupa buah-buahan maupun sebungkus kue dan rokok
bila seorang yang dikunjungi adalah seorang perokok, meskipun KH A. Wahid Hasyim
sendiri tidak merokok. Di dalam sakunya selau ada korek api untuk memberi api teman
bicaranya yang hendak merokok.
Pada suatu hari, KH A. Wahid Hasyim bertandang ke rumah KH Syaifuddin Zuhri.
Seperti biasa jika KH A. Wahid Hasyim datang, maka kawan-kawan dan keluarga KH
Syaifuddin Zuhri pun ikut mengerumuninya. Setelah orang-orang bubar untuk memberi
kesempatan KH A. Wahid Hasyim beristirahat. KH Syaifuddin Zuhri pun menyiapkan
kamar tidurnya untuk bermalam.
Sementara KH Syaifuddin Zuhri dan istrinya menyiapkan kamar tidur untuk tamunya ini,
rupanya KH A. Wahid Hasyim justru asyik membersihkan meja yang terserak-serak,
gelas-gelas bekas minuman dan puntung-puntung rokok yang ditinggalkan oleh para
pengerumun sebentar tadi. KH A. Wahid Hasyim merapikan meja dan kursi dari asbak
tempat menaruh bekas punting rokok.
Sudah tentu KH Syaifuddin Zuhri amat terperanjat dan mencoba mencegah agar KH A.
Wahid Hasyim tidak usah mengerjakan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh tuan
rumah. Namun pada saat itu justru KH A. Wahid Hasyim menjawab dalam bahasa Arab,
”Khalash,” (sudah selesai).
Menurut KH A. Wahid Hasyim, ”Orang-orang tua tidak usah dilihat dari ilmu maupun
kedudukannya, dari segi usia saja, orang yang lebih muda wajib memuliakannya.
Pesantren adalah sebuah sistem pendidikan serta kader vorming yang telah mempunayi
tradisi tersendiri. Pesantren inilah yang menimbulkan salah satu inspirasi bagi Ki Hajar
Dewantara tatkala mencetuskan idenya membangun Perguruan Taman Siswa.
KH A. Wahid Hasyim sendiri tidak sependapat dengan adanya bantuan keuangan dari
pemerintah. Menurut KH A. Wahid Hasyim bantuan pemerintah justru akan
menempatkan pesantren ke arah ketergantungan maupun merasa berhutang budi kepada
pemerintah, baik secara terang-terangan maupun terselubung. KH A. Wahid Hasyim
mengharapkan, pesantren dapat tumbuh dengan tetap berdikari, seperti tradisinya
semenjak berabad-abad. Karena itulah, pada zaman kolonial Belanda, Tebuireng tidak
pernah bersedia menerima subsidi dari pemerintah, meskipum sekolah-sekolah
Muhammadiyah justru menerimanya dengan antusias. Pada zamannya, sikap Tebuireng
ini merupakan pola panutan bagi seluruh pesantren yang berafiliasi kepada NU.
Sebagai seorang tokoh Nahdlatul Ulama maka KH A. Wahid Hasyim bersikap anti-
kolonialisme dan anti-kapitalisme. Karenanya, tidak mengherankan, KH A. Wahid
Hasyim bersama tokoh-tokoh lain dalam NU, mempoerjuangkan hapusnya subsidi
pemerintah kolonial kepada sekolah-sekolah Islam, memperjuangkaan keringanan beban-
beban pembiayayan bagi para jamaah calon Haji di pulau Onrust dan sebagainya.
Penghapusan biaya korban penyembelihan korban pada Hari Raya Idul Adha, menuntut
kepada pemerintah agar para pejabat yang diangkat dalam kedudukan-kedudukan pada
kantor-kantor Kepenghuluan/Qadhi dipilih dari orang-orang yang memiliki standar
pengetahuan hukum Islam dan akhlak Islam dan lain-lain.
Atas dorongan K.H. Mahfudz Shiddiq Ketua Umum PBNU yang dipilih selama 4 kali
kongres (Orang kuat dalam NU), maka pada tahun 1939 KH A.Wahid Hasyim dipilih
menjadi Ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Para anggota MIAI adalah
tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr. Sukiman, Wondoamiseno,
KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan
lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH A.Wahid
Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.
Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian atas
prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro Muslimin
Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan
Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan
penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin
Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.
Taktik politik yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman Jepang ialah, mengambil
unsur kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.
”Kerja sama” dengan Jepang (pada tingkatan pertama) dipandang perlu sebab bangsa
Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik (kekuasaan ) di zaman Belanda tidak
akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak
kemenangan. Kezaliman-kezaliman pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh
KH A. Wahid Hasyim, dijadikan pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan Al-
Qur’an segala yang batil pasti akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami kemenangan
yang panjang.
Meskipun KH A. Wahid Hasyim sudah menjadi menteri sejak dalam kabinet pertama dan
menjadi menteri pula di kabinet-kabinet sesudahnya, namun Beliau tidak melepaskan
kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat. Adalah menjadi pendirianya yang tak
tergoyahkan: tanpa seorang masyarakat seorang menteri tidak ada artinya dalam arti
perjuangan dan pengabdian masyarakat.
Republik Indonesia yang mendapat pukulan-pukulan dari Nica yang hendak menegakkan
kembali penjajahan Belanda atas bekas jajahannya, menyebabkan perlunya penggalangan
Umat Islam Indonesia dalam satu kekuatan. Maka lahirlah Partai Politik Islam
”Masyumi” dalam suatu Kongres yang diselengarakan di Ibu Kota Republik Indonesia,
Yogyakarta, pada November 1945. Nama Masyumi dipergunakan hanya sekedar nama,
bukan dalam arti ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” seperti ketika masih di zaman
Jepang.
Partai Masyumi dipimpin oleh dr. Sukiman, sedang pimpinan Majelis Syuro-nya
dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah selaku Wakilnya.
Adapun KH A.Wahid Hasyim memegang jabatan Ketua Dewan Pertahanan Partai yang
langsung memimpin Markas Tertinggi ”Hizbullah”, yang diketuai oleh Zainul Arifin dan
Markas Tertinggi ”Barisan Sabillah” yang diketuai oleh KH. Masykur. Berhubung
tugasnya di dalam partai ”Masyumi” yang membidani politik pertahanan (kemiliteran),
maka KH A.Wahid Hasyim diangkat oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman menjadi
penasehat pribadinya.
Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid Hasyim
menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar waktunya
dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali menghadapi agresi
Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang penuh pertentangan di
masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para
ulama dan dunia pesantren.
Ketika NU merasa sering dirugikan akibat mekanisme demokrasi yang timpang dalam
Partai Masyumi, maka NU menginginkan berpisah dari Masyumi. Sebagian golongan
yang mempunyai andil besar sering diabaikan aspirasinya disebabkan pimpinan politik
lebih condong pada permainan otoriter berdasarkan klik sistem atau”konco-isme”. Kaum
politisi sering mengabaikan pertimbangan Ulama padahal masalahnya menyangkut nilai
Agama. NU berusaha memperbaiki ketimbangan yang terjadi di dalam Partai Masyumi,
terutama ketika partai tersebut berada di bawah pimpinan Muhammad Natsir dengan grup
elit politisi golongannya. Selama 4-5 tahun usaha NU mengadakan usaha-usaha dari
dalam, tetapi tidak berhasil. Karena tidak ada jalan lain maka koreksi NU ditingkatkan.
Atas prakarsa KH A.Wahid Hasyim, Nahdlatul Ulama mendirikan Biro Pilitik yang
bertugas melakukan perundingan dengan pihak Partai Masyumi untuk mencari jalan islah
menuju mekanisme demokrasi secara sehat. Usaha ini pun mengalami kegagalan. Maka
pada tahun 1950 dalan Kongres NU di Jakarta, Kongres memutuskan NU keluar dari
Partai Masyumi. Namun pelaksanaannya ditangguhkan untuk sementara waktu agar
memberi kesempatan kepada Partai Masyumi meninjau pendiriannya atas koreksi NU.
Bagi NU, Partai Masyumi terlalu mengandalkan kekuatan grup elita politisinya, mengira
bahwa Masyumi telah begitu kuat hingga memandang kecil terhadap kekuatan dan
pengaruh NU. Tahun 1952 NU melangsungkan Kongres di Palembang, dr. Sukiman
selaku ketua Partai Masyumi hadir dalam kongres itu atas undangan NU. Acara
terpenting dalam kongres ialah: apakah NU tetap di dalam Masyumi atau keluar.
Akhirnya kongres memutuskan NU menjelma menjadi partai politik sendiri lepas dari
Partai Masyumi. Kongres juga memilih KH A.Wahid Hasyim menjadi Ketua Umum
Pengurus Besar Partai NU.
KH NUR AHMAD
Usulnya untuk Mengubah Waktu Haji Diterima Pemerintah Saudi Arabia
10/06/2009
Terlahir di Robayan, Jepara pada tahun 1930 Nur Ahmad memulai pendidikannya di
kampung halamannya sendiri, sebelum ia kemudian bersekolah ke Madrasah Taswiquth
Thullab (TBS) Kudus. Selama belajar di TBS memang belum nampak keahliannya
sebagai santri yang hebat. Namun selama belajar di TBS inilah Nur Ahmad mulai
berkenalan dengan pelajaran falak dan berguru secara pribadi (sorogan) kepada KH
Turaichan Kudus dengan memakai rubu’ (alat ukur berbentuk seperempat lingkaran) dan
metode logaritma. Nur Ahmad belajar privat (sorogan) falak karena ia menyukai
matematika.
Menurut penuturannya, Nur Ahmad menekuni pelajaran falak ketika duduk di bangku
tsanawiyah TBS (SMP). Tingkatan tertinggi, karena waktu itu belum ada tingkat Aliyah
(SMU). Waktu itu di Jepara, madrasah setingkat SMP pun belum ada. Di rumah, Nur
Ahmad belajar mencocokkan arloji. Karena terlalu sering diubah-ubah, maka arlojinya
pun sering rusak.
Selama di Madrasah TBS Kudus, Nur Ahmad belajar ilmu falak menggunakan kitab falak
karangan Kiai Mawardi Solo. Nur Ahmad menyalinnya dengan memakai tinta tutul.
Yakni berupa alat tulis yang terdiri dari batang lidi aren lancip dengan tinta cair dalam
botol. Memang demikianlah alat tulis para santri pada zaman itu. Alat ini memiliki
keistimewaan awet, tahan lama dan tidak pudar. Sehingga, meski sekarang telah ada
bolpoint yang praktis, namun banyak santri masih menggunakannya sebagai alat tulis
sampai saat ini.
Karena ketertarikannya pada pelajaran falak, Nur Ahmad tidak puas hanya belajar kepada
satu guru saja, melainkan ia juga belajar falak secara sorogan (privat) kepada beberapa
ulama di Kudus seperti kepada Kiai Rif’an Kudus. Keistimewaan cara belajar Nur
Ahmad kepada Kiai Turaichan adalah, ia belajar langsung tanpa memakai kitab panduan.
Tanpa kitab, sekali belajar harus langsung bisa.
Nur Ahmad memiliki jadwal rutin dengan Kiai Turaichan. Pernah, pada suatu ketika
tidak dapat memenuhi jadwal hingga molor sampai kira-kira sebulan. Maka Nur Ahmad
tidak berani kembali hingga ia bisa menguasai pelajaran selanjutnya. Dan ketika tiba ia
kembali mengaji kepada Kiai Turaichan, maka dia ditanya, ”gimana kamu Nur?” Dan
Nur Ahmad hanya menjawab, ”Sudah bisa Kiai”. Dan Kiai Turaichan pun melanjutkan
pelajarannya.
Perjalanannya menuntut ilmu falak ini dilakukan setelah mendapatkan restu dari gurunya,
KH Turaichan. Yakni setelah Nur Ahmad dianggap telah cukup menguasai dasar-dasar
falakiyah dan membutuhkan bersilaturrahim (mengaji) kepada guru-guru lain. Dari
sinilah Nur Ahmad menguasai banyak metode falakiyah dan mempelajari banyak kitab-
kitab falak seperti Hikmatul Wasaid dan Kurotul wafiyah.
Selama di Salatiga, Nur Ahmad belajar kepada Kiai Zubair, pengarang Khulasotul
Wafiyah), dan di pesantren Widang Langitan, Nur Ahmad mengaji kepada Kiai Abdul
Hadi dan akrab dengan Kiai Faqih Langitan yang merupakan teman satu angkatannya.
Namun selama mengembara ke beberapa Kiai ini, Nur Ahmad selalu menyempatkan diri
untuk mengaji kepada guru pertamanya, KH Turaichan di Kudus. Sehingga Nur Ahmad
merupakan salah satu santri kesayangan sang maestro falak ini.
