Anda di halaman 1dari 15

MENGKAJI TAFSIR AL – AZHAR KARYA BUYA HAMKA (1966 M)

Makalah ini disusun guna melengkapi salah satu tugas mata kuliah Tafsir Nusantara

Disusun Oleh :

Nada Maula Izzatul Wafi’ah (53020190054)

Ona Devita Reni Andari (53020190058)

Fat Han Fathurrohim (53020190061)

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang atas rahmat Nya dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari
makalah ini adalah “Mengkaji Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka (1966 M)”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada
dosen mata kuliah “Tafsir Nusantara” yang telah memberikan tugas terhadap penulis. Penulis
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang turut membantu dalam
pembuatan makalah ini.

Penulis jauh dari sempurna, dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan penulis, maka kritik dan
saran yang membangun senantiasa penulis harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi
penulis pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Salatiga, 20 Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..............................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................................................1
C. TUJUAN MASALAH..............................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A. BIOGRAFI SEORANG BUYA HAMKA..................................................................................2
B. SUMBER RUJUKAN KITAB TAFSIR AL AZHAR...........................................................4
C. METODE PENULISAN KITAB TAFSIR AL AZHAR.......................................................5
D. CONTOH PENAFSIRAN-PENAFSIRAN BUYA HAMKA................................................7
BAB III...............................................................................................................................................10
PENUTUP..........................................................................................................................................10
A. KESIMPULAN......................................................................................................................10
B. SARAN...................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................11

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
“Al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang
berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut yang lain, dan tidak mustahil jika kita
mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari
pada apa yang kita lihat”. Ilustrasi ini menggambarkan kepada kita bahwa al-Qur’an
sebagai sebuah teks telah memungkinkan banyak orang untuk melihat makna yang
berbeda-beda di dalamnya. Dengan berbagai metodologi yang disuguhkan, para
mufassir kerap mempunyai corak sendiri yang menarik untuk ditelusuri. Dari mulai
menafsirkan kata perkata dalam setiap ayat sampai menghubungkannya dengan Fiqh,
Politik, Ekonomi, Tasawuf, Sastra, Kalam, dan lainnya.
Al-Qur’an diturunkan tidak hanya bagi orang – orang arab Umiyyin yang
hidup pada zaman rasul saw. Dan tidak pula hanya bagi generasi abad ke-20, tetapi
juga bagi semua manusia sampai akhir zaman. Oleh karena itu, semuanya diajak
berdialog oleh Al qur’an dan diharapkan dapat memanfaatkan akal dan hati manusia
dalam memahaminya. Selanjutnya, agar seseorang dapat memahami Al qur’an dengan
baik, ia harus merujuk kepada tafsir Al qur’an yang menjelaskan atau menerangkan
firman Allah swt. Dan memberukan pengertian menayngkut hal – hal yang
terkandung dalam Al qur’an.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Siapakah Buya Hamka?
2. Apa sumber rujukan kitab tafsir Al Azhar?
3. Bagaimana Metode penulisan Tafsir Al Azhar?
4. Bagaimana contoh penafsiran penafsiran?

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui seorang Buya Hamka.
2. Untuk mengetahui rujukan kitab tafsir Al Azhar.
3. Untuk mengetahui Metode penulisan tafsir Al Azhar.
4. Untuk mengetahui contoh penafsiran penafsiran.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI SEORANG BUYA HAMKA

