Anda di halaman 1dari 13

Biografi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry

Riwayat Hidup Beliau


Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting
dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin
Muhammad Hamid Ar-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku
memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya
adalah seorang pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama (Piah dkk., 2002: 59-60).

Ilmu Yang Dikuasainya


Nuruddin adalah seorang yang berilmu tinggi, yaitu orang yang pengetahuannya tak terbatas
dalam satu cabangpengetahuan saja. Pengetahuannya sangat luas, meliputi bidang sejarah,
politik, sastra, filsafat, fikih, tasawwuf, perbedaan agama, dan sufism. ia menulis kurang-lebih
29 kitab, yang paling terkenal adalah "Bustanul Salatin". Namanya kini diabadikan sebagai
nama perguruan tinggi agama (IAIN) di Banda Aceh.

Guru Beliau
Beliau di katakan telah berguru dengan Sayyid Umar Abu Hafis Abdullah Basyeiban yang
yang di India lebih dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus kerna adalah khalifah Tariqah Al-
Idrus Alawi di India. Ar-Raniri juga telah menerima Tariqah Rifaiyyah dan Qadariyah dari
gurunya.
Putera Abu Hafs yaitu Sayyid Abdul Rahman Tajudin yang datang dari Balqeum, Karnataka,
India pula telah menikah setelah berhijrah ke Jawa dengan Syarifah Khadijah, puteri Sultan
Cirebon dari keturunan Sunan Gunung Jati.
Nuruddin mula-mula mempelajari bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan
agama ketika melakukan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah, ia mendapati bahwa
pengaruh Syamsuddin as-Sumatrani sangat besar di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran
wujudiyah yang disebarkan oleh Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin pindah ke Semenanjung
Melaka dan memperdalam ilmu agama dan bahasa Melayu di sana.

Selama di Semenanjung Malaka


Selama tinggal di semenanjung, Nuruddin menulis beberapa buah kitab. Ia juga membaca
Hikayat Seri Rama dan Hikayat Inderaputera, yang kemudian dikritiknya dengan tajam, serta
Hikayat Iskandar Zulkarnain. Ia juga membaca Taj as-Salatin karya Bukhari al-Jauhari dan
Sulalat as-Salatin yang populer pada masa itu. Kedua karya ini memberi pengaruh yang besar
pada karyatamanya sendiri, Bustan as-Salatin (Piah dkk., 2002: 60)

Kembali Ke Aceh
Pada tahun 1637 ia kembali ke Aceh dan tinggal di sana selama tujuh tahun. Saat itu Syeh
Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan pengetahuannya, Sultan Iskandar
Tani (1636-1641) mempercayainya untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Syamsuddin.
Nuruddin menjabat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syeikh di Masjid Bait al-
Rahman.

Pada saat ia berjaya sebagai pejabat kesultanan inilah, dengan dibantu oleh Abdul Rauf as-
Singkili, ia melakukan gerakan pemberantasan aliran wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah
Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani. Karya-karya kedua ulama sufi itu dibakar dan para
penganut aliran wujudiyah dituduh murtad serta dikejar-kejar karena dituduh bersekongkol
untuk membunuh istri Sultan, Ratu Safiatun Johan Berdaulat.

Keadaan berbalik melawan Nuruddin ketika Sultan Iskandar Tani mangkat dan digantikan
oleh istrinya, Sultanah Safiatuddin Johan Berdaulat (1641-1675). Polemik antara Nuruddin
dan aliran wujudiyah bangkit kembali. Kali ini yang menang adalah seorang tokoh yang
namanya sama dengan salah satu karya Hamzah Fansuri, yaitu Saif ar-Rijl, yang berasal dari
Minangkabau dan baru kembali ke Aceh dari Surat (Braginsky, 1998: 473). Saif ar-Rijl
mendapat dukungan sebagian besar kalangan Aceh, yang merasa tidak senang dengan
besarnya pengaruh orang asing di istana Aceh. Untuk menyelesaikan pertikaian itu mereka
mencari nasihat sang ratu, tetapi sang ratu menolak dengan dalih tidak berwenang dalam soal
ketuhanan.

Sesudah berpolemik selama sekitar satu bulan, Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh
dengan begitu tergesa-gesa, sehingga ia tidak sempat menyelesaikan karangannya yang
berjudul Jawahir al-‘Ulum fi Kasyfi al-Ma‘lum (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek
Pengetahuan) (Takeshi Ito, 1978: 489-491; via Braginsky, 1998: 473-474). Nuruddin
akhirnya ia kembali ke Ranir. Ia meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 21 September
1658 (Piah dkk., 2002: 60).

