INDONESIA
Baru pada tahun 1862 disetujui rencana pembangunan jalan kereta api pertama di Jawa, yaitu
jalur Semarang-Vorstelanden (daerah Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta yang ketika itu
merupakan daerah pertanian paling produktif, tapi sekaligus juga paling sulit dijangkau), dan
jalur antara Batavia (Jakarta) Buitenzorg (Bogor), tempat kedudukan pemerintah Hindia
Belanda dan daerah penghasil teh dan kopi.
Kedua jalur ini dibangun dari sebuah perusahaan swasta, yaitu Nederlandsch Indische
Spoorweg Maatschappj (NIS). Setelah diadakan berbagai persiapan termasuk bentuk konsesi
yang akan diberikan, maka pada hari Jumat tanggal 7 Juni 1864 di Kota Semarang
diselenggarakan upacara sebagai tanda pekerjaan pemasangan jalan rel dimulai. Sebagai puncak
upacara ditandai pencangkulan tanah pertama yang dilakukan oleh JAJ Baron Sloet van den
Beele (Subarkah, 1987, halaman 3). Berbagai masalah mewarnai pembangunan jalan rel ini, baik
yang berupa hambatan kondisi alam yang sulit maupun masalah keuangan, silih berganti muncul.
Meski demikian pada 10 Agustus 1867 jalan kereta api pertama di Indonesia bisa diresmikan,
yaitu dari Samarang sampai ke Tangoeng (sekarang Tanggung, Kabupaten Grobogan) sejauh
sekitar 25 kilometer. Tapi bukan berarti kesulitan telah bisa diatasi. Bahkan tidak lama kemudian
pekerjaan terpaksa dihentikan, karena Algemene Maatschappj voor Handel en Nijverheld
Amsetrdam, pemegang saham utama NIS, mengalami kesulitan keuangan dan nyaris bangkrut.
Pembangunan baru bisa dilanjutkan lagi setelah pemerintah turun tangan memberikan pinjaman
lunak.
Stasiun pertama NIS di Semarang berada di Tambaksasi (Kemijen), bernama Stasiun Samarang
di dekat Pelabuhan Semarang. Stasiun Tambaksari ini adalah stasiun ujung, atau dalam bahasa
Belanda disebut kopstation. Tahun 1914 stasiun Tambaksari dibongkar untuk memungkinkan
pembangunan jalan rel ke stasiun NIS yang baru di Tawang. Sebagian bangunan stasiun
Tambaksari masih dipakai untuk gudang, sehingga kemudian dikenal sebagai stasiun Semarang
Gudang.
Kedua jalur ini dibangun dari sebuah perusahaan swasta, yaitu Nederlandsch Indische
Spoorweg Maatschappj (NIS). Setelah diadakan berbagai persiapan termasuk bentuk konsesi
yang akan diberikan, maka pada hari Jumat tanggal 7 Juni 1864 di Kota Semarang
diselenggarakan upacara sebagai tanda pekerjaan pemasangan jalan rel dimulai. Sebagai puncak
upacara ditandai pencangkulan tanah pertama yang dilakukan oleh JAJ Baron Sloet van den
Beele (Subarkah, 1987, halaman 3). Berbagai masalah mewarnai pembangunan jalan rel ini, baik
yang berupa hambatan kondisi alam yang sulit maupun masalah keuangan, silih berganti muncul.
Meski demikian pada 10 Agustus 1867 jalan kereta api pertama di Indonesia bisa diresmikan,
yaitu dari Samarang sampai ke Tangoeng (sekarang Tanggung, Kabupaten Grobogan) sejauh
sekitar 25 kilometer. Tapi bukan berarti kesulitan telah bisa diatasi. Bahkan tidak lama kemudian
pekerjaan terpaksa dihentikan, karena Algemene Maatschappj voor Handel en Nijverheld
Amsetrdam, pemegang saham utama NIS, mengalami kesulitan keuangan dan nyaris bangkrut.
Pembangunan baru bisa dilanjutkan lagi setelah pemerintah turun tangan memberikan pinjaman
lunak.
Stasiun pertama NIS di Semarang berada di Tambaksasi (Kemijen), bernama Stasiun Samarang
di dekat Pelabuhan Semarang. Stasiun Tambaksari ini adalah stasiun ujung, atau dalam bahasa
Belanda disebut kopstation. Tahun 1914 stasiun Tambaksari dibongkar untuk memungkinkan
pembangunan jalan rel ke stasiun NIS yang baru di Tawang. Sebagian bangunan stasiun
Tambaksari masih dipakai untuk gudang, sehingga kemudian dikenal sebagai stasiun Semarang
Gudang.
Dengan berbagai masalah yang timbul, akhirnya pada 10 Februari 1870 selesailah jalur sampai
ke Solo, setahun kemudian pembangunan jalan rel telah sampai ke Yogyakarta. Akhirnya, pada
21 Mei 1873 jalur Semarang-Surakarta-Yogyakarta, termasuk cabang Kedungjati-Willem I
(Ambarawa) diresmikan pemakainnya. Pada tahun itu selesai pula alur Batavia-Buitenzorg.
Melihat besarnya kesulitan yang dihadapi NIS, tidak ada investor yang tertarik untuk
membangun jalan kereta api. Terpaksa pemerintah terjun langsung. Pemerintah mendirikan
perusahaan Staat Spoorwagen (SS). Jalur rel pertama yang di bangun oleh SS adalah antara
Surabaya-Pasuruan sepanjang 115 kilometer yang diresmikan pada 16 Mei 1878.
Setelah NIS maupun SS kemudian terbukti mampu meraih laba, bermunculan belasan
perusahaan-perusahaan kereta api swasta besar maupun kecil. Umumnya mereka membangun
jalan rel ringan atau tramwagen yang biaya pembangunannya lebih murah. Tramwagen biasanya
di bangun di sisi jalan raya. Dan karena konstruksinya yang ringan, kecepatan kereta api tidak
bisa lebih dari 35 kilometer per jam. Di antara perusahaan-perusahaan tersebut yang mempunyai
jaringan terpanjang adalah Semarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) sepanjang 417
kilometer dan Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) sepanjang 373 kilometer.
Yang terpendek adalah Poerwodadi-Goendih Stoomtram Maatschappj (PGSM) yang hanya
mempunyai jaringan sepanjang 17 kilometer.
Keberhasilan swasta, NV NISM membangun jalan KA antara Samarang-Tanggung, yang
kemudian pada tanggal 10 Februari 1870 dapat menghubungkan kota Semarang Surakarta (110
kilometer), akhirnya mendorong minat investor untuk membangun jalan KA di daerah lainnya.
Tidak mengherankan, kalau pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864-1900 tumbuh dengan
pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 kilometer, tahun 1870 menjadi 110 kilometer, tahun 1880
mencapai 405 kilometer, tahun 1890 menjadi 1427 kilometer dan pada tahun 1900 menjadi 3338
kilometer.
Selain di Jawa, pembangunan rel KA juga dilakukan di Aceh (1874), Sumatera Utara (1886),
Sumatera Barat (1891), (1914). Bahkan tahun 1922 di Sulawesi juga telah dibangun jalan KA
sepanjang 47 kilometer antara Makasar-Takalar, yang pengoperasiannya dilakukan tanggal 1 Juli
1923. Sisanya Ujungpandang-Maros belum sempat diselesaikan. Sedangkan di Kalimantan,
meskipun belum sempat dibangun, studi jalan KA rute Pontianak-Sambas (220 kilometer) sudah
diselesaikan. Demikian juga di pulau Bali dan Lombok, juga pernah dilakukan studi
pembangunan jalan KA.
Rel kereta api pertama kali diletakkan di bumi Sumatera Utara oleh Perusahaan Kereta Api
Swasta Belanda yang bernama Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) di tahun 1883 yang
menghubungkan Kota Medan dan Labuan (laboean) yang merupakan cikal bakal jalur kereta api
Medan-Belawan.
Sejak dulunya Pelabuhan Belawan merupakan pelabuhan utama Sumatera Utara untuk membawa
hasil bumi seperti tembakau ke luar negeri. Dulu, Labuan merupakan sentral keramaian, bahkan
sebelum kota Medan berdiri. Pelabuhan Labuan di Sungai Deli inilah yang menjadi pusat
perdagangan, transportasi dan bongkar muat barang perkebunan (khususnya tembakau) di
Sumatera bagian Timur, akan tetapi karena Labuan seringkali kebanjiran dan tidak mampu
mengakomodasi kapal-kapal uap besar maka transportasi usaha perkebunan mulai
dikonsentrasikan ke Pelabuhan Belawan
Sejak dulunya Pelabuhan Belawan merupakan pelabuhan utama Sumatera Utara untuk membawa
hasil bumi seperti tembakau ke luar negeri. Dulu, Labuan merupakan sentral keramaian, bahkan
sebelum kota Medan berdiri. Pelabuhan Labuan di Sungai Deli inilah yang menjadi pusat
perdagangan, transportasi dan bongkar muat barang perkebunan (khususnya tembakau) di
Sumatera bagian Timur, akan tetapi karena Labuan seringkali kebanjiran dan tidak mampu
mengakomodasi kapal-kapal uap besar maka transportasi usaha perkebunan mulai
dikonsentrasikan ke Pelabuhan Belawan.
Jalur kereta api Medan-Belawan yang berjarak sekitar 21 kilometer, pada saat itu memiliki
beberapa stasiun, yaitu Stasiun Medan Gloegoer Poeloebraijan Mabar Titi Papan
Kampong Besar Laboean Belawan Pasar Belawan dan Pelabuhan Belawan (Oceaanhaven
I II dan III).
Akan tetapi seiring perkembangan waktu, bertambahnya transportasi jalan raya dan
berkurangnya tingkat okupansi penumpang, maka pada saat ini Jalur Medan-Belawan tidak lagi
digunakan untuk mengangkut penumpang, melainkan hanya digunakan hanya untuk jalur KA
Barang saja, yakni KA Barang pengangkut CPO (Crude Palm Oil), PKO (Palm Kernel Oil),
getah karet (lateks), BBM dan pupuk. Dulu, saking ramainya jalur Medan-Belawan ini dilayani
oleh double track (triple track dari Medan-Pulubrayan dan double track dari PulubrayanBelawan). Sekarang sisa satu track, tinggal bekas-bekasnya yang berserakan di beberapa lokasi.
Stasiun KA yang saat ini masih digunakan pun tidak lagi sebanyak pada zaman DSM masih
berjaya.
Sampai dengan tahun 1939, panjang jalan KA di Indonesia mencapai 6811 kilometer. Tetapi,
pada tahun 1950, panjangnya berkurang menjadi 5910 kilometer, kurang lebih 901 kilometer
raib, yang diperkirakan karena dibongkar semasa pemerintahan Jepang dan diangkut ke Burma
untuk pembangunan jalan KA di sana.
Jenis jalan rel KA di Indonesia dibedakan dengan lebar sepur 1067 milimeter; 750 milimeter (di
Aceh) dan 600 milimeter di beberapa lintas cabang dan tram kota. Jalan rel yang dibongkar
semasa pemerintahan Jepang (1942-1943) sepanjang 473 kilometer, sedangkan jalan KA yang
dibangun semasa pendudukan Jepang adalah 83 kilometer antara Bayah Cikara dan 220
kilometer antara Muaro-Pekanbaru.
Ironisnya, dengan teknologi yang seadanya, jalan KA Muaro Pekanbaru diprogramkan selesai
pembangunannya selama 15 bulan yang mempekerjakan 27500 orang, 25000 di antaranya adalah
Romusha. Jalan yang melintasi rawa-rawa, perbukitan, serta sungai yang deras arusnya ini,
banyak menelan korban yang makamnya bertebaran sepanjang Muaro-Pekanbaru.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, karyawan KA yang
tergabung dalam Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) mengambil alih kekuasaan
perkeretaapian dari pihak Jepang. Peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 28 September
1945, pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA lainnya,
menegaskan mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada ditangan bangsa
Indonesia. Orang Jepang tidak diperkenankan lagi campur tangan dengan urusan perkeretaapian
di Indonesia.
Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api di Indonesia,
serta dibentuknya Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI).
Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) namanya diubah sejak tanggal 15 September 1971
menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Pada tanggal 2 Januari 1991, PJKA diubah
menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka), dan sejak tanggal 1 Juni 1999 menjadi PT
Kereta Api Indonesia (Persero).
Meskipun jalur Semarang-Tanggung, baru diresmikan pada 10 Agustus 1867, pada tahun 1863,
NIS telah memesan dua buah lokomotif dari Pabrik Borsig di Berlin, Jerman. Kedua lokomotif
itu dirancang untuk nantinya melayani jalur antara Kedungjati dan Willem I (Ambarawa) yang di
beberapa tempat mempunyai kemiringan sampai 2,8 persen.