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa dikenal dengan sebutan
buya Hamka, lahir di Sungai Batang, Maninjau Sumatera Barat pada hari Ahad,
tanggal 17 Februari 1908 M./13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang taat
agama. Beliau wafat pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta. Belakangan beliau
diberikan gelar Buya yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata
abi, abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
1
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau sering disebut Haji Rasul bin
Syekh Muhammad Amarullah bin Tuanku Abdullah Saleh. Haji Rasul merupakan
salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan
kaum muda dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau, sedangkan ibunya bernama
Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). Dari geneologis ini dapat
diketahui, bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki
hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII
dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut
sistem matrilineal. Oleh karna itu, dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku
Tanjung, sebagaimana suku ibunya.2
Sejak kecil, Hamka menerima dasar – dasar agama dan membaca Alquran
langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya 1914, ia dibawa ayahnya ke
padang panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desa yang
hanya dienyamnya selama 3 tahun, karena kenakalannya ia dikeluarkan dari sekolah.
Pengetahuan agama, banyak ia peroleh dengan belajar sendiri (autodidak). Tidak
hanya ilmu agama, Hamka juga seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun
Barat.3
Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan dan
mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Ditempat itulah Hamka
mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa arab. Sumatera Thawalib adalah

1
Badiatul Razikin (dkk.), 101 Jejak Tokoh Islam (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), 188.
2
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 15-18
3
Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), jilid I, h. 46

2
sebuah sekolah dan perguruan tinggi yang mengusahakan dan memajukan macam-
macam pengetahuan berkaitan dengan Islam yang membawa kebaikan dan kemajuan
di dunia dan akhirat. Awalnya Sumatera Thawalib adalah sebuah organisasi atau
perkumpulan murid-murid atau pelajar mengaji di Surau Jembatan Besi Padang
Panjang dan surau Parabek Bukittinggi, Sumatera Barat. Namun dalam
perkembangannya, Sumatera Thawalib langsung bergerak dalam bidang pendidikan
dengan mendirikan sekolah dan perguruan yang mengubah pengajian surau menjadi
sekolah berkelas.4
Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi, pada usiao
8-15 tahun, ia mulai belajar agma di sekolah Diniyyah School dan Sumatera Thawalib
di Padang Panjang dan Parabek. Diantara gurunya adalah Syekh Ibrahim Musa
Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, Sutan Marajo dan Zainuddin Labay el-Yunusy.
Keadaan Padang Panjang pada saat itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di
bawah pimpinan ayahnya sendiri. Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat
tradisional dengan menggunakan sistem halaqah.5 Pada tahun 1916, sistem klasikal
baru diperkenalkan di Sumatera Thawalib Jembatan Besi. Hanya saja, pada saat itu
sistem klasikal yang diperkenalkan belum memiliki bangku, meja, kapur dan papan
tulis. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik, seperti
nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya. Pendekatan pendidikan
dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan. Pada waktu itu, sistem hafalan
merupakan cara yang paling efektif bagi pelaksanaan pendidikan.6
Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan menulis huruf arab dan latin,
akan tetapi yang lebih diutamakan adalah mempelajari dengan membaca kitab-kitab
arab klasik dengan standar buku-buku pelajaran sekolah agama rendah di Mesir.
Pendekatan pelaksanaan pendidikan tersebut tidak diiringi dengan belajar menulis
secara maksimal. Akibatnya banyak diantara teman-teman Hamka yang fasih
membaca kitab, akan tetapi tidak bisa menulis dengan baik. Meskipun tidak puas
dengan sistem pendidikan waktu itu, namun ia tetap mengikutinya dengan seksama.
Di antara metode yang digunakan guru-gurunya, hanya metode pendidikan yang
digunakan Engku Zainuddin Labay el-Yunusy yang menarik hatinya. Pendekatan
yang dilakukan Engku Zainuddin, bukan hanya mengajar (transfer of knowledge),

4
Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), jilid I, h. 46
5
Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual.., h. 21
6
Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual.., h. 21

3
akan tetapi juga melakukan proses ’mendidik’ (transformation of value). Melalui
Diniyyah School Padang Panjang yang didirikannya, ia telah memperkenalkan bentuk
lembaga pendidikan Islam modern dengan menyusun kurikulum pendidikan yang
lebih sistematis, memperkenalkan sistem pendidikan klasikal dengan menyediakan
kursi dan bangku tempat duduk siswa, menggunakan buku-buku di luar kitab standar,
serta memberikan ilmu-ilmu umum seperti, bahasa, matematika, sejarah dan ilmu
bumi.7
Menginjak usia 29 tahun, Buya Hamka memulai aktifitas kerjanya dengan
menjadi seorang guru agama di perkebunan Tebing Tinggi. Hamka kemudian
meneruskan karirnya sebagai seorang pengajar di Universitas Islam Jakarta dan
Universitas Muhammadiyah di Padang Panjang dari tahun 1957 sampai tahun 1958.
Setelah itu dia dilantik sebagai seorang rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan
juga menjabat sebagai guru besar di Universitas Mustopo Jakarta.8

