Anda di halaman 1dari 46

Tokoh

AGH. MUHAMMAD AS'AD (1906 - 1952)


Bermula dari Pengajian Halaqoh di Rumahnya

Anre Gurutta (AG) H. M. As’ad. (Dalam masyarakat Bugis dahulu beliau


digelar Anre Gurutta Puang Aji Sade’). Beliau merupakan Mahaguru dari
Gurutta Ambo Dalle (1900 - 1996), adalah putra Bugis, yang lahir di
Mekkah pada hari Senin 12 Rabi’ul Akhir 1326 H/1907 M dari pasangan
Syekh H. Abd. Rasyid, seorang ulama asal Bugis yang bermukim di
Makkah al-Mukarramah, dengan Hj. St. Saleha binti H. Abd. Rahman
yang bergelar Guru Terru al-Bugisiy.
Pada akhir tahun 1347 H/1928 M, dalam usia sekitar 21 tahun. AG H. M. As’ad merasa
terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis, guna menyebarkan dan
mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo khususnya, dan Sulawesi pada
umumnya.

Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan gelora panggilan ilahi,
disertai semangat perjuangan yang selalu membara. Pada waktu itu, memang berbagai
macam bid’ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena
kurangnya pendidikan dan da’wah Islamiyah kepada mereka.

Membongkar tempat-tempat Penyembahan Berhala


Langkah pertama yang dilakukan beliau setelah tiba di kota Sengkang adalah mulai
mengadakan pengajian khalaqah di rumah kediamannya. Di samping itu beliau
mengadakan da’wah Islamiyah di mana-mana, serta membongkar tempat-tempat
penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar kota Sengkang.

Pada tahun pertama gerakan beliau, bersama dengan santri-santri yang berdatangan dari
daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil membongkar lebih kurang 200
tempat penyembahan dan berhala. Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta Arung Matoa Wajo,
Andi Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang pembangunan kembali
masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah kota
Sengkang pada waktu itu.

Setelah mengadakan permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu :


(!) AG H. M. As’ad, (2) H. Donggala, (3) La Baderu, (4) La Tajang, (5) Asten Pensiun,
dan (6) Guru Maudu, maka dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu
dibangun kembali. Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal
1348 H/1929 M, dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349/1930 M.

Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung
Matoa Wajo Andi Oddang kepada AG H. M. As’ad untuk digunakan sebagai tempat
pengajian, pendidikan, dan da’wah Islam. Sejak itulah beliau mendirikan madrasah di
Mesjid Jami’ itu, dan diberi nama al-Madrasah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo.

Tingkatan-tingkatan yang beliau bina pada waktu itu adalah: 1. Tahdiriyah, 3 tahun 2.
Ibtidaiyah, 4 tahun 3. Tsanawiyah, 3 tahun 4. I’dadiyah, 1 tahun 5. Aliyah, 3 tahun Semua
kegiatan persekolahan ini dipimpin langsung oleh AG H. M. As’ad, dibantu oleh dua
orang ulama besar, yaitu Sayid Abdullah Dahlan garut, ex. Mufti Besar Madinah al-
Munawwarah, dan Syekh Abdul Jawad Bone.

Beliau juga dibantu oleh murid-murid senior beliau seperti AG H. Daud Ismali, dan
almarhum AG H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Pengajian khalaqah (pesantren) yang
diadakan setiap ba’da shalat Subuh, ba’da shalat Ashar, dan ba’da shalat Magrib, yang
semula diadakan di rumah beliau, dipindahkan kegiatannya ke Mesjid Jami Sengkang.
Pesantren dan Madrasah yang didirikan dan dibina oleh beliau itulah yang menjadi cikal
bakal Pondok Pesantren As’adiyah sekarang. Terus Berkembang
Selain Pesantren dan Madrasah tersebut di atas, AG H. M. As’ad juga membuka suatu
lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an, yang dipimpin langsung oleh
beliau, dan bertempat di Masjid Jami Sengkang. Pada tahun 1350 H/1931 M. atas prakarsa
Andi Cella Petta Patolae (Petta Ennengnge), dengan dukungan tokoh-tokoh masyarakat
Wajo, dibangunlah gedung berlantai dua di samping belakang Masjid Jami Sengkang.

Bangunan itu diperuntukkah bagi kegiatan al-Madrasah al-Arabiyyah al-Islamiyyah


(MAI) Wajo, karena santrinya semakin bertambah. AG H. M. As’ad berpulang ke
rahmatullah pada hari Senin 12 Rabiul Akhir 1372 H/29 Desember 1952 M. dalam usia 45
tahun.

Sesuai dengan wasiat beliau beberapa saat sebelum wafat, peninggalan beliau berupa
Madrasah dan pesantren kemudian dilanjutkan pembinaannya oleh dua murid senior
beliau; AG H. Daud Ismail, dan AG H. M. Yunus Martan.

Pada tanggal 13 Agustus 1999, berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 1959, dan
Keppres RI No. 076/TK/Tahun 1999, Presiden RI telah menganugerahkan tanda
kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepada AG H. M. As’ad, karena jasa-jasa beliau
yang luar biasa terhadapa negara dan bangsa Indonesia. Tanda penghormatan itu diterima
di Jakarta atas nama beliau oleh putra beliau, H. Abd. Rahman As’ad. (Disadur kembali
dari berbagai sumber)

Komentar:

jOUL menulis:
Anak Satu2nya yg menerima Bintang Maha putra di Istana adalah Guru Besar Saya dan
Beliau masih menjadi Imam besar di Masjid Darurrahmah Toddopuli 2 Makassar
Sulawesi Selatan

Amirullah Arifin menulis:


Insya Allah dng izin Allah SWT, kami senantiasa mendukung Syiar Islam Keseluruh
Penjuru Indonesia,, dan Jazakullah kpd Bapak KH. AS'AD, dlm Syiarx yg hari ini kami
ttp Istiqomah menjalankanx,,, Amin

Ajah Indra menulis:


Al Hamdulillah masih ada kyai yang mau konsisten memerangi bid'ah, kebodohan dan
khurafat. Semoga tetap Istiqomah dan 'BARO' dari semua ahli bid'ah. sehingga
masyarakat awam tidak samar mana sunnah dan mana bid'ah. karena yang harus dibela
dan dibinakan adalah Islam dan Sunnah , bukan organisasi atau tradisi. He.

Budi Ardianto menulis:


Aslm,
Hanya ingin menyapa,salam kenal saya Budi Ardianto dari Kebumen, semakin menaruh
perhatian dengan warga NU, terima kasih.
Waslmm

KH ABDUL WAHID HASYIM


Sifat Manusiawi Sang Tokoh di Mata KH Syaifuddin Zuhri
28/07/2009
KH. Abdul Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 juni 1914 di Tebuireng
Jombang. Membidani terbitnya majalah bulanan bernama “Suluh
Nahdlatul Ulama” yang diasuh dan dikemudikan dari tengah-tengah
Pesantren Tebuireng. Majalah ini menjadi mimbar dan sekaligus menara
Nahdlatul Ulama (NU). Melalui penerbitan majalah inilah, KH. Abdul
Wahid Hasyim mengakui rasa simpatinya pada karya-karya KH Saifuddin
Zuhri yang tersebar di berbagai media NU seperti “Berita NU” di
Surabaya, Majalah bulanan “Suara Ansor NU” di Surabaya, Majalah
bulanan “Trompet Pemuda” terbitan Ansor NU Cabang Kudus, Majalah bulanan
berbahasa Jawa “Panggugah” diterbitkan Konsulat NU Banyumas dan Mingguan “Pesat”
yang berisi berita-berita politik populer di Semarang.

Dari sinilah KH A. Wahid Hasyim kemudian meminta KH Syaifuddin Zuhri untuk


menulis dalam “Suluh NU” yang  diasuhnya. Selama hampir 3 kemudian KH Syaifuddin
Zuhri secara tetap, membantu menulis dalam “Suluh NU” hingga dilarang terbit oleh
pemerintahan militer Jepang pada tahun 1942 M.
 
Awalnya, KH. Abdul Wahid Hasyim berkiprah sebagai Ketua Lembaga Pendidikan
Ma’arif Nahdlatul Ulama pada tingkat Cabang Jombang, kemudian melompat menjadi
Ketua Pengurus Pusat Ma’arif NU dan berkantor di Surabaya. Dalam

Mengenalnya dari Dekat


Semenjak berkenalan, KH Syaifuddin Zuhri sering sekali menyertai KH. A Wahid
Hasyim dalam perjalanan perjuangan, menghadiri pertemuan politik, mengunjungi tokoh-
tokoh ulama dan pemimpin pemimpin ormas dan lain sebagainya.

Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI
(Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah, PSII, PII,
Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A. Wahid Hasyim juga
kemudain duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat
Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik
Indonesia).

Hampir seluruh kota-kota di pulau Jawa mereka singgahi salama zaman  pendudukan
militer Jepang dan zaman  Revolusi fisik (1945-1949), baik untuk urusan politik maupun
pertahanan TAir selama perang kemerdekaan.

Selama kurang lebih 14 tahun KH Syaifuddin Zuhri memperoleh kesempatan untuk


mengenal lebih dekat KH A. Wahid Hasyim. Sehingga KH A. Wahid Hasyim telah
memberi bekas mendalam bagi pertumbuhan karakternya sebagai seorang pemuda yang
berusia sekitar 25 tahun.

Perkenalan ini terus berjalan hingga 5 hari sebelum KH A. Wahid Hasyim wafat pada
tanggal 19 April 1953 dalam usia 39 tahun. Wafat ketika sedang malakukan tugas selaku
Ketua Umum Pengurus Besar NU (partai politik yang berusia 2 tahun setelah
memisahkan diri dari partai Masyumi).

Musibah itu terjadi tatkala KH A. Wahid Hasyim mengalami kecelakan mobil di desa
Cimindi dekat Cimahi Bandung dalam perjalanan menuju ke Sumedang. Pada hari
wafatnya KH A. Wahid Hasyim telah lebih dari 7 tahun menjalani puasa sepanjang tahun,
kecuali pada hari-hari yang dilarang oleh Islam untuk menjalani puasa (Idul Fitri, Idul
Adha, dan hari Tasriq)

Makanan dan Pakaian


KH A. Wahid Hasyim termasuk orang besar yang tidak pernah menyusahkan diri maupun
orang lain dalam masalah makanan. Tentang makanan Nabi Besar Muhammad SAW
bersabda, ”Kami adalah golongan orang-orang yang makan bila merasa lapar dan jika
makan pun tidak sampai kenyang.”

Jika kebetulan dalam perjalanan KH A. Wahid Hasyim harus makan dalam sebuah
restoran dan memesan berbagai jenis makanan ”kelas berat” aneka ragam, maka
tujuannya hanyalah untuk menyenangkan teman dalam perjalanan. Termasuk bila di
rumah, hanyalah untuk menghormati tamu saja.

Pada suatu hari KH Syaifuddin Zuhri menyertai KH A. Wahid Hasyim dalam suatu
perjalanan perjuangan ke daerah Jawa Barat. Seharian penuh keduanya disibukkan
dengan acara-acara yang sangat padat, sekalipun demikian, KH A. Wahid Hasyim tetap
berpuasa (sunnat). Ketika tiba di hotel, waktu sahur telah datang, sementara KH
Syaifuddin Zuhri baru menyadari kelengahannya. KH Syaifuddin Zuhri lupa
menyediakan santapan sahur bagi KH A. Wahid Hasyim.

Di atas meja ada sebutir telur rebus dari sisa santapan sahur kemarin dan segelas teh
bagian KH Syaifuddin Zuhri ketika sore. Dengan sebutir telur dan segelas teh itulah KH
A. Wahid Hasyim bersahur. Padahal bila KH A. Wahid Hasyim mau lebih dari itu, KH
Syaifuddin Zuhri masih bisa membelikannya di sebuah warung dekat hotel yang masih
melayani para pembeli. Di sana masih bisa dipesan nasi goreng, sate ayam, gado-gado
dan sebagainya.

Namun KH A. Wahid Hasyim tidak memperdulikan tawaran KH Syaifuddin Zuhri.


Jawaban KH A. Wahid Hasyim hanya, ”Ah besok toh lapar juga sepanjang hari.” Sebutir
telur itu bahkan hendak dibagi dengan KH Syaifuddin Zuhri, demi ”keadilan Sosial”
katanya. Tetapi tentu saja KH Syaifuddin Zuhri tolak, toh KH Syaifuddin Zuhri tidak
selalu puasa sunnat serutin KH A. Wahid Hasyim. Sambil menyelesaikan sebutir telur
yang satu-satunya untuk sahur itu KH A. Wahid Hasyim berucap, ”Kita berlapar-lapar
supaya tidak melupakan nasib kaum lapar,” yang dimaksud adalah pada hari kiamat
kelak.

Sementara dalam hal berpakaian, KH A. Wahid Hasyim berpendirian, tidak asal


berpakaian! Itu sebabnya KH A. Wahid Hasyim selalu berpenampilan necis dan
harmonis. Di kalangan yang mengerti seni berpakaian ,K.H.A Wahid Hasyim termasuk
bergolongan well dressed selalu rapih dalam berpakaian. Kualitas maupun warna baju,
kemeja, dasi, celana, hingga sepatu dan kaos kaki selalu serasi, sedap dipandang. Begitu
pula jika mengenakan kain sarung, kombinasi antara baju kemeja dan sarungnya
mempunyai daya pikat dan mendatangkan rasa hormat. Warna-warna pakaian yang
menjadi kegemarannya selamanya kalem, meskipun sesekali ada variast, namun tidak
menimbulkan ‘kejutan’.
Pernah KH Syaifuddin Zuhri menanyakan tentang ”falsafat” berpakaiannya, maka
jawabannya adalah, ”Tugas kita menjalankan misi perjuangan ini adalah untuk menarik
simpati orang banyak. Jika mereka belum tertarik pada ide atau gagasan kita, biarlah
sekurang-kurangnya mereka tertarik pada kepribadian kita. Nah, berpakaian yang
menyenangkan dalam pandangan orang, akan menimbulkan kesan mengenai kepribadian
kita,” terang KH A. Wahid Hasyim.

KH A. Wahid Hasyim berpakaian dengan disertai cita rasa dan daya insting yang begitu
kuat. KH A. Wahid Hasyim tahu benar mengenai kecocokan antara situasi dan
keserasianpakaiannya. Mengerti tentang menggunakan setelan celana, dan setelan sarung
dalam waktu yang tepat.
    
Pada suatu hari KH A. Wahid Hayim diundang Bung Karno ke Istana Presiden di
Yogyakarta. Di sana telah berkumpul Dr. Muhammad Hatta, Haji Agus salim, Mr.
Muhammad Yamin, dan tokoh nasional lainnya. Perundingan politik sedang berlangsung
berhubung atau situasi tanah air. Tiba di Istana Presiden, KH A. Wahid Hasyim langsung
bercengkrama dengan yang tengah menantikan kedatangannya. Sedangkan KH
Syaifuddin Zuhri yang mendampinginya duduk bersama para ajudan dan pengawal dalam
jarak 20 meter. Tiap kali KH A. Wahid Hasyim mengemukakan pendapatnya dalam
diskusi, maka para pejabat tinggi negara itu tergelak tertawa sebagai tanda persetujuan
dalam suasana gembira.
    
Setelah kira-kira satu jam, pertemuan para pemimpin itu pun usai. KH A. Wahid Hasyim
cepat-cepat meninggalkan mereka, meskipun tampaknya para koleganya ini masih
hendak menahan agar bisa bercengkerama lebih lama lagi. Terasa adanya suasana kangen
antara satu dengan lainnya. Tetapi KH A. Wahid Hasyim cepat-cepat menuju mobilnya.
Dalam mobil KH Syaifuddin Zuhri menanyakan, mengapa menghadiri pertemuan tingkat
tinggi itu, KH A. Wahid Hasyim cuma mengenakan sarung saja? Maka KH A. Wahid
Hasyim menjawab, ”Kedatangn saya bukan karena atas keinginan saya, melainkan atas
permintaan mereka. Buat mereka tidak menjadi persoalan pakaian yang saya kenakan.
Kecuali itu saya sengaja memakai sarung untuk mengangkat harkat kaum bersarung!”
Kemudian  KH A. Wahid Hasyim menyambung pernyataannya, ”Para kyai kadang-
kadang tidak dihargai oleh mereka yang sok intilektual hanya karena sarungnya. Padahal
lihatlah, Ki Sarmidi Mangunsarkoro selalu mengenakan sarung, padahal beliau menteri P
dan K!” tandas KH A. Wahid Hasyim.

Membaca Buku
KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato. Terutama
sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir
dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari
referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris
sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.

Meskipun tidak pernah sekolah formal di bangku sekolah pemerintah Belanda, sejak dari
tingkat dasar sekalipun, namun KH A. Wahid Hasyim telah mulai belajar menulis dan
membaca huruf latin sejak dini secara self studie. Dari cara belajar non formal inilah KH
A. Wahid Hasyim mampu mempelajari berbagai buku dalam bahasa Belanda dan Inggris.

Menurut cerita yang dituturkan kepada KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim


merupakan pelanggan tetap sebuah perpustakaan di kota Surabaya. Tidak seperti orang
kebanyakan yang datang keperpustakaan dengan memilih judul yang telah disiapkan dari
rumahnya, KH A. Wahid Hasyim membaca buku apa saja tanpa memilih judul.
Mengambil secara berurutan, buku-buku yang tersusun di rak hingga seluruh buku habis
dibacanya. Karenanya, tidaklah mengherankan jika KH A. Wahid Hasyim mengetahui
pengetahuan umum di bidang sejarah, pengetahuan alam, filsafat, politik, ekonomi, seni
budaya, dan lain-lainnya.

KH A. Wahid Hasyim mengkritik orang-orang terpelajar yang tidak peka terhadap


masalah-masalah kemasyarakatan. Menurut KH A. Wahid Hasyim, mereka hanya bisa
membaca buku-buku kecil dalam huruf-huruf kecil a-b-c-d atau alif-ba-ta-tsa, tetapi tidak
bisa membaca buku-buku besar dengan huruf-huruf besar. Yang dimaksudkan di sini
adalah kebanyakan orang pandai tidak mampu membaca tanda-tanda (fenomena) yang
sedang bergejolak dalam masyarakat.

Dalam memori KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim menganggap bahwa


membaca sejarah amatlah penting, tetapi jauh lebih penting lagi adalah membuat sejarah
itu sendiri, atau setidak-tidaknya ikut membuat sejarah.

Bagi KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim telah membuktikan anggapannya ini.


KH A. Wahid Hasyim telah terlibat dalam serangkaian tokoh-tokoh yang menjadi ujung
sejarah kelahiran Indonesia bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Dr. Muhammad Hatta,
Haji Agus Salim, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. AA Maramis, Mr. Muhammad Yamin,
Abikousno Cokrosuyoso dan KH. Abdulkahar Muzakkir dalam menyusun Jakarta
Charter tertanggal 22 juni 1945 yang akhirnya manjelma menjadi pembukaan UUD 1945.

Pendidikan Agama

Pendidikan agama KH A. Wahid Hasyim diperoleh secara langsung dari asuhan


ayahandanya, KH Hasyim Asy’ari, ulama terbesar Jawa pada zamannya. Lingkungan
Pesantren Tebuireng dengan sendirinya merupakan faktor yang sangat penting di dalam
menempa jiwa dan semangat KH A. Wahid Hasyim. Kecerdasan otaknya sangat
menolongnya dalam mengembangkan jiwa kritis yang mendambakan kemajuan.

Sekedar contoh, konon sewaktu masih kanak-kanak, KH A. Wahid Hasyim gemar


bermain main di halaman Masjid, dekat serambi tempat ayahandanya mengajar para
santri. Meskipun tampaknya perhatian KH A. Wahid Hasyim kala itu hanya terpusat pada
permainannya bersama teman-temannya, namun uraian kata sang ayah yang tengah
mengajar itu dapat ditirukan serta merta sambil asik bermain-main.
KH A. Wahid Hasyim kecil mulai belajar bahasa Belanda sambil asyik bermain main
dengan teman-temannya. Daya tangkap serta kecerdasan menjadikannya mudah
mempelajari bahasa Belanda. Bukan saja”berguru” kepada Imam Sukarlan (guru
prifatnya), namun KH A. Wahid Hasyim juga berguru kepada santri-santri lain yang
mahir berbahasa Bseperti Abdul Aziz Diyar yang merangkap guru juga sebagai di
Pesantren Tebuireng.

Menginjak usia sekitar 20-an tahun, KH A. Wahid Hasyim telah mulai sering membantu
KH Hasyim Asy’ari menyiapkan kurikulum dalam pesantren dan menjawab surat-surat
ayahandanya dalam bahasa Arab. Surat-surat ini banyak diterima dari para ulama di
berbagai pelosok tanah air yang menanyakan beberapa masalah hukum Islam aktual yang
sedang menjadi topik hanyag di masyarakat. Namanya mulai dikenal masyarakat seiring
seringnya KH A. Wahid Hasyim mewakili ayahandanya menghadiri pertemuan-
pertemuan ilmiah maupun ceramah-ceramah atas undangan pesantren-pesantren di daerah
lain.

