Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Sejarah Sosial dan Intelektual
Disusun oleh:
BANDUNG
2019
1
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim,
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan ke
baginda alam Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya, dan mudah-mudahan
19”. Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhi salah satu tugas pada Matakuliah
Sejarah Social dan Intelektual Islam di Indonesia II, yang diampu oleh Bapak Agus Permana,
M.Ag.
yang hingga saat ini masih terasa kurang dan perlu dikembangkan. Khususnya dalam bidang
pendidikan Islam dan bidang ilmu kesejarahan. Meskipun demikian, tidak menutup
Selain daripada itu, sebagai proses evaluasi guna membangun kesadaran nalar dan
kemampuan untuk mencapai hasil yang diharapkan, penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dari tulisan ini baik dari isi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya
pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................................................ii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
C. Tujuan ................................................................................................................................. 7
E. Metode .............................................................................................................................. 11
BAB II........................................................................................................................................... 15
BAB IV ......................................................................................................................................... 44
ii
PENUTUP .................................................................................................................................... 44
Simpulan ................................................................................................................................... 44
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu warisan anak nagari di Minangkabau adalah seorang pribadi yang
memiliki reputasi internasional di dunia Islam, sosok yang akan di bahas dalam
Dzulhijjah 1276 H/1860M (Wirman, 2017) (Siddik, 2017), di sebuah kota Minang,
2016)
Menurut banyak sumber yang mengulas tentang ulama Minang ini, sosok
lelaki dengan nama lengkap Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif bin Abdullah al-
dengan nama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif bin
merupakan keturunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti terhadap
penjajahan Belanda. Gerakan Padri ini adalah gerakan yang dipelopori dan dilakukan
oleh para kaum Padri (ulama) dalam mengawal penegakan syariat di Sumatra Barat.
Perlawanan nyata kaum Padri terhadap Belanda dicatat oleh sejarah dan dikenal
1
seberang ngarai Bukittinggi.(Subroto, Al-minangkabawi & Ushul, 2011) Beliau juga
merupakan seorang ulama mumpuni dizamannya. Semua nasab dari ayah dan
2017) Sedangkan ibunya adalah Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak asal Koto
Tuo Balai Gurah, saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo yang juga seorang
Namanya amat populer di awal abad 19 di kalangan para raja atau sultan dan
ulama, di seantero Nusantara. Lantaran jabatan Imam Mesjidil Haram dan Mudaris
keagamaan, tempat bertanya dan meminta fatwa para raja dan sultan di Sumatera
Ahmad Zaini Dahlân yang saat itu sebagai mufti mazhab Syâfi‘i di Mekah dan
pimpinan para ulamanya. Guru mereka ini dapat dikatakan sebagai poros keilmuan
kepadanya.(Ilyas, 2018).
Pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 1287 H Abdullah yang merupakan kakek
Ahmad Chatib menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan membawa seluruh keluarga
termasuk Abdul Lathif dan Ahmad Chatib. Rombongan Abdullah sampai di Mekkah
sahabatnya dengan mengadakan pesta yang sangat meriah dan menjadi pusat
perhatian oleh masyarakat setempat. Abdullah kemudian membeli dua buah rumah
2
menyelesaikan tugasnya kemudian kembali lagi ke Indonesia dengan membawa
seluruh keluarganya kecuali Abdul Lathif, Ahmad Chatib dan tiga saudaranya.
Mereka tinggal dan menetap di mekkah Al Mukarramah untuk belajar ilmu agama
(Fithri, 2019).
Syaikh Ahmad Khatib memperoleh berbagai ilmu tentang agama Islam dari
rakyat (SR), sebuah lembaga pendidikan formal yang didirikan Belanda bagi
dikenal dengan istilah Sekolah Raja. Pada tahun 1881, Syaikh Ahmad Khatib muda
Ahmad Chatib selama belajar diMekkah masuk pada majlis Tahfizh Al Quran
yang diasuh oleh Syech Abdul Hadi. Ahmad Chatib menyelesaikan tahsin Al Quran
dengan baik, setelah itu Ahmad Chatib mempelajari ilmu agama yakni ilmu Nahwu
dengan Syech Umar Syata, mempelajari Ilmu Arab dan kaligrafi dengan Usman
Syatta, serta mempelajari ilmu agama dan ilmu tauhid dengan Syech Bakri Syatta di
Mesjidil Haram. Merekalah guru-guru Ahmad Chatib dalam mendalami ilmu agama
selama di Mekkah. Selain ilmu agama Ahmad Chatib sangat tekun dalam menuntut
dan mempelajari ilmu lainnya seperti ilmu hisab, matematika, social, arsitek,
permesinan, pembagian harta waris dan ilmu pembagian waktu. Ahmad Chatib
Pengaruh luas Ahmad Khatib ditandai dengan posisinya yang prestisius dan
penting sebagai syekh (guru besar) sekaligus khatib dan imam besar mazhab Syafii di
3
Masjidil Haram. Jabatan tersebut mencakup kawasan wilayah Hijaz, sebuah
kepercayaan yang sangat langka untuk orang non- Arab. Semua literatur tentang
Ahmad Khatib mencatat bahwa kedudukan ini beliau capai terkait dengan ketinggian
dan kedalaman ilmunya di berbagai bidang, khususnya Ilmu Fiqh dan Hukum Islam,
di samping ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Falak, Ilmu Hisab, dan Tasawuf.
terkemuka saat itu, semisal Sayyid Zayn al-Dahlan, Syekh Bahr al-Syatta, dan Syekh
Yahya al- Qabli. Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Kolonial Belanda yang
Ahmad Khatib sebagai “sangat alim untuk ukuran Melayu” (Wirman, 2017).
Hal yang menarik dari pengaruh Ahmad Khatib di Nusantara adalah, bahwa
meski ia sendiri secara pribadi memegang teguh dan kokoh pada pendiriannya,
bahkan keras atas beberapa persoalan keagamaan – seperti soal tarekat – tetapi murid-
muridnya ternyata memiliki pendapat yang berbeda dengan Ahmad Khatib sendiri.