Selain belajar secara jasmaniah/teknis, Nur Ahmad juga diperintahkan oleh gurunya, KH
Turaichan untuk berguru secara ruhaniah. Cara berguru yang kedua ini berupa perjalanan
ziarah kepada para ulama ahli falak yang telah wafat. Nur Ahmad sering mendapat
perintah, untuk berziarah ke makam-makam ulama falak. Seperti ke pesarean (makam)
Raden Dahlan, Semarang, seorang ulama ahli falak pada zamannya, Kiai Maksum
Seblak, Jombang dan Asy’ari Bawean.
”Jika kamu ingin menguasai falak, berziarahlah kepada Kiai Ma’sum Jombang. Ber-
hadharah (mengirim doa) kepada banyak Kiai, agar barokah,” kata Kiai Turaichan kepada
muridnya ini.
Setelah sekian lama belajar kepada Kia Turaichan, Nur Ahmad pun kemudian muncul
sebagai salah satu ulama ahli falak di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Awalnya, sang guru, Kiai Turaichan Adjhuri es-Syarofi Kudus, sebagai ketua Markas
penanggalan Jawa Tengah, diminta sebagai anggota Lajnah Falakiyah di PBNU dari
perwakilan Jawa Tengah, tetapi tidak berkenan. Lalu Kiai Turaichan diminta untuk
menunjuk perwakilannya. Maka sang guru ini pun menunjuk Kiai Nur Ahmad Jepara
yang merupakan muridnya, sebagai wakilnya di Lajnah Falakiyah PBNU. Peristiwa ini
ini terjadi pada tahun 1969. Maka jadilah KH Nur Ahmad sebagai salah satu pengurus
Lajnah Falakiyah PBNU.
Salah satu alasan, mengapa Nur Ahmad merupakan salah satu di antara para ulama ahli
falak yang diperhitungkan adalah prestasinya mengubah keputusan pemerintah Saudi
Arabia dalam menentukan waktu wukuf pada tahun 1988.
Waktu itu, pemerintah Saudi Arabia berkeras ingin menentukan hari waktu wukuf haji
menurut kehendaknya sendiri. Yakni dipaskan pada hari Jumuah (Jum’at), agar dapat
menjadi momentum Haji Akbar. Pemerintah Saudai Arabiyah berusaha merekayasa agar
wukuf pada musim haji kali ini dapat dilaksanakan pada hari Jumuah, sehingga dapat
dianggap menjadi Haji Akbar.
Melihat gelagat ini, PBNU yang pada waktu itu dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid
pun secara resmi mengutus KH Nur Ahmad untuk meluruskan kesalahan pemerintah
Saudi Arabia. Maka Nur Ahmad pun berada dalam rombongan haji para pengurus PBNU.
Di Makkah, KH Nur Ahmad kemudian membuat penuturan tertulis dalam bahasa Arab
bahwa klaim Saudi Arabiya adalah salah. KH Nur Ahmad menyertakan berbagai
pandangan hingga setebal delapan belas lembar. Penuturan KH Nur Ahmad ini kemudian
dikirim ke beberapa pihak, termasuk pemerintah kerajaan Saudi Arabia dan Kedutaan
Indonesia di sana.
Dalam penuturan tertulisnya ini, Nur Ahmad mendasarkan hitungannya pada perbedaan
awal Dzulqo’dah. Yakni dengan menggenapkan bulan Syawal menjadi tiga puluh hari,
karena bulan Ramadhan sebelumnya, hanya berjumlah dua puluh sembilan hari. Karena
tidaklah mungkin terdapat penanggalan hijriyah dengan 29 hari dalam tiga bulan berturut-
turut.
Selain itu, sebagai utusan PBNU, KH Nur Ahmad mengumpulkan orang-orang Indonesia
yang bermukim di Makkah, untuk move/pressure politik. Kepada mereka KH Nur Ahmad
berpesan, jika benar Kerajaan Saudi Arabia tetap memutuskan dan mengumumkan bahwa
wukuf jatuh pada hari Jumuah, maka mereka harus tetap melaksanakan wukuf pada hari
Sabtu. ”Tolong pinjami saya mobil dan sopirnya, nanti kalian ikut di dalamnya. Kita tetap
akan wukuf pada hari sabtu,” kata Nur Ahmad kepada para mukimin tersebut, yang
sebenarnya adalah para tetangganya dari demak, Lasem dan sekitarnya.
”Dianggapnya pada waktu itu ahli falak di NU hanya Nur Ahmad Jepara saja. Padahal
Nur Ahmad hanyalah Murid Kiai Turaichan Kudus saja.” katanya KH Nur Ahmad
merendah.
Syamsul Hilal
KH Nur Ahmad ini pulalah yang merupakan ”saksi ahli” dalam kejadian penolakan
melihat gerhana matahari secara langsung dengan mata telanjang, yang tetapkan oleh
pemerintah. KH Nur Ahmad tentu tidak kaget ketika perintah keluar masjid dan melihat
gerhana secara langsung dikeluarkan oleh gurunya dari atas mimbar khutbah gerhana.
Bagaimana pun juga Nur Ahmad telah mengetahui sebelumnya, karenya dirinya
merupakan orang yang sangat intens diajak berdiskusi oleh gurunya untuk urusan
falakiyah.
Untuk mengukur sejauh mana kualitas keilmuan Nur Ahmad, dapatlah diukur dari
kedekatannya dengan gurunya. Karena kepercayaan Kiai Turaichan kepada Nur Ahmad,
maka ia sering diajak langsung untuk menemui tamu-tamu penting membicarakan urusan
falakiyah, atau ketrlibatannya sebagai wakil Kiai Turaichan untuk urusan-urusan
falakiyah.
Salah satu yang cukup membuatnya terkesan adalah ketika gurunya, KH Turaichan
didatangi oleh seorang tamu bernama Sa’duddin Jambek dari Sumatera Barat. Tamu ini
datang ke Kudus, tampaknya ingin mencoba menjajaki, sejauh mana ketinggian ilmu
gurunya. Di sini Nur Ahmad adalah murid yang dilibatkan secara langsung untuk
menemui sang tamu.
Tamu ini menanyakan, kitab apa yang digunakan untuk menghitung tinggi hilal (bulan
sabit penanda awal tanggal baru) dari kaki langit (ufuk) terendah. Mengerti maksud
kedatangan tamunya, Kiai Turaichan mulai menjawab dengan menunjukkan kitab falak
yang dianggap paling dasar oleh kalangan santri, yakni Sullamun Nayiroin. Ketika sang
tamu mengerti, maka Turaichan terus menunjukkan pada tingkat di atasnya. Demikian
seterusnya, hingga ketika menunjukkan kitab Syamsul Hilal, sang tamu belum
mengenalinya. Maka rupanya sedemikianlah kemampuan sang tamu. Padahal masih
banyak kitab-kitab lain yang dianggap lebih tinggi daripada Syamsul Hilal.
Salah satu yang membuat KH Nur Ahmad merasa berkesan adalah ketika berguru kepada
Syeikh Yasin Padang. KH Nur Ahmad berguru kepada Syeikh Yasin Padang di Makkah
ketika sedang menunaikan ibadah haji.
Jika pada umumnya, seseorang membutuhkan waktu lama untuk mempelajari sebuah
kitab, dengan Syeikh Yasin Padang, KH Nur Ahmad hanya membutuhkan 3 hari untuk
menghatamkan satu kitab. Alhasil, KH Nur Ahmad pun memiliki banyak pengetahuan
baru bersama Syeikh Yasin Padang.
Dengan cara belajar sepanjang masa inilah, KH Nur Ahmad menjalani kehidupannya
yang sederhana dan bermanfaat. Meski telah memiliki banyak santri di rumahnya, namun
KH Nur Ahmad masih tetap belajar kepada banyak guru dan menimba ilmu kepada para
ulama lainnya.
Syaifullah Amin
(Ditulis berdasarkan penuturan KH Nur Ahmad kepada tim NU Online di rumahnya,
Jepara, pada Sabtu 7 Maret 2009)
Komentar:
ali maftukin menulis:
gus di atas ad pernyataan 'kalau pengen jadi ahli falak. ziarahlah ke makam ahli falak
untuk berhadharah. supaya barokah". gus sekali-sekali aku di ajak ziarah dong!
erwan a menulis:
dimanakah alamat beliau atau no telponny yg dapat kami hubungi mengingat sudah 1
tahun lebih arah kiblat mushollaku sudah 2x berubah....membingungkan umat
Para muballigh misalnya, ada juga yang tetap dipanggil Ustadz, yaitu orang yang
membawakan khutbah dan ceramah di masyarakat. Namun belum bisa dijadikan sebagai
suatu rujukan bertanya berbagai hal keagamaan. Sementara posisi tingkat Anregurutta ini
dijadikan sebagai tempat bertanya berbagai persoalan dan kehidupan secara umum.
Ustadz dikenal hanya dalam kelompok kecil, misalnya kelompok pengajian dan ceramah-
ceramah umum.
Salah satu di antara para pejuang dakwah islamiyah di tanah Bugis yang digelarai
Anregurutta ini adalah Anregurutta Haji (AGH) Daud Ismail. Sosok ulama besar
Sulawesi Selatan yang memiliki peran penting terhadap pengembangan syiar Islam di
Sulawesi Selatan. Beliau adalah salah seorang arsitek berdirinya Datud Da’wa wal Irsyad
(DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh
Pabbajah serta ulama-ulama sunni Sulawesi Selatan lainnya. Gurutta Daud Ismail juga
dikenal sebagai ulama ahli tafsir bahkan ia berhasil membuat tafsir (terjemahan) Al-
Qur’an sebanyak 30 juz dalam bahasa Bugis.
Pendidikan Otodidak
Beliau Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907 M., buah
perkawinan dari pasangan H. Ismail dan Hj. Pompola. Daud Ismail mengawali
pendidikannya dari kolong rumah. Di sana Gurutta mulai belajar mengaji Al-Qur’an pada
orang tua kandungnya. Kemudian melanjutkan pendidikan ke pesantren-pesantren di
Sengkang. Dari sinilah Daud Ismail memiliki banyak guru dari kalangan ulama
Sengkang.
Daud Ismail adalah seorang yang otodidak, sejak kecil belajar sendiri untuk mengenal
aksara Lontara dan Latin. Kendati demikian, beliau juga pernah menimba ilmu pada
banyak guru, baik di Soppeng (Kabupaten Soppeng) maupun di Soppeng Riaja
(Kabupaten Barru), Sulawesi Selatan.
Antara tahun 1925 – 1929 Daud Ismail juga belajar kitab qawaid di Lapasu Soppeng
Riaja, sekitar 10 KM dari Mangkoso, 40 KM dari Kota Pare Pare. Di sana Daud Ismail
belajar pada seorang ulama yang bernama Haji Daeng. Pada masa itu pula Daud Ismail
belajar kepada Qadhi Soppeng Riaja, H, Kittab.
Setelah Anregurutta H. Muhammad As’ad kembali dari Tanah Suci dan mendirikan
Pesantren Bugis di Sengkang pada tahun 1927 yang bernama Al-Madrasatul Arabiyah
Al-Islamiyah (MAI), maka pada tahun 1930 Daud Ismail kembali ke Sengkang untuk
belajar kepada Anregurutta H.M. As’ad dan termasuk santri angkatan II, setelah
Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle.
MAI ini merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua yang dikenal masyarakat di
Sulawesi Selatan. MAI Sengkang Wajo didirikan pada bulan Zulkaidah 1348 H. atau
bertepatan bulan Mei 1930 M. oleh Anregurutta As’ad yang baru saja kembali dari
Mekkah pada tahun 1928 setelah menyelesaikan masa belajarnya pada Madrasah Al-
Falah Mekah. Pada awal-awal berdirinya, MAI Sengkang Wajo hanya merupakan
pengajian pesantren yang pelaksanaannya mengambil tempat di rumah kediaman
Anregurutta As’ad sendiri. Setelah santrinya bertambah banyak tempat pelaksanaan
pengajiannya dipindahkan ke Masjid Jami’ Sengkang.
Selama belajar di Sengkang Daud Ismail merasakan banyak sekali kemajuan khususnya
dalam menguasai kunci ilmu-ilmu agama. Misalnya, Ilmu Qawaid, Ilmu Arudh, Ilmu
Ushul Fiqhi, Ilmu Mantiq dan lain-lainnya. Hal itu cukup dirasakan oleh Daud Ismail
karena metode mengajar yang diterapkan oleh Gurutta H.M. As’ad terbilang sudah lebih
maju dari metode yang didapatkan sebelumnya. Sehingga menurut pengakuan Daud
Ismail, santri-santrinya cepat menguasai apa yang diajarkan.
Salah satu kesan mendalam Daud Ismail kepada Anregurutta As`ad, ketika gurunya ini
mengajarkan ilmu Arudh yang diajarkan setelah Shalat Isya, hingga larut malam. Bahkan
terkadang sampai sekitar jam satu malam. Anehnya, Gurutta Daud Ismail hanya diajarkan
ilmu Arudh ini selama satu malam saja. Keesokan harinya beliau langsung diberi kitab
untuk dipelajari sendiri.
