Anda di halaman 1dari 12

Kajian Pustaka

1. Kajian tentang masyarakat samin sedulur sikep

Sedulur sikep atau lebih akrab di kenal sebagai wong samin, merupakan subuah komunitas
masyarakat yang berada di wilayah kabupaten Blora. Komunitas ini sudah terbentuk di masa era
penjajahan Belanda, di era itulah yang menjadikan alasan kuat terbentuknya komunitas sedulur
sikep. Dikenal dalam masa pemerintahan Belanda yang tidak mensejahterakan masyarakat
seperti adanya tanam paksa, intervensi masyarakat, dan penindasan, sehingga muncul tindakan
perlawanan yang di pelopori oleh berbagai kelompok masyarakat, khususnya di Pualau Jawa
sendiri. Mulai dari perang Jawa (1741-1743), perang Diponegoro (1825-1830), pertemupuran
Batavia (1628-1629), serangan Umum 1 maret 1949, operasi trikora dan banyak lagi perlawanan-
peralawanan atas ketidakadilan di era penjajahan Belanda (………………………..). Setiap
daerah memberikan perlawanan dengan caranya masing-masing termasuk diantaranya komunitas
wong samin, pergerakan wong samin sendiri di pelopori oleh tokoh masyarakat bernama Samin
Surosentiko, memiliki nama asli Raden Kohar. Beliau adalah seorang putra dari Raden
Surowodjoyo, ayahnya merupakan bupati yang mendapatkan pendidikan di wilayah keraton.
Bermula dari Raden Surowodjoyo yang prihatin terhadap kesengsaraan masyarkaat akibat
penjajahan Belanda,di tahun 1840, Raden Surowodjoyo keluar dari keraton dan membentuk
kelompok perlawanan dengan nama Tiyang Sami Amin, bermula dari gerakan ayahnya lah yang
memberikan dorongan bagi Samin Surosentiko meneruskan perlawanan terhadap otonomi
pemerintahan Belanda (Kurniasari, Cahyono, and Yuliati 2018).

Gerakan perlawanan yang dimunculkan oleh komunitas wong samin sendiri, memiliki ciri
khas yang unik dengan perlawanan nonfisik, membangkang terhadap pemerintah Belanda
dengan menolak membayar pajak, menolak memperbaiki jalan, menolak jaga malam, dan
menolak kerja paksa, semuanya di praktekan dengan cara yang nyeleneh, bagi kebanyakan orang
beranggapan bahwa itu tindakan yang bodoh dan tidak sopan. Sepertihalnya cara berkomunikasi,
tidak semua masyarakat dapat memahami bahasa dan perilaku wong samin, terdapat aturan atau
norma tertentu dalam kehidupan masyarakat samin. Penelitian oleh (Lestari 2013) dan (Octaviani
2015) yang bertemakan interaksi sosial dan komunikasi pada masyarakat samin, mengungkapkan
“aturan dan norma memberikan corak tersendiri dalam budaya komunikasi masyarakat samin,
selain harus mengucapkan sebuah salam “salam waras” juga terdapat pembatasan dalam hal
bergaul, berhati-hati dalam bertutur kata dan berperilaku”. Komunitas samin memiliki ciri-ciri
khusus yang menjadi identitas mereka dalam penampilan sehari-hari yang berbeda dengan
masyarakat di sekitarnya. Walaupun dari segi bahasa maupun penampilan memiliki perbedaan
dengan masyarakat sekitar, komunitas samin sendiri tidak memberikan batasan yang signifikan.
Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada interaksi sosial komunitas samin dengan masyarakat
sekitar, pertama adanya perbedaan nilai, norma serta budaya dan juga adanya aktifitas sendiri di
pemukiman komunitas samin menjadikan intensitas komunikasi hanya terjalin di waktu tertentu,
kedua ialah interaksi sosial terjalin dengan intensitas komunal ketika adanya suatu acara atau
dalam bahasa setempat di sebut sesorah (ceramah), ketiga adanya saling menghormati dan
menghargai sesama warga masyarakat sekitar, dengan berpegang teguh pada prinsip ”sapa
nandur bakal ngunduh wohing pakarti”

