Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


M. Amien Rais dilahirkan di Kota Solo Jawa Tengah tepatnya pada
tanggal 26 April 1944, beliau merupakan anak dari pasangan Suhud Rais
dengan Sudalmiyah. Ayahnya merupakan lulusan Mu’allimah
Muhammadiyah Yogyakarta. Semasa hidupnya beliau juga merupakan
Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Departemen Agama. Sementara sang ibu
adalah alumni Hogere Inlandsche Kweelkschool (HIK) Muhammadiyah,
kemudian menjadi aktivis Aisyah (Organisasi Kewanitaan Muhammadiyah)
dan pernah menjabat sebagai ketuanya di Surakarta selama dua puluh tahun.
Selain itu, beliau juga pernah mendapat gelar ibu teladan se-Jawa Tengah dan
beliau aktif di Partai Politik Masyumi ketika masa jayanya pada tahun 1950-
an (Setiawan, 2018: 58).
Amien Rais adalah anak kedua dari enam bersaudara. Mereka adalah
Fatimah Rais, Amien Rais, Abdul Rozaq Rais, Siti Aisah Rais, Ahmad Dahlan
Rais, dan Siti Aisyah Rais. Menginjak usia 23 tahun, tepatnya tanggal 9
Februari 1969 Amien Rais menikah dengan Kusnasriyati Rahayu. Dari
pernikahannya, Amien dikaruniai lima orang anak, tiga putra dan dua putri.
Mereka adalah Ahmad Hanafi, Hanum Salsabiela, Ahmad Mumtaz, Tasnim
Fauziyah, dan Ahmad Baihaqi (Solihin, 2006: 53-55).
M. Amien Rais adalah seorang tokoh nasional yang lahir di Solo, yaitu
sebuah kota yang memiliki iklim budaya Jawa serta religiusitas yang kental.
Kedua orangtuanya merupakan pendidik dan aktivis organisasi
Muhammadiyah. Hal ini berpengaruh besar terhadap perkembangan
keagamaan dalam dirinya. Merekalah yang menanamkan ajaran Islam dengan
begitu kuat. Bahkan sang ibu menegaskan bahwa tujuan hidup adalah ibadah
(Hidayah, 2015). Lingkungan keluarganya selalu senantiasa menjunjung
tinggi nilai-nilai ajaran agama Islam serta menegakkan amar ma’ruf nahi

1
munkar (mengajak kepada kebenaran dan mencegah dari kemungkaran)
(Setiawan, 2018: 71).
Di lingkungan tempat tinggalnya, orang tua Amien termasuk ke dalam
golongan priyayi atau masyarakat golongan atas yang sangat taat dalam
menjalankan agama Islam, sedangkan sebagian besar masyarakatnya adalah
Islam abangan dan mereka adalah masyarakat golongan bawah. Meskipun
dengan adanya perbedaan ini, Amien tetap bergaul dengan teman-teman
sebayanya dari golongan manapun (Hidayah, 2015: 33).
Semenjak kecil, Amien telah dididik untuk menjadi seorang yang
disiplin dan selalu bertanggung jawab dengan apa yang beliau lakukan. Beliau
selalu tekun belajar membaca Al-Qur’an serta senantiasa gemar membaca
buku-buku yang berkaitan dengan ajaran-ajaran agama Islam maupun buku-
buku yang sifatnya umum (Setiawan, 2018: 71).
Selain mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya,
Amien juga belajar di sekolah Muhammadiyah sejak SD hingga SMA. Pagi
hari beliau gunakan untuk bersekolah dan sore harinya belajar agama di
madrasah yang khusus mempelajari ilmu agama seperti akidah, fikih, nahwu,
sharaf, dan lain-lain (Hidayah, 2015: 34). Amien masuk Sekolah Dasar (SD)
tahun 1950 dan tamat pada tahun 1956, kemudian melanjutkan ke jenjang
selanjutnya yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan selesai pada tahun
1959 dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) dan selesai pada
tahun 1962, selain itu juga beliau mengikuti Pendidikan Agama di Pesantren
Mambaul Ulum, beliau juga pernah nyantri di Pesantren Al Islam (Setiawan,
2018: 72).
Selepas dari SMA, Amien melanjutkan studi di Yogyakarta yaitu di
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang
telah berganti menjadi Universitas Islam Negeri/UIN) dan memperoleh gelar
Sarjana Muda dari Fakultas Tarbiyah. Kemudian memperoleh gelar Sarjana
dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada
(Hidayah, 2015: 34) (Setiawan, 2018: 72).