Ketika itu lokomotif buatan Borsig banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan kereta api di
Belanda. Setahun kemudian dua lokomotif dikirim ke Semarang, tapi baru pada 22 Juni 1865
mulai dioperasikan, masing-masing dengan nomor seri NIS 1 dan NIS 2. Karena jalur kereta api
pada saat itu baru dalam tahap pembangunan, NIS 1 dan NIS 2 dimanfaatkan untuk
mempercepat pemasangan rel, sekaligus untuk melatih petugas yang akan mengoperasikan dan
memelihara lokomotif-lokomotif tersebut.
Sementara itu kedatangan lokomotif uap tersebut disambut masyarakat dengan rasa kagum tapi
sekaligus tajut. Seperti dikatakan Liem Thian Joe dalam buku Riwayat Semarang (1933),
Publiek Priboemi dan Tionghoa pertjaja, itoe kepala spoor didjalanken dengan kekoeatan ..
setan. Pada akhir 1866, empat lokomotif buatan Beyer Peacock, Manchester, Inggris itu tiba di
Semarang dan diberi nomor seri NIS 3-6. selain nomor seri keempat lokomotif itu mendapatkan
nama, masing-masing JP de Bordes (nama seorang pejabat NIS), Merapi, Merbaboe dan
Lawoe. Nama-nama tersebut pada satu sisi ditulis dalam aksara latin, pada sisi lain dalam
aksara Jawa. Namun penggunaan keempat lokmotif secara resmi baru pada 10 Agustus 1867,
bersamaan dengan pembukaan jalur Semarang-Tanggung
diperlukan ruang-ruang lebih besar agar bisa menampung banyak orang. Pada 1881 dibangun
stasiun baru. Salah satu ruangan di stasiun ini terdapat prasasti yang didirikan pada 1881.
Prasasti itu terbuat dari marmer sebagai persembahan karyawan sebagai ucapan selamat pagi
terhadap D Marschalk yang memasuki masa pensiun atas jasanya mengembangkan
perkeretaapian di Pulau Jawa. Arsitekturnya pun bergaya Eropa dan berlantai dua dengan hiasan
berbagai motif. Seperti geometrik awan, kaki-kaki singa dan relung-relung bagian lantai. Sampai
saat ini, Kusen pintu masuk dan jendelanya masih dalam kondisi utuh dengan gaya khas.
Lapangan yang ada didepannya yang konon bernama Wilhemina Park. Bangunan itu sendiri
luasnya kurang lebih 5.955 m2 yang dibangun di areal lahan seluas 43.267 m2 lokasi tepatnya di
Jalan Nyi Raja Permas Kelurahan Cibogor Kecamatan Bogor Tengah.
5. Stasiun Ambarawa (1873)
16 Mei 1878. Dengan meningkatnya penggunaan kereta api, pada tanggal 11 Nopember 1911,
bangunan stasiun ini mengalami perluasan hingga ke bentuknya yang sekarang ini.
12. Stasiun Malang Kotalama (1879)
salah satu perusahaan kereta api di zaman pemerintahan Hindia Belanda, untuk melayani
kebutuhan transportasi hasil bumi di wilayah Jember dan sekitarnya. Pada masa itu, Komoditas
perkebunan seperti gula, karet dan tembakau diangkut dari Stasiun Jember menuju Pelabuhan
Panarukan di wilayah Situbondo untuk selanjutnya diangkut dengan kapal api menuju Kota
Rotterdam di Belanda. Saat ini, Stasiun Jember yang terletak di Jl. Dahlia No. 2, Jemberlor,
Patrang, Jember, menjadi stasiun penting di wilayah Jawa Timur karena menjadi pusat kegiatan
PT. Kereta Api Indonesia Daerah Operasi (Daop) 9 yang mengatur stasiun dan perjalanan kereta
api dari Stasiun Bangil di wilayah Pasuruan (ujung barat) hingga Stasiun Banyuwangi (ujung
timur).
15. Stasiun Klaten (1903)
Stasiun Batavia (Stasiun Jakarta) Pada masa lalu, karena terkenalnya stasiun ini, nama itu
dijadikan sebuah acara oleh stasiun televisi swasta. Hanya saja mungkin hanya sedikit warga
Jakarta yang tahu apa arti Beos yang ternyata memiliki banyak versi.
Yang pertama, Beos kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai
Angkutan Kereta Api Batavia Timur), sebuah perusahaan swasta yang menghubungkan Batavia
dengan Kedunggedeh. Versi lain, Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang artinya
Batavia dan Sekitarnya, dimana berasal dari fungsi stasiun sebagai pusat transportasi kereta api
yang menghubungkan Kota Batavia dengan kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg
(Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain.
Sebenarnya, masih ada nama lain untuk Stasiun Jakarta Kota ini yakni Batavia Zuid yang berarti
Stasiun Batavia Selatan. Nama ini muncul karena pada akhir abad ke-19, Batavia sudah memiliki
lebih dari dua stasiun kereta api. Satunya adalah Batavia Noord (Batavia Utara) yang terletak di
sebelah selatan Museum Sejarah Jakarta sekarang. Batavia Noord pada awalnya merupakan
milik perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg, dan merupakan terminus untuk
jalur Batavia-Buitenzorg. Pada tahun 1913 jalur Batavia-Buitenzorg ini dijual kepada pemerintah
Hindia Belanda dan dikelola oleh Staatsspoorwegen. Pada waktu itu kawasan Jatinegara dan
Tanjung Priok belum termasuk gemeente Batavia.
Batavia Zuid, awalnya dibangun sekitar tahun 1870, kemudian ditutup pada tahun 1926 untuk
renovasi menjadi bangunan yang kini ada. Selama stasiun ini dibangun, kereta api-kereta api
menggunakan stasiun Batavia Noord. Sekitar 200 m dari stasiun yang ditutup ini dibangunlah
Stasiun Jakarta Kota yang sekarang. Pembangunannya selesai pada 19 Agustus 1929 dan secara
resmi digunakan pada 8 Oktober 1929. Acara peresmiannya dilakukan secara besar-besaran
dengan penanaman kepala kerbau oleh Gubernur Jendral jhr. A.C.D. de Graeff yang berkuasa
pada Hindia Belanda pada 1926-1931.
Di balik kemegahan stasiun ini, tersebutlah nama seorang arsitek Belanda kelahiran Tulungagung
8 September 1882 yaitu Frans Johan Louwrens Ghijsels. Bersama teman-temannya seperti Hein
von Essen dan F. Stolts, lelaki yang menamatkan pendidikan arsitekturnya di Delft itu
mendirikan biro arsitektur Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA). Karya biro ini bisa
dilihat dari gedung Departemen Perhubungan Laut di Medan Merdeka Timur, Rumah Sakit
PELNI di Petamburan yang keduanya di Jakarta dan Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta.
Stasiun Beos merupakan karya besar Ghijsels yang dikenal dengan ungkapan Het Indische
Bouwen yakni perpaduan antara struktur dan teknik modern barat dipadu dengan bentuk-bentuk
tradisional setempat. Dengan balutan art deco yang kental, rancangan Ghijsels ini terkesan
sederhana meski bercita rasa tinggi. Sesuai dengan filosofi Yunani Kuno, kesederhanaan adalah
jalan terpendek menuju kecantikan.
Stasiun Gambir
Stasiun Gambir adalah stasiun kereta api terbesar di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
dan terletak di Gambir, Gambir, Jakarta Pusat. Stasiun ini dibangun pada dasawarsa 1930-an dan
mendapatkan renovasi secara besar-besaran pada 1990-an. Stasiun Gambir melayani transportasi
kereta api untuk tujuan-tujuan utama di Pulau Jawa. Di stasiun ini, tersedia pula bus DAMRI
untuk menuju Bandara Soekarno Hatta. Stasiun ini berada di Daerah Operasi 1 Jakarta.
Stasiun JatiNegara
Stasiun Jatinegara sebelum kemerdekaan bernama Stasiun Meester Cornelis adalah sebuah
stasiun kereta api di daerah Jatinegara, Jakarta Timur. Stasiun ini merupakan stasiun bertemunya
tiga jalur, yaitu jalur ke Pasar Senen, jalur ke Manggarai, dan jalur ke Bekasi. Setiap harinya
dilewati sekitar 350 kereta api. Di dekat stasiun ini terdapat dipo lokomotif.
Sebagai stasiun penghubung ke luar Jakarta, stasiun ini dilalui oleh semua KA ke berbagai kota
di Pulau Jawa (kecuali tentu saja ke arah Banten dan Bogor). Namun demikian, tidak semua KA
yang ke luar dari Jakarta berhenti untuk menaikkan penumpang di stasiun ini. Hanya KA
ekonomi dan KA bisnis yang berhenti untuk menaikkan penumpang dalam perjalanan menuju
kota-kota di Jawa, sedangkan semua KA eksekutif, kecuali KA Argo Gede, KA Argo Jati, dan
KA Sembrani tidak berhenti di sini. Tetapi, semua KA yang datang menuju Jakarta berhenti
untuk menurunkan penumpang di stasiun ini.
Sore harinya Otty Widasari memberitahu bahwa suaminya (Hafiz) menemukan foto-foto
Minang tempo dulu di situs jejaring sosial Facebook. Orang yang memiliki foto tersebut bernama
Ronal Chandra. Kami pun dari akumassa minta izin kepada beliau untuk memuat foto-foto
tersebut di www.akumassa.org dan permintaan izin tersebut disambutnya dengan baik.
Lembah Anai merupakan jalur utama yang menghubungkan kota kawasan atas (darek) seperti
Payakumbuh, Bukittinggi, Batusangkar, Padangpanjang dan Solok dengan kota di kawasan
bawah (pasisia) seperti Pariaman, Lubukbasung, Padang dan Painan. Jalur ini juga merupakan
jalur awal perekonomian di Sumatera Barat untuk mengangkut hasil pertanian dari kawasan
atas ke bawah dan hasil laut dari kawasan bawah ke atas. Akan pentingnya jalur ini, maka
Pemerintah Belanda membangun jalur kereta api sebagai sarana transportasi. Setelah
didirikannya PT Semen Padang pada tahun 1910, kereta api juga digunakan untuk mengangkut
batubara dari Ombilin ke Padang. Ada juga dua jalur besar lainnya yang menghubungkan atas
ke bawah seperti Sitinjau Laut dari arah Solok dan Kelok 44 dari arah Bukittinggi, tapi dengan
jarak dan waktu tempuh yang berbeda.
Foto-foto Lembah Anai tersebut kembali mengingatkan Riosadja akan jalur yang selalu
dilaluinya bolak-balik Bukittinggi dan Padang saat kuliah di UNP (Universitas Negeri Padang).
Jalur yang akrab dengan pengamen dan penjaja paragede jaguang (perkedel jagung) yang sigap
melompat saat bus melambat di tikungan tajam dan jalanan menanjak. Jalur yang sejuk berkabut
tempat beristirahat saat perjalanan; tempat berderet-deret rumah makan menyajikan masakan
khasnya. Dan saya pun hanya bisa berkata Den takana jo kampuang.
Litografi lukisan karya Josias Cornelis Rappard yang menggambarkan stasiun Tanggung di
Grobogan, Jawa Tengah
Sejarah transportasi kereta api di Indonesia mungkin termasuk yang tertua di dunia. Pada tahun
1864, pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah membangun lintasan rel dari desa Kemijen
(Semarang) ke Tanggung (Grobogan), meski di Inggris kereta api sudah digunakan sebagai alat
transportasi sejak tahun 1830. Dalam konteks alih teknologi, selang waktu 34 tahun termasuk
cepat pada waktu itu, mengingat jauhnya jarak dunia Barat dan Timur, serta terbatasnya moda
angkutan antar benua yang hanya mengandalkan kapal laut.
Perkembangan transportasi ini begitu pesat. Jika pada tahun 1864 panjang rel yang dibangun
baru 25 km, pada tahun 1900 lintasannya sudah mencapai 3.338 km, bertambah 133 kali lipat
dalam kurun waktu 36 tahun! Suatu pencapaian luar biasa yang pernah ditorehkan bangsa
Belanda di negeri jajahannya.
Bepergian dengan kereta api tempo doeloe memberi kesan tersendiri bagi mereka yang pernah
merasakannya. Banyak pengalaman yang mereka tulis dalam sejumlah buku untuk mengenang
betapa menyenangkannya duduk di atas si roda besi sambil menikmati pemandangan kota,
sawah dan pegunungan waktu itu.