Inilah salah satu kelebihan dan keunikan Anregurutta As`ad dalam mendidik santri-
santrinya. Misalnya, ketika belajar ilmu Arudh ini, Anregurutta As’ad hanya memilih
sejumlah santri pilihan untuk diajar satu malam saja memberikan penjelasan kepada
santrinya tanpa buku pegangan. Namun keesokan harinya santri-santrinya telah mampu
menerapkannya dalam menelaah kitab kuning. Padahal ilmu Arudh termasuk salah satu
cabang ilmu yang paling sukar dipelajari di dunia pesantren.
Setelah belajar langsung kepada Anregurutta As`ad di Sengkang, Daud Ismail kemudian
dipercayakan untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, meskipun beliau
tetap belajar kepada Anregurutta As’ad. Kebetulan pada waktu itu, belum ada tingkat
Aliyah. Sejak saat itulah, orang-orang mulai memanggilnya Gurutta (panggilan
kehormatan setingkat di bawah Anregurutta) Daud Ismail.
Bersama Gurutta Daud Ismail ini pula Anregurutta As’ad membentuk tim pengajar.
Sehingga Anregurutta As`ad tidak lagi langsung berhadapan dengan santri-santri baru
(yunior). Tapi hanya berhadapan langsung dengan beberapa santri senior. Dari santri
senior inilah kemudian mengajarkan kepada santri yang lain sesuai tingkatan masing-
masing.
Gurutta Daud Ismail temasuk santri yang paling disayangi oleh Anregurutta As`ad. Hal
itu dibuktikan dengan ketatnya pengawasan kepada beliau. Gurutta Daud Ismail tidak
diizinkan meninggalkan pesantren, hingga memasuki masa sulit ketika harus
meninggalkan Sengkang.
“Laing memetto gurutta Sade` usedding batena mappa`guru”, (Saya merasakan memang
agak lain waktu saya belajar pada Gurutta Sade – panggilan akrab bagi Anregurutta
Muhammad As`ad - dibanding waktu saya belajar di tempat lain), demikian kenang
Gurutta Daud Ismail tentang gurunya ini.
Tak lama kemudian, pada tahun 1942 – 1943 beliau diminta mengajar di Al-Madrasatul
Amiriyah Watang soppeng menggantikan Sayyed Masse. Dan waktu itu juga beliau
diangkat menjadi Imam Besar (Imam Lompo). Hingga akhirnya beliau memutuskan
meninggalkan perguruan tersebut, karena dibatasi gerakannya oleh Nippon dan adanya
latihan menjadi tentara Jepang (PETA).
Pada tahun 1942 M. ini pula Daud Ismail diangkat sebagai Imam Besar di Lalabata,
Kabupaten Soppeng, sambil mengajar pada sebuah madrasah. Beliau juga pernah menjadi
guru pribadi bagi keluarga Datu Pattojo, tepatnya pada tahun 1944. Karena diakui sebagai
seorang ulama yang berilmu luas dan mendalam, Daud Ismail diangkat sebagai Kadhi
(hakim) di Kabupaten Soppeng pada tahun 1947. Jabatan ini beliau sandang hingga tahun
1951. Kemudian antara tahun 1951-1953, beliau menjabat sebagai pegawai di bidang
kepenghuluan pada Kantor Departemen Agama Kabupaten Bone. Sejak saat ini Daud
Ismail telah mulai biasa disapa sebagai Anregurutta.
Sepeninggal Anregurutta As‘ad (1952 M), Anregurutta Daud Ismail diminta oleh para
pemuka masyarakat Wajo dan sesepuh Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) untuk
datang ke Sengkang melanjutkan pembinaan madrasah yang ditinggalkan oleh
Anregurutta Muhammad As‘ad. Pada tahun 1953 nama Madrasah Arabiyah Islamiyah
(MAI) diubah pada tahun 1953 menjadi Madrasah As‘adiyah sebagai penghormatan dan
penghargaan kepada Anregurutta M. As‘ad.
Kembali ke Sengkang merupakan wasiat dari Anregurutta As’ad, bahwa Gurutta Daud
Ismail harus kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI. Maka meskipun dengan resiko
harus meninggalkan status pegawai negerinya, Anregurutta tetap memenuhi wasiat
gurunya tersebut. Namun. Anregurutta Daud Ismail hanya menetap dan memimpin MAI
Sengkang selama 8 tahun. Karena adanya desakan dari Soppeng agar beliau kembali
membina madrasah di daerahnya. apalagi waktu itu beliau merasa sudah ada kader-kader
ulama yang dapat menggantikan Anregurutta Daud Ismail.
Setelah meninggalkan Sengkang pada tahun 1961, Anregurutta Daud Ismail kembali ke
Soppeng. Ia mendirikan sekaligus mengetuai Yayasan Perguruan Islam Beowe
(YASRIB) dan membuka Madrasah Muallimin pada tahun 1967. Pada masa ini
Anregurutta Daud ismail juga diangkat kembali menjadi Qadhi (untuk kedua kalinya) di
Soppeng.
Menulis Kitab
Suku Bugis dikenal sebagai salah satu suku di Indonesia yang sangat kental menganut
dan melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam. Untuk keperluan itu, mereka sangat
bergantung pada apa yang mereka peroleh dari al-Qur‘ân, sehingga tafsir al-Qur‘ân
memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaannya.
Atas dasar yang demikian, maka Anregurutta Daud Ismail melahirkan sebuah karya tafsir
berbahasa Bugis. Upaya ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada
masyarakat Bugis untuk lebih mudah mengakses dan memahaminya. Terutama sekali
adalah agar adanya aksara Lontara, yaitu huruf abjad bahasa Bugis, tidak lekas punah.
Tujuan beliau menyusun buku tafsirnya adalah untuk memelihara bahasa Bugis dari
kepunahan. Untuk itu, beliau berharap agar karyanya itu ditempatkan di masjid-masjid,
sehingga jemaah dapat dengan mudah membacanya. Hal ini merupakan salah satu upaya
mempertahankan eksistensi bahasa Bugis.
Sejarah eksistensi terjemah dan tafsir Al-Qur’an, di Sulawesi Selatan sendiri sudah cukup
panjang. Upaya untuk menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur’an ke dalam bahasa
Bugis telah dimulai sejak tahun 1948. Pada waktu itu, sebuah buku tafsir kecil terbit di
Sengkang (Kab. Wajo) yang ditulis oleh Anregurutta M. As‘ad (w. 1952 M), guru dari
Anregurutta Daud Ismail.
Karya lain yang pernah ditulis Anregurutta Daud Ismail, antara lain Ashshalatu Miftahu
Kulli Khaer (bahasa Bugis), Carana Puasae, kitab-kitab ini ditulis dalam bahasa Bugis.
Sementara Tafsir dan Tarjamah Al-Qur’an 30 Juz dalam bahasa Bugis merupakan karya
tulis terbesarnya.
Komentar:
taukhid menulis:
Subhanallah, sungguh luar biasa perjalanan yang telah ditempuh oleh ulama besar ini.
Semoga Allah swt menguatkan kita untuk meneruskan langkahnya; "menjaga nilai-nilai
Islam melalui proses belajar dan mengajarkannya kepada orang lain secara terus-
menerus". Allahummaghfirlahu warhamhu wa'aafihi wa'fu 'anhu.
Sejarah Keluarga
Pada kisaran perempat perteama abad ke-19, Kerajaan Palembang Darussalam telah
kehilangan kendali atas wilayahnya sendiri. Sultan Najamuddin dibuang oleh Belanda ke
Banda Aceh dan pemerintahan palembang dikendalikan oleh seorang Residen Belanda.
Banyak para bangsawan menyingkir keluar daerah, salah satunya adalah Kiagus
Abdurrakhman, kakek Kyai Saleh Lateng. Kiagus Abdurrakhman ini kemudian menetap
di Sumenep dan menikah dengan seorang perempuan setempat bernama Najihah.
Pernikahan ini dikaruniai tiga orang anak. Namun hanya seorang yang kemudian
meneruskan silsilah keturuanan, yakni Kiagus Abdul Hadi –ayahanda Kyai Saleh, yang
kemudian pindah dan menetap di Banyuwangi.
Terlahir di Kampung Mandar Kota Banyuwangi pada hari Ahad, 6 Ramadhan 1278 H.
bertepatan dengan 07 Maret 1862 M. dengan nama Kiagus Muhammad Saleh. Ibunya
berasal dari Panderejo Banyuwangi bernama Aisyah. Nama Kyai Saleh ini yang terkenal
selama hidup hingga sepeninggalnya. Meski setelah berhaji, namanya berganti menjadi H
Muhammad Syamsuddin, namun dalam keseharian Beliau selalu menuliskan namanya
dengan Saleh saja. Dengan demikian ia tetap dikenal oleh masyarakat sebagai Kyai Saleh
saja.
Banyuwangi pada masa kecil Kiagus Muhammad Saleh berada dalam kondisi yang
sangat memprihatinkan, baik dari sisi material maupun secara spiritual. Rakyat miskin
akibat penjajahan dan suasana pertengkaran antar kelompok masyarakat menjadikan
suasana semakin menakutkan. Gank-gank yang terbukti tidak berdaya melawan kekuatan
asing, saling terlibat permusuhan dan pertikaian untuk menaikkan gengsi pribadi dan
golongan. Belum lagi hasutan politik adu domba Belanda yang menjadikan kondisi ini
terus berlarut-larut.
Kendati terlahir di tengah kemerosotan moral masyarakat, namun masa kecil Kiagus
Muhammad Saleh dilalui dengan cara-cara sangat islami. Sedari kecil Muhammad Saleh
belajar mengaji kepada ibu dan bapaknya, serta lingkungan keluarganya. Pada usia
remaja Saleh mulai belajar mengaji ke luar daerah. Pada usia 15 tahun, Saleh mondok di
Kyai Mas Ahmad, Kebon Dalem, Surabaya. Tak lama kemudian, ia meneruskan
pelajarannya ke Bangkalan Madura, kepada Kyai Kholil. Di Bangkalan ini, Saleh
menjadi khodim (pelayan) Kyai Kholil. Termasuk bersedia menemani anak Kyai kholil,
Hasan mencari uang, untuk keperluan berangkat Haji.
Selama di bangkalan ini pula Saleh belajar berbagai ilmu, termasuk ilmu-ilmu kesaktian
yang kelak akan digunakan secara langsung untuk memperbaiki masyarakatnya. Selain di
Bangkalan, Saleh juga meneruskan pencarian ilmunya hingga ke Bali, yakni kepada Tuan
Guru Muhammad Said Jembrana, Bali.
Selepas menuntut ilmu di Bali, Saleh bertekad meneruskan pelajarannya ke Tanah Suci.
Saleh menghabiskan masa belajarnya di Mekkah selama enam tahun sebelum diminta
pulang oleh gurunya, Kyai Kholil Bangkalan. Kala itu, selain belajar, Saleh juga telah
mengembangkan ilmunya kepada para pelajar lainnya di sana. Saleh telah membuka
pengajian di Mekkah dengan menggunakan empat bahasa. Namun Saleh meminta waktu
satu tahun lagi untuk Belajar di sana. Permintaan ini pun diijinkan oleh gurunya tersebut.
Setahun kemudian, kira-kira tahun 1900 M. sekitar umur 38 tahun, Kiagus Saleh kembali
ke kampung halamannya di Banyuwangi. Kiagus Saleh kemudian menetap di kampung
Lateng Banyuwangi, dan selanjutnya terkenal sebagai Kyai Saleh Lateng. Kyai Saleh
secara resmi mendapatkan ijin mengajar di langgarnya di Lateng dari Bupati
Banyuwangi, Koesoemonegoro pada 4 Maret 1909 M. Dari sinilah Beliau mulai
mengabdikan dirinya untuk perbaikan kualitas masyarakat Banyuwangi. Sedikit-demi
sedikit, wilayah dakwahnya semakin meluas hingga ke seluruh penjuru Banyuwangi.
Dalam pengajaran kepada murid-muridnya, Kyai Saleh Lateng sangat menjunjung sikap
tegas terhadap penjajahan. Ia sering berpesan kepada santri-santrinya untuk berusaha
keras menjadi orang pintar agar tidak terus dijajah oleh bangsa lain. Selain mengajarkan
ilmu-ilmu agama, Kyai Saleh juga mengajarkan kesaktian-kesaktian yang dipelajarinya
sejak mondok di Bangkalan. Dengan demikian, murid-murid Kyai Saleh bukan hanya
terdiri dari kaum santri yang taat beribadah. Melainkan juga para jagoan dan
bromocorah-bromocorah setempat yang ingin menambah kesaktian. Sehingga banyak
sekali algojo dan tanjak seblang di seluruh wilayah Banyuwangi yang menjadi santrinya.