Cara berkomunikasi, bersikap dan berperilaku yang unik dari ajaran komunitas Samin
yang di pegang teguh oleh pengikutnya, memberikan daya tarik tersendiri oleh para peneliti
untuk mendalami dan mengkaji komunitas wong samin, termasuk diantaranya penelitian yang
dilakukan oleh (Octaviani 2015), komunitas samin dengan ajarannya banyak membahas tentang
hubungan sosial kemasyarakatan. Misalnya, sesama orang samin mencintai hidup rukun,
senantiasa menepati janji, dan saling bergotong royong dilakukan dengan iklas tanpa
mengharapkan upah atau gaji, ini memberikan silogisme bahwasanya ajaran yang diturunkan
oleh Samin surosentiko diterima oleh pengikutnya, kemudian dengan penelitian yang
menggunakan teori interaksionisme simbolik dapat mengurai segi perilaku berkomunikasi
komunitas samin, melalui tiga konsepnya (mind), (self) dan (society) yang mengevidensi ajaran
komunitas samin dengan pola berkmunikasi anggotanya.

Dibalik gaya eksklusif wong samin, terdapat bahasa sebagai pelengkap dalam tutur kata
dialog pada komunitas wong samin, keunikan yang dipalajari tidak hanya sampai pada pola
komunikasinya tetapi merambah ke dalam bahasa yang digunakan oleh komunitas wong samin.
Dipahami bahwasanya tidak semua masyarakat di sekitar lingkungan komunitas wong samin
memahami keseluruhan dialog jawa para pengikut ajaran wong samin, padahal notabene
masyarakat sekitar juga merupakan penduduk asli Jawa. Ini lah yang menjadikan kajian menarik
untuk membahas bahasa Jawa seperti apakah yang digunakan oleh komunitas wong samin,
sehingga muncul penelitian yang dilakukan oleh (Bakti Mardikantoro 2013) dalam penelitiannya
tentang bahasa Jawa sebagai pengungkap kearifan lokal masyarakat Sami. Kajian dalam
penelitiannya mengungkapkan bahwasanya komunitas wong samin dapat dijadikan interpretasi
sebuah bahasa dan budaya tidak bisa dilepaskan dari masyarakat penuturnya, menjadikan bahasa
sebagai simbol kearifan lokal, tanpa terdegradasi oleh perkembangan jaman. Bentuk- bentuk
bahasa Jawa yang dipakai masyarakat Samin dalam mengungkapkan kearifan lokal adalah kata,
kalimat, dan wacana. Ada beberapa kata dan kalimat yang memang menjadi semboyan bagi
komunitas wong samin, diantaranya terdapat kata “ulang putih-putih, abang- abang” ‘putih-
putih, merah-merah’. Makna kearifan lokal putih-putih, abang-abang yaitu bahwa masyarakat
Samin sangat men- junjung tinggi kejujuran. Untuk kalimat yang dipedomani oleh komunitas
wong samin memiliki jumlah yang lebih banyak dari pada kearifan lokal yang dinyatakan
dengan kata. Salah satu contoh “Wong urip iku intine siji aja ngumbar nap- su kaya wong nulis
tanpa mangsi, wong maca tanpa papan”. Orang hidup itu intinya hanya satu, jan-gan
mengumbar hawa nafsu, jangan seperti orang menulis tanpa tinta, orang membaca tanpa papan.
“Agama iku gaman, Adam pangucape, man gaman lanang” Agama adalah senjata atau pegangan
hidup. Terhitung lebih dari lima kalimat prinsip hidup dalam ajaran samin.