Thomas H. Reid dalam buku yang ditulisnya, Across the Equator (1908), mengutip
pengalaman temannya yang pernah menumpang kereta api dari Semarang ke Yogyakarta sebagai
berikut:
Perjalanan dari Samarang ke Djocjakarta biasanya ditempuh melalui Solo(Soerakarta), tapi
rute ini biasa-biasa saja karena cuma melintasi dataran rendah yang dipenuhi persawahan. Aku
menyarankan rute yang lebih menarik melalui (benteng) Willem I. Ada kereta yang berangkat
pukul 5.57 atau 8.17 pagi dan sampai di Djocja pukul 2.16 atau 5.10 sore. Kereta yang
berangkat pukul 10.50 cuma sampai Magelang, jadi akhirnya aku menumpang kereta yang
berangkat pukul 2.9 siang, dan setelah sampai di stasiun Kedoeng Djattie, kami pun pindah ke
kereta lain. Selama dua jam berikutnya, kereta melintasi kaki-kaki bukit, hutan dan padang
rumput yang indah, silih berganti dengan pemandangan lembah, sawah dan bukit-bukit di
kejauhan saat kereta merayap naik ke Willem I. Tempat ini kami capai pada pukul 5 sore,
dimana kami bisa merasakan sejuknya semilir angin dan menikmati keindahan alam serta
matahari terbenam di gunung kecil di depan hotel.
Keesokan harinya pada pukul 8.54, aku ikut kereta api yang berangkat dari Semarang pukul
5.57 dan tak lama kemudian sampai di sebuah stasiun dimana lokomotifnya ditukar dengan loko
cog-wheel karena daerah yang akan kami lewati nanti terlalu berat bagi loko biasa. Kereta
kemudian berjalan lagi memutari bukit-bukit yang dipenuhi ladang hingga ke puncaknya. Kereta
pun terus naik ke atas hingga kami bisa merasakan udara yang sangat menyegarkan. Tiffin
(makan siang) harus dipesan melalui kondektur sebelumnya dan akan diantarkan ke gerbong.
Kira-kira pukul satu siang loko kereta diganti lagi, dan perjalanan ke Djocja pun dimulai
melalui Magelang. Bagi mereka yang ingin mengunjungi Samarang, aku sangat menyarankan
rute ini.
Lain Belanda, lain pula Jepang. Saat Indonesia diduduki oleh Negeri Matahari Terbit itu,
perkeretapian kita ikut mengalami dampak buruknya. Batang-batang rel sepanjang 901 km
dibongkar lalu dipindahkan ke Burma. Untungnya pendudukan Jepang tidak berlangsung lama.
Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, para karyawan kereta api mengambil alih kuasa
perkeretaapian dari tangan Jepang pada 28 September 1945. Tanggal ini kemudian ditetapkan
sebagai Hari Kereta Api di Indonesia.
Rute Jalan Raya Sepanjang Rel Kereta Api dari Pasar Minggu Menuju Citayam
Via Lenteng Agung dan Depok Tempo Doeloe
StasiondiBuitenzorg,1881(tampakluar)
Stasiun Beos (Stasiun Kota) di Batavia (Jakarta) dibangun pada tahun 1870. Pada tahun 1880 rel
kereta api JakartaBuitenzorg (Bogor) dibangun sepanjang 59 Km. Stasiun Bogor yang terletak
di Kota Bogor dibangun pada tahun 1881. Berdasarkan peta tahun 1883-1885, diantara dua
stasiun besar itu terdapat halte (pemberhentian kereta) di Depok, Citayam, dan Pondok Cina. Ini
berarti halte-halte ini sudah ada sejak pembangunan rel Jakarta-Bogor dibangun. . Pengoperasian
kereta api jalur Jakarta-Bogor sendiri waktu itu masih dilakukan oleh swasta.
StasiondiBuitenzorg1881(tampakdalam)
StasionManggarai1918
StasionDepok1925
RuteBataviaBuitenzorg1883
ketemu simpang belok ke kiri ke arah perkampungan/kuburan (seberang BNI sekarang). Pada
pertigaan berikutnya belok ke kiri (menuju jalan Silawangi sekarang). Selanjutnya ketemu
pertigaan lagi belok ke kiri (samping optic) dan kemudian ada pertigaan lagi belok ke kanan
(jalan yang menuju ke arah Dewi Sartikajalan ini memotong rel).
Tahun 1929
Tahun 1920
Tahun 1885
4. Stasiun Bogor
Spoiler for Jaman dulu:
Tahun 1904
Malioboro 1925
Stasiun Lempuyangan
Stasiun Klaten
Stasiun Jebres
Stasiun Gawok
Stasiun Purwosari
7. Stasiun Kroya
Spoiler for Jaman Dulu:
Tahun 1940
Stasiun Padang
Tahun 1910
Stasiun Bukittinggi
Stasiun Pariaman
Stasiun Payakumbuh
Stasiun Gambir
Intinya, tiket tipe Edmondson merupakan satu sistem tiket kereta api mulai dari bentuk dan
bahan tiket yang mungil, mesin cetak tanggal hingga ke alat yang biasa digunakan oleh
kondektur kereta api untuk memeriksa tiket para penumpang.
SketsaIndonesia.com, Jakarta
Pernah dengar tiket Edmondson? Ini adalah tiket kereta api yang terbuat dari karton dengan
ukuran sekitar 6 cm x 3 cm. Tiket tipe ini sudah jarang ditemukan karena PT Kereta Api-KA
(Persero) sudah mengganti sistem tiket yang pertama kali diperkenalkan tahun 1840-an di Inggris
ini, dengan tiket sistem komputerisasi. Penggantian sistem tiket dari tiket Edmondson ke sistem
komputerisasi itu khususnya dilakukan di stasiun-stasiun besar. Mesin ini dihentikan
penggunaannya secara total pada Oktober 2009.
Adalah Thomas Edmondson, yang semula hanya perajin furnitur, station master atau semacam
kepala stasiun di Newcastle dan Carlisle, Inggris, yang memperkenalkan sistem temuannya pada
jalur kereta api Manchester dan Leeds pada tahun 1840-an. Sistem itu adalah sistem validasi
pembayaran karcis kereta api serta sistem akunting untuk meningkatkan pendapatan yang
kemudian diberi nama sesuai si penemu, Edmondson. Seiring dengan pembukaan Railway
Clearing House sebuah organisasi yang dibikin untuk mengatur alokasi pendapatan kolektif
dari berbagai perusahaan kereta api pada 1842, sistem Edmondson pun digunakan sebagai
sistem tiket secara luas.
Berbagai item standar pun ditetapkan pada tiket karton itu. Misalnya, besarnya tiket, aslinya
2,5 cm x 5 cm, dan diberi nomor. Saat stasiun mengeluarkan tiket itu, ada mesin yang akan
mencetak tanggal sesuai dengan saat tiket dikeluarkan (mesin stempel tiket). Tiket itu juga
dibedakan berdasarkan tujuan dan kelas (bisnis, ekonomi, eksekutif). Pola dan warna tiket
dibedakan untuk memudahkan petugas dan calon penumpang membedakan tipe tiket.
Intinya, tiket tipe Edmondson merupakan satu sistem tiket kereta api mulai dari bentuk dan
bahan tiket yang mungil, mesin cetak tanggal hingga ke alat yang biasa digunakan oleh
kondektur kereta api untuk memeriksa tiket para penumpang. Di Inggris, tiket Edmondson
digunakan hingga 1990. Sistem tiket ini kemudian diadopsi oleh beberapa negara di Eropa
seperti Czechoslovakia, Perancis, Jerman, Polandia, Swiss, Belanda bahkan hingga ke luar Eropa
seperti Australia, Argentina dan Hindia Belanda saat Staatsspoorwegen (SS) memperkenalkan
sistem tiket itu.
Di beberapa kota di Inggris, tiket itu bahkan sudah berhenti digunakan pada 1980-an. Belanda,
dalam hal ini Nederlandsche Spoorwegen (NS) perusahaan kereta api menghentikan tiket tipe
Edmondson pada 1982. Negara-negara yang
dulu mengadopsi tiket Edmondson, kini sudah secara total meninggalkan sistem tersebut. Swiss
masih menggunakan tiket Edmondson di beberapa stasiun hingga Desember 2007. Kini, tiket
legendaris itu lebih banyak digunakan sebagai tiket untuk
masuk ke wisata kereta api tempo dulu atau wisata pusaka (heritage tourism).
Di Indonesia, Museum Kereta Api Ambarawa masih menyimpan mesin stempel tiket atau
karcis bermerek Edmondson dari tahun 1923. Di beberapa stasiun kecil kita masih bisa melihat
tiket tersebut, termasuk seluruh sistem tersebut, mulai dari karcis, mesin stempel dan alat
pengecek tiket milik kondektur. Di Graha Parahyangan, Bandung, terdapat mesin pencetak kuno
(tiket Edmondson) yang pernah digunakan PT KA sebagai mesin untuk mencetak tiket kereta api
jarak dekat dan ekonomi selama 100 tahun lebih. (Pradaningrum Mijarto)
Kedua tiang pantograf itu tampaknya tak peduli akan keramaian di jalan Rajawali yang mengitari
mereka setiap harinya. Tak terlihat pula tanda-tanda akan menyerah pada perubahan jaman.
Kedua tiang itu hanya berdiri kokoh di sana. Setelah 44 tahun tak dialiri listrik, tiang pantograf
itu menjadi satu dari sedikit peninggalan kejayaan trem uap dan trem listrik yang pernah malangmelintang di kota Surabaya sejak lebih dari satu abad silam. Tiang yang pernah menjadi penyalur
listrik untuk trem ini menjadi titik awal cerita tentang trem di masa lalu, yang akan ditelusuri
melalui peningalan-peninggalan yang masih ada.
Di Karangpilang terdapat satu-satunya halte trem yang masih utuh di Indonesia. Sebuah
bangunan memanjang minimalis bergaya art nouveau yang sekarang menjadi toko jual pulsa HP
dan toko meracang (toko kelontong). Foto: Firman (Surabaya Tempo Dulu)
Trem uap adalah trem yang pertama hadir di Surabaya sekaligus yang terakhir ditutup pada tahun
1975. Trem ini berangkat dari stasiun trem Wonokromo melewati jalan-jalan yang sekarang
bernama Jalan Diponegoro Jalan Arjuno Pasar Turi Kebun Rojo Cantikan Ampel
Benteng dan berakhir di Pangkalan AL Ujung. Sedangkan jalur ke selatan mengarah ke
Gunungsari hingga Karangpilang dan berakhir di Tarik, Mojokerto. Di Karangpilang terdapat
satu-satunya halte trem yang masih utuh di Indonesia. Sebuah bangunan memanjang minimalis
bergaya art nouveau yang sekarang menjadi toko jual pulsa HP dan toko meracang(toko
kelontong).
Trem uap masih cukup banyak ditemui peninggalannya. Sebuah areal luas di bilangan Waringin
dekat Terminal Joyoboyo adalah bekas depo trem uap dan trem listrik. Sebuah bangunan besar
seperti gudang dengan dinding beton yang mulai tergerus lumut itu adalah tempat dimana trem
uap diperbaiki. Satu bangunan lagi, dengan tulisan ANNO 1913 adalah tempat trem uap
beristirahat setelah seharian bekerja melayani penumpang. Suara pukulan palu dan desis las para
mekanik trem telah berganti menjadi kesunyian diantara mobil-mobil pribadi warga sekitar yang
areal luas ini sebagai lahan parkir berbayar.
Stasiun trem Wonokromo Kota adalah ground zero bagi sejarah transportasi trem di Surabaya. Di
sebuah bangunan berbentuk panjang khas stasiun kereta api yang berada tepat di seberang utara
Terminal Joyoboyo, adalah satu-satunya tempat dimana trem uap dan trem listrik berbagi tempat
selama masa aktifnya. Dari Wonokromo Kota ini dimulai Lyn 1 trem listrik yang melayani rute
Wonokromo Jembatan Merah.
Saksi bisu dari jalur ini terlihat pada sisa-sisa rel berpenjepit khas trem listrik yang tampak di
sepanjang Jalan Kepanjen tepat di seberang Gereja Katedral dan Sekolah Katolik Frateran. Rel
ini lalu berbelok ke arah Jalan Veteran, yang lengkungan relnya masih terlihat di samping
Mapolwiltabes Surabaya.
Satu spot unik dari jalur ini ada di Kebun Rojo, mengingatkan kita pada Bumi Manusia, buku
pertama trilogi Pulau Buru dari Pramoedya Ananta Toer. Di sini jalur kembar ini harus berpisah
lagi. Satu jalur jalan lurus ke Jalan Veteran dan yang satu membelok ke depan Kantor Pos Kebun
Rojo (bekas sekolah HBS), tempat Minke dari Bumi Manusia bersekolah dulu. Di sinilah jalur
trem listrik dan trem uap bersilangan. Bayangkan betapa eloknya pemandangan kota jika
keduanya masih aktif. Persilangan ini dahulu diatur oleh seorang petugas. Uniknya tak pernah
satupun terjadi tabrakan antara trem uap dan trem listrik di sini.
