Anda di halaman 1dari 14

PLURALITAS DAN PEMBAURAN MASYARAKAT DI

LAMPUNG
(Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal)

Disusun Oleh :

 Fatur Rohim (1917011070)


 Melati Danti Imelda Array (1917011073)
 Novani Aludra Zafira (
 Amelia Citra Saputri (1957011012)
 Verinda Indah Sari (1957011010)

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
A. Masyarakat Lampung

Provinsi Lampung memiliki keragaman akan budaya, mulai dari adat istiadat,
bahasa dan lain-lain. Keragaman ini menjadi salah satu keunikan suku Lampung
itu sendiri. Secara umum, suku di Lampung terbagi menjadi dua, yakni Lampung
Saibatin dan Lampung Pepadun. Oleh karenanya, Provinsi Lampung memiliki
semboyan ‘Sai Bumi Ruwa Jurai’ yang berarti Satu Bumi Dua Jiwa.

Itulah semboyan yang disandang oleh provinsi paling ujung selatan di Pulau
Sumatera tersebut. Semboyan itu juga bermakna identitas asli leluhur masyarakat
Lampung,. Meskipun sama-sama menjadi masyarakat asli, namun kedua suku ini
memiliki perbedaan yang cukup mencolok, baik dalam bahasa maupun tata cara
dan adat istiadat lainnya.

 Suku Lampung Saibatin

Masyarakat Lampung Saibatin tinggal di sepanjang pesisir Lampung. Bahasa


yang digunakan oleh masyarakat suku Saibatin adalah bahasa Lampung dengan
dialek “A”.Pelafalan yang digunakan oleh masyarakat ini lebih jelas, hampir
setara dengan pelafalan Bahasa Indonesia pada umumnya.

Untuk adat istiadat, masyarakat suku Saibatin cenderung lebih selektif. Hal ini
tercermin dalam sistem kerajaan dan pemberian gelar adat pada masyarakat.
Hanya masyarakat yang memiliki garis keturunan kerajaan atau bangsawan yang
berhak untuk mendapatkan gelar adat dan menjadi Raja (baca: Khaja). Hiasan
yang digunakan oleh masyarakat suku Saibatin juga berbeda dengan yang
dikenakan oleh masyarakat suku Pepadun. Mahkota perempuan (Siger) Lampung
Saibatin memiliki tujuh lekuk dengan hiasan bunga pada bagian atas.

Ada juga Siger yang memiliki tali yang menjuntai menutupi wajah. Siger ini
digunakan oleh masyarakat suku Saibatin-Melinting di Lampung Timur. Pada
acara-acara adat dan pernikahan pun warna baju yang digunakan oleh masyarakat
ini adalah warna merah.
 Suku Lampung Pepadun

Berbeda dengan masyarakat suku Saibatin, masyarakat suku Lampung Pepadun


tinggal di daerah tengah atau daratan. Dialek bahasa yang digunakan oleh
masyarakat suku Pepadun adalah Bahasa Lampung dengan dialek ‘O’. Pelafalan
yang diucapkan oleh masyarakat ini adalah pelafalan dengan irama atau intonasi
yang mengayun dan menekan. Tak jarang pengguna bahasa dialek ‘O’ ini
diidentikkan sebagai masyarakat yang kurang ramah karena cara berbicaranya.
Namun, ada beberapa daerah masyarakat Lampung Pepadun yang juga
menggunakan bahasa dialek “A” dalam bahasa percakapan sehari-hari.

Untuk adat istiadat dalam masyarakat suku Pepadun tidak serumit masyarakat
suku Saibatin. Masyarakat dengan suku ini dapat mendapaatkan gelar adat
meskipun hanya berasal dari kalangan masyarakat biasa. Untuk mendapatkan
gelar adat tersebut harus dilakaksanakan upacara adat Cakak Pepadun. Hal yang
sama juga dilaksanakan untuk masyarakat di luar suku Pepadun yang akan
menikah dengan masyarakat adat Lampung Pepadun.

