Anda di halaman 1dari 11

ANALISA MENGENAI KEBUDAYAAN SUKU SAMIN DI

KABUPATEN BOJONEGORO

Dosen Pengampu :

Gunawan Hadi Purwanto, S.H., M.H.

Oleh :

1. Dea Nawang Wulandari ( 22742011040 )


2. Dewi Tiarawati ( 227242011043 )
3. Putri Ayu Permatasari ( 22742011109 )
4. Usfi Nurlaili ( 22742011127 )
5. Luluk Widyaningtias ( 22742011074 )
UNIVERSITAS BOJONEGORO
FAKULTAS HUKUM
TAHUN AKADEMIK 2022/2024
SEJARAH SUKU SAMIN
Suku samin atau bisa disebut orang samin mendiami wilayah perbatasan jawa
tengah dan jawa timur.mereka tinggal di kawasan blora,jawa tengan dan
bojonegoro.di kawasan bojonegoro lebih tepatnya berada di dusun jipang berada di
tengah hutan yang kala itu sulit dijangkau.dusun ini berada di perbatasan kabupaten
bojonegoro dan kabupaten ngawi ,jatim.tetapi secara administratif, masuk wilayah
bojonegoro.jarak dari bojonegoro menuju jipang 70 kilometer menuju ke daerah itu,
jalanan sudah beraspal. Namun saat ini sebagian sudah diganti menggunakan
paving.
Jumlah komunitas suku samin di dusun jipang sebanyak 100 kepala keluarga
(KK) atau sekitar 250 jiwa. Menurut putra bungsu dari tujuh bersaudara keluarga
hardjo, bambang sutrisno mata pencaharian komunitas ini sebagian adalah petani
.mereka menananam jenis tanaman palawija,di antaranya jagung,atau singkong
ditanam di sela-sela tanaman kayu jati milik perhutani. Komunitas samin ialah
sekelompok orang yang mengikuti ajaran samin surasentika yang muncul pada masa
kolonial belanda. Samin menjadi salah satu dari sekian banyak kebudayaan yang ada
di Bojonegoro. Sejarah kebudayaan masyarakat Samin berasal dari satu sumber
utama. Yaitu ajaran yang disebarkan oleh Samin Surasentika.
KI samin surosentika adalah keturunan adipati brotodiningrat ,bupati yang
memerintah di kabupaten sumoroto atau yang kini disebut tulunganggung. Ki samin
surosentika lahir dengan nama raden kohar pada 1859. Samin Surosentiko di
usianya yang 31 tahun pada tahun 1890 mulai menyebarkan ajarannya kepada
orang-orang sedesanya. Beberapa penstudi dari Barat menyebut Surasentika
sebagai tokoh petani yang memberontak kolonialisme. C.L.M. Penders, M.A., Ph.D.,
dari Universitas Queensland, Australia menuliskan Surasentika sebagai petani yang
tidak berpendidikan dari desa Randublatung di daerah Blora.Dalam
perkembangannya, banyak sumber literatur lain yang menyatakan hal berkebalikan.
Seperti Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo yang menyebutkan bahwa Samin Surasentika
adalah seorang intelektual desa yang tinggal di Desa Klopodhuwur,
Blora.Surasentika juga merupakan pemimpin yang dihormati, guru spiritual, dan
pemimpin pergerakan melawan pemerintah kolonial Belanda.

