Anda di halaman 1dari 350

Kesultanan

BIMA
MASA PRA Islam SAMPAI
MASA AWAL KEMERDEKAAN
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1. 000. 000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5. 000. 000. 000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.
000. 000,00 (lima ratus juta rupiah).
Tawalinuddin Haris • Retno Kartini
Dewi Ratna Muchlisa • Syukri Abubakar
Munawar Sulaiman

Kesultanan
BIMA
MASA PRA Islam SAMPAI
MASA AWAL KEMERDEKAAN

Yayasan Museum Samparaja Bima


Kesultanan
BIMA
MASA PRA Islam SAMPAI
MASA AWAL KEMERDEKAAN

Penulis
Tawalinuddin Haris • Retno Kartini
Dewi Ratna Muchlisa • Syukri Abubakar • Munawar Sulaiman

Editor:
Buya Samuray

Desain Cover:
Ardi Sarjan

Layout:
Ahmad Bahaudin

Diterbitkan atas kerjasama:


Kementerian Agama
Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Jakarta 10710

Dengan:

Museum Samparaja Kota Bima


Jalan Gajah Mada, Monggonao, Mpunda, Kota Bima

Cetakan Pertama, Desember 2017


Cetakan Kedua, Desember 2019
Cetakan Ketiga, Februari 2021

ISBN 978-623-92186-1-4

All rights reserved


Dilarang memperbanyak buku ini
sebagian atau seluruh nya dalam bentuk apapun juga
tanpa seizin tertulis dari penerbit

SAMPARAJA KOTA BIMA


2021
KATA PENGANTAR

P
enulisan sejarah Kesultanan Bima, lebih tepat
lagi sejarah lokal Kesultanan Bima, memiliki nilai
politis dan akademis sekaligus. Politicly, wilayah
Bima merupakan wilayah yang populasi penduduknya
beragama Islam, namun memiliki perbedaan kultural
dengan bangsa lainnya di wilayah Nusantara. Mengacu
peta yang disodorkan Wallace tentang peta Nusantara,
wilayah Bima masuk kategori wilayah unik dan jauh dari

v
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

peradaban sentral Jawa maupun Melayu. Pernyataan


pengembara sekaligus antropolog tersebut pada
kenyataannya memang seperti itu, terutama Bima
masa sebelum tahun 1880-an. Namun, Bima hari ini,
keadaannya sudah sukar dibedakan dengan Bima masa
lalu itu. Pertanyaannya, apakah yang menjadi «tali
pengikat” hingga Bima mampu berkomunikasi secara
dinamis, sehingga dapat bersanding dengan kultur dan
peradaban Nusantara secara integral. Jawabannya, tentu
bisa bermacam-macam. Namun yang sulit dihindari,
ialah bahwa Islam telah menjadi media dan katalisator
dalam perkembangan Kesultanan Bima dan masyarakat
Bima pada umumnya.
Lebih sistematis tentang perkembangan Bima dan
Islamisasi serta kesultanan di sisi lain dapat dirunut
dalam bahan singkat berikut. Fase awal dimulai
pada masa prasejarah dan masa Hindu-Budha. Masa
ini sulit dilacak melalui literatur. Beberapa fakta
arkeologis dan filologi belum sepenuhnya dapat
diyakini sebagai sumber yang berbicara masa lama
itu. Fase ini disebut para ahli juga sebagai masa pra
Islam. Masa ini sejaman dengan masa kerajaan yang
dikenal di Bima dengan sebutan "Sangaji" (keturunan
Sang Bima). Berbicara masa ini, sudah mulai banyak

vi
KATA PENGANTAR

data tertulis dan artefak tinggalan Hindu-Budha.


Pada fase ini, sejarah Bima banyak berbicara tentang
kerajaan-kerajaan, di mana kerajaan terakhir dipimpin
oleh La Kai. La Kai ini, kelak memeluk Islam dan
merubah namanya menjadi Sultan Abdul Kahir. Sejak
masa Kahir ini, Islam mewarnai sejarah Bima dengan
periodesasi masa kesultanannya hingga dapat dilihat
pada bab-bab tulisan buku ini.
Penulisan sejarah Bima ini memang menggunakan
pendekatan lawas dalam penulisan sejarah. Pendekatan
ini sering disebut sebagai penulisan sejarah dari ujung.
Penulisan model ini paling banyak dilakukan para ahli
sejarah, baik yang sudah profesional maupun sarjana
penulis sejarah.
Terwujudnya buku Sejarah Kesultanan Bima ini
dapat terlaksana berkat kerjasama yang baik dari
berbagai pihak. Tim penulis dari pusat dan daerah,
sumber informasi khusus, Museum Samparaja, dan
Museum Asi Mbojo, Perpustakaan dan Arsip Daerah
Bima, Humas Pemkot Bima, dan lainnya. Penghargaan
yang sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepada
Dr. Maryam R. Salahuddin yang telah meluangkan
waktu dan menyumbangkan pemikirannya untuk
kesempurnaan dari hasil kajian ini. Akhirnya, kepada

vii
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

semua pihak yang berpartisipasi aktif membantu


kelancaran penulisan tentang Kesultanan Bima ini
kami sampaikan ucapan terima kasih. Semoga Allah
swt memberikan pahala yang setimpal, Aamiin.

Jakarta Desember 2017


p
Kepala,

Choirul Fuad Yusuf

viii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................... v

DAFTAR ISI ....................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN................................................................ 1
Metodologi ................................................................................................... 12
1. Heuristik ................................................................................................ 12
2. Kritik Sumber ...................................................................................... 13
3. Sintesis/Interpretasi ......................................................................... 14

ix
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

4. Historiografi ......................................................................................... 15
Sistematika Penulisan................................................................................ 15

BAB II BIMA SEBELUM ISLAM ...............................................17


A. Masa Prasejarah ................................................................................22
B. Masa Hindu-Budha ..........................................................................35

BAB III BIMA SEBAGAI PUSAT PENYEBARAN ISLAM ....61


A. Kondisi Umum Masyarakat Bima Pra Masuknya Islam .....62
1. Keadaan politik ........................................................................63
2. Keadaan Sosial ..........................................................................70
3. Kepercayaan Masyarakat..................................................... 72
B. Masuk dan Berkembangnya Islam di Bima ............................ 77
C. Pembawa dan Penyebar Islam di Bima ................................... 100
1. Datuk ri Bandang ...................................................................107
2. Datuk ri Tiro ............................................................................ 109
3. Syekh Abdulgani Bima (Al-Bimawi). .................................110
D. Pendidikan Islam pada Awal Masuknya Islam ke Bima ...... 112
E. Hukum Adat Tanah Bima Sebagai Sumber Hukum
Kekuatan Kesultanan Bima. ....................................................... 124
F. Tradisi Keislaman di Kesultanan Bima ......................................151
1. Adat Perkawinan .....................................................................151
2. Upacara Khitanan .................................................................. 156
3. Upacara Khatam Qur’an ..................................................... 160
4. Kesenian ......................................................................................161
5. Pakaian....................................................................................... 163
6. Hanta Ua Pua .......................................................................... 166
G. Kesultanan Bima Dalam Jaringan Pelayaran dan
Perdagangan Nusantara................................................................179

x
KATA PENGANTAR

BAB IV BIMA SEBAGAI PUSAT KEKUASAAN ISLAM... 199


A. Berdirinya Kesultanan Bima .....................................................200
B. Wilayah Kesultanan Bima........................................................... 222
C. Sistem Pemerintahan dan Birokrasi
di Kesultanan Bima ........................................................................227
D. Pengaruh Islam Dalam Sistem Birokrasi ................................ 241
E. Tinggalan Arkeologi Kasultanan Bima.................................... 251
a. Istana Sultan Bima ................................................................ 252
b. Makam-Makam Sultan Bima ............................................259
c. Masjid dan Makam Kampung Sigi .................................268
d. Artefak/Benda Bergerak .................................................. 275

BAB V KASULTANAN BIMA DAN PEMERINTAH


KOLONIAL ................................................................................. 279
A. Penetrasi Kekuasaan Kolonial. ...............................................280
B. Pengaruh Budaya Kolonial .........................................................298

BAB VI PENUTUP .................................................................... 313

DAFTAR PUSTAKA.................................................................. 319


DAFTAR SINGKATAN ............................................................. 329
LAMPIRAN I .............................................................................. 331
DAFTAR GELAR DAN PANGKAT......................................... 331

xi
Bab I
Pendahuluan

1
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

E
ksistensi kesultanan/kerajaan lokal di Indonesia
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
proses pembentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Di masa lalu, kesultanan/kerajaan
lokal ini menjadi sarana pengintegrasian masyarakat,
baik dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya
dan bahkan yang menyentuh wilayah keagamaan. Sarana
pengintegrasian ini hingga sekarang masih terasa
pengaruhnya, meskipun hanya tinggal pada dimensi
kehidupan budaya dan tradisi masyarakat. Hampir
semua bekas pusat-pusat kerajaan ini masih menjadi
bagian dalam penjaga tradisi dan budaya setempat,
dan masyarakat tetap menganggapnya sebagai warisan
budaya adiluhung yang perlu dilestarikan. Dalam
artian pengaruh luas keberadaan sebuah kerajaan/
kesultanan jelas mengalami pergeseran peran dari
awal pembentukannya hingga di era modern ini. Pun
demikian peran dan pengaruh kesultanan tersebut di
masa lalu di kaji dan ditulis sebagai bahan pembelajaran
yang cukup penting.
Penulisan sejarah kesultanan dan kerajaan lokal
di daerah merupakan salah satu upaya mengisi
kekosongan data tentang eksistensi kesultanan “kecil”
yang terbesar di berbagai wilayah di Indonesia.
Penulisan sejarah kesultanan/kerajaan tersentral di
beberapa titik saja, yaitu kesultanan/kerajaan “besar”
baik di wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi

2
Pendahuluan

dan Maluku. Beberapa di antaranya yang sudah


banyak ditulis dan diteliti adalah kesultanan (kerajaan)
Samudra Pasai, Aceh Darusalam, Kerajaan Malaka,
Kerajaan Riau Lingga, Kesultanan Palembang,
Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Kesultanan
Mataram, Kesultanan Demak, Kesultanan Goa,
Kesultanan Ternate, dan lain sebagainya.1 Adapun
penulisan sejarah kesultanan lokal seolah terabaikan.
Pahadal dalam perjalanan sejarah, keberadaan
kesultanan kecil ini tentu saja memberi peran penting
dan konstribusi yang baik terhadap pengembangan
kehidupan masyarakat ke depan.
Bima atau dikenal dengan sebutan Dana Mbojo
merupakan daerah yang berkedudukan di ujung Timur
Pulau Sumbawa. Wilayah ini didiami oleh beragam
etnis dan suku. Suku asli Bima adalah dou Donggo
(orang Donggo) yang terdiri dari Donggo Ele (orang
Donggo Timur) dan dou Donggo Ipa (orang Donggo
Seberang). Orang Donggo Timur mendiami wilayah
Bima tengah, sekarang Kecamatan Wawo tengah yang
berada di sekitar gunung Lambitu, mereka terdiri dari

1
Data tentang beberapa kesultanan/kerajaan yang pernah ditulis
dapat dilihat pada buku Taufik Abdullah (e.d) Sejarah Umat Islam Nusantara,
(Jakarta: MUI, 1996), Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. (Jakarta : Balai Pustaka,
Cet.6 1990), R. Soekmoeno, Sejarah Kebudayaan Indonesia III, (Yogyakarta :
Kanisius, 1984).

3
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

orang Kuta, Teta, Sambori, Tarlawi, Kalodu, Kadi’ dan


Kaboro.
Proses asimilasi dengan orang Bima
mengakibatkan mereka mulai memeluk agama Islam,
namun pengaruh animisme dan dinamisme masih
mewarnai kehidupan keseharian mereka. Lain lagi
dengan orang Donggo Seberang, mereka mendiami
wilayah dataran tinggi Bima, atau Kecamatan Donggo.
Wilayah ini memiliki kontur geografis yang sulit
karena terletak di dataran Tinggi, sehingga pengaruh
modernisasi dan asimilasi dengan suku lain sedikit
lebih lambat. Sebagian dari suku ini belum memeluk
Islam. Setelah terjadi asimilasi dengan orang Bima
sebagian dari mereka kemudian memeluk Islam.
Saat Bima dikuasai oleh Belanda, agama Kristen
kemudian dikembangkan oleh para zending2 di wilayah
ini, sehingga sebagian dari mereka ada pula yang
beragama Kristen. Walaupun suku ini sudah ada yang
beragama Islam maupun Kristen, namun tradisi lama
yang kental dengan nuansa animisme dan dinamisme
masih mewarnai keseharian warga Donggo Seberang
ini.

2
Zending adalah bahasa Belanda yang berarti pekabaran Injil (kitab
suci agama Nasrani) maksudnya adalah usaha-usaha untuk menyebarkan
agama Nasrani. Gerakan zending sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke
16-18 dan yang membawa misi zending ini antara lain orang portugis dan
orang Belanda (melalui VOC).

4
Pendahuluan

Suku lainya, yaitu dou Dou Mbojo (orang Bima),


merupakan sekelompok masyarakat hasil pembauran
orang Donggo dengan suku Makasar dan Bugis,
hubungan perkawinan di antara mereka terjadi sejak
zaman kerajaan pra-Islam yaitu pada masa Raja
Manggampo Donggo dan Tureli3 Ma Wa’a Bilmana.
Setelah Islam berkembang di Bima dan terbentuk
Kesultanan pertama, maka komunitas Dou Mbojo
ini semakin banyak dan mendominasi penduduk
Bima. Karena merupakan komunitas hasil pembauran
dengan pendatang dari Sulawesi Selatan, agama
dan adat istiadatnya sangat diwarnai dengan Islam.
Bahkan sampai saat ini, komunitas Dou Mbojo ini 100
% memeluk Islam dan tradisinya hampir sama dengan
orang Bugis dan Makasar. Aksara Bima yang pernah
hilang tergerus masa, pun sebagian hurufnya identik
dengan aksara lontar dari Makassar. Aksara Bima
hilang dari peradaban Bima karena adanya keputusan
dari sultan Bima ke II, yaitu Abil Khair Sirajuddin
yang menetapkan bahwa aksara Arab-Melayu (Jawi)
manjadi aksara dan bahasa resmi Kesultanan.4

3
Tureli, merupakan salah satu pangkat tertinggi dalam pemerintahan
Bima, dapat disamakan dengan menteri; ada tujuh tureli, semuanya menjadi
anggota Sara Sara, yaitu Tureli Belo, Bolo, Donggo, Parado, Sakuru, Woha,
serta Tureli Nggampo yang berjabat sebagai ketua semua tureli, perdana
menteri, dan ketua Sara Sara.
4
Keputusan tersebut sesuai dengan isi BO “Kai ndadina eli marongga
ta tunti ro bubarna eli Mbojo kai nggahi ra eli cara melayu kai pahu tunti ra reka

5
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Sebelum Islam berkembang di Bima, wilayah ini


telah melalui beberap fase dalam lintasan sejarahnya,
mulai dari fase naka (zaman prasejarah), Ncuhi (zaman
ambang sejarah), kerajaan sampai kesultanan (fase
Islam). Pasca kemerdekaan Indonesia, wilayah Bima
juga melalui beberapa fase bentuk pemerintahan,
mulai dari swapraja, swatantra, Daerah Tingkat II
Kabupaten Bima, hingga pemekaran menjadi dua yaitu
Kota Bima dan Kabupaten Bima.5
Kesultanan Bima tumbuh seiring dengan
berkembangnya Islam di wilayah ini. Islam sendiri
masuk dan berkembang di wilayah Sumbawa termasuk
di dalamnya Bima sekitar tahun 1540-1550 M, hal
tersebut dikemukakan oleh A. Salim Harahap dan Dr.
Utrecth E.SH, yang menyebutkan Islam masuk ke
pulau Sumbawa melalui jalur Demak, baik oleh para
pedagang maupun mubalig Demak. Adapun yang
membawa Islam di Bima adalah Sunan Prapen, putra
dari sunan Giri yang ditugaskan untuk menyebarkan
Islam di wilayah Nusa Tenggara, termasuk Sumbawa
dan Bima.6 Pengaruh Islam di Bima pada tahun
itu belum begitu kuat dan dimungkinkan baru

di ridho kai ba Allah Taala tamat al-kalim.


5
Ismail, M. Hilir. & Malingi Alan, 2014. Profil Raja dan Sultan Bima,
Bima: Pemda Kota Bima. Hal. 1-5
6
Ismail Hilir, 2004. Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah
Nusantara, Mataram : Lengge Hal. 47-50

6
Pendahuluan

mencapai wilayah pesisir. Hal tersebut mengingat


proses Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Prapen
tergolong singkat seiring dengan runtuhnya Kerajaan
Demak.

Gambar 1. Isi keputusan Sultan II Abil Khair Sirajuddin tentang


Perubahan aksara Bima ke aksara Arab Melayu
(Sumber: koleksi Museum Samparaja)

Selepas pudarnya pengaruh Islam di Bima oleh


para Mubalig Demak, proses Islamisasi di Bima
tidak lantas berhenti, karena kemudian datang pula
para ulama dan pedagang dari Melayu dan Sulawesi
Selatan, jejak syiar Islam ulama Melayu nampak pada

7
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

beberapa tinggalan seperti makam di bukit Naga Nuri


Sape dan Mushala di Kampung Melayu. Selain itu
ulama-ulama Melayu tersebut juga mewariskan tradisi
maulidan Hanta Ua Pua yang prosesinya dimulai dari
Kampung Melayu sampai ke Asi Mbojo. Tradisi ini
diyakini oleh masyarakat Bima diawali oleh keturunan
Datuk Di Tiro dan Datuk di Banda,7 yang terdiri
dari lima ulama dari Pagaruyung yang menetap di
Kampung Melayu. Mereka adalah Datuk Raja Relo,
Datuk Iskandar, Datuk Selangkota, Datuk Lela dan
Datuk Panjang.8
Islam di Bima juga dibawa oleh para pedagang dan
mubalig dari Sulawesi Selatan, BO Sangaji Kai atau
catatan lama Istana Bima mencatat bahwa mubalig
dan pedagang dari Goa, Luwu, Bone dan Tallo
menyebarkan Islam di Bima sekitar tahun 1617 M.9
Jejak kedatangan mereka dapat dilihat dari makam,
sigi nae di Sape, dan sigi Kalodu di Kamina. Ulama-
ulama dari Sulawesi Selatan inilah yang menjadi
guru bagi La Ka’i, tercatat pula bahwa La Ka’i yang
kelak menjadi sultan pertama Bima yang bergelar

7
Datuk di Tiro dan Datuk Di Banda diyakini pernah dan sempat
mengajarkan serta mengenalkan Islam pada Abdul Kahir I
8
Malingi, Alan, Upacara Hanta Ua Pua, Mahani Persada, Mataram
2010, Makalah tidak diterbitkan
9
Ismail, M. Hilir. Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah
Nusantara, Lengge, Mataram, 2004. Hal. 51

8
Pendahuluan

Abdul Kahir I (± 1620-1640) kemudian memeluk


Islam dibawah bimbingan gurunya yang berasal dari
Sulawesi Selatan ini, sejak Abdul Kahir I berkuasa
pada tanggal 5 Juli 1640 M atau bertepatan dengan
15 Rabiul Awal 1050 Hijriah. Maka era kesultanan
yang bernuansakan Islam mulai diberlakukan di Bima
dan wilayah kekuasaanya.10 Tanggal tersebutlah yang
sekarang diperingati tiap tahun sebagai hari jadi Bima.
Setelah meninggal Abdul Kahir I diberi gelar Mantau
Bata Wadu atau yang mempunyai kuburan batu.
Kiprah Abdul Kahir I kemudian diteruskan oleh
puteranya yaitu sultan Bima ke II yang bernama
10
Era Kesultanan Bima dipimpin oleh 14 Sultan yaitu. Pertama,
Sultan Abdul Kahir I (1611-1640 M); kedua, Sultan Abil Khair Sirajuddin
(1640-1682 M), Ketiga, Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah (1682-1687
M), Keempat, Sultan Jamaluddin Ali Syah (1687-1696 M), Kelima, Sultan
Hasanuddin Muhammad Syah (1696-1731 M), Keenam, Sultan Alauddin
Muhammad Syah (1731-1748 M), Ketujuh, Sultanah Kamalat Syah, (1748-
1750) Kedelapan, Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah Zilullah Fil
Alam (1751-1773 M), Kesembilan, Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah
Zilullah fil Alam (1773-1817 M), Kesepuluh, Sultan Ismail Muhammad
Syah (1817 -1854), Kesebelas, Sultan Abdullah (1854-1868 M), Keduabelas,
Sultan Abdul Aziz (1868-1881 M), Ketigabelas, Sultan Ibrahim (1881-
1915 M), Keempatempatbelas, sekaligus sultan definitif terakhir adalah
Sultan Muhammad Salahuddin (1915-1951 M), setelahnya sultan yang
diangkat adalah sultan pasca pembubaran swapraja di Bima, sultan ini
adalah secara administrasi tidak lagi berkuasa dan memiliki perangkat
pemerintahan selayaknya sultan-sultan sebelumnya. Kedudukan sultan
dihidupkan lagi untuk fungsi pelestarian budaya semata. Kedua sultan yang
diangkat tersebut adalah Sultan Abdul Kahir II (1999-2001) dan sultan
Fery Zulkarnain, ST yang sekaligus menjabat sebagai Bupati Bima, setelah
Sultan Fery Zulkarnain, mangkat, lembaga adat Bima menunjuk putra
mahkota bernama Muhammad Putera Ferriyandi, S.Ip.

9
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Abil Khair Sirajuddin (1640-1682 M), ia lah yang


kemudian menjadikan Islam sebagai agama resmi
kesultanan Bima. Sultan yang sangat menghormati
guru dan ulama ini, membetuk lembaga Sara Hukum
yang terdiri dari sara-sara yang dipimpin oleh Ruma
Bicara, Sara Tua dipimpin oleh sultan dan sara
hukum dipimpin oleh qadhi.11 Dimana Islam telah
menjadi landasan fundamental yang mempengaruhi
sendi kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat. Pada masa Abil Khair Sirajuddin, Bima
menjadi salah satu pusat Islam di Indonesia Timur
setelah Makassar. Maka kesultanan Bima terus
mengalami pasang surut sampai sultan terakhir yaitu
Muhammad Salahuddin (sultan ke-XIV) Kesultanan
Bima berakhir dengan ditetapkannya UU No.1 tahun
1957 tentang penghapusan daerah-daerah Swapraja
yang sekaligus diikuti dengan pembentukan daerah
tingkat II di seluruh Indonesia.
Pasca pembubaran kesultanan dan dialihkan
menjadi daerah tingkat II Kabupaten Bima,12 hingga

11
Kalau dalam istilah pemerintahan sekarang maka Kesultanan Bima
dibangun dengan tiga pilar lembaga, yaitu sara tua sebagai legislatif, sara-
sara sebagai eksekutif dan sara hukum sebagai yudikatif yang tentu saja
telah memainkan peran penting dalam perjalanan sejarah nusantara. Di
mana Islam telah menjadi landasan fundamental yang mempengaruhi sendi
kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat
12
Bima merupakan salah satu kabupaten daerah tingkat II di Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Kabupaten ini terbentuk seiring dengan terbitnya

10
Pendahuluan

pemekaran menjadi dua yaitu Kota Bima dan


Kabupaten Bima, maka berakhir pula era kesultanan
Bima. Saat ini Bima tetap tumbuh sebagai daerah
mayoritas penduduknya memeluk Islam, sehingga
nuansa Islamnya masih mewarnai wilayah ini. Namun
masa kejayaan sebagai pusat perkembangan Islam
di Indonesia Timur hanya tinggal kenangan. Bima
yang sekarang lebih dikenal sebagai daerah penghasil
Bawang Merah ketimbang sebagai pusat peradaban
Islam di Timur. Yang tersisa dari masa kejayaan
Kesultanan Bima sekarang ini adalah sejarah material
berupa situs atau bangunan, tradisi keagamaan,
termasuk naskah klasik berupa kitab dan BO atau
catatan lama Kesultanan Bima.
Kajian dan tulisan tentang kesultanan Bima ini
secara umum memuat tentang asal-usul kesultanan/
kerajaan, tahun pemerintahan, sultan-raja yang
berkuasa, pemerintah serta berbagai perannya dalam
membangun masyarakat dan agama Islam. Selain itu
juga mengungkap hubungan antara satu kerajaan
dengan kerajaan lainnya yang se-zaman, baik terkait
dengan aspek politik, ekonomi, hukum dan lainnya.

UU No. 64/1958 tentang pembentukan provinsi Nusa Tenggara Barat.


Dahulunya Bima merupakan salah satu Kesultanan besar di Pulau Sumbawa
dan kawasan pulau-pulau Sunda Kecil, selain Kesultanan Bima, di Pulau
Sumbawa pernah pula ada kerajaan lain seperti Dompu, Sanggar, Tambora,
Pekat serta Sumbawa.

11
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Tak ketinggalan pula disinggung seputar tradisi dan


nilai-nilai budaya pada masa tersebut.

Metodologi
Penulisan sejarah Bima yang dikembangkan
dari hasil penelitian ini, perlu dikemukakan terlebih
dahulu beberapa metode yang digunakan dalam
proses penelitian maupun penulisan. Metode sejarah
merupakan yang paling utama. Prosedur metodologis
lainnya dibutuhkan untuk mendekatinya mencakup
4 (empat) langkah yaitu heuristik, kritik sumber,
analisis/interpretasi serta historiografi.

1. Heuristik
Heuristik berarti mengumpulkan sumber-sumber,
langkah pertama yang harus dilalui dalam penelitian
sejarah,13 sumber-sumber yang dikumpulkan dapat
dikategorikan menjadi dua macam Pertama, sumber-
sumber tertulis yakni menelusuri sumber di berbagai
kepustakaan dengan mengumpulkan tulisan-tulisan
dan menemukan arsip-arsip atau naskah-naskah klasik
terkait dengan topik penelitian. Di samping studi

13
Louis Gottschalk, 1975, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho
Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1997), 33., G.J. Renier, Metode dan Manfaat
Ilmu Sejarah, Terjemahan dari Buku aslinya dengan judul, History Its Purpose
and Methode. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), 113

12
Pendahuluan

kepustakaan, beberapa sumber juga akan dikumpulkan


melalui informasi yang diperoleh di museum, tulisan
pada jurnal, koran maupun internet. Kedua, sumber-
sumber lisan yang diperolah melalui kegiatan
wawancara dengan sejumlah tokoh masyarakat yang
mengetahui tentang peristiwa yang sedang diteliti,
wawancara diupayakan langsung ke generasi pewaris
Kesultanan Bima.
Sumber-sumber yang sudah dikumpulkan
dikategorikan menjadi dua kategori yakni sumber
primer dan sumber sekunder. Sumber primer
penelitian ini adalah naskah (manuskrip) Kesultanan
Bima yang saat ini disimpan oleh pawaris tahta
Kesultanan Bima. Sedangkan sumber sekunder adalah
tulisan-tulisan yang terkait langsung dengan topik
penelitian, baik dalam bentuk buku, majalah, koran
dan informasi internet.

2. Kritik Sumber
Kritik sumber yang dimaksudkan disini ialah
untuk menguji atau melacak sumber kebenaran dan
keasliannya tersebut. Pengecekan dapat dilakukan
pada substansinya, tempat pembuatannya, bentuk
atau wajah serta usianya. Bahkan pengujian untuk
mengetahui usia sumber dapat dilakukan dengan
analisis. Pendapat lain menyebutkan bahwa untuk

13
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

melacak kebenaran dan keaslian suatu sumber tentang


siapa pembuatnya dan penulisnya.
Adapun tujuan utama kritik sumber adalah untuk
menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta. Untuk
mendapatkan sumber-sumber akurat dan otentik.
Kritik sumber ini dapat ditempuh melalui dua cara,
yaitu pertama, kritik intern menguji dan menetapkan
kesahihan, dan dapat dipercaya pembuktiannya
dan yang kedua, kritik ekstern, digunakan untuk
apakah data itu bersifat akurat, otentik atau palsu,
yakni dengan meneliti tanggal pembuatan, siapa
pembuatnya, dan apa bukti-bukti pendukungnya
termasuk penggunaan huruf, tinta serta bahan yang
digunakan.

3. Sintesis/Interpretasi
Sintesis/interpretasi adalah usaha dari sejarawan
untuk menggabungkan fakta-fakta sejarah yang telah
dipilih menurut hubungan kronologis dan sebab akibat
(kausalitas).14 Sehingga siap untuk disusun menjadi
tulisan sejarah. Perhatian terbesar pada tahapan ini
ialah proses pendekatan terhadap fakta-fakta sejarah
yang sudah terkumpul dengan menyusun kerangka
penulisan yang kritis dan kemudian dianalisis sehingga

14
Ibid, hal. 34

14
Pendahuluan

siap disusun untuk menjadi sebuah tulisan sejarah


yang ilmiah. Imajinasi yang digunakan dalam tahapan
ini adalah imajinasi sejarah.

4. Historiografi
Historiografi merupakan tahap terakhir dalam
penulisan sejarah yang bertujuan untuk menciptakan
kembali totalitas peristiwa masa lampau yang
sesungguhnya terjadi. Historiografi adalah upaya
menyusun rangkaian fakta-fakta yang disintesakan
dalam bentuk tulisan sejarah yang kritis analitis.
Melalui tahapan ini penulis berharap dapat menyajikan
suatu tulisan sejarah yang baik dan ilmiah, sehingga
memiliki nilai sebagaimana yang diharapkan.

Sistematika Penulisan
Penulisan sejarah Kesultanan Bima ini terjadi
atas beberapa bahasan yang disistematisasikan
dalam runutan, berikut : Bab I terdiri dari bahasan
Pendahuluan yang berisi latar belakang dan setting
sosial wilayah Bima, termasuk metodologi dan
sistematika runtutan penulisan. Bab II terdiri dari
bahasan tentang Bima masa pra sejarah dan Bima
masa Hindu dan Budha, dua agama yang mendahului
datang ke Bima sebelum Islam. Pada Bab III
membahas tentang Bima sebagai pusat penyebaran

15
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Islam, pada bab ini, pembahasan dikonsentrasikan


pada topik kehadiran Islam dan penyebarannya, tokoh
pembawa Islam dan tradisi keislaman Bima, pada bab
ini juga dikemukakan penjelasan tentang Bima dengan
jaringan pelayaran dan perdagangan Nusantara.
Kemudian dibahas juga tentang hukum adat tanah
Bima sebagai sumber hukum kekuatan Kesultanan
Bima.
Bab IV, membahas Bima sebagai pusat kekuasaan
Islam. Pembahasan ini mencakup wilayah Kesultanan,
sistem pemerintahan dan birokrasi, pengaruh Islam
dalam sistem birokrasi serta tinggalan arkeologi
Kesultanan Bima. Bab V sebagai bab pembahasan
terakhir membicarakan tentang sejarah Kesultanan
Bima masa kolonial. Penetrasi kekuasaan kolonial
Bima dan pengaruh budaya kolonial menjadi tema
sentral dalam pembahasan ini. Pembahasan ini diakhiri
dengan penutup yang berisikan mulai bab I hingga
menjawab pertanyaan sebelumnya, kemudian daftar
pustaka melengkapi sistematika buku ini.

16
Bab II
Bima
Sebelum Islam

17
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

D
ari berbagai peninggalan pra-sejarah seperti
sarkopag di Ai Renung1 (Batutering), kompleks
lesung batu di Rora (Bima) dan temuan Chopper
serta Flakes di Sikreneng (Sumbawa), menunjukkan
bahwa sebelum masuk dan berkembangnya budaya
Hindu, pulau Sumbawa termasuk Bima telah dihuni
oleh manusia yang memiliki kebudayaan yang tinggi.
Mungkin zaman inilah yang dalam kisah-kisah lama di
Bima disebut dengan Zaman Ncuhi Ro Naka. Pada masa
itu diduga sudah ada kelompok-kelompok masyarakat
yang hidup menetap dipimpin para Ncuhi, mereka sudah
mengenal bercocok tanam dan memelihara binatang
ternak. Dalam Bo Kesultanan Bima, masa itu disebut
“sawati pu wara londo na sia sangaji, na wa’ura wara dou
labo dana’, artinya sebelum turunnya sangaji sudah ada
orang dengan tanahnya. Bahasa Bima mengartikan
Ncuhi sebagai asal usul kehidupan atau suri asal-usul
pertumbuhan. “Ncuhi ededu Dumu ma dou, ina mpuuna ba
weki ma rimpa, di siri wea nggawona, di batu wea lelena”
artinya Ncuhi adalah pemimpin, cikal bakal kita, tempat
kita berlindung, harus kita turuti segala perintahnya.2
1
Adalah Situs kompleks megalitik yang di Desa Batu Tering
Kecamatan Moyo Hulu Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat
merupakan salah satu tempat yang digunakan untuk menyimpan jenazah
atau kuburan batu, Sarfogus Ai Renung pada masanya kemungkinan
digunakan untuk menguburkan seseorang yang memiliki status sosial yang
cukup tinggi terlihat dari banyaknya hiasan-hiasan atau pahatan yang ada
di sekeliling sarfogus.
2
Abdullah, Abdul Gani, Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Islam di
Kesultanan Bima (1947-1957). Mataram : Lengge, 2004, 78

18
Bima Sebelum Islam

Para peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi


Nasional (sekarang : Badan Penelitian Arkeologi
Nasional) maupun dari Balai Arkeologi (Bali) di
Denpasar belum banyak melakukan penelitian
arkeologi di Bima dan sekitarnya. Meskipun mereka
telah menemukan dan meneliti sejumlah situs pra
sejarah maupun Hindu-Budha, namun jumlahnya
masih sangat kurang. Oleh karena itu belum banyak
hal yang dapat diungkapkan berkenaan dengan
situasi dan kondisi masyarakat Bima sebelum Islam.
Kelangkaan sumber-sumber sejarah dan artefak
arkeologi, mungkin karena Bima memang miskin
dengan data sejarah dan tinggalan arkeologi atau
sebaliknya boleh jadi karena belum pernah dilakukan
penelitian secara intensif yang berkenaan dengan
aspek-aspek kesejarahan maupun kepurbakalaannya.
Bahan-bahan untuk sejarah Bima sebelum abad ke-16
sangat terbatas dan sulit untuk diinterpretasi, tetapi
suatu diskusi yang berani dapat saja dilakukan.3 .
Di sisi lain baru pada abad ke-17 orang-orang
Belanda mulai tertarik atau menaruh perhatian
terhadap pulau Sumbawa, sebelumnya mereka tidak
mengganggap daerah ini penting, baik dari segi
politik maupun perdagangan. Henri Chamber-Loir,

3
J.G de Casparis, ‘Some Notes on Ancient Bima”, Archipel 56 (Vol. I),
1998, 465.

19
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

menghubungkan kelangkaan sumber itu karena


perhatian orang-orang Belanda terhadap pulau
Sumbawa lebih bersifat politik dari pada dagang,
ini disebabkan pemerintah Belanda boleh dikatakan
tidak menaruh minat terhadap Bima, asal keamanan
dan ketertiban tidak terganggu. Tetapi dalam arsip
Belanda sebenarnya masih terpendam sejumlah besar
dokumen yang mungkin dapat menyoroti masalah
ini. Ditambahkan pula bahwa usaha penelitian tidak
dirangsang oleh aktivitas penyebaran agama, sehingga
pulau Sumbawa tidak menjadi sasaran penelitian.4
Sinyalemen Hendri Chamber-Loir, tidak
seluruhnya dapat dibenarkan, mengingat belum
ada data berkenaan dengan pengiriman misionaris
atau aktivitas penyebaran agama Nasrani di Bima.
Meskipun setelah ditanda tanganinya Perjanjian
Bongaya,5 pada tahun 1667 (sering juga disebut
Bongaja). Bima dinyatakan dibawah proteksi Kompeni,
namun keberadaan pemukiman orang-orang Nasrani

4
Henri Chambert-Loir, Nasakah Dan Dokumen Nusantara III, Syair
Kerajaan Bima. Lembaga Penelitian Perancis Untuk Timur Jauh . Jakarta-
Bandung, 1982 : 12.
5
Perjanjian ini sering juga disebut Bongaja) adalah perjanjian
perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di
Bungaya antara kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin
dan pihak VOC yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Spellman meski
disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan
Gowa dari VOC (kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk
perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makasar (yang dikuasai Gowa)

20
Bima Sebelum Islam

di Bima berawal ketika pejabat kompeni ditempatkan


disana. Selain arsip Belanda, ada dua sumber lain
yang dapat ikut menjelaskan perkembangan sejarah
Bima. Pertama, ilmu arkeologi yang selama ini hanya
mengungkapkan segelintir peninggalan yang terpisah-
pisah, pada hal ilmu arkeologi itulah yang barangkali
akan berhasil menentukan patokan-patokan kronologi
terpenting dari masa prasejarah sampai masa Islam.
Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa Melayu yang
ditulis di Bima antara abad XVI sampai dengan abad
XX.6
Laporan mengenai adanya temuan situs dan
artefak arkeologi dari masa sebelum perang, selain
jumlahnya sedikit, nilai kesejarahan yang terkandung
pada benda-benda yang bersangkutan masih banyak
yang belum terungkap karena berbagai kendala yang
bersifat teknis-akademis.7 Meskipun sejak tahun 1976

6
Henri Chamber-Loir, Cerita Asal Bangsa Jin Dan Segala Dewa –
Dewa.. Bandung : Penerbit Angkasa dan Ecole Francaise D”Extreme –
Orient, 1985 :11
7
Pada tahun 1910 di Kampung Padende, Kecamatan Donggo,
Kabupaten Bima telah ditemukan batu bersurat, (orang Bima menyebutnya
Wadu Tunti) dengan tulisan dan bahasa Jawa Kuno, temuan tersebut
telah dilaporkan oleh G.P. Rouffaer dan F.H. van Naerrssen. (Periksa :
G.P. Rouffaer, “Oudjavaansche Inscriptie van Soembawa”, Notulen Bataviaasch
Genootschap, 48, 1910 : 110-113; F.H. van Naerssen, “Hindoejavaansche
Overblijfselen op Soembawa”, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch
Aardrijkskundig Genootschap, LV, 1938 : 101) Kemudian terhadap Prasasti
ini dilakukan penelitian oleh M.M. Soekarto Karto Atmojo salah seorang
ahli epigrafi Indonesia yang membacanya pada tahun 1983. Menurutnya

21
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

penelitian sudah mulai dilakukan oleh Pusat Penelitian


Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), penelitian
tersebut lebih banyak bersifat pengulangan atau
melakukan inventarisasi dan dokumentasi terhadap
temuan-temuan yang telah dilaporkan sebelumnya,
sehingga menurut hemat penulis hasilnya belum
memperlihatkan kemajuan yang berarti.

A. Masa Prasejarah
Kehidupan zaman prasejarah di Bima dan daerah
sekitarnya dapat direkonstruksi melalui tinggalan
arkeologi prasejarah, maupun data etnografi. Di tepi
pantai di wilayah Kecamatan Wera, Kabupaten Bima
terdapat sejumlah gua (lorong besar pada gunung)
yang diperkirakan dahulu adalah tempat pemukiman
manusia prasejarah. Sayang sekali di tempat itu belum

Prasasti ini terdiri dari 10 Baris, sebagian aksara telah aus dan pecah-pecah,
prasasti ini menggunakan bahwa Jawa Kuno yang telah tercampur dengan
bahasa lokal, selain itu terdapat relief orang sedang duduk dihadap oleh
seekor harimau. Menurutnya dalam prasasti ini dinyatakan bahwa isi pokok
Prasasti Wadu Tunti adalah perihal raja yang bernama Sang Aji Sapalu
yang bertahta di Kerajaan Sapalu, Sang Aji telah hilang rupanya setelah
terjadi peperangan. (Periksa : M.M.. Soekarto Karto Atmodjo,”Beberapa
Temuan Prasasti Baru Di Indonesia,” Berkala Arkeologi Tahun XIV –Edisi
Khusus, 1994 : 1-5). Pada tahun 1982 ditemukan prasasti Jawa Kuno di
Watu Paa (Watu Pahat) tetapi sampai sekarang prasasti tersebut belum
dapat dibaca. (Periksa : Henri Chambert-Loir, Naskah Dan Dokumen
Nusantara V,, Cerita Asal bangsa Jin Dan Segala Dewa-Dewa. Bandung :
Penerbit Angkasa dan Ecole francaise D’extreme-Orient, Bandung, 1985 :
50-51)

22
Bima Sebelum Islam

pernah dilakukan penelitian untuk menemukan jejak-


jejak kehidupan manusia dalam gua tersebut.
Di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo Bima, hingga
saat ini masih kita saksikan sejumlah peninggalan
prasejarah berupa Menhir, (adalah batu tunggal,
biasanya berukuran besar, yang ditata seperlunya
sehingga berbentuk tugu dan biasanya diletakkan
berdiri tegak di atas tanah). Pada kebanyakan
kebudayaan tradisi pembuatan Menhir telah berlalu
diganti dengan pembuatan bangunan, namun demikian
di beberapa tempat terutama di Nusantara, tradisi ini
masih dilakukan hingga abad ke-20. Menhir berfungsi
sebagai monumen masa prasejarah sebelum masehi.
Sedangkan di Rora terdapat beberapa buah lesung
batu8. Menhir mengingatkan kita pada masa bercocok
tanam dan budaya neolitik, sedangkan lesung batu
erat kaitannya dengan budaya megalitik dari masa
bercocok tanam. Pada masa itu diperkirakan manusia
sudah menetap dalam suatu perkampungan dibawah
seorang pemimpin. Selain itu pada masa bercocok
tanam manusia telah menguburkan jenazah baik
dengan wadah maupun tanpa wadah. Penguburan
tanpa wadah misalnya ditemukan di Kalepe, sedangkan

8
Anonim, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan , Pusat Penelitian Sejarah Dan Budaya, Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kabudayaan Daerah 1977/78 :

23
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

wadah kubur batu ditemukan di Doro Rompu, Doro


Sakerah dan Wado Nocu pada tahun 1983.9
Di pulau Sangeang pernah ditemukan 5 buah
nekara perunggu yang besar dan indah karena
kaya dengan ornamen.10 Nekara tersebut sekarang
disimpan di Museum Nasional, Jakarta dan menurut
para ahli, nekara perunggu dari pulau Sangeang
termasuk nekara perunggu yang paling bagus yang
pernah ditemukan di Indonesia. Salah satu dari ke-5
nekara itu menarik perhatian Von Heine Geldren,
yang kemudian secara khusus melakukan penyelidikan
tentang nekara tersebut.

9
D.D. Bintarti, “Sistem Penguburan dan Tradisi Prasejarah di Kabupaten
Bima dan Dompu”, EHPA, 1985: 9-13.
10
Menurut van der Hoop, jumlah nekara perunggu tersebut ada
enam (bukan lima), tiga diantarnya mempunyai nama, yaitu ; Makalamau,
Waisarinci dan Saritasangi. (Periksa : A.N.J. van der Hoop, Catalogus der
Praehistorische verzammeling van het Bataviaatsch Genootschap. Bandung :,
Nix & Co, 1949 :213-222; Henri Chamber-Loir, Kerajaan Bima dalam Sastra
dan Sejarah. Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia, Ecole francaise
d’Extreme-Orient, 2004 : 239)

24
Bima Sebelum Islam

Gambar 2. Nekara perunggu dari pulau Sangeang Api Bima,.


Di masa lalu difungsikan sebagai genderang kelengkapan
berbagai upacara seperti memanggil hujan, persiapan perang
upacara pemakaman jenazah dan benda bekal kubur, dan
tempat menyimpan jenazah
(Sumber : Koleksi Museum Nasional Jakarta)

25
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Nekara perunggu yang oleh penduduk setempat


disebut makalamau itu, selain berhiaskan ragam
hias geometrik, juga dihiasi dengan gambar rumah,
manusia dan binatang. Pada bidang pukulnya terdapat
lukisan 4 buah rumah panggung dengan atap seperti
sila kuda yang melengkung. Di dalam rumah tersebut
terlihat gambar laki-laki berjanggut dan berpakaian
jas seperti gambar “lonceng gereja” tengah duduk
nongkrong. Menurut van Heekeren lukisan tersebut
mengingatkan kepada relief Tionghoa dari Zaman
Han11. Sebaliknya A.J Bernet Kempers menggolongkan
nekara makalamau itu sebagai nekara tipe Heger I,
karena dekorasinya mengandung elemen-elemen
yang menjadi ciri khas ornament nekara perunggu
di Indonesia antara lain motif hias tympanum pada
badan nekara yang dibagi tiga secara horizontal,
yaitu bagian atas, tengah dan bawah.12 Pada badan
nekara terdapat gambar-gambar penunggang kuda,
tentara infanteri, kuda berpelana, gajah, perahu arwah
dengan penumpangnya berpakaian seperti burung,
ikan, harimau dan kijang. Para prajurit baik yang naik
kuda maupun yang berjalan kaki, berbadan tegap dan
berpakaian yang panjang serta memegang pedang

11
H.R.van Heekeren, Penghidupan Zaman Prasedjarah Di Indonesia.
Terjemahan Moh. Amir Sutaarga. Jakarta : Lembaga Kebudayaan Indonesia,
1955: 70-71.
12
A.J. Bernet Kempers, Ancient Indonesian Art.C.P.J.Van Der Peet
Amsterdam, MCMLIX : 30.

26
Bima Sebelum Islam

yang panjang. Menurut Heine Geldern, disini kita


berhadapan dengan gambar suku bangsa Kushana.13
Indikator tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan
besar bahwa nekara tersebut tidak dibuat disana, tapi
diimpor dari luar, mungkin dari Funan.14 Sebaliknya
Bernet Kempers menghubungkan asal usul nekara itu
dengan Indo-Cina bagian utara.15 Jika pendapat atau
asumsi tersebut benar, maka Bima sudah mengadakan
hubungan niaga dengan wilayah lain di Asia Tenggara
dan nekara tersebut kemungkinan adalah komoditi
yang diperdagangkan.
Melalui analogi dengan data etnografi diduga
bahwa kondisi masyarakat dan budaya Bima sebelum
Islam, terutama masa Ncuhi seperti halnya keadaan
orang-orang Donggo, sebagaimana digambarkan
oleh Zollinger dalam artikelnnya: “A Visit to The
Mountainers Do Donggo in The Country of Bima”,
diterbitkan dalam Journal of the Indian Archipelago
and Eastren Asia, Vol.II (XI), Nov. 1948: 687-694)
Zollinger16 yang mengunjungi Donggo pada tahun

13
H.R.Van Heekeren, op.cit.:71
14
Loc. cit.
15
A.J. Bernet Kempers, op.cit. : 30
16
H. Zollinger, “ A Visit to The Mountainers, Do Dongo in The Country of
Bima”, JIAEA, VOl. II, No: XI, November, 1948 : 687-694. Periksa juga H.
Zollinger, “Verslag van een reis naar Bima en Soembawa en naar eenige Plaatsen
op Celebes, Saleir en Flores gedurende de maanden Mei tot December 1847”,
VBG. . XXIII, 1850 : 50-51)

27
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

1847 dalam laporan perjalanannya menyebut orang-


orang Donggo itu dengan do (dou) Donggo, artinya
orang pegunungan atau orang gunung. Zollinger
melaporkan bahwa perkampungan orang Donggo ini
berada sekitar 1500-2500 kaki di atas permukaan laut.
Mereka tinggal di pedalaman, meskipun jaraknya tidak
begitu jauh dari Teluk Bima, namun tidak pernah
dikunjungi oleh orang-orang Kristen yang tinggal
di Bima. Konon orang Donggo tidak mengizinkan
atau melarang orang Eropa memasuki desa atau
perkampungan mereka. Jika ada seorang diantara
orang Eropa yang nekat memasuki perkampungan
orang Donggo, maka tidak lama mereka akan jatuh
sakit dan meninggal beberapa hari kemudian karena di
daerah itu banyak roh jahat.
Orang Donggo (Dou Donggo) membangun
rumah di atas tiang-tiang kolong, sekitar 8–12 kaki
di atas permukaan tanah, beratap alang-alang atau
sirap bambu. Menurut Zollinger perkampungan
orang-orang Donggo mengingatkan kita pada desa-
desa di Tengger, Jawa Timur, sedangkan pakaian
mereka seperti orang Bima pada umumnya. Demikian
pula bahasanya adalah bahasa Bima. Selain memuja
sejumlah benda yang dianggap memiliki kekuatan
gaib, orang-orang Donggo memuja makhluk-makhluk
super natural yang disebut henca dan roh-roh nenek

28
Bima Sebelum Islam

moyang (parafu-pamboro). Mereka tidak mengenal


dewa seperti pemahaman dalam agama Hindu.
Yang menarik dari laporan Zollinger itu ialah
cara atau sistem penguburan orang Donggo, mereka
mengumburkan jenazah di dalam lubang dalam posisi
berdiri disertai dengan pakaian lengkap seperti cincin,
gelang, kalung, bokor dan tutup kepala. Kubur ini
kemudian ditutup dengan batu plat.
Penjelasan Zollinger berkenaan dengan cara
penguburan orang Donggo di atas mengingatkan
kita pada sistem penguburan tanpa wadah yang
pernah ditemukan di Kalepe.17 Penulis bersama-sama
dengan para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional (Puslit Arkenas) dan Balai Arkeologi (Balar)
Bali, pernah meneliti sebuah makam di Desa Padende,
Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima yang disebut
makam Padende. Masyarakat sekitarnya beranggapan
bahwa makam tersebut adalah makam Patih Gajah
Mada. Sejak kapan anggapan atau isu itu muncul
tidak diketahui secara pasti. Namun terlepas dari
nama tokoh yang dimakamkan, ada kemungkinan
bahwa makam Padende itu adalah kubur prasejarah.
Lubang kubur digali dengan kedalaman setinggi
orang dewasa dan di atasnya ditutup dengan batu plat
yang rata dengan tanah (tanpa jirat), mirip seperti
17
D.D. Bintarti, op.cit.10.

29
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

gambaran yang diberikan oleh Zollinger di atas.18 Cara


penguburan yang lain pada orang-orang Donggo ialah
dengan memasukkan mayat ke dalam batang pohon
lontar.
Seperti halnya masyarakat Donggo, diduga
masyarakat Bima pra- Islam terdiri dari berbagai
kelompok yang dipimpin oleh kepala-kepala suku
yang disebut Ncuhi. Para Ncuhi ini memiliki wilayah
sendiri-sendiri dan diberi nama menurut nama gunung
atau lembah dimana mereka berkuasa. Daerah Bima
Tengah dipimpin oleh Ncuhi Dara, Bima Timur oleh
Ncuhi Dorowuni, Bima Utara oleh Ncuhi Banggapupa,
Bima Selatan oleh Ncuhi Parewa dan Bima Barat oleh
Ncuhi Bolo.19 Para Ncuhi itu hidup berdampingan
secara damai, apabila ada persoalan yang menyangkut
kepentingan bersama mereka berkumpul untuk

18
Penelitian terhadap makam Padende dilaksanakan pada bulan
Agustus 1979 oleh tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
(Puslit Arkenas) Balai Arkeologi (Bali), Denpasar, dimana penulis terlibat
di dalamnya sebagai anggota tim. Selain makam ini dikaitkan dengan
tokoh Gajah Mada, diperoleh informasi dari Juru Kunci pada waktu itu
(Bapak H. Yasim) bahwa makam ini mengandung tengkorak atau rangka
manusia.Namun ketika tutup makam (batu plat) diangkat dan juru kunci
terjun kedalam lubang kubur, seketika itu juga dia kerasukan (intrans)
sehingga penelitian urung dilanjutkan untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan.
19
Uka Tjandrasasmita (editor), Sejarah Nasional Indonesia III.Jaman
Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam Di Indonesia.
Jakarta : Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, PN. Balai Pustaka,
1984 : 311.

30
Bima Sebelum Islam

musyawarah. Salah seorang penulis sejarah Bima,


Ahmad Amin berpendapat bahwa kira-kira tahun 1575
datang di Bima seorang dari Jawa dan kelima Ncuhi itu
kemudian sepakat mengangkat pendatang itu menjadi
raja Bima dengan gelar Sangaji20. Kelima Ncuhi inilah
yang berhak memilih dan mengangkat raja. Kalau
demikian halnya maka ada kemungkinan bahwa pada
awalnya kerajaan Bima berbentuk konfederasi dan
proses terbentuknya mengingatkan kita pada proses
terbentuknya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.21
Bouman mengatakan bahwa para Ncuhi itu adalah
tuan-tuan tanah yang berkuasa di wilayahnya masing-
masing, mereka kemudian dipersatukan oleh maharaja
Sang Bima menjadi satu kerajaan yang bercorak
kehinduan.22 Boleh jadi pendapat Bouman tersebut
mengandung kebenaran, tetapi pertanyaannya adalah
siapa sesungguhnya Sang Bima itu, apakah ia benar-

20
Loc.cit.
21
Sebagai contoh Kerajaan Goa pada awalnya merupakan bentuk
konfederasi dari sembilan wilayah Galarang, yaitu : Tombolo, Lakiung,
Saumata, Parang-Parang, Data, Agangjene, Bisei, Kaliung dan Sero,
kemudian menjadi satu kesatuan pemerintahan berbentuk kerajaan dengan
mengangkat dan menobatkan tokoh awal yang diberi predikat Tomanurung
sebagai raja pertama. (Periksa : Abd.Razak Daeng Paturu, Sejarah Goa.
Ujungpandang : Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1983 : 1; Mukhlis
P. (et.al.), Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan , Ditjenbud, Direktorat Jarahnitra, Proyek IDSN, 1995 : 52-53)
22
M.A. Bouman, “De Bimaneesche Sultansverhefing”, KT, 14, 1925 :
710-717.

31
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

benar tokoh sejarah atau hanya tokoh mitologis atau


legendaris.
Menurut legenda, nama Bima baik sebagai nama
kerajaan maupun atau ibukota kerajaan diambil dari
nama Sang Bima, yaitu seorang bangsawan Jawa
yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil
di daerah itu menjadi satu kerajaan, yakni kerajaan
Bima. Di dalam legenda itu diceritakan bahwa Sang
Bima mempunyai seorang kekasih seekor naga dari
pulau Satonda, naga tersebut kemudian hamil karena
pandangan mata Sang Bima yang tajam dan dari
padanya kemudian lahir seorang putri yang cantik
yang kemudian diberi nama Tasi Sari Naga. Sang Bima
lalu mengawini putrinya sendiri dan dari perkawinan
itu lahirlah Indra Jamrut dan Indra Komala yang kelak
menjadi cikal bakal yang menurunkan raja-raja Bima
dan Dompu.23
Dalam cerita wayang yang bersumber dari
kitab Mahabarata, Bima dikenal sebagai putra kedua
Pandudewanata, salah seorang istri Bima adalah putri
naga bernama Naga Gini, dari perkawinan tersebut
lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden
Antareja. Dalam budaya Jawa tokoh Bima sangat

D.F. van Braam Morris, “Nota van Tolichting Behoorende bij


23

het Contract gesloten met het landschap Bima op de 20 sten October


, aan de Regeering ingediend door den Gouverneur van Celebes en
Onderhoorigheden,” TBG . XXXV, 1890 : 227.

32
Bima Sebelum Islam

terkenal, namanya pun diabadikan sebagai nama


sebuah candi yaitu Candi Bima di komplek percandian
Dieng, sedangkan arca Bima ditempatkan di Candi
Sukuh dari abad ke-14. Bagi sebagian masyarakat
Bima, Sang Bima dipandang sebagai tokoh sejarah
yang datang dari Jawa, kawin dengan wanita Bima
kemudian menjadi cikal bakal raja-raja Bima.
Di kalangan sejarawan lokal berkembang
pendapat bahwa Sang Bima sebenarnya adalah tokoh
sejarah dan mungkin seorang utusan dari Kerajaan
Majapahit24. Helius Sjamsuddin,25 sejarawan asal
Dompu dalam tulisannya menyatakan bahwa Sang
Bima itu bukanlah tokoh dalam Mahabarata, ia
mewakili seorang pelaku sejarah sebenarnya yang
berasal dari Jawa (seorang aristokrat atau anggota elit
tradisional) yang datang ke pulau Sumbawa . Ketika
tokoh Sang Bima itu datang bersama rombongannya
di pulau Sumbawa (khususnya di daerah-daerah
yang dikenal dengan nama Dompu dan Mbojo) telah
ada unit-unit politik kecil dari kelompok-kelompok
masyarakat atau komunitas sederhana yang dipimpin
oleh Ncuhi-Ncuhi atau Dalu-Dalu. Sang Bima kawin

24
Michael Hitcchcock, “ The Bimanese Kris ; Aesthetics and Social
Value”, BKI, 142, 1987 134
25
Helius Sjamsuddin, Tokoh Sang Bima, Mitos atau Realitas . (Sejarah
Mentalitas Masyarakat Tradisional Bima-Dompu).. Makalah untuk Kongres
Nasional Sejarah Tahun 1996, Jakarta, 12-15 November 1996 : 7-8.

33
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

dengan putri setempat dan mempunyai keturunan.


Secara simbolik perkawinan itu dapat pula ditafsirkan
sebagai pertemuan antara dua pendukung kebudayaan
yang berbeda tanpa terjadinya benturan atau konflik.
Pihak penguasa setempat yang diwakili oleh Ncuhi
Dara yang memerintah Mbojo menobatkan Sang Bima
atau keturunannya sebagai raja. Dengan demikian
sistem kerajaan diperkenalkan, dan rajanya disebut
Sangaji. Nama Mbojo kemudian diganti dengan
nama “Bima”, baik sebagai nama tempat (kota),
nama daerah (kerajaan) maupun nama seluruh etnis.
Adapun penghormatan khusus oleh Raja-Raja atau
Sultan-Sultan Bima (Sangaji Mbojo) terhadap Ncuhi
Dara serta keturunannya pada upacara-upacara
besar kerajaan dikemudian hari merupakan sisa-sisa
pengakuan pendiri dinasti Sang Bima terhadap jasa-
jasa Ncuhi Dara dahulu.
Terlepas dari perdebatan apakah Bima (sang
Bima) tokoh sejarah atau legendaris, menurut hemat
penulis, disatu sisi cerita atau legenda Sang Bima dapat
dipandang sebagai sarana legitimasi bahwa nenek
moyang raja-raja Bima berasal dari Jawa sedangkan
disisi lain memberikan gambaran kepada kita betapa
kuatnya pengaruh budaya Hindu -Jawa di Bima dan
daerah sekitarnya.

34
Bima Sebelum Islam

B. Masa Hindu-Budha
Keberadaan pengaruh Hindu, baik agama Hindu
maupun agama Budha di Bima dan sekitarnya
tidak diragukan lagi, karena didukung oleh sumber
tertulis maupun data arkeologi. Permasalahannya
adalah sejak kapan pengaruh Hindu itu muncul dan
apakah kerajaan Bima yang didirikan oleh Sang Bima
merupakan kerajaan berdaulat atau sebuah negara
vazal (taklukan) dari kerajaan-kerajaan Hindu -Jawa
belum dapat dipastikan meskipun data tertulis dan
bukti arkeologi memberikan indikasi adanya hubungan
Bima dengan Jawa.
Dalam sumber Cina, Chu-fan-chi yang ditulis
oleh Chou-ju-kua, pada tahun 1225 disebutkan bahwa
diantara 15 daerah yang menjadi kekuasaan Cho-
po disebutkan nama Ta-kang, yang diduga berlokasi
di pulau Sumbawa, Flores atau Sumba. Jika Cho-po
identik dengan Jawa maka tentunya kerajaan yang
berkuasa di Cho-po pada waktu itu adalah kerajaan
Kadiri. F.H. van Naersen26 berasumsi bahwa Kadiri
merupakan sebuah kerajaan maritim karena di
dalam salah satu prasastinya yang berangka tahun
1181 M. disebut nama Senapati Sarwajala, seorang
pejabat (panglima) yang berhubungan dengan tugas-

26
F.H. van Naerssen, op.cit. : 91-92

35
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

tugas kelautan. Jika tafsiran itu dapat diterima maka


ada kemungkinan pulau Sumbawa (termasuk Bima)
termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Kadiri, atau
dibawah pengaruhnya. Dalam beberapa naskah Jawa
Kuno seperti Nagarakertagama, Pararaton, Kidung
Pamancangah, Roman Ranggalawe dan Serat Kanda
disebutkan sejumlah nama tempat di pulau Sumbawa
yang sekaligus menjadi bukti bahwa tempat-tempat
yang disebutkan itu sudah dikenal oleh kerajaan
Majapahit atau termasuk ke dalam wilayah Majapahit.
Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh
Empu Prapanca pada tahun 1365, pupuh 14 : 3 dikutip
sebagai bertikut27 :
sawetan ikanang tanah jawa muwah ya warnnanen
ri bali makamukya tan badahulu mwan i lwagajah
gurun makamukha sukun/ri taliwang ri dompo sape
ri sanghyang api bhima ceram I hutan kadaly apupul
Pigeaud menterjemahkan pupuh 14 : 3 di atas sebagai
berikut : All those east from the Javanese country there
also are to be described, Bali having for principal places,
to be sure, Badahulu and Lwagajah, Gurun having for
principal places, to be sure: Sukung, Taliwang, Dompo,
Sape, Sanghyang Api, Bhima, Seran, Hutan Kadali,
altogether.

27
Th. Pigeaud, Java in The Fourteenthe Century Vol. I.Javanese Texs in
Transcription. Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, The
Hague Martinus Nijhoff, 1960 : 17.

36
Bima Sebelum Islam

Dari kutipan di atas disebutkan sejumlah nama


tempat di pulau Sumbawa yang termasuk wilayah
kerajaan Majapahit, yaitu Taliwang, Dompo, Sape,
Sanghyang Api, Seran dan Utan Kadali.28 Tiga
diantarnya yaitu Sape (sek: Labuhan Sape), Sanghyang
Api (sek: pulau Sanghyang) dan Bhima (sek. Bima)
berlokasi di wilayah Kota Bima dan Daerah Tk. II
Kabupaten Bima dan merupakan wilayah kerajaan
Bima di masa lalu. Dalam. pupuh 72: 3 kitab
Nagarakertagama disebutkan serangan Majapahit atas
Dompo (sekarang: Dompu) pada tahun 1357 dibawah
pimpinan Senapati Nala. Peristiwa ini disebutkan
juga dalam kitab Pararaton. Berdasarkan uraian
Nagarakertagama, Van Naerssen berasumsi bahwa
peristiwa tersebut merupakan masa awal zaman Hindu
di pulau Sumbawa.29
Jufri Irwan (44 th) warga Kampung Dara,
Kalurahan Dara, Kecamatan RasanaE Barat, Kota
Bima memiliki sebuah keris pusaka (bahasa Bima :
Sampari) yang diwarisinya secara turun-temurum
dari nenek moyangnya. Keberadaan keris pusaka itu

28
G. Kuperus, “De Madjapahitsche Onderhoorigheid Seran”, Tijdschrift
van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundige Genootschap, LIX, 1942 :
771-774;C.C.F.M.Le Roux, “De Madjapahitsche Onderhoorigheden Hutan
Kadali en Gurun en de Oude naam voor her Eiland Flores,” Tijdschrijt van
het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundige Genootschap, LX, 1943 : 915-
927.
29
F.H. van Naerssen, op.cit .: 90-99.