Dari sinilah kemudian Kyai Saleh lateng muncul sebagai tokoh pemersatu masyarakat
Blambangan. Kelompok-kelompok yang tadinya bertikai, mulai disatukan dengan alasan
sesama murid dari lateng dilarang saling bermusuhan. Lambat laun para jagoan lokal dan
para penyamun jalanan mulai menghentikan operasinya, karena mematuhi perintah Kyai
Saleh Lateng. Semboyan “satu guru jangan saling mengganggu” rupanya mampu
meredam perpecahan di antara masyarakat Banyuwangi kala itu. Sebagai sesama murid
Kyai Saleh Lateng, mereka mulai menghentikan pertikaian dan permusuhan.
Kepada masyarakatnya, Kyai Saleh sangat mengayomi dan membuka konsultasi seluas-
luasnya. Mengedepankan saling silaturrahim dan mendamaikan mereka yang sedang
terlibat pertengkaran. Dengan demikian berangsur-angsur terbangunlah persatuan dan
kesatuan Banyuwangi.
Kehidupan Keorganisasian
Sebagai salah satu tokoh kunci persatuan masyarakat Banyuwangi, Kyai Saleh
memegang peranan cukup penting dalam membidani kelahiran Nahdlatul Ulama (NU),
terutama di Wilayah Blambangan. Demi menyambung perjuangan keagamaan dan
perjuangan kemerdekaan pada taraf yang lebih luas, Kyai Saleh bergabung dengan para
ulama dari daerah lain. Baik melalui jaringan pertemanan sewaktu masih menjadi santri
di Surabaya dan Madura maupun jalinan persaudaraan dengan teman-temannya selama
menuntut Ilmu di Tanah Suci.
Dalam berorganisasi, Kyai Saleh Lateng bergabung dengan Sarekat Islam. Pada tahun
1913 Beliau memimpin Rapat Umum Sarekat Islam yang diadakan di Kawedanan
Glenmere Banyuwangi. Selanjutnya, pada 16 Rajab 1344 H. bertepatan dengan 31
Januari 1926 M. bersama dengan tokoh-tokoh ulama Nusantara lainnya, Kyai Saleh
Lateng juga merupakan salah seorang yang naik di atas panggung (podium) untuk turut
memberikan kontribusi dan dukungan pada pertemuan Komite Hijaz.
Pada hari yang kemudian dikenal sebagai hari kelahiran Nahdlatul Ulama ini, Kyai Saleh
Lateng ditunjuk oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah untuk menjadi
anggota Muassis-Mukhtasar (formatur) pembentukan pengurus Nahdlatul Ulama yang
pertama.
Kyai Saleh lateng juga termasuk orang yang sangat tegas dalam menolak kompromi
dengan pemerintah penjajah. Pernah pada masa-masa akhir penjajahan Belanda di
Indonesia, Kyai Saleh ditawari oleh bantuan oleh Belanda untuk pembangunan
pesantrennya. Bahkan konon, Van Der Plass sendiri yang datang menemui Beliau.
Namun bantuan ini ditolak mentah-mentah oleh Kyai Saleh.
Kyai Shaleh juga memiliki andil dalam pembentukan awal awal kementrian Republik
Indonesia. Menurut cerita, suatu ketika, Menteri Agama Republik Indonesia pertama
KHA Wahid Hasyim mencari kitab yang akan digunakan sebagai pedoman pembentukan
organ kementrian. Konon menteri agama mencarinya ke seluruh pondok pesantren
kenalannya, namun belum juga menemukannya.
Maka KHA Wahid Hasyim kemudian mengutus seorang kurir untuk menanyakannya
kepada Kyai Saleh Lateng yang pada waktu itu masih berada di tempat persembunyian di
Pakisaji Kabat. Kurir tersebut meminta dengan membeli atau mengganti harga atas kitab
tersebut. Maka Kyai Saleh Lateng pun kemudian memberikan kitab bernama Mu’jamul
Buldan tersebut dengan bersedia menerima separo harga dari harga semestinya. Kitab ini
merupakan salah satu sumbangan Kyai Saleh Lateng dalam pembangunan organ
Departemen Agama Republik Indonesia.
Kehidupan Bermasyarakat
Sebagai seorang ulama yang telah dididik dalam norma-norma agama yang kuat, baik di
lingkungan keluarga maupun di pesantren, Kyai Saleh selalu mengamalkan prinsip-
prinsip pergaulan islami dalam bermasyarakat. Beliau memiliki sikap yang tegas dan
berani dalam menyatakan kebenaran dan keadilan. Bahkan meski sering hal tersebut
dianggap merugikan.
Sifat budi baik lainnya adalah, Kyai Saleh tidak memilih-milih dalam pergaulan
kemasyarakatan. Beliau banyak memiliki santri dari berbagai kalangan, baik dari
masyarakat santri yang taat maupun dari kelompok keluarga para bromocorah. Termasuk
pula, Kyai Saleh tidak membeda-bedakan tingkat ekonomi para muridnya. Kyai Saleh
tidak membedakan antara santri anak orang kaya, pejabat dan rakyat miskin kebanyakan.
Sebagaimana umumnya para ulama, Kyai Saleh sangat gemar membaca al-Qur’an ketika
sedang sendirian dan sedang tidak mengajar santri. Kyai Saleh juga senantiasa
mentradisikan pengadaan peringatan-peringatan hari besar Islam. Termasuk peringatan
Haul gurunya, Kyai Kholil Bangkalan.
Kebiasaan-kebiasaan amar ma’ruf nahi mungkar dan disertai dengan keteladanan dalam
mentradisikan kebajikan serta tolong-menolong antar sesama senantiasa melekat dalam
diri Beliau, hingga akhir hayatnya.
Kyai Saleh Lateng berpulang ke Rahmatullah pada malam Rabu, tanggal 29 Dzulqo’dah
1371 H. bertepatan dengan 20 Agusrus 1952 dalam usia 93 tahun. Atas Izin bupati
Banyuwangi, Usman, maka jenazahnya disemayamkan pada jarak kurang lebih sepuluh
meter di sebelah selatan langgar, tempat Beliau biasa memberikan pengajian kepada
santri-santrinya.
Dan untuk mengenang jasa-jasa beliau, maka pada tahun 1956 DPRD Kabupaten
Banyuwangi menyepakati adanya seruas jalan dengan nama Jalan Kyai Saleh Lateng.
Meski jasad Kyai Saleh Lateng telah tertimbun di tanah, namun jasa-jasanya senantiasa
dikenang oleh seluruh masyarakat, dan perjuangannya akan senantiasa dilanjutkan oleh
santri-santri penerusnya. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa-dosanya dan
melimpahkan rahmat untuk kemuliaan ruhnya. Amin Wallahu A'lam bisshowab. (Disadur
dari buku Biografi Kyai Saleh, karya H. Abd, Manan Syah). Syaifullah Amin
Komentar:
Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak
yang memiliki banyak rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan
limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama
bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat
menghapal Al Qur’an.
Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo, Gurutta tidak dibiarkan menjadi
bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan
kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Bersekolah di Volk School (Sekolah
Rakyat) pada pagi hari dan belajar mengaji pada sore dan malam harinya. Dalam dunia
permainan anak-anak, Ambo dale adalah seorang penggiraing bola handal sehingga
digelari “Si Rusa.”
Selama Belajar, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid,
qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikih saja.. melainkan juga mengikuti kursus bahasa
Belanda di HIS dan pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat
Islam (SI) di Makassar.
Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan
(sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak
pembicaraan guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-
Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke
negeri leluhurnya, Ambo dale segera berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari
guru besar tersebut.
Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo
yang kembali dari Mekkah. Di antaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji
Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi,
dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama
Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu,
lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah.
Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan
Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab
Saudi).
Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AGH. Muhammad As’ad, beliau mulai meniti
karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama,
Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H.
Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi
madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas
bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Maka dibukalah pendidikan awaliyah
(setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu
diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya
diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan AGH. As’ad dan ulama lainnya. Ambo
Dalle bahkan kemudian diserahi tugas memimpin lembaga itu. Dalam waktu singkat,
popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem
madrasah), menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.
Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M.Yusuf
Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Maka
ketika H.M.Yusuf Andi Dagong ini diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun
1932, ia pun lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun,
mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman
masyarakat terhadap agama yang dianutnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama,
diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang: pesantren) dengan
mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu
membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M. As’ad mengizinkan muridnya, yaitu
Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan
dibuka di Mangkoso.
Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat
pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama. Tempat-tempat tersebut adalah Pulau
Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila
dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional
berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena
telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan
pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng
Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI
Sengkang.
Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta HM.As’ad tidak menghendaki ada
cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan
kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui
negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan
masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle.
Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H.
Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari
Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari
itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang
sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal
kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti
dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk Gurutta dan
keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso.
Zaman Jepang
Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku
imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai
menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti
yang dilakukan di madrasah. Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak
kehilangan siasat. Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan
di dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan
jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar.
Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan
mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota
kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu. Ajaib, dengan
cara itu justru mengundang peminat yang kian bertambah dan luput dari pengawasan
Jepang. Malah, ada beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal Gurutta Ambo Dalle
secara dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat dalam sehingga
menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah kharisma Gurutta
Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata dalam masyarakat
sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya.
Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak habis-habisnya. Masyarakat
akan selalu terkesan bagaimana Sang Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh
sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km pulang
pergi. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena beliau
juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu mejadi
sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle, jiwanya telah
terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh sehingga semua
dijalani dengan ikhlas dan ridha.
Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau dihadapkan pada
kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan
kemerdekaan. Di mana-mana gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok tanah air.
Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya
nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata,
berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu
yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad.
Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidak serta
merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi rakyat. Ancaman datang lagi dari
Belanda melalui agresi Sekutu/NICA. Rakyat dari berbagai pelosok bangkit mengadakan
perlawanan. Terjadilah peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Peristiwa Korban
40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando Kapten Westerling
mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang dituduh sebagai
ekstrimis.
Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri-santri
yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di
cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Diantara
yang menemui syahid itu tercatat nama M. Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri
MAI Mangkoso yang ditugaskan mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan
tugasnya.
Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi
dan pendidikan. Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat
dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara.
Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk itu,
manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai
institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom didirikan,
antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang kepanduan dan
kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi,
Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan
perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan
guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan
zaman.
Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama
sekali tidak punya peluang untuk keluar dari hutan dan kembali ke kota. Maka,
terbersitlah pikiran Gurutta agar lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti
yang ia cita-citakan sejak kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan
keluarganya di hutan. Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah
tampaknya mendapat benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut
faham Wahabi dan sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak
mengherankan jika sering terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan
pengikut setianya.
Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah perjuangan idealisme
kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta.
Kemana ia pergi Gurutta selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena
tembakan dari serangan TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan,
berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid
Gurutta.
Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin
menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-
pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal
itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari
hutan. Beliau dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama
mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu
itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi
dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama
memendam rindu, baru berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang
bisa dipetik dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai
kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu.
Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung
memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para
pejuang yang minta didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang
Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi
(TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa pada
tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam
memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali dari Jawa dan
hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada tanggal 20 Januari 1947
atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak Mangkoso bersebelahan dengan
Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI Sulawesi
Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin (sekarang Kodam VII
Wirabuana).
Hijrah Ke Kaballangan Pinrang
Pada tahun 1977, pemilu kedua berlangsung selama zaman orde baru. Pada waktu itu,
kondisi politik Indonesia terasa sangat panas. Baranyanya pun bergulir sampai ke kampus
DDI Ujung Lare Parepare. Berkaitan dengan peristiwa pemilu ini, Gurutta berada dalam
kondisi yang cukup dilematis. Keadaan memaksa beliau untuk memilih. Atas dasar demi
menyelamatkan organisasi dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, akhirnya
AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan diri bergabung dengan Golongan Karya
(Golkar), partai politik yang berkuasa saat itu. Itupun setelah melalui perenungan dan
kontemplasi yang matang dan didahului dengan shalat istikharah, untuk memohon
petunjuk Illahi Rabbi agar dapat menentukan dan memilih jalan yang terbaik. Gurutta
KH. Ambo Dalle memilih ikut bersama dengan pemerintah membangun bangsa dan
negara daripada harus berseberangan jalan.
Meskipun pilihan politik itu bersifat pribadi, tidak membawa DDI sebagai lembaga, tapi
tampaknya sikap ini tidak menghembuskan angin segar dalam internal warga DDI?
