Anda di halaman 1dari 44

Peneleh 1930-1960 an: Makam, Kampung, dan Problematika

Masyarakat di dalamnya

Disusun Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Sejarah Lisan

Disusun Oleh:

1. Fara Dian Natanya (121911433022)

2. Ardhilla Maghfirdha (121911433023)

3. Nabilah Rahmawati (121911433057)

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2021-2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia yang memiliki


julukan kota pahlawan. Karena Surabaya merupakan salah satu kota yang
memiliki sejarah panjang di Indonesia, hal ini membuat kota Surabaya
memiliki banyak sekali bukti sejarah yang dapat memberikan petunjuk tentang
kondisi kota Surabaya di masa lampau, terutama pada masa pemerintahan
kolonial Belanda1. Kawasan asli dan bangunan-bangunan kuno merupakan
beberapa komponen yang cukup penting dalam melakukan penggalian
informasi sejarah terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, tentunya akan
sangat bermanfaat untuk generasi setelahnya. Selain menjadi kota terbesar
kedua di Indonesia dan beberapa julukan lainnya, Surabaya juga termasuk
dalam salah satu kota yang di dalamnya terdapat beberapa pemakaman
Belanda, menurut peta pada tahun 1825, 1866, serta tahun 19302.

Kampung Peneleh menurut sejarahnya merupakan suatu kawasan asli


Surabaya yang telah ada dan lahir pada zaman Kerajaan Singasari dan juga
telah ditetapkan sebagai lingkungan cagar budaya. Di kawasan Kampung
Peneleh, terdapat beberapa objek yang menyita pusat perhatian masyarakat
terutama para sejarawan. Beberapa objek tersebut diantaranya yaitu kediaman
H.O.S Tjokroaminoto, Makam Tua Belanda, rumah tempat lahirnya Ir.
Soekarno, Sumur Jobong Majapahit, dan beberapa objek lainnya. Kampung
Peneleh memiliki karakteristiknya sendiri, dengan model sebuah
perkampungan tua yang bangunannya menyerupai bentuk bangunan Belanda

1
Y.A. Artha, Antariksa, dan S. Hariyani, “Studi Pelestarian Bangunan Kuno di Kawasan
Kampung Kuno Peneleh Surabaya” dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Teknik, Vol. 18, No. 1, April 2006.
Hlm. 86-94.
2
Lengkong Sanggar Ginaris, “Pergeseran Letak Pemakaman Belanda di Kota Surabaya dari Abad
18 Hingga Awal Abad 20” dalam Berkala Arkeologi, Vol. 39, No. 2, November 2019, Hlm. 183-
200.
membuat kampung ini memiliki unsur sebuah kampung bersejarah yang
suasananya nyaman dan tentram.

Terdapat kompleks makam tua di dalam pemukiman warga di wilayah


Kampung Peneleh yaitu Makam Belanda Peneleh. Makam Belanda Peneleh
merupakan sebuah kompleks makam Eropa elit pertama di Surabaya yang telah
ada sejak tahun 1847 dengan nama Europesche Begraafplaats te Peneleh,
memiliki luas area sekitar 4,5 Ha membuat makam ini dimanfaatkan dengan
sedemikian rupa pada rentang tahun 1847 yang secara resmi dapat digunakan,
dan kemudian berhenti beroperasi pada 1950 an bersamaan dengan gerakan
nasionalisasi terhadap seluruh kepemilikan Belanda di Indonesia3.

Makam Peneleh pada awalnya hanya digunakan untuk penduduk


Belanda yang tinggal di Surabaya, namun seiring dengan berjalannya waktu
makam ini tidak lagi dikhususkan untuk warga Eropa saja, namun juga orang-
orang Tionghoa dan juga Jepang dapat turut menjadi penyewa makam tersebut.
Hal tersebut membuat Makam Peneleh kemudian menjadi lebih condong pada
pengkhususan kepercayaan yang dianut seperti agama Nasrani, Katolik, dan
Yahudi dan status sosial. Orang-orang yang bersemayam di Makam Peneleh
memiliki tempatnya tersendiri di kelas sosial masyarakat, bahkan ditemui
makam-makam orang penting dan ada pula dari keturunan Tionghoa kaya di
Surabaya4.

Sejak akhir abad-19 hingga awal abad-20 pembangunan kota Surabaya


terjadi secara intensif, penduduk Surabaya mengalami lonjakan yang cukup
besar dari tahun 1905 hingga tahun 1930. lonjakan penduduk ini disebabkan
oleh adanya urbanisasi dan juga migrasi dari penduduk luar negeri, salah
satunya yaitu Cina. Padatnya penduduk akibat lonjakan tersebutlah yang
membuat sebuah ruang yang awalnya merupakan wilayah sakral (makam)
menjadi sebuah ruang publik. Wilayah Peneleh menjadi salah satu kawasan

3
Syah Irza Raya, Tamara Adriani Salim, “Khazanah Arsip sebagai Koleksi Museum: Studi Kasus
Arsip Makam Belanda Peneleh di Museum Siola Surabaya”, Jurnal Kearsipan ANRI Vol. 14 No. 2
Desember 2019, hlm. 81
4
Eka Nurul Farida, “Heterotopia: Interelasi Ruang Makam dan Kampung Peneleh, 1936-1979,
Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, 2019, hlm. 49
yang dimana ruang sakralnya diambil alih untuk menjadi pemukiman
penduduk.

Pada tahun 1915, diperkirakan sudah terdapat sebanyak 13.000 jenazah


yang dimakamkan di wilayah pemakaman Peneleh ini, sedangkan pada masa
itu juga terjadi peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal sehingga tanah di
sekitar pemakaman Peneleh yang pada mulanya kosong kemudian berubah
menjadi perkampungan. Hal ini menjadikan wilayah pemakaman menjadi
terkepung pemukiman pribumi sehingga pemakaman peneleh tidak lagi dapat
diperluas5, kehadiran pemukiman ini menghimpit luas pemakaman di wilayah
Peneleh, perbedaan ini dapat dilihat pada peta tahun 1866 yang terlihat masih
leluasa namun pada peta 1934 wilayah pemakaman sudah dipenuhi oleh
pemukiman penduduk. Lokasi pembukaan lahan baru di kampung Peneleh
dianggap tidak menghalangi pemukiman Eropa yang nantinya akan diperluas.

Awalnya pemukiman Kampung Peneleh menyebar menggunakan pola


memanjang di sepanjang dua sisi Sungai Kalimas, namun seiring dengan
perkembangan ekonomi, sosial, budaya serta politik di Kota Surabaya,
akhirnya pemukiman meluas ke arah utara Sungai Kali Mas. Perluasan wilayah
oleh pemukiman mengindikasikan adanya pola pengembangan ruang pada
Kampung Peneleh sebagai akibat dari transformasi atau pemadatan bangunan6.
Perluasan ini juga mencapai wilayah makam yang menjadikan pemakaman
Belanda menjadi terhimpit. Akibatnya, terjadi penguburan mayat dengan
huurkelders sehingga dalam satu makam dapat diisi lebih dari satu jenazah agar
perluasan lahan tidak memakan banyak tempat.7

Meluasnya pemukiman akibat lonjakan jumlah penduduk tentu saja


diiringi dengan berbagai masalah yang kerap kali terjadi di wilayah perkotaan.
permasalahan mengenai ketimpangan jumlah penduduk dengan lapangan kerja
yang tersedia, hingga maraknya kriminalitas tidak dapat terhindarkan pada

5
Lengkong Sanggar Ginaris, Op. Cit, hlm. 191
6
Stivani Ayuning Suwarian, “Analisis Pola Permukiman Kampung Peneleh Surabaya”, Arcade
Vol. 4 No. 1 Maret 2020, hlm. 52
7
Lengkong Sanggar Ginaris, Op. Cit, hlm. 196
lingkungan perkotaan. Terdapat beberapa kasus pencurian yang terjadi dalam
Makam Belanda Peneleh dan belum diketahui secara pasti apa motif dibalik
tindakan ini. Apakah himpitan ekonomi menjadi pendorong terjadinya
pencurian ataukah dikarenakan wilayah makam yang ditinggalkan sehingga
penduduk kampung setempat merasa bebas dan leluasa menguasai wilayah
makam Peneleh.

Berangkat dari kasus tersebut, peneliti ingin membahas lebih lanjut


mengenai kasus pengambil alihan lahan makam menjadi ruang publik hingga
maraknya kriminalitas berupa kasus pencurian yang terjadi di wilayah makam
Belanda Peneleh. Dengan keterbatasan informasi dan juga literatur secara
online, peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai apa yang terjadi pada
makam, kampung, dan masyarakat Peneleh yang saling berkaitan di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi makam modern Belanda Peneleh pada rentang
tahun 1930 hingga 1960 an?
2. Bagaimana kasus kriminalitas yang terjadi di kompleks pemakaman
Belanda Peneleh dalam kurun waktu 1945 hingga 1960-an?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui bagaimana kondisi makam modern Belanda Peneleh
pada rentang tahun 1930 hingga 1960 an.
2. Mengetahui kasus kriminalitas yang sempat terjadi di kompleks
pemakaman Belanda Peneleh dalam kurun waktu 1944 hingga 1960
an
D. Manfaat Penulisan
1. Untuk penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
serta keterampilan baru dalam penulisan karya ilmiah
2. Untuk dosen, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan
pembelajaran serta pemenuhan tugas kami.
3. Untuk mahasiswa, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
dalam memahami aspek historis dari adanya kompleks
perkampungan di wilayah makam modern Belanda Peneleh.
4. Untuk perguruan tinggi, penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan mutu dan juga kualitas pembelajaran dari perguruan
tinggi tersebut.

