Anda di halaman 1dari 71

Jejak Makam Peninggalan Belanda di Museum

Taman Prasasti
Dari banyak museum yang ada di Jakarta, Museum Taman Prasasti memiliki keunikannya
sendiri. Di balik nuansa suram, sunyi dan teduh pepohonan yang tumbuh di dalamnya,
museum ini menyimpan begitu banyak kisah kematian para tokoh penting dari berbagai
periode sejarah yang berbeda. Memang, museum ini dikhususkan untuk menyimpan berbagai
macam batu nisan dan prasasti yang memiliki nilai sejarah tinggi.
Diresmikan pada tahun 1977 oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, museum ini
sebelumnya hanya sebuah makam bernama Kebon Jahe Kober. Karena itulah nuansa 'dark'
begitu menyelimuti area seluas 1,2 hektar ini. Dark tourism sendiri merupakan salah satu
konsep wisata alternatif yang menghadirkan obyek, atraksi serta pameran yang bernuansa
kematian, duka, kesuraman dan penderitaan.
Makam Kebon Jahe Kober sendiri telah ada sejak masa kolonial Belanda, tepatnya tahun
1795. Ketika itu terjadi suatu wabah yang membuat banyak warga belanda di Batavia
meninggal. Hal ini membuat kebutuhan lahan penguburan meningkat signifikan. Kebetulan
saat itu kuburan warga Belanda di samping Gereja Baru (Nieuwe Hollandse Kerk, sekarang
Museum Wayang) dianggap sudah terlalu padat.
Hal ini membuat pemerintah Batavia mengadakan lahan pemakaman baru di wilayah Selatan
Batavia, yang posisinya agak jauh keluar kota dan jauh dari kepadatan penduduk kala itu.
Karena itulah, makam yang sekarang beralamat di Jalan Tanah Abang no. 1 ini akhirnya
diresmikan.
Dari segi tata kota, posisi Makam Kebon Jahe Kober amat strategis karena berada di tepi kali
Krukut. Hal ini membuat lalu lintas pengangkutan jenazah beserta keluarga umumnya
melalui kali Krukut.
Salah satu makam yang dianggap misterius adalah 'makam' Kapitan Jas. Tidak diketahui
benar siapa sebenarnya yang pernah dimakamkan di balik batu nisan tersebut, namun ada
kepercayaan bahwa makam ini dapat memberikan kesuburan, keselamatan dan kemakmuran
bagi peziarahnya.
Diantara sekian banyak nisan yang tersimpan di Museum ini juga terdapat nisan dari pendiri
sekolah kedokteran STOVIA, H.F. Roll. Ada pula Nisan makam Olivia Marianne (istri
Thomas Stamford Raffles), Miss Riboet (pemain Opera terkenal era 1920-an) serta aktivis
pergerakan '66, Soe Hok Gie. [Ardee/Indonesiakaya]

Wisata Malam di Makam


Kota Jakarta kaya akan warisan budaya tempo dulu yang wajib untuk dilestarikan. Bukan
hanya untuk dipelajari namun juga bisa dijadikan sebagai tempat rekreasi yang penuh
inovasi. Salah satu tempat yang penuh sejarah yang mulai dilirik oleh warga Jakarta
sebagai lokasi startegis adalah Taman Makam Prasasti. Berlokasi di Jalan Tanah Abang I,
Jakarta Pusat, mengunjungi museum pada malam hari bisa jadi merupakan hal baru.
Seperti yang telah dilakukan oleh beberapa Komunitas Fotografi. Tak jarang mereka yang
hobby dengan fotografi sering membidikan kameranya di tempat ini.
Untuk menikmati Wisata Malam Di Taman Makam Prasasti siapkan terlebih dahulu
seperangkat alat kamera yang Anda punya. Jika kebetulan Anda tidak memiliki kamera pun

tak jadi masalahnya, tinggal manfaatkan saja feature kamera yang ada di telepon seluler
Anda. Setelah semuanya siap mari menghabiskan waktu dalam bingkai sejarah masa lalu di
Taman Makam Prasasti bidikkan mata lensanya di mana pun Anda suka. Selain itu jika Anda
ingin menikmati taman makam ini dalam kegelapan malam, pun bisa dilakukan namun
biasanya kegiatan ini dilakukan secara bersama-sama seperti yang pernah dilakukan oleh
Komunitas Historia Indonesia (KHI).

Makam Tokoh Terkemuka


Nisan berbentuk buku ada di makam Direktur Stovia Dr HF Roll. Roll inilah yang
mempertahankan Sutomo tetap bersekolah meskipun ada berbagai tekanan dari Pemerintah
Belanda untuk menghentikan gerakan Boedi Oetomo yang digagas Sutomo.Seorang pejabat
Belanda yang berjasa memajukan pertanian di Pasuruan, Dirk Anthonius, dimakamkan
dengan nisan berukir hasil pertanian dan alat- alat pertanian. Tak hanya itu, di sana pun
terdapat nisan makam aktivis pergerakan mahasiswa di tahun 1960-an, Soe Hok Gie yang
terletak di bawah sebuah pohon tinggi bercabang dua di pojok Museum Taman Prasasti.
Selain nisan-nisan kuno, makam ini juga menyimpang peti jenazah dari presiden pertama RI
dan wakilnya, berikut dengan kereta kuda pengangkut jenazah yang kondisinya masih bagus
dan utuh, lengkap dengan empat rodanya. Museum Prasasti sendiri terbuka untuk umum dan
buka setiap hari dari pukul 08.00 WIB hingga malam hari.
Di taman makam prasasti juga terdapat makam Miss Riboet yang tertulis pada pusaranya
bahwa Miss Riboet meninggal di Djakarta pada 19 April 1965. Miss Riboet ini merupakan
seorang artis tempo dulu yang sangat terkenal di awal abad ke 20.

Patung Si Cantik Menangis


Sebuah patung perempuan dengan kepala tertelungkup
pada tangannya juga ada di kompleks ini. Menurut
cerita, makam ini kerap disebut Si Cantik
Menangis.Konon patung yang bisa dijumpai di Taman
Makam Prasasti ini adalah seorang wanita yang
menangisi suaminya yang bunuh diri karena terkena
malaria.
Taman Makam Prasasti dibangun pada tahun 1795. Tempat ini merupakan sebuah museum
cagar budaya peninggalan masa kolonial Belanda. Awalnya bernama Kebon Jahe Kober, lalu
berganti nama menjadi Museum Taman Prasasti setelah Gubernur Ali Sadikin
meresmikannya menjadi sebuah museum pada tahun 1977.
Makam ini sempat tutup pada tahun 1975 untuk kepentingan pembangunan walikota Jakarta
Pusat. Banyak makam-makan yang dipindahkan ke pemakaman Tanah Kusir. Luas makam
yang sedarinya seluas 5,9 hektar dengan 4.200 batu nisan itu, pun menyusut hanya tinggal 1,3
hektar dengan 1.372 batu nisan yang tersisa dan 32 batu nisan yang tetap berada di tempat
aslinya

Selisik Makam Kapten Tack, Perwira VOC Abad Ke-17


Lebih dari tiga abad silam, Francois Tack terbunuh di
Pertempuran Kartasura menyisakan pendapat soal lokasi
makamnya: Jepara atau Batavia?
Batu nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn, Sara Bessels, dan kedua anak
mereka Pieter van Hoorn de Jonge dan Catharina van Hoorn de Jonge; dan sang
menantu, Franois Tack. Tanda ukiran "HK No.26" menunjukkan bahwa nisan ini
awalnya dari Hollandsche Kerkkini Museum Wayang. Sejak 1844 nisan ini
berada di Permakaman Kristen Kebonjahe yang saat ini menjadi Museum Taman
Prasasti, Jakarta Pusat. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Ini nisannya Pieter Janse van Hoorn, ujar Lilie Suratminto kepada kami sembari menunjuk
batu nisan berhias ukiran aneka lambang heraldik. Bertumpu pada prasasti di nisan tadi dia
berujar, Bersamanya dimakamkan istri dan kedua anaknya, juga Tack yang tewas di
Kartasura.
Lilie, lelaki ramah dengan kumis rapinya, merupakan pengajar bahasa dan budaya Belanda di
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Dia pernah melakukan penelitian untuk
disertasinya tentang komunitas Kristen di Batavia masa VOC yang dilihat dari batu nisannya.
Pada suatu pagi nan cerah, Lilie bersama kami mengunjungi Museum Taman Prasasti di
Jakarta Pusat. Museum terbuka ini bekas sehamparan tanah permakaman Kristen yang mulai
digunakan sejak 1795 hingga 1976. Dahulu dikenal sebagai Kebonjahe Kober.

"Tuan Franois Tack dari Den Haag lahir 28 Mei 1649 wafat di Kartasura 8
Februari 1686." Tiga baris kata-kata di nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn
yang mengungkapkan bahwa Sang Kapten nan malang itu dikebumikan di
Batavia (Mahandis Y. Thamrin/NGI).