Menurut Burhanuddin Daya, Ahmad Khatib tidak menanamkan taklid kepada para
Abduh dan al-Afghani –icon reformer dunia Islam- agar bisa membantah pendapat
Syaikh Ahmad sangat gigih dan keras tanpa kompromi sediktpun dalam
memberantas bid’ah, khurafat, tarikat, ajaran menyimpang dan adat yang bertolak
sangat tinggi, dalam masalah adat yang menyimpang terutama dalam masalah waris
4
Beliau ini ahli dalam bidang fiqh beraliran Syafi’iyah (Mukani, 2016). Beliau
juga merupakan ulama besar Minangkabau yang memperoleh posisi prestisius sebagai
imam dan khatib dalam Mazhab Syafi’i di Mesjidil Haram. Ia mempunyai murid-
murid yang sangat banyak, terutama di Asia Tenggara. Salah satu hal yang unik dari
(2) Izhar zaghlil kadzibin, (3) al-Ayat al-bayyinah, (4) al- Saiful battar [no.3 sampai 4
[mempertahankan ushalli, kritik terhadap Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim], (5) al-
Fathul Mubin [menjelaskan tata cara bai’at dan amalan thariqat], (6) Raudhah al-
Hussab [matematika], (6) Shulhul Jama’atain [polemik dengan Mufti Betawi dalam
masalah kiblat mesjid], dan (7) Syumus al-lami’ah [membantah keyakinan Martabat
judul buku. Sedangkan menurut Zainal Abidin Ahmad, Syekh Ahmad Khatib selama
Muhammad Sa’ad Mungka dan Syaikh Ali Khathib yang gigih mempertahankan
al-Qur’an dalam konteks lebih kekinian. Hal tersebut dilakukan untuk menampik
gagasan-gagasan pembaharu Mesir ini, terutama dalam pendapat untuk kembali ke al-
Qur’an dan hadits. Meskipun demikian, Syaikh Ahmad Khatib tidak setuju dengan
pendapat Muhammad Abduh yang menolak taqlid. Hal ini dikarenakan Syaikh
5
Ahmad Khatib bukan saja penganut setia, tetapi juga imam madzhab Imam Syafi’I
(Mukani, 2016).
syubhat dalam bukunya, Dha’us Siraj Pada Menyatakan Isra’ dan Mi’raj yang terbit
tahun 1312 H. Berikutnya, beliau juga menulis Irsyadul Hayara fi Radd Syubahin
Ahmad Khatib lebih dikenal sebagai tokoh pemberontak tradisi, namun ia bisa
diterima secara luas oleh ulama Indonesia, baik yang tradisional maupun yang
modernis. Hal ini menunjukkan bahwa, Syekh Ahmad Khatib merupakan seorang
ulama yang alim dan mumpuni pada masanya (Indrawati, 2016b), hal ini dapat terlihat
Banyak murid Syaikh Ahmad Khatib dari Nusantara. Setelah pulang menimba
ilmu di Arab Saudi, mereka ini menjadi tokoh pergerakan menuju Indonesia merdeka.
Syaikh Ahmad Khatib), KH. Mas Manshur dan sebagainya (Mukani, 2016).
muridnya dengan dua dasar penting. Pertama adalah sikap liberal, bahkan pernah
dicontohkanya sendiri saat menyatakan bahwa pintu ijtihad masih dibuka. Kedua
6
adalah menanamkan keharusan kepada para murid untuk memurnikan ajaran agama
dari praktek-praktek yang tidak benar dan mencari cara-cara terbaik yang telah
disediakan agama untuk menyelamatkan diri dari pintu neraka (Mukani, 2016).
Dari latar belakang diatas, penelitian akan focus mengkaji pemikiran Ahmad
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, penulis berupaya
C. Tujuan
penelitian bahwa tujuan masalah harus berbanding lurus dengan focus masalah yang
menjadi pokok utama dalam pembahasan. Dengan kata lain, tujuan penelitian adalah
Minangkabawi.
Minangkabawi.
7
3. Untuk dapat menegetahui bagaimana Pengaruh Pemikiran dari Ahmad Khatib
Al Minangkabawi.
D. Kajian Pustaka
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan beberapa sumber rujukan yang memaparkan
secara rinci mengenai pokok pembahasan yang sedang digarap yakni sebagai berikut:
1803-1942
Sumatra Barat oleh penerbit BPNST Padang Press pada tahun 2010. Menjelaskan
tentang beberapa tokoh gerakan pembaruan Islam yang dimulai pada awal
munculnya gerakan Padri sekitar tahun 1803, salah satu tokoh tersebut adalah
Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Selain itu, dijelaskan pula biografi singkat dari
tokoh dan juga peranannya. Urgensi dari buku ini ialah digunakan sebagai rujukan
Jurnal artikel tersebut ditulis oleh Subroto yang diterbitkan oleh Republika:
biografi dari Ahmad Khatib Al Minangkabawi dan perannya dalam mengubah dan
sebagai suber rujukan tambahan pada Bab II yang membahas menegnai biografi
Nusantara
8
Skripsi yang ditulis oleh Nadia Nur Indrawati Jurusan Sejarah Kebudayaan
Islam Fakultas Ushuluddin Adab Dakwah IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun
dalam proses Islamisasi Nusantara pada skripsi ini menggambarkan cukup jelas
tidak berfokus pada Fiqhnya. Urgensi dari skripsi ini ialah digunakan sebagai
sumber rujukan tambahan pada Bab II dan Bab III, untuk metode yang
sejarah.
Nusantara
Jurnal artikel ditulis oleh Nadia Nur Indrawati yang diterbitkan oleh
TAMADDUN Vol. 4 Edisi 1 Januari-Juni 2016. Sama halnya dengan skripsi yang
telah dibuat sebelumya, hanya saja dalam bentukan jurnal artikel ini dibuat
menjadi lebih ringkas dan padat. Untuk urgensi dari jurnal artikel ini ialah sebagai
Minangkabau pada awal abad 20. Terlihat dari judul memng berbeda konteks
waktu tapi melihat isi ternyata pembahasan juga menyinggung pada abad 19
meskipun tidak sepenuhnya sebab focus nya pada abad 20. Urgensi dari jurnal
artikel ini adalah dijadikan sumber tambahan dan pembanding pada Bab III dan
9
lebih menitik beratkan pada perkembangan pemikiran dari Ahmad Khatib Al
Minangkabawi.
6. Polemic Sayyid Usman Betawi dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau Tentang
Salat Jumat
Jurnal Artikel ini ditulis oleh Ahmad Fauzi Ilyas penerbit Sekolah Tinggi Ilmu
artikel ini membahas mengenai bagaimana polemic anatara Sayyid Usman Betawi
dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi tentang Salah Jumat, berikut juga
artikel ini sendiri yaitu dijadikan sebagai sumber tambahan pada Bab III yang
pemikirannya sendiri.