Menurut sejarah yang ditulis Hutomo pada tahun 1996, Surasentika


merupakan anak dari Raden Surawijaya. Tokoh ini sering disebut Samin Sepuh. Ia
seorang residivis bagi pemerintah kolonial Belanda. Sering keluar-masuk penjara
karena mencuri, dan membagikan hasil curian tersebut kepada masyarakat miskin di
pedesaan Bojonegoro. Dapat dikatakan bahwa secara turun temurun, Surasentika
mendapatkan penerimaan yang baik oleh masyarakat. Tentunya karena
kontribusinya terhadap masyarakat. Hal ini mempermudah penyebaran ajaran
Samin. Perdebatan terkait ajaran Samin ini dimulai ketika Samin Surasentika mulai
menyebarkan ajarannya dengan dasar agama Adam. Agama Adam di deskripsikan
sebagai suatu kepercayaan yang berpusat pada interaksi bumi dan manusia.
Terdapat nilai tentang kesuburan pertanian dan pengelolaan tanah. Tidak hanya
sebagai hubungan eksploitatif, namun juga sebagai interaksi.Pemikiran mengenai
agama oleh Saminisme memang lekat dengan ikatan manusia dengan tanah. Bahwa
tanah adalah tempat manusia berpijak, dan mendapatkan kebutuhannya untuk
hidup. Oleh karena itu, mayoritas masyarakat Samin menjadi petani atau pekerjaan
mengolah tanah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perubahan terjadi ketika
Belanda datang di tanah Jawa untuk menjajah, kemudian Surasentika
menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap ikatan suci antara petani dan bumi.
Belanda sebagai pihak asing dianggap memutus ikatan suci antara manusia dan
tanah. Karena itulah Surasentika mulai menyebarkan ide-ide untuk menentang
bentuk relasi apapun dengan Kolonial Belanda. Hal ini juga sebagai upaya
peneguhan nilai suci lama yang terancam oleh campur tangan luar. Ajaran agama
Adam mengajarkan bahwa mencuri, berdusta, dan berzina terlarang bagi penganut
Samin. Wanita, seperti petani, juga diperlakukan dengan hormat oleh orang samin.

Surasentika dalam proses dakwahnya memiliki pedoman berupa lima kitab


yang disebut sebagai Layang Jamus Kalimasada, yang terdiri atas Layang Punjer
Kawitan, Serat Pikukuh Kasajatèn, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat
Lampahing Urip.Titik perdebatannnya terletak pada nilai agama Adam yang tidak
dapat diasosiasikan terhadap agama yang berkembang pada masa itu. Sehingga,
secara serta merta agama Adam dikatakan sebagai atheis, hingga kemudian mereka
mulai mengambil nilai-nilai yang dianut oleh agama Budha. Surasentika mencoba
membentuk gerakan perlawanan yang tidak menggunakan sarana kekerasan fisik –
mirip dengan konsep Ahimsa Gandhi. Inilah model perlawanan secara halus, dengan
cara nonfisik melalui pendekatan kultural.