Hari itu, di nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn, kami menyelisik 28 baris prasasti
berbahasa Belanda lama. Berikut ini kutipan tiga baris yang menarik karena berkait dengan
Sang Kapten:

D[en] H[eer] F[ranois] TACK UYT DEN HAAGH GEB[oren] 1649 28 M[...]Y [...]
C[...]R[...]SOERA [...] FEB 1686.
Beberapa patah kata dalam kutipan prasasti itu hilang karena ditimpa sebuah ukiran HK
No.26 yang dibuat pada saat proses pemindahan makam dari Hollandsche Kerk (HK) ke
Kebonjahe pada awal abad ke-19. Lilie mencoba menerjemahkan dari rangkaian huruf yang
tersisa, Tuan Franois Tack dari Den Haag lahir 28 Mei 1649 wafat di Kartasura 8 Februari
1686.
Saat ini terdapat dua pendapat tentang keberadaan makam Tack. Ada yang mengatakan
bahwa Tack dimakamkan di Benteng Jepara, sementara pendapat lain meyakini bahwa raga
Sang Kapten itu bersemayam di Batavia.

Untuk membawa jenazah Franois Tack ke Batavia tentu terlalu jauh, ungkap Lilie pada
kesempatan lain. VOC kemudian memutuskan untuk memakamkannya di lojibenteng
kompeni di Jepara. Namun demikian, menurut Lilie, diduga pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704-1709) jenazah Tack dipindahkan dari Jepara
untuk dimakamkan kembali ke Batavia. Buktinya, nama Tack terukir di sebuah nisan
keluarga Pieter Janse van Hoorn di Batavia.
Tampaknya, penjelasan Lilie telah mengakurkan dua pendapat tentang lokasi sejati makam
Tack: Sang Kapten pernah dimakamkan di Benteng Jepara, kemudian dipindahkan ke
Batavia. Di Benteng Jepara tinggalan Portugis itu VOC telah membangun cabang kantor
dagangnya untuk kawasan Mataram yang perawatannya dibebankan kepada Keraton
Kartasura.
Mengapa Lilie menduga pemindahan makam itu terjadi tatkala Joan van Hoorn berkuasa
sebagai gubernur jenderal?
Sang Gubernur Jenderal, menurut pendapat Lilie, ingin menunjukkan kepada masyarakat
tentang kepahlawanan Tack, saudara ipar laki-lakinya. Dengan demikian, menurutnya, Tack
sudah sepantasnya dimakamkan secara terhormat di dalam Kruiskerk atau 'Gereja Salib'
bersama keluarga orang tua Sang Gubernur Jenderal, Pieter Janse van Hoorn.
Peristiwa pemakaman ini ibarat politik pencitraan yang akan menaikkan pamor Sang
Gubernur Jenderal, demikian menurut dugaan Lilie. Kelak, gereja itu pada awal abad ke-18
menjadi Hollandsche Kerkbekas lahannya kini menjadi Museum Wayang.
Pemakaman kembali dari Jepara ke Batavia itu biayanya sangat mahal, ujarnya. Andai kata
Tack bukan seorang adik ipar Sang Gubernur Jenderal, barangkali jasadnya tetap abadi di
Benteng Jepara. Kalaupun dipindah ke Batavia sebagai seorang yang hanya berpangkat
kapten mungkin makamnya berlokasi di halaman gereja, bukan di dalam lantai gereja.

Sekilas misi terakhir Kapten Tack. Pada akhir 1685, Tack dikirim dari Batavia ke Keraton
Kartasura, Jawa Tengah, karena memanasnya perlawanan pemberontak Bali terhadap VOC.
Sang dedengkot pemberontakan itu adalah Untung Surapati. Malangnya, pada 8 Februari
1686, dia dan pasukannya terjebak dalam kemelut pertempuran di sekitar Keraton Kartasura.
Laskar Surapati pun berhasil membinasakan mereka. Tack tewas secara mengenaskan dengan
20 luka di sekujur tubuh.

Lambang heraldik keluarga Pieter Janse van Hoorn yang terukir megah di
nisannya. Berbagai ikon melambangkan nama keluarga, profesi, atau asal-usul
pemilik lambang. Dari ukiran nisan para pejabat VOC inilah terungkap wibawa
mereka. Prasasti pada nisan-nisan VOC dapat merekonstruksi kehidupan sosiohistoris warga Batavia (Mahandis Y. Thamrin/NGI).

Lalu siapakah sosok terhormat mertua Tack yang bernama Pieter Janse van Hoorn?
Awalnya, Pieter merupakan seorang pedagang mesiu di Batavia namun bangkrut. Kemudian,
kembali lagi ke Batavia dan menjabat sebagai penasihat pajak, dewan kota Batavia, dan
sederet jabatan bergengsi lainnya. Konon, dia bisa kembali ke Batavia lantaran sang istri,
Sara Bessels, yang dikenal dekat dengan para pejabat VOC papan atas.
Nisan keluarga yang kami saksikan tersebut terbuat dari batu gunung atau blauwsteen, yang
umumnya dipesan dari pantai selatan India. Prasasti pada nisan menunjukkan bahwa Tack
dimakamkan bersama empat jenazah keluarga mertuanya.
Pieter Janse, sang ayah mertua, wafat pada Januari 1682, sedangkan Sara, sang ibu mertua,
wafat pada Juli 1686. Di tempat yang sama dimakamkan pula Pieter van Hoorn de Jonge,
anak lelaki sulung, dan Catharina van Hoorn de Jonge, putri bungsu mereka. Masing-masing
wafat pada November 1680 dan Mei 1683.
Batu nisan juga merupakan arsip penduduk masa lampau, demikian menurut Lilie, karena
dari prasasti pada batu nisan itu kita dapat merekonstruksi struktur sosial dan budaya suatu
masyarakat.

Simak kisah perjalanan panjang nisan Kapten Franois Tack dan keluarga mertuanya,
dari Hollandsche Kerk sampai Permakaman Kristen Kebonjahe.

Mahandis Yoanata Thamrin

Perjalanan Panjang Nisan VOC: Kapten Tack dan


Keluarga Mertuanya
Kapten Tack dimakamkan kembali di Nieuwe Hollandsche
Kerk, Batavia. Namun, bagaimana kisah nisannya hingga
berada di Permakaman Kristen Kebonjahe?

Tuan Franois Tack dari Den Haag lahir 28 Mei 1649 wafat di Kartasura 8
Februari 1686. Tiga baris kata-kata di nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn,
pejabat VOC di Batavia, yang mengungkapkan bahwa Sang Kapten nan malang
itu dikebumikan di kota itu. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Untuk membawa jenazah Franois Tack ke Batavia tentu terlalu jauh, ungkap Lilie
Suratminto, pengajar bahasa dan budaya Belanda di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Indonesia. VOC kemudian memutuskan untuk memakamkannya sementara di loji [benteng]
kompeni di Jepara.
Tack dan perwira VOC lainnya tewas terbunuh secara tragis oleh laskar Untung Surapati
di alun-alun Kartasura pada jelang tengah hari, 8 Februari 1686. Kemudian jasadnya diduga
dimakamkan di Fort Japara, sebelum akhirnya dipindah ke Batavia.

Lukisan cat minyak karya Andries Beeckman yang menggambarkan Kastil


Batavia dilihat dari Kali Besar Barat. Di latar depan tampak kesibukan pasar ikan
sekitar 1656. Tampaknya, seperti inilah pemandangan Batavia tatkala Franois
Tack menghuni kota ini (Tropenmuseum/Wikimedia).

Di Batavia, jasad Tack dikebumikan dalam satu ruangan kubur bersama dengan
keluarga mertuanyaPieter Janse van Hoorn, istri, dan dua anak mereka. Nama Tack
tertoreh di permukaan nisan itu. Mereka dimakamkan di dalam Kruiskerk atau Gereja
Salib. Gereja itu awalnya berdiri pada 1632, merupakan gereja pertama yang didirikan di
luar Kastil Batavia. Kemudian gereja dibangun dan diperbesar lagi pada 1732 hingga 1736.
Sejak saat itu namanya berganti menjadi Nieuwe Hollandsche Kerk atau Gereja Belanda
Baru. Lokasi gereja itu di tepi timur Sungai Ciliwung, lahannya kini menjadi Museum
Wayang.
Seperti gereja dalam tradisi Eropa, di lantai gereja tersebut dimakamkan tokoh-tokoh penting
dan berjasa bagi Kota Batavia: para gubernur jenderal, dan sederet pejabat VOC lainnya.
Sementara warga umum dimakamkan di halamannya. Nisan-nisan mereka umumnya berasal
dari batu gunung yang dipesan di Coromandel, pantai selatan India.
Sampai kini belum ditemukan arsip VOC soal kapan pemakaman kembali jasad Tack dari
Jepara ke Batavia. Namun, Lilie menduga bahwa pemindahan makam itu terjadi pada masa
Gubernur Jenderal Joan van Hoorn, saudara ipar Tack.