Jurnal artikel yang ditulis oleh Mukani yang diterbitkan oleh ALMURABBI
STAI Darussalam Krempyang Nganjuk Vol. 2, No. 2, pada Januari 2016 dengan
dan Kebangkitan Umat Islam di Indonesia, dalam jurnal artikel tersebut juga
jurnal artikel ini yaitu dijadikan sebagai sumber tambahan pada Bab II dan Bab
Lalu untuk Refleksi Sumatera Barat Hari ini dan Masa Depan
10
Jurnal artikel yang ditulis oleh Eka Purta Wirman yang diterbitkan oleh
JURNAL ULUNNUHA: UIN Imam Bonjol Padang Vol. 6, No. 2,pada Desember
perannya pada Minangkabau masa lalu untuk refleksi Sumatera Barat hari ini dan
masa depan, hal ini cukup menarik karena cakupan pembahasan yang cukup luas.
Perbedaannya sendiri terletak pada cakupan waktu yang digunakan. Urgensi dari
jurnal artikel ini yaitu dijadikan sebagai sumber tambahan pada Bab III.
Jurnal artikel ini ditulis oleh Firman Hidayat yang diterbitkan pada web resmi
www.muslim.or.id pada tahun 2012, jurnal artikel ini cukup rinci membahas
untuk hukum fiqhnya sendiri tidak disampaikan. Urgensi dari jurnal artikel ini
E. Metode
Cara menulis sejarah mengenai suatu tempat, periode, seperangkat peristiwa, lembaga
atau orang, bertumpu kepada empat kegiatan pokok yaitu: Pertama, pengumpulan
objek yang berasal dari zaman itu dan pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis,
dan lisan yang boleh jadi relevan (heuristik). Kedua, menyingkirkan bahan-bahan
Keempat, penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi sesuatu kisah atau
1. Heuristic
11
Berasal dari bahasa Yunani heuristiken yang berarti menemukan atau
sumber ialah sumber sejarah yang tersebar berupa catatan, kesaksian, dan fakta-
fakta lain yang dapat memberikan penggambaran tentang sebuah peristiwa yang
bukantujuan. Dengan kata lain, orang harus mempunyai data terlebih dahulu untuk
menulis sejarah. Kajian tentang sumber-sumber ialah suatu ilmu tersendiri yang
Ada beberapa teknik terkait dengan heuristik ialah studi kepustakaan, studi
penelitian ini ialah studi kepustakaan. Penelitian ini membutuhkan referensi untuk
menambah wawasan mengenai biografi tokoh dan juga pemikiran serta peranan
digunakan dalam kajian ini baik yang bersifat primer, sekunder maupun tersier.
2. Kritik
tertulis maupun sumber lisan, kemudian diverifikasi atau diuji melalui serangkaian
kritik, baik yang bersifat intern maupun ekstern. Kredibilitas sumber biasanya
12
Langkah penulis dalam kritik ialah dengan melakukan kritik internal dan
sumber. Penulis melakukan kritik ini dengan cara komparasi atau perbandingan
3. Interpretasi
sangat esensial dan krusial dalam metodologi sejarah. Fakta-fakta sejarah yang
dan digabungkan satu sama lain sehingga membentuk informasi peristiwa sejarah.
diseleksi lagi fakta-fakta yang mempunyai hubungan kausalitas antara satu dan
subjektif. Hal itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang penulis sejarah itu
sendiri.
4. Historiografi
fase heuristik, kritik sumber dan interpretasi. Pada tahap terakhir inilah penulisan
sejarah adalah sebuah cerita. Cerita yang dimaksud ialah penghubungan antara
kenyataan yang sudah menjadi kenyataan peristiwa. Dengan kata lain, penulisan
13
Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil
Adapun sistematika penulisan karya ilmiah ini mecakup beberapa bab, yaitu
diantaranya:
Minangkabawi.
BAB III pada bagian ini akan membahas mengenai perkembangan pemikiran
sebelumnya.
14
BAB II
tentang berbagai ilmu agama Islam beliau dapat dari keluarganya sendiri.(Mukani,
2016) Menurut banyak sumber yang mengulas tentang ulama Minang ini, sosok lelaki
dengan nama lengkap Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif bin Abdullah al-
dengan nama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif bin
merupakan keturunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti terhadap
penjajahan Belanda. Gerakan Padri ini adalah gerakan yang dipelopori dan dilakukan
oleh para kaum Padri (ulama) dalam mengawal penegakan syariat di Sumatra Barat.
Perlawanan nyata kaum Padri terhadap Belanda dicatat oleh sejarah dan dikenal
Dzulhijjah 1276 H/1860M (Wirman, 2017) (Siddik, 2017), di sebuah kota Minang,
Bukittinggi.(Hidayat, 2012) Dan beliau wafat pada tanggal 8/9 Jumadilawal 1334 H
2016b)
15
Ada perbedaan mengenai siapa nama kakek dari Syaikh Ahmad Khatib Al
Mu’allimi, dan Ibrahim bin ‘Abdullah Al Hazimi, kakek Syaikh Ahmad Khatib Al
Rangkayo Basa. Kakeknya ini adalah seorang imigran dari Hijaz yang bermukim di
Kota Gadang dan berhasil menjadi elit religious di daerah tersebut sebagai khatib
nagari.(Mukani, 2016) Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas Syaikh Ahmad Al
Minangkabawi berasal dari keluarga bangsawan, baik dari jalur keturunan ayah
merupakan seorang ulama mumpuni dizamannya. Semua nasab dari ayah dan
2017) Sedangkan ibunya adalah Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak asal Koto
Tuo Balai Gurah, saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo yang juga seorang
ayah, beliau memiliki hubungan dengan H. Agus Salim, sedangkan dari pihak ibu
beliau bersaudara dengan H. Thaher Jalaluddin seorang ulama falak yang menentap
hubungan dengan Tuanku Nan Tuo seorang guru dari para pejuang dan ulama-ulama
Paderi.(Wirman, 2017)
16
Beliau menikah dengan Khadijah putri dari Muhammad Saleh Kurdi seorang
pemilik toko buku di Makkah. Shaleh al-Kurdi sangat tertarik dengan Ahmad Khatib
seorang anak bernama Abdul Karim. Shaleh al-Kurdi begitu simpati dengan Ahmad
menikahkan Ahmad Khatib dengan anak keduanya Fatimah dan memberinya tiga
orang anak yaitu Abdul Malik, Abdul Hamid dan Khadijah.(Wirman, 2017)
yang disebutkan oleh Umar Abdul Jabbar dimulai dengan salat Subuh berjamaah di
untuk sarapan pagi. Selanjutnya, kemungkinan tidur dalam waktu yang singkat dan
melanjutkan menelaah kitab sampai waktu Zuhur. Ketika Zuhur, beliau pergi salat
sampai salat Asar, selepas itu beliau pergi ke masjid guna melaksanakan salat Asar
berjamaah. Setelah salat, beliau membuka pelajarannya dan menelaah kitab sampai
waktu Maghrib, beliau kembali ke masjid guna menunaikan salat Maghrib berjamaah.