Ke Perak
Hingga tahun 1990-an di jalur hijau sepanjang Jalan Perak Barat dan Jalan Perak Timur ini masih
terlihat double track dari jalur trem listrik Lyn 4 yang melayani Jembatan Merah Tanjung
Perak. Sekarang yang ada tinggal sepotong rel yang menggantung di atas selokan dekat pos
polisi dan dua tiang pantograf di Jalan Rajawali yang diceritakan di awal tulisan tadi.
Para penumpang di jalur Lyn 4 kebanyakan adalah penumpang kapal laut yang akan berangkat
naik kapal di Pelabuhan Tanjung Perak. Ramainya penumpang di jalur ini terjadi saat pagi dan
siang hari. Para penumpang yang memenuhi trem di jam-jam tersebut adalah para pekerja
galangan kapal dan pelabuhan Tanjung Perak. Wajah-wajah lelah para pekerja pelabuhan,
pegawai PELNI dan para buruh angkut yang memenuhi bus DAMRI jurusan Perak di setiap sore
seakan menjadi cerminan dari kondisi penumpang trem listrik Lyn 4 di masa lalu.
Rute ini memiliki keunikan karena berpotongan dengan rel kereta api di tiga titik sepanjang
jalurnya. Persilangan persilangan seperti ini menunjukan betapa Surabaya di masa lalu adalah
sebuah kota yang disaling-silang oleh ular besi nyaris di semua sudut kota. Bahkan dapat dikata
sendi kehidupan Surabaya bergantung pada aktivitas yang berlalu lalang di atas sabuk-sabuk besi
ini.
memiliki 12 jalur untuk perawatan dan perbaikan. Semuanya kini tak berbekas berganti menjadi
gudang penyimpanan usaha yang konon berstatus sewa ke PT KAI.
Sawahan juga menjadi titik awal dari jalur Lyn 3 yang melayani Stasiun Gubeng Sawahan.
Rute ini berada satu jalur dengan Lyn 1 dan 2 sebelum akhirnya berpisah di persimpangan
Tunjungan Embong Malang. Tumpukan rel diantara lapak-lapak tukang stempel dan stiker di
Jalan Embong Malang menjadi bukti adanya jalur trem pernah lewat di jalan ini dahulu kala.
Persilangan dengan jalur trem uap di Jalan Arjuno sudah lama tiada. Tak ada tanda-tanda yang
nampak di sepanjang Jalan Tidar, walau terkadang lubang jalan di tengah jalan kala musim hujan
terkadang memunculkan kembali rel-rel ini. Tiang-tiang pantograf yang sempat menjadi tiang
lampu jalan paska trem listrik dihentikan operasionalnya juga telah lenyap. Antrean anak-anak
sekolah Don Bosco yang menunggu trem di Halte Tembok Doekoeh digantikan antrean mobil
mewah pribadi yang mengantar mereka.
Rumah-rumah bergaya art deco dengan papan bertanda ASET PT KAI di sekitar Depo Trem
Sawahan menjadi petunjuk bahwa di sana terdapat peninggalan penting dari PT KAI. Batanganbatangan rel yang telah beralih fungsi sebagai akses masuk rumah di atas selokan menjadi
penjelas dari keberadaan Depo Trem Sawahan.
Pak Abdul Azis, penjaga nyala api trem. Pintu di rumahnya ini adalah pintu trem yang ia
selamatkan ketika tremnya dibesituakan. Foto: Firman (Surabaya Tempo Dulu)
Jejak kejayaan trem listrik di masa lalu tak hanya diceritakan melalui peninggalan-peninggalan
benda mati yang tersebar di kota Surabaya. Masih banyak keluarga atau keturunan dari pelaku
trem listrik yang tinggal di pemukiman tepat di sisi timur Depo Trem Sawahan. Tidak banyak
yang tahu bahwa diantara penduduk itu ada saksi hidup yang tak pernah lelah bercerita tentang
masa jaya trem listrik.
Sosok itu bernama Abdul Azis. Cara beliau bertutur membuat kita tak percaya bahwa ia telah
berusia 90 tahun. Bapak Abdul Azis adalah satu-satunya motoris atau pengemudi trem listrik
yang masih hidup. Bagi generasi sekarang yang tak pernah mengalami era trem listrik, Pak
Abdul Azis dan trem listrik bagaikan satu kesatuan. Sebagian besar bahan dalam tulisan ini
berasal dari cerita pengalaman Pak Abdul Azis.
Pak Abdul Azis masih mengingat saat harus menghalau copet dari trem. Para pencopet itu sering
naik dari Toko Metro di Jalan Tunjungan. Pak Abdul Azis selalu memaksa para pencopet turun
dari trem sebelum sempat beraksi. Pak Azis juga masih ingat cara mengemudi trem dan cara
mengerem yang mengeluarkan suara dengungan khas trem kala itu. Beliau juga mengenang
bahwa trem listrik tak pernah sekalipun mengalami kekurangan pasokan listrik.
Pak Abdul Azis memiliki pengalaman tak terlupakan saat trem yang dikemudikannya menabrak
sepeda motor sespan Harley Davidson yang dikemudikan seorang polisi lalu lintas. Kejadian di
Lyn 4 Jalan Perak ini membuat sang polisi terpental bersama sepeda motornya masuk ke selokan.
Insiden ini sempat membuat Pak Abdul Azis dipanggil atasan sang polisi di Mapolwiltabes
Surabaya. Bukannya mendapat teguran, Kepolisian malah meminta maaf karena tindakan
ceroboh anggotanya.
Sesekali Abdul Azis menitikan air mata mengenang rekan-rekan sesama motoris trem yang kini
semua telah tiada. Sesekali beliau geram mengingat banyaknya fasilitas bangunan dan jalur trem
yang telah dijual PT KAI dan telah beralih fungsi menjadi bangunan lain. Beliau juga sedih saat
trem akhirnya harus diberhentikan dan kereta tremnya dibesituakan.
Rupanya Pak Abdul Azis masih ingin menyelamatkan beberapa benda dari trem untuk
mengenang eksistensi trem listrik di Surabaya. Terdapat dua pintu kamar dalam rumah Pak
Abdul Azis yang sejatinya adalah pintu trem listrik yang beliau ambil saat trem dibesituakan.
Melihat dua pintu ini serasa seperti melihat gerbang dari mesin waktu. Saat berada di depan pintu
dan membukanya, terasa suasana riuh penumpang trem
Mereka berdesakan di pintu, bergantungan tangan dan duduk saling berhadapan. Plafon di atas
tempat duduk dipenuhi iklan-iklan Unilever, Pamolive atau Lindeteves Stockvis. Kondektur
berjalan diantara penumpang menarik karcis. Baru saja trem meninggalkan pertigaan Tunjungan
Genteng Besar. Di depan tampak Pak Abdul Azis di kursi pengemudi, kali ini ia tampak 58
tahun lebih muda. Tangan kanannya bersiap di tangkai rem, bersiap menggunakannya saat
berhenti di halte Siola.
- See more at: http://ayorek.org/2013/07/jejak-dan-sosok-di-balik-tremsurabaya/#sthash.keUGrYLH.dpuf
Kantor pusat NISM di Semarang, sekarang kita mengenalnya dengan sebutan Lawang Sewu.
NISM sendiri didirikan setelah mendapatkan izin dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat
itu, Mr. L.A.J.W. Baron Sloet Van De Beele untuk membangun jalur Kemijen-Tanggung yang
berjarak 26 km. Pembangunan jalur kereta api di Jawa, kemudian dilakukan pada 17 Juni 1864,
ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke- 52 Van De
Beele. Jalur Kemijen-Tanggung selesai dan mulai dipergunakan pada 10 Agustus 1867. Jalur
Kemijen-Tanggung ini kemudian diperpanjang hingga sampai Yogyakarta melalui Surakarta dan
mulai dipergunakan pada 10 Juni 1872. Selesainya jalur baru ini sekaligus menandai masuknya
kereta api untuk pertama kali ke wilayah Yogyakarta. Stasiun Lempuyangan kemudian dibuka
dan diresmikan pada 2 Maret 1882. Semua jalur tersebut dikuasai dan dikelola oleh NV. NISM
(Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij / Perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda).
Pelopor pembangunan kereta api di Jawa adalah Nederlandsch Indische Spoorweg
Maatschappij atau NISM. Walau sebelumnya ijin konsesi sempat ditolak oleh Pemerintah Hindia
Belanda dan mengalami masalah keuangan pada masa pembangunan, akhirnya rel kereta api
antara Semarang Vorstenlandenselesai dibangun tahun 1871.
Foto dan peta tempo doeloe tentang perkeretaapian antara Kedungjati dan Ambarawa
Thomas H. Reid dalam buku yang ditulisnya, Across the Equator (1908), mengutip
pengalaman temannya yang pernah menumpang kereta api dari Semarang ke Yogyakarta sebagai
berikut :
Perjalanan dari Samarang ke Djocjakarta biasanya ditempuh melalui Solo(Soerakarta), tapi
rute ini biasa-biasa saja karena cuma melintasi dataran rendah yang dipenuhi persawahan.
Aku menyarankan rute yang lebih menarik melalui (benteng) Willem I. Ada kereta yang
berangkat pukul 5.57 atau 8.17 pagi dan sampai di Djocja pukul 2.16 atau 5.10 sore. Kereta
yang berangkat pukul 10.50 cuma sampai Magelang, jadi akhirnya aku menumpang kereta
yang berangkat pukul 2.9 siang, dan setelah sampai di stasiun Kedoeng Djattie, kami pun
pindah ke kereta lain. Selama dua jam berikutnya, kereta melintasi kaki-kaki bukit, hutan
dan padang rumput yang indah, silih berganti dengan pemandangan lembah, sawah dan
bukit-bukit di kejauhan saat kereta merayap naik ke Willem I. Tempat ini kami capai pada
pukul 5 sore, dimana kami bisa merasakan sejuknya semilir angin dan menikmati keindahan
alam serta matahari terbenam di gunung kecil di depan hotel.Keesokan harinya pada pukul
8.54, aku ikut kereta api yang berangkat dari Semarang pukul 5.57 dan tak lama kemudian
sampai di sebuah stasiun dimana lokomotifnya ditukar dengan loko cog-wheel karena daerah
yang akan kami lewati nanti terlalu berat bagi loko biasa. Kereta kemudian berjalan lagi
memutari bukit-bukit yang dipenuhi ladang hingga ke puncaknya. Kereta pun terus naik ke
atas hingga kami bisa merasakan udara yang sangat menyegarkan. Tiffin (makan siang)
harus dipesan melalui kondektur sebelumnya dan akan diantarkan ke gerbong. Kira-kira
pukul satu siang loko kereta diganti lagi, dan perjalanan ke Djocja pun dimulai melalui
Magelang. Bagi mereka yang ingin mengunjungi Samarang, aku sangat menyarankan rute
ini.
jam lima seperempat, sampai ke Rancaekek setengah enam kurang. Jalan keduanya jam enam,
jalan dari Rancaekek, sampai di Jatinangor jam enam lewat sedikit. Sampai ke Tanjung Sari jam
setengah tujuh. Jam ketiganya jam tujuh dari Tanjung Sari, dan begitulah bolak-balik. Tengah
hari baru istirahat. Setelah itu jam lima sore dari rancaekek ke Tanjung Sari. Jalur kereta api ini,
sangat besar bantuannya bagi pemerintah dan masyarakat, baik yang mau pergi ataupun bagi
yang mau usaha.
Dulu tidak ada penumpang yang tidak kebagian duduk, karcis yang dijual selalu karcis duduk.
Yang ketahuan tidak membeli karcis dihukum tanpa ampun.
Yogyakarta akibat kalah bersaing dengan transportasi jalan raya yang dianggap lebih cepat dan
efisien. Penutupan ini merupakan rentetan penutupan jalur kereta api dari Kedungjati Tuntang
Ambarawa Secang Temanggung Parakan Magelang Jogja.
Kini yang tersisa dari sejarah kereta api di Magelang hanyalah bangkai-bangkai rel kereta
api yang melintang diberbagai tempat serta bangunan stasiun dengan kondisi yang merana seolah
menanti untuk dihidupkan kembali. Saat ini tak banyak orang yang tahu bahwa kota yang indah
ini dulunya pernah dilalui oleh ular besi yang selalu menyembulkan asap hitam membumbung
tinggi seolah menandakan keperkasaannya.