Premis bahwasanya komunitas sedulur sikep ini masih memegang teguh ajaran
pendahulunya di buktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Radendra and Masykur 2015),
bagi pengikut ajaran samin terdapat tantangan tersendiri dalam menjaga ajaran dan budaya-
budaya leluhur, mulai dari dalam diri sendiri hingga masyarakat umum tetapi ini tidak melepas
esensial para pengikut ajaran samin, mereka tetap mengamalkan ajaran samin dalam kehidupan
pribadi maupun kehidupan sosial. Penelitiannya yang berjudul “manifestasi ajaran samin pada
kehidupan penganutnya” mengangkat tiga subjek narasumber sebagai bukti diakronik ajaran
samin terhadap pengikutnya, dari hasil penuturan tiga narasumber memberikan penegasan moril
walaupun banyak pertentangan dan tantangan tiga subjek enggan meninggalkan ajaran samin.
Ketiga subjek menganggap pertentangan yang berasal dari luar penganut ajaran Samin
merupakan sebuah kewajaran dari perbedaan yang ada dan hak dari masing-masing orang untuk
meyakini apa yang diyakininya. Ketiga subjek senantiasa menjalankan ajaran Samin ini sebagai
sebuah identitas sosialnya dan mempengaruhi pandangan hidup serta sikapnya.

Melihat hasil penelitian di atas tentang manifestasi ajaran samin. (Setyaningrum, Astuti,
and Alimi 2017), melakukan penelitian yang berjudul “pergeseran nilai masyarakat samin
(sedulur sikep) dukuh Bombong”. Penelitian ini ingin melihat dengan adanya perkembangan
jaman yang sekarang ini, apakah hal itu berpengaruh kepada pola ajaran samin. Penelitian ini
menunjukan bahwa terdapat 6 acuan unsur pada ajaran Samin yang belum mengalami
pergeseran, yaitu unsur religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, bahasa, kesenian sera
sistem mata pencaharian. Selayaknya kearifan lokal yang di usung oleh komunitas samin,
mereka tetap dengan pendiriannya yang hidup menjunjung nilai religious, kesederhanaan,
kesopanan, kejujuran, saling tolong-menolong, mligi,humanis, tidak suka menerima pemberian
barang dari orang lain, setia, dan rukun. Lantas pengaruh apa yang ditimbulkan oleh kemajuan
jaman di kehidupan masyarakat samin, penelitian ini menunjukan sistem teknologi dan peralatan
serta sistem pengetahuan mengalami pergeseran, yang ditandai dengan penghargaan masyarakat
samin terhadap alam mulai berkurang dan sudah mementingkan nilai ekonomis.

Dilanjutkan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh (Tafricha, Suprayogi, and
Suhardiyono n.d. 2015). Salah satu alasan ajaran samin masih terjaga oleh para penganutnya
adalah dengan tetap melestarikan budaya pendidikan leluhurnya, termasuk dibahas dalam
penelitian yang berjudul “penanaman nilai-moral anak dalam keluarga samin (sedulur sikep)
kabupaten Blora”. Korelasi antara menjaga penanaman nilai-moral dan adanya perkembangan
jaman, menjadi hal penting yang perlu di kaji. Meninjau ajaran samin bagaimana penanaman
nilai-moralnya dan siapa saja yang berperan dalam hal tersebut, penelitian ini memberikan hasil
bahwasanya pola sosialisasi yang digunakan dalam penanaman nilai-moral anak dalam keluarga
Samin cenderung fleksibel antara pola otoriter, pola permisif, dan pola demokratis. Nilai-moral
yang ditanamkan orang tua Sedulur Sikep (Samin) yang tergambar dari hasil interaksi antara
orang tua dan anak meliputi nilai kejujuran , nilai kerukunan, nilai sopan santun , nilai disiplin ,
dan nilai kerjasama yang sudah terlaksana dengan baik. Pihak yang berperan dalam penanaman
nilai-moral pada anak dalam keluarga Samin adalah ibu, ayah, dan kakak dalam keluarga.