Setelah memberikan pelajaran sampai waktu salat Isya, beliau salat berjamaah dan
kembali ke rumah untuk makan malam bersama keluarga. Beliau kemudian memulai
tidur malam di waktu yang cukup awal sampai sepertiga malam, di mana beliau akan
2017)
17
B. Latar Belakang Pendidikan Ahmad Khatib Al Minangkabawi
ke Mekkah dan membawa seluruh keluarga termasuk Abdul Lathif dan Syaikh
Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang pada saat itu berusia 11 tahun. Rombongan
Mekkah disambut baik oleh sahabatnya dengan mengadakan pesta yang sangat meriah
dan menjadi pusat perhatian oleh masyarakat setempat. Abdullah kemudian membeli
dua buah rumah yang besar di Makkah sebagai tempat tinggal keluarganya. Abdullah
membawa seluruh keluarganya kecuali Abdul Lathif, Syaih Ahmad Khatib dan tiga
informalnya kepada ayahnya sendiri, yaitu Syekh Abdul Latif yang merupakan ulama
tentang agama Islam, ia juga belajar bahasa Inggris dengan masuk ke sekolah Meer
Uietgebreid Leger Onderwijs (MULO) yang didirikan Belanda pada saat itu.(Siddik,
2017)
belajar dan menimba ilmu kepada ulama-ulama besar yang ada di kota Makkah. Guru
dan Syaikh bagi Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi adalah tiga keluarga Syatha’
yaitu: Syaikh Abu Bakar Syatha, Syaikh ‘Umar Syatha, Syaikh ‘Utsman Syatha, dan
Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlân. Amirul Ulum menambahkan Syeikh Muhammad
18
Nawawi Banten dalam daftar guru-gurunya. Dengan jumlah gurunya yang tidak
sedikit tersebut, tentunya dapat menjelaskan bahwa keilmuannya selain diperoleh dari
guru adalah secara otodidak. Keotodidakannya dalam belajar dan membaca juga
memiliki toko kitab, sehingga kitab-kitab agama bisa didapat oleh beliau secara lebih
mudah.(Ilyas, 2017)
pada majlis Tahfizh Al Qur’an yang diasuh oleh Syeikh Abdul Hadi. Syaikh Ahmad
beliau mempelajari ilmu agama yakni ilmu Nahwu dengan Syeikh Umar Syata,
kemudian mempelajari Ilmu Arab dan kaligrafi dengan Usman Syatta, serta
mempelajari ilmu agama dan ilmu tauhid dengan Syeikh Bakri Syatta di Mesjidil
mendalami ilmu agama selama di Mekkah. Selain ilmu agama, Syaikh Ahmad Khatib
Al Minangkabawi sangat tekun dalam menuntut dan mempelajari ilmu lainnya seperti
ilmu hisab, matematika, social, arsitek, permesinan, pembagian harta waris dan ilmu
pembagian waktu. Syaikh Ahmad Khatib mendalami berbagai ilmu tersebut secara
otodidak dan kemudian mengajarkan serta menulis berbagai buku tentang keilmuan
tersebut.(Fithri, 2019)
Pada suatu hari Syaikh Muhammad Shaleh Al Kurdi mertua dari Syaikh
Ahmad Khatib bertemu dengan Syarif ‘Aunur Rafiq Gubernur Makkah. Pada
kepada Syarif untuk mengangkat Syaikh Ahmad Khatib sebagai guru mazhab Syafi’i
19
dikabulkan oleh Syarif ‘Aunur Rafiq. Semenjak saat itu, Syaikh Ahmad Khatib Al
Minangkabawi diangkat sebagai ulama yang disejajarkan dengan para ulama Makkah.
masyarakat dan menyampaikan pengajiannya pada pagi dan sore hari di masjidil
Haram. Kelebihan dari Syaikh Ahmad Khatib dengan ulama lainnya di Makkah yakni
memiliki kemampuan dua bahasa yakni bahasa Arab dan bahasa Melayu. Hal ini
beliau.(Fithri, 2019)
adalah seorang yang berasal dari Minangkabau, yang oleh orang Jawa di Makkah
dianggap sebagai ulama yang paling berbakat dan berilmu di antara mereka, di mana
Umar Abdul Jabbar, jumlah karya yang ditulisnya mencapai 46, yang ditulis dalam
bahasa Arab dan Jawi. Sementara menurut Zainal Abidin Ahmad ada sekitar 49 kitab.
20
Semua kitabnya, selain tersebar di Tanah Air juga di Syria, Turki, dan Mesir(Ilyas,
2017)
Indonesia yang paling produktif menulis. Tulisannya sarat akan kedalaman keilmuan
penulisnya dan sebagian besar merupakan kritik dan bantahannya atau polemiknya
Menurut Umar Abdul Jabbar, jumlah karya yang ditulisnya mencapai 46, yang ditulis
dalam bahasa Arab dan Jawi. Sementara itu, menurut Zainal Abidin Ahmad ada
sekitar 49 kitab. Semua kitabnya, selain tersebar di Tanah Air juga di Syria, Turki,
menulis empat puluh tujuh karya dalam dua bahasa yaitu bahasa Arab dan Jawi, yang
mana diantaranya 23 telah dicetak dan 24 masih berbentuk manuskrip. Pendapat ini
produktif. Hal tersebut terbukti dalam rentang waktu 30 tahun berada di Mekkah,
beliau banyak menghasilkan karya ilmiah berupa buku sebanyak 47 buah buku. Yang
dimulai dengan karya pertamanya yang berjudul Hasyiah al Nafasat yang ditulis pada
tahun 1306 H dan Kitab yang terakhirnya yaitu Al Qaul Qaul al Nahif yang ditulis
diantaranya:(Fithri, 2019)
21
Al-NafahatHâsyiah al-Waraqât, adalah sebuah kitab pertama dari Syaikh
Ahmad Khatib yang ditulis dalam bahasa Arab, sebagai penjelasan atas kitab
kitab yang cukup penting bagi dunia Islam, terutama Nusantara. Banyaknya
hâsyiah atas kitab ini menunjukkan nilai yang berarti bagi dunia keilmuan
Islam. Salah satu kitab yang diajarkan Syekh Ahmad Khatib di halaqah
dari ‘ibarah kitab, ia kemudian menulis kitab ini. Kitab ini diselesaikan
penulisannya pada tahun 1306 H dan dicetak berulang kali oleh penerbit.
