Anda di halaman 1dari 51

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN AHMAD KHATIB AL

MINANGKABAWI TENTANG ISLAM (FIQH) ABAD 19

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Sejarah Sosial dan Intelektual

Islam di Indonesia II, yang diampu oleh:

Agus Permana, M.Ag.

Disusun oleh:

Moch Diky Baharudin Yusuf (1165010098)

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2019

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim,

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan ke

baginda alam Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya, dan mudah-mudahan

sampai kepada kita selaku umatnya.

Atas ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan tulisannya yang berjudul

“Perkembangan Pemikiran Ahmad Khatib Al Minangkabawi Tentang Islam (Fiqh) Abad

19”. Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhi salah satu tugas pada Matakuliah

Sejarah Social dan Intelektual Islam di Indonesia II, yang diampu oleh Bapak Agus Permana,

M.Ag.

Diharapkan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan khazanah intelaktual Islam

yang hingga saat ini masih terasa kurang dan perlu dikembangkan. Khususnya dalam bidang

pendidikan Islam dan bidang ilmu kesejarahan. Meskipun demikian, tidak menutup

kemungkinan banyak kelemahan-kelemahan didalamnya.

Selain daripada itu, sebagai proses evaluasi guna membangun kesadaran nalar dan

kemampuan untuk mencapai hasil yang diharapkan, penulis menyadari bahwa masih banyak

kekurangan dari tulisan ini baik dari isi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya

pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik

dan saran yang membangun.

Bandung, 22 September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................................ii

BAB I .............................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah...................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................................... 7

C. Tujuan ................................................................................................................................. 7

D. Kajian Pustaka .................................................................................................................... 8

E. Metode .............................................................................................................................. 11

BAB II........................................................................................................................................... 15

BIOGRAFI AHMAD KHATIB AL MINANGKABAWI ........................................................... 15

A. Latar Belakang Keluarga Ahmad Khatib Al Minangkabawi ............................................ 15

B. Latar Belakang Pendidikan Ahmad Khatib Al Minangkabawi......................................... 18

C. Karya Ahmad Khatib Al Minangkabawi .......................................................................... 20

BAB III ......................................................................................................................................... 34

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN AHMAD KHATIB AL MINANGKABAWI ...................... 34

A. Pemikiran Ahmad Khatib Al Minangkabawi .................................................................... 34

B. Pengaruh Pemikiran Ahmad Khatib Al Minangkabawi.................................................... 41

BAB IV ......................................................................................................................................... 44

ii
PENUTUP .................................................................................................................................... 44

Simpulan ................................................................................................................................... 44

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 46

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu warisan anak nagari di Minangkabau adalah seorang pribadi yang

memiliki reputasi internasional di dunia Islam, sosok yang akan di bahas dalam

tulisan ini adalah Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.(Wirman, 2017)

Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, lahir pada hari Senin tanggal 6

Dzulhijjah 1276 H/1860M (Wirman, 2017) (Siddik, 2017), di sebuah kota Minang,

Bukittinggi.(Hidayat, 2012) Dan beliau wafat di Mekkah pada tahun 1916.(Mukani,

2016)

Menurut banyak sumber yang mengulas tentang ulama Minang ini, sosok

lelaki dengan nama lengkap Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif bin Abdullah al-

Minangkabawi(Subroto, Al-minangkabawi & Ushul, 2011) atau dalam sumber lain

dengan nama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif bin

‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi (Al

Minkabawi) Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari rahimahullah(Hidayat, 2012) ini

merupakan keturunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti terhadap

penjajahan Belanda. Gerakan Padri ini adalah gerakan yang dipelopori dan dilakukan

oleh para kaum Padri (ulama) dalam mengawal penegakan syariat di Sumatra Barat.

Perlawanan nyata kaum Padri terhadap Belanda dicatat oleh sejarah dan dikenal

sebagai Perang Padri.(Subroto, Al-minangkabawi & Ushul, 2011)

Ayahnya bernama Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo

Mangkuto, kepala Nagari (istilah untuk desa) Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di

1
seberang ngarai Bukittinggi.(Subroto, Al-minangkabawi & Ushul, 2011) Beliau juga

merupakan seorang ulama mumpuni dizamannya. Semua nasab dari ayah dan

kakeknya sampai ke atas adalah seorang ulama besar di daerah Minangkabau.(Siddik,

2017) Sedangkan ibunya adalah Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak asal Koto

Tuo Balai Gurah, saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo yang juga seorang

kepala nagari di Ampek Angkek.

Namanya amat populer di awal abad 19 di kalangan para raja atau sultan dan

ulama, di seantero Nusantara. Lantaran jabatan Imam Mesjidil Haram dan Mudaris

(guru) yang disandangnya di Mekkah Al Mukaroomah. la menjadi payung panji

keagamaan, tempat bertanya dan meminta fatwa para raja dan sultan di Sumatera

Timur, uleublang-uleublang di Aceh, Semenanjung Malaya, hingga Sultan-Sultan

Tidore dan Ternate di bagian Timur negeri ini (Seno, 2010).

Beliau memperdalam ilmu di Haramain dengan guru yang sama, Sayyid

Ahmad Zaini Dahlân yang saat itu sebagai mufti mazhab Syâfi‘i di Mekah dan

pimpinan para ulamanya. Guru mereka ini dapat dikatakan sebagai poros keilmuan

Nusantara. Sebab, hampir semua jaringan keulamaan di Nusantara bermuara

kepadanya.(Ilyas, 2018).

Pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 1287 H Abdullah yang merupakan kakek

Ahmad Chatib menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan membawa seluruh keluarga

termasuk Abdul Lathif dan Ahmad Chatib. Rombongan Abdullah sampai di Mekkah

15 Sya‟ban tahun 1387 H. Abdullah sampai di Mekkah disambut baik oleh

sahabatnya dengan mengadakan pesta yang sangat meriah dan menjadi pusat

perhatian oleh masyarakat setempat. Abdullah kemudian membeli dua buah rumah

yang besar di Makkah sebagai tempat tinggal keluarganya. Abdullah setelah

2
menyelesaikan tugasnya kemudian kembali lagi ke Indonesia dengan membawa

seluruh keluarganya kecuali Abdul Lathif, Ahmad Chatib dan tiga saudaranya.

Mereka tinggal dan menetap di mekkah Al Mukarramah untuk belajar ilmu agama

(Fithri, 2019).

Syaikh Ahmad Khatib memperoleh berbagai ilmu tentang agama Islam dari

keluarganya. Setelah itu, Syaikh Ahmad Khatib melanjutkan pendidikan ke sekolah

rakyat (SR), sebuah lembaga pendidikan formal yang didirikan Belanda bagi

penduduk pribumi. Setelah menamatkan pendidikan dasar, Syaikh Ahmad Khatib

melanjutkan pendidikan pada Sekolah Guru (Kweekschool) di Bukittinggi, yang

dikenal dengan istilah Sekolah Raja. Pada tahun 1881, Syaikh Ahmad Khatib muda

dikirim ayahnya untuk belajar di Mekkah (Mukani, 2016).

Ahmad Chatib selama belajar diMekkah masuk pada majlis Tahfizh Al Quran

yang diasuh oleh Syech Abdul Hadi. Ahmad Chatib menyelesaikan tahsin Al Quran

dengan baik, setelah itu Ahmad Chatib mempelajari ilmu agama yakni ilmu Nahwu

dengan Syech Umar Syata, mempelajari Ilmu Arab dan kaligrafi dengan Usman

Syatta, serta mempelajari ilmu agama dan ilmu tauhid dengan Syech Bakri Syatta di

Mesjidil Haram. Merekalah guru-guru Ahmad Chatib dalam mendalami ilmu agama

selama di Mekkah. Selain ilmu agama Ahmad Chatib sangat tekun dalam menuntut

dan mempelajari ilmu lainnya seperti ilmu hisab, matematika, social, arsitek,

permesinan, pembagian harta waris dan ilmu pembagian waktu. Ahmad Chatib

mendalami berbagai ilmu tersebutsecara otodidak dan kemudian mengajarkan serta

menulis berbagai buku tentang keilmuan tersebut (Fithri, 2019).

Pengaruh luas Ahmad Khatib ditandai dengan posisinya yang prestisius dan

penting sebagai syekh (guru besar) sekaligus khatib dan imam besar mazhab Syafii di

3
Masjidil Haram. Jabatan tersebut mencakup kawasan wilayah Hijaz, sebuah

kepercayaan yang sangat langka untuk orang non- Arab. Semua literatur tentang

Ahmad Khatib mencatat bahwa kedudukan ini beliau capai terkait dengan ketinggian

dan kedalaman ilmunya di berbagai bidang, khususnya Ilmu Fiqh dan Hukum Islam,

di samping ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Falak, Ilmu Hisab, dan Tasawuf.

Pengangkatan itu dilatarbelakangi kredibilitas dan kapabilitas keilmuannya. Dalam

rentang waktu 9 tahun ia mampu menyelesaikan pembelajaranya dari ulama Makkah

terkemuka saat itu, semisal Sayyid Zayn al-Dahlan, Syekh Bahr al-Syatta, dan Syekh

Yahya al- Qabli. Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Kolonial Belanda yang

sangat membenci Ahmad Khatib – seperti dikutip Martin Van Bruinessen-mengakui

Ahmad Khatib sebagai “sangat alim untuk ukuran Melayu” (Wirman, 2017).

Hal yang menarik dari pengaruh Ahmad Khatib di Nusantara adalah, bahwa

meski ia sendiri secara pribadi memegang teguh dan kokoh pada pendiriannya,

bahkan keras atas beberapa persoalan keagamaan – seperti soal tarekat – tetapi murid-

muridnya ternyata memiliki pendapat yang berbeda dengan Ahmad Khatib sendiri.

Menurut Burhanuddin Daya, Ahmad Khatib tidak menanamkan taklid kepada para

muridnya. Mereka diberi kebebasan dan bahkan dianjurkan mempelajari karya-karya

Abduh dan al-Afghani –icon reformer dunia Islam- agar bisa membantah pendapat

beliau (Daya, 1990: 58-9, 63-4) dalam (Wirman, 2017).

Syaikh Ahmad sangat gigih dan keras tanpa kompromi sediktpun dalam

memberantas bid’ah, khurafat, tarikat, ajaran menyimpang dan adat yang bertolak

belakang dengan syariat (Hidayat, 2012). Pehatiannya terhadap hukum warispun

sangat tinggi, dalam masalah adat yang menyimpang terutama dalam masalah waris

dan harta pusaka.

4
Beliau ini ahli dalam bidang fiqh beraliran Syafi’iyah (Mukani, 2016). Beliau

juga merupakan ulama besar Minangkabau yang memperoleh posisi prestisius sebagai

imam dan khatib dalam Mazhab Syafi’i di Mesjidil Haram. Ia mempunyai murid-

murid yang sangat banyak, terutama di Asia Tenggara. Salah satu hal yang unik dari

pribadinya ialah polemik-polemik yang banyak diikutinya. Karya tulisnya mencapai

46 buah, diantaranya (1) al-Da’il Masmu’ [masalah harta warisan di Minangkabau],

(2) Izhar zaghlil kadzibin, (3) al-Ayat al-bayyinah, (4) al- Saiful battar [no.3 sampai 4

berisi kritikan terhadap Thariqat Naqsyabandiyah], (5) al- Khittah al-mardhiyyah

[mempertahankan ushalli, kritik terhadap Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim], (5) al-

Fathul Mubin [menjelaskan tata cara bai’at dan amalan thariqat], (6) Raudhah al-

Hussab [matematika], (6) Shulhul Jama’atain [polemik dengan Mufti Betawi dalam

masalah kiblat mesjid], dan (7) Syumus al-lami’ah [membantah keyakinan Martabat

Tujuh] (Putra, 2017). Menurut „Abd Al-Jabbar, ia mempunyai karya sebanyak 46

judul buku. Sedangkan menurut Zainal Abidin Ahmad, Syekh Ahmad Khatib selama

masa hidupnya telah menghasilkan sebanyak 49 buku.(Indrawati, 2016b)

Melalui karya-karya ini pula Syaikh Ahmad membantah pandangan Syaikh

Muhammad Sa’ad Mungka dan Syaikh Ali Khathib yang gigih mempertahankan

tharikat Naqsyabandiyyah (Hidayat, 2012).