Kruiskerk atau Gereja Salib di Batavia


pada abad ke-17 karya Johan Nieuhof (1618-1672). Gereja ini dibangun pada
1632, sebagai gereja pertama di luar Kastil Batavia. Tampak warga Batavia,
berikut dengan perempuan dan budak yang membawa parasol. Di gereja ini
Kapten Franois Tack dikebumikan kembali di dalam makam keluarga mertuanya,
Pieter Janse van Hoorn (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

Pemindahan makam adalah hal lumrah waktu itu, ungkap Lilie. Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen pun dulu dimakamkan di Stadhuis [Balai Kota] Batavia, baru kemudian
dipindahkan ke dalam Kruiskerk.
Sampai beberapa dekade gereja ini merupakan bangunan tertinggi di Batavia. Namun,
serangkaian gempamungkin meletusnya Gunung Salak pada 1761 dan 1780membuat
kerusakan serius pada konstruksinya. Tak lama setelah itu dijual atas perintah Daendels, pada
1808, gereja itu dirobohkan.
Makam-makam di gereja itujuga kerangka yang bersemayam di dalamnyadibongkar
untuk dipindahkan ke permakaman Kebonjahe. Kuburan di selatan Kota Batavia itu telah
dibuka pada 1795, namun lokasinya yang jauh kerap menimbulkan gerutu warga Batavia.
Semua nisan yang dibongkar diberi nomor inventaris, tak terkecuali milik keluarga Pieter
Janse van Hoorndan Tack. Nisan itu diberi ukiran kode HK No.26. Kode HK merupakan
kependekan dari Hollandsche Kerk sebagai asal nisan.

Lukisan karya Johannes Rach pada 1770


yang menunjukkan suasana Balai Kota Batavia (kini Museum Sejarah Jakarta).
Bangunan berkubah di sisi kanan merupakan Nieuwe Hollandsche Kerk, Gereja
Belanda Baru, yang menggantikan Kruiskerk. Gereja ini dibongkar pada 1808.
(Perpustakaan Nasional Republik Indonesia/Wikimedia Commons)

Tentu saja tidak semua makam dipindahkan, ungkap Lilie, untuk keluarga yang tidak
mengurus, maka hanya batu-batu nisan yang diangkat. Sebagian nisan-nisan VOC yang
tidak memiliki ahli waris, menurut Lilie, kemudian disimpan dalam sebuah gudang. Batu
nisan Franois Tack termasuk batu yang disimpan di dalam gudang.
Batu-batu nisan itu umumnya berhias ukiran lambang-lambang heraldik nan elok dan prasasti
yang berkisah soal sejarah sosial warga Batavia. Setelah beberapa dekade mendekam di
gudang, Lilie berkisah, nisan-nisan itu ditemukan kembali oleh Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappenkomunitas warga Batavia yang menaruh perhatian pada
seni dan ilmu pengetahuan. Kemudian pada 1844, dibangun aula gerbang utama di
permakaman Kebonjahe, dan sejumlah nisan yang tak bertuan tadi dipajang di dinding
depannya.
Permakaman Kebonjahe yang dahulu luasnya sekitar 5,5 hektare itu sejak 1977 diresmikan
menjadi Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat. Luasnya pun mengkerut hingga 1,3 hektare
saja. Nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn dan menantunya, Franois Tack, menghias sayap
kanan pada dinding halaman depan museum tersebut.

Nisan mereka berukirkan aneka lambang heraldik nan indahbintang segi enam, helm
bersayap, baju zirah, perisai dengan simbol nafiriyang membisikkan kisah sejarah nan
megah.

Mahandis Yoanata Thamrin

Text Editor National Geographic Indonesia

Pemakaman Belanda Kuno di Kebun Raya Bogor


By Anton Ardyanto

Pemakaman Belanda Kuno di Kebun Raya Bogor

Di dalam Kebun Raya Bogor terdapat sebuah tempat yang sebenarnya sangat menarik untuk
dilihat. Memang bentuk tempat tersebut yang berupa sebuah Pemakaman Belanda Kuno
tidaklah seberapa menarik dibandingkan Rumah Anggrek yang ada disisi lainnya.
Seringkali pengunjung yang datang terlewat memasukkan tempat ini dalam daftar bagian
Kebun Botani yang ingin dilihat. Apalagi keberadaannya sendiri tertutup oleh tebalnya
rumpun pohon bambu yang menaungi tempat tersebut. Semua menambah jarangnya
pengunjung ke tempat ini.
Padahal sebenarnya di tempat ini terdapat cuplikan dari sebagian kecil sejarah tentang Bogor
dan Kebun Raya.

Letak Pemakaman Belanda Kuno di Kebun Raya Bogor


Letaknya tidak jauh dari pintu masuk ke Kebun Raya dari sisi Kantor Pos Bogor. Bisa juga
disebut lokasi pemakaman ini , kalau tidak dipisahkan pagar, hanya berjarak sekitar 300-400
meter saja dari Istana Bogor.
Dari jalan yang membelah Kebun Raya ini , pemakaman Belanda kuno ini tidak terlihat.
Tebalnya pepohonan dan juga rumpun bambu akan menjadi penghalang untuk menemukan
tempat ini.

Seperti apa Pemakaman Belanda Kuno tersebut ?


Terdapat 42 buah makam di dalam kompleks berukuran sekitar 20 M X 30 M ini. Tiga puluh
delapan diantaranya memiliki identitas dan 4 sisanya tidak memiliki tanda apa-apa.

Pemakaman Belanda Kuno di Kebun Raya Bogor


Nah, salah satu dari makam tersebut usianya bahkan lebih tua dibandingkan Kebun Raya
Bogor sendiri. Bila menurut catatan sejarah Caspar Georg Carl Reinwardt mendirikan
Kebun Raya ini di tahun 1817, sedangkan usia makam tersebut sekitar 230 tahun alias sudah
ada tahun 1784. Makam tersebut adalah milik Cornelis Potmans, seorang administrator toko
obat berkebangsaan Belanda.
Makam termuda adalah milik Dr. A.J.G.H Kostermans, seorang ahli Botani berkebangsaan
Belanda pada awalnya. Hanya kecintaannya terhadap Indonesia dan Kebun Raya Bogor
membuatnya mengubah kewarganegaraannya menjadi Indonesia. Beliau meninggal tahun
1994 dan sesuai wasiatnya ia dimakamkan di dalam lingkungan Kebun Raya yang
dicintainya.
Selain yang tertua dan termuda, ada sebuah makam yang menyimpan cerita unik. Makam
tersebut adalah milik 2 orang. Ya , dua orang. Namanya Heinrich Kuhl and J.C. Van Hasselt,
dua orang ahli Biologi muda yang dikirim ke Bogor untuk mempelajari keanekaragaman
spesies flora dan fauna.

Pemakaman Belanda Kuno


di Kebun Raya Bogor

Keunikannya dari makam kedua orang ini adalah makamnya hanya satu. Jasad kedua orang
tersebut dimakamkan dalam satu liang lahat. Walaupun keduanya tidak wafat pada tahun
yang sama, Kuhl wafat tahun 1821 sedang Hasselt dua tahun kemudian, ikatan persahabatan
mereka terbawa sampai akhir hayat.
Masih terdapat banyak makam lain di kompleks ini seperti kuburan DJ. de Eerens, seorang
Gubernur Jenderal Belanda yang hidup tahun 1781-1840. Ada juga nama Ari Prins, politikus
Belanda.
Bisa dikata pemakaman Belanda kuno ini adalah tempat peristirahatan terakhir bagi banyak
orang penting pada masanya.
Selain sejarah yang terkandung di dalam kompleks Pemakaman Belanda kuno ini, satu hal
lain yang menarik diperhatikan adalah tentang keunikan bentuknya.
Banyak dari makam tersebut yang mengikuti arsitektur masa lalu di negara Tulip tersebut.
Sebagian memiliki pahatan di dindingnya. Ada yang memiliki bentuk seperti obelisk.

Bila kita berkunjung ke Pemakaman Belanda Kuno ini hanya selintas lalu, tidak akan ada
kesan yang hadir di dalam hati kita. Saya pikir dengan sedikit cara khusus tentu kita bisa
menikmati keberadaan mereka disini.
Kembangkan sedikit imajinasi anda. Bayangkan ketika anda sedang bepergian ke sebuah
tempat nun jauh dari tempat asal anda. Ketika kendaraan yang membawa anda pergi, kira-kira
perasaan apa yang timbul di hati anda.

Kemungkinan besar adalah sebuah perasaan sedih , sunyi dan agak kehilangan. Sebuah hal
yang normal karena pada saat tersebut anda meninggalkan tempat dan orang-orang yang anda
cintai di belakang anda.