Bojonegoro merupakan satu kawasan dengan multikulturalisme. Kultur ini


tidak hanya perkembangan dari kultur Jawa secara umum. Namun juga kultur yang
memang secara alami berkembang di Bojonegoro. Dalam hal ini kita tentu mengenal
Suku Samin meski berasal dari ajaran satu orang, sejarah masyarakat Samin
didefinisikan berbeda-beda dalam berbagai literatur. Termasuk tentang persebaran
ajaran Samin di daerah Bojonegoro maupun Blora.Perlawanan kultural tersebut
kemudian berhasil menarik banyak pengikut ajaran Samin. Hal ini membuat Belanda
melihat pergerakan tersebut sebagai sebuah ancaman. Muncullah label terbelakang,
tidak sopan, pemberontak, pembangkang, tertutup, hingga tidak mengenal agama.
Belanda kemudian menekan persebaran ideologi Saminisme dengan mengasingkan
Surasentika ke daerah yang sekarang disebut Sawahlunto. Ajaran Saminisme banyak
berbicara mengenai cara hidup manusia yang sederhana, mengutamakan
kedamaian, dan sikap saling menolong. Terdapat ungkapan-ungkapan khas Samin
yang dapat merefleksikan nilai-nilai adat masyarakat. Diantaranya
adalah nrimo (sabar menerima), rilo (ikhlas), trokal (kerja keras). Selain itu ada
ungkapan sepi ing pamrih rame ing gawe artinya membantu orang lain dengan
bekerja tanpa pamrih. Ojo waton ngomong, ning ngomong kang waton yang artinya
jangan banyak berbicara, tapi berbicaralah apa adanya. Serta sakdumuk bathuk
saknyari bumi, yaitu kewajiban seseorang untuk mempertahankan kedaulatan
wilayahnya, dengan membela negara sampai titik darah penghabisan.
Proses Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Komunitas Masyarakat
Samin
Proses pewarisan nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat Samin
dilakukan melalui interaksi sosial. (Keith Banting, 2006) bahwa syarat utama
terjadinya suatu aktivitas dan integrasi sosial adalah adanya interaksi sosial. Di
masyarakat Samin, terdapat beberapa tingkatan interaksi yang memengaruhi
warisan nilai-nilai luhur kelompok tersebut. Interaksi tersebut memiliki peran penting
dalam menjaga keberlangsungan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi.
Tingkatan interaksi tersebut adalah Microsystem, Mesosystem and Macrosystem
(Bronfenbrenner, 1979). Microsystem yakni proses interaksi dengan lingkungan
terdekat seorang individu seperti keluarga dan pertemanan dimana individu yang
bersangkutan dapat berinteraksi secara langsung. Tingkatan ini seorang individu
dikenalkan nilai-nilai kebaikan dengan cara pemberian nasihat oleh orang tua,
dipaparkan tentang mana yang diperbolehkan dan tidak, seperti larangan mengambil
sesuatu yang bukan haknya. Dampak yang ditimbulkan pada tahap ini sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan seorang individu terhadap
lingkungan sosialnya. Tindak lanjutnya ialah pentingnya gaya pengasuhan orang tua
kepada anak agar nilai-nilai yang diajarkan dapat diterapkan dengan baik.
Proses pewarisan kebudayaan Samin terjadi melalui interaksi sosial antar
anggota keluarga pada tingkat microsystem. Anak-anak diajarkan tentang tradisi dan
norma yang berlaku dalam masyarakat Samin oleh orang tua mereka dengan
menggunakan cerita-cerita, contoh tingkah laku, dan praktik-praktik kebudayaan
yang dilakukan dalam lingkup keluarga. Proses pewarisan kebudayaan terjadi juga
melalui interaksi sosial antar anggota kelompok kecil seperti saudara, tetangga, dan
teman-teman sebaya. Mereka saling berbagi informasi tentang tradisi dan norma
yang berlaku dalam masyarakat Samin, serta saling mendukung dalam menjaga dan
mengembangkan kebudayaan mereka. Proses pewarisan kebudayaan di masyarakat
Samin juga melibatkan praktik-praktik keagamaan seperti upacara adat yang diikuti
oleh masyarakat setempat. Praktik ini telah dijelaskan dalam implementasi nilai-nilai
budaya Samin dan memperkuat nilai-nilai tersebut serta rasa kebersamaan dalam