37
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

ditangan keluarga Jufri Irwan sebagai keturunan Ncuhi


Dara kemudian dikukuhkan sumber tertulis (Qaul Al-
Haq), yaitu surat pernyataan dari Sultan Abdul Aziz
(1868-1881 M) yang menjelaskan hak dan tugas Ncuhi
Dara sebagai akibat pertalian kekerabatan antara
Ncuhi Dara dengan Indra Zamrut, karena menurut
beberapa versi Cerita Asal, Indra Zamrut diangkat
anak oleh Ncuhi Dara. Dalam Surat pernyataan
yang diberi tanggal Hari Senen, 15 Zulkaidah 1284
atau 1294 Hijrah itu dinyatakan bahwa keris tersebut
milik Indra Zamrut, yang diberikan kepada Ncuhi
Dara.30 Keris yang berhulukan besi dengan satu surat

30
Adapun isi lengkapnya surat perjanjian tersbut adalah sebagai
berikut (alih aksara) Hijratun Nabi kita Muhammad Saw. sanah 1294
tahun permulaan pada lima belas hari bulan Dzul Qaidah pada hari Isnain
jam pukul tujuh tatkala itulah Duli hadirat paduka yang dipertuan kita
Sri Sultan Bima ismuhu Abdul Aziz ibnu paduka yang dipertuan kita Sri
Sultan Abdullah Raja Ma Wa’a Adil yang menyuruh juru tulis istana
yang tua bergelar Bumi Parise Mbojo yang bernama Abdurrahman akan
membaharui dan menta’kidkan perjanjian serta bersumpahi peninggalan
raja2 almarhum yang turun di tanah Bima kedua bersaudara, seorang
yang bernama Indra Kemala dan seorang yang bernama Indra Jamrut .
Raja yang kedua itu yang empunya perjanjian dan bersumpahnya dengan
Ncuhi Dara dengan anak raja yang kedua, maka serta lalu Maharaja
Indra Jamrut pun bertitah kepada Ncuhi Dara itu serta memberikan keris
yang berhulukan besi dengan satu surat azimat kepada Ncuhi Dara akan
menaruh tanda mengaku bapanya kepada Ncuhi Dara itu beserta dengan
mendirikan sumpah kepada bapanya Ncuhi Dara itu yang tetap mutalazim
sampai turun temurun yang tiada boleh berubah2 selama-lamanya. Pertama
tiada boleh diambilkan anak cucunya yang perempuan yang menjadi
dayan2 didalam istana Duli paduka yang dipertuan kita Sri Sultan dan
tiada boleh diambil oleh adat tanah Bima daripada kuda dan kerbaunya dan
kambingnya dan hayamnya dan barang sebagainya daripada pekerjaan adat.
Demikianlah tiada boleh disuruh menyuruh daripada tempat yang

38
Bima Sebelum Islam

lain melainkan tetap juwah akan menunggui perigi ia jua pekerjaannya


sampai dengan segala anak cucunya oleh Ncuhi Dara adanya.
Sebagailagi pekerjaan Ncuhi Dara itu jikalau ada anaqnya duli
paduka yang dipertuan kita yang mempunyai tahta kerajaan Bima
hendaklah Ncuhi Dara dengan segala anak bininya pada tiap-
tiap malam jum’at datang menjaga anakda paduka tuan kita
Sultan itu atas pekerjaan memelihara akan semangatnya adanya.
Sebagailagi adapun jabatan Ncuhi Dara jikalau ada anaqnya Duli
paduka Tuan Kita Sultan baik laki2 baik perempuan yang atas
Ncuhi Dara jua akan mengadakan tali kuwarinya daripada tali
pancingnya jua akan diganti oleh Bata Jero dengan benang yang
lain tali pancing yang diambilnya dengan selengkap sojinya adanya.
Sebagailagi jikalau ada sultan yang dilantikkan di atas nama tahta
kerajaan yang mesti jua Ncuhi Dara jua yang melantiknya dipasar
sore sampai turun temurun maka jikalau Ncuhi Dara tiada boleh
sendiri digantikan dirinya dengan bumi Banggapupa dari karena
jaman yang dulu2 Ncuhi dara itu yang menjadi raja di Mbojo.
Ncuhi Desya itu yang dibutukan oleh Ncuhi Dara yang menjadi bumi Luma di
Mbojo dari sebab itulah yang boleh bumi Banggapupa menggantikan itu Ncuhi
Dara melainkan baharulah paduka Tuan Kita Sri Sultan Ismail dan paduka
Tuan Kita Sri Sultan Abdullah jua yang dilanti oleh bumi Banggapupa adanya.
Sebagailagi bermula pada jaman persumpahan di Nisa Sumi maka ada
seorang Wolanda yang sudah kelupaan oleh temannya maka dilihat oleh
Raja Tureli Nggampo orang Wolanda itu maka Raja Tureli Nggampo
memanggil Ncuhi Dara serta disuruh mengantarkan orang Wolanda
itu dengan perahu ompu Dara yang bernama La Laramabisa serta lalu
Ncuhi Dara mempatutkan anak kemenakan sendirinya dengan rakyaknya
yang mengantar orang Wolanda itu, sehari semalam perginya lalu pulang
kembali di Bima maka Ncuhi Dara itupun menggantikan dirinya dengan
anak kemenakannya akan menjadi Nenti Mone Dara yang menanti titah dan
perintah didalam istana Duli paduka yang dipertuan kita dengan dibuatkan
rakyatnya itu orang dara itu jua, diluar dari pada anak cucu sendirinya
itu akan menanggung pekerjaan jabatannya oleh Nenti Mone Dara.
Adapun jabatan Nenti Mone yang atas pekerjaan dalam istana pertama2
ialah yang jadi kepala daripada segala Nenti Mone akan tetapi jabatan
rakyatnya itu membuat ncawu siya atas pekerjaan suruh menyuruh yang
di laut dan setengah rakyatnya jikalau hendak nama tahta kerajaan itu
dari sisi laut dan yang empunya jabatan yang mengambil anak ganti
itu yang dibubuh pada kubur raja kerajaan dan mengambil kadaga dan
Nggama dan karang putih tempatnya di Kalaki dan buah sarise, itulah
jabatan rakyatnya Nenti Mone Dara yang dari Dambe Mone Dara

39
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

azimat itu konon diberikan oleh Indra Zamrut (Putra


Sang Bima) sebagai tanda pengakuan kepada Ncuhi
Dara sebagai bapaknya disertai dengan sumpah dan
janji secara turun-temurun yang tidak boleh berubah
selama-lamanya. Sumpah itu antara lain jikalau ada
sultan yang dilantik di atas nama takhta kerajaan,
maka yang harus melantiknya adalah Ncuhi Dara di
Pasar Sore sampai turun temurun.31

Gambar 3. Keris Sang Bima dan surat perjanjian pelantikan sultan


Bima oleh para Ncuhi dan keturunanya. (Foto : Retno Kartini)

adanya. Sebagailagi adapun hubungkan tanah Ncuhi Dara yang dinamai


rasa Mbojo yang diambilkan hasilnya keselatan hingga sungai Ni’u ke
timurnya Oi Fo’o keutaranya Torotompa. Demikian juga jikalau ada
Duli paduka yang dipertuan kita itu yang berangkat dirinya berjalan2
melainkan sehingga hingga yang tiga perkara itu jua diantarkan oleh
Ncuhi Dara maka kembalilah dia menunggui air perigi Dara itu.
Sahdan lagi jikalau Duli yang dipertuan kita berangkat di Goa atau
Manggarai atau Sumbawa, melainkan Nenti Mone Dara jua yang beserta
dengan paduka yang dipertuan kita. Melainlagi dari hal pekakas permaina
dari laut seperti kail dan tali pancingnya ada memang dalam tangan Nenti
Mone Dara dari karena dialah yang empunya jabatan demikianlah adanya.
31
Henri Chamber-Loir, op. cit : 122-123.

40
Bima Sebelum Islam

Yang menarik dari keris tersebut ialah


menyatunya besi bilah (wilahan) dengan hulu keris,
artinya besi wilahan ditempa menjadi satu dengan
hulu kerisnya. Hulu keris menggambarkan seorang
tokoh dalam posisi duduk di atas kursi kedua tangan
menyilang di depan perut, rambut terurai (gondrong)
tanpa memakai penutup kepala. Konon tokoh yang
digambarkan adalah Sang Bima. Boleh jadi dugaan
tersebut benar meskipun dalam tradisi kesenian
Jawa, secara ikonografi32 tokoh Bima belum pernah
digambarkan dalam posisi duduk, selalu berdiri.
Mungkin hal itu dapat dipandang sebagai “kearifan
lokal". yaitu pengaruh budaya Jawa yang sudah
diadaptasikan dengan budaya lokal (Bima), sehingga
dianggap menjadi milik sendiri. Keris-keris dengan
bilah (wilahan) yang dibuat menyatu dengan hulu
kerisnya dikenal sebagai keris Majapahit.33
Berkaitan dengan mitos kedatangan Sang Bima,
Zollinger berasumsi bahwa setelah agama Islam
masuk di Pulau Jawa, sejumah pelarian atau pengungsi
Jawa tiba di Nissa (pulau) Satonda pada musim barat.

32
Selain epigrafi ada ilmu ikonografi yang juga termasuk dalam
kategori arkeologi. Ikonografi berasal dari bahasa Yunani Kuno yang artinya
ilmu yang mempelajari tentang sejarah seni baik itu dengan melakukan
identifikasi, deskrispi dan interpretasi isi gambar, juga bermakna sebagai
ilmu yang mempelajari teknik dan cara pembuatan arca atau patung dari
zaman prasejarah hingga zaman sejarah.
33
Van der Hoop, op.cit, 1949 : 98-99 ; Hitchock , op.cit : 1987 : 134

41
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Pulau itu justru sebuah tempat persinggahan yang


cocok dalam perjalanan dari Pulau Jawa ke timur.
Namun di pulau itu tidak ada air tawar pada musim
kemarau. Maka orang itu menyebrang ke daratan dan
menetap di daerah yang paling indah dan subur, yaitu
Dompu. Orang yang datang dari Jawa itu rupanya
bernama Sang Bima, atau Maha Raja atau Dewa.
Putra sulungnya, bernama Indra Kumala menjadi
raja di Dompu, sedangkan putra bungsunya bernama
Indra Jamrut pergi ke Bima dan menjadi raja disana34.
Selain dari naskah-naskah Jawa Kuno, keberadaan
pengaruh budaya Hindu di Bima ditunjang
oleh sejumlah peninggalan arkeologi, baik yang
bernafaskan agama Hindu maupun agama Budha.
Dalam cacatan orang-orang asing, terutama orang
Belanda disebutkan 4 lokasi tempat penemuan
benda-benda arkeologi di Bima.35 Pertama Desa Tato,
sekitar 3 pal di sebelah timur laut kota Bima. Kata
“tato” itu sendiri dalam bahasa Bima berarti “patung”.
Ditempat ini pernah ditemukan arca Trimurti atau

34
H, Zollinger, op.cit., 1850 : 138; Henri Chamber-loir, op. cit. : 2004 :
61
Loc.cit. Periksa juga : J. Noorduyn, “Bima en Soembawa , Bijdragen
35

tot de Geschiedenis van de Sultanmaten Bima en Sumbawa door A.


Ligvoet en G.P. Rouffaer”, VKI 129, Foris Publications Dordrecht Holland
Providence –USA, 1987 : 95-98.

42
Bima Sebelum Islam

Mahesamurti36 dan arca Syiwamahakala.37 Dimana


kedua arca itu sekarang berada (disimpan) tidak
diketahui, meskipun menurut penjelasan F.H. Van
Naerssen bahwa pada waktu H. Holtz menjabat
sebagai civil- gezaghebber di Bima (1858) kedua arca
itu telah dibawa ke Koninklijk Bataviaasch Genootschap.38
Arca tersebut ditemukan di lahan persawahan di
kampung Salawah dan keberadaan di tempat itu diduga
karena sengaja dibuang oleh sekelompok muslim
fanatik, yang dalam kronik Bima disebut membuang
berhala, pada masa pemerintahan Sultan Abdullah.
Kedua, Desa Sila sekitar 6 pal di sebelah barat daya
kota Bima, disini ditemukan lingga yang dipergunakan
sebagai nisan kubur di halaman masjid.39 Menurut
van Naerssen, lingga sebagai nisan kubur merupakan
bukti perpaduan antara sisa-sisa pemujaan terhadap
roh nenek moyang dengan pemujaan terhadap Syiwa-

36
Arca ini digambarkan dalam posisi duduk bersila di atas padmasana,
tinggi 79,5 cm, berkepala tiga dan bertangan empat, tidak jelas apa yang
dipegangnya, tapi secara samar-samar terlihat tangan kanan belakang
memegang tasbih (aksamala) Dalam Catalogus Groenevelt diidentifikasi
sebagai arca Trimuti, tetapi F.H. van Naerssen mengidentifikasinya sebagai
arca Mahesamurti karena laksananya tidak menggambarkan ketiga aspek
dewa Trimurti (Brahma, Wisnu dan Syiwa) , tetapi ketiga kepalanya
(mukanya) menggambarkan Syiwa.
37
Arca ini digambarkan dalam posisi berdiri, tingginya 69 Cm.
38
F.H. van Naerssen, op.cit., 97.
39
Keberadaan nisan lingga itu pernah disurvai oleh Tim Peneliti dari
Pusat Penelitian Arkeologis Nasional, pada bulan Agustus tahun 1979,
dimana penulis termasuk di dalamnya sebagai anggota Tim..

43
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

lingga.40 Pendapat van Naerssen perlu dipertanyakan


dan dikaji lebih jauh karena keberadaan batu nisan
pada makam, apapun bentuknya dan wujudnya
tidak disyariatkan atau diatur dalam Islam, bahkan
dalam hadis dilarang meninggikan, menembok atau
mendirikan bangunan di atas kuburan. Batu nisan
berfungsi sebagai tanda (Jawa : tetenger) bahwa disitu
ada kuburan, meskipun keberadaan batu nisan bukan
satu-satunya atribut (ciri) bangunan makam.
Tempat ketiga yang disebut-sebut dalam sumber
tertulis sebagai tempat penemuan benda-benda
arkeologi adalah Wadu (tu) Tunti, di Kampung
Padende, Desa Doro, Kecamatan Donggo, Kabupaten
Bima. Sesuai dengan namanya Wadu Tunti yang
artinya batu tulis, disini terdapat sebuah batu bersurat
(inskripsi) dengan tulisan dan bahasa Jawa Kuno
yang bercampur dengan bahasa lokal. Meskipun batu
bersurat ini telah dilaporkan pada tahun 191041 ,
namun inskripsi itu baru bisa dibaca pada tahun 1994
oleh M.M. Soekarto Kartoatmodjo.42 Prasasti itu
dihubungkan dengan keterangan yang kita peroleh
dari Pararaton dan Nagarakertagama yang melaporkan
bahwa seorang bernama Pu Nala menaklukan

40
F.H. van Naerssen, op.cit.: 95.
41
Periksa ; Rouffaer,”Oud-Javaansche incriptie in Soembawa”, NBG ,
48, 1910 : 110-113.
42
F.H van Naersen, Op.cit.: 90-100.:

44
Bima Sebelum Islam

Dompu pada tahun 1357 M. sebagai kepala pasukan


Majapahit. Tidak jauh dari situ terdapat peninggalan
megalit, yaitu palung air yang cukup besar. Inskripsi
ini terdiri atas 10 (ada yang mengatakan 9) baris
tulisan, huruf-hurufnya hanya tiga baris (baris 4-6)
yang tidak rusak setelah berabad-abad diterpa hujan
dan panas matahari. Menurut J.G de Casparis, huruf-
hurufnya mengingatkan pada inskripsi Adityawarman
dari abad ke-14 dari Sumatera Barat atau inskripsi
Candi Sukuh dari abad ke-15.43 Inskripsi itu antara
lain memuat nama seorang tokoh (mungkin raja) yakni
Sang Aji Sapalu yang bertahta di negeri Sapalu44.
Dikatakan bahwa sang Aji Sapalu telah hilang (moksa)
setelah terjadi peperangan. Menurut M.M. Soekarto
Kartoatmodjo, apakah kematian sang Aji Sapalu
ini berkaitan dengan padompo yang disebut dalam
Pararaton masih memerlukan pengakajian lebih lanjut.
Dalam Pararaton disebutkan bahwa peristiwa Pasunda
bersamaan dengan Padompo (tunggalan padompo
pasunda). Peristiwa Pasunda terjadi pada tahun “sanga
turangga pakca wani” (1279 Saka = 1357 Masehi).
Menurut N.Y.Krom, secara paleografis inskripsi itu
diperkirakan berasal dari sekitar 1350 sampai 1400
Masehi.45

43
J.G de Casparis.op.cit : 466
44
J.G. de Casparis menghubungkan nama Sapalu dengan Desa Pali di
sudut Teluk Bima, lokasinya hanya beberapa mil dari Wadu Tunti.
45
M.M. Soekarto K. Atmodjo, op.cit.: 1-5

45
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Gambar 4. Relief Wadu Tunti Desa Padende Dusun Ncuhi Donggo


Sumber : Repro Koleksi Fahrurizki dan Alan Malingi

Selain inskripsi, pada batu yang sama terdapat


pahatan (relief) yang menurut van Naerssen46
menggambarkan empat orang tokoh bergaya wayang
dan salah satu di antaranya, yaitu tokoh yang paling
besar diduga sebagai Dewa Syiwa. Dengan bukti
tersebut van Naerssen sampai pada satu kesimpulan
bahwa sebelum berkembangnya agama Islam, antara
tahun 1350 sampai 1600 di Bima telah berkembang
agama Hindu aliran Syiwa atau Syaiwa.47 Namun
berbeda dengan van Naerssen, M.M. Soekarto
Kartoatmodjo berpendapat bahwa relief tersebut
menggambarkan seseorang yang sedang duduk
dihadapan seekor harimau yang mengingatkan

46
F.H van Naerssen, op.cit., : 90-100.
47
Loc.cit.

46
Bima Sebelum Islam

pada cerita Bhubhuksah48. Perbedaan penafsiran


itu mungkin dikarenakan relief tersebut telah aus
dimakam usia.
Dalam prasasti dinyatakan bahwa isi pokok
prasasti wadu tunti adalah perihal raja, yang bernama
sang Aji Sapalu yang bertahta di kerajaan Sapalu,
Sang Aji telah hilang rupa-rupanya setelah terjadi
peperangan (dapat ditafsir dari kata Bhalang geni
{lempar api}). Atmodjo menduga adanya kaitan antara
Sang Aji Sapalu dengan peristiwa Padompo yang
disebutkan dalam kitab Pararaton terjadi dalam tahun
1357. Agaknya kehadiran prasasti wadu tunti dan
segala aspeknya dapat dibincangkan dan ditafsirkan
kembali sejalan dengan jalan sudut pandang dan data
baru yang dapat mendukungnya. Telah dikemukakan
di bagian terdahulu pada batu tempat prasasti wadu
tunti dipahatkan terdapat relief rendah (bas releief)
empat figur manusia, bukan hanya seorang manusia
dan harimau sebagaimana yang dinyatakan oleh
Atmodjo,1994. Keempat sosok manusia itu adalah
dua orang digambarkan duduk berhadapan, figur di
sisi kanan digambarkan tengah duduk bersila dilapik
duduk (padmasana) tanpa sandaran yang dilapisi kain,
agaknya merupakan tokoh utamanya. Tangan kiri
sang tokoh utama diletakkan di pangkuannya terbuka

48
M.M. Soekarto K. Atmodjo, op.cit :1-5

47
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

ke dalam menghadap ke arah dadanya, sedangkan


tangan kanan menunjuk ke depan ke arah sosok ke dua
yang sedang berdiri dengan lutut agak tertekuk, dan
kedua tanganya menyembah ke arah figur yang tengah
duduk bersila.
Kedua figur mengenakan busana berupa kain
yang menutup dari pinggang ke bawah bagian dada
mereka terbuka, kedua figur digambarkan dengan
rambut di gelung dibelakang kepala (gelung keling),
seperti yang dikenakan oleh tokoh Dharmawangsa
(Yudhistira) dalam wayang kulit. Diantara kedua
figur melayang-layang lima benda yang bentuknya
seperti jantung pisang, tentunya menggambarkan atau
metafora sesuatu yang dibicarakan lebih lanjut dalam
riset ini. Dibelakang figur yang bersila dipadmasana,
terdapat dua figur lainnya yang menggambarnya
seperti para panakawan dalam relief cerita pada candi-
candi zaman di Majapahit di Jawa Timur. Keduanya
duduk bersila mengenakkan kain, panakawan yang
berada paling dekat dengan tokoh utama sosoknya
lebih kecil dibandingkan panakawan kedua yang
berada di belakangnya. Panakawan kedua duduk
sambil memegangi tongkat yang mengarah ke atas,
ternyata jika diperhatikan merupakan gagang panjang
dari payung yang menaungi tokoh utama, hanya saja

48
Bima Sebelum Islam

bentang payungnya tidak terlihat lagi, karena bagian


atas batu tempat relief dipahatkan telah terpenggal.
Dibagian bawah adegan dari keempat figur itu,
diantara dua orang yang berhadapan, digambarkan
seekor harimau (?) yang kupingnya mengarah kedepan
seperti tanduk sapi. Menilik tubuh hewan tersebut
sangat mungkin yang di gambarkan itu, bukan sapi
yang melainkan memang benar seekor harimau,
kakinya lebih pendek dari sapi dan juga ekornya lebih
panjang dari ekor sapi. Huruf-huruf prasasti wadu
tunti yang terdiri dari sepuluh baris, dipahatkan
di bagian belakang dari seluruh adegan tersebut,
tepatnya di bagian belakang panakawan yang sedang
gagang kayu (chattra). Menilik kedekatan prasasti
dengan relief dan dipahatkan pada batu yang sama di
duga terdapat asosiasi yang erat antara uraian prasasti
dengan pemahatan relief tersebut.
Mengenai uraian isi prasasti wadu tunti apabila
diterjemahkan kata perkata terasa sulit untuk
diartikan namun apabila dicarikan makna umumnya
dengan memperhatikan frase-frase kunci di dalam
urainya, mungkin maknanya dapat diketahui dengan
baik. Beberapa frasa kunci adalah (1) nira sang
lumiwat (kalian yang lewat), (2) balutani (warga
desa), (3) bhalang geni (melontarkan api), (4) duputan
(duput- luput = membebaskan), (5) sang Aji Sapalu

49
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

(nama tokoh), (6) hanipuh apa (menyiramkan air) (7)


panglunga pidu ri kasa (bekal pergi ke angkasa). Setelah
memahami beberapa frasa, memperhatikan konteks
zamannya, dan juga memperhatikan penggambaran
rendah pada batu yang sama dengan prasasti, dapat
kiranya dilakukan terjemahan bebas sebagai berikut :

“Wahai ketahuilah,
Kalian yang melewati (kawasan ini), (bahwa) dia yang
telah berani memerintahkan untuk menghilangkan api
dan melontarkannya sehingga meluputkan warga desa
(dari ancamanya). Dia ini yang menghilangkan (api
itu) adalah sang Aji Sapalu yang menyiramkan air
setelah kedatanganya di Sapalu. Bekal untuk pergi ke
angkasa (dialah) yang mengatur para pengikut Sang Aji
Sapalu”.

Demikianlah setelah dilakukan terjemahan bebas


terhadap uraian isi prasasti wadu tunti dapat dipahami
bahwa isinya berkenaan dengan informasi kepada
siapapun yang melewati daerah itu bahwa Sang
Aji Sapalu telah memerintahkan untuk melakukan
laku tapa (tapa = panas, api). Bahwa penduduk desa
sebenarnya masih terbelenggu oleh api (hasrat
duniwai) api tersebut dapat di buang atau dipadamkan
dengan bertapa, sebagaimana api yang siram air, dan
hal itu dapat dilakukan oleh sang Aji Sapalu sebagai
bekal untuk pergi ke angkasa (moksa bersatu dengan

50
Bima Sebelum Islam

dewa-dewa). Sang Aji Sapalu juga telah mengatur


para pengikutnya untuk mengikuti jejaknya. Sangat
mungkin dalam penggambaran relief sang Aji Sapalu
adalah figur yang sedang duduk bersila di padmasana
dan diiringi serta di payungi oleh para panakawan
di belakangnya. Di depannya sedang menghadap
tokoh lain yang menyembah kepada sang Aji Sapalu
mungin sahabatnya atau pengikunya. Adapun relief
binatang harimau di bagian bawah panil memang
benar metafora lakutapa dari dua saudara pertama
bhubuksah-gagangaking yang dikenal dalam relief-
relief cerita di beberapa candi zaman Majapahit di
Jawa Timur.
Adapun lima bentuk seperti jantung pisang yang
melayang-layang diudara di antara sang Sapalu
dan sahabatnya, sebenarnya simbol “lima permata”
ajaran yang dikenal oleh para pertapa hindu buddha
untuk menekan nafsu duniawi. Kalimat ajaran itu
harus diikuti oleh seorang untuk menjadi seorang
petapa, yaitu (1) dilarang menyakiti sesama mahluk
(ahimsha), (2) dilarang mengambil barang yang tidak
diberikan, (3) dilarang berzina, (4) dilarang berkata-
kata yang tidak benar (jangan berbohong), dan (5)
dilarang minum/makanan apapun yang memabukkan.49

49
Hadi Wijono Harun, Agama Hindu dan Budha, Jakarta, BPK,
Gunung Mulia 1982. 97

51
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Dapatlah dipahami mengapa bentuk lima jantung


pisang atau “ permata” itu melayang-layang diantara
sang Aji Sapalu dan sahabat / pengikutnya yang
tengah menyembah rupanya sang Aji Sapalu sedang
memberikan wejangan kepada sahabatnya tentang
dasar-dasar kehidupan kaum pertapa.
Tafsiran lainnya adalah bahwa lokasi tempat
prasasti wadu tunti tentunya bekas pertapaan tokoh
sang Aji Sapalu itulah. Apalagi lokasi itu berada di
puncak bukit, ditepi jurang dalam, dikelilingi puncak-
puncak pegunungan di sekitarnya, Atmodjo 1994.
Prasasti itu memang berada di wilayah desa Padende,
dusun Ncuhi Donggo yang merupakan area pedalaman
di lingkungan pegunungan Rore di utara Kota Bima
tentu saja lokasi seperti itu pada masanya merupakan
tempat yang sunyi, berhutan, jarang dilalui manusia,
sangat baik untuk menyepi melakukan pertapaan
mendekatkan diri kepada dewa-dewa. Untuk keperluan
para pertapa akan air, di dekat prasasti wadu tunti
masih ditemukan palungan batu besar yang jelas
sebagai tempat untuk menampung air. Tafsiran-
tafsiran tersebut dapat membantu sementara perihal
kehadiran prasasti wadu tunti dan penggambaran
reliefnya, sebelum mendapatkan data yang lebih baru
dan lebih jelas. Hal yang menarik adalah tentang
tokoh sang Aji Sapalu yang disebutkan dalam prasasti

52
Bima Sebelum Islam

wadu tunti, mengenai tokoh tersebut memang tidak


pernah disebutkan dalam sumber tertulis manapun.
Dari tinggalan arkeolgi di atas, Rouffaer
berkesimpulan bahwa diberbagai tempat di daerah
Bima-Dompu yang luasnya sekitar separuh Pulau
Sumbawa, masih ada peninggalan agama Syiwa yang
jelas berasal dari Jawa dan yang mungkin datang
kesitu sedikitnya dua abad sebelum keruntuhan
Majapahit. Bahkan barangkali sejaman dengan
pendirian Majapahit. Ditambahkan pula oleh Rouffaer
bahwa dia sudah yakin perpindahan (migrasi) orang
Jawa pertama kali ke Pulau Sumbawa, daerah Dompu
dan Teluk Cempi di pantai selatan lebih patut
diperhatikan dari pada daerah Bima di Barat-Timur
Teluk Bima di pantai utara. Rouffaer menulis “pada
hemat saya Dompo lebih tua dari pada Bima”.50
Tempat yang keempat yang disebut sebagai lokasi
penemuan benda-benda purbakala adalah Batu Pahat
(Watu Paa). Situs ini terletak di tepi pantai Teluk
Bima, sekitar dua jam dengan motor tempel ke arah
utara dari pelabuhan Bima. Secara administratif, Watu
Pahat termasuk wilayah Desa Kananta, Kecamatan
Donggo, Kabupaten Bima. Yang menarik disini
ialah keberadaan sejumlah artefak arkeologi yang
berlatar belakang agama Hindu (Lingga, Arca Ganesa
50
Rouffaer, op.cit, 1910 : 112-113.

53
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

dan Agastya) berdampingan dengan artefak yang


bernafaskan agama Budha seperti stupa dan arca
Budha.51 Artefak-artefak itu dipahat pada ceruk batu
karang berbentuk relief tinggi (hout relief). Dinding
batuan itu merupakan bagian perbukitan yang disebut
Doro Lembo, terletak pada 2 lokasi berjarak sekitar
200 meter arah utara-selatan. Dipahat pada 12 panel
yang menggambarkan stupa dan chattra di atasnya,
lapik segi empat, budha duduk di atas padmasana
dengan sikap tangan kanan bhumisparsamudra,
makhluk gana yang digambarkan menyangga
sesuatu, sosok tokoh yang digambarkan duduk bersila
sedangkan tokoh yang digambarkan berdiri tangan
kiri memegang kamandalu (kendi)52.
Kehadiran artefak-artefak arkeologi yang
memiliki latar belakang agama yang berbeda dalam
satu kesatuan ruang mengundang pertanyaan apakah
hal itu merupakan/gambaran sinkritisme agama
di masa lampau. Untuk menjawab pertanyaan itu
diperlukan penelitian yang lebih mendalam sebab ada

51
Endang Sh. Soekatno, “Watu Paa. Sebuah Pemujaan di Tepi Pantai
“, Saraswati, Esai-esai Arkeologi, Kalpataru, Majalah Arkeologi NO; 9, 1990 :
206-213.
52
Bambang Budi Utomo, Kalimantan Barat Dan Sumbawa
Dalam Perspektif Arkeologi Dan Sejarah. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional, Badan Pengembangan Sumber Daya
Kebudayaan Dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,
2007.

54
Bima Sebelum Islam

juga kemungkinannya bahwa situs Wa (ba) tu Pahat


dipergunakan sebagai tempat pemujaan oleh dua
kelompok masyarakat penganut agama, yaitu agama
Hindu dan Budha pada kurun waktu yang berbeda
sehingga sinkritisme agama tidak pernah terjadi. Jika
demikian halnya maka pertanyaannya adalah yang
mana diantara kedua agama itu berkembang lebih
awal. Jika hal itu dikaitkan dengan situasi dan kondisi
di Bali dan Lombok, dua pulau lain yang terletak di
sebelah barat pulau Sumbawa, diduga agama Budha
berkembang lebih awal. Di Lombok diperkirakan
agama Budha Mahayana telah berkembang pada masa
Borobudur sekitar abad ke-8 atau 9 Masehi. Dugaan
itu didasarkan pada temuan empat arca Budha dari
perunggu bergaya Candi Borobudur pada tahun 1960
di Lombok Timur. Demikian juga di Bali, agama
Budha diperkirakan sudah dianut sejak abad ke-8,
didasarkan pada penemuan stupa-stupa tanah liat yang
didalamnya terdapat meterai-meterai yang bertuliskan
mantera-mantera agama Budha. Isi mantra-mantra
yang tertulis pada materei-materei itu sama dengan
mantera-mantera yang dipahatkan pada candi Kalasan
yang berasal dari tahun 778 Masehi. Apakah keadaan
serupa berlaku juga di pulau Sumbawa, khususnya
Bima menarik untuk dikaji lebih jauh.

55
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Selain relief-relief arca sebagaimana telah di


paparkan di atas, di situs Watu Pahat terdapat dua
baris inskripsi Jawa Kuno (Palawa) yang dipahat pada
salah satu ceruknya yang hingga sekarang belum
dapat dibaca. Selain ada retakan-retakan pada batunya
juga ada coretan cat yang sangat mengganggu. Tetapi
menurut almarhum Prof. Buchari secara paleografis
inskripsi itu diperkirakan dari abad ke-6 atau ke-7
Masehi. Sebaliknya menurut J.G De Casparis secara
paleografis inskripsi tersebut mengingatkan pada
prasasti kedudukan Bukit dari tahun 682 M, bahkan
ada beberapa huruf misalnya huruf sa menunjukkan
ciri yang lebih muda, seperti yang dikenal dalam
prasasti lempeng tembaga Renek dari tahun 1379 M.53
Karena inskripsi ini belum bisa dibaca maka belum
diketahui isinya, pada hal ada kemungkinan isinya
dapat menjelaskan keberadaan relief-relief Budha
dan stupa, yang ditempatkan berdampingan dengan
relief-relief Ganesa dan Agastya. Pertanggalan
inskripsi tersebut mungkin satu-satunya petunjuk
yang dapat dipergunakan sebagai patokan untuk
menentukan umur situs Batu Pahat. Petunjuk, lain
yang dapat dikemukakan adalah data toponim, yaitu
nama kampung yang letaknya berdekatan (paling
dekat) dengan situs Watu Pahat, yaitu kampung Sowa.

53
J.G de Casparis, op.cit : 467-468.

56
Bima Sebelum Islam

Menurut Soekmono,54 nama Sowa mungkin dapat


dihubungkan dengan nama Suwal yang disebut dalam
prasasti Blanjong-Sanur dari tahun 913 M. yang
dikeluarkan oleh raja Kesari Warmadewa. Jika tafsiran
itu dapat dibenarkan maka ada kemungkinan raja
Kesari Warmadewa telah mengembangkan kekuasaan
dan pengaruhnya sampai di Lombok dan Sumbawa,
sebab dalam prasasti Blanjong-Sanur disebutkan
bahwa Sri Kesari Warmadewa telah mengalahkan
musuh-musuhnya di Gurun dan Suwal. Jika demikian
halnya maka pengaruh Hindu yang berkembang
di daerah Bima dan sekitarnya tidak hanya berasal
atau dibawa dari Jawa seperti yang diperkirakan
sebelumnya, tapi juga datang atau dibawa dari Bali
mengingat pulau Sumbawa berada dalam satu kawasan
yang saling berdekatan.
Adanya hubungan antara pulau Sumbawa
(Sambhawa) dengan pulau Bali disebutkan juga dalam
sumber sastra, antara lain Kidung Pamancangah.
Dalam kidung ini disebutkan bahwa Pasung Girih,
raja Bedahulu (Bedulu) mengirimkan ekspedisi ke
Sambhawa (Sumbawa) yang pada waktu itu diperintah
oleh Dedela-natha. Bahkan dibagian lain dari Kidung

54
Pendapat Soekmono dikutif oleh Endang Sh, Soekatno, dalam
artikelnya berjudul, “ Watu Paa, Sebuah Pemujaan di Tepi Pantai “, dalam :
Saraswati, Esai-Esai Arkeologi, Kalpataru Majalah Arkeologi , No: 9, Th. 1990
: 211. “

57
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Pamancangah menyebutkan bahwa Sukanya, cucu


perempuan Mpu Kapakisan, seorang Brahmana dari
Kadiri (Jawa) kawin dengan seseorang yang berasal
dari Sambhawa55. Sumber lain menyebutkan bahwa
ketika Raja Batu Renggong memerintah di kerajaan
Gelgel dengan ibukotanya Samprangan (Gianyar)
pulau Bali tidak lagi menjadi kekuasaan raja Jawa
(Majapahit) tetapi sudah menjadi kerajaan yang berdiri
sendiri. Batu Renggong tidak hanya memerintah
seluruh Bali, tetapi sampai di Sasak (Lombok),
Sumbawa serta seluruh Balambangan sampai Puger
(Lumanjang).56 Apakah Sambhawa identik dengan
pulau Sumbawa yang tentunya termasuk di dalamnya
Bima, ataukah yang dimaksud hanya Sumbawa bagian
barat (sekarang: Kabupaten Sumbawa Besar dan
Kabupaten Sumbawa Barat) masih bisa dipersoalkan.
Selain sumber-sumber tertulis dan bukti-bukti
arkeologi sebagimana dipaparkan di atas, keberadaan
pengaruh Hindu di Bima mendapat dukungan dari
data toponim. Nama “Bima” sendiri adalah kata
impor dari bahasa Jawa Kuno “ Bhima”, yakni nama
pahlawan besar dalam epos Mahabarata. Dalam
bahasa lokal (bahasa Bima) disebut Mbojo (dari kata

55
F.H van Naerssen, op. cit. : 94.
56
E. Utrecht, Sejarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok
(Percobaan Sebuah Studi Hukum Internasional Regional di Indonesia). Sumur
Bandung, 1962 :89.

58
Bima Sebelum Islam

babuju) sedangkan orang Bima disebut Dou Mbojo. Ada


sejumlah toponim atau nama di Kabupaten Bima yang
mengindikasikan pengaruh Hindu misalnya kata atau
nama : bumi ncandi, bata ncandi, sila dan mahameru. Bata
Ncandi adalah nama istana Batara Mitra Indra Rata,
Sila (selo = batu) nama kota kecamatan, sedangkan
“Mahameru”, adalah nama gunung di dekat kota
Kecamatan Wera
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa pengaruh budaya Hindu di pulau Sumbawa
dibawa dari Jawa dan Bali, baik melalui jalur politik,
dagang atau dibawa oleh para pendeta (Brahmana).
Kalau F. H. Van Naerssen memperkirakan masa
awal berkembangnya budaya Hindu di Bima dan
sekitarnya sejak pertengahan abad ke-14, namun
melalui pertanggalan relatif inskripsi Watu Pahat,
maka kurun waktu itu dapat ditarik, sekitar 5 atau 6
abad ke belakang, yaitu sekitar abad ke-8 atau abad
ke-9 Masehi. Selain itu kehadiran tinggalan arkeologis
disitus Watu Pahat yang lokasinya di pantai utara
(Teluk Bima) menggugurkan kesimpulan atau
pernyataan Rouffaer di atas yang menyatakan bahwa
Dompu lebih tua dari Bima57. Dengan keberadaan
tinggalan arkeologis di Watu Pahat ini justru
sebaliknya “Bimalah yang lebih tua dari Dompu”.

57
Lihat catatan kaki No :44.

59
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Mungkin Bima (Watu Pahat) yang pertama dikunjungi


para pelaut dari Jawa mengingat lokasinya di tepi
pantai sedangkan Dompu agak jauh dari pantai.
Dalam Bo kerajaan Bima disebutkan bahwa
hubungan Bima dengan pulau Jawa telah berkembang
sejak abad ke-10, pada waktu itu raja Batara Mitra
pergi ke Jawa dan disana kawin dan mendapatkan
anak yang kemudian diberi nama Manggampo Jawa.
Berdasarkan data atau bukti arkeologi seperti yang
dipaparkan di atas mungkin saja informasi yang
disebutkan dalam Bo kerajaan itu mengandung
kebenaran. Nampaknya hubungan itu berlangsung
terus, baik secara politik, ekonomi maupun budaya
sampai masa Majapahit, bahkan dilanjutkan pada masa
Islam dan Kolonial, mengingat posisi Bima sebagai
bandar yang strategis di jalur pelayaran-perdagangan
rempah dari Malaka ke Maluku atau sebaliknya.
Demikian juga dengan komoditas andalannya seperti
kayu sappan, kuda dan budak.

60
Bab III
Bima sebagai Pusat
Penyebaran Islam

61
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

A. Kondisi Umum Masyarakat Bima Pra


Masuknya Islam
Jauh sebelum Belanda datang ke perairan
Nusantara, telah berdiri kerajaan-kerajaan besar di
wilayah Nusantara tidak hanya di pulau Jawa di luar
Jawa pun banyak terdapat kerajaan-kerajaan yang
berdiri tegak memimpin daerahnya masing-masing.
Mereka memegang teguh dan menjalankan berbagai
aspek kemasyarakatan dari mulai tradisi/adat istiadat,
penggunaan bahasa, pandangan-pandangan kultural
dan peraturan hidup bermasyarakat. Kekuasaan di
bawah sistem kerajaan merupakan pusat kendali
peradaban masyarakat Nusantara pada masa itu.
Salah satu kerajaan di luar Jawa adalah Kerajaan
Bima yang terletak di bagian Timur Pulau Sumbawa
di Provinsi Nusa Tenggara Barat sekarang. Kerajaan
Bima telah berdiri sejak abad ke 14 dengan nama
“Dana Mbojo” (Tanah Bima) diperintah oleh seorang
Raja dan berlanjut secara turun temurun sampai
dengan abad ke 20, dengan dihapusnya daerah
Swapraja di seluruh Indonesia dengan Undang-
Undang NO. V tahun 1957. Secara tidak langsung
hukum adat pun menjadi tidak terpakai. Tinggal adat
istiadat dan tradisi kebiasaan serta petuah-petuah yang
masih dilaksanakan dimana diperlukan.

62
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

1. Keadaan politik
Dibandingkan dengan daerah-daerah lain
di Indonesia, baik di Pulau Jawa maupun Pulau
Sumatera, maka Bima termasuk daerah yang terlambat
menerima pengaruh Islam. Di Sumatera, misalnya,
sudah mendapat pengaruh Islam pada sekitar abad 6-7
M, sedangkan Bima baru mendapat pengaruh Islam
pada sekitar abad 17 M. Kedatangan Islam di beberapa
daerah di Indonesia tidaklah bersamaan. Kerajaan-
kerajaan dan daerah-daerah yang didatangi Islam
pun mempunyai satuan politik dan sosial budaya serta
kepercayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, sebelum
membicarakan tentang faktor-faktor yang mendorong
masuknya Islam ke Bima, maka akan diketengahkan
dahulu tentang situasi politik yang berhubungan
dengan Kerajaan Bima menjelang masuknya Islam.
Keadaan politik tersebut dapat dibagi menjadi dua
keadaan, yaitu keadaan politik luar dan (luar negeri)
dan keadaan politik dalam istana itu sendiri (politik
dalam negeri).
Yang dimaksud dengan situasi di luar Kerajaan
Bima di sini, terutama situasi politik perdagangan dan
pelayaran di lingkungan Kerajaan Gowa/Makassar
pada sekitar abad XV M. Sebab Kerajaan Gowa dapat
diduga sebagai sumber atau asal agama Islam yang
masuk Bima. Jauh sebelum pelayaran orang-orang

63
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

asing ke Makassar, orang-orang Bugis Makassar


sudah lama terkenal sebagai pedagang rempah-rempah
yang mereka ambil dari kepulauan Maluku. Orang-
orang Portugis yang menaklukkan Malaka pada
sekitar tahun 1511 M, dan hendak menguasai jalur
perdagangan rempah-rempah yang dibawa oleh orang-
orang Bugis-Makassar dari Maluku yang diangkut
dengan menggunakan alat angkut laut melalui Bandar
Somba Opu.
Pada tahun 1538 M Portugis sampai ke Bandar
Somba Opu, dan berhasil mengadakan hubungan
dengan raja Gowa dengan bermaksud untuk
berdagang rempah-rempah. Persaingan dalam
perdagangan rempah-rempah ini semakin meningkat,
sebab pada sekitar tahun 1600 M Makassar
merupakan bandar penting di Indonesia bagian timur
yang mempunyai hubungan erat dengan pulau-pulau
di Maluku1. Dan pada waktu itu orang-orang Portugis
sudah menguasai pulau-pulau di Maluku seperti
Ternate, Tidore, Ambon, dan lain-lain. Pada abad XVI
M bandar Makassar Somba Opu menjadi kota dagang
dan terpenting dalam perdagangan rempah-rempah.
Sejak itulah orang-orang Belanda mulai tertarik pula
dengan Bandar Somba Opu dan sekitar tahun 1601

1
Soeroto, Indonesia di Tengah-Tengah Dunia dari Abad Ke Abad, Jilid
III (Jakarta : Djembatan, 1965), 202

64
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

mereka berhasil mengadakan hubungan dengan Raja


Gowa.
Orang-orang Belanda sangat agresif sekali
untuk memonopoli perdagangan dan menganggap
Kerajaan Gowa sebagai penghalang. Karena pada
waktu itu orang-orang Belanda berusaha untuk
menjalankan monopoli perdagangan di bagian
timur. Mereka menganggap orang-orang Makassar
dan Gowa sebagai penghalang dan saingan berat.
Bahkan orang-orang Belanda menganggap Kerajaan
Gowa sebagai musuh yang berbahaya2. Sehubungan
dengan itu, Sultan Gowa mengambil langkah-langkah
positif untuk menghadapi kemungkinan terjadinya
peperangan dengan Belanda, baik di laut mapun di
daratan. Baginda berusaha keras memperluas daerah
kekuasaan dan pengaruhnya sampai ke luar Sulawesi
dengan cara mengembangkan agama Islam. Kemudian
Sultan Alauddin mengirim surat ke penguasa Kerajan
Bima untuk tidak mempercayai Belanda karena
merupakan musuh.3

2
Sagimun MD, Sultan Salahuddin Melawan VOC (Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), 72
3
Bunyi suratnya sebagaimana yang tercatat di dalam Bo “Bahwa
inilah warkat yang tulus ikhlas yang terbit dari hati yang hening jernih,
yang ditujukan kepada adinda raja yang mempunyai tahta atas tanah Bima,
dengan segenap daerah taklukannya. Kakanda memperingatkan adinda
supaya jangan mempercayai orang-orang Belanda. Dan perjanjian adinda
dengan orang-orang Belanda mendatangkan perpisahan dan permusuhan

65
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Rupanya waktu itu penguasa Kerajaan Bima, yaitu


raja yang bergelar Ruma Mantau Asi (Raja XXI)
melanggar perjanjian yang sudah disepakati dengan
Kerajaan Gowa sebagai kerajaan yang berserikat,
untuk tidak mengadakan hubungan/kerjasama dengan
Belanda, maka Sultan Gowa Alauddin mengirim
panglima perang yang bernama La Mandalle sehingga
Bima pada tahun 1616 menjadi kekuasaan Gowa,
bahkan dua tahun berikutnya seluruh Pulau Sumbawa
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa.
Bahkan pada tahun 1640 Pulau Lombok pun
berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa.
Selain didorong untuk menyebarkan pengaruh Islam
ke Bima, Sumbawa, dan Lombok pada waktu itu,
Kerajaan Gowa juga tertarik dengan hasil-hasil bumi
daerah tersebut, Sumbawa dan Lombok itu dikenal
sebagai penghasil beras yang cukup. Selain dikenal
dengan penghasilan beras, juga Bima dan Sumbawa
waktu itu sebagai pengekspor kuda bahkan sampai
sekarang. Pedagang-pedagang yang datang waktu itu
bukan saja dari dalam negeri, bahkan dari luar negeri.

dengan kerajaan-kerajaan berserikat. Sahdan karena itu apabila adinda


masih memerlukan keterangan tentang isi surat ini, dapatlah adinda
berbicara dengan panglima perang yang membawa surat ini. Demikian
kiranya adinda maklum. Tertulis di kota Mangkasara dalam benteng
Somba Opu pada 11 hari bulan Muharram sanat 1025 dan dibubuhi tanda
dengan cap kebesaran oleh I’ Manga’ Rangi Daeng Man’ Ra ia bergelar
Sultan Ala’uddin”.

66
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Pada saat menjelang masuknya Islam ke Bima,


terjadi kekacauan dalam istana Kerajaan Bima, akibat
Raja Salisi yang bergelar Ruma Ta Mantau Asi Peka
menggantikan Raja Sawo. Dewan Hadat sebagai badan
pelaksana pemerintahan yang diketuai oleh Ruma
Bicara Amalimandai memutuskan untuk mengangkat
Jena Teke yang bergelar Mambora di Mpori Wera
untuk mengganti Raja Sawo. Jena Teke putra mahkota,
yaitu putra dari Raja Samara. Raja Samara adalah
saudara Raja Sawo yang bergelar Ruma Ma Ntau Asi
Sawo dan Raja Salisi.
Untuk mencapai tujuannya, Raja Salisi membujuk
Ompu la Babuju untuk menikam Ruma Bicara
Amalimandai (Ketua Dewan Hadat) yang akhirnya
menemui ajalnya. Setelah Amalimandai meninggal
dunia, jabatan ketua Dewan Hadat untuk sementara
lowong, dan tidak pernah diangkat lagi seorang Ruma
Bicara. Jabatan ketua Dewan Hadat ini dipegang oleh
Bumi Luma Rasa Na’e (penguasa wilayah bagian timur
teluk Bima) yang memihak kepada Raja Salisi. Dengan
terbunuhnya Amalimandai sebagai Ruma Bicara, maka
sasaran Raja Salisi berikutnya ialah putra mahkota
(Jena Teke) yang merupakan penghalang bagi Raja
Salisi dalam usaha menguasai Kerajaan Bima. Raja
Salisi dengan siasat jahatnya memerintahkan kepada
Bumi Luma Rasa Na’e sebagai Ketua Dewan Hadat

67
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

yang diangkat sendiri oleh dia untuk melakukan


pencarian Jena Teke di Mpori Wera (rumput Wera).
Pada saat berlangsungnya pencarian tersebut, Jena
Teke berada di dalam padang rumput yang luas. Maka
dibakarlah padang rumput itu. Jena Teke tidak sempat
menyelamatkan diri dan mati terbakar.4 Peristiwa ini
dicatat dalam “BO”:
Setelah Jena Teke wafat, ia digelari Ruma ta
Mambora di Mpori Wera (Raja yang hilang di padang
rumput). Raja Salisi berhasil menyingkirkan putera
mahkota (Jena Teke), tetapi hal itu bukan jaminan
bahwa kedudukannya telah aman karena putera
mahkota yang meninggal itu mempunyai adik bernama
La Ka’i, sebagai pewaris mahkota Kerajaan Bima.
Sesuai dengan keputusan Dewan Hadat, jika Jena Teke
meninggal dunia atau karena sesuatu hal tidak bisa
menjalankan tugas, maka tahta Kerajaan diserahkan
kepada La Ka’i dengan gelar Ruma Ta Mabata Wadu
Putera Raja Sawo yang diganti oleh Raja Salisi. Oleh
karena itu, La Ka’i merupakan musuh dalam selimut
bagi Raja Salisi dalam menguasai Kerajaan. Maka Raja
Salisi merencanakan lagi pembunuhan terhadap La
Ka’i, tetapi informasi rencana pembunuhan tercium

4
Peristiwa ini dicatat dalam “BO”: “Maka didengarlah oleh tuan kita
yang empunya Asi Peka, disuruhlah Bumi Luma akan membawa perburuan
di Mpori Wera itu, maka disuruhlah sekalian orang banyak itu, maka
dibakar rumput itu, maka hilanglah tuan kita pada ketika itu”.

68
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

oleh kelompok yang memihak terhadap putra mahkota


La Ka’i.
Untuk pengamanan La Ka’i, oleh La Mbila Manuru
Bata putra dari Amalimandai (bekas Ketua Dewan
Hadat yang terbunuh masa Raja Salisi) disembunyikan
di Desa Teke. Penyembunyian tersebut tercium oleh
Raja Salisi dan atas inisiatif Bumi Paraka, La Ka’i
bersama pengikutnya dipindahkan ke Desa Kalodu
wilayah Selatan Bima, dan tinggal di sana untuk
beberapa waktu. Sebagai bukti tanda kesetiakawan
dan solidaritas ketiga anak raja tersebut, yaitu La
Ka’i, Manuru Suntu, dan Lambila Manuru Bata,
bersumpah untuk tetap senasib dan sepenanggungan
dengan tekad yang bulat untuk merebut kembali tahta
Kerajaan yang telah dirampas dengan siasat licik oleh
Raja Salisi. Sumpah ini dalam “BO” Bima disebut
Hi’i ro Ra’a (bahasa Bima). Hi’i artinya daging, Ra’a
artinya darah (sumpah darah daging).
Di saat terjadinya kemelut dan pertentangan
dalam istana Kerajaan Bima itulah perahu layar dari
Gowa tiba di Pelabuhan Sape Bima (Pantai Timur
Bima) tahun 1028 H. Mereka itu terdiri dari orang-
orang Luwu, Makassar, Tallo, dan Bone yang datang
untuk menjajakan barang dagangan mereka dan
menyebarkan agama Islam. Di Sape waktu itu yang
sedang berkuasa ialah Bumi Jara yang mempunyai

69
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

hubungan darah dengan Bone. Para pedagang (yang


juga mubaligh) tadi segera menghadap Bumi Jara,
dan menyampaikan sepucuk surat dari sepupunya
di Bone bernama Daeng Malaba. Isi surat tersebut
memberitahukan masuknya Islam ke Kerajaan Gowa,
Bone, Tallo, dan Luwu, serta seruan dan ajakan agar
“Ruma Bumi Jara” masuk Islam.
Kedatangan para pedagang-mubaligh dari Gowa
dengan perahu layar yang berlabuh di Sape tersiar luas
dan sampai pula ke Kalodu, di mana La Ka’i bersama-
sama pengikutnya bersembunyi. Kemudian La Ka’i, La
Mbila, dan Ruma Manuru Suntu, bermusyawarah di
Kalodu untuk menemui Ruma Bumi Jara sebagai yang
tertua. Di Sape mereka bertemu dengan Ruma Bumi
Jara, juga bertemu dengan pedagang-mubaligh dari
Gowa. Tentang siapa nama mubaligh tersebut belum
diketahui, sebab dalam catatan “BO” tidak disebutkan
namanya, hanya disebutkan status mereka, yaitu
sebagai pedagang. Nampaknya, La Ka’i sangat tertarik
untuk mempelajarinya. Bersama-sama dengan Bumi
Jara mereka belajar Islam.

2. Keadaan Sosial
Penduduk Indonesia terdiri dari beraneka ragam
suku bangsa. Masing-masing suku mempunyai
organisasi pemerintahan dan struktur sosial budaya
yang berbeda-beda. Masyarakat yang hidup dan

70
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

bertempat tinggal di pedalaman belum banyak


mengalami percampuran dengan bangsa dan budaya
dari luar. Berarti struktur sosial budayanya lebih murni
dibandingkan dengan masyarakat yang bermukim di
daerah pantai. Mereka yang tinggal di daerah pantai,
terutama di daerah pesisir menunjukan ciri-ciri sosial
budaya yang kompleks. Hal ini disebabkan karena
adanya percampuran dengan masyarakat dan budaya
dari luar.
Demikian pula kaitannya dengan organisasi
pemerintahan dan struktur sosial budaya dalam
masyarakat Bima menjelang masuknya Islam. Pada
waktu itu, masyarakat Bima dipimpin oleh kepala-
kepala suku yang disebut Ncuhi. Yang menjadi kepala
suku ini adalah orang-orang yang diangap paling
memiliki kemampuan dan wibawa daripada yang
lainnya. Masing-masing Ncuhi mempunyai wilayah
kekuasaan. Wilayah-wilayah para Ncuhi masing-
masing dipimpin oleh Ncuhi Banggapupa memegang
wilayah Bima Timur, Ncuhi Dorowuni memegang
wilayah Bima Utara, Ncuhi Parewa memegang
wilayah Bima Selatan, Ncuhi Bolo memegang wilayah
Bima Barat serta Ncuhi Dara memegang wilayah Bima
Tengah, yang bertindak selaku pemimpin para Ncuhi
yang ada.

71
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara


damai, saling hormat menghormati dan selalu
mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu
yang menyangkut kepentingan bersama. Dari kelima
Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin
dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-
masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh
seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut
legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh
masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah
Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang
putra yaitu Darmawangsa, Sang Bima, Sang Arjuna,
Sang Kula serta Sang Dewa. Salah seorang dari lima
bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur
dan mendarat di sebuah pulau kecil di sebelah barat
Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang
Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam
satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima
sebagai raja pertama bergelar Sangaji (Raja).

3. Kepercayaan Masyarakat
Bima sudah didiami oleh penduduk jauh sebelum
masa Ncuhi dengan ditemukannya benda-benda
peninggalan pra sejarah itu dapat berbentuk alat-alat
dari batu, tempat-tempat pemujaan, peninggalan-
peninggalan, kuburan-kuburan, purba dan lain-lain.
Misalnya di pegunungan Doro Nocu Kecamatan Sape

72
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Bima dan di Tolo Donggo Bima lokasi pemujaan dan


kuburan pra sejarah yang terdiri dari batu. Tempat
pemujaan itu dalam istilah arkeologi disebut dolmen.
Dan fungsi dari dolmen ini pada masa pra sejarah
digunakan sebagai meja. Di meja inilah mereka
meletakkan sesajian-sesajian, dan mereka melakukan
pemujaan bersama-sama, sehingga dianggap tempat
pemujaan. Selain beberapa tempat pemujaan roh
nenek moyang dan beberapa dolmen, juga ada yang
berbentuk batu berundak-undak. Menurut sumber
tradisi dalam masyarakat Bima bahwa dahulu ada
istana wadu nteli (bahasa Bima; wadu artinya batu, nteli
artinya tersusun; wadu nteli sebagai tempat pemujaan
sajian dan pemujaan roh nenek moyang). Fungsi dari
wadu nteli (batu berundak-undak) dapat diketahui
dari tulisan Nugroho yang menyatakan: “Punden
berundak-undak merupakan tempat pemujaan.
Biasanya pada punden berundak-undak juga didirikan
menhir. Bangunan ini artinya merupakan susunan
batu yang berundak-undak”.
Dalam pemakaman mayatnya orang-orang
dahulu mempunyai cara-cara tersendiri. Sebelum
mayat dimasukkan ke dalam liang lahatnya, mayat
tersebut diikat terlebih dahulu tangan sampai kepala,
sebelum dimasukkan ke dalam liang lahat yang sudah
disediakan yang terdiri dari batu-batu bersama-

73
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

sama harta miliknya, seperti tombak, senjata tajam,


kemudian ditutupi dengan batu yang melebar. Lokasi
ini dapat dilihat dari pegunungan Doro Nocu Sape
(dekat Samudera Hindia) dan di Doro Donggo (Doro
artinya gunung).
Dari cara mereka menguburkan mayat terlihat
bahwa pada masa itu orang-orang sudah mempunyai
anggapan tertentu mengenai kematian dan mengenai
apa yang terjadi setelah kematian. Kalau diperhatikan
benda-benda yang dimakamkan bersama mayat-
mayat itu, maka timbul pertanyaan, untuk apa benda-
benda tersebut? Dan apa kegunaan benda-benda
tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita
dapat memahami dari tulisan Notosusanto sebagai
disebutkan bahwa “Dalam kuburan-kuburan tersebut
terdapat bekal kubur, yaitu benda-benda yang
dibawakan kepada si mayit waktu ia diturunkan ke
kubur. Bekal itu dimasukkan sebagai bekal selama
perjalanan menuju alam “sana”, dan juga untuk bekal
selama masa-masa permulaan berada di alam “sana”.
Dari sini dapat diketahui bahwa adanya
kepercayaan orang-orang zaman pra sejarah terhadap
benda-benda (senjata tajam, tombak) dapat menolong
si mayat dalam alam kuburan. Dan adanya bangunan-
bangunan yang bersifat megalit, baik yang berupa
wadu nteli (batu berundak) maupun lokasi penguburan

74
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

dan meja pemujaan, diperoleh kesan bahwa masyarakat


Bima pada masa itu mempercayai bahwa pemujaan
ruh nenek moyang mempunyai tempat penting dalam
kehidupan rohani mereka. Bangunan pra sejarah, juga
letak atau lokasi tersebut kebanyakan terdapat di
puncak gunung, seperti Doro Nocu di Kecamatan Sape
atau di lereng gunung, seperti pegunungan Donggo
dan tempat-tempat lain yang lebih tinggi dari dataran
sekitarnya. Ini memberikan kesan bahwa masyarakat
Bima pada waktu itu beranggapan bahwa tempat
roh-roh adalah di suatu tempat yang tinggi. Oleh
karena itu, gunung-gunung waktu itu pada umumnya
dianggap keramat.
Jadi, pada zaman pra sejarah kepercayaan
masyarakat Bima sama saja dengan kepercayaan
bangsa Indonesia lainnya waktu itu. Pada waktu itu
masyarakat Bima menyebut agama mereka dengan
“parafu” yang dipimpin oleh Ncuhi. Kedudukan Ncuhi
di samping sebagai pemuka dan pemimpin mereka
dalam kehidupan sehari-hari, juga menjadi pimpinan
agama dan dukun. Maka zaman tersebut dikenal dalam
masyarakat Bima sebagai zaman Ncuhi Ro Naka. Kapan
zaman Ncuhi itu berakhir, tidak dapat ditetapkan
secara pasti, tetapi dapat diduga bahwa kemungkinan
berakhir pada sekitar abad XIV M. Sebab pada saat
itu sudah ada bukti tertulis. Bima mulai disebut

75
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

sebagai salah satu daerah yang ditaklukan oleh


Majapahit (Gajah Mada) dalam rangka merealisasikan
sumpahnya yang terkenal dengan “Sumpah Palapa”.
Sesungguhnya kalau kita merujuk pada bukti
sejarah bahwa sejak pertengahan abad XIV Bima
sudah dimasuki pengaruh Hindu. Masyarakat pun
menganut kepercayaan Hindu. Peninggalan tersebut
sekalipun sedikit, namun cukup memberikan bukti
bahwa masyarakat Bima pernah dimasuki pengaruh
Hindu. Di antara situs-situs yang bersifat Hindu
ialah sebagai berikut: Pertama, Situs wadu pa’a
(bahasa Bima), wadu artinya batu, pa’a artinya pahat,
yang terletak di sebelah barat mulut teluk Bima.
Situs ini merupakan sejenis kuil Hindu yang masih
dalam keadaan cukup baik, meskipun patung atau
lingganya sudah hilang dan permukaan situs tersebut
suka ditutupi dengan coretan-coretan oleh para
pengunjung. Tempat tersebut masih dianggap keramat
dan sering diziarahi serta menjadi bahan cerita atau
dongeng oleh orang-orang tua. Kedua, Wadu tunti
(bahasa Bima) yang artinya batu tertulis, yang terletak
di dekat kampung Padende. Batu tersebut sudah
diperiksa oleh G.P. Rouffaer pada tahun 1910 sebagai
tulisan Kawi, tetapi selama ini belum terbaca. Setengah
informasi dalam “BO” bahwa di antara isi tulisan ialah
Raja Sapalu sebagai raja Hindu yang terakhir. Ketiga,

76
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Sebuah Lingga di halaman Masjid Sila Bima. Lingga


tersebut dipakai sebagai batu lisan sebuah kuburan
Islam, yang diketemukan sewaktu perluasan Masjid
al-Imam tahun 1976. Setelah diteliti ternyata lingga
tersebut panjangnya 1,5 m, lebar 50 cm banyaknya
dua buah. Keempat, Batu berukir corak Hindu yang
terletak di muka halaman SDN VIII Sila Bima.
Dari bukti-bukti yang disebut di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa kepercayaan masyarakat Bima
sebelum datangnya pengaruh Islam adalah Hindu.
Dari bukti-bukti itu pula memberikan kesan pada
kita bahwa alat-alat itu pernah dipakai oleh mereka
dalam pemujaan-pemujaan terhadap raja. Demikian
pula mengenai kepercayaan masyarakat Bima sebelum
Hindu bersifat animisme dan dinamisme. Hal ini dapat
diketahui dengan beberapa contoh dari peninggalan
mereka yang sudah diterangkan di atas.