2
Selama kuliah, Amien tinggal di daerah Kauman yang dalam tata kota
Jawa masa lampau merupakan daerah tempat tinggal para “kaum” atau santri
kota. Orang-orang yang tinggal di sana dianggap lebih religius dan intelek.
Selain itu, daerah tersebut juga dekat dengan masjid serta dekat dengan dunia
perdagangan. Masjid tersebut adalah masjid Agung yang dulunya merupakan
tempat Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pertama kalinya
membuat revolusi pemahaman beragama. Hampir setiap waktu, Amien
menyempatkan shalat fardu di sana dan di sana pulalah beliau berinteraksi
dengan para tokoh Muhammadiyah seperti A.R. Fachrudin dan Djarnawi
(Hidayah, 2015: 34).
Ketika masih berstatus sebagai mahasiswa, Amien aktif dalam
berorganisasi. Beliau mengikuti dua organisasi sekaligus yaitu Himpunan
Mahasiswa Indonesia (HMI) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
(Hidayah, 2015: 34).
Setelah lulus dari UGM dengan judul tugas akhir Mengapa Politik
Luar Negeri Israel Berorientasi Pro-Barat dengan memperoleh nilai A pada
tahun 1968 (Solihin, 2006: 56), kemudian Amien Rais melanjutkan studi Stara
Dua (S2) untuk meraih gelar MA di Universitas Notre Dame Amerika Serikat
dan memperoleh gelar MA bidang ilmu politik pada tahun 1974 dengan
tesisnya yang membahas topik Politik Luar Negeri Anwar Sadat (Solihin,
2006: 56), kemudian memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Chicago
Amerika Serikat pada tahun 1981 dalam bidang ilmu politik. Amien juga
sempat mendapat gelar Mahasiswa Luar Biasa (MLB) di Universitas Al Azhar
Cairo (Mesir) pada tahun 1978-1979 (Setiawan, 2018: 72).
Pada tahun 1985 hingga 1989 beliau menjabat sebagai Ketua Majelis
Tabligh dan anggota Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah di Jakarta. Lalu
pada tahun 1990, Amien Rais ikut memprakarsai dan memplopori atas
berdirinya Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam yaitu Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beliau merupakan salah seorang
dari 49 orang yang menandatangani pendirian ICMI dan beliau juga duduk
sebagai Ketua Dewan Pakar dan Asisten 1 Ketua Umum (Setiawan, 2018: 73).

3
Kemudian pada tahun 1995, Amien Rais dikukuhkan menjadi Ketua Pimpinan
Pusat (PP) Muhammadiyah (Solihin, 2006: 10). Sejalan dengan karirnya,
beliau dinobatkan oleh Majalah Umum sebagai “Tokoh Tahun 1977” dan
beliau juga mendapat penghargaan dari Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta atas komitmenya dalam rangkah menempuh perjuangan dakwah
amar ma’ruf dan nahi munkar (Setiawan, 2018: 73).
M. Amien Rais berpendapat bahwa perjuangan umat Islam untuk
membangun masyarakat yang lebih baik, dimana masyarakat yang di
dalamnya terkandung institusi amar ma’ruf nahi munkar berfungsi efektif,
hanya dapat melalui jalan demokrasi (Setiawan, 2018: 76). Adapun kriteria-
kriteria demokrasi menurut Amien Rais adalah (1) partisipasi masyarakat
dalam pembuatan keputusan; (2) persamaan di depan hukum; (3) distribusi
pendapatan secara adil; (4) kesempatan pendidikan yang sama; (5) kebebasan
yang dijamin undang-undang; (6) ketersediaan dan keterbukaan informasi; (7)
mengindahkan etika politik; (8) kebebasan individu; (9) semangat kerja sama
(Setiawan, 2018: 76-79).
Nama Amien Rais semakin dikenal di kancah perpolitikan nasional
tatkala Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 diturunkan dari jabatannya
sebagai presiden Republik Indonesia. Amien Rais merupakan salah satu tokoh
utama yang sangat berperan besar dalam berdirinya reformasi 1998. Bahkan
oleh beberapa kalangan, beliau dianggap sebagai tokoh kunci lahirnya
reformasi terutama dalam menggalang kekuatan mahasiswa (kampus) yang
juga kemudian dianggap juga sebagai motor kejatuhan rezim Orde Baru
(Tanjung, 2018: 3).
Pada tahun 1998, tepatnya pada tanggal 23 Agustus Amien Rais
mendirikan sekaligus memimpin sebuah partai politik yang dinamai Partai
Amanat Nasional (PAN). Sebuah Partai Politik yang memiliki wacana
pembaharuan dan bersifat inklusif (terbuka) yang tidak terbatas dan terkekang
oleh kemajemukan bangsa, suku, identitas, ras maupun agama (Setiawan,
2018: 73). Dan pada bulan Agustus 1999, Amien Rais menduduki puncak
karirnya sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik

4
Indonesia, yaitu lembaga tertinggi negara secara konstitusional yaitu sebagai
lembaga rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945 (Setiawan, 2018: 74).
Peran Amien Rais saat reformasi makin terlihat ketika beliau menjadi
ketua MPR yang memprakarsai Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002,
yang mana hasil Amandemen tersebut sampai saat ini masih dipakai dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia (Tanjung, 2018: 3).
Menurut Amien Rais, seorang politisi haruslah bersandar pada
moralitas dan etika yang bersumber pada ajaran tauhid. Bila moralitas dan
etika tauhid ini dilepaskan dari politik, maka politik itu akan berjalan tanpa
arah, dan bermuara pada kesengsaraan orang banyak (Setiawan, 2018: 68).
Bagi Amien Rais, membangun suatu negara yang terlepas dari konsep
dasar ajaran Islam sama saja dengan membangun negara yang sekulerisme dan
sekulerisasi, yang kehilangan dimensi spiritual dan menjurus pada kehidupan
yang serba material, yang di dalamnya petunjuk wahyu hanya disebut-sebut
secara berkala dalam kesempatan-kesempatan tertentu (Setiawan, 2018: 69-
70).
Amien Rais menegaskan bahwa kehidupan politik yang islami tidak
memberikan tempat bagi sekulerisasi. Amien Rais menggambarkan yang
dimaksud dengan sekulerisasi dan komponen-komponennya adalah,
disenchantment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai.
Disenchantment of nature berarti pembebasan alam dari nilai-nilai agama,
agar masyarakat dapat melakukan perubahan dan pembangunan dengan bebas.
Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral atas otoritas dan
kekuasaan, dan hal ini merupakan syarat untuk mempermudah kelangsungan
perubahan sosial dan politik dalam proses sejarah. Sedangkan dekonsentrasi
nilai-nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong
perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi dengan nilai-nilai agama
yang bersifat absolut (Setiawan, 2018: 69). Paradigma pemikiran Amien Rais
yang berpusat pada konsep tauhid tersebut mengandung implikasi teoritis
bahwa seluruh dimensi kehidupan ummat Islam harus berpatokan pada tauhid
sebagai esensi dari seluruh ajaran Islam (Setiawan, 2018: 70).

5
Amien Rais memahami tauhid sebagai sentrum bagi seluruh kehidupan
Muslim, maka politik menurutnya harus bersumber dari moralitas dan etika
tauhid. Dalam konteks ini, hubungan politik antara Islam dan negara tidak
mengenal adanya sekularisasi dalam artian pemisahan negara dari moralitas
agama secara ekstrem. Karena menurut Amien Rais, konsep tersebut
bertentangan dengan konsep tauhid. Dalam hal ini, Amien senantiasa
mengaitkan pemikirannya dengan Al-Qur’an. Dari sini pulalah akar
pemikirannya menelurkan konsep Tauhid Sosial (Solihin, 2006: 10), dalam
hal ini kaitannya dengan relasi Islam dengan negara (politik).
Dengan demikian, tema pembahasan akan difokuskan pada pemikiran
Amien Rais berkaitan dengan konsep Islam dan politik yang diberi judul
“Perkembangan Pemikiran Amien Rais Tentang Politik Islam Abad ke-20”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Amien Rais?
2. Bagaimana pemikiran Amien Rais tentang Politik Islam?
3. Bagaimana pengaruh pemikiran Politik Islam Amien Rais?

C. Tujuan
1. Mengetahui biografi Amien Rais.
2. Mengetahui pemikiran Amien Rais tentang Politik Islam.
3. Mengetahui pengaruh pemikiran Politik Islam Amien Rais.

D. Kajian Pustaka
1. Solihin. (2006). Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam
Indonesia (Telaah Atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 –
2000). Program Pascasarjana IAIN Sunan Gunung Djati. IAIN Sunan
Gunung Djati. Karya ini difokuskan pada analisis pemikiran-pemikiran
Amien Rais tentang politik dalam bingkai pemikiran agama, untuk
mencari pola hubungan politik antara Islam dan negara dalam politik
Indonesia secara umum sehingga dapat diketahui paradigma pemikiran