Karya
Secara keseluruhan, Nuruddin Ar-Raniri menulis sekitar dua puluh sembilan naskah, di
antaranya adalah:
Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin Ar-Raniry:
1. Kitab Al-Shirath al-Mustaqim (1634)
2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah (1635)
3. Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib (1635)
4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin (1638)
5. Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi 6. Kitab Latha’if al-Asrar
7. Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman
8. Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan
9. Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
10. Kitab Hill al-Zhill
11. Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat
12. Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum
13. Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq
14. Kitab Syifa’u’l-Qulub
15. Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq
16. Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin
17. Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an
18. Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
19. Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah.
20. Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh
21. Kitab Kaifiyat al-Shalat
22. Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
23. Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin
24. Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam
25. Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
26. Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
27. Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
28. Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil.
29. Kitab Syadar al-Mazid
BIOGRAFI ABDUL RAUF SINGKEL

Abdurrauf Singkel lahir di Singkel pada tahun 1024 H/1615 M. Ia memperoleh pengetahuan
Islam darai ayahnya yang seorang ulama. Setelah menyelesaikan pendidikan di Aceh ia
melanjutkan ke Haramain pada tahun 1052 H/1642 M. Ada 27 ulama yang ia temui sebagai
gurunya adalah ulama Dhaha (Qatar) Yaman, Jeddah, Makkah dan Madinah.

Di Dhaha, Qatar, Abdurrauf menuntut ilmu kepada Abdul Qadir a-Mawrir, di Yaman ia
menuntut ilmu kepada beberapa ulama dari keluarga Ja’man, yang merupakan keluarga sufi
dan ulama terkemuka di Yaman. Mereka adalah sebagian murid-murid Ahmad Qusasi dan
Ibrahim al-Qur’ani. Mereka adalah Ibrahim bin Abdullah bin Jam’an, Ibrahim bin Andullah
bin Ja’man dan Kadi Ishak bin Muhammad bin Ja’man. Di Madinah Abdurrauf menjadi murid
Ahmad Qusasi dan Ibrahim al-Qur’ani.

Setelah memperoleh pengetahuan dan ijazah dari Ibrahim al-Qur’ani yang memberikan
otoritas keilmuan Islam kepadanya untuk disebarkan dan diajarkan kepada umat Islam,
Abdurrauf kembali ke Aceh Darussalam pada tahun 1584 / 1661 M. Penguasa kerajaan Aceh
ketika itu adalah Sulthanah Safiatuddin.

Karya tulis Abdurrauf kebanyakan dalam bahasa Melayu, selain bahasa Arab. Diantara karya
yang terkenal adalah Tafsir Tarjumun al-Mustafid (Tafsir penafsir yang bermanfaat). Karya
kedua Kitab Fiqih Mu’amalah yaitu, al-Mir’atu Thulab fi Tashilil Ma’rifatul Ahkamus
Syar’iyyah lil Malikil Wahab (Cermin murid untuk memudahkan pengetahuan tentang hukum
syari’at yang dihadiahkan kepada raja).

Abdur Rauf Singkel adalah seorang ulama besar yang lahir di Kota Singkil Aceh. Nama
Aslinya adalah Abdur-Rauf al-fansuri dan disebut juga Abdur Rauf as-Singkili. Ia adalah
seorang yang pertama kali mengenalkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Ia menulis berbagai
bidang ilmu seperti tafsir, hadis, fikih dan tasawuf.Kitab tafsirnya merupakan kitab tafsir yang
pertama di Indonesia.Hidup pada saat Aceh dipimpin oleh Sulthanah Safiatuddin Tajul Alam
(1641-1675 M). Beliau belajar Tarekat Syattariyah pada Ahmad Qusasi (1583-1661 M), dan
Ibrahim al-Qur’ani. Ia memperoleh Ijazah hingga memiliki hak untuk mengajarkan kepada
orang lain. Di antara muridnya yang menjadi ulama adalah Burhanuddin Ulakan dari Pariaman.
Abdur Rauf Singkel menjadi Mufti di Aceh pada saat dipimpin oleh Sulthanah Safiatuddin
Tajul Alam. Ia berhasil menghapus ajaran Salik Buta, sebuah tarikat yang menyesatkan yang
ada di Aceh sebelumnya. Para salik / pengikut yang tidak mau bertobat dibunuh.