B. Masuk dan Berkembangnya Islam di


Bima
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam
di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara
dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah,
terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan
teori Persia.

77
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Pertama, Teori Gujarat. Teori berpendapat bahwa


agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan
pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India.
Dasar dari teori ini adalah: Kurangnya fakta yang
menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran
Islam di Indonesia. Hubungan dagang Indonesia
dengan India telah lama melalui jalur Indonesia-
Cambay-Timur Tengah-Eropa. Adanya batu nisan
Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun
1297 yang bercorak khas Gujarat. Pendukung teori
Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim
dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung
teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada
saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya
kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari
keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang
pernah singgah di Perlak (Perureula) tahun 1292. Ia
menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk
yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari
India yang menyebarkan ajaran Islam. Demikianlah
penjelasan tentang teori Gujarat.
Kedua, teori Makkah. Teori ini merupakan teori
baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori
lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan
pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini

78
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

adalah Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat


Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab);
dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah
mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-
4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina. Kerajaan
Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i,
dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu
itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/
India adalah penganut mazhab Hanafi. Raja-raja
Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu
gelar tersebut berasal dari Mesir. Pendukung teori
Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold.
Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan
bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam,
jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya
yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap
proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah memahami
? Kalau sudah paham simak teori berikutnya. teori
Persia.
Ketiga. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk
ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari
Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya
Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia
seperti Peringatan 10 Muharram atau Asyura
atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi

79
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/


Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut
disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di
pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jenar
dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj. Penggunaan
istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab
untuk tanda-tanda bunyi Harakat. Ditemukannya
makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah
Gresik. Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen
dan P.A. Hussein Jayadiningrat. Ketiga teori tersebut,
pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan
kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut
dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia
dengan jalan damai pada abad ke-7 dan mengalami
perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang
peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab,
bangsa Persia dan Gujarat (India).
Sekurang-kurangnya ada dua teori yang berkenaan
dengan kehadiran agama Islam di Nusantara.
Para orientalis barat antara lain Chirstian Snouck
Hurgronje mengajukan teori bahwa agama Islam
secara perlahan-lahan merembes ke Hindia-Timur
(Indonesia) kira-kira 50 tahun sebelum keruntuhan
Kota Bagdad oleh serbuan pasukan Mongol pada tahun

80
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

1258.5 Pengislaman itu berlangsung sebagai usaha


para saudagar muslim yang kemudian dilanjutkan
oleh orang-orang pribumi yang telah memeluk Islam.
Pertanyaan tersbut diperkuat dengan ditemukannya
pemukiman muslim tertua di Nusantara di daerah-
daerah pesisir, di berbagai pelabuhan penting di
Sumatera, Jawa dan pulau-pulau lainnya. Snouck
Hurgronje menambahkan bahwa agama Islam tidak
dibawa langsung dari negeri Arab (Mekkah), akan
tetapi lewat Persia dan dan India terutama Gujarat.
Kesimpulan itu didasarkan pada kesamaan
antara aliran-aliran Islam dan Mazhab-mazhab yang
berkembang di Persia, India dan Indonesia yaitu aliran
Syiah dan Mazhab Syafi’i. Pandapat ini dudukung
oleh J.P. Motequette6 bahwa sehubungan dengan hasil
kajiannya terhadap batu nisan Malik Ibrahim (1419)
di Gresik dan sejumlah batu nisan makam di Sumatera
Pasai dari abad ke 15 dengan nisan-nisan dari Cambay
(Gujarat) antara lain nisan makam Umar bin Ahmad
al-Kazarani yang meninggal pada tanggal 9 Safar 734
H bertepatan dengan tanggal 20 Oktober 1333 M. dari
kajian tersebut ternyata bentuk dan bahan maupun
cara-cara penempatan ayat-ayat suci al-Qur’an pada

5
C Snouck Hurgronje, 1973 Islam di Hindia Belanda. Diterjemahkan
oleh S, Gunawan. Jakarta. Bharata.
6
Periksa J.P. Moquette 1912 “ De Grafteen te Pase en Grise Vergeleken
met dergelijke monumenten unit Hindostan. TGB. Liv h. 563-548

81
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

nisan makam Malik Ibrahim dan pada nisan Makam


Samudra Pasai dari abad ke 5 memiliki kesamaan
dengan nisan makam Umar Bin Ahmad Al-Khazaruni.
Moquette kemudian sampai pada satu kesimpulan
bahwa nisan makam Umar bin Ahmad Al-Khazaruni
nisan makam Malik Ibrahim dan nisan-nisan makam
Samudra Pasai dari abad ke 15 didatangkan atau
diimpor dari Cambay atau Gujarat.7 Dengan demikian
temuan J.P Moquette ini mendukung C.S. Hurgronje
berkenaan dengan asal kedatangan Islam dari Gujarat.
Pada tahun 1963 di Medan, Sumatra Utara di
selenggarakan seminar masuknya Islam ke Indonesia,
yang antara lain berkesimpulan bahwa agama Islam
telah masuk ke Indonesia sekitar abad-abad pertama
hijrah atau abad ke 7/8 Masehi, dibawa langsung
dari Arab (Saudi Arabia). Teori ini didasarkan pada
berita Cina dari Dinasti Tang, hikayat raja-raja Pasai
dan sejarah Melayu.8 terjadinya perbedaan pendapat
seperti yang dijelaskan di atas antara lain karena

7
Claude Guilon dan Ludvik Kalus telah meneliti sejumlah inspeksi
pada nisan kubur Samudra Pasai yang dikenal sebagai nisan/makam
Cambay berangka tahun 812 H/1409, 813 H/1410 M, 816 H/1413, 829
H/1425 M, 833 H/1429., 834 H/1430 M. (lihat Claude Guilot dan Ludvik
Kalus 2008., Les Moments Funeraise Et I’ Histoire Du Sultanat De Pasai A
Sumatra, Paris : Cahier d’ Arehipel, 37, 2008
8
Baca risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia.
Diterbitkan oleh panitia Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia (tt)
S. Ibrahim Buchari 1971. Sedjarah Masuknya Islam dan Proses Islamisasi,
Paris : Cahier d’ Archipel, 37 2008)

82
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

minimnya data serta kurangnya sumber-sumber yang


autentik mengenai masa-masa awal kehadiran Islam
di Indonesia tinggalan arkeologi yang sampai kepada
kita seperti nisan-nisan kuno yang berangka tahun,
terkecuali jumlahnya yang terbatas, karena berbagai
hal angka tahunnya sering diragukan originalitasnya.
Demikian juga dengan sumber-sumber sejarah seperti
hikayat, babad, lontara, Bo dan naskah-naksah kuno
lainnya yang berbicara menganai kehadiran Islam di
suatu tempat pada umumnya berasal dari masa yang
lebih kemudian. Masalah lain yang dihadapi ialah
kesimpangsiuran konsep yang dipakai berkenaan
dengan masa-masa awal kehadiran Islam. Di satu pihak
peneliti dan penulis sejarah menggabungkan peristiwa
itu dengan datangnya Islam yang dikaitkan dengan
adanya bukti-bukti atau bekas-bekas Islam di suatu
daerah seperti adanya makam-makam kuno. Namun di
lain pihak ada juga yang menghubungkannya dengan
proses Islamisasi atau berdirinya suatu kerajaan Islam.
Ketiga konsep itu semestinya dibedakan satu sama
lain. Datangnya atau masuknya Islam dapat diartikan
bahwa pada waktu itu sudah ada orang-orang Islam
yang datang dan bermukim di suatu tempat (daerah)
atau sudah ada pribumi (penduduk setempat) yang
memeluk agama Islam. Sedangkan Islamisasi atau
penyebaran Islam dapat berlangsung secara sembunyi-

83
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

sembunyi terang-terangan atau secara terbuka


seperti halnya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW pada mulanya beliau menyampikan Islam
kepada keluarga dan kerabat terdekatnya. Kemudian
setelah itu Islam diserukan secara terbuka atau
terang-terangan. Islam adalah agama dakwah setiap
pemeluknya berkewajiban untuk menyampaikan
apa yang diketahuinya tentang agamanya walaupun
sedikit (ballighu anni walau ayah). Tidak ada batas
yang tegas masuknya Islam atau konversi ke Islam
dengan Islamisasi, sebab ketika agama Islam hadir
di bumi Nusantara maka Islamisasi (dakwah Islam)
sesungguhnya mulai berkembang.
Berdirinya suatu kerajaan Islam atau kerajaan
yang bercorak Islam ditandai dengan masuk Islamnya
seorang raja sebagai penguasa tertinggi suatu Negara
atau kerajaan yang demikan bergelar sultan atau
gelar yang serupa dengan itu, meskipun belum tentu
rakyatnya telah memeluk Islam. Akan tetapi dapat
dipastikan bahwa berdirinya suatu kerajaan Islam
didahului dengan terbentuknya masyarakat muslim
dan masyarakat muslim akan hadir keluarga-keluarga
muslim.
Bima adalah nama pahlawan besar dalam epos
(wiracerita) Mahabarata, nama itu kemudian diadopsi
sebagai nama sebuah kerajaan atau kesultanan

84
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

yang pernah berjaya sebagai pusat kekuasaan dan


penyebaran agama Islam di kawasan pulau-pulau
sunda kecil (sekarang: Nusa Tenggara). Nama itu
tetap dilestarikan hingga sekarang sebagai nama
sebuah kota otonom dan kabupaten di ujung Timur
pulau Sumbawa, wilayah propinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB)
Berbicara mengenai awal mula kehadiran agama
Islam dan Islamisasi di Bima dan daerah sekitarnya
belum dapat ditentukan secara pasti. Selain datanya
yang kurang lengkap, penelitian kearah itu belum
banyak dilakukan. Orang-orang Belanda baru
menaruh perhatian terhadap pulau Sumbawa termasuk
Bima pada abad ke-17, sebelumnya mereka tidak
pernah menganggap pulau Sumbawa sebagai dearah
penting baik dari segi politik maupun perdagangan.
Henri Chamber Loir menghubungkan kelangkaan
itu karena perhatian orang-orang Belanda terhadap
pulau Sumbawa lebih bersifat politik dari pada
dagang, tambahan pula usaha-usaha penelitian tidak
dirangsang oleh aktivitas kebudayaan dan agama,
sehingga pulau Sumbawa tidak menjadi sasaran
penelitian yang mendalam.9

9
Henri Chamber-Loir (penyunting) 1982. Naskah dan Dokumen
Nusantara III, Syair Kerajaan Bima. Jakarta-Bandung EFEO. H. 12

85
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Kronik Bima atau yang lazim disebut Bo Kerajaan


Bima mencatat bahwa pada masa raja Bima yang ke
-36, Sarise, terjadilah kontak pertama dengan orang-
orang Eropa, sedangkan raja Bima yang ke 37, Sawo,
adalah raja terakhir yang belum memeluk agama
Islam. Pendapat Zollinger yang kemudian dikutip
oleh Braam Morris yang menyatakan bahwa agama
Islam pertama kali masuk (datang) di Bima antara
tahun 1450-1540, sultan Bima yang pertama memeluk
Islam adalah Abdul Galir (Abdul Kahir) dan agama
yang baru itu di bawa oleh para muballig dari Negeri
Makasar.10
Sebaliknya Helius Syamsuddin menghubungkan
kedatangan Islam di Bima dan daerah sekitarnya
dengan kejayaan Malaka sebagai pusat perdagangan
dan penyebaran Islam di Asia tenggara antara
tahun 1400-1511. Dengan asumsi bahwa setelah
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun
1511, saudagar-saudagar muslim yang juga berperan
sebagai muballig mencari daerah baru atau kembali
ke Jawa atau Sumatra meneruskan aktivitasnya.
Di antara mereka ada yang singgah di Bima lalu
menyebarkan agama Islam dalam perjalanannya

10
H. Zollingger. 1826. “Versiag van een reis naar Bima en Soembawa en
naar eenige platsen op celebes, saleier en Flores gedurende de gesloten meet het
landshap Bima op den 20 sten October 1890. Aan de regering ingediend door
den Gouverneur van Celebes en Onderhoorigheden“. TBG h. 228

86
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

dari Jawa ke Maluku atau sebaliknya. Temo Pires


melaporkan bahwa rute pelayaran perdagangan dari
Malaka ke Maluku atau sebaliknya melewati Jawa dan
Bima, di Bima para pedagang menjual barang-barang
yang dibawa dan dibeli dari Jawa, kemudian membeli
pakaian (kain kasar) dengan harga murah untuk di
jual (ditukar) dengan rempah-rampah di Banda dan
Maluku. Berbagai produk yang diekspor dari Bima
dan Sumbawa adalah kuda, daging, kayu celup dan
budak. Adanya rute pelayaran perdagangan dari
Malaka ke Maluku yang melewati pantai utara pulau
Jawa menyebabkan hubungan antara Malaka dengan
beberapa kota di pantai utara pulau Jawa terutama
Gresik terjalin dengan baik. Ini dikarenakan Gresik
adalah pelabuhan yang mengontrol impor rempah-
rempah dari Banda dan Maluku.
Dalam aktivitas penyebaran agama Islam ke
Maluku dan daerah-daerah yang disinggahi di
sepanjang rute pelayaran perdagangan, selain
saudagar-saudagar muslim dari Malaka tentunya
saudagar-saudagar muslim dari jawa ikut berperan
aktif selama kurun waktu abad ke 15 sampai 17. Di
Jawa terdapat tiga pusat penyebaran Islam, Jawa
Barat pusatnya di Cirebon dan Banten, Jawa Tengah
pusatnya di Demak dan Jepara, sedangkan Jawa
Timur pusatnya di Gresik dan Ampel atau Surabaya.

87
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Dari jawa Timur disebarlah ke Malaka dan Nusa


Tenggara, terutama ke Lombok dan Sumbawa.
Menurut sumber lokal, pada masa pemerintahan
Marhum di Ternate (1465-1485) datang seorang dari
Jawa bernama Maulana Husein yang menunjukan
kemahirannya menulis huruf-huruf Arab yang ajaib
dalam al-Qur’an sehingga sangat menarik perhatian
Marhum dan orang-orang Maluku, Maulana Husein
kemudian diminta oleh mereka untuk mengajarkan
huruf-huruf yang indah itu, tetapi sebaliknya maulana
Husein minta agar mereka juga mempelajari agama
Islam. Sultan Zainal Abidin (1486-1500) raja ternate
yang pertama memeluk agama Islam dikatakan
mendapatkan ajaran agama Islam dari Madrasah Giri
(Gresik) ketika berada di Jawa ia terkenal dengan
sebutan Raja Bulawa (raja cengkeh) dan sekembalinya
dari Jawa membawa seseorang muballig bernama
Tuhubahahul.11
Naskah babad Lombok disebutkan bahwa agama
Islam dibawa ke pulau Lombok oleh Sunan Prapen dari
Giri (Gresik), setelah berhasil mengislamkan pulau
Lombok, Sunan Prapen meneruskan perjalanannya ke
Timur untuk mengislamkan Sumbawa dan Bima. Jika
informasi dalam Babad Lombok itu dapat dibenarkan
11
Uka Tjandrasasmita (editor) 1984. Sejarah Nasional Indonesia III
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan PN : Balai Pustaka,
h. 21-22

88
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

maka menurut H.J, de Graaf, peristiwa itu seharusnya


terjadi pada masa pemerintahan Sunan Dalem di
Giri (1506-1546). Berdasarkan pengamatan terhadap
sejumlah inskripsi pada makam-makam Sultan Bima
Rouffaer berpendapat bahwa di Bima pengaruh Melayu
dan Arab sangat kuat, ini dikarenakan sebagian
inskripsi-inskripsi tersebut ditulis dengan huruf Arab
dan berbahasa Melayu, bukan dengan huruf dan
Bahasa Bima atau Bugis.12 Rouffaer akhirnya sampai
pada satu kesimpulan bahwa Islam di Bima dibawa
atau datang dari Melayu, Aceh dan Cirebon, muballig-
muballig Islam terutama orang-orang Melayu datang
di Bima pada masa pemerintahan Raja Manuru Sarehi
sekitar tahun 1605. Ditambahkan pula bahwa qadhi
Jamaluddin, ulama yang pernah menjadi guru agama
Islam Sultan Bima I Abdul Kahir yang dimakamkan
di kompleks makam Danatraha Dara adalah seorang
Melayu.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa dugaan Malaka atau Jawa sebagai tempat
asal kedatangan agama Islam di Bima dan daerah
sekitarnya tampaknya masuk akal asumsi tersebut
dapat dikaitkan dengan lokasi Bima pada rute lintas

12
J. Noorduyn 1987. 1987. “ Bima en Sumbawa, Bijdragen tot de
Geschiedenis van de Sultanaten Bima en Soembawa door A. Ligtvoet en G.P.
Rouffaer. ‘’ VKI., 129 Foris Publications Dordrech Holland / Providedense,
h. 90-91

89
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

pelayaran-perdagangan antara Malaka dan Maluku


serta kedudukan Bima sebagai salah satu Bandar
dan pusat perdagangan pada rute tersebut. Dalam
aktivitas dagang, saudagar-saudagar muslim baik dari
Malaka, Sumatera dan Jawa ikut ambil bagian dalam
penyebaran Islam di tempat-tempat atau daerah-
daerah yang disinggahi sepanjang rute pelayaran
perdagangan, dari Malaka sampai ke Maluku. Di
sebelah Barat dan Timur pelabuhan Bima terdapat
perkampungan atau pemukiman orang-orang Melayu
yang oleh orang Bima disebut Kampo Melayu,
sedangkan penghuninya disebut dengan “dou Melayu”
hingga sekarang kampung itu terkenal sebagai tempat
(pusat) studi Islam terutama dalam mempelajari kitab
suci al-Qur’an. Diduga bahwa orang-orang Melayu
sejak beberapa abad yang silam mempunyai peran
penting dalam penyiaran agama Islam di Bima.
Orang-orang Melayu tidak hanya dikenal sebagai
pedagang yang ulet dan handal, akan tetapi juga
mereka dikenal sebagai perantara (middelman) dalam
penyebaran Islam dan mengantarkan budaya Melayu
ke daerah Bima dan sekitarnya13. Mereka dikenal
sebagai perantara menjebatani kelompok-kelompok

13
Helius Syamsuddin 1980. “ The Coming Of Islam and The Rose of
The Malaya as Middelman on Bima, “ Papers of Dutch –Indonesian Historical
Conference Held at Logevuursche, the Nederlands, 23-27 Juni, h. 293-298

90
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

etnik dengan orang Belanda. Dalam pandangan


masyarakat Bima orang-orang Melayu tidak sama
dengan orang Bugis atau pedagang-pdagang dari
Gowa, mereka dipandang sebagai guru Sultan Bima
bahkan sebagai guru-guru seluruh orang Bima dalam
menyebarkan agama Islam. Orang-orang Melayu
dipandang amat berjasa dan telah menunjukan
dedikasi yang tinggi terhadap kerajaan Bima karena
mereka telah ikut menumpas bajak laut sehingga
banyak di antaranya yang mati atau tenggelam di laut
yang dalam. Oleh karena itu maka sultan dan rakyat
Bima sangat menghormati orang-orang Melayu dan
menganggap mereka sebagai saudara. Sebagai tanda
terimakasih dari sang Sultan, para keturunan mubaligh
diberikan wilayah untuk tinggal bernama kampung
Melayu dan juga diberikan sawah, tetapi pemberian
Sultan ini dikembalikan dengan alasan bahwa mereka
tidak biasa untuk bercocok tanam dan kebiasaan
mereka adalah berdagang sehingga sawah tersebut di
kembalikan dan sekarang tempat tersebut dinamakan
kampung Tolobali (sawah yang dikembalikan), sebagai
gantinya Sultan memberikan kemudahan dengan tidak
menarik pajak kepada keluarga Melayu tersebut. Selain
itu orang-orang Melayu sebagai pedagang dibebaskan
dari pajak. Sultan memberikan hak istimewa kepada
para penghulu dan imam orang Melayu untuk
mengatur mengorganisir perkampungan mereka

91
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

menurut hukum Islam. Bahkan sultan memberikan


titah bahwa orang-orang melayu tidak diijinkan
menjadi pelayan di Istana sultan Bima.
Namun dalam sumber yang lain dikatakan bahwa
Islam dibawa ke Bima oleh Datuk Dibandang dan
Datuk Ditiro yang dalam kronik Gowa dan Tallo
disebut-sebut sebagai pembawa agama Islam di
kerajaan Gowa dan talo. Diduga kedua mereka itulah
adalah orang Melayu yang datang dari Sumatera
dan Datuk Dibandang adalah seorang bangsawan
Minangkabau dari Pagaruyung. Kedua muballig ini
datang di Bima sebagai utusan sultan Gowa untuk
menyebarkan agama Islam. Mereka menjadi guru
agama sultan Abdul Kahir. Sultan Bima I. pada tahun
1055 hijrah (1645 M) kedua mubalig ini dipanggil
pulang ke Makasar oleh sultan Gowa sedanghkan
tugas penyiaran agama Islam selajutnya diserahkan
kepada anaknya Encik Naradireja dan Encik
Jayaindera. Menurut Rouffaer, Datuk Dibandang
(Dato Ribandang) datang ke Sulawasi sekitar tahun
1600, mengislamkan raja Gowa dan Tallo pada tahun
1606 sedangkan Datuk Ditiro (Datuk Ritiro) diduga
berasal dari aceh dan keduanya datang di Bima melalui
Sape (Labuan Sape) di pantai Timur dan terus ke Sila
untuk menyebarkan agama Islam.

92
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Terkait dengan penyebaran Islam di Bima


disebutkan di dalam salah satu naskah “Bo Sangaji Kai”
tercantum tahun kedatangan Mubaligh Islam di Bima
yakni pada tahun 1018 H yang jatuh pada tahun 1609
M berbunyi “Hijratun Nabi SAW seribu sepuluh delapan
tahun ketika itulah masuk Islam di tanah Bima oleh Datuk
ri Bandang Datuk ri Tiro tatkala zamannya Sultan Abdul
Kahir.” Catatan ini dapat dijadikan momentum sebagai
awal masuknya Islam di Bima, jika dihubungkan
dengan data sejarah masuknya Islam di Makassar.
Hal ini disebabkan sejarah masuknya Islam di Tanah
Bima tidak bisa dipisahkan dengan sejarah masuknya
Islam di Makassar, karena pada zaman itu Makassar
mempunyai interaksi dengan wilayah-wilayah
kerajaan sekitarnya, termasuk pulau Sumbawa. Sudah
menjadi tradisi bagi masyarakat Nusantara untuk
selalu mengikuti perintah dan titah sang raja. Apa
yang dianut dan diyakini raja itulah yang diikuti oleh
rakyatnya. Begitu pula dengan agama yang dianut
oleh raja kemudian secara otomatis pula dianut oleh
rakyatnya. Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro selain
menyiarkan Islam di Bima juga menjadi penasehat
sultan dalam meletakkan dasar pemerintahan Islam
yang penuh damai serta menanamkan nilai-nilai
Islam ke dalam struktur dan komposisi pemerintahan
Kerajaan Bima.

93
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Ditambahkan pula bahwa kedua muballig itu


tidak pernah menetap di Bima melainkan di Sila
(sekarang: Kota Kecamatan di Kabupaten Bima) dan
dari sana kemudian dipanggil pula ke Makasar oleh
Sultan Gowa bilamana datuk Dibandang dan Datuk
Ditiro datang ke Bima, kronik Bima menyebut dua
tahun, pertama, tahun 1013 Hijrah atau 1609 Masehi
dan yang kedua, tahun 1050 Hijrah atau 1640 Masehi.
Berdasarkan kajian terhadap kronik-kronik Gowa dan
Tallo, Noorduyn berpendapat bahwa Islam di bawa ke
Bima dan daerah sekitarnya dengan kekuatan senjata
(perang) oleh orang-orang Makasar tidak lama setelah
Gowa menjadi muslim dan berhasil mengislamkan
sebagian terbesar wilayah Sulawesi selatan antara
tahun 1605-1611. Dalam kronik Gowa disebutkan
bahwa Bima Dompu dan Sumbawa ditaklukkan oleh
Karaeng Matoya, raja Tallo yang juga perdana menteri
kerajaan Gowa. Gowa empat kali mengirim ekspedisi
militernya ke Bima, dua kali ke Sumbawa dan masing-
masing satu kali ke Dompu. Kengkelu (Tambora) dan
Papekat. Ekspedisi pertama dikirim pada tahun 1618
hijrah (1645 Masehi), kedua tahun 1619 dan ketiga
pada tahun 1626 setelah Karaeng Matoya dan Raja
Gowa berhasil menaklukan Buton. Ekspedisi yang
keempat dikirim pada tahun 1632 karena pada tanggal
13 Nopember 1632 di Bima terjadi pemberontakan dan

94
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

pada tanggal 25 Nopember 1632 Karaeng Buraqne


dikirim ke Bima untuk menumpas pemberontakan itu.
Meskipun peristiwa tersebut tidak tercatat dalam
buku catatan harian kerajaan Bima, namun mendapat
dukungan dari sumber VOC. Dalam sumber VOC
disebutkan bahwa sebuah kapal Belanda (VOC)
berlayar dari Batavia dan tiba di Bima pada tanggal
24 Januari 1633 untuk membeli beras dan komoditi
lainnya. Kapal ini kembali pada tanggal 23 Mei 1633
dengan misi yang kurang berhasil karena di Bima
padi, rumah dan desa-desa terbakar, seluruh negeri
dipropagandakan oleh pasukan Makasar yang terdiri
dari 400 buah kapal yang dikirim oleh raja Makasar
untuk menempatkan kembali adik iparnya sebagai raja
Makasar karena telah dipaksa turun tahta oleh para
pemberontak dan melarikan diri ke sebuah pulau dekat
gunung api (sekarang : Pulau Sangeang). Menurut
Chambert-Loir, peristiwa tersebut tidak lain adalah
perang suksesi di Kerajaan Bima.
Aspek lain dari peristiwa itu dan menekankan
bahwa sebenarnya anti makasarlah yang menjadi
pemicu pemberontakan tersebut. Banyak orang Bima
yang tidak setuju dengan raja atau sultan yang sedang
memerintah setelah bersekutu (kawin) dengan wanita
Makasar. Mereka melarikan diri dan berlindung di
kerajaan Dompu kemudian mengangkat senjata yang

95
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

dibantu oleh orang-orang Bima dalam pembuangan.


Menurut Speelman, peristiwa itu terjadi sekitar 35
tahun yang lalu sehingga menurut Noordyun harus
dihubungkan dengan peristiwa yang sama seperti
yang disebutkan dalam kronik Gowa.14 Berdasarkan
informasi tersebut bahwa peperangan yang terjadi
antara tahun 1632-1633 di Bima bukanlah perang
suksesi seperti yang di duga oleh Chambert-Loir,
melainkan suatu pemberontakan yang bertujuan
untuk menentang dan menggulingkan sultan Bima
yang pro Makasar. Ia berpendapat bahwa sultan
Bima yang dimaksud dalam sumber VOC itu tidak
lain adalah Sultan Abdul Kahir, yang dalam kronik
Gowa disebutkan telah kawin dengan anak perempuan
Gowa.
Pada waktu yang bersamaan ada dua orang
pendeta Jesuit, Manuel Avazedo dan Manuel Ferreira
berada di Makasar kemudian datang ke Bima yang
secara khusus melaporkan bagaimana agama Islam
datang ke daerah itu. Mereka datang ke Makasar dari
Malaka pada tanggal 14 Januari 1617, dan akhirnya
memutuskan untuk pergi ke Bima untuk meneruskan
misinya. Kedua pendeta itu datang pada bulan Maret
1618 dan setibanya di Bima mereka menjumpai dua
orang utusan dari Jawa (Gairi atau Giri) dan seorang

14
J. Noorduyn, Bima end Sumbawa…..330-331

96
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

lagi dari Makasar sedang menghadap Raja Bima.


Mereka meminta raja Bima agar memeluk agama
Islam dan menuruti kehendak mereka, sebab jika
ditolak akan diperangi. Dengan demikian, pada waktu
kedua pendeta Jesuit itu tiba di Bima belum memeluk
agama Islam, raja Bima belum memeluk agama
Islam, sedangkan ketiga utusan yang dijumpai tidak
lain adalah utusan yang meminta Raja Bima untuk
memeluk agama Islam secara suka rela dan sekaligus
menginformasikan kemungkinan dilaksanakannya
tindakan militer. Tampaknya upaya diplomatik untuk
mengislamkan raja Bima seperti dilaporkan oleh
Perreira tidak berhasil, sebab tidak lama kemudian
Makasar mengirim ekspedisi militernya, karena
mungkin sekali raja Bima pada waktu itu menolak
untuk memeluk agama Islam.
Berdasarkan informasi dan laporan menmenai
Islamisasi di Bima, baik dari orang-orang Portugis,
sumber-sumber VOC maupun kronik-kronik Gowa,
Noorduyn sampai pada suatu kesimpulan bahwa
Islamisasi di Bima dan daerah sekitarnya berlangsung
sebelum pengiriman ekspedisi Makasar yang ke-
14 yakni antara tahun 1626-1632, meskipun sudah
dimulai sejak tahun 1618. Karena berita Portugis
yang menyebutkan serangan orang-orang Makasar
yang membawa agama Islam ke Bima berlangsung

97
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

tidak lama setelah kedatangan Ferreira pada bulan


Maret 1618 dan sebelum keberangkatan Azavedo
meninggalkan Makasar pada pertengahan tahun
1618. Dengan demikan peristiwa itu adalah ekspedisi
militer pertama yang dikirim ke Bima pada bulan
April 1618, tidak lama setelah Ferreira meninggalkan
Bima. Sedangkan berdirinya Bima sebagai kerajaan
Islam (bercorak Islam) berlangsung beberapa tahun
kemudian.
Menurut Abdullah Tayeb,BA dalam bukunya
Sejarah Dana Mbojo. Di Sape tiba mubaligh Islam
yang dikirim oleh Raja Gowa, terdiri dari orang
Tallo, Bone, Luwu dan Gowa. Menurut Bo “Hijratun
Nabi SAW 1028 hari bulan Jumadil-awal telah datang
ke pelabuhan Sape saudara Daeng Mangali di Bugis
Sape dengan dengan orang Luwu dan Tallo dan Bone
untuk berdagang. Kemudian pada malam hari datang
menghadap Ruma Bumi Jara yang memegang Sape untuk
menyampaikan Ci’lo kain Bugis dan keris serta membawa
agama Islam. Kerajaan Gowa dan Tallo dan Luwu,
dan Bone sudah masuk Islam dan Daeng Malaba dan
keluarganya sudah masuk Islam keseluruhanyna….”
Kemungkinan perbedaan persepsi tentang tahun
masuknya Islam di Bima akibat perbedaan dalam
mengkonversikan tahun Hijriah ke Masehi. Selain
itu bisa jadi akibat dari kesalahan penafsiran dari

98
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

beberapa sumber sejarah yaitu naskah dikarenakan


naskah-naskah Kesultanan Bima menggunakan
bahasa Melayu Kuno dan beraksara Arab Melayu/
Pegon. Seperti halnya di wilayah lainnya, masuknya
Islam di Bima tidak terlepas dari perkembangan
jalur perdagangan di sepanjang pesisir pantai utara
Jawa. Peranan Bandar sebagi Bandar dagang transit
atau Bandar perantara dalam perdagangan antar
pulau di Nusantara seperti Tuban, Gresik, Jepara dan
sekitarnya. Journal orang Portugis mengatakan bahwa
sekitar tahun 1400 Gresik merupakan Bandar utama
tempat mengumpulkan rempah-rempah asal Maluku.
Perdagangan rempah-rempah yang semakin
ramai dan menguntungkan mengharuskan persediaan
beras yang lebih banyak, persediaan beras di Pulau
Jawa tidak mencukupi kebutuhan pasar sehingga
perlu kiranya mengambil dari daerah lain yang mana
kerajaan Bima merupakan gudang beras daerah
Timur. Mengingat letak geografi yang strategis
terletak antara Jawa-Maluku. Pedagang Jawa bisa
langsung berdagang dengan masyarakat di Bima
ataupun lewat pelabuhan Gowa. Interaksi keduanya
membawa pengaruh besar di bidang keagamaan.
Selain berdagang para saudagar Gersik tersebut pun
memperkenalkan agama mereka yaitu Islam kepada
masyarakat pesisir Bima dan pedagang-pedagang

99
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Bima, sehingga Islam dapat diterima dengan baik


mengigat hubungan dagang antar keduanya. Islam
di Bima saat itu hanya di kalangan pedagang dan
masyarakat pesisir pantai Bima. Kehadiran Islam di
kerajaan Bima membawa berbagai dampak dalam
berbagai sendi kehidupan kerajaan Bima, raja disebut
Sultan kerajaan Bima diubah menjadi Kesultanan
Bima. Pemerintahan berlandaskan hukum dan syariat
Islam.

C. Pembawa dan Penyebar Islam di Bima


Berdasarkan sumber dalam “BO” tersebut dapat
diketahui bahwa masuknya Islam ke Bima pada tahun
1028 H/1618 M dan Sape merupakan tempat yang
pertama yang didatangi oleh pedagang dari Gowa.
Mereka datang untuk menjajakan barang-barang
dagangannya dan menyiarkan agama Islam. Mereka
adalah pedagang muslim, juga sebagai mubaligh
yang menyiarkan agama Islam di daerah-daerah yang
mereka kunjungi. Selain dalam “BO” yang menyebut
bahwa pembawa Islam ke Bima itu ialah orang-
orang Makassar, juga dalam catatan lain disebutkan
(Depdikbud Bima: 1-2):
“Pada waktu itulah saudara Daeng Mangali yang
bertempat tinggal di Bugis Sape, datang dengan perahu
melalui Pelabuhan Sape. Datang bersama utusan Raja

100
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Luwu, Tallo, dan Bone. Mereka berempat itu di samping


datang untuk berdagang diwajibkan pula untuk menjadi
guru agama Islam di Bima. Mereka membawa surat
Daeng Malaba dari Bugis untuk adiknya memimpin
wilayah Kecamatan Sape, bernama Awaluddin yang
dikenal dengan panggilan Ruma Bumi Jara. Raja
Awaluddin itulah yang pertama kali memeluk agama
Islam di Bima, kedua ialah Ruma Bicara La Mbila Tua,
ketiga ialah Raja Manuru Bata Dompu dan keempat
ialah La Ka’i, setelah masuk Islam menggantikan
namanya Sultan Abdul Kahir yang mempunyai makam
di Dantaraha. Jadi keempat mubaligh dari Sulawesi
Selatan itulah yang bertama membawa agama Islam
dan keempat keturunan bangsawan pulalah yang
pertama menerima agama Islam”.

Untuk menentukan siapa nama mubaligh/


pedagang yang pertama kali datang dan menyiarkan
agama Islam ke Bima, sangat sukar. Dalam catatan
“BO” pun tidak disebutkan, tapi dalam sejarah Bima
disebutkan bahwa pada tahun 1050 H/1640 M, setelah
berlangsungnya perkawinan sultan Bima pertama
yang bernama Abdul Kahir dengan putri Raja Gowa ia
kembali ke Bima dengan Datuk ri Bandang dan Datuk
ri Tiro. Untuk jelasnya dikutip sebagai berikut (Amin,
1971: 50):
“Setelah persiapan telah musta’id, beberapa lama
kemudian setelah perkawinan maka di dalam bulan
Rabiul Awal tahun 1050 H/1640 M berangkatlah

101
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

iring-iringan raja Bima Sultan Abdul Kahir


menuju ke Bima. Baginda ditemani pula oleh
dua orang gurunya dari raja Gowa, yaitu Datuk
dua bersaudara yang berasal dari Pagaruyung
(Minangkabau) dengan gelar Datuk ri Bandang dan
Datuk ri Tiro”.

Dari keterangan-keterangan di atas dapat diketahui


bahwa kedua mubaligh, yaitu: Datuk ri Bandang dan
Datuk ri Tiro, setidak-tidaknya ikut berjasa dalam
penyebaran agama Islam di Bima. Tetapi mereka
bukanlah yang pertama kali membawa Islam karena
Islam telah dikenal oleh masyarakat Bima sebelum
kedatangan mereka. Selain kedua mubaligh; Datuk
ri Bandang dan Datuk ri Tiro, ada juga pendapat
yang berkembang di kalangan masyarakat Bima
yang menganggap bahwa Syeikh Umar al-Bantani
merupakan pembawa Islam di Bima. Anggapan mereka
itu memang didukung oleh bukti monumental berupa
kuburan di Tolo Bali Bima. Tetapi setelah penulis
mengumpulkan data-data dan mewawancarai beberapa
tokoh masyarakat, memang Syeikh Umar al-Bantani
pernah datang ke Bima pada periode selanjutnya,
yaitu pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahir
Sirajuddin (1636-1681), yakni sultan yang kedua
dan diangkat sebagai muftinya. Dan kuburan yang
menjadi alasan masyarakat Bima tentang Umar al-
Bantani, ternyata yang dikuburkan di situ ialah Sultan

102
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Bima II Abdul Khair Sirajuddin. Penulis membaca


tulisan di nisan tersebut mencari bahwa sultan Abdul
Khair wafat hari Rabu 22 bulan Zulhijjah tahun 1090
H/1681 M. Tidak ada sama sekali kaitannya dengan
Syeikh Umar al-Bantani. Tetapi menurut AD Talu,
bahwa kuburan yang ada di Tolo Bali tersebut terdiri
dari tiga bangunan makam. Ketika Jepang masuk Bima
salah satu di antara kuburan tersebut kena bom oleh
Jepang. Barang kali yang hancur itulah yang dianggap
makam Syeikh Umar al-Bantani, dan sayangnya
makam itu sekarang tinggal puing-puingnya.
Dari sumber yang tercatat dalam “BO” disebutkan
bahwa Islam pertama kali datang pada tanggal 11
Jumadil Awwal tahun 1028 H atau tahun 1618 M.
Ini berbeda dengan pendapat Ahmad Amin yang
mengatakan bahwa mulai masuk Islam ke Bima pada
tahun 1050 H/ 1640 M (Amin, 1971: 1). Sebetulnya
tidak bertentangan, hanya Ahmad Amin menilai
bahwa rombongan sultan Bima I Abdul Kahir beserta
kedua gurunya sebagaimana yang sudah diungkapkan
di atas merupakan awal dari kedatangan Islam ke
Bima. Dan jelas dalam catatan yang ada dalam “BO”,
bahwa pada tahun 1050 H itu sebagai tahun pelantikan
Sultan Abdul Kahir sebagi sultan Bima yang pertama
dan resminya berdiri Kesultanan Bima. Dalam “BO”
dijelaskan: “Hijratun Nabi Saw. 1050 genap pada lima

103
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

belas hari bulan Rabiul Awwal, maka dinobatkanlah


Rumata Mabata Wadu menjadi raja Kerajaan Bima”.
Jadi jelaslah bahwa pada tahun 1050 H/1640
M, bukanlah sebagai awal datangnya Islam ke Bima,
bahkan pada tahun tersebut Kerajaan Bima resmi
menjadi Kerajaan Islam, dan masuknya Islam jauh
sebelum tahun tersebut. Sebagaimana sudah diketahui
bahwa agama Islam ke Bima dibawa oleh para
pedagang yang sekaligus juga sebagai mubaligh. Di
sini timbul persoalan lain yang perlu dibahas lagi atas
suatu pertanyaan: dari manakah sumber atau asalnya
agama Islam yang datang ke Bima? Apakah Islam itu
datang yang pertama kali dari Jawa atau Sulawesi?
Untuk menjawab pertanyaan ini tidak gampang.
Oleh karena itu, kami mencoba menguraikan tentang
arah dan sumber datangnya Islam ke Bima. Nugroho
Notosusanto mengatakan tentang arah Islam yang
datang ke Bima, yaitu dari Jawa dan Sulawesi,
sehingga agama Islam datang ke Bima dari arah secara
bersamaan.
Maka timbul pertanyaan, apakah yang
dimaksudkan dengan datang bersama-sama adalah
dari dua sumber tersebut sebagai awal masuknya
Islam ke Bima, ataukah menyebutkan demikian karena
pernah datang mubaligh-mubaligh dari Jawa pernah
sampai di Bima ataukah pada permulaan abad XVI M

104
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

sewaktu Kerajaan Demak berdaulat menjadi Kerajaan


Islam yang pertama di Jawa dan merupakan sumber
penyebaran Islam baik di Jawa maupun di luar Jawa
(Nusa Tenggara). Kalaulah yang dimaksudkan sebagai
awal masuk Islam ke Bima dan sumber datangnya,
maka data yang banyak menunjukkan bahwa Islam
masuk ke Bima bersumber dari Makassar dan lewat
jalur Utara.
Memang ada suatu data yang menunjukkan
bahwa mubaligh-mubaligh dari Jawa pernah datang
menyebarkan agama Islam ke Bima. Tetapi kedatangan
itu jauh Islam telah berkembang, yaitu pada masa
pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1638-
1681) sebagai sultan Bima yang ke-2. Dan salah
seorang mubaligh yang ikut menyebarkan agama
Islam ke Bima adalah Syeikh Umar al-Bantani.
Pada zaman kekuasaan Kerajaan Islam Demak
pada awal abad XVI M, Demak merupakan pusat
penyebaran agama Islam sampai ke luar Jawa. Daerah-
daerah penyiarannya sampai ke Sulawesi, Maluku,
Nusa Tenggara dan Madura. Menurut catatan
sejarawan pada saat itu (sewaktu Demak berkuasa)
sampai pula menundukkan Lombok dan Sumbawa,
tetapi sinar Islam rupanya tidak sampai ke Bima,
karena berdasarkan data yang ada belum menunjukkan
bahwa Islam waktu itu sampai ke Bima. Bahkan pada

105
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

zaman itu, Bima berada dalam pemerintahan Sangaji/


Raja Hindu, dan agama Hindu merupakan anutan
masyarakat Bima sampai saat kedatangan Islam
pada abad XVII M. Dalam buku “Sejarah Nasional”
disebutkan bahwa pada abad XVII M (sewaktu
Kerajaan Islam di Jawa) di Bima diperintah oleh para
Ncuhi. Penduduk dibagi dalam lima kelompak, tiap-
tiap kelompok dipimpin oleh kepala kelompok yang
disebut Ncuhi.
Kalaulah yang disebut Nugroho bahwa Jawa
sebagai asal masuknya Islam ke Bima untuk pertama
kali, maka hal itu tidak sesuai dengan data yang ada
baik yang tertulis dalam “BO” maupun pengaruh yang
berkembang dalam masyarakat Bima seperti dalam
adat istiadat, bahasa dan bentuk bangunan makam
atau rumah (rumah panggung). Bahkan pada puncak
kejayaan Kerajaan Gowa pada awal abad XVII M
(1616 M) disebutkan bahwa Bima sebagai salah satu
daerah pengaruhnya. Said Raksakasuma menyebutkan,
“Dengan jalan memperluas agama Islam Sultan
Alauddin meluaskan kekuasaannya ke luar daerah
Sulawesi, di antaranya ke Bima Pulau Sumbawa pada
tahun 1616 M” (Raksakasumah, 1978: 20).
Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui dan
dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagai sumber
asalnya agama Islam yang datang ke Bima pertama

106
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

kali adalah dari Sulawesi, kemudian disusul oleh


mubaligh dari Jawa yang ikut mengembangkan agama
Islam di Bima. Demikian juga mengenai pembawa
Islam yang pertama kalinya tidak dapat diketahui
dengan pasti, hanya diketahui Datuk ri Bandang dan
Datuk ri Tiro demikian juga Syeikh Umar al-Bantani
termasuk mubaligh-mubaligh yang berjasa dalam
penyebaran agama Islam di Bima, tetapi mereka itu
bukan yang pertama kali, sebab kedatangan mereka
pada periode kesultanan, yaitu resminya Bima menjadi
Kerajaan Islam sejak 1050 H/1640 M.

1. Datuk ri Bandang
Datuk Ri Bandang bernama asli Abdul Makmur
dengan gelar Khatib Tunggal adalah seorang ulama
dari Kota Tengah Minangkabau yang menyebarkan
Islam ke kerajaan-kerajaan di wilayah timur nusantara
antara lain, Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa, Kerajaan
Tallo, Kerajaan Gantarang, Kerajaan Kutai serta
Kerajaan Bima. Datuk Ri bandang bersama dua orang
saudaranya yang juga ulama, yaitu Datuk Patimang
yang bernama asli Datuk Sulaiman dengan gelar
khatib sulung dan Datuk ri Tiro yang bernama asli
Nurdin Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu dan
seorang temannya, Tuan Tunggang Parangan,
melaksanakan syiar Islam sejak kedatangannya pada
penghujung abad ke 16 hingga akhir hayatnya ke

107
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

kerajaan-kerajaan yang ada di timur nusantara pada


masa itu.
Pada awalnya Datuk ri bandang berdakwah di
Makasar (Kerajaan Gowa, Sulawesi) tetapi karena
situasi masyarakat yang belum memungkinkan
dia pergi ke Kutai dan melaksanakan syiar Islam
bersama temannya. Tuan Tunggang Parangan di
kerajaan tersebut. Namun akhirnya dia kembali lagi
ke Gowa karena melihat kondisi yang juga belum
kondisif, temannya Tuan Tunggang Parangan tetap
bertahan di Kutai, dan akhirnya berhasil mengajak
raja Kutai beserta seluruh petinggi kerajaan masuk
Islam. Setelah kembali ke Makasar, Datuk ri Bandang
bersama dua saudaranya Datuk Patimang dan Datuk ri
Tiro menyebarkan agama Islam dengan cara membagi
wilayah syi’ar mereka berdasarkan keahlian yang
mereka miliki dan kondisi serta budaya masyarakat.
Datuk ri Bandang dikenal sebagai ahli fiqih berdakwah
di kerajaan Gowa dan Tallo, sementara Datuk ri Tiro
sebagai ahli tasawuf di daerah Tiro dan Bulukumba.
Pada mulanya Datuk ri Bandang bersama Datuk
Patimang melaksanakan syi'ar Islam di wilayah
kerajaan Luwu, sehingga menjadikan kerajaan
itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Selatan,
Tengah dan Tenggara yang menganut agama Islam.
Dengan pendekatan dan metode yang sesuai, syiar

108
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Islam yang dilakukan Datuk ri Bandang dan Datuk


Patimang dapat diterima oleh semua kalangan yang
pada akhirnya Islam dapat berkembang dengan baik
sehingga pada akhirnya agama Islampun dijadikan
agama kerajaan dan hukum-hukum yang ada dalam
Islam pun dijadikan sumber hukum bagi kerajaan.

2. Datuk ri Tiro
Datuk Ri Tiro bernama asli Nurdin Ariyani
Abdul Jawad dengan gelar khatib bungsu adalah
seorang ulama dari Kota Tengah Minangkabau
yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerjaan
di Sulawesi Selatan serta kerajaan Bima di Nusa
Tenggara, sejak kedatanganya pada penghujung
abad ke 16 hingga akhir hayatnya, beliau bersama
dua orang saudaranya yang juga ulama, yaitu Datuk
Pattimang yang bernama asli datuk Sulaiman dan
bergelar khatib sulung serta Datuk Ri Bandang, yang
bernama asli Abdul Makmur dengan gelar khatib
tunggal menyebarkan Islam ke kerajaan-kerajaan yang
ada di wilayah timur Nusantara pada masa itu.
Datuk Ri Tiro bersama dua saudaranya
menyebarkan agama Islam di Wilayah Sulawesi
Selatan dengan menyesuaikan keahlian yang mereka
miliki masing-masing dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang akan mereka hadapi. Datuk ri Tiro

109
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

yang memiliki latar belakang ahli Tasawuf melakukan


syiar Islam pada masyarakat yang masih memegang
kuat budaya-budaya mantera-mantera dan sihir.
Setelah beberapa lama melaksanakan dakwah di
kerajaan Bima akhirnya Khatib Bungsu atau Datuk ri
Tiro berhasil mengajak Raja Bima masuk Islam.

3. Syekh Abdulgani Bima (Al-Bimawi).


Syekh Abdulgani Bima atau lazim lebih dikenal
dengan Al-Bimawi, yang merupakan orang tua
kita yang telah menjadi klasik. Nama Abdulgani
sangat masyhur di dunia Islam pada paruh abad ke-
19. Keluasan ilmunya menyebabkan beliau menjadi
tempat berguru banyak ulama yang datang ke
Madrasah Haramayn, Mekah. Jika kita melacak garis
genealogi atau hubungan kekerabatan intelektual
Abdulgani dengan ulama-ulama di Indonesia kira-kira
pertengahan abad ke-19, Abdulgani tergolong salah
satu moyang ulama Nusantara. Ia termasuk apa yang
disebut Dr. Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII, 1995, sebagai penyambung mata rantai
jaringan ulama Nusantara abad XIX dengan Timur
Tengah. Abdulgani lahir di paruh terakhir abad ke-
18 kira-kira tahun 1780 di Bima. Tidak ada catatan
pasti mengenai kapan hari lahir Abdulgani. Yang jelas
beliau berasal dari lingkungan keluarga ulama yang

110
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

memiliki kegandrungan tinggi dalam mengkaji Al-


Qur’an. Orang tua Abdulgani dikenal sebagai mufasir,
penghafal Al-Qur’an.
Asal muasal Abdulgani dimulai dari Abdul karim,
seorang da’i kelana dari Mekah kelahiran Bagdad.
Konon Abdul Karim sampai ke Indonesia, pertama
kali menuju Banten, untuk mencari saudaranya. Dari
Banten, Abdul Karim mendapat informasi bahwa
saudaranya itu ada di Sumbawa. Pergilah ia ke sana
dan sampai di Dompu. Seraya berdagang tembakau,
Abdul Karim menyiarkan Islam. Hal itu menarik
perhatian Sultan Dompu, lalu beliau diambil menjadi
menantu. Dari pernikahan dengan gadis istana itu,
Abdul Karim mendapat anak laki-laki bernama
Ismail. Ismail pun mengikuti jejak ayahnya menjadi
mubaligh. Ismail kemudian menikah dan mempunyai
anak bernama Subur. Syekh Subur sejak muda
sudah hafal Al-Qur’an. Dia menikah dengan gadis
Sarita, Donggo. Dari pernikahan itu lahirlah Syekh
Abdulgani. Kehebatan ilmu Sykeh Subur membuat
Sultan Alauddin Muhammad Syah (1731-1743)
mengundangnya ke istana. Beliau didaulat menjadi
imam kesultanan. Menulis Al-Qur’an Mushaf Bima
adalah prestasi luar biasa ulama ini. Mushaf yang
beliau tulis diberi julukan La Lino. Kitab tersebut
masih ada hingga kini dan tersimpan di kediaman

111
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

keluarga sultan di Bima. Karyanya itu menjadi satu-


satunya Al-Qur’an Mushaf Bima. La Lino juga
termasuk salah satu mushaf tertua di Indonesia.
Di Bima dan Dompu, pengaruh ulama ini dan
keturunannya di masyarakat setara dengan raja,
memiliki karomah. Orang di daerah ini memanggil
Syekh Abdulgani dan keturunannya dengan panggilan
Ruma Sehe. Ruma secara harafiah berarti Tuhan,
merupakan panggilan untuk raja oleh rakyatnya
seperti halnya raja-raja Jawa yang dipanggil rakyat
(hamba) dengan gusti [prabu], yang mengacu ke
Tuhan. Hingga kokok ayam yang pertama menjelang
subuh oleh orang Bima dan Dompu dikatakan: koko
janga Ruma Sehe atau kokok ayam Syekh. Sebutan
itu sekaligus menunjukkan para Ruma Sehe begitu
awal bangun bahkan mungkin mereka tidak tidur
sepanjang malam untuk beribadah. Kokok ayamnya
saja — sebagai pertanda subuh karena dulu belum ada
pengeras suara — lebih dini dari ayam lain. Semua itu
tidak lain sebagai cermin ketaatan Ruma Sehe dalam
beribadah pada Allah.

D. Pendidikan Islam pada Awal Masuknya


Islam ke Bima
Pendidikan Islam yang dimaksud dalam uraian
ini adalah terutama pada periode awal masuknya

112
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Islam ke Bima sebagai upaya menyampaikan ajaran


Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat
yang baru menerimanya serta mewariskan ajaran
Islam kepada generasi penerus. Tegasnya suatu usaha
yang secara sadar dan sengaja merubah pengikut dari
suatu keadaan kepada keadaan lain yang menyangkut
berpikir, bersikap, merasa, beriman, bertindak dan
sebagainya, walaupun proses belajar dan didikannya
bisa saja secara sadar, tidak disengaja atau pun tak
langsung (Sadli, 1984: 321). Kegiatan atau aktivitas
pendidikan Islam di Bima pada periode awal ini, bukan
dalam bentuk kelembagaan atau yang bersifat formal,
tetapi kegiatannya hanya diarahkan dalam bentuk
dakwah dan ajakan masuk Islam. Hal ini dilakukan
oleh para mubaligh/utusan dari Gowa dalam rangka
pengislaman keluarga kerajaan.
Aktivitas pendidikan Islam pada periode awal
ini, dapat diketahui terutama setelah Abdul Kahir
menjadi sultan Bima yang pertama. Sultan didampingi
oleh kedua gurunya, Datuk ri Bandang dan Datuk ri
Tiro, yang sekaligus merangkap sebagai penasehat.
Nampaknya bahwa kegiatan pendidikan Islam
pada waktu itu dapat dikatakan mulai tumbuh dan
berkembang setelah berdirinya Kesultanan Bima
dan dilantiknya Sultan Abdul Kahir sebagai Sultan
Bima I. Hal ini dapat diketahui bahwa sudah menjadi

113
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

kelaziman bagi seorang sultan untuk mendidik putera-


puteranya. Ini tiada lain untuk menyiapkan anak didik
agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak
setelah dewasa. Atas dasar pemikiran tersebut, para
sultan dan keluarganya serta para pembesar istana
lainnya berusaha menyiapkan agar anak-anaknya sejak
kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan
tugas-tugas yang akan diembannya nanti. Oleh karena
itu, mereka memanggil guru, guru khusus untuk
mengajar anak-anak mereka.
Sehubungan dengan kebiasaan-kebiasaan sultan
tersebut, dapat disebut sebagai contoh seperti Sultan
Abdul Khair Sirajuddin mengajak Datuk Raja Lela
sebagai guru di istana yang sekaligus juga merangkap
sebagai penasehat baginda. Demikian pula Syeikh
Umar al-Bantany menjadi guru di istana pada masa
sultan Nurudin yang dinobatkan sebagai sultan Bima
pada bulan Zulhijah 1093 H/1682 M. Di lingkungan
istana, Syeikh Umar al-Bantani di samping untuk
mendidik keluarga dan putera sultan, juga menjadi
mufti waktu itu. Atas pengaruh beliau pada zaman itu,
jabatan keagamaan Kesultanan Bima disempurnakan
dengan mengadakan jabatan qadli, lebe, khatib
dan lain-lain. Sebagai pendidik di istana ia berhasil
membina putera mahkota yang setelah dewasa dikenal
dengan nama Sultan Jamaluddin Aly Syah (sultan

114
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

ke-4). Akibat didikan gurunya, Sultan Jamaluddin


Aly Syah terkenal sebagai seorang patriot, politikus
yang cinta tanah air, dan agamanya (Bafadal, 1984:
27). Demikian juga pada masa Sultan Ibrahim (1881-
1917 M), banyak guru didatangkan ke istana untuk
mendidik putera-puterinya. Putera-puterinya banyak
menerima dan memperoleh pendidikan agama dari
para ulama terkenal di antaranya H. Hasan Batawy,
Syeikh Abdul Wahab, Imam Masjidil Haram Mekkah.
Pendidikan anak-anak di istana berbeda dengan
pendidikan anak-anak pada umumnya. Di istana
orang tua murid (para pembesar istana) adalah yang
membuat rencana pelajaran tersebut selaras dengan
kebutuhan anaknya dan tujuan yang dikehendaki
orang tua (sultan). Karena itu rencana pelajaran
untuk pendidikan anak di lingkungan Kesultanan
Bima waktu itu selain belajar agama Islam (rukun
iman, rukun Islam, thaharah, adab), juga ditambah
dan dikurangi menurut kemauan para pembesar
yang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan
untuk menyiapkan putera-puteranya secara khusus
untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan
dihadapinya dalam kehidupan ini.
Kegiatan pendidikan Islam di istana sebagaimana
yang diuraikan di atas membawa pengaruh luas di
kalangan masyarakat, sehingga banyak dari mereka

115
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

yang berdatangan untuk belajar agama Islam dan


berguru kepada mubaligh/guru di istana untuk
beberapa lama. Murid-muridnya kemudian kembali ke
daerah pedalaman dan menjadi guru pula di tempat
asalnya masing-masing. Maka tersebarlah sampai
di kampung-kampung guru-guru agama Islam yang
mengajarkan agama dan mereka pula yang merintis
berdirinya tempat ibadah, pendidikan untuk anak-
anak baik di rumah, surau maupun masjid. Pendidikan
agama untuk anak-anak terbina dengan baik. Adalah
menjadi pola dalam keluarga/masyarakat Bima
waktu itu, bahwa sejak anak laki-laki dan perempuan
berumur lima tahun mulai diajarkan membaca al-
Qur’an. Kadang-kadang dikumpulkan di masjid
atau surau yang diajarakan oleh guru ngaji, dan
lepas mengaji mereka diajarkan berbagai adab sopan
santun menurut akhlak Islam dan terutama ilmu
mengenai kepercayaan/akidah dan kewajiban terhadap
Allah yang lebih dikenal dengan istilah rukun iman,
rukun Islam. Diceritakan pada mereka hal-hal yang
terkandung dalam al-Qur’an, terutama sejarah para
nabi, para sahabat, dan cerita-cerita yang bernafaskan
Islam. Mengenai sistem membaca al-Qur’an di masjid,
surau dan rumah diajarkan secara individual dan
berganti-ganti. Ada yang mulai dari abjad, ada pula
yang mulai langsung dengan al-Qur’an.