Sebenarnya di sisi paling utara Kabupaten Magelang terdapat sebuah stasiun yaitu
Stasiun Candi Umbul, akan tetapi karena saya pernah mengunjunginya beberapa waktu yang lalu
dan pertimbangan efisiensi waktu maka saya putuskan untuk melewatinya. Sebagai informasi
Stasiun yang berada di Magelang hingga Jogjakarta setelah Stasiun Candi Umbul adalah: Stasiun
Brangkal Stasiun Secang Stasiun Payaman Halte Magelang Kramat Stasiun Kebonpolo
Stasiun Magelang Alun-Alun Stasiun Magelang Pasar Halte Banyurejo Stasiun Mertoyudan
Stasiun Japonan Stasiun Blondo Stasiun Blabak Stasiun Pabelan Stasiun Muntilan
Halte Muntilan Kidul Stasiun Dangeyan Stasiun Tegalsari Stasiun Semen Stasiun Tempel
Halte Ngebong Stasiun Medari Stasiun Sleman Halte Pangukan Stasiun Beran Halte
Mlati Halte Kutu Halte Kricak Stasiun Tugu. Menurut informasi yang saya peroleh dari
semua bangunan halte dan stasiun tersebut tidak semua bangunannya masih bisa ditemukan.
Banyak bangunan halte dan stasiun yang sudah dirobohkan karena tergusur oleh pembangunan
kota.
Kurang lebih dua jam perjalanan saya mulai memasuki wilayah Secang Kabupaten
Magelang. Sesampainya di Secang saya mulai mencari lokasi keberadaan Desa Krincing yang
mana di desa itulah Stasiun Brangkal pernah berdiri. Sempat tersesat, akhirnya saya berhasil
menemukan lokasi Desa Krincing. Lokasinya berada di pertigaan Krincing sebelah kiri jalan dari
Ambarawa. Disana terdapat sebuah pasar desa yang ukurannya tidak terlalu besar. Dari pertigaan
tersebut masuk kurang lebih dua kilo meter maka akan menjumpai sebuah jembatan yang
ukurannya tidak begitu besar. Disebelah jembatan terdapat bekas rel kereta api yang
bersinggungan dengan jalan raya. Kondisi rel sudah tidak utuh lagi, hanya tampak beberapa
potongan rel saja yang menandakan bahwa disitulah dulu kereta api pernah lewat. Terlihat dari
jalan raya jalur kereta masuk kedalam hutan kopi milik warga.
Menurut informasi yang saya peroleh dari teman saya yang merupakan warga asli
Magelang, dahulu Stasiun Brangkal terletak dekat dengan jembatan disamping jalan desa dan
bangunnya sendiri sudah lama dirubuhkan. Disana memang saya sudah tidak menemukan
bangunan yang menyerupai stasiun, yang nampak hanyalah bangunan semi permanen milik
warga. Hanya sebuah plang milik PT. KAI yang sudah tidak utuh lagi yang bisa dijadikan
penanda bahwa di situlah lahan milik PT. KAI yang kemungkinan letak Stasiun Brangkal
dulunya berdiri.
Stasiun Brangkal adalah stasiun kecil yang terletak di Desa Krincing Kabupaten
Magelang. Stasiun ini didirikan pada tahun 1905 oleh NIS. Seiring dengan berjalannya waktu
stasiun ini resmi ditutup pada tahun 1976 karena jalur kereta mulai sepi penumpang.
Beranjak meninggalkan bekas lokasi Stasiun Brangkal, perjalanan saya lanjutkan menuju
Secang. Setelah Stasiun Brangkal stasiun berikutnya adalah Stasiun Secang. Pada perjalanan kali
ini saya tidak mampir ke Stasiun Secang dikarenakan saya sudah pernah singgah distasiun ini
sebelumnya dan untuk mempersingkat waktu. Setelah melewati Secang perjalanan saya
lanjutkan menuju Desa Payaman untuk mencari keberadaan Stasiun Payaman.
Tidaklah sulit untuk mencari lokasi Stasiun Payaman. Letaknya tepat didekat Pasar
Payaman disebelah kiri jalan dari arah Ambarawa. Setelah melewati pasar kita akan menjumpai
gang kecil menuju perkampungan, dari gang tersebut masuk kurang lebih 50 meter maka kita
akan menjumpai bangunan stasiun yang berada disebelah kanan jalan. Diarea tersebut saya
masih banyak menjumpai bekas jalur kereta yang masih tampak utuh.
Kebetulan kedatangan saya waktu itu agak kurang tepat. Kala itu warga sekitar sedang
mengadakan acara jalan santai dan panggung dangdut tepat di depan bangunan Stasiun Payaman,
sehingga saya tidak bisa leluasa mengamati dan mengambil gambar di bangunan bekas stasiun.
Sambil menikmati musik dangdut yang kebetulan saat itu sedang menyanyikan lagu yang sedang
naik daun sakitnya tuh disini saya mencoba mencari celah untuk bisa mengambil gambar di
lokasi.
Ada hal unik yang saya temukan disini. Ada sebuah prasasti kecil di samping bangunan
stasiun yang bertuliskan H.W.P (Hoog Water Peil) 1930 yang berdasarkan referensi yang saya
cari memiliki arti sebagai batas ketinggian air saat terjadi banjir pada tahun 1930. Hal ini
menandakan bahwa stasiun ini pernah terendam banjir pada tahun 1930. Jika melihat kondisi
fisik bangunan Stasiun Payaman sebenarnya kondisinya masih bisa dikatakan terawat. Akan
tetapi sayang di bagian sisi lain bangunan stasiun kini telah ditutupi oleh bangunan baru milik
warga setempat. Di samping bangunan stasiun saya juga masih bisa menjumpai bangunan toilet
milik Stasiun Payaman akan tetapi dengan kondisi yang kurang terawat.
Stasiun Payaman mulai dibangun pada tahun 1905 oleh NIS yang melayani perjalanan
dari Ambarawa hingga Magelang dan sebaliknya. Stasiun ini berada di Desa Payaman
Kabupaten Magelang. Penutupan stasiun ini dilakukan pada tahun 1976 seperti stasiun yang
lainnya karena kalah bersaing dengan bus dan mobil pribadi.
Berlanjut meninggalkan lokasi Halte Magelang Kramat, saya segera beranjak menuju
Stasiun Magelang Kota atau akrab disebut Stasiun Kebonpolo. Cukup mudah mencari letak
stasiun ini. Sebelum masuk ke Kota Magelang kita akan menjumpai papan petunjuk menuju
Terminal Kebonpolo dan disitulah letak lokasi Stasiun Magelang Kota atau Stasiun Kebonpolo
berada. Komplek stasiun ini sekarang memang sudah dialih fungsikan sebagai terminal angkot di
Kota Magelang. Dilihat dari fisik bangunannya, Stasiun Kebonpolo sebenarnya tidak memiliki
ukuran yang terlalu besar akan tetapi pada zaman dulu stasiun ini memiliki fungsi yang cuku
besar mengingat lokasinya yang strategis.
Stasiun Kebonpolo terletak di Kelurahan Petrobangsan Kecamatan Magelang Utara.
Stasiun ini didirikan pada tahun 1905 dan resmi ditutup pada tahun 1976. Penutupan stasiun ini
juga diikuti penutupan stasiun lain yang sejalur. Dulu di lokasi stasiun ini terdapat sebuah
gerbong kayu berjenis CR sebagai monument kereta api di Kota Magelang, akan tetapi karena
kondisinya yang tidak terawatt dan rusak akhirnya pada tahun 2011 gerbong tersebut
dipindahkan ke museum kereta api Ambarawa. Komplek area Stasiun Kebonpolo memiliki area
yang cukup luas. Disini bekas rel jalur kereta api sudah sulit ditemui karena telah tertutup oleh
aspal jalan dan bangunan milik masyarakat.
bermotor serta padat akan bangunan toko-toko mempersulit pencarian saya di area tersebut.
Mungkin kali ini saya kurang beruntung.
Menurut info yang saya dapatkan dari rekan saya yang tinggal di Magelang, bangunan
Stasiun Pasar Magelang memang sudah tidak ada dan digantikan oleh taman yang ada disekitar
pasar. Stasiun Magelang Pasar didirikan pada tahun 1905 dan ditutup pada tahun 1976.
Dahulunya stasiun ini ramai oleh pedagang yang akan menjual hasil perkebunan dan
pertaniannya ke Pasar Rejowinangun.
Beranjak dari Pasar Rejowinangun, perjalanan saya lanjutkan mencari Stasiun Banyurejo.
Menurut info yang saya dapatkan letak stasiun ini berada di Jalan Mayor Jenderal Sugeng
Kelurahan Mertoyudan. Setelah lama mencari saya tidak bisa menemukan lokasi stasiun,
mungkin karena bangunannya sudah dibongkar tak bersisa. Akhirnya saya berlanjut ke stasiun
berikutnya yaitu Stasiun Mertoyudan. Kali ini saya beruntung karena masih bisa menjumpai
bangunnannya.
Lokasi Stasiun Mertoyudan sendiri sangat strategis karena terletak dipinggir jalan
Magelang - Muntilan. Bangunan stasiun masih nampak bagus dan terawat meskipun sudah tidak
terpakai. Sama dengan stasiun sebelumnya, stasiun ini didirikan pada tahun 1905 dan ditutup
pada tahun 1976. Diseberang jalan saya masih bisa melihat bekas bangunan rumah dinas kepala
stasiun yang masih kokoh berdiri di pinggir jalan. Bangunan Stasiun Mertoyudan sangat kontras
dengan bangunan yang ada disekitarnya yang rata-rata adalah bangunan baru. Disamping
bangunan stasiun saya juga masih bisa menjumpai sisa alat persinyalan kereta api yang lazim ada
di stasiun-stasiun. Jika dilihat dari foto Stasiun Mertoyudan zaman dulu, jalan raya yang ada
didepannya adalah bagian emplasemen stasiun.
Magelang. Hal ini cukup memudahkan saya untuk melakukan penelusuran. Akan tetapi saya
tidak bisa menemukan titik perpotongan jalur kereta dengan jalan raya karena sudah tidak
terdapat bekas rel kereta.
Sesuai dengan petunjuk yang saya miliki, Stasiun Blabak terletak tidak jauh dari pabrik
kertas Blabak. Dahulu distasiun ini terdapat jalur menuju pabrik kertas. Selain untuk mengangkut
penumpang, Stasiun Blabak juga digunakan untuk angkutan kertas pada masanya. Stasiun ini di
buka pada tahun 1905 dan resmi ditutup pada tahun 1976. Kini bangunan stasiun telah berubah
menjadi warung makan.
Disekitar area stasiun saya masih bisa menjumpai beberapa potongan besi rel kereta api.
Melihat kondisi fisiknya, bangunan Stasiun Blabak masih Nampak cukup terawat. Di titik ini
sebenarnya saya agak kesulitasn untuk mengambil gambar stasiun karena kondisi jalan raya yang
padat akan kendaraan sehingga saya harus berputar kesebrang jalan.
menemukan bekas rel kereta. Menurut saya bekas rel telah banyak yang hilang dan tertimbun
tanah.
Setibanya di bibir jembatan saya menyempatkan untuk beristirahat sejenak melepas lelah
sembari menikmati keindahan Sungai Pabelan. Disana saya juga berusaha mencari petunjuk yang
mungkin bisa menuntun saya ke bekas lokasi Stasiun Pabelan. Cukup beristirahat perjalanan
saya lanjutkan dengan melintasi jembatan bekas jalur kereta yang telah disemen tersebut. Cukup
menakutkan memang mengingat ketinggian jembatan yang cukup tinggi.
Bangunan Stasiun Pabelan menurut informasi yang saya peroleh dari teman saya
memang sudah tidak. Tiba diseberang jembatan saya mencoba mencari jejak bekas lokasi stasiun
dahulu berada. Lama mencari, akhirnya saya teta tidak berhasil menemukan bekas lokasi stasiun.
Akhirnya perjalanan saya lanjutkan kembali.
Beranjak dari Terminal Muntilan perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Muntilan
Kidul. Saya tidak berhasil menemukan bekas stasiun, karena menurut informasi yang ada
bangunan stasiun sudah dirubuhkan. Untuk letak bekas stasiun sendiri terletak di Jalan Pemuda.
Berlanjut, perjalanan saya lanjutkan di Desa Gulon Kecamatan Salam untuk mencari lokasi
Stasiun Dangean. Kali ini saya kembali kurang beruntung karena susah sekali mencari informasi
mengenai sisa stasiun ini. Akhirnya sayapun langsung bergegas menuju Desa Jumoyo untuk
mencari lokasi Stasiun Tegalsari.
Kali ini saya agak beruntung karena berhasil menemukan lokasi Stasiun Tegalsari.
Posisinya sendiri berada tepat di samping Jalan Magelang sebelum jembatan Kali Putih. Kondisi
stasiun sendiri masih cukup baik dan telah berubah fungsi menjadi warung makan. Dilokasi
bekas stasiun saya agak mengalami kesulitan karena kebetulan dijalan raya didepan bangunan
bekas stasiun terjadi kemacetan panjang sehingga saya tidak bisa mengambil gambar bangunan
stasiun.
berada didekat pertigaan Semen. Berhubung hari semakin siang, perjalanan saya lanjutkan
menuju Stasiun Tempel yang berada di Kabupaten Sleman. Stasiun ini terletak disamping kanan
jembatan Krasak atau perbatasan antara Jateng dan DIY.