B. SUMBER RUJUKAN KITAB TAFSIR AL AZHAR

Di dalam tafsirnya, Hamka juga mengaku bahwa dirinya tertarik kepada Tafsir
al-Manar karya Rasyid Ridho, Tafsir al-Qasimy dan juga Al-Maqaghi. Tidak hanya
itu, ia mengaku tertarik juga dengan Tafsir Fi Zilal al-Qur’an karya Sayyid Qutb.
Ketertarikan Hamka tersebut ternyata memberikan warna tersendiri kepada Tafsir al-
Azhar. Adapun beberapa sumber rujukan Hamka dalam menafsirkan al-Qur’an adalah
sebagai berikut9: Tafsir Ibnu Jarir al-Tabari; Fahrurrahman al-Razi; Ruhul-ma’ani dari
Ibnu Kasir; Jalalain; Lubab al-ta’wil fi ma’ani al-Tanzil; An-Nasfij, Madariku al-
Tanzil wa haqa-iqu al-ta’wil; Asy-Syaukani, al-Fathul Qadir; Al-Bagawi; Ruhul
Bayan oleh al-Alusi; Al-Manar oleh Sayid Rasyid Ridha; Al-Jawahir oleh Syaih
Tantawi Jauhari; Tafsir Fi Zilal al-Qur’an oleh Asy-Syayid Qutb; Al-Qasimi; Al-
Maragi; Mushaf Al-Mufassar oleh Muhammad Farid Wajdi; Al-Bayan oleh A.Hassan
Bangil; Al-Qur’an oleh Zainuddin Hamidi dan Fahruddin H.S; Al-Qur’an Karim oleh
Mahmud Yunus; An-Nur oleh M. Hasbi Ash-Shiddiqi; Tafsir Al-Qur’anul Hakim
oleh H.M. Kasim Bakry, Muhammad Nur Idris AlImam dan Madjoindo; Al-Qur’an
terjemahan yang dikeluarkan Dapertemen Agama; Tafsir Al-Qur’an karim oleh syeh
7
ibid.., h.22
8
Badiatul Razikin (dkk.), 101 Jejak Tokoh Islam, 188-189.
9
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia ; dari Hermeneutika hingga Ideologi (Yogyakarta:LKS, 2013), hal
49.