Syaikh Ahmad Khatib juga setuju dengan pendapat Muhammad Abduh,

melalui buletin al-Urwatul Wustqa, tentang pentingnya penafsiran kembali terhadap

al-Qur’an dalam konteks lebih kekinian. Hal tersebut dilakukan untuk menampik

gagasan-gagasan pembaharu Mesir ini, terutama dalam pendapat untuk kembali ke al-

Qur’an dan hadits. Meskipun demikian, Syaikh Ahmad Khatib tidak setuju dengan

pendapat Muhammad Abduh yang menolak taqlid. Hal ini dikarenakan Syaikh

5
Ahmad Khatib bukan saja penganut setia, tetapi juga imam madzhab Imam Syafi’I

(Mukani, 2016).

Tidak hanya sapai di situ perjuangan Syaikh Ahmad dalam membersihkan

noda-noda keyakinan umat Islam, beliau juga membantah syubhat-syubhat yang

dihembuskan Belanda terutama mempertanyakan keabsahan terjadinya isra’ dan

mi’raj di tengah kaum muslimin di Indonesia. Beliau kemudian membantah syubhat-

syubhat dalam bukunya, Dha’us Siraj Pada Menyatakan Isra’ dan Mi’raj yang terbit

tahun 1312 H. Berikutnya, beliau juga menulis Irsyadul Hayara fi Radd Syubahin

Nashara (Hidayat, 2012).

Ahmad Khatib lebih dikenal sebagai tokoh pemberontak tradisi, namun ia bisa

diterima secara luas oleh ulama Indonesia, baik yang tradisional maupun yang

modernis. Hal ini menunjukkan bahwa, Syekh Ahmad Khatib merupakan seorang

ulama yang alim dan mumpuni pada masanya (Indrawati, 2016b), hal ini dapat terlihat

dari banyaknya murid beliau.

Banyak murid Syaikh Ahmad Khatib dari Nusantara. Setelah pulang menimba

ilmu di Arab Saudi, mereka ini menjadi tokoh pergerakan menuju Indonesia merdeka.

Di antaranya adalah KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH. Hasyim

Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), Syaikh Karim Amrullah (tokoh modernis

Sumatera Barat), Syaikh Abdullah Ahmad (pendiri Sekolah Adabiyah), Syaikh

Muhammad Thaib Umar (pembaharu di Minangkabau), Haji Agus Salim (sepupu

Syaikh Ahmad Khatib), KH. Mas Manshur dan sebagainya (Mukani, 2016).

Dalam menyebarkan gagasan-gagasan, Syaikh Ahmad Khatib membekali para

muridnya dengan dua dasar penting. Pertama adalah sikap liberal, bahkan pernah

dicontohkanya sendiri saat menyatakan bahwa pintu ijtihad masih dibuka. Kedua

6
adalah menanamkan keharusan kepada para murid untuk memurnikan ajaran agama

dari praktek-praktek yang tidak benar dan mencari cara-cara terbaik yang telah

disediakan agama untuk menyelamatkan diri dari pintu neraka (Mukani, 2016).

Dari latar belakang diatas, penelitian akan focus mengkaji pemikiran Ahmad

Khatib Al Minangkabawi dengan judul “Perkembangan Pemikiran Ahmad Khatib Al

Minangkabawi Tentang Islam (Fiqh) Abad 19”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, penulis berupaya

membatasi masalah-masalah yang akan diuraikan, yaitu dianataranya meliputi:

1. Bagaimana Biografi dari Ahmad Khatib Al Minangkabawi?

2. Bagaimana Pemikiran dari Ahmad Khatib Al Minangkabawi?

3. Bagaimana Pengaruh Pemikiran dari Ahmad Khatib Al Minangkabawi?

C. Tujuan

Sebagaimana yang telah dimaklumi oleh banyak orang dalam sebuah

penelitian bahwa tujuan masalah harus berbanding lurus dengan focus masalah yang

menjadi pokok utama dalam pembahasan. Dengan kata lain, tujuan penelitian adalah

implementasi logis dari rumusan penelitian.

1. Untuk dapat mengetahui bagaimana Biografi dari Ahmad Khatib Al

Minangkabawi.

2. Untuk dapat mengetahui bagimana Pemikiran dari Ahmad Khatib Al

Minangkabawi.

7
3. Untuk dapat menegetahui bagaimana Pengaruh Pemikiran dari Ahmad Khatib

Al Minangkabawi.

D. Kajian Pustaka

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan beberapa sumber rujukan yang memaparkan

secara rinci mengenai pokok pembahasan yang sedang digarap yakni sebagai berikut:

1. Peran “Kaum Mudo” dalam Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau

1803-1942

Buku yang berjudul Peran “Kaum Mudo” dalam Pembeharuan Islam di

Minangkabau 1803-1942 yang di tulis oleh Seno diterbitkan di Kuranji Padang,

Sumatra Barat oleh penerbit BPNST Padang Press pada tahun 2010. Menjelaskan

tentang beberapa tokoh gerakan pembaruan Islam yang dimulai pada awal

munculnya gerakan Padri sekitar tahun 1803, salah satu tokoh tersebut adalah

Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Selain itu, dijelaskan pula biografi singkat dari

tokoh dan juga peranannya. Urgensi dari buku ini ialah digunakan sebagai rujukan

tambahan pada Bab II.

2. Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dari Minang ke Masjidil Haram

Jurnal artikel tersebut ditulis oleh Subroto yang diterbitkan oleh Republika:

Hujjatul Islam pada Ahad, 30 Oktober 2011. Sepenuhnya menjelakan tentang

biografi dari Ahmad Khatib Al Minangkabawi dan perannya dalam mengubah dan

mentransformasi pengetahuan Islam. Urgensi dari jurnal artikel ini digunakan

sebagai suber rujukan tambahan pada Bab II yang membahas menegnai biografi

dan Bab III mengenai peran dan pemikirannya.

3. Peran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1916 M) dalam Islamisasi

Nusantara

8
Skripsi yang ditulis oleh Nadia Nur Indrawati Jurusan Sejarah Kebudayaan

Islam Fakultas Ushuluddin Adab Dakwah IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun

2016 ini menjelaskan mengenai peran dari Ahmad Khatib Al Minangkabawi

dalam proses Islamisasi Nusantara pada skripsi ini menggambarkan cukup jelas

bagaimna proses Ahmad Khatib dalam mengIslamkan masyarakat Nusantara dan

tidak berfokus pada Fiqhnya. Urgensi dari skripsi ini ialah digunakan sebagai

sumber rujukan tambahan pada Bab II dan Bab III, untuk metode yang

digunakannya sendiri yaitu sama dikarenakan penulisnyapun berlatar belakang

sejarah.

4. Peran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1916 M) dalam Islamisasi

Nusantara

Jurnal artikel ditulis oleh Nadia Nur Indrawati yang diterbitkan oleh

TAMADDUN Vol. 4 Edisi 1 Januari-Juni 2016. Sama halnya dengan skripsi yang

telah dibuat sebelumya, hanya saja dalam bentukan jurnal artikel ini dibuat

menjadi lebih ringkas dan padat. Untuk urgensi dari jurnal artikel ini ialah sebagai

sumber rujukan tambahan pada Bab III.

5. Ulama dan Karya Tulis: Diskursus Keislaman di Minangkabau Awal Abad 20

Jurnal artikel Apria Putra diterbitkan oleh FUADUNA: Jurnal Kajian

Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 1, No. 2, pada Juli-Desember 2017.

Membahas mengenai ulama dan karya tulisnya diskursus keislaman di

Minangkabau pada awal abad 20. Terlihat dari judul memng berbeda konteks

waktu tapi melihat isi ternyata pembahasan juga menyinggung pada abad 19

meskipun tidak sepenuhnya sebab focus nya pada abad 20. Urgensi dari jurnal

artikel ini adalah dijadikan sumber tambahan dan pembanding pada Bab III dan

9
lebih menitik beratkan pada perkembangan pemikiran dari Ahmad Khatib Al

Minangkabawi.

6. Polemic Sayyid Usman Betawi dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau Tentang

Salat Jumat

Jurnal Artikel ini ditulis oleh Ahmad Fauzi Ilyas penerbit Sekolah Tinggi Ilmu

Tarbiyah Ar-Raudlatul Hasanah Vol. 2, No. 2, pada Juli-Desember 2018. Jurnal

artikel ini membahas mengenai bagaimana polemic anatara Sayyid Usman Betawi

dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi tentang Salah Jumat, berikut juga

dijelaskan mengenai perbedaan beserta dengan alasannya. Urgensi dari jurnal

artikel ini sendiri yaitu dijadikan sebagai sumber tambahan pada Bab III yang

membahas mengenai pemikiran Ahmad Khatib tentang salat Jumat, penulis

sendiri tidak berfokus pada polemiknya itu sendiri melainkan perkembangan

pemikirannya sendiri.

7. Ulama Al Jawwi di Arab Saudi dan Kebangkitan Umat Islam di Indonesia

Jurnal artikel yang ditulis oleh Mukani yang diterbitkan oleh ALMURABBI

STAI Darussalam Krempyang Nganjuk Vol. 2, No. 2, pada Januari 2016 dengan

ISSN 2406-775X. Menjelaskan mengenai ulama-ulama Al Jawwi di Arab Saudi

dan Kebangkitan Umat Islam di Indonesia, dalam jurnal artikel tersebut juga

menjelakan bagaimana peran dari Ahmad Khatib Al Minangkabawi dalam proses

kebangkitan umat Islam di Indonesia, beliau juga banyak melahirkan banyak

tokoh yang kemudian mendirikan ormas-ormas besar di Indonesia. Urgensi dari

jurnal artikel ini yaitu dijadikan sebagai sumber tambahan pada Bab II dan Bab

III, yang mana terdapat pemikiran dan peranannya.

8. Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi; Icon Tholabul Ilmi Minangkabau Masa

Lalu untuk Refleksi Sumatera Barat Hari ini dan Masa Depan

10
Jurnal artikel yang ditulis oleh Eka Purta Wirman yang diterbitkan oleh

JURNAL ULUNNUHA: UIN Imam Bonjol Padang Vol. 6, No. 2,pada Desember

2017. Menjelakan mengenai Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi terhadap

perannya pada Minangkabau masa lalu untuk refleksi Sumatera Barat hari ini dan

masa depan, hal ini cukup menarik karena cakupan pembahasan yang cukup luas.

Perbedaannya sendiri terletak pada cakupan waktu yang digunakan. Urgensi dari

jurnal artikel ini yaitu dijadikan sebagai sumber tambahan pada Bab III.

