Taman Prasasti
Dari banyak museum yang ada di Jakarta, Museum Taman Prasasti memiliki keunikannya
sendiri. Di balik nuansa suram, sunyi dan teduh pepohonan yang tumbuh di dalamnya,
museum ini menyimpan begitu banyak kisah kematian para tokoh penting dari berbagai
periode sejarah yang berbeda. Memang, museum ini dikhususkan untuk menyimpan berbagai
macam batu nisan dan prasasti yang memiliki nilai sejarah tinggi.
Diresmikan pada tahun 1977 oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, museum ini
sebelumnya hanya sebuah makam bernama Kebon Jahe Kober. Karena itulah nuansa 'dark'
begitu menyelimuti area seluas 1,2 hektar ini. Dark tourism sendiri merupakan salah satu
konsep wisata alternatif yang menghadirkan obyek, atraksi serta pameran yang bernuansa
kematian, duka, kesuraman dan penderitaan.
Makam Kebon Jahe Kober sendiri telah ada sejak masa kolonial Belanda, tepatnya tahun
1795. Ketika itu terjadi suatu wabah yang membuat banyak warga belanda di Batavia
meninggal. Hal ini membuat kebutuhan lahan penguburan meningkat signifikan. Kebetulan
saat itu kuburan warga Belanda di samping Gereja Baru (Nieuwe Hollandse Kerk, sekarang
Museum Wayang) dianggap sudah terlalu padat.
Hal ini membuat pemerintah Batavia mengadakan lahan pemakaman baru di wilayah Selatan
Batavia, yang posisinya agak jauh keluar kota dan jauh dari kepadatan penduduk kala itu.
Karena itulah, makam yang sekarang beralamat di Jalan Tanah Abang no. 1 ini akhirnya
diresmikan.
Dari segi tata kota, posisi Makam Kebon Jahe Kober amat strategis karena berada di tepi kali
Krukut. Hal ini membuat lalu lintas pengangkutan jenazah beserta keluarga umumnya
melalui kali Krukut.
Salah satu makam yang dianggap misterius adalah 'makam' Kapitan Jas. Tidak diketahui
benar siapa sebenarnya yang pernah dimakamkan di balik batu nisan tersebut, namun ada
kepercayaan bahwa makam ini dapat memberikan kesuburan, keselamatan dan kemakmuran
bagi peziarahnya.
Diantara sekian banyak nisan yang tersimpan di Museum ini juga terdapat nisan dari pendiri
sekolah kedokteran STOVIA, H.F. Roll. Ada pula Nisan makam Olivia Marianne (istri
Thomas Stamford Raffles), Miss Riboet (pemain Opera terkenal era 1920-an) serta aktivis
pergerakan '66, Soe Hok Gie. [Ardee/Indonesiakaya]
tak jadi masalahnya, tinggal manfaatkan saja feature kamera yang ada di telepon seluler
Anda. Setelah semuanya siap mari menghabiskan waktu dalam bingkai sejarah masa lalu di
Taman Makam Prasasti bidikkan mata lensanya di mana pun Anda suka. Selain itu jika Anda
ingin menikmati taman makam ini dalam kegelapan malam, pun bisa dilakukan namun
biasanya kegiatan ini dilakukan secara bersama-sama seperti yang pernah dilakukan oleh
Komunitas Historia Indonesia (KHI).
Ini nisannya Pieter Janse van Hoorn, ujar Lilie Suratminto kepada kami sembari menunjuk
batu nisan berhias ukiran aneka lambang heraldik. Bertumpu pada prasasti di nisan tadi dia
berujar, Bersamanya dimakamkan istri dan kedua anaknya, juga Tack yang tewas di
Kartasura.
Lilie, lelaki ramah dengan kumis rapinya, merupakan pengajar bahasa dan budaya Belanda di
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Dia pernah melakukan penelitian untuk
disertasinya tentang komunitas Kristen di Batavia masa VOC yang dilihat dari batu nisannya.
Pada suatu pagi nan cerah, Lilie bersama kami mengunjungi Museum Taman Prasasti di
Jakarta Pusat. Museum terbuka ini bekas sehamparan tanah permakaman Kristen yang mulai
digunakan sejak 1795 hingga 1976. Dahulu dikenal sebagai Kebonjahe Kober.
"Tuan Franois Tack dari Den Haag lahir 28 Mei 1649 wafat di Kartasura 8
Februari 1686." Tiga baris kata-kata di nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn
yang mengungkapkan bahwa Sang Kapten nan malang itu dikebumikan di
Batavia (Mahandis Y. Thamrin/NGI).
Hari itu, di nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn, kami menyelisik 28 baris prasasti
berbahasa Belanda lama. Berikut ini kutipan tiga baris yang menarik karena berkait dengan
Sang Kapten:
D[en] H[eer] F[ranois] TACK UYT DEN HAAGH GEB[oren] 1649 28 M[...]Y [...]
C[...]R[...]SOERA [...] FEB 1686.
Beberapa patah kata dalam kutipan prasasti itu hilang karena ditimpa sebuah ukiran HK
No.26 yang dibuat pada saat proses pemindahan makam dari Hollandsche Kerk (HK) ke
Kebonjahe pada awal abad ke-19. Lilie mencoba menerjemahkan dari rangkaian huruf yang
tersisa, Tuan Franois Tack dari Den Haag lahir 28 Mei 1649 wafat di Kartasura 8 Februari
1686.