Diantara karya Abdur Rauf Singkel antara lain : Kitab tafsir Turjuman al-Mustafid (terjemah
pemberi faedah), Kitab tafsir Mir’at at-Thullab fi Tahsiil Ma’rifah Ahkam asy-Syar’iyah li al-
Malik al-Wahhab (cermin bagi penuntut ilmu fikih pada memudahkan mengenal segala hokum
syara’Allah), Kitab Tasawuf ‘Umdat al-Muhtajin (tiang orang yang memerlukan), Kifayat al-
Muhtajin (pencukup para pengemban hajat), Daqa’id al-Huruf (datail huruf), Bayan Tajalli
(keterangan tentang tajalli).

Abdur Rauf Singkel menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah swt.
Alam ciptaannya adalah wujud bayangan, yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud
hakiki Tuhan berbeda dengan wujud bayangan (alam) terdapat keserupaan antara kedua wujud
tersebut. Tuhan melakukan tajalli (penampakkan diri dalam bentuk alam) Secara tidak
langsung, sifat Tuhan tampak padamanusia dan secara relatif paling sempurna pada insan
kamil.

Tentang pemikiran Abdul Rauf mengenai wujud Allah swt, dalam aliran tasawufnya, bahwa
beliau tidak setuju dengan tindakan pengkafiran yang dilakukan Nuruddin Ar-Raniri terhadap
pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani yang berpaham wahdatul wujud atau
wujudiyyah. Jika tuduhan pengkafiran tidak benar, orang yang menuduh dapat disebut kafir.

Pandangan Abdurrauf Singkel terhadap wahdatul wujud dinyatakan dalam buku Bayan
Tajalli. Abdur Rauf Singkel dikenal dengan nama Teungku Syiah Kuala. Namanya diabadikan
pada perguruan tinggi yang didirikan di Banda Aceh pada tahun 1961M bernama Universitas
Siak Kuala.
BIORGAFI SINGKAT M. ARSYAD AL-BANJARI

Muhammad Arsyad al-Banjari lahir tahun 1122 H / 1710 M. DI Martapura, Kalimantab


Selatan. Ia memperoleh pendidikan dasar keagamaan dari ayahnya dan dari para guru di
sekitarnya. Pada umur 7 tahun beliau telah mampu membaca al-Qur’an secara sempurna.
Kemampuan tersebut menarik perhatian Sultan Tahlilullah ( 1112-1158 H / 1700-1745 M ),
sehingga ia meminta tinggal bersama di istana, dan menikashkannya. Saat istri sedang
mengandung, ia dikirim ke Haramaian untuk menuntut ilmu atas biaya kasultanan.

Di Haramaian ia belajar bersama dengan al-Palim Banjari selama 30 tahun. Gurunya As-
Sammani, Ad-Damanhuri, Sulaiman al-Kurdi, Athaillah al-Misri, Ibrahimar-Rais al-Zamzami.
Dengan Azamzami ia belajar falaq yang menjadikan beliau paling ahli diantara ulama Melayu
di Indonesia.

Kitab karangannya adalah Sabilul Muhtadin (jalan bagi orang yang mencari petunjuk). Dalam
ilmu bathin ia menulis Kanzul Ma’rifah (gudang Pengetahuan). Beliau menerima Tarekat
Samaniyah dari as-Samani, dan ia merupakan orang yang bertanggungjawab atas tersebarnya
Tarekat tersebut di Kalimantan. Ia menetap di Makkah selama 30 tahun dan di Madinah 5
tahun. Ia kembali ke tanah air / Martapura tahun 1186 H / 1773 M. Muhammad Arsyad al-
Banjari adalah ulama besar yang sangat berpengaruh dan berperanm penting dalam sejarah
Islam, khususnya di Kalimantan. Ia pernah menduduki Mufti Kasulthahanan Banjar.

Muhammad Arsyad al-Banjari lahir di Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada
tahun 1710. Ia adalah putra tertua dari Abdullah dan Siti Amina. Setelah wafat, ia juga dikenal
dengan sebutan Datuk Kalampayan karena makamnya berlokasi di di Desa Kalampayan
(sekitar 56 km dari kota banjarmasin).