E. Ruang Lingkup

Sebuah penelitian sejarah tentunya harus memiliki batasan lingkup


spasial maupun lingkup temporalnya, hal tersebut sangat penting dalam
sebuah penelitian guna membatasi permasalahan yang akan dibahas
sehingga dapat lebih terfokus. Pada penelitian ini, ruang lingkup spasial
yang digunakan yaitu pada wilayah kompleks makam modern Belanda
Peneleh hingga pada pemukiman penduduk di sekitarnya. Adanya
pemukiman yang berada dalam satu ruang dengan sebuah pemakaman
menciptakan suatu keunikan tersendiri untuk dibahas lebih lanjut. Makam
Belanda Peneleh memiliki peranan yang cukup besar dalam hal pemakaman
orang-orang penting hingga penduduk Belanda yang tinggal di Surabaya.
Pertambahan penduduk di Surabaya membuat lahan makam tersebut
semakin penuh oleh pemukiman penduduk di setiap tahunnya. Berbagai
problema masyarakat di sekitar kompleks makam Belanda Peneleh hingga
terjadi kasus penjarahan makam menjadi suatu pembahasan yang cukup
kompleks dan penting untuk dibahas.

Kemudian untuk ruang lingkup temporal pada penelitian ini cukup


panjang, yaitu pada kurun waktu tahun 1930 hingga tahun 1960 an. Batasan
waktu tersebut diambil karena pada tahun 1930 jenazah yang dimakamkan
di makam Belanda Peneleh sudah cukup banyak, menyentuh angka 13.000
lebih sehingga dapat dikatakan lahan makamnya sudah padat, kemudian
pada tahun-tahun tersebut juga dapat dikatakan Surabaya telah mengalami
lonjakan penduduk yang cukup besar hingga berdampak pada banyaknya
lahan yang kemudian dijadikan pemukiman penduduk, salah satunya yaitu
lahan di sekitar makam Belanda Peneleh.
F. Tinjauan Pustaka

Sebelum memulai menulis penelitian penulis menggunakan


beberapa buku untuk digunakan sebagai pedoman dalam penulisan
metodologi dalam penelitian yang sedang dikerjakan yaitu buku Buku
Pengantar Ilmu Sejarah oleh Kuntowijoyo, di dalam buku tersebut
dijelaskan mengenai tahapan-tahapan dalam melakukan penelitian, yaitu
pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sejarah, keabsahan
sumber), interpretasi: analisis dan sintesis, dan yang terakhir penulisan
sejarah8, adanya tahapan penelitian ini memberikan panduan terhadap
kelompok penulis untuk melakukan penelitian sesuai dengan tahapan yang
disebutkan.

Menurut kelompok peneliti pemaparan mengenai tahapan metode


sejarah dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah ini dijelaskan dengan mudah
dan tidak bertele-tele, sebagai nilai tambah pada buku ini adalah pada setiap
pemaparannya Kuntowijoyo memberikan contoh atau perumpamaan agar
lebih mudah dimengerti dan langsung dapat diterapkan, kehadiran
penjelasan dilengkapi contoh ini sangat memudahkan pembaca untuk dapat
membayangkan kemudian menerapkan dalam penelitian yang sedang
dikerjakannya.

Selanjutnya terdapat buku lain yang membahas mengenai metode


penelitian yaitu Buku Metode Sejarah oleh Prof. Dr. Nina Herlina, M. S
sama seperti buku Kuntowijaya, buku ini juga memberikan penjelasan
mengenai metode yang digunakan dalam penelitian, namun pada buku ini
juga mencantumkan mengenai metode kritik yang terbagi menjadi dua yaitu
intern dan ekstern9, tentunya ini menjadi pengetahuan untuk penulis yang
sedang melakukan penelitian.

Buku lain yang digunakan penulis sebagai penunjang penelitian


adalah buku mengenai pengertian dari ilmu sejarah serta hal-hal atau

8
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2013).
9
Nina Herlina, Metode Sejarah, (Bandung : Satya Historika, 2008)
kategori apa saja yang dapat berkaitan atau masuk dalam lingkup ilmu
sejarah yaitu Buku Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah oleh
Sartono Kartodirdjo. Buku ini secara garis besar memiliki empat bab, yaitu
bab 1 yang berjudul “konsep dan perspektif sejarah”, bab 2 yang berjudul
“rekonstruksi sejarah”, bab 3 yang berjudul “sejarah dan ilmu sosial”, dan
bab terakhir yang berjudul “kategori penulisan sejarah”. Buku ini berfokus
pada peranan ilmu-ilmu sosial dalam hal mengungkapkan berbagai fakta
sejarah berbagai peristiwa yang telah terjadi di masa lampau. bermula dari
dibangunnya konsep sejarah, berdirinya suatu perspektif sejarah,
perekonstruksian kembali berbagai peristiwa yang telah terjadi di masa
lampau menjadi suatu runtutan kisah yang memiliki arti, hingga pada
keterkaitan antara ilmu-ilmu sosial dengan sejarah hingga lahirlah tulisan
dengan kategori-kategori tertentu.

Dalam buku ini dijelaskan bahwa adanya kerangka pemikiran yang


melingkupi berbagai konsep maupun teori dalam pembuatan analisis
sejarah merupakan suatu langkah yang sangat penting10. Dalam metodologi
sejarah dituntut adanya penyesuaian sebagai wujud perbaikan pada
kerangka konseptual yang dimana hal tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan alat analitis dari ilmu-ilmu sosial yang lain. Kemudian pak
Sartono juga menjelaskan bahwa apabila fungsi sejarah sebagai disiplin
dalam pengungkapan maupun penemuan manusia tetap berjalan, maka kita
perlu mengikuti perkembangan dari ilmu-ilmu sosial lain yang telah
berhasil menambah pengetahuan mengenai manusia itu sendiri. Diperlukan
pula adanya perpaduan pendekatan sinkronis dan diakronis guna
memberikan dukungan pada ilmu sejarah itu sendiri. Buku ini berfungsi
sebagai tuntunan untuk peneliti dalam merekonstruksi oral history dengan
memakai sudut pandang sosial.

Selain menggunakan buku-buku kelompok penulis juga mencari


jurnal-jurnal yang masih berhubungan dengan penelitian kelompok penulis,

10
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka, 1992).
jurnal yang pertama yaitu Dinamika Multikultural Masyarakat Kota
Surabaya oleh Soedarso, Muchammad Nurif, Sutikno, dan Windiani, Jurnal
ini membahas mengenai bagaimana kehidupan multikultural kota Surabaya
terutama wilayah kampung, penelitian meliputi persoalan etnis, agama, dan
tingkat kesejahteraan warga yang hidup bersama dalam satu daerah tersebut,
hasil penelitian menunjukkan bahwa warga hidup dengan rukun dan damai
di dalamnya, kesediaan menerima, saling percaya, berbagi dan hidup
berdampingan merupakan modal kultural untuk menguatkan kehidupan
multikulturalisme11.

Peran dan tindakan masyarakat yang ikut turut serta mengembangkan


kehidupan multikulturalisme menjadi salah satu pendukung berjalannya
proses ini hingga memetik kesuksesan. Dalam jurnal kualitatif ini pencarian
sumber sudah dilakukan dengan baik guna untuk melengkapi hasil
penelitian, namun untuk kuesioner yang disebarkan tentunya akan lebih
baik jika dilampirkan datanya dengan demikian pembaca akan menjadi
mengerti lebih detail bagaimana hasil dari kuesioner dan dilakukan oleh
para peneliti. Jurnal ini memang membahas mengenai kampung di Surabaya
namun tidak terfokus pada salah satu kampung saja, namun secara
keseluruhan jurnal ini dapat memberikan tambahan ilmu kepada kelompok
penulis untuk mendapatkan pemahaman mengenai metode penelitian jenis
kualitatif.

Jurnal lainnya yang sama-sama membahas mengenai kampung


adalah Kajian Karakteristik Pemukiman Kumuh di Kampung Kota Dengan
Studi Kasus di Kampung Gandekan Semarang oleh Raisya Nursyahbani dan
Bitta Pigawati Jurnal ini membahas tentang berbagai karakteristik dari
masyarakat Kampung Gandekan. Dimana karakteristik mengenai hunian
dimana memperlihatkan visual dari bangunan dan jumlah penghuninya.
Penelitian ini juga menghasilkan identifikasi tentang sarana dan prasarana
yang ada di kampung Gandekan guna mengetahui situasi dan kondisi di
dalamnya, karena ketersediaan suatu daerah dapat dilihat dari kondisi

11
Soedarso, dkk, “Dinamika Multikultural Masyarakat Kota Surabaya” dalam Sosial Humaniora
Vol. 6 No. 1, Juni 2013
sarana dan prasarana. Selain itu juga ada identifikasi mengenai lingkungan
dan tingkat kekumuhan. Lingkungan dan tingkat kekumuhan sangat
mempengaruhi bagaimana keadaan dan aktivitas kawasan sekitar12.

Jurnal lain yang membahas mengenai Surabaya dan dinamika kehidupan


didalamnya adalah Surabaya Sebagai Kota Kolonial Modern pada Akhir
Abad ke-19: Industri, Transportasi, Pemukiman, dan Kemajemukan
Masyarakat oleh Samidi13. Secara garis besar tulisan ini membahas
mengenai perkembangan kondisi kota Surabaya menuju modernisasi pada
akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Perkembangan tersebut tentunya
mengakibatkan adanya perubahan mata pencaharian masyarakat dari yang
awalnya masih dalam sektor pertanian selanjutnya digantikan dengan
pabrik dan kerajinan. Kemudian perubahan pada mata pencaharian tersebut
akan mendorong adanya migrasi yang menyebabkan meningkatnya jumlah
penduduk pada saat itu. Dalam tulisan ini, penulis memaparkan dengan jelas
akan tujuan dari tulisannya yang tidak lain yaitu guna mengetahui proses
kemajuan atau modernisasi Kota Surabaya yang dimana perkembangannya
tidak terlepas dari pengaruh perkembangan di berbagai bidang.