Saat ini terdapat dua pendapat tentang keberadaan makam Tack. Ada yang mengatakan
bahwa Tack dimakamkan di Benteng Jepara, sementara pendapat lain meyakini bahwa raga
Sang Kapten itu bersemayam di Batavia.
Untuk membawa jenazah Franois Tack ke Batavia tentu terlalu jauh, ungkap Lilie pada
kesempatan lain. VOC kemudian memutuskan untuk memakamkannya di lojibenteng
kompeni di Jepara. Namun demikian, menurut Lilie, diduga pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704-1709) jenazah Tack dipindahkan dari Jepara
untuk dimakamkan kembali ke Batavia. Buktinya, nama Tack terukir di sebuah nisan
keluarga Pieter Janse van Hoorn di Batavia.
Tampaknya, penjelasan Lilie telah mengakurkan dua pendapat tentang lokasi sejati makam
Tack: Sang Kapten pernah dimakamkan di Benteng Jepara, kemudian dipindahkan ke
Batavia. Di Benteng Jepara tinggalan Portugis itu VOC telah membangun cabang kantor
dagangnya untuk kawasan Mataram yang perawatannya dibebankan kepada Keraton
Kartasura.
Mengapa Lilie menduga pemindahan makam itu terjadi tatkala Joan van Hoorn berkuasa
sebagai gubernur jenderal?
Sang Gubernur Jenderal, menurut pendapat Lilie, ingin menunjukkan kepada masyarakat
tentang kepahlawanan Tack, saudara ipar laki-lakinya. Dengan demikian, menurutnya, Tack
sudah sepantasnya dimakamkan secara terhormat di dalam Kruiskerk atau 'Gereja Salib'
bersama keluarga orang tua Sang Gubernur Jenderal, Pieter Janse van Hoorn.
Peristiwa pemakaman ini ibarat politik pencitraan yang akan menaikkan pamor Sang
Gubernur Jenderal, demikian menurut dugaan Lilie. Kelak, gereja itu pada awal abad ke-18
menjadi Hollandsche Kerkbekas lahannya kini menjadi Museum Wayang.
Pemakaman kembali dari Jepara ke Batavia itu biayanya sangat mahal, ujarnya. Andai kata
Tack bukan seorang adik ipar Sang Gubernur Jenderal, barangkali jasadnya tetap abadi di
Benteng Jepara. Kalaupun dipindah ke Batavia sebagai seorang yang hanya berpangkat
kapten mungkin makamnya berlokasi di halaman gereja, bukan di dalam lantai gereja.
Sekilas misi terakhir Kapten Tack. Pada akhir 1685, Tack dikirim dari Batavia ke Keraton
Kartasura, Jawa Tengah, karena memanasnya perlawanan pemberontak Bali terhadap VOC.
Sang dedengkot pemberontakan itu adalah Untung Surapati. Malangnya, pada 8 Februari
1686, dia dan pasukannya terjebak dalam kemelut pertempuran di sekitar Keraton Kartasura.
Laskar Surapati pun berhasil membinasakan mereka. Tack tewas secara mengenaskan dengan
20 luka di sekujur tubuh.
Lambang heraldik keluarga Pieter Janse van Hoorn yang terukir megah di
nisannya. Berbagai ikon melambangkan nama keluarga, profesi, atau asal-usul
pemilik lambang. Dari ukiran nisan para pejabat VOC inilah terungkap wibawa
mereka. Prasasti pada nisan-nisan VOC dapat merekonstruksi kehidupan sosiohistoris warga Batavia (Mahandis Y. Thamrin/NGI).
Lalu siapakah sosok terhormat mertua Tack yang bernama Pieter Janse van Hoorn?
Awalnya, Pieter merupakan seorang pedagang mesiu di Batavia namun bangkrut. Kemudian,
kembali lagi ke Batavia dan menjabat sebagai penasihat pajak, dewan kota Batavia, dan
sederet jabatan bergengsi lainnya. Konon, dia bisa kembali ke Batavia lantaran sang istri,
Sara Bessels, yang dikenal dekat dengan para pejabat VOC papan atas.
Nisan keluarga yang kami saksikan tersebut terbuat dari batu gunung atau blauwsteen, yang
umumnya dipesan dari pantai selatan India. Prasasti pada nisan menunjukkan bahwa Tack
dimakamkan bersama empat jenazah keluarga mertuanya.
Pieter Janse, sang ayah mertua, wafat pada Januari 1682, sedangkan Sara, sang ibu mertua,
wafat pada Juli 1686. Di tempat yang sama dimakamkan pula Pieter van Hoorn de Jonge,
anak lelaki sulung, dan Catharina van Hoorn de Jonge, putri bungsu mereka. Masing-masing
wafat pada November 1680 dan Mei 1683.
Batu nisan juga merupakan arsip penduduk masa lampau, demikian menurut Lilie, karena
dari prasasti pada batu nisan itu kita dapat merekonstruksi struktur sosial dan budaya suatu
masyarakat.
Simak kisah perjalanan panjang nisan Kapten Franois Tack dan keluarga mertuanya,
dari Hollandsche Kerk sampai Permakaman Kristen Kebonjahe.