9. Imam & Khathib Masjid Al Haram, Ahmad Al Khatib Al Minangkabawi

Jurnal artikel ini ditulis oleh Firman Hidayat yang diterbitkan pada web resmi

www.muslim.or.id pada tahun 2012, jurnal artikel ini cukup rinci membahas

mengenai Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi hanya untuk bagian biografi,

untuk hukum fiqhnya sendiri tidak disampaikan. Urgensi dari jurnal artikel ini

sendiri yaitu digunakan sebagai sumber tambahan pada Bab II.

E. Metode

Cara menulis sejarah mengenai suatu tempat, periode, seperangkat peristiwa, lembaga

atau orang, bertumpu kepada empat kegiatan pokok yaitu: Pertama, pengumpulan

objek yang berasal dari zaman itu dan pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis,

dan lisan yang boleh jadi relevan (heuristik). Kedua, menyingkirkan bahan-bahan

(atau bagian-bagian daripadanya) yang tidak otentik (kritik). Ketiga, menyimpulkan

kesaksian yang dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang otentik (interpretasi).

Keempat, penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi sesuatu kisah atau

penyajian yang berarti (historiografi) (Indrawati, 2016a).

1. Heuristic

11
Berasal dari bahasa Yunani heuristiken yang berarti menemukan atau

mengumpulkan sumber. Dalam kaitan dengan sejarah tentulah yang dimaksud

sumber ialah sumber sejarah yang tersebar berupa catatan, kesaksian, dan fakta-

fakta lain yang dapat memberikan penggambaran tentang sebuah peristiwa yang

menyangkut kehidupan manusia. Hal ini bisa dikategorikan sebagai sumber

sejarah. Bahan-bahan sebagai sumber sejarah kemudian dijadikan alat,

bukantujuan. Dengan kata lain, orang harus mempunyai data terlebih dahulu untuk

menulis sejarah. Kajian tentang sumber-sumber ialah suatu ilmu tersendiri yang

disebut heuristic (Indrawati, 2016a).

Ada beberapa teknik terkait dengan heuristik ialah studi kepustakaan, studi

kearsipan, wawancara dan observasi (pengamatan). Teknik yang dilakukan pada

penelitian ini ialah studi kepustakaan. Penelitian ini membutuhkan referensi untuk

menambah wawasan mengenai biografi tokoh dan juga pemikiran serta peranan

yang dimaksud dari sumber-sumber pustaka. Sumber-sumber kepustakaan yang

digunakan dalam kajian ini baik yang bersifat primer, sekunder maupun tersier.

2. Kritik

Sumber-sumber yang telah dikumpulkan tersebut baik berupa benda, sumber

tertulis maupun sumber lisan, kemudian diverifikasi atau diuji melalui serangkaian

kritik, baik yang bersifat intern maupun ekstern. Kredibilitas sumber biasanya

mengacu pada kemampuan sumber untuk mengungkap kebenaran suatu peristiwa

sejarah.Kemampuan sumber meliputi kompetensi, kedekatan atau kehadiran

sumber dalam peristiwa sejarah.Selain itu, kepentingan dan subjektivitas sumber

serta ketersediaan sumber untuk mengungkapkan kebenaran. Konsistensi sumber

terhadap isi atau konten.(Indrawati, 2016a)

12
Langkah penulis dalam kritik ialah dengan melakukan kritik internal dan

eksternal. Penulis melakukan kritik internal dengan cara menilai kredibilitas

sumber melalui ketersediaan sumber untuk mengungkapkan kebenaran. Kritik

eksternal dilakukan untuk mengetahui sejauhmana keabsahan dan autentisitas

sumber. Penulis melakukan kritik ini dengan cara komparasi atau perbandingan

dengan sumber-sumber lain.

3. Interpretasi

Setelah fakta-fakta disusun, kemudian dilakukan interpretasi. Interpretasi

sangat esensial dan krusial dalam metodologi sejarah. Fakta-fakta sejarah yang

berhasil dikumpulkan belum banyak bercerita. Fakta-fakta tersebut harus disusun

dan digabungkan satu sama lain sehingga membentuk informasi peristiwa sejarah.

Hubungan kausalitas antarfakta menjadi penting untuk melanjutkan pekerjaan

melakukan interpretasi. Dalam melakukan interpretasi terhadap fakta-fakta, harus

diseleksi lagi fakta-fakta yang mempunyai hubungan kausalitas antara satu dan

lainnya. Interpretasi atau penafsiran bersifat individual sehingga sering kali

subjektif. Hal itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang penulis sejarah itu

sendiri.

4. Historiografi

Historiografi merupakan tahap akhir dari penelitian sejarah, setelah melalui

fase heuristik, kritik sumber dan interpretasi. Pada tahap terakhir inilah penulisan

sejarah dilakukan. Sejarah bukan semata-mata rangkaian fakta belaka, tetapi

sejarah adalah sebuah cerita. Cerita yang dimaksud ialah penghubungan antara

kenyataan yang sudah menjadi kenyataan peristiwa. Dengan kata lain, penulisan

sejarah merupakan representasi kesadaran penulis sejarah dalam masanya.

13
Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil

penelitian sejarah yang telah dilakukan.

Adapun sistematika penulisan karya ilmiah ini mecakup beberapa bab, yaitu

diantaranya:

BAB I berisikan pendahuluan yang mencakup hal-hal sebagai berikut: Latar

Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan, Kajian Pustaka, dan Metode.

BAB II merupakan penjelasan bagaimana biografi dari toko, latar belakang

keluarga kemudian pendidikannya, dan karya-karya dari Ahmad Khatib Al

Minangkabawi.

BAB III pada bagian ini akan membahas mengenai perkembangan pemikiran

dari Ahmad Khatib Al Minangkabawi pada abad 19, bagaimana pemikirannya,

bagaimana pengaruh dari pemikiran beliau.

BAB IV berisikan kesimpulan berdasarkan penjelasan yang telah dibahas

sebelumnya.

14
BAB II

BIOGRAFI AHMAD KHATIB AL MINANGKABAWI

A. Latar Belakang Keluarga Ahmad Khatib Al Minangkabawi

Dilihat dari garis keturunan, Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi

termasuk golongan bangsawan. Posisi ini yang menyebabkannya memperoleh banyak

kemudahan dalam mengakses pendidikan. Meskipun demikian, pendidikan pertama

tentang berbagai ilmu agama Islam beliau dapat dari keluarganya sendiri.(Mukani,

2016) Menurut banyak sumber yang mengulas tentang ulama Minang ini, sosok lelaki

dengan nama lengkap Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif bin Abdullah al-

Minangkabawi(Subroto, Al-minangkabawi & Ushul, 2011) atau dalam sumber lain

dengan nama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif bin

‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi (Al

Minkabawi) Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari rahimahullah(Hidayat, 2012) ini

merupakan keturunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti terhadap

penjajahan Belanda. Gerakan Padri ini adalah gerakan yang dipelopori dan dilakukan

oleh para kaum Padri (ulama) dalam mengawal penegakan syariat di Sumatra Barat.

Perlawanan nyata kaum Padri terhadap Belanda dicatat oleh sejarah dan dikenal

sebagai Perang Padri.(Subroto, Al-minangkabawi & Ushul, 2011)

Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, lahir pada hari Senin tanggal 6

Dzulhijjah 1276 H/1860M (Wirman, 2017) (Siddik, 2017), di sebuah kota Minang,

Bukittinggi.(Hidayat, 2012) Dan beliau wafat pada tanggal 8/9 Jumadilawal 1334 H

bertepatan 14 Maret 1916 M, dan jenazahnya dimakamkan di Mekah.(Indrawati,

2016b)

15
Ada perbedaan mengenai siapa nama kakek dari Syaikh Ahmad Khatib Al

Minangkabawi ini. Menurut ‘Umar ‘Abdul Jabbar, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al

Mu’allimi, dan Ibrahim bin ‘Abdullah Al Hazimi, kakek Syaikh Ahmad Khatib Al

Minangkabawi adalah ‘Abdullah. Sedangkan menurut Dadang A. Dahlan, kakek

Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi adalah ‘Abdurrahman yang bergelar Datuk

Rangkayo Basa. Kakeknya ini adalah seorang imigran dari Hijaz yang bermukim di

Kota Gadang dan berhasil menjadi elit religious di daerah tersebut sebagai khatib

nagari.(Mukani, 2016) Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas Syaikh Ahmad Al

Minangkabawi berasal dari keluarga bangsawan, baik dari jalur keturunan ayah

maupun ibu.(Hidayat, 2012)

Ayahnya bernama Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo

Mangkuto, kepala Nagari (istilah untuk desa) Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di

seberang ngarai Bukittinggi.(Subroto, Al-minangkabawi & Ushul, 2011) Beliau juga

merupakan seorang ulama mumpuni dizamannya. Semua nasab dari ayah dan

kakeknya sampai ke atas adalah seorang ulama besar di daerah Minangkabau.(Siddik,

2017) Sedangkan ibunya adalah Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak asal Koto

Tuo Balai Gurah, saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo yang juga seorang

kepala nagari di Ampek Angkek. Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi Memiliki

5 saudara, yaitu diantaranya H. Mahmud, H. Aisyah, H. Hafsah, H. Safiah. Dari pihak

ayah, beliau memiliki hubungan dengan H. Agus Salim, sedangkan dari pihak ibu

beliau bersaudara dengan H. Thaher Jalaluddin seorang ulama falak yang menentap

dan meninggal di Malaysia. Melihat silsilahnya, Syeikh Ahmad Khatib memiliki

hubungan dengan Tuanku Nan Tuo seorang guru dari para pejuang dan ulama-ulama

Paderi.(Wirman, 2017)

16
Beliau menikah dengan Khadijah putri dari Muhammad Saleh Kurdi seorang

pemilik toko buku di Makkah. Shaleh al-Kurdi sangat tertarik dengan Ahmad Khatib

Al Minangkabawi sehingga mengangkatnya sebagai menantu. Tidak beberapa lama

dari pernikahannya tersebut, Khadijah meninggal dunia dengan meninggalkan

seorang anak bernama Abdul Karim. Shaleh al-Kurdi begitu simpati dengan Ahmad

Khatib Al Minangkabawi terutama karena kerajinan, ketekunan, kepandaian dan

penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya. Maka, Shaleh al-Kurdipun

menikahkan Ahmad Khatib dengan anak keduanya Fatimah dan memberinya tiga

orang anak yaitu Abdul Malik, Abdul Hamid dan Khadijah.(Wirman, 2017)

Aktivitas keseharian dari Syaikh Ahmad Khatib Al Minagkabawi sebagaimana

yang disebutkan oleh Umar Abdul Jabbar dimulai dengan salat Subuh berjamaah di

Masjidilharam yang dilanjutkan dengan pengajaran. Kemudian kembali ke rumah

untuk sarapan pagi. Selanjutnya, kemungkinan tidur dalam waktu yang singkat dan

melanjutkan menelaah kitab sampai waktu Zuhur. Ketika Zuhur, beliau pergi salat

berjamaah di masjid dan setelahnya kembali ke rumah guna memberikan dua

pelajaran kepada murid-muridnya. Kemudian, makan siang dan beristirahat sejenak

sampai salat Asar, selepas itu beliau pergi ke masjid guna melaksanakan salat Asar

berjamaah. Setelah salat, beliau membuka pelajarannya dan menelaah kitab sampai

waktu Maghrib, beliau kembali ke masjid guna menunaikan salat Maghrib berjamaah.