Membicarakan tentang pendidikan ajaran samin, selain dikenal dengan segi bahasa dan
perilaku yang memiliki keunikan ciri khas tersendiri. Ada pula keistimewaan dalam hal
pendidikan dibuktikan dengan adanya kajian yang dilakukan (Rizqi and Rini 2015). Dilihat dari
segi kesejarahan sekolah jaman dahulu yang memang di kuasai oleh pemerintahan Belanda,
memberikan dampak pada pola pemikiran ajaran samin, sekolah di jaman belanda hanya sebagai
alat politik untuk memperdaya masyarkat Indonesia. Dalam ajaran samin sendiri ada istilah
“sinau” untuk mengartikan pendidikan, penelitian ini memberikan hasil bahwa bagi ajaran
samin, pendidikan adalah sesuatu yang general, dapat dilakukan dimana saja tidak selalu harus di
bangku resmi. Pendidikan dalam ajaran samin menyangkut nilai-nilai yang diturunkan sesuai
dengan ajarannya. “Sinau”sendiri didasarkan kepada beberapa hal pokok yang penting di
antaranya adalah 1) niteni sing dilakoni nanging durung dilakoni (memperhatikan yang
dilakukan tetapi belum dilakukan); 2) gelem nglakoni ngalah (mau mengalah); 3) rukun; 4) ora
colong jupuk (tidak mencuri). Keempat nilai tersebut merupakan gambaran ajaran-ajaran sedulur
sikep yang mengacu pada prinsip panca wewaler dan panca sesanti sedulur sikep. Pendidikan
tidak sebatas dimaknai pada sinau di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Bagi sedulur
sikep, pendidikan mencakup aspek pendidikan formal. Orang yang dianggap berpendidikan dan
berpengetahuan tinggi adalah orang yang mampu menjalankan ajaran kebaikan sedulur sikep
serta dilengkapi dengan pendidikan formal.

Sudah dikenal dalam ajaran samin tentang pembelajaran seumur hidup, kemudian dikenal
pula dengan istilah “sinau”. Kesemuanya merupakan bentuk ajaran yang di lestarikan oleh
penganutnya. Kajian yang dilakukan (Darmastuti and Prasela 2010) adalah melihat dari proses
pembelajaran yang di aplikasikan oleh masyarakat samin, tentang adanya fakta komunikasi dua
arah dalam proses “sinau”. Praktek belajar dapat dilakukan dimanapun sesuai yang diajaran
leluhurnya dapat dicontohkan seperti bicara sehari-hari sambil menimang anak dengan sesame
ibu yang baru melahirkan merupakan proses belajar bagi anggota komunitas samin. Penekanan
dalam pembe- lajaran di lingkungan masyarakat Samin adalah mendidik anak-anak untuk taat
mengikuti ajaran dan falsafah hidup yang diyakini masyarakat Samin. Menulis dan berhitung
hanyalah sebagai sarana untuk menjadi manusia yang sempurna. Ajaran-ajaran ini kadang-
kadang disampaikan langsung oleh sesepuh kepada anak-anak, tetapi tidak jarang dilakukan
dengan menggunakan media. Media yang digunakan adalah orang tua dan anggota komunitas
masyarakat Samin lainnya yang menjadi ‘guru’ bagi mereka. Pola pembelajar semacam ini dapat
dikatakan menggunakan pola komunikasi dua arah yang berlangsung sehari-hari di komunitas
Samin.
2. Kajian Internalisasi Nilai Budaya