Diantara tokoh DDI dan murid-muridnya banyak yang tidak setuju dengan sikap yang
diambil Gurutta. Sikap itu dianggap sudah keluar dari garis perjuangan DDI. Hal itu
berdampak pada keterpecahan sikap dari para santri tempat beliau memimpin. Peristiwa
ini memberi dampak serius terhadap mekanisme pendidikan di Pesantren DDI Ujung
Lare dan Ujung Baru Parepare yang dipimpin langsung oleh Gurutta. Kedua kampus itu
nyaris kosong ditinggalkan oleh santri-santri yang tidak bisa menerima sikap politik
Gurutta. Akhirnya para santriwati yang tadinya tinggal di Ujung Baru ditarik ke Ujung
Lare untuk bergabung dengan santri putra yang masih bertahan.
Peristiwa tersebut membuat Gurutta sangat kecewa sehingga hampir saja membuatnya
hijrah ke Kalimantan Timur. Ketika itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sana
menunggunya. Issu ini sempat tercium oleh Bupati Pinrang (Andi Patonangi). Beliau lalu
menawarkan kepada Gurutta sebuah kawasan di daerahnya untuk dijadikan pesantren.
Tahun 1978, akhirnya Gurutta hijrah lagi ke Pinrang, tepatnya di desa Kaballangan.
Itulah awal berdirinya Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang yang dipimpin
langsung oleh beliau. Sedangkan pesantren di Parepare diserahkan kepada KH. Abubakar
Zaenal.
Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kedekatan Gurutta dengan Golkar dan
pemerintah orde baru, selain telah menorehkan pengalaman pahit bagi DDI, harus diakui
pula telah mendatangkan kebaikan bagi DDI. Tidak ada lembaga pendidikan dan
organisasi Islam, khususnya di Sulawesi Selatan, yang demikian diperhatikan oleh
pemerintah melebihi perhatian terhadap DDI. Pembangunan Pondok Pesantren DDI
Kaballangan, misalnya, tidak lepas dari perhatian dan bantuan pemerintah. Pesantren
putra yang dipimpin langsung oleh Gurutta itu tidak pernah sepi dari kunjungan pejabat,
sipil dan militer, baik dari provinsi maupun pusat. Tentu saja, kunjungan itu membawa
sumbangan untuk pesantren. Meskipun begitu, hubungan baiknya dengan pemerintah
tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi. Juga kedekatan itu tidak
mengorbankan kharismanya sebagai ulama anutan yang disegani.
Dikemukakan bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan Rasulullah
berdasarkan dalil-dalil naqli. Hati harus istiqamah dan tidak boleh goyah. Pendirian dan
sikap aqidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang
terdiri dari tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini
kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal Jama’ah.
Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab Tanwirut Thalib,
Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab. Tentang ilmu balagha (sastra dan paramasastra)
bukunya berjudul Ahsanul Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I, menerangkan kosa
kata, dan cara penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah, menerangkan
kosa kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol adalah kitab Irsyadul Salih.
yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas bait-bait kaidah ilmu Nahwu)
AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam Bahasa
Arab, yakni kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) dalam kitab
Miftahul Fuhum fil Mi’yarif Ulum. Aktivitas tulis menulis yang dilakukan oleh Gurutta
kiranya tidak terlalu berat, karena panggilan untuk mengukirkan gagasan dalam kanvas
sudah beliau lakoni sejak berumur 20 tahun.
Kepribadian Gurutta
Sebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam, Gurutta KH. Abd. Rahman Ambo
Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik santrinya maupun dengan masyarakat
dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa
pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang
perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang
kokoh untuk menegakkan berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki jaringan
cabang yang sangat luas hingga keluar negeri. Kedekatannya dengan semua golongan
terkadang membuat beliau mempunyai “banyak anak” sebagai anak angkat yang tidak
dibedakan dengan anak kandungnya sendiri. Seperti pengakuannya dalam sebuah media,
“Bagi saya, semua orang seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara adil tidak
peduli apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan Wapres) ketika
menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai anak. Gurutta pun
menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai bukti dan mengajarkan beberapa
doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila Try Sutrisno ke Sulawesi Selatan, selalu
meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Gurutta.
Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar di Pesantren DDI, khususnya di
Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan, diperlakukan sama, baik santri laki-laki maupun
perempuan. Beliau selalu menaruh rasa cinta dan sayang kepada siapapun yang dianggap
memiliki kemampuan belajar tanpa memandang latar belakang keluarga. Sebagai contoh,
beliau pernah memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada ditangannya sebagai
hadiah kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gurutta.
Dalam kegiatan kemasyarakatan, Gurutta sangat intens dalam memberikan perhatian dan
meluangkan waktunya untuk membahas dan menyelesaikan persoalan-persoalan
kemasyarakatan yang ditemui ataupun yang diajukan kepadanya. Namun, dengan
segudang kesibukan yang mendera waktunya, Gurutta tak pernah melupakan tugas
sehari-hari untuk mengajar di pesantren dan juga kegiatan dakwah yang diembannya
hingga sampai ke pelosok-pelosok daerah. Apalagi jika memasuki hari-hari besar Islam
seperti pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. atau peringatan Isra’ Mi’raj Nabi,
beliau jarang dijumpai di rumah karena kesibukan berdakwah untuk kepentingan syiar
Islam.
Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin kerja sama yang sangat akrab. Beliau
mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara keduanya merupakan dwi tunggal yang
mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan beliau itu, sesungguhnya Gurutta juga
adalah seorang yang menyimpan jiwa seni yang cukup kuat. Orang-orang terdekatnya
paham betul akan kemampuan Gurutta dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-
lagu yang bernafaskan Islam. Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang
nyaris sama dengan yang asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang
masih tersimpan sebagian di tangan santrinya.
Detik-detik Terakhir
Gurutta KH. Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja mendekati satu abad.
Namun, tahun-tahun menjelang beliau dipanggil Tuhan, tetap dilalui dengan segala
kesibukan dan perjalanan-perjalanan yang cukup menyita waktu dan tanpa hirau akan
kondisi beliau yang mulai uzur. Misalnya, dalam usia sekitar 80 tahun beliau masih aktif
sebagai anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak mampu
menopang tubuhnya, beliau masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk melakukan
Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur), meskipun mesti
digendong.
Demikianlah perjalanan hidup seorang hamba Allah SWT yang telah melalui berbagai
zaman dalam perjuangannya menegakkan dan mensyiarkan agama Islam. Di setiap era
yang dilewatinya, dia tetap tampil sebagai sosok yang selalu tegar dan tegas. Ibarat pohon
bakau ditepi pantai, ia tak pernah luruh dan tetap kukuh menghalau deburan ombak yang
menghantamnya. Dia tak mau takluk pada perhitungan manusia akan kondisi dan
kemampuan fisiknya di usia senja. Dimana keadaan sebagian tubuhnya sudah tidak
berfungsi lagi, mata yang kabur dan nyaris tak melihat, tubuh ringkih yang tidak kuat
berjalan. Semuanya tidak membuatnya untuk berhenti dari misi pengabdiannya. (Disadur
dari berbagai Sumber oleh syaifullah Amin)
Komentar:
al-hugos menulis:
subhanallah, pengorbanan beliau sungguh besar... menjadi pemantik semangat u/ terus
belajar dan berbenah menjadi manusia yg bermanfaat u/ orang lain
Praditya menulis:
Ulama Aswaja memang menyejukkan umat. Mereka berdakwah dengan kasih sayang.
Semoga akan lahir ulama-ulama dan kiai-kiai yang seperti mereka kembali.
Amin.
nurim menulis:
Subhanallah. Bisa diceritakan juga kisah ulama karismatik yang tidak terlalu jauh
jaraknya dengan masa sekarang, agar terasa lebih dekat suasananya.
KH MUHAMMAD RAMLI
Qadhi Luwu dari Bone
01/02/2009
Setelah beranjak dewasa, Ramli berangkat ke Mekkah untuk berhaji dan belajar ilmu
agama selama tiga tahun di sana. Sepulangnya dari Mekkah pun Romli tetap tawadhu’
dan tidak menyombongkan dirinya. Ramli mengunjungi para ulama di Sulawesi Selatan
dan kembali berguru kepada mereka, seperti KH Ahmad Bone, Syeikh mahmud al-
Madani, Syeikh Radhi dan Syeikh Hasan al-Yamani.
Karirnya dimulai sebagai badal Syeikh jamaah haji Indonesia asal Sulawesi Selatan,
kemudian diangkat menjadi Syeikh jamaah haji selama tiga tahun. Dari sinilah
kemuadian KH Ramli diangkat menjadi Imam Masjid Kajuara oleh Arung Kajuara dan
kemudian memangku Jabatan Qadhi di Luwu. Puncak kariernya dalah menjadi anggota
konstituante dari fraksi NU dan diangkat menjadi Imam Masjid Raya Ujung Pandang
(Makassar sekarang).
Pada tahun 1946 KH Muhammad Ramli berangkan menuju Bone untuk terlibat aktif
dalam perjuangan Revolusi fisik. Kemudian bersama-sama dengan para ulama lainnya
mendirikan perkumpulan yang dinamakan Rabithatul Ulama (RU). Di sini KH Ramli
bertindak sebagai Ketua I sedangkan ketua Umum dijabat oleh KH Ahmad Bone.
KH Muhammad Ramli berprinsip bahwa hal paling pokok dalam Islama adalah akidah.
Karenanya, ia berusaha semaksimal mungkin untuk menanamkan dasar-dasar akidah ini
kepada masyarakat.
Jadi menurut KH Ramli, khatib cukup membaca rukun khutbah dalam bahasa Arab,
kemudian menerangkan dengan secukupnya tentang ajakan untuk menambah kebaikan
dan ketaqwaan dalam bahasa daerah, bahsa yang dapat dimengerti dengan mudah oleh
masyarakat setempat. Menurut KH Ramli, ini adalah bentuk pelaksanaan dari perintah
Rasulullah SAW untuk mengajak manusia pada kebaikan sesuai dengan kapasitas
kemampuan mereka masing-masing.
Suatu ketika, dalam pekerjaannya sebagai Qadhi, KH Ramli ditanya oleh warganya
tentang tata cara penguburan terhadap seorang wanita Muslim. Dalam kasus ini wanita
Muslim ini adalah isteri dari seorang lelaki non Muslim. Selama menjadi isteri, wanita ini
tidak pernah terlihat melaksanakan syariat Islam, ada kemungkinan ia dilarang oleh
suaminya yang non Muslim.
Mendapati kasus yang demikian, KH Ramli selaku Qadhi Kerajaan Luwu memerintahkan
Masyarakat untuk mengurus wanita tersebut menurut cara Islam. Argumen dari fatwanya
ini adalah, ”Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain,” (QS. Al-An’am, 6:164) dan
“Allah menjadikan isteri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang yang beriman,” (QS.
At-Tahrim, 66:11).
Dari sisi pergaulan hidup dan sikap keagamaan, meskipun KH Ramli berpandangan
teguh, namun Beliau sangat menganjurkan untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan
dalam menampakkan sikap-sikap keagamaan, termasuk cara berdzikir yang dianggap
berlebihan oleh masyarakat pada umumnya.
Tahun 1952 KHA Wahid Hasyim, yang waktu itu menjabat sebagai menteri agama,
berkunjung ke markas RU dan merundingkan pembentukan partai politik Islam untuk
menghadapi Pemilu 1955. Musyawarah ini memberikan mandat kepada KH
Muhammad Ramli untuk mendirikan partai NU di Sulawesi Selatan.
Namun tentu saja, tidak semua nama-nama yang terlibat dalam setiap
peristiwa penting, kemudian ikut menjadi nama penting yang selalu
disebut-sebut khayalak setelahnya. Di balik berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), terdapat
nama-nama besar yang kemudian melegenda dan dikenang hingga beberapa generasi.
Namun tentu saja ada nama-nama yang juga sangat berperan dalam proses kelahiran NU
sembari tetap menjadi nama-nama yang bersahaja dan merakyat. Tetap menjadi nama
yang tidak menimbulkan rasa menjauh dari dunia kelahirannya. Salah satu di antara
nama-nama yang tetap menjadi dekat dengan rakyat, tetap menjadi nama rakyat adalah
KH Abdul Chalim bin Kedung, Leuwimunding Majalengka.
Ulama kelahiran tahun 1898 ini merupakan bagian sejarah besar. Namun tidak serta-
merta menjadikan dirinya melambung manjauh dari rakyat kebanyakan. Meski namanya
tercatat dalam berbagai peristiwa penting, namun KH Abdul Chalim tetap dikenal sebagai
bagian dari rakyat kebanyakan.
Prinsip solidaritas juga perlu diterapkan sepanjang masa karena solidaritas merupakan
salah satu barometer keseimbangan ibadah. Di mana ibadah yang dilakukan dengan benar
sesuai dengan ketentuan syara’ dapat mendekatkan diri kepada Allah. Namun agar tidak
terjebak dalam pengertian ibadah yang sempit, yakni ritual semta. Maka perlu dilakukan
sebuah penyeimbangan. Nah menurut KH Abdul Chalim, penyeimbangan ini dapat
dilaksanakan dengan terus menumbuhkan solidaritas dalam setiap sendi umat Islam.