Tuan Franois Tack dari Den Haag lahir 28 Mei 1649 wafat di Kartasura 8
Februari 1686. Tiga baris kata-kata di nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn,
pejabat VOC di Batavia, yang mengungkapkan bahwa Sang Kapten nan malang
itu dikebumikan di kota itu. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
Untuk membawa jenazah Franois Tack ke Batavia tentu terlalu jauh, ungkap Lilie
Suratminto, pengajar bahasa dan budaya Belanda di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Indonesia. VOC kemudian memutuskan untuk memakamkannya sementara di loji [benteng]
kompeni di Jepara.
Tack dan perwira VOC lainnya tewas terbunuh secara tragis oleh laskar Untung Surapati
di alun-alun Kartasura pada jelang tengah hari, 8 Februari 1686. Kemudian jasadnya diduga
dimakamkan di Fort Japara, sebelum akhirnya dipindah ke Batavia.
Di Batavia, jasad Tack dikebumikan dalam satu ruangan kubur bersama dengan
keluarga mertuanyaPieter Janse van Hoorn, istri, dan dua anak mereka. Nama Tack
tertoreh di permukaan nisan itu. Mereka dimakamkan di dalam Kruiskerk atau Gereja
Salib. Gereja itu awalnya berdiri pada 1632, merupakan gereja pertama yang didirikan di
luar Kastil Batavia. Kemudian gereja dibangun dan diperbesar lagi pada 1732 hingga 1736.
Sejak saat itu namanya berganti menjadi Nieuwe Hollandsche Kerk atau Gereja Belanda
Baru. Lokasi gereja itu di tepi timur Sungai Ciliwung, lahannya kini menjadi Museum
Wayang.
Seperti gereja dalam tradisi Eropa, di lantai gereja tersebut dimakamkan tokoh-tokoh penting
dan berjasa bagi Kota Batavia: para gubernur jenderal, dan sederet pejabat VOC lainnya.
Sementara warga umum dimakamkan di halamannya. Nisan-nisan mereka umumnya berasal
dari batu gunung yang dipesan di Coromandel, pantai selatan India.
Sampai kini belum ditemukan arsip VOC soal kapan pemakaman kembali jasad Tack dari
Jepara ke Batavia. Namun, Lilie menduga bahwa pemindahan makam itu terjadi pada masa
Gubernur Jenderal Joan van Hoorn, saudara ipar Tack.
Pemindahan makam adalah hal lumrah waktu itu, ungkap Lilie. Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen pun dulu dimakamkan di Stadhuis [Balai Kota] Batavia, baru kemudian
dipindahkan ke dalam Kruiskerk.
Sampai beberapa dekade gereja ini merupakan bangunan tertinggi di Batavia. Namun,
serangkaian gempamungkin meletusnya Gunung Salak pada 1761 dan 1780membuat
kerusakan serius pada konstruksinya. Tak lama setelah itu dijual atas perintah Daendels, pada
1808, gereja itu dirobohkan.
Makam-makam di gereja itujuga kerangka yang bersemayam di dalamnyadibongkar
untuk dipindahkan ke permakaman Kebonjahe. Kuburan di selatan Kota Batavia itu telah
dibuka pada 1795, namun lokasinya yang jauh kerap menimbulkan gerutu warga Batavia.
Semua nisan yang dibongkar diberi nomor inventaris, tak terkecuali milik keluarga Pieter
Janse van Hoorndan Tack. Nisan itu diberi ukiran kode HK No.26. Kode HK merupakan
kependekan dari Hollandsche Kerk sebagai asal nisan.
Tentu saja tidak semua makam dipindahkan, ungkap Lilie, untuk keluarga yang tidak
mengurus, maka hanya batu-batu nisan yang diangkat. Sebagian nisan-nisan VOC yang
tidak memiliki ahli waris, menurut Lilie, kemudian disimpan dalam sebuah gudang. Batu
nisan Franois Tack termasuk batu yang disimpan di dalam gudang.
Batu-batu nisan itu umumnya berhias ukiran lambang-lambang heraldik nan elok dan prasasti
yang berkisah soal sejarah sosial warga Batavia. Setelah beberapa dekade mendekam di
gudang, Lilie berkisah, nisan-nisan itu ditemukan kembali oleh Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappenkomunitas warga Batavia yang menaruh perhatian pada
seni dan ilmu pengetahuan. Kemudian pada 1844, dibangun aula gerbang utama di
permakaman Kebonjahe, dan sejumlah nisan yang tak bertuan tadi dipajang di dinding
depannya.
Permakaman Kebonjahe yang dahulu luasnya sekitar 5,5 hektare itu sejak 1977 diresmikan
menjadi Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat. Luasnya pun mengkerut hingga 1,3 hektare
saja. Nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn dan menantunya, Franois Tack, menghias sayap
kanan pada dinding halaman depan museum tersebut.
Nisan mereka berukirkan aneka lambang heraldik nan indahbintang segi enam, helm
bersayap, baju zirah, perisai dengan simbol nafiriyang membisikkan kisah sejarah nan
megah.
Di dalam Kebun Raya Bogor terdapat sebuah tempat yang sebenarnya sangat menarik untuk
dilihat. Memang bentuk tempat tersebut yang berupa sebuah Pemakaman Belanda Kuno
tidaklah seberapa menarik dibandingkan Rumah Anggrek yang ada disisi lainnya.
Seringkali pengunjung yang datang terlewat memasukkan tempat ini dalam daftar bagian
Kebun Botani yang ingin dilihat. Apalagi keberadaannya sendiri tertutup oleh tebalnya
rumpun pohon bambu yang menaungi tempat tersebut. Semua menambah jarangnya
pengunjung ke tempat ini.