Kegemarannya KH A. Wahid Hasyim adalah menelaah kitab-kitab agama di bidang fikih,


akidah, tafsir, tasawuf, serta buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris. Di tengah
kesibukannya sebagai seorang pemimpin tingkat nasional, yang hari-harinya dipenuh
dengan acara-acara  politik dan perjuangan, namun bila tiba waktunya menghafal Al-
Qur’an maka disisipkanlah waktu beberapa menit untuk menghafal Al-Qur’an. Bahkan
saat sedang menghadiri sidang kabinet atau sedang menyetir mobil sekalipun.

Watak Mulia dan Sederhana


KH A. Wahid Hasyim telah memiliki sifat mulia sejak kecilnya. Sikap mulia dan
sederhana ini tetap disandangnya hingga dirinya telah menjadi menteri negara. KH A.
Wahid Hasyim tetap menulis surat-surat yang diketik sendiri kepada teman-temannya,
baik yang masih sering berjumpa, apalagi yang sudah jarang bersua. Surat-suratnya
biasanya berisi anjuran mempererat tali persaudaraan, paparan perkembangan masyarakat
dan menasehatkan cara-cara menghadapi situasi terkini.

Surat-surat yang datang dari teman-teman maupun orang yang tak dikenalnya, selalu
diperhatikan dan dijawab seperlunya. Diceritakan dalam suatu surat, si pengirim
menyatakan dirinya adalah seorang petani miskin yang diperlakukan tidak adil oleh
pamong desanya. KH A. Wahid Hasyim sangat antusias menerima surat dari orang yang
tak dikenal itu, diambulnya mesin ketik dan seketika itu pula ditulis jawabannya dengan
pendek.

”Surat Saudara sangat mengharukan saya. Harap dimaafkan, bahwa pada saat inii saya
belum sempat membalas surat Saudara. Insya Allah saya akan perhatikan benar-benar.
Bahkan saya berpikir akan datang kepada Saudara untuk turut memecahkan persoalan
Saudara. Wassalam”

Benar juga, di hari lain KH A. Wahid Hasyim datang ke daerah Kediri untuk menjumpai
si pengirim surat dan lalu datang kepada camat di daerahnya untuk mencari jalan
penyelesaiannnya. Akhirnya masalah si pengirim surat dapat dipecahkan.

Sudah menjadi kebiasaan KH A. Wahid Hasyim, bila berkunjung kepada seorang teman,
selalu membawa oleh-oleh, baik berupa buah-buahan maupun sebungkus kue dan rokok
bila seorang yang dikunjungi adalah seorang perokok, meskipun KH A. Wahid Hasyim
sendiri tidak merokok. Di dalam sakunya selau ada korek api untuk memberi api teman
bicaranya yang hendak merokok.
    
Pada suatu hari, KH A. Wahid Hasyim bertandang ke rumah KH Syaifuddin Zuhri.
Seperti biasa jika KH A. Wahid Hasyim datang, maka kawan-kawan dan keluarga KH
Syaifuddin Zuhri pun ikut mengerumuninya. Setelah orang-orang bubar untuk memberi
kesempatan KH A. Wahid Hasyim beristirahat. KH Syaifuddin Zuhri pun menyiapkan
kamar tidurnya untuk bermalam.

Sementara KH Syaifuddin Zuhri dan istrinya menyiapkan kamar tidur untuk tamunya ini,
rupanya KH A. Wahid Hasyim justru asyik membersihkan meja yang terserak-serak,
gelas-gelas bekas minuman dan puntung-puntung rokok yang ditinggalkan oleh para
pengerumun sebentar tadi. KH A. Wahid Hasyim merapikan meja dan kursi dari asbak
tempat menaruh bekas punting rokok.
Sudah tentu KH Syaifuddin Zuhri amat terperanjat dan mencoba mencegah agar KH A.
Wahid Hasyim tidak usah mengerjakan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh tuan
rumah. Namun pada saat itu justru KH A. Wahid Hasyim menjawab dalam bahasa Arab,
”Khalash,” (sudah selesai).

Menurut KH A. Wahid Hasyim, ”Orang-orang tua tidak usah dilihat dari ilmu maupun
kedudukannya, dari segi usia saja, orang yang lebih muda wajib memuliakannya.

Dalam kamus KH A. Wahid Hasyim, cara menghadapi kesombongan bukanlah dengan


bersikap rendah hati. Menurut KH A. Wahid Hasyim orang-orang sombong dan angkuh
hanya mengenal satu bahasa, yakni kesombongan. Mereka tidak mengenal rendah hati
dan mengalah. ”Kita tidak usah menyombong, karena terkena najis tidak boleh
dibersihkan air najis! kepada mereka harus kita perlihatkan bahwa diri kita adalah kuat
dan sanggup mengalahkannya. Orang sombong maupun zalim harus ditolong.” Cara
menolong orang sombong yang baiasa dipilih oleh KH A. Wahid Hasyim adalah dengan
menyetop atau mencegah agar seseorang tidak sombong atau dzalim lagi.

Profil Seorang Pendidik, Ulama, dan Negarawan

Sebagai seorang pendidik KH A. Wahid Hasyim termasuk seorang pembaharu dalam


lingkungan madrasah dan pesantren. Bagi KH A. Wahid Hasyim, metode sekolah dapat
diterapkan dalam pembaharuan madrasah dan pesantren tanpa menghilangkan
kepribadian yang menjadi ciri khas madrasah dan pesantren. Pembaharuannya dilakukan
secara bijaksana dengan menanamkan pengertian serta kesadaran tentang arti penting
pengoganiasaian (manajemen) yang baik. Pesanten sebagai dunia santri berbeda dengan
perguruan tinggi atau sekolahan.Pesantren juga bukan sekedar asrama pelajar.

Pesantren adalah sebuah sistem pendidikan serta kader vorming  yang telah mempunayi
tradisi tersendiri. Pesantren inilah yang menimbulkan salah satu inspirasi bagi Ki Hajar
Dewantara tatkala mencetuskan idenya membangun Perguruan Taman Siswa.

KH A. Wahid Hasyim senantiasa mengembangkan ide-ide pembaharuan pesantren dan


madradsah melalui pendekatan kepada sahabat-sahabatnya dekatnya seperti KH.Hamid
pemimpin Pesantern Termas Pacitan, KH Zarkasyi pemimpin Pesantren Gontor
Ponorogo, KH. Ali Maskum pemimpin Pesantren Krapyak, Yogyakarta, KH Ajengan
Ruhiyat pemimpin Pesantren Cipasung Tasikmalaya, KH Ali Mansur pemimpin
Pesantren Lirboyo Kediri, KH R. As’ad pemimpin Pesantren Asembagus ,Situbonbo, dan
lain-lain.

KH A. Wahid Hasyim sendiri tidak sependapat dengan adanya bantuan keuangan dari
pemerintah. Menurut KH A. Wahid Hasyim bantuan pemerintah justru akan
menempatkan pesantren ke arah ketergantungan maupun merasa berhutang budi kepada
pemerintah, baik secara terang-terangan maupun terselubung. KH A. Wahid Hasyim
mengharapkan, pesantren dapat tumbuh dengan tetap berdikari, seperti tradisinya
semenjak berabad-abad. Karena itulah, pada zaman kolonial Belanda, Tebuireng tidak
pernah bersedia menerima subsidi dari pemerintah, meskipum sekolah-sekolah
Muhammadiyah justru menerimanya dengan antusias. Pada zamannya, sikap Tebuireng
ini merupakan pola panutan bagi seluruh pesantren yang berafiliasi kepada NU.

Perjuangan di zaman  Kolonial Belanda dan Jepang

Sebagai seorang tokoh Nahdlatul Ulama maka KH A. Wahid Hasyim bersikap anti-
kolonialisme dan anti-kapitalisme. Karenanya, tidak mengherankan, KH A. Wahid
Hasyim bersama tokoh-tokoh lain dalam NU, mempoerjuangkan hapusnya subsidi
pemerintah kolonial kepada sekolah-sekolah Islam, memperjuangkaan keringanan beban-
beban pembiayayan bagi para jamaah calon Haji di pulau Onrust dan sebagainya.
Penghapusan biaya korban penyembelihan korban pada Hari Raya Idul Adha, menuntut
kepada pemerintah agar para pejabat yang diangkat dalam kedudukan-kedudukan pada
kantor-kantor Kepenghuluan/Qadhi dipilih dari orang-orang yang memiliki standar
pengetahuan hukum Islam dan akhlak Islam dan lain-lain.
Atas dorongan K.H. Mahfudz Shiddiq Ketua Umum PBNU yang dipilih selama 4 kali
kongres (Orang kuat dalam NU), maka pada tahun 1939 KH A.Wahid Hasyim dipilih
menjadi Ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Para anggota MIAI adalah
tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr. Sukiman, Wondoamiseno,
KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan
lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH A.Wahid
Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.

Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian atas
prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro Muslimin
Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan
Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan
penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin
Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.

Selama zaman  kependudukan Jepang KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh sentral di


kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi
In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid Hasyim dapat
menyakinkan tentara Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang menghimpun kalangan
ulama. Maka terbentuklah Badan yang bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama
Islam yang susunannya terdiri dari: KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar
Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua. Oleh karena
KH Hasyim Asy’ari tidak dapat aktif karena memangku Pesantren Tebuireng, maka
jabatan ketua sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim. Badan inilah yang
menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945)

Taktik politik yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman  Jepang ialah, mengambil
unsur kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.
”Kerja sama” dengan Jepang (pada tingkatan pertama) dipandang perlu sebab bangsa
Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik (kekuasaan ) di zaman  Belanda tidak
akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak
kemenangan. Kezaliman-kezaliman pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh
KH A. Wahid Hasyim, dijadikan pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan Al-
Qur’an segala yang batil pasti akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami kemenangan
yang panjang.

Perjuangan di Zaman  Revolusi Indonesia

Meskipun KH A. Wahid Hasyim sudah menjadi menteri sejak dalam kabinet pertama dan
menjadi menteri pula di kabinet-kabinet sesudahnya, namun Beliau tidak melepaskan
kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat. Adalah menjadi pendirianya yang tak
tergoyahkan: tanpa seorang masyarakat seorang menteri tidak ada artinya dalam arti
perjuangan dan pengabdian masyarakat.

Republik Indonesia yang mendapat pukulan-pukulan dari Nica yang hendak menegakkan
kembali penjajahan Belanda atas bekas jajahannya, menyebabkan perlunya penggalangan
Umat Islam Indonesia dalam satu kekuatan. Maka lahirlah Partai Politik Islam
”Masyumi” dalam suatu Kongres yang diselengarakan di Ibu Kota Republik Indonesia,
Yogyakarta, pada November 1945. Nama Masyumi dipergunakan hanya sekedar nama,
bukan dalam arti ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” seperti ketika masih di zaman 
Jepang.

Partai Masyumi dipimpin oleh dr. Sukiman, sedang pimpinan Majelis Syuro-nya
dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah selaku Wakilnya.
Adapun KH A.Wahid Hasyim memegang jabatan Ketua Dewan Pertahanan Partai yang
langsung memimpin Markas Tertinggi ”Hizbullah”, yang diketuai oleh Zainul Arifin dan
Markas Tertinggi ”Barisan Sabillah” yang diketuai oleh KH. Masykur. Berhubung
tugasnya di dalam partai ”Masyumi” yang membidani politik pertahanan (kemiliteran),
maka KH A.Wahid Hasyim diangkat oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman menjadi
penasehat pribadinya.
Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid Hasyim
menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar waktunya
dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali menghadapi agresi
Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang penuh pertentangan di
masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para
ulama dan dunia pesantren.

Ketika NU merasa sering dirugikan akibat mekanisme demokrasi yang timpang dalam
Partai Masyumi, maka NU menginginkan berpisah dari Masyumi. Sebagian golongan
yang mempunyai andil besar sering diabaikan aspirasinya disebabkan pimpinan politik
lebih condong pada permainan otoriter berdasarkan klik sistem atau”konco-isme”. Kaum
politisi sering mengabaikan pertimbangan Ulama padahal masalahnya menyangkut nilai
Agama. NU berusaha memperbaiki ketimbangan yang terjadi di dalam Partai Masyumi,
terutama ketika partai tersebut berada di bawah pimpinan Muhammad Natsir dengan grup
elit politisi golongannya. Selama 4-5 tahun usaha NU mengadakan usaha-usaha dari
dalam, tetapi tidak berhasil. Karena tidak ada jalan lain maka koreksi NU ditingkatkan.

Atas prakarsa KH A.Wahid Hasyim, Nahdlatul Ulama mendirikan Biro Pilitik yang
bertugas melakukan perundingan dengan pihak Partai Masyumi untuk mencari jalan islah
menuju mekanisme demokrasi secara sehat. Usaha ini pun mengalami kegagalan. Maka
pada tahun 1950 dalan Kongres NU di Jakarta, Kongres memutuskan NU keluar dari
Partai Masyumi. Namun pelaksanaannya ditangguhkan untuk sementara waktu agar
memberi kesempatan kepada Partai Masyumi meninjau pendiriannya atas koreksi NU.

Bagi NU, Partai Masyumi terlalu mengandalkan kekuatan grup elita politisinya, mengira
bahwa Masyumi telah begitu kuat hingga memandang kecil terhadap kekuatan dan
pengaruh NU. Tahun 1952 NU melangsungkan Kongres di Palembang, dr. Sukiman
selaku ketua Partai Masyumi hadir dalam kongres itu atas undangan NU. Acara
terpenting dalam kongres ialah: apakah NU tetap di dalam Masyumi atau keluar.
Akhirnya kongres memutuskan NU menjelma menjadi partai politik sendiri lepas dari
Partai Masyumi. Kongres juga memilih KH A.Wahid Hasyim menjadi Ketua Umum
Pengurus Besar Partai NU.

Sifat-sifat yang Menonjol


Sebagai pejuang KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang gigih mempertahankan
prinsip, tetapi toleran, pantang menyerah dan tidak mengenal putus asa. Di kalangan para
pemimpin, KH A. Wahid Hasyim terpuji keberaniannya atas perhitungan matang
menimbulkan rasa hormat di kalangan lawan sekalipun. Menjadi kawan baik dari Bung
Karno, Bung Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Sukiman, Pak Dirman, Bung
tomo, Sungkono, Sukarno. Khoirul saleh, BM Diah, Jamaludin Malik, Anwar
Cokroaminoto, Sidik Joyosukarto, dan segudang orang-orang terkemuka lainnya.
Meskipun demikian, KH A. Wahid Hasyim sanggup berjam-jam mengobrol denga para
supir, kondektur kereta api, dan montir di bengkel.

Tergolong orang berada (kekayaannya jangan dibandingkan dengan orang-orang kaya


zaman kini), KH A. Wahid Hasyim seorang dermawan dan memiliki jiwa sosial tinggi,
terutama orang-orang yang sedang dirundung kesusahan.
Kewafatannya dalam syahid meninggal dalam usia belum 40 tahun menyebabkan dunia
Ulama dan Pesantren menjerit dan meratap. Kaum politik dan masyarakat baik tua
maupun muda merasa kehilangan yang besar. Yang patah akan tumbuh akan tetapi bukan
lagi A. Wahid Hasyim. Abdul Wahid hasyim hanya ada satu dalam sejarah ummat
manuasia. Namun sekalipun sudah wafat, namanya harum tidak pernah akan mati.

KH A. Wahid Hasyim sering menyatakan kepada orang-orang yang di dekatnya,


”Berusahalah mempunyai keuangan yang stabil, maka saudara akan hidup tanpa
menyandarkan bantuan orang lain yang akan manjadikan saudara bisa dibeli dan akhirnya
saudara haya menjadi seorang boneka dan alat orang lain saja.”

Demikian sekelumit saduran mengenai KH A. Wahid Hasyim yang dicatat oleh KH


Syaifuddin Zuhri. Catatan-catatan ini banyak dirilis oleh KH Syaifuddin Zuhri dalam
beragam edisi, seperti Guruku Orang-orang dari Pesantren dan Kaleidoskop Politik di
Indonesia. (Di sadur kembali oleh Syaifullah Amin)
Komentar:

agus ramadhan,universitas sunan giri surabaya menulis:


kebesaran tokoh kita ini jauh-jauh hari sudah di prediksi oleh banyak orang,.salah satu
alasannya adalah ketika beliau masih jabang bayi di bawalah beliau oleh sang ayah dan
ibu menghadap sang guru tercintanya yaitu allamah syaikh Cholil yang konon terkenal
kewaliannya,..dan sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa sang wali ini selalu
bertingkah laku aneh bila kasyafnya melihat hal-hal luar biasa,pun begitu ketika ketika
sang murid bersama sang istri dan anaknya yang masih jabang bayi menghadap tuk
meminta doa berkah,waktu yang sedang hujan ketika mereka sowan malah tidak boleh
berteduh ke rumah sang syaikh,..dan akhirnya sang bayi yang masih jabang bayi itupun
kehujanan,tapi sang santri beserta istri yang sudah tahu tentang kekeramatan gurunya
hanya menurut saja,dan inilah mungkin yang oleh orang2 yang tahu kejadian ketika itu di
jadilah sebagai pertanda klak sang bayi akan menjadi orang besar,dan sejarah
akhirnyapun mencatat dengan tinta emas tentang kebenaran hal tersebut.

KH NUR AHMAD
Usulnya untuk Mengubah Waktu Haji Diterima Pemerintah Saudi Arabia
10/06/2009

Meski hampir setiap menjelang pelaksanaan puasa Ramadlan, Idul Fitri,


dan Idul Adha umat Islam ribut dalam menentukan tanggalnya, namun
rupanya tidaklah banyak ulama yang berkhidmah terhadap ilmu falak, ilmu tentang ilmu
penanggalan. Dan di antara ulama khos yang sedikit ini adalah KH Nur Ahmad dari
Jepara. Pada era KH Abdurrahman Wahid memimpin Nahdlatul Ulama, KH Nur Ahmad
adalah perwakilan dari propinsi Jawa Tengah untuk Lajnah Falakiyah PBNU.

Terlahir di Robayan, Jepara pada tahun 1930 Nur Ahmad memulai pendidikannya di
kampung halamannya sendiri, sebelum ia kemudian bersekolah ke Madrasah Taswiquth
Thullab (TBS) Kudus. Selama belajar di TBS memang belum nampak keahliannya
sebagai santri yang hebat. Namun selama belajar di TBS inilah Nur Ahmad mulai
berkenalan dengan pelajaran falak dan berguru secara pribadi (sorogan) kepada KH
Turaichan Kudus dengan memakai rubu’ (alat ukur berbentuk seperempat lingkaran) dan
metode logaritma. Nur Ahmad belajar privat (sorogan) falak karena ia menyukai
matematika.

Menurut penuturannya, Nur Ahmad menekuni pelajaran falak ketika duduk di bangku 
tsanawiyah TBS (SMP). Tingkatan tertinggi, karena waktu itu belum ada tingkat Aliyah
(SMU). Waktu itu di Jepara, madrasah setingkat SMP pun belum ada. Di rumah, Nur
Ahmad belajar mencocokkan arloji. Karena terlalu sering diubah-ubah, maka arlojinya
pun sering rusak.

Selama di Madrasah TBS Kudus, Nur Ahmad belajar ilmu falak menggunakan kitab falak
karangan Kiai Mawardi Solo. Nur Ahmad menyalinnya dengan memakai tinta tutul.
Yakni berupa alat tulis yang terdiri dari batang lidi aren lancip dengan tinta cair dalam
botol. Memang demikianlah alat tulis para santri pada zaman itu. Alat ini memiliki
keistimewaan awet, tahan lama dan tidak pudar. Sehingga, meski sekarang telah ada
bolpoint yang praktis, namun banyak santri masih menggunakannya sebagai alat tulis
sampai saat ini. 

Karena ketertarikannya pada pelajaran falak, Nur Ahmad tidak puas hanya belajar kepada
satu guru saja, melainkan ia juga belajar falak secara sorogan (privat) kepada beberapa
ulama di Kudus seperti kepada Kiai Rif’an Kudus. Keistimewaan cara belajar Nur
Ahmad kepada Kiai Turaichan adalah, ia belajar langsung tanpa memakai kitab panduan.
Tanpa kitab, sekali belajar harus langsung bisa.

Nur Ahmad memiliki jadwal rutin dengan Kiai Turaichan. Pernah, pada suatu ketika
tidak dapat memenuhi jadwal hingga molor sampai kira-kira sebulan. Maka Nur Ahmad
tidak berani kembali hingga ia bisa menguasai pelajaran selanjutnya. Dan ketika tiba ia
kembali mengaji kepada Kiai Turaichan, maka dia ditanya, ”gimana kamu Nur?” Dan
Nur Ahmad hanya menjawab, ”Sudah bisa Kiai”. Dan Kiai Turaichan pun melanjutkan
pelajarannya.

Setelah menamatkan pendidikannya di Kudus, Nur Ahmad remaja kemudian berkelana


ke pesantren-pesantren lain di Jawa. Di antaranya adalah ke Tebuireng, Jombang, ke
Salatiga, ke Rembang, ke Lasem, dan ke Langitan, Tuban.