Pemakaman Belanda Kuno


di Kebun Raya Bogor

Tentu akan ada rasa ingin agar tugas tersebut segera terselesaikan supaya kita bisa kembali ke
pangkuan orang-orang yang anda kenal dan sayangi.
Nah kemudian, bayangkan bahwa mereka yang jasadnya berada di kompleks pemakaman ini
adalah orang-orang yang jauh dari negeri asalnya. Terpisahkan oleh lautan luas lebih dari
14,490 kilometer dan pada jaman dimana pesawat udara belum diciptakan.
Tentu bisa terbayangkan perasaan mereka ketika menginjakkan kaki di tanah yang tidak
mereka kenal. Bogor belumlah seperti sekarang saat itu. Entah kapan atau mungkinkah
kembali adalah pertanyaan yang mungkin mereka rasakan.
Rasanya setelah anda sedikit berimajinasi, akan terasa nuansa lain yang bisa membantu anda
menikmati keberadaan Pemakaman Belanda Kuno ini. Kesunyian disini akan membantu anda
untuk bisa memandang makam-makam tua ini dari sudut pandang yang lain.
Jangan takut untuk tersesat. Kalau anda ragu menemukan jalan keluar dari sini, susuri saja
jalan setapak yang ada. Jalan itu akan membawa anda menuju Taman palem yang ada di sisi
Barat atau ke arah pagar istana.
Kalau anda ingin lebih mengerti suasananya ada bagusnya anda berkunjung kesini saat
malam. Saya pernah melakukannya lho. (Entah apa sekarang masih diperkenankan
berkunjung saat malam)

Jadi ketika anda berkunjung ke Kebun Raya Bogor jangan lupa untuk meluangkan waktu
melihat Pemakaman Belanda Kuno ini.

Museum Taman Prasasti


Merasa sudah lama tidak mengitari Jakarta, akhir minggu kemarin saya mengajak beberapa
orang teman untuk melakukannya kembali. Kali ini tujuan kami Museum Taman Prasasti.
Jika ditanya kenapa pilihannya jatuh pada museum, jawabannya jelas karena kami senang
sejarah, apalagi Museum Taman Prasasti baru saja mengalami revitalisasi sehingga kami
penasaran akan perubahan yang terjadi. Ini juga semacam observasi kecil-kecilan. Jikalau
suatu hari kami didaulat untuk memandu perjalanan wisata ke kawasan itu, kami sudah
paham lokasinya.
Museum Taman Prasasti berada di Jl. Tanah Abang I, persis di samping Kantor Walikota
Jakarta Barat. Tidak sulit untuk menemukan Museum ini. Rute yang paling mudah menuju ke
sana menurut saya adalah melalui Museum Nasional, ada jalan kecil di samping bangunan itu
yang mengarah ke Jl. Tanah Abang. Susuri saja jalan tersebut dan anda akan tiba di Museum
Taman Prasasti.
Untuk masuk, pengunjung harus membeli tiket seharga Rp 5.000 untuk dewasa mahasiswa
Rp 3.000, pelajar/anak-anak Rp 2.000. Karena Museum Taman Prasasti ini merupakan
museum dengan konsep outdoor yang tidak memiliki alur khusus dan memiliki banyak
sekali koleksi jangan sungkan untuk meminta seorang petugas memandu anda.
Alkisah sebuah pemakaman yang diperuntukkan bagi orang-orang asing di Batavia dibangun
pada 28 September 1795. Pembangunan Pemakaman ini diperlukan mengingat begitu
banyaknya korban yang jatuh akibat wabah penyakit yang mendera Batavia. Kematian bagai
virus yang bisa menyerang dengan cepat sementara lahan pemakaman yang terdapat di dalam
tembok Batavia tidak lagi cukup untuk menampung jenazah. Sebidang tanah seluas 5,9 hektar
di dekat Kali Krukut pun dipilih sebagai lokasi.
Lokasi yang berada di luar tembok kota Batavia ini dinilai sangat baik untuk dijadikan
kawasan pemakaman. Di samping itu aliran Kali Krukut pun dimanfaatkan untuk membawa
jenazah dan para pengiring dari pusat kota sebelum dilanjutkan dengan perjalanan
menggunakan kereta kuda menuju pemakaman yang dinamakan Kebon Jahe Kober itu.
Pemakaman ini pun kemudian menjadi rumah peristirahatan terakhir sejumlah tokoh, pejabat
penting, pelaku sejarah, bahkan selebriti yang populer pada masa itu, sehingga menjadi
sangat prestisius. Pemakaman Kebon Jahe Kober aktif beroperasi hingga tahun 1975. Atas
kebijakan pemerintah, pemakaman ini pun beralih fungsi menjadi museum sejak tahun 1979
dengan terlebih dahulu dilakukan proses pengangkatan sisa relik antara 1975-1977.
Memasuki gerbang museum, kami disambut deretan nisan besar di dinding yang seolah
langsung mengingatkan kami akan kematian. Nisan-nisan ini sebetulnya merupakan nisan
yang dipindahkan dari pemakaman di belakang gereja (sekarang Museum Wayang) kita
bisa melihat tulisan HK di nisan tersebut yang berarti Holandsche Kerk (Gereja Belanda).
Pemilik nisan-nisan ini dipercaya adalah para pejabat penting atau keluarga kaya raya, ini
bisa kita lihat dari simbol-simbol terukir di nisan. Hampir setiap keluarga terpandang di
Batavia memiliki lambang keluarga.

Selesai mengurus tiket, kami segera mulai menjelajahi museum. Hal pertama yang menarik
perhatian adalah sebuah lonceng tua. Menurut penuturan penjaga yang sempat kami tanyai,
lonceng tersebut berfungsi sebagi penanda bahwa ada jenazah yang akan dimakamkan pada
hari itu, yang akan terus berdentang sampai jenazah tiba di pemakaman.

Penjelajahan hari itu membawa kami bertemu sejumlah tokoh, dimulai dari H.F. Roll,
seorang pendiri dan direktur dari sekolah STOVIA yang kemudian hari menjadi cikal bakal
Fakultas Kedokteran UI. Roll adalah orang yang menolong Soetomo (kelak dr. Soetomo
ed.) saat akan dikeluarkan dari STOVIA akibat mendirikan organisasi Budi Utomo, hingga
Soetomo pun akhirnya bisa menyelesaikan pendidikannya di STOVIA.
Olivia Mariamne Raffles, istri dari sang gubernur jenderal berkebangsaan Inggris Thomas
Stamford Raffles pencetus pembangunan Kebun Raya Bogor, yang wafat di usia yang
masih cukup muda yaitu 43 tahun juga dimakamkan di sini. Sebagai bukti kecintaannya
terhadap sang istri, Raffles kemudian membangun tugu peringatan di Kebun Raya Bogor.
Wasiat terakhir Olivia adalah agar dimakamkan di sebelah makam sahabatnya yang bernama
John Casph Leyden. Sementara itu tidak ada hal istimewa dapat diceritakan tentang J.C.
Leyden, selain bahwa ia adalah sosok sahabat yang sangat dekat dengan Olivia. Hal menarik
justru datang dari seuntai puisi gubahan Sir Walter Scott (pengarang novel Ivanhoe ed.)
yang menghiasi makamnya.
Ada pula Andries Victor Michiels, seorang pejabat militer di Batavia yang telah
melaksanakan misi ke berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Cirebon, Sumatera Barat, dan
Bali. Sayangnya Bali menjadi misi terakhirnya sebab ia wafat di tangan para prajurit
Klungkung pada 25 Mei 1849. Sebagai penghormatan dibangun juga sebuah tugu di Waterloo
Plein (sekarang Lapangan Banteng)
Di Museum Taman Prasasti ini, nisan Soe Hok Gie turut menjadi koleksi. Saya rasa hampir
semua pejalan mengenal sosok yang satu ini. Seorang aktivis pergerakan mahasiswa yang
sangat idealis pada periode 1967-1969, serta konsisten memperjuangkan nasib rakyat saat itu.
Kecintaannya terhadap alam dan aktivitas pendakian gunung membuat ia mendirikan Mapala
UI. Ia wafat sehari sebelum mencapai usia 27 dalam pendakian menuju Puncak Semeru
karena menghisap gas beracun. Catatan harian Hok Gie telah dibukukan dan diberi judul
Catatan Seorang Demonstran. Merujuk pada buku ini, sutradara kawakan Riri Riza pun telah
membuat sebuah film: Gie.
Tak jauh dari nisan Soe Hok Gie kami menemukan makam seorang legenda teater di Batavia.
Ia adalah Ibu Riboet yang lebih dikenal dengan nama Miss Tjitjih. Ia memiliki jadwal
bermain teater secara teratur di Pasar Baru hingga tahun 1965

.
Nisan berikutnya yang menarik perhatian kami adalah nisan berbentuk seperti candi khas
Jawa. Ternyata itu adalah nisan dari Dr. J.L. Andries Brandes yang sangat mencintai
kebudayaan Jawa. Ia adalah peneliti yang berhasil membuka kisah-kisah di balik kitab
Pararaton hingga mengungkap naskah mengenai raja-raja Tumampel sampai Majapahit. Jadi,
ya, tidak aneh jika bentuk makamnya menyerupai candi.