Padahal sebenarnya di tempat ini terdapat cuplikan dari sebagian kecil sejarah tentang Bogor
dan Kebun Raya.
Keunikannya dari makam kedua orang ini adalah makamnya hanya satu. Jasad kedua orang
tersebut dimakamkan dalam satu liang lahat. Walaupun keduanya tidak wafat pada tahun
yang sama, Kuhl wafat tahun 1821 sedang Hasselt dua tahun kemudian, ikatan persahabatan
mereka terbawa sampai akhir hayat.
Masih terdapat banyak makam lain di kompleks ini seperti kuburan DJ. de Eerens, seorang
Gubernur Jenderal Belanda yang hidup tahun 1781-1840. Ada juga nama Ari Prins, politikus
Belanda.
Bisa dikata pemakaman Belanda kuno ini adalah tempat peristirahatan terakhir bagi banyak
orang penting pada masanya.
Selain sejarah yang terkandung di dalam kompleks Pemakaman Belanda kuno ini, satu hal
lain yang menarik diperhatikan adalah tentang keunikan bentuknya.
Banyak dari makam tersebut yang mengikuti arsitektur masa lalu di negara Tulip tersebut.
Sebagian memiliki pahatan di dindingnya. Ada yang memiliki bentuk seperti obelisk.
Bila kita berkunjung ke Pemakaman Belanda Kuno ini hanya selintas lalu, tidak akan ada
kesan yang hadir di dalam hati kita. Saya pikir dengan sedikit cara khusus tentu kita bisa
menikmati keberadaan mereka disini.
Kembangkan sedikit imajinasi anda. Bayangkan ketika anda sedang bepergian ke sebuah
tempat nun jauh dari tempat asal anda. Ketika kendaraan yang membawa anda pergi, kira-kira
perasaan apa yang timbul di hati anda.
Kemungkinan besar adalah sebuah perasaan sedih , sunyi dan agak kehilangan. Sebuah hal
yang normal karena pada saat tersebut anda meninggalkan tempat dan orang-orang yang anda
cintai di belakang anda.
Tentu akan ada rasa ingin agar tugas tersebut segera terselesaikan supaya kita bisa kembali ke
pangkuan orang-orang yang anda kenal dan sayangi.
Nah kemudian, bayangkan bahwa mereka yang jasadnya berada di kompleks pemakaman ini
adalah orang-orang yang jauh dari negeri asalnya. Terpisahkan oleh lautan luas lebih dari
14,490 kilometer dan pada jaman dimana pesawat udara belum diciptakan.
Tentu bisa terbayangkan perasaan mereka ketika menginjakkan kaki di tanah yang tidak
mereka kenal. Bogor belumlah seperti sekarang saat itu. Entah kapan atau mungkinkah
kembali adalah pertanyaan yang mungkin mereka rasakan.
Rasanya setelah anda sedikit berimajinasi, akan terasa nuansa lain yang bisa membantu anda
menikmati keberadaan Pemakaman Belanda Kuno ini. Kesunyian disini akan membantu anda
untuk bisa memandang makam-makam tua ini dari sudut pandang yang lain.
Jangan takut untuk tersesat. Kalau anda ragu menemukan jalan keluar dari sini, susuri saja
jalan setapak yang ada. Jalan itu akan membawa anda menuju Taman palem yang ada di sisi
Barat atau ke arah pagar istana.
Kalau anda ingin lebih mengerti suasananya ada bagusnya anda berkunjung kesini saat
malam. Saya pernah melakukannya lho. (Entah apa sekarang masih diperkenankan
berkunjung saat malam)
Jadi ketika anda berkunjung ke Kebun Raya Bogor jangan lupa untuk meluangkan waktu
melihat Pemakaman Belanda Kuno ini.
Selesai mengurus tiket, kami segera mulai menjelajahi museum. Hal pertama yang menarik
perhatian adalah sebuah lonceng tua. Menurut penuturan penjaga yang sempat kami tanyai,
lonceng tersebut berfungsi sebagi penanda bahwa ada jenazah yang akan dimakamkan pada
hari itu, yang akan terus berdentang sampai jenazah tiba di pemakaman.
Penjelajahan hari itu membawa kami bertemu sejumlah tokoh, dimulai dari H.F. Roll,
seorang pendiri dan direktur dari sekolah STOVIA yang kemudian hari menjadi cikal bakal
Fakultas Kedokteran UI. Roll adalah orang yang menolong Soetomo (kelak dr. Soetomo
ed.) saat akan dikeluarkan dari STOVIA akibat mendirikan organisasi Budi Utomo, hingga
Soetomo pun akhirnya bisa menyelesaikan pendidikannya di STOVIA.
Olivia Mariamne Raffles, istri dari sang gubernur jenderal berkebangsaan Inggris Thomas
Stamford Raffles pencetus pembangunan Kebun Raya Bogor, yang wafat di usia yang
masih cukup muda yaitu 43 tahun juga dimakamkan di sini. Sebagai bukti kecintaannya
terhadap sang istri, Raffles kemudian membangun tugu peringatan di Kebun Raya Bogor.
Wasiat terakhir Olivia adalah agar dimakamkan di sebelah makam sahabatnya yang bernama
John Casph Leyden. Sementara itu tidak ada hal istimewa dapat diceritakan tentang J.C.
Leyden, selain bahwa ia adalah sosok sahabat yang sangat dekat dengan Olivia. Hal menarik
justru datang dari seuntai puisi gubahan Sir Walter Scott (pengarang novel Ivanhoe ed.)
yang menghiasi makamnya.