Perjalanannya menuntut ilmu falak ini dilakukan setelah mendapatkan restu dari gurunya,
KH Turaichan. Yakni setelah Nur Ahmad dianggap telah cukup menguasai dasar-dasar
falakiyah dan membutuhkan bersilaturrahim (mengaji) kepada guru-guru lain. Dari
sinilah Nur Ahmad menguasai banyak metode falakiyah dan mempelajari banyak kitab-
kitab falak seperti Hikmatul Wasaid dan Kurotul wafiyah.

Selama di Salatiga, Nur Ahmad belajar kepada Kiai Zubair, pengarang Khulasotul
Wafiyah), dan di pesantren Widang Langitan, Nur Ahmad mengaji kepada Kiai Abdul
Hadi dan akrab dengan Kiai Faqih Langitan yang merupakan teman satu angkatannya. 

Namun selama mengembara ke beberapa Kiai ini, Nur Ahmad selalu menyempatkan diri
untuk mengaji kepada guru pertamanya, KH Turaichan di Kudus. Sehingga Nur Ahmad
merupakan salah satu santri kesayangan sang maestro falak ini. 

Selain belajar secara jasmaniah/teknis, Nur Ahmad juga diperintahkan oleh gurunya, KH
Turaichan untuk berguru secara ruhaniah. Cara berguru yang kedua ini berupa perjalanan
ziarah kepada para ulama ahli falak yang telah wafat. Nur Ahmad sering mendapat
perintah, untuk berziarah ke makam-makam ulama falak. Seperti ke pesarean (makam)
Raden Dahlan, Semarang, seorang ulama ahli falak pada zamannya, Kiai Maksum
Seblak, Jombang dan Asy’ari Bawean.

”Jika kamu ingin menguasai falak, berziarahlah kepada Kiai Ma’sum Jombang. Ber-
hadharah (mengirim doa) kepada banyak Kiai, agar barokah,” kata Kiai Turaichan kepada
muridnya ini. 

Setelah sekian lama belajar kepada Kia Turaichan, Nur Ahmad pun kemudian muncul
sebagai salah satu ulama ahli falak di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Awalnya, sang guru, Kiai Turaichan Adjhuri es-Syarofi Kudus, sebagai ketua Markas
penanggalan Jawa Tengah, diminta sebagai anggota Lajnah Falakiyah di PBNU dari
perwakilan Jawa Tengah, tetapi tidak berkenan. Lalu Kiai Turaichan diminta untuk
menunjuk perwakilannya. Maka sang guru ini pun menunjuk Kiai Nur Ahmad Jepara
yang merupakan muridnya, sebagai wakilnya di Lajnah Falakiyah PBNU. Peristiwa ini
ini terjadi pada tahun 1969. Maka jadilah KH Nur Ahmad sebagai salah satu pengurus
Lajnah Falakiyah PBNU.

Mengubah Haji Akbar

Salah satu alasan, mengapa Nur Ahmad merupakan salah satu di antara para ulama ahli
falak yang diperhitungkan adalah prestasinya mengubah keputusan pemerintah Saudi
Arabia dalam menentukan waktu wukuf pada tahun 1988.

Waktu itu, pemerintah Saudi Arabia berkeras ingin menentukan hari waktu wukuf haji
menurut kehendaknya sendiri. Yakni dipaskan pada hari Jumuah (Jum’at), agar dapat
menjadi momentum Haji Akbar. Pemerintah Saudai Arabiyah berusaha merekayasa agar
wukuf pada musim haji kali ini dapat dilaksanakan pada hari Jumuah, sehingga dapat
dianggap menjadi Haji Akbar.

Melihat gelagat ini, PBNU yang pada waktu itu dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid
pun secara resmi mengutus KH Nur Ahmad untuk meluruskan kesalahan pemerintah
Saudi Arabia. Maka Nur Ahmad pun berada dalam rombongan haji para pengurus PBNU.

Di Makkah, KH Nur Ahmad kemudian membuat penuturan tertulis dalam bahasa Arab
bahwa klaim Saudi Arabiya adalah salah. KH Nur Ahmad menyertakan berbagai
pandangan hingga setebal delapan belas lembar. Penuturan KH Nur Ahmad ini kemudian
dikirim ke beberapa pihak, termasuk pemerintah kerajaan Saudi Arabia dan Kedutaan
Indonesia di sana.

Dalam penuturan tertulisnya ini, Nur Ahmad mendasarkan hitungannya pada perbedaan
awal Dzulqo’dah. Yakni dengan menggenapkan bulan Syawal menjadi tiga puluh hari,
karena bulan Ramadhan sebelumnya, hanya berjumlah dua puluh sembilan hari. Karena
tidaklah mungkin terdapat penanggalan hijriyah dengan 29 hari dalam tiga bulan berturut-
turut.
 
Selain itu, sebagai utusan PBNU, KH Nur Ahmad mengumpulkan orang-orang Indonesia
yang bermukim di Makkah, untuk move/pressure politik. Kepada mereka KH Nur Ahmad
berpesan, jika benar Kerajaan Saudi Arabia tetap memutuskan dan mengumumkan bahwa
wukuf jatuh pada hari Jumuah, maka mereka harus tetap melaksanakan wukuf pada hari
Sabtu. ”Tolong pinjami saya mobil dan sopirnya, nanti kalian ikut di dalamnya. Kita tetap
akan wukuf pada hari sabtu,” kata Nur Ahmad kepada para mukimin tersebut, yang
sebenarnya adalah para tetangganya dari demak, Lasem dan sekitarnya.

Akhirnya, pemerintah Saudi Arabia bersedia merubahnya pendiriannya dan jadilah


akhirnya wukuf bersama-sama pada hari Sabtu. Untuk memastikan perubahan sikap
pemerintah saudi Arabia ini, Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid pun
menyusul ke Saudi Arabia.

”Dianggapnya pada waktu itu ahli falak di NU hanya Nur Ahmad Jepara saja. Padahal
Nur Ahmad hanyalah Murid Kiai Turaichan Kudus saja.” katanya KH Nur Ahmad
merendah.

Syamsul Hilal

KH Nur Ahmad ini pulalah yang merupakan ”saksi ahli” dalam kejadian penolakan
melihat gerhana matahari secara langsung dengan mata telanjang, yang tetapkan oleh
pemerintah. KH Nur Ahmad tentu tidak kaget ketika perintah keluar masjid dan melihat
gerhana secara langsung dikeluarkan oleh gurunya dari atas mimbar khutbah gerhana.
Bagaimana pun juga Nur Ahmad telah mengetahui sebelumnya, karenya dirinya
merupakan orang yang sangat intens diajak berdiskusi oleh gurunya untuk urusan
falakiyah.

Untuk mengukur sejauh mana kualitas keilmuan Nur Ahmad, dapatlah diukur dari
kedekatannya dengan gurunya. Karena kepercayaan Kiai Turaichan kepada Nur Ahmad,
maka ia sering diajak langsung untuk menemui tamu-tamu penting membicarakan urusan
falakiyah, atau ketrlibatannya sebagai wakil Kiai Turaichan untuk urusan-urusan
falakiyah.

Salah satu yang cukup membuatnya terkesan adalah ketika gurunya, KH Turaichan
didatangi oleh seorang tamu bernama Sa’duddin Jambek dari Sumatera Barat. Tamu ini
datang ke Kudus, tampaknya ingin mencoba menjajaki, sejauh mana ketinggian ilmu
gurunya. Di sini Nur Ahmad adalah murid yang dilibatkan secara langsung untuk
menemui sang tamu.

Tamu ini menanyakan, kitab apa yang digunakan untuk menghitung tinggi hilal (bulan
sabit penanda awal tanggal baru) dari kaki langit (ufuk) terendah. Mengerti maksud
kedatangan tamunya, Kiai Turaichan mulai menjawab dengan menunjukkan kitab falak
yang dianggap paling dasar oleh kalangan santri, yakni Sullamun Nayiroin. Ketika sang
tamu mengerti, maka Turaichan terus menunjukkan pada tingkat di atasnya. Demikian
seterusnya, hingga ketika menunjukkan kitab Syamsul Hilal, sang tamu belum
mengenalinya. Maka rupanya sedemikianlah kemampuan sang tamu. Padahal masih
banyak kitab-kitab lain yang dianggap lebih tinggi daripada Syamsul Hilal.

Belajar kepada Syeikh Yasin Padang

Salah satu yang membuat KH Nur Ahmad merasa berkesan adalah ketika berguru kepada
Syeikh Yasin Padang. KH Nur Ahmad berguru kepada Syeikh Yasin Padang di Makkah
ketika sedang menunaikan ibadah haji.

Jika pada umumnya, seseorang membutuhkan waktu lama untuk mempelajari sebuah
kitab, dengan Syeikh Yasin Padang, KH Nur Ahmad hanya membutuhkan 3 hari untuk
menghatamkan satu kitab. Alhasil, KH Nur Ahmad pun memiliki banyak pengetahuan
baru bersama Syeikh Yasin Padang.

Dengan cara belajar sepanjang masa inilah, KH Nur Ahmad menjalani kehidupannya
yang sederhana dan bermanfaat. Meski telah memiliki banyak santri di rumahnya, namun
KH Nur Ahmad masih tetap belajar kepada banyak guru dan menimba ilmu kepada para
ulama lainnya.

KH Nur Ahmad mengabdikan sepanjang hidupnya untuk perjuangan ilmu Islam


Ahlussunnah Waljamaah. Mengabdi untuk pada para santrinya, organisasi NU di Lajnah
Falakiyah dan kepada masyarakat sekitarnya.

Syaifullah Amin
(Ditulis berdasarkan penuturan KH Nur Ahmad kepada tim NU Online di rumahnya,
Jepara, pada Sabtu 7 Maret 2009)

Komentar:
ali maftukin menulis:
gus di atas ad pernyataan 'kalau pengen jadi ahli falak. ziarahlah ke makam ahli falak
untuk berhadharah. supaya barokah". gus sekali-sekali aku di ajak ziarah dong!

erwan a menulis:
dimanakah alamat beliau atau no telponny yg dapat kami hubungi mengingat sudah 1
tahun lebih arah kiblat mushollaku sudah 2x berubah....membingungkan umat

ANREGURUTTA DAUD ISMAIL (1907-2006)


Ulama Pelestari Kearifan Lontara Bugis
02/05/2009

Suku Bugis yang berdiam di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi


Tenggara, dan Sulawesi Tengah, namun demikian suku ini juga menyebar
ke berbagai daerah di Nusantara. Dalam tradisi masyarakat Bugis, gelar
Anregurutta dapat diibaratkan sebagai professor di dunia kademik. . Jika
orang luar Sulawesi Selatan mendengar seseorang warga yang
menyebutkan Anregurutta kepada seorang tokoh, tentu sang tokoh 
tersebut termasuk kategori ulama yang disegani. Anregurutta menempati
status sosialnya yang tinggi dan kedudukan terhormat di mata masyarakat Bugis.

Pemberian gelar Anregurutta bukanlah pemberian gelar akedemik, melainkan pengakuan


yang timbul dari masyarakat, atas ketinggian ilmu, pengabdian dan jasanya dalam
dakwah keislaman. Tidak semua yang mengajar agama dipanggil sebagai Anregurutta,
tergantung dari tingkat keilmuannya. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini adanya
kelebihan Anregurutta berupa karomah, dalam bahasa Bugis disebut makarama.

Para muballigh misalnya, ada juga yang tetap dipanggil Ustadz, yaitu orang yang
membawakan khutbah dan ceramah di masyarakat. Namun belum bisa dijadikan sebagai
suatu rujukan bertanya berbagai hal keagamaan. Sementara posisi tingkat Anregurutta ini
dijadikan sebagai tempat bertanya berbagai persoalan dan kehidupan secara umum.
Ustadz dikenal hanya dalam kelompok kecil, misalnya kelompok pengajian dan ceramah-
ceramah umum.

Salah satu di antara para pejuang dakwah islamiyah di tanah Bugis yang digelarai
Anregurutta ini adalah Anregurutta Haji (AGH) Daud Ismail. Sosok ulama besar
Sulawesi Selatan yang memiliki peran penting terhadap pengembangan syiar Islam di
Sulawesi Selatan. Beliau adalah salah seorang arsitek berdirinya Datud Da’wa wal Irsyad
(DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh
Pabbajah serta ulama-ulama sunni Sulawesi Selatan lainnya. Gurutta Daud Ismail juga
dikenal sebagai ulama ahli tafsir bahkan ia berhasil membuat tafsir (terjemahan) Al-
Qur’an sebanyak 30 juz dalam bahasa Bugis.
 
Pendidikan Otodidak
Beliau Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907 M., buah
perkawinan dari pasangan H. Ismail dan Hj. Pompola. Daud Ismail mengawali
pendidikannya dari kolong rumah. Di sana Gurutta mulai belajar mengaji Al-Qur’an pada
orang tua kandungnya. Kemudian melanjutkan pendidikan ke pesantren-pesantren di
Sengkang. Dari sinilah Daud Ismail memiliki banyak guru dari kalangan ulama
Sengkang.

Daud Ismail adalah seorang yang otodidak, sejak kecil belajar sendiri untuk mengenal
aksara Lontara dan Latin. Kendati demikian, beliau juga pernah menimba ilmu pada
banyak guru, baik di Soppeng (Kabupaten Soppeng) maupun di Soppeng Riaja
(Kabupaten Barru), Sulawesi Selatan.

Antara tahun 1925 – 1929 Daud Ismail juga belajar kitab qawaid di Lapasu Soppeng
Riaja, sekitar 10 KM dari Mangkoso, 40 KM dari Kota Pare Pare. Di sana Daud Ismail
belajar pada seorang ulama yang bernama Haji Daeng. Pada masa itu pula Daud Ismail
belajar kepada Qadhi Soppeng Riaja, H, Kittab.

Setelah Anregurutta H. Muhammad As’ad kembali dari Tanah Suci dan mendirikan
Pesantren Bugis di Sengkang pada tahun 1927 yang bernama Al-Madrasatul Arabiyah
Al-Islamiyah (MAI), maka pada tahun 1930 Daud Ismail kembali ke Sengkang untuk
belajar kepada Anregurutta H.M. As’ad dan termasuk santri angkatan II, setelah
Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle.

MAI ini merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua yang dikenal masyarakat di
Sulawesi Selatan. MAI Sengkang Wajo didirikan pada bulan Zulkaidah 1348 H. atau
bertepatan bulan Mei 1930 M. oleh Anregurutta As’ad yang baru saja kembali dari
Mekkah pada tahun 1928 setelah menyelesaikan masa belajarnya pada Madrasah Al-
Falah Mekah. Pada awal-awal berdirinya, MAI Sengkang Wajo hanya merupakan
pengajian pesantren yang pelaksanaannya mengambil tempat di rumah kediaman
Anregurutta As’ad sendiri. Setelah santrinya bertambah banyak tempat pelaksanaan
pengajiannya dipindahkan ke Masjid Jami’ Sengkang.

Selama belajar di Sengkang Daud Ismail merasakan banyak sekali kemajuan khususnya
dalam menguasai kunci ilmu-ilmu agama. Misalnya, Ilmu Qawaid, Ilmu Arudh, Ilmu
Ushul Fiqhi, Ilmu Mantiq dan lain-lainnya. Hal itu cukup dirasakan oleh Daud Ismail
karena metode mengajar yang diterapkan oleh Gurutta H.M. As’ad terbilang sudah lebih
maju dari metode yang didapatkan sebelumnya. Sehingga menurut pengakuan Daud
Ismail, santri-santrinya cepat menguasai apa yang diajarkan.

Salah satu kesan mendalam Daud Ismail kepada Anregurutta As`ad, ketika gurunya ini
mengajarkan ilmu Arudh yang diajarkan setelah Shalat Isya, hingga larut malam. Bahkan
terkadang sampai sekitar jam satu malam. Anehnya, Gurutta Daud Ismail hanya diajarkan
ilmu Arudh ini selama satu malam saja. Keesokan harinya beliau langsung diberi kitab
untuk dipelajari sendiri.

Inilah salah satu kelebihan dan keunikan Anregurutta As`ad dalam mendidik santri-
santrinya. Misalnya, ketika belajar ilmu Arudh ini, Anregurutta As’ad hanya memilih
sejumlah santri pilihan untuk diajar satu malam saja memberikan penjelasan kepada
santrinya tanpa buku pegangan. Namun keesokan harinya santri-santrinya telah mampu
menerapkannya dalam menelaah kitab kuning. Padahal ilmu Arudh termasuk salah satu
cabang ilmu yang paling sukar dipelajari di dunia pesantren.

Setelah belajar langsung kepada Anregurutta As`ad di Sengkang,  Daud Ismail kemudian
dipercayakan untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, meskipun beliau
tetap belajar kepada Anregurutta As’ad. Kebetulan pada waktu itu, belum ada tingkat
Aliyah. Sejak saat itulah, orang-orang mulai memanggilnya Gurutta (panggilan
kehormatan setingkat di bawah Anregurutta) Daud Ismail.

Bersama Gurutta Daud Ismail ini pula Anregurutta As’ad membentuk tim pengajar.
Sehingga Anregurutta As`ad tidak lagi langsung berhadapan dengan santri-santri baru
(yunior). Tapi hanya berhadapan langsung dengan beberapa santri senior. Dari santri
senior inilah kemudian mengajarkan kepada santri yang lain sesuai tingkatan masing-
masing.

Gurutta Daud Ismail temasuk santri yang paling disayangi oleh Anregurutta As`ad. Hal
itu dibuktikan dengan ketatnya pengawasan kepada beliau. Gurutta Daud Ismail tidak
diizinkan meninggalkan pesantren, hingga memasuki masa sulit ketika harus
meninggalkan Sengkang.

“Laing memetto gurutta Sade` usedding batena mappa`guru”, (Saya merasakan memang
agak lain waktu saya belajar pada Gurutta Sade – panggilan akrab bagi Anregurutta
Muhammad As`ad - dibanding waktu saya belajar di tempat lain), demikian kenang
Gurutta Daud Ismail tentang gurunya ini.

Wasiat Sang Guru


Pada tahun 1942, ketika pecah perang dunia II, merupakan masa sulit yang dialami
Gurutta Daud Ismail. Kondisi tersebut membuatnya terpaksa meninggalkan Sengkang
untuk kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Salah satu cobaan berat Gurutta
Daud Ismail yang ketika ini adalah waktu itu adalah berpulangnya istri pertama ke
Rahmatullah.

Tak lama kemudian, pada tahun 1942 – 1943 beliau diminta mengajar di Al-Madrasatul
Amiriyah Watang soppeng menggantikan Sayyed Masse. Dan waktu itu juga beliau
diangkat menjadi Imam Besar (Imam Lompo). Hingga akhirnya beliau memutuskan
meninggalkan perguruan tersebut, karena dibatasi gerakannya oleh Nippon dan adanya
latihan menjadi tentara Jepang (PETA).

Pada tahun 1942 M. ini pula Daud Ismail diangkat sebagai Imam Besar di Lalabata,
Kabupaten Soppeng, sambil mengajar pada sebuah madrasah. Beliau juga pernah menjadi
guru pribadi bagi keluarga Datu Pattojo, tepatnya pada tahun 1944. Karena diakui sebagai
seorang ulama yang berilmu luas dan mendalam, Daud Ismail diangkat sebagai Kadhi
(hakim) di Kabupaten Soppeng pada tahun 1947. Jabatan ini beliau sandang hingga tahun
1951. Kemudian antara tahun 1951-1953, beliau menjabat sebagai pegawai di bidang
kepenghuluan pada Kantor Departemen Agama Kabupaten Bone. Sejak saat ini Daud
Ismail telah mulai biasa disapa sebagai Anregurutta.

Sepeninggal Anregurutta As‘ad (1952 M), Anregurutta Daud Ismail diminta oleh para
pemuka masyarakat Wajo dan sesepuh Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) untuk
datang ke Sengkang melanjutkan pembinaan madrasah yang ditinggalkan oleh
Anregurutta Muhammad As‘ad. Pada tahun 1953 nama Madrasah Arabiyah Islamiyah
(MAI) diubah pada tahun 1953 menjadi Madrasah As‘adiyah sebagai penghormatan dan
penghargaan kepada Anregurutta M. As‘ad.

Kembali ke Sengkang merupakan wasiat dari Anregurutta As’ad, bahwa Gurutta Daud
Ismail harus kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI. Maka meskipun dengan resiko
harus meninggalkan status pegawai negerinya, Anregurutta tetap memenuhi wasiat
gurunya tersebut. Namun. Anregurutta Daud Ismail hanya menetap dan memimpin MAI
Sengkang selama 8 tahun. Karena adanya desakan dari Soppeng agar beliau kembali
membina madrasah di daerahnya. apalagi waktu itu beliau merasa sudah ada kader-kader
ulama yang dapat menggantikan Anregurutta Daud Ismail.

Setelah meninggalkan Sengkang pada tahun 1961, Anregurutta Daud Ismail kembali ke
Soppeng. Ia mendirikan sekaligus mengetuai Yayasan Perguruan Islam Beowe
(YASRIB) dan membuka Madrasah Muallimin pada tahun 1967. Pada masa ini
Anregurutta Daud ismail juga diangkat  kembali menjadi Qadhi (untuk kedua kalinya) di
Soppeng.

Menulis Kitab
Suku Bugis dikenal sebagai salah satu suku di Indonesia yang sangat kental menganut
dan melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam. Untuk keperluan itu, mereka sangat
bergantung pada apa yang mereka peroleh dari al-Qur‘ân, sehingga tafsir al-Qur‘ân
memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaannya.