116
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Dengan dibentuknya Majelis Agama Islam sebagai


bagian badan eksekutif kesultanan, maka kegiatan
pendidikan Islam lebih aktif dan terkoordinir. Dengan
berfungsinya lembaga tersebut secara efektif, aktivitas
pendidikan semakin semarak dan mulai terkoordinir
dari tingkat pusat kesultanan sampai ke desa-desa.
Sekalipun demikian belum ada satu pun lembaga
pendidikan Islam dalam bentuk formal. Untuk
tingkat pusat, terdapat pejabat yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan pendidikan Islam bagi
sultan dan keluarganya, yaitu para qadhi dan imam.
Sedangkan yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pendidikan Islam bagi masyarakat secara
keseluruhan, yaitu Lebe Na’e untuk tingkat kejenelian/
kecamatan, dan Cepe Lebe untuk tingkat desa serta
Robo untuk tingkat kampung. Bahkan pada setiap
malam Jum’at bagi setiap Lebe Na’e dan Cape Lebe
untuk setiap tingkat kejenelian dan desa diwajibkan
datang ke istana kesultanan untuk diadakan evaluasi
terhadap bacaan mereka tentang al-Qur’an (tajwid)
dan yang mengadakan evaluasi adalah sultan itu
sendiri. Sebab sudah menjadi kelaziman untuk setiap
sultan memahami agama, bahkan tidak jarang sultan
hafal al-Qur’an.
Pada awal-awal masa pemerintahan Sultan
Muhammad Salahuddin keadaan pendidikan Islam

117
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

di Bima masih melanjutkan kegiatan dan aktivitas


sebagaimana yang telah diuraikan pada masa sultan-
sultan sebelumnya. Belum ada perubahan mendasar.
Misalnya di suatu desa diadakan beberapa tempat
pengajian al-Qur’an. Diajarkan huruf hijaiyah,
membaca al-Qur’an, pokok-pokok dan dasar ilmu
agama Islam seperti cara beribadah, rukun iman,
rukun Islam dan sebagainya. Cara mengajarkan ialah
dengan cara menghafal.
Berhubung Sultan Salahuddin amat mencintai
agama dan memiliki pengetahuan yang luas dalam
bidang agama sehingga tidak mengherankan baginda
sultan mempunyai perhatian yang besar pada
kelanjutan pembinaan Islam terutama menyangkut
aspek pendidikan Islam. Sehingga pada masa
pemerintahannya perkembangan agama Islam,
khusus aspek pendidikan bertambah maju. Selain
meningkatkan lembaga pendidikan Islam non formal,
Sultan bersama Ruma Bicara Abdul Hamid merintis
pengembangan pendidikan Islam formal. Maka pada
tahun 1931, atas inisiatif Ruma Bicara Abdul Hamid
dengan dukungan Sultan Muhammad Salahuddin
berhasil mendirikan lembaga pendidikan Islam formal
yang pertama di Bima, yaitu: “Darul Tarbiyah” yang
terletak di kota Raba. Dengan restu Sultan, Ruma
Bicara Abdul Hamid mendatangkan Muhammad

118
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Sanan putera dari Abdul Wahid Karim Muda, seorang


ulama yang berpikir maju kelahiran Minang Sumatera
Barat, untuk diangkat sebagai pemimpin lembaga
pendidikan Islam tersebut.
Pada masa baginda ini berpuluh-puluh madrasah
didirikan sebagai usaha untuk menyiarkan ajaran
Islam di segala pelosok Bima. Usahanya sultan
mendapat sambutan dan dukungan dari masyarakat
setempat. Menurut data dari kantor Yayasan Islam
Kabupaten Bima, madrasah yang didirikan oleh
Sultan Muhammad Salahuddin sejumlah 19 madrasah
(Sumber Yayasan Islam Kabupaten Bima, 1989: 21).
Hal ini dapat dilihat sebagai berikut:
No. Nama Madrasah Alamat Tahun Berdiri

1. Darul Tarbiyah Raba Ngodu 1-7-1931

2. Darul Ulum Bima Paruga R. Ne-E 1-8-1938

3. Darul Ulum Tente Tente Woha 15-8-1942

4. Madrasah Ibtida’iyah Nagali Ngali belo 1-10-1942

5. Darul Ulum Sila Sila Bolo 1-12-1942

6. Darul ulum O’O O-o Donggo 1-12-1942

7. Darul Ulum Mangge Tangga Monta 1-1-1942

8. Madrasah Ibtida’iyah Tangga Raba Ngodu 1-1-1942

9. Madrasah Tsanawiyah Raba Maria wawo 1-5-1945

10. Madrasah Tsanawiyah Maria Sape 1-9-1945

11. Darul Ulum Sape Sape 1-11-1945

119
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

No. Nama Madrasah Alamat Tahun Berdiri

12. Darul Ulum Dompu Dompu 1-1-1946

13. Madrasah Ibtida’iyah Belo Belo 12-1-1946

14. Madrasah Ibtida’iyah Sumi Sumi Sape 24-6-1946

Madrasah Ibtida’iyah
15. Karumbu Wawo 1-7-1946
Karumbu Wawo

16. Darul Ulum Kempo Kempo Dompu 1-1-1946

17. Darul Ulum Parado Parado Monta 1-19-1946

18. Madrasah Ibtida’iyah Nata Nata Belo 21-9-1946

19. Madrasah Ibtida’iyah Dena Dena Bolo 1-12-1946

Untuk mengurus dan membina kelangsungan


dari lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sudah
menyebar ke desa-desa itu, Sultan Muhammmd
Salahuddin memandang perlu untuk mendirikan
lembaga khusus, yaitu “Badan Hukum Syara’
Kesultanan Bima” dengan beslit No. 42 Tanggal 4 Mei
1947 dengan susunan personal sebagai berikut:
1. Imam Bima : H. Abd. Rahman Idris
2. Penghulu : H. Ishak Abdulkadir
3. Lebe Dalam : H. Jasin M. Nur
4. Khatib Tua : H. Usman Abidin
5. Khatib Karoto : H. Abubakar Husen
6. Khatib Lawili : H. M. Saleh Kudu
7. Khatib To’i : H. Usman Muhammad

120
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Badan inilah yang secara aktif mengelola


pendidikan Islam pada masa Kesultanan Bima
dan secara khusus pula telah meletakan dasar
bagi perkembangan pendidikan Islam, sehingga
tumbuh dan berkembang dengan pesat. Di antara
tugas-tugas Badan tersebut di samping mengurus
pendidikan Islam juga mengurus amal-amal lain
bagi kepentingan umat Islam di dalam Kesultanan
Bima waktu itu meliputi masalah-masalah sebagai
berikut: (1) Mencatat, mengadili perkara-perkara
yang berhubungan dengan nikah, talak, cerai, dan
rujuk, urusan sumpah, membagi harta warisan dan
sebagainya, (2) Menyelesaikan urusan baitul maal
dan wakaf, membangun, mengurus dan mengawasi
masjid-masjid, langgar, surau surau. (3) Membina dan
memimpin aparat-aparatnya (Lebe Na’e-Lebe Na’e),
Cepe Lebe-Cepe Lebe, sampai ketingkat desa-desa).
(4) Membangun, membuka, mengurus, dan mengawas
madrasah-madrasah Islam, menyelenggarakan
penyiaran agama/dakwah, temasuk hari-hari besar
Islam. (5) Melaksanakan pengumpulan zakat, baik
zakat maal, fitrah maupun shadaqah dan infak serta
membagi-bagikan hasil pengumpulan zakat kepada
yang berhak menerimanya. (6) Melaksanakan urusan
sosial lainnya, seperti merawat para cacat, memelihara
fakir miskin, muallaf, anak-anak yatim piatu dan lain
sebagainya. Menetapkan jadwal permulaan ibadah
puasa. (7) Permulaan Syawal dan hari raya maupun

121
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

menerima dan meresmikan orang-orang yang baru


masuk Islam.
Setelah Badan Hukum Syara’ tersebut
melaksanakan fungsinya, terutama dalam membina
lembaga-lembaga pendidikan, bersamaan dengan
itu pula bermunculan madrasah-madrasah di setiap
desa. Karena lembaga pendidikan bertambah maju
dan banyak, maka secara langsung membutuhkan
tenaga-tenaga pengajar. Dalam kaitannya dengan ini,
Sultan Muhammad Salahuddin mengirim siswa-siswa
ke berbagai perguruan dan pesantren di luar daerah,
misalnya ke pesantren Jombang, Jakarta, bahkan ke
Mekkah, Arab Saudi, dan Mesir. Para pemuda pelajar
yang dikirim ke Mekkah akan mendapat fasilitas
pemondokan pada rumah wakaf yang didirikan oleh
Sultan Ibrahim sebagai asrama bagi jama’ah haji dari
Bima.
Dengan berdirinya Badan Hukum Syara’
Kesultanan Bima, bermunculan pula lembaga
pendidikan Islam di setiap desa. Berdasarkan sumber
dari kantor Yayasan Islam Kabupaten Bima, bahwa
sejumlah 15 buah madrasah didirikan lagi, terutama
pada akhir masa pemerintahan Sultan Muhammad
Salahuddin. Adapun lembaga pendidikan Islam yang
dimaksud dapat disebutkan sebagai berikut:

122
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

No. Nama Madrasah Alamat Tahun Berdiri

1. Madrasah Ibtida’iyah Nunggi Nunggi, Wera 1-08-1947

2. Darul Ulum Pena Pena, Rasa Na’e 1-11-1947

3. Darul Ulum Benteng Benteng, Melayu 1-09-1948

4. Darul Ulum Talabiu Talabiu, Woha 1-09-1948

5. Darul Ulum Bajo Sarae Bugis, Sape 1-09-1948

6. Madrasah Ibtida’iyah Kore Kore, Sanggar 1-09-1948

7. Darul Ulum Raba Wawo Raba, Wawo 1-12-1948

8. Darul Ulum Lampe Lampe, Rasa Na’e 1-02-1949

9. Madrasah Tsanawiyah Bima Bima, Rasa Na’e 1-05-1950

10. Madrasah Ibtida’iyah Cenggu Cenggu, Belo 1-08-1950

11. Madrasah Ibtida’iyah Teke Teke, Belo 1-08-1950

12. Madrasah Ibtida’iyah T. Tangga Tolo Tangga, Monta 1-08-1950

13. Darul Ulum Kodo Kodo, Rasa Na’e 1-08-1950

14. Sekolah Keputrian Islam Salama, Rasa Na’e 1-09-1950

15. Madrasah Ibtida’iyah Dori Dungga Dori Dungga, Donggo 1-08-1951

Sebenarnya madrasah yang didirikan oleh Badan


Hukum Syara’ Kesultanan Bima banyak sekali, tetapi
penulis batasi hanya pada masa Sultan Muhammad
Salahuddin saja, sesuai dengan judul buku ini.
Demikian pula uraiannya berkisar periode berdirinya
lembaga pendidikan Islam saja, tidak menyangkut
proses belajar mengajar.

123
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

E. Hukum Adat Tanah Bima Sebagai


Sumber Hukum Kekuatan Kesultanan
Bima.15
Sejarah hukum di Indonesia sebelum masa
penjajahan Belanda, pada masa penjajahan Belanda
atau setelah kemerdekaan Indonesia, terbentuk oleh
sejarah berbagai kerajaan yang ada di Nusantara yang
memiliki banyak perbedaan dan persamaan satu sama
lain. Persamaannya dapat dirunut dilatarbelakangi
oleh pengaruh Islam, dan perbedaannya bergantung
pada latar belakang budaya yang membentuk karakter
hidup kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Kesultanan Bima sebagai salah satu kesultanan
di Nusantara, merupakan kesultanan yang memiliki
sejarah hukum yang cukup panjang. Selama hampir
empat abad lebih semenjak kesultanan itu menyatakan
diri sebagai wilayah Islam, payung hukum yang
berlaku di wilayah tersebut dipengaruhi oleh ajaran-
ajaran fiqh Islam. Ini merupakan gambaran bahwa
hukum Islam diterima dengan baik oleh masyarakat.
Adalah Bo Sangaji Kai, buku besar kesultanan, yang
menyimpan perundang-undangan secara tertulis yang
berlaku saat itu, yang hingga kini disimpan di Museum
Samparaja, Bima.

15
Di sadur dari Disertasi DR. Hj. Maryam R. Salahuddin, SH, tentang
Hukum Adat Tanah Bima sebagai sumber Kesultanan Bima.

124
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Untuk menyelami isi Bo’, sebagai karya sastra


Nusantara, maka dibutuhkan ilmu yang tepat. Filologi
adalah ilmu yang tepat dalam mengungkap makna
sejauh mungkin dari karya masa lampau itu, sebab
Bo’ berupa naskah berisi teks tertulis. Studi terhadap
karya masa lampau di atas dilakukan karena anggapan
bahwa dalam peninggalan tulisan terkandung nilai-
nilai yang tinggi dan masih relevan dengan kehidupan
masa kini.
Karya tulisan masa lampau dapat memberikan
informasi tentang buah pikiran, perasaan dan berbagai
segi kehidupan masyarakat, termasuk tata aturan yang
berlaku pada masa itu. Karya-karya yang mengandung
informasi masa lampau tercipta dari latar belakang
sosial budaya yang tidak sama dengan keadaan
sosial buadaya masyarakat masa kini. Sementara itu,
peninggalan berupa tulisan yang berasal dari kurun
waktu puluhan tahun dan ratusan tahun yang lalu,
naskah Bo, dewasa ini berada dalam kondisi yang
sudah rusak akibat hasil dari suatu proses penyalinan
yang telah berjalan dalam waktu yang lama. Sangat
disayangkan, jika peninggalan yang berharga ini
punah, sedangkan isinya belum sempat diketahui
seluruhnya.
Salah satu peninggalan warisan budaya di atas
adalah berupa naskah. Naskah inilah yang paling

125
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

autentik dalam memberikan informasi sejarah


Kesultanan Bima di masa lampau. Naskah tersebut
berisi Hukum Adat yang berlaku pada masa
Kesultanan Bima sejak abad ke 17 hingga berakhirnya
masa kolonialisme di Nusantara. Isi kandungan
naskah Hukum Adat Tanah Bima adalah ketentuan-
ketentuan yang berisi hak dan kewajiban dari warga
masyarakat dan larangan-larangan perbuatan yang
merugikan orang lain, baik jasmani maupun harta
benda dan kehormatan. Tujuan dari pengaturan ini
adalah untuk mencapai keseimbangan kepentingan
antara warga satu dengan yang lain serta antara
warga dengan masyarakat adat. Terhadap pelanggaran
dikenakan sanksi yang ditetapkan oleh suatu putusan
pemegang hukum yang adil dan bijaksana atas dasar
Hukum Adat, dengan pertimbangan-pertimbangan
kemanusiaan.
Di samping berpegang teguh kepada ajaran
agama Islam, masyarakat Bima juga menaati Hukum
Adat Tanah Bima. Sejak sistem pemerintahan Islam
(kesultanan) diterapkan oleh Sultan Abdul Kahir
Rumata ma Bata Wadu (Raja ke-26 Kerajaan Bima dan
raja pertama yang menganut agama Islam), pada tahun
1611, HATB berlaku efektif dan menyentuh seluruh
warga tanpa kecuali. Sultan ini mengamanatkan
kepada seluruh jajaran pemerintahan dan rakyat, agar

126
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

mereka menjalankan ajaran Islam dengan sebenar-


benarnya. Sehingga dengan demikian berlakulah
syariat Islam sebagai pegangan hidup kerohanian
rakyat Bima, seiring sejalan dengan Hukum Adat
yang telah berlaku semenjak raja-raja sebelum Islam.
Diberlakukannya dua sistem hukum itu karena
memang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Bahkan secara garis besar, Hukum Adat Tanah Bima
mengandung norma-norma ajaran Islam.
Hukum Adat Tanah Bima (HATB) telah mengatur
berbagai aspek kehidupan seperti tata pemerintahan,
cara mengadili, serta mengatur tata tertib hubungan
kehidupan masyarakat adat sehari-hari. Keadaan
demikian berlangsung terus dari abad ke-17 sampai
berakhir masa Kesultanan pada abad ke-20. Ketika
VOC Belanda tiba di Nusantara, Kesultanan Bima
tetap diakui eksistensinya dan hukum adat di
daerah kesultanan tidak dihapus. Bukti pengakuan
pemerintahan Belanda dinyatakan dengan kontrak
politik antara pemerintah Belanda dan pemerintah/
Raja Kerajaan Bima yang bernama “Lange Politiek
Contract”. Pengakuan Pemerintahan Belanda
berimplikasi pada diakuinya sistem kerajaan dengan
hukum adat dan peradilan sendiri. Warga Kesultanan
Bima tidak tunduk kepada hakim Belanda, tetapi
mempunyai pengadilan adat sendiri (Landraad).

127
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Itulah sebabnya, maka oleh kalangan luas


dikatakan bahwa masyarakat Bima itu kuat
keislamannya karena telah berabad-abad lamanya
menyandarkan kehidupannya pada nilai-nilai
keislaman. Akan tetapi, dalam kenyataannya seiring
dengan perkembangan kemajuan dunia, sejak
pertengahan abad ke-20 Masehi, terjadi banyak
perubahan. Perubahan tersebut berpengaruh pula pada
sikap masyarakat terhadap HATB. Banyak pedoman
dan pegangan hidup yang semula dijalani dengan
patuh oleh para leluhur dan orang tua rakyat Bima,
mulai dilupakan atau tidak diindahkan lagi.
Seharusnya disadari bahwa untuk keseimbangan
hidup, masyarakat Bima hendaknya berpegang
teguh kepada norma-norma agama Islam, karena
norma-norma keislaman itu telah tercantum
dalam naskah HATB yang mengandung prinsip
keadilan dan kemanusiaan yang sangat diperlukan
untuk kesejahteraan hidup umat manusia. Dari sisi
kemampuan Kesultanan Bima yang kokoh bertahan
selama hampir empat abad, setidaknya menunjukkan
HATB merupakan payung hukum yang kuat yang
melindungi kepentingan warga Bima.
Jika pun pada akhirnya, masa-masa kesultanan
telah berakhir, dalam banyak hal, prinsip-prinsip
keadilan yang menjadi ruh dari HATB, tetap sejalan

128
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

dengan hukum moderen yang kini dianut oleh


pemerintahan republik. Clifford Geertz (1963)
menggarisbawahi tentang ”revolusi integratif ” yang
telah terjadi di banyak negara berkembang sesudah
kemerdekaan. Rakyat di negara-negara berkembang
yang memperoleh kemerdekaan lewat perjuangan
yang tak kenal lelah, telah menyatakan diri bersatu
di negara-negara yang baru merdeka itu, yang dalam
banyak aspek hukum negara-negara merdeka tadi
bersifat moderen.
Namun, adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah
bahwa persoalan-persoalan umum yang menjadi ciri
khas negara-negara baru, adalah masih kuatnya urusan
darah, ras, bahasa, lokalitas, agama, atau tradisi.
Geertz menyebut pandangan tentang persoalan ini
sebagai ”identitas primordial,” yang berasal dari ’hal-
hal tertentu’ atas dasar anggapan bahwa kebudayaan
selalu terlibat di dalam hal-hal seperti itu. Hubungan-
hubungan langsung antar warga dengan produk
hukum yang dibesarkan di bawah asuhan kebudayaan
’primordial’ di atas, pada akhirnya menghasilkan
norma-norma sosial dan hukum yang memperkuat
karakter warga tempat budaya hukum itu dibesarkan
dan kemudian diwariskan secara turun temurun.
Walaupun pada zaman modern nilai-nilai
liberalisme sosial dan hukum kerap memperhadapkan

129
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

identitas primordial dengan identitas kewarganegaraan


nasional, tapi tetap saja persoalan budaya sebuah
masyarakat tidak mampu dicerabut olehnya, karena
budaya itu telah menjadi jiwa kehidupan suatu warga.
Ini diakui oleh Geertz sendiri yang menyadari bahwa
identitas nasional berada pada posisi yang lemah
dibandingkan dengan identitas primordial. Dunia
akhirnya menyaksikan Yugoslavia terbagi menjadi
negara-negara kecil dengan identitas primordial
yang kuat. Uni Sovyet bubar dan berubah menjadi
negara-negara merdeka dengan identitas primordial
yang juga kuat. Pertanyaannya adalah mengapa cita-
cita kemerdekaan Indoensia, yang di kemudian hari
ditafsirkan seolah hendak menguburkan identitas
primordial itu, tidak berdaya menghadapi kekokohan
identitas primordial ?
Sumbodo menegaskan bahwa hukum adat, yaitu
hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam
kehidupan rakyat sehari-hari yang diakui berlakunya
oleh penguasa, baik yang berasal dari zaman dahulu
(masa penjajahan dan sebelumnya) maupun yang
timbul dan berkembang di dalam masa kemerdekaan.
G. Puchta, seorang penganut aliran sejarah hukum,
mengatakan, ”Hukum itu tumbuh bersama-sama
dengan pertumbuhan, dan menjadi kuat bersama-sama

130
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia


mati manakala bangsa itu kehilangan kebangsaannya.
Oleh sebab itu, harapan penulis adalah agar
Naskah HATB itu harus dikenal dan dijiwai kembali
oleh masyarakat Bima, karena isi kandungannya
pernah diberlakukan oleh pemimpin adat sejak abad
ke-17 dan secara terus menerus digunakan pada
abad berikutnya. Diberlakukannya HATB terbukti
mampu membangun masyarakat Bima berada dalam
kedamaian, kesejahteraan dan keadilan selama hampir
empat abad. HATB sendiri mengalami berbagai
perbaikan dan perubahan, disesuaikan dengan
perubahan zaman. Ini terbukti dengan ditemukannya
empat naskah yang diperbaiki dan disesuaikan dengan
tuntutan zaman, tetapi amanat Sultan pertama agar
memegang teguh mengamalkan ajaran Islam tetap
tercantum. Perbaikan HATB dilakukan dengan
penyalinan yang secara berulang dilakukan antar
generasi.
Sangat disayangkan, kenyataan sekarang ini,
masyarakat Bima tidak ada lagi yang tahu tentang
HATB, apalagi mengetahui tentang isinya. Hal-hal
tersebut kemungkinan disebabkan karena :
Pertama, naskah ditulis dalam aksara Arab Melayu
yang sekarang sudah jarang orang dapat membacanya.

131
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Kedua, bahasanya dalam bahasa Melayu lama yang


agak sulit dimengerti oleh orang banyak.
Ketiga, materi hukum adatnya sebagian besar
merupakan masalah khas daerah Bima yang diatur
dalam sebuah peraturan adat yang tidak dikenal lagi
oleh masyarakat sekarang ini.
Keempat, naskah HATB yang paling lengkap
hanya ada satu buah, yang dahulu disimpan di
Istana Kesultanan. Terhadap naskah ini, tidak ada
yang berani mengetahui isinya, mengingat istana
merupakan lambang negara yang terhormat dan
karenanya warga jarang yang berani meneliti HATB.
Kelima, setelah berakhirnya masa kesultanan,
naskah-naskah salinan HATB yang semula dipegang
oleh para pejabat kesultanan sebagai pedoman
dalam menentukan hukum, tidak lagi tersimpan di
tempat yang aman. Syukur alhamdulillah, sekarang
telah disimpan di Museum “Samparaja” yang
meyelamatkannya pada tahun 1985 dengan cara
mengkonservasikannya di Arsip Nasional RI tahun
1986, 1987, 1988. Pada tahun 2007, Perpustakan
Nasional RI membuat mikrofilm dan melakukan
konservasi HATB.

132
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Keenam, naskah-naskah peninggalan tersebut


tidak menarik perhatian Pemerintah Daerah karena
mungkin dianggap tidak ada arti dan fungsinya lagi.
Padahal secara sepintas isi naskah perlu diketahui
karena mengatur tentang hubungan pemerintah/
pemimpin dengan rakyatnya, tugas kewajiban masing-
masing dalam memelihara ketertiban dan menjaga
keseimbangan, keselarasan dan rasa kebersamaan,
saling menghormati, dan menetapkan pula larangan-
larangan perbuatan yang merugikan orang lain baik
terhadap jiwa, raga, maupun harta bendanya. Terhadap
pelanggaran-pelanggaran ditetapkan sanksinya
masing-masing. Budaya taat hukum dan sikap santun
warga yang menilai hukum sebagai ketentuan yang
wajib dipatuhi tanpa harus mempersoalkannya lagi,
mencerminkan bahwa kehidupan hukum berjalan
normal dan mampu menciptakan rasa aman di
kalangan warga.
Selain itu naskah mengandung ajaran Islam
tentang keadilan dan kemanusiaan, misalnya,
seseorang yang melakukan perbuatan yang merugikan
orang lain, seperti mengambil hak orang lain dengan
tidak sepantasnya atau mencuri, maka sanksinya
barang yang diambil itu wajib dikembalikan, dan
terhadap yang mencuri dikenakan hukuman denda.

133
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Demikian pula apabila seorang menganiaya atau


menciderai orang lain maka wajib ia mengobati orang
yang dilukainya itu. Dan apabila sampai keluar darah,
maka yang melakukan pelanggaran dikenakan denda
juga, karena perbuatan yang demikian dilarang oleh
adat dan tidak sesuai dengan prinsip peri kemanusiaan.
Unsur memenuhi rasa keadilan masyarakat, telah
terpenuhi oleh ketentuan sanksi yang dijatuhkan
kepada para pelanggar adat. Dalam hal ini, adat tetap
menjalankan fungsinya dengan baik. Antara yang
seharusnya terjadi (das Sollen) dengan kenyataan (das
Sein) tercipta dengan harmonis. Apabila das Sollen tidak
sesuai dengan das Sein, inilah yang disebut sebagai
peraturan atau ketetapan yang kehilangan fungsi
hukumnya. Di dalam suatu negara atau lingkungan
warga masyarakat yang tata hukumnya baik, hanya
terdapat saja sedikit peraturan atau ketentuan yang
kehilangan fungsi sebagai hukum. Sebaliknya, bila
di dalam masyarakat atau negara terdapat banyak
peraturan atau ketetapan yang kehilangan fungsinya
sebagai hukum, berarti tata hukumnya tidak baik
(Sumbodo Tikok SH : 1988).
Berikut ini diuraikan beberapa contoh kesamaan
antara Hukum Adat Tanah Bima dengan Hukum
Islam.

134
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

1. Pasal 1 :
Sebagai lagi jika ada pun sama sendirinya
diambilnya yang tiada patut hendaklah
dikembalikannya semuanya bahwa jangan sekali
kali diumpamakan dirinya seperti Raja yang
Kerajaan. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Al
Qur’an Surat An - Nisaa : 29

                              


                     
  
                            
     
     
          
 
     
‫۝‬    
۲۹   
“Yaa ayuhalladzina aamanuw la ta’kuluw
amwalakum baynakum bil baathili illa an takuuna
tijaaratan ’an taraadhin minkum walaa taqktulu
anfusakum innallaha kaana bikum rahiiman.”
Artinya ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu Dan
janganlah kamu membunuh dirimu sungguhnya Allah
Maha Penyayang kepadamu Allah.” (Al-Qur`an dan
Terjemahnya cetakan Arab Saudi 1971).

135
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

2. Pasasl 2 :
Sebagai lagi, hal orang yang bicara itu jikalau ada
orang yang dibicaranya jangan dengan gusarnya
dan jangan dengan laparnya bergurahnya dan
jangan ada orang dikasihinya dan jangan ada
orang digusarinya dan jangan ada ibu bapaknya
dan jangan ada anak saudaranya. Ini sesuai dengan
firman Allah Swt di dalam Al Qur’an Surat An -
Nisa :58,

                           



                      
  
                        
         
           
     


 
٥٨  
‫۝‬  
“Inna-llāha ya`murukum an tu-addul amānāti ilā
ahlihāwa idzā hakamtum bayna al-nāsi an tahkumū
bi al ’adli ina-llāha ni’immā ya’izhukum bihı̃ inna-
llāha kāna samı̃’an bashı̃ran”.
”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukumdiantara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran sebaik-baiknya
kepadamu, sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar
lagi Mahamelihat.” (Al-Qur`an dan Terjemahnya
cetakan Arab Saudi 1971).

136
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

3. Pasal 3 :
Sebagai lagi seperti hamba orang jangan sekali-
kali diberi berhutang dengan tiada setahu tuannya,
jika hamba dalam rumahnya. Jika hamba di luar
boleh juga diberi hutang tetapi jikalau ditagih
tiada boleh dikerasi oleh orang yang empunya
harta itu dari pada takut lari atau mengamu hamba
orang itu. Sesuai dengan firman Allah Swt dalam
Al-Qur’an Surat Al-Nisaa: 36,

                       
                    

                       
             
              

               
       
        
         
   

  
 
        

            
  
   
 
‫ ۝‬      
٣٦

Wa’budullaaha wa laa tusyrikű bihı̃ syai-an wa


bi al-walidayni ihsānan wa bidzi al qurbã wa al-
yatămā wa al-masākiyni wa al-jāri dzi al-qurbā wa
al-jāri al-junubi wa ash-shāhibi bi al-janbi wa ibni
as-sabiyli wa mā malakat aymānukum Innallāha lā
yuhibbu man kāna mukhtālan fakhūran”.
”Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan

137
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, karib kerabat,


anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnul
sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri.” (Al-Qur`an dan Terjemahnya cetakan
Arab Saudi 1971).

Adalah ayat 36 surat an-Nisa (4) menjadi dasar


pembentukan akhlak dan rasakemanusiaan yang
diikuti oleh HATB, sampai perihal hamba sahaya
diatur dalam beberapa pasal terutama mengenai hak
dan perlakuan terhadap dirinya. Mengenai perlakuan
terhadap ‘budak’ tertulis oleh Gubernur Hindia
Belanda untuk daerah Celebes (Sulawesi) yaitu Van
Braam Morris di dalam satu memori pemerintah
tahun 1886 sebagai berikut :
“Tiada satu pun negara di dunia yang memperlakukan
para budak sebaik sebagaimana diperlakukan budak di
Kerajaan Kesultanan Bima”.

Pujian di atas tampaknya bukan hanya karena ia


sendiri telah melihat kenyataan sosial budaya Bima
pada waktu itu, tetapi juga dikarenakan Kesultanan
Bima telah mengenal peraturan perbudakan setingkat
undang-undang pada pemerintahan moderen, yang
antara lain mengatur hubungan tuan dengan budak
dan secara terperinci memuat hak dan kewajiban
seorang budak terhadap tuannya dan hak dan

138
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

kewajiban tuan kepada budaknya. Antara lain dapat


diketahui pada Arsip atau sejenis Lembaran Negara
Kesultanan Bima masa pemerintahan Sultan Ismail
berikut ini,
“Orang menaruh budak itu ta(k) dapat tiada bukannya16
mengataskan daripada makannya barang dimana
disuruhnya maka apabila sampai dua belas tahun
umurnya maka hendaklah tuannya memberi belanja
kepada sebulan setengah gulden. (Lembaran Negara
Kesultanan Bima, Perkara/h/ yang ketiga puluh
tiga,1241 H/1825 M, halaman 12).”

Peraturan ini apabila diterjemahkan secara bebas


berstruktur ke dalam bahasa Indonesia sekarang akan
berbunyi seperti ini,
”Pemilik budak berkewajiban memberi makan budaknya
dengan makanan yang sama dengan yang biasa ia
makan, dan apabila pengabdiannya telah mencapai 12
tahun, ia wajib diberi uang belanja sebesar setengah
gulden setiap bulannya.”

Peraturan kewajiban memberikan gaji kepada


budak, adalah sesuatu hal yang baru. Sebab, lazimnya
budak tidak digaji. Ia bahkan diperjualbelikan oleh
tuannya layaknya barang dagangan. Dilihat dari
angka tahunnya, berarti Van Braam Morris (1886)

16
Budaknya (?)

139
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

mengomentari hal itu setelah hampir 60 tahun


peraturan di atas diberlakukan di Kesultanan Bima.
Demikian juga, bukan saja peraturan perbudakan
itu sejalan dalam pandangan (perspektif) Islam akan
tetapi juga dari segi pandangan pihak penguasa
Belanda pun HATB merupakan hukum yang positif.
Namun dalam banyak hal, kearifan lokal yang berpijak
pada norma-norma Islam dan adat tersebut di atas
tidak dijalankan lagi sebagaimana mestinya di masa-
masa belakangan ini. Pengiriman Tenaga Kerja
Wanita ke luar negeri menunjukkan hukum adat telah
diabaikan oleh masyarakat. Kisah Nirmala Bonat yang
mengalami penyiksaan oleh majikannya di Malaysia,
menyisakan cerita pedih bagi nilai-nilai kemanusiaan
yang justru telah diatur dengan sempurna di masa-
masa kesultanan Bima hampir dua abad yang lalu
Mengenai perbedaan antara hukum adat
dan hukum Islam terdapat dalam pasal-pasal di
dalam HATB yang bersifat pengaturan ketentuan-
ketentuan khusus khas daerah Bima tentang tatacara
perlindungan hak, tugas dan kewajiban sebagai warga
masyarakat adat dan hal-hal lain yang merupakan
adat kebiasaan yang tidak tertulis dalam Al-Qur’an,
tetapi yang sifatnya tidak bertentangan dengan hukum
Islam.

140
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Keadilan atau adil menurut hukum Adat Bima


adalah: semua anggota masyarakat adat diperlakukan
sama, mempunyai hak yang sama yang dirasakan dan
diterima dengan ikhlas. Adil pula dirasakan dalam
menjatuhkan hukuman bagi orang-orang atau anak-
anak orang besar yang jauh lebih besar/berat daripada
hukuman bagi rakyat kecil. Dalilnya adalah apabila
kedudukan seseorang bertambah tinggi, maka tambah
tinggi pula kewajiban dan keinsafannya untuk tidak
melakukan pelanggaran terhadap adat dan hukum
adat.
Kemanusiaan sama dengan keadilan bersumber
pada perasaan dan hati nurani. Oleh karena itu
kemanusiaan menurut hukum adat di Bima adalah
: rasa kebersamaan, yang dimanifestasikan dalam
kata pepatah : apa yang dirasakan oleh diri sendiri
demikian juga dirasakan oleh orang lain sehingga tali
silaturrahim antara sesama warga tetap terpelihara
dan jangan sampai putus.
Salah satu pasal dalam HATB yang menunjukkan
kepada keadilan dan kemanusiaan mengatakan sebagai
berikut :
Sebagai lagi17 jikalau ada orang berhutang mau
banyak atau sedikit, kemudian maka mati orang yang
berhutang itu, maka tinggal anaknya seorang atau dua

17
Judul dalam pias kanan: “Alamat orang berhutang.”

141
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

tiga orang dan saudaranya sekalipun, jikalau tiada


harta ditinggalnya oleh orang mati itu akan diwaris
(hlm.35e) oleh anaknya atau saudaranya itu tiada boleh
dibayarnya hutang itu oleh anaknya atau saudaranya
daripada sebab tiada waris kepadanya, demikianlah
bicara kepada yang demikian itu.

Untuk memahami lebih jauh pasal di atas, berikut


ini terjemahan bebas bunyi pasal tersebut,
”Jika ada orang yang meninggal dunia meninggalkan
hutang, dengan meninggalan anak seorang, dua orang
atau tiga orang, sementara si mayit tidak meninggalkan
harta warisan yang ditinggalkan untuk membayar
hutang itu, maka si pemberi hutang wajib membebaskan
hutang si mayit dan tidak boleh menagihnya kepada
anak si mayit maupun saudara si mayit.”

Ketentuan membebaskan orang berhutang yang


meninggal dunia tanpa meninggalkan harta warisan
seperti ini, sangat manusiawi. Perbankan moderen
antara lain menawar produk pinjaman yang apabila
si debitur meninggal dunia, maka utang tersebut
dianggap lunas, ahli waris tidak perlu membayarnya.
Padahal hal semacam ini telah dipraktekan semenjak
lama di Kesultanan Bima.
Sebagaimana telah diungkap sebelumnya,
naskah yang berisi hukum adat tidak hanya berupa
naskah dari abad ke-17, tetapi juga ada pada abad
sesudahnya sehingga terkumpul 4 (empat) buah

142
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

naskah yang isinya tentu memiliki perbedaan dan


persamaan. Perbedaannya mengikuti tuntutan zaman,
persamaanya dipengaruhi oleh masuknya Islam dan
ajarannya di Bima yang telah ditransformasi dalam
cara pelaksanaan hukum dan tata penghidupan
masyarakat Bima.
Seharusnya semakin jelas dapat dirasakan
bahwa Islam mewariskan norma-norma yang
dimanifestasikan di dalam kebijakan-kebijakan lokal,
meskipun dalam kenyataannya hukum-hukum yang
berlaku di Indonesia kurang melirik ke hukum dan
kebijakan-kebijakan lokal yang sudah berakar dalam
masyarakat. Padahal adanya kehidupan sekarang
karena ada kehidupan masa lalu yang memiliki
tatanan hukum adat yang mengandung keadilan dan
kemanusiaan dan lain-lain unsur yang luhur yang
patut dijadikan unggulan untuk membentuk hukum
nasional yang berkeadilan dan kemanusiaan. Norma-
norma tersebut bukan saja dalam HATB akan tetapi
ada hukum adat lain yang berisi norma kehidupan
yang sama seperti halnya dalam Undang-undang
“Simbur Cahaya” dari Palembang.
Sejarah kesultanan-kesultanan di Indonesia,
tidak terlepas dari ”perintah dan larangan” yang
diberlakukan raja. Adanya perintah dan larangan dari
sultan atau raja, pada gilirannya akan menimbulkan

143
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

berbagai kemungkinan untuk memberi bentuk kepada


sistem hukum yang berlaku sehingga secara perlahan
dan pasti perintah dan larangan itu menjadi undang-
undang yang baku yang mengikat seluruh warga.
Sebagai kerajaan nilai, apabila dilihat dari keharusan
yang fungsional dari amanat yang ada di dalamnya,
maka fokus HATB lebih cenderung pada tata tertib
dan kontrol.
Hukum ”dipanggil” untuk memberikan
perlindungan dan menyelesaikan perselisihan
yang kerap muncul di tengah masyarakat. Namun
demikian, HATB mampu mengantarkan Kesultanan
Bima hingga berusia ratusan tahun. Ini kiranya
cocok dengan anggapan bahwa sebuah wilayah
politik dengan kekuasaan hukum yang dipatuhi oleh
warganya, merupakan syarat bagi kelangsungan hidup
yang panjang bagi wilayah politik tersebut. Dari sudut
pandang ini, maka fungsi sosial HATB dapat dijadikan
salah satu bukti sejarah, bahwa apa yang dipatuhi di
masa lalu karena memang adat menuntutnya untuk
patuh, tidaklah berarti kepatuhan tersebut merupakan
sesuatu yang usang untuk dilestarikan di masa kini
dan akan datang. Karena Naskah Hukum Adat Tanah
Bima sangat kental dengan nilai ke-Islaman, maka
nilai-nilai yang terdapat di dalamnya penting untuk
dikaji dari sudut ke-Islaman. Atas dasar itulah perlu

144
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

dilakukan pengkajian Naskah Hukum Adat Tanah


Bima.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka seharusnya
Naskah HATB disosialisasikan oleh Pemerintah
Daerah, karena merupakan dokumen penting
tentang perjalanan hukum sejak abad ke-17 yang
menurut isinya merupakan salinan dari hukum adat
“Bicara Bima” yang berlaku sejak masuknya Islam
di Bima dan tertulis dalam aksara dan bahasa Bima.
Munculnya naskah lain pada abad selanjutnya menjadi
dokumen tambahan tentang perjalanan hukum yang
ada di Bima tersebut. Sebelum Islam masuk di Bima
yang berlaku adalah Hukum Adat tidak tertulis yang
dapat diidentifikasikan sebagai ajaran, sebagaimana
dianut oleh Doktrin Austin. Pandangan John Austin
(1790-18590) yang terkenal sebagai bapak hukum
Inggris seperti dikutip Satjipto Rahardjo, antara lain
mengatakan sebagai berikut :
”Yang sesungguhnya disebut hukum adalah suatu jenis
perintah. Tetapi, karena ia disebut perintah, maka setiap
hukum yang sesungguhnya, mengalir dari satu sumber
yang pasti....apabila suatu perintah dinyatakan atau
diumumkan, satu pihak menyatakan suatu kehendak
agar pihak lain menjalankannya atau membiarkan itu
dijalankan.18”

18
Soeddjito, 1991, Tranformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri,
Yogyakarta : Tiara Wacana, hal. 28

145
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Dengan gambaran di atas, maka HATB sesuai


dengan fungsi hukum yang sebenarnya yaitu
melindungi masyarakat, melindungi kepentingannya,
hak-haknya, dan keselamatan hidupnya dan menjaga
agar supaya terjamin ketertiban dan keamanan dalam
masyarakat. Melindungi kepentingan masyarakat
dapat terlaksana apabila ada ketentua-ketentuan yang
mengaturnya dan apabila ada aparat pelaksana hukum
yang menjalankannya.
Selain fungsinya untuk melindungi kepentingan
dan keselamatan masyarakat, fungsi hukum menurut
Roscou pound adalah untuk merekayasa masyarakat
(Law as a tool of social engineering). Pendapat Roscou
Pound itu di Indonesia dikembangkan oleh Mochtar
Kusuma Atmadja dengan sedikit perubahan yang
disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia
yang sedang membangun dan menuju masyarakat
yang modern. Beliau menyatakan, bahwa hukum
merupakan sarana pembaharuan masyarakat Indonesia
menuju masyarakat yang moderen.19.
Salah satu agenda reformasi nasional sekarang
ini, adalah reformasi sistem hukum. Keinginan untuk
mereformasi hukum didasarkan pada kondisi nyata
sistem hukum nasional yang perlu disempurnakan,

19
Mohtar Kusumaatmadja, 1999. Pengantar Ilmu Hukum, Buku I
Bandung: Alumni, hal 16

146
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

baik sisi substansi hukum, struktur dan budaya hukum.


Dari sisi substansi hukum, hukum nasional Indonesia
masih banyak bersumber dari hukum peninggalan
Belanda seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH Perdata), Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Kedua kitab hukum ini secara sosiologis dan
filosofis perlu disesuaikan dengan nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakat Indonesia. Dari sisi struktur
hukum, mengalami kemunduran dengan terjadinya
praktek-praktek penyimpangan / pelanggaran dalam
praktek oleh penegak hukum yang mewarnai dunia
peradilan Indonesia. Budaya hukum juga mengalami
hal yang sama, praktek ketidakpatuhan masyarakat
terhadap hukum merupakan kenyataan apresiasi
masyarakat terhadap hukum.
Untuk itu, dalam usaha pembangunan hukum
nasional, ketiga aspek sistem hukum di atas yaitu
substansi, struktur dan budaya hukum merupakan
elemen penting yang harus dibangun dalam
mewujudkan cita-cita hukum nasional (rechtsidée). Pada
zaman orde baru, perhatian terhadap pembangunan
hukum nasional ditetapkan dalam Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) 1993, yang menyatakan
bahwa, “Materi hukum meliputi aturan baik tertulis
maupun tidak tertulis yang berlaku dalam segenap
dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara, bersifat mengikat bagi semua penduduk.

147
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Materi hukum harus dapat dijadikan dasar untuk


menjamin agar masyarakat dapat menikmati
kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan
hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran,
menumbuhkan dan mengembangkan disiplin nasional.
Kepatuhan terhadap hukum merupakan tanggung
jawab untuk memberi rasa aman dan tenteram,
mendorong kreatifitas dan peran aktif masyarakat
dalam pembangunan, serta mendukung stabilitas
nasional yang mantap dan dinamis.”
Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor : IV/MPR/1999
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dijumpai
arah kebijakan nasional dalam bidang hukum adat
khususnya. Secara eksplisit keberadaan hukum adat
diakui. Adapun arah kebijakan dimaksud antara
lain tertuang dalam Bab IV huruf a angka 2 yang
berbunyi,
“Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh
dan terpadu dengan mengakui dan menghormati
hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui
perundang-undangan warisan kolonial dan hukum
nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan
gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan
reformasi melalui program legislasi.”
Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
tahun 2005-2009 mengemban politik legislasi yang
dikehendaki berfungsinya hukum sebagai alat untuk

148
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

merekayasa masyarakat/pembangunan, instrumen


penyelesaian masalah (dispute resolution) dan
instrumen perilaku masyarakat (social control). Bagian
pendahuluan dari Prolegnas menyatakan bahwa,
“Supremasi hukum ditempatkan secara strategis sebagai
landasan dan perekat bidang pembangunan lainnya
serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui satu sistem
hukum nasional. Hukum sebagai landasan pembangunan
bidang lainnya bermakna teraktualisasinya fungsi
hukum sebagai alat rekayasa sosial/pembangunan (law
as a tool of social engineering), instrumen penyelesaian
masalah (dispute resolution), dan instrumen pengatur
perilaku masyarakat (social control).”
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 telah
diidentifikasi tiga masalah dalam sistem hukum
nasional Indonesia, yaitu substansi hukum, struktur
hukum dan budaya hukum. Ketiga permasalahan yang
dihadapi hukum nasional itu kemudian ditetapkan
dalam kebijakan nyata pemerintah. Hukum nasional
Indonesia terbentuk dari berbagai sistem hukum
yang mempengaruhinya. Hukum nasional Indonesia
terbentuk dari beberapa sistem hukum yaitu : sistem
hukum Barat, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Politik
hukum nasional menghendaki agar ketiga sistem
hukum itu menjadi bahan utama dalam mewujudkan
unifikasi hukum.

149
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Dalam pembentukan hukum nasional, hukum


adat merupakan salah satu sumber utama untuk
membentuk hukum nasional.Hukum adat di Indonesia
merupakan hukum asli yang tumbuh dan berkembang
di tengah masyarakat, yang berlaku dalam masyarakat
adat di daerah-daerah tertentu di Indonesia.
Keberadaan hukum adat di Indonesia saat ini sangat
ditentukan oleh politik hukum yang dijalankan oleh
pemerintah.
Terkait dengan pengakuan hukum adat dalam
hukum nasional, Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”

Dari sini tampak jelas bahwa hukum adat, yang


melekat padanya hak-hak tradisional, mendapat
pengakuan khusus, dan karena itu adalah mungkin
untuk mengadopsi HATB ke dalam hukum
nasional, karena sifatnya yang dinamis dan masih
mencerminkan budaya Nusantara yang kental dengan
nilai-nilai ketimuran.

150
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

F. Tradisi Keislaman di Kesultanan Bima

Pada masa Kesultanan Bima, ajaran Islam


memberikan inspirasi sebagai sumber undang-undang
dan peraturan dalam kerajaan yang diatur menurut
tata cara Islam sehingga dalam kehidupan masyarakat
dalam beberapa aspek diwarnai dan dijiwai oleh
ajaran Islam. Karena itu, masyarakat Bima dewasa ini
memiliki adat istiadat yang bercorak Islam sebagai
warisan yang diterima secara turun temurun yang
berlaku sejak zaman Kesultanan Bima. Di antara adat
istiadat daerah Bima yang dimaksud ialah sebagai
berikut:

1. Adat Perkawinan
Pada umumnya, perkawinan di Bima
dilangsungkan setelah musim panen. Juga pada
bulan-bulan yang bersejarah menurut agama Islam,
misalnya: bulan Maulud, Rajab, dan Zulhijjah.
Adanya pemilihan bulan-bulan tersebut terletak pada
faktor ekonomis, yaitu ketepatan pada bulan-bulan
tersebut terjadi musim panen. Dasar pertimbangan
mereka tersebut terletak pada faktor ekonomi,
di mana sebelum bulan Zulqaidah mereka baru
saja mengadakan perayaan-perayaan sehingga
perekonomian menipis dan dalam menghadapi hari
raya Qurban mereka juga memerlukan persiapan-
persiapan seperlunya. Masyarakat Bima mengenal

151
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

dua bentuk perkawinan yang lazim menurut istilah


setempat, yakni perkawinan yang dikehendaki oleh
adat dan bentuk yang menyimpang dari kehendak adat
pada umumnya.
Perkawinan yang diinginkan oleh adat dinamakan
perkawinan yang baik disebut “Londo Taho”. Londo
Taho adalah perkawinan yang disepakati oleh kedua
belah pihak keluarga dengan didahului oleh pinangan
pihak laki-laki kepada orang tua si gadis melalui cara-
cara yang telah ditentukan oleh adat. Sedangkan adat
“ Londo Iha” sering disebut “selarian”. Sebagai jalan
keluar dari keadaan bilamana salah satu pihak keluarga
tidak menyetujui rencana perkawinan tersebut. Faktor
dari selarian ini dilakukan seperti sang gadis hamil
terlebih dahulu atau sebaliknya pemuda meragukan
keberhasilannya bila pinangan dilaksanakan. Kalau di
Lombok disebut Merarik suatu adat dimana seorang
laki-laki harus melarikan atau menculik si gadis
sebelum melakukan ritual pernikahan, merarik ini
umum terjadi dikalangan masyarakat Sasak Lombok,
merarik biasanya dilakukan oleh penduduku desa
yang masih memegang teguh tradisi. Proses merarik
ini didahului oleh calon pengantin laki-laki harus
melarikan atau menculik si gadis tanpa diketahui
oleh keluarga si gadis, proses ini kemudia dilanjutkan
dengan memberitahukan kepada keluarga bahwa

152
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

mereka telah menculik si gadis. Informasi ini harus


diberikan sebelum tiga hari, yang kemudia dilanjutkan
dengan pernikahan di rumah laki-laki.

Gambar 6 : Proses Pernikahan Keluarga


Kesultanan Bima tahun 1930
Sumber : Repro Koleksi KTLV Leiden

Sesungguhnya masyarakat Bima telah meletakkan


syarat-syarat untuk kawin sepenuhnya didasarkan
pada hukum Islam. Akan tetapi, beberapa syarat yang
telah ditentukan merupakan persyaratan yang jauh
lebih penting untuk dilaksanakannya perkawinan.
Syarat itu, dalam mengenai jumlah co’i atau mas
kawin, sekalipun di dalam Islam soal mas kawin
tidak ditentukan jumlahnya; juga persetujuan pihak
orang tua gadis dapat dianggap sebagai syarat yang
cukup menentukan dapat tidaknya suatu perkawinan

153
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

dilangsungkan. Namun, apabila pihak orang tua gadis


yang kurang setuju terhadap pemuda yang melamar
anaknya, jelas untuk menolak lamaran secara terang-
terangan dianggap kurang menghormati perasaan.
Maka dari itu, caranya adalah dengan mengajukan
permintaan pembayaran co’i yang tinggi. Jika tidak
ada persetujuan jumlah yang diminta, sudah dapat
dipastikan perkawinan ditunda. Co’i dan persetujuan
orang tua si gadis dapat diterima atau tidak, dengan
kata lain, kedudukan untuk menentukan pilihannya
memang dimungkinkan, tetapi pada akhirnya orang
tua dan kerabatnyalah yang menentukan apakah
pilihan tersebut sesuai atau tidak.
Maka dalam hal ini, dapat dipahmi bahwa
kebiasaan etnis Bima dalam hal memilih jodoh, pada
dasarnya seorang gadis memilih calon suaminya,
tetapi kebebasan tersebut akhirnya harus tunduk pada
keputusan orang tua atau keluarga kedua belah pihak.
Inilah perkawinan sebaik-baiknya etnis Mbojo. Dalam
uraian tentang mencari jodoh telah dilangsungkan
perkawinan dengan sebaik-baiknya di kalangan etnis
Mbojo, bahwa kebebasan memilih jodoh tunduk pada
persetujuan orang tua serta keluarga dari kedua
belah pihak sebagai awal dari upacara adat sebelum
perkawinan disebut “Panati” (juru lamar).

154
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Selanjutkan setelah proses pelamaran


dilaksanakan tiba saatnya menentukan “Waktu Karawi”
dalam upacara perkawinan menyangkut kerabat dari
pihak laki-laki dan perempuan untuk ikut menentukan
perencanaan waktu, pembiayaan, dan pelaksanaan
perkawinan yang menjadi tanggungjawab keluarga.
Orang tua si pemuda mengundang keluarga terdekat
seperti saudara, nenek, serta kerabat lainnya untuk
“Mbolo Keluarga” atau bermusyawarah membicarakan
waktu dan segala perlengkapan perkawinan. Dalam
musyawarah ini, juga dibicarakan sekitar keperluan
atau biaya yang dibutuhkan yang bertujuan untuk
menimbulkan partisipasi semua anggota kerabat
bergotong-royong memikul biaya. Musyawarah
keluarga tersebut akhirnya memutuskan pelaksanaan
keputusan keputusan tersebut segera disampaikan
oleh Ompu Panati kepada pihak keluarga si gadis.
Dalam ungkapan bahasa Bima, kalimat-kalimat yang
dilakukan Ompu Panati sebagai berikut: “Mai kabouku
nggahi ra wi’i kai warasi takdir Allah, bunesi ntika nggahi
ra wi’i de takalampa rawiku wura ake”, artinya lebih
kurang bahwa “Kami datang menyambung kata-kata
yang disampaikan dan diniatkan bersama kemarin,
sekiranya Tuhan menghendakinya, maka alangkah
baiknya kita melaksankan hajat (perkawinan) pada
bulan ini”. Dengan adanya pemberitahuan maksud
tersebut, maka keluarga pihak gadislah yang kemudian

155
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

menentukan waktunya secara lebih terperinci


mengenai hari dan tanggal pelaksanaannya. Keputusan
oleh pihak keluarga si gadis sangat penting karena
menyangkut persiapan hajat pernikahan tersebut.

2. Upacara Khitanan
Pada masa anak-anak baik laki-laki maupun
perempuan, yang sudah mencapai usia enam
sampai tujuh tahun, di kalangan masyarakat Bima
diselenggarakan khitanan. Kebiasaan ini di Bima
disebut Suna Ro Ndoso. Bagi anak laki-laki yang
dikhitan dikenakan pakaian adat, seperti pakaian
kebesaran pejabat-pejabat adat Kerajaan Bima, yaitu
bercelana panjang ala potongan Aceh, songkok
bundar bersulaman benang emas, atau perak, yang
lebih dikenal dengan Binggi Masa (bahasa Bima)
dengan kalungan Kawiri (bahasa Bima) tanpa berbaju
dan memakai keris, di kedua kakinya dikenakan Jima
(bahasa Bima), yaitu gelang. Khususnya anak-anak
perempuan memakai baju kurung ala baju Bodo
seperti daerah Makassar, bersulamkan benang emas
atau perak. Deretan kegiatan acara khitan yang
umumnya berlaku di Bima, berlangsung selama dua
hari, yaitu Acara kapanca (bahasa Bima), di mana
pada hari pertama dilakukan pada malam hari, sama
halnya dengan kapanca pada acara penganten. Compo
sampari (bahasa Bima). Compo artinya menyarungkan;

156
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

sampari artinya keris. Compo Sampari bermaksud


untuk memberi perangsangan pada anak-anak bahwa
dia kelak bakal menjadi dewasa sebagai seorang
yang “jantan” yang harus berani menantang segala
kesulitan.

Gambar 8. Foto anak-anak Bima Tempo Dulu


Setelah Prosesi Compo Sampari
Sumber : Repro KTLV Leiden, Belanda

Untuk “compo sampari” biasanya dimulai oleh


kepala desa atau gelarang kemudian bergiliran pada
anak-anak berikutnya. Sesudah selesai compo sampari
ini, maka keluarlah anak-anak tersebut ke ruangan
yang telah disediakan, sedangkan pakaian dan
perlengkapan tadi dibuka dan diganti dengan sehelai
sarung nggoli (bahasa Bima) untuk menuggu giliran

157
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

penghitanan masing-masing. Yang melaksanakan


khitanan ini dikenal dengan nama “Sando”, yaitu
tukang khitan. Setelah acara penghitanan selesai,
dilanjutkan dengan sebuah acara yang selalu
ditunggu oleh anak-anak. Acara ini selalu meriah
dan menyenangkan, terutama bagi anak-anak yang
baru saja melaksanakan khitanan. Tujuannya adalah
untuk menghilangkan kesedihan dan melupakan rasa
sakit setelah selesai khitanan. Acara yang ditunggu-
tunggu ini adalah acara “maka” (bahasa Bima)
bertukas dan bertampuk. Adapun prosesi acara ini
adalah seorang yang berbadan kekar tampil ke depan
sambil memegang keris yang terhunus. Ia membentak-
bentak, bertempik-tempik dengan muka garang dan
galak di hadapan orang banyak, sambil bertukas
dengan kata-kata semboyan yang besemangat yang
menunjukkan keberanian dan kejantanan sambil
diiringi alunan suara gendang yang merdu dan
suling yang mengalun. Dia inilah yang merupakan
pembuka acara “maka”. Kemudian giliran anak-
anak yang telah dikhitan satu-demi satu melakukan
“maka” sebagaimana yang dilakukan oleh si pembuka
pertama tadi, sambil diiringi oleh alunan gendang
dan seruling. Penabuh gendang dan peniup seruling
semakin bersemangat, sehingga suasana menjadi
semakin ramai dan cukup merangsang bagi beberapa
orang yang menyaksikan, sehingga mereka tidak dapat

158
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

menahan hatinya, karena mengenang di masa kecilnya,


akhirnya mereka berebutan keris yang terhunus untuk
melakukan “maka” berganti-ganti dengan mengikuti
alunan suara dan bunyi gendang, seruling yang
makin berapi-api sambil mengungkapkan kata-kata
semboyan keberanian dan kejantanan serta kehebatan
gerak-gerik masing-masing, terutama bagi mereka
yang masih muda banyak yang lupa daratan, yang
lebih hebat lagi apabila pada saat acara tersebut
nampak kerlipan mata si gadis impiannya yang turut
menyaksikan dan berdiri di ruang dapur.
Dengan demikian beralihlah pikiran dan khayalan
anak-anak yang dikhitan tadi, malah mereka
bersemangat lagi. Bahkan ada yang mengulangi
lagi pelaksanaan “maka” tersebut. Setelah agak lama
dan rendah suasananya, maka satu demi satu para
undangan dan tamu mulai berpamitan untuk pulang,
sehingga selesai sudah acara khitanan yang hanya
sekali seumur hidup bagi anak-anak. Demikianlah
cara upacara khitan yang berlaku dalam kalangan
masyarakat Bima pada umumya. Tetapi pada masa
ini berhubungan dengan didikan baru, atau pergaulan
dengan berbagai golongan suku bangsa dari luar, bagi
mereka yang tinggal di kota hampir tidak memakai
aturan yang dulu, banyak anaknya yang dikhitan oleh
mantri/dokter atau dibawa ke rumah sakit. Hanya bagi

159
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

orang-orang di desa masih terus memakai upacara


sebagaimana yang disebutkan tadi dengan keramaian
dan bunyi-bunyian.

3. Upacara Khatam Qur’an


Telah menjadi kebiasaan yang berlaku umum
dalam kalangan masyarakat Bima, bila anaknya telah
mencapai umur 6 (enam) tahun diwajibkan untuk
belajar mengaji al-Qur’an. Bila pengajiannya telah
selesai 30 juz, maka diadakan tama ngaji (bahasa
Bima), yaitu upacara khatamul Qur’an. Kebanyakan
upacara ini digabungkan dengan pelaksanaan khitan,
yakni setelah dikaji al-Qur’an dalam acara khatamal
Qur’an, kemudian sang anak dikhitan pada hari itu
juga. Kadangkala yang usianya sudah waktunya untuk
dikhitan, tetapi mengaji al-Qur’an belum lancar dan
belum selesai 30 juz, terpaksa acara khatam al-Qur’an
diadakan pada hari-hari tersendiri.
Anak-anak yang akan dikhitan itu, dikenakan
pakaian jubah lengkap dengan sorbannya, seperti
pakaian seseorang haji yang baru kembali dari tanah
suci Mekkah. Mereka diantar ramai-ramai dari rumah
guru tempat mengaji menuju ke rumahnya sendiri di
mana upacara khatamul Qur’an itu dilangsungkan.
Mengantarkan mereka itu diiringi dengan kesenian
“zikir hadra”, dengan bunyi rebana yang ditarikan
dua orang atau tiga orang. Laki-laki yang terdiri dari

160
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

orang tua dan pemuda. Dalam bahasa Bima dikenal


dengan “dende” yaitu upacara mengantar rombongan
anak-anak yang khatam al-Qur’an sebagaimana juga
halnya ketika mengantar rombongan mempelai laki-
laki yang menuju ke tempat upacara akad nikah.
Setelah anak-anak itu tiba bersama rombongan,
pengantarnya akan duduk pada tempat yang sudah
disediakan, sedangkan kitab suci al-Qur’an diletekkan
di atas sebuah bantal baru, lengkap dengan sarungnya.
Dan duduklah guru dari anak-anak tadi berhadapan
dengan muridnya yang akan dikhatami tersebut.
Kemudian penghulu memberikan isyarat bahwa acara
khatamul Qur’an segera dimulai dan mengajilah
si anak dengan membaca surat-surat yang pendek
pada Juz ‘Amma, biasanya dimulai dengan membaca
Surat al-Takatsur sampai Surat al-Nas, dan setelah
selesai lalu ditutup dengan doa khatamul Qur’an
oleh penghulu atau ulama. Kemudian anak tadi
bersujud sebagai penghormatan terhadap gurunya,
yang merupakan ucapan terima kasih atas selesainya
pengajian al-Qur’an dan seolah-olah menerima ijazah
dalam hal membaca al-Qur’an.

4. Kesenian
Pada zaman kesultanan Islam Bima dahulu acara
kesenian diadakan secara besar-besaran, terutama
dalam rangka merayakan Maulid Nabi Muhammad

161
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Saw. Perayaan ini diadakan sekali setahun dengan


berbagai macam kegiatan dan yang kesemuanya
selalu berkaitan dengan sejarah perkembangan Islam
di Bima. Acara ini diadakan secara kenegeraan oleh
pemerintah Kesultanan Bima. Berbagai macam upacara
dan acara kesenian dipertunjukkan selama tujuh hari
tujuh malam. Rakyat Bima beramai-ramai datang
berkumpul di istana kesultanan untuk menyaksikan
dan merayakannya upacara dan beragam acara
kesenian, seperti U’a Pua (sirih Puan), tari Lenggo,
tari Toja, tari Kanca, Mpa’a Sere, Manca, Jara Sara’u,
dan sebagainya.
Dewasa ini hampir semua kesenian atau tari-
tarian tersebut tidak dijumpai lagi pada generasi
angkatan muda, sekarang hanya dapat didengar dari
cerita-cerita orang-orang tua. Tetapi ada di antara
tarian tersebut, kadang-kadang dipertunjukkan di
halaman Istana Bima, terutama pada masa Kesultanan
Bima yang terakhir M. Salahuddin (1917-1950),
seperti Lenggo. Lenggo atau tari Lenggo ini sering
dipentaskan untuk menyambut kedatangan tamu-
tamu resmi kenegaraan. Penarinya terdiri dari dua
pasang laki-laki dan dua pasang wanita. Penari wanita
berbaju merah emas, sedang penari laki-laki memakai
sigar di kepalanya yang berlambangkan bulan sabit,
memakai celana potongan ala Aceh, bersandangkan

162
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

keris. Mengenai tari “Kanja” yaitu tari kepahlawanan


masyarakat Bima yang diciptakan oleh sultanan Bima
Abdul Khair Sirajuddin sebagai sultan II (1630-1681).
Selain kesenian yang disebutkan di atas, ada juga
kesenian rakyat yang cukup populer sejak dahulu
sampai sekarang, yaitu seni “hadra” (rebana). Penari
Hadra ini terdiri dari dua atau tiga orang/pasang
laki-laki, diiringi oleh suara rebana yang berirama.
Penarinya bermain dengan bergoyang pinggul dan
kepala serta melambai-lambaikan tangan baik dengan
cara berdiri, maupun cara duduk. Adaupun isinya
memuji Nabi Muhammad Saw. dan shalawat atasnya.

5. Pakaian
Di kalangan masyarakat Bima dijumpai pakaian
yang bersifat yang spesifik yang merupakan cara
berpakaian yang umum bagi mereka dewasa ini.
Pakaian tersebut cukup populer dengan nama “Rimpu”.
Rimpu ialah berpakaian khusus bagi wanita Bima,
jika hendak ke pasar, melihat keramaian pertunjukan
pada malam hari. Pakaian “Rimpu” ini terdiri dari dua
lembar “Tembe Nggoli” (bahasa Bima), yang artinya
sarung Nggoli atau lainnya di mana perempuan Bima
hanya diperbolehkan untuk memperlihatkan sebagian
kecil mukanya (mata). Rimpu itu merupakan pengaruh
dari Islam yang menggambarkan bagaimana wanita-
wanita itu tidak boleh membuka auratnya baik di

163
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

waktu shalat maupun di luar shalat. Adanya kebiasaan


berpakaian Rimpu tersebut setelah datangnya
pengaruh Islam ke Bima sekitar abad XVII.
Dalam sebuah dekapan tradisi yang kental dengan
sebuah budaya murni, indah dan agamis tumbuh
subur di sebuah negeri yang terhampar undah di
ujung timur pulau Sumbawa. Bima dikenal sedikit
gersang tentu saja ini karena dipengaruhi dua musim
tropis yakni 6 bulan hujan dan 6 bulan lagi musim
kemarau. Bima pada masa lalu pernah melekat tradisi
unik dan manarik apa yang disebut “Budaya Rimpu”.
Rimpu adalah memakai dua lembar sarung. Sarung
bagian bawah disebut sanggentu dan bagian atas
disebut rimpu. Rimpu yaitu melilitkan bagian kepala
sedemikian rupa yang Nampak adalah bagian muka
atau hanya kedua belah mata layaknya jilbab.
Budaya luhur ini muncul setelah masuk
Islam di Bima. Ketika itu mubaligh penyiar Islam
mengisyaratkan kaum wanita harus berjilbab, karena
itu aurat wanita sebatas wajah dan kedua belah telapak
tangan. Betapa indahnya masa lalu, jika para gadis
mengisi waktu senggang maupun kegiatan rutin
memakai rimpu kecuali di dalam rumah. Para gadis
melakukan kegiatan seperti menenun, mengikuti
acara-acara hajatan di kampung demikian juga kalau
mereka hendak ke pasar. Memakai rimpu cukup praktis

164
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

dan berdandan sederhana, adalah merupakan kebiasaan


yang sudah turun temurun. Jika ada perhelatan atau
pekerjaan besar yang memerlukan orang banyak maka
kegiatan itu diselenggarakan bersama secara gotong
royong menjelang perhelatan. Seminggu sebelum itu
dilaksanakan perseiapan-persiapan seperti menumbuk
padi secara bersama-sama tanpa dipanggil, karena
mendengar bunyi lesung.
Bunyi alat tumbuk padi (nocu dan kandei)
merupakan sebuah permakluman bahwa beberapa
hari lagi akan ada perhelatan seperti perkawinan, atau
kegiatan keagamaan. Menumbuk padi dilaksanakan
oleh ibu-ibu tetangga dan jiran membawa sumbangan
berupa padi beberapa ikat maupun bahan-bahan lain
yang diperlukan perlengkapan perhelatan. Sebagai
selingan dan hiburan, dilaksanakan kareku kandei atau
kareku nocu. Kareku kandei atau nocu berirama yang
teratur menjadi bunyi menarik layaknya ansambel
music. Bunyi ini adalah merupakan pemberitahuan
kepada masyarakat sekitar. Kegiatan ini, ibu-ibu para
gadis tetap memakai rimpu. Inilah adat yang melekat
saat itu.
Kehidupan bergotong royong tumbuh bersemi
dalam denyut nadi yang diilhami oleh sebuah prinsip
hidup “kese tahopu dua, dua tahopu tolu” artinya
kebersamaan lebih sangat berarti dari pada tanpa
hubungan sesama. Ketika itulah para gadis dijaman itu

165
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

terselip cerita-cerita menarik dari hasil pengalaman


masaing-masing sebagai selingan pekerjaan mereka.
Di saat itu pemuda mengintip gadis idamannya
dengan berpura-pura membawa jagung muda atau
kacang atau umbi-umbian hasil tani di kebun maupun
di sawah. Betapa sulit bertemu dengan gadis idaman
secara sengaja karena setiap orang tua melarang anak-
anak mereka secara bebas bertemu dengan siapa saja
jika tidak berterus terang lewat mereka. Keterikatan
adat rimpu telah mendarah daging bagi para gadis
maupun ibu-ibu pada saat itu.
Betapa tidak jika mereka ingat sejarah bagaimana
kekejaman yang pernah dirasakan langsung
berhadapan dengan kaum penjajah Belanda, lebih-
lebih ketika menghadapi jaman Jepang yang ironis
kejam. Berdasarkan itu maka orang tua menjaga anak
dan melestarikan budaya rimpu di jaman itu agar
orang tidak mengenal rupa dan wajah para gadis yang
sebenarnya.