Setelah memberikan pelajaran sampai waktu salat Isya, beliau salat berjamaah dan

kembali ke rumah untuk makan malam bersama keluarga. Beliau kemudian memulai

tidur malam di waktu yang cukup awal sampai sepertiga malam, di mana beliau akan

terbangun dan menggunakan waktunya sampai subuh tersebut untuk menulis.(Ilyas,

2017)

17
B. Latar Belakang Pendidikan Ahmad Khatib Al Minangkabawi

Pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 1287 H/1870 M Abdullah yang

merupakan kakek Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi menunaikan ibadah haji

ke Mekkah dan membawa seluruh keluarga termasuk Abdul Lathif dan Syaikh

Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang pada saat itu berusia 11 tahun. Rombongan

Abdullah sampai di Mekkah pada 15 Sya’ban tahun 1387 H. Abdullah sampai di

Mekkah disambut baik oleh sahabatnya dengan mengadakan pesta yang sangat meriah

dan menjadi pusat perhatian oleh masyarakat setempat. Abdullah kemudian membeli

dua buah rumah yang besar di Makkah sebagai tempat tinggal keluarganya. Abdullah

setelah menyelesaikan tugasnya kemudian kembali lagi ke Indonesia dengan

membawa seluruh keluarganya kecuali Abdul Lathif, Syaih Ahmad Khatib dan tiga

saudaranya . Mereka kemudian tinggal dan menetap di mekkah Al Mukarramah

selama 5 tahun untuk belajar ilmu agama.(Fithri, 2019)

Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi menempuh pendidikan awal

informalnya kepada ayahnya sendiri, yaitu Syekh Abdul Latif yang merupakan ulama

dan khatib nagari di daerahnya, Bukittinggi. Kepada ayahnya tersebut, beliau

mempelajari dasar-dasar agama Islam, seperti membaca Alquran. Selain belajar

tentang agama Islam, ia juga belajar bahasa Inggris dengan masuk ke sekolah Meer

Uietgebreid Leger Onderwijs (MULO) yang didirikan Belanda pada saat itu.(Siddik,

2017)

Pada kesempatan ini, Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi berkesempatan

belajar dan menimba ilmu kepada ulama-ulama besar yang ada di kota Makkah. Guru

dan Syaikh bagi Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi adalah tiga keluarga Syatha’

yaitu: Syaikh Abu Bakar Syatha, Syaikh ‘Umar Syatha, Syaikh ‘Utsman Syatha, dan

Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlân. Amirul Ulum menambahkan Syeikh Muhammad

18
Nawawi Banten dalam daftar guru-gurunya. Dengan jumlah gurunya yang tidak

sedikit tersebut, tentunya dapat menjelaskan bahwa keilmuannya selain diperoleh dari

guru adalah secara otodidak. Keotodidakannya dalam belajar dan membaca juga

disebabkan karena mertuanya adalah seorang ulama sekaligus saudagar yang

memiliki toko kitab, sehingga kitab-kitab agama bisa didapat oleh beliau secara lebih

mudah.(Ilyas, 2017)

Selama belajar di Mekkah, Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi masuk

pada majlis Tahfizh Al Qur’an yang diasuh oleh Syeikh Abdul Hadi. Syaikh Ahmad

Khatib Al Minangkabawi menyelesaikan tahsin Al Quran dengan baik. Setelah itu,

beliau mempelajari ilmu agama yakni ilmu Nahwu dengan Syeikh Umar Syata,

kemudian mempelajari Ilmu Arab dan kaligrafi dengan Usman Syatta, serta

mempelajari ilmu agama dan ilmu tauhid dengan Syeikh Bakri Syatta di Mesjidil

Haram. Merekalah guru-guru Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dalam

mendalami ilmu agama selama di Mekkah. Selain ilmu agama, Syaikh Ahmad Khatib

Al Minangkabawi sangat tekun dalam menuntut dan mempelajari ilmu lainnya seperti

ilmu hisab, matematika, social, arsitek, permesinan, pembagian harta waris dan ilmu

pembagian waktu. Syaikh Ahmad Khatib mendalami berbagai ilmu tersebut secara

otodidak dan kemudian mengajarkan serta menulis berbagai buku tentang keilmuan

tersebut.(Fithri, 2019)

Pada suatu hari Syaikh Muhammad Shaleh Al Kurdi mertua dari Syaikh

Ahmad Khatib bertemu dengan Syarif ‘Aunur Rafiq Gubernur Makkah. Pada

pertemuan tersebut Syaikh Muhammad Shaleh Al Kurdi menjelaskan kepada Syarif

tentang keshalehan dan kecerdasan menantunya tersebut. Shaleh Al Kurdi meminta

kepada Syarif untuk mengangkat Syaikh Ahmad Khatib sebagai guru mazhab Syafi’i

sekaligus Khatib di Masjidil Haram. Usulan Muhammad Shaleh al Kurdi akhirnya

19
dikabulkan oleh Syarif ‘Aunur Rafiq. Semenjak saat itu, Syaikh Ahmad Khatib Al

Minangkabawi diangkat sebagai ulama yang disejajarkan dengan para ulama Makkah.

Kemudian, Syaikh Ahmad Khatib berkhutbah pada hari Jumat, mengimami

masyarakat dan menyampaikan pengajiannya pada pagi dan sore hari di masjidil

Haram. Kelebihan dari Syaikh Ahmad Khatib dengan ulama lainnya di Makkah yakni

memiliki kemampuan dua bahasa yakni bahasa Arab dan bahasa Melayu. Hal ini

membuat kebanyakan para pelajar dari Nusantara menuntut ilmu kepada

beliau.(Fithri, 2019)

Mengenai murid-muridnya, mereka adalah ulama-ulama besar yang

mempunyai wibawa dan kedudukan di tengah masyarakat. Sebab, keikhlasan dan

kebersamaan Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dalam mendidik dan

membimbing. Terkait banyaknya murid yang belajar kepadanya, Snouck Hurgronje

menulis tentang sosoknya dengan mengatakan bahwa ia (Syekh Ahmad Khatib)

adalah seorang yang berasal dari Minangkabau, yang oleh orang Jawa di Makkah

dianggap sebagai ulama yang paling berbakat dan berilmu di antara mereka, di mana

semua orang Indonesia yang berhaji akan mengunjunginya. Tidak mengherankan

apabila jumlah muridnya makin bertambah setiap harinya.

C. Karya Ahmad Khatib Al Minangkabawi

Syekh Ahmad Khatib Minangkabau termasuk di antara ulama besar Indonesia

yang paling produktif menulis. Tulisannya sarat dengan kedalaman keilmuan

penulisnya dan sebagian besar merupakan kritik dan bantahannya terhadap

permasalahan keislaman yang berkembang di sebagian daerah di Nusantara. Menurut

Umar Abdul Jabbar, jumlah karya yang ditulisnya mencapai 46, yang ditulis dalam

bahasa Arab dan Jawi. Sementara menurut Zainal Abidin Ahmad ada sekitar 49 kitab.

20
Semua kitabnya, selain tersebar di Tanah Air juga di Syria, Turki, dan Mesir(Ilyas,

2017)

Syakh Ahmad Khatib Al Minangkabawi termasuk di antara ulama besar

Indonesia yang paling produktif menulis. Tulisannya sarat akan kedalaman keilmuan

penulisnya dan sebagian besar merupakan kritik dan bantahannya atau polemiknya

terhadap permasalahan keislaman yang berkembang di sebagian daerah di Nusantara.

Menurut Umar Abdul Jabbar, jumlah karya yang ditulisnya mencapai 46, yang ditulis

dalam bahasa Arab dan Jawi. Sementara itu, menurut Zainal Abidin Ahmad ada

sekitar 49 kitab. Semua kitabnya, selain tersebar di Tanah Air juga di Syria, Turki,

dan Mesir.(Ilyas, 2017)

Menurut catatan otobigrafinya, Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi

menulis empat puluh tujuh karya dalam dua bahasa yaitu bahasa Arab dan Jawi, yang

mana diantaranya 23 telah dicetak dan 24 masih berbentuk manuskrip. Pendapat ini

sekaligus mereduksi (pengurangan) semua pendapat-pendapat penulis biografi ulama

Nusantara terkait jumlah karyanya yang selalu diperdebatkan.(Ilyas, 2017)

Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi adalah sosok ilmuwan yang

produktif. Hal tersebut terbukti dalam rentang waktu 30 tahun berada di Mekkah,

beliau banyak menghasilkan karya ilmiah berupa buku sebanyak 47 buah buku. Yang

dimulai dengan karya pertamanya yang berjudul Hasyiah al Nafasat yang ditulis pada

tahun 1306 H dan Kitab yang terakhirnya yaitu Al Qaul Qaul al Nahif yang ditulis

pada tahun 1334 H tepatnya tanggal 3 Muharram, karya-karya tersebut yaitu

diantaranya:(Fithri, 2019)

1. Al-NafahatHâsyiah al-Waraqât (1306 H)

21
Al-NafahatHâsyiah al-Waraqât, adalah sebuah kitab pertama dari Syaikh

Ahmad Khatib yang ditulis dalam bahasa Arab, sebagai penjelasan atas kitab

al-Waraqâtkarya Imam Jalâluddîn al-Mahalli yang menjelaskan matan dasar

karya Imam Juwainî. Kitab al-Waraqâtdalam bidang usul fikih merupakan

kitab yang cukup penting bagi dunia Islam, terutama Nusantara. Banyaknya

hâsyiah atas kitab ini menunjukkan nilai yang berarti bagi dunia keilmuan

Islam. Salah satu kitab yang diajarkan Syekh Ahmad Khatib di halaqah

Masjidilharam adalah kitab al-Waraqât, sehingga oleh karena tidak adanya

kitab hâsyiah di masanya yang dapat menjelaskan kesulitan memahami uraian

dari ‘ibarah kitab, ia kemudian menulis kitab ini. Kitab ini diselesaikan

penulisannya pada tahun 1306 H dan dicetak berulang kali oleh penerbit.

Naskah yang ada sama penulis ada dua, salah satunya cetakan Dâr al-Kutub al-

‘Arabiyah yang disalin ulang oleh Syekh Jadullah bin Muhammad Badawi

pada tahun 1309 H.(Ilyas, 2017)

2. Al-Jawâhir al-Naqiyyah fi al-A‘mâl al-Jaibiyah/ Mutiara-mutiada dalam amal-

amal yang memerlukan biaya (1309 H)

Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab, kitab ini merupakan karya keduanya

dalam bidang ilmu falak (‘ilm al-miqat). Sebagaimana disebutkan penulisnya

bahwa sebelum menulis kitab ini, ia tidak termasuk expert, bahkan ia belum

menemukan guru yang tepat untuk mengajari ilmu tersebut, sehingga atas

inisiatifnya ia belajar secara otodidak sehingga mampu menguasai ilmu

tersebut. Karena banyak permintaan orang-orang Nusantara kepadanya untuk

menulis sebuah kitab dalam bidang ini, ia kemudian menulisnya. Ia

menyelesaikannya pada tahun1309 H dan dicetak oleh Penerbit Matba‘ah

Maimaniyah di Mesir atas biaya adik iparnya, Syekh Muhammad Majid al-

22
Kurdi, sebuah pemilik percetakan yang diawal-awal di Makkah, yaitu

Mathba‘ah al-Taraqqi al-Majidiyah.(Ilyas, 2017)

3. Al-Dâ‘i al-Masmu‘ fi al-Radd ‘alâ Man Yuwarrits al-Ikhwah wa Aulâd al-

Akhawât ma‘a Wujûd al-Ushûl wa al-Furu‘ (1309 H)

Ditulis dalam bahasa Arab. Sesuai dengan judulnya, kitab ini ditulis sebagai

bantahan atas amaliyah dan tradisi masyarakat Minangkabau yang sudah turun-

temurun terkait pewarisan harta kepada saudara dan kemanakan dengan

mengabaikan anak dan orang tua. Kitab ini cukup menggemparkan wilayah

Nusantara pada zamannya sehingga menuai kritikan yang keras dari berbagai

pihak, termasuk anak-anak muridnya. Penolakan terhadap pewarisan

Minangkabau juga pernah ditulis oleh Syekh Sayyid Usman Betawi dalam

kitabnya, Manhaj al-Istiqâmah fî al-Dîn bi al-Salâmah. Alasan yang

mendorong Syekh Ahmad Khatib menulis kitab ini adalah sebuah pertanyaan

dari negeri Minangkabau terkait masalah warisan yang berlaku di sana.