Atas dasar yang demikian, maka Anregurutta Daud Ismail melahirkan sebuah karya tafsir
berbahasa Bugis. Upaya ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada
masyarakat Bugis untuk lebih mudah mengakses dan memahaminya. Terutama sekali
adalah agar adanya aksara Lontara, yaitu huruf abjad bahasa Bugis, tidak lekas punah.

Tujuan beliau menyusun buku tafsirnya adalah untuk memelihara bahasa Bugis dari
kepunahan. Untuk itu, beliau berharap agar karyanya itu ditempatkan di masjid-masjid,
sehingga jemaah dapat dengan mudah membacanya. Hal ini merupakan salah satu upaya
mempertahankan eksistensi bahasa Bugis.

Anregurutta Daud Ismail berharap agar karyanya itu ditempatkan di masjid-masjid,


sehingga jamaah dapat dengan mudah membacanya. Hal ini merupakan salah satu upaya
mempertahankan eksistensi bahasa Bugis.

Sejarah eksistensi terjemah dan tafsir Al-Qur’an, di Sulawesi Selatan sendiri sudah cukup
panjang. Upaya untuk menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur’an ke dalam bahasa
Bugis telah dimulai sejak tahun 1948. Pada waktu itu, sebuah buku tafsir kecil terbit di
Sengkang (Kab. Wajo) yang ditulis oleh Anregurutta M. As‘ad (w. 1952 M), guru dari
Anregurutta Daud Ismail.

Karya lain yang pernah ditulis Anregurutta Daud Ismail, antara lain Ashshalatu Miftahu
Kulli Khaer (bahasa Bugis), Carana Puasae, kitab-kitab ini ditulis dalam bahasa Bugis.
Sementara Tafsir dan Tarjamah Al-Qur’an 30 Juz dalam bahasa Bugis merupakan karya
tulis terbesarnya.

Anregurutta Daud Ismail memimpin Pondok Pesantren YASRIB sampai


menghembuskan napas terakhirnya. Anregurutta Daud Ismail menghadap ke hadirat
Allah SWT dalam usia 99 tahun pada Senin 21 Agustus 2006 sekitar pukul 20.00 WITA,
setelah sempat dirawat selama tiga pekan, di Rumah Sakit Hikmah, Makassar.
Anregurutta Daud Ismail masih menjabat sebagai Kadhi di Kabupaten Soppeng. Selain
itu amanah yang masih disandangnya adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kabupaten Soppeng tahun 1993-2005. Semoga Allah SWT meridhoi perjalanannya dan
merahmati masyarakat yang ditinggalkannya. Amin. (Disadur oleh Syaifullah Amin dari
berbagai sumber).

Komentar:

taukhid menulis:
Subhanallah, sungguh luar biasa perjalanan yang telah ditempuh oleh ulama besar ini.
Semoga Allah swt menguatkan kita untuk meneruskan langkahnya; "menjaga nilai-nilai
Islam melalui proses belajar dan mengajarkannya kepada orang lain secara terus-
menerus". Allahummaghfirlahu warhamhu wa'aafihi wa'fu 'anhu.

darusman hendra menulis:


tolong jelaskan ajaran tauhidya

KH SALEH LATENG BANYUWANGI


Anggota Formatur Pembentukan Pengurus NU Pertama
01/04/2009

Banyuwangi sebagai salah satu basis masyarakat santri di Tapal Kuda


(pesisir timur pulau Jawa) menyimpan berbagai kisah heroik yang belum
banyak diketahui oleh masyarakat luas. Dan sebagai daerah yang cukup
jauh dari pusat kekuasaan, Banyuwangi menyimpan kharismanya sendiri.
Banyuwangi merupakan salah satu daerah yang terkenal dengan kesaktian
para kyainya. Salah satu di antara kyai-kyai sakti tersebut adalah KH
Saleh Lateng, salah seorang pendekar sakti keturunan raja-raja Palembang
Sumatera.

Sejarah Keluarga
Pada kisaran perempat perteama abad ke-19, Kerajaan Palembang Darussalam telah
kehilangan kendali atas wilayahnya sendiri. Sultan Najamuddin dibuang oleh Belanda ke
Banda Aceh dan pemerintahan palembang dikendalikan oleh seorang Residen Belanda.
Banyak para bangsawan menyingkir keluar daerah, salah satunya adalah Kiagus
Abdurrakhman, kakek Kyai Saleh Lateng. Kiagus Abdurrakhman ini kemudian menetap
di Sumenep dan menikah dengan seorang perempuan setempat bernama Najihah.
Pernikahan ini dikaruniai tiga orang anak. Namun hanya seorang yang kemudian
meneruskan silsilah keturuanan, yakni Kiagus Abdul Hadi –ayahanda Kyai Saleh, yang
kemudian pindah dan menetap di Banyuwangi.

Terlahir di Kampung Mandar Kota Banyuwangi pada hari Ahad, 6 Ramadhan 1278 H.
bertepatan dengan 07 Maret 1862 M. dengan nama Kiagus Muhammad Saleh. Ibunya
berasal dari Panderejo Banyuwangi bernama Aisyah. Nama Kyai Saleh ini yang terkenal
selama hidup hingga sepeninggalnya. Meski setelah berhaji, namanya berganti menjadi H
Muhammad Syamsuddin, namun dalam keseharian Beliau selalu menuliskan namanya
dengan Saleh saja. Dengan demikian ia tetap dikenal oleh masyarakat sebagai Kyai Saleh
saja.

Banyuwangi pada masa kecil Kiagus Muhammad Saleh berada dalam kondisi yang
sangat memprihatinkan, baik dari sisi material maupun secara spiritual. Rakyat miskin
akibat penjajahan dan suasana pertengkaran antar kelompok masyarakat menjadikan
suasana semakin menakutkan. Gank-gank yang terbukti tidak berdaya melawan kekuatan
asing, saling terlibat permusuhan dan pertikaian untuk menaikkan gengsi pribadi dan
golongan. Belum lagi hasutan politik adu domba Belanda yang menjadikan kondisi ini
terus berlarut-larut.

Kendati terlahir di tengah kemerosotan moral masyarakat, namun masa kecil Kiagus
Muhammad Saleh dilalui dengan cara-cara sangat islami. Sedari kecil Muhammad Saleh
belajar mengaji kepada ibu dan bapaknya, serta lingkungan keluarganya. Pada usia
remaja Saleh mulai belajar mengaji ke luar daerah. Pada usia 15 tahun, Saleh mondok di
Kyai Mas Ahmad, Kebon Dalem, Surabaya. Tak lama kemudian, ia meneruskan
pelajarannya ke Bangkalan Madura, kepada Kyai Kholil. Di Bangkalan ini, Saleh
menjadi khodim (pelayan) Kyai Kholil. Termasuk bersedia menemani anak Kyai kholil,
Hasan mencari uang, untuk keperluan berangkat Haji.

Selama di bangkalan ini pula Saleh belajar berbagai ilmu, termasuk ilmu-ilmu kesaktian
yang kelak akan digunakan secara langsung untuk memperbaiki masyarakatnya. Selain di
Bangkalan, Saleh juga meneruskan pencarian ilmunya hingga ke Bali, yakni kepada Tuan
Guru Muhammad Said Jembrana, Bali. 

Selepas menuntut ilmu di Bali, Saleh bertekad meneruskan pelajarannya ke Tanah Suci.
Saleh menghabiskan masa belajarnya di Mekkah selama enam tahun sebelum diminta
pulang oleh gurunya, Kyai Kholil Bangkalan. Kala itu, selain belajar, Saleh juga telah
mengembangkan ilmunya kepada para pelajar lainnya di sana. Saleh telah membuka
pengajian di Mekkah dengan menggunakan empat bahasa. Namun Saleh meminta waktu
satu tahun lagi untuk Belajar di sana. Permintaan ini pun diijinkan oleh gurunya tersebut.

Setahun kemudian, kira-kira tahun 1900 M. sekitar umur 38 tahun, Kiagus Saleh kembali
ke kampung halamannya di Banyuwangi. Kiagus Saleh kemudian menetap di kampung
Lateng Banyuwangi, dan selanjutnya terkenal sebagai Kyai Saleh Lateng. Kyai Saleh
secara resmi mendapatkan ijin mengajar di langgarnya di Lateng dari Bupati
Banyuwangi, Koesoemonegoro pada 4 Maret 1909 M. Dari sinilah Beliau mulai
mengabdikan dirinya untuk perbaikan kualitas masyarakat Banyuwangi. Sedikit-demi
sedikit, wilayah dakwahnya semakin meluas hingga ke seluruh penjuru Banyuwangi.

Dalam pengajaran kepada murid-muridnya, Kyai Saleh Lateng sangat menjunjung sikap
tegas terhadap penjajahan. Ia sering berpesan kepada santri-santrinya untuk berusaha
keras menjadi orang pintar agar tidak terus dijajah oleh bangsa lain. Selain mengajarkan
ilmu-ilmu agama, Kyai Saleh juga mengajarkan kesaktian-kesaktian yang dipelajarinya
sejak mondok di Bangkalan. Dengan demikian, murid-murid Kyai Saleh bukan hanya
terdiri dari kaum santri yang taat beribadah. Melainkan juga para jagoan dan
bromocorah-bromocorah setempat yang ingin menambah kesaktian. Sehingga banyak
sekali algojo dan tanjak seblang di seluruh wilayah Banyuwangi yang menjadi santrinya.

Dari sinilah kemudian Kyai Saleh lateng muncul sebagai tokoh pemersatu masyarakat
Blambangan. Kelompok-kelompok yang tadinya bertikai, mulai disatukan dengan alasan
sesama murid dari lateng dilarang saling bermusuhan. Lambat laun para jagoan lokal dan
para penyamun jalanan mulai menghentikan operasinya, karena mematuhi perintah Kyai
Saleh Lateng. Semboyan “satu guru jangan saling mengganggu” rupanya mampu
meredam perpecahan di antara masyarakat Banyuwangi kala itu. Sebagai sesama murid
Kyai Saleh Lateng, mereka mulai menghentikan pertikaian dan permusuhan.

Kepada masyarakatnya, Kyai Saleh sangat mengayomi dan membuka konsultasi seluas-
luasnya. Mengedepankan saling silaturrahim dan mendamaikan mereka yang sedang
terlibat pertengkaran. Dengan demikian berangsur-angsur terbangunlah persatuan dan
kesatuan Banyuwangi.

Kehidupan Keorganisasian
Sebagai salah satu tokoh kunci persatuan masyarakat Banyuwangi, Kyai Saleh
memegang peranan cukup penting dalam membidani kelahiran Nahdlatul Ulama (NU),
terutama di Wilayah Blambangan. Demi menyambung perjuangan keagamaan dan
perjuangan kemerdekaan pada taraf yang lebih luas, Kyai Saleh bergabung dengan para
ulama dari daerah lain. Baik melalui jaringan pertemanan sewaktu masih menjadi santri
di Surabaya dan Madura maupun jalinan persaudaraan dengan teman-temannya selama
menuntut Ilmu di Tanah Suci.

Dalam berorganisasi, Kyai Saleh Lateng bergabung dengan Sarekat Islam. Pada tahun
1913 Beliau memimpin Rapat Umum Sarekat Islam yang diadakan di Kawedanan
Glenmere Banyuwangi. Selanjutnya, pada 16 Rajab 1344 H. bertepatan dengan 31
Januari 1926 M. bersama dengan tokoh-tokoh ulama Nusantara lainnya, Kyai Saleh
Lateng juga merupakan salah seorang yang naik di atas panggung (podium) untuk turut
memberikan kontribusi dan dukungan pada pertemuan Komite Hijaz.

Pada hari yang kemudian dikenal sebagai hari kelahiran Nahdlatul Ulama ini, Kyai Saleh
Lateng ditunjuk oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah untuk menjadi
anggota Muassis-Mukhtasar (formatur) pembentukan pengurus Nahdlatul Ulama yang
pertama. 

Sikap Anti Penjajahan


Dalam mendidik para santri dan masyarakatnya untuk menentang penjajahan, Kyai Saleh
Lateng bersikap keras. Beliau memilih sikap konfrontatif hingga melarang anak-anaknya
belajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah penjajahan. Kyai Saleh
melarang keluarga dan para santrinya untuk memakai celana, melepas Kopyah dan
mengikuti kebiasaan-kebiasaan Belanda. Kyai Saleh juga mengutus beberapa anaknya ke
medan perang gerilya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Selama masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Kyai Saleh aktif


mengikuti perkembangan perjuangan rakyat Indonesia melalui siaran Radio Republik
Indonesia (RRI) dan surat kabar. Hal ini dilakukan untuk mengecek keberadaan santri-
santrinya yang sedang dikirim ke garis depan pertempuran dan medan gerilya. Kyai Saleh
menyokong perjuangan bersenjata melalui dukungan dana dan doa kepada santri-
santrinya yang akan dikirim ke medan laga.

Karena tindakan-tindakannya membantu perjuangan kemerdekaan, Kyai Saleh juga


sempat menghadapi kejaran Belanda dan harus menghindar keluar dari Lateng ke
Pakistaji. Di sinilah, Beliau bertemu dengan salah seorang anggota pasukan yang pernah
dipimpinnya. Anggota pasukan ini juga sedang di kejar-kejar oleh intel Belanda. Kyai
Saleh pun kemudian menolongnya. Anggota inilah yang kemudian menceritakan bahwa
sebenarnya, Kyai Saleh Lateng terlibat secara langsung di garis depan ketika memimpin
sepasukan laskar rakyat dalam penyerbuan terbuka (saat berkumandangnya Resolusi
Jihad) ke Surabaya.

Kyai Saleh lateng juga termasuk orang yang sangat tegas dalam menolak kompromi
dengan pemerintah penjajah. Pernah pada masa-masa akhir penjajahan Belanda di
Indonesia, Kyai Saleh ditawari oleh bantuan oleh Belanda untuk pembangunan
pesantrennya. Bahkan konon, Van Der Plass sendiri yang datang menemui Beliau.
Namun bantuan ini ditolak mentah-mentah oleh Kyai Saleh. 

Kyai Shaleh juga memiliki andil dalam pembentukan awal awal kementrian Republik
Indonesia. Menurut cerita, suatu ketika, Menteri Agama Republik Indonesia pertama
KHA Wahid Hasyim mencari kitab yang akan digunakan sebagai pedoman pembentukan
organ kementrian. Konon menteri agama mencarinya ke seluruh pondok pesantren
kenalannya, namun belum juga menemukannya.

Maka KHA Wahid Hasyim kemudian mengutus seorang kurir untuk menanyakannya
kepada Kyai Saleh Lateng yang pada waktu itu masih berada di tempat persembunyian di
Pakisaji Kabat. Kurir tersebut meminta dengan membeli atau mengganti harga atas kitab
tersebut. Maka Kyai Saleh Lateng pun kemudian memberikan kitab bernama Mu’jamul
Buldan tersebut dengan bersedia menerima separo harga dari harga semestinya. Kitab ini
merupakan salah satu sumbangan Kyai Saleh Lateng dalam pembangunan organ
Departemen Agama Republik Indonesia. 

Kehidupan Bermasyarakat
Sebagai seorang ulama yang telah dididik dalam norma-norma agama yang kuat, baik di
lingkungan keluarga maupun di pesantren, Kyai Saleh selalu mengamalkan prinsip-
prinsip pergaulan islami dalam bermasyarakat. Beliau memiliki sikap yang tegas dan
berani dalam menyatakan kebenaran dan keadilan. Bahkan meski sering hal tersebut
dianggap merugikan.

Sifat budi baik lainnya adalah, Kyai Saleh tidak memilih-milih dalam pergaulan
kemasyarakatan. Beliau banyak memiliki santri dari berbagai kalangan, baik dari
masyarakat santri yang taat maupun dari kelompok keluarga para bromocorah. Termasuk
pula, Kyai Saleh tidak membeda-bedakan tingkat ekonomi para muridnya. Kyai Saleh
tidak membedakan antara santri anak orang kaya, pejabat dan rakyat miskin kebanyakan.

Sebagaimana umumnya para ulama, Kyai Saleh sangat gemar membaca al-Qur’an ketika
sedang sendirian dan sedang tidak mengajar santri. Kyai Saleh juga senantiasa
mentradisikan pengadaan peringatan-peringatan hari besar Islam. Termasuk peringatan
Haul gurunya, Kyai Kholil Bangkalan.

Kebiasaan-kebiasaan amar ma’ruf nahi mungkar dan disertai dengan keteladanan dalam
mentradisikan kebajikan serta tolong-menolong antar sesama senantiasa melekat dalam
diri Beliau, hingga akhir hayatnya.

Kyai Saleh Lateng berpulang ke Rahmatullah pada malam Rabu, tanggal 29 Dzulqo’dah
1371 H. bertepatan dengan 20 Agusrus 1952 dalam usia 93 tahun. Atas Izin bupati
Banyuwangi, Usman, maka jenazahnya disemayamkan pada jarak kurang lebih sepuluh
meter di sebelah selatan langgar, tempat Beliau biasa memberikan pengajian kepada
santri-santrinya.

Dan untuk mengenang jasa-jasa beliau, maka pada tahun 1956 DPRD Kabupaten
Banyuwangi menyepakati adanya seruas jalan dengan nama Jalan Kyai Saleh Lateng.
Meski jasad Kyai Saleh Lateng telah tertimbun di tanah, namun jasa-jasanya senantiasa
dikenang oleh seluruh masyarakat, dan perjuangannya akan senantiasa dilanjutkan oleh
santri-santri penerusnya. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa-dosanya dan
melimpahkan rahmat untuk kemuliaan ruhnya. Amin Wallahu A'lam bisshowab. (Disadur
dari buku Biografi Kyai Saleh, karya H. Abd, Manan Syah). Syaifullah Amin

Komentar:

Ihsan Sa'id menulis:


sebagai pewaris para nabi, ulama (baca:kyai) memegang peranan penting dalam
membentengi aqidah umat serta menjadi suri teladan bagi umatnya.

AGH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE


Mengayuh Sepeda 70 km Demi Berdakwah
03/03/2009

Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih


kental, sekitar tahun 1900 M, di Desa Ujung Kecamatan Tanasitolo,
Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang. Ayahnya bernama
Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi.

Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak
yang memiliki banyak rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan
limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama
bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat
menghapal Al Qur’an.

Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo, Gurutta tidak dibiarkan menjadi
bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan
kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Bersekolah di Volk School (Sekolah
Rakyat) pada pagi hari dan belajar mengaji pada sore dan malam harinya. Dalam dunia
permainan anak-anak, Ambo dale adalah seorang penggiraing bola handal sehingga
digelari “Si Rusa.”

Selama Belajar, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid,
qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikih saja.. melainkan juga mengikuti kursus bahasa
Belanda di HIS dan pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat
Islam (SI) di Makassar.

Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan
(sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak
pembicaraan guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-
Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke
negeri leluhurnya, Ambo dale segera berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari
guru besar tersebut.

Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo
yang kembali dari Mekkah. Di antaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji
Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi,
dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama
Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu,
lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah.
Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan
Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab
Saudi).

Keberuntungan dalam Belajar


Suatu ketika, AGH. Muhammad As’ad yang biasa  disapa oleh masyarakat Bugis dengan
Anregurutta Puang Aji Sade, menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo
Dalle. Ternyata jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak
saat itu ia diangkat menjadi asisten. Sehingga pada tahun 1935, beliau berangkat ke
Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk
memperdalam ilmu agama pada para syeikh di Mekkah.

Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AGH. Muhammad As’ad, beliau mulai meniti
karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama,
Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H.
Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi
madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas
bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Maka dibukalah pendidikan awaliyah
(setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu
diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya
diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan AGH. As’ad dan ulama lainnya. Ambo
Dalle bahkan kemudian diserahi tugas memimpin lembaga itu. Dalam waktu singkat,
popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem
madrasah), menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.

Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M.Yusuf
Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Maka
ketika H.M.Yusuf Andi Dagong  ini diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun
1932, ia pun lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun,
mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman
masyarakat terhadap agama yang dianutnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama,
diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang: pesantren) dengan
mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu
membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M. As’ad mengizinkan muridnya, yaitu
Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan
dibuka di Mangkoso.

Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat
pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama. Tempat-tempat tersebut adalah Pulau
Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila
dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional
berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena
telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan
pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng
Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI
Sengkang.

Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta HM.As’ad tidak menghendaki ada
cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan
kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui
negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan
masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle.
 
Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H.
Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari
Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari
itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang
sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal
kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti
dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk Gurutta dan
keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso.

Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka madrasah dengan


tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang
diperlukan serta biaya hidup mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai
penguasa setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H.
Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang beberapa
diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah : Gurutta M. Amberi Said,
Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd. Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid
Ajakkang, Gurutta Burhanuddin, Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle,
Gurutta Muhammad Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail
Kutai, Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian
Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd.Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin
Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso,
namun bukan cabang dari MAI Sengkang.

Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle, berbekal pengalaman mengajar yang ada,


diberi amanah untuk memimpin MAI Mangkoso. Berkat dukungan dan simpati dari
pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah ini
sangat pesat, terbukti dengan banyak permintaan dari luar daerah untuk membuka
cabang. Anregurutta merespon permintaan itu, maka dibukalah cabang MAI Mangkoso di
berbagai daerah.