masyarakat. Pertalian interaksi yang ada dalam Microsystem berlanjut pada
tingkatan Mesosystem, yang meliputi hubungan orang tua dengan guru, hubungan
antar teman, serta hubungan pengalaman keluarga, sekolah, keagamaan, dan
pertemanan.
Dalam proses ini, masyarakat Samin membangun kerjasama antara orang tua
dan guru, yang dijembatani oleh tokoh masyarakat, untuk bersama-sama
mengenalkan nilai-nilai budaya melalui kegiatan-kegiatan yang relevan. Contohnya,
kegiatan musyawarah dihadiri oleh guru dan para orang tua guna menemukan
inovasi dalam rangka mewariskan nilai-nilai budaya ke generasi muda dengan cara
yang mampu diterima oleh anak muda zaman sekarang. Relasi yang tercipta dengan
baik antar faktor dapat mempengaruhi seorang individu untuk menyesuaikan diri
dengan tatanan di lingkungan sosialnya. Proses pewarisan kebudayaan Samin terjadi
pada tingkat mesosystem melalui interaksi sosial antara keluarga dengan lingkungan
sekitar. Keluarga Samin akan berinteraksi dengan tetangga, saudara, dan teman-
teman sebaya yang memiliki kebudayaan yang sama, serta saling berbagi informasi
dan mengajarkan tentang tradisi dan norma yang berlaku dalam masyarakat Samin
dalam konteks menjalin hubungan sosial.
Selain itu, proses pewarisan kebudayaan juga terjadi melalui interaksi sosial
antara keluarga dengan institusi-institusi yang ada dalam masyarakat, seperti
sekolah dan masjid. Anak-anak akan diajarkan tentang sejarah dan budaya Samin
sebagai bagian dari kurikulum sekolah dan mereka akan mendapatkan pengajaran
tentang ajaran agama yang berlaku dalam masyarakat Samin sebagai bagian dari
kegiatan keagamaan. Proses pewarisan kebudayaan juga terjadi melalui interaksi
sosial antara keluarga dengan pemerintah dan organisasi-organisasi masyarakat.
Pemerintah dan organisasi-organisasi masyarakat akan memberikan dukungan
dalam bentuk program-program yang bertujuan untuk menjaga dan
mengembangkan kebudayaan Samin. Peneliti melakukan observasi lingkungan dan
didapatkan pula bukti bahwasannya Ajaran Samin Surosentiko Bojonegoro diakui
sebagai Warisan Budaya Tak Benda yang ditetapkan di Jakarta, 08 Oktober 2019
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yakni Prof. Dr.
Muhadjir Effendy.
Hal ini adalah bukti bahwasannya masyarakat Samin mampu menjaga dan
melestarikan kearifan lokal yang dimiliki dengan baik hingga akhirnya apa yang
masyarakat junjung dapat diakui sebagai warisan Indonesia. Kemudian yang terakhir
tingkatan Macrosystem, meliputi pengaruh kebudayaan dimana seorang individu
tersebut tinggal. Kebudayaan adalah seluruh sistem, gagasan, perasaan, tindakan,
serta karya manusia dalam kehidupan bermasyarakat sebagai hasil ia belajar
(Koentjaraningrat, 1992). Menurut Hoenigman terdapat tiga wujud kebudayaan
sebagai suatu yang kompleks yaitu ide atau gagasan, aktivitas, dan artefak
(Koentjaraningrat, 2009). Proses pewarisan kebudayaan Samin pada tingkat
Macrosystem dipengaruhi oleh kebijakan dan norma yang berlaku di masyarakat. Hal
ini memengaruhi sikap dan perilaku individu dalam mematuhi norma yang ada.
Proses Macrosystem terjadi melalui interaksi sosial antara masyarakat Samin dengan
masyarakat lain yang ada di sekitarnya. Contohnya, masyarakat Samin akan
berinteraksi dengan masyarakat lain yang memiliki kebudayaan yang berbeda,
seperti masyarakat Jawa, Sunda, atau masyarakat lainnya. Masyarakat Samin akan
saling berbagi informasi dan mengajarkan tentang tradisi dan norma yang berlaku
dalam masyarakat Samin. Proses pewarisan kebudayaan di masyarakat Samin juga
melibatkan interaksi sosial dengan pemerintah dan organisasi-organisasi masyarakat
di tingkat nasional. Dalam hal ini, pemerintah dan organisasi-organisasi masyarakat
memberikan dukungan melalui program-program yang bertujuan untuk menjaga
dan mengembangkan kebudayaan Samin.