Ada pula Andries Victor Michiels, seorang pejabat militer di Batavia yang telah
melaksanakan misi ke berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Cirebon, Sumatera Barat, dan
Bali. Sayangnya Bali menjadi misi terakhirnya sebab ia wafat di tangan para prajurit
Klungkung pada 25 Mei 1849. Sebagai penghormatan dibangun juga sebuah tugu di Waterloo
Plein (sekarang Lapangan Banteng)
Di Museum Taman Prasasti ini, nisan Soe Hok Gie turut menjadi koleksi. Saya rasa hampir
semua pejalan mengenal sosok yang satu ini. Seorang aktivis pergerakan mahasiswa yang
sangat idealis pada periode 1967-1969, serta konsisten memperjuangkan nasib rakyat saat itu.
Kecintaannya terhadap alam dan aktivitas pendakian gunung membuat ia mendirikan Mapala
UI. Ia wafat sehari sebelum mencapai usia 27 dalam pendakian menuju Puncak Semeru
karena menghisap gas beracun. Catatan harian Hok Gie telah dibukukan dan diberi judul
Catatan Seorang Demonstran. Merujuk pada buku ini, sutradara kawakan Riri Riza pun telah
membuat sebuah film: Gie.
Tak jauh dari nisan Soe Hok Gie kami menemukan makam seorang legenda teater di Batavia.
Ia adalah Ibu Riboet yang lebih dikenal dengan nama Miss Tjitjih. Ia memiliki jadwal
bermain teater secara teratur di Pasar Baru hingga tahun 1965
.
Nisan berikutnya yang menarik perhatian kami adalah nisan berbentuk seperti candi khas
Jawa. Ternyata itu adalah nisan dari Dr. J.L. Andries Brandes yang sangat mencintai
kebudayaan Jawa. Ia adalah peneliti yang berhasil membuka kisah-kisah di balik kitab
Pararaton hingga mengungkap naskah mengenai raja-raja Tumampel sampai Majapahit. Jadi,
ya, tidak aneh jika bentuk makamnya menyerupai candi.
Makam berbentuk monumen yang kokoh di salah satu sudut museum juga menarik, bukan
wujudnya namun kisah orang yang dimakamkan di sana. Adalah J.H.R. Kohler, seorang
panglima tertinggi militer di Batavia berpangkat Mayor Jenderal. Kohler wafat dalam salah
satu ekpedisi militernya di Aceh. Sebenarnya ia berencana melakukan serangan terhadap
Keraton Aceh. Namun, sayang seribu sayang, lokasi yang ia pilih ternyata keliru. Alih-alih
menyerang keraton, Masjid Besar Aceh yang diserang. Ternyata ia menganggap masjid itu
sebagai keraton. Masyarakat Aceh tidak tinggal diam, mereka berusaha mempertahankan
Masjid dengan gagah berani. Dalam pertempuran 14 April 1873 tersebut, Kohler pun
menghembuskan napas terakhir dengan lubang bekas peluru menganga di dadanya.
Selain berbagai nisan, di museum ini kita juga dapat menjumpai dua peti mati bersejarah
yang membawa jenazah kedua bapak proklamator Indonesia, Soekarno dan Hatta, menuju
tempat peristirahatan mereka yang terakhir. Kereta kuda yang dahulu digunakan untuk
membawa jenazah pun turut dipamerkan di museum ini.
Sebelum mengakhiri sesi, kami melihat sebuah prasasti berbahasa Belanda yang lebih kurang
berbunyi: Seperti andalah aku dahulu, seperti akulah anda kemudian.
Henricus Zwardecroon, Kampung Pecah Kulit, Kisah Kampoeng Petjah Koelit, Pieter
Erberveld
Batavia pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon [1718 1725],
hidup seorang cowok yang ganteng, kaya, bersahaja dan menjadi idola para gadis. Pieter
Erberveld, lelaki keturunan Jerman-Thailand pemilik tanah yang luas di belakang Portugese
Buitenkerk (sekarang GPIB Sion, Jakarta). Meski ayahnya dulu adalah komandan kavaleri
VOC dan menjadi orang kepercayaan Cornelis Speelman, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda
[1681-1684]; Pieter sangat membenci VOC. Hal ini dikarenakan setelah Speelman tak
berkuasa, pemerintah yang berkuasa menyita harta ayahnya karena dianggap tak memiliki
akta yang disahkan oleh VOC.
Pieter Erberveld dalam pentas kolosal Kampoeng Petjah Koelit di pelataran Museum Sejarah
Jakarta, Minggu 18 Juni 2006
Pieter bersahabat dengan Raden Ateng Kartadria seorang keturunan ningrat dari Banten.
Mereka lalu berkonspirasi dengan beberapa kawan yang sejalan untuk melakukan
pemberontakan dan membunuh orang-orang Belanda tepat pada malam pergantian tahun baru
31 Desember 1722.
Dianggap membahayakan pemerintah VOC; satu malam Pieter dan kawan-kawan yang
sedang mengadakan pertemuan rahasia di rumah Pieter digerebek oleh tentara Belanda. Pieter
dan Kartadria beserta 17 pengikut mereka ditangkap dan dibawa ke pengadilan delapan bulan
sebelum rencana mereka berjalan.