Masyarakat dengan segala kelengkapan yang tersusun dari anggotanya memberikan corak
yang beranekaragam. Sejatinya masyarakat tersusun dari perkumpulan individu-individu yang
saling berkomunikasi, berinteraksi dan memiliki pemikiran, perasaan serta sistem atau aturan
yang sama. Adanya perkumpulan, komunikasi hingga aturan, menimbulkan adanya suatu
kebiasaan yang tercipta secara kolektif, unsur yang timbul disini ialah adanya berbagai sistem
terbentuk hingga menjadi budaya. Budaya ialah hasil yang diwariskan secara inheren turun-
temurun dari generasi ke generasi, oleh sababnya penanaman nilai budaya harus selalu
dilakukan. Sesuai dengan kajian yang diangkat oleh beberapa peneliti, termasuk penelitian yang
dilakukan oleh (Hindaryatiningsih 2016). Kajian yang berjudul “model proses pewarisan nilai-
nilai budaya lokal dalam tradisi masyarakat Buton” masyarakat buton merupakan sekumpulan
komunitas yang berada di Kota Baubau Sulawesi Tenggara, melalui penelitian ini memberikan
penegasan pewarisan dan penanaman nilai budaya yang di ajarkan kepada generasi muda dapat
melalui berbagai hal. Dalam tradisi masyarakat Buton sendiri disosialisasikan berupa tiga bentuk
tradisi nilai budaya lokal yaitu dalam tradisi kepercayaan, ritual keagamaan Islam, dan tradisi
siklus hidup manusia. Proses pewarisan nilai-nilai budaya pada tradisi masyarakat Buton berada
dalam lingkungan IPO (input, proses, output) yang secara keseluruhan berada dalam lingkungan
kebudayaan dalam struktur stratifikasi masyarakat Buton. Mengenai model yang diterapkan oleh
masyarakat buton ialah dengan cara sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat, kemudian ada
istilah unik maknisme sibmetik yaitu menggunakan pendekatan kepemimpinan karismatik
masyarakat Buton (Lebe).

Internalisasi budaya memang dapat dilakukan dengan media atau bentuk seperti apapun.
Sebagai contoh melalui bentuk upacara sesuai dengan penelitian (Nurmawati 2013), salah satu
kearifan lokal yang tercermin dari masyarakat jawa ialah dengan segala perwujudan syukur
kepada pencipta melalui ritual-ritual upacara. Ini merupakan ajaran yang diwariskan oleh para
leluhur, termasuk upacara adat saparan pudhen joko kasihan di Desa Cacaban Kidul kecamatan
Bener Kabupaten Purworejo. Kajian folklor yang dilakukan peneliti memberikan kesimpulan
bahwasanya, upacara ini yang memang selalu diselenggarakan tiap tahun untuk melestarikan
warisan budaya daerah, selain itu pula upacara ini juga sebagai sarana mengekspresikan harapan-
harapan mereka, akan terasa nyaman dan terhindar dari bahaya, sedangkan fungsi sosial adalah
sebagai sarana rukun hidup, ungkapan kegotongroyongan, serta sebagai pengendali norma
masyarakat, juga berfungsi sebagai hiburan.

Kesatuan masyarakat yang kompleks memberikan keanekaragaman disetiap kelompoknya.


Diwujudkan dengan adanya identitas budaya di masing-masing daerah, termasuk masyarakat
Batak toba. Identitas tersendiri dari masyarakat Batak toba adalah adanya tradisi ulos. Kajian
yang dilakukan oleh (Margaretha and Sundawa 2016), memberikan pengertian bahwa ulos ialah
salah satu representatif dari identitas budaya masyarakat Batak Toba untuk melestarikan nilai-
nilai civic culture. Dalam kajiannya yang berjudul “Pelestarian Nilai-Nilai Civic Culture dalam
Memperkuat Identitas budaya Masyarakat: Makna Simbolik Ulos dalam Pelaksanaan
Perkawinan Masyarakat batak toba di Sitorang” memberikan hasil, ulos tidak bisa lepas dari
kehidupann orang Batak Toba karena merupakan warisan nenek moyang sejak dahulu kala, ulos
juga sebagai simbol kasih sayang di antara keluarga, yaitu antara orang tua dan anak, dan juga
antar sesama anggota masyarakat. Melalui hasil kajianya dapat dimengerti bahwa dalam tradisi
ulos terdapat pemaknaan simbolik yang memberikan korelasi dengan nilai-nilai civic culture,
seperti adanya nilai ketuhanan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.