Selain itu, media massa dan teknologi informasi juga berperan dalam proses
pewarisan kebudayaan dengan menyebarkan informasi tentang kebudayaan Samin
kepada masyarakat luas. Sebagai contoh, Komunitas Masyarakat Samin memiliki
akun Instagram dan website resmi yang memudahkan masyarakat di luar Samin
untuk mengenal ajaran Samin. Temuan pola atau model pewarisan nilai seni dalam
tradisi masyarakat Samin kepada masyarakatnya dilakukan berpijak pada
mekanisme sibernetika meliputi isi, proses, gaya, dan pelaku. Mekanisme tersebut
bekerja sebagai rudimen dalam sistem sosial untuk mentransfer nilai seni dari
generasi sebelumnya kepada masyarakat Samin yang lebih muda. Isi mencakup
nilai-nilai budaya dalam tradisi yang dipegang kuat oleh masyarakat Samin yang
diwariskan secara turun temurun. Hal ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman
yang lebih baik tentang cara pewarisan nilai seni yang terjadi di masyarakat Samin.
Proses pengwarisan nilai-nilai budaya dan tradisi terjadi secara terus-menerus
dalam lingkungan kebudayaan masyarakat dan melibatkan keluarga, satuan
pendidikan, masyarakat, dan pemerintah daerah Samin. Pengambilan peran
institusional dalam pengembangan budaya dan tradisi dilakukan oleh keluarga,
satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah daerah Samin dalam struktur sosial
masyarakat. Struktur sosial adalah susunan hubungan antar individu atau kelompok
dalam suatu masyarakat. Struktur sosial dapat dikelompokkan menjadi dua jenis,
yaitu struktur formal dan informal. Struktur formal merujuk pada susunan hubungan
yang diatur oleh aturan atau norma yang berlaku di masyarakat, misalnya institusi
keluarga, institusi pendidikan, dan institusi pemerintahan. Di sisi lain, struktur
informal mengacu pada susunan hubungan yang tidak diatur oleh aturan atau norma
yang berlaku, seperti hubungan persahabatan dan hubungan kerja (Soekanto,
2010). Keluarga diperankan oleh orang tua, yang mewariskan nilai-nilai budaya
dengan sosialisasi tentang adat, norma dan contoh sikap yang seharusnya
diterapkan di Komunitas Masyarakat Samin, sehingga seorang anak dapat
menyaksikan dan merasakan nilai-nilai budaya yang tertuang dalam pitutur luhur
ajaran Samin. Secara kelompok, Pemerintah daerah bersama masyarakat
melestarikan nilai-nilai budaya dengan cara mengadakan kegiatan atau tradisi
budaya yang dijadikan sebagai program dan kegiatan rutin seperti Nyadran dan
tasyakuran di rumah Bapak Kepala Dusun. Tenaga pendidik berperan dalam
memberikan pembelajaran praktik seperti gotong royong, jadwal piket dan lain
sebagainya, beberapa hal terkait nilai-nilai budaya disisipkan melalui mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Menurut Bambang Sutrisno ajaran Samin adalah ajaran universal. Pertama,
karena Ajaran Samin Bojonegoro mengedepankan nilai-nilai moral yang universal,
seperti rasa toleransi, rasa persaudaraan, rasa saling menghormati, rasa gotong
royong, dan lain-lain. Nilai-nilai ini merupakan nilai-nilai yang diakui oleh berbagai
masyarakat di seluruh dunia. Kedua, Ajaran Samin Bojonegoro tidak terikat pada
agama tertentu. Ajaran ini diakui oleh masyarakat Samin yang beragama Islam,
Kristen, Hindu, Buddha, dan lainlain sebagai ajaran yang dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Komunitas Samin memiliki ciri khusus berupa keteguhan hati
dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai ajaran Saminisme hingga generasi saat
ini. Identitas tersebut menunjukkan kesesuaian dengan karakter ajaran Saminisme
yang masih dijunjung tinggi oleh pengikutnya. Masyarakat Samin meyakini
kebenaran dan kekuatan ajaran Samin Surosentiko sebagai pandangan hidup
mereka. Hal ini menunjukkan keberhasilan komunitas Sami dalam memertahankan
kearifan lokal dan budaya mereka secara berkelanjutan.
NILAI – NILAI POSITIF SUKU SAMIN