Naskah yang ada sama penulis ada dua, salah satunya cetakan Dâr al-Kutub al-
‘Arabiyah yang disalin ulang oleh Syekh Jadullah bin Muhammad Badawi
Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab, kitab ini merupakan karya keduanya
bahwa sebelum menulis kitab ini, ia tidak termasuk expert, bahkan ia belum
menemukan guru yang tepat untuk mengajari ilmu tersebut, sehingga atas
Maimaniyah di Mesir atas biaya adik iparnya, Syekh Muhammad Majid al-
22
Kurdi, sebuah pemilik percetakan yang diawal-awal di Makkah, yaitu
Ditulis dalam bahasa Arab. Sesuai dengan judulnya, kitab ini ditulis sebagai
bantahan atas amaliyah dan tradisi masyarakat Minangkabau yang sudah turun-
mengabaikan anak dan orang tua. Kitab ini cukup menggemparkan wilayah
Nusantara pada zamannya sehingga menuai kritikan yang keras dari berbagai
Minangkabau juga pernah ditulis oleh Syekh Sayyid Usman Betawi dalam
mendorong Syekh Ahmad Khatib menulis kitab ini adalah sebuah pertanyaan
Abu Bakar Syatha yang dijawab oleh gurunya tersebut dengan tiga lembar
karena halaman yang kurang banyak, mereka tidak merasa puas atas jawaban
pengarang kitab I‘ânah, yang mendorong Syekh Ahmad Khatib menulis kitab
ini.(Ilyas, 2017)
menurut syariat, anak laki-laki harusnya mendapat warisan yang lebih besar
23
jumlahnya ketimbang anak perempuan. Kitab ini adalah karya pertama al-
Ditulis dalam bahasa Arab. Kitab ini membahas mengenai ilmu perhitungan,
Syekh Abu Bakar Syatha’ yang mengapresiasinya secara serius. Kitab ini
(1311 H)
Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ini merupakan karya lengkapnya dalam
bidang fikih ibadah. Kitab tersebut membahas tentang ilmu tauhid yang
digabungkan dengan fikih dan ushul fikih. Kitab ini dapat juga dijadikan
2016b)Sebab penulisan kitab ini atas permintaan ibunya yang saat itu datang ke
24
Makkah menemuinya untuk belajar dasar-dasar agama. Kitab tersebut
diselesaikan pada tahun 1311 H dan dicetak beberapa kali, di antaranya oleh
Matba‘ah al-Miriyah dan Matba‘ah Taraqqi al- Majidiyah di Makkah atas biaya
Kitab ini ditulis sebagai terjemahan dari kitab al-Da‘i al-Masmu‘ berbahasa
Arab yang oleh karena orang Minangkabau tidak semuanya mengerti bahasa
Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1311 H dan dicetak pada Matba‘ah al-
Muhammad Saw telah berdusta tentang periistiwa Isra Mi‘raj. Bahaya tersebut
membuat gelisah orang Minang sehingga mereka mengirim surat kepada al-
25
16. Al Suyuf wa al Khamajir ‘ala Riqab Kull Man Ya’u li al Kafir (1316 H)
mereka. Dalam peristiwa Sayyid Usman bin Aqil kembali berulah dengan
membantah fatwa Sayyid Usman bin Aqil yang dianggap menggunakan dalil
memalsukan nama penulis kitab tersebut sebab ia khawatir akan nasib orang
Salah seorang sepupu Ahmad Khatib yang bernama Thahir bin Muhammad
dekat Rasyid Ridha (1865-1935 M.). Setelah selesai menempuh studinya di Al-
pengajar di Masjidilharam.
falak tersebut dan mereka memaksa al-Minangkabawi untuk mengajar kitab itu.
26
Walaupun al-Minangkabawi sulit memahami karya tulis ulama Mesir ini, ia
tetap berusaha. Dengan bantuan literasi lain yaitu kitab karya Zayj bin Syathir
(w. 1375 M), akhirnya ia berhasil mensyarah kitab tersebut. Karya ini ditulis
(1317 H)
Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ini ditulis sebagai bantahan atas tradisi
menyimpang oleh Syekh Ahmad Khatib. Ada dua versi judul untuk kitab ini,
yang pertama dengan judul di atas, dan kedua dengan judul Fath al-Mubin fi
Amr min ‘Umur al-Dîn. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1318 H dan
(1320 H)
23. Kasyafal Ain fi hukm Wad’ Yad Ba’d Tatawwul al Zaman ( 1321 H )
tarekat sehingga ketika ia mendapat kabar dari orang Melayu yang diantara
27
mereka ada yang membuat bid‘ah dalam tarekat, ia merespon dengan menulis
kitab ini yang dibuat pada tahun 1322 H. atau 1901 M.(Bahtiyar, 2019)
Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ini yang pertama sekali menggembarkan
alam Minangkabau dalam masalah tarekat. Sebab penulisan kitab ini adalah
sebuah surat dari muridnya, Syekh Abdullah Ahmad, pendiri majalah al-Munir
mengkonsumsi dalam masa bersuluk, dasar atas pembatasan masa bersuluk 40,
20 dan 10 hari, dasar atas rabithah, dan dasar atas Tarekat Naqsyabandiyah
Khalidiyah. Selain memuat jawaban atas lima pertanyaan tersebut, dimuat juga
Khalidiyah. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1324 H dan diterbitkan
Mesir.(Ilyas, 2017)
30. Kasyf al Ghain fi Istiqlal kull min Qaulai al Jihhat wa al Ain (1924 H)
(1324 H)
Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ini ditulis sebagai bantahan atas karya Syekh
bahasa Jawi yang ditulis sebagai bantahan atas kitab Izhhar. Kitab ini selesai
28
ditulis pada tahun 1325 H dan diterbitkan satu paket dengan kitab Izhhar.(Ilyas,
2017)
Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ditulis atas bantahan sebuah kitab yang
al-Niyah (1327 H)
Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ini ditulis sebagai responsnya atas karya
salah satu muridnya, Syekh Abdul Karim Amrullah yang terpengaruh oleh
pendapat Imam Ibn Taimiyah dan Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dengan
bahwa Syekh Ahmad Khatib memberikan label sesat kepada kedua ulama
tersebut. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1327 H dan diterbitkan oleh
literasi itu tertulis bahwa siapa yang menyakini jasmaninya bisa membawa