Awalnya saya sangat kesulitan mencari lokasi stasiun ini, karena posisi saya berada di kiri
jalan sedangkan saya harus menyebrang jalan dengan kondisi lalu lintas yang sangat padat.
Akhirnya melalui informasi yang saya peroleh dari seorang nenek yang berada disana, saya
ditunjukkan jalan pintas menuju stasiun melalui terowongan yang berada di bawah jembatan.
Sebelum beranjak dari Tempel, saya menyempatkan diri untuk istirahat sejenak sambil
melepas lelah. Kebetulan didekat jembatan Kali Krasak ada penjual lotek yang lumayan enak
dengan harga terjangkau. Setelah puas mengisi perut perjalanan saya lanjutkan mencari Halte
Ngebong yang pada akhirnya saya juga tidak berhasil menemukan bekas halte ini.
Berpacu dengan teriknya matahari siang itu, saya segera tancap gas menuju stasiun
berikutnya yakni Stasiun Medari. Stasiun Medari menurut info yang saya dapatkan terletak di
dekat bekas pabrik Medari yang dulunya adalah bangunan Pabrik Gula Medari di Desa
Caturharjo. Cukup lama saya berkutat ditempat itu, namun yang saya temukan hanyalah tiang
listrik yang terbuat dari bekas besi rel kereta api. Dulu terdapat jalur kereta menuju ke pabrik
Medari saat masih menjadi pabrik gula. Kini bekas jalur kereta sudah sangat sulit ditemukan.
Dibagian samping halte terdapat sebuah bangunan gereja yang cukup besar yakni Gereja
Santo Aloysius. Menurut sejarah yang pernah saya baca, dahulu tujuan pembangunan Halte Mlati
adalah sebagai sarana bagi orang-orang Belanda yang hendak ingin pergi sembahyang ke gereja.
Bahkan menurut beberapa referenssi menyebutkan didalam bekas bangunan halte sekarang
masih terdapat tulisan ruang tunggu bagi penumpang kereta.
Perjalanan kembali saya lanjutkan mencari lokasi Halte Kutu. Halte ini terletak di Desa
Sinduaji Kecamatan Mlati Sleman atau tepatnya berada di depan gedung TVRI Jogja.
Sesampainya disana saya sama sekali sudah tidak bisa menemukan bekas halte karena telah
tergusur oleh pembangunan kota. Sayapun hanya bisa memperkirakan lokasi halte dimana
dulunya berdiri.
dimasanya karena distasiun tersebut terdapat beberapa percabangan jalur menuju kebeberapa
wilayah diantaranya adalah Solo, Kutoarjo, Magelang, Pundong via Ngabean, dan Sewugalur.
yang panjang serta sisa-sisa jalur peninggalan SJS di Kabupaten Grobogan ini lah yang menarik
saya untuk mencari tahu jejak keberadaan jalur tersebut.
Stasiun Kalioso
Stasiun Salem
Stasiun Sumberlawang
Selepas dari wilayah Sumberlawang perjalanan saya mulai memasuki wilayah Kabupaten
Grobogan. Kurang lebih 15 kilometer perjalanan, akhirnya saya tiba di wilayah Gundih. Disini
berdiri Stasiun Gundih yang ukurannya cukup besar. Disini pula terdapat titik percabangan jalur
kereta api menuju ke Semarang dan ke Kabupaten Grobogan. Di Stasiun Gundih ini dulunya
terdapat banguan dipo lokomotif yang ukuran lumayan besar. Akan tetapi sayang, bangunan dipo
tersebut sekarang sudah tidak terpakai dan kondisinya tak terawat, bahkan kesan angker pun
sangat kental terasa.
Stasiun Gundih adalah stasiun besar dimasanya. Hal ini bisa dilihat dari ukuran bangunan
stasiun dan fasilitas pendukung yang ada disana. Hal ini dikarenakan wilayah Gundih adalah
kawasan yang kaya akan hasil hutan seperti kayu. Di bagian barat stasiun, saya masih bisa
menjumpai bangunan rumah dinas kepala stasiun yang beberapa diantaranya masih dimanfaatkan
sebagai tempat tinggal dan bangunan menara air yang dulu digunakan untuk mensuplai air untuk
lokomotif-lokomotif yang singgah disana. Disebelah selatan bangunan stasiun terdapat sebuah
bangunan gudang yang sudah tidak terpakai dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Sementara itu dibagian emplasemen timur stasiun terparkir beberapa gerbong bekas berkarat
yang sudah lama tidak difungsikan.
Stasiun Gundih
Stasiun Ngrombo
Beranjak dari Stasiun Ngrombo perjalanan saya lanjutkan kearah Simpang Lima
Purwodadi. Selama diperjalanan menuju Simpang Lima, saya menemukan beberapa petunjuk
mengenai keberaadaan jalur kereta api. Menurut pengamatan saya percabangan jalur kereta dari
Stasiun Ngrombo berada di sebelah kiri jalan dan kemudian memotong jalan raya berpindah
kesebelah kanan jalan menuju Simpang Lima. Asumsi ini saya dasarkan pada bekas jalur rel
kereta api yang berpotongan dengan jalan raya yang saya temukan.
Disepanjang jalur tersebut saya masih menjumpai beberapa potongan besi rel kereta api
dan beberapa tiang listrik yang menggunakan besi bekas dari rel kereta. Beberaa patok milik PT.
KAI pun juga tertancap dilokasi tersebut. Terus berjalan mengikuti bekas jalur kereta, akhirnya
perjalanan saya tiba di lapangan Simpang Lima Purwodadi. Di tengah lapangan Simpang Lima
terdapat dua garis lurus sejajar yang terbuat dari semen mengarah kearah Pasar Purwodadi.
Menurut informasi yang saya peroleh, sepasang garis tersebut adalah bekas jalur kereta menuju
Stasiun Purwodadi yang memang sengaja dibuat sebagai penanda. Perjalananpun kemudian saya
lanjutkan mencari keberadaan Stasiun Purwodadi yang menurut informasi berada di area Pasar
Purwodadi.
Selama diperjalanan hanya sedikit sisa keberadaan jalur kereta api yang bisa saya
temukan. Beberapa jejak tersebut diantaranya adalah gundukan tanah bekas jalur kereta,
potongan-potongan rel besi, bantalan kayu rel kereta serta pondasi jembatan kereta. Jalur kereta
api dari Stasiun Purwodadi menuju Stasiun Godong terletak disebelah kanan jalan atau disisi
utara jalan raya.
Kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya saya tiba di daerah Godong. Disana saya
melihat sebuah bekas tiang sinyal kereta api tepat berdiri di depan dealer motor milik warga.
Sesampainya di Pasar Godong akhirnya saya berhasil menemukan bekas bangunan stasiun yang
kini dimanfaatkan sebagai kios buah. Bangunan asli Stasiun Godong hampir keseluruhannya
terbuat dari kayu. Jika kita tidak teliti, mungkin kita tidak akan menyadari jika bangunan kayu
yang berada tepat didepan Pasar Godong tersebut adalah bekas bangunan stasiun. Kondisi
emplasemen stasiun memang sudah sangat sulit dikenali karena banyaknya penambahan
bangunan baru. Dibagian belakang stasiun kini dimanfaatkan sebagai lahan parkir bus antar kota.
dulunya di area tersebut terdapat sebuah halte pemberhentian kereta karena terdapat dua
percabangan jalur kereta seperti yang lazim saya temui dibeberapa halte kereta di Magelang.
Didekat percabangan jalur tersebut terdapat sebuah rumah yang saya perkirakan adalah bekas
lokasi Halte Sambirejo.
jalan raya berpindah ke sebelah kiri jalan raya. Rel tersebut menembus pertokoan disekitar pasar
dan masuk ke perkampungan warga. Setelah saya ikuti ternyata rel tersebut mengarah ke Stasiun
Wirosari yang terletak tidak jauh dari pasar.
Bangunan Stasiun Wirosari saat ini digunakan sebagai toko bahan bangunan. Bangunan
asli stasiun yang didominasi oleh kayu masih bisa saya saksikan meskipun dibeberapa bagian
sudah mengalami perubahan. Stasiun ini didirikan oleh SJS atau Samarang-Joana Stoomtram
Maatschappij. Kemungkinan stasiun ini didirikan pada tahun 1894 seiring dengan dibukanya
jalur Purwodadi menuju Wirosari. Dahulu stasiun ini melayani perjalanan dari Purwodadi
menuju Blora. Distasiun ini pula terdapat percabangan jalur terhubung dengan jalur kereta milik
NIS di Kradenan. Seiring berjalannya waktu stasiun ini mulai sepi dan ditinggalkan masyarakat
hingga akhirnya ditutup pada tahun 1987.
masih dipertahankan. Mungkin sebagai penanda bahwa disana dulu terdapat jalur kereta.
Riuhnya suasana pasar membingungkan saya mencari lokasi stasiun. Saya sempat bertanya
kepada seorang kakek yang kebetulan melintas di samping pasar. Kakek tersebut mengatakan
bahwa bekas stasiun berada dipinggir jalan dekat pasar dan telah berubah menjadi warung
makan. Dengan penuh semangat saya segera tancap gas menuju kesana.
Tak berapa lama akhirnya saya berhasil menemukan bekas bangunan Stasiun Kunduran.
Bangunannya masih utuh hanya berubah fungsi sebagai warung makan mie ayam. Sebenarnya
saat itu sempat berniat untuk makan siang dilokasi bekas Stasiun Kunduran, akan tetapi saya
kurang beruntung warung tersebut saat itu tutup. Stasiun Kunduran dibangun oleh SJS pada
tahun 1894. Stasiun ini merupakan perpanjangan dari Grobogan menuju Kota Blora. Selain
untuk angkutan penumpang, dahulu stasiun ini juga digunakan sebagai sarana distribusi barang.
Sepinya jumlah penumpang membuat pemerintah menutup stasiun ini pada tahun 1987.
Pasar Ngawen memiliki ukuran yang lebih luas jika dibandingkan dengan Pasar Kunduran.
Disini sekali lagi saya menjumpai bekas tiang sinyal tepat berada di depan pasar.
Saya sempat kebingungan mencari lokasi Stasiun Ngawen karena asumsi saya letak
bangunan stasiun berada di pinggir jalan seperti beberapa stasiun sebelumnya. Kebingungan saya
berakhir setelah mendapat informasi dari seorang tukang parkir yang memberi informasi kepada
saya bahwa lokasi Stasiun Ngawen berada masuk di dalam gang yang ada di depan terminal.
Sayapun mengikuti petunjuk dari tukang parkir tersebut dengan masuk kesebuah gang yang ada
didepan terminal. Ternyata gang tersebut menuju kesebuah perkampungan warga yang berada
dibelakang pasar. Terus berjalan akhirnya saya tiba dipertigaan jalan yang kebetulan saat itu ada
beberapa anak kecil yang sedang bermain bola. Tak disangka ternyata bekas bangunan stasiun
tepat berdiri disamping kiri saya.
kayu berdiri kokoh di tengah kota tepat di depan pusat oleh-oleh khas Blora. Ternyata itu adalah
bekas bangunan Stasiun Blora.
Bangunan Stasiun Blora menurut saya hampir menyerupai bentuk bangunan Stasiun
Godong. Bangunan tersebut hampir 100 persen masih asli. Konstruksi bangunan yang terbuat
dari kayu dan berarsitek Belanda sangat kontras dengan bangunan sekitar yang bergaya modern.
Bangunan stasiun kini dijadikan kios pertokoan. Meskipun bangunan telah dialihfungsikan
sebagai kios, namun hal itu tidak merubah bentuk asli bangunan stasiun. Berbeda dengan Stasiun
Godong yang bangunan aslinya telah dirubah oleh masyarakat akibat dialihfungsikan.
motor, tanpa sadar ternyata saya telah melewati lokasi stasiun. Saya sempat bertanya kepada
seorang kakek di pinggir jalan yang sangat ramah menunjukkan letak Stasiun Jepon kepada saya.
Ternyata saya telah melewatkan lokasi stasiun sejauh 1 kilometer. Kakek tersebut menjelaskan
bahwa bangunan Stasiun Jepon berdiri persis di depan kantor polisi Jepon. Berbekal informasi
dari kakek tersebut sayapun segera tancap gas berputar arah menuju lokasi Stasiun Jepon berada.
Sesampainya di depan kantor polisi Jepon yang saya lihat hanyalah barisan pertokoan.