Ketika berusia tujuh tahun ia diangkat menjadi anak angkat Sultan Tahlilullah (1700-1745).
Umur 30 tahun Sulthan mengirim ke Makkah untuk menuntut ilmu dengan biaya kerajaan.
Sebelum berangkat Sultan menikahkan dengan seoran wanita bernama Bajut, agar al-Banjari
tetap pulang ke Banjar.Selama 30 tahun ia belajar berbagai cabang ilmu. Di antara gurunya
yang terkenal adalah Syekh Attailah. Ia diberi izin mengeluarkan fatwa di Masjidil Haram. Ia
melanjutkan pendidikannya di Madinah kepada Imam Haramai, Syekh al-Islam Muhammad
bin Sulaiman a-Kurdi dan Syekh Abdul Karim as-Samani al-Madani.
Selama belajar di tanah suci, al-Banjari berteman akarab dengan Syekh Abdussamad al-
Palimbani dari Palembang, Abdul Wahab Bugis (Sadanring Daeng Bunga Wardiyah) dari
Makassar, dam Syekh Abdurrahman Masri dari Jakarta. Sebenarnya al-Banjari ingin
melanjutkan pendiudikan ke Mesir tetapi Syekh al-Islam Muhammad bin Sulaiman al Kurdi
menasihatkan agar mereka kembali ke kampung untuk membina umat.Diantara usaha usaha
al-Banjari adalah membetulkan arah kiblat seperti pada Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar
Batang dan Masjid Pekojan. Di Mihrab Masjid Jembatan Lima di Kecamatan Tambora Jakarta
Barat tercatat dalam bahasa Arab bahwa arah masajid itru diputar ke kanan sekitar 25 drajat
olewh al-Banjari pada 4 Safar 1186 H (7 Mei 1772 M).

Al-Banjari tiba di Martapura (ibu Kota Kasulthanan Banjar) pada bulan Ramadhan 1186 H
atau Desember 1772 M. Sejak itu hingga wafatnya (Kalampayan 6 Syawal 1227 H / 13 Oktober
1812 M) ia menghabdikan dirnya membina masyarakat dan mengmbangkan Islam dibantu
Syekh Abdul Wahab Bugis menantunya. Syekh Abdul Wahab Bugis dinikahkan al-Banjari
dengan putrinya Syarifah di Mekkah tidak lama setelah al-Banjari menerima surat dari Sultan
Banjar bahwa istrinya telah melahirkan anak dan Sudah Dewasa.

Langkah pertama yang diambil al-banjari setibanya di Martapura adalah membina kader-kader
ulama, khususnya di lingkungan keluarga sendiri. Untuk itu ia tidak tinggal di istana. Ia
meminta kepada Sultan agar diberi sebidang tanah yang akan digunakan sebagai tempat
tinggal, tempat pendidikan, dan pusat pengembangan Islam. Sultan Tamjidillah (1745-1778)
yang berkuasa saat itu mengabulkan permintaannya. Al-Banjari diberi sebidang tanah kosong
berupa hutan belukar, yang kemudian diubah menjadi perkampungan, membangun rumah,
tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri. Kampung itu sekarang terkenal dengan
nama Dalam Pagar. Sebuah tempat pendidikan yang pertama kali dikenalkan al-Banjari, sebuah
tempat pendiudikan yang lengkap dengan mushala, tempat belajar, kiai, perpustakaan dan
asrama untuk para santri. Disamping itu al-banjari terjun langsung ke masyarakat.

Al-Banjari kemudian memberlakukan hukum Islam atas anjuran Kasultanan banjar, baik
hukum perdata maupun hukum pidana. Untuk melaksankan tujuan tersebut dibentuk
Mahkamah Syari’ah disamping dibentuk lembaga kekadian. Untuk melaksanakan Mahkamah
Syari’ah ini dibentuk mufti. Mufti pertama yang ditujuk adalah Syekh Muhammad As’ad, cucu
al-banjari. Adapun kadi yang pertama yang adalah Abu Zu’ud, anak al-banjar.

Diantara hasil karya al-Banjari adalah, Sabilul Muhtadin (Jalan orang yang mendapat Petunjuk)
Kitab ini menjadi pegangan dan bahan pelajaran di berbagai daerah di Indonesia, Malaisyia
dan Thailan pada Abad 19 dan awal abad 20.
Biografi Syaikh Yusuf Al Makassari

Syaikh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (lahir di Gowa, Sulawesi
Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72
tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Beliau juga digelari Tuanta
Salamaka ri Gowa (“tuan guru penyelamat kita dari Gowa”) oleh pendukungnya di kalangan
rakyat Sulawesi Selatan.

