Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ucok Dani Irawan Manik

NIM : 130510049
Mata Kuliah : Sastra Kebijaksanaan
Dosen Pengampuh : Surip Stanislaus, Lic. S. Th.

SASTRA KEBIJAKSANAAN
DALAM MASYARAKAT SIMALUNGUN

1. Pegangan Hidup Masyarakat Simalungun: Habonaron Do Bona

Setiap suku bangsa memiliki filosofi atau falsafah hidup yang menjadi cerminan,
pandangan, pedoman, dan norma bagi masyarakatnya demi mencapai hidup yang lebih
bernilai dan bermartabat. Masyarakat Simalungun menghidupi dan menghayati sebuah
falsafah yang terangkum dalam istilah Habonaron Do Bona. Falsafah ini masih sangat
relevan hingga saat ini. Bahkan hampir di setiap daerah di wilayah Kabupaten
Simalungun sering menjadikan falsafah ini sebagai tulisan-tulisan atau slogan-slogan di
berbagai tempat.

Secara harafiah Habonaron Do Bona dapat diterjemahkan dengan kebenaran atau


keadilan sebagai dasar maupun pangkal segala sesuatu. Artinya, dalam seluruh peri
kehidupan masyarakat Simalungun kebenaran dan keadilan menjadi titik pangkal dan
titik tolak. Falsafah Habonaron Do Bona mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menata dan membentuk kepribadian masyarakat Simalungun. Falsafah Habonaron Do
Bona membimbing seseorang untuk hidup dalam kejujuran dan ketenteraman. Falsafah
ini senantiasa menuntun orang Simalungun supaya berani mengatakan yang benar dan
sebaliknya tidak sungkan mengatakan yang salah. Pada masa lalu, sangat jarang terjadi
tindakan pencurian atau penipuan di kalangan masyarakat Simalungun. Rumah-rumah
orang Simalungun tidak memiliki kunci, hanya ada pengait, agar pintu tidak terbuka oleh
angin dan agar binatang peliharaan tidak masuk ke dalam rumah. Orang Simalungun
percaya bahwa tidak akan ada yang mencuri. Perbuatan jahat seperti mencuri dan menipu
dianggap sebagai perilaku namabutak (hina) sedangkan perilaku namadear (baik) hanya
bersumber dari habonaron. Praktek ini masih saya alami sendiri, bahwa di kampung
rumah kami tidak terkunci meskipun kami pergi ke ladang.

Falsafah ini juga telah memengaruhi pola pikir masyarakat Simalugun, sehingga
orang Simalungun sangat berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan. Keputusan atau

1
tindakan baru akan diambil setelah dipikirkan terlebih dahulu secara matang. Apa yang
telah diputuskan jarang ditarik kembali, apalagi diingkari. Hal itu misalnya tertuang
dalam ungkapan Simalungun parlobei idilat bibir ase marsahap, bijak mosor pinggol
asal ulang mosor hata. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Simalungun bukanlah
tipikal manusia yang sembrono atau terburu-buru dalam mengambil maupun menentukan
sebuah kebijakan serta keputusan.

Selain memengaruhi pola pikir dan kepribadian orang Simalungun, falsafah


Habonaron Do Bona juga menjadi tolok ukur atau acuan bagi semua tindak tanduk
masyarakat Simalungun. Falsafah tersebut mendorong atau membimbing masyarakat
Simalungun untuk sampai pada kehidupan yang bernilai dan bermartabat. Bagi
masyarakat Simalungun, seorang yang bermartabat dan bernilai adalah pribadi yang
memiliki pandangan yang benar, merencanakan yang benar, berbicara benar, bekerja
dengan benar, memiliki prinsip yang benar, memusatkan perhatian pada yang benar dan
berpikir yang benar.