Makam berbentuk monumen yang kokoh di salah satu sudut museum juga menarik, bukan
wujudnya namun kisah orang yang dimakamkan di sana. Adalah J.H.R. Kohler, seorang
panglima tertinggi militer di Batavia berpangkat Mayor Jenderal. Kohler wafat dalam salah
satu ekpedisi militernya di Aceh. Sebenarnya ia berencana melakukan serangan terhadap
Keraton Aceh. Namun, sayang seribu sayang, lokasi yang ia pilih ternyata keliru. Alih-alih
menyerang keraton, Masjid Besar Aceh yang diserang. Ternyata ia menganggap masjid itu
sebagai keraton. Masyarakat Aceh tidak tinggal diam, mereka berusaha mempertahankan
Masjid dengan gagah berani. Dalam pertempuran 14 April 1873 tersebut, Kohler pun
menghembuskan napas terakhir dengan lubang bekas peluru menganga di dadanya.
Selain berbagai nisan, di museum ini kita juga dapat menjumpai dua peti mati bersejarah
yang membawa jenazah kedua bapak proklamator Indonesia, Soekarno dan Hatta, menuju
tempat peristirahatan mereka yang terakhir. Kereta kuda yang dahulu digunakan untuk
membawa jenazah pun turut dipamerkan di museum ini.
Sebelum mengakhiri sesi, kami melihat sebuah prasasti berbahasa Belanda yang lebih kurang
berbunyi: Seperti andalah aku dahulu, seperti akulah anda kemudian.

Pieter Erberveld, si Ganteng dari Kampoeng Petjah Koelit

Henricus Zwardecroon, Kampung Pecah Kulit, Kisah Kampoeng Petjah Koelit, Pieter
Erberveld
Batavia pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon [1718 1725],
hidup seorang cowok yang ganteng, kaya, bersahaja dan menjadi idola para gadis. Pieter
Erberveld, lelaki keturunan Jerman-Thailand pemilik tanah yang luas di belakang Portugese
Buitenkerk (sekarang GPIB Sion, Jakarta). Meski ayahnya dulu adalah komandan kavaleri
VOC dan menjadi orang kepercayaan Cornelis Speelman, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda
[1681-1684]; Pieter sangat membenci VOC. Hal ini dikarenakan setelah Speelman tak
berkuasa, pemerintah yang berkuasa menyita harta ayahnya karena dianggap tak memiliki
akta yang disahkan oleh VOC.

Pieter Erberveld dalam pentas kolosal Kampoeng Petjah Koelit di pelataran Museum Sejarah
Jakarta, Minggu 18 Juni 2006
Pieter bersahabat dengan Raden Ateng Kartadria seorang keturunan ningrat dari Banten.
Mereka lalu berkonspirasi dengan beberapa kawan yang sejalan untuk melakukan
pemberontakan dan membunuh orang-orang Belanda tepat pada malam pergantian tahun baru
31 Desember 1722.
Dianggap membahayakan pemerintah VOC; satu malam Pieter dan kawan-kawan yang
sedang mengadakan pertemuan rahasia di rumah Pieter digerebek oleh tentara Belanda. Pieter
dan Kartadria beserta 17 pengikut mereka ditangkap dan dibawa ke pengadilan delapan bulan
sebelum rencana mereka berjalan.

Penangkapan Pieter Erberveld dalam pentas teatrikal di halaman Museum Sejarah Jakarta
pada 18 Juni 2006
Ada beberapa versi terbongkarnya pertemuan malam itu:

Pertama: Raden Ateng Kartadria melaporkan persekongkolan tersebut


karena khawatir bila rencana itu berhasil posisinya akan goyang.
Nyatanya, Kartadria ikut digrebek dan dihukum secara kejam bersama
Pieter.

Kedua: Zwaardecroon berencana untuk membeli tanah milik Pieter tapi


tanah warisan tersebut tidak dijual. Karena marah, Zwaardecroon
mengeluarkan perintah agar Pieter disingkirkan.

Ketiga: konon kabarnya pertemuan itu dibocorkan oleh seorang


perempuan yang menaruh hati pada seorang perwira Belanda. Tak kuat
bila kehilangan pujaan hatinya, ia pun melaporkan kegiatan kumpulkumpul tersebut.

Pelaksanaan sidang kasus Pieter Erberveld di Stadhuis

Hukum gantung bagi pengikut Pieter Erberveld dan Kartadria


Pada 22 April 1772 Pieter, Kartadria dan ke-17 pengikutnya digiring ke lapangan di bagian
selatan kastil Batavia dan dihukum dengan cara yang keji. Badan Pieter dan Kartadria
diikatkan ke empat ekor kuda yang ditarik keempat penjuru hingga kulit mereka pecah-pecah
*arrrrgggghhhh*. Peristiwa keji itu dikenal dengan petjah koelit dan tempat pelaksanaan
hukumannya yang sekarang berada di sekitar Jl Pangeran Jayakarta dikenal sebagai Kampung
Pecah Kulit.
Sebagai pembelajaran terhadap kasus Pieter Erberveld, pemerintah VOC membangun sebuah
monumen di depan rumah Pieter. Di bagian atas monumen tersebut ditancapkan kepala Pieter

dan pada dindingnya dipasang sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Jawa.
Secara bebas diterjemahkan sebagai berikut:
Untuk mengenang penghianat negara yang terkutuk Pieter Erberveld, dilarang mendirikan
bangunan atau bercocok tanam di tempat ini sekarang dan sampai hari kiamat. Batavia , 14
April 1722

Prasasti Pieter Erberveld di Museum Sejarah Jakarta

Replika monumen peringatan Pieter Erberveld di Museum Taman Prasasti, Jakarta


Kalau dilihat dari penanggalannya agak janggal karena peristiwa pembantaian itu terjadi 22
April bukan 14 April 1722. Bisa jadi pada saat membuat prasastinya, tukangnya salah
memahat tanggal sementara kalau harus mengulang lagi kelamaan. Potongan monumen asli
tersebut masih bisa kita lihat di pelataran dalam Museum Sejarah Jakarta sedang replika
monumen yang pernah dibuat di tempat aslinya bisa kita nikmati di Museum Taman Prasasti,
Jakarta. Lahan bekas tempat didirikannya monumen itu sekarang telah berubah menjadi
showroom Toyota.
Pada Oktober 1724, dua tahun setelah peristiwa Erberveld; Zwaardecroon mengundurkan diri
dari jabatannya. Ia meninggal pada 12 Agustus 1728 dan dimakamkan di halaman Portugese
Buitenkerk. Sampai hari ini makamnya masih bisa kita jumpai di halaman samping GPIB
Sion, Jakarta.

Prasasti di atas makam Henricus Zwaardecroon


Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kisah Pieter Erberveld? Dari jaman baheula tiga unsur
yang memegang perananan penting dalam kejatuhan manusia itu abadi hingga
sekarang: Tahta, Harta dan Wanita/Pria. Sejarah sering berulang karena kita tak pernah mau
belajar dari pengalaman masa lalu. Yuk belajar dan bercermin dari sejarah, saleum [oli3ve].
*****
Tulisan ini adalah pembaruan dari tulisan sebelumnya tentang Kisah Kampoeng Petjah
Koelit & Pieter Erberveld yang ditulis pada 20 Juni 2006.

Makam Belanda Bogor 5

5/25. Cornelia

Kubur sebelah kiri bertulis kata-kata dalam bahasa Inggris: Cornelia Dorothea Adelheid who
died in 1856 at the age of 45. Di tengah belakang adalah nisan kubur M.S. Henrici Kuhl
Hanoviani dan John Corn van Hasselt. Sedangkan yang di sebelah kanan merupakan nisan
kubur Jeannette Antoinette Pietermaat yang lahir 6 Juli 1816 dan dimakamkan pada 8 April
1870

6/25. Unik
Sebelah kanan adalah sisi kubur Cornelia Dorothea Adelheid dengan tulisan dalam Bahasa
Belanda, sementara di sisi lainnya ditulis dalam bahasa Inggris untuk kubur yang sama.
Kijing kubur yang di tengah terlihat unik, namun tulisannya tak terbaca. Berikutnya

7/25. Posisi Kubur


Di sebelah kiri adalah kubur A. Prins, dan di belakangnya kubur Charles Gerard Alexander
yang lahir pada 20 Desember 1848 dan meninggal pada 11 September 1871. Sedangkan di
sebelah kanan adalah tempat peristirahatan terakhir bagi D.J. de Eerens