4
Abdulhakim Hassan; Fathur Rahman Litalibi ‘Ajati Qur’an oleh Hilmi Zadah
Faidhullah/Al-Hasany.
Selain itu, Tafsir al-Azhar juga menggunakan kitab-kitab hadits, diantaranya
adalah Fathul Bari fi syarhil Bukhari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani; Sunan Abi Dawud;
Sunan At-Tirmizi; Al-Tagrib wa Tarhib oleh Al-Mundiziri; Riyadus Salihin oleh An-
Nawawi; Al-Muwatta’ oleh Imam Malik; Al-Umm oleh Imam Syafi’I; Majmu’
Syarhil Muhazzab oleh Nawawi; Al- Muhazzab oleh Al-Firuz Abidi; Al-Fiqhu ‘ala
Mazahibil Arba’ah dari panitia Al-Azhar; Al-Fatawa oleh syeh Mahmud Syaltut; Al-
Islamu ‘aqidatun wa syari’atun syeh Mahmud Syaltut; Nailul Autar oleh Asy-
Saukani; Subulus Salam fi Syarhi Bulugul Maram oleh Al-Amir Ashanani; I’lamul
Muwaqqi’in oleh Ibnu Qayyin Al-Zaujih; At-Tawassul wa wasilah oleh Ibnu
Taimiyah; Ar-Raudatun Nadiyah oleh Hasan Shadiq Bahadur Chan; Al-Hujatul
Baligah oleh Waiullahad-Dahlawi; Irsyadul Fuhul (Ushul Fiqih) oleh Asy-Syaukani;
dan Al-Madal oleh Ibnu Hajj.
Tidak hanya itu, Hamka juga menggunakan kitab-kitab tasawuf, seperti: Ihya’
‘Ulumuddin oleh Al-Ghazali; Arbi’in fi Ushuluddin oleh Al-Ghazali; Madarisus
salihin oleh Ibnu Qayyim al-zaujah; Qutul Qulub oleh Abu Thalib Al-Makki; Al-
Insan Al-Kamil oleh Abdul Karim Al-Zali; dan Al-Futuhat Al-Makkiyah oleh Ibnu
‘Arabi. Juga kitab-kitab sirah (sejarah Rasulullah SAW), diantaranya: Sirah Ibnu
Hisyam; Asy-Syifa oleh Qadhi ‘Ayyad; dan Zadil Ma’ad oleh Ibnu Qayyim Az-
Zaujiyah. Selain itu, masih banyak lagi kitab-kitab karangan sarjana-sarjana Islam
modern dan orientalis yang dijadikan rujukan oleh Hamka dalam menafsirkan Al-
Qur’an.

C. METODE PENULISAN KITAB TAFSIR AL AZHAR

Buya Hamka dalam menyusun Tafsir al-Azhar beliau menggunakan tartib


usmani yaitu menafsirkan ayat secara runtut berdasarkan penyusunan mushaf usmani.
Keistimewaan yang didapatkan dari tafsir ini karena mengawali dengan pendahuluan
yang berbicara banyak tentang ilmu-ilmu Alquran, seperti definisi Alquran, Makkiyah
dan Madaniyah, Nuzul Al-qur’an, Pembukuan Mushaf, I’jaz dan lain-lain. Sebuah
kemudahan yang didapatkan sebab Hamka menyusun tafsiran ayat demi ayat dengan
cara pengelompokan pokok bahasan sebagaimana tafsir Sayyid Qutb dan atau al-

5
Maragi. bahkan terkadang beliau memberikan judul terhadap pokok bahasan yang
hendak ditafsirkan dalam kelompok ayat tersebut.
a. Menurut Sumber Penafsirannya
Buya HAMKA menggunakan metode tafsîr bi al-Iqtirân karena
penafsirannya tidak hanya menggunakan al-Qur’an, hadis, pendapat sahabat dan
tabi’in, serta riwayat dari kitab-kitab tafsir al-mu’tabarah saja, tetapi juga
memberikan penjelasan secara ilmiah (ra’yu) apalagi yang terkait dengan masalah
ayat-ayat kauniyah. Buya HAMKA tidak pernah lepas dengan penggunaan metode
tafsîr bi al-ma’tsûr saja, tapi ia juga menggunakan metode tafsîr bi al-ra'y yang
mana keduanya dihubungkan dengan berbagai pendekatan-pendekatan umum,
seperti bahasa, sejarah, interaksi sosio-kultur dalam masyarakat, bahkan dia juga
memasukan unsur-unsur keadaan geografi suatu wilayah, serta memasukan unsur
cerita masyarakat tertentu untuk mendukung maksud dari kajian tafsirnya.
Dalam mukaddimah Tafsir al-Azhar, Buya sempat membahas kekuatan dan
pengaruh karya-karya tafsir yang dirujuknya, seperti Tafsîr al-Râzî, al-Kasysyâf
karya al-Zamakhsyâri, Rûh al-Ma’ânî karya al-Alûsi,10 al-Jâmi’ li Ahkâm al-
Qur’ân karya al-Qurthûbî, Tafsîr al-Marâghî, al-Qâsimî, al-Khâzin, al-Thabarî,11
dan al-Manâr: 12. HAMKA memelihara sebaik-baiknya hubungan di antara naql
dengan aql. Di antara riwâyah dengan dirâyah. Ia tidak hanya mengutip atau
memindah pendapat orang yang terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan
dan pengalaman sendiri.”13
b. Menurut Susunan Penafsirannya
HAMKA menggunakan metode tahlîlî karena dimulai dari Surah al-Fâtihah
hingga surah al-Nâs.
c. Menurut Cara Penjelasannya
HAMKA menggunakan metode muqarîn yaitu tafsir berupa penafsiran
sekelompok ayat-ayat yang berbicara dalam suatu masalah dengan
membandingkan antara ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis, dan dengan

