LAMPUNG
(Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal)
Disusun Oleh :
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
A. Masyarakat Lampung
Provinsi Lampung memiliki keragaman akan budaya, mulai dari adat istiadat,
bahasa dan lain-lain. Keragaman ini menjadi salah satu keunikan suku Lampung
itu sendiri. Secara umum, suku di Lampung terbagi menjadi dua, yakni Lampung
Saibatin dan Lampung Pepadun. Oleh karenanya, Provinsi Lampung memiliki
semboyan ‘Sai Bumi Ruwa Jurai’ yang berarti Satu Bumi Dua Jiwa.
Itulah semboyan yang disandang oleh provinsi paling ujung selatan di Pulau
Sumatera tersebut. Semboyan itu juga bermakna identitas asli leluhur masyarakat
Lampung,. Meskipun sama-sama menjadi masyarakat asli, namun kedua suku ini
memiliki perbedaan yang cukup mencolok, baik dalam bahasa maupun tata cara
dan adat istiadat lainnya.
Untuk adat istiadat, masyarakat suku Saibatin cenderung lebih selektif. Hal ini
tercermin dalam sistem kerajaan dan pemberian gelar adat pada masyarakat.
Hanya masyarakat yang memiliki garis keturunan kerajaan atau bangsawan yang
berhak untuk mendapatkan gelar adat dan menjadi Raja (baca: Khaja). Hiasan
yang digunakan oleh masyarakat suku Saibatin juga berbeda dengan yang
dikenakan oleh masyarakat suku Pepadun. Mahkota perempuan (Siger) Lampung
Saibatin memiliki tujuh lekuk dengan hiasan bunga pada bagian atas.
Ada juga Siger yang memiliki tali yang menjuntai menutupi wajah. Siger ini
digunakan oleh masyarakat suku Saibatin-Melinting di Lampung Timur. Pada
acara-acara adat dan pernikahan pun warna baju yang digunakan oleh masyarakat
ini adalah warna merah.
Suku Lampung Pepadun
Untuk adat istiadat dalam masyarakat suku Pepadun tidak serumit masyarakat
suku Saibatin. Masyarakat dengan suku ini dapat mendapaatkan gelar adat
meskipun hanya berasal dari kalangan masyarakat biasa. Untuk mendapatkan
gelar adat tersebut harus dilakaksanakan upacara adat Cakak Pepadun. Hal yang
sama juga dilaksanakan untuk masyarakat di luar suku Pepadun yang akan
menikah dengan masyarakat adat Lampung Pepadun.
Akan tetapi, berbeda dengan suku-suku di Indonesia pada umumnya. Dari dua
suku di Lampung tersebut, masih terbagi lagi menjadi beberapa wilayah adat.
Antar wilayah adat itu juga, sedikit banyak terdapat perbedaan. Untuk wilayah
adat Lampung Saibatin diantaranya Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat),
Bandar Enom Semaka (Tanggamus), Bandar Lima Way Lima (Pesawaran).
Kemudian juga Melinting Tiyuh Pitu (Lampung Timur), Marga Lima Way
Handak (Lampung Selatan), Enom Belas Marga Krui (Pesisir Barat). Hingga
diluar Provinsi Lampung diantaranya Pitu Kepuhyangan Komering (Provinsi
Sumatera Selatan), Telu Marga Ranau (Provinsi Sumatera Selatan) Cikoneng Pak
Pekon (Provinsi Banten). Sementara Lampung Pepadun terbagi menjadi Abung
Siwo Mego, Mego Pak Tulangbawang, Pubian Telu Suku, Way Kanan Buway
Lima dan Sungkay Bunga Mayang.
Apabila ditelusuri lebih jauh, sedikit banyaknya memiliki perbedaan yang terdapat
dalam masing-masing dua suku tersebut. Dari segi bahasa misalnya. Meskipun
sama-sama termasuk Lampung Saibatin, tapi ada beberapa perbedaan bahasa
antara Masyarakat Marga Krui dengan Way Lima. Bahkan logatnya pun tidak
persis sama. Pun begitu dengan Abung, Tulangbawang, Pubian, Sungkay dan
Way Kanan yang termasuk dalam Lampung Pepadun.