Pada tulisan-tulisan selanjutnya yang digunakan penulis untuk


memperkaya isi tulisan penelitian yang sedang dikerjakan ini mulai
berfokus pada kampung peneleh, yang mana kampung tersebut adalah
kampung yang menjadi objek penelitian dari penulis, jurnal tersebut
berjudul Heterotopia: Interelasi Ruang Makam dan Kampung Peneleh
1936-1979 oleh Eka Nurul Farida penelitian ini mengambil fokus pada
Sejarah Lokal di Surabaya14 membahas mengenai kampung dan ruang kota
yaitu makam seperti penelitian pada umumnya, penelitian ini juga
menggunakan metode sejarah dengan benar dan runtut sehingga hasil

12
Raisya Nusyahbani dan Bitta Pigawati, “Kajian Karakteristik Kawasan Pemukiman Kumuh Di
Kampung Kota (Studi Kasus: Kampung Gandekan Semarang)” dalam Jurnal Teknik PWK Vol 4
(2), 2005
13
Samidi, “Surabaya sebagai Kota Kolonial Modern pada Akhir Abad ke-19: Industri,
Transportasi, Pemukiman, dan Kemajemukan Masyarakat” dalam Mozaik Humaniora, Vol. 17(1),
2017.
14
Eka Nurul Farida, “Heterotopia: Interelasi Ruang Makam dan Kampung Peneleh dengan
mengambil rentang tahun 1936-1979”, Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga,
2019.
penelitian dapat dipertanggungjawabkan.

Penelitian ini cukup berperan besar terhadap pengambilan topik yang


digunakan pada penelitian dari kelompok penulis, mengapa demikian
dikarenakan penelitian ini memberikan gambaran terhadap apa yang perlu
dilakukan serta diulik lebih lanjut mengenai kampung peneleh. Penelitian
ini menggunakan metode sejarah dengan pendekatan Etnohistory.
Penelitian menggunakan sumber lisan berupa wawancara dari masyarakat
sekitar Kampung Peneleh, dilengkapi dengan banyaknya arsip menjadikan
penelitian ini cukup nyaman untuk dibaca karena kebenaran yang
diungkapnya, tidak hanya menggunakan arsip data namun juga berupa foto
yang didapatkan dari kampung Peneleh.

Setelah membaca penelitian ini kelompok penulis ingin melakukan


penelitian lebih lanjut dikarenakan ada beberapa topik menarik yang belum
sempat dibahas secara menyeluruh oleh kebanyakan penelitian, sehingga
memungkinkan untuk dikaji dan ditemukan fakta menarik dibaliknya,
meskipun pencarian sumber akan lebih dalam dan sulit.

Terdapat jurnal lain yang menjadi penunjang penulisan penelitian ini


yaitu berjudul Analisis Pola Pemukiman Kampung Peneleh Surabaya oleh
Stivani Ayuning Suwarlan Dalam jurnal yang ditulis oleh Stivani Ayuning
ini membahas pola dari pemukiman yang dapat berubah. Studi kasus yang
dipilih adalah Kampung Peneleh yang terletak di tepian Kali Mas Surabaya.
pemukiman sendiri memiliki arti sebagai lingkungan tempat manusia
tinggal, menjalani kehidupan dan beraktivitas. Pembangunan dari
pemukiman sendiri dilakukan untuk memenuhi kehidupan manusia di
kawasan itu. Penulis membahas mengenai bagaimana awal dari pemukiman
kampung Peneleh ini dapat menyebar, penyebaran daerah ini disebabkan
dari adanya pelebaran ruang tata kota di kawasan Kampung Peneleh, selain
itu juga disebabkan oleh kepadatan bangunan di Kota Surabaya akibat
urbanisasi. Sehingga penulis berpikir jika pola dari perkembangan
perkampungan ini perlu diteliti lebih lanjut.

Fokus kelompok peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini terbagi


menjadi dua yaitu mengenai kampung dan juga makam Belanda yang
terletak di kampung Peneleh, dengan begitu literatur yang digunakan juga
akan disesuaikan dengan kebutuhan kelompok penulis seperti jurnal
mengenai Pergeseran Letak Pemakaman Belanda di Kota Surabaya Dari
Abad 18 Hingga Awal Abad 20 oleh Lengkong Sanggar Ginaris
Pemakaman Belanda merupakan salah satu peninggalan yang dapat
dikatakan menjadi penanda atas suatu wilayah bahwa pernah diduduki oleh
Belanda di masa sebelumnya. Surabaya merupakan salah satu kota yang
pernah diduduki oleh Belanda pada tahun 1743 hingga 1942, dibuktikan
dengan adanya beberapa kompleks pemakaman belanda di dalamnya.
Beberapa kompleks pemakaman belanda di Surabaya yaitu yang terdapat di
Jembatan Merah, Krembangan, Peneleh, dan juga Kembang Kuning.

Dalam perjalanannya makam-makam tersebut mengalami pergeseran


beberapa kali dan hal-hal yang melatarbelakangi pergeseran tersebut lah
yang banyak diulas dalam tulisan karya Lengkong Sanggar Ginaris ini.
Disini dijelaskan mengenai perjalanan hadirnya keempat pemakaman
tersebut yang tentunya memiliki keterkaitan antara satu sama lain. Hingga
saat ini, pemakaman Belanda di Surabaya yang masih tersisa yaitu
pemakaman Belanda di Peneleh yang sudah tidak lagi berfungsi untuk
berbagai kegiatan pemakaman, dan pemakaman Kembang Kuning yang
saat ini masih digunakan untuk pemakaman orang-orang Kristen.

G. Kerangka Konsep

Sebagai suatu disiplin ilmu, sejarah menunjukkan kesetaraan


fungsinya dengan disiplin ilmu yang lain, dimana disiplin ilmu tersebut
memberikan manfaat yang sesuai dengan perkembangan serta kemajuan
ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia. Hal semacam itu dapat
disaksikan secara nyata ketika penulisan sejarah bukan hanya menyajikan
sebuah kisah ataupun dongeng-dongeng yang memiliki unsur mitos sesuai
daerahnya masing-masing, namun penulisan sejarah yang mengandung
berbagai ilmu pengetahuan hingga eksplanasi kritis di dalamnya15.
Sebagai pelaku sejarah, masyarakat memiliki peranan yang penting
dalam memposisikan dirinya untuk menciptakan suatu sejarah, tidak hanya
larut dan berjalan beriringan dengan sejarah itu sendiri. Menurut S.R.
Steinmetz masyarakat merupakan kelompok terbesar dari manusia yang di
dalamnya terdapat pula kelompok-kelompok yang lebih kecil dari manusia
yang memiliki hubungan yang erat dan teratur. Kemudian Maclver memiliki
pendapat bahwa masyarakat merupakan kesatuan sistem cara kerja maupun
prosedur yang saling bantu dan berhubungan, di dalamnya terdapat
kelompok-kelompok sosial yang lain serta sistem yang mengawasi berbagai
tingkah laku serta kebebasan manusia, dimana sistem tersebut akan selalu
berubah, atau juga disebut dengan jaringan relasi sosial16.
Pada penelitian ini membahas mengenai berbagai problematika yang
terjadi di masyarakat yang tinggal satu ruang dengan kompleks pemakaman
Belanda Peneleh. Pemakaman menurut Francaviglia (1971), yaitu sebuah
bentuk ekspresi visual serta spasial orang-orang yang masih hidup terhadap
kematian. Pemakaman sendiri dapat dikatakan sebagai suatu kebutuhan
penting bagi orang-orang Belanda yang pernah tinggal di Nusantara, hal
tersebut lantaran banyak dari mereka yang memang belum memiliki
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan iklim Indonesia yang tropis
(Mytum, 1989).
Berbagai problematika pun kerap terjadi pada kondisi ini. Sebagai
suatu fenomena sosial, seringkali Tindakan kejahatan merupakan hasil
pengaruh dari berbagai aspek kehidupan masyarakat diantaranya seperti
aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, hingga berbagai hal yang berkaitan
dengan upaya mempertahankan keamanan negara17. Kemudian terdapat
juga pendapat dari Sutherland yang menyatakan bahwa kejahatan

15 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,


1999), hlm. 10.
16 Beni Ahmad Saebani, Pengantar Antropologi (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm.

137.
17 Indah Sri Utami, Aliran dan Teori Dalam Kriminologi (Yogyakarta: Thafa Media, 2012),

hlm. 23.
mempunyai arti sebuah Tindakan yang telah dilarang oleh negara karena
bersifat merugikan, negara bereaksi dengan memberikan hukuman sebagai
suatu upaya pencegahan serta pemberantasan18.

H. Metode

Metode penelitian merupakan cara yang digunakan para peneliti


untuk mendapatkan hasil dari proses penelitian. Metode dalam penelitian
sejarah ialah cara yang digunakan untuk menganalisis secara kritis dokumen,
rekaman hingga berbagai peninggalan yang dapat dijadikan objek penelitian.
Metode penelitian ini memiliki tahap sesuai dengan langkah-langkah penelitian
sejarah. Menurut Kuntowijoyo, terdapat lima tahapan penelitian sejarah
yaitu19:

1. Pemilihan Topik

Sebelum kita melakukan sebuah penelitian maupun penulisan,


menentukan topik merupakan langkah awal yang harus dilakukan.
Penentuan topik ini akan menjadi acuan peneliti dalam melakukan
pencarian sumber. Dalam pencarian topik, kita harus
memperhatikan dua aspek yang penting yaitu kedekatan emosional
serta kedekatan intelektual. Selain itu, kita juga harus
mempertimbangkan banyak hal, diantaranya yaitu mengenai
menarik atau tidaknya topik yang akan digunakan, ketersediaan
sumber data, serta kesesuaian antara topik dengan disiplin ilmu yang
sedang ditekuni.