Pertama sekali, pertanyaan tersebut diajukannya kepada gurunya, Syekh Sayyid

Abu Bakar Syatha yang dijawab oleh gurunya tersebut dengan tiga lembar

fatwa sebagai jawaban, dan dikirim ke negeri Minangkabau. Namun, oleh

karena halaman yang kurang banyak, mereka tidak merasa puas atas jawaban

pengarang kitab I‘ânah, yang mendorong Syekh Ahmad Khatib menulis kitab

ini.(Ilyas, 2017)

Di Minangkabau tulisan al-Minangkabawi ini membuat gempar dan beberapa

ulama Minang menuduh al-Minangkabawi telah membawa agama baru. al-

Minangkabawi sendiri menimpali dengan menganggap mereka tidak membaca

bab faraidh dalam fikih. Di dalam kitab itu al-Minangkabawi menegaskan,

menurut syariat, anak laki-laki harusnya mendapat warisan yang lebih besar

23
jumlahnya ketimbang anak perempuan. Kitab ini adalah karya pertama al-

Minangkabawi yang menimbulkan perselisihan di Minangkabau. Tulisan ini

dibuat pada tahun 1309 H. atau 1888 M. (Bahtiyar, 2019)

4. Raudhah al-Hussab fî A‘mâl al-Hisb/ Lapangan Para Ahli Ilmu Matematika

dalam Ilmu Hisab (1330 H)

Ditulis dalam bahasa Arab. Kitab ini membahas mengenai ilmu perhitungan,

al-jabar wa al- muqabalah, danmufâsakhah. Membahas menegnai masalah

Matematika yang dihubungkan dengan pembagian waris atau ilmu fara’id.

Dalam keilmuan berhitung, Syaikh Ahmad Khatib juga termasuk di antara

ulama yang belajar secara otodidak, seperti penuturannya bahwa ia tidak

menemukan guru yang tepat dalam ilmu ini, sehingga ia bersungguh-sungguh

dalam mempelajarinya dari kitab-kitab terkait sehingga expert di bidang ilmu

tersebut. Setelah selesai menulis kitab ini, ia menunjukkannya kepada gurunya

Syekh Abu Bakar Syatha’ yang mengapresiasinya secara serius. Kitab ini

diterbitkan oleh Matba‘ah alMaimaniyah di Mesir atas biaya temannya, Syekh

Muhammad Kasymiri.(Ilyas, 2017)

5. Alam al Hussab fi Ilm al Hisab ( 1310 H)

6. Al Nukhbah al Bahiyyah ( 1313 H)

7. Al-Riyadh al-Wardiyah fi al-Ushûl al-Tauhîdiyah wa al-Furû‘ al-Fiqhiyah

(1311 H)

Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ini merupakan karya lengkapnya dalam

bidang fikih ibadah. Kitab tersebut membahas tentang ilmu tauhid yang

digabungkan dengan fikih dan ushul fikih. Kitab ini dapat juga dijadikan

sebagai pedoman praktis untuk ilmu Aqidah dan Syari’ah.(Indrawati,

2016b)Sebab penulisan kitab ini atas permintaan ibunya yang saat itu datang ke

24
Makkah menemuinya untuk belajar dasar-dasar agama. Kitab tersebut

diselesaikan pada tahun 1311 H dan dicetak beberapa kali, di antaranya oleh

Matba‘ah al-Miriyah dan Matba‘ah Taraqqi al- Majidiyah di Makkah atas biaya

adik iparnya.(Ilyas, 2017)

8. Al-Manhaj al-Masyru‘ fi Tarjamah al-Da’i al-Masmu‘ (1311 H)

Kitab ini ditulis sebagai terjemahan dari kitab al-Da‘i al-Masmu‘ berbahasa

Arab yang oleh karena orang Minangkabau tidak semuanya mengerti bahasa

tersebut, mereka memohon kepadanya untuk menerjemahkan ke bahasa mereka

dengan menambahkan tulisan dalam bidang ilmu waris dan pembagiannya.

Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1311 H dan dicetak pada Matba‘ah al-

Maimaniyah di Mesir.(Ilyas, 2017)

9. Al Nukhbah al Bahiyyah (1313 H)

10. Al Riad Wardiyyah fi Usul al Tauhid (1311 H)

11. Dau al Siraj (1312 H)

Merupakan persembahan al-Minangkabawi untuk masayarakat Minangkabau

yang saat itu sistem pendidikannya sedang didominasi oleh pendidikan

Belanda. Pihak Belanda mendoktrin anak- anak Minangkabau bahwa Nabi

Muhammad Saw telah berdusta tentang periistiwa Isra Mi‘raj. Bahaya tersebut

membuat gelisah orang Minang sehingga mereka mengirim surat kepada al-

Minangkabawi agar dituliskan sebuah risalah yang dapat membantah ajaran

hasutan Belanda.(Bahtiyar, 2019)

12. Sulh al Jama’ ‘Atain (1313 H)

13. Nur al Syasiyyah fi Ahkam al Jumaat (1314 H)

14. Jawahir al Faridah fi Ajwibah al Mufidah (1314 H)

15. Mu’in al Jayiz fi Tahqiq Ma’ana al Jaiz (1315 H)

25
16. Al Suyuf wa al Khamajir ‘ala Riqab Kull Man Ya’u li al Kafir (1316 H)

Kitab ini ditulis sebagai respon al-Minangkabawi atas kebijakan Pemerintah

Belanda yang memerintahkan umat Islam di Indonesia untuk mendo‘akan raja

mereka. Dalam peristiwa Sayyid Usman bin Aqil kembali berulah dengan

menulis kitab yang mendukung kebijakan tersebut. Sekali lagi untuk

membantah fatwa Sayyid Usman bin Aqil yang dianggap menggunakan dalil

lemah itu, al-Minangkabawi menulis karya ini. Namun al-Minangkabawi

memalsukan nama penulis kitab tersebut sebab ia khawatir akan nasib orang

Minang yang bisa diganggu oleh Pemerintah Belanda.(Bahtiyar, 2019)

17. Al Qaul al Mufid Syarh Matala’ al Sa’id (1317 H)

Salah seorang sepupu Ahmad Khatib yang bernama Thahir bin Muhammad

Jalaluddin Cangking (1297-1377 H.). Hamka menyebut bahwa ibu Thahir

Jalaluddin adalah kakak kandung dari ibu al-Minangkabawi, namun ia lebih

muda daripada al-Minangkabawi. Dimasa mudanya Thahir Jalaluddin

mendapat julukan Fakih Sagir. Sebagaimana al- Minangkabawi, ia juga pergi

ke Makkah untuk menuntut ilmu. Di tahun 1895 Thahir Jalaluddin beranjak

dari Makkah ke Mesir untuk belajar di Al-Azhar. Disana ia menjadi orang

dekat Rasyid Ridha (1865-1935 M.). Setelah selesai menempuh studinya di Al-

Azhar ia kembali ke Makkah untuk membantu saudara sepupunya itu sebagai

pengajar di Masjidilharam.

Pasca kembali ke Makkah ia membawa kitab Mathla‟ Said karya Syekh

Husain Zayad untuk diberikan kepada al-Minangkabawi. Namun al-

Minangkabawi merasa kesulitan untuk memahami isi kitab itu. Murid-

muridnya mengetahui kalau al- Minangkabawi sedang mengoleksi kitab ilmu

falak tersebut dan mereka memaksa al-Minangkabawi untuk mengajar kitab itu.

26
Walaupun al-Minangkabawi sulit memahami karya tulis ulama Mesir ini, ia

tetap berusaha. Dengan bantuan literasi lain yaitu kitab karya Zayj bin Syathir

(w. 1375 M), akhirnya ia berhasil mensyarah kitab tersebut. Karya ini ditulis

pada tahun 1317 H. atau 1896 M.(Bahtiyar, 2019)

18. Al Natijah al Mardiyyah fi Tahqiq al Sannahal Syamsyiah wa al Qamariyyah

(1317 H)

19. Fath al-Mubin liman Salaka Thariq al-Washilin (1318 H)

Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ini ditulis sebagai bantahan atas tradisi

tarekat Naqsyabandiyah dalam masalah “rabithah” yang dianggap

menyimpang oleh Syekh Ahmad Khatib. Ada dua versi judul untuk kitab ini,

yang pertama dengan judul di atas, dan kedua dengan judul Fath al-Mubin fi

Amr min ‘Umur al-Dîn. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1318 H dan

diterbitkan oleh Matba‘ah al-Miriyah dan Matba‘ah Taraqqi al-Majidiyah di

Makkah atas biaya adik iparnya.(Ilyas, 2017)

20. Al Durrah al Bahiyyah fi Ada’ al Zakat al Zarrah al Habsyiyyah (1319 H)

21. Fath al Khabir fi Basmalah al Tafsir (1319 H)

22. Al Radd al Syafi wa Syamsiah al Umdah fi Man al Qasr fi Masafah Jiddah

(1320 H)

23. Kasyafal Ain fi hukm Wad’ Yad Ba’d Tatawwul al Zaman ( 1321 H )

24. Hill al Uqdah fi Tashih al Umdah (1321 H)

25. Aqwal al Wadihah fi Huk Alaihi Qada al Salawat (1321 H )

26. Husn al Difa’ an al Tiba fi al Nahy ‘an al Tiba’ (1322 H)

Ahmad Khatib al-Minangkabawi terkenal sebagai ulama yang menolak ajaran

tarekat sehingga ketika ia mendapat kabar dari orang Melayu yang diantara

27
mereka ada yang membuat bid‘ah dalam tarekat, ia merespon dengan menulis

kitab ini yang dibuat pada tahun 1322 H. atau 1901 M.(Bahtiyar, 2019)