6. Hanta Ua Pua
Upacara Adat Hanta Ua Pua merupakan warisan
turun-temurun budaya Islam selama berabad-abad.
Dalam perkembangan sejarah Bima, Upacara Adat
Hanta Ua Pua dilaksanakan pertama kali pada masa
pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin, Sultan
Bima kedua (1640-1682 M). Sejak saat itu, Upacara

166
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Adat Hanta Ua Pua ditetapkan sebagai salah satu


perayaan rutin kesultanan Bima yang dikenal dengan
Rawi Na’e Ma Tolu Kali Samba’a (Upacara Besar yang
Dilaksanakan dalam Tiga Kali Setahun). Perayaan
tersebut yaitu Ndiha Aru Raja Na’e (Perajaan
Idul Adha), Ndiha Aru Raja To’i (Perayaan Idul Fitri),
dan Ndiha Ua Pua (Perayaan Hanta Ua Pua)
Pelaksanaan Upacara Adat Hanta Ua Pua diisi
dengan beragam kegiatan seni budaya dan agama.
Berbagai atraksi kesenian tradisional dan kegiatan
keagamaan dilaksanakan selama sepekan, sehingga
Upacara Adat Hanta Ua Pua betul-betul melekat
dalam jiwa masyarakat Bima. Suksesnya Upacara Adat
Hanta Ua Pua di masa lalu tidaklah terlepas dari
perhatian Sultan dan semangat gotong-royong
masyarakat dalam mempersiapkan perayaan Hanta Ua
Pua.
Ua Pua yang dalam bahasa Melayu disebut “Sirih
Puan” adalah satu rumpun tangkai bunga telur
berwarna-warni yang dimasukkan dalam satu wadah
segi empat berjumlah 99, Jumlah bunga telur tersebut
berjumlah 99 tangkai yang sesuai dengan nama dan
jumlah Asma’ul Husna. Kemudian ditengah-tengahnya
ada sebuah Kitab Suci Al-Qur’an ditempatkan di
tengah-tengah sebuah rumah mahligai (Uma Lige)
yang berbentuk segi empat berukuran 4x4 meter

167
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

persegi. Bentuk Uma Lige ini terbuka dari keempat


sisinya. Atapnya bersusun dua, sehingga para penari
Lenggo Mbojo yang terdiri dari empat orang gadis,
penari Lenggo Melayu yang terdiri dari empat
perjaka, beserta panghulu Melayu dan pengikutnya
yang berada di atas dapat dilihat oleh seluruh
masyarakat sepanjang jalan. Uma Lige diangkat oleh
44 orang perwakilan 44 Dari di Bima melambangkan
bahwa ajaran yang dibawa oleh para mubalig
kelana didukung oleh masyarakat Bima. Dari adalah
klan atau kelompok masyarakat zaman dulu yang
dipimpin oleh Anangguru Dari. Di masyarakat Bima
ada banyak Dari. Dalam Majelis Hadat Lengkap,
mereka diwakili oleh Rato Bumi Na’e Nggeko
yang tergolong dalam keanggotaan Majelis Sara
Tua. Dalam struktur pemerintahan kesultanan,
Majelis Sara Tua adalah majelis legislatif dan
konsultatif. Struktur kemasyarakatan dengan sistem
Dari ini tidak ada lagi sekitar tahun 1930.
Uma Lige diberangkatkan dari rumah Penghulu
Melayu di Kampung Melayu, mengingatkan kita
bahwa dari orang-orang Melayulah Islam diterima
oleh orang Bima (Hamzah, 2004). Kampung Melayu
di tengah-tengah Kota Bima sekarang, yang dulunya
merupakan tempat khusus sebagai hadiah pemberian
raja kepada para Datuk dan rombongan orang-orang

168
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Melayu yang mengantar Islam masuk ke Bima. Kini,


keturunan orang Melayu asli yang mendiami tempat
tersebut tidak lagi banyak, hanya sekitar 50 KK.
Orang-orang Melayu tersebut dipimpin oleh
seorang Penghulu Melayu. Sistem kepemimpinan ini
terus berjalan secara turun temurun Setiap peringatan
Upacara Adat Hanta Ua Pua, dari kampung sederhana
itulahUma Lige (mahligai) yang merupakan icon
utama dalam tradisi ini menjadi pusat perhatian
khalayak yang sengaja memenuhi ruas-ruas jalan dari
kampung Melayu menuju Istana Kesultanan Bima,
untuk mengantarkan Ua Pua kepada raja muda di
Istana Tua Kesultanan Bima atau yang dikenal juga
dengan ASI Mbojo.
Di Bima peringatan maulud Nabi Muhammad saw,
dirangkaikan dengan Upacara Adat Hanta Ua Pua
yang mulai dilaksanakan pada masa pemerintahan
Sultan Abdul Khair Sirajuddin, Sultan Bima II
yang memerintah dari tahun 1640-1682. Pada
awalnya pelaksanaan upacara Ua Pua dirintis serta
dilaksanakan Datuk Raja Lelo, Datuk Selangkota,
Datuk Lela, dan Datuk Panjang. Kelima ulama
tersebut berasal dari Pagaruyung (Minangkabau)
Sumatera barat, anak cucu dari Abdurrahman (Datuk
Di Banda) dan Abdurrahim (Datuk Di Tiro), keduanya
adalah guru dari Sultan Abdul Kahir I (Sultan Bima

169
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

I). Datuk Raja Lelo dan kawan-kawan datang ke


Bima untuk meneruskan kegiatan dakwah yang telah
dirintis oleh Datuk di Banda dan Datuk di Tiro,
karena ulama tersebut telah kembali ke Gowa guna
melanjutkan dakwah Islam di Sulawesi Selatan dan
sekitarnya. Beberapa saat setelah Datuk Di Banda
dan Datuk Di Tiro meninggalkan Bima, Sultan Abdul
Kahir menghadap Yang Maha Kuasa yaitu pada
tanggal 8 Ramadhan 1050 H. Tampuk pemerintahan
kesultanan diserahkan kepada putranya, Sultan Abdul
Khair Sirajuddin yang masih muda (±13 tahun), usia
yang sangat muda yang masih memerlukan bimbingan
para ulama, namun dalam perjalanannya Datuk Raja
Lelo dan kawan-kawan yang diharapkan menjadi
guru dan pembimbing Sultan Muda terlambat sampai
di Bima. Hal inilah yang menyebabkan pada awal
pemerintahannya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin
kurang memahami agama Islam. Sultan Abdul Khair
Sirajuddin lebih mencintai seni budaya.
Meskipun terlambat, akhirnya Datuk Raja
Lelo dan kawan-kawan tiba juga di Bima guna
melaksanakan tugas mulia membimbing Sultan
dan rakyatnya ke jalan yang benar. Langkah awal
yang dilakukan ialah menyadarkan Sultan atas
kelemahannya di bidang agama. Dengan modal
keikhlasan, kesabaran dan kasih sayang, akhirnya

170
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

mereka berhasil menemukan pendekatan yang dapat


diterima oleh Sultan, Datuk Raja Lelo bersama empat
temannya melaksanakan upacara kelahiran junjungan
Nabi Muhammad saw. bertepatan dengan tanggal
12 Rabi’ul Awwal di pemukiman para ulama di Ule.
Upacara Maulud Nabi yang pertama kali diadakan di
Bima, berkenan dihadiri oleh Sultan, maka oleh kelima
ulama tersebut dirancang berbagai jenis kegiatan yang
dapat memikat hati Sultan yang berdarah seni itu,
sehingga selain melakukan kegiatan dakwah (tadarus
Al-Qur’an tabligh dan ceramah), maka diadakan
pula atraksi kesenian yang Islami. Usaha mulia yang
dirintis oleh para ulama itu tidak sia-sia.
Sultan bersama anggota majelis adat berkenan
hadir di Ule, guna mengikuti upacara yang baru
pertama kali disaksikan. Nasihat para ulama yang
disampaikan melalui ceramhnya melahirkan tekad
untuk memperbaiki segala kehilafannya. Akhirnya
di hadapan para ulama Sultan Muda berjanji untuk
menjadi muslim sejati sesuai dengan wasiat sang
ayah yang tertuang dalam sumpah Oi Ule. Menyadari
besarnya pengaruh Upacara Hanta Ua Pua bagi
kehidupan budaya dan beragama, maka Sultan Abdul
Khair Sirajuddin pada tahun 1070 H (±tahun 1660
M) menetapkan upacara bernuansa Islam itu sebagai
upacara adat resmi kesultanan. Biaya penyelenggaraan

171
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

ditanggung oleh pemerintah Kesultanan Bima yang


bersumber dari hasil tanah seluas 200 Ha yang telah
ditetapkan sebagai tanah maulud (Dana Molu) yang
hasilnya bukan hanya untuk kepentingan Ua Pua,
tetapi juga untuk kepentingan dakwah dan pendidikan
Islam serta pengembangan seni budaya.
Sebagai tanda penghormatan dan terima kasih
kepada gurunya, Sultan meminta kesediaan mereka
agar berkenan pindah ke lokasi baru yang tidak jauh
dari istana, yaitu Kampo Malayu sekarang. Di samping
itu, Sultan menghadiahkan sejumlah lahan pertanian
(sawah) yang berada di sebelah timur pemukiman
baru (Kampo Malayu). Namun, tanpa mengurangi
penghargaan yang diberikan Sultan, Datuk Raja
Lelo dan kawan-kawannya terpaksa menolak hadiah
tersebut dengan alasan bahwa mereka tidak memiliki
kemampuan dan bakat untuk bercocok tanam. Areal
persawahan yang dikembalikan oleh para ulama
Melayu itu terkenal dengan nama “tolo bali” (sawah
yang dikembalikan), bukan tolo bali (sawah orang
Bali) seperti dugaan sementara orang.
Dalam perayaan Hanta Ua Pua, terdapat
rangkaian acara yang dilaksanakan selama sepekan,
diawali dengan pagelaran berbagai atraksi kesenian di
lapangan Sera Suba serta kegiatan upacara inti yaitu
Jiki Molu yang dilaksanakan pada malam hari sebelum

172
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

perayaan Hanta Ua Pua dan prosesi inti perayaan


Hanta Ua Pua itu sendiri. Jiki Molu dilangsungkan
pada malam hari sebelum perayaan Hanta Ua Pua.
Hadir pada upacara tersebut majelis Hadat Kesultanan
Bima yang terdiri dari majelis Sara Tua, majelis
Sara-Sara, dan majelis Sara Hukum dalam rangka
memperingati Maulud Nabi Muhammad saw. dengan
membacakan Barzanzi.
Dalam acara itu juga berlangsung acara adat Weha
Tau Apa, yaitu perjamuan kue apem yang dimakan
dengan opor serta minum sorbet. Setiap pejabat
mempunyai satu perangkat hidangan yang di tata di
atas talam dan ditutup dengan tonggo apa. Penataan
kue apem diatur menurut peringkat kepangkatan
masing-masing pejabat dalam persidangan. Perangkat
hidangan ini kemudian dibawa ke rumah masing-
masing. Penutupan acara ini ditandai dengan
membagikan bunga rampai kepada hadirin.

1) Upacara Inti Hanta Ua Pua


Jam 07.00, utusan Sultan yang terdiri dari tokoh-
tokoh adat, anggota laskar kesultanan, beserta penari
Lenggo Mbojo menjemput Penghulu Melayu di
kediamannya di kampung Melayu.
Jam 08.00, Penghulu Melayu bersama rombongan
berangkat di kampung Melayu menuju istana Bima

173
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

yang ditandai dengan bunyi meriam. Adapun tata


urutan rombongan adalah sebagai berikut: pasukan
Jara Wera datang sebagai pasukan pengawal pembuka
jalan lalu disusul oleh pasukan Jara Sara’u. Kemudian
disusul di belakangnya oleh anggota Laskar Suba
Na’e dan penari Sere. Setelah itu adalah rombongan
pengusung Uma Lige (mahligai). Baru di belakangnya
adalah rombongan pemuka adat Melayu dan pemuka
adat Mbojo
Jam 09.00 rombongan Penghulu Melayu tiba di
istana Bima yang disambut dengan Tari Kanja, Tari
Sere, dan Mihu. Kemudian Penghulu menyerahkan
Ua Pua kepada Sultan sebagai simbol kesepakatan
Penghulu (Ulama) dengan Sultan bersama seluruh
rakyat Dana Mbojo untuk mempelajari dan memahami
serta mengamalkan isi Al-Qur’an dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara demi terwujudnya kehidupan
masyarakat Mbojo yang Islami. Sultan bersama
Penghulu Melayu duduk berdampingan di tempat
yang telah disediakan sebagai lambang keharmonisan
hubungan Ulama dan Umara. Setelah upacara usai,
“Bunga Dolu” berjumlah 99 tangkai, symbol Asma’ul
Husna dibagi- bagikan kepada hadirin

174
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

2) Perlengkapan dan Atraksi Acara Ua Pua


a. Uma Lige
Uma Lige berbentuk segi empat berukuran 4x4
meter persegi. Bentuk Uma Lige ini terbuka dari
keempat sisinya. Atapnya bersusun dua, sehingga para
penari lenggo Mbojo yang terdiri dari empat gadis,
dan penari lenggo Melayu yang terdiri dari empat
orang perjaka, beserta para penghulu Melayu dan
pengikutnya yang ada di atas, beserta para penghulu
Melayu dan pengikutnya yang berada di atas dapat
dilihat oleh seluruh lapisan masyarakat sepanjang
jalan. Uma Lige diusung oleh 44 orang pria sebagai
simbol keberadaan 44 Dari Mbojo yang terbagi
menurut 44 jenis keahlian dan keterampilan yang
dimilikinya sebagai bagian dari struktur pemerintahan
Kesultanan Bima. Ketika Uma Lige sudah berada
di depan istana maka akan diputar-putar kemudian
diturunkan, Penghulu Melayu serta pemayung turun.
Mereka pun menaiki tangga istana diikuti para
penari dan Anangguru Mpa’a, serta Ua Pua yang
ikut diusung dalam Uma Lige, Ua Pua diturunkan
dari usungan lalu diangkat ke ruang istana untuk
diserahkan kepada sultan oleh Penghulu.

175
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

b. Bunga Dolu
Bunga Dolu terbuat dari telur ayam yang
dibungkus dengan kertas minyak beraneka warna.
Tangkainya terbuat dari kayu atau bambu sepanjang
30 cm dan ditancapkan pada wadah segi empat
panjang bersama sirih pinang dan kitab suci Al-Qur’an
di tengah-tengahnya. Bunga Doluyang berjumlah 99
itu melambangkan Asma’ul Husna dan Al-Qur’an
sebagai kitabullah. Benda inilah yang dikelilingi oleh
para penari.

c. Pasukan Jara Wera dan Pasukan Jara


Sara’u
Pasukan Jara Wera dalam sejarahnya adalah
pasukan yang memang sebagian besar berasal dari
Kecamatan Wera yang setia membela agama Islam.
Pasukan ini dibentuk sejak masa pemerintahan Sultan
Abdul Kahir, Sultan Bima pertama. Seluruh pasukan
berseragam putih-putih sebagai lambang kesucian
dan keikhlasan dalam membela agama, rakyat, dan
negeri. Para penunggangnya adalah para pendekar
yang menunjukkan jalan serta mengantar para datuk
yang datang dari Makassar menuju Bima lewat Teluk
Bima ketika pertama kali membawa ajaran Islam di
Kerajaan Bima. Itulah sebabnya Jara Wera berada di
posisi paling depan.

176
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Di belakang pasukan Jara Wera diikuti oleh


pasukan Jara Sara’u, yaitu pasukan elit berkuda
Kesultanan Bima sebagai pengawal kehormatan.
Pasukan Jara Sara’u yaitu pasukan berkuda yang
terampil menunggang serta mengatur irama serta
gerak langkah kuda. Pasukan ini memiliki keahlian
dalam memainkan pedang, tombak, dan keris di
atas kuda. Dalam Upacara Hanta Ua Pua mereka
menampilkan atraksi dengan cara mengatur hentakan
kaki kuda yang seirama dengan alunan gendang dan
serunai serta gerakan para penari Lenggo.

d. Laskar Suba Na’e


Laskar Suba Na’e adalah pasukan prajurit
Kesultanan Bima, pasukan perang ini membawa
peralatan perang berupa tombak dan tameng sebagai
simbol kesia-siagaan pasukan kerajaan mengamankan
negeri. Di belakang pasukan laskar Suba Na’e berjalan
Uma Lige yang diiringi oleh Keluarga besar kampung
Melayu, mereka adalah tamu kehormatan dalam
upacara adat ini. Setelah Uma Lige sampai di tangga
istana diturunkan lalu turunlah Penghulu Melayu
untuk mengantarkan rumpun Bunga Dolu dengan Al-
Qur’an yang diserahkan kepada Sultan Bima.

177
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

e. Tari Lenggo
Tari Lenggo ada dua jenis yaitu Tari Lenggo
Melayu dan Lenggo Mbojo. Lenggo Melayu diciptakan
oleh salah seorang mubalig dari Pagaruyung,
Sumatera Barat, yang bernama Datuk Raja Lelo
pada tahun 1070 H. Tarian ini memang khusus
diciptakan untuk Upacara Adat Hanta Ua Pua dan
dipertunjukkan pertama kali di Oi Ule dalam rangka
memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. Lenggo
Melayu juga dalam bahasa Bima disebut Lenggo
Mone karena Lenggo Melayu juga dibawakan oleh
empat orang remaja pria.Terinspirasi dari gerakan
Lenggo Melayu, setahun kemudian SultanAbdul
Khair Sirajuddin menciptakan Lenggo Mbojo yang
diperankan oleh empat orang penari perempuan.
Lenggo Mbojo disebut juga Lenggo Siwe Pada
perkembangan selanjutnya, perpaduan antara Lenggo
Melayu dan Lenggo Mbojo akhirnya dikenal dengan
Lenggo Ua Pua

f. Tari Kanja dan Mihu


Tari Kanja yakni tari perang yang dimainkan oleh
seorang perwira tinggi kesultanan sebagai pernyataan
kesiapan menjaga keamanan dan ketertiban jalannya
upacara, sedangkan Mihu merupakan pernyataan
kesiapan sultan untuk menerima sekaligus memulai

178
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

upacara penyerahan Ua Pua yang berisi kitab suci Al-


Qur’an.

g. Tari Sere
Iring-iringan Uma Lige disambut Tari Sere yang
mengantar Uma Lige sampai ke tangga istana. Tari
Sere adalah sejenis tari perang dimainkan oleh enam
orang penari bersama bintara Kesultanan Bima yang
disebut “Bumi Sumpi” sebagai tanda terjaminnya
keamanan dan ketertiban jalannya Upacara Hanta
Ua Pua. Sambil memegang tombak, para penari Sere
mengacungkan tombak dan melangkah menuju tangga
istana yang diiringi musik tambur dan silu.

G. Kesultanan Bima Dalam Jaringan


Pelayaran dan Perdagangan Nusantara
Telah dijelaskan bahwa di pulau Sangeang pernah
ditemukan nekara perunggu yang menurut para ahli,
tergolong yang paling bagus yang pernah ditemukan
di Indonesia. Diduga nekara perunggu itu merupakan
barang impor karena teknik penuangan benda-benda
perunggu seringkali dihubungkan dengan kebudayaan
Dongson di Hindia Belanda. Berdasarkan telaah
paleografi terhadap prasasti Jawa kuno yang dipahat
pada batu karang di situs Watu Paha (pa’a), diduga
pengaruh Hindu (agama hindu dan budha) telah
berkembang di Bima dan daerah sekitarnya pada abad

179
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

ke-8 atau 9 Masehi. Sedangkan tinggalan arkeologi


yang ditemukan di daerah pedalaman mengindikasikan
bahwa agama Hindu yang berkembang adalah aliran
Syiwa, yang kemungkinan besar dibawa dari Jawa.
Berdasarkan sumber Cina dan sejumlah karya
sastra berbahasa Jawa Kuno, dapat diambil kesimpulan
bahwa keberadaan budaya Hindu di pulau Sumbawa
(termasuk Bima) dibawa melalui penaklukkan dan
dominasi politik kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa
secara silih berganti. Meskipun demikian tidak
tertutup kemungkinan bahwa budaya tersebut masuk
ke Pulau Sumbawa melalui kontak dagang atau dibawa
oleh para Brahamana yang sengaja datang ke daerah
itu untuk menyebarkan agama Hindu.20 Jika demikian
halnya maka nama-nama tempat di Pulau Sumbawa
seperti Taliwang, Seran, Hutan Kadali, Dompo, Bhima,
Sape dan Sanghyang Api mungkin telah dikenal oleh
orang-orang Jawa melalui kontak dagang sebelum
pulau Sumbawa ditaklukan oleh kerajaan Majapahit.
Dalam Kidung Ranggalawe disebutkan bahwa kuda

Dalam sumber Bali disebutkan bahwa Dang Hyang Nirartha,


20

cicit Mpu Baradah berimigrasi ke Bali pada masa Raja Batu Renggong
berkuasa di Gelgel. Dia melakukan dharmayatra ke seluruh Bali, Lombok
dan Sumbawa untuk menyebarkan agama Hindu. Di Lombok ia dikenal
dengan Pangeran Sangupati, sedangkan di Sumbawa sebagai Tuan Semeru.
(Periksa : Ida Bagus Sidemen, ‘Dang Hyang Nirartha dan Kawangsan
di Bali,” dalam ; Seminar Sejarah Nasional V Subtema Penulisan Sejarah.
Depdikbud, Direktorat Jarahnitra, Proyek IDSN, Jakarta 1990 : 88-110)

180
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

yang baik dapat diperoleh dari Kore di Bima. F.H. van


Naerssen berpendapat bahwa kuda Sumbawa diimpor
oleh orang-orang Jawa dan adanya ternak kuda di
Bima telah dikenal sejak awal berdirinya kerajaan
Majapahit karena hubungan lalulintas (pelayaran)
dengan pulau Jawa.21
Berbicara mengenai posisi Bima dalam jaringan
pelayaran serta keterlibatannya dalam aktivitas
perdagangan, erat kaitannya dengan pembicaraan
mengenai posisi serta kedudukan wilayah Nusa
Tenggara dalam lintas pelayaran-perdagangan
Nusantara, dimana pulau Sumbawa (termasuk Bima)
di dalamnya. Kawasan Nusa Tenggara mulai dari
pulau Bali di ujung barat sampai pulau Timor di ujung
timur terbentang pada jalur pelayaran-perdagangan
Nusantara yang diperkirakan sudah digunakan sejak
abad ke-14. Dalam catatan perjalanan jarak jauh, Shun
Feng Hsiang Sung atau angin baik pembimbing pelayaran
yang dihimpun sekitar tahun 1430 disebutkan 27 jalur
pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Cina
pada waktu itu.22 Kapal-kapal Cina yang berlayar ke
kepulauan Nusantara melalui dua jalur, yaitu jalur
barat dan jalur timur. Selain itu masih ada lagi lima

21
F.H.van Naerssen, “Hindoejavaasche overblijfselen op Soembawa”,
TNAG, 55, 1938 :91.
22
J.V.Hills, “Chinese Navigatiors in Insulinde About A.D. 1500”,
Archipel 18, 1979 : 69-72.

181
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

jalur pelayaran keberbagai tempat atau daerah di


dalam wilayah Indonesia antara lain dari Krueng
Aceh ke Banten yang terbagi dalam tiga etape, yaitu
dari Aceh ke Barus; dari Barus ke Pariaman, kemudian
dari Pariaman ke Banten.23 Dari Banten ada lagi dua
jalur yang menuju ke Banjarmasin dan Timor.24Jalur
pelayaran ini melewati atau singgah di Kalapa (Chiao-
lu-pa), Tanjung Indramayu (Chiao-ch’ing wan), Cirebon
(Che-li-wen), Gunung Muria (Pa-na ta-shan). Dari
Gunung Muria, jalur yang menuju ke Banjarmasin
membelok ke utara melewati Pulau Karimunjawa (Chi-
li-wen) dan terus ke Sampit, sedangkan jaur yang ke
timur pelayaran dilanjutkan ke timur menuju Gunung
Genuk (Hu-chiao shan), Tanjung Awarawar (Shung-yin
hsu) sampai ke ujung barat Pulau Madura (Wu-liu-
na shan). Dari sini membelok ke selatan menyebrangi
Selat Madura menuju Jaratan dan Gresik, lalu ke arah
timur sampai ke ujung timur Pulau Madura, kemudian
membelok lagi ke selatan menyebrangi Selat Madura
untuk kedua kalinya kearah Panarukan (Pen-tzu-
nu-kan) dipantai utara Jawa Timur. Dari Panarukan
pelayaran diteruskan ke Bali (Ma-li-ta-shan), Lombok
(Lang-mu-shan) dan Sumbawa (San-pa-ta-shan).

23
Ibid.78
24
Ibid. 84-85

182
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Dari sini pelayaran dilanjutkan ke Pulau Sangeang


(Huo-shan) dan melalui Selat Sangeang (antara Pulau
Sangeang dan Tanjung Naru) memasuki Selat Sape
lalu membelok ke selatan menuju Pulau Sumba
(Hsunpa- ta-shan) dan akhirnya sampai di Kupang
(Chu-pang) dan Timor (Ch’ih-wen). Kapal-kapal Cina
yang menuju ke pantai utara Timor berlayar melewati
Tanjung Salamu, kemudian memasuki pelabuhan
Kupang, sedangkan kapal-kapal yang menuju ke pantai
selatan berlayar melalui Selat Roti dan terus ke timur
menyusuri pantai selatan Pulau Timor.
Selain jalur Banten-Timor, sumber yang sama
juga menyebutkan jalur pelayaran dari Patani ke
Timor.25 Dari Patani kapal-kapal Cina berlayar
menyusuri pantai timur Semenanjung Malaya sampai
Pulau Tioman (Ti-pan). Dari sini terus ke selatan
menuju Pulau Badas (Ch’iihsu), Karimata (Chi-ning
ma-ta), Pulau Karimunjawa sampai ke Gunung Muria
(dekat Jepara) pelayaran dilanjutkan ke pulau Timor
melalui atau singgah di beberapa tempat seperti yang
disebutkan dalam jalur Banten-Timor.
Jalur-jalur pelayaran orang-orang Cina ke Timor
seperti digambarkan oleh sumber Cina bukannya
tanpa alasan mengingat Pulau Timor dan Sumba
memiliki produk andalan yang tidak dapat diperoleh
25
Ibid. 81-82.

183
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

ditempat lain, yaitu kayu cendana. Menurut Meilink-


Roelofsz, mungkin sekali tujuan orang-orang Cina ke
Timor adalah untuk mencari kayu cendana, mereka
tidak pernah datang ke Maluku dan itulah sebabnya
pulau rempah-rempah hanya disebutkan secara
sporadis dalam sumber-sumber Cina.26
Rute pelayaran-perdagangan yang menyusuri
pantai utara pulau Jawa dan Nusa Tenggara tetap
dilanjutkan (digunakan) sampai abad ke-16 atau 17,
bahkan sampai abad ke-18 seperti yang tersirat dalam
sumber-sumber VOC. Dengan demikian rute ini
kemudian tidak hanya digunakan (dilalui) oleh orang-
orang Cina, tapi juga oleh orang-orang Portugis,
Belanda dan pedagang-pedagang dari Malaka untuk
mencari rempah-rempah di kepulauan Maluku. Orang-
orang Portugis datang di kepulauan Nusantara sekitar
abad ke-16 dan dalam pelayarannya ke Maluku mereka
singgah di beberapa pulau di kawasan Nusa Tenggara
seperti Flores, Solor, Timor, dan Sumba untuk mencari
kayu cendana.27 Ketika orang-orang Belanda datang
ke Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun 1595,

M.A.P. Meilink-Roelofst, Asian Trade and European Influence in


26

The Indoensian Archipelago Between 1500 and About 1630. S-Gravenhage ,


Martinus-Nijhoff, 1962 :26.
27
B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part I, W. van Hoeve
Publishers Ltd. The Hague 1966 :41-48; D.H. Burger, Sedjarah Ekonomis
Sosiologis Indonesia. Jakarta : PN. Pajna Paramita, d/h Wolter , 1960 : 45-
52.

184
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

mereka berlabuh di pelabuhan Karangantu di Teluk


Banten dan sebelum pulang ke negerinya meneruskan
pelayarannya sampai di Bali melalui rute pantai utara
pulau Jawa.
Ketika Malaka muncul sebagai imperium di Selat
Malaka, saudagar-saudagar dari Asia Barat dan India
tidak lagi berlayar langsung ke Maluku melainkan
hanya sampai di Malaka.28 Pelayaran ke Maluku
dilakukan oleh pedagang-pedagang dari Malaka
dengan menyusuri pantai timur Sumatera, pantai utara
Jawa dan Nusa Tenggara. Menurut Meilink-Roelofsz,
aktivitas perdagangan Malaka ini menyebabkan agama
Islam tersebar luas dan dalam hubungan ini pula
perdagangan tampaknya menjadi faktor penting dalam
islamisasi di seluruh Nusantara.29
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada
tahun 1511, rute dan jalur pelayaran-perdagangan ini
tetap dipertahankan, meskipun ada pendapat bahwa
pedagang-pedagang muslim yang tidak suka kepada
Portugis mengalihkan tujuannya ke Aceh, yang pada
waktu itu telah berkembang menjadi imperium dan
pusat penyebaran Islam. Bahkan pedagang-pedagang
muslim yang tadinya bermukim di Malaka terpaksa
hengkang dari sana mencari tempat baru untuk

28
M.A.P. Meilink-Roelfsz, op. cit. :24.
29
Ibid. : 34.

185
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

bermukim dan melakukan aktivitas perdagangan.30


Selain itu ada juga asumsi yang mengaitkan
berpindahnya sebagian kapal-kapal asing membuang
sauh dari Malaka ke Aceh, disebabkan Portugis
menarik pajak pelabuhan terlalu tinggi.31 Dari Aceh
pelayaran kemudian dilanjutkan dengan menyusuri
pantai timur Sumatera, memasuki Selat Sunda dan
dilanjutkan ke timur menyusuri pantai utara Jawa,
Nusa Tenggara.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa selama
beberapa abad, kawasan Nusa Tenggara sering
dikunjungi para pedagang dari berbagai wilayah
Nusantara dan dari berbagai negara. Hal itu selain
karena letaknya sangat strategis pada lintas pelayaran-
perdagangan rempah-rempah, juga karena kawasan
Nusa Tenggara memiliki produk-produk andalan
seperti kayu cendana dari pulau Timor dan Sumbawa,
kayu dye (kayu celup) dari Sumbawa (Bima), belerang
dari Solor dan Flores, budak dari Bali, Lombok,
Sumbawa, Flores dan Timor. Menurut sumber VOC

Uka Tjandrasasmita (editor), Sejarah Nasional Indonesia III.Jakarta :


30

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , PN. Balai Pustaka, 1984 : 125-


126.
Dharmono Hardjowwidjono, Benarkah Orang-Orang Portugis
31

melancarkan perang terhadap umat Islam selama kehadiran mereka di Indonesia


? Makalah Seminar Sejarah Nasional II, 26-29 Agustus 1970 di Yogyakarta
: 4.

186
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

32
dari 10.000 budak yang dibawa ke Batavia selama
dua dekade (1661-1682), 24 % di antaranya berasal
dari Bali. Demikian juga halnya dengan budak-
budak Indonesia di pelabuhan-pelabuhan VOC di
tempat-tempat lain di Nusantara dan Semenanjung
Harapan (Afrika) selama dekade terakhir abad ke-
17, budak-budak yang berasal dari Bali menempati
jumlah nomor dua setelah budak-budak dari Sulawesi.
Berkembangnya perdagangan budak di kawasan Nusa
Tenggara antara lain disebabkan meluasnya praktek
penculikan.
Kayu cendana sudah lama menjadi incaran
pedagng-pedagang cendana Portugis. Menurut Tome
Pires33 kayu sandal (cendana) banyak terdapat di
hutan-hutan di pulau Timor dan Sumba dan harganya
murah. Setiap tahun datang pedagang-pedagang dari
Jawa dan Malaka membeli kayu cendana untuk dijual
ke Malaka karena kayu ini dipergunakan oleh semua
bangsa. Di India kayu cendana dipergunakan sebagai
obat, parfum, dan berperan penting dalam upacara-

32
Anthony Reid, “Introduction :Slavery and Bondage in Southeast Asian
History”, dalam : Anthony Reid (Ed.), Slavery, Bondage and Dependency in
Southeast Asia.. University of Queensland Press,St. Lucia-London- New
York, 1983 : 30.
33
Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires : An Account
of the East from Read Sea to Java , written in Malacca and India in 1511-
1644. Translated from Portugese MS in the Bibliotique de la chamber des
Deputtes, Paris and Edited by Armando Cortesao, London : The Hakluyt
Society, 1944 : 204

187
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

upacara kremasi dan upacara korban, sedangkan di


Eropa dipergunakan sebagai ramuan obat oleh para
apoteker.34 Kayu dye (kayu celup) yang merupakan
produk andalan Sumbawa (Bima) dijual ke Malaka dan
dari sana kemudian diekspor ke Cina, demikian juga
dengan belerang yang berasal dari Solor dan Flores
diekspor ke Cochin-Cina melalui Malaka. Produk-
produk dari Nusa Tenggara ini pada umumnya dapat
diperoleh secara barter dengan kain dari Gujarat,
barang-barang dari logam (pedang, pisau, kapak dan
paku), manik-manik, timah dan porselin.35 Meskipun
penduduk Nusa Tenggara juga telah berlayar dengan
perahu-perahu berukuran kecil ke beberapa tempat di
pantai utara Jawa membawa budak, kuda dan beras
untuk dijual, namun mereka belum sampai ke Malaka.
Karena itu pedagag-pedagang dari Malaka yang
datang membeli produk dari Nusa Tenggara.
Selain menghasilkan produk-produk andalan yang
sangat dibutuhkan dan laku di pasaran, menurut Tome
Pires dikawasan Nusa Tenggara terdapat pelabuhan-
pelabuhan alam yang baik untuk lepas sauh, air
bersih berlimpah-limpah dan suplay makanan cukup
bagi pedagang-pedagang Melayu dan Jawa yang

34
M.A.P. Meilink-Roelofsz, op.cit. : 87.
35
Ibid. : 86-87

188
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

beristirahat dalam perjalanan mereka ke Maluku.36


Dalam konteks seperti inilah Bima harus ditempatkan
karena Bima merupakan bagian dari sistem dan jalur
pelayaran-perdagangan yang ada pada waktu itu,
dimana Bima ikut berperan. Bahkan Tome Pires telah
melaporkan bahwa sekitar tahun 1500, Sumbawa,
Bima dan Sape merupakan pusat perniagaan utama
buat perampok di kawasan timur Nusantara.37 Apa
yang mendorong Bima dapat muncul dan berkembang
sebagai bandar dan pusat niaga dikawasan Nusa
Tenggara akan dijelaskan dalam bab ini.
Bima sebagai kerajaan atau sebagai salah satu
bandar dalam lintas pelayaran-perdagangan dari
Malaka ke Maluku atau sebaliknya menjadi penting
artinya baik sebagai tempat singgah (istirahat)
maupun sebagai tempat aktivitas perdagangan. Tome
Pires melaporkan bahwa Bima pada masa itu telah
berada di jalur maritim dari Malaka dan Pulau Jawa
ke Maluku, sebagaimana Pulau Timor atau Pulau
Komba. Kerajaan Bima sebagai satu kerajaan yang
tidak beragama (belum memeluk agama Islam) sangat
sejahtera , karena kaya akan daging, ikan asin dan kain
tenun, serta kayu sapang yang dijual ke Malaka untuk

36
Armando Cortesai, op. cit : 202
37
Ibid., 228. Periksa juga : Henri Chamber-Lois (penyunting), Kerajaan
Bima dalam Sastra dan Sejarah.Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
Ecole francaise d’Extreme –Orient, 2004 : 237)

189
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

dikirim ke Tiongkok.38Pada masa itu Bima merupakan


satu pusat perniagaan dalam sebuah lalu lintas padat
yang mencakup seluruh Laut Selatan. Pedagang-
pedagang bermodal kecil berlayar sepanjang laut itu,
dari Selat Malaka sampai Pulau Rempah-Rempah
sambil berdagang di tiap pelabuhan, dan Bima adalah
salah satu pelabuhan tersebut. Bima baru terkucilkan
dari segi perniagaan ketika terpaksa menyerahkan
monopoli kepada kompeni.39
Sebagai bandar, Bima terletak pada sebuah teluk
(Teluk Bima) yang terlindung oleh perbukitan di
sekitarnya. Oleh karena itu kapal-kapal yang singgah
atau lepas sauh aman dari hempasan gelombang, baik
pada waktu angin muson bertiup dari barat (barat
laut) maupun dari timur (tenggara). Karena letaknya
yang strategis itu , maka ketika dibawah proteksi
kompeni, Bima dipandang sebagai sebah pelabuhan
(bandar) yang penting, dari sana VOC mendatangkan
kayu sappan. Bahkan pada masa Hindia Belanda sering
dikunjungi kapal-kapal milik Koninklijk Paketvaart
Maatschppy.
Selain posisi geografis dan fisiografisnya,
Bima dapat berkembang sebagai kota bandar atau
pusat kerajaan didukung pula oleh sumber daya

38
Armando Cortesao, op. cit : 203)
39
Ibid, : 220; Henri Chamber-Loir, 2004 : 227-28)

190
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

yang dimilikinya maupun sumber daya dari daerah


sekitarnya. Disini tersedia cukup air bersih, bahan
makanan, daging dan ikan yang dapat diperoleh
dengan murah sebgai bekal melanjutkan pelayaran.
Sebagai tempat aktivitas perdagangan, Bima dan
daerah sekitarnya menghasilkan produk atau komoditi
tertentu seperti kain kasar, budak, kuda, kayu dye
(kayu celup) dan hasil bumi lainnya seperti kacang-
kacangan dan beras (padi). Menurut Tome Pires40
pedagang-pedagang dari Jawa dan Malaka yang
pergi ke Banda dan Maluku singah di Bima untuk
menjual barang-barang yang dibawanya dari Jawa dan
membeli kain kasar untuk dijual di Maluku dan Banda;
demikian juga budak dan kuda dibawa dan dijual ke
Jawa. Budak selain dari pulau Sumbawa didatangkan
juga dari Manggarai (Flores Barat) dan pulau Solor
yang pada waktu itu (abad ke-17-18) menjadi wilayah
kerajaan/kasultanan Bima,
Seperti telah disinggung di atas, kayu dye (kayu
celup) dari Bima di jual ke Malaka, kemudian dari sana
diekspor ke Cina karena permintaan cukup banyak,
meskipun kwalitas kayu dye dari Bima lebih rendah
dibandingkan dengan kayu dye yang berasal dari Siam.
Hasil bumi terutama beras banyak yang dibawa (dijual)
ke Jawa, bahkan menurut sumber-sumber VOC. secara

40
Ibid. : 203, M.A.P. Meilink-Roelofsz , op. cit. :86-87.

191
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

berkala kapal-kapal VOC. datang ke Bima untuk


membeli beras. Kapal-kapal yang datang maupun
yang berangkat ke dan dari Bima selalu mengikuti
angin muson. Pada saat angin muson barat (barat
laut) di pelabuhan Bima berdatangan kapal-kapal dari
arah barat seperti Sumbawa, Lombok, Bali, Jawa dan
Malaka, sedangkan dari Bima berangkat kapal-kapal
yang berlayar ke arah timur dan utara seperti ke
Selayar, Sulawesi, Flores, Solor, Buton, Ambon, Banda
dan Maluku. Sebaliknya pada saat angin muson timur
(tenggara) berdatangan kapal-kapal dari arah timur
atau utara dan berangkat kapal-kapal yang menuju ke
arah barat.
Sehubungan dengan kedudukan Bima sebagai
Bandar niaga, Sultan Bima mengelurkan Hukum
Bicara Undang-Undang Bandar Bima, dikeluarkan
pada tanggal 7 Sya’ban 1173 Hijrah (1759 Masehi).
Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan antara
lain sebagai berikut. Jika ada perahu yang datang
dari Tanah Jawa yang hendak ke timur atau perahu
timur yang hendak ke Jawa, maka iapun singgah
di Bima untuk membeli sirih-pinang, selama tujuh
hari. Jika lebih dari tujuh hari maka akan dikenakan
cukai. Namun meskipun lebih dari tujuh hari lamanya,
kalau tidak berdagang tidak dikenakan cukai .Jika
mereka berdagang dan dagangannya laku maka harga

192
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

dagangannya ditaksir untuk menentukan besarnya


cukai. Jika harganya sepuluh real maka cukainya dua
suku dan jika harganya dua puluh real maka cukainya
sereal dan jika harganya seratus real maka cukainya lima
real. Hal yang sama diberlakukan juga kepada orang-
orang Nasrani termasuk orang –orang Belanda yang
dibebaskan dari cukai. Jika muatan kapalnya sepuluh
koyan, beanya sepuluh real, jika muatannya dua
puluh koyan , maka beanya (cukainya) dua puluh real.
Peraturan ini diberlakukan juga kepada para pedagang
muslim, bergantung pada jumlah koyannya Kepada
para pedagang Makasar dan Bugis, jika perahunya
dua, beanya (cukainya) sereal dan jika perahunya tiga
maka beanya enam suku, jika perahunya empat beanya
dua real, jika perahunya lima beanya tengah tiga real
dan jika perahunya enam maka beanya tiga real.41
Dengan demikian dalam Undang-Undang
Bandar Bima telah diatur/ ditetapkan kewajiban
pembayaran bea cukai di bandar atau di pelabuhan
Bima, disamping hukum berutang dan tata tertib lain
yang harus diindahkan. Termasuk ketentuan khusus
tentang pedagang Islam, Nasrani, dan orang-orang

41
H. Siti Maryam R. Salahudin, Bandar Bima. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjenbud, Direktorat Jarahnitra Bagian
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1992/1993 : 6-7.

193
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

orang-orang Belanda.42 Kalau dianalogikan dengan


situasi pada abad ke-19 sesuai dengan data yang
dikumpulkan oleh Zollinger43, ternyata jumlah kapal-
kapal yang datang maupun yang berangkat ke dan
dari pelabuhan Bima selama angin muson timur (Mei-
Oktober) hampir dua kaki lipat dibandingkan dengan
kapal-kapal yang datang dan berangkat ke dan dari
pelabuhan Bima pada saat angin muson barat atau
barat laut (Nopember-April). Selain itu perlu diketahui
bahwa selain Bima, Sape merupakan pelabuhan
yang cukup penting di pantai timur (di Selat Sape),
sehingga pelabuhan ini merupakan pintu masuk dari
pantai timur. Dalam sumber lokal disebutkan bahwa
Dato ri Tiro ketika datang ke Bima mendarat melalui
pelabuhan Sape, demikian juga ketika sekelompok
bajak laut menyerang Bima mendarat melalui
pelabuhan yang sama.44

Ibid. : 50-51; Henri-Chamber-Loir, Siti Maryam R. Salahuddin, Bo’


42

Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bma. Jakarta; Ecole francaise d’Extreme-


Orient, Yayasan Obor Indonesia, 1999 : 109.
43
H. Zollinger, Verslag van een reis naar Bima en Soembawa en naar
eenige plaatsen op Celebes, Saleier en Flores gedurende de Maanden Mei tot
December 1847”, VBG. XXI1, 1850 : 110-119, Tabell No:,I,II dan III.
44
Dalam kronik Bima disebutkan bahwa pasukan –pasukan Makasar
dibawah Karaeng Maroanging menyerbu Bima melalui pelabuhan Sape,
demikian juga ketika Daeng Mangali, orang-orang Luwu , Tallo dan
Bone datang di Bima untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam
juga melalui pelabuhan Sape. (Periksa L. Massir Q. Abdullah, Bo (Suatu
Himpunan Cacatan Kuno Daerah Bima). Departemen Pendidikan dan

194
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

Posisi Bima dalam lintas pelayaran-perdagangan


antara Malaka-Maluku atau sebaliknya serta
keterlibatannya dalam aktivitas perdagangan
mendorong munculnya Bima sebagai kota Bandar
maupun sebagai kota pusat kerajaan yang terpenting
di kawasan Nusa Tenggara, sekaligus mempercepat
proses Islamisasi dan munculnya Bima sebagai
kerajaan Islam. Dengan kata lain proses Islamisasi
di daerah Bima dan sekitarnya erat kaitannya serta
didorong oleh keterlibatan Bima dalam perdagangan
regional maupun internasional yang pada waktu itu
telah didominasi oleh pelaut-pelaut dan pedagang-
pedagang muslim.
Dampak perdagangan sangat besar bagi
pertumbuhan dan perkembangan Bima, karena
perniagaan dapat memacu pertumbuhan negara
(kerajaan) atau kota-kota di daerah pantai. Dalam
perdagangan penguasa akan mendapatkan income
dari pajak (pajak pelabuhan dan pajak perdagangan)
dan sebagian dari income tersebut diergunakan
untuk membangun kota maupun kerajaan (negara)
dalam arti yang seluas-luasnya. Setelah Bima muncul
sebagai kerajaan Islam, datanglah para ulama dan
muballig Islam dari berbagai kawasan maupun dari

Kebudayaan, Proyek Pengembangan Permuseuman Nusa Tenggara Barat,


1981/1982: 8, 17)

195
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

mancanegara seperti Syeh Umar Al- Bantani, ulama


Arab yang datang dari Banten, Dato ri Bandang dan
Dato ri Tiro masing-masing berasal dari Minangkabau
dan Aceh yang datang ke Bima dari Makasar, Kadhi
Jamaluddin dan Syeh Bamahsun, keduanya dari Arab.
Mereka datang ke Bima untuk menyebarkan agama
Islam atau karena sengaja diundang oleh penguasa
(sultan) menjadi guru sultan dan keluarganya,
kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) kerajaan.
Seiring dengan berkembangnya Bima sebagai
kota bandar dan kota pusat pemerintahan, maka
heterogenitas penduduknyapun semakin tinggi. Di
Bima berdatangan para pedagang dari berbagai daerah
dan berbagai bangsa, sebagian di antaranya tinggal
menetap dan membangun perkampungan mereka
menurut kelompok etnis maupun profesi. Dalam
laporan perjalanannya, Zollinger45 menyebutkan
nama-nama kampung seperti kampung Bugis,
kampung Melayu, dan kampung Walanda. Meskipun
data itu menggambarkan situasi dan kondisi pada awal
abad ke-19, ada kemungkinan bahwa heterogenitas
penduduk Bima sudah mulai berkembang sejak abad
ke-17 atau 18.
Bergesernya rute perdagangan dari Surabaya ke
Makasar, Buton dan Maluku merupakan salah satu
45
H. Zollinger, op. cit : 98.

196
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam

penyebab kemunduruan Bima sebagai kota bandar,


demikian juga dengan ditemukannya kapal uap, jarak
atau rute tempuh pelayaran dapat diperpendek. Selain
itu Bima terjepit diantara dua kekuatan, yaitu orang-
orang Makasar yang datang ke Bima disatu pihak,
dengan kekuasaan Belanda di lain pihak. Penetrasi
kekuasaan bangsa barat (Belanda) menyebabkan
birokrasi tradisional kurang berfungsi. Selain itu
di Bima banyak dibuat garam, pengolahan dan
perdagangan garam tidak diatur oleh sultan sehingga
setiap orang dapat melakukannya sendiri.

197
Bab IV
Bima sebagai Pusat
Kekuasaan Islam

199
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

A. Berdirinya Kesultanan Bima


Kronik Bima menyebutkan bahwa Abdul Khair
Sultan Bima pertama memeluk agama Islam pada
tanggal 15 Rabi’ul awal 1030 Hijriyah bertepatan
dengan 7 Januari 1621, tidak lama setelah raja Goa
mengirim ekspedisi militernya yang ke dua pada
tahun 1619. Namun perlu diketahui bahwa kronik
Bima juga menyebutkan bahwa sultan Bima 1 raja
yang pertama memeluk agama Islam tidak identik
dengan tokoh atau raja Bima yang menolak memeluk
agama Islam, melainkan keponakannya. Pamannya
yang dikenal sebagai mantau Asi Peka atau Raja Salisi
berselisih dengan keponakannya, Ma Bata Wadu yang
pada waktu itu telah memeluk agama Islam. Dengan
bantuan pasukan Makasar, Raja Salisi atau mantau Asi
Peka dikejar-kejar dan akhirnya ditangkap dan setelah
itu kedudukannya digantikan oleh keponakan sebagai
sultan Bima yang pertama.
Dari kronik Bima diperoleh pula gambaran
bahwa pada saat-saat Islamisasi berlangsung, di Bima
terjadi perebutan kekuasaan (tahta) antara keluarga
kerajaan yaitu antara raja yang sedang memerintah
dengan keponakannya yang kemudian minta bantuan
kerajaan Goa. Dengan demikian proses islamisasi di
Bima di dorong pula oleh faktor dan kondisi sosial
politik kerajaan pada waktu itu, menurut Noorduyn,

200
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

terjadinya diskontinuitas di dalam kelas penguasa


disebabkan tingginya perbedaan isu-isu keagamaan
karena raja itu bersikeras menolak untuk memeluk
agama Islam. Setelah raja Bima memeluk Islam, gelar
sangaji diganti dengan gelar Sultan. Sedangkan para
Ncuhi dirubah gelarnya menjadi Gelarang namun hak
raja dan para Ncuhi tetap seperti semula.
Sultan Abdul Kahir memerintah pada tahun 1630-
1640, sedangkan menurut Braam Moris sejak tahun
1640 tanpa menyebutkan tahun berakhirnya. Sejak
itu pula Bima menjadi vazal kerjaan Goa dan sebagai
Vazal, setiap tahun Bima mengirim upati ke Makasar,
berupa hasil bumi, kain kasar, kayu dan kuda. Selain
itu Bima juga berkewajiban mensuplai Goa dengan
pasukan baik untuk kepentingan menyerang maupun
untuk mempertahankan diri. Hubungan politik antara
Makasar dengan Sumbawa, terutama kerajaan Bima
dan kerajaan Sumbawa diperkokoh dengan bimbingan
perkawinan antara elit penguasa Bima dan Sumbawa
dengan putri bangsawan Sulawesi Selatan.
Sultan Abdul Kahir sendiri kawin dengan adik
ipar Sultan Goa, Alaudin bernama Karaeng Sikontu,
ternyata hubungan perkawinan seperti ini tetap
dilanjutkan oleh sultan-sultan sesudahnya. Noorduyn
beranggapan bahwa perkawinan yang terjadi
antara sultan-sultan Bima dengan putri sultan atau

201
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

bangsawan Goa adalah perkawinan politik, karena


melalui perkawinan itu Bima dimasukan dalam dinasti
Goa. Setiap peperangan yang dihadapi Goa, Bima
selalu ikut ambil bagian memberikan bantuannya.
Sultan Abdul Kahir dikenal sebagai peletak dasar
agama Islam di Bima dan menjadikan Kerajaan Bima
sebagai kerajaan Islam atau kerajaan yang bercorak
Islam. Di dalam sejarah Bima maupun dalam lontara
Goa, Abdul Kahir dikenal atau sering disejajarkan
dengan Sultan Alaudin dan Sultan Malikus Said dari
kerajaan Goa dan Tallo, baik dalam penyebaran agama
Islam maupun dalam perebutan pengaruh dengan
Belanda (VOC) yang ingin menguasai perdagangan di
Indonesia bagian Timur pada waktu itu. Setelah wafat
digantikan oleh anaknya yang bergelar Sultan Abdul
Khair Sirajuddin yang memerintah pada tahun 1640-
1682.
Menurut Bo kerajaan Bima, ketika istri sultan
Abdul Kahir, Rumata Ma Bata Wadu, melahirkan
putranya yang pertama ia mendatangi Bicara/Bumi
renda la Mbila manurut suatu untuk meminta nama
bagi putranya itu Oleh Ruma Manuru Suntu, anak
yang baru dilahirkan itu diberi nama Lambila, dan
setelah menjadi sultan Lambila mendapat nama
Abdul Kahir Sirajuddin. Di dalam lontara Goa,
sultan ini dikenal dengan Sultan I Ambela Abdul

202
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

Khair Sirajuddin. Ketika Lambila menanjak dewasa


ayahnya Sultan Abdul Kahir meninggal dunia. Ketika
ia memangku jabatan sultan dalam usia yang masih
muda dalam lontara Goa bahwa ia kawin di Makasar
pada tahun 1646 dengan puti raja Goa, Sultan Malikul
Said bernama Karaeng Bonto Jene setelah beberapa
tahun menjadi sultan. Dari perkawinan tersebut lahir
seorang sultan Nuruddin yang merupakan sultan
Bima Ke III pada tahun 1651. Selama sultan Abdul
Khair Sirajuddin memerintah tercatat bebepara cerita
penting di Kerajaan Bima antara lain :
1. Penyesuaian hukum adat dengan hukum Islam
sehingga pemerintahan kerajaan benar-benar
berjalan sebagaimana lazimnya kerajaan
Islam.
2. Penyesuaian bentuk Majelis Kerajaan dengan
memasukan unsur-unsur agama Islam, kalau
sebelumnya Majelis Kerajaan terdiri dari
Majelis Sara dan Majelis Hadat, maka setelah
penyesuaian terdiri dari unsur syara’ tua dan
unsur hukum.
3. Memperluas penyiaran agama Islam dengan
mewajibkan pelaksanaan syariat Islam dan
memberikan kedudukan yang tinggi bagi para
muballig. Oleh karena itu dalam kronik Bima,
Sultan Abdul Khair Sirajuddin disebut sebagai
pelita agama.

203
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

4. Memerintahkan penyempurnaan Kitab


Catatatan Harian Kerajaan Bima dengan
membuat (menulis) BO, yang ditulis di atas
kertas dengan huruf Arab dan berbahasa
melayu.1
5. Menetapkan hari-hari besar kerajaan yang
diperingati setiap tahunnya. Oleh majelis
kerajaan hari-hari besar ini disebut Rawi sara
Ma Tolu Samba’a yaitu, peringatan maulId
Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiul
Awal yang sengaja dirayakan atau diperingati 2
hari kemudian (tanggal 15 Rabiul Awal) kerana
disatukan dengan peringatan kemenangan
Islam di Kerajaan Bima dan dinyatakan secara
resmi sebagai kerajaan Islam pada tanggal 15
Rabiulawal tahun 1030 Hijrah, upacara ini
lebih dikenal dengan Upcara Sirih-puan atau
Ua-Pua). Kedua, hari raya idul fitri dan ketiga,
hari raya idul adha,
Sebagai sekutu kerajaan Goa, Sultan Abdul
Khair Sirajuddin selalu bahu membahu dengan
iparnya Malombasi Daeng Mattawang alias Sultan

1
Lalu Mesir, Q. Abdullah. Bo (Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah
Bima), hal. 7 hal itu dapat juga dikaitkan dengan peranan bahasa Melayu
sebagai bahasa resmi di Nusantara pada kurun waktu abad ke 17-19 dan
sebagai bahasa resmi tidak hanya dipergunakan dalam kronik-kronik
perjanjian, tetapi juga dalam penulisan naskah.

204
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

Hasanuddin dari Goa menentang Belanda. Pada


tahun 1666 sultan Goa, Hasanuddin menyerang
Buton karena memberikan bantuan dan perlindungan
kepada Arung Palaka yang memihak Belanda dengan
mengirim pasukan (armada) yang teridiri dari 20
buah kapal yang dipimpin oleh Karaeng Bontomaranu
bersama-sama dengan Datu Luwu, Setiaraja Sultan
Alimuddin dan Sultan Bima. Pada tanggal 1 Januari
1667 Spelman mengirim armadanya untuk membantu
Buton sehingga terjadilah pertempuran sengit dengan
kekalahan di pihak pasukan Goa, kemudian Karaeng
Bontomaranu bersama-sama dengan Datu Luwu dan
Sultan Bima menemui Speelman untuk mengadakan
perundingan yang berakhir dengan penyerahan pada
tanggal 4 Januari 1667.
Dalam penyerangan Belanda terhadap benteng
Somba Opu dan Panakukang. Sultan Abdul Khair
Sirajuddin sempat bertempur bersama-sama dengan
laskar Goa dalam mempertahankan benteng tersebut.
Catatan Bo kerajaan Bima menyatakan bahwa jatuhnya
benteng Panakukang terjadi pada tahun 1070 Hijrah,
sedangkan sejarah Goa mencatat tanggal 12 Juni 1666.
Jatuhnya benteng Panakukang ini mengakibatkan
lahirnya perjanjian 19 Agustus 1660 dan perjanjian
21 Desember 1660 yang ditandatangani oleh pihak
Belanda dan Goa. Dalam perjanjian tersebut antara

205
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

lain dicantumkan syarat-syarat untuk memisahkan


persekutuan Goa dengan Bima, meskipun perjanjian
itu telah ditandatangani. Goa dan Bima tetap
bersekutu hal ini bukan karena Sultan Hasanuddin
dan Sultan Abdul Khair Sirajuddin mempunyai prinsip
yang sama tetapi karena persekutuan itu dipererat
dengan ikatan kekerabatan melalui perkawinan.
Sultan Abdul Khair Sirajuddin memerintah daerah
yang cukup luas selain ujung timur pulau Sumbawa
wiyahnya juga termasuk daerah Flores Barat
(Manggarai) dan pulau-pulau kecil di selat Sape karena
wilayah ini amat strategis bagi pelayaran perdagangan
maka dalam perjanjian Bonggaya ditandatangani
pada hari Jum’at tanggal 18 Nopember 1667, tiga
pasal di antaranya menyangkut kerajaan-kerajaan dan
bangsawan-bangsawan Bima. walaupun perjanjian itu
telah ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin dan raja-
raja lainnya, Karaeng Bontomaranu, sultan Bima, Raja
Tallo, Sultan Harun Al-Rasyid dan Karaeng Lengkoso
tetap belum mau menandatanginnya. Namun atas
desakan Speelman raja Tallo dan Karaeng Lengkoso
menandatangi perjanjian Bongaya pada tanggal 31
Maret 1668, sedangkan kerajaan Bima baru menyerah
kepada Belanda pada tanggal 8 Desember 1669
dengan ditandatanganinya suatu perjanjian di Batavia

206
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

oleh Jeneli Monta, Abdul Wahid dan Jeneli Parado La


Ibu atas nama Sultan Bima.
Meskipuan secara resmi kerajaan Bima dinyatakan
telah berada di bawah penguasaan Kompeni,
pelaksanaan pemerintahan kerajaan sepenuhnya
berjalan menurut kebijaksanaan Sultan Abdul khair
Sirajuddin, birokrasi tradisional tetap berjalan
terkecuali yang berkaitan dengan masalah ekonomi
dan perdangan menjadi monopoli VOC. Dalam
kedaaan seperti ini pemerintah pribumi berfungsi
sebagai penghubung antara penguasa VOC (Belanda)
dengan penduduk setempat untuk menjamin
kepentingannya baik berupa pajak maupun tenaga
kerja. Para penguasa pribumi dengan pengaruh
tradisionalnya yang kharismatik diharapkan dapat
memenuhi kepentingan patronnya, dalam hal ini
penguasa VOC, namun sebaliknya kepentingan para
penguasa pribumi tetap dijamin oleh penguasa VOC,
karena kekuasaannya tetap dipertahankan, demikian
juga dengan hak-hak yang dimilikinya.
Dengan demikian, system politik dan birokrasi
tradisional yang sudah berjalan dengan mapan
tetap dilanjutkan, terkecuali dalam berbagai hal
yang di anggap penting seperti pergantian tahta,
bahkan perkawinan dikalangan elit penguasa
kerajaan, pemerintah VOC turut ikut campur,

207
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

langsung maupun tidak langsung. Untuk mengurus


dan mengendalikan kekuasaan VOC di bidang
perdagangan, di Bima ditempatkan seorang kuasa
usaha yaitu Khojah Ibrahim. Pada tahun 1701 Belanda
membangun benteng dan loji kemudian menempatkan
petugas-petugasnya yang berpangkat Kopman dan
Onderkopman.
Hubungan Bima dengan VOC dan kemudian
setelah VOC gulung tikar dilanjutkan dengan
pemerintah Hindia Belanda yang berlangsung sampai
awal abad ke-20 baik dengan penempatan para pejabat
di Bima atau melalui kantor pemerintah kompeni
yang berpusat di Makasar, karena secara administratif
Bima digabung ke dalam (dengan) Celebes en
Onderhoorigheden (Sulawesi) dan wilayah sekitarnya.
Pada tahun 1909 secara administratif Bima digabung
ke dalam (dengan) Timor en Onderhoorigheden
(Timor dan wilayah sekitarnya) yang pusatnya di
Kupang. Menurut catatan (Belanda dan Inggris)
telah menempatkan 54 pejabatnya di Bima dalam
berbagai jabatan atau pangkat yaitu Residen, Comandan,
Onderprefect, Asisten Residen, Gezaghebber, Controleur
dan Arsip-arsip Controleur.
Sultan Abdul Khair Sirajuddin wafat pada tanggal
17 Rajab 1093 Hijrah yang bertepatan dengan 22 Juli
1682 M., dimakamkan di komplek makam Tolobali

208
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

setelah wafat ia diberi gelar Rumata Mantau Uma


Jati, yang berarti raja yang memiliki rumah jati. Ia
digantikan oleh Sultan Nuruddin Abubakar Syah
sebagai Sultan ke -3, memerintah tahun 1682-
1687. Catatan-catatan lontara dan Bo kerajaan Bima
menyebeutkan bahwa Sultan Nuruddin adalah anak
sulung Sultan Abdul Khair Sirajuddin dengan Karaeng
Monto Jene, dilahirkan pada tanggal 13 Desember
1651 dan wafat pada 25 Juni 1687. Sebagai putra
mahkota ia mendapat nama Mapparabung Daeng-
Mattali Karaeng Panaragang. Ia kawin dengan putri
bangsawan Goa yang bernama Daeng Tamamang.
Sebelum menjadi sultan beliau pernah tinggal di
Jawa, bahkan pada tahun 1676 ikut bergabung dengan
pasukan Makasar di bawah Karaeng Galasong
membantu Trunojoyo Susuhunan Mataram dan VOC.
Sejak bulan Januari 1680 sampai bulan Maret 1681
tinggal di Cirebon dan pada 9 Maret 1682 berangkat
dari Batavia kembali ke Bima disertai 230 orang
pengikutnya.
Peristiwa-peristiwa penting yang perlu dicatat
selama pemerintahan Sultan Nuruddin adalah
pengiriman pejabat-pejabat kerajaan Bima ke
daerah Manggarai (Flores Barat) yang bertindak
sebagai Na’ib (wakil) sultan di wilayah itu, yang
sekaligus berkewajiban menyiarkan agama Islam.