Sebelum melangsungkan pernikahan antar suku ini terlebih dahulu dilaksanakan


upacara Begawi atau meminta gelar adat. Hiasan yang digunakan oleh masyarakat
suku Pepadun juga berbeda. Siger yang digunakan oleh perempuan suku Pepadun
berjumlah sembilan lekuk yang bermakna sembilan marga yang membentuk
Abung Siwo Megou. Baju yang dikenakan oleh masyarakat ini pada upacara adat
atau pernikahan juga didominasi dengan warna putih.

Akan tetapi, berbeda dengan suku-suku di Indonesia pada umumnya. Dari dua
suku di Lampung tersebut, masih terbagi lagi menjadi beberapa wilayah adat.
Antar wilayah adat itu juga, sedikit banyak terdapat perbedaan. Untuk wilayah
adat Lampung Saibatin diantaranya Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat),
Bandar Enom Semaka (Tanggamus), Bandar Lima Way Lima (Pesawaran).

Kemudian juga Melinting Tiyuh Pitu (Lampung Timur), Marga Lima Way
Handak (Lampung Selatan), Enom Belas Marga Krui (Pesisir Barat). Hingga
diluar Provinsi Lampung diantaranya Pitu Kepuhyangan Komering (Provinsi
Sumatera Selatan), Telu Marga Ranau (Provinsi Sumatera Selatan) Cikoneng Pak
Pekon (Provinsi Banten). Sementara Lampung Pepadun terbagi menjadi Abung
Siwo Mego, Mego Pak Tulangbawang, Pubian Telu Suku, Way Kanan Buway
Lima dan Sungkay Bunga Mayang.

Apabila ditelusuri lebih jauh, sedikit banyaknya memiliki perbedaan yang terdapat
dalam masing-masing dua suku tersebut. Dari segi bahasa misalnya. Meskipun
sama-sama termasuk Lampung Saibatin, tapi ada beberapa perbedaan bahasa
antara Masyarakat Marga Krui dengan Way Lima. Bahkan logatnya pun tidak
persis sama. Pun begitu dengan Abung, Tulangbawang, Pubian, Sungkay dan
Way Kanan yang termasuk dalam Lampung Pepadun.

Atas keunikan suku Lampung tersebut, diyakini sebagai penyebab penggunaan


bahasa Lampung tidak membudaya seperti di Jawa, terutama di daerah perkotaan
provinsi Lampung. Bahkan daerah yang banyak masyarakat transmigran seperti
kota Metro, justru didominasi oleh bahasa Jawa. Tidak sedikit suku Lampung asli
yang menggunakan bahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari.
B. Pluralitas Budaya di Lampung

Sejak kolonialisme Belanda mengirim orang dari luar Lampung, lingkungan sosial
masyarakat Lampung berada dalam dinamika pluralisme. Selanjutnya tak henti-
henti pula arus perpindahan secara besar-besaran dari berbagai daerah di
Indonesia ke Provinsi Lampung. Hampir tak terbatas waktu provinsi Lampung
menerima warga baru, baik yang berawal sebagai tamu berangsur menetap,
maupun yang secara sengaja berpindah untuk mencari penghidupan baru. Arus
deras perpindahan penduduk etnis dan budaya dari luar Lampung ke dalam
lingkungan kehidupan masyarakat Lampung ini merupakan pengaruh pencitraan
Belanda bahwa pribumi masyarakat Lampung adalah etnis yang ramah dan
terbuka.

Tujuan dicitrakannya orang Lampung sebagai etnis terbuka menerima kehadiran


pendatang ini adalah agar kehadiran orang asing tidak menimbulkan resistensi,
baik terkait dengan perbedaan etnis, agama, ras dan budaya maupun terkait
dengan hak ulayat atas tanah adat yang menjadi lokasi garapan.
Pada sisi lain masyarakat Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri
dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan
terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima
penduduk pendatang. Pada masa pasca kemerdekaan, citra sebagai masyarakat
adat yang menerima kehadiran orang lain itu cenderung diterima secara terbuka,
sehingga kemudian mengkristal di dalam konsep Sang Bumi Ruwa Jurai.
Harapannya adalah agar kehidupan sosial masyarakat Lampung yang terdiri
penduduk asli dan pendatang ini ini adalah agar kehadiran orang asing tidak
menimbulkan resistensi, baik terkait dengan perbedaan etnis, agama, ras dan
budaya maupun terkait dengan hak ulayat atas tanah adat yang menjadi lokasi
garapan.