Ternyata disana ada sebuah barisan komplek toko yang didepannya tertancap plang milik PT.
KAI. Setelah saya amati ternyata bangunan toko itulah bekas bangunan Stasiun Jepon. Bentuk
bangunan stasiun mirip dengan bangunan Stasiun Ngawen dan Stasiun Kunduran, hanya saja
bangunan stasiun sudah sangat berubah sehingga agak sulit untuk mengenalinya.
Sayapun mencoba melihat sisi belakang bangunan stasiun yang ternyata tepat berada di
pinggir sungai. Bangunaan dinding stasiun dibeberapa titik sudah dimodifikasi seperti
menghilangkan jendela dan pintu stasiun. Bekas emplasemen stasiunpun sekarang sudah tertutup
tanah. Tak ada bekas rel yang terlihat di sekitar bekas bangunan stasiun.
Rembang di tutup oleh pemerintah karena jumlah penumpang yang menurun. Penutupan jalur
kereta api disepanjang rute Godong Purwodadi hingga Jepon Blora sebenarnya disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya adalah: letak jalur kereta yang berada dipinggir jalan raya sehingga
sering menimbulkan kecelakaan, laju kereta api yang dianggap lambat karena masih
menggunakan kereta uap dan kereta lokomotif jenis D300 atau D301 yang saat ini hanya
digunakan untuk langsiran, dan penumpang yang beralih ke moda transportasi lain sehingga
jumlah penumpang yang menurun drastis.
Kota Cepu dimana disana juga terdapat banyak peninggalan kereta api milik Samarang Joana
Stoomtram.
_______________________________________________
artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
_______________________________________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com /
INSTA: @primautama
Pada tahun 1984, jalur kereta api Madiun-Ponorogo resmi ditutup karena kalah bersaing dengan
moda transportasi lain. Kini sisa-sisa jalur yang menghubungkan dua kota tersebut masih bisa
kita temukan meskipun jumlahnya tinggal sedikit. Sisa-sisa rel besi yang dulunya menjadi
pijakan kereta api dibeberapa titik masih terlihat jelas dan kokoh seolah-olah menanti untuk
dilewati kereta api kembali.
Saya memperhatikan disebelah kanan dan kiri jalan tampak ada gundukan-gundukan tanah yang
menurut saya berbentuk tak lazim terbentang menuju perkebunan milik warga yang
dimanfaatkan warga sebagai jalan menuju ke ladang. Hipotesis saya itu adalah bekas decauville.
Tak berapa lama hipotesis saya ternyata benar, disekitar area tersebut saya menjumpai
banyak decauville yang berpotongan dengan jalan raya. Bahkan dibeberapa titik saya masih bisa
menjumpai sisa-sisa besi yang masih utuh tersamarkan oleh tanah. Ini adalah sesuatu yang
langka bagi saya, hal semacam ini sudah tidak bisa saya temui lagi di tempat asal saya di
Kabupaten Sragen yang notabene juga terdapat sebuah Pabrik Gula (PG) atau Suiker Fabriek
dimana semua decauville sudah hilang tergusur oleh pembangunan kota.
Sebagai informasi, decauville adalah jalur kereta lori pengangkut tebu yang biasa dimiliki
oleh pabrik gula. Decauville memiliki gauge yang lebih kecil jika dibandingkan dengan gauge
pada kereta api. Saat ini sudah jarang bisa kita temukan jalur decauville yang masih aktif. Seiring
berkembangnya zaman, pabrik gula lebih memilih menggunakan truk untuk mengangkut tebunya
ke pabrik karena dianggap lebih murah dan efisien.
pukul setengah sembilan saya mulai memasuki Kota Madiun. Tujuan pertama saya adalah
mencari Stasiun Madiun yang merupakan titik awal jalur dari Madiun menuju Ponorogo.
Ini adalah pertama kali bagi saya blusukan ke Kota Madiun, meskipun sebelumnya saya
juga pernah berkunjung ke kota ini. Sesampainya di Stasiun Madiun, saya menyempatkan diri
untuk melihat pabrik kereta api atau PT. INKA yang berdiri diseberang stasiun meskipun hanya
dari luarnya saja. Menurut sebuah artikel, PT. INKA adalah satu-satunya pabrik kereta api yang
ada di Asia Tenggara. Selain memproduksi kereta api untuk kebutuhan dalam negeri, perusahaan
ini juga telah mengekspor kereta api kebeberapa negara di Asia. Sungguh sangat membanggakan.
mulai banyaknya moda transportasi lain berbasis jalan raya. Selain itu, prasarana kereta api yang
sudah tua juga menjadi alasan ditutupnya jalur ini. Akhirnya pada tahun 1984 stasiun ini resmi
ditutup. Kini bangunan stasiun nampak sepi tak berpenghuni. Kondisi bangunan stasiun pun
masih bisa dikatakan bagus dengan warna cat yang beraneka ragam. Disekitar stasiun saya
sudah tidak bisa menemukan bekas rel kereta api. Mungkin bekas rel sudah dicabuti warga untuk
dijadikan pagar seperti yang saya lihat di depan pabrik gula. Dari Stasiun Kanigoro perkiraan
saya jalur kereta melintas di tengah kebun dan persawahan milik warga menuju ke arah
Ponorogo.
Sebenarnya sebelum sampai di Stasiun Kanigoro saya sempat tersesat hingga daerah
Kertosari. Disana saya menemukan banyak bekas jalur kereta api tepat berdiri sejajar di samping
jalan raya Madiun-Ponorogo. Mungkin jika ditarik sebuah garis, bekas rel di Kertosari akan
terhubung dengan Stasiun Kanigoro yang ada di sebelah utara.
Beranjak dari Stasiun Kanigoro, perjalanan saya lanjutkan menuju PG Pagotan untuk
mencari lokasi Stasiun Pagotan. Niat hati ingin mencari jalan pintas, apa daya saya justru malah
tersesat. Beberapa kali saya harus bertanya kepada orang dipingir jalan untuk menunjukkan arah
menuju Pagotan. Dengan petunjuk dari orang yang saya tanyai di pinggir jalan, akhirnya saya
menuju Pagotan via Dagangan. Sebenarnya bekas jalur rel menuju Pagotan berada di wilayah
Kertosari, akan tetapi dari pada harus memutar balik dan pertimbangan efisiensi waktu akhirnya
saya putuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan via Dagangan. Kurang lebih 30 menit
perjalanan akhirnya saya sampai di Pasar Pagotan yang berada tepat disamping PG Pagotan.
Disekitar pasar saya tidak menjumpai bangunan yang mirip dengan bangunan stasiun. Hanya
bangunan ruko modern yang berjejer menghiasi pasar. Akhirnya saya mencoba masuk kesebuah
gang di belakang pabrik gula yang cukup sepi. Dikiri jalan secara tak sengaja saya menemukan
bangunan Stasiun Pagotan yang tampak kumuh tapi masih utuh berdiri. Bangunan tampak tak
terawat dengan ditutupi seng.
Stasiun Pagotan memiliki fungsi yang sama seperti Stasiun Kanigoro. Selain melayani
penumpang, dulu stasiun ini juga melayani angkutan gula dari PG Pagotan. Stasiun ini didirikan
pada tahun 1922 pada ketinggian 84 meter. Senasib dengan Stasiun Kanigoro, pada tahun 1984
stasiun harus ditutup karena sepinya penumpang yang mulai beralih ke moda transortasi lain.
bisa saya temui disini. Bahkan di bagian bekas emplasemen stasiun pun sudah tidak tampak
bekas rel kereta api. Kini bangunan stasiun digunakan warga sebagai tempat menyimpan jahe.
Setelah hujan cukup reda, perjalanan saya lanjutkan. Kali ini tujuan saya yang terakhir
adalah menuju kawasan Badegan Sumaroto. Menurut peta Kota Ponorogo buatan Belanda yang
saya miliki, dulu terdapat sebuah jalur percabangan dari Ponorogo menuju Badegan. Menurut
refensi dijalur tersebut terdapat beberapa halte dan stasiun, diantaranya adalah: Badegan
Kapuran Srandil Sumoroto Karanglo. Kebetulan jalur ini searah dengan jalan pulang saya
via Purwantoro Wonogiri.
Setibanya di Badegan, saya sama sekali tidak menemukan jejak peninggalan kereta api
disana. Bahkan patok milik PT. KAI satupun tidak saya jumpai. Bekas bangunan seperti pondasi
jembatan kereta api juga tidak saya temukan. Menurut informasi yang saya peroleh, jalur kereta
api dari Ponorogo hingga Badegan dulu dibongkar oleh Jepang saat menjajah Indonesia. Entah
dipindah kemana rel-rel tersebut saya juga belum menemukan referensi yang jelas. Tapi menurut
sebuah artikel yang saya baca, Bekas lokasi Stasiun Badegan terletak di komplek Pasar Badegan,
akan tetapi bangunan stasiun sudah tidak bersisa sama sekali.
Karena tak satupun jejak kereta yang saya temukan di Badegan, sayapun lanjut
meneruskan perjalanan pulang menuju Solo via Wonogiri. Sesampainya di Wonogiri sebenarnya
ada rencana untuk mampir ke Stasiun Wonogiri untuk melihat persiapan reaktivasi jalur SoloWonogiri yang rencananya akan di lewati railbus Batara Kresna. Akan tetapi saya kurang
beruntung, sesampainya di Wonogiri saya disambut dengan hujan yang amat deras hingga Solo.
Terpaksa rencana tersebut urung saya lakukan.
Tepat pukul setengah lima sore akhirnya saya tiba di Solo dengan kondisi basah kuyup.
Jika kembali mengingat bekas jejak jalur kereta api dari Madiun hingga Ponorogo, saya rasa
akan sulit untuk menghidupkan kembali jalur tersebut meskipun hal itu bisa saja dilakukan. Hal
ini saya dasarkan pada kondisi jalur yang berada di tengah kota dan banyak bersinggungan
dengan jalan raya. Akan tetapi saya secara pribadi juga berharap suatu saat jalur tersebut bisa
dihidupkan kembali sebagai sarana transportasi alternatif bagi warga Madiun dan Ponorogo.
_________________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
_________________________
yang masih petang. Setelah melaksanakan sholat subuh sayapun mengisi waktu senggang saya
dengan tidur diemperan terminal.
Setelah hari mulai terang sayapun pergi menuju Boton dengan menaiki angkutan kota.
Sudah lama tidak menyambangi Kota Magelang membuat perjalanan saya menuju Boton dengan
menggunakan angkot bak city tour. Bagaimana tidak, jalur angkot yang cukup panjang menuju
Boton serta indahnya pemandangan Kota Magelang yang di kelilingi perbukitan serta bangunanbangunan tua yang menghiasi kotamembuat saya betah berada didalam angkot. Ditambah lagi
dengan keramahan penumpang didalam angkot yang membuat saya seolah-olah berada di kota
sendiri.
Akhirnya tiba juga saya di Boton.Suasana dititik kumpul terlihat belum begitu
ramai.Hanya beberapa peserta saja yang tampak sudah hadir. Setelah melakukan registrasi saya
sempatkan untuk bercakap-cakap dengan peserta lain yang berasal dari beberapa kota sembari
menunggu waktu pemberangkatan menuju Bedono. Waktu telah menunjukkan pukul setengah
delapan pagi.Pemberangkatan menuju Bedono pun semakin dekat.Tahun ini jumlah peserta
mencapai seratusan orang, lebih banyak dari tahun kemarin yang hanya mencapai 75-an orang.
Setelah mendapatkan pengarahan dari panitia dan doa bersama, kami pun berangkat
menuju Stasiun Bedono yang terletak di Kabupaten Semarang dengan menggunakan angkot
yang telah disediakan oleh panitia. Kurang lebih ada 10 angkot yang telah disediakan panitia
untuk mengangkut peserta.
bangunan stasiun. Akan tetapi pada dekade 70-an bangunan rumah dinas dihancurkan oleh
oknum yang kini hanya menyisakan pondasinya saja. Sementara untuk bangunan rumah dinas
lainnya dirubuhkan dan dirubah menjadi sekolah yang berada tak jauh dari Stasiun Bedono.
Satu-satunya bangunan rumah dinas stasiun yang masih utuh kini dimanfaatkan sebagai kantor
sekolah.
Diemplasemen Stasiun Bedono, saya sempat berdiskusi dengan kepala stasiun mengenai
beberapa stopplast dan halte yang pernah berdiri di petak Ambarawa Bedono. Menurut
keterangan beliau, beberapa stopplast memang pernah berdiri di petak tersebut, namun hal
tersebut pada masanya hanya digunakan sebagai penanda pembangunan jalur tersebut yang
dilakukan secara bertahap.Sempat juga saya menunjukkan foto lawas Halte Jambu dimana beliau
menceritakan bahwa foto yang saya miliki tersebut adalah masa dimana Halte Jambu belum
digunakan untuk angkutan penumpang dan barang.