27. Al Sarim al Mufra li Wasawis kull Kazib wa Muftara (1323 H)

28. Maslak al Raghibin fi Tariqat Sayyid al Mursalim (1323 H)

29. Izhhar Zaghl al-Kadzibin fi Tasyabbuhihimbi al-Shâdiqîn ( 1324 H)

Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ini yang pertama sekali menggembarkan

alam Minangkabau dalam masalah tarekat. Sebab penulisan kitab ini adalah

sebuah surat dari muridnya, Syekh Abdullah Ahmad, pendiri majalah al-Munir

yang meminta fatwa terkait lima masalah dalam tarekat Naqsyabandiyah

Khalidiyah yang berkembang di Minangkabau. Kelima masalah tersebut adalah

sanad Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, dasar atas pelarangan

mengkonsumsi dalam masa bersuluk, dasar atas pembatasan masa bersuluk 40,

20 dan 10 hari, dasar atas rabithah, dan dasar atas Tarekat Naqsyabandiyah

Khalidiyah. Selain memuat jawaban atas lima pertanyaan tersebut, dimuat juga

bantahan atas pendapat Syekh Mukhtar Bogor terkait Tarekat Naqsyabandiyah

Khalidiyah. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1324 H dan diterbitkan

beberapa kali, salah satunya Mathba‘ah al-Taqaddum al-‘Ilmiyah di

Mesir.(Ilyas, 2017)

30. Kasyf al Ghain fi Istiqlal kull min Qaulai al Jihhat wa al Ain (1924 H)

31. Al-Âyât al-Bayyinat li al-Munsifîn fî Radd Khurafat Ba‘dh al-Muta‘ashshibîn

(1324 H)

Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ini ditulis sebagai bantahan atas karya Syekh

Muhammad Sa‘ad Mungka, ulama senior Kaum Tua Minangkabau yang

berjudul Irgham Unuf al-Muta’annitîn fî Inkarihîn Rabithah al-Washilîn dalam

bahasa Jawi yang ditulis sebagai bantahan atas kitab Izhhar. Kitab ini selesai

28
ditulis pada tahun 1325 H dan diterbitkan satu paket dengan kitab Izhhar.(Ilyas,

2017)

32. Al-Saif al-Battâr fî Mahq Kalimât Ba‘dh Ahl al-Ightirâr ( 1325 H)

Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ditulis atas bantahan sebuah kitab yang

penulisnya menyembunyikan nama aslinya. Pembahasan dalam masalah kitab

ini masih dalam seputar Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Dengan dua

kitab sebelumnya dicetak satu paket oleh Mathba‘ah al-Taqaddum al-‘Ilmiyah

dan selesai ditulis pada tahun 1325 H.(Ilyas, 2017)

33. Al Hawi fi al Nahw (1326 H)

34. Wa’z al hasanah li man Yarghab al A’mal Ahsanahu ( 1327 H)

35. Al-Khiththah al-Mardiyah fi al-Radd ‘alâ Man Yaqûl bî Bid‘ah al-Talaffuzh bi

al-Niyah (1327 H)

Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ini ditulis sebagai responsnya atas karya

salah satu muridnya, Syekh Abdul Karim Amrullah yang terpengaruh oleh

pendapat Imam Ibn Taimiyah dan Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dengan

menyatakan bahwa mengucapkanushallîtermasuk bidah. Menarik dari kitab ini

bahwa Syekh Ahmad Khatib memberikan label sesat kepada kedua ulama

tersebut. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1327 H dan diterbitkan oleh

Mathba‘ah Taraqqi al-Majidiyah di Makkah.(Ilyas, 2017)

36. Al Syumus al Lami’ah fi al Radd ‘ala al Martabah al Sabah (1328 H)

Suatu ketika murid al-Minangkabawi menunjukan sebuah literasi yang

mambahas tentang ajaran Martabat Tujuh yang berkembang di Jawa. Di dalam

literasi itu tertulis bahwa siapa yang menyakini jasmaninya bisa membawa

pada kekafiran. Literasi itu berkembang pesat di kalangan muslim yang awam

29
di Jawa. Sehingga al-Minangkabawi menulis kitab ini yang susun pada tahun

1328 H. atau 1907 M.(Bahtiyar, 2019)

37. Raf‘u al-Iltibâs ‘an Hukm al-Anwath al-Muta‘amalbiha Bain al-Nâs (1326 H)

Ditulis dalam bahasa Arab. Kitab ini membahas fatwa fikih terkait

diwajibkannya zakat atas uang kertas, dimana ukuran nilai nominalnya sama

dengan uang logam (fulus). Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1326 H dan

diterbitkan oleh Mathba’ah Taraqqi al-Majidiyah di Makkah.(Ilyas, 2017)

38. Iqna al Nufus bi Ilhaq Waraq al Anwat bi Umlat al Fulus (1330 H)

39. Tanbih li Ghafil li Suluk al Awail ( 1330 H)

40. Sal al Husam fi Qat Kharafat Tanbih al Anam (1329 H)

41. Al-Qaul al-Tahif fî Tarjamah Târîkh Hayâh al-Syaikh Ahmad al-Khatib bin

‘Abd al-Lathîf (1331 H)

Ditulis dalam bahasa Arab. Tulisan ini ditulis atas permintaan dari banyak

muridnya untuk sebagai pengingat mereka semasa belajar di Makkah terkait

biografi dan segala yang berhubungan dengan kehidupan guru mereka.

Menarik bahwa kitab ini ditulis ketika Syekh Ahmad Khatib berumur 58 tahun

dan dalam keadaan sakit. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1334 H pada tahun

wafatnya.(Ilyas, 2017)

42. Al bahjah al Saniyyah fi al Amal al Jaibiyyah ( 1331 H)

43. Tanbîh al-Anâm fî al-Radd ‘alâ Risâlah Kaff al-Awâm ‘an al-Khaud fî

Syarikah al-Islâm (1332 H)

Ditulis dalam bahasa Arab. Kitab ini ditulis sebagai bantahan atas karangan

muridnya, KH. Hasyim Asy‘ari yang berjudul Kaff al-‘Awâm ‘an al-Khaudh fî

Syarikah al-Islâm yang menolak keabsahan ormas Sarekat Islam dalam

tinjauan agama Islam. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1332 dan pernah

30
dicetak di Mesir dan diperbarui oleh Khazanah Fathaniyah di Kuala Lumpur,

Malaysia.(Ilyas, 2017)

Menurut Ginanjar Sya‘ban kitab ini al-Minangkabawi tulis untuk membamtah

pendapat dari salah seorang murid al-Minangkabawi dari Jawa yaitu Hasyim

Asy‘ari yang menulis kitab Kaff al-‘Awam. Di Jawa saat itu sebuah organisasi

dagang yang bernama Sarekat Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi dan

HOS Tjokroaminoto pada tahun 1911 M. Hasyim Asy‘ari lebih dahulu menulis

kitabnya. Ia memandang bahwa SI (singkatan Sarekat Islam) tidak mampu

menjadi solusi penyatuan umat. Mereka justru berpotensi untuk memecah belah

dan merugikan umat. Ia mengirimkan tulisannya ini kepada gurunya, al-

Minangkabawi, dan gurunya pun membantah pendapat Hasyim Asy‘ari dengan

menulis risalah itu. al-Minangkabawi malah menyetujui dan merestui

berdirinya SI. Menurutnya SI dapat menjadi titik tolak kebangkitan umat Islam.

Organisasi ini menegakkan prinsip- prinsip Islam dan mensejahterakan

perekonomian umat. Organisasi ini juga dapat meneingkatkan mutu pendidikan

di Indonesia. Setelah membaca tulisan balasan dari al-Minangkabawi, Hasyim

Asy‘ari meninjau ulang pendapatnya atas SI. Akhirnya Hasyim Asy‘ari sepakat

dengan adanya SI dan mengirim pernyataan persetujuannya kepada al-

Minangkabawi. Dalam autobiografinya al- Minangkabawi menulis: “Kemudian

penulisnya menyatakan kekeliruannya atas apa yang ditulis dan mencabutnya

kembali”.(Bahtiyar, 2019)

44. Irsyâd al-Hayâri fi Izâlah Ba‘dh Syubah al-Nashârâ (1332 H )

Ditulis dalam bahasa Arab. Kitab ini ditulis sebagai jawaban dari Nusantara

berupa kritikan orang Belanda atas 7 masalah dalam agama Islam, yaitu

menginkari keberadaan Allah Swt, pologami, talak, penyebaran Islam dengan

31
perang dan paksaan, masalah budah, perbudakan, dan kesalahan agama non-

Islam. Ketujuh masalah tersebut dijawab Syaikh Ahmad Khatib dengan

argumentasi yang memuaskan. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1332 H dan

diterbitkan di Mesir.(Ilyas, 2017) Untuk sekian kalinya Syaikh Ahmad Khatib

Al Minangkabawi menulis kitab yang berisikan sanggahan. Di tahun 1911

beliau menghadapi orang-orang asing. Mereka adalah para sarjana yang

membuat permasalahan dengan, pertama, mengingkari adanya Allah Swt.

Kedua, menolak poligami. Ketiga, menyatakan Islam ditegakkan dengan

perang. Keempat, kritik atas jihad dan syara‘. Terakhir, menyalahakan semua

agama selain dari Islam. Bagi al- Minangkabawi pendapat mereka berbahaya

terutama yang terakhir sehingga ia menulis risalah yang ia tulis pada tahun

1332 H. atau 1911 M ini.(Bahtiyar, 2019)

45. Hasiyah Fath al Jawad

46. Risalah fatawa al Khatib

32
33
BAB III

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN AHMAD KHATIB AL MINANGKABAWI

A. Pemikiran Ahmad Khatib Al Minangkabawi

Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dikenal sebagai ulama yang cukup

banyak berpolemik dengan ulama lain semasanya. Hal ini dapat terlihat dari beberapa

karyanya yang isi tulisannya menunjukkan perdebatannya dengan ulama lain.

Beberapa contoh kasus polemiknya dengan ulama lain yaitu, dengan Syaikh Sayyid

Usman Betawi dalam permasalahan pendirian masjid baru di Palembang untuk salat

Jumat, dengan KH. Hasyim Asy’ari dalam masalah otoritas organisasi Sarekat Islam

(SI), dengan Syekh Muhammad Sa’ad Mungka dan beberapa ulama Minangkabau

terkait masalah tarekat Naqsyabandiyah, Syekh Abdul Karim Amrullah terkait

masalah pengucapan ushalli, dan masalah pewarisan kemenakan yang sudah menjadi

tradisi di Minangkabau juga ikut menambah daftar perdebatannya dengan ulama lain

pada masanya.(Ilyas, 2017)

Dalam permasalahan ini, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi telah

menulis empat kitab secara berturut-turut dalam bahasa Jawi, Arab, dan Melayu yang

menunjukkan cukup banayknya perdebatan yang terjadi dan berjalan dalam tempo

waktu yang cukup lama. Ketiga kitab tersebut adalah Fath al-Mubîn fîmâ Yata‘allaq

bi‘Umur al-Dîn, disingkat Fath al-Mubîn, Izhhâr Zaghl al-Kâzibîn fî Tasyabbuhihim

bî as-Shadiqîn, disingkat Izhhar, al-Ayat al- Bayyinât lî al-Munsifîn fî Radd Khurafât

Ba‘dh al-Muta‘assibîn, disingkat al-Âyât al-Bayyinât, danAl-Saif al-Battar fi Mahq

Kalimat Ba‘dh Ahl al-Ightirar, disingkat al-Saif al-Battar. Hal yang melatar-

belakangi mengapa ia menulis kitab pertamanya adalah bahwa salah satu tokoh ulama

kaum muda yang pernah menjadi muridnya dan pendiri majalah al-Munir, Syekh

34
Abdullah Ahmad menulis surat kepada gurunya di Makkah yang berisi permintaan

fatwa terkait tradisi tarekat Naqsyabandiyah yang ada di Minangkabau dan sekaligus

dalil-dalil yang menjadi sandaran dalam amaliyah ulama Minangkabau tersebut.(Ilyas,