Selain dari upacara adat internalisasi budaya dapat dilakukan dalam ranah yang lebih intern.
Dapat dikatakan yang lebih awal dan mendasar, contohnya melalui ranah sosialisasi keluarga.
Bentuk penanaman nilai budaya melalui ranah keluarga memiliki beberapa keunikan tersendiri,
bukan hanya tentang rasa aman, rasa kecukupan ataupun rasa kebutuhan biologis, namun
keluarga juga dapat menjadi preservasi budaya yang efektif. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan (Aryanti 2015), kajian dengan judul “javanese Cultural Socialization in Family and
Ethnic Identity Formation of Javanese Adolescent Migrant at Lampung Province” memuat
pentinganya tentang internalisasi budaya dalam ranah keluarga. Penelitian ini membahas tentang
keluarga migran Jawa yang ada daerah Lampung. Keluarga Jawa menjadi media sosialisasi bagi
anak ataupun remaja dalam menanamkan kebudayaan Jawa, walaupun mereka jauh dari tempat
budaya daerah sendiri, tetapi masyarakat Jawa masih menanamkan nilai budaya pada generasi
nya, selayaknya para leluhur yang selalu menurukan ajarannya dari generasi ke generasi,
keluarga jawa migranpun mempunyai pola untuk selalu menanamkan nilai budayanya. Terdapat
enam tahap sosialiasi keluarga jawa migran dalam membentuk identitas etnis1. sejarah migrasi
keluarga 2. Mengadopsi dan merujuk budaya keluarga 3. Pengembangan identitas keluarga 4.
Gaya pengasuhan dan jumlah waktu yang dihabiskan untuk interaksi dalam jenis pekerjaan
keluarga dan orang tua 5. Bahasa yang digunakan dalam keluarga dan 6. Situasi yang
mendukung dan menghambat ekspresi identitas etnis.

Pembuktian bahwasanya internalisasi budaya sangat penting dilakukan ialah dengan


diperkuat adanya penelitian yang berjudul “internalisasi nilai multikulturalisme dan kerukunan
antarumat beragama dalam masyarakat” yang dilakukan oleh (Fathudin and Fitria 2012).
Penelitian yang dilakukan di daerah Potorono, Banguntapan, Bantul. Peneltian yang bertujuan
mengungkapkan secara kasuistik proses internalisasi nilai multikulturalisme dan korelasinya
dengan toleransi antar masyarakat, serta faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk
mempertahankan nilai multikulturalisme ini, menghasilkan 1. Kesadaran masyarakat Potorono
untuk mempertahankan nilai-nilai toleransi telad ada sejak lama dan telah dipraktikan secara
turun temurun 2. interaksi sosial dengan komunitas baru terjadi dengan proses adaptif dan
langkah demi langkah melalui agama dan kegiatan sosial 3. mayoritas penduduk asli memiliki
hubungan kekerabatan, sehingga menyebabkan proses internalisasi nilai lebih mudah 4. nilai-
nilai yang muncul adalah toleransi, kebersamaan, kepedulian dan rasa hormat.

3. Ritual peralihan

Membicarakan tentang kebudayaan yang ada di masyarakat, selain tentang tempat kemudian
pola pelestarian dari kebudayaan itu sendiri, juga patut dibahas pula tentang peninggalan ajaran
dari kebudayaan di masing-masing daerah, sesuai konteks tersebut wujud peninggalan
kebudayaan yang dapat dilihat dan dinikmati sekarang ini, adanya upacara ritual. Adanya
keunikan dari upacara ritual sehingga muncul beberapa kajian yang mengangkat tema upacara
ritual, termasuk diantaranya pembahasan tentang upacara ritual peralihan. Penelitian oleh
(Ernawati 2013) yang berjudul “Makna upacara potong gigi (Metatah) bagi peserta umat hindhu
Bali di Pura Agung Jagad Karana Kota Surabaya” penelitian menunjukan upacara pengarsipan
gigi di Surabaya dilakukan selama dua hari, secara massal, pada saat liburan sekolah di Pura
Agung Jagat Krama. Upacara ini di tafsirkan sebagai pemurnian ritual, untuk mengontrol atau
menghilangkan enam musuh pada manusia. Penelitian serupa juga dikaji oleh (Apgar et al.
2018), “Understanding adaptation and transformation through indigenous practice the case of the
Guna of Panama”. Disebutkan adanya ritual yang dinamakan ritual guna, praktik ritual guna
membangun keterampilan tambahan, seperti instropeksi diri, berfikir yang lebih positif untuk
mendukung perubahan yang lebih transformatif di dalam diri.