Stasiun Bedono
jalur kereta bergerigi telah vakum selama kurang lebih empat tahun.Beberapa alasan menjadi
penyebab kereta tidak melintas dijalur tersebut.
bekal masing-masing, panitia juga sempat menjelaskan beberapa sejarah penting yang pernah
terjadi di jalur yang kami lewati tersebut.Waktu semakin siang, kamipun bergegas untuk
melanjutkan perjalanan kembali menuju Halte Jambu.
Disepanjang perjalanan menuju Jambu, perjalanan kami dihiasi oleh ladang persawahan
yang luas dengan latar belakang pegunungan yang sangat indah.Hembusan angin yang semilir
menjadi bonus tersendiri dalam perjalanan kami. Setibanya di wilayah Jambu kami mulai
melintasi jembatan-jembatan kereta api yang melintas di atas sungai. Kamipun harus berhati-hati
dan waspada karena jembatan tersebut memiliki ketinggian yang cukup tinggi.Setelah lelah
melangkah, akhirnya Halte Jambu sudah nampak dari kejauhan.Semangat kamipun kembali
memuncak tak sabar ingin segera menyambangi dan beristirahat di Halte Jambu.
Setibanya di Halte Jambu peserta dimanjakan dengan pemandangan yang luar biasa indah
di sekitar bangunan halte. Disini peserta dibagikan buah semangka segar sebagai penghilang
dahaga yang telah disediakan oleh panitia. Halte Jambu pada masanya digunakan sebagai tempat
naik turun penumpang.Selain itu halte ini juga menjadi tempat untuk mengubah posisi lokomotif
yang hendak menuju Bedono dengan posisi mendorong gerbong.Di daerah Jambu pula jalur rel
bergerigi berakhir.
Saat beristirahat melepas lelah saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang
petugas dari PT. KAI mengenai Halte Jambu.Beliau menjelaskan bahwa bangunan Halte Jambu
masih asli, yang dibuat pada masa pendudukan Belanda meskipun telah mengalami beberapa
perubahan.Hal ini diluar prediksi saya karena saya sempat berpikir bahwa bangunan halte adalah
bangunan baru yang dibuat pada masa DKA. Disekitar lokasi bangunan halte saya masih
menjumpai rumah dinas yang masih berdiri. Bahkan rumah dinas tersebut masih dimanfaatkan
sebagai tempat tinggal dan kondisinya masih terawat dengan baik. Setelah cukup melepas lelah,
rombonganpun kembali melanjutkan perjalanan menuju pemberhentian terakhir di Stasiun
Ambarawa.
beberapa bekas bangunan halte kereta dari beberapa tempat termasuk halte disepanjang SoloWonogiri yang akan dipindah ke Museum Ambarawa serta taman sinyal dan beberapa koleksi
pendukung lainnya.
Diharapkan proses revitalisasi Museum Kereta Api Ambarawa akan selesai seratus persen
pada bulan Mei tahun 2016yang bertepatan dengan ulang tahun Stasiun Ambarawa. Melihat
sejarah Stasiun Ambarawa, pendirian stasiun ini diprakarsai oleh raja Belanda kala itu yang
bernama Raja Willem I pada tahun 1873.Stasiun tersebut merupakan perpanjangan jalur dari
Kedungjati dengan tujuan utama pembangunannya adalah untuk kepentingan militer, karena
pada zaman dahulu Ambarawa adalah salah satu wilayah basis militer Hindia Belanda. Stasiun
inipun dahulu terkenal dengan nama Stasiun Willem I, sesuai dengan nama pemrakarsanya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Stasiun Ambarawa pun ditutup oleh pemerintah pada tahun
1976 karena sepinya jumlah penumpang.Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 1976 Stasiun
Ambarawa resmi dialihfungsikan sebagai museum kereta api oleh pemerintah.
Selain berdiskusi mengenai pengembangan komplek Museum Kereta Api Ambarawa,
saya juga sempat menanyakan rencana reaktivasi jalur kereta api dari Ambarawa menuju
Magelang. Beliau menjelaskan bahwa rencana tersebut sebenarnya sudah dibuat oleh PT. KAI
dan rencananya pembangunan jalur kereta api menuju Magelang akan selesai pada tahun 2020.
Tetapi beliau juga menerangkan bahwa kemungkinan rencana tersebut akan molor seperti
rencana reaktivasi jalur kereta api di wilayah Semarang Demak Kudus dan Kedungjati
Tuntang yang terkendala masalah Amdal.
Banyak pelajaran dan informasi berharga yang saya ambil dari diskusi ini.Meskipun
rencana reaktivasi jalur kereta api di beberapa wilayah banyak yang akan mengalami
keterlambatan, tapi beliau menjelaskan bahwa untuk wilayah di Jawa Tengah menjadi salah satu
prioritas utama dalam rencana reaktivasi jalur kereta api. Harapan saya semoga rencana tersebut
bisa terlaksana dengan baik dan tepat waktu, sehingga banyak masyarakat di berbagai daerah
yang bisa menikmati layanan kereta api.
Ambarawa sebagai lokasi museum kereta api di Indonesia. Tepat pada tanggal 6 Oktober 1976
Stasiun Ambarawa resmi berubah menjadi Museum Kereta Api Ambarawa. Dan kini Museum
Ambarawa melayani perjalanan kereta wisata ke Stasiun Tuntang dan Stasiun Bedono.
bangunan, kadang hanya berupa tempat berkumpul untuk naik dan turun penumpang kereta yang
diberi plang penanda. Selama blusukan yang pernah saya lakukan, banyak sekali bangunan halte
yang pernah saya temui dan rata-rata kondisinya kurang terawat. Sebagai contoh halte
disepanjang jalur Solo-Wonogiri.
menjaga warisan cagar budaya yang menjadi bagian besar dari sejarah perjalanan bangsa
Indonesia.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama dua jam, tak terasa perjalanan saya
sudah tiba di Kota Bengawan. Semoga dilain kesempatan saya bisa berkesempatan kembali
melakukan blusukan ditempat lain dengan cerita dan sejarah yang berbeda. Semoga.
___________________________________________________
Developed by: blusukanpabrikgula.blogspot.com
___________________________________________________
PRIMA UTAMA / 2015 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com /
INSTA: @primautama
Lokomotif Uap
Lokomotif uap adalah kendaraan rel yang dapat bergerak sendiri dengan penggerak mesin uap
yang dihasilkan dari ketel uap yang dipanaskan dengan kayu bakar, batu bara atau minyak bakar.
Lokomotif uap pertama di Indonesia mulai beroperasi pada tahun 1867 seiring dengan
pembukaan jalur kereta api yang pertama dari stasiun Samarang ke Tanggung sepanjang 26 km.
Lokomotif uap tersebut bernomor seri NIS 1 dan NIS 2 buatan pabrik Borsig di Jerman.
Selanjutnya berbagai jenis lokomotif mulai didatangkan dari Eropa dan Amerika. Lokomotiflokomotif tersebut memiliki daya sampai 1850 HP (horse power), misalnya lokomotif uap
terbesar di Indonesia yaitu DD52. Mulai tahun 1953, lokomotif diesel mulai datang dan
selanjutnya menggantikan lokomotif uap. Baru sekitar tahun 1980, lokomotif uap tidak
dioperasionalkan lagi kecuali untuk kereta wisata
Lokomotif B12
Lokomotif B13
Jalan rel rute Yogyakarta Maos Cilacap (176 km) dibangun oleh perusahaan kereta...
Lokomotif B16
Pada masa pemerintah Hindia Belanda, kota Pasuruan dan kota Probolinggo merupakan sentra...
Lokomotif B17
Pemerintah Hindia Belanda benar-benar serius dalam merencanakan tata kota Malang dan...
Lokomotif B20
Lokomotif B22
Selain kaya dengan sumber daya alam, seperti kayu jati, kawasan pantai utara Jawa Tengah...
Lokomotif B23
Lokomotif B25
Lokomotif B25 buatan pabrik Esslingen (Jerman) mulai dioperasionalkan pada tahun 1902....
Lokomotif B27
Industrialisasi di kota Semarang, yang telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-19,...
Lokomotif B50
Pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan kereta api Staats Spoorwegen (SS) memulai...
Lokomotif B51
Lokomotif B52
Lokomotif BB10
Lokomotif uap BB10 merupakan generasi pertama dari lokomotif tipe Mallet yang beroperasi...
Lokomotif BB84
Kereta api di Aceh berperan membuka keterpencilan Aceh dengan menghubungkan wilayah ini...
Lokomotif C12
Lokomotif C14
Kegiatan tanam paksa yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Johanes van Den Bosch di...
Lokomotif C15
Pada tahun 1875 1897, perusahaan kereta api Staatsspoorwegen (SS) mulai membangun...
Lokomotif C16
Untuk memperkuat kekuatan militer dan ekonomi, pemerintah Hindia Belanda menjadikan
kota...
Lokomotif C17
Lokomotif uap C17 didatangkan oleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische...
Lokomotif C18
Lokomotif C19
Selain mengoperasikan tram untuk sarana transportasi di kota Semarang, perusahaan kereta...
Lokomotif C20
Lokomotif uap C20 didatangkan oleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische...
Lokomotif C21
Pemerintah Hindia Belanda memberikan konsesi kepada perusahaan kereta api swasta...
Lokomotif C23
Pada tahun 1893, pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan rencana induk pengembangan...
Lokomotif C24
Sejak awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda banyak membuka perkebunan-perkebunan
di...
Lokomotif C25
Pemerintah Hindia Belanda memberikan konsesi kepada perusahaan kereta api swasta...
Lokomotif C26
Kota Kediri bagian timur dan kota Kediri bagian barat dipisahkan oleh sungai Brantas....
Lokomotif C27
Untuk memenuhi kebutuhan angkutan penumpang dan barang di jalur kereta api yang lurus
dan...
Lokomotif C28
Lokomotif C29
Lokomotif C30
Semakin meningkatnya volume angkutan barang dan penumpang di jalur kereta api rute...
Lokomotif C33
Pemerintah Hindia Belanda membangun jalan rel di Sumatra Barat karena terdapat tambang...
Lokomotif C51
Dengan selesainya pembangunan jalur kereta api rute Gundih Gambringan Cepu ...
Lokomotif C53
Lokomotif uap C53 dibeli sejumlah 20 buah oleh perusahaan kereta api Staats Spoorwegen...
Lokomotif C54
Untuk menguasai jalur kereta api di wilayah Jawa Barat bagian utara, perusahaan kereta...
Lokomotif CC50
Lokomotif uap CC50 merupakan lokomotif tipe Mallet generasi ke enam yang beroperasi di...
Lokomotif D10
Lokomotif uap D10 didatangkan oleh perusahaan kereta api swasta Serajoedal Stoomtram...
Lokomotif D11
Kota Malang ditetapkan sebagai Kota (gemeente) oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun...
Lokomotif D14
Lokomotif uap seri D14 merupakan lokomotif uap yang didatangkan oleh Staats Spoorwegen...
Lokomotif D15
Untuk memenuhi kebutuhan sarana transportasi dalam kota, maka pada tahun 1881,
perusahaan...
Lokomotif D50
Semakin meningkatnya volume barang dan penumpang yang akan diangkut di jalur kereta api...
Lokomotif D51
Pada awalnya, lokomotif D51 dipesan oleh Pemerintah Turki sejumlah 10 buah dari pabrik...
Lokomotif D52
Lokomtif Seri D52 adalah lokomotif uap multifungsi yang dioperasikan oleh Djawatan Kereta...
Lokomotif E10
Dibangunnya jalur kereta api di Sumatra Barat tak lepas dari ditemukannya batu bara di...
Lokomotif F10
Semakin meningkatnya volume angkutan barang di wilayah Jawa Barat maka perusahaan
kereta...
Lokomotif TC10
Perusahaan kereta api Staats Spoorwegen (SS) mulai mengoperasionalkan jalan rel dengan...
Lokomotif TD10
Lokomotif DSM 22
Pembangunan jalan rel di Sumatra Utara datang dari usulan JT Cremer yakni seorang manajer...
Lokomotif DSM 28
Memasuki tahun 1870-an, komoditas perkebunan di Sumatra Utara tidak lagi terfokus pada...
Lokomotif DSM 38
Pada awalnya, tujuan utama pembangunan jalan rel di Sumatra Timur adalah untuk
mengangkut...
Lokomotif DSM 48
Lokomotif DSM 55
Perusahaan kereta api Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) merupakan perusahaan kereta api...
Setelah berhasil membangun jalan rel rute Semarang Tanggung Kedung Jati ...
Pembangunan jalur-jalur kereta api di Jawa Barat bagian utara, dimaksudkan untuk...