Zaman Jepang
Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku
imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai
menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti
yang dilakukan di madrasah. Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak
kehilangan siasat. Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan
di dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan
jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar.
Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan
mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota
kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu. Ajaib, dengan
cara itu justru mengundang peminat yang kian bertambah dan luput dari pengawasan
Jepang. Malah, ada beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal Gurutta Ambo Dalle
secara dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat dalam sehingga
menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah kharisma Gurutta
Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata dalam masyarakat
sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya.

Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak habis-habisnya. Masyarakat
akan selalu terkesan bagaimana Sang Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh
sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km pulang
pergi. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena beliau
juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu mejadi
sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle, jiwanya telah
terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh sehingga semua
dijalani dengan ikhlas dan ridha.

Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau dihadapkan pada
kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan
kemerdekaan. Di mana-mana gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok tanah air.
Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya
nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata,
berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu
yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad.

Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidak serta
merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi rakyat. Ancaman datang lagi dari
Belanda melalui agresi Sekutu/NICA. Rakyat dari berbagai pelosok bangkit mengadakan
perlawanan. Terjadilah peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Peristiwa Korban
40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando Kapten Westerling
mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang dituduh sebagai
ekstrimis.

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri-santri
yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di
cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Diantara
yang menemui syahid itu tercatat nama M. Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri
MAI Mangkoso yang ditugaskan mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan
tugasnya.

Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta H Abdurrahman Ambo


Dalle untuk mengembangkan MAI. Bahkan, dalam situasi seperti itu bersama beberapa
ulama lepasan MAI Sengkang, diantaranya AG.H.Daud Ismail dan AG.H.M.Abduh
Pabbajah, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan alim ulama/kadhi se
Sulawesi Selatan di Watang Soppeng. Pertemuan itu diadakan pada hari Rabu tanggal 14
Rabiul Awal 1366 H / 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat tanggal 16 Rabiul Awal
1366 H / 7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati membentuk organisasi yang diberi
nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), yang bergerak dalam bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial kemasyarakatan. AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle dipilih sebagai
ketua dan AG.H.M.Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi itu. Setelah pertemuan
tersebut, MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berubah nama menjadi DDI.
Mangkoso pun ditetapkan sebagai pusat organisasi.

Pasca proklamasi kemerdekaan gairah rakyat untuk mengejar segala ketertinggalan


utamanya dalam bidang pendidikan bagai tak terbendung. Hal ini membuat pimpinan
pusat DDI sangat kewalahan melayani permintaan untuk mengirimkan guru-guru untuk
cabang-cabang DDI yang baru. Maka, suatu kebijaksanaan segera diambil oleh ketua
umum melalui suatu keputusan rapat adalah dengan menugaskan siswa-siswa kelas
tertinggi untuk mengajar di madrasah-madrasah yang tersebar di mana-mana. Mereka
diwajibkan mengabdi selaku pendidik dalam jangka waktu tertentu. Setelah selesai,
barulah mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajarannya. Prakarsa ini ternyata
bermanfaat ganda. Kesulitan tenaga pengajar dapat ditanggulangi tanpa memerlukan
biaya besar. Sedangkan bagi para siswa, kegiatan tersebut berguna sebagai wahana
mempraktikkan ilmu yang telah mereka dapatkan di madrasah. Selanjutnya, bila mereka
berada di tengah masyarakat, tidak canggung lagi dalam melanjutkan pengabdiannya.
 
Hijrah Ke Pare-pare
Tahun 1950, AGH. Abdurrahman Ambo Dalle yang berusia 50 tahun itu akhirnya pindah
ke Parepare meninggalkan Mangkoso yang sarat kenangan yang semakin meneguhkan
sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama Islam lewat media pendidikan. Beliau
membangun rumah dan menetap di Ujung Baru bersama keluarganya dan pada tahun itu
pula pusat Darud Da’wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare, dengan menempati sebuah
gedung yang cukup representatif di sebelah selatan Masjid Raya. Gedung tersebut adalah
pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa lama kemudian, dibangun perguruan di Jalan
Andi Sinta Ujung Baru Parepare (depan Masjid Al Irsyad, bersebelahan dengan rumah
kediaman Gurutta). Setelah itu, Gurutta pindah ke Ujung Lare (Lereng Gunung) yang
diperuntukkan bagi santri putra. Sedangkan untuk santri putri, tetap di Ujung Baru.
Sementara DDI di Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan dikelola oleh pemimpin
yang baru, yakni KH. Muhammad Amberi Said.

Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi
dan pendidikan. Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat
dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara.
Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk itu,
manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai
institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom didirikan,
antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang kepanduan dan
kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi,
Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan
perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan
guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan
zaman.

Dalam kesibukannya memimpin organisasi dan perguruan itu, AG.H.Abdurrahman


Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama
KH. Fakih Usman dari Departemen Agama Pusat dipercayakan oleh pemerintah RI
membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama Propinsi Sulawesi. Tugas
itu dapat dilaksanakan dengan baik berkat ketekunan dan kesabarannya. Sebagai Kepala
Depag yang pertama, diangkat KH.Syukri Gazali, sedangkan beliau sendiri diangkat
menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare pada tahun 1954,
menggantikan KH. Zainuddin Daeng Mabunga yang dialihtugaskan ke Makassar.

Diculik Kahar Muzakkar


Perjalanan hidup terus bergulir dengan segala dinamika yang mengiringinya. Hingga
pada suatu hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955, mobil yang dikemudikan oleh Abdullah
Giling, sopir (sebelumnya adalah pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta, dicegat
sekelompok orang bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros. Awalnya,
Abdulllah Giling mengira pasukan tersebut adalah tentara yang sedang latihan perang-
perangan. Ketika mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata itu membuka topi bajanya
dan berhamburanlah rambut panjang melampaui punggung pemiliknya, ciri khas pasukan
pemberontak. Yakinlah mereka kalau sedang dihadang oleh gerombolan separatis DI/TII
pimpinan Kahar Muzakkar. Waktu itu DI/TII memang banyak mengajak kaum ulama
untuk dibawa masuk ke hutan dan dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang menolak
akan diambil secara paksa (diculik) seperti yang terjadi pada Gurutta KH. Abd. Rahman
Mattammeng. Pasukan gerombolan tersebut tidak memberikan kesempatan Gurutta
Ambo Dalle untuk berbicara dan langsung dinaikkan ke atas usungan. Gurutta lalu
dibawa masuk ke hutan yang menjadi basis perjuangan mereka untuk bergabung dengan
anak buah Kahar Muzakkar. Niat pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu
untuk menculik Gurutta Ambo Dalle memang sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan
kepada Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak ini tampak gembira, “Alhamdulillah, Pak
Kiai sudah di tengah-tengah kita, Insya Allah dengan doa Pak Kiai, perjuangan kita akan
mencapai kemenangan,” kata Kahar Muzakkar.

Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama
sekali tidak punya peluang untuk keluar dari hutan dan kembali ke kota. Maka,
terbersitlah pikiran Gurutta agar lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti
yang ia cita-citakan sejak kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan
keluarganya di hutan. Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah
tampaknya mendapat benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut
faham Wahabi dan sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak
mengherankan jika sering terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan
pengikut setianya.

Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah perjuangan idealisme
kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta.
Kemana ia pergi Gurutta selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena
tembakan dari serangan TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan,
berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid
Gurutta.

Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin
menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-
pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal
itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari
hutan. Beliau dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama
mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu
itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi
dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama
memendam rindu, baru berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang
bisa dipetik dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai
kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu.

Kiprahnya dalam Perjuangan


Keteguhan sikap Anregurutta tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang beliau
lalui dalam perjalanan hidupnya. Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Gurutta
Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Parepare, tak bergeming dan tetap kukuh
dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu Anregurutta berpesan pada santrinya
agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan
gejolak yang terjadi dalam masyarakat.

Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung
memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para
pejuang yang minta didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang
Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi
(TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa pada
tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam
memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali dari Jawa dan
hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada tanggal 20 Januari 1947
atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak Mangkoso bersebelahan dengan
Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI Sulawesi
Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin (sekarang Kodam VII
Wirabuana).
 
Hijrah Ke Kaballangan Pinrang
Pada tahun 1977, pemilu kedua berlangsung selama zaman orde baru. Pada waktu itu,
kondisi politik Indonesia terasa sangat panas. Baranyanya pun bergulir sampai ke kampus
DDI Ujung Lare Parepare. Berkaitan dengan peristiwa pemilu ini, Gurutta berada dalam
kondisi yang cukup dilematis. Keadaan memaksa beliau untuk memilih. Atas dasar demi
menyelamatkan organisasi dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, akhirnya
AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan diri bergabung dengan Golongan Karya
(Golkar), partai politik yang berkuasa saat itu. Itupun setelah melalui perenungan dan
kontemplasi yang matang dan didahului dengan shalat istikharah, untuk memohon
petunjuk Illahi Rabbi agar dapat menentukan dan memilih jalan yang terbaik. Gurutta
KH. Ambo Dalle memilih ikut bersama dengan pemerintah membangun bangsa dan
negara daripada harus berseberangan jalan.
Meskipun pilihan politik itu bersifat pribadi, tidak membawa DDI sebagai lembaga, tapi
tampaknya sikap ini tidak menghembuskan angin segar dalam internal warga DDI?
Diantara tokoh DDI dan murid-muridnya banyak yang tidak setuju dengan sikap yang
diambil Gurutta. Sikap itu dianggap sudah keluar dari garis perjuangan DDI. Hal itu
berdampak pada keterpecahan sikap dari para santri tempat beliau memimpin. Peristiwa
ini memberi dampak serius terhadap mekanisme pendidikan di Pesantren DDI Ujung
Lare dan Ujung Baru Parepare yang dipimpin langsung oleh Gurutta. Kedua kampus itu
nyaris kosong ditinggalkan oleh santri-santri yang tidak bisa menerima sikap politik
Gurutta. Akhirnya para santriwati yang tadinya tinggal di Ujung Baru ditarik ke Ujung
Lare untuk bergabung dengan santri putra yang masih bertahan.

Peristiwa tersebut membuat Gurutta sangat kecewa sehingga hampir saja membuatnya
hijrah ke Kalimantan Timur. Ketika itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sana
menunggunya. Issu ini sempat tercium oleh Bupati Pinrang (Andi Patonangi). Beliau lalu
menawarkan kepada Gurutta sebuah kawasan di daerahnya untuk dijadikan pesantren.
Tahun 1978, akhirnya Gurutta hijrah lagi ke Pinrang, tepatnya di desa Kaballangan.
Itulah awal berdirinya Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang yang dipimpin
langsung oleh beliau. Sedangkan pesantren di Parepare diserahkan kepada KH. Abubakar
Zaenal.

Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kedekatan Gurutta dengan Golkar dan
pemerintah orde baru, selain telah menorehkan pengalaman pahit bagi DDI, harus diakui
pula telah mendatangkan kebaikan bagi DDI. Tidak ada lembaga pendidikan dan
organisasi Islam, khususnya di Sulawesi Selatan, yang demikian diperhatikan oleh
pemerintah melebihi perhatian terhadap DDI. Pembangunan Pondok Pesantren DDI
Kaballangan, misalnya, tidak lepas dari perhatian dan bantuan pemerintah. Pesantren
putra yang dipimpin langsung oleh Gurutta itu tidak pernah sepi dari kunjungan pejabat,
sipil dan militer, baik dari provinsi maupun pusat. Tentu saja, kunjungan itu membawa
sumbangan untuk pesantren. Meskipun begitu, hubungan baiknya dengan pemerintah
tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi. Juga kedekatan itu tidak
mengorbankan kharismanya sebagai ulama anutan yang disegani.

Kitab-kitab Karya Gurutta


Sebagai ulama, AGH. Abdurrahman Ambo Dalle banyak mengurai masalah-masalah
kesufian di dalam karya-karya tulisnya. Tapi, tidak sebatas saja, melainkan hampir semua
cabang-cabang ilmu agama beliau kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah, akhlak,
balaghah, mantik, dan lain-lain. Kesemua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang
berjumlah 25 judul buku. Kitab Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khalaqi, yang
memaparkan tentang perkataan yang benar dalam mengenali Allah dan tatacara
pengabdian terhadap-Nya. Menurut Gurutta, manusia hanya dapat mengenal hakikat
pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya. Untuk
mengagungkan Allah, tidak hanya berbekalkan akal logika saja, tapi dengan melakukan
zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makripat kepada Allah. Meskipun
harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai
ciptaan Allah swt.

Dikemukakan bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan Rasulullah
berdasarkan dalil-dalil naqli. Hati harus istiqamah dan tidak boleh goyah. Pendirian dan
sikap aqidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang
terdiri dari tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini
kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal Jama’ah.

Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab Tanwirut Thalib,
Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab. Tentang ilmu balagha (sastra dan paramasastra)
bukunya berjudul Ahsanul Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I, menerangkan kosa
kata, dan cara penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah, menerangkan
kosa kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol adalah kitab Irsyadul Salih.
yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas bait-bait kaidah ilmu Nahwu)

AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam Bahasa
Arab, yakni kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) dalam kitab
Miftahul Fuhum fil Mi’yarif Ulum. Aktivitas tulis menulis yang dilakukan oleh Gurutta
kiranya tidak terlalu berat, karena panggilan untuk mengukirkan gagasan dalam kanvas
sudah beliau lakoni sejak berumur 20 tahun.

Kepribadian Gurutta
Sebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam, Gurutta KH. Abd. Rahman Ambo
Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik santrinya maupun dengan masyarakat
dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa
pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang
perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang
kokoh untuk menegakkan berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki jaringan
cabang yang sangat luas hingga keluar negeri. Kedekatannya dengan semua golongan
terkadang membuat beliau mempunyai “banyak anak” sebagai anak angkat yang tidak
dibedakan dengan anak kandungnya sendiri. Seperti pengakuannya dalam sebuah media,
“Bagi saya, semua orang seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara adil tidak
peduli apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan Wapres) ketika
menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai anak. Gurutta pun
menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai bukti dan mengajarkan beberapa
doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila Try Sutrisno ke Sulawesi Selatan, selalu
meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Gurutta.

Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar di Pesantren DDI, khususnya di
Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan, diperlakukan sama, baik santri laki-laki maupun
perempuan. Beliau selalu menaruh rasa cinta dan sayang kepada siapapun yang dianggap
memiliki kemampuan belajar tanpa memandang latar belakang keluarga. Sebagai contoh,
beliau pernah memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada ditangannya sebagai
hadiah kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gurutta.

Dalam kegiatan kemasyarakatan, Gurutta sangat intens dalam memberikan perhatian dan
meluangkan waktunya untuk membahas dan menyelesaikan persoalan-persoalan
kemasyarakatan yang ditemui ataupun yang diajukan kepadanya. Namun, dengan
segudang kesibukan yang mendera waktunya, Gurutta tak pernah melupakan tugas
sehari-hari untuk mengajar di pesantren dan juga kegiatan dakwah yang diembannya
hingga sampai ke pelosok-pelosok daerah. Apalagi jika memasuki hari-hari besar Islam
seperti pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. atau peringatan Isra’ Mi’raj Nabi,
beliau jarang dijumpai di rumah karena kesibukan berdakwah untuk kepentingan syiar
Islam.

Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin kerja sama yang sangat akrab. Beliau
mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara keduanya merupakan dwi tunggal yang
mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan beliau itu, sesungguhnya Gurutta juga
adalah seorang yang menyimpan jiwa seni yang cukup kuat. Orang-orang terdekatnya
paham betul akan kemampuan Gurutta dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-
lagu yang bernafaskan Islam. Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang
nyaris sama dengan yang asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang
masih tersimpan sebagian di tangan santrinya.

Detik-detik Terakhir
Gurutta KH. Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja mendekati satu abad.
Namun, tahun-tahun menjelang beliau dipanggil Tuhan, tetap dilalui dengan segala
kesibukan dan perjalanan-perjalanan yang cukup menyita waktu dan tanpa hirau akan
kondisi beliau yang mulai uzur. Misalnya, dalam usia sekitar 80 tahun beliau masih aktif
sebagai anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak mampu
menopang tubuhnya, beliau masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk melakukan
Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur), meskipun mesti
digendong.

Demikianlah perjalanan hidup seorang hamba Allah SWT yang telah melalui berbagai
zaman dalam perjuangannya menegakkan dan mensyiarkan agama Islam. Di setiap era
yang dilewatinya, dia tetap tampil sebagai sosok yang selalu tegar dan tegas. Ibarat pohon
bakau ditepi pantai, ia tak pernah luruh dan tetap kukuh menghalau deburan ombak yang
menghantamnya. Dia tak mau takluk pada perhitungan manusia akan kondisi dan
kemampuan fisiknya di usia senja. Dimana keadaan sebagian tubuhnya sudah tidak
berfungsi lagi, mata yang kabur dan nyaris tak melihat, tubuh ringkih yang tidak kuat
berjalan. Semuanya tidak membuatnya untuk berhenti dari misi pengabdiannya. (Disadur
dari berbagai Sumber oleh syaifullah Amin)

Komentar:

cozy corner menulis:


terimakasih

al-hugos menulis:
subhanallah, pengorbanan beliau sungguh besar... menjadi pemantik semangat u/ terus
belajar dan berbenah menjadi manusia yg bermanfaat u/ orang lain

Praditya menulis:
Ulama Aswaja memang menyejukkan umat. Mereka berdakwah dengan kasih sayang.
Semoga akan lahir ulama-ulama dan kiai-kiai yang seperti mereka kembali.
Amin.

nurim menulis:
Subhanallah. Bisa diceritakan juga kisah ulama karismatik yang tidak terlalu jauh
jaraknya dengan masa sekarang, agar terasa lebih dekat suasananya.

KH MUHAMMAD RAMLI
Qadhi Luwu dari Bone
01/02/2009

Terlahir di Bone, Sulawesi Selatan, tahun 1906 M (1325 H.) sebagai


seorang anak dari pasangan H Masalah dan Hj, Aminah. Diasuh dan
besarkan  dalam kultur keagamaan yang sangat kuat. Karena ia berasal
dari keluarga agamis, maka ia pun menimba ilmu agama pertamanya dari
kelaurga terdekat, yakni   kedua orang tuanya.

Banyak menimba ilmu dari para ulama terkenal di daerahnya, seperti KH


Abdul Rasyid dan KH Abdul Hamid (Qadhi Bone). Selain itu, Ramli
kecil juga masuk pendidikan formal berupa Sekolah Rakyat (SR).

Setelah beranjak dewasa, Ramli berangkat ke Mekkah untuk berhaji dan belajar ilmu
agama selama tiga tahun di sana. Sepulangnya dari Mekkah pun Romli tetap tawadhu’
dan tidak menyombongkan dirinya. Ramli mengunjungi para ulama di Sulawesi Selatan
dan kembali berguru kepada mereka, seperti KH Ahmad Bone, Syeikh mahmud al-
Madani, Syeikh Radhi dan Syeikh Hasan al-Yamani.

Karirnya dimulai sebagai badal Syeikh jamaah haji Indonesia asal Sulawesi Selatan,
kemudian diangkat menjadi Syeikh jamaah haji selama tiga tahun. Dari sinilah
kemuadian KH Ramli diangkat menjadi Imam Masjid Kajuara oleh Arung Kajuara dan
kemudian memangku Jabatan Qadhi di Luwu. Puncak kariernya dalah menjadi anggota
konstituante dari fraksi NU dan diangkat menjadi Imam Masjid Raya Ujung Pandang
(Makassar sekarang).

Pada tahun 1946 KH Muhammad Ramli berangkan menuju Bone untuk terlibat aktif
dalam perjuangan Revolusi fisik. Kemudian bersama-sama dengan para ulama lainnya
mendirikan perkumpulan yang dinamakan Rabithatul Ulama (RU). Di sini KH Ramli
bertindak sebagai Ketua I sedangkan ketua Umum dijabat oleh KH Ahmad Bone.

Misi Dakwah Aswaja


Dalam menjalankan misi dakwahnya, KH Ramli mengembangkan metode-metode
ceramah dan pengajian dengan gaya yang menarik dan disukai oleh masyarakat. Beliau
sangat memegang teguh prinsip-prinsip Ahussunnah Waljamaah. Aqidah inilah yang
diterapkan, baik kepada santri-santrinya maupun kepada masyarakat secara luas.

KH Muhammad Ramli berprinsip bahwa hal paling pokok dalam Islama adalah akidah.
Karenanya, ia berusaha semaksimal mungkin untuk menanamkan dasar-dasar akidah ini
kepada masyarakat.

Dengan segala daya upaya, KH Muhammad Ramli memberantas segala kemusyrikan


yang masih melanda masyarakat Luwu pada waktu itu. Pada waktu itu masyarakat di
Luwu masih banyak yang menyembah pohon-pohon, sungai, batu dan lain sebagainya.
Meski dilarang oleh agama, namun pada waktu itu penyembahan-penyembahan seperti
ini masih ditolelir oleh pihak kerajaan. Dengan demikian KH Muhammad Ramli merasa
berkewajiban untuk meluruskan kesalahan-kesalahan akidah masyarakatnya ini.