Makam Belanda Bogor 8

8/25. Prins

Kubur terbesar di dalam kompleks Makam Belanda Bogor ini adalah milik Ary Prins, seorang
ahli hukum yang lahir di Schiedam pada 28 Agustus 1816 dan meninggal di Batavia pada 28
Januari 1867. Ary adalah Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda dan pernah menjadi pejabat

sementara Gubernur Hindia Belanda selama dua kali. Prins terlibat dalam menumpas
pemberontakan di Borneo pada 1850-1854. Ia tidak pernah secara resmi ditunjuk Gubernur
Jenderal karena pilihan politiknya yang salah. Ia menikah dengan Marie Anne Pietermaat
(lahir Amsterdam 13 Desember 1817, wafat 17 Juli 1864 di Semarang dan dimakamkan di
sana) pada 29 April 1840 di Surabaya. Ia menikah lagi dengan Anna Catharina Adriana van
der Leeuw (lahir di Padang 17 Januari 1842) pada 10 Maret 1866 di Bogor.
Makam Belanda Bogor 9

9/25. Charles Alexander

Nisan kubur Charles Gerard Alexander van der Parra Breton Vincent yang lahir di Batavia 20
Desember 1845 dan dimakamkan pada 11 September 1871. Di bawahnya ada kutipan tiga
ayat dari kitab suci. Sebelumnya ia dikuburkan di Jatinegara (Meester Cornelis) sebelum
dipindahkan ke tempat ini

Makam Belanda Bogor 13

13/25. Elisabeth

Nisan kubur yang bertuliskan Hier ligt begraven Elisabeth Charlotte Vincent Echtgenoot van
Jan Jacob Rochussen, zij stierf den 14 Augustus 1851 te Buitenzorg aan de Gevolgen van
hare verlossing op den 21 Junij 1851 van eene bij de Geboorte overledene dochter. Het wicht
je rust met de moeder in hetzelfde graf en is met haar in den hemel vereenigd. yang kurang
lebih artinya Disini terbaring Elisabeth Charlotte Vincent istri Jan Jacob Rochussen,

meninggal 14 Agustus 1851 di Buitenzorg (bogor) sebagai akibat melahirkan seorang putri
yang meninggal pada 21 Juni 1851. Ia beristirahat dengan ibunya di kuburan yang sama dan
bersatu di surga.

Makam Belanda Bogor 14

14/25. Beton Kubur

Beton kubur mendatar di atas tanah dengan tulisan Uxori optimal conjux lugens P. A.V.D.B
J.V.S. Vixit annos XXIII Ob. D XVIII Sept MDCCCXXXI. Angka yang terakhir itu adalah
18 September 1831.

Makam Belanda Bogor 15

15/25. Jean Chretien Baud

Tengara kubur bertuliskan Hier ligt begraven een dood geboren zoon van Jean Chretien
Baud en Ursula Susanna van Braam. Sayangnya tulisan yang lebih kecil di bawahnya
sudah agak susah dibaca.

Makam Belanda Bogor 18

18/25. Joseph Drury

Joseph Drury lahir di Irlandia dan yang menikah Ambrosina Wilhelmina Rijck (lahir di
Batavia 25 Jan 1785, meninggal di Batavia 2 Okt 1864). Joseph Drury adalah suami kedua
Ambrosina, sedangkan suami pertamanya adalah Letnan G. G. Jacob van Braam Andries.
Mereka tidak memiliki keturunan.

Makam Belanda Bogor 21

21/25. Margaretha Catharina

Makam Margaretha Catharina Elizabeth Pahud . Lahir 16 Juli 1858 dan meninggal 24 Jan
1860. Ia adalah putri Charles GG Ferdinand Pahud. Tulisan di bawahnya berbunyi Gij hebt
nu droefheid, maar ik zal u wederzien. Uw hart zal zich verblijden en niemand zal uwe
blijdschap wegnemen.Anda sekarang megalami kesedihan tapi aku akan bertemu lagi. Hati
Anda akan bersukacita , dan tidak ada yang akan mengambil sukacita Anda

Museum Taman Prasasti Jakarta


29 Juli 2015 Bambang Aroengbinang Jakarta Pusat museum . belanda
Bagi di Facebook . Twitter . Google+1 . Email . Print!

Museum Taman Prasasti Jakarta terletak di Jl. Tanah Abang 1, Jakarta, yang bisa dicapai
melewati Jalan Abdul Muis. Museum Taman Prasasti barangkali adalah satu-satunya museum
luar ruangan di Jakarta, dimana hampir semua koleksi prasastinya berada di udara terbuka
tanpa pelindung. Mungkin karena sebagian besar prasasti itu terbuat dari batu alam, marmer
atau perunggu yang tahan terhadap perubahan cuaca.

Museum Taman Prasasti Jakarta mulanya kompleks kuburan Belanda, Kerkhof Laan, yang
kemudian dikenal sebagai kuburan Kebon Jahe Kober. Kuburan seluas 5,5 ha di tanah hibah
Van Riemsdijk itu dibangun tahun 1795 untuk menggantikan kuburan di samping gereja
Nieuw Hollandsche Kerk, sekarang Museum Wayang, dan dari Gereja Sion Jakarta, akibat
larangan Daendels untuk tidak mengubur mayat di sekitar gereja dan tanah pribadi.
Kuburan Kebon Jahe Kober itu ditutup pada 1975 karena tidak ada lagi ruang tersisa. Semua
mayat di Pemakaman Kebon Jahe Kober kemudian dipindahkan ke pemakaman lain, seperti
Menteng Pulo dan Tanah Kusir, dan dijadikan Museum Taman Prasasti yang secara resmi
dibuka oleh waktu itu Gubernur DKI Ali Sadikin pada 7 Juli 1977 dengan koleksi prasasti,
nisan, tugu, dan makam sebanyak 1.372. Saat ini luas museum ini tinggal 1,3 ha.

Museum ini menjadi semacam tempat pamer karya seni kubur masa lampau yang
keindahannya melebihi seni kubur masyarakat umum sekarang ini, dan menjadi menarik dan
informatif jika ada penjelasan di setiap prasasti. Penjelasan semacam itu membuat
pengunjung memahami latar sejarah dan mendapat manfaat dari kunjungan mereka.

Pintu masuk Museum Taman Prasasti yang saat itu terlihat agak kotor dan temboknya sudah
memerlukan cat ulang. Ruang parkir di halaman museum agak terbatas, namun pengunjung
bisa parkir di pinggiran jalan di luar kompleks Museum Taman Prasasti. Sesaat kemudian
saya sudah membayar tiket dan masuk ke area museum luar yang luas ini.
Di area depan Museum Taman Prasasti terdapat tugu tengara yang dibuat bagi 30 orang
tentara kekaisaran Jepang Kompi 19, Batalyon 16, Divisi 2, dari kota Shibata, Propinsi
Nigata, Jepang. Mereka dibunuh militer sekutu di Sungai Ciantung, Desa Leuwiliang, Bogor,
pada 3-4 Maret, tahun 17 Showa (1942) ketika bala tentara Jepang menyerbu Indonesia. Dua
kali setahun masyarakat Jepang yang tinggal di Jakarta menyelenggarakan acara ritual di
Museum Taman Prasasti Jakarta ini.
Replika prasasti Pieter Erberveld terdapat di bagian depan Museum Taman Prasasti, yang
aslinya dibuat pada April 1722. Ia dihukum mati dengan guillotine setelah gagal memimpin
pemberontakan pada 1 Januari 1722. Ada pula tengara berbunyi: Di taman ini terlukis
peristiwa sepanjang masa dari goresan prasasti mereka yang pergi. Di sini pula tertanam
kehijauan yang kita dambakan.

Di area sebelah kiri Museum Taman Prasasti Jakarta terdapat replika kereta jenasah yang
dipakai membawa keranda mayat ke kuburan. Status sosial seseorang bisa dilihat dari jumlah
kuda yang dipakai, dua atau empat, untuk menarik kereta mayatnya. Selain kereta jenasah, di
Museum Taman Prasasti juga disimpan peti jenazah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohamad Hatta.
Museum Taman Prasasti juga menyimpan batu nisan Soe Hok Gie (1942-1969) dan Miss
Riboet yang menjadi primadona Miss Riboet Orion, perkumpulan Opera Komedi Stambul
yang terkenal di Batavia pada tahun 1920-an di bawah pimpinan Tio Tik Djien, suami Miss
Riboet. Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion berakhir pada 1934, saat penulis
naskahnya Njoo Cheong Seng dan Fifi Young pindah ke Opera Dardanella.

Pusara Miss Riboet bertulis Atas Dasar Mutlak Tjinta Sutji-Murni Selama Ampir 50 Taoen
Telah Hidup Rukun- Beruntung Beredjeki Dlm Persahabatan Suami Estri: S/U Riboet (Al
Miss-Riboet), Lahir di Atjeh: 24 Dec. 1900, Meninggal Di Djak. 19 Apr. (Paskah) 1965 dan
T.D.Tio Jr. Tio Tik Djien Lahir Di Ngandjuk 2 Dec. 1895 Menjusul. Gods Groote Liefde
Kasih Tuhan Jg Mahaesa Dasar-Mutlak Bagai Penghidupan dan Segala Jg Hidup & Ingin
Hidup. Tio Tik Djien meninggal pada 1972 di Jakarta.