Penangkapan Pieter Erberveld dalam pentas teatrikal di halaman Museum Sejarah Jakarta
pada 18 Juni 2006
Ada beberapa versi terbongkarnya pertemuan malam itu:
dan pada dindingnya dipasang sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Jawa.
Secara bebas diterjemahkan sebagai berikut:
Untuk mengenang penghianat negara yang terkutuk Pieter Erberveld, dilarang mendirikan
bangunan atau bercocok tanam di tempat ini sekarang dan sampai hari kiamat. Batavia , 14
April 1722
5/25. Cornelia
Kubur sebelah kiri bertulis kata-kata dalam bahasa Inggris: Cornelia Dorothea Adelheid who
died in 1856 at the age of 45. Di tengah belakang adalah nisan kubur M.S. Henrici Kuhl
Hanoviani dan John Corn van Hasselt. Sedangkan yang di sebelah kanan merupakan nisan
kubur Jeannette Antoinette Pietermaat yang lahir 6 Juli 1816 dan dimakamkan pada 8 April
1870
6/25. Unik
Sebelah kanan adalah sisi kubur Cornelia Dorothea Adelheid dengan tulisan dalam Bahasa
Belanda, sementara di sisi lainnya ditulis dalam bahasa Inggris untuk kubur yang sama.
Kijing kubur yang di tengah terlihat unik, namun tulisannya tak terbaca. Berikutnya
8/25. Prins
Kubur terbesar di dalam kompleks Makam Belanda Bogor ini adalah milik Ary Prins, seorang
ahli hukum yang lahir di Schiedam pada 28 Agustus 1816 dan meninggal di Batavia pada 28
Januari 1867. Ary adalah Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda dan pernah menjadi pejabat
sementara Gubernur Hindia Belanda selama dua kali. Prins terlibat dalam menumpas
pemberontakan di Borneo pada 1850-1854. Ia tidak pernah secara resmi ditunjuk Gubernur
Jenderal karena pilihan politiknya yang salah. Ia menikah dengan Marie Anne Pietermaat
(lahir Amsterdam 13 Desember 1817, wafat 17 Juli 1864 di Semarang dan dimakamkan di
sana) pada 29 April 1840 di Surabaya. Ia menikah lagi dengan Anna Catharina Adriana van
der Leeuw (lahir di Padang 17 Januari 1842) pada 10 Maret 1866 di Bogor.
Makam Belanda Bogor 9
Nisan kubur Charles Gerard Alexander van der Parra Breton Vincent yang lahir di Batavia 20
Desember 1845 dan dimakamkan pada 11 September 1871. Di bawahnya ada kutipan tiga
ayat dari kitab suci. Sebelumnya ia dikuburkan di Jatinegara (Meester Cornelis) sebelum
dipindahkan ke tempat ini
13/25. Elisabeth
Nisan kubur yang bertuliskan Hier ligt begraven Elisabeth Charlotte Vincent Echtgenoot van
Jan Jacob Rochussen, zij stierf den 14 Augustus 1851 te Buitenzorg aan de Gevolgen van
hare verlossing op den 21 Junij 1851 van eene bij de Geboorte overledene dochter. Het wicht
je rust met de moeder in hetzelfde graf en is met haar in den hemel vereenigd. yang kurang
lebih artinya Disini terbaring Elisabeth Charlotte Vincent istri Jan Jacob Rochussen,
meninggal 14 Agustus 1851 di Buitenzorg (bogor) sebagai akibat melahirkan seorang putri
yang meninggal pada 21 Juni 1851. Ia beristirahat dengan ibunya di kuburan yang sama dan
bersatu di surga.
Beton kubur mendatar di atas tanah dengan tulisan Uxori optimal conjux lugens P. A.V.D.B
J.V.S. Vixit annos XXIII Ob. D XVIII Sept MDCCCXXXI. Angka yang terakhir itu adalah
18 September 1831.
Tengara kubur bertuliskan Hier ligt begraven een dood geboren zoon van Jean Chretien
Baud en Ursula Susanna van Braam. Sayangnya tulisan yang lebih kecil di bawahnya
sudah agak susah dibaca.
Joseph Drury lahir di Irlandia dan yang menikah Ambrosina Wilhelmina Rijck (lahir di
Batavia 25 Jan 1785, meninggal di Batavia 2 Okt 1864). Joseph Drury adalah suami kedua
Ambrosina, sedangkan suami pertamanya adalah Letnan G. G. Jacob van Braam Andries.
Mereka tidak memiliki keturunan.
Makam Margaretha Catharina Elizabeth Pahud . Lahir 16 Juli 1858 dan meninggal 24 Jan
1860. Ia adalah putri Charles GG Ferdinand Pahud. Tulisan di bawahnya berbunyi Gij hebt
nu droefheid, maar ik zal u wederzien. Uw hart zal zich verblijden en niemand zal uwe
blijdschap wegnemen.Anda sekarang megalami kesedihan tapi aku akan bertemu lagi. Hati
Anda akan bersukacita , dan tidak ada yang akan mengambil sukacita Anda
Museum Taman Prasasti Jakarta terletak di Jl. Tanah Abang 1, Jakarta, yang bisa dicapai
melewati Jalan Abdul Muis. Museum Taman Prasasti barangkali adalah satu-satunya museum
luar ruangan di Jakarta, dimana hampir semua koleksi prasastinya berada di udara terbuka
tanpa pelindung. Mungkin karena sebagian besar prasasti itu terbuat dari batu alam, marmer
atau perunggu yang tahan terhadap perubahan cuaca.