209
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Jabatan-jabatan keagamaan kerajaan Bima mulai


disempurnakan yaitu dengan dengan diadakannya
jabatan qadhi, lebe, khatib dan lain sebagainya,
bahkan di istana sultan diangkat petugas di bidang
keagamaan yang berkedudukan sebagai mufti istana.
Pada masa pemerintahan Sultan Nuruddin telah
berdatangan para muballig dari Sumatera, Banten,
Sulawesi, bahkan Malaka dan Tanah Arab. Sebagian
di antaranya diperlakukan sebagai pejabat kerajaan.
Sebagai contoh adalah seorang Arab dari Banten,
Syeh Umar Al-Bantani yang menjadi mufti di istana
kerajaan bahkan diberi tugas mendidik putra-putri
sultan dan keluarganya.
Sultan Nuruddin wafat pada tahun 1687
dan dimakamkan di komplek Makam Tolobali
berdampingan dengan makam ayahnya, setelah wafat
diberi gelar Rumata Ma Wa’a Paju. Nama atau gelar
tersebut diberikan karena beliaulah yang menetapkan
agar para pejabat kerajaan memakai paying kebesaran
terutama pada saat melaksanakan upacara-upacara
adat kerajaan. Sultan Nuruddin digantikan oleh anak
sulungnya yang bergelar Sultan Jamaluddin Ali
Syah, memerintah tahun 1687-169, sebagai sultan
yang ke-4. Sultan Jamaluddin kawin dengan Fatima
Karaeng Tanata, putri bangsawan Goa, Karaeng
Besai pada tahun 1688. Dari perkawinanya itu lahir

210
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

4 anak laki-laki dan salah seorang dari mereka kelak


menggantikannya sebagai Sultan Bima yang ke-5
dengan gelar Sultan Hasanuddin Muhammad Syah.
Sejak kecil Sultan Jamaluddin mendapat didikan
Syeh Umar Al-Bantani, dari padanya ia mendapatkan
cerita tentang kepahlawanan raja-raja Banten, Malaka
dan kepahlawanan Islam. Cerita-cerita seperti itu
sangat berkesan dihatinya sehingga pada waktu ia
menjadi Sultan cerita dan ajaran Syeh Umar Al-
Bantani itu memengaruhi sikapnya terhadap Belanda
sehingga kurang mendapatkan simpati pemerintah
VOC. Ketika terjadi pembunuhan permaisuri Sultan
Dompu (bibi sultan Jamaluddin), ia sedang berkunjung
kepada bibinya. Kesempatan itu kemudian digunakan
oleh Belanda untuk menyingkirkannya, atas pengaduan
Sultan Dompu, Gubernur VOC di Makasar kemudian
memanggil Sultan Jamaluddin ke Makasar lalu
ditahan. Dari Makasar dibawa ke Batavia dan ditahan
disana sampai wafatnya pada tanggal 6 Juli 1996
dan dimakamkan di Tanjung Periok. Baru kemudian
pada tahun 1704 tulang belulangnya dipindahkan ke
Bima dan dimakamkan di komplek Makam Tolobali
berdampingan dengan makam gurunya, Syeh Umar
Al-Bantami. Sebagai catatan bahwa di Kesultanan
Bima pernah memerintah 14 Sultan, Sultan Abdul
Kahir sebagai sultan yang pertama dan Sultan

211
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Muhammad Salahuddin sebagai Sultan yang terakhir.


Sultan Salahuddin wafat dan dimakamkan di Jakarta
pada tahun 1951. Kesultanan Bima dinyatakan
berakhir dengan ditetapkannya Undang-Undang No:
1 tahun 1957 tentang penghapusan daerah-daerah
Swapraja yang sekaligus diikuti dengan pembentukan
Daerah Tingkat II di seluruh Indonesia.
Adapun nama-nama sultan Bima yang memerintah
sejak Islam masuk di tanah Bima, secara kronologis
sebagai berikut:
1. Sultan Abdul Kahir (1611-1640 M).
nama anumerta Mantau Bata Wadu (yang
mempunyai kubur batu) kawin dengan
Karaeng Sikontu. Beliau adalah Sultan
pertama yang memerintah, beliau dilantik
menjadi sultan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal
1050 H atau 1630 M. Beliau wafat pada tanggal
22 Desember 1640 dalam usia 57 tahun
dimakamkan di atas bukit Danatraha dengan
ketinggian 65 m di atas permukaan laut.
Lokasi tersebut termasuk wilayah Kelurahan
Dara Kecamatan Rasana’E Barat Kota Bima,
di dalam komplek ini terdapat tiga makam
yang dikenal identitasnya, yaitu makam Sultan
Abdul Kahir (raja pertama Kesultanan Bima),
makam wazirul adzim Abdul Shomad Ompu
La Muni, dan Makam Datuk Sagiri atau Datuk

212
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

Giri. Namun menurut catatan Rouffaer ada


empat makam yang dapat dikenal identitasnya,
yakni, makam sultan pertama Bima, Abdul
Kahir, makam Qadli Jamaluddin, makam
putra sangaji Bolo dan makam Safiyah. Dalam
sumber lokal, Datu’ Sagiri atau Datu’ Giri
dikenal sebagai putri raja Sumbawa, Sultan
Harun Al-Rasyid (1777-1790) yang kawin
dengan raja kesembilan Bima, Sultan Abdul
Hamid Muhammad Syah Zillullah fil ‘Alam
(1773-1817) atau yang dikenal Mantau Asi
Saninu.
2. Sultan Abil Khair Sirajudin (1640-1682
M) nama anumerta Mantau Uma jati (yang
mempunyai rumah jati). Kawin dengan
Karaeng Bontojene putri raja Goa Muhammad
Said. Setelah Sultan Abdul Kahir wafat, maka
dinobatkanlah Jena Teke (putra mahkota) Abil
Khair Sirajuddin. la dilahirkan pada tanggal 8
Ramadhan 1038 H atau 1627 M dan diangkat
menjadi sultan Bima yang kedua pada tahun
1640 M. Baginda wafat dan dimakamkan
di pemakaman umum Tolo Bali, di dalam
komplek ini terdapat dua bangunan cunkup
(dulu tiga) berbentuk kubah atau koepel. Di
dalamnya terdapat empat makam, tiga di
antaranya makam raja Bima yaitu Sultan

213
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Abdul Khair Sirajuddin, (raja kedua) Sultan


Nuruddin, (raja Ketiga) dan sultan Jamaluddin
(raja keempat).
3. Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah (1682-
1687 M). la dilahirkan pada 16 Zulhijjah 1061
H bertepatan dengan tanggal 13 Desember
1651 M dan dinobatkan menjadi sultan Bima
yang ketiga pada tahun 1682, menggantikan
ayahnya Sultan Abdul Khair Sirajuddin. Di
samping gelar sultan, la juga bergelar Ruma
Ma Wa’a Paju, artinya sultan yang membawa
payung. Sultan Nuruddin wafat di Bima pada
tanggal 22 Juli 1687 M, setelah memerintah
kurang lebih enam tahun (1682 - 1687 M).
Ia dimakamkan di Tolo Bali Bima di samping
kuburan ayahnya. Dalam nisannya terdapat
tulisan hamdalah dan shalawat kepada Nabi
Muhammad Saw. Bangunan makam ini
berbentuk dua piramida dan mirip dengan
bangunan makam Karaeng Matowa di puncak
bukit Bonto Birseng
4. Sultan Jamaluddin Ali Syah (1687-1696 M)
nama anumerta Ma Wa’a Romo. Setelah
mangkatnya Sultan Nuruddin Muhammad
Abubakar Ali Syah, Jena Teke (putra mahkota)
Jamaluddin naik tahta dengan sebutan Sultan
Jamaluddin Ali Syah. Akhirnya beliau wafat

214
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

dan dikebumikan di pemakaman Tolo Bali


Bima, yaitu di samping makam ayahnya dan
gurunya Syeikh Umar al-Bantani. Beliau
meninggalkan empat orang putra hasil
perkawinan dengan putri Gowa. Salah satu di
antaranya bernama Hasanuddin Muhammmad
Syah sebagai Jena Teke (putra mahkota) yang
sekaligus mewariskan tahta kerajaan.
5. Sultan Hasanuddin Muhammad Syah (1696-
1731 M). nama anumerta Mabata Bo’u (yang
mempunyai kubur baru) kawin dengan
Karaeng Bissangpole. Sultan Hasanuddin Ali
Syah memiliki nama kecil Mapatalli Sya’ad
Syah Setelah Sultan Jamaluddin mangkat,
Hasanuddin naik tahta menggantikan ayahnya.
Ia dilahirkan pada tanggal 16 sepetember
1689 di Bima. Baginda wafat pada tanggal 22
Januari 1731 di Bima dan dikuburkan pada
makam raja-raja Bima di Tolo Bali dalam usia
42 tahun.
6. Sultan Alauddin Muhammad Syah (1731-
1748 M) nama anumerta Manuru Daha
(yang berdiam di Daha). Nama kecil Abdullah
Sulaiman Ali Syah, kawin dengan Karaeng
Tanasanga (putri Sultan Goa) wafat pada
tanggal 27 Mei 1748 meninggal dalam usia 42
tahun. Setelah Sultan Hasanuddin mangkat,

215
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

yang menggantikannya adalah puteranya


Alauddin. Baginda naik tahta pada tahun
1731. Setelah menjadi sultan, ia bergelar
Sultan Alauddin Muhammad Syah. Sultan
Alaudin adalah salah satu sultan yang selalu
memperhatikan kelengkapan persenjataan.
Karena itu pula, di masa pemerintahannya,
ia mengangkat staf khusus yang menangani
persenjataan dengan gelar “Bumi Ndende
Besi”, yang khusus membuat peralatan senjata.
7. Sultanah Kamalat Syah, (1748-1750) Ruma
Partiga nama kecil Rante Patola Siti Rabi’ah
lahir 27 April 1728 (istri raja Tallo anak puteri
dari Alaudin Muhammad Syah) diturunkan
oleh Belanda pada tanggal 28 Juni 1751 karena
kawin dengan anak Raja Tallo Nadjamuddin
yang bernama Muhammad Jamala Mappatola
Karaeng Kandjilo dalam usia 39 tahun beliau
dimakamkan di Sailon India pada tanggal 31
Agustus 1773
8. Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah
Zilullah fil Alam (1751 - 1773 M). Mendapat
gelar “Ma wa’a Taho” (yang membawa
kabaikan) sebelumnya bernama Sri Nawa lahir
11 Agustus 1148 H dan wafat pada tanggal 31
Agustus 1773 dalam usia 39 tahun. Tidak ada
sumber yang jelas tentang kapan ia naik tahta.

216
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

Hanya dalam “BO” disebutkan bahwa yang


yang memerintah setelah Sultan Alauddin
ialah putranya Abdul Kadim. Sultan Abdul
Kadim wafat dan dimakamkan di pemakaman
raja-raja di kampung Sigi Bara-Bima. Ia
oleh rakyat Kesultanan Bima mendapatkan
gelar “Ruma Mawa’a Taho”, artinya sultan
mempunyai sifat yang lemah lembut.
9. Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah
Zilullah fil Alam (1773-1817 M) mendapat
gelar “Ma Ntau Asi Saninu” (yang mempunyai
istana cermin) merupakan anak dari Abdul
Kadim Muhammad Syah Zilullah fil Alam.
Keadaan Islam pada masa Sultan Abdul Kadim
sangatlah mengkuatirkan dan hampir di semua
daerah kekuasaannya timbul pemberontakan
akibat dari sikap sultan yang tidak tegas.
Maka pada masa pemerintahan Sultan Abdul
Hamid ini segera dilakukan pembenahan
untuk mengatasinya dan berusaha untuk
mengembalikan suasana seperti keadaan
semula. Sultan Abdul Hamid wafat dan
dimakamkan di kuburan raja-raja Kampung
Sigi Kelurahan Paruga Kecamatan Rasana’E
Barat Kota Bima. Dari tulisan yang ada di
nisannya dapat diketahui bahwa Sultan Abdul

217
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Hamid wafat pada tanggal 17 April 1817


dalam usia 55 tahun.
10. Sultan Ismail Muhammad Syah (1817 -1854)
mendapat gelar “Mantau Dana Sigi” (yang
mempunyai tanah masjid) yang merupakan
anak dari Abdul Hamid Syah Zilullah fil Alam
lahir pada tanggal 28 Mei 1797, dan wafat
pada tanggal 30 Juni 1854 dalam usia 57
tahun. Beliau dimakamkan di kompleks raja-
raja Bima di kampung Sigi Kelurahan Paruga
Kecamatan Rasana’E Barat Kota Bima.
11. Sultan Abdullah (1854-1868 M) anak dari
sultan Ismail Muhammad Syah mendapat
gelar “Ma wa’a adil” (yang membawa keadilan)
la naik tahta kerajaan pada tahun 1854 M.
Sultan Abdullah wafat pada tanggal 10
Agustus 1868 dan dikuburkan di kompleks
makam raja-raja Bima di kampung Sigi
Kelurahan Paruga Kecamatan Rasana’E Barat
Kota Bima. Dalam silsilah raja-raja Bima,
sultan meninggalkan dua orang putra, yaitu
Abdul Aziz dan Ibrahim.
12. Sultan Abdul Aziz (1868 - 1881 M) Anak
dari Sultan Abdullah yang mendapat gelar
“Ruma ma Wa’a Sampela” (sultan yang masih
muda dan membujang). Karena memegang
kekuasaan pada usia muda dan meninggal

218
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

pula pada usia muda ia digelari “Ruma Mawa’a


Sampela” (sultan yang masih muda). Dari
tulisan yang ada di nisannya dapat diketahui
bahwa Sultan Abdul Aziz bin Sultan Abdullah
wafat pada hari Kamis tanggal 5 Sya’ban 1298
H.
13. Sultan Ibrahim (1881-1915 M). mendapat
gelar Ruma Ma Taho Parange, yang
merupakan adik dari sultan Abdulllah lahir
pada tanggal 19 februari 1866 dan wafat 06
Desember 1915 dalam usia 49 tahun. Pada
saat Sultan Ibrahim memerintah, Belanda
mulai secara langsung menguasai Kesultanan
Bima. Belanda berusaha menghasut orang-
orang Manggarai untuk mengusir orang-
orang Bima di daerah tersebut. Padahal disaat
itu Manggarai berada di bawah taklukan
Kesultanan Bima. Sultan Ibrahim meninggal
pada tahun 1915 dan setelah meninggal dunia
dijuluki oleh rakyatnya dengan gelar “Sultan
Ibrahim Ruma Ma Taho Parange”, artinya
sultan yang mempunyai perangai yang baik
dan berjasa dalam menegakkan agama pada
masa pemerintahannya. Sultan Ibrahim
dimakamkan di kompleks makam raja-raja
Bima di Kampung Sigi Kelurahan Paruga
Kecamatan Rasana’E Barat Kota Bima. Dari

219
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

tulisan yang tertera pada batu nisannya dapat


diketahui bahwa Sultan Ibrahim wafat pada
hari Kamis tanggal 9 Safar 1336 H, bertepatan
dengan tahun 1917 M. Kedudukannya
kemudian digantikan oleh putranya yang
bernama Muhammmad Salahuddin.
14. Sultan Muhammad Salahuddin (1915-
1951 M). Setelah Sultan Ibrahim mangkat,
Muhammad Salahuddin naik tahta untuk
menggantikannya sebagai sultan. la dilahirkan
pada hari Selasa 15 Zulhijjah 1306 H/1867
M dan dinobatkan menjadi sultan Bima yang
ke-13 pada tanggal 11 Okbtober 1917 dan
bergelar Muhammad Salahuddin Makakidi
Agama. Wafat di Jakarta sewaktu mengobati
penyakitnya dan dimakamkan di Pekuburan
kebun Karet Jakarta Pusat pada tanggal 1 Juli
1951 bertepatan dengan tanggal 8 Syawal
1370 H dalam usia 63 tahun.
15. Sultan Abdul Kahir II (anak dari Sultan
Muhammad Salahuddin Ma Kakidi agama,
1954-1959 dan 1960-1964). Lahir pada
tanggal 26 Oktober 1925 dan wafat pada
tanggal 12 Mei 2001. Tahun 1944 diangkat
sebagai putra mahkota (Jena Teke), tahun
1954 sampai dengan tahun 1964 diangkat
menjadi kepala daerah Swapraja Bima. Setelah

220
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

wafat dinobatkan sebagai Sultan Abdul Kahir


II sultan yang ke 15 oleh Majelis Adat Dana
Mbojo pada tanggal 17 Juni 2001 dalam 76
tahun.
16. Sultan Fery Zulkarnain, ST putra dari Sultan
Abdul Kahir II Ma Wa’a Busi ro Mawo,
lahir di Jakarta pada tanggal 1 Oktober
1964. Wafat pada tanggal 26 Desember
2013. Diangkat sebagai putra mahkota pada
tanggal 17 Juni 2001 dalam usia 33 tahun dan
dinobatkan sebagai sultan XVI pada tanggal
04 Juli 2013. Beliau menjabat sebagai bupati
Bima selama dua peroide. Beliau dimakamkan
di sebelah timur makam sultan keempat yaitu
Sultan Hasanuddin.
Dengan meninggalnya Sultan Muhammad
Salahuddin, sesungguhnya berakhirlah pemerintah
Kesultanan Bima dalam pengertian, bahwa Bima
diperintah oleh sultan. Sebab itulah Bima tidak lagi
diperintah oleh seorang yang bergelar sultan. Dan
berdasarkan Undang-undang Dasar NIT Nomor 44
tahun 1950, tanggal 2 Oktober 1950 dibentuk Dewan
Pemerintahan Daerah Swapraja Bima dan Dewan
Pemerintahan Kesultanan Bima dihapus dengan
besluit pemerintahan Kesultanan Bima Nomor 54 a
tanggal 2 Oktober 1950. Sedangkan Kesultanan Bima
dalam arti kekuasaannya yang mutlak berakhir pada

221
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

masa pemerintahan Sultan Ibrahim Sultan Bima ke-


13, yaitu dengan ditandatanganinya Perjanjian Longe
Politic Contract (Politik Kontrak Panjang) pada tanggal
6 Februari 1908 dengan Belanda, yang isinya antara
lain mengakui kekuasaan Belanda di Bima. Jadi,
Kesultanan Bima berakhir dalam arti kekuasaannya
yang mutlak setelah perjanjian dengan Belanda pada
tanggal 6 Februari 1908, sedangkan Bima berbentuk
kesultanan berakhir sejak meninggalnya Sultan Bima
yang terakhir, yaitu Sultan Muhammad Salahuddin
serta berdirinya Dewan Pemerintahan Swaparaja Bima
pada tanggal 2 Oktober 1950. Meskipun Kesultanan
Bima sudah berakhir, namun jasa yang ditinggalkan
oleh sultan Bima, terutama dalam bidang agama masih
dirasakan sampai sekarang.

B. Wilayah Kesultanan Bima


Bima adalah kota otonom dan nama Kabupaten di
ujung timur pulau Sumbawa, dalam wilayah Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Pada masa lalu Bima merupakan
salah satu pusat kekuasaan Islam yang terpenting di
Pulau Sumbawa, bahkan di kawasan Nusa Tenggara.
Menurut legenda, nama Bima diambil dari nama
Sang Bima, seorang bangsawan Jawa yang berhasil
mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di daerah
itu menjadi satu kerajaan, yaitu Kerajaan Bima. Di

222
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

dalam legenda itu diceritakan pula bahwa Sang Bima


mempunyai kekasih seekor naga dari Pulau Satonda.
Naga itu hamil karena pandangan mata Sang Bima dan
dari padanya lahir seorang putri yang cantik sekali
bernama Tasi Sari Naga. Sang Bima lalu mengawini
putrinya dan dari perkawinan itu lahir Indra Jamrutd
dan Indra Komala yang kelak menjadi cikal bakal yang
menurunkan raja-raja dan sultan-sultan Bima dan
Dompu.
Menurut Braam Morris selama keberadaannya
ada 49 raja dan sultan yang pernah memerintah di
Bima, Maharaja Sang Bima ditempatkan pada urutan
yang ke-11, sedangkan dalam catatan Rouffaer yang
kemudian diterbitkan oleh Noorduyn ada 26 raja atau
sultan, mulai dari Maharaja Sang Bima sampai dengan
Sultan Ibrahim. Sesungguhnya sejak munculnya
sebagai pusat kekuasaan Islam hingga tahun 1950
Kesultanan Bima diperintah oleh 14 sultan, mulai
dari Sultan Abdul Kahir (1620-1640) sampai Sultan
Muhammad Salahuddin (1915-1951) sebagai Sultan
Bima yang terakhir (lihat lampiran). Namun tidak
berarti bahwa data tersebut keliru karena ketika
Braam Morris menulis artikelnya pada tahun 1890 dan
Rouffaer berkunjung ke Bima pada tahun 1910 yang
sedang memerintah di Bima adalah Sultan Ibrahim
(1881-1915) sebagai sultan yang ke-13, meskipun

223
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

nama raja-raja Bima sebelum Islam masih terjadi


perbedaan pendapat.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh para peneliti
sebelumnya diperoleh informasi bahwa sampai dengan
abad ke-19, wilayah Kerajaan Bima meliputi bagian
timur Pulau Sumbawa, Flores Barat (Manggarai)
dan pulau-pulau kecil di Selat Alas yang berjumlah
sekitar 66 buah pulau. Sejak kapan Manggarai
menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Bima belum
diketahui secara pasti, sumber lokal mencatat pada
masa pemerintahan Manggampo Donggo sekitar abad
ke-14, sementara dalam sumber VOC (Daghregister),
pada tahun 1661 Manggarai dicatat sebagai wilayah
kekuasaan Bima.
Wilayah Kerajaan Bima di bagian timur Pulau
Sumbawa, di sebelah utara berbatasan dengan Laut
Jawa, sebelah timur dengan Selat Sape, sebelah selatan
dengan Lautan Hindia dan di sebelah barat berbatasan
dengan Kerajaan Dompu. Secara lebih rinci van
Hollander menggambarkan batas antara Bima dan
Dompo dengan sebuah garis pada 118° 37‘ di pantai
utara ke arah selatan melalui Gunung Wawo-Sape ke
arah 118° 38‘ 30‘ di pantai selatan. Sedangkan menurut
catatan Kerajaan Bima, batas itu dimulai dari Doro
Dewa pada 118° 31‘ di pantai utara terus ke selatan
melalui puncak gunung Doro Mandompo menuju ke

224
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

kampung Pajo, lalu ke arah selatan menuju ke Wadu


Nteli Mayaga, Wadu Up, kemudian membelok ke
barat menuju ke Wadu Udu dekat kampung Dompo
bernama Daha. Selanjutnya dari sana ke arah tenggara
menuju ke Wadu Suga dan akhirnya ke arah selatan
ke muara sungai Sori Soma di pantai laut selatan
(Samudra Hindia) pada 118° 34. Batas sebelah timur
Pulau Flores ditetapkan oleh pemerintah Belanda pada
tahun 1864, mulai dari Sungai Pota di utara (termasuk
wilayah Pota), kemudian ditarik garis lurus ke arah
tenggara menuju Sungai Nagaramo di pantai selatan
(termasuk wilayah Ramo) karena pada tahun itu Bima
melepaskan haknya atas Galenteng dan Pulau Sumba.

Gambar 5 : Peta Pulau Sumbawa

Luas Kerajaan Bima sebagaimana tercantum


dalam penjelasan kontrak antara Gubernur Celebes en
Onderhoorigheden dengan Sultan Bima pada tahun 1886
seluruhnya adalah 156 mil persegi dengan rincian di
Pulau Sumbawa ditambah dengan pulau-pulau kecil di
sekitarnya adalah 71,5 mil persegi dan di Pulau Flores

225
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

seluas 84,5 mil persegi. Wilayah Kerajaan Bima di


Pulau Sumbawa dibagi menjadi 3 distrik yaitu: Belo,
Bolo dan Sape, masing-masing diperintah oleh seorang
Galarang kepala yang membawahi Galarang rendahan
dan kepala-kepala kampung. Sedangkan wilayah
Kerajaan Bima di Flores Barat atau Manggarai terdiri
dari daerah Reo dan Pota, masing-masing diperintah
oleh seorang pejabat bergelar Naib yang bertindak
sebagai wakil sultan. Para Naib ini membawahi para
Galarang, para Dalu dan kepala-kepala kampung.
Dalam perkembangan kemudian wilayah
Kesultanan Bima semakin menyempit karena dalam
Lampiran I, kontrak terakhir Kerajaan Bima dengan
Gubernemen Hindia Belanda pada tahun 1338
disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Bima (Landschap
Bima) di sebelah utara dibatasi Laut Jawa, sebelah
barat oleh Landschap Dompu, sebelah selatan oleh
Lautan Hindia dan sebelah timur oleh Landschap
Manggarai. Batas antara Landschap Bima dan
Landschap Manggarai adalah bagian barat Selat
Sape pada garis vadem 100, yang diukur dengan
kapal-kapal pengukur pada tahun 1904-1905. Hal itu
disebabkan sejak tahun 1929, daerah Manggarai dan
pulau-pulau di sekitarnya dinyatakan terpisah dengan
Bima, kemudian dijadikan sebagai Neo Landschap oleh
pemerintah Hindia Belanda dan sekarang menjadi

226
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara


Timur. Sebaliknya daerah Kerajaan Sanggar, kerajaan
kecil di pantai barat daerah Semenanjung Gunung
Tambora, sejak tahun 1928 digabung dengan
Kesultanan Bima dan sekarang menjadi salah satu
kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bima.

C. Sistem Pemerintahan dan Birokrasi di


Kesultanan Bima
Sebagai daerah bekas Kesultanan Islam, maka
pelapisan yang nampak sekarang merupakan pelapisan
yang diwarisi pada saat daerah tingkat II Bima yang
berstatus kerajaan. Di waktu masa pemerintah dahulu,
masyarakat Bima terbagi dalam empat bagian atau
tingkat. Tingkat-tingkat masyarakat tersebut masih
nampak sampai sekarang, sekalipun perbedaanya
sudah tidak setajam dahulu. Pembagian/pelapisan
masyarakat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tingkat Ruma merupakan lapisan yang
paling tinggi dalam masyarakat Bima,
yaitu, orang-orang dari keturunan Sultan.
Kelompok sultan itu bergelar “Ruma Sangaji”,
sedangkan permaisurinya bergelar “Ruma
Paduka”. Orang dari keturunan sultan pada
jalur laki-laki bergelar “Ama Ka’u”, dan pada
jalur perempuan bergelar “Ina Ka’u”. Jika
calon permaisuri tidak ada yang berdarah

227
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

bangsawan, maka dalam hal ini sultan harus


mencari dari keturunan golongan “Ina Ama”.
2. Tingkat Rato, ialah lapisan masyarakat
yang berasal dari keturunan Ruma Bicara
sampai kepada Jeneli Camat. Ruma Bicara
adalah sebagai pelaksana pemerintahan yang
mengemban perintah-perintah sultan. Setiap
perintah sultan tidak langsung kepada rakyat,
tetapi melalui Ruma Bicara. Dan mereka inilah
yang menyampaikan kepada Jeneli. Kemudian
Jeneli-lah yang menyampaikan kepada
masyarakat. Adapun panggilan atau gelar bagi
turunan Ruma Bicara dari jalur perempuan
maupun dari jalur laki-laki disebut “Ko’o” bagi
yang sudah dewasa bila masih kecil dipanggil
dengan Ko’o To’i. To’i artiya kecil.
3. Tingkatan Uba. Lapisan ini terdiri dari
orang-orang yang berasal dari turunan
Gelarang (Kepala Desa), Pamong dan lain-
lain dari stafnya. Mereka ini dari jalur laki-laki
dipanggil dengan Uba, sedangkan dari jalur
perempuan dipanggil “Ina” (Ina si fulan atau
Uba si fulan).
4. Tingkatan Ama. Lapisan ini merupakan
tingkat yang paling rendah yaitu masyarakat
awam. Tetapi lapisan sosial ini merupakan
induk dari segala tingkatan masyarakat

228
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

dan mencakup semua yang ada. Dikatakan


demikian sebagaimana sudah diungkapkan
pada nomor pertama, yaitu jika permaisuri
sultan meninggal dunia (bahasa Bima artinya
Wa’u ra Mbora), sedangkan wanita-wanita
bangsawan yang berhak untuk dijadikan
isteri/permaisuri sudah tidak ada lagi, maka
harus diangkat wanita dari lapisan keturunan
“Ina/Ama” (Ina artinya dari jalur perempuan,
Ama artinya dari jalur laki-laki) untuk menjadi
permaisuri.
Maka jelaslah bahwa pelapisan masyarakat itu
sebagai bentuk formal saja, karena semua anggota
masyarakat termasuk sultan, karena ia bergelar “Ama”
(Ama Ka’u) dari jalur laki-laki dan “Ina” (Ina Ka’u) dari
jalur perempuan. Dan Sri Sultan adalah lambang dari
seluruh masyarakat.
Dari uraian tersebut dapat diketahui adanya
pelapisan/tingkatan dalam masyarakat Bima, tiap-
tiap kelas masyarakat itu mempunyai tugas masing-
masing dan menduduki urut-urutan tertentu, misalnya
keturunan “Ruma” sebagai Sultan/Sangaji, keturunan
Rato sebagai Ruma Bicara dan sebagainya. Karena
perbedaan kelas, pekerjaan mereka pun berbeda. Hal ini
dapat dibuktikan sejak dahulu sampai sekarang, hanya
dari keturunan Ruma dan Rato itulah yang banyak

229
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

memiliki tanah-tanah berhektar-hektar di Bima. Tetapi


sejak masa pemerintah sekarang ini terutama dalam
masa pembangunan, banyak tanah-tanah peninggalan
sultan sudah diambil alih oleh pemerintah untuk
keperluan pembangunan. Kemajuan-kemajuan dalam
bidang pendidikan, terjadinya perkawinan campuran
antara keturunan bangsawan dengan keturunan yang
lain, menyebabkan perbedaan tingkat dan lapisan
dalam masyarakat makin lama makin pudar.2
Jadi lapisan dalam masyarakat Bima sebagaimana
yang sudah dijelaskan di atas, untuk masa sekarang ini
sudah tidak lagi ada perbedaan yang terlalu menyolok.
Adapun gelar-gelar Ruma, Ama Ka’u, Ina Ka’u, dan
lainnya, walaupun memang masih ada, tidak lagi
mempunyai arti seperti dahulu dan sekarang malahan
sering dengan sendirinya dan sengaja diperkecilkan
artinya dalam proses perkembangan sosialisasi dan
demokratisasi dari masyarakat Bima pada khususnya
dan Indonesia pada umumnya. Stratifikasi sosial lama
sekarang sering dianggap sebagai hambatan untuk
2
Sebab-sebab hilangnya kelas bangsawan itu antara lain (1)
Pencabutan hak milik atas tanah yang dahulu banyak terletak pada tangan
bangsawan. Pencabutan itu oleh pemerintah/jajahan yang lampau diganti
dengan uang Onderstand yang karena selalu dibagi-bagi antara keturunan
bangsawan yang meluas itu akhirnya lenyap dengan sendirinya. (2)
Kemajuan pendidikan yang mengakibatkan kedudukan yang lebih baik
membuka jalan kepada anggota masyarakat lainnya mendapat kedudukan.
(3) Perkawinan yang terjadi antara orang bangsawan dengan orang biasa.
(4) Karena proses demokratis yang meluas berjalan di Indonesia.

230
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

kemajuan. Tetapi bagaimana pun bahwa adanya


lapisan masyarakat baik di Bima pada khususnya dan
di daerah-daerah lain di Indonesia pada umumnya
tetap diakui sebagai suatu kenyataan sejarah yang
pernah ada.
Masyarakat Bima terstruktur secara vertikal dan
horizontal. Secara vertikal terdiri atas tiga golongan
yaitu : (1) Ruma dan Rato (bangsawan), (2) orang
biasa (orang merdeka, atau orang baik-baik), (3)
budak. Secara horizontal masyarakat terbagi atas
sejumlah dari (sering dikatakan berjumlah 44), yaitu
golongan yang ditandai oleh suatu hubungan dengan
Sultan secara turun temurun, misalnya untuk menjaga
meriam, kuda, payung istana dan lain sebagainya
yang masih berhubungan dengan istana. Masing-
masing golongan itu mempunyai kewajiban tertentu
terhadap istana (Chambert-Loir 1999:xii). Istilah dari
merupakan terjemahan dari bahasa Mbojo (bahasa
Bima) ‘mangara dari’ yaitu ‘yang bernama dari’,
maksudnya orang Bima anggota dari apapun.
Setelah Perjanjian Bungaya Kerajaan Bima diikat
oleh kompeni dengan perjanjian-perjanjian. Meskipun
demikian, sebagai daerah di luar Jawa, Bima tetap
menjalankan pemerintahan sendiri (zeljbestuur).
Bahkan sejak abad ke-19 secara teoritis afdeeling
Bima yang meliputi seluruh wilayah Pulau Sumbawa

231
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

ditempatkan di bawah: Celebes en Onderhoorigheden,


di dalam prakteknya kerajaan-kerajaan yang ada
di pulau itu masih menjalankan zeljbestuur. Dalam
sistem pemerintahan Kesultanan Bima, sultan berada
dipuncak hirarki kekuasaan, yang dalam bahasa Bima
disebut Ruma Sangaji Mbojo.
Dalam mengendalikan pemerintahan sultan
didampingi oleh sebuah Dewan Kerajaan yang
disebut Hadat. Keberadaan raja atau sultan dan
Hadat merupakan hal yang umum dalam sruktur
pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan,
meskipun dengan penyebutan yang berbeda-beda
sesuai dengan tradisi masing-masing.3 Dewan Hadat
dipimpin oleh Raja Bicara atau Ruma Bicara yang
dalam sumber-sumber VOC jabatan ini sering disebut
Raja Tureli Nggampo, sedangkan pada masa kejayaan
Islam di Bima disebut sebagai Wazir al Muazam.4 Raja
Bicara dilantik oleh sultan yang dalam prakteknya
seringkali turun temurun (periksa lampiran). Pejabat
ini merupakan saluran penyampaian kehendak
raja kepada rakyat dan dalam penyelenggaraan

3
Di kerajaan Gowa, Dewan Kerajaan semacam itu dikenal sebagai
Batte Salapang, sedangkan di Kerajaan Bone dengan nama: Arung Pitu
(Periksa: Mukhlis P., Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Depdikbud, Ditjenbud,
Direktorat Jarahnitra, Proyek IDSN, 1995: 53)
4
Sri Wulan Rudjiati Mulyadi, op.cit.: 70

232
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

pemerintahan berfungsi sebagai pimpinan dewan


pemerintahan dan sebagai Perdana Menteri.
Sultan dalam pandangan masyarakat Bima masa
lalu dianggap sebagai wakil Tuhan. Anggapan itu
mengandung makna bahwa mentaati perintah sultan
merupakan suatu kewajiban, sedangkan menentang
terhadap perintahnya berarti menentang perintah
Tuhan. Meskipun sultan dinyatakan sebagai penguasa
tertinggi kerajaan, namun kekuasaannya dibatasi dan
dikendalikan oleh ketentuan-ketentuan Hadat. Sultan
adalah pemegang amanah Hadat; sejak dilantik ia
dihormati dan dimuliakan sebagai pemegang Ngusi
kuasa biasa ro guna, ia memberikan keputusan perang,
hukuman mati dan hubungannya dengan dunia luar.
Namun sultan tidak dapat menggunakan kekuasaan
tersebut sebelum dipertimbangkan oleh Majelis
Hadat. Dengan demikian Dewan Hadat pada dasarnya
adalah lembaga penasehat sultan dalam berbagai hal
berkaitan dengan kenegaraan. Mahkota Kerajaan/
Kesultanan Bima (abad ke-18), bentuknya seperti tutup
kepala orang Bugis. Mahkota ini disebut juga Songko
Mas Sangajikai (Mahkota Emas Raja). Melambangkan
ajaran dou la’o dana na (Raja memperjuangkan rakyat
dan negaranya) Sultan dipilih oleh Dewan Hadat atas
dasar keturunan dinasti Sang Bima.5 Sultan dipilih

5
D. F. van Braam Morris, op. cit.: 213

233
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

berdasarkan garis laki-laki (garis ayah), meskipun


tidak selalu anak tertua akan menggantikan ayahnya
menjadi sultan.
Foto Sultan Ibrahim bersama para jenateke.

Ada juga pendapat bahwa yang berhak untuk


diangkat menjadi Jena Teke (putra mahkota) dan
kemudian dilantik menjadi sultan adalah keturunan
langsung dari Raja Manggampo Donggo.6 Pelantikan
sultan dilaksanakan di pasar di depan istana yang
disebut Amba NaE. Dalam peristiwa itu Jena Teke
dipangku Ncuhi Dara sambil duduk di atas onggokan
tanah yang sengaja dibuat untuk keperluan itu.
Sebelum Jena Teke dilantik seluruh rakyat yang

6
M. Hilir Ismail, op.cit.: 51

234
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

hadir diwakili oleh tiga orang Galarang NaE


menyampaikan kata-kata yang bernada protes dan
ejekan kepada Jena Teke yang diikuti oleh seluruh
anggota Syara Dana Mbojo yang hadir. Setelah itu
sultan mengucapkan ikrar atau janji untuk bertindak
jujur dan mengutamakan kepentingan rakyat dan
menerima seperangkat alai atau regalia kerajaan
berupa payung kebesaran dari daun lontar, keris
Samparaja dan mahkota yang berhiaskan berlian,
kemudian diakhiri dengan pernyataan setia dari
seluruh anggota Syara Dana Mbojo.
Dalam Hikayat Sang Bima terdapat uraian singkat
mengenai penobatan Sultan Ismail, Sultan Bima
yang ke-10. Dijelaskan bahwa sebelum penobatan
dilaksanakan sebuah tembok dari tanah dan batu
setinggi tempat duduk didirikan ditengah-tengah
pasar. Gendang sakti bernama Si Warajali diarak dari
Bukit Desa sampai ke kota, alat-alat kerajaan dibawa
ke pasar dan orang-orang menjaganya selama tiga
hari tiga malam sambil menari dan menyanyi. Pada
hari yang ditentukan semua orang berkumpul di
pasar disertai tepuk dan sorak seperti guntur. Sultan
diusung ke pasar diiringi para bangsawan yang
berpakaian lengkap. Setelah persiapan selesai, seorang
laki-laki duduk berlonjor di atas tembok, pahanya
ditutup lapik dan tikar; seorang laki-laki lain duduk
berjongkok tunduk di depan tembok dijadikan anak

235
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

tangga sultan naik dan duduk di pangkuan orang yang


ada di situ. Setelah itu Raja Bicara mengucapkan ikrar
kesetiaan sambil menaungi sultan dengan payung
lontar diikuti oleh para pembesar lainnya. Ikrar inilah
sesungguhnya yang merupakan puncak dari upacara
itu. Setelah pembacaan doa, sultan diusung kembali
ke istana dan diarak dengan gembira oleh rakyat
banyak dan dihormati dengan bunyi meriam dari loji
Belanda.7Meskipun uraian upacara penobatan sultan
yang terdapat dalam Hikayat Sang Bima agak sedikit
berbeda dengan uraian sebelumnya, intinya tetap
sama. Perbedaan itu mungkin disebabkan nuansa
zaman, sebelum dan sesudah Bima dibawah kontrol
VOC.
Seperti telah disinggung di atas bahwa Dewan
Kerajaan atau Hadat dipimpin oleh seorang Raja
Bicara. Dewan ini beranggotakan 24 orang pejabat
tinggi kerajaan dengan gelar Tureli, Jeneli dan Bumi.
Tureli berjumlah 6 orang, yakni Tureli Belo, Tureli
Donggo, Tureli Sakuu, Tureli Bolo, Tureli Woha dan
Tureli Parado.8Menurut Couvreur, Raja Bicara dan
Tureli sebenarnya merupakan nama atau gelar yang
senapas, sebab Raja Bicara adalah Tureli, sedangkan

7
Henry Chambert-Loir, Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia - Ecole francaise d‘Extreme
Orient, 2004: 251-152; 305-330.
8
D.F. van Braam Morris, op.cit.: 116.

236
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

Tureli adalah satu keturunan dengan raja; Sultan -


Raja Bicara - Tureli adalah gelar atau sebutan yang
sama atau setingkat dan mereka itu merupakan
elemen pembentuk pemerintahan Kerajaan Bima.
Seperti halnya Tureli, Jeneli pun berjumlah 6 orang
yakni Jeneli RasanaE, Jeneli Sape, Jeneli Monta, Jeneli
Bolo, Jeneli Woha dan Jeneli Parado. Sebenarnya
jumlah Jeneli disesuaikan dengan jumlah kejenelian
karena para Jeneli itu selain sebagai anggota Dewan
Hadat, mereka adalah kepala eksekutif (kepala
distrik) di wilayahnya masing-masing. Pada mulanya
ada 3 distrik (Belo, Bolo dan Sape), kemudian
berkembang menjadi 6, bahkan pada akhir abad ke-
19-20 berkembang menjadi 10, dan terakhir menjadi
11. Wilayah kejenelian inilah yang sekarang menjadi
wilayah kecamatan di Kabupaten Bima. Menurut
Couvreur, para Jeneli adalah landsvort atau landgroot,
yang di Sulawesi Selatan sama dengan Karaeng atau
Maramba di Sumba; para Jeneli mempunyai asal usul
keturunan yang berbeda dengan Sultan, Raja Bicara
dan Tureli sebab perkawinan antara laki-laki Tureli
dengan wanita Jeneli atau sebaliknya tidak pernah
terjadi.9
Adapun Bumi berjumlah 12 orang yakni Bumi
Luma RasanaE, Bumi Luma Bolo, Bumi Sari Mbojo,

9
D.F. van Braam Morris, op.cit.: 116.

237
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Bumi Nggampo, Bumi Nata, Bumi Baralau, Bumi


Cenggu, Bumi Waworada, Bumi Punti, Bumi Sabanta,
Bumi Tente dan Bumi Lawiu. Ke-12 orang Bumi ini
merupakan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Bumi
Luma RasanaE dan Bumi Luma Bolo. Mereka bertugas
mengadili dan memutuskan suatu perkara, tetapi jika
terjadi perbedaan pendapat maka keputusan terakhir
ada di tangan Raja Bicara. Menurut Couvreur, Bumi
berarti orang bijaksana dan gelar ini setingkat dengan
para Jeneli karena pada kurun waktu tertentu jumlah
mereka sama dengan jumlah Jeneli. Dalam berbagai
sumber gelar Bumi sering diganti dengan Rato,
misalnya Rato RasanaE sama dengan Bumi Luma
RasanaE dan Rato Bolo sama dengan Bumi Luma Bolo
dan seterusnya.
Pejabat-pejabat yang duduk dalam Dewan
Hadat dipilih oleh rakyat secara bertingkat, artinya
rakyat memiliki kepala kampung, kemudian kepala
kampung memilih Bumi NaE, Jeneli dan Tureli.
Mereka secara bersama-sama dan kolegial merupakan
Dewan Kerajaan (Dewan Hadat). Tugas Dewan
Kerajaan antara lain mengangkat dan memecat
sultan dan menyatakan perang. Mereka juga
bertanggungjawab dalam menjaga hubungan baik
dengan pemerintah Belanda maupun dengan kerajaan-
kerajaan tetangganya. Raja Bicara sebagai ketua

238
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

Dewan Kerajaan adalah jabatan yang tertinggi dan


penguasa negara karena dalam prakteknya dialah
yang menjalankan pemerintahan kerajaan. Raja Bicara
berhak menandatangi kontrak dengan penguasa VOC
atau pemerintah Hindia Belanda sebagai wakil atau
atas nama sultan. Menurut Braam Morris, para Tureli,
sebenarnya adalah pembesar kerajaan atau mantri
tinggi, sedangkan Jeneli ada di lapis kedua dan Bumi
adalah mantri biasa.
Adapun tanggungjawab kepolisian berada di
tangan Bumi Renda dibantu oleh para Anangguru
Mbojo, Wera, Mboda Nae, Satutu Donggo, Bicara
Kae, Bumi Sumpi Mbojo dan Bumi Sumpi-sumpi Bolo
serta Kapitang (kapitan) dan Lutanang (letnan). Dua
yang terakhir sebagai pimpinan pasukan bersenjata.
Panggilan untuk menghadap pengadilan dan eksekusi
keputusan pengadilan adalah tugas Bumi Renda.
Dalam keadaan perang Bumi Renda adalah panglima
perang sehingga segala urusan peperangan diserahkan
pada kebijaksanaannya. Untuk urusan luar negeri ada
tiga orang Bumi yang diperbantukan pada pemerintah
tertinggi kerajaan, yaitu Bumi Parisi Mbojo, Bumi
Parisi Bolo dan Bumi Parisi Kae. Mereka bertugas
sebagai penghubung orang-orang asing termasuk
urusan dengan Gubernemen Hindia Belanda, sebagai
juru bahasa. Di bawah para Bumi ada Galarang Kepala

239
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

(Galarang Kepala Belo, Bolo dan Sape), Galarang


(kepala Desa), para Lebe (lebai), para Cepeweki
(wakil), para Domo Don (kepala lingkungan kecil)
dan para Dalu dari berbagai kampung. Para Galarang
dipilih penduduk kampung yang bersangkutan dan
jabatannya ditetapkan oleh Raja Bicara dengan
persetujuan dari sultan.
Di wilayah kekuasaan Kerajaan Bima di Flores
Barat (Manggarai) sistem pemerintahan hampir sama.
Setiap daerah (landschap) dipimpin oleh seorang Naib
yang bertindak sebagai wakil sultan di wilayahnya.
Menurut Colhaas,10 selain Naib masih ada Raja Bicara
dan 5 orang ratu (Ratu Tua Bumi Rube, Ratu Bumi
Sarengngembe, Ratu Bumi Langawu, Ratu Bumi
Sarinjaya dan Ratu Bumi Langgara), seorang Ana‘
Guru Sape, seorang Syahbandar dan seorang Bumi
Parisi. Selain itu masih ada para Dalu dan kepala-
kepala kampung. Untuk pemukiman orang-orang
pendatang seperti Bima, Makassar, Bugis, Selayar dan
Bone di ibukota Reo dikepalai oleh Galarang.
Adapun tugas keagamaan diemban oleh Dewan
Syara (Sara Dana Mbojo) yang terdiri dari Khalif,
para Imam, para Khatib, para Lebe, para Bilal dan

W. P h . C o l h a a s, “ B i d ra g e t o t d e k e n n i s va n h e t
10

M a g ga ra i s ch e Vo l k ( We s t - F l o r e s ) ” , T NAG 5 9 , 1 9 4 2 : 1 7 0

240
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

para Robo. Mereka termasuk kelompok dari ngaji dan


berada di bawah pengawasan seorang Khalif yang
bergelar Annanggura Mangaji. Pada kurun waktu
tertentu adakalanya jabatan khalif ditiadakan dan
dirangkap oleh Raja Bicara atau Sultan. Selain jabatan-
jabatan yang di atas masih ada sejumlah pejabat di
lingkungan istana yaitu: Rato Parenta pejabat yang
mengatur urusan kedinasan dan menjadi pimpinan
staf istana; Ompu Toi, kepala urusan rumah tangga
istana; Bumi Nggeko sebagai ajudan sultan; Bumi
Neandi yang mengatur ketentuan atau peraturan yang
perlu ditegakkan di istana; Bumi Pareka mengatur
dan mengawasi kekayaan istana; Bumi Roka bertugas
menjaga senjata istana; Bumi Ndakatau mengatur
konsumsi istana dan Bumi Ndora dan Bumi Sari
Ntonggu mengatur ketertiban dan keamanan di istana.

D. Pengaruh Islam Dalam Sistem Birokrasi


Sejak raja Bima, Mantau Bata Wadu memeluk
agama Islam kemudian menyandang nama (gelar)
Sultan Abdul Kahir maka Bima menjadi kerajaan
Islam atau kerajaan yang bercorak Islam. Meskipun
raja sudah memeluk Islam dan gelar Sangaji diganti
dengan gelar Sultan, belum ada data atau bukti
untuk memastikan bahwa pada waktu itu seluruh
rakyat Bima sudah memeluk agama Islam dan hukum

241
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Islam sudah berlaku dalam kehidupan bermasyarakat


dan bernegara. Sebagian ahli sejarah melihat
tingkah penetrasi islamisasi berdasarkan kriteria
minimal formal keagamaan, seperti pengucapan
kalimat syahadah, penggunaan nama-nama muslim
atau pemakaian aksara Arab pada batu nisan atau
pengambilan beberapa kata atau istilah yang berasal
dari “pusat” dunia Islam seperti Timur Tengah atau
persia. Sejauhmana Islam dan perangkat institusinya
berfungsi secara aktual dan secara keseluruhan di
dalam masyarakat muslim sudah pasti melalui proses.
Artinya bahwa dalam tahap permulaan, Islam
tidak langsung secara merata diterima oleh lapisan
terbawah masyarakat Bima. Setelah Bima memeluk
agama Islam, ekonomi dan sosial budaya dalam
rangka kekuasaan politik, ekonomi dan sosial
budaya dalam rangka mengenakan adat yang sudah
berlaku sebelumnya, sultan juga memegang kendali
penyebaran Islam di seluruh wilayah kerajaan dan
sebagai saluran islamisasi. Sebagai saluran islamisasi,
sultan menghimbau kepada rakyatnya agar memeluk
agama Islam dan mengundang para mubaligh, ulama
dari berbagai tempat sebagai guru dan penasehatnya
sehingga agama Islam dianut oleh rakyatnya.
Kehadiran dan berkembangnya agama Islam di
Bima banyak memberi pengaruh terhadap kehidupan

242
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

masyarakat sehingga membawa perubahan atau


penyesuaian tanpa menghilangkan nilai-nilai atau
sistem yang ada sebelumnya. Menurut sumber lokal
hal itu baru terasa pada masa sultan Bima yang kedua
yaitu Sultan Abdul Khair Sirajuddin. Selama Sultan
Abdul Khair Sirajuddin memerintah tercatat beberapa
peristiwa penting yang terjadi di kerajaan Bima,
antara lain.
1. Penyesuaian hukum adat dengan hukum
Islam sehingga pemerintah kerjaan benar-
benar berjalan sebagaimana lazimnya kerajaan
Islam.
2. Penyesuaian bentuk Majelis Kerajaan dengan
memasukan unsur-unsur agama Islam, kalau
sebelumnya Majelis kerajaan terdiri dari
Majelis Sara dan Majelis Hadat, maka setelah
penyesuaian terdiri dari unsur syara’, unsur
syara’ tua dan unsur hukum.
3. Memperluas penyebaran agama Islam dengan
mewajibkan pelaksanaan syariat Islam dan
memberikan kedudukan yang tinggi kepada
para mubaligh. Oleh karena itu dalam kronik
Bima, Sultan Abdul Khair Sirajuddin disebut
pelita agama.
4. Memerintahkan penyempurnaan kitab catatan
harian kerajaan (BO) dengan menuliskannya

243
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

di atas kertas dengan huruf aksara / Arab dan


berbahasa Melayu.
5. Menetapkan hari-hari besar kerajaan yang
diperingati setiap tahunnya, yang oleh Majelis
Kerajaan disebut : Rawi Sara Ma Tolu Kali Sa
Mba’a, yaitu peringatan peringatan Maulid
Nabi Muhammad Saw, Hari Raya Idul Fitri
dan Idul Adha.
Berbicara mengenai dampak atau pengaruh Islam
dalam system pemerintahan dan birokrasi Kesultanan
Bima, dapat dikaji atau dilacak dalam dua kasus,
yaitu melalui elemen-elemen birokrasi dan System
titulaturnya. Ketika raja Bima (Kerajaan Bima) belum
memeluk agama Islam, Majelis Sara Dana Mbojo
(Majelis Pemerintahan Tanah Bima), terdiri atas dua
badan atau majelis yaitu Sara Tua dan Sara Sara.
Dalam versi yang lain disebut Majelis Turelli dan
Majelis Hadat. Setelah Bima menjadi “Kerajaan Islam”
atau kerajaan yang bercorak Islam, Mejelis Sara Dana
Mbojo ditambah satu badan/majelis yaitu Majelis sara
Hukum. Atau mahkamah syariah.
Keberadaan lembaga ini berlangsung sampai
dengan masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1881-
1951), ketika dihapus oleh Belanda dan digantikan
dengan hukum Hindia. Lembaga atau Majelis
Sara Hukum dipimpin oleh seorang Kadi yang

244
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

beranggotakan 4 orang Khatib, yaitu Khatib Tua,


Khatib Karoto, Khatib Lawili dan Khatib To’i. Mereka
bertugas memberikan fatwa keagamaan dan
mengkoordinir ucapan-ucapan keagamaan, dibantu 17
pejabat rendahan yang bergelar lebe. Kata Kadi dan
Khatib dari bahasa arab qadhi yang artinya hakim atau
kepala pengadilan. Sedangkan dari khataba kata kerja
yang artinya berbicara. Khatib kata benda artinya juru
bicara, juru khotbah atau pegawai masjid atau boleh
jadi khatib disini sama dengan khatib (juru dakwah,
penceramah atau orang pembaca khotbah pada hari
jumat), sesuai dengan tugas majelis sara hukum di
kesultanan sumbawa khatib menjadi ketib, artinya juru
khotbah. Jabatan qadi hanya ada satu orang di seluruh
kerajaan/negeri yang merupakan jabatan tertinggi
di bidang keagamaan. Jabatan ini konon sudah ada
sejak zaman kesultanan Samudra Pasai, di Sumatera
sedangkan di Jawa, gelar qadi sudah dipakai oleh
Sunan Kudus sejak awal tahun 1549. Jabatan qadi
mungkin setingkat (setara) dengan jabatan mufti oficial
exspounder of Islamic law) yaitu orang atau jabatan,
atau ulama yang berhak memberikan/mengeluarkan
fatwa. Jabatan mufti sesungguhnya sudah dikenal sejak
zaman dinasti Abbasiyah.
Di indonesia jabatan qadi (qadhi) dikenal juga
dalam sisytem pemerintahan dan birokrasi kesultanan

245
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Sumbawa, Ternate, Buton, Banten, Samudra Pasai dan


Aceh. Dalam Bustanus Salathain qadi di kesultanan
Aceh disebut qadhi al-malikul a’dil. Jabatan atau gelar
itu mungkin dapat disetarakan dengan penghulu
tafsirananom atau kanjengraden tumenggung penghulu
tafsiranom di kasultanan Surakarta. Sebaliknya Lebe
atau labai adalah gelar atau jabatan pribumi yang di
jumpai di ranah minang dan tanah rencong (Aceh).
Kalau kita mengacu pada asumsi H.T, Damste bahwa
upacara sirih puan/ Ua Pua adalah pengaruh Aceh
karena pembawa Islam yang datang ke Bima Datuk ri
Bandang dan Datuk ri Tiro berasal dari tanah Minang
dan tanah Rencong. Sehingga ada kemungkinan gelar
lebe di bawah dari Aceh tetapi uniknya dalam srtuktur
pemerintahan dan birokasi Kesultanan Bima, Majelis
sara hukum tidak hanya mengembang tugas di bidang
keagamaan (Islam) tetapi turut ambil bagian dalam
urusan pemerintahan.
Di samping jabatan qadi khatib dan lebe,
dalam lingkungan majelis syara hukum ada jabatan
imam, bilal dan robo, yang menurut hemat penulis
merupakan petugas/pegawai masjid sampai di tingkat
desa. Robo mungkin identik dengan petugas yang
bertanggung jawab atas kebersihan Mesjid. Yang
kedua, pengauruh Islam dalam sistem pemerintahan
dan birokrasi kasultanan Bima nampak atau dapat di

246
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

lacak pada nama-nama gelar, birokrat atau syistem


titulatur. Setelah memeluk agama Islam, raja Bima
yang tadinya bergelar Sangaji (Bima Ruma Sangaji)
mengganti nama, gelar dengan nama-nama Arab
(Abdul Kahir) atau nama Islam ?, meskipun Arab tidak
selalu identik (sama) dengan Islam, demikian pula
sebaliknya. Raja Bima yang tadinya gelar/ disebut
sangaji menggati gelar/ namanya dengan gelar sultan,
meskipun gelar/ nama lokal tetap di pergunakan.
Bahkan dalam perkembangannya gelar dan nama-
nama Arab di tambahkan dengan gelar Syah, artinya
raja yang sesungguhnya adalah bahasa atau berasal
dari Persia.
Selain di Kesultanan Bima, gelar syah dipakai juga
di kesultanan Aceh Kesultanan Deli Serdang dan di
beberapa Kesultanan di Semenanjung Melayu. Kalau
kita perhatikan, gelar syah di belakang nama sultan
Bima, dimulai sejak sultan yang ke 3, (Sultan Nuruddin
Abu Bakar Ali syah). Kemudian Sultan ke 8 dan yang
ke 9 (Sultan Abdul Khadim dan Sultan Hamid). Gelar
syah (Ali/syah atau Muhammad Syah diberi tambahan
di belakangnya dengan zilullah fil alam yang artinya
bayang-bayang tuhan di bumi. Gelar zilullah fil alam
sesuangguhnya berkonotasi sufistik; namun apakah
gelar tersebut mencerminkan perilaku si penyandang
gelar perlu dikaji lebih jauh. Dalam rumusan yang

247
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

agak sedikit berbeda tapi maknanya hampir sama


adalah gelar khalifatullah fil ardhi (wakil Tuhan di
bumi) yang dipakai oleh sultan Perak (Malaysia),
sedangkan gelar raja-raja Mataram dan penerusnya
adalah Khalifatullah tanah Jawi, pemakaian gelar-gelar
di atas menunjukkan bahwa konsep Melayu tentang
raja yang ideal sangat dipengaruhi oleh Islam.
Setelah sultan Hamid digantikan oleh sultan
Ismail, gelar Zillullah fil Alam tidak dipakai lagi
(menghilang), sultan Ismail hanya memakai gelar
Syah (Muhammad Syah) di belakang namanya, bahkan
sultan setelahnya (sultan Abdullah, sultan Abdul Aziz,
Sultan Ibrahim dan sultan Muhammad Salahuddin)
tidak memakai tambahan nama/ gelar di belakang
namanya. Selain di Kesultanan Bima, gelar Zillullah
fil Alam dipakai juga di Kesultanan Ternate. Gelar ini
sering di pertukarkan dengan Zilullah fil Ardhi seperti
yang dipakai oleh sultan Perak, Sultan Muhammad
Syah. Sejak kapan gelar ini dipakai di kalangan
raja-raja muslim nusantara belum diketahui secara
pasti. Tapi sumber tertulis (hikayat raja-raja pasai)
menyatakan bahwa Merah Silu, raja Pasai sewaktu
beralih ke agama Islam menerima gelar sultan dan
dalam satu sidang, para pimpinan dan rakyatnya
menyatakan Merah Silu sebagai Zilullah fil Alam
(bayang bayang Tuhan di bumi)

248
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

Kata sultan dari bahasa arab, sulthon yang artinya


‘raja, penguasa tertinggi atau kekuasaan. Gelar
sultan mulai dikenal menjelang keruntuhan Dinasti
Abbasiyah. Ketika itu khalifah hanya tinggal namanya
karena tidak memiliki kekuasaan sehingga Raja-raja
kecil non Arab memberikan respek yang berbeda-beda
demi kepentingan politik mereka. Gelar penguasa
Islam awal setelah nabi Muhammad wafat adalah
Amirul Mukminin (pemimpin orang orang beriman).
Sedang kan gelar khalifah baru muncul pada masa
Dinasti Muawiyah dan tetap dilanjutkan oleh Dinasti
Abbasiyah. Abubakar sendiri memakai gelar/sebutan
Khalifah Rasulullah yang artinya wakil utusan Allah.
Sedang para penggatinya, Umar, Utsman dan Ali)
disebut Amirul Mukminin.
Kalau kita perhatikan perkembangan pemakaian
gelar (sistem titulatur) di kasultanan Bima seperti
disinggung di atas, pemakaian gelar-gelar tersebut
seiring dengan meredupnya kekuasaan politik (political
power) sultan-sultan Bima akibat penetrasi kekuasaan
Belanda. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa
gelar tersebut dipakai sebagai sarana legitimasi
keberadaan kesultanan Bima dan menjaga wibawa /
raja sultan dihadapan rakyatnya.
Selain nama-nama dan gelar raja/sultan, pengaruh
Islam dalam system titulatur dibuktikan dengan

249
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

pergantian gelar/jabatan raja bicara (rumah bicara)


menjadi Wazir al-Muazam. Demikian pula dengan
nama-nama Arab yang dipakai oleh Raja Bicara.
Meskipun nama Arab tidak selalu identik dengan
Islam atau sebaliknya, tetapi hal itu dapat dipandang
sebagai bentuk/wujud pengaruh Islam terhadap
system titulatur di kesultanan Bima bahkan ada
berpendapat bahwa Wazir adalah bahasa Parsi, yaitu
sebutan untuk Perdana Menteri pada masa Dinasti
Abbasiyah. Konon elemen pemerintahan Dinasti
Abbasiyah banyak mengadopsi usur budaya Persia.
Selain itu dalam struktur pemerintahan dan
birokrasi kesultanan Bima masih ada gelar Naib dari
bahasa Arab, artinya; wakil atau pejabat kerajaan Bima
yang mewakili sultan di daerah Manggarai (Flores
Barat). Di luar bidang pemerintah dan birokrasi dan
sistem penggelaran, pengaruh Islam dapat dilihat pada
penggunaan tulisan Arab (tulisan Jawi) dan bahasa
Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan. Sultan Abdul
Khair Sirajuddin memerintahkan agar Bo kerajaan
sebelumnya ditulis dengan aksara Arab tidak selalu
identik dengan Islam, namun karena al-Qur’an di
tulis dengan aksara Arab, maka aksara Arab adalah
aksara kitab sucinya umat Islam. Sehingga pergantian
tulisan/ aksara Bima dengan aksara Arab dapat
dipandang sebagai dampak pengaruh Islam. Demikian

250
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

pula dengan anggapan bahasa Melayu sebagai bahasa


resmi kerajaan, karena bahasa Melayu dipergunakan
sebagai bahasa pada dokumen-dokumen penting
kerajaan seperti naskah Bo, surat menyurat antar
kerajaan Bima dengan kerajaan lainnya dan bahasa
kontrak-kontrak perjanjian dengan Kompeni, sehingga
bahasa Melayu adalah bahasa resmi bahkan bahasa
diplomasi. Hal ini tidak hanya berlaku di Kesultanan
Bima, tetapi mulai dari aceh sampai dengan Ternate.
Bahasa Melayu juga dipergunakan sebagai media
penyebaran agama Islam sebagaimana nampak pada
kesusastraan kitab dari abad ke-17 sampai dengan abad
ke-19, sehingga pemakaian bahasa Melayu sebagai
bahasa resmi kerajaan, juga dapat di pandang sebagai
dampak pengaruh Islam. Demikian juga digunakan
tahun hijrah (tahu Islam), pada naskah Bo, kontrak
perjanjian, surat-surat resmi kerajaan dan inskripsi
pada makam-makam sultan Bima adalah pengaruh
Islam.