Suku Samin atau biasa disebut Orang Samin mendiami wilayah perbatasan
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka tinggal di kawasan Blora, Jawa Tengah dan
Bojonegoro, Jawa Timur. Dengan keunikan dan kekhasannya sendiri, Orang Samin
menjalani kehidupan yang terus bergegas seolah seperti tanpa hambatan. Kendati
tinggal di wilayah pedalaman, Orang Samin dikenal kritis terhadap kondisi sosial di
sekitarnya. Merdeka mencatat beberapa nilai luhur Orang Samin yang bisa dijadikan
rujukan hidup bagi orang-orang di luar Suku Samin diantaranya,

1. Bersikap jujur
Kawasan tinggal Orang Samin aman dari pencurian sebab mereka
memegang teguh kejujuran. Antara satu dengan yang lain ada sikap saling
hormat, menghargai, dan saling terikat persaudaraan. Salah satu alasan kuat
Orang Samin menolak berdagang juga karena alasan kejujuran. Menurut
mereka, berdagang potensial menimbulkan berlakunya sikap tidak jujur. Salah
satu ajaran Sedulur Sikep ini berbunyi, jangan mengambil apapun yang bukan
haknya.
2. Kekeluargaan
Semangat keakraban dan kekeluargaan warga samin merupakan ciri
khas utama dan yang tertinggi. Mereka memiliki kepribadian yang tak
memiliki watak keras, ekstrem, suka marah dan saling mencela. Mereka lebih
menjunjung nilai – nilai kekeluargaan dan kedamaian.
3. Saling membantu
Orang Samin memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi. Apabila ada
tetangganya yang kesusahan, mereka bergegas menawarkan bantuan.
Misalnya ada yang perlu pinjaman uang, dengan senang hati mereka akan
meminjamkannya. Pengembalian pinjaman uang itu tentu saja tanpa bunga.
4. Kerja keras
Kerja keras mencangkup dedikasi, upaya dan keterlibatan aktif dalam
melakukan pekerjaan atau kegiatan dengan penuh semangat

5. Bertani dengan bijak


Tanah ibarat ibu bagi Orang Samin. Mereka bercocok tanam
seperlunya. Orang Samin tidak mengenal istilah eksploitasi alam untuk
kepuasan hidup mereka.
6. Menjadi warga negara yang baik
Penolakan Orang Samin membayar pajak kepada Belanda dan Jepang
memiliki alasan logis. Bagi mereka menjadi aneh apabila pribumi membayar
pajak karena mendiami wilayahnya sendiri. Lebih malang lagi, hasil pajak itu
akan dikuasai oleh penjajah. Namun, ketika Indonesia resmi merdeka, Orang
Samin dikenal selalu taat membayar pajak.

7. Berpikir global, bertindak lokal


Orang Samin senantiasa memikirkan kelangsungan hidup alam untuk
generasi penerusnya. Mereka juga turut aktif dalam menjaga persatuan
nasional. Orang Samin aktif membantu Perhutani sebagai pengawas pohon-
pohon dari ancaman penebangan liar.
8. Kemandirian ekonomi
Mereka mengedepankan prinsip kemandirian ekonomi, memproduksi
sendiri kebutuhan hidup dan mengurangi ketergantungan pada faktor
eksternal.
9. Ketahanan dan simplicity
Mereka mendorong gaya hidup sederhana dan tahan banting,
mengedepankan kebutuhan dasar daripada keinginan berlebihan.
10. Kebeneranian berpikir mandiri
Suku samin dikenal karena mengajarkan nilai – nilai keberanian untuk
berpikir mandiri, tidak terpengaruh oleh hal-hal yang dianggap tidak esensial.