Solidaritas ini sendiri, dapat berupa solidaritas politik maupun solidaritas sosial.
Solidaritas politik artinya solidaritas bersama umat Islam untuk mencapai tujuan-tujuan
kenegaraan dan kebangsaaan. Sedangkan solidaritas kemasyarakatan adalah
kebersamaan umat Islam dalam menciptakan harmonisasi kehidupan sehari-hari.
Sehingga kehidupan umat Islam tidak monoton, memandang nilai ibadah bukan hanya
dari sisi ibadah ritual mahdah saja. Namun keseluruhan kehendak dan usaha untuk
mewujudkan kehidupan yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah juga merupakan
bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Dalam pandangan KH Abdul Chalim, kepasrahan total dan tawakkal kepada Allah SWT
adalah hal yang senantiasa diri dan seluruh keluarga serta murid-muridnya. Namun
demikian, KH Abdul Chalim juga sangat mengedepankan kompromi dalam mencapai
kesepakatan-kesepakatan melalui musyawarah.
Sifat terbuka yang dimiliki oleh KH Abdul Chalim ini tidak lepas dari pengaruh yang
ditorehkan oleh guru tercintanya, KH Wahab Hasbullah Jombang. Selama berguru
kepada KH Wahab Hasbullah, Abdul Chalim telah mendarmabhaktikan hidupnya demi
perkembangan ilmu di kalangan para santri. Di mana Nahdlatul Wathan merupakan
tempat yang sangat baik bagi Abdul Chalim dalam berguru dan menularkan kemempuan
ilmiahnya.
Kondisi perjuangan fisik kala itu menjadikan konsep-konsep yang ditawarkan oleh KH
Abdul Chalim dapat diterima oleh rekan-rekannya di Nahdlatul Wathan. Konsep-konsep
yang dimaksudkan sebagai pendekatan sosial adalah membuat perbandingan-
perbandingan kiasan antara kondisi-kondisi yang digambarkan dalam kitab-kitab kuning
dengan kenyataan hidup yang dialami oleh masyarakat Nusantara saat itu. Yakni
merealisasikan berdirinya sebuah negara merdeka yang dapat menaungi seluruh
penduduknya dalam sebuah aturan yang disepakati bersama.
Dengan demikian, dalam pandangan KH Abdul Chalim, solidaritas warga tetap dapat
dipertahankan setelah penjajahan berhasil dienyahkan dari Nusantara kelak. Pendapat-
pendapatnya mengenai solidaritas masyarakat Muslim, khususnya di tanah jajahan Hindia
Belanda ini didapatkannya dari pengalamannya selama berguru kepada para ulama. Sejak
dari daerah sekitar tanah kelahirannya ketika kecil hingga ke darah-dararah lain di Jawa
Barat maupun Jawa Timur. Di mana Pesantren Trajaya di Majalengka, Pesantren
Kedungwuni di kadipaten dan Pesantren Kempek di Cirebon adalah tempat Abdul
Chalim menimba ilmu semasa kecilnya.
Ketika menuntut ilmu di Hijaz inilah KH Abdul Chalim bertemu dengan berbagai ulama
Nusantara dari daerah-daerah lainnya. Dari sinilah beberapa ulama ini kemudian menjadi
teman sekaligus gurunya. Salah satu di antara ulama yang paling akrab sebagai teman
sekaligus gurrunya ini adalah KH Wahab Hasbullah Jombang. Saat itu Abdul Chalim
adalah anggota sekaligus pengurus Sarekat Islam (SI), termuda di Hijaz. Di mana SI
adalah organisasi para ulama Nusantara yang berkonsentrasi untuk menentang kebijakan-
kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda di Nusaantara. Melalui SI, kebijakan-
kebijakan pemerintah jajahan yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan sangat
merugikan rakyat, ditentang secara konstitusional. Hingga pada gilirannya, para ulama
pengurus SI kemudian menggabungkan diri ke NU setelah organisasi yang terakhir ini
didirikan pada tahun 1926.
Selama menuntut ilmu di Mekkah inilah sifat moderat dan kompromi sebagi ulama yang
berjiwa besar ditunjukkan oleh Abdul Chalim. KH Abdul Chalim-lah yang mendamaikan
KH Wahab Hasbullah Jombang dan KHR Asnawi Kudus ketika keduanya terlibat sebuah
persengketaan di Hijaz. Pada waktu itu kedua ulama yang sedang bersengketa ini
merupakan senior sekaligus guru dari KH Abdul Chalim. Sementara itu Abdul Chalim
juga patuh ketika KH Wahab Hasbullah menegurnya karena sering memperdengarkan
kidung bergaya Pasundan ketika mereka sedang mengulang-ulang pelajaran.
Sepulangnya dari tanah Suci, KH Abdul Chalim membantu orang tuanya di kampung
untuk meringankan penderitaan rakyatnya akibat penjajahan belanda yang kian hari kian
kejam saja.
Abdul Chalim terhitung menikahi empat orang wanita. Pada usia 21 tahun Abdul Chalim
menikahi gadis Petalangan, Kuningan sebagai isteri pertama. Tiga tahun kemudian,
Abdul Chalim menikahi Siti Noor, gadis asal Pasir Muncang Majalengka. Dalam
perjalanan untuk mencari penghidupan ke daerah Jakarta sebagai pelayan toko dan kuli
panggul di stasiun kereta api –meski dirinya adalah anak seorang kuwu, Abdul Chalim
menyempatkan diri untuk mengajarkan ilmu agama kepada anak-anak di daerah Kramat
Jati Jakarta. Ketika bekerja dan membuka pengajian di Kramat jati ini Abdul Chalim di
dampingi oleh Istri keduanya, Siti Noor asal Majalengka.
Tahun 1921 karena ayahnya meninggal dunia, maka KH Abdul Chalim kembali ke
Majalengka dan memboyong istri pertamanya yang di Petalangan ke Leuwimunding.
Sementara istri keduanya telah bercerai darinya. Namun karena situasi yang semakin
tidak menentu, maka Abdul Chalim memulangkan kembali isterinya ini ke Petalangan
demi alasan keamanan. Sementara Abdul Chalim sendiri kemudian mengabdikan diri
sepenuhnya pada dunia pergerakan dan pendidikan.
Sebagai seorang santri Pasundan yang pandai berkidung dan menguasai ilmu Balaghoh
(sastra Arab kuno) maka KH Abdul Chalim kemudian banyak sekali menciptakan syair-
syair berbahasa Arab untuk memompa semangat perjuangan santri-santri yang tergabung
di dalam Nahdlatul Wathan.
Pada tahun 1955 KH Abdul Chalim menjadi anggota DPR dari partai NU dari perwakilan
Jawa Barat. Sejak saat ini perjuangan KH Abdul Chalim lebih dititikberatkan pada
pemberdayaan warga NU Jawa Barat dengan membentuk berbagai wadah pemberdayaan
masyarakat seperti PERTANU (Perkumpulan Petani NU), PERGUNU (Perkumpulan
Guru NU) dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan NU di Jawa Barat lainnya.
Pada suatu hari tanggal 11 April 1972 M., selepas menunaikan ibadah sholat KH Abdul
Chalim menghadap Ilahi dengan tenang dan dimakamkan di kompleks pesantren Sabilul
Chalim Leuwimunding, Majalengka. (Syaifullah Amin, Disarikan dari buku "KH Abdul
Chalim Kenapa Harus Dilupakan?" karya J. Fikri Mubarok)
Komentar:
Ina menulis:
artikel yang bagus, jika ada yang memiliki buku 'KH Abdul Chalim Kenapa Harus
Dilupakan', bisa dibagi dengan saya?atau buku-buku lain yang menceritakan tentang
beliau.
terima ksaih untuk penulis, satu wawasan baru untuk saya
Ina, muthma_2701@yahoo.co.id
Hendra menulis:
Assalamu'alaikum Wr.Wb..
Artikelnya sangat bagus dan indah sekali smoga generasi penerusnya dapat berjuang terus
demi kemaslahatan dunia. Saya minta artikel yang lain agar dimasukan.
Ada permintaan dari saya mudah2an ada jawaban soalnya urgen sekali karena buat saya
sendiri :
1. Saya minta artikel tentang tahlil dan jiarah ke makam orang tua dan doa-doanya.
2. Saya pingin bisa belajar qiraat dari Bayathi, Hijazz sampe dengan selesai, Kalo mp3
nya kalo ada minta dikirim via email saya.
Buat NU semoga perjuangannya terus berkibar dalam menciptakan syariat islam dimuka
bumi. Smoga Allah SWT selalu mendengar do'a kita. Amien..
Wassalam.
ramadlan menulis:
Sirah, KH abdul Halim ini sangt sedikit dimunculkan. termasuk putra-putra beliau yang
mungkin kini masih aktif di NU.
mungkin bisa disebutkan..?
Apkah ada hubungannya dengan KH Asep Syaifudin Halim Pengasuh PP Amanatul
Umah Siwalankerto Surabaya yang juga mantan ketua PC NU Surabaya.?
zhack R menulis:
Tulisan sejarah/biografi ini sangat mahal, untuk menambah wawasan atau pengingat bagi
generasi penerus, mengenal sejarah berarti mau diajak maju, demi AGAMA, BANGSA
dan NKRI
KH DIMYATI
Komandan Hizbullah Pendiri Madrasah Pertama di Blambangan Selatan
01/12/2008
Salah satu di antara sekian banyak para pahlawan bangsa yang berjuang di dalam dua
medan perjuangan sekaligus ini adalah KH Dimyati Banyuwangi. Seorang ulama
kharismatik yang telah memiliki banyak jasa bagi kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia ini. Beliau adalah salah satu di antara para ulama Nahdlatul Ulama
dengan andil besar dalam perjuangan fisik yang berpuncak pada meletusnya Resolusi
Jihad Nahdlatul Ulama.
Salah satu bentuk sumbangsih nyata bagi perjuangan fisik merebut kemerdekaan adalah
fatwa Beliau yang berbunyi, “seluruh santri santri di daerah Banyuwangi selatan
(kawasan Blambangan lama) wajib masuk Hizbullah.” Fatwa ini memiliki konsekwensi
yang cukup besar bagi santri-santri di kawasan Banyuwangi selatan. Dengan adanya
fatwa ini, para santri memiliki tugas ganda. Pada malam hari mereka harus mengendap-
endap untuk menyerang pos-pos keamanan tentara Belanda dan Jepang.
Sementara pagi harinya mereka kembali memeluk kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran
agama. Walhasil sebenarnya mereka belajar di atas timbunan amunisi dan mesiu hasil
rampasan dari tentara penjajah. Memang secara struktural, KH Dimyati adalah
Komandan Hizbullah (laskar pejuang yang berafiliasi ke NU) untuk wilayah Blambangan
selatan.
Kegiatan ganda semacam ini di jalani oleh KH Dimyati bersama dengan santri-santrinya
di Pondok Pesantren Nahdlatut Thullab. Bukan tanpa resiko, selain menantang bahaya
pada malam hari, mereka juga selalu diintai bahaya pada keesokan hari ketika mereka
sedang mengaji. Banyaknya intel penjajah yang berkeliaran membuat keselamatan
mereka selalu dipertaruhkan setiap saat.
Seluruh bangunan dibakar, termasuk bangunan pesantren dan tempat tingaal KH Dimyati
diratakan dengan tanah oleh Belanda. Seluruh kitab-kitab Beliau sebanyak dua lemari
besar pun habis di makan api. Karena di bawah bangunan pesantren banyak tertanam
amunisi dan mesiu hasil rampasan para santri ketika bergerilya malam hari, maka akibat
pembakaran semakin menjadi-jadi. Mesiu-mesiu ini mengakibatkkan api yang melalap
gedung pesantren semakin menyala menjadi-jadi dan menimbulkan ledakan-ledakan
hebat.
Meski para santri telah diperintahkan menyingkir dan berpencar, salah seorang santri
bernama Muhammad Fadlan tertembak dan gugur pada penyerangan Belanda tersebut.
Muhammad Fadlan kemudian dikuburkan sebagai syuhada dan dipindahkan ke Makam
Pahlawan Banyuwangi pada tahun 1962.
Sementara KH Dimyati ditangkap oleh Belanda dan ditahan selama 27 bulan hingga
pertengahan tahun 1949. Komandan Hizbullah Blambangan selatan ini sebenarnya sudah
hampir dieksekusi oleh Belanda. Namun menurut beberapa cerita, ketika menjelang hari-
hari eksekusi, dokumen-dokumen pidananya oleh Belanda ternyata hilang dan tidak
pernah ditemukan lagi. Sehingga eksekusi tidak pernah benar-benar dilaksanakan, sampai
waktunya ia dibebaskan karena kekalahan-kelahan Belanda di Indonesia.