E. Tinggalan Arkeologi Kasultanan Bima


Dalam sub-bab ini akan dibahas sejumlah
tinggalan budaya yang menjadi saksi bisu berkenaan
eksistensi kesultanan Bima di masa lalu. Tinggalan
budaya tersebut dapat digolongkan menjadi dua,
pertama adalah benda-benda atau artefak-artefak

251
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

tak bergerak (unmovable artifact) seperti bangunan-


bangunan istana, masjid dan makam, sedangkan
yang kedua adalah benda-benda atau artefak-artefak
bergerak (mofable artifact) seperti pakaian kebesaran
sultan, mahkota kerajaan, payung lontar, senjata
(keris, tombak, pedang), dan naskah-naskah kuno
yang merupakan catatan harian kerajaan Bima (BO)
berkenaan dengan berbagai peristiwa yang pernah
terjadi di Bima masa lampau.

a. Istana Sultan Bima


Istana atau tempat kediaman bangsawan tinggi
masa lampau disebut asi, tetapi menurut adat Bima
tidak semua asi memiliki fungsi sama. Asi sebagai
tempat tinggal raja/sultan berfungsi sebagai: pusat
pengadilan pemerintahan/penyebaran agama; pusat
pengadilan /pengembangan kebudayaan, dan sebagai
pusat kegiatan pengadilan. Asi atau istanah adalah
tempat raja/sultan tinggal sudah ada sejak adanya
kerajaan Bima, karena di dalam catatan lama (Bo) di
sebut-sebut nama sejumlah istanah misalnya istanah
Batu Perpanti, istanah Batu Candi, Asi Sawo, Asi Peka,
Asi Kalende, Asi Saninu, Asi Mpasa, Asi Ntoi, Asi
Bou dan Asi Mbojo sebagai istanah terakhir dan sejak
tahun 1998 beralih fungsi menjadi musium. Konon
sultan Abdul Hamid (sultan ke IX) membangun Asi
Saninu, sultan Ismail (sultan ke X) membangun Asi

252
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

Mpasa pada tahun 1820, Asi Ntoi dibangun oleh


sultan Abdullah (sultan ke XI) pada tahun 1854, Asi
Bou dibangun pada tahun 1904 oleh sultan Ibrahim
(Sultan ke XIII) dan Asi Mbojo dibangun ole sultan
Muhammad Salahuddin (sultan ke XIV) pada tahun
1927. Seperti apa wujud dan bentuk bangunan istana
tersebut tidak kita ketahui karena hanya dua di
antaranya yang masih berdiri kokoh di sebelah timur
alun-alun kota Bima yaitu Asi Bou dan Asi Mbojo.

Gambar 7. Istana Kesultanan Bima dibangun oleh Sultan Ibrahim


pada tahun 1904 (Foto : Pak Iwan)

Asi Bou (istana Baru) dibangun pada tahun


1904 oleh Sultan Ibrahim dan pernah dipugar oleh
pemerintah pada tahun 1988-1991, saat ini ditempati
ahli waris dan keturunan sultan-sultan Bima. Asi Bou
terbuat dari kayu, berdiri di atas tiang-tiang kolong

253
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

(bangunan berpanggung) dan dibangun sebagai


tempat putera mahkota (Jena Teke), yang setelah
menjadi raja bergelar Sultan Muhammad Salahuddin.
Sebaliknya Asi Mbojo (Istana Bima) yang berdiri di
sebelah Barat Asi Bou adalah bangunan modern dari
bata dan batu sehingga disebut juga asi wadu. Istana
ini dibangun selama 3 tahun, dari tahun 1927 sampai
tahun 1930. Di atas bongkaran bangunan istana lama.
Menurut hemat penulis, bangunan ini menghadap ke
barat ke arah alun-alun (serasuba) karena pintu masuk
ke dalam istana berada di sisi Barat.
Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek
kelahiran Ambon bernama, Rehetta yang dibuang ke
Bima oleh penjajah Belanda. Ia dibantu oleh Bumi
Jero (Kepala Pertukangan). Berbeda dengan Asi
Bou, bangunan yang pada tanggal 11 Agustus 1989
diresmikan sebagai Museum Asi Mbojo itu adalah
bangunan permanen, terbuat dari bata, batu dan
beton, sedangkan atapnya dari sirap pada tahun 1977-
1979, Asi Mbojo telah mengalami pemugaran tanpa
mengubah bentuk aslinya.
Asi Mbojo berdenah segi empat panjang dan
berlantai dua, pada sisi-sisi Barat utara dan selatan
terdapat penampil-penampil yang menjulur keluar
dari bangunan induknya. Dari segi arsitektur atau
gaya bangunan, Asi Mbojo memperlihatkan perpaduan

254
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

(akulturasi) antara arsitektur lokal dan kolonial. Ciri


lokalnya antara lain terlihat pada motif hiasnya,
baik yang fungsional maupun yang struktural antara
lain hiasan tanduk rusa pada ujung atau atap pelana
dan hiasan lebah bergantung pada atap, sedangkan
gaya kolonial nampak pada struktur dan konstruksi
bangunannya yang modern, terbuat dari bata/beton.
Selain itu pengaruh bangunan kolonial nampak
pada pintu-pintu dan jendela-jendela yang tinggi
dan lebar, demikian pula dengan tembok dinding-
dinding ruangan dan posisi plafon yang tinggi. Dalam
bangunan kolonial, pintu dan jendela yang tinggi dan
lebar dapat memperlancar sirkulasi udara dari dalam
ke luar ruangan atau sebaliknya sehingga suasana
(udara) di dalam ruangan menjadi lebih nyaman.
Demikian juga halnya dengan posisi plafon yang
dibuat tinggi memiliki fungsi yang sama.
Pintu dan jendela yang di buat tinggi dan lebar
pada rumah-rumah atau bangunan kolonial bukan
elemen budaya yang dibawa dari negeri asalnya
(Eropa) melainkan sebagai bentuk/ wujud adaptasi
(penyesuaian) dengan iklim tropis. Keberadaan
penampil-penampil yang menjorok pada sisi utara,
selatan dan barat, pada bangunan Asi Mbojo
mengingatkan kita pada conopy yang sering ditemukan
pada bangunan bergaya kolonial, demikian juga

255
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

pembagian, ukuran, posisi dan penataan ruangannya,


baik di lantai bawah maupun di lantai atas dan adanya
koridor di sekeliling ruangan mengingatkan pada
hal yang sama pada rumah- rumah Belanda. Adanya
tempelan batu andesit pada bagian luar tembok
bangunan yang diikat dengan lepa mengingatkan pada
rumah-rumah tua di daerah mentang atau di tempat-
tempat lain yang dibangun pada akhir abad ke-19
sampai pertengahan abad ke-20, pemasangan bongkah
batu-batu pipih tersebut dimaksudkan untuk meredam
panas sinar matahari.
Demikian juga keberadaan kamar kecil (WC) di
dalam rumah (istana) jelas merupakan unsur budaya
Eropa. Pada bangunan rumah tradisonal tidak pernah
ditemukan WC atau kamar mandi, bahkan di sejumlah
kampung di Jawa Barat / Banten masih ada anggapan
menempatkan WC di dalam rumah termasuk pamali
atau tabu (dilarang) kotor. Sesuai dengan fungsi Asi
(istana) sebagaimana telah disinggung di atas, maka
di dalam bangunan Asi Mbojo terdapat sejumlah
ruangan yang berfungsi pribadi (private) maupun
sosial (publik). Ruangan-ruangan yang berfungsi
sosial antara lain ruangan saro Na’e yang dulu sebagai
tempat musyawarah majelis hadat pada hari-hari besar
kerajaan.

256
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

Sekarang ruangan itu difungsikan sebagai tempat


penyimpanan data geologi dan demografi, data flora
dan fauna. Lewat pintu masuk dekat tangga terdapat
ruangan yang pernah berfungsi sebagai tempat untuk
Doho Sara, Bumi Na’e Nggeko Sara hukum Islam.
Sekarang ruangan ini difungsikan sebagai tempat
menyimpan benda-benda etnografi seperti peralatan
pertanian, peternakan dan berburu. Kemudian ada
ruangan yang diberi nama “kamar” tatarapang, dulu
berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda
yang disakralkan/dikeramatkan seperti tatarapang
atau keris kerajaan yang hulu dan sarungnya dari
emas/perak, termasuk di dalamnya tatarapang
samparaja (keris sultan) pedang (sondi), tongkat
masa (tiki masa, golok sakti (nggunti rante), mahkota
kerajaan dan lain-lain. Di lantai bawah terdapat juga
ruangan kantor istana, ruangan untuk bumi parisi
kamar tidur tamu-tamu kerajaan dan lain-lain.
Sedangkan kamar di lantai atas terdapat ruangan
tempat tinggal sultan dan keluarganya, konon Asi
Mbojo adalah bangunan yang paling indah di Kota
Bima pada zamannya berdiri di atas lahan dengan
halaman seluas 500 meter persegi, ditumbuhi pohon-
pohanan yang rindang dengan taman bunga yang
indah pula, di halaman istana saat ini masih terpasang
beberapa meriam kuno yang ditempatkan pada

257
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

landasnya dan sebuah tiang bendera dari kayu jati,


tingginya sekitar 50 meter (kasipahu tolo lai). Konon
tiang bendera ini menyerupai tiang bendera kapal
perang kesultanan Bima yang didirikan oleh Sultan
Abdullah untuk memperingati pembubaran angkatan
laut Bima karena tekanan pemerintah hindia Belanda.
Selain di Bima, tiang bendera kuno seperti ini masih
berdiri di depan istana al-qadyiriyah bekas istana
sultan pontianak, provinsi Kalimatan Barat dan di
depan masjid agung Buton di dalam benteng keraton
Buton, Kota Bau-Bau provinsi Sulawesi Tenggara.
Kedua bangunan istana (Asi Bou dan Asi Mbojo) di
kelilingi pagar dari tembok dan besi dengan dua pintu
gerbang. Pintu gerbang di sisi barat menghadap ke
alun-alun serasuba disebut lare-lare dan pintu gerbang
sisi timur disebut lawa kala atau lawa Se, sedangkan
pintu masuk di bagian belakang disebut Lawa Weki.
Lare-lare adalah bangunan berpanggung terbuat dari
kayu dan merupakan gerbang utama. Ditingkat atas
dahulu tergantung sebuah lonceng dan sebuah tambur
yang disebut tambur rasanaE. Tambur itu dibunyikan
jika ada upacara kebesaran, sedangkan lonceng
dibunyikan jika ada upacara kebesaran, sedangkan
lonceng di bunyikan sebagai tanda bahaya dan tanda
waktu. Gerbang lare-lare dan gerbang kala sudah
ada sebelum asi bou dan asi mbojo dibangun karena

258
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

keberadaannya telah diberitakan oleh E. Francis ketika


berkunjung ke Bima pada tahun 1851.

b. Makam-Makam Sultan Bima


1. Makam Danatraha
Makam danatraha terletak pada dataran seluas
kira-kira 1.250 m2 di puncak bukit danatraha dengan
ke tinggian 65 m di atas per mukaan laut. Lokasinya
termasuk wilayah kelurahan Dara kecamatan RasanaE
Barat, kecematan rasanaE, dapat ditempuh dengan
kendaraan roda dua maupun roda empat sampi
ke lokasi makam. Di sini terdapat makam sultan
Abdul Kahir, sultan bima yang pertama. Makam ini
ditempatkan pada deretan yang paling utara, nomor
dua dari barat. Jiraknya (ada 6 tingkat), di tempatkan
di atas batur segi empat berukuran 495x387 cm.
Ukuran jirat makin ke atas semakin mengecil, tingkat
pertama (paling bawah) berukuran 340x191 cm ;
tingkat kedua 315x167 cm, tingkat ketiga 290x142 c,
tingkat keempat 259x117 cm, tingkat kelima 220x80
cm; dan tingkat keenam yang paling atas berukuran
186x61 cm. Setiap tingkatan terbuat dari empat bila
papan (balok) batu padas (bahasa bima:wadu barasi)
yang membentuk kotak jirat.
Pada bagian luar masih terlihat bekas atau sisa-
sisa plesteran, pada tingkat yang keenam terdapat

259
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

inskripsi arab berbuyi: laa ilaaha illallah muhammadur


rasuulullah”, artinya; artinya; “tiada Tuhan kecuali Allah
dan Muhammad utusan Allah”. Batu nisannya 2 buah,
bentuknya seperti gada, bagian dasar segi empat,
bagian tengah segi delapan (oktagonat) makin ke
atas makin membesar, tetapi bagian puncaknya sudah
patah. Pada bagian dasar nisan terdapat motif hias
bunga ros (roset) dan segi tiga (tumpal) yang distilir
atau disamarkan. Menurut penjelasan rouffaer yang
pernah datang di Bima pada tahun 1910, makam itu
menggunakan koepel (kubah) yang sekaligus berfungsi
sebagai bangunan cungkup yng menaungi makam.
Lebih jauh roufaer mencatat bahwa di sebelah
selatan makam sultan masih ada dua makam memakai
kubah yang lebih rendah, di buat dari balok-balok
batu padas dan bata, salah satu di antaranya adalah
makam Sangaji Bolo, penguasa daerah (landschap)
olo, di sbelah barat teluk Bima. Di sebelah baratnya
terdapat empat makam dan salah satu di antaranya
adalah makam kadhi Djalaloedin, guru dari sultan.
di sebelah timur makam sultan Abdul Kahir terdapat
makam Abdul Somad Ompu la Muni, dalam catatan
harian kerajaan Bima (Bo) dikenal sebagai wazir atau
pabicara kesultanan Bima yang ke-empat. Keunikan
makam ini ialah adanya bangunan yang menaungi
makam yang berfungsi ganda, yakni sebagai cungkup

260
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

sekaligus “jirat semu”(pseudo jirat). Disebut jirat


semu karena jirat makam yang sesungguhnya ada
di dalam ruangan cungkup. Bentuk cungkup atau
jirat semu ini mengingatkan pada rumah tunggal
orang-orang eskimo (lglo) di daerah kutub utara.
Jirat semu atau cungkup itu terdiri dari bagian dasar
(batur) berukuran 538x368 cm dan bagian atap yang
bentuknya melengkung, tingginya 267 cm, pada
puncaknya tertancap dua buah batu nisan dari batu
padas yang bentuknya seperti gada. Sebagaimana
halnya jirat, maka batu nisan inipun adalah nisan
semu. Material bangunan dari balok-balok batu padas
atau karang yang direkat dengan campuran kapur dan
semen merah.
Sedangkan pada bagian luarnya masih nampak
sisa-sisa plesteran, pemakaian spesi dan plesteran
menjadi petunjuk (indikator) bahwa bangunan makam
mungkin tidak terlalu tua, asumsi ini sejalan dengan
catatan harian kerajaan Bima yang menyebutkan
bahwa tokoh Abdul Samad yang di makamkan di
tempat ini meninggal pada tahin 1701. Kesimpulan
ini didukung oleh konstruksi dan teknik pamasangan
balok-balok batu karang yang mengikuti teknik
pemasangan bata, yaitu berpola saling menyempit
dalam verban silang dimana siar-siar tegak tidak jatuh
segaris. Pintu masuk ke ruangan makam menghadap

261
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

ke selatan, bagian atas lubang pintunya berbentuk


lengkung asli (true arch) tinggi 133 cm, sehingga harus
menunddukkan badan jika ingin masuk ke ruangan
makam.. Di atas lubang pintu ini ada dua buah balok
batu yang di pasang menonjol dari dinding tembok,
kemudian di bagian tengahnya terdapat lubang bulat
berdiameter 5 cm. Ada kemungkinan lubang tersebut
adalah tempat masuknya porus pintu dorong dari kayu
yang tidak diketahui bentuknya karena sudah rusak.
Demikian juga makam di dalam ruangan cungkup
sudah rusak akibat penggalian liar oleh orang-orang
yang tidak bertanggungjawab.
Pada tahun 1976, ketika tim peneliti dari Pusat
Penelitian Purbakala dan Penelitian Nasional (Pus.
P3N) melakukan penelitian di situs makam danatraha,
ditemukan makam dalam keadaan tergali sedalam
75 cm, dua tahun kemudian lubang galian tersebut
ditimbun kembali apa adanya sehingga keaslian
bentuk makam tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut catatan G.P.Rouffaer yang diterbitkan
oleh J. Noorduyn, di bagian timur situs makam
danatraha terdapat sejumlah makam salah satunya di
antaranya memuat inskripsi Arab yang menyebutkan
tokoh : Safiah bergelar Bumi Runggu, wafat pada
29 Ramadhan 1216 Hijrah. Gelar atau jabatan Bumi
Runggu yang diberikan kepada Safiyah belum di

262
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

ketahui asal usulnya. Tetapi menurtu Noorduyn,


runggu dapat dihubungkan dengan nama tempat yang
terletak di sebelah selatan Bima.
Pada deretan selatan situs makam Danatraha
terdapat sebuah makam yang oleh masyarakat dikenal
sebagai makam Datu Sagiri atau Datu Giri. Dalam
sumber lokal, Datu Giri adalah purti Sultan Sumbawa,
Harun al-Rasyid yang kawin dengan Sultan Bima IX
Abdul Hamid Muhammad Syah Dzilullah Fil Islam,
atau Mantau Asi Saninu (1773-1817). Batu nisanya
dua buah (nisan kepala dan kaki) pipih, bentuknya
mengingatkan pada bentuk gunungan. Pada batu
nisannya terdapat inskripsi Arab yang sudah aus,
menyebut nama “putri Sagiri dayang sumi” dan angka
tahun 1174 Hijriyah. Apakah angka tahun tersebut
mengacu pada kematian atau kelahiran tokoh yang
dimakamkan, belum dapat dipastikan karena ada
bagian-bagian inskripsi yang belum bisa dibaca karena
rusak. Dalam buku catatan harian kerajaan Bima
(BO) dinyatakan bahwa Datuk Sagiri, istri Sultan
Hamid yang wafat pada tahun 1210 H atau 1795
M, sehingga besar kemungkinan angka tahun yang
tertera pada inskripsi batu nisan tersebut di atas tahun
1174 H atau 1760 M, adalah tahun kelahiran tokoh
yang bersangkutan. Pada kunjungan penulis bulan
Mei 2015 yang lalu, batu nisan berinskripsi yang

263
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

menyebut nama Putri Sagiri Dayang Sumi sudah raib


dari tempatnya.
Tidak jauh dari situs makam danatraha pada suatu
dataran di sebelah Baratnya (sekitar 50 meter dari
kantor Kelurahan Paruga) terdapat sebuah makam
yang disebut kubur kurma. Di tempat itu, dimakamkan
seorang pembesar kerajaan Bima, Turelli Nggampo
Abdul Rahim, raja bicara pada masa pemerintahan
Sultan Abdul Khair Sirajuddin. Makam ini sudah
rusak berat akibat serangan bom sekutu pada tahun
1945 namun dari bagian atap yang masih tersisa,
dapat diindentifikasi bahwa kubahnya berbentuk Iglo
dan bahan materialnya dari bata yang direkat dengan
kapur.

2. Makam Tolobali
Makam Tolobali berlokasi di tengah kota,
termasuk wilayah Kampung Tolobali, Kelurahan Sarae
Kecamatan RasanaE. Nama lain Makam Tolobali
adalah Makam Gili Panda. Lokasinya hanya beberapa
ratus meter di sebelah utara bekas istana Sultan
Bima dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua
dan roda empat, berbeda dengan makam Danatraha,
komplek makam tolobali merupakan pemakaman
umum sehingga masih dipergunakan sebagai tempat
pemakaman umum. Luas arealnya sekitar 12.800 m2
dengan ketinggian sekitar 3,5 meter di atas permukaan

264
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

laut. Di dalam komplek makam Tolobali terdapat


dua bangunan cungkup berbentuk kubah (koepel),
di dalamnya terdapat empat buah makam, tiga di
antaranya adalah makam-makam sultan Bima, yaitu
Sultan Abdul Khair Sirajuddin (Sultan Ke-II), Sultan
Nurudin (Sultan ke-III) dan Sultan Jamaluddin (Sultan
ke IV).
Jika dideskripsikan secara urut dari Barat ke
Timur adalah sebagai berikut. Cungkup yang paling
Barat berukuran 524 x 496 cm, tinggi 545 cm dan
tebal dinding (tembok) rata-rata 95 cm. Pintu masuk
menghadap ke selatan, bagian atas lubang pintunya
berbentuk lengkung asli (true arch), tingginya 100
cm dan lebarnya 87 cm, tanpa daun pintu. Di dalam
ruangan cungkup terdapat sebuah makam, jiratnya
terbentuk dari empat bilah papan batu padas yang di
tangkupkan membentuk kotak jirat, nisan dua buah,
bentuknya seperti gada atau silendrik dari batu padas.
Nisan gada atau silendrik ini bagian dasarnya segi
empat, bagian tengahnya segi delapan (oktagonal) dan
puncaknya runcing. Menurut sumber lokal makam ini
adalah makam Sultan Abdul Khair Sirajuddin, yang
wafat pada tanggal 17 Rajab 1093 Hijrah, bertepatan
dengan 22 Juli 1687 M.
Cangkup yang kedua (ditengah) berukuran
596 x 510 cm, tinggi 658 cm dan tebal dinding

265
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

(tembok) 90 cm, seperti halnya bangunan cungkup


sebelumnya, pintu masuk menghadap ke Selatan,
bagian atas lubang pintunya berbentuk lengkung
runcing (lengkung lunak perahu terbalik), tanpa
daun pintu. Lubang pintunya berukuran tinggi 110
dan lebar 77 cm. Di dalam cungkup terdapat sebuah
makam. Jiratnya terbentuk dari empat bilah papan
batu padas yang ditangkupkan dan sebagian terendam
dalam tanah. Nisannya dua bilah bentuknya seperti
gada atau hampir sama dengan nisan makam Sultan
Abdul Khair Sirajuddin, namun bagian puncaknya
telah patah. Makam ini ditutup dengan keranda dari
kayu jati yang berukuran 208 x 94 cm, tinggi 56 cm.
Pada papan keranda makam terdapat inskripsi Arab
berbahasa Melayu, yang antara lain menyebut nama
“ Al Mubarok as sayyid as sulthan Nuruddin Abu Bakar,
Usman Ali putra as Sultan Abdul Kahar hari Rabo dua
puluh satu dari bulan Dzulhijjah seribu sembilan puluh
satu hijrah nabi”
Menurut catatan Rouffaeryang diterbitkan oleh
Noorduyn, inskripsi pada beranda makam tersebut
memuat keterangan tentang kelahiran dan kematian
tokoh yang dimakamkan. Pada papan keranda sisi
selatan terdapat inskripsi tulisan Arab menyebut
nama “ Almarhum al Mubarok as sayyid as sulthan
Nuruddin Syah Abu Bakar Ali ibnu as sultan Abil

266
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

(Abdul) Khair Sirajuddin ibn as sultan Abdul Kahir,


dilahirkan Rabo 22 Dzulhijah 1091, berusia 37
tahun, meninggal Rabo 11 Ramadhan 1128. Jika
dibandingkan hasil bacaan Cholid Sodrie dengan
Rouffaer terdapat sedikit perbedaan berkenaan dengan
tambahan nama dari tokoh yang dimakamkan (Sultan
Nuruddin). Menurut Rouffaer Nuruddin ada kata atau
nama “Syah Abu Bakar Ali” tetapi tidak di temukan
kata nama Nuruddin, ada kata atau nama “Abu Bakar
Utsman Ali” tidak di temukan kata (nama/gelar) Syah.
Perbedaan lain adalah pada tanggal bulan Dzulhijah,
Cholid Sodrie membaca angka 21 (itsna wa isyruun),
sedangkan Rouffaer membaca angka 22 (tanpa
disebutkan bacaan aslinya). Hal ini bisa terjadi karena
pembacaan inskripsinya yang kurang tepat (akurat)
atau telah terjadi penambahan atau pengurangan teks
inskripsi ketika papan keranda makam diganti dengan
yang baru saat perbaikan makam, mengingat rentang
waktu antara kunjungan (penelitian) Rouffaer (1910)
dengan Cholid Sodrie (1976) terpaut 66 tahun.
Cungkup ketiga, yang paling timur tinggal
pondasinya saja, hancur akibat serangan bom sekutu
pada tahun 1943. Namun dari foto-foto yang di
buat oleh Reinwardt maupun Rouffaer, diketahui
bahwa bentuk bangunan cungkup itu sama (hampir
sama) dengan cungkup bangunan yang di tengah

267
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

(cungkup makam sultan Nuruddin). Pondasi yang


tersisa berukuran 510 x 340 cm sedangkan lebar
lubang pintunya 66 cm. Di dalamnya terdapat dua
buah makam, yaitu makam Sultan Bima yang ke IV,
Sultan Jamaluddin dan makam Syeh Umar Al-Bantani.
Jirat makam dari papan batu padas, sedangkan batu
nisannya sudah patah, namun dari bagian yang
tersisa diperkirakan bentuknya sama (hampir sama)
dengan nisan yang lain yakni seperti gada atau nisan
silendrik. Ketiga bangunan cungkup ini dibuat dari
pasangan bata yang direkab dengan campuran kapur
dan semen merah, demikian juga plesteran di bagian
luarnya. Menurut catatan harian kerajaan Bima (BO)
cungkupnya ini dibangun pada tahun 1703 oleh M.
Yusuf, wazir atau raja bicara kerajaan Bima ke-8.

c. Masjid dan Makam Kampung Sigi


Sesuai dengan namanya, situs ini berlokasi di
kampung sigi atau kampung Mesigi, Kelurahan
Paruga Kecamatan Rasanae Barat. Masjid ini dibangun
oleh Sultan Abdul Qadim pada 16 Dzulhijah 1149
ahad. Bertepatan dengan 5 April 1737. Bangunan ini
sudah mengalami pemugaran dan banyak berubah dari
bentuk aslinya. Sebagai contoh keberadaan menara
pada keempat sudut bangunan yang sebelumnya tidak
ada. Meskipun bentuk denahnya tidak berubah segi
empat dengan pondasi massif, tetapi ukuranya sudah

268
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

diperluas, demikian juga bangunan penunjang di


halaman depan masjid adalah bangunan baru.
Di halaman masjid terdapat makam sultan Bima,
yaitu sultanah Kamalat Syah (Sultan Ke-7), sultan
Abdul Qadim (sultan ke-8), sultan Hamid (sultan ke-9),
sultan Islmail (sultan ke-10), sultan Abdullah (sultan
ke-11) sultan Abdul Aziz (sultan ke-12) dan sultan
Ibrahim (Sultan ke-13). Jadi masjid ini bukan masjid
makam (mashad) tetapi makam yang ditempatkan di
dalam komplek masjid, sehingga usia masjid lebih tua
dari makam-makam yang ada di halaman masjid.
Kondisi makam yang berlokasi di bagian barat
halaman masjid (di belakang mihrab) saat ini dalam
keadaan kurang terawat. Menurut infomasi yang
diperoleh di lapangan, makam-makam ini pernah
dipugar oleh dinas pariwisata setempat namun di
sayangkan pemugaran tersebut tidak sesuai dengan
prinsip pemugaran bangunan bersejarah. Secara
tidak bertanggung jawab dan terkesan asal-asalan.
Inskripsi pada makam banyak yang hilang (di rusak)
demikian pula bahan bangunan yang digunakan dalam
pemugaran tidak sama dengan bahan yang aslinya.
Komplek makam dikelilingi pagar besi tingginya
sekitar dua meter. Jirat makam terutama untuk
makam-makam yang tergolong tua dulu dibentuk dari
empat bilah papan batu padas yang di tangkupkan

269
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

sehingga membentuk kotak jirat, (segi empat).


Dalam Hikayat Bima bilah-bilah papan batu yang
yang membentuk kotak jirat itu disebut dapur-dapur.
Bilah-bilah papan batu sisi utara dan selatan (bagian
kepala dan kaki) dibuat lebih tinggi kemudian pada sisi
luarnya dipahat dengan motif hias tumbuh-tumbuhan
(floralistis) dan inskripsi Arab berbahasa Melayu yang
menyebut nama, hari, bulan serta tahun wafatnya
tokoh yang dimakamkan. Batu nisannya ada yang satu
dan ada yang dua buah. Nisan-nisan yang bentuknya
seperti gada (silendrik) ditempatkan di makam tokoh
laki-laki sedangkan batu nisan yang pipih pada
makam tokoh wanita sebagai mana diindikasikan oleh
inskripsinya.
Menurut catatan Rouffaer, di dalam kompleks
makam Kampung Sigi terdapat 14 buah makam yang
tergolong tua (kuno), yang menurut keletakannya
dikelompokkan menjadi tiga. Kelompok pertama
adalah makam di sebelah selatan mihrab, jumlahnya
12 buah, terdiri dari tiga deretan. Deretan pertama,
yang paling utara ada 4 makam, makam yang paling
timur tanpa jirat, nisannya dua buah tanpa inskripsi.
Menurut catatan Rouffaer, makam ini adalah makam
sultan Abdul Kadim, sultan Bima yang ke-8 dalam
sumber lokal dikenal dengan nama Sri Nawa, wafat
pada 31 Agustus 1773. Di sebelah baratnya ada

270
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

dua makam tanpa inskripsi. Kerana nisannya pipih,


Rouffaer menghubungkan kedua makam itu dengan
tokoh wanita, yaitu istri-istri sultan Abdul Qadim. Di
sebelah baratnya adalah makam sultan Hamid, sultan
Bima yang ke-9. Menurut inskripsi-inskripsi yang
tertera pada jiratnya, sultan Hamid wafat pada tanggal
1 Ramadhan 1234 H. Bertepatan dengan tanggal 24
Juni 1819 M. Sedangkan dapur-dapurnya selesai
dipasang pada 9 Muharom 1235 H bertepatan dengan
28 Oktober 1819, oleh Wazir Abdul Nabi. Deretan
yang kedua, (tengah) ada tiga makam, yang paling
timur makam Rantai Patola, yang menurut catatan
Rouffaer adalah istri Sultan Ismail (sultan Bima yang
ke-10), sedangkan Noordyun menempatkannya sebagai
sultanah Bima yang ke-7 dengan gelar Kamalat Syah
atau Rantai Patola Siti Rabi’ah. Pada papan batu
jiratnya terdapat inskripsi yang menyakatan wafatnya
pada tanggal 20 Ramadhan 1244 H, bertepatan dengan
13 Maret 1829, sedangkan dapur-dapur makamnya
selesai di pasang, dua setengah bulan kemudian, yaitu
pada 3 Dzulhijjah 1244 H. Di sebelah barat makam
Rantai Patola adalah makam sultan Ismail Muhammad
Syah atau Mantau Dana Sigi.
Sultan Ismail Muhammad Syah adalah putra sultan
Hamid sekaligus penggantinya menjadi sultan yang ke
9. Pada papan jiratnya terdapat inskripsi menyebutkan

271
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

tahun wafatnya, 2 Ramadhan 1270 H, bertepatan


dengan 4 Juni 1854. Disebutkan juga kelahirannya
pada 1 Dzulhijah 1211 H. Bertepatan dengan 24 Mei
1797. Di sebelah barat ini terdapat makam Siti Hajar,
putri Sultan Ismail, pada jirat makamnya terdapat
inskripsi menyebutkan tahun wafatnya 20 Rajab 1247
H, bertepatan dengan 24 Desember 1831, pemasangan
dapur-dapur makamnya selesai pada 20 Syawal 1247.
Pada deretan yang paling selatan terdapat tiga buah
makam, yang paling timur adalah makam Siti Syaibah,
istri Sultan Ismail. Pada papan jiratnya terdapat
inskripsi menyebutkan tahun wafatnya, 8 Syaban 1260
H, bertepatan dengan 22 Agustus 1844, sedangkan
dapur-dapur selesai dipasang, 3,5 bulan kemudian
tanggal 27 Dzulkaidah 1260 H, oleh Tureli Woha
bernama Karnada. Disebelah baratnya terdapat makam
Siti Aisyah, putri Sultan Ismail dengan Siti Saibah.
Pada papan jiratnya terdapat inskripsi menyebutkan
tahun wafatnya, 19 Dzulhijah 1270 H. Disebutkan
juga tahun kelahirannya 24 Dzulkaidah 1258 H. Di
sebalah barat makam Siti Aisyah terdapat makam
seorang wanita bernama Khadijah bergelar raja Bumi
pertiga, anak perempuan Raja Bicara (wazir) Abdul
Nabi. Pada papa jirat makamnya terdapat inskripsi
menyebut tahun wafatnya, 12 Dzulhijah 1278 H
bertepatan dengan 10 Juni 1862, sedangkan 1 Rabiul
awal 1278 H diselesaikan membuat kacandu. Dalam

272
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

inskripsi disebutkan juga nama tukangnya yaitu Bumi


Sari Mbojo ismuhu (namanya) Abdullah dan Bumi
Waworada Abdul Syukur.
Kelompok makam yang ke dua berada di sebelah
barat mihrab jumlahnya 2 buah. Di sebelah timur
adalah makam sultan Abdullah, putra dan pengganti
sultan Ismail sebagai sultan Bima yang ke-11. Pada
papan jiratnya terdapat inskripsi menyebutkan tahun
wafatnya 19 Rabiul Akhir 1285 H. Bertepatan dengan
16 Juni 1868, sedangkan kacandunya (makamnya)
selesai 8 rajab 1285 H. Di sebelah baratnya adalah
makam sultan Abdul Aziz, putra dan pengganti sultan
Abdullah sebagai sultan Bima ke-12 pada papan
jiratnya terdapat inskripsi yang menyebut tahun
wafatnya, 5 Safar 1298 H bertepatan dengan 2 Januari
1818. Menurut Noordyun bulannya seharusnya 5
Syakban (bukan Safar) 1298 H bertapatan dengan
12 September 1881, sedangkan memasang dapur-
dapurnya selesai 17 Syawal 1298 H, tukangnya adalah
Bumi Jara Nggampo bernama Jafar dan Bumi Jara
Bolom, Lalu Uwi.
Kelompok makam yang ketiga, adalah makam-
makam di sebelah utara mihrab, jumlahnya 12 buah,
yang pertama adalah makam Qadhi Muhammad
Saleh yang menurut catatan Rouffaer jiratnya dari
kayu, tetapi sekarang dari batu padas. Pada papan

273
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

jiratnya terdapat inskripsi menyebut tahun wafatnya,


25 Jumadil Awal 1305 H, bertepatan dengan 20
Januari 1888. Menurut Noordyun kalau dikonversikan
menjadi tahun masehi, seharusnya sama dengan 8
Februari dan makamnya selesai dibangun 24 Rajab
1305 H, bertepatan dengan 7 April 1888, yang kedua
atau yang terakhir adalah makam Bumi Tonggo Risa
bernama Abdul Rahim. Pada papan jirat makamnya
terdapat inskripsi yang menyebutkan tahun wafatnya
25 Syafar 1309 H bertepatan dengan 30 September
1891 dan makamnya selesai dibangun 2 bulan
kemudian, 27 Rabi’ul Akhir 1309 H bertepatan dengan
25 Nopember 1891 oleh Bumi Monta bernama Syukur
dan Bumi Tangga bernama Sahi. Sultan Bima terakhir
yang dimakamkan di Kampung Sigi adalah sultan
Ibrahim sultan ke-3. Pada jirat makamnya terdapat
inskripsi yang menyebut tahun wafat hari Kamis, 9
Shafar 1334 H.
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan
behawa secara keseluruhan inskripsi-inskripsi pada
makam sultan Bima menggunakan tulisan Arab
dan bahasa Melayu, yang diselipkan kata-kata Arab
atau kata-kata dalam bahasa Bima. Hal itu seiring
dengan fungsi bahasa Melayu sebagai bahasa resmi di
Nusantara pada kurun waktu abad ke-17 sampai 19,
sebagai bahasa resmi, bahasa Melayu dengan tulisan

274
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

Arab tidak hanya dipergunakan dalam kontrak-


kontrak atau perjanjian dan penulisan naskah-naskah
kuno, juga pada inskripsi-inskripsi yang dipahatkan
pada makam. Dengan demikian ada kemungkinan
bahwa bahasa Melayu sebagai bahasa resmi telah
dipergunakan sejak Bima muncul sebagai kerajaan
Islam atau sebagai pusat kekuasaan Islam di kawasan
Nusa Tenggara pada permulaan abad ke-17. Hal
itu terbukti dengan digunakannya bahasa Melayu
dalam surat-surat resmi kerajaan, kontrak-kontrak
perjanjian, naskah-naskah dan catatan harian kerajaan
Bima (BO) maupun pada bangunan seperti makam-
makam dan masjid.

d. Artefak/Benda Bergerak
Benda-benda bergerak kesultanan Bima saat
ini disimpan di dua tempat yaitu, Museum Asi
Mbojo dan Museum Samparaja. Menurut salah satu
sumber benda-benda peninggalan kesultanan Bima
tersebut sekitar 320 jenis termasuk di dalamnya
buku-buku catatan kerajaan Bima. Di Museum Asi
Mbojo disimpan sejumlah 36 keris kerajaan termasuk
keris Samparaja (Tatarapang Samparaja) dan keris
putra mahkota (Jena Teke). Keistimewaan keris-
keris kerajaan Bima ini terdapat pada hulu kerisnya
(Bima : taju) berbentuk patung manusia dalam posisi
duduk berjuntai, memakai tali kasta (upawita), kelat

275
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

bahu, rambut terurai (gondrong) dan ada juga yang


memakai mahkota sufit urang. Konon tokoh yang
digambarkan (divisualisasikan) adalah Sang Bima.
Dilihat dari bentuk warangkanya (Bima: ro’o ntanggu).
Keris-keris kesultanan Bima yang tersimpan dalam
Museum termasuk jenis gayaman atau gandon,
sedangkan wilahannya berkelok atau luk (Bima:
woi Nteko) yang jumlahnya ganjil. Kemudian pada
sarungnya (Bima:lapi) yang berlapis emas terdapat tali
pengikat dan pada ujung sarungnya terdapat bulatan
yang disebut dengan puki, dan beberapa keris terutama
keris samparaja terdapat beberapa batu permata
seperti zamrut, berlian biasanya bergelantungan dan
diikat di hulunya.
Jenis senjata yang lain yang disimpan di Museum
Asi Mbojo adalah sejenis pedang (Bima: Sondi),
tongkat berhulu ular tanpa mahkota, tombak dan
golok keramat yang disebut la nggunti rante. Keunikan
la Nggunti Rante ialah pada ujung pisaunya terdapat
ukiran singa dan pada ujung yang lain ada ukiran
makara. Koleksi yang tidak kalah menariknya adalah
mahkota sultan yang terbuat dari emas bertahtakan
berlian penuh, bentuknya mengingatkan pada bentuk
cilo dengan sedikit modivikasi. Mahkota ini selalu
disimpan dalam peti tersendiri bersama-sama dengan
keris pusaka Samparaja dan golok La Nggunti Rante.
Kemudian masih ada payung kerajaan terbuat dari

276
Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam

daun lontar, pakaian kebesaran yaitu jas hitam yang


berkancing emas pada bagian depan disulam dengan
benang emas/perak sehingga nampak berkilauan.
Warisan budaya kesultanan Bima yang sangat berharga
ini disimpan/ditaruh dalam pitrin yang dikelilingi
(dikerangkeng) pagar besi. Benda-benda budaya yang
lain seperti naskah-naskah kuno (BO), manuskrip Al-
Qur’an Mushaf Bima, dua lembar tekstil (mungkin
bendera dan selendang) berinskripsi Arab dari masa
Sultan Salahuddin, berbagai perangkat dan peralatan
yang digunakan di masa kesultanan, termasuk foto-
foto bersejarah sebagian disimpan di Museum Asi
Mbojo dan Museum Kebudayaan Samparaja yang di
kelola oleh Dr. Siti Maryam R. Salahuddin, SH

277
Bab V
Kasultanan Bima dan
Pemerintah Kolonial

279
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

A. Penetrasi Kekuasaan Kolonial.


Telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa
kontak pertama antara Bima dengan orang-orang
Belanda telah dimulai sejak awal abad ke-17, ketika
terjadi penjanjian lisan antara raja Bima, Sarise atau
Raja Salisi dengan orang-orang Belanda bernama
Steven van Hagen pada tahun 1605. Dalam sumber
lokal perjanjian itu dikenal dengan “Sumpah Ncake.1 Isi
perjanjian tersebut sampai sekarang belum diketahui,
namun pada masa-masa berikutnya tampak telah
terjalin hubungan dagang antara Bima dengan VOC
yang berpusat di Batavia. Dalam cacatan harian VOC
atau Dagh-Register disebutkan bahwa VOC mengirim
kapal-kapalnya ke Bima untuk membeli beras dan
komoditas lainnya.2
VOC. sebagai sebuah “Trading-Company” berusaha
untuk melakukan aktivitas perdagangan dengan
kapal-kapal miliknya, sehingga pada saat yang sama
diperlukan jaminan adanya suplay bahan makanan dari

1
D.F. van Braam Morris, “Nota van Tolichting Behoerende bij het
Contract geslooten met het landschap Bima op den 20 sten October, aan de
Regeering ingediend door den Gouverneur van Celebes en Onderhoorigheden”,
TBG XXXV, 1890 : 200 ; L. Massir Q. Abdullah, Bo (Suatu Himppunan
Catatan Kuno daerah Bima). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ,
Proyek Pengembangan Permuseuman Nusa Tenggara Barat 1981/1982 :
22-23.
2
J. Noorduyn, “Makasar and the Islamization of Bima”, BKI, 142, 1987
: 330; Periksa juga :Dagh-Register 1631-1634:140; 174.

280
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

sumber lokal untuk memenuhi kebutuhan sejumlah


personil. Bima dalam hal ini adalah satu region dimana
suplay yang dimaksudkan dapat diperoleh. Oleh
karena itu untuk maksud dan tujuan tertentu kapal-
kapal VOC dikirim ke Bima. Kapal yang pertama yang
dikirim adalah Arent dan Groene Leeuw, berangkat
pada awal bulan September tahun 1618 dengan tujuan
Solor. Kapal ini membawa kepala pedagang, Gerard
Velinex untuk diturunkan (didrop) di Bima bersama-
sama dengan sejumlah pedagang lainnya. Tujuannya
adalah untuk mengumpulkan beras, hewan ternak
dan barang-barang lainnya untuk mensuplay orang-
orang (pegawai) VOC di Maluku. Demikian pula kapal
Nasau yang meninggalkan Batavia menuju Bima pada
pertengahan Desember 1618 dan kapal Begerboot
yang berangkat sebulan kemudian bertujuan untuk
memastikan adanya suplay komoditas-komoditas
tersebut di atas, yang mereka tukar (barter) dengan
pakaian3.
Sumber lokal menjelaskan bahwa ketika orang
Belanda yang memasuki Sungai Belo (di bagian
utara Bima) mendengar bahwa di pelabuhan Sape
ada sebuah kapal Portugis, mereka lalu menangkap

3
J. Noorduyn, op.cit : 332. Tradisi orang Bima menyatakan bahwa
perjanjian yang dikukuhkan dengan sumpah itu dilaksanakan di suatu
tempat yang disebut Ncake, lokasinya di pegunungan di sebelah barat daya
Teluk Bima.

281
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

kapal tersebut dan orang-orang Portugis melarikan


dengan perahu ke Sanggar. Di Sanggar mereka
(orang Portugis) menemukan kapal Portugis yang
lain dan ketika mendengar bahwa ada orang Belanda
di Belo, maka mereka datang kesana dan membunuh
orang Belanda. Ketika raja Bima mendengar peristiwa
pembunuhan itu, maka raja Bima datang membantu
orang Belanda sehingga banyak orang Portugis yang
tertangkap dan terbunuh, sedangkan yang lainnya
melarikan diri. 4
Setelah beberapa kali kapal-kapal Belanda datang
ke Bima, orang Bima mulai khawatir dan menaruh
curiga kepada raja. Namun ketika mendengarkan
berita itu secara utuh, semua masalah menjadi
terang benderang, orang Belanda dan orang Bima
telah bersepakat untuk membangun perdamaian
dan persahabatan yang abadi serta saling membantu
sebagaimana halnya perjanjian (Sumpa Ncake) yang
dilaksanakan di Desa Cenggu.5
Secara politis hubungan Bima dengan VOC mulai
berlangsung dengan ditandatanganinya perjanjian 1
Oktober 1669 antara Bima, Dompu dengan Kompeni

4
L. Massir Q . Abdullah, Bo (Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah
Bima),1981/1982 : 21-22; Henri Chamber-Loir,” Review of Abdullah
1981/1982 “, Archipel , 28, 1984 : 229-239; J. Noorduyn, op. cit. : :333.
5
Ibid., : 22.; J. Noorduyn, op.cit : 333-334.

282
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

yang diwakili oleh Admiral Speelman. Perjanjian


tersebut merupakan kontrak pertama Bima dengan
VOC sebagai akibat keikutsertaan Sultan Bima, Abdul
Khair Sirajudin dengan kerajaan Gowa memerangi
Belanda. Karena kalah perang, Sultan Hasanudin
terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda
pada tanggal 18 Nopember tahun 1667 yang dikenal
dengan Perjanjian Bongaya (Het Bongaisch Verdrag).
Dari 29 pasal isi Perjanjian Bongaya, empat pasal di
antaranya yaitu pasal 14, 15, 23 dan pasal 27) secara
langsung atau tidak langsung berhubungan dengan
Kerajaan Bima, Sultan Bima dan para bangsawan
Bima. Dalam pasal 15 dinyatakan bahwa : Raja Gowa
akan berusaha menyerahkan raja Bima, raja Dompu, raja
Tambora dan raja Sanggar, yang kesemuanya bersalah telah
mengadakan pembunuhan atas orang-orang Belanda di
Bima.6 Dari isi pasal 15 ini dapat diambil kesimpulan
bahwa sebelum tahun 1667 orang Belanda sudah ada
yang bermukim (tinggal) di Bima, meskipun baru pada
tahun 1675 VOC membangun lojinya (kantornya) di
Bima.
Dalam kontrak yang ditandatangani tahun
1669, Bima memberikan kebebasan kepada Kompeni
untuk berniaga, raja atau sultan tidak boleh meminta
6
Rachmah dkk, Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Di Sulawesi Selatan
Dari Abad ke-XIV s/d Abad ke XIX. Ujung Pandang : Direktorat Kesra
Kantor Gubernur Sulawesi Selatan , 1971 :60.

283
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

atau menarik cukai pelabuhan terhadap kapal-kapal


dan barang-barang Kompeni yang keluar masuk
pelabuhan.7 Tetapi dalam perkembangan selanjutnya
ada ketentuan bahwa untuk orang Nasrani meskipun
dia orang Walanda jika muatan kapalnya sepuluh
koyan, (1 koyan = 2 ton) dipungut bea sepuluh real
dan jika muatannya dua puluh koyan, maka beanya dua
puluh real. Ketentuan tersebut terdapat dalam Hukum
Bicara Undang-undang Bandar Bima yang dikeluarkan
pada tanggal 7 Sya.ban 1173 Hijrah (1759 M).8
Dalam kontrak tahun 1669 itu VOC mendapatkan
monopoli untuk komoditas-komoditas tertentu seperti
kayu sapang, kayu manis, lilin dan sisik tateruga
(kulit penyu atau kura-kura). Sedangkan untuk niaga
beras sangat bergantung pada situasi dan kondisinya.
Selain itu Kompeni bebas untuk memilih tempat
membuat rumah fetornya, tetapi Bima dan Dompu
tidak boleh (dilarang) membangun benteng tanpa
seizin Kompeni.9 Perjanjian tersebut ditandatangai
di Batavia oleh Jeneli Monta –Abdul Wahid, Jeneli

7
Siti Maryam R. Salahuddin, H. Bandar Bima. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan , Direktrat Jendral Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, Bagian Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
, 1992/1993: 20-24.
8
Ibid., ;6.
9
Henry Chamber-Loir, Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, Bo Sangaji
Kai, Catatan Kerajaan Bima. Jakarta: Ecole francaise d’Extreme –Orient,
Yayasan Obor Indonesia, 1999 :326

284
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

Parado -La Ibu dan Bumi Sari Mbojo-La Semba atas


nama Sultan Bima. Meskipun secara resmi kemudian
Kerajaan Bima dinyatakan telah menyerah dan berada
di bawah proteksi Kompeni, namun dalam prakteknya
pemerintahan kerajaan sepenuhnya berjalan menurut
kebijakan Sultan Abdul Khair Sirajuddin, kekuasaan
Belanda hanya terlibat dalam perdagangan yang pada
waktu itu dikendalikan oleh seorang Kuasa Usaha
yang dikenal sebagai Khojah Ibrahim10.
Dalam perkembangannya secara perlahan-lahan
pemerintah Kompeni bermaksud untuk menempatkan
Bima dan kerajaan-kerajaan lain di Pulau Sumbawa
(Sumbawa, Dompu, Tambora, Sanggar dan Pekat)
di bawah kekuasaannya. Oleh karena itu setiap
pergantian raja atau sultan kontrak baru pun
dibuat yang tujuannya untuk memperbaharui dan
memperkuat kontrak-kontrak sebelumnya. Selain itu
pertikaian antara elit penguasa di pulau Sumbawa dan
pergolakan politik yang terjadi di Pulau Sumbawa,
baik yang sengaja direkayasa oleh Kompeni atau yang
bukan, pada dasarnya memberikan peluang yang
besar kepada pemerintah Kompeni untuk memperluas
pengaruh serta kekuasaannya di wilayah itu. Sebagai

10
Tawalinuddin Haris, Naskah Studi Kelayakan Komplek Makam
Dantraha Dan Tolobali Bima, Nusa Tenggara Barat, Proyek Pemugaran Dan
Pemeliharaan Peninggalan Sejarah Dan Purbakala Nusa Tenggara Barat,
1983/1984 : 20

285
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

contoh konflik antara Bima dengan Dompu pada tahun


1691, antara Bima dengan Tambora pada tahun 1695,
antara Dompu dengan Tambora, antara Tambora
dengan Papekat pada tahun 1757 dan lain-lain. Dalam
situasi konflik seperti itu Belanda memanfaatkan
situasi untuk memancing ikan di air keruh. Kalau
kita mengacu pada sumber-sumber VOC, konflik-
konflik yang terjadi antara kerajaan-kerajaan di Pulau
Sumbawa sesungguhnya telah berlangsung beberapa
puluh tahun sebelum kehadiran Kompeni di Bima.
Dalam Catatan Harian VOC (Dagh -Register 1631-
1634) disebutkan bahwa sebuah kapal yang datang di
Batavia dari Bima pada 18 Agustus 1631 melaporkan
bahwa raja-raja di pulau itu (Pulau Sumbawa) sedang
bertengkar dan berperang antara satu dengan yang
lain11.
Untuk mewujutkan keinginannya, pemerintah
VOC melakukan pendekatan melalui pembuatan
kontrak atau perjanjian secara paksa. Sebagai contoh
pada tanggal 9 Februari 1765 VOC mengadakan
perjanjian secara kolektif dengan kerajaan-kerajaan
di Pulau Sumbawa, yaitu Bima, Sanggar, Dompu,
Tambora, Pekat (Pepekat) dan Sumbawa. Cornelis
Sinkelaar, Gubernur VOC di Makasar bersepakat

11
J. Noorduyn, “Makasar and the Islamization of Bima”, BKI., 143, 1987
: 331.

286
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

dengan Abdul Kadim Raja Bima, Datu Jerewe Raja


Sumbawa, Ahmad Juhain Raja Dompu, Abdul Said
Raja Tambora, Muhammad Ja Hoatang Raja Sanggar
dan Abdul Rahman Raja Pepekat, untuk secara
bersama-sama dengan VOC memelihara ketentraman,
persahabatan dan mengadakan persekutuan dengan
VOC.12Dalam pasal 1 kontrak tersebut dinyatakan
bahwa raja-raja di pulau Sumbawa baik secara
bersama-sama maupun sendiri-sendiri berjanji
akan terus mematuhi kontrak yang pernah dibuat
sebelumnya, demikian juga prosedur-prosedur dari
masa yang berbeda-beda yang telah dibuat dengan
VOC masih berlaku dan akan terus dipatuhi .
Pada tahun 1675 VOC mendirikan posnya di Bima
sehingga sejak itu pula secara resmi VOC hadir di
Bima. Lokasi pemukiman orang-orang Belanda itu
disebut Kampung Walanda atau Kampung Benteng,
ditempat itu juga bermukim orang-orang Indo-
Eropa dan orang-orang Timur Asing (Vreemde
Oosterlingen). Secara administratif wilayah ini
sekarang termasuk Kelurahan Melayu, Kecamatan
Asa Kota, Bima. Di lokasi ini terdapat makam orang
Nasrani. Mungkin di dalamnya terdapat makam
orang-orang Belanda yang pernah bertugas di Bima,
12
J. Noorduyn, Bima en Soembawa, Bijdragen tot de Geschiedenis van de
Sultanaten Bima en Soembawa door A.Ligvoet en G.P. Rouffaer’, VKI., 129.
Foris Publicatins Dordrecht Holland/Providense-USA, 1987 : 125-130.

287
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

karena dalam penelitian lapangan ditemukan beberapa


inskripsi yang menggunakan bahasa Belanda,
sehingga dapat dipastikan bahwa yang dikubur adalah
orang Belanda. Menurut penjelasan Jasper. Kampung
Walanda terletak di tepi pantai, dikelilingi oleh
tembok dan laut, ditumbuhi pohon tamarin (asem),
kelapa, lontar, dan rumah-rumahnya berukuran kecil13.
Menurut sumber-sumber Kompeni yang kemudian
diacu oleh Zollinger, pada tahun 1687 VOC sudah
menempatkan Willem Eykmans sebagai fetor (agen
fetor), kemudian pada tahun 1689 digantikan oleh
Hendrick Steenkop sebagai residen dan Christian
Nootnagel sebagai residen Bima dari tahun 1692-
1695.14 Tetapi menurut Jasper, baru pada tahun 1701
Kompeni menempatkan perwakilan kekuasaannya
di Bima berpangkat koopman atau onderkoopman,
kemudian sebagai residen, gezagheber, controleur dan
civiele gezagheber.15
Pada tahun 1708 di Bima ditempatkan A. Brouwer
sebagai resident, menggantikan residen sebelumnya,

13
J. E. Jasper,”Het Eiland Soembawa en Zijn Bevolking”, TBB, 34, 1908
: 64.
J. Noorduyn, op.cit. : 58-59
14

J.E. Jaser, op.cit : 71, Ada perbedaan jumlah pejabat Kompeni (fetor)
15

yang dicatat oleh H. Zollinger dengan J.E. Jasper maupun yang tercatat
dalam Bo. Menurut Zollinger jumlah pejabat Kompeni dari 1687 sampai
1890 hanya 37, menurut Jasper 59 orang, sedangkan menurut sumber lokal
(Bo) ada 60 orang fetor, 13 di antaranya meninggal di Bima.

288
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

J.Happon. Namun pada tahun 1771 jabatan resident


digantikan dengan jabatan comandant sampai tahun
1805. Sejak tahun 1806 sampai dengan tahun1817
ketika Hindia Belanda di bawah jajahan Inggris, di
Bima ditempatkan Onderprefect, kemudian sejak tahun
1820 sampai tahun 1826 pemerintah Hindia Belanda
menempatkan assistant-resident dan sejak tahun 1827
sampai tahun 1863 ditempatkan gezagheber. Sejak
tahun 1863 sampai dengan tahun 1904 ditempatkan
pejabat yang berpangkat controleur, ambtenaar ter
beschikking, aspirant controleur, gezagheber, dan civiel
gezagheber secara bergantian.16 Penempatan atau
pergantian pejabat-pejabat kompeni dalam berbagai
jenjang kepangkatan atau jabatan, sudah tentu ada
kaitannya dengan status wilayah Kasultanan Bima
dalam sistem pemerintahan kolonial, sebagai residentie,
afdeeling dan onderafdeeling atau sebagai district.
Artinya bahwa ketika ditempatkan seorang pejabat
berpangkat residen maka status wilayah Kasultanan
Bima adalah residensi, ketika pejabatnya seorang
assistant resident maka statusnya adalah afdeeling, dan
ketika pejabatnya seorang controleur status wilayahnya
adalah onderafdeeling, demikian seterusnya. Jabatan-
jabatan tersebut hanya boleh dijabat oleh orang-orang
Eropa, tugasnya adalah mengawasi dan mengontrol

16
Ibid. : 73-74.

289
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

kinerja pemerintah Kesultanan yang secara langsung


berhubungan dengan rakyat. Setelah meletusnya
Gunung Tambora, tepatnya dari tahun 1820 sampai
dengan tahun 1827, Bima berstatus sebagai daerah
afdeeling, wilayahnya meliputi seluruh Pulau Sumbawa
yaitu landschap Sumbawa, landschap Bima, landschap
Dompu dan landschap Sanggar, di bawah Gouverneur
van Celebes en Onderhoorigheden yang berkedudukan
di Makassar. Namun sejak tahun 1910 Bima menjadi
bagian dari Residensi Timor en Onderhoorigheden
dengan pusat pemerintahan berada di Kupang.
Dalam kontrak tahun 1765 disebutkan pula bahwa
perjanjian itu dibuat dalam rangka persahabatan dan
persekutuan yang abadi, didasarkan atas ketulusan,
kepercayaan dan kejujuran. Sebagai konsekwensi
dari kontrak-kontrak itu, kerajaan-kerajaan di
pulau Sumbawa tidak boleh (dilarang) mengadakan
hubungan politik maupun dagang dengan daerah-
daerah lain, dengan bangsa Eropa lainnya atau dengan
seseorang kecuali dengan persetujuan dan izin VOC.
Meskipun demikian berkenaan dengan penempatan
residen di Bima, harus dengan persetujuan kerajaan
Bima dan sepengetahuan Gubernur VOC di Makasar
dan Dewan Hindia di Batavia.
Akibat lain dari perjanjian itu ialah semua
hubungan dengan orang-orang Makasar di daerah ini

290
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

harus diputuskan dan dihentikan. Bagi VOC orang-


orang Makasar adalah para pengacau dan penyulut
kekacauan karena hubungan Sumbawa dengan
Makasar telah berjalan lama. Pada tahun 1695 telah
terjadi pelarian orang-orang Makasar dalam jumlah
besar ke Manggarai. Bahkan perpindahan orang-orang
Makasar itu telah berlangsung sejak 1669, karena
setelah ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada
tahun 1667 dan Gowa dibawah proteksi Kompeni,
para bangsawan Makasar yang tidak senang kepada
Kompeni meninggalkan Gowa. Pada tahun 1701
orang-orang Makasar berhasil diusir dari Manggarai,
tetapi hubungan Bima dengan Makasar ternyata
tidak dapat diputuskan dengan cara-cara kekerasan
seperti itu, karena hubungan tersebut tidak semata-
mata bersifat politik dan ekonomi (dagang) tapi juga
hubungan keluarga melalui perkawinan antara elit
penguasa Bima dengan putri bangsawan Gowa.
Pada tahun 1759 orang-orang Makasar menyerang
Manggarai dan menduduki daerah itu. Tetapi mereka
tidak dapat bertahan lama karena pada tahun 1762
dengan bantuan VOC, Bima dapat menguasai kembali
daerah Manggarai. Usaha Gowa untuk menguasai
kembali Manggarai tetap dilakukan misalnya pada
tahun 1822 dengan cara menarik pajak, namun tidak
berhasil.