POLA KEHIDUPAN MASYARAKAT SUKU SAMIN

Seiring dengan majunya teknologi masa kini, massyarakat samin yang didusun
jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo Kabupaten Bojonegoro. Sejak
tahun 1900 masyarakat samin sudah terbuka dengan masyarakat luar namun masih
berpegang teguh dengan ajaran samin. Generasi muda didesa jepang ini sudah
menerima kebudayaan baru yang mereka terima dari media massa. Masyarakat
samin diera modern ini sekarang tidak kalah canggih dengan masyarakat pada
umumnya. Masyarakat samin memiliki pemikiran yang inovatif dan kreatif dalam
menggali sumber daya alam yang ada, contohnya dalam membuat prasarana air
bersih, membuat energi biogas dari kotoran lembu, bercocok tanam dengan pola
irigasi diesel, serta memiliki fasilitas lain yang serba modern. Perubahan tersebut
terdapat dua faktor eksternal dan internal. Faktor internal dari keterbukaan
masyarakat samin untuk menerima kebudayaan dari luar seperti teknologi baru,
untuk faktor eksternal dimulai dari adanya pengaruh kebudayaan luar seperti kontak
dengan budaya lain, meningkatkan hasil karya, perkembangan penduduk, interaksi
sosial, mobilitas, lancarnya sarana prasarana jalan. Akan tetapi dengan adanya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih dusun jepang
masih berpegang teguh pada nilai-nilai suku samin.
- Pendidikan
Pada tahun 1960, sistem pendidikan formal, SD, diperkenalkan di Dusun Jipang
karena kedekatannya dengan zona perang. Anak-anak dari masyarakat bersemangat
belajar dan mempersiapkan hal ini dengan belajar dari kurikulum sekolah mereka,
termasuk budaya, agama, dan bahasa asing. Pada tahun 1986, pemerintah
Bojonegoro memperkenalkan kurikulum sekolah menengah, menarik antusiasme
masyarakat, yang mengarah pada partisipasi aktif dan sukses dalam bangsa dan
negara. Bagi yang berpendidikan rendah dan ekonomi rendah biasanya
menggunakan ngoko atau madya. Bagi samin yang tingkat pendidikan dan
perekonomiannya rata-rata, biasanya menggunakan bahasa jawa ngoko lugu, ngoko
alus madya krama, krama lugu dan krama.
- Alat Transportasi
Adanya program perbaikan jalan pada tahun 1996 di dusun jepang ini memudahkan
masyarakat samin untuk berhubungan dengan masyarakat luar, imbasnya jumlah
kendaraan motor dan mobil yang dimiliki oleh masyarakat. Hadirnya roda dua
maupun roda 4 memudahkan aktivitas sehari-hari masyarakat samin seperti
pedagang, petani guna memasarkan apa yang dijual. Dan memudahkan anak muda
untuk melanjutkan sekolah dan memudahkan dalam mencari kerja, juga sebagai
akses jalan mempermudah pedagang dari luar membeli hasil tani dari dusun jepang
ini.

- Religi
Meski masyarakat Samin mempunyai keyakinan agama masing-masing, namun
pemerintah tetap menginginkan mereka memilih salah satu dari lima agama yang
ada di Indonesia. Jadi masyarakat suku Samin di Dusun Jepang ini mempunyai ID
yang terkait dengan agama pilihannya atau agama yang dianutnya. Kohar adalah
orang yang paham dengan corak Islam, atau Islam Jawa, atau nama lain Abangan
Islam, dan tidak hanya itu, hal ini juga dipengaruhi oleh rumah-rumah kecil di
sebelah rumah Jepang yang sebagian besar beragama Islam. Namun di era baru ini,
banyak Samini yang mulai melaksanakan salat, mereka juga salat berjamaah dan
mengikuti ibadah keagamaan seperti Dusun Jepang. Saat ini sudah ada dua gereja
di Dusun Jepang, yakni di RT 1 dan RT 2, dan mereka membangun gereja tersebut
secara bersama-sama.
- Tradisi kelahiran
Anak laki-laki sering kali dikuburkan atau dikuburkan di dalam rumah dengan
harapan mereka akan tumbuh dewasa untuk membantu orang tuanya. Ketika
seorang anak lahir, tradisi masyarakat Samin adalah melakukan selapanan adat
seperti brokohan, sepasar dilakukan pada hari kelima setelah anak lahir, selapanan
dilakukan pada hari ke 35 setelah anak lahir, tiga lapan, tujuh lapan dan satu Hal ini
dilakukan pada saat anak berumur satu tahun.
- Tradisi perkawinan
Saat ini, orang dari suku Samin bisa menikah dengan orang dari luar suku Samin.
Kebudayaan masyarakat Samin masih ada dan berbentuk adang akeh. Mereka siap
menerima portofolio dari komunitas Samin sendiri, terutama dari komunitas luar.

