Anda di halaman 1dari 3

MENGENAL MANUGAL, KEARIFAN LOKAL

BERCOCOK TANAM DARI KALIMANTAN TENGAH

Manugal adalah salah satu kearifan lokal di Kalimantan Tengah. Tradisi manugal merupakan kegiatan
yang terkait bercocok tanam yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Dayak. Kagiatan
tersebut juga mencerminkan hubungan silaturahmi yang dalam antara masyarakat suku Dayak.
Manugal Pengertian Manugal Manugal adalah tradisi menanam padi secara tradisional yang
dilakukan masyarakat Dayak, terutama Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Hingga saat ini, manugal
masih dilakukan oleh masyarakat Dayak. Baca juga:
Apa yang Dimaksud Kearifan Lokal? Suku Dayak Ngaju merupakan suku asli dan terbesar dan
bermukim di Kalimantan Tengah. Proses Manugal Kegiatan manugal dilakukan dengan menggunakan
kayu yang diruncingkan pada bagian depan untuk membuat lubang di tanah. Kemudian, padi
dimasukkan pada lubang tersebut. Pembuatan lubang di tanah biasanya dilakukan oleh laki-laki yang
memiliki tenaga lebih kuat. Sedangkan, para ibu akan menaburkan benih pada tanah yang sudah
berlubang. Tradisi manugal biasanya diikuti segala lapisan usia, baik tua maupun muda. Manugal
dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat dalam satu kelurahan. Mereka akan bercocok
tanam tradisional secara bergantian, dari satu warga ke warga yang lain yang ikut manugal.
Pada zaman dahulu suku Dayak sangat bergantung pada alam. Tradisi manugal dilakukan setahun
sekali biasanya pada bulan Oktober dan November. Kegiatan manugal mencerminkan hubungan
silaturahmi suku Dayak yang sangat erat, karena dilakukan secara bergantian. Manugal juga
mencerminakan sifat kerja sama dan gotong royong untuk mencapai kesejahteraan bersama.
MENGENAL SUKU SAMIN,
SEDULUR SIKEP YANG SEMPAT MENGISOLASI DIRI

Suku Samin atau dikenal sebagai Sedulur Sikep adalah komunitas adat yang tinggal
berkelompok di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. Keberadaan masyarakat Samin juga
menyebar sampai ke luar wilayah Blora, antara lain di wilayah Kudus, Pati, Grobogan, Rembang,
Bojonegoro, hingga Ngawi. Baca juga: Mengenal 6 Suku di Jawa Timur, dari Suku Jawa hingga Suku
Tengger Mereka adalah masyarakat agraris dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Suku
Samin dikenal dengan keluguan, kejujuran, sikap apa adanya yang terkadang dipandang nyeleneh
dan yang membuatnya terlihat berbeda.
Asal-usul Suku Samin Dilansir dari laman rumah Belajar Kemendikbud, sebutan Suku Samin
disematkan karena mereka mengikuti dan mempertahankan ajaran Samin Surosentiko yang muncul
pada masa kolonial Belanda di tahun 1890. Samin Surosentiko atau Raden Kohar juga dikenal
sebagai Ratu Adil Heru Cakra dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam yang lahir pada tahun
1859 di Desa Ploso Kediran, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora. Baca juga: Selain Jawa dan
Sunda, Ini Daftar Suku di Pulau Jawa Ayah Samin Surosentiko bernama Surowijoyo yang juga dikenal
sebagai Samin Sepuh. Samin Surosentiko mengajarkan Sedulur Sikep yang secara turun-temurun
dipertahankan dalam keseharian masyarakat. Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat Samin
mengobarkan semangat perlawanan yang dilakukan tanpa kekerasan.
Perlawanan masyarakat Samin dilakukan dengan cara menolak membayar pajak serta
menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial. Pembangkangan inilah yang membuat
munculnya citra buruk orang Samin di tengah masyarakat pada saat itu. Suku Samin kemudian
mengisolasi diri, hingga akhirnya pada tahun 1970-an mereka baru mengetahui jika Indonesia telah
merdeka. Masyarakat Samin sendiri kemudian lebih suka disebut Wong Sikep atau Sedulur Sikep
karena sebutan tersebut berkonotasi positif, yang bermakna orang yang baik dan jujur. Sementara
bagi mereka, sebutan Samin justru mengandung makna berkonotasi negatif. Ciri Khas Suku Samin
Suku Samin memiliki ciri khas yang terkait dengan beberapa aturan dalam Ajaran Samin yang terlihat
dalam perilaku hidup sehari-hari. Ciri khas Suku Samin antara lain tidak boleh mendidik dalam
pendidikan formal, tidak boleh bercelana panjang, tidak boleh berpeci, tidak diperbolehkan
berdagang, dan tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu. Selain itu, masih banyak pula anggota
suku yang tidak mencatatkan perkawinan karena dulu Samin Surosentiko juga tak melakukannya.
Sementara dalam bersikap kepada lingkungan, masyarakat Samin juga memiliki kearifan lokal
dengan melihat alam sebagai pemberi penghidupan. Hal ini tak lepas dari pandangan masyarakat
Samin bahwa alam identik dengan ibu (biyung) sehingga harus dihormati. Oleh sebab itu dalam
memanfaatkan kekayaan alam, masyarakat Samin hanya akan mengambil seperlunya saja. Dalam
segi kepercayaan, masyarakat Samin dikenal memeluk agama Adam dengan bentuk ritual
sembahyang yang dilakukan pada setiap pagi dan menjelang senja.
Masyarakat Samin juga memiliki
rumah adat bernama Rumah Bekuk
Lulang dan senjata tradisional yaitu keris.
Ajaran Samin atau Saminisme
Ajaran Samin atau Saminisme
berkembang dari konsep penolakan
terhadap budaya kolonial dan
kapitalisme yang muncul pada masa
penjajahan. Saminisme juga dikenal
memiliki prinsip yang terdiri dari
pedoman, tuntunan, dan larangan bagi
masyarakat Samin. Pedoman dalam
Ajaran Samin dikenal sebagai Kitab
Kalimosodo yang terdiri dari Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasejaten, Serat Uri-uri Pambudi,
Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip. Sementara enam prinsip dasar Ajaran Samin yang
menjadi tuntunan dalam beretika berupa pantangan meliputi: 1. Drengki (membuat fitnah) 2. Srei
(serakah) 3. Panasten (mudah tersinggung atau membenci sesama) 4. Dawen (mendakwa tanpa
bukti) 5. Kemeren (iri hati, keinginan untuk memiliki barang yang dimiliki orang lain) 6. Nyiyo Marang
Sepodo (berbuat nista terhadap sesama) Sedangkan lima pantangan dasar Ajaran Samin dalam
berinteraksi meliputi: 1. Bedok (menuduh) 2. Colong (mencuri) 3. Pethil (mengambil barang yang
masih menyatu dengan alam atau masih melekat dengan sumber kehidupannya) 4. Jumput
(mengambil barang yang telah menjadi komoditas di pasar) 5. Nemu Wae Ora Keno (pantangan
menemukan barang) Masyarakat Samin juga memegang teguh prinsip terhadap sesama yaitu bejok
reyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku sedulur atau tidak boleh menyia-nyiakan
orang lain, cacat seperti apapun, asal manusia adalah saudara jika mau dijadikan saudara.

Anda mungkin juga menyukai