2. Sistem Kekerabatan Masyarakat Simalungun: Tolu Sahundulan Lima


Saodoran

Struktur sosial masyarakat Simalungun diungkapkan dalam sistem kekerabatan


yang disebut Tolu Sahundulan Lima Saodoran. Secara etimologisnya Tolu artinya tiga
dan sahundulan artinya satu kedudukan, satu tempat duduk atau duduk bersama dalam
satu tempat. Lima artinya lima dan saodoran artinya satu barisan atau kumpulan besar
yang lengkap dan sempurna. Masyarakat Simalungun berkeyakinan bahwa hidup
sempurna tercapai bila mengindahkan dan melaksanakan hukum Tolu Sahundulan Lima
Saodoran. Sebuah horja (pesta adat) misalnya, dapat dikatakan sempurna bila seluruh
komponen adat Tolu Sahundulan Lima Saodoran hadir dalam horja tesebut. Konstruksi
Tolu Sahundulan Lima Saodoran terdiri atas dua bagian besar yaitu: Tolu Sahundulan
yang terdiri dari tondong, boru dan sanina, dan Lima Saodoran yaitu tondong, tondong
ni tondong, boru, boru ni boru dan sanina.

Struktur kekerabatan Tolu Sahundulan Lima Saodoran menyatakan unitas dan


totalitas hubungan kekerabatan dalam masyarakat Simalungun. Sistem Tolu Sahundulan
Lima Saodoran adalah tali pengikat dalam hukum adat Simalungun. Sistem kekerabatan

2
ini adalah salah satu unsur yang hakiki dalam budaya Simalungun, karena
menggambarkan harmoni dalam kehidupan masyarakat Simalungun. Harmoni itu dapat
dicapai ketika masing-masing kelompok melaksanakan peranan dan fungsinya. Tanpa
sistem ini, seseorang tidak akan mengetahui identitasnya dalam pesta adat. Sistem
kekerabatan Tolu Sahundulan Lima Saodoran melukiskan posisi masing-masing orang
dalam adat budaya Simalungun. Sistem kekerabatan ini terjadi berkat perkawinan, artinya
begitu seseorang terikat dalam perkawinan maka dengan sendirinya hubungan Tolu
Sahundulan Lima Saodoran terjalin.

Sistem kekerabatan Tolu Sahundulan Lima Saodoran masih berlaku hingga saat
ini. Setiap pihak memiliki peranannya masing-masing sesuai dengan kedudukannya. Dan
setiap orang akan pernah menduduki setiap peranan tersebut tergantung siapa yang
sedang mengadakan pesta. Melalui sistem kekerabatan ini juga diajarkan kepada
masyarakat Simalungun untuk tetap rendah hati dan saling menghargai peranan masing-
masing, karena ketika ada satu komponen yang tidak mau ambil bagian maka seluruh
acara yang telah dipersiapkan akan berantakan karena memang tidak bias dilaksanakan.
Maka, sikap saling menghormati sangat terlihat dengan adanya sistem kekerabatan.
Meskipun cara menghormatinya berbeda cara dan bentuknya antara komponen yang satu
dengan yang lain.

3. Umpasa (Peribahasa) dalam Masyakarat Simalungun

Ulang na luarhon lapung ni hata. Peribahasa ini bisa diartikan Jangan dikeluarkan
kata yang hampa. Melalui peribahasa ini, seluruh masyarakat Simalungun dipesankan
untuk tidak mengucapkan kata-kata yang tidak berguna atau yang omong kosong, tetapi
pikirkanlah dahulu setiap perkataan sebelum diutarakan. Maka dari sini juga, kerap kali
dikenal bahwa masyarakat Simalungun lembut tutur katanya, sangat halus menyampaikan
isi hatinya namun maknanya sangat mendalam.

Seng na botoh daini loppah patar. Arti dari kata-kata ini adalah tidak diketahui apa
rasanya masakan besok. Melalui peribahasa ini, masyarakat Simalungun senantiasa
diingatkan untuk berjaga-jaga dalam hidup karena tidak ada yang tahu apa yang akan
terjadi besok. Hal ini sangat senanda dengan pesan yang terdapat dalam Alkitab
mengenai kedatangan Yesus untuk yang kedua kalinya. Tidak ada yang tahu kapan hal itu

3
akan terjadi, maka perlu mengajak diri untuk senantiasa berjaga-jaga agar selalu siap
sedia.

Anda mungkin juga menyukai