2017)

Hal ini senada dengan catatan otobiografi yang ditulisnya yang menyebutkan

bahwa kitab tersebut ditulis pada tahun 1318 H / 1904 M. Dalam kitab pertamanya

ini, ia menjelaskan istilah-istilah yang beredar luas di komunitas ulama tarekat seperti

syariat, tarekat dan hakikat. Lebih luas, beliau menjelaskan terkait pengertian tarekat

yang diajarkan pada masa Nabi Muhammad Saw. berubah secara totalitas pengertian

tarekat yang dikenal pada masa ulama-ulama pengamal tarekat tersebut. Menurutnya,

terekat yang diajarkan oleh nabi Muhammad adalah ketersesuaian antara syariat dan

terekat itu sendiri. Dalam memahami tarekat yang benar, para ulama sufi memberikan

sembilan wasiat kepada mereka yang ingin menempuh jalan tarekat, yaitu tobat,

qana‘ah, zuhud, belajar ilmu syariat, menjaga sunah dan adab Nabi SAW baik lahir

maupun batin, tawakal, ikhlas, ‘uzlah (menghindari dari manusia), dan menjaga waktu

yang diberikan dalam ketaatan secara totalitas. Kesembilan wasiat ini dijabarkan

secara luas olehnya. Sebagai contoh, ketika menjelaskan pengertian ‘uzlah, ia

membagi ke dalam dua bentuk. Pertama, apabila orang lain tidak membutuhkannya

dalam hal keilmuan dan lainnya, maka sebaiknya ia menjauhi mereka kecuali pada

waktu salat berjamaah, atau keperluan sehari-hari. Kedua, orang berhajat kepadanya

dari keilmuan dan lainnya, maka pada kondisi seperti ini, ia wajib memberikan apa

yang mereka butuhkan dari segi agama dan lainnya. (Ilyas, 2017)

Kesimpulan yang ingin ditekankan oleh Syaikh Ahmad Khatib Al

Minangkabawi adalah tarekat yang benar itu adalah tarekat Nabi, sahabat, dan ulama-

ulama terdahulu yang lebih mengedepankan syariat dalam tarekatnya. Hal ini berbeda

35
dengan tarekat yang berkembang di Minangkabau kala itu, yang mana lebih direduksi

oleh makna dan pengamalannya dalam bentuk baiat dan wirid yang diajarkan oleh

guru mursyid kepada muridnya tanpa memperhatikan dan melalui ilmu-ilmu syariat.

Bahkan ia menambahkan bahwa pada masanya tarekat dijadikan sebagai alat untuk

memupuk harta dan kekayaan dunia. Dengan mengutip pendapat Imam Sya‘rani

dalam kitab al-Minan al- Kubra, beliau mengatakan bahwa seorang guru mursyid

tidak dibenarkan mengajarkan ilmu tarekat apabila ia tidak memiliki keilmuan yang

luas dalam bidang syariat. Pendapat ulama sufi besar tersebut diambil terkait

banyaknya para guru-guru tarekat pada zaman Syaikh Ahmad Khatib Al

Minangkabawi ketika menerima murid yang berkeinginan masuk tarekat tidak

diseleksi ilmu syariatnya, seperti fardh ‘ain.(Ilyas, 2017)

Menurutnya, bertaklid kepada empat imam mazhab adalah bertaklid dalam

pengertian kaifiyat, syarat, rukun yang ditetapkan imam mazhab masing-masing,

bukan dalam penetapan hukumnya, sebab telah ditetapkan melalui teks Alquran dan

Hadis.(Ilyas, 2017)

Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi juga setuju dengan pendapat

Muhammad Abduh, melalui buletin al-Urwatul Wustqa, tentang pentingnya

penafsiran kembali terhadap al-Qur’an dalam konteks lebih kekinian. Hal tersebut

dilakukan guna menampik gagasan-gagasan pembaharu Mesir, terutama dalam

pendapat untuk kembali pada Al-Quran dan Hadits. Meskipun demikian, Ahmad

Khatib Al Minagkabawi tidak sependapat dengan pendapat Muhammad Abduh terkait

menolak taqlid. Hal ini dikarenakan Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi bukan

saja penganut setia, melainkan juga imam madzhab Imam Syafi’I.

36
Dalam menyebarkan gagasan-gagasannya, Syaikh Ahmad Khatib Al

Minankabawi membekali para muridnya dengan 2 dasar penting. Pertama, adalah

sikap liberal, bahkan beliau pernah mencontohkannya sendiri saat menyatakan bahwa

pintu ijtihad masih dibuka, dan kedua adalah menanamkan keharusan kepada para

murid untuk memurnikan ajaran agama dari praktek-praktek yang tidak benar dan

mencari cara-cara terbaik yang telah disediakan oleh agama untuk menyelamatkan

diri dari pintu neraka.(Mukani, 2016)

Dalam menghadapi praktik tarekat Naqsyabandiyah, Syaikh Ahmad Khatib Al

Minangkabawi mengemukakan pemikirannya melalui karya-karyanya. Di antaranya

berjudul Idhhar Zaigh al-Kadzibin fi Tasyabbuhihim bi as-Shadiqin (yang

menjelaskan Kekeliruan para Pendusta, Ketika Mereka Berpura-pura Menjadi Orang

yang Benar) terbit pada tahun 1324 H/1906 M. Al-Ayah al-Bayyinah li al-Mushifin fi

Izalah Khurafat Ba’dh al-Muta’ashshibin (Keterangan yang Jelas bagi Orang- orang

yang Insaf, Guna Menghilangkan Kecenderungan Sebagian Orang yang Ta’assub)

terbit pada tahun 1324 H/1906 M. Karyanya yang lebih tajam lagi ialah As-Syaiyf al-

Battar fi Mahaq Kalimah Ba’dh al-Ightirar (Pedang Tajam untuk Menangkis Kata-

kata Sebagian Pembohong, terbit tahun 1326 H/1908 M). Ketiga kitab tersebut

bertujuan untuk menentang tarekat Naqsyabandiyyah. . Di dalam dua buku yang

terakhir ini Ahmad Khatib Al Minangkabawi menunjukkan bahwa di dalam tarekat

Naqsyabandiyyah terdapat bid’ah yang tidak ada pada masa Nabi.(Indrawati, 2016b)

Karya Syaikh Ahmad Khatib Al Miangkabawi yang paling tekenal di bidang

ini ialah Izharu Zaghlil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin, karya ini menentang

tarekat. Masalahnya yang Pertama, adalah mengenai asal tarekat Naqsyabandiyyah.

Dalam hal ini pengarang tidak memulai dengan pendekatan sejarah tetapi dengan

penyelidikan; Apakah tarekat sesuai dengan syari’at dan aqidah; yang tidak sesuai

37
dengan hal itu pasti bukan berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, Syaikh

Ahmad Khatib Al Miangkabawi memiliki kecenderungan untuk cepat mengkafirkan

orang lain. Kedua, adakah silsilah tarekat Naqsyabandiyyah yang sampai kepada

Rasul Allah? Pertanyaan kedua yang dijawab adalah mengenai silsilah tarekat

Naqsabandiyah. Menurutnya, di dalam hadis memang Nabi Muhammad SAW

memerintahkan untuk membaca dzikir “Laa ilaaha illallah”, akan tetapi menyebut

lafadz Allah saja bukanlah termasuk hadis Nabi. Menurut silsilah Naqsyabandiyyah,

zikir itu berasal dari Abu Bakar; karena hal itu tidak mungkin, juga silsilah itu palsu.

Masalah ketiga dan keempat, ialah praktek suluk dan larangan makan daging sebagai

selundupan dari agama Kristen ke dalam agama Islam, yang sama sekali tidak

mempunyai dasar. Kelima, mempermasalahkan adanya rabithah yakni murid harus

membayangkan gurunya di dalam dirinya sebagai persiapan konsentrasi. Hal ini jelas

sangat keras ditolak oleh Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Dalam hal ini,

kritik Syaikh Ahmad Khatib Al Minagkabawi terhadap tarekat Naqsyabandiyyah

lebih fundamental. Menurut pemikiran Syaikh Ahmad Khatib akan hal ini adalah, jika

semua syarat tarekat dipenuhi sesuai dengan kebiasaan ahli tarekat sendiri, tarekat

tetap harus disalahkan.(Indrawati, 2016b)

Selain itu, Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi juga banyak menaruh

perhatiannya terkait pembagian harta pusaka menurut garis matrilineal, beliau sangat

keras melarangnya. Beliau bahkan tidak membedakan antara kedua jenis harta

tersebut, menurutnya kedua jenis harta itu harus tunduk pada hukum faraidh. Ahmad

Khatib Al Minangkabawi melakukan kritikan dan penolakan terhadap hukum waris

adat Minangkabau yang matrilineal dengan menulis buku, karena pendapat dan

pemikirannya banyak dikemukakan dalam buku-buku yang ditulisnya. Karya tersebut

38
diberi judul Ad-Da’i al- Masmu’ fi Radd ‘ala Man Yuritsu al-Ikhwan wa Aulad al-

Ahwat Ma’a Wujud al-Ushul wa al-Furu’.(Indrawati, 2016b)

Menurut Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, pembagian harta pusaka

secara garis matrilineal diistilahkan dengan Pusaka Jahiliyah. Di Minangkabau

sendiri, hukum adat yang tidak disukai oleh agama dinamakan adat jahiliyah. Semua

harta benda yang diperoleh dari pusaka jahiliyah harus dianggap sebagai hasil

rampasan. Siapa saja yang mempertahankan harta tersebut sebagai pemiliknya, maka

dianggap sebagai dosa besar karena ia dianggap menghabiskan harta benda yatim

piatu. Mereka yang melaksanakan hukum warisan demikian akan menjadi fasiq (fasiq

adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Seseorang yang

selalu melakukan dosa akan menganggap bahwa dosa adalah hal yang biasa dan sulit

untuk meninggalkannya). Oleh karena itu, hal ini pula akan berdapak pada hal lain,

sepertihalnya mereka yang menjalankan hukum waris matrilineal tidak boleh

bertindak sebagai saksi di pernikahan. Sehingga, mereka harus melakukan taubat, jika

tidak bertaubat maka orang dianggap keluar dari agama Islam (murtad).

Secara lebih detail Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi menerangkan

penyebab ditulisnya karya ini Al-Dâ‘i al-Masmu‘ fi al-Radd ‘alâ Man Yuwarrits al-

Ikhwah wa Aulâd al-Akhawât ma‘a Wujûd al-Ushûl wa al-Furu‘ (1309 H). Dilatar

belakangi oleh tradisi masyarakat kampung halamannya sendiri yaitu Minangkabau

yang menggunakan budaya matrilineal yang mengatur bahwa harta warisan hanya

diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki tidak mendapat apapun.

Sehingga kaum pria meminta petunjuk Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi

terkait benar dan salah dari tradisi yang telah mengakar lama itu dengan mengirim

surat kepadanya. Pada awalnya, Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi meminta

bantuan dari gurunya, Bakri Syatha, untuk menuliskan fatwa-fatwanya. Namun,

39
karena pihak Minangkabau merasa belum puas atas jawaban yang diberi Bakri Syatha

maka al-Minangkabawi sendiri menulis buku kecil untuk melengkapinya. Setelah ia

tunjukan kepada Bakri Syatha dan disetujui maka dikirimlah karya tulis ini.(Bahtiyar,

2019)

Di Minangkabau tulisan Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi ini

membuat gempar dan beberapa ulama Minang menuduh Syaikh Ahmad Khatib Al

Minangkabawi telah membawa agama baru. Selepas terjadinya hal tersebut, Syaikh

Ahmad Khatib Al Minangkabawi sendiri menimpali pernyataan tersebut dengan

menganggap mereka tidak membaca bab faraidh dalam fikih. Di dalam kitab tersebut,

Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi menegaskan, menurut syariat, anak laki-laki

harusnya mendapat warisan yang lebih besar jumlahnya ketimbang anak perempuan.