HAK MASYARAKAT SUKU SAMIN


Pengelolaan hak ulayat masyarakat adat suku Samin di Indonesia terkait
dengan tata kelola tanah dan sumber daya alam. Suku Samin dikenal dengan prinsip-
prinsip kehidupan mereka yang sederhana dan ramah lingkungan. Mereka memiliki
keunikan dalam pola adaptasi, tata kelola usaha tani, dan nilai-nilai budaya yang masih
dilestarikan. Namun, informasi spesifik mengenai hak pengelolaan suku Samin terkait
dengan hukum pertanahan dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam mungkin
dapat ditemukan dalam literatur hukum dan penelitian terkait. Beberapa penelitian
telah membahas tentang eksistensi hak ulayat masyarakat adat suku Samin dan
pengaruh kebijakan pertanahan nasional terhadap mereka.
Hak ulayat masyarakat adat suku Samin terkait dengan tata kelola tanah dan
sumber daya alam yang mereka miliki. Berikut adalah beberapa poin penting terkait
hak ulayat masyarakat adat suku Samin:

1. Eksistensi hak ulayat: Masyarakat adat suku Samin memiliki hak ulayat atas
tanah yang mereka gunakan untuk kehidupan dan keberlangsungan
2. Interaksi dengan perhutani: Masyarakat adat suku Samin memiliki interaksi
dengan perhutani dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bojonegoro
Padangan untuk melestarikan hak ulayat mereka
3. Keberadaan hak ulayat: Hak ulayat masyarakat adat suku Samin masih diakui
dan terjadinya interaksi antara KPH Padangan dengan masyarakat
adat suku Samin.

Masyarakat suku Samin memiliki hak yang berbeda dengan masyarakat lainnya
dan memiliki kepercayaan, adat istiadat, dan norma-norma serta aturan sendiri yang
berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya. Beberapa hak yang dimiliki oleh
masyarakat Samin meliputi:

1. Hak Layakan: Masyarakat Samin memiliki hak layakan atas harta peninggalan
orang tuanya, baik laki-laki maupun perempuan, dan tidak mempersoalkan
perbedaann agama dalam menerima warisan.
2. Hak kepribadian: Masyarakat Samin memiliki kepribadian yang jujur dan polos,
dan mereka menunjukkan dengan sikap terbuka kepada siapapun orang
tersebut, termasuk pemangku kepada posisi tertentu.
3. Hak kearifan: Masyarakat Samin memiliki nilai-nilai kearifan yang berbeda,
seperti rukun dan sumeleh, yang menjadi dasar dalam masyarakat Samin.
4. Hak agama: Masyarakat Samin memiliki agama menjadi peganggan hidup, dan
mereka tidak mempersoalkan perbedaann agama dalam menerima warisan.

Dalam konteks masyarakat adat suku Samin, perkawinan masyarakat Samin


merupakan warisan kebudayaan dari ki Samin Surosentiko yang tetap dipertahankan
oleh masyarakat Samin. Oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan
kebudayaan masyarakat Samin yang masih dijalankan sampai sekarang dan penelitian
ini dapat dijadikan sebagai pengetahuan untuk masyarakat Samin seimbang dengan
semua keturunan Adam Hawa dan memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Anda mungkin juga menyukai