Kajian yang berjudul “ontologi relasi kedewasaan berbangsa (Telaah terhadap Sintesa
Struktur Individual dan Struktur Sosial dalam Kearifan Lokal Masyarakat Madura)” oleh
(Hidayat 2008). Eksplorasi kedewasaan berbangsa masyarakat Madura melalui kearifan lokalnya
dalam perspektif tiga tradisi masyarakat Madura, yaitu carok, rokat tase dan tradisi ritual
samman. Ditemukan bahwasanya ontologi relasi kedewasaan berbangsa masyarakat Madura
tertuang dalam tiga prinsip. Kedewasaan berbangsa masyarakat Madura merupakan
konseptualisasi dan aktualisasi sintesa struktur individual dan struktur sosialnya berupa pola
pikir, pola sikap dan pola perilaku bangga sebagai ras Madura dan non-organisasi sebagai salah
satu ras di Negara Indonesia.

Dilanjutkan dengan penelitian oleh (Janusz and Walkiewicz 2018) atikel ini memberikan
penjelasan tentang kontribusi konsep ritus peralihan dan teori liminalitas pada pemahaman
transformasi dalam perjalanan kehidupan seseorang. Proses-proses ini menyediakan kerangka
kerja struktural untuk memahami krisis kehidupan, sehingga memfasilitasi studi mereka sebagai
fase transformasi dinamis yang terkait dengan peran dan tugas berturut-turut selama masa hidup.
Ini dijelaskan pula oleh (Lertzman 2002), konsep dasar ritus peralihan dijelaskan dalam hal
relevansi mereka untuk pemuda, pendidikan luar ruang, dan program penemuan kembali pada
khususnya. Kajian tentang ritus peralihan dikaitkan dengan pendidikan, menggunakan penemuan
kembali sebagai model, ritus peralihan dikemukakan sebagai proses pendidikan untuk pemuda
dari berbagai latar belakang budaya. Penelitian ini mengemukakan arti penting ritus peralihan
untuk pendidikan mencakup segi transformasi budaya dan transisi menuju keberlanjutan
ekologis.
DAFTAR PUSTAKA