2. Heuristik

Heuristik dapat juga dikatakan sebagai tahap pengumpulan


sumber-sumber sejarah. Heuristik sendiri merupakan salah satu
langkah awal berupa pengumpulan sumber-sumber yang
mendukung penelitian sehingga dapat menghasilkan sebuah tulisan

18 M. Ali Zaidan, Kebijakan Kriminal (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 11-12
19
Kuntowijoyo, Op.cit, hlm. 90.
sejarah20. Pada tahap ini penulis harus terlebih dahulu mengetahui
klasifikasi dari sumber sejarah sehingga akan memudahkannya
dalam melakukan penelusuran sumber. Berdasarkan bahannya,
sumber sejarah terbagi menjadi dua jenis yaitu sumber tertulis
(dokumen) serta sumber tidak tertulis (artefact). Untuk sumber
tertulis dapat berupa surat-surat, kontrak kerja, dan sebagainya,
sedangkan untuk sumber tidak tertulis dapat berupa bangunan dan
alat-alat. Kemudian berdasarkan sifatnya sumber sejarah terbagi
menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
merupakan sumber yang dapat kita peroleh dari pelaku sejarah
maupun para saksi yang terlibat secara langsung pada peristiwa
tersebut, diantaranya yaitu arsip, dokumen-dokumen, surat kabar,
dan sebagainya. Sedangkan sumber sekunder merupakan kesaksian
dari siapapun, namun yang bukan sebagai pelaku utama dari
peristiwa tersebut. Sumber sekunder dapat berupa biografi, ulasan
literatur, artikel ilmiah, dan sebagainya.

3. Verifikasi

Verifikasi merupakan tahapan dimana peneliti harus menguji


secara kritis terhadap sumber yang telah diperoleh. Terdapat
berbagai cara untuk menguji sumber yang diperoleh, salah satunya
yaitu dengan melakukan perbandingan dengan data maupun sumber
yang lain dan juga dengan penelitian yang sudah ada terlebih dahulu.
Dalam melakukan kritik sumber, peneliti harus bersikap objektif
guna memperoleh data dan sumber yang relevan dan akurat.
Terdapat dua jenis kritik sumber, yaitu kritik ekstern dan kritik
intern. Kritik ekstern memiliki sifat lebih pada fisiknya, bukan pada
isi dari sumber. Sedangkan kritik intern bersifat lebih kritis terhadap
isi dari sumber yang diperoleh.

20
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 86.
4. Interpretasi

Tahapan interpretasi dapat juga dikatakan sebagai tahapan


penafsiran fakta. Interpretasi adalah melakukan penetapan pada
fakta-fakta yang telah teruji dan lebih bermakna karena saling
berhubungan dan saling menunjang21. Terdapat dua macam
interpretasi, yaitu analisis dan sintesis. Analisis memiliki arti
menguraikan. Seperti yang kita ketahui bahwa setiap sumber sejarah
tentu memunculkan berbagai penafsiran dari tiap penulisnya, pada
langkah ini kecermatan obyektifitas dari penulis akan dituntut untuk
menyesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Selanjutnya untuk
menyatukan hasil dari interpretasi penulis terhadap sumber dan data
yang diperoleh tersebut dilakukan sintesis, yaitu menggabungkan
atau mengelompokkan sesuai dengan topik yang akan dibahas.

5. Historiografi

Historiografi merupakan tahapan akhir dalam metode sejarah,


dari beberapa rangkaian tahap yang telah dilakukan maka
selanjutnya peneliti akan menuangkannya dalam penulisan. Dengan
adanya dukungan dari berbagai data dan sumber yang valid akan
sangat membantu penelitian ini menjadi sebuah tulisan yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya serta dapat pula dijadikan
sebagai referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

I. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan berisi mengenai gambaran singkat tentang isi


dari penelitian yang dilakukan. Adanya sistematika penulisan ini bertujuan
agar penulisan menjadi lebih sistematis dan terarah. Sesuai dengan struktur
dan pokok pembahasan, pada penelitian ini penulis membagi menjadi lima
bab.

21
S. Rochmat, Ilmu Sejarah dalam Perspektif Ilmu Sosial (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2009), hlm. 150.
Pada bab pertama penelitian ini, berisi pendahuluan yang meliputi
latar belakang permasalahan untuk memberikan gambaran umum mengenai
masalah ini dan mengapa penelitian ini dilakukan. Dilanjutkan dengan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat. Selain itu dijelaskan pula mengenai
batasan ruang lingkup pembahasan, tinjauan pustaka, kerangka konseptual,
metode penelitian yang digunakan dan yang terakhir sistematika penulisan
hasil penelitian.

Pada bab kedua berisi penjelasan lebih mendetail mengenai tinjauan


pustaka dan latar belakang. Menjelaskan tentang kondisi geografis
masyarakat Peneleh, ruang lingkup makam Belanda di kawasan Peneleh dan
berbagai problematika lain didalamnya

Pada bab ketiga dan keempat berisi pembahasan secara rinci


mengenai rumusan masalah. Dimana penjelasan dan pembahasan
berdasarkan pada sumber dan bukti yang sudah didapatkan. Pada bab ini
hasil dari penelitian yang dilakukan ditulis setelah dikaji kebenarannya.

Pada bab kelima berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran. Kesimpulan bertujuan untuk meringkas secara keseluruhan dari hasil
penelitian ini, agar dapat digunakan sebaik-baiknya oleh peneliti
selanjutnya
BAB II

KONDISI SURABAYA TAHUN PERTENGAHAN ABAD KE-20

Surabaya berkembang menjadi kota utama di Indonesia sejak awal abad ke-
20. Penerapan Surabaya sebagai kota utama tersebut tidak terlepas dari adanya
berbagai peranan baik peranan dalam bidang politik, ekonomi, hingga sosial. Dalam
bidang politik peranannya dapat dilihat dari penerapan kota Surabaya menjadi kota
otonom atau gemeente pada tahun 1906. Dalam bidang ekonomi peranannya dapat
dilihat dari bagaimana kota Surabaya menjadi pusat industri serta perdagangan
utama di wilayah Jawa bagian timur. Selanjutnya dalam bidang sosial dapat dilihat
dari jenis penduduknya yang heterogen22. Etnis Jawa merupakan penghuni terbesar
dari kota Surabaya, kemudian terdapat juga etnis lain seperti Tionghoa, orang-orang
Eropa, Arab, atau Timur Asing. . Berdasarkan hasil sensus pada 7 Oktober 1930
mengenai pertambahan penduduk Jawa dan Madura sejak November 1920, jumlah
total masyarakat Surabaya mencapai 945.386 jiwa. Jumlah tersebut
diklasifikasikan dengan kategori orang Eropa sebanyak 27.364 jiwa, penduduk
pribumi sebanyak 870.214 jiwa, dan orang-orang Timur sebanyak 47.806 jiwa.

Jumlah Penduduk
Wilayah Total
Eropa Pribumi Orang Timur
Ponorogo 256 761.665 1.697 763.618
Madioen 3.052 1.126.395 7.444 1.136.891
Bodjonegoro 506 1.086.596 10.951 1.098.053
Grissee 261 875.849 5.175 881.258
Modjokerto 3.005 890.676 11.359 905.040
Soerabaja 27.364 870.214 47.806 945.386
West-Madoera 405 972.906 2.661 975.972
Oost-Madoera 638 877.363 4.548 882.549
Kediri 3.513 1.148.312 13.929 1.165.754
Blitar 2.439 1.290.137 11.859 1.304.435
Malang 10.412 1.110.297 15.230 1.135.939
Pasoeroean 3.140 644.743 9.721 657.604
Probolinggo 2.934 934.249 10.100 947.283
Bondowoso 1.412 669.703 7.941 679.056
Djember 3.881 1.381.898 17.912 1.403.691
TOTAL 14.882.556

Tabel 1 Jumlah Penduduk Jawa Timur Tahun 1930 berdasarkan Syrata Sosial

Sumber: Buku Het Nederlandsche Java Instituut, diakses melalui delpher.nl

22
Purnawan Basundoro, “Penduduk dan Hubungan Antaretnis di Kota Surabaya Pada
Masa Kolonial” dalam Paramita, Vol. 22(1), Januari 2012, hlm. 1.
Sebagian besar penduduk bumiputera di Surabaya merupakan orang Jawa
dan orang Madura. Banyak pula penduduk Surabaya yang merupakan pendatang,
salah satu alasan mereka untuk merantau ke Surabaya adalah untuk mengadu
nasibnya menjadi lebih baik dalam hal ekonomi. Kuntowijoyo (2002) pernah
mengatakan kalau tradisi perantauan orang-orang Madura ini sudah berlangsun
cukup lama. Sebagian besar penduduk Madura yang memilih untuk mengadu
nasibnya di Surabaya adalah penduduk wilayah Bangkalan.

Seperti yang terdapat pada tabel di atas, populasi penduduk Surabaya terdiri
dari beberapa kelompok utama yang diantaranya yaitu orang-orang Pribumi, orang
Eropa, Orang Arab dan orang Cina. Orang-orang Arab dan Cina termasuk kedalam
kelompok Timur Asing yang untuk pendatangnya sendiri terdapat juga orang-orang
yang berasal dari Jepang dan India. Hal tersebut merupakan pengaruh dari peranan
kota Surabaya sebagai salah satu pusat perdangan juga pelabuhan di Nusantara.
Adanya urbanisasi di Surabaya yang terjadi pada awal abad ke-20 juga terjadi
didorong oleh adanya industrialisasi. Migrasi ini menimbulkan lonjakan
pertambahan penduduk sebesar dua kali lipat. Bebagai bukti sejarah menunjuukkan
bahwa Surabaya memiliki berbagai kampung dan bangunan-bangunan kuno.