Pada tahun 1950 KH Dimyati mengumpulkan para tokoh agama di wilayah Banyuwangi
selatan, dan pada tahun 1951 beliau secara resmi mengasuh Pesantren Nahdlatut Thullab
kembali.
Pada tahun 1957 Beliau dan keluarganya mendirikan Yayasan Nahdlatut Thullab.
Beberapa saudara-saudara dan relasi keluarga KH Dimyati kemudian mengajukan
permohonan kepada Presiden Soekarno di Jakarta. Rupanya pengajuan ini berhasil dan
mendapatkan dana yang cukup untuk membangun kembali kompleks pesantren yang
telah dibumihanguskan Belanda tersebut.
Dana dari Presiden Soekarno ini rupanya diirit-irit oleh panitia pembangunan, sehingga
memiliki sisa yang cukup untuk dibelikan sawah seluas 5 hektare yang kemudian dikelola
oleh para santri untuk menunjang kehidupan mereka selama mondok di Pesantren
Nahdlatut Thullab.
Metode penggarapan sawah oleh santri ini merupakan perluasan manfaat yang didapatkan
oleh KH Dimyati dari pengalamannya selama Beliau menuntut ilmu di berbagai
pesantren di Jawa Timur.
Namun rupanya dengan bekal hanya sekarung cengkaruk ini, Dimyati mampu bertahan
hingga tiga tahun di Pesantren Termas. Rupanya ia bertahan di Termas dengan cara
bekerja ke sawah untuk mencukupi kebutuhannya selama mondok. Karenanya KH
Dimyati kemudian menerapkan metode ini di pesantrennya yang telah ia bangun kembali.
Selama mondok Dimyati memang terkenal sebagai santri yang tekun, konon ia adalah
santri kesayangan sang pengasuh Pesantren Termas. Pada saat itu pondok Termas berada
di bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyati. Karena saking sayangnya, di sinilah Dimyati
berganti namanya menjadi Dimyati, nama yang digunakannya hingga akhir hayatnya.
Sebelumnya, nama lahirnya adalah Muhibbut Thobari. Maka setelah boyongan dari
Pesantren Termas, ia pun menggunakan nama Dimyati. Sementara nama lahirnya,
Muhibbut Thobari, tak lagi digunakan.
Dalam pandangan KH Dimyati, para santri sah-sah saja bekerja selama menimba ilmu di
pesantren, karena justru akan membantu mereka untuk mandiri sejak dini dan tidak
membebani orang tua di rumah. Pesantren dapat menyediakan lahan yang digunakan oleh
para santri untuk bercocok tanam atau membuka usaha, asalkan tidak mengesampingkan
tugas utamanya, yaitu belajar ilmu agama. Dengan demikian para santri dapat menopang
sendiri hidupnya, sehingga tidak perlu dikirim oleh orangtua dari rumah.
Begitulah yang dijalaninya selama mengaji di tiga pesantren, yakni Pesantren Termas
Pacitan, Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH Abdullah Fakih dan Pesantren Idham
Sari, Genteng di bawah bimbingan KH Abdullah Syuja’. Kedua pesantren yang terakhir
berada di wilayah Banyuwangi sendiri.
Maka demikian pun ia mempraktekkan ilmunya ketika telah mengasuh pesantren. Para
santri di Nahdlatut Thullab tidak harus membawa bekal atau dibekali oleh orang tuanya
dari rumah. Asalkan santrinya bekerja keras tentu dapat menopang kehidupan dan
membiayai pendidikannya selama di pesantren. Karenanya, dana pembangunan pesantren
yang dari Presiden Soekarno disisakan untuk membeli lahan, agar para santri tidak
membebani orang tua masing-masing.
Kenyataan ini adalah yang sebenarnya, karena entah kebetulan atau tidak, jumlah
santrinya tidak pernah lebih dari kapasitas lahan yang tersedia untuk menopang
kehidupan dan kebutuhan belajar mereka. Sehingga KH Dimyati dapat benar-benar
mendidik mereka dengan seksama, termasuk ketika harus membina mereka sebagai
laskar Hizbullah pada kegelapan malam. Mengendap-endap dan menyergap musuh, untuk
merangkul kitab kuning pagi harinya di pesantren.
Sementara cara lain yang digunakan oleh KH Dimyati di Pesantrennya adalah metode
bandongan. Dalam mekanisme bandongan sang kyai bebas menerangkan agar para santri
mengerti maksud-maksud tersirat dari teks-teks kitab yang sedang dipelajari. Cara ini
lazim digunakan di madrasah-madrasah Blambangan selatan sebagaimana juga
pesantren-pesantren Nusantara lainnya.
Selama mengasuh pesantren, selain terlibat dalam perjuangan fisik secara langsung di
malam hari, KH Dimyati juga sempat membuat karangan tentang akhlak (karakter) yang
semestinya dimiliki oleh para remaja Islam. Karangan ini berbentuk nadzam (semacam
pantun dalam bahasa Arab, yang menggunakan susunan rima ab ab. Nadzam karangan
KH Dimyati ini berjudul Muidzotus Syibyan (Nasehat untuk para Remaja).
Pesantren Nahdlatut Thullab sendiri sangat mengutamakan penguasaan ilmu alat, nahwu
dan shorof. Meski tentu saja kitab2 tafsir juga menjadi kajian utama para santrinya.
Menurut beberapa santri yang sempat menimba ilmu kapada KH Dimyati, kehebatan
Pesantren Nahdlatut Thullab adalah dalam pengembangan aqoid 50-nya. Melalui
pembinaan Aqoid 50 ini para santri yang telah boyongan dapat memberikan solusi untuk
masalah-masalah ketuhanan kepada masyarakat di daerah alumni itu sendiri.
Beberapa santri bahkan menyatakan ilmu-ilmu tersebut dapat mereka kuasai secara
”ladunni”. Artinya, dulu ketika diajar langsung terkadang mereka tidak memahami
pelajaran saat itu juga, namun setelah kelaur dan mengabdi untuk masyarakat, mereka
tiba-tiba teringat dan mengerti maksud penjelasan KH Dimyati sewaktu di pesantren
dahulu.
Hal penting lain yang diajarkan KH Dimyati adalah pendidikan bilhal/bifi’li. Yakni
pendidikan praktek langsung, bukan hanya teori. KH Dimyati terkenal suka mengajak
para santrinya untuk bersilaturrahim. Hal ini adalah salah satu aspek pendidikan yang
terus tertanam di hati para santrinya sepanjang hidup mereka.
”Semasa masih di pondok, para santri seakan tidak merasakan keistimewaan menimba
ilmu kepada KH Dimyati, namun setelah mereka kembali pulang ke daerahnya masing-
masing, barulah mereka mengerti keistimewaan tinggal di pondok ini. Kebanyakan para
santri baru menyadari manfaat menimba ilmu pesantren Nahdlatut Thullab, Kaliogoro
Kepundungan Srono Banyuwangi, ini setelah berdakwah di rumah,” demikian
diungkapkan KH Syaifullah Ali Subagiono, Pengasuh Pondok Pesantren al-Hikmah,
Ketapang Banyuwangi.
Luasnya jaringan relasi di kalangan para pemimpin bangsa, dibuktikan oleh kunjungan
berkala dari ketiga menteri agama Republik Indoensia yangd ari NU, yakni KH A. Wahid
Hasyim, KH Syaifuddin Zuhri dan KH Ahmad Dahlan, termasuk KH Ahmad Syaikhu.
Meski sudah menjadi pejabat negara di tingkat pusat, namun tamu-tamu ini tetap bersikap
santai di pesantren. Mereka biasa tiduran dan bercengkerama dengan santri di pendopo
pesantren.
Terpenting KH Dimyati selalu menanamkan jiwa ke-NU-an di hati anak didiknya. Beliau
menyatakan ingin hidup sebagai orang NU dan kelak jika meninggal pun sebagai orang
NU. KH Dimyati mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemajuan NU. Sementara untuk
urusan anak-anaknya, ia menyatakan, toh mereka bisa mencari hidup sendiri-sendiri.
Tokoh Kharismatik dari Blambangan selatan ini, terlahir pada tahun 1912 dan dibawa
pindah ke kawasan Blambangan selatan oleh keluarganya, yang berasal dari Wonokromo
Yogyakarta, sekitar tahun 1915-an dan boyongan dari pesantren untuk mendirikan
pesantren dan berdakwah di daerah Blambangan selatan pada tahun 1936. pada tahun
1959 setelah usai merampungkan pembangunan gedung pesantrennya dan menyediakan
cukup lahan untuk para santrinya menopang kehidupan dan biaya belajar selama di sana,
KH Dimyati berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Namun di sanalah rupanya
Beliau datang untuk menghadap kepada Rabb-nya pada usia 47 tahun. Sebuah
pemakaman tanpa penghormatan militer, meskipun Beliau selalu berada di garis terdepan
dalam pertempuran melawan tentara-tentara Belanda. Selamat jalan Komandan Hizbullah
Blambangan selatan. Semoga generasi masa kini dapat meneruskan perjuanganmu
mengusir imperialisme dari bumi Nusantara (Puji Utomo/Syaif)
Komentar:
satibi menulis:
Assalamu'alaikum Wr.Wb. ..........saya sebagai generasi penerus bangsa , sangat bangga
pd sosok tokoh seperti beliau., ............. oh ya , kalau boleh aku pengen dong dikirimin
buku - buku nya , tentang para tokoh tokoh NU , untuk mengambil pelajaran , dan buat
referensi materi untuk LakMud IPNU dan IPPNU di SMP NU Cikedung - Indramayu -
Jabar ..... makasih .... Wallaahul muwaafiiq ilaa aqwaamithoriiq ,Wassalamu'alaikum
Wr.Wb
Hayban menulis:
Subhanalloh...
sungguh saya terkesan dengan jiwa patriotisme[keberanian semangat dan jiwa pantang
menyerah] KH Dimyati meskipun dengan keadaan ekonomi yang kurang mendukung,
pahlawan ku KH Dimyati tetap gigih berjuang menuntut ilmu, menegakkan syariat dan
berjihad di bumi Indonesia ini. Yaa Allooh yaa rohmaan yaa rohiim rohmatkanlah jiwa
semangat patriotisme yang seperti ini kepada saya.
Astaghfirulloohal'adziim.Amiiin
Hendra menulis:
Tolong kalau ada penjelasan Terutama karena ada yang menyampaiakan Isa Sebagai
Terkemuka Dunia Akhirat dalam Alquran.
Wassalam
Bentang alam wilayah banyumasan berupa dataran tinggi dan pegunungan serta lembah-
lembah dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin kelangsungan pertanian dengan
irigasi tradisional. kondisi yang demikian membenarkan kenyataan kesuburan wilayah ini
(gemah ripah loh jinawi).
Dulunya, kawasan ini adalah tempat penyingkiran para pengikut Pangeran Diponegoro
setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh, bila
hingga masa kini masih terdapat banyak sekali keluarga-keluarga yang memiliki silsilah
hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya.
Salah satu dari sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran Diponegoro di kawasan
Banyumas ini adalah Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas, Mursyid Thariqoh
Naqsyabandiyah Kholidiyah dan Thariqoh Syadzaliyah di Jawa Tengah.
Sejak kecil, Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari
kedua orang tuanya. Setelah belajar al-Qur'an kepada ayahnya, Abdul Malik
diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kyai Abu bakar bin Haji Yahya
Ngasinan, Kebasen, Banyumas.
Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang
berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini
terdapat saudara Abdul Malik yang bernama Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama
sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk
perjalanan menuju Tanah Suci.
Ketika menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim ke Tanah Suci untuk menimba
ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul
Qur'an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327 H. Abdul Malik pulang ke
kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram. Selanjutnya ia
berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun
kemudian (1333 H.) ayahandanya (Muhammad Ilyas) meninggal dalam usia 170 tahun
dan dimakamkan di Sokaraja.
Guru-Guru
Syeikh Abdul Malik mempunyai banyak guru, baik selama belajar di Tanah Air maupun
di Tanah Suci. Di antara guru-gurunya adalah Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah
at-Tirmisi al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha' dan Sayyid Muhammad Syatha', keduanya
merupakan ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram dan Sayyid Alwi Syihab bin
Shalih bin Aqil bin Yahya.
Sebelum berangkat ke tanah Suci, Syeikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai
Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad'aq (seorang
ulama besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam usia 141 tahun), Habib 'Aththas
Abu Bakar al-Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya; Sayyid Habib
Abdullah bin Muhsin Al-Atthas Bogor.
Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah,
Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari
Sayyid Ahmad Nahrawi Al-Makki (Mekkah).
Selama bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi
sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi'i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu
agama termasuk, tafsir dan qira'ah sab'ah. Sempat menerima kehormatan berupa rumah
tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes.
Menurut beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama
kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam suatu waktu. Di samping belajar di tanah Suci
selama 15 tahun, ia juga seringkali membimbing jamaah haji Indonesia asal Banyumas,
bekerjasama dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan dalam waktu yang
relatif lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah mutlak.