Apgar, Marina J., Will Allen, Kevin Moore, and James Ataria. 2018. “Understanding Adaptation
and Transformation through Indigenous Practice: The Case of the Guna of Panama.”
Journal Ecology and Society 20(1).
Aryanti, Nina Yudha. 2015. “Javanese Cultural Socialization in Family and Ethnic.”
KOMUNITAS 7(2):251–58.
Bakti Mardikantoro, Hari. 2013. “Jurnal Komunitas Bahasa Jawa Sebagai Pengungkap Kearifan
Lokal Masyarakat Samin Di Kabupaten Blora Javanese As Expression of Local Wisdom in
Samin Community Blora.” Jurnal Komunitas 5(2):197–207.
Darmastuti, Rini and Mustika Kuri Prasela. 2010. “Two Ways Communication: Sebuah Model
Pembelajaran Dalam Komunitas Samin Di Sukolilo Pati.” Jurnal Ilmu Komunikasi
8(2):204–216.
Ernawati, Ni Wayan. 2013. “Makna Upacara Potong Gigi (Metatah) Bagi Peserta Umat Hindhu
Bali Di Pura Agung Jagad Karana Kota Surabaya.” AntroUnairDotNet 1(1):27–34.
Fathudin, Syukri Achamad widodo and Vita Fitria. 2012. “Internalisasi Nilai Multikulturalisme
Dan Kerukunan Antarumat Beragama Dalam Masyarakat.” Penelitian Humaniora
17(2):16–38.
Hidayat, Ainurrahman. 2008. “ONTOLOGI RELASI KEDEWASAAN BERBANGSA (Telaah
Terhadap Sintesa Struktur Individual Dan Struktur Sosial Dalam Kearifan Lokal
Masyarakat Madura ).” JURNAL KARSA 1(13).
Hindaryatiningsih, Nanik. 2016. “MODEL PROSES PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA
LOKAL DALAM TRADISI MASYARAKAT BUTON Nanik Hindaryatiningsih Fakultas
Ekonomi, Universitas Haluoleo Kendari.” Sosiohumaniora 18(2):108–15.
Janusz, Bernadetta and Maciej Walkiewicz. 2018. “The Rites of Passage Framework as a Matrix
of Transgression Processes in the Life Course.” Journal of Adult Development 25(3):151–
59.
Kurniasari, Dwiyana, Edi Cahyono, and Yayuk Yuliati. 2018. “Kearifan Lokal Petani
Tradisional Samin Di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora.” Habitat
29(1):33–37.
Lertzman, David Adam. 2002. “Rediscovering Rites of Passage Education , Transformation , and
the Transition to Sustainability Stable URL : Https://Www.Jstor.Org/Stable/26271823
Linked References Are Available on JSTOR for This Article : Rediscovering Rites of
Passage : Education , Tr.” Journal Ecology and Society 5(2).
Lestari, Indah Puji. 2013. “Interaksi Sosial Komunitas Samin Dengan Masyarakat Sekitar.”
Komunitas 5(1):74–86.
Margaretha, Lopiana and Dadang Sundawa. 2016. “Pelestarian Nilai-Nilai Civic Culture Dalam
Memperkuat Identitas Budaya Masyarakat : Makna Simbolik Ulos Dalam Pelaksanaan
Perkawinan Masyarakat Batak Toba Di Sitorang.” Journal of Urban Society’s Arts 3(3):64–
72.
Nurmawati, Ella. 2013. “Kajian Folklor Upacara Adat Saparan Pudhen Joko Kasihan Di Desa
Cacaban Kidul Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo.” Jurnal Program Studi Pendidikan
Bahasa Dan Sastra 2(02):66–76.
Octaviani, Emillia Vinna. 2015. “Pola Komunikasi Suku Samin Di Kabupaten Blora Terkait
Ajaran Yang Dianutnya.” The Messenger VII:26–29.
Radendra, Afriasta Mars and Achmad Mujab Masykur. 2015. “MANIFESTASI AJARAN
SAMIN PADA KEHIDUPAN PENGANUTNYA : Studi Kualitiatif Fenomenologi Pada
Penganut Ajaran Samin Di Blora.” 4(4):118–23.
Rizqi, Mihda Naba and Hartati Sulistyo Rini. 2015. “PENDIDIKAN FORMAL DALAM
PERSPEKTIF SEDULUR SIKEP (Studi Kasus Pada Sedulur Sikep Desa Klopoduwur
Kabupaten Blora).” Solidarity 4(2):71–81.
Setyaningrum, Dewi, Tri Marhaeni Pudji Astuti, and Moh Yasir Alimi. 2017. “Pergeseran Nilai
Masyarakat Samin (Sedulur Sikep) Dukuh Bombong.” Journal of Educational Social
Studies 6(1):29–36.
Tafricha, alifa nurul, Suprayogi, and Andi Suhardiyono. n.d. “Penanaman Nilai-Moral Anak
Dalam Keluarga Samin (Sedulur Sikep) Kabupaten Blora.” Civic Education.

Anda mungkin juga menyukai