291
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Pasal 5 Perjanjan tahun 1765 menyebutkan bahwa


hanya VOC yang berhak berhubungan dengan semua
kerajaan di daerah itu (Sumbawa). Bangsa Eropa
selain Belanda tidak boleh berdagang di Bima, tidak
terkecuali orang-orang Moor, Jawa, Melayu, Aceh dan
Siam, terkecuali mendapat izin dan persetujuan dari
VOC. Jika hal itu tidak dipatuhi maka barang-barang
dagangan mereka akan dirampas dan raja-raja di
daerah itu (di pulau Sumbawa) harus membantu VOC
dalam kegiatan tersebut. Setiap kapal atau kapal-kapal
VOC yang kecelakaan terdampar di wilayah perairan
kerajaan-kerajaan di Sumbawa, maka raja bersama
rakyatnya harus membantu menyelamatkan kapal dan
mengamankan barang-barang milik Kompeni.
Dalam pasal 6 dinyatakan bahwa semua raja
di Sumbawa, juga orang-orang Eropa dan orang-
orang Indonesia lainnya tidak diperbolehkan untuk
mengangkut atau memindahkan segala sesuatu
yang berkaitan dengan hal ihwal perdagangan
(koopmanschappen) dari daerah itu atau membawa
dari dan keluar atau oleh orang-orang asing yang
berdiam di dekat daerah itu, kecuali mendapat izin
dari Kompeni. Khusus untuk kayu sapan (sapan hout),
penyu dan agar-agar, kompeni telah menetapkan
harga untuk setiap tahunnya. Pada waktu sebelumnya
barang-barang itu banyak yang dikirim ke Makasar,

292
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

maka diputuskan bahwa sejak itu tidak seorangpun


dapat membawa barang itu keluar dari Sumbawa.
Dalam pasal itu dijelaskan pula bahwa kerajaan-
kerajaan di Sumbawa tidak diperbolehkan menarik
pajak berkaitan dengan ekspor dan impor, karena hal
itu merupakan kewenangan Kompeni.
Dalam pasal 10 dinyatakan bahwa Kompeni akan
berkedudukan bebas di seluruh daerah (wilayah) untuk
membangun loji, termasuk juga dalam hal pemesanan
bahan-bahan bangunannya. Kepada penduduk
diharuskan mengumpulkan bata atau batu, atau raja-
raja menugaskan kepada rakyatnya untuk mengikis
gunung batu dan untuk keperluan pekerajaan itu
Kompeni akan membayar upah yang pantas.
Sebagai konsekwensi dari kontrak persahabatan
maka pasal 12 menyatakan bahwa musuh kerajaan
adalah juga musuh VOC, begitu juga sahabat kerajaan
merupakan sahabat VOC untuk itu keduanya harus
saling membantu. Untuk membatasi keleluasaan
kerajaan-kerajaan di Sumbawa, VOC menegaskan
sebagaimana terbaca pada pasal 13, melarang raja-
raja dari setiap daerah untuk mendirikan benteng
atau tempat-tempat pertahanan kecuali sepengetahuan
VOC. Dipihak lain nampaknya VOC bermaksud
menjadi pelindung kerajaan-kerajaan di Sumbawa
terhadap serangan musuh. Kompeni berjanji akan tetap

293
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

membantu dan melindungi terhadap semua paksaan


dan gangguan dari luar oleh kawanan bajak laut
orang-orang Indonesia. Apabila terjadi perselisihan
antara raja-raja di pulau Sumbawa yang dapat
mengarah kepada peperangan, Kompeni mengambil
resiko untuk berani bertindak sebagai penengah yang
menganjurkan agar kedua belah pihak membawa
perkara mereka kepada gubernur di Makasar dan
Dewan Hindia di Batavia yang mempunyai hak dan
wewenang untuk mendamaikan. Untuk memperoleh
keuntungan dan persaudaraan ditegaskan pula bahwa
serangan salah satu dari kerajaan (dari pihak-pihak
yang berselisih) sesudah aturan perdamaian tidak
diindahkan, maka raja yang lain menjadi hina.
Dalam pasal 19 disebutkan bahwa Alauddin,
alias Datu Jerewe Raja Sumbawa yang syah dengan
para pembesar kerajaan telah berhutang jasa kepada
Kompeni karena telah membangun Sumbawa dalam
mengatasi serangan yang terjadi di wilayahnya,
dengan mengirim ekspedisi untuk menghalau
orang-orang Bali dan para pemberontak. Untuk itu
Pangeran Taliwang akan membayar dengan uang,
kayu sapan atau dengan budak sesuai dengan apa yang
telah diungkapkan dalam pasal 12. Dalam pasal 20
ditegaskan bahwa untuk memperoleh ketenangan di
negaranya, Raja Dompu akan menetapkan saudaranya

294
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

sendiri, Abdul Kadir sebagai Tureli Huu (gelar


pembesar kerajaan Dompu) dan akan mengembalikan
semua yang muncul akibat kekacauan dalam wilayah
yang didudukinya sendiri. Dinyatakan pula bahwa
semua kejadian atau peristiwa yang dahulu telah
berlalu tidak akan diingat lagi, bahkan persahabatan
mereka akan terus ditegakkan. Namun suatu hal
yang dirasa agak aneh karena yang menandatangi
kontrak itu hanya dari pihak pemerintah Kompeni
saja, yaitu : Cornelis Sinkelaar, Es Beijnon, Jn. B.
Dela –Houtenmaisesn, Ms.Peters, Fk. Wm.Hk. van
Blijdenberg, Jn Hk. Voll, Aij Ravensberg, Jn. Cn.
Cruijpenning dan j. Bleeke, yang diundangkan dan
ditetapkan oleh Gubernur VOC di Makasar dan
sekretaris Js. Bleeke. Dari sisi ini ada kemungkinan
bahwa perjanjian tersebut hanya dipaksakan secara
sepihak oleh Kompeni.
Kontrak berikutnya ditandatangani pada 28
Desember 1731, isinya antara lain tentang pengakuan
Sultan Alaudin Mohammad Syah (sultan ke-6) sebagai
raja Bima oleh gubernur VOC di Makasar. Berikutnya
adalah kontrak yang ditandatangani pada 26 Mei 1792
merupakan perjanjian khusus antara VOC dengan
Sultan Bima. Dalam kontrak itu antara lain dimuat
pergantian Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah
(sultan ke-8) yang wafat pada tahun 1773, digantikan

295
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

oleh putranya bernama Abdul Hamid Muhammad


Syah Zilullah fil Alam. Umur sultan pengganti
(Abdul Hamid) baru 11 tahun sehingga dimohonkan
kepada Gubernur Jendral agar yang menjalankan
pemerintahan adalah Tureli Donggo. Untuk itu Tureli
Donggo pergi ke Makasar pada tahun 1774 untuk
meminta pengesahan dari Kompeni dan permintaan
itu dikabulkan. Baru 18 tahun kemudian, Sultan
Abdul Hamid sendiri berlayar ke Makasar untuk
mengangkat sumpah dihadapan gubernur Willem
Beth Dalam kontrak yang ditandatangani pada waktu
itu (Acte Beeediging van Koning van Bima) dinyatakan
bahwa pengangkatan Sultan Hamid Mohmmad Syah
dan sumpah setia kepada kompeni dilakukan dengan
meletakkan tangan di atas al-Qur’an dan meminun air
kerisnya sendiri17.
Dari isi kontrak atau perjanjian seperti
dipaparkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
penetrasi kekuasaan Kompeni berjalan secara
perlahan-lahan, tapi pasti. Kompeni tidak hanya
mendapatkan hak monopoli perdagangan, tetapi dalam
perkembangannya ikut campur menentukan suksesi
kerajaan dan meneguhkan sultan-sultan baru. Sebagai
contoh, Sultan Alauddin Mohammad Syah (sultan
ke-6) yang harus mendapatkan surat pengakuan dari

17
Henri Chamber-Loir, 1982, op.cit : 47

296
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

gubernur VOC di Makasar. Demikian juga Sultan


Abdul Hamid Muhammad Syah (sultan ke-9) dilantik
di Makasar oleh Gubernur VOC. Bahkan Kompeni
memakzulkan sultan seperti yang terjadi terhadap
sultan ke-7, Sultanah Kamalat Syah (1748-1751)
karena kawin dengan Karaeng Kandjilo, seorang
bangsawan Makasar tanpa seizin Kompeni.
Di samping itu kontrak tersebut memperkuat
isi kontrak yang telah dibuat antara kedua belah
pihak pada tahun 1765. Lebih dari itu sultan juga
bersedia dan akan mematuhi jika ada hal-hal yang
akan ditambahkan atau dikurangi dalam isi perjanjan
terdahulu18. Dalam pasal 1 perjanjian (Tractaat) tahun
1857 antara perintah Hindia Belanda dengan Bima
disebutkan bahwa sultan dan para pembesar kerajaan
Bima menyatakan untuk dirinya sendiri serta anak
keturunannya, bahwa Bima dan daerah jajahannya
adalah bagian dari Nederland-Indie (een gedeelte uitmaakt
van Nederlandsch Indie) dan selanjutnya ditempatkan
dibawah kekuasaan Negeri Belanda (en gevolgelijk
geplat is onder opperheerschappij van Nederland).
Demikian juga penyataan (verklaring) Sultan
Abdullah, Sultan Bima ke-11, yang menyatakan bahwa
Pemerintah Hindia Belanda adalah sebagai pelindung

18
Henri Chamber-Loir, Naskah dan Dokumen Nusantara III, Syair
Kerajaan Bima. EFEO, Jakarta-Bandung, 1982 : 215-216.

297
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

kami (Het Nederlandsch –Indisch Gouvernement als


mijnen opperheer). Dengan demikian dari paparan di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun secara
de facto Kesultanan Bima masih ada (eksis) karena
pemerintahan masih berjalan (zelfbestuur), tetapi
secara de jure sesungguhnya sudah berada atau tunduk
dibawah kekuasaan pemerintah kolonial, mereka diikat
secara ketat melalui kontrak-kontrak yang dibuat
antara kedua belah pihak maupun secara sepihak yang
dipaksakan oleh Kompeni.

B. Pengaruh Budaya Kolonial


Kalau dihitung sejak penempatan Willem Eykman
menjadi fetor di Bima pada tahun 1687 (menurut
Zollinger) sampai dengan penempatan Ch.S.A.Muller
sebagai civil gezaghebar pada tahun 1904,19 maka
secara de facto kehadiran Kompeni Belanda di Bima
berlangsung hampir 2,5 abad. Waktu yang cukup
panjang itu sempat disela oleh pemerintahan Inggris
dengan menempatkan pejabatnya sebagai onderprefect
dari tahun 1806 sampai tahun 1818. Orang-orang
Eropa yang bermukim di Bima, baik sebagai pejabat
Kompeni, maupun sebagai pedagang atau sebagai
misionaris sudah pasti melanjutkan kebiasaan dan
tradisi budaya nenek moyangnya di tempat yang
19
J.E.Jasper, op., cit. : 73-74.

298
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

baru (Bima). Dalam berinteraksi dengan masyarakat


sekitarnya telah terjadi proses saling menyerap
unsur-unsur kebudayaan masing-masing atau
terjadi percampuran antar kedua budaya sehingga
terbentuk budaya baru, dimana unsur-unsur budaya
pembentuknya dapat dilacak kembali. Oleh karena itu
kehadiran orang-orang Eropa di Bima dapat dipastikan
meninggalkan jejaknya dan memiliki dampak serta
pengaruh positif maupun negatif terhadap kehidupan
masyarakat Bima, di bidang politik, ekonomi maupun
sosial budaya.
Di bidang politik orang-orang Eropa dalam hal
ini pemerintah Kompeni Belanda memperkenalkan
suatu sistem birokrasi modern, meskipun birokrasi
tradisional tetap berjalan, seperti halnya di daerah-
daerah lainnya di Indonesia. Meskipun dalam kontrak-
kontrak perjanjian yang dibuat, Bima dipandang oleh
Kompeni sebagai daerah yang menjadi sekutu/mitra
gubernemen (bandgenootschappelijk handen), tetapi
lama kelamaan pengaruh Kompeni semakin terasa.
Dalam bidang politik dan pemerintahan, Kompeni
pada akhirnya turut campur dalam pemerintahan,
sehingga birokrasi tradisional yang dijalankan oleh
kesultanan tidak sesuai atau tidak berjalan dengan
baik sesuai dengan sistem yang ada. Meskipun
jabatan sultan turun temurun, namun ketika pengaruh

299
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

kekuasaan Kompeni semakin kuat maka Kompeni


ikut campur dalam pergantian sultan. Selain harus
mendapatkan persetujuan kompeni, sultan dilantik
dan disumpah oleh Gubernur VOC di Makasar. yang
sebelumnya tidak pernah terjadi. Jadi ada dua kali
pelantikan dan penyumpahan sultan, secara adat tanah
Mbojo yang dilaksanakan di Bima lalu kemudian di
syahkan oleh pemerintah Kompeni di Makasar.
Di bidang pemerintahan, kompeni memperkenalkan
jabatan-jabatan baru dalam birokrasi modern seperti
residen20, assisten residen, controleur, aspirant controleur,
gezagheber dan lain-lainnya, meskipun jabatan-jabatan
tersebut hanya boleh dijabat oleh orang-orang Eropa.
Tugas utamanya adalah mengawasi dan mengontrol
kinerja birokrasi tradisional (pemerintahan kesultanan)
yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Bahkan setelah Indonesia merdeka jabataan
residen ini masih dipertahankan, meskipun dalam
perkembangannya kemudian berganti nama menjadi
Pembantu Gubernur.
Di Bidang sosial budaya pengaruh budaya
kolonial nampak dengan kehadiran Agama Nasrani di
Bima. Apakah sebelum penempatan pejabat Kompeni
tahun 1687 sudah ada misionaris yang datang dan

Jabatan Residen tetap dipakai setelah Indonesia merdeka, wilayah


20

kekuasaannya disebut Karesidenan. Dalam perkembangan selanjutnya


jabatan Residen berganti nama menjadi Pembantu Gubernur.

300
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

bermukim di Bima untuk menyebarkan Agama


Nasrani perlu dikaji lebih mendalam. Dalam sejarah
agama di Indonesia, Kristen Protestan terutama Ordo
Calvinis dibawa oleh orang-orang Belanda, sedangkan
agama Katolik dibawa oleh orang-orang Portugis.
Orang Portugis terkenal dengan sembonyanya, gold,
glorious dan gospel. Mereka datang di Indonesia tidak
semata-mata untuk berdagang dan mencari kekusaan,
tetapi lebih dari itu untuk menegakkan salib (Agama
Katolik). Berdasarkan arsip Portugis yang tersimpan
di Goa, J. Noorduyn menyatakan bahwa pada bulan
Desember 1616 ada dua pendeta Jesuit, Manuel
Azevedo dan Manuel Ferreira berlayar menuju
Makasar dan tiba disana pada 4 Januari 1617. Mereka
ke Makasar untuk memberikan pelayanan keagamaan
kepada sekitar 120 orang Nasrani Portugis setempat.
Namun setelah mereka melihat tidak ada prospek
untuk penyiaran agama Nasarani di Makasar, mereka
memutuskan untuk pergi ke Bima sebagai tujuan
akhir. Ferreira mula-mula pergi ke Solor, tetapi ketika
kembali ke Malaka, dia lupa singgah di Bima untuk
mengumpulkan informasi berkenaan dengan negeri
itu. Lima bulan kemudian dia kembali ke Makasar
dan mendapatkan Azevedo sedang sakit. Manuel
Ferrierea kemudian berangkat sendiri Bima. Setelah
sampai di Bima dia beraudiensi dengan raja Bima
yang waktu itu belum memeluk agama Islam. Dalam

301
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

pertemuannya dengan raja, melalui penerjemahnya ia


menjelaskan maksud kedatangannya di Bima sebagai
utusan Penguasa Surga (King of Heaven) untuk
menjelaskan dan menyebarkan Hukum-Hukum Tuhan
(baca :Agama Nasrani). Raja Bima tidak menaruh
perhatian terhadap semua penjelasan itu, bahkan
mengalihkan pandangan atas kehadirannya. Setelah
usahanya mendapatkan izin raja untuk menanamkan
iman Kristiani di Bima tidak berhasil, maka pendeta
tersebut meninggalkan Bima kembali ke Malaka
dengan kapal Portugis.21 Dengan demikian dari arsip
Portugis dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum
kehadiran orang Belanda di Bima yang membawa
Agama Kristen Calvinis, sudah ada upaya pengiriman
misionaris Portugis dari pangkalannya di Malaka
untuk menyebarkan Agama Katolik tetapi tidak
mendapat persetujuan dari raja Bima.
Dalam statistik Kabupaten Bima tahun 1981
tercatat bahwa di Bima terdapat 5 buah gereja,
sedangkan di Kampung Benteng, Kelurahan Melayu,
Kecamatan Asa Kota terdapat pemakaman khusus
untuk orang-orang Nasrani. Meskipun makam-makam
di dalam komplek pemakaman itu pada umumnya
berasal dari abad ke-20, tidak tertutup kemungkinan
di tempat itu juga dimakamkan para pejabat Kompeni

21
J. Noorduyn, op. cit : 336.

302
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

(VOC maupun Hindia Belanda), yang pernah bertugas


di Bima. Asumsi ini didasarkan pada berbagai alasan.
Pertama, menurut cacatan Bo22, dari 60 fetor Belanda
yang pernah bertugas di Bima, 13 di antaranya
meninggal di Bima. Kedua, keberadaan makam
Nasrani itu seringkali disebut-sebut oleh para musafir
terdahulu yang datang ke Bima. Ketiga, tidak semua
makam memuat angka tahun dan ditemukan sejumlah
inskripsi pada beberapa makam dalam bahasa Belanda.

Gambar 32. Kompleks Makam Kristen di Bima


Sumber: Foto Retno Kartini

Selain itu dari segi arkeologis ada sejumlah


makam di situs Makam Kampung Tanjung itu yang
memperlihatkan ciri-ciri makam tua, misalnya makam
Diederik Cornelis Johannes, meninggal pada usia 64

22
Fotocopy ada pada penulis

303
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

tahun. Makam ini layaknya seperti tugu, terbuat dari


bata yang diplaster dengan campuran pasir dan kapur,
mengingatkan kita pada makam orang-orang Inggris
di dalam benteng Marlborough, Bengkulu dari abad
ke 18.
Jejak pengaruh budaya kolonial dapat juga
dilacak dari data toponim. Setelah menyebrangi
Kali Bageroso ke arah utara dari pasar, kita akan
memasuki Kelurahan Melayu. Di wilayah ini ada
tiga tempat (situs) yang sering disebut-sebut para
musafir terdahulu yaitu Kampung Benteng, kemudian
di sebelah timurnya adalah Kampung Walanda
dan yang terakhir adalah makam Nasrani. Nama
Kampung Benteng mungkin karena di tempat itu
dahulu ada benteng (fort) Belanda), sedangkan nama
Kampung Walanda mengingatkan pada pemukiman
orang-orang Belanda, termasuk di dalamnya orang-
orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen). Meskipun
berlokasi dalam Kasultanan Bima, perkampungan ini
diatur dan berada dibawah pengawasan pemerintah
Kompeni. Di sebelah barat daya Kampung Walanda
di dekat pantai berdiri benteng (Port) Belanda.23
Benteng ini dilengkapi dengan kubu (bastion) serta
parit di sisi timur, Zollinger yang berkunjung tahun

23
Chambert-loir, “ State, City, Commerce : The Case of Bima”,
Indonesia, 57 (April 1994 :72-74

304
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

1847 mencatat bahwa benteng itu dipersenjatai 8


pucuk meriam, dua di antaranya milik Kompeni dalam
kondisi baik, sedangkan yang lainnya milik sultan
dalam keadaan rusak24.
Setiap pelancong melaporkan bahwa benteng itu
tidak begitu penting dari segi pertahanan. Pada tahun
1880, Colfs melaporkan bahwa di dalam benteng itu
ada seorang sersan Belanda, seorang kopral Belanda
dan 15 serdadu pribumi. Tetapi 15 tahun kemudian
(1895) Asselbergs melaporkan bahwa di dalam
benteng hanya ada dua orang Jerman (tanpa disebut
pangkatnya) dan 100 serdadu (tentara) pribumi.
Benteng ini seperti halnya rumah tinggal para
perwakilan Gubernemen (residen atau gezagheber)
meskipun berada di dalam territorial gubernemen
(government terrrtority) tetapi situasinya sangat tidak
menyenangkan (uncomfortably) karena berdekatan
dengan rawa (swampy) di ujung pelabuhan. Ketika
kapal-kapal uap (steamship) sering mengunjungi dan
berlabuh di Teluk Bima, pemerintah Hindia Belanda
membangun gudang (bunker) tempat penyimpanan
batu bara di Pulau Kambing di teluk Bima berhadapan
dengan kota Bima.25

24
Zollinger, H., op.cit. : 98, Chamber-Loir, op., cit.,;76
25
Ibid. : 79

305
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Pada sisi lain pintu masuk ke Teluk Bima


adalah tempat yang strategis untuk menempatkan
dan membangun benteng karena Pegunungan
Soromandi di sebelah barat menjorok ke laut
sehingga membentuk celah. Pada kedua sisi celah
itu (sisi barat dan timur) dahulu pernah berdiri dua
benteng kecil sebagaimana terlihat pada gambar
sketsa Teluk Bima (Schetsa der Bay van Bima) koleksi
Rijkskarchief (Collection Algemeen Rijskarchief, the
Hague, doc. MIKO 548). Dalam sketsa itu benteng di
sebelah barat diberi label Noord Port (Benteng Utara)
dan benteng di sebelah timur dengan label Zuid Port
(Benteng Selatan). Fungsi benteng tersebut diduga
untuk mengontrol celah (pintu masuk) ke Teluk Bima.
Benteng yang pertama di sebelah barat teluk berdenah
segi empat dan berukuran 150 X 80 M dengan bastion-
bastion pada keempat sudut-sudutnya, tinggi dinding
sekitar 6 kaki. Di sebelah selatan benteng ini, berdiri
benteng kedua yang berukuran 95 x 60 M. dibangun
di sebelah timur garis pantai teluk. Berbeda dengan
benteng pertama, benteng kedua ini hanya memiliki
tiga buah bastion sudut. Keduanya dipersenjatai
dengan sejumlah meriam (canon). Para pelancong
yang pernah datang ke Bima mencatat bahwa dari segi
pertahanan militer keberadaan benteng tersebut tidak
signifikan, beberapa pucuk meriam arteleri yang ada

306
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

hanya cukup untuk melindungi akses ke Teluk Bima26.


Menurut catatan Rouffaer yang datang di Bima pada
tahun 1910, kedua benteng tersebut berasal dari masa
Kompeni, pembangunannya sekitar tahun 185027.
Meskipun sekarang sudah hancur sama sekali,
namun sisa-sisa reruntuhan kedua benteng itu
masih terlihat, tetapi meriam-meriamnya telah di
dipindahkan ke kota Bima. Menurut istilah lokal
kedua benteng tersebut dikenal sebagai Asa Kota yang
berarti “ mulut atau pintu kota “ atau di dalam Kamus
Karim Sahidu didefinisikan sebagai, benteng, Teluk
Bima (the port, the bay of Bima). Di samping makam
Nasrani (kolonial) dan benteng, di Bima maupun di
Raba masih ada sejumlah bangunan masa kolonial atau
bergaya kolonial, misalnya bekas bangunan kantor
telkom di Taman Kota Raba. Bangunan itu berdenah
segi enam (eksagonal), di atas jendela pada keenan
sisinya terdapat tympanon setengah lingkaran sebagai
salah satu ciri bangunan kolonial di Indonesia.

26
Henri Chamber-loir, op.cit : 79
27
J. Noorduyn, op.cit: 104.

307
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Gambar 34. Kantor Sentral Telepon, Bangunan Tua


Peninggalan Kolonial Belanda
Sumber : Foto Edi Junaidin Dikbud Kota Bima

Istana Sultan Bima yang terakhir (Asi Mbojo


atau Asi Wadu) yang sudah dialihfungsikan sebagai
museum, jelas sekali memperlihatkan perpaduan
(akulturasi) antara bangunan gaya lokal dengan
gaya kolonial. Sesuai dengan namanya, Asi Wadu,
bangunan ini terbuat dari batu, berbeda dengan
bangunan istana sebelumnya dari kayu. Ciri lokalnya
antara lain terlihat pada motif hiasnya baik yang
fungsional maupun yang struktural antara lain hiasan
tanduk rusa pada ujung atap pelana dan hiasan lebah
bergantung pada atap, sedangkan gaya kolonialnya
nampak pada struktur dan konstruksi bangunannya
yang modern, terbuat dari bata/beton. Selain itu
pengaruh bangunan kolonial nampak pada pintu-

308
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

pintu dan jendela-jendela yang tinggi dan lebar.


Demikian pula dengan tembok dinding-dinding
ruangan dan posisi plafon yang tinggi. Dalam
bangunan kolonial, pintu dan jendela yang tinggi dan
lebar dapat memperlancar sirkulasi udara dari dalam
ke luar ruangan atau sebaliknya sehingga suasana
(udara) di dalam ruangan menjadi lebih nyaman.
Demikian juga halnya dengan posisi plafon yang
dibuat tinggi. Pintu dan jendela yang dibuat tinggi
dan lebar pada rumah-rumah atau bangunan kolonial
bukan dibawa dari negeri asalnya (Eropa) melainkan
sebagai bentuk/wujud adaptasi (penyesuaian) dengan
iklim tropis. Keberadaan penampil-penampil yang
menjorok pada sisi utara, selatan dan barat, pada
bangunan Asi Mbojo mengingatkan kita pada canopy
yang sering ditemukan pada bangunan bergaya
kolonial. Pembagian, ukuran dan posisi ruangan
istana Asi Mbojo, baik di lantai bawah maupun di
lantai atas dan adanya koridor di sekeliling ruangan
mengingatkan kita pada hal yang sama pada rumah-
rumah Belanda.
Adanya tempelan batu-batu andesit di sisi luar
tembok bangunan istana yang diikat dengan lepa
mengingatkan kita pada rumah-rumah di Menteng
atau ditempat lain yang dibangun pada akhir abad
ke-19 sampai pertengahan abad ke-20. Pemasangan
bongkah batu-batu andesit tersebut dimaksudkan

309
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

untuk meredam panar sinar matahari. Demikian juga


keberadaan kamar kecil di dalam rumah (istana) jelas
merupakan unsur budaya Eropa. Pada bangunan
rumah tradisional tidak pernah ditemukan WC atau
kamar mandi, bahkan di sejumlah kampung di Jawa
Barat/Banten masih ada anggapan menempatkan WC
di dalam rumah termasuk pamali atau tabu (dilarang)
karena kotor.
Pengaruh lain dibidang sosial budaya ialah
dibangunnya sekolah dan diperkenalkannya sistem
pendidikan modern dengan sistem kurikulum dan
klasikal, terutama dengan diberlakukannya politik
Etis (Etika), setelah berakhirnya Tanan Paksa
(Cultuur Stelsel). Pemerintah Kompeni membangun
Sekolah Desa (Volksschool) dengan lama belajar 3 tahun
(klas1 sd klas III) dan sekolah Rakyat (Vervolksschool)
yang merupakan lanjutan Volksschool dengan lama
belajar 2 tahun (klas IV s/d klas V), guru-guru dari
sekolah ini berasal dari tamatan Normaale School (NS).
Paling tidak di setiap ibukota Karesidenan, Afdeeling
atau Onderafdeeling pemerintah Hindia Belanda
membangun sebuah sekolah setingkat SMP.(MULO,
HIS). Oleh karena itu selain dibangunanya Volksschool
dan Vervolksschool, di Bima didirikan sekolah setingkat
SMP, yaitu Hollandsche Indische School (HIS), sekolah
pribumi yang menggunakan bahasa Belanda sebagai

310
Kasultanan Bima dan Pemerintah Kolonial

bahasa pengantar, Karena menggunakan bahasa


Belanda maka guru-gurunya kebanyakan orang
Belanda. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, selain di
kota Bima , HIS didirikan di Mataram Lombok.
Keberadaan pengaruh budaya kolonial dapat dilihat
di bidang teknologi persenjataan terutama dengan
keberadaan meriam-meriam tua dihalaman istana Asi
Mbojo., meskipun masih perlu diteliti apakah meriam-
merian tersebut meriam Belanda, Portugis atau buatan
lokal28. Kesultanan Bima diberitakan banyak membeli
meriam dari orang-orang Portugis dan orang-orang
Bajo. Ada kemungkinan meriam-meriam ini berasal
dari benteng Belanda di dekat Kampung Walanda
atau dari benteng Asa Kota seperti yang dipaparkan
di atas. Sebelum ditempatkan di halaman istana
meriam-meriam itu duhulu ditempatkan di alun-
alun.29 Menurut foto lama koleksi KITLV di Leiden,
di alun-alun kota Bima, di depan istana dipasang
sejumlah meriam VOC, empat di antaranya dari

28
Tidak tertutup kemungkin bahwa orang Bima sudah bisa membuat
(menempa) meriam dengan meniru meriam buatan Portugis atau Belanda.
Dalam masyarakat Bima dikenal kelompok masyarakat berdasarkan
keturunan (marga) dengan profesi tertentu yang disebut dari, misalnya:
dari Bedi (pengurus benteng dan meriam), dari Cendawa (tukang obat dan
obat mesiu), dari Ndede Besi (Pande Besi) dari Ndede Masa (tukang emas)
dan dari Owa (Pande Kuningan)
29
Henri- Chamber-Loir, op.cit ; 75, foto fig. 4 menggambarkan situasi
istana Bima permulaan abad ke-20, terlihat sederetan meriam sepanjang
tepi alun-alun .

311
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

perunggu dan tiga di antaranya memuat inskripsi dan


angka tahun.30 Di loteng pintu gerbang sebelah barat
(Lare-Lare), pernah ditempatkan (tergantung) sebuah
lonceng, yang dibunyikan sebagai tanda bahaya dan
tanda waktu. Pada lonceng tersebut terdapat tulisan
(inskripsi) huruf Latin berbunyi “ N. GREVE MF.
ANNO 1735 “ Menurut hemat penulis bunyi lonceng
sebagai penanda bahaya dan tanda waktu merupakan
pengaruh budaya barat (kolonial). Dalam budaya lokal
yang dipergunakan adalah kulkul, kentongan atau
bedug. Dalam sumber lokal dinyatakan bahwa ketika
Sultan Ismail (Sultan ke-12) selesai dinobatkan dan
kemudian diusung pulang ke istana dan diarak dengan
gembira oleh rakyat banyak dihormati dengan bunyi
meriam dari benteng Belanda.31

30
Inskrisi tersebut berbunyi :1) “Me fecit I.Oudergge, Roterodame 1683”,
2).”Me fecit Michael, Everhard, Middelburg, Zeeland …..”, 3) Me fecit, c.:
en I. Seest, Amstelodam Anno 1788”, 4).(Periksa : J. Noorduyn, 1987 :op,
cit : 104)
31
Henri Chamber-Loir, op.cit. 1982 :41.

312
Bab VI
Penutup

313
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

M
embicarakan Bima dan kerajaannya tentu tidak
lepas dari berbagai fase, fase awal dimulai pada
era Bima sebelum Islam, yaitu masa Hindu-Budha.
Masa pra sejarah bisa direkonstruksi dari tradisi lisan
maupun catatan dari BO, dan juga bukti artefaktualnya
yang nyaris tak dijumpai, kecuali penemuan Sarkopagus
di komplek lesung batu di Rora, nekara di pulau Sangiang
dan menhir di Donggo. Temuan-temuan tersebut
membuktikan adanya kehidupan prasejarah di Bima,
dan juga menunjukkan adanya kehidupan prasejarah
di Bima dan juga menunjukan adanya interaksi Bima
dengan dunia luar karena ditemukannya nekara yang
diperkirakan bukan buatan asli tanah Bima.
Pada masa ini Bima dipimpin oleh para kepala
suku yang disebut dengan Ncuhi. Masa prasejarah
dengan para Ncuhinya ini kikis seiring datangnya
masa kepemimpinan “ Sang Bima” yang bercorak
keHinduan, tokoh legendaris ini memunculkan banyak
diksi dalam perbincangan sejarah Bima. Apakah
merupakan sosok legenda atau tokoh dari Majapahit
yang melakukan ekspansi politik dan budaya di
Bima. Pada masa pra Islam ini model kerajaan
mulai dikenal di Bima dengan raja yang disebut
dengan “Sangaji” yang terdiri dari para keturunan
Sang Bima. Data tertulis dan artefaktual banyak di
jumpai merekonstruksikan masa Hindu-Budha ini.

314
Penutup

Misalnya catatan perjalanan dari Cina, Kutipan dari


Nagarakertagama, kidung, pamancangah dan toponim
ataupun situs yang menampakkan adanya pengaruh
dari kedua, agama tersebut. Tinggalan situs yang
masih dapat dijumpai antara lain situs wadu Tunti dan
situs wadu pa’a. Berbagai data tertulis, situs maupun
warisan budaya lainnya ini menunjukan adanya
pengaruh kuat Hindu-Budha di Bima yang berasal dari
Jawa dan Bali. Fase Hindu-Budha ini mengisi sejarah
Bima dengan kerajaan-kerajaannya di mana kerajaan
terakhir dipimpin oleh “La Kai”yang kelak setelah
masuk Islam dan merubah namanya majadi Sultan
Abdul Kahir, sejak saat itulah fase Islam mewarnai
sejarah Bima dengan periodesasi masa kesultanannya.
Masa kesultanan Bima dalam kurun waktu 311
tahun, yaitu sejak tahun 1640-1951 diperintah oleh 14
orang sultan. Pertama, Sultan Abdul Kahir (1611-1640
M); kedua, Sultan Abil Khair Sirajuddin (1640-1682
M) Ketiga, Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah (1682-
1687 M), keempat, Sultan Jamaluddin Ali Syah (1687-
1696 M), Kelima, Sultan Hasanuddin Muhammad Syah
(1696-1731 M), Keenam, Sultan Alauddin Muhammad
Syah (1731-1748 M), Ketujuh, Sultanah Kamalat
Syah, (1748-1750) Kedelapan, Sultan Abdul Kadim
Muhammad Syah Zilullah fil Alam (1751 - 1773 M),
Kesembilan, Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah

315
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Zilullah fil Alam (1773-1817 M), Kesepuluh, Sultan


Ismail Muhammad Syah (1817 -1854), Kesebelas, Sultan
Abdullah (1854-1868 M) Keduabelas, Sulltan Abdul
Aziz (1868 - 1881 M), Ketigabelas, Sultan Ibrahim
(1881-1915 M), Keempatbelas sekaligus sultan definitif
terakhir adalah Sultan Muhammad Salahuddin (1915-
1951 M), setelahnya sultan yang diangkat adalah
sultan pasca pembubaran swapraja di Bima, sultan
ini adalah secara administrasi tidak lagi berkuasa dan
memiliki perangkat pemerintahan selayaknya sultan-
sultan sebelumnya. Kedudukan sultan dihidupkan lagi
untuk fungsi pelestarian budaya semata. Kedua sultan
yang diangkat tersebut adalah Sultan Abdul Kahir II
(1999-2001) dan sultan Fery Zulkarnain, ST yang
sekaligus menjabat sebagai Bupati Bima, setelah Sultan
Fery mangkat, lembaga adat Bima belum menunjuk
pewaris yang akan menggantungkan kedudukannya.
Sebagai sebuah kesultanan, pengaruh Islam
tentunya sangat mewarnai sistem pemerintahan dan
birokrasinya. Pengaruh dalam sistim birokrasi nampak
dari perintah sultan untuk menyesuaikan hukum
adat yang telah lama berlaku dengan hukum Islam,
membentuk majelis syara, pemberlakuan syariat Islam
di seluruh aspek kehidupan, menyalin BO Sangaji
Kai dalam huruf Jawi (Arab-Melayu) dan perintah
merayakan hari besar Islam tiap tahunnya. Pengaruh

316
Penutup

Islam juga nampak dalam kehidupan sosial budaya


di Bima misalnya dalam corak pendidikan seni dan
budaya serta tradisi daur hidup yang bernafaskan
Islam. Dalam menjalankan roda pemerintahan,
kesultanan Bima didukung oleh 4 strata sosial di
masyarakatnya, yaitu Ruma (keturunan sultan) Rato
(keturunan perdana menteri sampai camat atau Jeneli),
uba (keturunan kepala desa atau gelarang), dan ama
(rakyat jelata) yang masing-masing menjalankan
fungsinya sesuai tingkatan sosialnya. Ketika pengaruh
Islam mewarnai kesultanan Bima maka posisi sultan
dianggap sebagai wakil Tuhan, di mana dalam
menjalankan tugasnya ia didampingi oleh seorang
wazir (perdana menteri) yang mengepalai mejelis
syara.
Kesultanan Bima memiliki wilayah kekuasaan
yang cukup luas. Sampai abad ke-19, wilayahnya
melingkup bagian timur pulau Sumbawa, flores Barat
(Manggarai) dan pulau-pulau kecil di selat alas yang
berjumlah sekitar 66 buah pulau. Wilayah tersebut
terbelah menjadi beberapa distrik, yaitu Belo, Bolo,
Sape, Reo dan Pota. Wilayah tersebut kemudian
bertambah dengan daerah Dompu dan Sanggar.
Namun dalam perkembangannya, wilayah Manggarai
dan pulau-pulau kecil di sekitarnya kemudian lepas
dari kekuasaan kesultanan Bima.

317
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Masa kejayaan kesultanan Bima memudar seiring


dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya antara
kesultanan Gowa dengan VOC, perjanjian tersebut
juga membatasi kesultanan Bima terutama terkait
dengan monopoli perdagangan oleh VOC ataupun
pembatasan hubungan Bima dengan raja-raja Makasar
yang selama ini turut menyokong kemajuan kesultanan
Bima. Campur tangan VOC sampai merambah ke
suksesi dan pengesahan sultan di Bima. Pengaruh
VOC yang sudah memasuki ranah birokrasi ini tentu
melemahkan eksistensi kesultanan Bima dengan terus
lahirnya penandatanganan kontrak-kontrak baru yang
cenderung melemahkan posisi kesultanan Bima baik di
sisi birokrasi, perdagangan, maupun keluasan menjalin
hubungan dengan kerajaan lain. Sejak penetrasi VOC
kian menguat di wilayah kesultanan Bima, maka
pengaruh bangsa ini terus meluas tak hanya di bidang
birokrasi, diplomasi dan perekonomian. Pengaruh
lainnya nampak dalam model penyelenggaraan
pendidikan modern ala Barat juga mulai dikenalkan
di Bima, masuknya agama nasrani, jejak bangunan
gaya Eropa terknologi persenjataan, sampai dengan
toponim.

318
Daftar Pustaka
Abdullah, Messir Q., Bo (Suatu Himpunan Kuno Daerah
Bima). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Proyek Pengembangan Museum Nusa Tenggara
Barat, 1981/1982
Aliudin Mahyudin, Surat-surat dan Catatan Harian
Dari Kerajaan Bima. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan
Buku sastra Indonesia dan Daerah, 1983.
Anonim, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Pusat
Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978.

319
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Ayu Mas Ratnawati, I.Gst.Ag., “Sistem Kepercayaan


Masyarakat Mbojo di Desa Rato”, Seri Penerbitan
Forum Arkeologi, No: 1, September 1993: 54-58.
Bambang Budi Utomo, Kalimantan Barat Dan
Sumbawa Dalam Perspektif Arkeologi Dan Sejarah.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi Nasional, Badan Pengembangan
Sumber Daya Kebudayaan Dan Pariwisata,
Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata, 2007.
Bernet Kempers,A.J., Ancient Indonesian Art.C.P.J.Van
Der Peet Amsterdam, MCMLIX.
Bintarti, D.D. “Sistem Penguburan dan Tradisi
Prasejarah di Kabupaten Bima dan Dompu”Dalam :
Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (EHPA), 1985:
9-13.
Bouman M.A., “Toeharlanti : De Bimaneesche
Sultansverhefing”, Kolonial Tijdschrift, 14, 1925 :
710-717.
Braam Morris, D.F. van, “Nota van Tolichting
Behoorende bij het Contract gesloten met het
landschap Bima op de 20 sten October , aan de
Regeering ingediend door den Gouverneur van Celebes
en Onderhoorigheden,” Tijdschrift Bataviaasch
Genootschap, XXXV, 1890 : 176-233.12). Chamber-
Loir, Henri, (penyunting), Naskah Dan Dokumen
Nusantara III, Syair Kerajaan Bima. Jakarta-
Bandung : Lembaga Penelitian Perancis Untuk
Timur Jauh, 1982.
Burger, D.H., Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia.
Jakarta; PN.Prajna Paramita, d/h Wolter, 1960.

320
Daftar Pustaka

Casparis, J,G, de, “Some Notes on Ancient Bima,”


Archipel 56 (vol. I), 1998 : 465-468.
Chambert-Loir, Henri (Penyunting),Nasakah Dan
Dokumen Nusantara III, Syair Kerajaan Bima.
Lembaga Penelitian Perancis Untuk Timur Jauh .
Jakarta-Bandung, 1982
---------------------------,”Sumber Melayu Tentang
Sejarah Bima”,dalam : Citra Masyarakat Indonesia,
Archipel-Sinar Harapan, 1983: 41-55.
---------------------------,”Review of Abdullah
1981/1982”, Archipel 28, 1984 : 229-239.
--------------------------(Penyunting), Cerita Asal
Bangsa Jin Dan Segala Dewa-Dewa. Bandung
: Penerbit Angkasa & Ecole Francaise D’
Extrieme-Orient, 1985.
--------------------------, Kerajaan Bima dalam Sastra dan
Sejarah. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia,
Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2004.
--------------------------dan Siti Maryam R. Salahuddin,
BO’ Sangaji Kai, Catatan Kerajaan Bima. Jakarta:
Ecole francaise d’Extreme-Orient, Yayasaan Obor
Indonesia, 1999.
Cortesao, Armando, The Suma Oriental of Tome
Pires: An Account of the East from Read Sea to
Java, written in Malacca and India in 1511-1644,
Translated from Portugese MS. in the Bibliotique
de la chmber des deputtes Paris and Edited
by Armando Cortesao. London : The Hakluyt
Society, 1944.

321
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Daeng Paturu, Abdul Razak, Sejarah Goa. Ujung


Pandan; Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan,
1959.
Damste, H.T., “Islam En Sirihpoean te Bima
(Sooembawa) Atjecche Invloeden”, BKI, deel 100.
1941 : 57-70.
Fadhilah Ali, Mohammad, Simbol Genetalia pada
Makam Bugis Makasar dan Persamaannya di Asia
Tenggara; Suatu kajian Tipologi Nisan Kubur.
PIA.V. Jakarta IAAI, 1989 : 107-134.
Fachrir Rahman, H.M., Sejarah Kesultanan Bima.
Mataram : Alamtara Institute, 2014.
Hall, Kenneth R., Maritime Trade and State
Development in Early Souteast Asia. Honolulu :
University of Hawai Press, 1985.
Hamzah, S. “Mahkota Terkungkung di Dalam Brankas
Pemda”. Balipost 25 September 1989.
---------------,”Asi Mbojo “ yang Kesepian”, Balipost 26
September 1989.
---------------,”Menilai Kembali Jatidiri”, Balipost 27
September 1989.
Haris, Tawalinuddin,Naskah Studi Kelayakan Komplek
Dantraha Dan Tolobali, Bima Nusa Tenggara
Barat.Proyek Pemugaran Dan Pemeliharaan
Peninggalan Sejarah Dan Purbakala Nusa
Tenggara Barat 1983/1984.
-------------------------, Kerajaan Tradisional Di
Indonesia; Bima. Jakarta: Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan RI, 1997.

322
Daftar Pustaka

----------------------------, “Kesultanan Bima di Pulau


Sumbawa, dalam: Nik Hassan Suhaimi Nik Abdur
Rahman et,al. (Penyunting) Prosiding Seminar
Antarbangsa Kesultanan Melayum Nusantara,
Sejarah dan Warisan.Bangi : Lembaga Muzium
Negeri Pahang Dan Inst. Alam & Tamadun
Melayu UKM, 2005: 735-763,
---------------------------, “Masuknya Islam Dan
Munculnya Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam
Di Kawasan Nusa Tenggara”, Jurnal “Al-Qalam”.
Vulome 17 (2), Juli-Desember 2011 :270-280.
---------------------------, “Data Epigrafi Pada Makam
Sultan Bima”, dalam : Machi Suhadi (Editor),
Aksara dan Makna: Memaba dan Mengungkap
Kearifan Masa L\alu. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan
Asosiasi Ahli Epigrafi Indonesia (AAEI), 2012 :
219-230.
Hardjowidjono, Darmono, Benarkah Orang-Orang
Purtugis melancarkan perang Terhadap Umat Islam
selama kehadiran mereka di Indonesia ? Makalah
Seminar Sejarah Nasional II, 26-29 Agustus 1970
di Yogyakarta.
Heekeren,H.R.van, Penghidupan Zaman Prasedjarah
Di Indonesia. Terjemahan Moh. Amir Sutaarga.
Jakarta : Lembaga Kebudayaan Indonesia, 1955.
Heuken, Adolf, Menteng Kota taman pertama di
Indoonesia. Jakarta: yayasan Cipta Loka Caraka,
2001.
Hilir Ismail, M., Peranan Kesultan Bima Dalam
Perjalanan Sejarah Nusantara. 1988.

323
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Hills, J.V.,” Chinese Navigation in Insulinde About


AD.1500”, Archipel 18, 1979.
Hitchcock, Michael, “The Bimanese Kris; Aestethics and
Social Value”, BKI, 143, 1e Aflevering, 1987 : 125-
140.
Hoop. A.N.J. Th.a Th. van der, Indonesische
Siermotieven, Ragam-ragam Perhiasan Indonesia,
Indonesian Ornamental Design. Koninklijk
Bataviaasch Genootscap Van Kunsten En
Wetenschappen, 1940.
Jansen, A.J.F., “Berigten, Hindoe-beelden van
Soembawa” TBG. X, 1861 : 24.
Jasper, J.E., “Het Eiland Soembawa en Zijn
Bevolking”, TBB. 134, 1908 : 60-147.
Kieper, Thomas M. and Cliffort Sather, “Gravermarker
and The Repression of Sexual Symbolism : The Case
of two Philipino-Borneo Moslem Societies,”dalam
BKI, CXXVI, 1970 : 75-90.
Kuperus, G.,”Beschouwingen Over de Ontwikkeling
en den Huidigen Vormenrijkdom van het Cultuur-
Landschap in de Onderafdeeling Bima (Oost-
Soembawa), TNAG,, LV, 1938 :207-239.
--------------,“De Madjapahitsche Onderhoorigheid
Seran”, TNAG, LIX, 1942 : 771-774.
Lekkerkerker, C., “Enkele Nieuwe Gegevens Over
Soembawa”, TNAG deel XLX, 1932 :73-81.
Le Roux, C.C.F.M., “De Madjapahitsche
Onderhoorigheden Hutan Kadali en Gurun en
de Oudenaam voor her Eiland Flores,” Tijdschrift

324
Daftar Pustaka

van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundige


Genootschap, LX, 1943 : 915-927.
Meilink-Roelofsz, M.A.P., Asian Trade And European
Influence in The Indonesian Archipelago Between
1500 And About 1630. S’-Gravenhage Martinus
Nijhoff, 1962.
Mukhlis Panei et.al, Sejarah Kebudayaan Sulawesi
Selatan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Ditjenbud, Direktorat Jarahnitra,
Proyek IDSN, 1995.
Naerssen,F.H.van, “Hindoejavaansche Overblijfselen op
Soembawa”, TNAG, LV, 1938 :90-100.
Noorduyn,J.,”Makasar and The Islamization of Bima”,
BKI, 143, 2e En 3e Aflevering, 1987 :312-342.
-----------------, “Bima en Soembawa, Bijdragen tot de
Geschiedenis van de Sultanmaten Bima en Sumbawa
door A. Ligvoet en G.P. Rouffaer”, VKI 129, Foris
Publications Dordrecht Holland Providence –
USA, 1987.
Pigeaud,Th., Java in The Fourteenthe Century Vol.
I.Javanese Texs in Transcription. Koninklijk Instituut
voor Taal, Land en Volkenkunde, The Hague
Martinus Nijhoff, 1960.
Reid, Anthon, “ Introduction : Slaverny and Bondage
and Depedency in Southeast Asia”, dalam -----
- . St, Lucia-london-New York : Unversity of
Queensland Press, 1983
Rouffaer, G.P., “Oudjavaansche Inscriptie van Soembawa,
“ NBG, 48, 1910: 110-113. .

325
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Schrieke, B.J.O., Indonesiaan Sociological Studies. Part I,


W. van Hoeve Publishers Ltd.. The Hague, 1966.
Sjamsuddin, Helius, “The Coming of Islam and The
Role of The Malays As Middelman on Bima”,
dalam : Papers of The Dutch -Indonesian Historical
Conference , held at Lage Vuurche , The Netherlands
27-28 June l980 .Published by the Bureau
of Indonesian Studies under the auspices of the
Dutch and Indonesianm Steering Committees of the
Indonesian Studies Programme, Leiden/Jakarta
1982 : 297-300.
Tokoh Sang Bima,Mitos Atau Realitas ? (Sejarah
Mentalitas Masyarakat Tradisonal Bima-Dompu).
Makalah untuk : Kongres Nasional Sejarah , Th.
1996, Departmmen Pendidikan dan Kebudayaan ,
Ditjenbud, Direktorat Jarahnitra.
Sidemen, Ida Bagus, “Dang hyang Nirarta dan
Kawangsan di Bali”, dalam: Seminar Sejarah
Nasional V Subtema Penulisan Sejarah. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan ,Direktorat
Jarahnitra, Proyek IDSN., Jakarta, 1990 : 88-11.
Siti Maryam R. Salahudin, H., Bandar Bima. Jakarta;
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jendral Kebudayaan, Direktorat
Jarahnitra, Bagian Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Nusantara, 1992/1993
Muhlis, Katalog Naskah Bima, Koleksi Museum
Kebudayaan Samparaja, Bima : Museum
Kebudayaan “ Samparaja Bima : Dompu
--------------------,Munawar Sulaiman dan Syukri
Abubakar, Aksara Bima, Peradaban Lokal Yang

326
Daftar Pustaka

Sempat Hilang. Mataram : Alam Tara Institute,


2013.
--------------------, Sejarah Singkat Kesultanan Bima
(Rekonstruksi Historis dari Naskah-Naskah Kuno).
Naskah Belum Terbit, 2015.
--------------------,Munawar Sulaiman dan Syukri
Abubakar, Aksara Bima, Peradaban Lokal Yang
Sempat Hilang. Mataram : Alam ---Tara Institute,
2013.
--------------------, Sejarah Singkat Kesultanan Bima
(Rekonstruksi Historis Dari Naskah-Naskah Kuno).
Naskah Belum Terbit, 2015
Soekarto K. Atmodjo, M.M., “Beberapa Temuan
Prasasti Baru Di Indonesia”, Berkala Indonesia,
Th.XIV-Edisi Khusus, 1994 : 1-5
Soekatno, Endang, SH “ Wadu Paa, Sebuah Pemujaan
di Tepi Pantai, Saraswat, Esai-Esai Arkeologi,
Kalpataru Majalah Arkeologi No. 9. 1990 : 206-
213
Soekmono R’ Archheologi and Indonesian History, dalam
Soejatmiko (edited) An Introductoan to Indonesian
Histroriography: Cornell University press Cornell
Univesity Press, Ithasa Network, 1985
Stutterheim, W.F., Oudheden Van Bali 1 (Het Oude Rijk
van Pejeng) Teks Liefrink van der Tuuk, Singaraja,
Bali, 1930
Suratminto, Lilie, Makna Sosio-Historis Batu Nisan
VOC di Batavia Depok : Fakultas Sastra dan
Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas
Indonesia, 2007

327
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Tjandrasasmita, Uka (editor), Sejarah Nasional


Indonesia III.Jaman Pertumbuhan Dan
Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam Di
Indonesia. Jakarta : Depertemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, PN. Balai Pustaka, 1984.
Utrecht, E., Sejarah Hukum Internasional Di Bali
Dan Lombok (Percobaan Sebuah Studi Hukum
Internasional Regional di Indonesia). Sumur
Bandung, 1962
Wacana, Lalu et.al., Sejarah Perlawanan Terhadap
Imprialisme dan Kolonialisme di Nusa Tenggara
Barat, Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Invetarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,
1983/1984
Zollinger, H., “ A Visit to The Mountainers, Do Dongo
in The Country of Bima”, JIAEA, VOl.II, No: XI,
November, 1948 : 687-694
---------,Verslag van een reis naar Bima en Soembawa
en naar eenige Plaatsen op Celebes, Saleir en Flores
gedurende de maanden Mei tot December 1847”,
VBG. XXIII, 1850 :121-175. ”
---------, Bima en Soembawa”, JIAEA, 1856 : 244-245.

328
Daftar Singkatan
AAEI : Asosiasi Ahli Epigrafi Indonesia
BKI. : Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde
DITJENBUD : Direktorat Jendral Kebudayaan
EHPA : Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi
ELS : Eropesche Lagere School
JARAHNITRA : Sejarah Dan Nilai Tradisional
HIS : Hollandsche Indische School
IAAI : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
IDSN : Inventarisasi Dokumentasi Sejarah Nasional
IMT : Indische Militair Tijdcschrift
JIAEA. : Journal of The Indian of Archipelago and The
Eastren Asia
KPM : Koninklijke Paketvaart Marchappij
KITV : Koninklijk Institut Voor Tall-Land en
Volkenkunde

329
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

KT. : Kolonial Tijdschrijft


NBG.: : Notulen van het Bataviaasch Genootschap
TBG. : Tijdschrift voor Indische Taal- Land en
Volkenkunde van het Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenscappen
TBB. : Tijdschrift voor het Binnenlander Bestuur
TNAG : Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch
Aardrijkskundige Genootschap
VBG. : Verhandelingen van het Koninklijk Bataviaasch
Genooschaap van Kunsten en Wetenschappen
VKI. : Verhandelingan van het Koninklijk Instituut
VOC : Vereinigde Oost Indische Compagnie

330
Lampiran I
Daftar Gelar
dan Pangkat

CATATAN : Daftar ini memuat gelar dan pangkat Bima


dalam jumlah terbatas saja. Sara Sara, Sara Tua, dan Sara
Hukum adalah ketiga badan yang membentuk Majelis Adat
Dana Mbojo.

Ama Ka’u, gelar anak lelaki dari bangsawan tinggi, bila


ayahnya bangsawan tinggi dan ibunya bangsawan tinggi juga
atau setingkat lebih rendah dari ayahnya; lih. Ina Ka’u.

331
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Anangguru, pangkat menengah; dicatat di sini para


anangguru yang menjadi anggota Majelis Adat, atau kepala
satu kelompok masyarakat lain dari satu dari (para anangguru
kepala dari dapat dilihat dalam Daftar Dari).
Anangguru Kapitan, perwira sepasukan lasykar yang khusus
memakai senapan.
Anangguru Latunang, perwira sepasukan lasykar bersenapan;
pangkatnya setingkat lebih rendah dari Anangguru Kapitan.
Anangguru Mangaji, kepala dari Mengaji; ada dua: Tua dan
Sampela, kedua-duanya anggota Sara Hukum.
Anangguru Mantero, kepala para matros kapal atau para
kelasi perahu.
Anangguru Mboda Na’e, mengepalai semua Anangguru
Mboda.
Anangguru Mboda Sabicarakai, kepala pesuruh Raja Bicara.
Anangguru Mpa’a, petugas yang mengurus tari-tarian istana
(pria dan wanita) terutama yang bernilai klasik.
Anangguru Robo, kepala dari marbot yang memelihara
mesjid kerajaan.
Anangguru Sape, anggota Sara Tua.
Anangguru Sumpi, perwira yang memimpin lasykar
bersumpit; ada dua, yakni AS Bolo dan Mbojo; kedua-duanya
anggota Sara Tua.
Anangguru Wera, perwira lasykar dari daerah Wera.
Bata Dadi, pengurus sawah sultan.
Bata Jero, pangkat di pertukangan; bawahan Bumi Jero.

332
Daftar Gelar dan Pangkat

Bata Juru, pesuruh di istana; pembantu Syahbandar.


Bata Kagonga: pengawal rumah Raja Bicara.
Bata Nggampo, pengawal dan pesuruh di istana.
Bilai Mesjid Raya Bima, sebanyak 8 orang, anggota Sara
Hukum.
Bumi Bajangkara, pengawai istana.
Bumi Baralau, pengawal istana berpangkat perwira.
Bumi Batambani, pengawal istana.
Bumi Cendawa, pejabat yang bertugas di bidang obat bedil
dan masalah percampuran obat, ia termasuk dalam dari Ndora.
Bumi Cenggu, pejabat yang mewakili masyarakat Cenggu
dan sekitarnya di dalam Majelis Adat.
Bumi Jara, bupati pasukan berkuda; ada tiga, yakni BJ Bolo,
Mbojo, dan Nggampo; mereka adalah anggota Sara Sara.
Bumi Jara Tolotui, pengurus tanah garapan di sebelah
barat dan timur Teluk Bima; ada dua, yakni BJT Bolo (yang
mengurus tanah di sebelah barat teluk yaitu wilayah Bolo dan
Donggo) dan BJT Mbojo (mengurus tanah di timur teluk,
yaitu wilayah Wera, Wawo, Sape, Rasana’e Na’e).
Bumi Jero, kepala pertukangan.
Bumi Karombi, kepala pertukangan.
Bumi Keli, anggota Sara Sara; di bawahnya, Bumi Ncawu Keli
bertugas dalam masalah tukang kayu dan mengawasi hutan
jati di Keli dan sekitarnya (termasuk Tololai).
Bumi Lawiu, anggota Sara Tua.

333
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Bumi Luma, pangkat tinggi dalam Majelis Adat; ada tiga,


yakni BL Rasana’e (ketua Sara Tua) serat BL Bolo dan Kae
(kedua-duanya wakil ketua Sara Tua).
Bumi Nata, anggota Sara Sara, mewakili daerah Nata dan
sekitarnya.
Bumi Ncandi, anggota Sara Sara, mewakili daerah Ncandi
dan sekitarnya.
Bumi Ncawu Keli, lih. Bumi Keli.
Bumi Ndakatau, mengurus perbekalan istana; anggota Sara
Tua.
Bumi Ndora, mengurus masalah kesenjataan kerajaan Bima,
di atas Bumi Cendawa; anggota Sara Tua.
Bumi Nggampo, mengurus/menyatukan para anggota Sara
Tua yang tak berwilayah di dalam Majelis Adat.
Bumi Nggeko, perwira tertinggi bagi para pengawal istana;
anggota Sara Tua.
Bumi Ngoco, perwira yang mengurus kelasykaran kerajaan
Bima; ada dua yakni BN Bolo dan Mbojo; mereka anggota
Sara Tua.
Bumi Pabise, pengurus kelasykaran laut serta para kelasi dan
matros, di bawah perintah Bumi Renda; ada dua, yakni BP
Bolo dan Mbojo; mereka anggota Sara Tua.
Bumi Pajuri, mengurus para prajurit lasykar; anggota Sara
Tua.
Bumi Pareka, pembantu Bumi Renda dalam mengurus dan
mengatur lasykar; ada dua, yakni BP Bolo dan Mbojo; mereka
anggota Sara Tua.

334
Daftar Gelar dan Pangkat

Bumi Parise, pejabat rendah yang mengurus permainan


Parise, yaitu permainan ketangkasan dari orang-orang
Manggarai yang sudah dibebaskan dan diberi tanah pertanian
dan kampung di Buncu (Kejenelian Sape).
Bumi Parisi, pejabat tinggi yang bertugas sebagai sekretaris
dan juru bicara kerajaan, sebagai bawahan Raja Bicara; ada
tiga BP: BP Bolo, Mbojo, dan Kae; BP Kae jarang diangkat,
dan selalu diperbantukan pada Bumi Parisi yang lain, atau
bertindak sebagai juru bahasa di pelabuhan; BP Bolo dan
Mbojo itulah yang disebut dalam Bo’ sebagai juru tulis istana
dan juru tulis Bicarakai; mereka pada umumnya berasal dari
keturunan Melayu (dari Paranaka) dan menjadi anggota Sara
Tua.
Bumi Partiga, petugas di Istana; anggota Sara Tua.
Bumi Punti, petugas di istana; anggota Sara Sara.
Bumi Renda, pimpinan tertinggi lasykar kerajaan merangkap
jaksa; anggota Sara Tua.
Bumi Roka, anggota Sara Sara.
Bumi Rompo, anggota Sara Sara; mewakili masyarakat
Rompo dan sekitarnya.
Bumi Sakuru, pangkat pertukangan kayu; anggota Sara Tua.
Bumi Sambanta, anggota Sara Sara.
Bumi Sampio, pimpinan kelompok gendang dan silu kerajaan;
dibantu oleh Jena Sampio.
Bumi Sari, ada tiga, yakni BS Mbojo, Ntonggu, dan Sape;
mereka adalah anggota Sara Sara.

335
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Bumi Silu, pemain silu kerajaan; ada dua, yakni BS Bolo dan
Mbojo; mereka dibantu oleh dua peringkat adat lagi, yaitu
Jena Silu Mbojo dan Jena Silu Bolo.
Bumi Tente, pangkat menengah; anggota Sara Sara.
Bumi Tingincai, pangkat rendah di bawah Bumi Renda,
bertugas mencanangkan berita-berita darurat (menjaga
kebakaran, kebanjiran dan bahaya-bahaya lain); juga dengan
anak buahnya menjadi algojo.
Bumi Tonggorisa, pangkat menengah; anggota Sara Sara.
Bumi Waworada, pangkat menengah; anggota Sara Sara.
Cepeweki, pangkat rendah yang bertugas mengawasi tanah
pada suatu area.
Imam, anggota Sara Hukum.
Ina Ka’u, gelar anak perempuan dari bangsawan tinggi, yang
terlahir dari ayah bangsawan tinggi dan ibu sederajat atau
setidak-tidaknya bangsawan menengah; lih. Ama Ka’u.
Ince, nama panggilan (bukan gelar) dari orang keturunan
Melayu (Mly: Encik).
Jena, pangkat rendah; setiap Jena berada di bawah perintah
seorang Bumi.
Jena Jara Otutera, bintara pasukan berkuda; tugasnya
membuat tempat makanan kuda; waktu luangnya bertugas
menjaga istana.
Jena Luma, pembantu Bumi Luma dan kepala dari Sajena
Luma; ada dua yakni JL Bolo dan Mbojo; mereka anggota
Sara Tua.

336
Daftar Gelar dan Pangkat

Jena Mone Na’e, kepala dari sejumlah Nenti Mone (pegawai


istana); anggotanya Sara Tua.
Jena Sampio, pembantu Bumi Sampio, anggota rombongan
musik istana.
Jena Silu, pembantu Bumi Silu; kedua Jena Silu yang
tertinggi, yakni JS Bolo dan Mbojo, membawahi jena silu
yang lain, yang banyak jumlahnya.
Jena Sumpi, bawahan Bumi Sumpi dalam kesatuan
kelasykaran kerajaan (suba).
Jena Teke, Sultan muda
Jeneli, salah satu pangkat tertinggi dalam pemerintahan
Bima; masing-masing jeneli bertugas memerintah satu wilayah
atau “kejenelian” (yang disebut dalam nama pangkatnya); pada
asalnya ada sepuluh jeneli, yakni Jeneli Belo, Bolo, Donggo,
Monta, Parado, Rasana’e, Sape, Wawo, Wera, dan Woha;
satu kejenelian baru, yaitu Jeneli Kare, tercipta setelah
Kerajaan Sanggar bergabung dengan Bima tahun 1928.
Kadi (Qadli), pimpinan Sara Hukum.
Khatib, ada empat khatib yang menjadi anggota Sara Hukum,
yaitu Khatib Tua, Karoto, Lawili, dan To’i.
Lebe, ada delapan belas lebe yang menjadi anggota Sara
Hukum, yaitu Lebe Dalam, Talabiu, Sape, Sila, Ngali,
Wera, Wawo, Sakuru, Samili, Teke, Dena, Sumi, Raba
Keli, Parado, Karumbu, Cenggu, Raba (Raba Ngodu), dan
Mbawa.
Mboda, pangkat rendah; pesuruh, khususnya pesuruh Raja
Bicara.

337
KESULTANAN BIMA: Masa Pra Islam Sampai Masa Awal Kemerdekaan

Ncawu Lati, pejabat rendah di bawah peringkat Jena; tetap


bertugas di istana.
Nenti Mone, pengawal di istana berpangkat rendah; banyak
jumlahnya; Nenti Mone Goa dan Nenti Mone Kaluku berasal
dari Goa; semua Nenti Mone dipimpin oleh Nenti Mone Na’e
dan dikepalai oleh Ompu To’i.
Nentirasa, kepala dusun.
Ompu To’i, kepala urusan dalam istana.
Pata Asi, petugas urusan dalam istana, bawahan Ompu To’i.
Patarasa, kepala dusun.
Raja Bicara, pangkat perdana menteri; disebut demikian saja
kalau tidak merangkap sebagai Tureli Nggampo.
Syahbandar, penguasa pelabuhan.
Tonda, pesuruh, khususnya pesuruh jeneli.
Tureli, salah satu pangkat tertinggi dalam pemerintahan
Bima, boleh disamakan dengan menteri; ada tujuh tureli,
semuanya menjadi anggota Sara Sara, yaitu Tureli Belo, Bolo,
Donggo, Parado, Sakuru, Woha, serta Tureli Nggampo
yang berjabat sebagai ketua semua tureli, perdana menteri,
dan ketua Sara Sara.

338

Anda mungkin juga menyukai