Beliau memberikan penerangan-penerangan dengan sikap yang tegas untuk


menghilangkan seluruh praktek-praktek kemusyrikan yang masih melanda masyarakat di
Sulawesi Selatan. Karena ketegasan-ketegasan sikap dalam setiap ceramah dan fatwa-
fatwanya, maka kehidupan beragama Islam menurut tata cara Ahlussunnah Waljamaah di
Luwu dapat dirasakan hingga saat ini.

Ketegasan KH Ramli dalam menata perikeagamaan di masyarakat Luwu, misalnya dapat


kita lihat pada perubahan yang dilakukan oleh KH Ramli mengenai tata cara khutbah
Jum’at. Meski gurunya, KHM As’ad mewajibkan khutbah harus dengan bahasa daerah,
namun KH Ramli dengan mengacu pada kitab-kitab kuning, membolehkan khutbah
dengan bahasa Arab.

Jadi menurut KH Ramli, khatib cukup membaca rukun khutbah dalam bahasa Arab,
kemudian menerangkan dengan secukupnya tentang ajakan untuk menambah kebaikan
dan ketaqwaan dalam bahasa daerah, bahsa yang dapat dimengerti dengan mudah oleh
masyarakat setempat. Menurut KH Ramli, ini adalah bentuk pelaksanaan dari perintah
Rasulullah SAW untuk mengajak manusia pada kebaikan sesuai dengan kapasitas
kemampuan mereka masing-masing.

Pendosa Tidak Mesti Murtad


Karena seringnya diundang dalam acara pernikahan, maka di sinilah KH Ramli banyak
mengajarkan tata cara hidup yang Islami kepada masyarakat secara langsung. Beliau
mengajarkan kepada masyarakat tentang Islam yang sesuai dengan prinsip-prinsip akidah
Ahlussunnah Waljamaah.

Suatu ketika, dalam pekerjaannya sebagai Qadhi, KH Ramli ditanya oleh warganya
tentang tata cara penguburan terhadap seorang wanita Muslim. Dalam kasus ini wanita
Muslim ini adalah isteri dari seorang lelaki non Muslim. Selama menjadi isteri, wanita ini
tidak pernah terlihat melaksanakan syariat Islam, ada kemungkinan ia dilarang oleh
suaminya yang non Muslim.

Mendapati kasus yang demikian, KH Ramli selaku Qadhi Kerajaan Luwu memerintahkan

Masyarakat untuk mengurus wanita tersebut menurut cara Islam. Argumen dari fatwanya
ini adalah, ”Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain,” (QS. Al-An’am, 6:164) dan
“Allah menjadikan isteri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang yang beriman,” (QS.
At-Tahrim, 66:11).

Sebagaimana pandangan Aswaja, orang yang mempercayai kerasulan Muhamamd SAW


dan mengakui keesaan Allah SWT tidaklah dapat dianggap murtad begitu saja meskipun
ia memiliki banyak dosa, bahkan seandainya ia melakukan dosa besar, ia tetaplah seorang
Muslim yang berhak dikubur dengan tata cara Islam ketika ia meningal dunia.

Dari sisi pergaulan hidup dan sikap keagamaan, meskipun KH Ramli berpandangan
teguh, namun Beliau sangat menganjurkan untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan
dalam menampakkan sikap-sikap keagamaan, termasuk cara berdzikir yang dianggap
berlebihan oleh masyarakat pada umumnya.

Tahun 1952 KHA Wahid Hasyim, yang waktu itu menjabat sebagai menteri agama,
berkunjung ke markas RU dan merundingkan pembentukan partai politik Islam untuk
menghadapi Pemilu 1955. Musyawarah ini memberikan mandat kepada KH
Muhammad    Ramli untuk mendirikan partai NU di Sulawesi Selatan.

Melalui partai NU inilah KH Muhammad Ramli terpilih sebagai anggota konstituante


dari fraksi NU. Ketika sedang menghadiri rapat konstituante di Bandung, rupanya KH
Muhammad Ramli dipanggil menghadap Ilahi dalam usia 52 tahun. (semoga Allah
mengampuni segala dosanya)

KH ABDUL CHALIM MAJALENGKA (1898-1972)


Pengurus SI Hijaz Termuda
02/01/2009

Di balik setiap peristiwa-peristiwa penting sejarah, tentu terdapat nama-


nama yang melambung. Nama-nama yang kemudian menjadi terkenal dan
menjadikan figur-figur tertentu sebagai idola dan panutan di kemudian
hari. Nama-nama inilah yang kemudian disebut sebagai tokoh. Beberapa
di antaranya bahkan melegenda dan bertahan hingga beberapa generasi.

Namun tentu saja, tidak semua nama-nama yang terlibat dalam setiap
peristiwa penting, kemudian ikut menjadi nama penting yang selalu
disebut-sebut khayalak setelahnya. Di balik berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), terdapat
nama-nama besar yang kemudian melegenda dan dikenang hingga beberapa generasi.
Namun tentu saja ada nama-nama yang juga sangat berperan dalam proses kelahiran NU
sembari tetap menjadi nama-nama yang bersahaja dan merakyat. Tetap menjadi nama
yang tidak menimbulkan rasa menjauh dari dunia kelahirannya. Salah satu di antara
nama-nama yang tetap menjadi dekat dengan rakyat, tetap menjadi nama rakyat adalah
KH Abdul Chalim bin Kedung, Leuwimunding Majalengka.

Ulama kelahiran tahun 1898 ini merupakan bagian sejarah besar. Namun tidak serta-
merta menjadikan dirinya melambung manjauh dari rakyat kebanyakan. Meski namanya
tercatat dalam berbagai peristiwa penting, namun KH Abdul Chalim tetap dikenal sebagai
bagian dari rakyat kebanyakan.

Pentingnya Solidaritas Sosial dan Moderat


Hal ini dikarenakan KH Abdul Chalim menerapkan prinsip-prinsip solidaritas sosial
sepanjang hidupnya. Solidaritas (ashobiyyah) inilah yang juga dididikkan kepada setiap
santrinya. Solidaritas yang dianaut oleh KH Abdul Chalim ini berlaku dalam kelompok
kecil maupun komunitas yang besar. Menurut KH Abdul Chalim, Solidaritas sangatlah
penting dalam mempererat jalinan hubungan di antara komunitas-komunitas agama
maupun politik. Tujuan gerakan keagamaan tidak akan tercapai tanpa adanya solidaritas
politik.

Prinsip solidaritas juga perlu diterapkan sepanjang masa karena solidaritas merupakan
salah satu barometer keseimbangan ibadah. Di mana ibadah yang dilakukan dengan benar
sesuai dengan ketentuan syara’ dapat mendekatkan diri kepada Allah. Namun agar tidak
terjebak dalam pengertian ibadah yang sempit, yakni ritual semta. Maka perlu dilakukan
sebuah penyeimbangan. Nah menurut KH Abdul Chalim, penyeimbangan ini dapat
dilaksanakan dengan terus menumbuhkan solidaritas dalam setiap sendi umat Islam.

Solidaritas ini sendiri, dapat berupa solidaritas politik maupun solidaritas sosial.
Solidaritas politik artinya solidaritas bersama umat Islam untuk mencapai tujuan-tujuan
kenegaraan dan kebangsaaan. Sedangkan solidaritas kemasyarakatan adalah 
kebersamaan umat Islam dalam menciptakan harmonisasi kehidupan sehari-hari.
Sehingga kehidupan umat Islam tidak monoton, memandang nilai ibadah bukan hanya
dari sisi ibadah ritual mahdah saja. Namun keseluruhan kehendak dan usaha untuk
mewujudkan kehidupan yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah juga merupakan
bentuk ibadah kepada Allah SWT.

Dalam pandangan KH Abdul Chalim, kepasrahan total dan tawakkal kepada Allah SWT
adalah hal yang senantiasa diri dan seluruh keluarga serta murid-muridnya. Namun
demikian, KH Abdul Chalim juga sangat mengedepankan kompromi dalam mencapai
kesepakatan-kesepakatan melalui musyawarah.

Sifat terbuka yang dimiliki oleh KH Abdul Chalim ini tidak lepas dari pengaruh yang
ditorehkan oleh guru tercintanya, KH Wahab Hasbullah Jombang. Selama berguru
kepada KH Wahab Hasbullah, Abdul Chalim telah mendarmabhaktikan hidupnya demi
perkembangan ilmu di kalangan para santri. Di mana Nahdlatul Wathan merupakan
tempat yang sangat baik bagi Abdul Chalim dalam berguru dan menularkan kemempuan
ilmiahnya.

Pendekatan ilmiah terhadap masyarakat dengan interaksi sosial keagamaan dalam


Nahdlatul Wathan merupakan salah satu sumbangsih KH Abdul Chalim. Bagi KH Abdul
Chalim pendekatan sosial kepada masyarakat untuk menerapkan kaidah-kaidah keilmuan
syariat bagi kehidupan masyarakat menupakan sebuah terobosan yang sangat urgen
dalam menyebarkan konsep-konsep keislaman yang membumi.

Kondisi perjuangan fisik kala itu menjadikan konsep-konsep yang ditawarkan oleh KH
Abdul Chalim dapat diterima oleh rekan-rekannya di Nahdlatul Wathan. Konsep-konsep
yang dimaksudkan sebagai pendekatan sosial adalah membuat perbandingan-
perbandingan kiasan antara kondisi-kondisi yang digambarkan dalam kitab-kitab kuning
dengan kenyataan hidup yang dialami oleh masyarakat Nusantara saat itu. Yakni
merealisasikan berdirinya sebuah negara merdeka yang dapat menaungi seluruh
penduduknya dalam sebuah aturan yang disepakati bersama.

Dengan demikian, dalam pandangan KH Abdul Chalim, solidaritas warga tetap dapat
dipertahankan setelah penjajahan berhasil dienyahkan dari Nusantara kelak. Pendapat-
pendapatnya mengenai solidaritas masyarakat Muslim, khususnya di tanah jajahan Hindia
Belanda ini didapatkannya dari pengalamannya selama berguru kepada para ulama. Sejak
dari daerah sekitar tanah kelahirannya ketika kecil hingga ke darah-dararah lain di Jawa
Barat maupun Jawa Timur. Di mana Pesantren Trajaya di Majalengka, Pesantren
Kedungwuni di kadipaten dan Pesantren Kempek di Cirebon adalah tempat Abdul
Chalim menimba ilmu semasa kecilnya.

Mendamaikan Sengketa para Senior


Pada tahun 1914 ketika usianya baru menginjak enam belas tahun, Abdul Chalim
berkesempatan untuk menuntut menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke tanah
Hijaz. Di sanalah Abdul Chalim sempat menimba ilmu secara langsung dari Abu Abdul
Mu’thi, Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani yang lebih tersohor dengan sebutan
Imam nawawi al-Bantani.

Ketika menuntut ilmu di Hijaz inilah KH Abdul Chalim bertemu dengan berbagai ulama
Nusantara dari daerah-daerah lainnya. Dari sinilah beberapa ulama ini kemudian menjadi
teman sekaligus gurunya. Salah satu di antara ulama yang paling akrab sebagai teman
sekaligus gurrunya ini adalah KH Wahab Hasbullah Jombang. Saat itu Abdul Chalim
adalah anggota sekaligus pengurus Sarekat Islam (SI), termuda di Hijaz. Di mana SI
adalah organisasi para ulama Nusantara yang berkonsentrasi untuk menentang kebijakan-
kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda di Nusaantara. Melalui SI, kebijakan-
kebijakan pemerintah jajahan yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan sangat
merugikan rakyat, ditentang secara konstitusional. Hingga pada gilirannya, para ulama
pengurus SI kemudian menggabungkan diri ke NU setelah organisasi yang terakhir ini
didirikan pada tahun 1926.

Selama menuntut ilmu di Mekkah inilah sifat moderat dan kompromi sebagi ulama yang
berjiwa besar ditunjukkan oleh Abdul Chalim. KH Abdul Chalim-lah yang mendamaikan
KH Wahab Hasbullah Jombang dan KHR Asnawi Kudus ketika keduanya terlibat sebuah
persengketaan di Hijaz. Pada waktu itu kedua ulama yang sedang bersengketa ini
merupakan senior sekaligus guru dari KH Abdul Chalim. Sementara itu Abdul Chalim
juga patuh ketika KH Wahab Hasbullah menegurnya karena sering memperdengarkan
kidung bergaya Pasundan ketika mereka sedang mengulang-ulang pelajaran.

Kelahirannya sebagai putra tunggal seorang kuwu di Majalengka menjadikan KH Abdul


Chalim tidak cangung lagi ketika dilibatkan dalam berbagai kepengurusan di SI Hijaz.
Demikian pun ketika ia kembali ke Tanah Air pada tahun 1917.

Sepulangnya dari tanah Suci, KH Abdul Chalim membantu orang tuanya di kampung
untuk meringankan penderitaan rakyatnya akibat penjajahan belanda yang kian hari kian
kejam saja.

Abdul Chalim terhitung menikahi empat orang wanita. Pada usia 21 tahun Abdul Chalim
menikahi gadis Petalangan, Kuningan sebagai isteri pertama. Tiga tahun kemudian,
Abdul Chalim menikahi Siti Noor, gadis asal Pasir Muncang Majalengka. Dalam
perjalanan untuk mencari penghidupan ke daerah Jakarta sebagai pelayan toko dan kuli
panggul di stasiun kereta api –meski dirinya adalah anak seorang kuwu, Abdul Chalim
menyempatkan diri untuk mengajarkan ilmu agama kepada anak-anak di daerah Kramat
Jati Jakarta. Ketika bekerja dan membuka pengajian di Kramat jati ini Abdul Chalim di
dampingi oleh Istri keduanya, Siti Noor asal Majalengka.

Sedangkan isteri keempatnya dinikahi di tengah-tengah perjuangannya mengusir


penjajahan Belanda seputar berkecamuknya pertempuran Surabaya ketika Resolusi Jihad
dikumandangkan. Istrei ketiganya adalah Ny. Sidik Shindanghaji dari Leuwimunding.
Sebelumnya, KH Abdul Chalim telah lebih dahulu menikahi Ny. Konaah sebagai isteri
ketiga.

Tahun 1921 karena ayahnya meninggal dunia, maka KH Abdul Chalim kembali ke
Majalengka dan memboyong istri pertamanya yang di Petalangan ke Leuwimunding.
Sementara istri keduanya telah bercerai darinya. Namun karena situasi yang semakin
tidak menentu, maka Abdul Chalim memulangkan kembali isterinya ini ke Petalangan
demi alasan keamanan. Sementara Abdul Chalim sendiri kemudian mengabdikan diri
sepenuhnya pada dunia pergerakan dan pendidikan.

Kenalkan Aswaja Hingga Level Terbawah


Abdul Chalim kemudian mengembara ke Surabaya untuk bergabung dengan teman-
teman seperjuangannya. Di Surabaya, atas jasa Kyai Amin Peraban, Abdul Chalim
bertemu kembali dengan KH Wahab Hasbullah senior sekaligus gurunya selama di Hijaz.
Karena hubungan baiknnya, KH Abdul Chalim kemudian dipercaya sebagai pengajar di
Nahdlatul Wathan di kampong Kawatan VI Surabaya. Selain mengajar KH Abdul Chalim
juga dipercaya sebagai pengatur administrasi dan inisiator kegiatan belajar mengajar seta
pembukaan forum-forum diskusi.

Sebagai seorang santri Pasundan yang pandai berkidung dan menguasai ilmu Balaghoh
(sastra Arab kuno) maka KH Abdul Chalim kemudian banyak sekali menciptakan syair-
syair berbahasa Arab untuk memompa semangat perjuangan santri-santri yang tergabung
di dalam Nahdlatul Wathan.

Kedekatan KH Abdul Chalim dengan KH Wahab Hasbullah menjadikan yang pertama


sebagai pengikut setia sekaligus semacam asisten bagi nama kedua. Melalui aktivitasnya
di Nahdlatul Wathan inilah KH Abdul Chalim menerapkan gagasan-gagasan
keagamannya tentang interaksi sosial dan solidaritas politik dan kebangsaan dalam
masyarakat. Selain nahdlatul Wathan, KH Abdul Chalim juga tercatat sebagai pengajar di
Tashwirul Afkar Surabaya.

Selama mengabdi di Surabaya, berkali-kali KH Abdul Chalim pulang ke Majalengka


untuk menyampaikan kabar-kabar terbaru dari Surabaya yang kala itu merupakan pusat
perjuangan kaum santri dalam membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan dan
kebodohan umat. Setiap pulang ke Majalengka, KH Abdul Chalim selalu mendatangi
rumah-rumah penduduk untuk mengajarkan dan memperkenalkan faham Ahlussunnah
Waljamaah. KH Abdul Chalim selalu membagi-bagikan gambar-gambar dan surat kabar
Swara Nahdlatoel Oelama kepada masyarakat di daerah Majalengka dan sekitarnya.
Tahun 1942 ketika ormas-ormas Islam dibekukan oleh pemerintah penjajahan Jepang,
KH Abdul Chalim mendapat dua tantangan besar di daerahnya. Intervensi Jepang kepada
para pemuda untuk bergabung dalam pasukan militer Jepang dan kebanggan para pemuda
untuk menjadi komunis merupakan dilema yang sangat sulit dihadapi.

Dalam situasi inilah KH Abdul Chalim membentuk Hizbullah cabang majalengka


bersama KH Abbas Buntet Cirebon. Hizbullah Majalengka kemudian bahu membahu
bersama dengan kelompok-kelompok pejuang lainnya, baik dari laskar-laskar santri
maupun laskar-laskar pemuda lainnya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia.

Pada tahun 1955 KH Abdul Chalim menjadi anggota DPR dari partai NU dari perwakilan
Jawa Barat. Sejak saat ini perjuangan KH Abdul Chalim lebih dititikberatkan pada
pemberdayaan warga NU Jawa Barat dengan membentuk berbagai wadah pemberdayaan
masyarakat seperti PERTANU (Perkumpulan Petani NU), PERGUNU (Perkumpulan
Guru NU) dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan NU di Jawa Barat lainnya.

Pada suatu hari tanggal 11 April 1972 M., selepas menunaikan ibadah sholat KH Abdul
Chalim menghadap Ilahi dengan tenang dan dimakamkan di kompleks pesantren Sabilul
Chalim Leuwimunding, Majalengka. (Syaifullah Amin, Disarikan dari buku "KH Abdul
Chalim Kenapa Harus Dilupakan?" karya J. Fikri Mubarok)

Komentar:

Abdul Qohar menulis:


suatu artikel yang bagus dan perlu bagi generasi muda untuk mencontoh para tokoh
dalam perbuatannya.

Ina menulis:
artikel yang bagus, jika ada yang memiliki buku 'KH Abdul Chalim Kenapa Harus
Dilupakan', bisa dibagi dengan saya?atau buku-buku lain yang menceritakan tentang
beliau.
terima ksaih untuk penulis, satu wawasan baru untuk saya
Ina, muthma_2701@yahoo.co.id

Hendra menulis:
Assalamu'alaikum Wr.Wb..
Artikelnya sangat bagus dan indah sekali smoga generasi penerusnya dapat berjuang terus
demi kemaslahatan dunia. Saya minta artikel yang lain agar dimasukan.
Ada permintaan dari saya mudah2an ada jawaban soalnya urgen sekali karena buat saya
sendiri :
1. Saya minta artikel tentang tahlil dan jiarah ke makam orang tua dan doa-doanya.
2. Saya pingin bisa belajar qiraat dari Bayathi, Hijazz sampe dengan selesai, Kalo mp3
nya kalo ada minta dikirim via email saya.
Buat NU semoga perjuangannya terus berkibar dalam menciptakan syariat islam dimuka
bumi. Smoga Allah SWT selalu mendengar do'a kita. Amien..
Wassalam.

J. FIKRI MUBARAK menulis:


pemesanan buku KH. Abdul Chalim kenapa harus di lupakan ? bisa kontak via
081809621915 (J. fikri Mubarak, Pimred Tabayun, PCNU Majalengka). Rp. 25.000 (bea
Pengiriman + INFAQ)

edi wasdi menulis:


Assalaamu `Alaikum Wr. Wb.
Perkenankanlah saya ingin menyampaikan rasa bangga atas ketokohan KH. Abdul
Chalim terhadap perjuangan NU di Majalengka, ternyata di Majalengka yang selama ini
kurang di kenal di tingkat Nasional ada tokoh besar yang patut diteladani langkah dan
perjuangannya, Insya Allah kami selaku penerus akan bekerja keras untuk melanjutkan
cita-cita dan perjuangannya, Amin...

ramadlan menulis:
Sirah, KH abdul Halim ini sangt sedikit dimunculkan. termasuk putra-putra beliau yang
mungkin kini masih aktif di NU.
mungkin bisa disebutkan..?
Apkah ada hubungannya dengan KH Asep Syaifudin Halim Pengasuh PP Amanatul
Umah Siwalankerto Surabaya yang juga mantan ketua PC NU Surabaya.?

zhack R menulis:
Tulisan sejarah/biografi ini sangat mahal, untuk menambah wawasan atau pengingat bagi
generasi penerus, mengenal sejarah berarti mau diajak maju, demi AGAMA, BANGSA
dan NKRI

KH DIMYATI
Komandan Hizbullah Pendiri Madrasah Pertama di Blambangan Selatan
01/12/2008

Pada zaman-zaman perjuangan merebut kemerdekaan, banyak sekali


korban yang harus dipertaruhkan oleh bangsa Indonesia. Tak terhitung
lagi korban yang telah dipersembahkan demi sebuah kemerdekaan. Bukan
sekedar harta dan nyawa, namun juga perasaan terhinakan karena terus
dikejar-kejar dan terusir dari kampung halaman. Namun tentu saja banyak
sekali para pahlawan yang justru memanfaatkannya untuk berjuang di dua
ranah, yakni perjuangan fisik dengan mengangkat senjata dan perjuangan
dakwah dengan mendidik generasi penerus bangsa.