pada kekafiran. Literasi itu berkembang pesat di kalangan muslim yang awam
29
di Jawa. Sehingga al-Minangkabawi menulis kitab ini yang susun pada tahun
37. Raf‘u al-Iltibâs ‘an Hukm al-Anwath al-Muta‘amalbiha Bain al-Nâs (1326 H)
Ditulis dalam bahasa Arab. Kitab ini membahas fatwa fikih terkait
diwajibkannya zakat atas uang kertas, dimana ukuran nilai nominalnya sama
dengan uang logam (fulus). Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1326 H dan
41. Al-Qaul al-Tahif fî Tarjamah Târîkh Hayâh al-Syaikh Ahmad al-Khatib bin
Ditulis dalam bahasa Arab. Tulisan ini ditulis atas permintaan dari banyak
Menarik bahwa kitab ini ditulis ketika Syekh Ahmad Khatib berumur 58 tahun
dan dalam keadaan sakit. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1334 H pada tahun
wafatnya.(Ilyas, 2017)
43. Tanbîh al-Anâm fî al-Radd ‘alâ Risâlah Kaff al-Awâm ‘an al-Khaud fî
Ditulis dalam bahasa Arab. Kitab ini ditulis sebagai bantahan atas karangan
muridnya, KH. Hasyim Asy‘ari yang berjudul Kaff al-‘Awâm ‘an al-Khaudh fî
tinjauan agama Islam. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1332 dan pernah
30
dicetak di Mesir dan diperbarui oleh Khazanah Fathaniyah di Kuala Lumpur,
Malaysia.(Ilyas, 2017)
pendapat dari salah seorang murid al-Minangkabawi dari Jawa yaitu Hasyim
Asy‘ari yang menulis kitab Kaff al-‘Awam. Di Jawa saat itu sebuah organisasi
dagang yang bernama Sarekat Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi dan
HOS Tjokroaminoto pada tahun 1911 M. Hasyim Asy‘ari lebih dahulu menulis
menjadi solusi penyatuan umat. Mereka justru berpotensi untuk memecah belah
berdirinya SI. Menurutnya SI dapat menjadi titik tolak kebangkitan umat Islam.
Asy‘ari meninjau ulang pendapatnya atas SI. Akhirnya Hasyim Asy‘ari sepakat
kembali”.(Bahtiyar, 2019)
Ditulis dalam bahasa Arab. Kitab ini ditulis sebagai jawaban dari Nusantara
berupa kritikan orang Belanda atas 7 masalah dalam agama Islam, yaitu
31
perang dan paksaan, masalah budah, perbudakan, dan kesalahan agama non-
argumentasi yang memuaskan. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1332 H dan
perang. Keempat, kritik atas jihad dan syara‘. Terakhir, menyalahakan semua
agama selain dari Islam. Bagi al- Minangkabawi pendapat mereka berbahaya
terutama yang terakhir sehingga ia menulis risalah yang ia tulis pada tahun
32
33
BAB III
banyak berpolemik dengan ulama lain semasanya. Hal ini dapat terlihat dari beberapa
Beberapa contoh kasus polemiknya dengan ulama lain yaitu, dengan Syaikh Sayyid
Usman Betawi dalam permasalahan pendirian masjid baru di Palembang untuk salat
Jumat, dengan KH. Hasyim Asy’ari dalam masalah otoritas organisasi Sarekat Islam
(SI), dengan Syekh Muhammad Sa’ad Mungka dan beberapa ulama Minangkabau
masalah pengucapan ushalli, dan masalah pewarisan kemenakan yang sudah menjadi
tradisi di Minangkabau juga ikut menambah daftar perdebatannya dengan ulama lain
menulis empat kitab secara berturut-turut dalam bahasa Jawi, Arab, dan Melayu yang
menunjukkan cukup banayknya perdebatan yang terjadi dan berjalan dalam tempo
waktu yang cukup lama. Ketiga kitab tersebut adalah Fath al-Mubîn fîmâ Yata‘allaq
Kalimat Ba‘dh Ahl al-Ightirar, disingkat al-Saif al-Battar. Hal yang melatar-
belakangi mengapa ia menulis kitab pertamanya adalah bahwa salah satu tokoh ulama
kaum muda yang pernah menjadi muridnya dan pendiri majalah al-Munir, Syekh
34
Abdullah Ahmad menulis surat kepada gurunya di Makkah yang berisi permintaan
fatwa terkait tradisi tarekat Naqsyabandiyah yang ada di Minangkabau dan sekaligus
2017)
Hal ini senada dengan catatan otobiografi yang ditulisnya yang menyebutkan
bahwa kitab tersebut ditulis pada tahun 1318 H / 1904 M. Dalam kitab pertamanya
ini, ia menjelaskan istilah-istilah yang beredar luas di komunitas ulama tarekat seperti
syariat, tarekat dan hakikat. Lebih luas, beliau menjelaskan terkait pengertian tarekat
yang diajarkan pada masa Nabi Muhammad Saw. berubah secara totalitas pengertian
tarekat yang dikenal pada masa ulama-ulama pengamal tarekat tersebut. Menurutnya,
terekat yang diajarkan oleh nabi Muhammad adalah ketersesuaian antara syariat dan
terekat itu sendiri. Dalam memahami tarekat yang benar, para ulama sufi memberikan
sembilan wasiat kepada mereka yang ingin menempuh jalan tarekat, yaitu tobat,
qana‘ah, zuhud, belajar ilmu syariat, menjaga sunah dan adab Nabi SAW baik lahir
maupun batin, tawakal, ikhlas, ‘uzlah (menghindari dari manusia), dan menjaga waktu
yang diberikan dalam ketaatan secara totalitas. Kesembilan wasiat ini dijabarkan
membagi ke dalam dua bentuk. Pertama, apabila orang lain tidak membutuhkannya
dalam hal keilmuan dan lainnya, maka sebaiknya ia menjauhi mereka kecuali pada
waktu salat berjamaah, atau keperluan sehari-hari. Kedua, orang berhajat kepadanya
dari keilmuan dan lainnya, maka pada kondisi seperti ini, ia wajib memberikan apa
yang mereka butuhkan dari segi agama dan lainnya. (Ilyas, 2017)
Minangkabawi adalah tarekat yang benar itu adalah tarekat Nabi, sahabat, dan ulama-
ulama terdahulu yang lebih mengedepankan syariat dalam tarekatnya. Hal ini berbeda
35
dengan tarekat yang berkembang di Minangkabau kala itu, yang mana lebih direduksi
oleh makna dan pengamalannya dalam bentuk baiat dan wirid yang diajarkan oleh
guru mursyid kepada muridnya tanpa memperhatikan dan melalui ilmu-ilmu syariat.