Museum Taman Prasasti Jakarta mulanya kompleks kuburan Belanda, Kerkhof Laan, yang
kemudian dikenal sebagai kuburan Kebon Jahe Kober. Kuburan seluas 5,5 ha di tanah hibah
Van Riemsdijk itu dibangun tahun 1795 untuk menggantikan kuburan di samping gereja
Nieuw Hollandsche Kerk, sekarang Museum Wayang, dan dari Gereja Sion Jakarta, akibat
larangan Daendels untuk tidak mengubur mayat di sekitar gereja dan tanah pribadi.
Kuburan Kebon Jahe Kober itu ditutup pada 1975 karena tidak ada lagi ruang tersisa. Semua
mayat di Pemakaman Kebon Jahe Kober kemudian dipindahkan ke pemakaman lain, seperti
Menteng Pulo dan Tanah Kusir, dan dijadikan Museum Taman Prasasti yang secara resmi
dibuka oleh waktu itu Gubernur DKI Ali Sadikin pada 7 Juli 1977 dengan koleksi prasasti,
nisan, tugu, dan makam sebanyak 1.372. Saat ini luas museum ini tinggal 1,3 ha.
Museum ini menjadi semacam tempat pamer karya seni kubur masa lampau yang
keindahannya melebihi seni kubur masyarakat umum sekarang ini, dan menjadi menarik dan
informatif jika ada penjelasan di setiap prasasti. Penjelasan semacam itu membuat
pengunjung memahami latar sejarah dan mendapat manfaat dari kunjungan mereka.
Pintu masuk Museum Taman Prasasti yang saat itu terlihat agak kotor dan temboknya sudah
memerlukan cat ulang. Ruang parkir di halaman museum agak terbatas, namun pengunjung
bisa parkir di pinggiran jalan di luar kompleks Museum Taman Prasasti. Sesaat kemudian
saya sudah membayar tiket dan masuk ke area museum luar yang luas ini.
Di area depan Museum Taman Prasasti terdapat tugu tengara yang dibuat bagi 30 orang
tentara kekaisaran Jepang Kompi 19, Batalyon 16, Divisi 2, dari kota Shibata, Propinsi
Nigata, Jepang. Mereka dibunuh militer sekutu di Sungai Ciantung, Desa Leuwiliang, Bogor,
pada 3-4 Maret, tahun 17 Showa (1942) ketika bala tentara Jepang menyerbu Indonesia. Dua
kali setahun masyarakat Jepang yang tinggal di Jakarta menyelenggarakan acara ritual di
Museum Taman Prasasti Jakarta ini.
Replika prasasti Pieter Erberveld terdapat di bagian depan Museum Taman Prasasti, yang
aslinya dibuat pada April 1722. Ia dihukum mati dengan guillotine setelah gagal memimpin
pemberontakan pada 1 Januari 1722. Ada pula tengara berbunyi: Di taman ini terlukis
peristiwa sepanjang masa dari goresan prasasti mereka yang pergi. Di sini pula tertanam
kehijauan yang kita dambakan.
Di area sebelah kiri Museum Taman Prasasti Jakarta terdapat replika kereta jenasah yang
dipakai membawa keranda mayat ke kuburan. Status sosial seseorang bisa dilihat dari jumlah
kuda yang dipakai, dua atau empat, untuk menarik kereta mayatnya. Selain kereta jenasah, di
Museum Taman Prasasti juga disimpan peti jenazah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohamad Hatta.
Museum Taman Prasasti juga menyimpan batu nisan Soe Hok Gie (1942-1969) dan Miss
Riboet yang menjadi primadona Miss Riboet Orion, perkumpulan Opera Komedi Stambul
yang terkenal di Batavia pada tahun 1920-an di bawah pimpinan Tio Tik Djien, suami Miss
Riboet. Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion berakhir pada 1934, saat penulis
naskahnya Njoo Cheong Seng dan Fifi Young pindah ke Opera Dardanella.
Pusara Miss Riboet bertulis Atas Dasar Mutlak Tjinta Sutji-Murni Selama Ampir 50 Taoen
Telah Hidup Rukun- Beruntung Beredjeki Dlm Persahabatan Suami Estri: S/U Riboet (Al
Miss-Riboet), Lahir di Atjeh: 24 Dec. 1900, Meninggal Di Djak. 19 Apr. (Paskah) 1965 dan
T.D.Tio Jr. Tio Tik Djien Lahir Di Ngandjuk 2 Dec. 1895 Menjusul. Gods Groote Liefde
Kasih Tuhan Jg Mahaesa Dasar-Mutlak Bagai Penghidupan dan Segala Jg Hidup & Ingin
Hidup. Tio Tik Djien meninggal pada 1972 di Jakarta.
Patung wanita terbuat dari batu pualam dalam posisi berbaring miring dengan kepala
bertelekan bantalan dan tangan menangkup wajah. Pada prasasti kubur di kiri belakangnya
tertulis Rustplaats van onzen geliefden zoon Hendrik Daniel Beisser Machinist b.d. Gouv.
Marine Geb. te Padang 5 Januari 1882. Overl. in de Indragiri rivier 18 Juni 1904.
Di Museum Taman Prasasti bisa dilihat prasasti dari tokoh berkebangsaan Belanda serta
Inggris seperti A.V. Michiels (yang memimpin tentara Belanda dalam Perang Puputan
Jagaraga Kerajaan Buleleng), Dr. H.F. Roll (Pendiri STOVIA, Sekolah Kedokteran zaman
Belanda, 1867-1935), dan J.H.R. Kohler (perang Aceh).