Patung wanita terbuat dari batu pualam dalam posisi berbaring miring dengan kepala
bertelekan bantalan dan tangan menangkup wajah. Pada prasasti kubur di kiri belakangnya
tertulis Rustplaats van onzen geliefden zoon Hendrik Daniel Beisser Machinist b.d. Gouv.
Marine Geb. te Padang 5 Januari 1882. Overl. in de Indragiri rivier 18 Juni 1904.
Di Museum Taman Prasasti bisa dilihat prasasti dari tokoh berkebangsaan Belanda serta
Inggris seperti A.V. Michiels (yang memimpin tentara Belanda dalam Perang Puputan
Jagaraga Kerajaan Buleleng), Dr. H.F. Roll (Pendiri STOVIA, Sekolah Kedokteran zaman
Belanda, 1867-1935), dan J.H.R. Kohler (perang Aceh).
Ada pula prasasti kubur Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles, meninggal
1814), dan Kapitan Jas yang makamnya dikeramatkan sebagian orang karena konon bisa
memberi kesuburan, keselamatan, kemakmuran dan kebahagiaan. Di ujung belakang
Museum Taman Prasasti terdapat deretan bekas kuburan dan prasasti yang menempel pada
tembok dinding.
Jika anda ke Museum Taman Prasasti Jakarta, cobalah temukan sebuah prasasti dengan
tulisan SOO GY. NU SYT.WAS.IK VOOR DEESEN DAT.JK, NV BEN SVLT GY OOK
WEESEN yang berarti Seperti Anda sekarang, demikianlah Aku sebelumnya. Seperti Aku
sekarang, demikianlah juga Anda kelak. Semoga Anda bisa menemukannya.

Museum Taman Prasasti 4

4/23. Kompi 19

Tengara di Museum Taman Prasasti untuk 30 orang tentara kekaisaran Jepang Kompi 19,
Batalyon 16, Divisi 2, dari kota Shibata, Propinsi Nigata, Jepang. Mereka dibunuh militer
sekutu di Sungai Ciantung, Desa Leuwiliang, Bogor, tanggal 3-4 Maret, tahun 17 Showa
(1942) ketika bala tentara Jepang menyerbu Indonesia. Konon dua kali setahun masyarakat
Jepang yang tinggal di Jakarta menyelenggarakan acara ritual di Museum Taman Prasasti ini.

Museum Taman Prasasti 5

5/23. Emiel Henri Meuleman

Prasasti kubur Emiel Henri Meuleman yang lahir dir Surabaya pada 10 Maret 1880 dan
meninggal di Batavia pada 3 Maret 1902. Di sebelahnya prasasti kubur Willem Coenraad
Meuleman yang lahir di Zutphen 30 Maret 1848 dan meninggal di Batavia pada 9 Februari
1904.

Museum Taman Prasasti 6

6/23. Goresan Prasasti

Sebuah tengara di Museum Taman Prasasti yang berbunyi: Di taman ini terlukis peristiwa
sepanjang masa dari goresan prasasti mereka yang pergi. Di sini pula tertanam kehijauan
yang kita dambakan

Museum Taman Prasasti 7

7/23. Obelisk

Sebuah monumen berbentuk obelisk dengan sebuah tulisan yang berarti Kenangannya tetap
diberkahi dengan kebahagiaan, dikelilingi tangga besi. Dibangun untuk mengenang L.
Launy oleh para sahabat dengan seizin keluarganya.

Museum Taman Prasasti 9

9/23. Sophia Wilhelmina

Diantaranya bertulis Rustplaats Van Sophia Wilhelmina Visser, Geb. Van Riemsdijk, Overl.
19 Sept. 1898. Jan Willem Visser, Overl. 15 Januari 1931.
Willem August Abell, Overl. 24 Juli 1933. dan di sebelahnya Ter Nagedachtenis Aan Onze
Geliefde Echtgenoote En Moeder Rose Leonide. Lotsij. Van Der Jagt., Geb. Utrecht 2 Maart
1879, Overl. Weltevreden 15 Oct. 1914.

Museum Taman Prasasti 10

10/23. Francois Barend

Prasasti kubur pada dinding yang bertulis Hier rust Onze lieve Echtgenoot en trouwe Vader
FRANCOIS BAREND VAN DER HORST, Geb. te Welt. 13 April 1869, Overl. te Welt. 19
Januari 1930
DIE IN MIJ GELOOFT, ZAL LEVEN, ALWARE HIJ OOK GESTORVEN, JOH: 11: 25.
GELIE VAN DER HORST, Geb. GOODSMITH, Geb. te Kediri 29 Mei 1864, Overl. te
Djatinegara 25 Januari 1954.

Museum Taman Prasasti 13

13/23. Antoinette Coenders

Patung batu pualam putih seorang wanita eropa dengan kepala menelungkup di atas
gundukan batu prasasti dan tangan kirinya merengkuh puncaknya. Prasasti kubur di depannya
bertulis Hier rust onze geliefde echtgenoote en moeder Antoinette Coenders, Geb.
Leidelmeijer Geb. te Semarang 21 Sept: 1877, Overl. te Batavia 18 Aug: 1928.

Museum Taman Prasasti 14

14/23. Seni Kubur

Sebuah prasasti kubur susun dua dengan ornamen yang sangat indah ini berada di dekat pagar
makam yang berbatasan dengan Kantor Walikota Jakarta Pusat. Kekayaan, kecintaan, dan
kadang gengsi, yang melahirkan karya seni kubur yang indah seperti ini

Museum Taman Prasasti 19

19/23. Claessens

Prasasti kubur seorang pastor dengan tulisan yang berbunyi In Memoriam, Ill Ac Rev Adami
Caroli Claessens, Archiepiscopi Tit Siracensis Vicari Ap Bataviensis 10 Julii 1895-77 Annos
Nati, R.I.P.. Sedangkan di sebelah kirinya merupakan prasasti kubur milik Casper Hendrik
Conraad

Museum Taman Prasasti 22

22/23. Pastor Batavia

Prasasti kubur dengan patung pastor bertyulis Door Armen En Rijken Krijgsman En Burger
Weduwe En Wees Ter Zaliger Nagedachtenis Van Den Weleerw Heer, H. Van Der Grinten,
Pastor Te Batavia, Gebn. Te Eindhoven Den 2Den Novr. 1811, En Alhier Overln Den 25 Jan
1864. Ik Ben Alles Voor Allen Geworden 1 Cor. Iv V.S. 22. Zijne Nagedachtenis Zal Niet
Vergaan, En Zijn Naam Zal Genoemd Worden, Van Geslacht Tot Geslacht, Eccles Xxxix v.s.
13. R.I.P

Model Model Patung Taman Prasasti

Mengunjungi Jiwa-Jiwa Sepi Penghuni Makam


Belanda di Kebun Raya Bogor
Sebuah iring-iringan bergerak perlahan menyusuri jalan tanah
berlapis kerikil. Serombongan orang berbusana hitam-hitam
berjalan teratur nyaris tak terdengar langkah kaki mereka. Tak
ada suara, hanya ketukan pelan stik pada drum para serdadu
yang berjalan di belakang kereta jenazah, menciptakan ritme
monoton. Meski begitu di bagian belakang rombongan, sesekali
masih terdengar isak tangis beberapa wanita bergaun lebar
dengan topi berhiaskan pita. Sepertinya mereka keluarga dekat
mendiang.
Di ujung jalan iring-iringan berhenti. Mereka kini tiba di sebuah
area terbuka dikelilingi rumpun bambu yang lebat. Enam orang
menurunkan peti mati dari kereta. Tiga berdiri di sisi kiri, tiga
lainnya di kanan. Tembakan salvo terdengar sahut menyahut.
Enam orang bergerak pelan menuju sebuah altar kayu dan
menaruh peti mati di atasnya. Nyanyianrequiem terus menerus
diperdengarkan oleh sekelompok orang. Suara mereka
menciptakan gema berpadu gemerisik daun bambu tersapu
sejuknya semilir angin pagiBuitenzorg.
Seberkas sinar terang tercipta saat sinar matahari menerobos
paksa celah rimbun dedaunan. Seakan menegaskan
kesaksiannya atas drama kepedihan di atas permukaan tanah
basah sehabis hujan semalam. Usai misa arwah diucapkan,
sebuah lubang menganga telah siap menyambut jazad orang
penting di dalam peti kayu menuju tetirah panjangnya. Sebelum
matahari berada tepat di atas ubun-ubun, prosesi pemakaman itu
pun purna sudah.
Siapakah orang yang dikuburkan? Kenapa begitu banyak orang
menangisi kepergiannya? Peran apa yang telah ia mainkan? Ah,
pertanyaan-pertanyan itu silih berganti menyerbu rongga
kepalaku manakala aku tersadar tengah berdiri di antara puluhan
monumen batu. Diriku terasa larut dalam pusaran waktu, serasa

kembali ke masa lalu.