Bahkan ia menambahkan bahwa pada masanya tarekat dijadikan sebagai alat untuk
memupuk harta dan kekayaan dunia. Dengan mengutip pendapat Imam Sya‘rani
dalam kitab al-Minan al- Kubra, beliau mengatakan bahwa seorang guru mursyid
tidak dibenarkan mengajarkan ilmu tarekat apabila ia tidak memiliki keilmuan yang
luas dalam bidang syariat. Pendapat ulama sufi besar tersebut diambil terkait
bukan dalam penetapan hukumnya, sebab telah ditetapkan melalui teks Alquran dan
Hadis.(Ilyas, 2017)
penafsiran kembali terhadap al-Qur’an dalam konteks lebih kekinian. Hal tersebut
pendapat untuk kembali pada Al-Quran dan Hadits. Meskipun demikian, Ahmad
menolak taqlid. Hal ini dikarenakan Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi bukan
36
Dalam menyebarkan gagasan-gagasannya, Syaikh Ahmad Khatib Al
sikap liberal, bahkan beliau pernah mencontohkannya sendiri saat menyatakan bahwa
pintu ijtihad masih dibuka, dan kedua adalah menanamkan keharusan kepada para
murid untuk memurnikan ajaran agama dari praktek-praktek yang tidak benar dan
mencari cara-cara terbaik yang telah disediakan oleh agama untuk menyelamatkan
yang Benar) terbit pada tahun 1324 H/1906 M. Al-Ayah al-Bayyinah li al-Mushifin fi
Izalah Khurafat Ba’dh al-Muta’ashshibin (Keterangan yang Jelas bagi Orang- orang
terbit pada tahun 1324 H/1906 M. Karyanya yang lebih tajam lagi ialah As-Syaiyf al-
Battar fi Mahaq Kalimah Ba’dh al-Ightirar (Pedang Tajam untuk Menangkis Kata-
kata Sebagian Pembohong, terbit tahun 1326 H/1908 M). Ketiga kitab tersebut
Naqsyabandiyyah terdapat bid’ah yang tidak ada pada masa Nabi.(Indrawati, 2016b)
ini ialah Izharu Zaghlil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin, karya ini menentang
Dalam hal ini pengarang tidak memulai dengan pendekatan sejarah tetapi dengan
penyelidikan; Apakah tarekat sesuai dengan syari’at dan aqidah; yang tidak sesuai
37
dengan hal itu pasti bukan berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, Syaikh
orang lain. Kedua, adakah silsilah tarekat Naqsyabandiyyah yang sampai kepada
Rasul Allah? Pertanyaan kedua yang dijawab adalah mengenai silsilah tarekat
memerintahkan untuk membaca dzikir “Laa ilaaha illallah”, akan tetapi menyebut
lafadz Allah saja bukanlah termasuk hadis Nabi. Menurut silsilah Naqsyabandiyyah,
zikir itu berasal dari Abu Bakar; karena hal itu tidak mungkin, juga silsilah itu palsu.
Masalah ketiga dan keempat, ialah praktek suluk dan larangan makan daging sebagai
selundupan dari agama Kristen ke dalam agama Islam, yang sama sekali tidak
membayangkan gurunya di dalam dirinya sebagai persiapan konsentrasi. Hal ini jelas
sangat keras ditolak oleh Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Dalam hal ini,
lebih fundamental. Menurut pemikiran Syaikh Ahmad Khatib akan hal ini adalah, jika
semua syarat tarekat dipenuhi sesuai dengan kebiasaan ahli tarekat sendiri, tarekat
perhatiannya terkait pembagian harta pusaka menurut garis matrilineal, beliau sangat
keras melarangnya. Beliau bahkan tidak membedakan antara kedua jenis harta
tersebut, menurutnya kedua jenis harta itu harus tunduk pada hukum faraidh. Ahmad
adat Minangkabau yang matrilineal dengan menulis buku, karena pendapat dan
38
diberi judul Ad-Da’i al- Masmu’ fi Radd ‘ala Man Yuritsu al-Ikhwan wa Aulad al-
sendiri, hukum adat yang tidak disukai oleh agama dinamakan adat jahiliyah. Semua
harta benda yang diperoleh dari pusaka jahiliyah harus dianggap sebagai hasil
rampasan. Siapa saja yang mempertahankan harta tersebut sebagai pemiliknya, maka
dianggap sebagai dosa besar karena ia dianggap menghabiskan harta benda yatim
piatu. Mereka yang melaksanakan hukum warisan demikian akan menjadi fasiq (fasiq
adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Seseorang yang
selalu melakukan dosa akan menganggap bahwa dosa adalah hal yang biasa dan sulit
untuk meninggalkannya). Oleh karena itu, hal ini pula akan berdapak pada hal lain,
bertindak sebagai saksi di pernikahan. Sehingga, mereka harus melakukan taubat, jika
tidak bertaubat maka orang dianggap keluar dari agama Islam (murtad).
penyebab ditulisnya karya ini Al-Dâ‘i al-Masmu‘ fi al-Radd ‘alâ Man Yuwarrits al-
Ikhwah wa Aulâd al-Akhawât ma‘a Wujûd al-Ushûl wa al-Furu‘ (1309 H). Dilatar
yang menggunakan budaya matrilineal yang mengatur bahwa harta warisan hanya
diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki tidak mendapat apapun.
terkait benar dan salah dari tradisi yang telah mengakar lama itu dengan mengirim
39
karena pihak Minangkabau merasa belum puas atas jawaban yang diberi Bakri Syatha
tunjukan kepada Bakri Syatha dan disetujui maka dikirimlah karya tulis ini.(Bahtiyar,
2019)
membuat gempar dan beberapa ulama Minang menuduh Syaikh Ahmad Khatib Al
Minangkabawi telah membawa agama baru. Selepas terjadinya hal tersebut, Syaikh
menganggap mereka tidak membaca bab faraidh dalam fikih. Di dalam kitab tersebut,
harusnya mendapat warisan yang lebih besar jumlahnya ketimbang anak perempuan.