Pada sisi lain masyarakat Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri
dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan
terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima
penduduk pendatang. Pada masa pasca kemerdekaan, citra sebagai masyarakat
adat yang menerima kehadiran orang lain itu cenderung diterima secara terbuka,
sehingga kemudian mengkristal di dalam konsep Sang Bumi Ruwa Jurai.
Harapannya adalah agar kehidupan sosial masyarakat Lampung yang terdiri
penduduk asli dan pendatang ini menjadi sebuah lingkungan sosial dengan
komunitas yang hidup rukun, berdampingan dan bekerjasama. Perbedaan yang
ada dapat dijadikan kekuatan baru dalam membangun kehidupan yang harmonis.
Setiap komunitas menjaga sikap toleransi, meningkatkan dan bersatu dalam rasa
persaudaraan.

Pemahaman Sang Bumi Ruwa Jurai sendiri sebenarnya merupakan simbol


kesatuan hidup dua akar budaya yang berbeda dari masyarakat Lampung Asli,
yaitu Masyarakat adat Lampung Sai Batin dan Pepadun. Dengan hadirnya etnis
dan budaya luar, diharapkan dapat berdampingan atau bergabung terhadap kedua
jurai budaya pribumi yang telah ada, sehingga dapat terhindar dari konflik.
Pada masa Orde Baru, kesadaran plural tersebut diredam dengan kemasan
kesatuan dan persatuan yang prinsipnya monokulturalisme, sehingga wawasan
multikulturalisme, khususnya masyarakat Lampung berkembang relatif lambat.
Seringkali timbul pemahaman bahwa multikultur justru dapat mempertegas batas
identitas antar individu, bahkan multi kultur dapat memperuncing masalah asli
atau tidak asli.

Untuk mewujudkan masyarakat Lampung yang multikultural adalah dengan


memperdalam pemahaman yang mengakui perbedaan dalam kesederajatan, baik
secara individual maupun secara kultur. Dengan pola ini, melihat suatu keragaman
kebudayaan berlaku umum dalam masyarakat secara umum, artinya dalam
masyarakat Lampung tercakup semua kebudayaan dari kelompok-kelompok yang
berbeda lebih kecil, kemudian membentuk kelompok yang lebih besar. Model
multikulturalisme ini sebenarnya telah terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD
1945, yang berbunyi: “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak
kebudayaan di daerah”.

Secara garis besar, pemahaman terhadap pluralisme budaya diperlukan sesuai


dengan dinamika dan pertumbuhan masyarakat. Diharapkan dengan adanya
pluralitas budaya, berbagai kelompok masyarakat adat dapat saling melengkapi,
saling menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga mereka
dapat bersatu dalam kehidupan bersama. Sebagaimana pada masa-masa lalu nilai-
nilai pluralisme mampu mengakomodasi berbagai perbedaan prinsip hidup dalam
dinamika masyarakat yang beragam suku, kelompok sosial, dan adat istiadat.
Refleksi operasionalnya pada masa itu antara lain dalam bentuk sosialisasi
“Sumpah Pemuda”, dan bentuk kesadaran bersatu dalam ideologi Pancasila. Hal
ini menjadi penting ketika keanekaragaman budaya menjadi nyata dalam
kebutuhan membangun kepercayaan diri masing-masing masyarakat yang
dianggap berbeda dan berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul terkait
pluralisme.