2.1 Letak Geografis Kampung dan Makam Belanda Peneleh


Kampung Peneleh merupakan salah satu kampung kuno yang merupakan
kawasan asli kota Surabaya dan berlokasi di daerah kecil yang merupakan bagian
dari Surabaya. Pada tahun 1930, catatan laporan statistic Gemeente Soerabaja
mnyebutkan bahwa luas total dari wilayah administrative Gemeente Soerabaja yaitu
sebesar 8280 H.A.23luas dari kampung Peneleh sendiri tidak lebih dari 1% luas
keseluruhan dari Gemeente Soerabaja. Kampung ini dapat dikatakan berada di
lokasi yang cukup strategis dengan berada di antara dua sungai, yaitu sungai
Kalimas dan Pegirian. Kampung ini secara geografis berada di jalan Peneleh atau

23Martinus Nijhof, Statistische Berichten der Gemeente Soerabaja Jan/Juni 1930


(Soerabaja: Bureau van Statistiek, 1930).
Penelehstraat yang juga berbatasan dengan Plampitanstraat yang sekarang dikenal
dengan sebutan jalan Ahmad Jaiz.

Gambar 1 Lokasi Kampung Peneleh Pada Tahun 1934 Berdasarkan Peta


Gemeente Soerabaja

Sumber: colonialarchitecture.eu diakses pada 9 Oktober 2021

Dalam perkembangannya, lokasi dari kampung Peneleh ini cukup strategis


karena letaknya yang tidak jauh dari pusat kota, yaitu sekitar 1,5 km. beberapa
bangunan di kawasan kampung Peneleh ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya
yang dilindungi, diantaranya yaitu bangunan HOS Tjokroaminoto, Masjid Jami’,
Pasar Peneleh dan juga makam modern Belanda. Untuk makam Belanda sendiri
merupakan salah satu makam Eropa tertua dia Indonesia (Artha, 2006). Makam ini
berada di tengah perkampungan yang dimana makam tersebut memiliki luas sekitar
3,5 ha. Lokasi makam ini dipilih dengan alasan lokasinya yang dirasa tidak akan
menimbulkan gangguan dalam perluasan pemukiman orang-orang Eropa yang ada
di sebelah barat Kalimas.
Makam Belanda Peneleh dibuka pada tahun 1847 dan menjadi makam elit
Eropa pertama yang ada di Surabaya. Makam Belanda ini awalnya bernama
Europesche Begraafplaats te Peneleh (Faber, 1936). Pembukaan lahan untuk
makam ini memakan biaya sebesar 10.000 gulden. Kepadatan makam ini dapat
dikatakan berjalan dengan cepat, dalam kurun waktu satu tahun setelah resmi
dibuka sudah terdapat 100 jenazah yang dimakamkan. Kemudian angka jenazah
sudah menyentuh jumlah 13.000 pada tahun 1915. Aktivitas makam yang semakin
padat tersebut beriringan dengan bertambahnya jumlah penduduk yang selanjutnya
membuat lahan sekitar pemakaman Belanda berubah menjadi pemukiman
penduduk. Padatnya penduduk dan pemukimannya membuat makam Belanda ini
tidak memungkinkan untuk diperluas karena lahannya yang sudah berkurang24.
Pada tahun sekitar 1950 an makam ini akhirnya ditutup, ditandai dengan adanya
Gerakan nasionalisasi terhadap semua kepemilikan Belanda di Indonesia, yang
selanjutnya makam dan berbagai arsipnya diambil alih kepengurusan oleh DKRTH
(Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau). Terdapat beberapa orang penting
pada masa Hindia Belanda yang dimakamkan di makam Belanda Peneleh ini,
diantaranya yaitu gubernur jenderal Hindia Belanda Pieter Merkus, dan residen
Surabaya Daniel Francois Willem Pietermatt.

2.1 Kondisi dan Aktivitas Sosial Masyarakat Pemukiman Sekitar Makam


Belanda Peneleh
Kampung Peneleh dapat dikatakan sebagai kampung dengan aktivitas pasar
dan industri rumahan yang cukup terawat jika dibandingkan dengan perkampungan
lain di tengah kota. Masyarakat di kampung ini juga dikatakan sebagai sutau
komunitas yang heterogenya, dimana memiliki ikatan kekeluargaan yang cukup
kuat. Pada tahun 1930, pemerintahan Belanda melakukan perbaikan kondisi
kampung Peneleh ini dengan program yang dinamakan kampung verbetering.
Diadakannya program kampung verbetering ini memiliki tujuan utama dalam
penutupan parit grogol yang menimbulkan polusi udara karena bau nya yang tidak
bersahabat, kemudian juga untuk memulihkan rooilijnen, garis bangunan yang
diabaikan karena adanya pendudukan liar di wilayah tersebut 25. Permasalahan
tersebut juga dikuatkan dengan adanya laporan pada tahun 1930 yang menyatakan
adanya seorang wanita yang terkena penyakit akibat dari persoalan air yang
selanjutnya membuatnya kehilangan nyawa.

24Lengkong Sanggar Ginaris, Op.cit, hlm. 191


25Hnas Versnel, “Peneleh, A Second Life To An Old Dutch Cemetery” dalam architecture
& environment, Vol. 11(1), April 2012, hlm. 103.
Berbagai persoalan dan kegiatan di kampung Peneleh ini juga cukup
beragam, salah satunya yaitu adanya kasus penyelundupan opium pada tahun 1931
yang diliput dalam koran Bataviaasch Nieuwsblad pada 29 Desember 1931.

Gambar 2 Potongan Berita tentang penyelundupan opium di Peneleh

Sumber: koran Bataviaasch Nieuwsblad diakses dari delpher.nl pada


31 Desember 2021

Dalam berita ini disebutkan bahwa terdapat laporan akan adanya penangkapan atas
kasus penyelundupan opium yang berasal dari Thailand oleh seorang Cina di
Peneleh. Selanjutnya pada masa Jepang berkuasa, kondisi lingkungan serta
Kesehatan warga kampung menjadi perhatian mereka. Hal tersebut tidak lain
karena mereka tidak ingin para warga menambah permasalahan mereka dengan
menularkan penyakit-penyakit, sehingga dilakukan program vaksinasi pada tahun
1942.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kondisi Makam Modern Belanda Peneleh Tahun 1930-1960 an


Pemakaman sering disebut – sebut sebagai kebutuhan yang penting
bagi manusia khususnya bagi seseorang yang sudah tiada. Pemakaman
merupakan suatu hal yang harus ada dan selalu berdampingan dengan
peradaban masyarakat. Biasanya, kompleks pemakaman berada tidak jauh dari
pemukiman masyarakat supaya mempermudah akses masyarakat untuk
melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pemakaman. Beberapa dari
masyarakat menganggap pemakaman ialah tempat sakral yang harus dijaga,
entah kebersihan maupun perilaku seseorang yang berada di dalam atau sekitar
makam. Beberapa dari masyarakat memiliki kesadaran untuk menjaga fasilitas
yang ada di pemakaman, masyarakat sekitar membantu juru kunci makam
untuk menjaga kebersihan dan lingkungan di sekitar. Banyak pula sanak
keluarga yang masih menjaga kondisi makam keluarga mereka, hal ini
dilakukan dengan cara merawat, melakukan kijing dan pemugaran lain agar
terlihat lebih rapi.

Tradisi pemakaman sudah ada sejak masa prasejarah yang sempat


mengalami hiatus pada masa Hindu – Buddha tetapi kembali muncul masa
kedatangan Islam di Nusantara. Ada makam keluarga yang biasanya hanya ada
beberapa bidang tanah yang hanya memperbolehkan sanak keluarga yang
disemyamkan lahan tersebut. Pemakaman sendiri merupakan proses dari
penguburan jenazah dengan proses administrasi dan peraturan lokasi makam.
Hal ini tertulis dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2013 mengenai
Pemakaman dan Pengabuan Jenazah Kota Tangerang Selatan. Pemakaman
sendiri biasanya ada yang bersifat umum dan khusus. Umum seperti
pemakaman pada umumnya, semua masyarakat dapat disemayamkan tanpa
pandang bulu tidak membedakan satu dan lain. Khusus seperti pemakaman
yang dikhususkan untuk seseorang. Contohnya, makam pahlawan yang isinya
adalah pahlawan negara atau yang berkontribusi dalam memperjuangkan
negara.
Pemakaman khusus juga menyebar di seluruh penjuru kota, salah
satunya Kota Surabaya. Makam Belanda Peneleh merupakan salah satu contoh
pemakaman khusus di Kota Surabaya yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial
Belanda dengan kewenangan yang dimiliki, sehingga dengan bebas memilih
lahan mana yang ingin di alih fungsi menjadi kompleks pemakaman orang –
orang Belanda yang tinggal di Surabaya26. Kekuasaan yang dimiliki
pemerintah kolonial membuat mereka dengan mudah memakai lahan – lahan
kosong di Indonesia khususnya Surabaya untuk kebutuhan orang – orang
Belanda. Lokasinya terletak di Jalan Makam Peneleh, Kelurahan Peneleh,
Kecamatan Genteng, Surabaya. Makam Belanda Peneleh saat itu hanya
diperuntukkan untuk orang – orang Belanda dan keturunannya saja. Namun,
seiring berjalannya waktu Makam Belanda Peneleh juga diperuntukkan untuk
orang – orang Tionghoa, Inggris, Jepang dan orang – orang Eropa lain yang
beragama Kristen. Meskipun begitu, hingga komplek pemakaman ini ditutup
dan ditetapkan menjadi cagar budaya orang – orang pribumi dan keturunannya
tetap tidak dapat dimakamkan di Makam Belanda Peneleh.
Kurun waktu tahun 1905 hingga 1943 terdapat penyempitan lahan
makam yang merupakan akibat dari banyaknya orang – orang Belanda yang
dimakamkan disana. Ditahun pertama setelah peresmian dan pembukaan lahan
pemakaman ini sudah ratusan jasad yang di makamkan. Kondisi iklim, perang
dan penyakit Malaria yang saat itu menyerang Indonesia membuat orang –
orang Belanda yang menetap di Surabaya jatuh sakit hingga meninggal dunia.
Beberapa pejabat Pemerintah Belanda biasa membawa sanak keluarga mereka
untuk pindah bersama selama melakukan perjalanan bisnis, berada di Indonesia
yang memiliki iklim berbeda dengan Eropa membuat orang – orang Belanda
beradaptasi lebih lama.