Kitab ini adalah karya pertama dari Syaikh Ahmad Khatib Al Minagkabawi yang
Sebagai mana yang telah kita ketahui, bahwasannya setiap pemikiran dan
sebuah kitab pertama dari Syaikh Ahmad Khatib yang ditulis dalam bahasa Arab,
menjelaskan matan dasar karya Imam Juwainî. Kitab al-Waraqâtdalam bidang usul
fikih merupakan kitab yang cukup penting bagi dunia Islam, terutama di Nusantara.
Banyaknya hâsyiah atas kitab ini menunjukkan nilai yang berarti bagi dunia keilmuan
Islam. Salah satu kitab yang diajarkan Syekh Ahmad Khatib di halaqah Masjidilharam
adalah kitab al-Waraqât, sehingga oleh karena tidak adanya kitab hâsyiah di masanya
yang dapat menjelaskan kesulitan memahami uraian dari ‘ibarah kitab, kemudian
beliau menulis kitab ini. Kitab ini diselesaikan pada tahun 1306 H dan dicetak
40
berulang kali oleh penerbit, yang disalin ulang oleh Syekh Jadullah bin Muhammad
(1311 H). Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ini merupakan karya lengkapnya dalam
bidang fikih ibadah. Kitab tersebut membahas tentang ilmu tauhid yang digabungkan
dengan fikih dan ushul fikih. Kitab ini dapat juga dijadikan sebagai pedoman praktis
untuk ilmu Aqidah dan Syari’ah.(Indrawati, 2016b)Sebab penulisan kitab ini atas
permintaan ibunya yang saat itu datang ke Makkah menemuinya untuk belajar dasar-
banyak berpolemik dengan ulama lain semasanya. Hal ini dapat terlihat dari beberapa
2017)
rujukan agama bagi para raja pada masanya, terhkusus di wilayah Sumatera dan
Malaya. Sebab, banyak raja yang mengirimkan permintaan fatwa kepada Syaikh
na’at salat Jumat, serta Idul Fitri dan Idul Adha.sebaba, biasanya pada teks khutbah
kedua ada dicantumkan pujian kepada penguasa atau pemimpin Islam yang sedang
bilal.(Ilyas, 2017)
41
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, meskipun Syaikh Ahmad Khatib
berjasa pula dalam perkembangan ajaran agama Islam. Selain beliau membantu
pemerintahan kala itu beliau juga cukup banyak membersamai para muridnya. Murid
Sumatera Timur adalah Syekh Muhammad Zein Tasak Batu Bara, Syekh Muhammad
Nur (mufti Kerajaan Langkat), Syekh Muhammad Nur Ismail (Kadhi Kerajaan
Langkat), Syekh Hasan Maksum (Mufti Kerajaan Deli), Syekh Musthafa Husein
(pendiri pesantren Purba Baru), dan Syekh Abdul Hamid Mahmud (pendiri madrasah
Syekh Abdullah Ahmad (pendiri sekolah Adabiyah tahun 1912 M dan majalah Al
Syekh Khatib Muhammad Ali, Syekh Sulaiman Rasuli, Syekh Bayang Muhammad
Dalil, Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan Syekh Taher Jalaluddin. Dari daerah Jawa,
KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah),
KH. Wahab Hasbullah (salah satu pendiri NU), dan KH. Bisri Syansuri. Dari daerah
Zein Simabur (Mufti Kerajaan Perak), dan Syekh Muhammad Mukhtar bin Atharid
Makkah.(Ilyas, 2017)
Meski banyak polemic yang lahir dari beliau, tapi justru polemic tersebutlah
yang pada akhirnya menyebabkan karya beliau lahir. Terlepas dari hal tersebut, beliau
dan juga beliau cukup banyak mencetak generasi penerus yang cukup dapat
42
diperhitungkan kualitasnya, terbukti dari para murid-murid beliau banyak yang
43
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
termasuk golongan bangsawan. Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif
bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi (Al
Khatib Al Minangkabawi, lahir pada hari Senin tanggal 6 Dzulhijjah 1276 H/1860 M,
di sebuah kota Minang, Bukittinggi. Dan beliau wafat pada tanggal 8/9 Jumadilawal
adalah seorang yang berasal dari Minangkabau, yang oleh orang Jawa di Makkah
dianggap sebagai ulama yang paling berbakat dan berilmu di antara mereka, di mana
secara terus menerus mengikuti informasi Nusantara secara umum, dan tanah
beberapa ulama Nusantara terhadap beberapa masalah yang sedang berkembang pada
saat itu. Terlepas dari hal tersebut, beliau cukup banyak membantu pemerintahan di
44
Nusantara kala itu melalui fatwa-fatwanya dan juga beliau cukup banyak mencetak
generasi penerus yang cukup dapat diperhitungkan kualitasnya, terbukti dari para
murid-murid beliau banyak yang mendiriki ormas besar di negeri ini yang bertahan
hingga kini.
45
DAFTAR PUSTAKA
Minangkabawi. Majalah Ilmu Pengetahuan Dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, 22, 97–
103.
Hidayat, F. (2012). Imam & Khathib Masjid Al Haram , Ahmad Al Khathib Al. Muslim.or.Id,
1–11.
Ilyas, A. F. (2018). Polemik sayyid usman betawi dan syekh ahmad khatib minangkabau
Kebudayaan Islam Fakultas Ushuluddin Adab Dakwah Institut Agama Islam Negeri
46
ISLAM DI INDONESIA. AL MURABBI, 1(2), 202–229.
Putra, A. (2017). Ulama Dan Karya Tulis: Diskursus Keislaman Di Minangkabau Awal Abad
Seno. (2010). Peran “Kaum Mudo” Dalam Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau
Subroto, Al-minangkabawi, S. A. K., & Ushul, W. (2011). Dari Minang ke Masjidil Haram.
Minangkabau Masa Lalu untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan.
47