Dalam konteks wawasan nusantara, pluralisme budaya dalam perkembangannya


dapat dijadikan sebagai wahana dialog antara pluralisme masyarakat untuk saling
menyadari dan memahami kultur masing-masing. Pandangan yang diharapkan ke
depan adalah agar semangat hubungan yang harmonis dan sinergis antarkelompok
masyarakat adat dalam hubungan internal maupun eksternal dapat terpelihara.
Untuk ini perlu adanya keterbukaan antaretnis, antarkelompok sosial, dan
keagamaan, agar pluralisme bisa dipahami dan dapat memperpendek jarak
pemaknaan yang negatif antar etnis yang bersifat plural, tidak terkecuali dalam
kehidupan masyarakat majemuk di Lampung.
Pluralitas masyarakat Lampung dapat terbentuk dari beberapa sumber, seperti:
1. perbedaan arus informasi dan pengetahuan yang diterima masyarakat,
mengakibatkan terjadi perbedaan nilai antara orang berpendidikan tinggi dengan
yang rendah, dan antara orang kota dengan orang desa.
2. Perpindahan penduduk yang mengakibatkan terjadinya keragaman etnik dalam
suatu masyarakat.
3. adanya komitmen persatuan antara berbagai etnik, meski ada beberapa
kelompok etnik yang kurang saling berinteraksi, tetapi dengan adanya ikatan
tertentu, maka semua etnik terikat dalam komunitas mastarakat Lampung.
4. tersedianya sumberdaya di Lampung sebagai wilayah tujuan mencari
penghidupan baru. Dengan tersedianya sumber penghidupan yang melimpah dan
semua orang bisa memperolehnya dengan mudah tanpa kompetisi yang ketat,
sangat mendorong warga pendatang
5. dominannya warga pendatang di Lampung, terutama dari etnis yang sama.
Untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi Lampung, dimana orang Jawa
menjadi mayoritas (61,89%) diikuti dengan Orang asli Lampung justru menjadi
minoritas.
6. karakteristik budaya masyarakat Lampung yang terbuka terhadap etnis etnis
pendatang, sangat memungkinkan mudahnya masyarakat pendatang berbaur,
sehingga terjadi pluralitas penduduk.

C. Keberhasilan Pembauran Penduduk Asli dengan Penduduk Transmigran


(Pendatang) di Lampung

Program Transmigrasi pertama kali muncul pada tahun 1905 setelah


dicetuskannya Politik Etis oleh seorang tokoh Belanda yaitu van Deventer.
Program ini muncul dengan latar belakang suatu pemikiran, bahwa negeri
Belanda merasa berhutang kehormatan kepada rakyat Indonesia, karena telah
banyak mengeruk kekayaan dari rakyat Indonesia. Pemerintah Belanda dirasa
memiliki keharusan untuk membalas budi baik rakyat Indonesia itu melalui
Politik Etis yang kemudian dikenal dengan Trilogi van Deventer, yang meliputi :

1. Edukasi atau pendidikan,


2. Irigasi atau pengairan,
3. Kolonisasi atau transmigrasi (istilah sekarang).
Meskipun dalam pelaksanaan ketiga bidang tersebut ternyata tidak sesuai dengan
apa yang dicita-citakan oleh kaum liberal, yakni mengangkat kemakmuran rakyat.
Salah satu dari program yang dikemukakan oleh van Deventer dalam upaya
memperbaiki kehidupan rakyat pribumi adalah dengan kolonisasi atau
perpindahan penduduk pulau Jawa (yang ketika itu mengalami ledakan jumlah
penduduk) ke tempat/pulau lain yang masih jarang penduduknya. Pelaksanaan
kolonisasi ini dilaksanakan pertama kali pada bulan November 1905 dengan
membawa rombongan kolonisasi angkatan pertama yang berasal dari Bagelen,
Karesidenan Kedu Jawa Tengah dengan jumlah 155 KK yang kemudian
ditempatkan di Gedongtataan, Lampung. Dengan hasil positif yang nampak dari
uji coba kolonisasi pertama, maka pemerintah Belanda meneruskan program
kolonisasi ke daerah lain di Lampung, yaitu di Wonosobo (1921), Metro (1935),
dan Belitang (1937). Berangkat dari keberhasilan dan kesuksesan program
kolonisasi di Lampung oleh pemerintah Belanda, ketika Indonesia telah merdeka,
program kolonisasi yang kemudian dirubah menjadi Transmigrasi ini masih
dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Keberhasilan program kolonisasi/transmigrasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari


sikap masyarakat Lampung sebagai penduduk asli yang terbuka
dan welcome kepada masyarakat Jawa sebagai pendatang. Dalam keterbukaannya
terhadap penduduk pendatang, keterbukaan masyarakat Lampung sangat
dipengaruhi oleh adanya pandangan hidup mereka yang dijadikan pedoman
kehidupan mereka dalam menjalani interaksinya sebagai manusia sosial.
Pandangan hidup masyarakat Lampung tersebut dikenal dengan istilah Pi’il
Pesenggiri yang terdiri atas unsur-unsur :

 Pi’il Pesenggiri yang menyangkut harga diri, dalam hal ini orang Lampung
selalu bersikap dalam hidup untuk bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu
diri, serta tanggung jawab akan kewajibannya.
 Sakai sambaian, di dalamnya terkandung suatu keharusan untuk hidup
bergotong-royong, berjiwa sosial, dan tanpa pamrih dalam menolong
orang lain.
 Nemui Nyimah, di dalam prinsip ini terkandung suatu keharusan bagi
orang Lampung untuk selalu berlaku sopan santun terhadap sesama
anggota masyarakat, terbuka bagi siapa saja, baik moral maupun material.
 Nengah Nyapur, yaitu keharusan bagi orang Lampung untuk selalu
bergaul di dalam masyarakat luas untuk ikut memberikan sumbangan
pemikiran, pendapat serta inisiatif demi kebaikan hidup bersama.
 Bejuluk Beadek, yaitu keharusan berjuang meningkatkan kesempurnaan
hidup, bertata tertib dan tata karma yang sebaik-baiknya.
Pi’il Pesenggiri yang menjadi falsafah hidup orang Lampung ini merupakan nilai
dasar yang menjiwai setiap pribadi dalam bersikap dan berperilaku dalam rangka
menjaga dan mengangkat harkat martabatnya. Maka dapat dipahami mengapa
pembauran masyarakat yang berbeda budaya di Lampung dapat berjalan secara
harmonis yang kemudian membuahkan keberhasilan dalam transmigrasi,
pembangunan serta pengembangan wilayah.

Karena pembauran memerlukan interaksi hubungan yang saling sinergi, yang


tentunya tidak terjadi secara sepihak, maka keberhasilan ini tidak hanya
disebabkan oleh terbukanya masyarakat Lampung sebagai penduduk asli yang
mendiami wilayah Lampung, tetapi juga karena adanya upaya dari masyarakat
Jawa sebagai penduduk pendatang senantiasa menyesuaikan diri dengan
penduduk asli. Hal ini ditambah dengan sifat dan watak orang Jawa yang selalu
berpegang pada falsafah “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.

Sejak masa kolonisasi orang Jawa yang datang ke Lampung sudah disediakan
lahan untuk tempat bermukim dan tempat bercocok tanamnya. Para tetua adat
Lampung sudah menentukan batas-batas lahan tersebut dan orang Jawa
menerimanya tanpa hendak menggarap di luar batas yang ditentukan. Di sini
tampak jelas bahwa watak orang Jawa yang “narimo ing pandum”. Mungkin ini
salah satu yang menyebabkan tidak pernah terjadi perebutan lahan yang
menimbulkan konflik antar etnis. Kalaupun terjadi konflik tak terhindarkan yang
disebabkan perbedaan pendapat, orang Jawa biasanya mengalah karena selain
punya sifat tidak suka bertengkar juga merasa dirinya adalah pendatang yang
menumpang di tanah seberang.