Perjuangan Fisik
Adalah tidak benar, jika para ulama ahli tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh,
kumal dan mengabaikan urusan-urusan duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun
mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika
zaman bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan
bangsa asing, para ulama ahli Thoriqoh senyatanya juga turut berjuang dalam satu tarikan
nafas demi memerdekakan bangsanya.
Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syeikh Abdul Malik
senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi salah satu
target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh
dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah.
Menghadapi situasi seperti ini, ia justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat.
Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk
menentang penjajahan Belanda, maka ia pun senantiasa menyuntikkan semangat
perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.
Pada masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya,
ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju
daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para
laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock
dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya
dibebaskan.
Kepribadian
Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat
besar, yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Dikenal sebagai ulama yang mempunyai
berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan
ketinggian akhlakul karimah. Maka amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan
sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.
Syeikh Abdul Malik adalah pribadi yang sangat sederhana, santun dan ramah kepada
siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya,
terutama kepada mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup. Santri-
santri yang biasa dikunjunginya ini, selain mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun
di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuh waluh, Bojong, juga sanri-
santri lain yang tinggal di tempat jauh.
Setiap hari Selasa pagi, dengan bersepeda, naik becak atau dokar, Syeikh Abdul Malik
mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang
pakaian, sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian
Selasanan. Acara ini merupakan forum silaturrahim bagi para pengikut Thoriqah
Naqsyabandiyah Kholidiyah Kedung paruk yang diisi dengan pengajian dan tawajjuhan.
Syeikh Abdul Malik juga dikenal memiliki hubungan baik dengan para ulama dan habaib,
Bahkan dianggap sebagai guru bagi mereka, seperti KH Hasan Mangli (Magelang),
Habib Soleh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafaqih
(Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi (Brani, Probolinggo), dan lain-lain.
Termasuk di antara para ulama yang sering berkunjung ke kediaman Syeikh Abdul Malik
ini adalah Syeikh Ma’shum (Lasem, Rembang) yang sering mengaji kitab Ibnu Aqil
Syarah Alfiyah Ibnu Malik sebagai tabarruk (meminta barakah) kepadanya. Demikian
pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Kholil (Sirampog, Brebes), KH
Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas). Para ulama ini
merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, namun tetap belajar ilmu al-Qur’an kepada
Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk.
Sementara itu, murid-murid langsung dari Syeikh Abdul Malik di antaranya adalah KH
Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thoriqah Naqsabandiyah
Kholidiyah), KH Sahlan (Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH
Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH
Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.
Selain, menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan
pemimpin umat, Syeikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan,
seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi
dalam aktivitas dagangnya dan Kyai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian
bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.
Keluarga
Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di
antaranya dikaruniai keturunan. Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu
Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri
gurunya, K Abu Bakar bin H Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini
kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat
tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).
Ada sebuah cerita unik tentang putera pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah seorang
pemuda yang meninggal dunia sebelum sempat menikah. Suatu hari Syeikh Abdul Malik
berkata padanya, ”Nak, besok kamu menikah di surga saja ya?” Mendengar ayahnya
bertutur demikian, muka Busyairi terlihat ceria dan hatinya merasa sangat gembira.
Beberapa waktu kemudian, ia meninggal sebelum berkesempatan menikah.
Istri kedua Syeikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa
Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari
Syeikh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, ”Pak Kyai,
meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan
saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat.” Mendengar
permintaan ini, Syeikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya.
Sedangkan istri ketiga-nya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan
shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan
bernama Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syekh Abdul Malik.
Dari puterinya inilah nasab Syeikh Abdul Malik diteruskan.
Kedua, jangan tinggalkan membaca al-Qur'an. Baca dan pelajari setiap hari serta ajarkan
sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur'an di mana pun berada.
Jadikan sebagai pedoman hidup dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang
yang hafal al-Qur'an dan qari'-qari'ah serta muliakan tempat-tempat pelestariannya.
Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat, baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan
teladani kehidupan Rasulullah SAW serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan
bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.
Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M.
sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at), Syekh Abdul Malik meminta izin kepada
istrinya untuk melakukan shalat Isya' dan masuk ke dalam kamar khalwat-nya. Tiga
puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada
jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring dengan posisi
kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus. Syeikh Abdul
Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum’at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid
Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto. (Zakki Amali/syf)
Komentar:
nuurkholiss menulis:
subhanallah... Sungguh seorang wali dan kekasih Allah....
m.yasin menulis:
laa illa ha illallaah muhammad rosullulloh
anams menulis:
Kapan ya aku bisa seperti beliau.... :(...
Rakhmadiansyah menulis:
MUDAH MUDAN ALLAH MEANUGRAHKAN PADA BELIAU KEDUDUKAN
YANG BAIK DISISINYA DAN MENGGANTIKAN BELIAU DENGAN SEORANG
AULIA YANG LAINNYA.
YANG BISA MEMBIMBING KITA.AMIN...................
Basirun menulis:
Subhanalloh, MasyaAlloh ... Allohummaj'alna wa ahlana min ahlil 'ilmi wal qur'an ..
Mudah-mudahan Alloh segera mengutus pengganti beliau, sosok yang super dan luar
biasa. Amiin. Alfatihah ...
mul menulis:
Kok generasi muda NU sekarang banyak yang tidak mengikuti generasi tua yang sangat
taat pada Alloh dan Rosulnya, malah generasi muda NU sekarang buaanyak yang
berfikiran melenceng dari tokoh tuanya. gimana peran tokoh tokoh tua untuk mendidik
generasi muda NU agar tidak menjadi duri dalam daging . karena banyak generasi muda
yang mengaku NU "Ulil,Enong, dan orang orang di AKKBB"
menurut saya orang orang yang mengajarkan ajaran diluar kebiasaan NU itu sendiri.
aconk82 menulis:
Saya iri dengan para auliya2 Allah yg penuh ke-Ikhlasan seperti beliau di atas,kapan
yach....saya bisa seperti beliau???
Sutrisno menulis:
untuk berkunjung ke makom Syek Muhammad Abdul Malik.. harap berhati-hati.. Bisa
terjadi keanehan-keanehan dan keajaiban.................
YANTO menulis:
BAGUS....BAGUSSS.......
mufti menulis:
allohuakbar sungguh kisah yang menakjubkan tentang kesolehan dan keistiqomahan
dalam ibadah beliau.....
kKang menulis:
Ya Allah,ya Robby semoga engkau dekatkan aku dengan orang-orang yang saleh
arif menulis:
kuat iman kuat islam
insa allah selamat dunia akherat
jika urusan dunia lihatlah kebawah
jika urusan akherat lihatlah keatas
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, yang lebih dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana
Syeikh Sulaiman, sejak kecil memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang
pelajaran agama, dari ayahnya. Sebelum meneruskan studinya ke Mekah, Sulaiman ar-
Rasuli pernah belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera
Barat. Pada masa itu Masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau
dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.
Perjuangan
Dalam waktu singkat, pesantren yang didirikannya mendapat dukungan penuh dari
masyarakat sekitarnya. Dukungan ini mendorong bertambahnya jumlah murid yang
menuntut ilmu di pesantren. Murid-murid yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya
berasal dari daerah setempat, melainkan juga datang dari berbagai wilayah Sumatera
Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada yang datang dari
Malaysia.
Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh
Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya
Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Baik dalam sistem pendidikan maupun perjuangannya,
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani
mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, yakni Madzhab Syafi’i.
Selain aktif di dunia pendidikan agama, Syeikh Sulaiman juga aktif di dunia politik dan
keorganisasian. Sejak tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syeikh Abbas dan
Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama ‘kaum tua‘ (golongan ulama yang tetap
mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafi‘i, Hanafi, dan
Hanbali) Minangkabau, membentuk organisasi bernama ‘Ittihadul Ulama Sumatera‘
(Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham
Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah madzhab Syafi‘i. Salah satu kegiatannya adalah
menerbitkan majalah al-Radd wa al-Mardud sebagai sarana untuk menjelaskan serta
mempertahankan paham Ahlussunnah waljamaah madzhab Syafi’i.
Sedangkan para ulama Malaysia yang seangkatan dengan Sulaiman ar-Rasuli dan sama-
sama belajar di Mekah adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M - 1339 H/1921
M) dan Tok Kenali (1287 H/1871 M - 1352 H/1933 M).
Dalam penentuan awal dan akhir puasa (Ramadhan), Syeikh Sulaiman ar-Rasuli lebih
menyetujui metode rukyah (melihat langsung bulan sabit). Ini merupakan sebentuk
penegasan beliau untuk mempertahankan corak keislaman yang berakar pada tradisi
Nusantara. Dalam banyak hal Syeikh Sulaiman ar-Rasuli beserta seluruh ulama Tarbiyah
Islamiyah mempertahankan ciri-ciri dan cita-cita keislaman tradisional menurut manhaj
Ahlussunnah Waljamaah bersama-sama dengan para ulama Nahdhatul Ulama (NU) dan
semua ulama di seluruh dunia Islam yang masih tetap berpegang teguh kepada Mazhab
Syafi’i.
Menurut Hamka, Syeikh Sulaiman ar-rasuli merupakan seorang ulama yang sangat gigih
memperjuangkan kehidupan Umat Islam. Mendidik bangsanya menjadi lebih maju dan
berusaha melepaskan diri dari penjajahan. Hamka melansir dalam bukunya yang berjudul
Ayahku Menulis, "Cuma Beliau (maksudnya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah) berselisih
dalam satu perkara (dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli). Bahwa Syeikh Sulaiman ar-
Rasuli mempertahankan Thariqat Naqsyabandiyah, dan salah seorang di antara
Syeikhnya (mungkin maksudnya Syeikh Saad Mungka, musuh polemik Syeikh Ahmad
Khathib Minangkabau, ed.), sedangkan pihak Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan
Syeikh Jambek tidak suka kepada tarekat itu.”
Karya-karya
Sebagai seorang ulama, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli telah melahirkan beberapa karya,
karya-karya ini banyak di pelajari oleh para pelajar Muslim, di Munangkabau, Sumatera
dan beberapa kawasan Nusantara lainnya.karya-karya tersebut antara lain adalah :
Dalam hal ini, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah ulama besar yang jarang tandingannya,
kukuh dan kuat mempertahankan agama berorientasikan Sunni Syafi`i. Syeikh Sulaiman
pulalah yang hingga kini dipercayai oleh masyarakat Minang sebagai penggagas landasan
kemasyarakatan islami di Sumatera Barat dalam adagium ”adat bersendikan Syara’,
Syara’ bersendikan kitabullah”.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli juga merupakan ulama yang gigih mempertahankan tatanan
kemasyarakatan Minangkabau untuk tetap mempertahankan tradisi kesalehan Nusantara.
Setidak-tidaknya hal ini terlihat dari bagaimana Beliau memperjuangkan prinsip ”Bulat
air karena pembuluh, bulat kata karena musyawarah” serta ”Tungku tigo sajarangan”
yang telah diyakini masyarakat Minang sebagai cara kebijakan paling berrurat akar dalam
tradisi Nusantara serta sama seklai tidak bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam.
Pengaruh
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, sempat dilantik sebagai anggota Konstituante dari PERTI
yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan
dan lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang
mengunjunginya. Demikian juga pemimpin-pemimpin bangsa setelah kemerdekaan
Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa,
sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.
Tokoh ini adalah seorang ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau,
Sumatera Barat. Beliau adalah golongan Kaum Tua yang sangat gigih mempertahankan
Mazhab Syafie. Syeikh Sulaiman menyampaikan pesan bahwa dengan memajukan
pendidikan, maka umat Islam akan dapat bangkit dan berkiprah lebih aktif dalam usaha
membangun bangsa dan agama. Syeikh Sulaiman berjasa besar dalam mengembangkan
paham Sunni Syafi‘i dan tarekat Naqsybandiyah.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli merupakan salah satu ulama besar asal Sumatera Barat yang
gigih dalam membela Islam. Ia wafat dalam usia 85 tahun, yaitu bertepatan dengan
tanggal 28 Rabi‘ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, dan dimakamkan di Komplek
Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.
Pada hari pengkebumian beliau, diperkirakan tiga puluh ribu umat Islam dan kelompok-
kelompok masyarakat lainnya hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada jasad
Beliau, termasuk para pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia. Bendera
Republik Indonesia dikibarkan setengah tiang selama 3 hari berturut-turut oleh
Pemerintah dan rakyat Sumatera Barat, untuk menyatakan rasa turut berbelasungkawa
dengan kepulangan al-’Alim al-’Allamah al-Fadhil Maulana Syaikh Sulaiman ar-Rasuli
bin Angku Muhammad Rasul al-Minkabawi, kembali ke haribaan Allah SWT. Semoga
Allah sentiasa melimpahkan rahmat dan keredhaan kepadanya. (Syaifullah Amin)