10
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 6.
11
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 255.
12
“Tafsir yang amat menarik hati penafsir buat dijadikan contoh ialah tafsir al-Manar karangan Sayid Rasyid
Ridha, berdasar kepada ajaran tafsir gurunya Syaikh Muhammad Abduh. Tafsir ia ini, selain dari menguraikan
ilmu berkenaan dengan agama, mengenai hadis, fiqh dan sejarah dan lain-lain, juga menyesuaikan ayat-ayat itu
dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan, yang sesuai dengan zaman di waktu tafsir itu dikarang. Lihat
selengkapnya HAMKA, Tafsir al-Azhar, 41.
13
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 40.

6
menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu antara objek yang dibandingkan dengan
cara memasukan penafsiran dari ulama tafsir yang lain.
d. Menurut Keluasan Penjelasan
HAMKA menggunakan metode tahîlî yaitu tafsir yang penafsirannya
terhadap al-Qur’an berdasarkan urutan-urutan ayat secara ayat per ayat, dengan
suatu uraian yang terperinci tetapi jelas dan ia menggunakan bahasa yang
sederhana sehingga dapat dikonsumsi bagi oleh masyarakat awam maupun
intelektual.
e. Corak yang Dipakai
Corak yang mendominasi dalam penafsiran HAMKA adalah lawn adâbiî wa
ijtima’î yang nampak terlihat dari latar belakang HAMKA sebagai seorang
sastrawan sehingga ia berupaya agar menafsirkan ayat dengan bahasa yang
dipahami semua golongan dan bukan hanya di tingkat akademisi atau ulama. Di
samping itu, ia memberikan penjelasan berdasarkan kondisi sosial yang sedang
berlangsung (pemerintahan Orde Lama) dan situasi politik waktu itu.

D. CONTOH PENAFSIRAN-PENAFSIRAN BUYA HAMKA

a. Al-Qur’an dengan al-Qur’an


Potongan surah Al-fatihah: 7 { ‫} َغ ۡی ِر ٱۡل َم ۡغ ُضوِب َع َلۡی ِه ۡم‬
“Bukan jalan mereka yang dimurkai atasnya”
Tafsirannya: Siapakah yang dimurkai Tuhan? Ialah orang yang telah diberi
kepadanya petunjuk, telah diutus kepadanya Rasul-Rasul telah diturunkan kepadanya
kitab-kitab wahyu, namun ia masih saja memperturutkan hawa nafsunya. Telah
ditegur berkali-kali, namun teguran itu tidak diperdulikannya. Ia merasa lebih pintar
daripada Allah, Rasul-rasul dicemoohnya, petunjuk Tuhan diletakkannya ke samping,
perdayaan setan diperturutkannya.
Ayat tersebut ditafsiri dengan Surah Ali ‘Imrân ayat 77:
‫ُأ۟و َلٰۤـ ِٕىَك اَل َخ َلٰـَق َلُهۡم ِفی ٱۡل َٔـاِخَرِة َو اَل ُیَك ِّلُم ُهُم ٱُهَّلل َو اَل َینُظُر ِإَلۡی ِه ۡم َیۡو َم ٱۡل ِقَیٰـ َم ِة َو اَل ُیَز ِّك یِهۡم َو َلُهۡم َع َذ اٌب َأِلیم‬
“Itulah orang yang tidak ada bagian untuk mereka di akhirat dan tidaklah
Allah akan bercakap dengan mereka dan tidak akan memandang kepada mereka di
hari kiamat dan tidak Dia akan membersihkan mereka, dan bagi mereka azab yang
pedih”.14
14
HAMKA, Tafsir al-Azhar, h. 111-112