Penyelesaian konflik umumnya dilakukan dengan komunikasi antara orang


Lampung dengan orang Jawa yang biasanya diwakili oleh tokoh-tokoh
masyarakat kedua belah pihak. Sehingga saat itu hampir tidak ada konflik antar
suku bangsa yang berkepanjangan. Selain itu pembauran yang langka konflik
sosial juga disebabkan karena sifat toleransi dan saling hormat menghormati
antara masyarakat Jawa dengan masyarakat Lampung.

Maka dengan segala kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh masyarakat Lampung


sebagai penduduk asli dan masyarakat Jawa sebagai pendatang, maka terjawablah
mengapa pembauran dan program transmigrasi di Lampung berjalan baik dan
harmonis, hal ini dikarenakan adanya sikap saling terbuka satu sama lain, saling
menghargai dan toleransi dengan perbedaan-perbedaan yang ada antara
masyarakat Lampung dengan masyarakat Jawa. Suatu sikap yang kini mulai
memudar dari bangsa ini, dan tidak lagi berpegang pada nilai-nilai kearifan lokal
yang senantiasa mengajarkan hidup damai berdampingan satu sama lain.

D. Keberhasilan Transmigrasi di Lampung sebagai Upaya Menumbuh


kembangkan Kesadaran Sejarah, Berbangsa dan Bernegara

Program transmigrasi yang pertama telah dimulai pada bulan November 1905,
yaitu ketika rombongan pertama kolonisasi sebanyak 155 KK dari Bagelen,
Karesidenan Kedu dikirim ke Lampung dan ditempatkan di Gedongtataan. Dari
sinilah dimulainya sejarah ketransmigrasian yang selama satu abad lebih telah
membantu pembangunan bangsa. Ketika masa pemerintahan Republik Indonesia
tepatnya pada tahun 1950 program kolonisasi (transmigrasi) dilanjutkan dengan
adanya perubahan tujuan, yang semula pada masa pemerintah Belanda bertujuan
demografis semata (untuk mengatasi ledakan jumlah penduduk di pulau Jawa),
kemudian berubah menjadi yang lebih kompleks yaitu pembangunan wilayah dan
bahkan terakhir menjadi salah satu program integrasi nasional.

Setelah satu abad lebih kolonisasi, dengan berbagai segi positif dan negatifnya
ternyata memberikan dampak langsung maupun tidak langsung secara luar biasa.
Program ini telah banyak berperan menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi baru, pusat-pusat keunggulan (lumbung pangan, lumbung ternak serta
perkebunan), dan telah melahirkan para tokoh intelektual dan tokoh masyarakat.

Namun diawal reformasi stigma buruk transmigrasi muncul dimana-mana.


Transmigrasi yang selama ini berperan dalam pemerataan penduduk dan
pengembangan wilayah serta merta citranya menjadi buruk. Transmigrasi dicap
sebagai penyebab kerusakan lingkungan, ketimpangan wilayah, penyebab
munculnya kantong-kantong kemiskinan, dan penyebab konflik antar etnis, juga
penyebab hilangnya budaya lokal. Bahkan yang lebih mengerikan yakni isu
bahwa transmigrasi sebagai program jawanisasi, balinisasi dan islamisasi yang
dianggap sebagai penyebab disintegrasi bangsa. Apakah memang demikian ?

Kebijakan awal kolonisasi sampai program transmigrasi, bertujuan untuk


mengurangi ketimpangan demografis antara pulau Jawa dengan luar Jawa. Jika
tujuannya utamanya hanya itu, maka program pemindahan penduduk secara
besar-besaran ini tentu tidak mencapai sasaran. Meskipun secara statistika telah
6,4 juta jiwa penduduk Jawa yang telah ditransmigrasikan sejak 1905-1990 ke
luar Jawa, tetapi tetap saja penduduk Jawa meningkat dari 30 juta jiwa menjadi
108 juta jiwa pada periode tersebut. Hal ini dikarenakan pulau Jawa memiliki
daya sedot yang tinggi, jadi meskipun jumlah yang telah ditransmigrasikan keluar
Jawa cukup besar tetapi penduduk yang datang ke Jawa lebih besar, maka upaya
perpindahan penduduk ini dapat dikatakan sia-sia.