Masa Muda Dan Pendidikan

Syaikh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir beliau dinamakan
Muhammad Yusuf, suatu nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga
adalah kerabat ibu Syaikh Yusuf.

Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang,
guru kerajaan Gowa. Syaikh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah
Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.

Kembali dari Cikoang, Syaikh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18
tahun, Syaikh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten beliau bersahabat dengan Pangeran
Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh,
Syaikh Yusuf berguru pada Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qadiriyah.

Syaikh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syaikh Abdullah Muhammad
bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syaikh Abu Al-Barakat Ayyub bin
Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi.

Masa Perjuangan

Ketika Kesultanan Gowa mengalami kalah perang terhadap Belanda, Syaikh Yusuf pindah ke
Banten dan diangkat menjadi mufti di sana. Pada periode ini Kesultanan Banten menjadi pusat
pendidikan agama Islam, dan Syaikh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk
400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.

Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syaikh Yusuf ditangkap dan
diasingkan ke Srilangka pada bulan September 1684.
Masa Pembuangan

Sri Lanka

Di Sri Lanka, Syaikh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid
ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syaikh
Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syaikh Yusuf.

Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syaikh Yusuf masih dapat berkomunikasi
dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, beliau diasingkan ke
lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Afrika Selatan

Di Afrika Selatan, Syaikh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika
beliau wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari
peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai
‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.
Biografi KH. Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah

KH Ahmad Dahlan, siapa yang tidak kenal beliau, seorang ulama pendiri Muhammadiyah
sekaligus pahlawan Indonesia. Biografi KH. Ahmad Dahlan kali ini, akan mengajak Anda
untuk melihat bagaimana kiprah beliau dalam memajukan Islam di bumi pertiwi dan
sumbangan pemikirannya bagi kemerdekaan Indonesia. Peran beliau yang luar biasa tersebut
sempat di angkat dalam sebuah film yang berjudul "Sang Pencerah", sosoknya diperankan oleh
Lukman Sardi. Nama besar beliau juga kini diabadikan sebagai salah satu nama universitas
yang ada di Indonesia. Nah, berikut ini adalah biografinya:
Profil Singkat KH. Ahmad Dahlan
Lahir: 1 Agustus 1868, Yogyakarta, Indonesia
Meninggal: 23 Februari 1923, Yogyakarta, Indonesia
Pasangan: Siti Walidah - Nyai Ahmad Dahlan
Orang tua: KH Abu Bakr (Ayah) dan Nyai Abu Bakr (Ibu)
Anak-anak:

 Laki-laki: Dandanah, Irfan Dahlan, Siradj Dahlan.


 Perempuan: Djohanah, Siti Aisyah, Siti Zaharah, Siti Busyro.

Organisasi Yang Didirikan: Muhammadiyah, 'Aisyiyah


Penghargaan: Pahlawan Nasional

Biografi KH. Ahmad Dahlan


KH. Ahmad Dahlan merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu
Bakar, ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta saat itu. Ibunya
adalah putri H. Ibrahim, yang juga bekerja sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta. Sejak
kecil, pendidikan agama Islam sudah ditanamkan oleh sang ayah kepada Ahmad Dahlan yang
terlahir dengan nama Muhammad Darwisy. Karena itulah, Ahmad Dahlan kemudian pergi ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sebagai pengabdiannya pada agama Islam.

Usai menjalankan ibadah haji, Ahmad Dahlan menetap di Mekkah selama 5 tahun untuk
memperdalam ilmu agamanya. Ia berguru ilmu agama kepada siapa saja karena bagi beliau,
ilmu bisa didapatkan dari siapa pun. Di antara gurunya terdapat Muhammad Abduh Al-
Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Tidak lama setelah kembali ke tanah air,
Muhammad Darwis mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan dan juga menikah dengan
Siti Walidah (sepupu beliau). Siti Walidah kemudian dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan
yang juga merupakan seorang Pahlawan Nasional.
Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota Budi Utomo dan Sarikat Islam (SI) sebelum akhirnya
Ahmad Dahlan membentuk organisasi bernapaskan Islam bernama Muhammadiyah pada 18
November 1912 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Namun, Ahmad Dahlan menegaskan
bahwa organisasi yang dibentuknya ini bukan bersifat politik, melainkan organisasi yang
bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Ahmad Dahlan mencoba menerapkan
Muhammadiyah untuk aktif melakukan dakwah dan pendidikan yang disemangati oleh nilai-
nilai pembaruan dalam Islam.