Salah satu di antara sekian banyak para pahlawan bangsa yang berjuang di dalam dua
medan perjuangan sekaligus ini adalah KH Dimyati Banyuwangi. Seorang ulama
kharismatik yang telah memiliki banyak jasa bagi kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia ini. Beliau adalah salah satu di antara para ulama Nahdlatul Ulama
dengan andil besar dalam perjuangan fisik yang berpuncak pada meletusnya Resolusi
Jihad Nahdlatul Ulama.
 
Salah satu bentuk sumbangsih nyata bagi perjuangan fisik merebut kemerdekaan adalah
fatwa Beliau yang berbunyi, “seluruh santri santri di daerah Banyuwangi selatan
(kawasan Blambangan lama) wajib masuk Hizbullah.” Fatwa ini memiliki konsekwensi
yang cukup besar bagi santri-santri di kawasan Banyuwangi selatan. Dengan adanya
fatwa ini, para santri memiliki tugas ganda. Pada malam hari mereka harus mengendap-
endap untuk menyerang pos-pos keamanan tentara Belanda dan Jepang.

Sementara pagi harinya mereka kembali memeluk kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran
agama. Walhasil sebenarnya mereka belajar di atas timbunan amunisi dan mesiu hasil
rampasan dari tentara penjajah. Memang secara struktural, KH Dimyati adalah
Komandan Hizbullah (laskar pejuang yang berafiliasi ke NU) untuk wilayah Blambangan
selatan.

Kegiatan ganda semacam ini di jalani oleh KH Dimyati bersama dengan santri-santrinya
di Pondok Pesantren Nahdlatut Thullab. Bukan tanpa resiko, selain menantang bahaya
pada malam hari, mereka juga selalu diintai bahaya pada keesokan hari ketika mereka
sedang mengaji. Banyaknya intel penjajah yang berkeliaran membuat keselamatan
mereka selalu dipertaruhkan setiap saat.

Selain mengasuh Pondok Pesantren Nahdlatut Thullab, KH Dimyati juga dipercaya


sebagai Rois Suriyah I Nahdlatul Ulama cabang Blambangan (saat itu Banyuwangi
selatan). Sementara pada waktu tersebut Pengurus Tanfidiyah dipercayakan kepada K
Syuja’i. Keduanya, bersama para ulama lain, bahu membahu memimpin penduduk di
sana untuk melawan penjajahan. Baik secara fisik maupun melawan terhadap segala
dampak buruk penindasan Belanda dan Jepang, termasuk kebudayaan negatif yang
dibawa oleh setiap pemerintah penjajah.

Keadaan ini berlangsung terus hingga masa-masa setelah kemerdekaan. Dalam


mempertahankan kemerdekaan, para santri terus melakukan penyerangan-penyerangan
terhadap pos-pos tentara Belanda pada malam hari.  Maka benar saja, lama kelamaan
perlawanan mereka pun tercium oleh Belanda. Sehingga pondok pesantren yang
dipimpinnya pun digerebek oleh tentara Belanda.

Seluruh bangunan dibakar, termasuk bangunan pesantren dan tempat tingaal KH Dimyati
diratakan dengan tanah oleh Belanda. Seluruh kitab-kitab Beliau sebanyak dua lemari
besar pun habis di makan api. Karena di bawah bangunan pesantren banyak tertanam
amunisi dan mesiu hasil rampasan para santri ketika bergerilya malam hari, maka akibat
pembakaran semakin menjadi-jadi. Mesiu-mesiu ini mengakibatkkan api yang melalap
gedung pesantren semakin menyala menjadi-jadi dan menimbulkan ledakan-ledakan
hebat.

Meski para santri telah diperintahkan menyingkir dan berpencar, salah seorang santri
bernama Muhammad Fadlan tertembak dan gugur pada penyerangan Belanda tersebut.
Muhammad Fadlan kemudian dikuburkan sebagai syuhada dan dipindahkan ke Makam
Pahlawan Banyuwangi pada tahun 1962.

Sementara KH Dimyati ditangkap oleh Belanda dan ditahan selama 27 bulan hingga
pertengahan tahun 1949. Komandan Hizbullah Blambangan selatan ini sebenarnya sudah
hampir dieksekusi oleh Belanda. Namun menurut beberapa cerita, ketika menjelang hari-
hari eksekusi, dokumen-dokumen pidananya oleh Belanda ternyata hilang dan tidak
pernah ditemukan lagi. Sehingga eksekusi tidak pernah benar-benar dilaksanakan, sampai
waktunya ia dibebaskan karena kekalahan-kelahan Belanda di Indonesia.

Lahan untuk para Santri


Setelah keluar dari tahanan Belanda dan bangsa Indonesia kembali menata kehidupannya
dengan merdeka, maka KH Dimyati kembali membangun pesantrennya.

Pada tahun 1950 KH Dimyati mengumpulkan para tokoh agama di wilayah Banyuwangi
selatan, dan pada tahun 1951 beliau secara resmi mengasuh Pesantren Nahdlatut Thullab
kembali.
 
Pada tahun 1957 Beliau dan keluarganya mendirikan Yayasan Nahdlatut Thullab.
Beberapa saudara-saudara dan relasi keluarga KH Dimyati kemudian mengajukan
permohonan kepada Presiden Soekarno di Jakarta. Rupanya pengajuan ini berhasil dan
mendapatkan dana yang cukup untuk membangun kembali kompleks pesantren yang
telah dibumihanguskan Belanda tersebut.

Dana dari Presiden Soekarno ini rupanya diirit-irit oleh panitia pembangunan, sehingga
memiliki sisa yang cukup untuk dibelikan sawah seluas 5 hektare yang kemudian dikelola
oleh para santri untuk menunjang kehidupan mereka selama mondok di Pesantren
Nahdlatut Thullab. 

Metode penggarapan sawah oleh santri ini merupakan perluasan manfaat yang didapatkan
oleh KH Dimyati dari pengalamannya selama Beliau menuntut ilmu di berbagai
pesantren di Jawa Timur.

Menurut ceritanya, dahulu sewaktu KH Dimyati menginjak masa-masa remaja, ia ingin


menuntut ilmu ke luar dari wilayah Blambangan (Banyuwangi). Maka, ia pun
mengutarakan maksudnya ini kepada ibundanya. Namun sang ibu menyatakan bahwa
keluarganya sedang tidak memiliki bekal yang cukup untuk membiayai keinginannya.
Keluarga di Banyuwangi hanya memiliki tanah persawahan yang tidak dapat diharapkan
banyak karena sulitnya zaman akibat penjajahan.

Namun Dimyati nampaknya telah teguh dengan keinginannya. Ia menginginkan untuk


menjual sawah yang menjadi bagain warisannya kelak ketika dewasa. Kendati terheran-
heran dan ham[ir tak percaya, Ibunya pun kemudian menyangupi ketika melihat tekad
bulat anaknya ini. Ibunya lebih heran lagi ketika melihat bahwa semua uang hasil
penjualan sawah satu satu hektar bagiannya, ternyata seluruhnya dibelikan kitab. Saking
herannya ibunya bahkan sempat mengatakan, ”Makan tuh kitab.”

Walhasil Dimyati pun segera meninggalkan rumahnya untuk modok ke Pesantren


Termas, di Pacitan. Karena seluruh uangnya telah dibelikan kitab, maka ia hanya dibekali
oleh ibunya dengan sekarung cengkaruk/karak campur jagung. Bahan makanan ini
berupa bahan yang  menunjukkan betapa sebenarnya keluarga Dimyati di banyuwangi
juga sama-sama susah akibat penjajahan Belanda.

Namun rupanya dengan bekal hanya sekarung cengkaruk ini, Dimyati mampu bertahan
hingga tiga tahun di Pesantren Termas. Rupanya ia bertahan di Termas dengan cara
bekerja ke sawah untuk mencukupi kebutuhannya selama mondok. Karenanya KH
Dimyati kemudian menerapkan metode ini di pesantrennya yang telah ia bangun kembali.

Selama mondok Dimyati memang terkenal sebagai santri yang tekun, konon ia adalah
santri kesayangan sang pengasuh Pesantren Termas. Pada saat itu pondok Termas berada
di bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyati. Karena saking sayangnya, di sinilah Dimyati
berganti namanya menjadi Dimyati, nama yang digunakannya hingga akhir hayatnya.
Sebelumnya, nama lahirnya adalah Muhibbut Thobari. Maka setelah boyongan dari
Pesantren Termas, ia pun menggunakan nama Dimyati. Sementara nama lahirnya,
Muhibbut Thobari, tak lagi digunakan.

Dalam pandangan KH Dimyati, para santri sah-sah saja bekerja selama menimba ilmu di
pesantren, karena justru akan membantu mereka untuk mandiri sejak dini dan tidak
membebani orang tua di rumah. Pesantren dapat menyediakan lahan yang digunakan oleh
para santri untuk bercocok tanam atau membuka usaha, asalkan tidak mengesampingkan
tugas utamanya, yaitu belajar ilmu agama. Dengan demikian para santri dapat menopang
sendiri hidupnya, sehingga tidak perlu dikirim oleh orangtua dari rumah.

Begitulah yang dijalaninya selama mengaji di tiga pesantren, yakni Pesantren Termas
Pacitan, Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH Abdullah Fakih dan Pesantren Idham
Sari, Genteng di bawah bimbingan KH Abdullah Syuja’. Kedua pesantren yang terakhir
berada di wilayah Banyuwangi sendiri.

Maka demikian pun ia mempraktekkan ilmunya ketika telah mengasuh pesantren. Para
santri di Nahdlatut Thullab tidak harus membawa bekal atau dibekali oleh orang tuanya
dari rumah. Asalkan santrinya bekerja keras tentu dapat menopang kehidupan dan
membiayai pendidikannya selama di pesantren. Karenanya, dana pembangunan pesantren
yang dari Presiden Soekarno disisakan untuk membeli lahan, agar para santri tidak
membebani orang tua masing-masing.

Kenyataan ini adalah yang sebenarnya, karena entah kebetulan atau tidak, jumlah
santrinya tidak pernah lebih dari kapasitas lahan yang tersedia untuk menopang
kehidupan dan kebutuhan belajar mereka. Sehingga KH Dimyati dapat benar-benar
mendidik mereka dengan seksama, termasuk ketika harus membina mereka sebagai
laskar Hizbullah pada kegelapan malam. Mengendap-endap dan menyergap musuh, untuk
merangkul kitab kuning pagi harinya di pesantren.

Sorogan Tak-langsung dan Pendidikan Bilfi'li


Dalam sistem pendidikan di pesantrennya, KH Dimyati mengandalkan lebih
mengandalkan sistem sorogan. Sistem ini menjadikan santri-santrinya menyimak dengan
seksama. Karena sorogan yang dipakai oleh KH Dimyati adalah "sorogan tak langsung”.
Artinya para santri mengulangi membaca kitab yang telah dibaca oleh sang kyai beberapa
hari sebelumnya. Jadi para santri secara otomatis akan mendengarkan dengan seksama
ketika sang kyai sedang membacakan, karena mereka harus mengulanginya secara
terjadwal.

Sementara cara lain yang digunakan oleh KH Dimyati di Pesantrennya adalah metode
bandongan. Dalam mekanisme bandongan sang kyai bebas menerangkan agar para santri
mengerti maksud-maksud tersirat dari teks-teks kitab yang sedang dipelajari. Cara ini
lazim digunakan di madrasah-madrasah Blambangan selatan sebagaimana juga
pesantren-pesantren Nusantara lainnya.
   
Selama mengasuh pesantren, selain terlibat dalam perjuangan fisik secara langsung di
malam hari, KH Dimyati juga sempat membuat karangan tentang akhlak (karakter) yang
semestinya dimiliki oleh para remaja Islam. Karangan ini berbentuk nadzam (semacam
pantun dalam bahasa Arab, yang menggunakan susunan rima ab ab. Nadzam karangan
KH Dimyati ini berjudul Muidzotus Syibyan (Nasehat untuk para Remaja).

Pesantren Nahdlatut Thullab sendiri sangat mengutamakan penguasaan ilmu alat, nahwu
dan shorof. Meski tentu saja kitab2 tafsir juga menjadi kajian utama para santrinya.
Menurut beberapa santri yang sempat menimba ilmu kapada KH Dimyati, kehebatan
Pesantren Nahdlatut Thullab adalah dalam pengembangan aqoid 50-nya. Melalui
pembinaan Aqoid 50 ini para santri yang telah boyongan dapat memberikan solusi untuk
masalah-masalah ketuhanan kepada masyarakat di daerah alumni itu sendiri.

Beberapa santri bahkan menyatakan ilmu-ilmu tersebut dapat mereka kuasai secara
”ladunni”. Artinya, dulu ketika diajar langsung terkadang mereka tidak memahami
pelajaran saat itu juga, namun setelah kelaur dan mengabdi untuk masyarakat, mereka
tiba-tiba teringat dan mengerti maksud penjelasan KH Dimyati sewaktu di pesantren
dahulu.

Metodenya pembelajaran KH Dimyati sebenarnya sangat sederhana sekali. Namun


karena keyakinan tinggi dari para santrinya, maka mereka mendapatkan semacam
pencerahan. Hal pertama yang ditancapkan kepada para santri adalah Al-Qur’an. Para
santri diwajibkan senantiasa mendawamkan membaca Al-Qur’an di sepanjang hari, di
setiap aktifitas mereka. Kemudian barulah didoktrin dengan Aqoid 50 dan baru belajar
nahwu shorof serta ilmu-ilmu lainnya.

Hal penting lain yang diajarkan KH Dimyati adalah pendidikan bilhal/bifi’li. Yakni
pendidikan praktek langsung, bukan hanya teori. KH Dimyati terkenal suka mengajak
para santrinya untuk bersilaturrahim. Hal ini adalah salah satu aspek pendidikan yang
terus tertanam di hati para santrinya sepanjang hidup mereka.

Beberapa santri bahkan menyatakan, sifat kewiraan KH. Dimyati banyak


menitis/menurun kepada anak didiknya. Mereka sering didatangi oleh KH Dimyati jika
malakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran KH Dimyati. Jika mereka mengalami
hambatan atau kendala dalam kehidupan, kemudian bertawassul kepada KH Dimyati,
maka biasanya mereka kemudian segera menemukan solusi dari permasalahan mereka.

”Semasa masih di pondok, para santri seakan tidak merasakan keistimewaan menimba
ilmu kepada KH Dimyati, namun setelah mereka kembali pulang ke daerahnya masing-
masing, barulah mereka mengerti keistimewaan tinggal di pondok ini. Kebanyakan para
santri baru menyadari manfaat menimba ilmu pesantren Nahdlatut Thullab, Kaliogoro
Kepundungan Srono Banyuwangi, ini setelah berdakwah di rumah,” demikian
diungkapkan KH Syaifullah Ali Subagiono, Pengasuh Pondok Pesantren al-Hikmah,
Ketapang Banyuwangi.

Berbagi Relasi untuk para Santri


Menurut Subagiono, KH Dimyati benar-benar menjadikan hidupnya sebagai pengabdian
sepenuhnya kepada sesama, termasuk kepada orang-orang dari tanah kelahirannya,
Yogyakarta. Di manapun para alumni berada, biasanya mereka mendapatkan solusi
terkait relasi yang ditunjukkan oleh KH Dimyati. Hal ini dikarenakan KH Dimyati yang
berasal dari keluarga Yogyakarta memang memiliki banyak relasi di Jakarta, Yogyakarta
dan daerah-daerah lain. 

Luasnya jaringan relasi di kalangan para pemimpin bangsa, dibuktikan oleh kunjungan
berkala dari ketiga menteri agama Republik Indoensia yangd ari NU, yakni KH A. Wahid
Hasyim, KH Syaifuddin Zuhri dan KH Ahmad Dahlan, termasuk KH Ahmad Syaikhu.
Meski sudah menjadi pejabat negara di tingkat pusat, namun tamu-tamu ini tetap bersikap
santai di pesantren. Mereka biasa tiduran dan bercengkerama dengan santri di pendopo
pesantren.

Terpenting KH Dimyati selalu menanamkan jiwa ke-NU-an di hati anak didiknya. Beliau
menyatakan ingin hidup sebagai orang NU dan kelak jika meninggal pun sebagai orang
NU. KH Dimyati mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemajuan NU.  Sementara untuk
urusan anak-anaknya, ia menyatakan, toh mereka bisa mencari hidup sendiri-sendiri.

Tokoh Kharismatik dari Blambangan selatan ini, terlahir pada tahun 1912 dan dibawa
pindah ke kawasan Blambangan selatan oleh keluarganya, yang berasal dari Wonokromo
Yogyakarta, sekitar tahun 1915-an dan boyongan dari pesantren untuk mendirikan
pesantren dan berdakwah di daerah Blambangan selatan pada tahun 1936. pada tahun
1959 setelah usai merampungkan pembangunan gedung pesantrennya dan menyediakan
cukup lahan untuk para santrinya menopang kehidupan dan biaya belajar selama di sana,
KH Dimyati berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Namun di sanalah rupanya
Beliau datang untuk menghadap kepada Rabb-nya pada usia 47 tahun. Sebuah
pemakaman tanpa penghormatan militer, meskipun Beliau selalu berada di garis terdepan
dalam pertempuran melawan tentara-tentara Belanda. Selamat jalan Komandan Hizbullah
Blambangan selatan. Semoga generasi masa kini dapat meneruskan perjuanganmu
mengusir imperialisme dari bumi Nusantara (Puji Utomo/Syaif)

Komentar:

satibi menulis:
Assalamu'alaikum Wr.Wb. ..........saya sebagai generasi penerus bangsa , sangat bangga
pd sosok tokoh seperti beliau., ............. oh ya , kalau boleh aku pengen dong dikirimin
buku - buku nya , tentang para tokoh tokoh NU , untuk mengambil pelajaran , dan buat
referensi materi untuk LakMud IPNU dan IPPNU di SMP NU Cikedung - Indramayu -
Jabar ..... makasih .... Wallaahul muwaafiiq ilaa aqwaamithoriiq ,Wassalamu'alaikum
Wr.Wb

Hayban menulis:
Subhanalloh...
sungguh saya terkesan dengan jiwa patriotisme[keberanian semangat dan jiwa pantang
menyerah] KH Dimyati meskipun dengan keadaan ekonomi yang kurang mendukung,
pahlawan ku KH Dimyati tetap gigih berjuang menuntut ilmu, menegakkan syariat dan
berjihad di bumi Indonesia ini. Yaa Allooh yaa rohmaan yaa rohiim rohmatkanlah jiwa
semangat patriotisme yang seperti ini kepada saya.
Astaghfirulloohal'adziim.Amiiin

Hendra menulis:
Tolong kalau ada penjelasan Terutama karena ada yang menyampaiakan Isa Sebagai
Terkemuka Dunia Akhirat dalam Alquran.
Wassalam

SYEIKH MUHAMMAD ABDUL MALIK


Mursyid Sederhana dan Penyayang Santri Miskin
01/11/2008

Purwokerto adalah ibukota kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang


terletak di selatan Gunung Slamet, salah satu gunung berapi yang masih
aktif di pulau Jawa. Purwokerto merupakan salah satu pusat perdagangan
dan pendidikan di kawasan selatan Jawa Tengah.

Sementara kabupaten Banyumas sendiri merupakan sebuah kawasan


kebudayaan yang memiliki ciri khas tertentu di antara keanekaragaman
budaya Jawa yang disebut sebagai budaya Banyumasan. Ciri khas ini
ditandai dengan kekhasan dialek bahasa, citra seni dan tipologi masyarakatnya.

Bentang alam wilayah banyumasan berupa dataran tinggi dan pegunungan serta lembah-
lembah dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin kelangsungan pertanian dengan
irigasi tradisional. kondisi yang demikian membenarkan kenyataan kesuburan wilayah ini
(gemah ripah loh jinawi).
Dulunya, kawasan ini adalah tempat penyingkiran para pengikut Pangeran Diponegoro
setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh, bila
hingga masa kini masih terdapat banyak sekali keluarga-keluarga yang memiliki silsilah
hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya.

Keluarga-keluarga keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-tokohnya yang telah


menyingkir dari pusat kerajaan Matararam waktu itu, kemudian menurunkan para
pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh ulama hingga saat ini. 

Salah satu dari sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran Diponegoro di kawasan
Banyumas ini adalah Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas, Mursyid Thariqoh
Naqsyabandiyah Kholidiyah dan Thariqoh Syadzaliyah di Jawa Tengah.