Oleh karena itu, perlu adanya tujuan lain yang melengkapi program transmigrasi
itu, yakni transmigrasi sebagai prime moverpembangunan wilayah yang pada
akhirnya dapat memacu pemerataan penduduk melalui transmigrasi spontan.
Karena ternyata, besarnya perpindahan penduduk ke luar Jawa sampai saat ini
bukan karena transmigrasi umum, tetapi lebih banyak disebabkan oleh
transmigrasi spontan.

Dengan demikian, dari aspek demografis, jika aksesbilitas dan tata ruangnya
mendukung maka program kolonisasi dan transmigrasi lebih dapat dikatakan
berperan sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi yang kemudian banyak
mengundang transmigran spontan. Sebagai konsekuensi program transmigrasi
tersebut, telah tumbuh masyarakat multikultural (bhineka) di daerah-daerah tujuan
kolonisasi dan transmigrasi. Masyarakat multikultural itu jika dikelola dengan
bijaksana dapat menjadi asset (bukan beban) untuk meningkatkan daya saing
bangsa.
Sebagai negara yang majemuk, NKRI mempunyai keragaman tinggi dalam hal
agama, etnis, budaya serta mempunyai posisi strategis dalam konteks persaingan
global, memang sangat rapuh dengan adanya perpecahan. Resiko terjadinya
disintegrasi memang sangat besar. Kecenderungan ini jika tidak dicari solusinya
secara baik, bukan hanya akan berdampak pada disintegrasi sosio-kultural, tetapi
juga berdampak pada disintegrasi nasional. Disinilah peran transmigrasi
sebagai integrating forcedalam menyelamatkan bangsa. Masyarakat transmigran
yang multikultural, bukan hanya berperan langsung dalam mewujudkan keutuhan
NKRI, tetapi juga berperan secara tidak langsung dalam merekatkan bangsa.

Transmigrasi juga merupakan program investasi sumber daya manusia yang dapat
memperkokoh persatuan dan kesatuan serta meningkatkan daya saing bangsa.
Kelahiran anak-anak transmigran telah ikut berkiprah dalam pembangunan
karakter bangsa yang berakar dari kebhinekaan kultural. Pembauran melalui
perkawinan dan interaksi sosial telah membangun kebersamaan yang akhirnya
dapat menjadi kekuatan dalam mempertahankan NKRI. Pada saat isu disintegrasi
bangsa semakin kuat, ternyata program transmigrasi telah mampu membangun
komunitas plural yang dapat merekatkan bangsa.

Transmigrasi di Lampung sebagai daerah tujuan transmigrasi tertua, dapat


menjadi salah satu model best practicestransmigrasi dalam mewujudkan
masyarakat multikultural Indonesia. Keberhasilan transmigrasi di Lampung
hendaknya dapat dijadikan pembelajaran, agar muncul kesadaran sejarah dalam
generasi baru bangsa ini. Dengan memiliki kesadaran sejarah maka akan
memberikan wawasan kepada bangsa ini bagaimana masyarakat di masa lampau
sebagai nenek moyang mereka selalu senantiasa membangun toleransi dan
menghargai perbedaan serta kemajemukan yang berpegang pada nilai-nilai
kearifan lokal.

Keberhasilan transmigrasi di Lampung telah menjadikan Lampung yang


Multikultural, yang saat ini bukan hanya dikenal sebagai miniaturnya Indonesia
tetapi sebagai contoh kehidupan multikultural yang rukun, berwawasan
kebangsaan dan dinamis. Kebhinekaan Lampung yang penuh toleransi perlu terus
dipertahankan karena dapat menjadi modal penguatan NKRI, dan dapat menjadi
inspirasi dan solusi ditengah isu disintegrasi bangsa.

Anda mungkin juga menyukai