Kitab ini adalah karya pertama dari Syaikh Ahmad Khatib Al Minagkabawi yang

kemudian menuai perselisihan di Minangkabau.(Bahtiyar, 2019)

Sebagai mana yang telah kita ketahui, bahwasannya setiap pemikiran dan

pandangan Syaikh hmad Khatib Al Minangkabawi kebanyakan seleu dituangakan

dalam sebuah karya. Begitupun dengan kitab Al-NafahatHâsyiah al-Waraqât, adalah

sebuah kitab pertama dari Syaikh Ahmad Khatib yang ditulis dalam bahasa Arab,

sebagai penjelasan atas kitab al-Waraqâtkarya Imam Jalâluddîn al-Mahalli yang

menjelaskan matan dasar karya Imam Juwainî. Kitab al-Waraqâtdalam bidang usul

fikih merupakan kitab yang cukup penting bagi dunia Islam, terutama di Nusantara.

Banyaknya hâsyiah atas kitab ini menunjukkan nilai yang berarti bagi dunia keilmuan

Islam. Salah satu kitab yang diajarkan Syekh Ahmad Khatib di halaqah Masjidilharam

adalah kitab al-Waraqât, sehingga oleh karena tidak adanya kitab hâsyiah di masanya

yang dapat menjelaskan kesulitan memahami uraian dari ‘ibarah kitab, kemudian

beliau menulis kitab ini. Kitab ini diselesaikan pada tahun 1306 H dan dicetak

40
berulang kali oleh penerbit, yang disalin ulang oleh Syekh Jadullah bin Muhammad

Badawi pada tahun 1309 H.(Ilyas, 2017)

Al-Riyadh al-Wardiyah fi al-Ushûl al-Tauhîdiyah wa al-Furû‘ al-Fiqhiyah

(1311 H). Ditulis dalam bahasa Jawi. Kitab ini merupakan karya lengkapnya dalam

bidang fikih ibadah. Kitab tersebut membahas tentang ilmu tauhid yang digabungkan

dengan fikih dan ushul fikih. Kitab ini dapat juga dijadikan sebagai pedoman praktis

untuk ilmu Aqidah dan Syari’ah.(Indrawati, 2016b)Sebab penulisan kitab ini atas

permintaan ibunya yang saat itu datang ke Makkah menemuinya untuk belajar dasar-

dasar agama.(Ilyas, 2017)

B. Pengaruh Pemikiran Ahmad Khatib Al Minangkabawi

Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dikenal sebagai ulama yang cukup

banyak berpolemik dengan ulama lain semasanya. Hal ini dapat terlihat dari beberapa

karyanya yang isi tulisannya menunjukkan perdebatannya dengan ulama lain.(Ilyas,

2017)

Meskipun demikian, selain cukup banyak berpolemik dengan ulama lain,

Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi juga banyak dijadikan sebagai sumber

rujukan agama bagi para raja pada masanya, terhkusus di wilayah Sumatera dan

Malaya. Sebab, banyak raja yang mengirimkan permintaan fatwa kepada Syaikh

Ahmad Khatib Al Minangkabawi terkait permasalahan-permasalahan yang terjadi di

Nusantara. Termasuk diantaranya terkait permintaan pembuatan teks khutbah kedua

na’at salat Jumat, serta Idul Fitri dan Idul Adha.sebaba, biasanya pada teks khutbah

kedua ada dicantumkan pujian kepada penguasa atau pemimpin Islam yang sedang

memerintah di negeri tersebut yang dilengkapi dengan bacaan-bacaan doa untuk

bilal.(Ilyas, 2017)

41
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, meskipun Syaikh Ahmad Khatib

Al Minangkabawi banyak menghabiskan waktunya di Mekkah, namun beliau banyak

berjasa pula dalam perkembangan ajaran agama Islam. Selain beliau membantu

pemerintahan kala itu beliau juga cukup banyak membersamai para muridnya. Murid

dari Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi berdasarkan daerahnya, yaitu dari

Sumatera Timur adalah Syekh Muhammad Zein Tasak Batu Bara, Syekh Muhammad

Nur (mufti Kerajaan Langkat), Syekh Muhammad Nur Ismail (Kadhi Kerajaan

Langkat), Syekh Hasan Maksum (Mufti Kerajaan Deli), Syekh Musthafa Husein

(pendiri pesantren Purba Baru), dan Syekh Abdul Hamid Mahmud (pendiri madrasah

Ulumil Arabiyah di Asahan). Sementara dari Sumatera Barat, Syekh Muhammad

Jamil Jambek di Bukittinggi, Syekh Muhammad Thayib di Tanjung Sungayang,

Syekh Abdullah Ahmad (pendiri sekolah Adabiyah tahun 1912 M dan majalah Al

Munir tahun 1911 M) di Padang, Syekh Abdulkarim Amrullah di Padang Panjang,

Syekh Khatib Muhammad Ali, Syekh Sulaiman Rasuli, Syekh Bayang Muhammad

Dalil, Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan Syekh Taher Jalaluddin. Dari daerah Jawa,

KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah),

KH. Wahab Hasbullah (salah satu pendiri NU), dan KH. Bisri Syansuri. Dari daerah

Malaysia, Syekh Muhammad Saleh (Mufti Kerajaan Selangor), Syekh Muhammad

Zein Simabur (Mufti Kerajaan Perak), dan Syekh Muhammad Mukhtar bin Atharid

Bogor, termasuk di antara daftar nama- nama muridnya yang berada di

Makkah.(Ilyas, 2017)

Meski banyak polemic yang lahir dari beliau, tapi justru polemic tersebutlah

yang pada akhirnya menyebabkan karya beliau lahir. Terlepas dari hal tersebut, beliau

cukup banyak membantu pemerintahan di Nusantara kala itu melalui fatwa-fatwanya

dan juga beliau cukup banyak mencetak generasi penerus yang cukup dapat

42
diperhitungkan kualitasnya, terbukti dari para murid-murid beliau banyak yang

mendiriki ormas besar di negeri ini yang bertahan hingga kini.

43
BAB IV

PENUTUP

Simpulan

Dilihat dari garis keturunan, Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi

termasuk golongan bangsawan. Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif

bin ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi (Al

Minkabawi) Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari rahimahullah. Syaikh Ahmad

Khatib Al Minangkabawi, lahir pada hari Senin tanggal 6 Dzulhijjah 1276 H/1860 M,

di sebuah kota Minang, Bukittinggi. Dan beliau wafat pada tanggal 8/9 Jumadilawal

1334 H bertepatan 14 Maret 1916 M, dan jenazahnya dimakamkan di Mekah.

Mengenai murid-muridnya, mereka adalah ulama-ulama besar yang

mempunyai wibawa dan kedudukan di tengah masyarakat. Sebab, keikhlasan dan

kebersamaan Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dalam mendidik dan

membimbing. Terkait banyaknya murid yang belajar kepadanya, Snouck Hurgronje

menulis tentang sosoknya dengan mengatakan bahwa ia –Syekh Ahmad Khatib-

adalah seorang yang berasal dari Minangkabau, yang oleh orang Jawa di Makkah

dianggap sebagai ulama yang paling berbakat dan berilmu di antara mereka, di mana

semua orang Indonesia yang berhaji akan mengunjunginya. Tidak mengherankan

apabila jumlah muridnya makin bertambah setiap harinya.

Meski tinggal di Makkah, beliau termasuk di antara ulama Nusantara yang

secara terus menerus mengikuti informasi Nusantara secara umum, dan tanah

kelahirannya, Minangkabau secara khusus. Beliau cukup banyak berpolemik dengan

beberapa ulama Nusantara terhadap beberapa masalah yang sedang berkembang pada

saat itu. Terlepas dari hal tersebut, beliau cukup banyak membantu pemerintahan di

44
Nusantara kala itu melalui fatwa-fatwanya dan juga beliau cukup banyak mencetak

generasi penerus yang cukup dapat diperhitungkan kualitasnya, terbukti dari para

murid-murid beliau banyak yang mendiriki ormas besar di negeri ini yang bertahan

hingga kini.

45
DAFTAR PUSTAKA

Bahtiyar, A. (2019). Pengaruh Syekh Ahmad al-Minangkabawi Terhadap Dinamika

Intelektual Islam Di Indonesia 1900-1947. UIN Sunan Ampel Surabaya, 1–118.

Fithri, W. (2019). Integrasi Keilmuan Dalam Pandangan Syech Ahmad Chatib Al

Minangkabawi. Majalah Ilmu Pengetahuan Dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, 22, 97–

103.

Hidayat, F. (2012). Imam & Khathib Masjid Al Haram , Ahmad Al Khathib Al. Muslim.or.Id,

1–11.

Ilyas, A. F. (2017). Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Polemik Tarekat

Naqsyabandiyah di Nusantara. JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND

MUSLIM SOCIETIES, 1(1), 86–112.

Ilyas, A. F. (2018). Polemik sayyid usman betawi dan syekh ahmad khatib minangkabau

tentang salat jumat. JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM

SOCIETIES, 2(2), 239–263.

Indrawati, N. N. (2016a). PERAN SYEKH AHMAD KHATIB AL-MINANGKABAWI (

1860-1916 M ) DALAM ISLAMISASI NUSANTARA Skripsi Jurusan Sejarah

Kebudayaan Islam Fakultas Ushuluddin Adab Dakwah Institut Agama Islam Negeri

Syekh Nurjati Cirebon 2016 M / 1437 H. IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Indrawati, N. N. (2016b). PERAN SYEKH AHMAD KHATIB AL-MINANGKABAWI

(1860-1916) DALAM ISLAMISASI NUSANTARA. TAMADDUN, 4, 177–200.

Mukani. (2016). ULAMA AL-JAWWI DI ARAB SAUDI DAN KEBANGKITAN UMAT

46
ISLAM DI INDONESIA. AL MURABBI, 1(2), 202–229.

Putra, A. (2017). Ulama Dan Karya Tulis: Diskursus Keislaman Di Minangkabau Awal Abad

20. FUADUNA: Kajian Keagamaan Dan Kemasyarakatan, 1(2), 134–147.

Seno. (2010). Peran “Kaum Mudo” Dalam Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau

1803-1942. BPNST Padang Press, 1–145.

Siddik, D. (2017). JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM: SYEKH AHMAD KHATIB

MINANGKABAU DAN POLEMIK TAREKAT NAQSYABANDIYAH DI

NUSANTARA. JOURNAL OF CONTEMPORARY ISLAM AND MUSLIM SOCIETIES:

UINSU PRESS, 1, 1–140.

Subroto, Al-minangkabawi, S. A. K., & Ushul, W. (2011). Dari Minang ke Masjidil Haram.

REPUBLIKA, 1916, 2011.

Wirman, E. P. (2017). Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi; Icon Tholabul Ilmi

Minangkabau Masa Lalu untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan.

ULUNNUHA, 6(2), 161–174.

47

Anda mungkin juga menyukai