Sejak kolonialisme Belanda mengirim orang dari luar Lampung, lingkungan sosial
masyarakat Lampung berada dalam dinamika pluralisme. Selanjutnya tak henti-
henti pula arus perpindahan secara besar-besaran dari berbagai daerah di
Indonesia ke Provinsi Lampung. Hampir tak terbatas waktu provinsi Lampung
menerima warga baru, baik yang berawal sebagai tamu berangsur menetap,
maupun yang secara sengaja berpindah untuk mencari penghidupan baru. Arus
deras perpindahan penduduk etnis dan budaya dari luar Lampung ke dalam
lingkungan kehidupan masyarakat Lampung ini merupakan pengaruh pencitraan
Belanda bahwa pribumi masyarakat Lampung adalah etnis yang ramah dan
terbuka.
Pada sisi lain masyarakat Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri
dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan
terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima
penduduk pendatang. Pada masa pasca kemerdekaan, citra sebagai masyarakat
adat yang menerima kehadiran orang lain itu cenderung diterima secara terbuka,
sehingga kemudian mengkristal di dalam konsep Sang Bumi Ruwa Jurai.
Harapannya adalah agar kehidupan sosial masyarakat Lampung yang terdiri
penduduk asli dan pendatang ini menjadi sebuah lingkungan sosial dengan
komunitas yang hidup rukun, berdampingan dan bekerjasama. Perbedaan yang
ada dapat dijadikan kekuatan baru dalam membangun kehidupan yang harmonis.
Setiap komunitas menjaga sikap toleransi, meningkatkan dan bersatu dalam rasa
persaudaraan.
Pi’il Pesenggiri yang menyangkut harga diri, dalam hal ini orang Lampung
selalu bersikap dalam hidup untuk bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu
diri, serta tanggung jawab akan kewajibannya.
Sakai sambaian, di dalamnya terkandung suatu keharusan untuk hidup
bergotong-royong, berjiwa sosial, dan tanpa pamrih dalam menolong
orang lain.
Nemui Nyimah, di dalam prinsip ini terkandung suatu keharusan bagi
orang Lampung untuk selalu berlaku sopan santun terhadap sesama
anggota masyarakat, terbuka bagi siapa saja, baik moral maupun material.
Nengah Nyapur, yaitu keharusan bagi orang Lampung untuk selalu
bergaul di dalam masyarakat luas untuk ikut memberikan sumbangan
pemikiran, pendapat serta inisiatif demi kebaikan hidup bersama.
Bejuluk Beadek, yaitu keharusan berjuang meningkatkan kesempurnaan
hidup, bertata tertib dan tata karma yang sebaik-baiknya.
Pi’il Pesenggiri yang menjadi falsafah hidup orang Lampung ini merupakan nilai
dasar yang menjiwai setiap pribadi dalam bersikap dan berperilaku dalam rangka
menjaga dan mengangkat harkat martabatnya. Maka dapat dipahami mengapa
pembauran masyarakat yang berbeda budaya di Lampung dapat berjalan secara
harmonis yang kemudian membuahkan keberhasilan dalam transmigrasi,
pembangunan serta pengembangan wilayah.
Sejak masa kolonisasi orang Jawa yang datang ke Lampung sudah disediakan
lahan untuk tempat bermukim dan tempat bercocok tanamnya. Para tetua adat
Lampung sudah menentukan batas-batas lahan tersebut dan orang Jawa
menerimanya tanpa hendak menggarap di luar batas yang ditentukan. Di sini
tampak jelas bahwa watak orang Jawa yang “narimo ing pandum”. Mungkin ini
salah satu yang menyebabkan tidak pernah terjadi perebutan lahan yang
menimbulkan konflik antar etnis. Kalaupun terjadi konflik tak terhindarkan yang
disebabkan perbedaan pendapat, orang Jawa biasanya mengalah karena selain
punya sifat tidak suka bertengkar juga merasa dirinya adalah pendatang yang
menumpang di tanah seberang.