7
Dan seperti itulah, tidak diajak bercakap oleh Tuhan, tidak dipandang oleh
Tuhan, seakan-akan Tuhan dalam bahasa umum “membuang muka” apabila
berhadapan dengannya. Begitulah nasib orang yang dimurkai.
b. Al-Qur’an dengan Hadis
Surah Al-fatihah: 6 { ‫} ٱۡه ِد َنا ٱلِّص َر ٰ َط ٱۡل ُم ۡس َتِقیَم‬
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Menurut riwayat Ibn Hatim dari Ibn ‘Abbas, menurut beliau dengan meminta
ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon ditunjuki agama-Mu yang benar.
Menurut beberapa riwayat dari ahli hadis, dari Jabir bin ‘Abdullah bahwa yang
dimaksud shirâth al-mustaqîm adalah agama Islam. Dan menurut riwayat yang lain,
Ibn Mas‘ud mentafsirkan bahwa yang dimaksud adalah kitab Allah (al-Qur’an).15
c. Al-Qur’an dengan qaul sahabat atau tabi’in
Surah Al-fatihah: 6 { ‫} ٱۡه ِد َنا ٱلِّص َر ٰ َط ٱۡل ُم ۡس َتِقیَم‬
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Buya Hamka memaparkan pendapat salah seorang ulama’ yaitu Fudhail bin
‘Iyadh, ia mengatakan kalau yang dimaksud shirâth al-mustaqîm adalah jalan pergi
naik haji, yakni menunaikan haji sebagai rukun Islam yang kelima, dengan penuh
keinsafan dan kesadaran sehingga mencapai haji yang mabrur.16
d. Al-Qur’an dengan riwayat dari kitab tafsir al-Mu’tabarah
{ ‫[ } ِصَر ٰ َط ٱَّلِذ یَن َأۡن َع ۡم َت َع َلۡی ِهۡم َغ ۡی ِر ٱۡل َم ۡغ ُضوِب َع َلۡی ِه ۡم َو اَل ٱلَّض ۤا ِّلیَن‬Surat Al-Fatihah: 7]
“Dan bukan jalan mereka yang sesat”.
Sayyid Rasyid Ridha di dalam kitab tafsirnya al-Manar menguraikan
penafsiran gurunya Syaikh Muhammad Abduh tentang orang yang tersesat, terbagi
atas empat tingkat, yaitu: 17
1. Yang tidak sampai kepadanya dakwah, atau ada sampai tetapi hanya didapat
dengan panca indra dan akal, tidak ada tuntutan agama.
2. Sampai kepada mereka dakwah, atas jalan yang dapat membangun pikiran.
Mereka telah mulai tertarik oleh dakwah itu, sebelum sampai menjadi
keimanannya, ia pun mati.
3. Dakwah sampai kepada mereka dan mereka akui, tetapi tidak mereka
pergunakan akal buat berpikir dan menyelidiki dari pokoknya, tetapi mereka

15
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 105-106.
16
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 105-106.
17
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 114.