Inilah untuk kali pertama aku berdiri di areal pemakaman ini


meskiRaden Saleh atauCornelis Rappard telah lama
mengabadikannya dalam sebuah lukisan yang indah. Namun
ketika bisa hadir dan melihat secara langsung objek yang pernah
mereka hadirkan di kanvas, bisa kurasakan sebuah pengalaman
batin yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Dari sini aku
merasa memiliki jawaban atas sebuah pertanyaan mendasar,
kenapa pelukis sebesar itu mau berlama di tempat sesepi ini?
Bisa jadi karena alasan simpel: passion dan romantisme!
Adalah teman-teman dari komunitas Napak Tilas Peninggalan
Budaya yang menggagas acara ini. Makam Belanda, hanya
salah satu dari beberapa agenda napak tilas ke Kebun Raya
Bogor pada hari Minggu, 18 Juli 2012 lalu. Semua objek yang
kami kunjungi umumnya menarik, namun Makam Belanda yang
tersembunyi di tengah hutan bambu itu telah mampu menyedot
fokus perhatianku. Bahkan untuk benar-benar terlibat secara
emosi dan merasakan atmosfernya, aku sempatkan diri
mengunjunginya kembali tiga hari kemudian sambil
memanfaatkan hari libur ketika warga Jakarta tengah mengikuti
pesta demokrasi pemilukada.
****************

Makam Belanda terletak tidak jauh dari halaman belakang Istana


Bogor. Meskipun demikian bila mata kita tidak awas melihat
petunjuk arah yang tersedia, kita akan kesulitan menemukannya.
Tempat ini tertutup oleh vegetasi rerumpunan bambu yang cukup
lebat sehingga menutup pandangan mata kita dari jalan utama.
Beberapa sumber mengatakan komplek makam ini sudah ada
sebelum Kebun Raya Bogor dibangun. Makam Cornelis
Potmans bertanggal 2 Mei 1784 disebut-sebut sebagai yang
tertua. Sedangkan yang termuda adalah makam A.J.G.H.
Kostermans, seorang ahli botani yang meninggal pada 10 Juli
1994 di Jakarta. Total terdapat 42 makam, 4 diantaranya tidak
teridentifikasi karena batu identitas makam yang telah rusak atau
hilang dari tempatnya.
Dengan perlahan mataku mengikuti larik-larik huruf membentuk
kata yang terpahat di atas batu alam. Sebagian lagi dicungkil dari
lempengan marmer yang kusam karena pengaruh cuaca. Bahkan
beberapa di antaranya telah sulit dibaca karena tergerus air atau
tertutup lumut. Sebagian besar kata selain menjelaskan identitas
penghuni makam juga berisi kalimat-kalimat penghiburan kepada
pihak yang ditinggalkan. Ada juga yang menukil ayat dari Alkitab.
Secara umum ada tiga bahasa yang dipakai di sini yaitu,
Belanda, Inggris dan Latin.

Menarik mencermati motif hias di makam terbesar sekaligus


terindah milik Ary Prins, seorang hakim, politikus, dan
negarawan Belanda. Semasa hidupnya pernah menjadi wakil
presiden Dewan Hindia, bahkan pernah menjabat sebagai
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda sementara sampai 2 kali.
Pada bangunan makam dengan bagian atas menyerupai obelisk
ini terdapat berapa ornamen unik. Ada simbol bintang bersudut
enam, seekor kupu-kupu (atau ngengat?) di dalam lingkaran
menyerupai karangan bunga. Satu lagi simbol unik di bangunan
makam lelaki kelahiran Schiedam, 28 Agustus 1816 dan
meninggal di Batavia, 28 Januari 1867 ini adalah Ouroboros,
sebuah simbol kuno berbentuk ular menggigit ekornya sendiri.
Secara umum sering diartikan sebagai infinity atau perlambang
keabadian, merupakan gambaran sebuah siklus hidup yg
berulang dari kelahiran-kematian-kelahiran, dan seterusnya.

Makam Dominique Jacques de


Eerens, Gubernur Jenderal Hindia Belanda antara 1836-1840
cukup mudah dikenali karena ia berada tepat di depan pintu
pagar komplek makam. Meskipun dia seorang pembesar yg
pernah berkuasa pada jamannya namun bentuk makamnya
justru terkesan sederhana. Kabarnya ia meninggal mendadak
pada 30 Mei 1840 di Buitenzorg ketika masih aktif menjabat
sebagai Gubernur Jenderal.
Ada lagi makam yang menarik perhatianku, apalagi ini termasuk
yang disebut-sebut pada papan keterangan yang dipasang di
depan komplek makam. Inilah makam dua orang sahabat karib
yang tak terpisahkan bahkan ketika keduanya telah sama-sama
dipanggil Yang Maha Kuasa. Makam dengan bentuk dasar
persegi empat dengan sebuah pilar mini berdiri di atasnya
menyimpan jazad dua orang peneliti muda, naturalis sekaligus
ahli zoologi bernama Heinrich Kuhl dan Conraad van Hasselt.

Dua anak muda jebolan Unversitas Groningen ini datang ke


Indonesia dalam rangka tugas penelitian atas dana NCNI (The
Natuurkundige Commissie voor Nederlandsche Indie). Kuhl
meninggal 14 September 1821, delapan bulan sejak kakinya
menginjak bumi Indonesia karena infeksi hati yang diakibatkan
iklim juga faktor kelelahan. Van Hasselt menyusulnya pada 8
September 1823 ketika melakukan perjalanan penelitian ke
Banten.
Selain pejabat pemerintah dan ilmuwan, komplek makam juga
dihuni oleh keluarga dekat pejabat tinggi masa kolonial, baik itu
isteri maupun anak yang meninggal ketika masih balita. Di
antaranya ada Elizabeth Charlotte Vincent, isteri ke dua
Gubernur JenderalJan Jacob Rochussen. Ia meninggal pada 14
Agustus 1851, kurang dari dua bulan setelah bayi perempuan
yang dilahirkannya meninggal dunia.

Ada juga Jeannette Antoinette Pietermaat, istri Gubernur


Jenderal Pieter Mijer (1866-1872). Lahir pada 6 Juli 1816 dan
dikuburkan di sini pada 8 April 1870. Atau Makam dari seorang
putra yang terlahir meninggal dari Jean Chrtien
Baud (Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang memerintah sejak
2 Juli 1833 - 29 Peb 1836) dengan Ursula Susanna van
Braam di Bogor, 23 September 1834. Tercatat juga sebuah
nama J.H.L.O.(Johannes Hendrik Lodewijk Otto), putra
Gubernur Jendral Graaf Johannes van den Bosch (memerintah
1830-34), lahir 20 November 1834 dan meninggal pada 20 Juni
1836, dalam usia dua tahun.
Menarik untuk dicermati, saat fakta menunjukkan mayoritas
penghuni makam di sini meninggal dalam usia relatif muda.
Kebanyakan meninggal akibat penyakit tropis yang belum ada
obatnya. Terlepas dari predikat penjajah yang melekat pada
mereka, sesungguhnya mereka adalah orang-orang malang.
Bagaimana tidak? Sebagian dari mereka datang dari negeri jauh
demi mengharapkan perubahan nasib di tanah baru. Sebagian

besar bisa kembali dengan selamat pulang ke negeri asalnya,


namun tak sedikit yang meninggal di sini, di tanah asing dalam
kondisi kesepian dan merana. Jadi, masih relevankah dendam
warisan itu kita pertahankan?
Dan ketika matahari telah condong ke Barat, aku putuskan
meninggalkan komplek pemakaman yang sarat aura kesedihan
ini. Gemerisik daun bambu terdengar serupa rintihan ketika satu
persatu pengunjung meninggalkan mereka kembali dalam sepi.
Rasa itu terulang kembali persis seperti ketika serombongan
orang-orang berbaju hitam dan kereta pengantar mulai
meninggalkan gundukan tanah merah usai melaksanakan
prosesi pemakaman mereka, puluhan bahkan ratusan tahun lalu.
Mereka tinggal terbujur sendiri di tanah dingin ini.
Di sebuah tikungan di balik rerumpunan bambu saat kakiku mulai
melangkah menjauh, lamat-lamat seperti kudengar suara ratapan
memelas D.J. de Eerens, memohon maaf atas kebijakan tanam
paksa yg telah menyengsarakan nenek moyangku dahulu. Juga
atas sikap tamak bangsanya terhadap bangsaku. Aku cuma bisa
mengangguk pelan dan berkata dalam hati, setinggi apapun
kedudukan mereka di masa lalu, mereka cuma manusia biasa
dengan segala kelemahannya. Sehingga dengan tetap
membiarkan dendam itu mengkristal dalam diri, hanya akan
memperberat langkah kaki ini.***(th)
(Bogor, 16 Juli 2012)

Anda mungkin juga menyukai