Ada pula prasasti kubur Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles, meninggal
1814), dan Kapitan Jas yang makamnya dikeramatkan sebagian orang karena konon bisa
memberi kesuburan, keselamatan, kemakmuran dan kebahagiaan. Di ujung belakang
Museum Taman Prasasti terdapat deretan bekas kuburan dan prasasti yang menempel pada
tembok dinding.
Jika anda ke Museum Taman Prasasti Jakarta, cobalah temukan sebuah prasasti dengan
tulisan SOO GY. NU SYT.WAS.IK VOOR DEESEN DAT.JK, NV BEN SVLT GY OOK
WEESEN yang berarti Seperti Anda sekarang, demikianlah Aku sebelumnya. Seperti Aku
sekarang, demikianlah juga Anda kelak. Semoga Anda bisa menemukannya.
4/23. Kompi 19
Tengara di Museum Taman Prasasti untuk 30 orang tentara kekaisaran Jepang Kompi 19,
Batalyon 16, Divisi 2, dari kota Shibata, Propinsi Nigata, Jepang. Mereka dibunuh militer
sekutu di Sungai Ciantung, Desa Leuwiliang, Bogor, tanggal 3-4 Maret, tahun 17 Showa
(1942) ketika bala tentara Jepang menyerbu Indonesia. Konon dua kali setahun masyarakat
Jepang yang tinggal di Jakarta menyelenggarakan acara ritual di Museum Taman Prasasti ini.
Prasasti kubur Emiel Henri Meuleman yang lahir dir Surabaya pada 10 Maret 1880 dan
meninggal di Batavia pada 3 Maret 1902. Di sebelahnya prasasti kubur Willem Coenraad
Meuleman yang lahir di Zutphen 30 Maret 1848 dan meninggal di Batavia pada 9 Februari
1904.
Sebuah tengara di Museum Taman Prasasti yang berbunyi: Di taman ini terlukis peristiwa
sepanjang masa dari goresan prasasti mereka yang pergi. Di sini pula tertanam kehijauan
yang kita dambakan
7/23. Obelisk
Sebuah monumen berbentuk obelisk dengan sebuah tulisan yang berarti Kenangannya tetap
diberkahi dengan kebahagiaan, dikelilingi tangga besi. Dibangun untuk mengenang L.
Launy oleh para sahabat dengan seizin keluarganya.
Diantaranya bertulis Rustplaats Van Sophia Wilhelmina Visser, Geb. Van Riemsdijk, Overl.
19 Sept. 1898. Jan Willem Visser, Overl. 15 Januari 1931.
Willem August Abell, Overl. 24 Juli 1933. dan di sebelahnya Ter Nagedachtenis Aan Onze
Geliefde Echtgenoote En Moeder Rose Leonide. Lotsij. Van Der Jagt., Geb. Utrecht 2 Maart
1879, Overl. Weltevreden 15 Oct. 1914.
Prasasti kubur pada dinding yang bertulis Hier rust Onze lieve Echtgenoot en trouwe Vader
FRANCOIS BAREND VAN DER HORST, Geb. te Welt. 13 April 1869, Overl. te Welt. 19
Januari 1930
DIE IN MIJ GELOOFT, ZAL LEVEN, ALWARE HIJ OOK GESTORVEN, JOH: 11: 25.
GELIE VAN DER HORST, Geb. GOODSMITH, Geb. te Kediri 29 Mei 1864, Overl. te
Djatinegara 25 Januari 1954.
Patung batu pualam putih seorang wanita eropa dengan kepala menelungkup di atas
gundukan batu prasasti dan tangan kirinya merengkuh puncaknya. Prasasti kubur di depannya
bertulis Hier rust onze geliefde echtgenoote en moeder Antoinette Coenders, Geb.
Leidelmeijer Geb. te Semarang 21 Sept: 1877, Overl. te Batavia 18 Aug: 1928.
Sebuah prasasti kubur susun dua dengan ornamen yang sangat indah ini berada di dekat pagar
makam yang berbatasan dengan Kantor Walikota Jakarta Pusat. Kekayaan, kecintaan, dan
kadang gengsi, yang melahirkan karya seni kubur yang indah seperti ini
19/23. Claessens
Prasasti kubur seorang pastor dengan tulisan yang berbunyi In Memoriam, Ill Ac Rev Adami
Caroli Claessens, Archiepiscopi Tit Siracensis Vicari Ap Bataviensis 10 Julii 1895-77 Annos
Nati, R.I.P.. Sedangkan di sebelah kirinya merupakan prasasti kubur milik Casper Hendrik
Conraad
Prasasti kubur dengan patung pastor bertyulis Door Armen En Rijken Krijgsman En Burger
Weduwe En Wees Ter Zaliger Nagedachtenis Van Den Weleerw Heer, H. Van Der Grinten,
Pastor Te Batavia, Gebn. Te Eindhoven Den 2Den Novr. 1811, En Alhier Overln Den 25 Jan
1864. Ik Ben Alles Voor Allen Geworden 1 Cor. Iv V.S. 22. Zijne Nagedachtenis Zal Niet
Vergaan, En Zijn Naam Zal Genoemd Worden, Van Geslacht Tot Geslacht, Eccles Xxxix v.s.
13. R.I.P