8
berpegang teguh juga kepada hawa nafsu atau kebiasaan lama atau menambah-
nambah.
4. Yang sesat dalam beramal, atau memutar-mutarkan hukum dari maksud yang
sebenarnya.Kesesatan orang-orang ini timbul dari kepintaran otak tetapi
batinnya kosong daripada iman. Diruntuhkan agamanya, tetapi dia sendiri
yang hancur.18
e. Al-Qur’an dengan pendapat (ra’y) sendiri
Pemakaian kalimat “Tuhan” dalam kata sehari-hari terpisah menjadi dua;
Tuhan khusus untuk Allah dan tuan untuk menghormati sesama manusia. Untuk raja
disebut Tuanku. Yang terpenting terlebih dahulu adalah memupuk perhatian yang
telah ada dalam dasar jiwa, bahwa Zat Yang Maha Kuasa itu mustahil berbilang.
Adapun tentang pemakaian bahasa terhadap-Nya dengan nama apa Dia mesti disebut,
terserahlah kepada perkembangan bahasa itu sendiri.
Selain dari pemakaian bahasa Melayu tentang Tuhan itu, sebagian bangsa
kitapun memakai juga kalimat lain untuk Allah itu. Dalam bahasa Jawa terhadap
Allah disebut dengan Gusti Allah, padahal dalam bahasa Melayu Banjar, Gusti adalah
gelar orang bangsawan. Demikian juga kalimat Pangeran untuk Allah dalam bahasa
Sunda, padahal di daerah lain Pangeran adalah gelar bangsawan atau anak raja. Dalam
bahasa Bugis dan Makassar disebut Poang Allah Ta‘ala. Padahal kepada raja atau
orang tua yang dihormati mereka pengucapkan Poang juga.19

18
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 114-115.
19
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 91

9
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Buya HAMKA adalah seorang tokoh Islam Indonesia, pemimpin, pujangga,
pengarang, sejarawan, dan pendidik yang begitu berjasa bagi perkembangan khazanah
keilmuan yang ada di Indonesia khususnya untuk dunia Islam yang ada di Indonesia.
Tafsirnya yang berjudul al-Azhar merupakan sebuah karya yang sangat monumental
diantara banyak dari karya-karyanya.

Menurut sumbernya, tafsir ini dikategorikan ke dalam tafsir bi al-ma’tsur. Untuk


susunan penafsirannya, HAMKA menggunakan metode tahlili karena dimulai dari
Surah al-Fatihah hingga Surah al-Nas. Adapun menurut cara penjelasannya, HAMKA
menggunakan metode muqarin yaitu tafsir berupa penafsiran sekelompok ayat-ayat
yang berbicara dalam suatu masalah dengan perbandingan. Menurut keluasan
penjelasannya, HAMKA menggunakan metode tafshili yaitu tafsir yang penafsirannya
terhadap al-Qur’an berdasarkan urutan-urutan ayat secara ayat per ayat, dengan suatu
uraian yang terperinci tetapi jelas. Corak yang mendominasi Tafsir al-Azhar adalah
adabi ijtima’i dengan keindahan bahasa Melayu yang disajikan berdasarkan konteks
sosial kemasyarakatan di masanya. Teknik bahasa yang digunakan dalam
mengembangkan tafsirnya pun begitu beragam dan merupakan corak bahasa yang
biasa digunakan dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga relatif mudah bagi
pembacanya yang mayoritas warga Indonesia untuk memahami maksud dari tafsirnya.

B. SARAN
Penulis menyadari dari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang
membangun perbaikan makalah ini sangat penulis harapkan dari pembaca, guna untuk
memperbaiki dan meningkatkan pembuatan makalah atau tugas yang lainnya pada
waktu mendatang.

10
DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al –Qur’an di Indonesia, Cet. 1. Solo:


Penerbit PT. Tiga Serangkai.
Departemen Agama RI, 2007, Al-Qur’an dan Terjemahnya; al-Jumanatul ‘Ali. Seuntai
Mutiara Yang Maha Luhur. Jakarta: J-ART.
Gusmian Islah, 2013, Khazanah Tafsir Indonesia ; dari Hermeneutika hingga Ideologi
Yogyakarta:LKS.
HAMKA. 2004Tafsir al-Azhar. Jilid I. Juz I-II. Jakarta: Pustaka Panjimas.
HAMKA, 2004. Tafsir al-Azhar. Jilid XIV. Juz 29-39. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Razikin, Badiatul (dkk.), 2009101, Jejak Tokoh Islam. Yogyakarta: e-Nusantara.

11

Anda mungkin juga menyukai