Pada awalnya, Muhammadiyah banyak ditentang dan dianggap menyalahi agama Islam.
Bahkan KH. Ahmad Dahlan difitnah sebagai Kyai Palsu dan Kyai Kafir. Namun, berkat usaha
dan kerja keras Ahmad Dahlan yang dibantu oleh kawan-kawannya, Muhammadiyah tetap
berdiri tegar dan membantu perjuangan kemerdekaan.
Karena pengikut Muhammadiyah terus berkembang pesat maka KH. Ahmad Dahlan memohon
izin badan hukum untuk Muhammadiyah kepada pemerintah Hindia Belanda pada 20
Desember 1912, sayang permohonan tersebut ditolak. Dengan semangat dan kegigihan beliau,
pada 22 Agustus 1914 turunlah izin dari Belanda, namun khusus untuk wilayah Yogyakarta
saja. Hal ini dikarenakan ada kekhawatiran dari pihak Belanda bahwa Muhammadiyah
berkembang sangat pesat. Benar saja, sekitar tahun 1921 Muhammadiyah sudah berkembang
hampir di seluruh Indonesia. Dengan adanya Muhammdiyah, kehidupan masyarakat Indonesia,
terutama di Yogyakarta sudah lebih maju dalam hal pemikiran, maupun kehidupan sosialnya.
Semakin hari organisasi Muhammadiyah semakin berkembang dan menjadi salah satu
organisasi sosial yang bermanfaat dan banyak membantu masyarakat. KH. Ahmad Dahlan
memimpin Muhammadiyah dengan demokratis. Dia selalu memberi kesempatan kepada para
anggotanya untuk selalu dapat berpartisipasi memberi masukan dan ide demi kemajuan
organisasi Muhammadiyah. Pada tanggal 23 Februari 1923, KH. Ahmad Dahlan wafat dalam
usia 54 tahun di Yogyakarta dan dimakamkan di Karangkajen.
Ahmad Dahlan adalah salah satu tokoh pergerakan yang banyak berjasa bagi bangsa dan
agama. Beliau merupakan salah satu tokoh pembaruan Islam yang demokratis. Atas jasa dan
perjuangannya itu, pemerintah menganugerahinya gelar pahlawan. Beliau adalah salah satu
tokoh pelopor yang peduli pada kehidupan sosial masyarakat dan patut menjadi contoh dan
teladan. Pada tanggal 27 Desember 1961, KH. Ahmad Dahlan resmi menjadi Pahlawan
Indonesia.
BIOGRAFI KH. HASYIM ASY’ARI

Nama Lengkap : KH Hasyim Asy’ari


Tanggal Lahir : 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)
Tempat Lahir : Demak, Jawa Tengah
Wafat : Jombang, Jawa Timur, 7 September 1947
Ayah : Kyai Asyari
Ibu : Halimah
Istri : Nyai Nafiqoh, Nyai Masruroh
Anak:
Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholiq), Abdul
Karim, Ubaidillah, Mashurroh, Muhammad Yusuf, Abdul Qodir, Fatimah, Chotijah,
Muhammad Ya’kub.

KH Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 10 April 1875 di Demak, Jawa Tengah. Beliau
merupakan pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan juga perintis salah satu organisasi
kemasyarakatan terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga dikenal sebagai
tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga
mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, KH Hasyim Asy’ari mendapat pendidikan
langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Asyari dan Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk
menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh
ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Karena Hasrat tak puas akan ilmu yang dimilikinya, Beliaupun belajar dari pesantren ke
pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren
Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).
Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai
menantu.
Di tahun 1892, KH Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di
sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang
hadis. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di
sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng
yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900,
Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan bagi
pengajaran Islam tradisional.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana.
Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang
kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kyai
Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran
Islam tradisional.

Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum.
Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi
pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi
masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya,
mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan
mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim
Asy’ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan
pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional lainnya, Kiai Hasyim
Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun
berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kyai Hasyim Asy’ari pun semakin besar
dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan
dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat
menyegani kewibawaan Kyai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini
telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain.
Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda
bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau
bekerja sama, tetapi ditolaknya.

Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, KH Hasyim Asy’ari
ditangkap. Berkat bantuan anaknya, KH Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia
dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya
karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.
Setelah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asy’ari membakar
semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan.
Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di
Tebuireng.

Anda mungkin juga menyukai