Silsilah dan Pendidikan


Sudah menjadi tradisi di kawasan Banyumasan kala itu, apabila ada seorang ibu hendak
melahirkan, maka dihamparkanlah tikar di atas lantai sebagai tempat bersalin. Suatu saat
ada seorang ibu yang telah mempersiapkan persalinannya sesuai tradisi tersebut, namun
rupanya sang bayi tidak juga kunjung terlahir. Melihat hal ini, maka sang suami segera
memerintahkan istrinya untuk pindah ke tempat tidur dan menjalani persalinan di atas
ranjang saja. Tak berapa lama terlahirlah seorang bayi mungil yang kemudian dinamakan
Muhammad Ash'ad, artinya Muhammad yang naik (dari tikar ke tempat tidur). Peristiwa
ini terjadi di Kedung Paruk Purwokerto, pada hari Jum'at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H.
(1881 M.) Nama lengkapnya adalah Muhammad Ash'ad bin Muhammad Ilyas. Kelak
bayi mungil ini lebih dikenal sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk
Purwokerto.

Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan ”Surat Kekancingan”


(semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian
Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali
Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari
sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.

Sejak kecil, Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari
kedua orang tuanya. Setelah belajar al-Qur'an kepada ayahnya, Abdul Malik
diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kyai Abu bakar bin Haji Yahya
Ngasinan, Kebasen, Banyumas.

Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang
berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini
terdapat saudara Abdul Malik yang bernama Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama
sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk
perjalanan menuju Tanah Suci.

Ketika menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim ke Tanah Suci untuk menimba
ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul
Qur'an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327 H. Abdul Malik pulang ke
kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram. Selanjutnya  ia
berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun
kemudian (1333 H.) ayahandanya (Muhammad Ilyas) meninggal dalam usia 170 tahun
dan dimakamkan di Sokaraja.

Sepeninggal ayahnya, Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-


daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan
kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Abdul Malik
kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Sejak
saat ini, ia kemudian lebih dikenal sebagai Syeikh Abdul Malik Kedung Paruk.

Guru-Guru
Syeikh Abdul Malik mempunyai banyak guru, baik selama belajar di Tanah Air maupun
di Tanah Suci. Di antara guru-gurunya adalah Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah
at-Tirmisi al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha' dan Sayyid Muhammad Syatha', keduanya
merupakan ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram dan Sayyid Alwi Syihab bin
Shalih bin Aqil bin Yahya.

Sebelum berangkat ke tanah Suci, Syeikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai
Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad'aq (seorang
ulama besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam usia 141 tahun), Habib 'Aththas
Abu Bakar al-Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya; Sayyid Habib
Abdullah bin Muhsin Al-Atthas Bogor.

Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah,
Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari
Sayyid Ahmad Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Selama bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi
sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi'i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu
agama termasuk, tafsir dan qira'ah sab'ah. Sempat menerima kehormatan berupa rumah
tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes.

Menurut beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama
kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam suatu waktu. Di samping belajar di tanah Suci
selama 15 tahun, ia juga seringkali membimbing jamaah haji Indonesia asal Banyumas,
bekerjasama dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan dalam waktu yang
relatif lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah mutlak.

Perjuangan Fisik
Adalah tidak benar, jika para ulama ahli tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh,
kumal dan mengabaikan urusan-urusan duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun
mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika
zaman bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan
bangsa asing, para ulama ahli Thoriqoh senyatanya juga turut berjuang dalam satu tarikan
nafas demi memerdekakan bangsanya.

Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syeikh Abdul Malik
senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi salah satu
target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh
dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah.
Menghadapi situasi seperti ini, ia justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat.
Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk
menentang penjajahan Belanda, maka ia pun senantiasa menyuntikkan semangat
perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.

Pada masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya,
ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju
daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para
laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock
dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya
dibebaskan.

Kepribadian
Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat
besar, yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Dikenal sebagai ulama yang mempunyai
berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan
ketinggian akhlakul karimah. Maka amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan
sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.

Syeikh Abdul Malik adalah pribadi yang sangat sederhana, santun dan ramah kepada
siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya,
terutama kepada mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup. Santri-
santri yang biasa dikunjunginya ini, selain mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun
di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuh waluh, Bojong, juga sanri-
santri lain yang tinggal di tempat jauh.
Setiap hari Selasa pagi, dengan bersepeda, naik becak atau dokar, Syeikh Abdul Malik
mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang
pakaian, sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian
Selasanan. Acara ini merupakan  forum silaturrahim bagi para pengikut Thoriqah
Naqsyabandiyah Kholidiyah Kedung paruk yang diisi dengan pengajian dan tawajjuhan.

Syeikh Abdul Malik juga dikenal memiliki hubungan baik dengan para ulama dan habaib,
Bahkan dianggap sebagai guru bagi mereka, seperti KH Hasan Mangli (Magelang),
Habib Soleh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafaqih
(Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi (Brani, Probolinggo), dan lain-lain.

Termasuk di antara para ulama yang sering berkunjung ke kediaman Syeikh Abdul Malik
ini adalah Syeikh Ma’shum (Lasem, Rembang) yang sering mengaji kitab Ibnu Aqil
Syarah Alfiyah Ibnu Malik sebagai tabarruk (meminta barakah) kepadanya. Demikian
pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Kholil (Sirampog, Brebes), KH
Anshori  (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas). Para ulama ini
merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, namun tetap belajar ilmu al-Qur’an kepada
Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk.

Sementara itu, murid-murid langsung dari Syeikh Abdul Malik di antaranya adalah KH
Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thoriqah Naqsabandiyah
Kholidiyah), KH Sahlan (Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH
Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH
Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Selain, menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan
pemimpin umat, Syeikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan,
seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi
dalam aktivitas dagangnya dan Kyai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian
bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.

Keluarga
Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di
antaranya dikaruniai keturunan. Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu
Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri
gurunya, K Abu Bakar bin H Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini
kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat
tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).

Ada sebuah cerita unik tentang putera pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah seorang
pemuda yang meninggal dunia sebelum sempat menikah. Suatu hari Syeikh Abdul Malik
berkata padanya, ”Nak, besok kamu menikah di surga saja ya?” Mendengar ayahnya
bertutur demikian, muka Busyairi terlihat ceria dan hatinya merasa sangat gembira.
Beberapa waktu kemudian, ia meninggal sebelum berkesempatan menikah.

Istri kedua Syeikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa
Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari
Syeikh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, ”Pak Kyai,
meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan
saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat.” Mendengar
permintaan ini, Syeikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya.

Sedangkan istri ketiga-nya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan
shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan
bernama Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syekh Abdul Malik.
Dari puterinya inilah nasab Syeikh Abdul Malik diteruskan.

Pesan dan Berpulang


Salah seorang cucu Syeikh Abdul Malik mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang
disampaikan Beliau kepada cucu-cucunya. Pertama, jangan meninggalkan shalat.
Tegakkan shalat sebagaimana telah  dicontohkan Rasululah SAW. Lakukan shalat fardhu
pada waktunya secara berjama'ah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan kepada para
generasi penerus sedini mungkin.

Kedua, jangan tinggalkan membaca al-Qur'an. Baca dan pelajari  setiap hari serta ajarkan
sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur'an di mana pun berada.
Jadikan sebagai pedoman hidup dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang
yang hafal al-Qur'an dan qari'-qari'ah serta muliakan tempat-tempat pelestariannya.
  
Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat, baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan
teladani kehidupan Rasulullah SAW serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan
bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.

Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M.
sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at), Syekh Abdul Malik meminta izin kepada
istrinya untuk melakukan shalat Isya' dan masuk ke dalam kamar khalwat-nya. Tiga
puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada
jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring dengan posisi
kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus.  Syeikh Abdul
Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum’at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid
Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto. (Zakki Amali/syf)

Komentar:

umam Affandy menulis:


Allahmmaghfirlahu.....
warhamhu......
alfaatihah............. amiiiiin

Muhammad Surya Ikhsanudin menulis:


Illa Ridho ilah wakulli niatin Sholihah illa wabrotin Nabi Muhammad SAW Al-fatihah

Khushushon Syeikh Abdul malik Al-Fatihah

nuurkholiss menulis:
subhanallah... Sungguh seorang wali dan kekasih Allah....

m.yasin menulis:
laa illa ha illallaah muhammad rosullulloh

anams menulis:
Kapan ya aku bisa seperti beliau.... :(...

MUHAMMAD SAIHUL MUFID menulis:


MUDAH2AN ALLOH SENANTIASA MENGAMPUNI DOSA2 BELIAU DAN
MENERIMA SEMUA AMAL BAIK BELIAU AMIIIIIIIIIIIIIIIIIIN YA ROBBAL
AALAMIN ALFATIHAH

Rakhmadiansyah menulis:
MUDAH MUDAN ALLAH MEANUGRAHKAN PADA BELIAU KEDUDUKAN
YANG BAIK DISISINYA DAN MENGGANTIKAN BELIAU DENGAN SEORANG
AULIA YANG LAINNYA.
YANG BISA MEMBIMBING KITA.AMIN...................

Muhammad Badarudin menulis:


Betapa mulianya amal ibadahnya...apakah generasi muda kita msh bisa seperti beliau..??
semoga>>.Amin...
ILAHADAROTI MBAH ABDUL MALIK ILYAS...ALFAAATIHAH

Basirun menulis:
Subhanalloh, MasyaAlloh ... Allohummaj'alna wa ahlana min ahlil 'ilmi wal qur'an ..
Mudah-mudahan Alloh segera mengutus pengganti beliau, sosok yang super dan luar
biasa. Amiin. Alfatihah ...

mul menulis:
Kok generasi muda NU sekarang banyak yang tidak mengikuti generasi tua yang sangat
taat pada Alloh dan Rosulnya, malah generasi muda NU sekarang buaanyak yang
berfikiran melenceng dari tokoh tuanya. gimana peran tokoh tokoh tua untuk mendidik
generasi muda NU agar tidak menjadi duri dalam daging . karena banyak generasi muda
yang mengaku NU "Ulil,Enong, dan orang orang di AKKBB"
menurut saya orang orang yang mengajarkan ajaran diluar kebiasaan NU itu sendiri.

aconk82 menulis:
Saya iri dengan para auliya2 Allah yg penuh ke-Ikhlasan seperti beliau di atas,kapan
yach....saya bisa seperti beliau???

Abdus Salam menulis:


kalo tidak salah rasuluulah memvonis munafik bagi orang yang tidak sedih terhadap
perginya orang shalih. mudah2an putra2 beliau bisa seperti beliau bahkan bisa
melebihinya hingga NU dan umat islam tidak banyak kehilanganpembimbing yang
shaleh. amin ya mujibasssa'ilin

Sutrisno menulis:
untuk berkunjung ke makom Syek Muhammad Abdul Malik.. harap berhati-hati.. Bisa
terjadi keanehan-keanehan dan keajaiban.................

YANTO menulis:
BAGUS....BAGUSSS.......

sigit Prihantono menulis:


mbah Abdul Malik bagus akhlaqnya,smg 4JJl merahmatinya,Semulia-mulianya Wali 4JJl
adalah sahabat Abu Bakar,jangan engkau melihat karomah para Wali, ttp ikutilah
kemulian akhlaqnya. 4JJl memuji Nabi Muhammad S.A.W di AL-QUR'AN." Sungguh
enkau "Muhammad" hambaku yang berakhlaq mulia"

mufti menulis:
allohuakbar sungguh kisah yang menakjubkan tentang kesolehan dan keistiqomahan
dalam ibadah beliau.....

kKang menulis:
Ya Allah,ya Robby semoga engkau dekatkan aku dengan orang-orang yang saleh

hijrah yanuar iskhaq menulis:


Beliau sangat istiqamah,Maulana Habib Luthy Bin Ali Bin Yahya adalah murid
kesayangan beliau..semoga Maulana Lutfhy menjadi penerus Mbah Malik..Amiin..

arif menulis:
kuat iman kuat islam
insa allah selamat dunia akherat
jika urusan dunia lihatlah kebawah
jika urusan akherat lihatlah keatas

robbah mahzumi menulis:


ya Alla, pesan beliau mudah-mudahan dapat saya lakukan, amiiiiiiiiiiiin

SYEIK SULAIMAN AR-RASULI AL-MINANGKABAWI


Selalu Konsisten dengan Madzhab Syafi'i
16/06/2008

Perkembangan agama Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari


kiprah para tokoh agama dan ulama besar yang giat menyebarkan
ajarannya di berbagai wilayah. Sejauh ini, Sumatera Barat merupakan
salah satu daerah yang melahirkan banyak ulama terkemuka. Di antara ulama terkemuka
tersebut adalah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi, lahir di Candung, sekitar 10 km. sebelah


timur Bukittinggi, Sumatra Barat, 1287 H./1871 M., wafat pada 29 Jumadil Awal 1390
H./1 Agustus 1970 M. Ia adalah seorang tokoh ulama dari golongan Kaum Tua yang
gigih mempertahankan madzhab Syafi’i. Tak jarang pula, Beliau dipanggil dengan
sebutan "Inyik Candung". Ayahnya, Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang
ulama yang disegani di kampung halamannya.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, yang lebih dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana
Syeikh Sulaiman, sejak kecil memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang
pelajaran agama, dari ayahnya. Sebelum meneruskan studinya ke Mekah, Sulaiman ar-
Rasuli pernah belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera
Barat. Pada masa itu Masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau
dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.

Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi adalah di Mekkah.


Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim Asyari dari
Jawa Timur (1287 H/1871 M - 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara
(wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minangkabawi, Syeikh Muhammad Zain
Simabur al-Minangkabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat
di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minangkabawi, Syeikh Abbas
Ladang Lawas al-Minangkabawi dll.

Sementara ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah


dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M - 1339 H/1921
M), Tok Kenali (1287 H/1871 M - 1352 H/1933 M) dll.

Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi selain belajar


dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minangkabawi, beliau juga mendalami
ilmu-ilmu daripada ulama Kelantan dan Pattani. Guru-gurunya ketika di Mekah antara
adalah, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-
Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani,
dan beberapa ulama Melayu yang bermukim di sana.

Perjuangan

Sekembalinya dari Mekah, Syeikh Sulaiman mendirikan pondok pesantren di tanah


kelahirannya di Bukit Tinggi, Sumatera. Beliau berusaha untuk mempertahankan
pengajaran menurut sistem pondok. Namun pada akhirnya, pengajian sistem pondok
secara halaqah dengan bersila di lantai dalam pendidikan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli
mulai dikombinasikan menjadi sistem persekolahan, duduk di bangku pada 1928, namun
kitab-kitab yang diajar tidak pernah diubah. Bahkan sistem halaqoh ala pondok pesantren
juga tetap dilaksanakan hingga saat ini.

Dalam waktu singkat, pesantren yang didirikannya mendapat dukungan penuh dari
masyarakat sekitarnya. Dukungan ini mendorong bertambahnya jumlah murid yang
menuntut ilmu di pesantren. Murid-murid yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya
berasal dari daerah setempat, melainkan juga datang dari berbagai wilayah Sumatera
Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada yang datang dari
Malaysia.

Materi utama pendidikan di pesantren tersebut adalah pengajaran paham Ahlussunnah


Waljamaah dan madzhab Syafi’i. Syeikh Sulaiman sangat konsisten menjalankan paham
dan madzhab ini.

Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh
Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya
Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Baik dalam sistem pendidikan maupun perjuangannya,
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani
mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, yakni Madzhab Syafi’i.
Selain aktif di dunia pendidikan agama, Syeikh Sulaiman juga aktif di dunia politik dan
keorganisasian. Sejak tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syeikh Abbas dan
Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama ‘kaum tua‘ (golongan ulama yang tetap
mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafi‘i, Hanafi, dan
Hanbali) Minangkabau, membentuk organisasi bernama ‘Ittihadul Ulama Sumatera‘
(Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham
Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah madzhab Syafi‘i. Salah satu kegiatannya adalah
menerbitkan majalah al-Radd wa al-Mardud sebagai sarana untuk menjelaskan serta
mempertahankan paham Ahlussunnah waljamaah madzhab Syafi’i.

Sedangkan para ulama Malaysia yang seangkatan dengan Sulaiman ar-Rasuli dan sama-
sama belajar di Mekah adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M - 1339 H/1921
M) dan Tok Kenali (1287 H/1871 M - 1352 H/1933 M).

Dalam penentuan awal dan akhir puasa (Ramadhan), Syeikh Sulaiman ar-Rasuli lebih
menyetujui metode rukyah (melihat langsung bulan sabit). Ini merupakan sebentuk
penegasan beliau untuk mempertahankan corak keislaman yang berakar pada tradisi
Nusantara. Dalam banyak hal Syeikh Sulaiman ar-Rasuli beserta seluruh ulama Tarbiyah
Islamiyah mempertahankan ciri-ciri dan cita-cita keislaman tradisional menurut manhaj
Ahlussunnah Waljamaah bersama-sama dengan para ulama Nahdhatul Ulama (NU) dan
semua ulama di seluruh dunia Islam yang masih tetap berpegang teguh kepada Mazhab
Syafi’i.

Menurut Hamka, Syeikh Sulaiman ar-rasuli merupakan seorang ulama yang sangat gigih
memperjuangkan kehidupan Umat Islam. Mendidik bangsanya menjadi lebih maju dan
berusaha melepaskan diri dari penjajahan. Hamka melansir dalam bukunya yang berjudul
Ayahku Menulis, "Cuma Beliau (maksudnya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah) berselisih
dalam satu perkara (dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli). Bahwa Syeikh Sulaiman ar-
Rasuli mempertahankan Thariqat Naqsyabandiyah, dan salah seorang di antara
Syeikhnya (mungkin maksudnya Syeikh Saad Mungka, musuh polemik Syeikh Ahmad
Khathib Minangkabau, ed.), sedangkan pihak Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan
Syeikh Jambek tidak suka kepada tarekat itu.”

Karya-karya

Sebagai seorang ulama, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli telah melahirkan beberapa karya,
karya-karya ini banyak di pelajari oleh para pelajar Muslim, di Munangkabau, Sumatera
dan beberapa kawasan Nusantara lainnya.karya-karya tersebut antara lain adalah :

1. Dhiyaus Siraj fil Isra‘ Walmi‘raj


2. Tsamaratul Ihsan fi Wiladah Sayyidil Insan.
3. Dawaul Qulub fi Qishshah Yusuf wa Ya‘qub
4. Risalah al-Aqwal al-Washitah fi Dzikri Warrabithah
5. Al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran
6. Al-Jawahirul Kalamiyyah.
7. Sabilus Salamah fi wird Sayyidil Ummah
8. Perdamaian Adat dan Syara‘.
9. Kisah Muhammad ’Arif

Dalam hal ini, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah ulama besar yang jarang tandingannya,
kukuh dan kuat mempertahankan agama berorientasikan Sunni Syafi`i. Syeikh Sulaiman
pulalah yang hingga kini dipercayai oleh masyarakat Minang sebagai penggagas landasan
kemasyarakatan islami di Sumatera Barat dalam adagium ”adat bersendikan Syara’,
Syara’ bersendikan kitabullah”.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli juga merupakan ulama yang gigih mempertahankan tatanan
kemasyarakatan Minangkabau untuk tetap mempertahankan tradisi kesalehan Nusantara.
Setidak-tidaknya hal ini terlihat dari bagaimana Beliau memperjuangkan prinsip ”Bulat
air karena pembuluh, bulat kata karena musyawarah” serta ”Tungku tigo sajarangan”
yang telah diyakini masyarakat Minang sebagai cara kebijakan paling berrurat akar dalam
tradisi Nusantara serta sama seklai tidak bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam.
Pengaruh

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, sempat dilantik sebagai anggota Konstituante dari PERTI
yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan
dan lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang
mengunjunginya. Demikian juga pemimpin-pemimpin bangsa setelah kemerdekaan
Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa,
sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.

Tokoh ini adalah seorang ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau,
Sumatera Barat. Beliau adalah golongan Kaum Tua yang sangat gigih mempertahankan
Mazhab Syafie. Syeikh Sulaiman menyampaikan pesan bahwa dengan memajukan
pendidikan, maka umat Islam akan dapat bangkit dan berkiprah lebih aktif dalam usaha
membangun bangsa dan agama. Syeikh Sulaiman berjasa besar dalam mengembangkan
paham Sunni Syafi‘i dan tarekat Naqsybandiyah.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli merupakan salah satu ulama besar asal Sumatera Barat yang
gigih dalam membela Islam. Ia wafat dalam usia 85 tahun, yaitu bertepatan dengan
tanggal 28 Rabi‘ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, dan dimakamkan di Komplek
Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.

Pada hari pengkebumian beliau, diperkirakan tiga puluh ribu umat Islam dan kelompok-
kelompok masyarakat lainnya hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada jasad
Beliau, termasuk para pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia. Bendera
Republik Indonesia dikibarkan setengah tiang selama 3 hari berturut-turut oleh
Pemerintah dan rakyat Sumatera Barat, untuk menyatakan rasa turut berbelasungkawa
dengan kepulangan al-’Alim al-’Allamah al-Fadhil Maulana Syaikh Sulaiman ar-Rasuli
bin Angku Muhammad Rasul al-Minkabawi, kembali ke haribaan Allah SWT. Semoga
Allah sentiasa melimpahkan rahmat dan keredhaan kepadanya. (Syaifullah Amin)

Anda mungkin juga menyukai