26Lengkong Sanggar Ginaris, Op.cit, hlm.


Beberapa tokoh penting dan pejabat negara Belanda juga dimakamkan
di komplek Makam Belanda Peneleh. Antara lain Gubernur Jenderal Hindia
Belanda pada periode tanam paksa (1787 – 1844), Pieter Markus. Ada pula
komplek makam suster yang terdiri dari 30 jenazah. Kemudian ada Pierre Jean
Batiste de Perez yang merupakan wakil ketua Raad van Indie.

Gambar 3 Potret Makam Pieter Markus di Makam Belanda


Peneleh

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 04 Desember 2021

Makam Belanda Peneleh termasuk dalam bentuk pemakaman Kerkhof,


dimana prang – orang Belanda dimakamkan menjadi satu di suatu area
kompleks pemakaman. Orang – orang Belanda yang dimakamkan di Makam
Belanda Peneleh dapat dikenali melalui makam mereka, biasanya terdapat
ornamen – ornamen yang disesuaikan dengan kedudukan seseorang yang
disemayamkan. Semakin tinggi jabatan dan pangkat yang miliki maka semakin
tinggi dan bagus pula pusara makamnya. Awal diresmikan pun, hanya orang –
orang berpangkat tinggi yang bisa disemayamkan di Makam Belanda Peneleh,
diistilahkan orang – orang penting masa Pemerintahan Kolonial di Surabaya.
Penggunaan bahan – bahan pusara juga dikirim langsung dari Belanda
sehingga kuat bertahan meski sudah bertahun – tahun27 pengimporan dilakukan
untuk menunjukkan kelas sosial orang – orang Belanda pada pribumi pada saat
itu. Contohnya, marmer, seng dan batu – batuan yang digunakan.
Kondisi Makam Belanda Sendiri masih dalam perawatan dikarenakan
masih banyak keturunan – keturunan dari mereka yang disemayamkan datang
berkunjung28. Beberapa dari mereka masih berkunjung dari Belanda ke
Surabaya untuk berziarah atau memperbaiki pusara yang mulai terkikis.
Beberapa dari ahli waris juga meneyerahkan pusara keluarga mereka pada
penjaga makam untuk tetap dibersihkan. Namun, hal itu tidak bertahan lama
karena beberapa tahun setelahnya sudah jarang ahli waris mereka datang untuk
berziarah. Kondisi pusara makam masih terbilang utuh meskipun beberapa
pusara hancur karena. Alasan beberapa pusara makam hancur juga karena iklim
dan usia dari makam tersebut29
Memasuki tahun 1950 hingga 1960 an kondisi makam mulai terlihat dari
beberapa pusara makam yang keropos dan berlubang. Selain karena iklim dan
termakan usia beberapa pusara sedikit terkoyak diakibatkan oleh tangan –
tangan jahil masyarakat yang masuk ke Komplek Pemakaman Belanda
Peneleh. Terdapat beberapa kali terjadi pergantian penjaga makam Belanda
Peneleh hingga saat kekosongan penjagaan kondisi makam tidak terawat
sebagaimana mestinya. Hingga Pemerintah Belanda mengeluarkan surat kabar
pembukaan lowongan pekerjaan untuk penjaga Komplek Pemakaman Belanda
Peneleh30. Makam – makam itu sempat dibiarkan dan hanya dibersihkan
sesekali selama masa kekosongan penjaga. Meskipun Komplek Pemakaman

27 Interview Adi 4 Desember 2021. Mp3. Merupakan seorang penjaga Komplek


Pemakaman Belanda Peneleh mulai tahun 2014.
28 Interview Yadi 15 Desember 2021. Mp3
29 Interview Adi 4 Desember 2021. Mp3
30 “De Indische Courant Oost – Java Editie,”Derde Blad Vridag, 1 Mei 1925
Belanda Peneleh ditutup masih ada beberapa masyarakat dan penduduk sekitar
yang masuk ke area pemakaman.

Gambar 4 Berita Lowongan Pekerjaan Penjaga Makam Belanda Peneleh

Sumber: De Indische Courant Oost-Java, edisi 1 Mei 1925, diakses melalui


delpher.nl pada 30 Desember 2021

Lokasi komplek pemakaman yang berada disekitar pemukiman


membuat beberapa aktivitas penduduk berada diarea dekat komplek
pemakaman Makam Belanda Peneleh. Kondisi makam yang pada saat itu
sempat mengalami pergantian penjaga membuat beberapa penduduk bebas
keluar dan masuk area pemakaman. Kondisi makam pada tahun sekitar 1960
an masih bebas diakses oleh umum meskipun sudah terdapat beberapa juru
kunci makam. Bagian luar makam masih dikelilingi oleh pagar dari kawat yang
rendah sehingga penduduk sekitar hingga anak – anak dapat masuk dan
bermain di dalam area Makam Belanda Peneleh. Kondisi makam di tahun 1960
masih asri, rumput hijau dihentang di antara komplek – komplek pemakaman,
sehingga anak – anak merasa senang dan asik bermain disana31. Dan akses
masuk dan keluar juga masih sangat mudah.
Penjagaan makam yang dirasa kurang membuat penduduk sekitar juga
berani melakukan banyak aktivitas di sekitar Makam Belanda Peneleh. Salah
satunya ialah melepaskan unggas atau hewan – hewan peliharaan penduduk ke
dalam area pemakaman. Hal ini didasari oleh rumput – rumput tinggi nan asri
yang dapat digunakan untuk makanan hewan ternak penduduk sekitar Makam

31Interview Totok Wijayanto 27 November 2021. Mp3. Ketua LPMK Kelurahan Peneleh,
Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.
Belanda Peneleh. Terdapat berbagai pandangan dari penduduk dan penjaga
makam akan kebebasan akses. Dimana penduduk beranggapan mudahnya
akses dan seolah – olah diperbolehkan membuat penduduk dengan enaknya
memasukin area makam. Berbeda dengan penjaga makam yang seakan
kewalahan dengan penduduk yang meskipun sudah diingatkan tetapi masih
melakukan hal yang sama berulang kali.

Gambar 5 Berita Pemagaran Makam Belanda Peneleh

Sumber: De Indische Courant, edisi 5 Juni 1935, diakses


melalui delpher.nl pada 30 Desember 2021

Berita diatas berisikan informasi dari rencana pemerintah kota


pemerintah kolonial yang ingin melakukan pemagaran menggunakan beton di
area sekitar Komplek Pemakaman Belanda Peneleh setelah ditetapkan berhenti
fungsi sebagai tempat pemakaman orang – orang Belanda. Alasan dari
pemagaran yang awalnya menggunakan kawat biasa berganti menggunakan
beton adalah meminimalisir hewan – hewan ternak masuk, unggas – unggas
yang berkeliaran dan menjadi tempat bermain anak – anak sekiar kampung
Peneleh32. Anak – anak sering bermain bola di lapangan sekitar area Komplek
Pemakaman Belanda Peneleh dan hal ini dilakukan secara turun temurun
hingga generasi mereka selanjutnya. Akibat dari inilah munculnya rencana
pemagaran beton area Makam Belanda Peneleh dan dilengkapi dengan

32 De Indische Courant “ Van Woensdag” EERSTE BLAD 5 Juni 1935


perawatan bagi pusara makam pemilik pangkat dan jabatan tinggi seperti
Gubernur Batavia dan Wakil Gubernur Batavia.

3.1 Kasus Kriminalitas Kompleks Pemakaman Belanda Peneleh Tahun 1930-


1960 an
Suatu fenomena sosial dalam masyarakat yang memang sudah
melekat dan dianggap akan seiring dengan perubahan kota adalah tindakan
kriminalitas, tindak kriminalitas merupakan suatu penyimpangan sosial dalam
masyarakat, sebuah tindakan kejahatan yang tidak asing di kota-kota besar
tidak terkecuali di Surabaya. Dalam kasus kriminalitas di kompleks
pemakaman Belanda Peneleh tindakan kriminalitas yang kerap ditemui adalah
kasus pencurian, kategori pencurian memiliki tingkatan yang rendah dalam
dunia kriminalitas, sehingga tidak memiliki jaringan yang rumit dibanding
dengan tindakan kriminalitas yang lain, walaupun begitu tidak ada pembenaran
atas perbuatan ini, tindak pencurian yang meningkat juga akan merugikan
pihak yang menjadi korban33.
Makam Belanda Peneleh merupakan makam tertua di Surabaya,
sejarah berdirinya makam Belanda Peneleh ini dimulai ketika pemerintah
kolonial menginginkan lahan pemakaman baru yang lebih luas karena pada
lahan sebelumnya sudah tidak dapat dilakukan pemakaman lagi, sehingga
pemerintah kolonial memilih sepetak lahan di kampung Peneleh untuk
dijadikan sebuah tempat pemakaman, alasan dipilihnya wilayah Peneleh adalah
karena keberadaan makam tidak akan menggangu perluasan pemukiman orang
Eropa di sekitar barat Kali Mas. Namun seiring dengan peningkatan penduduk
yang berdampak pada kebutuhan untuk tempat tinggal wilayah makam peneleh
menjadi semakin sempit dan dikepung oleh permukiman penduduk akibatnya
wilayah makam Peneleh tidak dapat diperluas lagi.
Dalam kasus kriminalitas pencurian di kompleks pemakaman
Belanda Peneleh pemberitaan mengenai pencurian ini dimuat dalam beberapa
surat kabar pada masa Hindia Belanda, di dalam pemberitaan tersebut

33
Dinna Oktavianasari, “Kriminalitas di Surabaya pada Penghujung Akhir Orde Baru 1995-1998”
dalam Avatara, Vol. 4 (2) Juli 2016, hlm. 538
dijelaskan secara rinci dan juga kronologis proses pencurian tersebut memuat
mengenai bagaimana pelaku melakukan pencurian dan peralatan apa saja yang
digunakan, pelaku dari pencurian pada tahun 1930-an merupakan warga kulit
putih atau warga Eropa, tidak dijelaskan secara rinci motif dibalik pencurian
tersebut namun dari beberapa surat kabar pencurian dilatar belakangi himpitan
ekonomi dan miskinnya pelaku pencurian.