6
Amien Rais tentang Politik Islam Indonesia. Studi ini merupakan
penelitian pustaka (library research) yang bersifat deskriptif analisis-
eksplanatoris. Adapun pendekatan yang digunakannya adalah
pendekatan teologi dan hermeneutik (penafsiran). Setidaknya terdapat
beberapa pokok pembahasan di dalam karya ini, di antaranya adalah
(1) model pemikiran atau pandangan yang dibangun dan
dikembangkan Amien dalam hubungannya dengan politik, terutama
berkenaan dengan paradigma hubungan politik antara Islam dan
negara, tidak bergerak dalam kerangka legal-formalistik, melainkan
lebih cenderung bersifat substansialistik; (2) paradigma hubungan
politis antara Islam dan negara dalam pandangan Amien, pada
dasarnya menolak sekularisasi atau sekularisme yang berujung pada
pemisahan antara keduanya. Secara kajian, terdapat perbedaan yang
mendasar antara karya tulis ini dengan karya tulis Solihin. Karya tulis
ini merupakan kajian sejarah yang mana akan difokuskan pada
perkembangan pemikiran Amien Rais tentang Politik Islam abad ke-
20. Begitu pula metode yang digunakan pun merupakan metode
penelitian sejarah. Selain itu, pembahasan dalam kajian ini akan
difokuskan pada perkembangan pemikiran Amien Rais tentang Politik
Islam abad ke-20.
2. Hidayah, Nurul. (2015). Implementasi Konsep Tauhid Sosial M.
Amien Rais Di SMA Internasional Budi Mulia Dua Yogyakarta.
Jurnal Pendidikan Agama Islam, 12(1), 31–44.
https://doi.org/10.14421/jpai.2015.%x. Karya ini difokuskan dalam
bidang kajian pendidikan, yaitu bagaimana implementasi konsep
Tauhid Sosial Amien Rais di SMA Internasional Budi Mulia Dua
Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis
dan menggunakan teknk triangulasi dalam menguji keabsahan data.
Penelitian ini setidaknya mengungkapkan: (1) konsep Tauhid Sosial
Amien Rais dalam pelaksanaanya mempunyai beberapa prinsip yakni
religiusitas, kepercayaan, keseimbangan, persaudaraan, toleransi,

7
berpedoman, dan pengabdian; dan (2) implementasi tersebut dapat
dilihat dari perumusan visi dan misi sekolah yang kemudian
diwujudkan dalam kegiatan ekstrakurikuler. Secara kajian terdapat
perbedaan mendasar antara karya tulis ini dengan karya tulis Nurul
Hidayah. Karya tulis ini merupakan karya tulis sejarah yang
difokuskan pada perkembangan pemikiran Amien Rais tentang Politik
Islam abad ke-20. Metode yang digunakan pun berbeda, sebagaimana
karya tulis sejarah lainnya karya tulis ini pun menggunakan metode
penelitian sejarah.
3. Setiawan, Hendri. (2018). Pemikiran Politik M. Amien Rais Tentang
Demokrasi di Indonesia Perspektif Fiqh Siyasah. UIN Raden Intan
Lampung, Bandar Lampung. Karya ini difokuskan pada pemikiran
politik Amien Rais tentang demokrasi dalam perspektif fiqh siyasah.
Penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research) dan
bersifat deskriptif analisis. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa
pandangan Amien Rais yang mensingkronkan nilai-nilai demokrasi
secara umum dengan nilai-nilai demokrasi menurut Islam adalah
sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan demikian, terdapat
perbedaan antara karya tulis ini dengan karya tulis Hendri Setiawan di
mana fokus kajian dalam penelitian ini adalah terfokus kepada
perkembangan pemikiran Amien Rais tentang Politik Islam abad ke-20
yang dikaji dengan menggunakan metode penelitian sejarah.
4. Tanjung, Paisal. (2018). Pemikiran Amien Rais Tentang
Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Reformasi Tahun 1999.
JOM FISIP, 5(1), 1–15. Karya ini difokuskan pada kajian mengenai
pemikiran Amien Rais tentang ketatanegaraan RI pasca Reformasi
tahun 1999 dengan menggunakan pendekatan ilmu pemerintahan dan
dilakukan dengan menggunakan metode library research. Penelitian
ini membahas pemikiran dan peran Amien Rais terutama perannya
dalam Amandemen UUD 1945 saat duduk di bangku MPR RI. Dengan
demikian, terdapat perbedaan dengan karya tulis ini dengan karya tulis