Program transmigrasi yang pertama telah dimulai pada bulan November 1905,
yaitu ketika rombongan pertama kolonisasi sebanyak 155 KK dari Bagelen,
Karesidenan Kedu dikirim ke Lampung dan ditempatkan di Gedongtataan. Dari
sinilah dimulainya sejarah ketransmigrasian yang selama satu abad lebih telah
membantu pembangunan bangsa. Ketika masa pemerintahan Republik Indonesia
tepatnya pada tahun 1950 program kolonisasi (transmigrasi) dilanjutkan dengan
adanya perubahan tujuan, yang semula pada masa pemerintah Belanda bertujuan
demografis semata (untuk mengatasi ledakan jumlah penduduk di pulau Jawa),
kemudian berubah menjadi yang lebih kompleks yaitu pembangunan wilayah dan
bahkan terakhir menjadi salah satu program integrasi nasional.
Setelah satu abad lebih kolonisasi, dengan berbagai segi positif dan negatifnya
ternyata memberikan dampak langsung maupun tidak langsung secara luar biasa.
Program ini telah banyak berperan menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi baru, pusat-pusat keunggulan (lumbung pangan, lumbung ternak serta
perkebunan), dan telah melahirkan para tokoh intelektual dan tokoh masyarakat.
Oleh karena itu, perlu adanya tujuan lain yang melengkapi program transmigrasi
itu, yakni transmigrasi sebagai prime moverpembangunan wilayah yang pada
akhirnya dapat memacu pemerataan penduduk melalui transmigrasi spontan.
Karena ternyata, besarnya perpindahan penduduk ke luar Jawa sampai saat ini
bukan karena transmigrasi umum, tetapi lebih banyak disebabkan oleh
transmigrasi spontan.
Dengan demikian, dari aspek demografis, jika aksesbilitas dan tata ruangnya
mendukung maka program kolonisasi dan transmigrasi lebih dapat dikatakan
berperan sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi yang kemudian banyak
mengundang transmigran spontan. Sebagai konsekuensi program transmigrasi
tersebut, telah tumbuh masyarakat multikultural (bhineka) di daerah-daerah tujuan
kolonisasi dan transmigrasi. Masyarakat multikultural itu jika dikelola dengan
bijaksana dapat menjadi asset (bukan beban) untuk meningkatkan daya saing
bangsa.
Sebagai negara yang majemuk, NKRI mempunyai keragaman tinggi dalam hal
agama, etnis, budaya serta mempunyai posisi strategis dalam konteks persaingan
global, memang sangat rapuh dengan adanya perpecahan. Resiko terjadinya
disintegrasi memang sangat besar. Kecenderungan ini jika tidak dicari solusinya
secara baik, bukan hanya akan berdampak pada disintegrasi sosio-kultural, tetapi
juga berdampak pada disintegrasi nasional. Disinilah peran transmigrasi
sebagai integrating forcedalam menyelamatkan bangsa. Masyarakat transmigran
yang multikultural, bukan hanya berperan langsung dalam mewujudkan keutuhan
NKRI, tetapi juga berperan secara tidak langsung dalam merekatkan bangsa.
Transmigrasi juga merupakan program investasi sumber daya manusia yang dapat
memperkokoh persatuan dan kesatuan serta meningkatkan daya saing bangsa.
Kelahiran anak-anak transmigran telah ikut berkiprah dalam pembangunan
karakter bangsa yang berakar dari kebhinekaan kultural. Pembauran melalui
perkawinan dan interaksi sosial telah membangun kebersamaan yang akhirnya
dapat menjadi kekuatan dalam mempertahankan NKRI. Pada saat isu disintegrasi
bangsa semakin kuat, ternyata program transmigrasi telah mampu membangun
komunitas plural yang dapat merekatkan bangsa.