Gambar 6 Berita Pencurian di Makam Belanda Peneleh

Sumber: De Avondpost, edisi 12 Desember 1937, diakses melalui


delpher.nl pada 30 desember 2021
Gambar 8 Berita Pencurian Vas di Makam Peneleh

Sumber: Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-


Indie, edisi 26 November 1937, diakses melalui
delpher.nl pada 30 Desember 2021

Gambar 7 Berita Pencurian Vas di Makam


Peneleh

Sumber: Bataviaasch nieuwsblad, edisi 26


November 1937, diakses dari delpher.nl pada 30
Desember 2021.

Dalam ketiga surat kabar diatas memuat berita yang sama


mengenai pencurian yang berlangsung di makam Peneleh, penjaga makam
menemukan seorang pencuri di makam tersebut, pencuri tersebut adalah
orang Eropa. Surat kabar yang pertama menjelaskan bahwa kasus
pencurian tersebut terungkap pada hari Selasa, 21 November 1937, namun
baru diberitakan pada tanggal 12 Desember 1937, di dalam surat kabar
tersebut bahwa kunjungan keluarga berakhir pada kasus pencurian. Pada
surat kabar kedua dan ketiga diterbitkan pada hari yang sama 26 November
1937, pada surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie
diberitakan pencuri orang Eropa tersebut datang ke makam untuk
menaburkan bunga dan pergi kesana dengan menggunakan koper untuk
menjalankan aksinya yaitu mencuri vas dari makam dan saat digeledah
rumahnya vas-vas makam lainnya ditemukan.
Pada surat kabar Bataviaasch nieuwsblad diberitakan bahwa
terdapat satu keluarga yang berkunjung di makam pada awalnya mereka
melakukan penaburan bunga pada makam namun mereka selalu membawa
tas kerja dan kemudian pada saat menaburkan bunga mereka mengambil
kesempatan dengan cepat untuk mencuri beberapa vas dan
disembunyikannya dalam tas koper yang dibawanya, polisi bergerak dan
menggerebek rumah keluarga yang diduga sebagai pencuri hal ini
dilakukan sebagai bentuk preventif.
Kasus mengenai pencurian vas makam ini mendapatkan cukup
perhatian dari polisi pada masa itu, bahkan untuk beberapa kasus
pencurian hakim akan turun tangan untuk menetapkan hukuman yang
sesuai dengan hukum yang berlaku, hal ini dijelaskan pada beberapa surat
kabar yang beredar pada bulan Desember 1937, beberapa surat kabar
memuat berita mengenai pencurian dan menjelaskan dengan detail
bagaimana kronologis pada saat pengintrogasian pencuri yang diduga
adalah pasangan suami istri, kedua pasangan suami istri ini melancarkan
aksinya dengan memanfaatkan anak-anaknya.
Terdapat beberapa surat kabar yang memuat mengenai kronologis
jalannya pengadilan terhadap kasus pencurian makam yang ditangani oleh
hakim dan mendatangkan saksi dari penjaga makam, selain pada surat
kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie yang terbit pada
21 Desember 1937, sebelumnya sudah diterbitkan pula dalam surat kabar
Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie pada 20 Desember 1937,
dan juga dimuat di De Sumatra Post pada 29 Desember 1937.
Dalam surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-
Indie yang terbit pada 21 Desember 1937 dijelaskan bahwa hakim
memvonis pria dan wanita masing-masing dipenjara selama tiga bulan34.
Pria dan wanita ini diduga telah mengambil vas bunga tembaga dan

34
“De Gestolen Grafvazen Landrechter veroordeelde Man en Vrouw ieder tot drie Maanden.” Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, No. 293, 21 Desember 1937.
porselen dari beberapa makam di pemakaman Peneleh dan Kembang
Kuning, vas-vas ini dilacak keberadaannya dan ditemukan ditempat
pegadaian hal ini dikuatkan dengan bukti masih adanya bill of lading yang
terlampir. Jumlah yang diambil memang tidak besar namun yang menjadi
perhatian adalah siapa yang melakukan pencurian tersebut, mereka adalah
pasangan dengan dua anak yang mana kedua anak ini berasal dari
hubungan yang tidak sah antara wanita itu dengan pria lain.
Kedua anak ini dibawa kesemacam yayasan Den Bosco namun
kemudian diambil kembali oleh ibunya dengan dalih ingin mengajak
berjalan-jalan akan tetapi anak-anak ini tidak dikembalikan ke para suster
sehingga polisi ikut turun tangan dan mencarinya. Pelaku pencurian ini
dapat dikatakan sangat miskin karena mereka didukung oleh poor relief
yang mendapatkan upah 15 Gulden sebulan, mereka juga rutin
mendapatkan beras dan sumbangan pakaian dri Clothing Fund, namun
sayangnya pakaian yang diberi malah dijual tapi tetap saja mereka tidak
dapat memenuhi kebutuhannya, dengan alasan tersebut mereka merampok
kuburan.
Mereka membawa tas anyaman penuh bunga, membawa kereta,
dan ditemani anak-anak pada awalnya mereka berlutut di dekat kuburan,
menaburkan bunga diatas makam dan seakan-akan berdoa dengan khidmat
tetapi sementara itu mereka menaruh vas-vas kedalam kotak atau tas yang
dibawanya, diduga tas yang digunakan adalah tas yang memang dibeli
khusus dan dipergunakan untuk melakukan pencurian di makam. Pada saat
pengintrogasian pria ini berusaha untuk menutupi kebenaran, berbohong,
dan memutar balikkan fakta namun akhirnya dia mengakui semua
kejahatannya akan tetapi istrinya masih tidak mau untuk mengakuinya dan
bersikeras bahwa dia tidak terlibat dalam pencurian tersebut. Hakim
memberikan kesempatan pada wanita itu untuk jujur dan mengakui
kejahatannya namun tetap saja mengelak. Dan diputuskan bahwa pasangan
tersebut harus dipenjara selama tiga bulan karena terlibat dalam kasus
pencurian ringan.
Hingga kisaran tahun 1939 masih banyak terdapat kasus pencurian
pada makam, pencurian ini dianggap sebagai kasus yang serius. Tidak
hanya di makam peneleh namun juga di makam eropa Kembang Kuning
seperti dalam surat kabar terbitan Soerabaijasch handelsblad pada 19
Januari 1939. Didalam berita dijelaskan bahwa terdapat 4 kasus
perampokan vas dalam waktu 5 hari dengan total lebih dari 10 vas
menghilang dari batu nisan yang berbeda35. Kepolisian sudah mengambil
langkah khusus untuk memerangi pencurian tersebut namun tetap saja
pencurian masih saja berlangsung, hal ini dikarenakan kurangnya
keamanan area makam yang sangat luas selain itu pagar penghalang
terhitung sangat rendah sehingga pencuri dapat dengan mudah merangkak
di atas kawat berduri dengan jarahan mereka di mana-mana.
Pada makam Belanda Peneleh pencurian pada tahun 1960-an juga
masih terjadi. Pencuri-pencuri tersebut berasal dari penduduk kampung
sekitar, barang-barang yang kerap dicuri adalah material makam seperti
atap seng, marmer, guci-guci, dan pot yang memiliki logo VOC,
dikarenakan terus-menerus dicuri hingga saat ini peninggalannya sudah
tidak tersisa, dahulunya sudah pernah dilakukan upaya penyimpanan pada
gudang makam dibagian belakang namun tetap saja dibobol dan kembali
dicuri hingga hanya meninggalkan alat pengusung mayat. Pencurian pada
saat itu tidak sampai ke ranah hukum dikarenakan penjaga makam
setempat tidak didengar dan mungkin kalah oleh massa penduduk yang
lebih banyak sehingga penjaga makam memilih diam36.
Akan tetapi tidak dapat dikatakan bahwa seluruhnya merupakan
perbuatan penduduk sekitar makam karena pada faktanya terdapat
pemulung-pemulung yang memasuki area makam dan kemudian mencuri
bagian atap makam yang terbuat dari material seng, menurut keterangan
penjaga makam seng yang dipergunakan pada makam merupakan seng
dengan kualitas yang lebih unggul dari jenis seng jaman sekarang
kualitasnya yang bagus membuat seng ini mampu bertahan hingga

35
“NOGMAALS DE KERKHOF DIEFSTALLEN. Kwaad wordt steeds ernstiger.” Soerabaijasch
handelsblad , No. 16, 19 Januari 1939.
36
Interview Matmuri 27 November 2021. Mp3
sekarang jelasnya para orang Belanda dulu sangat memperhatikan material
yang digunakan mereka juga memperhitungkan usia dan keawetan barang,
berat seng tersebut bahkan hampir 8 Kg per-satu lembar seng, jika
diperhitungkan akan sangat untung jika dijual37.
Pencurian-pencurian yang terjadi di makam Belanda Peneleh
bermotif karena kemiskinan yang menghimpit sehingga mengharuskan
para pencuri tersebut melakukan tindak kriminalitas motif ini tercermin
pada kasus sekitar tahun 1930-an, selain itu keamanan tempat juga masih
perlu ditingkatkan meskipun pada makam Belanda Peneleh hanya melalui
satu jalur masuk namun masih memungkinkan untuk memasukinya tanpa
izin seperti adanya pemulung ataupun anak-anak kampung peneleh yang
datang untuk bermain. Berbagai upaya sudah dilakukan dari pemerintah
Surabaya seperti melakukan pelaporan tamu pada penjaga makam Peneleh
guna untuk mengurangi kasus pencurian, selain itu perlu adanya andil
pemerintah kota dalam upaya keamanan karena makam ini sudah dialihkan
kepada pemerintah kota Surabaya dan dijadikan sebagai tempat cagar
budaya.