8
Paisal Tanjung di mana kajian ini terfokus pada pemikiran Amien Rais
tentang Politik Islam abad ke-20 yang dikaji dengan menggunakan
metode penelitian sejarah.
5. Effendy, Bahtiar. (1998). Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran
dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina. Buku ini
berasal dari disertasi Bahtiar Effendi pada Departemen Ilmu Politik,
Ohio State University, Amerika Serikat. Fokus kajian buku ini yaitu
melihat pada transformasi pemikiran dan praktik politik Islam di
Indonesia dalam bingkai Islam dan negara. Metode yang digunakan
dalam penyusunannya adalah dengan menggunakan metode historis
dan hermeneutik atau interpretatif. Buku ini membahas mulai dari
hubungan saling mencurigai antara Islam dan negara sejak masa pra-
kemerdekaan sampai dengan masa Orde Baru, lalu membahas upaya
para pemikir dan aktivis politik Islam baru dalam mengatasi hubungan
tersebut, sampai dengan ulasan tentang respons negara terhadap Islam
sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa permusuhan antara Islam
dan negara telah berkurang. Adapun perbedaan antara karya Bahtiar
Effendy ini dengan karya penulis adalah pada fokus kajiannya. Karya
penulis memfokuskan pada perkembangan pemikiran Politik Islam
Amien Rais pada abad ke-20.

E. Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang mana
tahap-tahapnya adalah sebagai berikut:
1. Heuristik
Di dalam tahap ini, penulis memperoleh, menemukan, dan
mengumpulkan sumber sejarah yang selanjutnya diklasifikasikan menurut
asal dan bahan sumber. Sumber yang dikumpulkan merupakan sumber
yang sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis (Sjamsudin, 2007).
2. Kritik

9
Pada tahap ini, sumber-sumber sejarah yang diperoleh diuji.
Pengujian ini bertujuan untuk memeriksa keabsahan sumber,
memverifikasi sumber, dan menguji kebenaran, ketepatan, serta akurasi
sumber. Sumber-sumber ini harus melalui tahap kritik dalam rangka
kehati-hatian, agar penulis tidak begitu saja percaya dan menerima
sumber-sumber tersebut tanpa seleksi. Kritik dibagi menjadi dua macam
yaitu kritik ekstern yaitu untuk menentukan autentisitas atau keaslian
sumber, dan kritik intern untuk menentukan kredibilitas atau kebisaan
dipercaya (Kuntowijoyo, 2013).
3. Interpretasi
Interpretasi memiliki arti menafsirkan atau memberi makna kepada
fakta-fakta (facts) maupun bukti-bukti sejarah (evidences). Proses
interpretasi sangat diperlukan karena pada dasarnya bukti-bukti sejarah
sebagai saksi (witness) realitas di masa lampau tidak bisa berbicara sendiri
perihal apa yang disaksikannya. Untuk mengungkapkan makna dan
signifikansi fakta-fakta sejarah ini, masih harus membutuhkan informasi
dari luar (extrinsic informative power) yaitu yang berasal dari peneliti atau
sejarawan. Hubungan fakta-fakta atau bukti-bukti sejarah dengan peneliti
atau sejarawan merupakan hubungan yang asimetrik. Sejarawan berfungsi
sebagai determinan terhadap makna sejarah yang diinterpretasikan dan
fakta-fakta atau bukti sejarah (Daliman, 2012).
4. Historiografi
Menurut Notosusanto dalam Sulasman, historiografi atau penyajian
yaitu menyampaikan sintesis yang diperoleh ke dalam bentuk sebuah kisah
(Sulasman, 2014). Setelah sumber-sumber dikritik hingga menjadi fakta
sejarah, lalu diinterpretasi untuk mengungkapkan makna dan signifikansi
fakta-fakta, tahap terakhir adalah historiografi atau penulisan sejarah.
Dalam tahap ini rekonstruksi peristiwa masa lalu tersebut dituliskan secara
sistematis agar mudah dipahami.

10
DAFTAR PUSTAKA

Daliman, A. (2012). Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Hidayah, N. (2015). Implementasi Konsep Tauhid Sosial M. Amien Rais Di SMA


Internasional Budi Mulia Dua Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Agama Islam,
12(1), 31–44. https://doi.org/10.14421/jpai.2015.%x

Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Setiawan, H. (2018). Pemikiran Politik M. Amien Rais Tentang Demokrasi di


Indonesia Perspektif Fiqh Siyasah. UIN Raden Intan Lampung, Bandar
Lampung.

Sjamsudin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Solihin. (2006). Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam Indonesia


(Telaah Atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 – 2000). Program
Pascasarjana IAIN Sunan Gunung Djati. IAIN Sunan Gunung Djati.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Sulasman. (2014). Metodologi Penelitian Sejarah. Bandung: Pustaka Setia.

Tanjung, P. (2018). Pemikiran Amien Rais Tentang Ketatanegaraan Republik


Indonesia Pasca Reformasi Tahun 1999. JOM FISIP, 5(1), 1–15.

11

Anda mungkin juga menyukai