37
Interview Adi 4 Desember 2021. Mp3
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah memaparkan materi mengenai kondisi makam, kampung,
dan problematika yang ada di Peneleh pada tahun 1930 hingga 1960 an, penulis
akan menarik kesimpulan. Surabaya merupakan salah satu kota multi etnis
dimana di dalamnya terdapat berbagai suku atau ras, diantaranya orang Eropa,
orang Pribumi, orang Arab, hingga orang Cina. Pada awal abad ke-20 terjadi
migrasi besar-besaran di Surabaya yang diakibatkan oleh adanya
industrialisasi. Migrasi tersebut menyebabkan terjadinya lonjakan penduduk di
Surabaya. Hal tersebut tentunya membuat berbagai lahan kosong lambat laun
berubah menjadi pemukiman penduduk. Tidak terkecuali makam Belanda
Peneleh yang pada tahun 1950 an memutuskan untuk ditutup karena lahannya
yang sudah penuh oleh pemukiman penduduk.
Terdapat banyak problematika sejak Komplek Makam Belanda
Peneleh resmi dibuka. Pada tahun pertama di buka Komplek Makam Belanda
Peneleh sudah disemayamkan sekitar 3.000 jasad orang – orang Belanda. Hal
ini diakibatkan adanya wabah malaria yang merajalela dan pada waktu itu obat
anti malaria belum diketemukan. Selain adanya wabah, perubahan iklim yang
dirasakan orang – orang Eropa di Indonesia juga menjadi alasan banyak orang
Belanda meninggal. Di waktu yang bersamaan terbentuklah pemukiman
penduduk disekitar area makam membuat Pemerintah Kolonial Belanda
mengurungkan niat untuk memperluas area pemakaman. Kondisi area
pemakaman dalam kurun waktu tahun 1930 hingga 1960 – an terbilang cukup
terawat dan rapi. Pusara – pusara di bangun sedemikian rupa sesuai dengan
jabatan dan pangkat yang miliki orang yang disemayamkan. Namun, karena
sempat terjadi pergantian juru kunci makam membuat Komplek Pemakaman
Belanda Peneleh mudah di akses oleh umum atau masyarakat sekitar makam
Peneleh. Banyak penduduk sektiar yang melepaskan unggas dan hewan –
hewan ternak mereka ke area sekitar makam untuk makan rumput. Dan banyak
pula anak – anak atau pemuda yang bermain bola di lapangan sekitar makam.
Hal ini membuat pemerintah kota memutuskan untuk mengganti pembatas
kawat dengan tembok beton. Dan memperketat akses masuk ke dalam area
makam.
Keterbukaan akses makam Belanda Peneleh sebelum dipagar
memungkinkan adanya tindak kriminalitas. Pada paruh waktu 1930-an ketika
makam masih beroperasi terdapat kasus pencurian yang menyita perhatian
hingga dimuat dalam beberapa surat kabar Hindia Belanda pada masa itu.
Pencurian tersebut menggasak vas-vas pada makam yang tidak lain pelakunya
adalah dari warga Eropa, dengan berpura-pura berdoa dan menaburkan bunga
mereka tanpa malu memasukkan vas-vas makam kedalam koper yang sudah
dibawanya. Motif dari pencurian tersebut adalah himpitan kemiskinan yang
dirasakan oleh pasangan suami istri tersebut meskipun nilai jualnya tidak
begitu besar namun mereka melakukannya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tindak kriminal pencurian ini masih lestari hingga beberapa
generasi penjaga makam namun pelaku pencurian sudah berubah yang dulunya
orang Eropa sendiri berubah menjadi penduduk sekitaran kampung peneleh
dan juga para pemulung liar yang memasuki makam mereka mencuri material
kuburan seperti seng. marmer, vas, pot, dan guci makam hingga tak bersisa.
Para penjaga makam yang mengetahuinya sudah berusaha menegur
dan ingin melaporkan kepada pihak berwajib namun dikarenakan banyaknya
massa penduduk para penjaga memilih diam dan tidak melaporkannya. Upaya
untuk menanggulangi pencurian sudah dilakukan seperti melakukan
penyimpanan barang dalam gudang makam namun tetap saja masih terjadi
pembobolan dan menyebabkan hilangnya barang-barang tersebut, selain itu
upaya keamanan juga dilakukan seperti selalu melakukan pelaporan apabila
saat ada tamu yang datang, sehingga keamanan haruslah menjadi prioritas
utama yang harus dilakukan guna untuk mengurangi atau bahkan
menghilangkan catatan tindak pencurian di makam Belanda Peneleh Surabaya.

4.2 Saran
Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
bagi para pembaca mengenai sejarah lokal di kota Surabaya yang terkait
dengan masyarakat dan kriminalitas. Tulisan ini juga senantiasa diharapkan
dapat memberikan pelajaran untuk pembaca akan betapa tercelanya tindak
kriminalitas yang ada. Tuntutan ekonomi bukanlah hal yang selayaknya dapat
dijadikan alasan untuk melakukan tindak kriminalitas.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Faber, G. V. (1936). Nieuw Soerabaia. De Geschiedenis Van Indie's Voornaamste
Koopstad In De Eerste Kwarteeuw Sedert Hare Instelling, 1906-1931.
Soerabaia: Van Ingen.
Herlina, N. (2008). Metode Sejarah. Bandung: Satya Historika.
Kartodirdjo, S. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.
Kuntowijoyo. (2003). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Nijhof, M. (1930). Statistische Berichten der Gemeente Soerabaja Jan/Juni 1930.
Soerabaja: Bureau van Statistiek.
Rochmat, S. (2009). Ilmu Sejarah dalam Perspektif Ilmu Sosial. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

JURNAL
Artha, Y., Antariksa, & Hariyani, S. (2006). Studi Pelestarian Bangunan Kuno di
Kawasan Kampung Kuno Peneleh Surabaya. Jurnal Ilmu-Ilmu Teknik,
18(1), 86-94.
Basundoro, P. (2012). Penduduk dan Hubungan Antaretnis di Kota Surabaya Pada
Masa Kolonial. Paramita, 22(1), 1-13.
Ginaris, L. S. (2019). Pergeseran Letak Pemakaman Belanda di Kota Surabaya dari
Abad 18 Hingga Awal Abad 20. Berkala Arkeologi, 39(2), 183-200.
Nusyahbani, R., & Pigawati, B. (2005). Kajian Karakteristik Kawasan Pemukiman
Kumuh Di Kampung Kota (Studi Kasus: Kampung Gandekan Semarang).
Jurnal Teknik PWK, 4(2), 267-281.
Oktavianasari, D. (2016). Kriminalitas di Surabaya pada Penghujung Akhir Orde
Baru 1995-1998. Avatara, 4(2), 533-547.
Raya, S. I., & Salim, T. A. (2019). Khazanah Arsip sebagai Koleksi Museum: Studi
Kasus Arsip Makam Belanda Peneleh di Museum Siola Surabaya. Jurnal
Kearsipan ANRI, 14(2), 80-90.
Samidi. (2017). Surabaya sebagai Kota Kolonial Modern pada Akhir Abad ke-19:
Industri, Transportasi, Pemukiman, dan Kemajemukan Masyarakat. Mozaik
Humaniora, 17(1), 157-180.
Soedarso, Nurif, M., Sutikno, & Windiani. (2013). Dinamika Multikultural
Masyarakat Kota Surabaya. Sosial Humaniora, 6(1), 62-75.
Suwarian, S. A. (2020). Analisis Pola Pemukiman Kampung Peneleh Surabaya”
dalam Jurnal Arsitektur Arcade. Jurnal Arsitektur Arcade, 4(1), 52-56.
Versnel, H. (2012). Peneleh, A Second Life To An Old Dutch Cemetery.
Architecture & Environment, 11(1), 101-106.

SURAT KABAR
Bataviaasch nieuwsblad, 26 November 1937.
De avondpost, 12 Desember 1937.
De Indische Courant Oost-Java Editie, 1 Mei 1925
De Indische Courant, 5 Juni 1935
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26 November 1937, 21
Desember 1937.
Soerabaijasch handelsblad, 19 Januari 1939.
Data Narasumber Wawancara
Nama : Moch. Machmud Arifin
Umur : 47 tahun
Status : Mantan Ketua Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) kampung
Lawang Seketeng, dan mantan wakil RW Lawang Seketeng, Peneleh, Kec.
Genteng, Kota Surabaya

Nama : Totok Wijayanto


Umur : 52 tahun
Status : Ketua LPMK Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng-Surabaya

Nama : Matmuri
Umur : 62 tahun
Status : Pensiunan Puskesmas Peneleh (juga anak tertua seorang dari penjaga
makam belanda Peneleh tahun 1900 an)

Nama : Mas Adi


Umur : 37 tahun
Status : Perawat Makam Belanda Peneleh sejak tahun 2014

Nama : Yadi
Umur : 50 tahun
Status : Penduduk asli pemukiman sekitar Makam Belanda Peneleh.
Lampiran

Lampiran 1: Berita Kronologis Peradilan Pencuri Vas Makam Peneleh


Sumber: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21 Desember 1937
Lampiran 2: Berita Kasus Pencurian Vas di Kembang Kuning

Sumber: Soerabaiasch handelsblad, 19 Januari 1939

Anda mungkin juga menyukai