Anda di halaman 1dari 248

SEJARAH PERKERETAAPIAN

INDONESIA

Sejarah perkeretaapian di Indonesia diawali dengan pencangkulan pertama pembangunan jala


kereta api di Semarang, Jumat tanggal 17 Juni 1864, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
LAJ Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh Naamlooze Venootschap
Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV NISM) yang dipimpin oleh JP de Bordes
dari Samarang menuju desa Tanggung (26 kilometer) dengan lebar sepur 1435 milimeter. Ruas
jalan ini dibuka untuk angkutan umum hari Sabtu, 10 Agustus 1867.
Perkeretaapian di Indonesia adalah negara kedua di Asia (setelah India) yang mempunyai
jaringan kereta api tertua. Cina dan Jepang baru menyusul kemudian. Setelah Tanam Paksa
(1830-1850), hasil pertanian di Jawa tidak lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan sendiri tapi
juga untuk pasar internasional. Karena itu diperlukan sarana transportasi untuk mengangkut hasil
pertanian dari pedalaman ke kota-kota pelabuhan. Yang ada waktu itu hanya Jalan Raya Pos yang
dirasa sudah tidak memadai lagi, sehingga muncul gagasan untuk membangun jalan kereta api.
Namun, tidak semua orang setuju dengan rencana itu. Ada sebagian pihak yang berpendapat
volume produk masih terlalu sedikit, sehingga tidak efisien apabila diangkut dengan kereta api,
sementara jumlah penumpang, kalaupun ada, diperkirakan akan sangat sedikit. Di masa itu orang
Jawa dianggap sebagai bangsa yang tidak suka bepergian jauh, sedangkan orang Eropa yang
diharapkan paling-paling hanyalah para pegawai negeri.
Muncul pula perdebatan tentang peran yang sebaiknya dimainkan pemerintah dalam
pengembangan perkeretaapian di Hindia Belanda. Pihak yang menentang keterlibatan langsung
pemerintah berpendapat, bahwa dana untuk membangun jalan rel sebaiknya dipakai untuk halhal yang lebih penting dan mendesak, sebaiknya mereka yang menentang keterlibatan swasta
merasa, bahwa jalan kereta api mempunyai nilai strategis, sehingga resikonya terlalu besar
apabila diserahkan pada swasta. Perdebatan bahkan muncul tentang tenaga penggerak. Menteri
Urusan Jajahan JC Baud, misalnya, mengusulkan pembangunan jalan rel dengan kerbau atau
kuda sebagai penarik kereta.

Baru pada tahun 1862 disetujui rencana pembangunan jalan kereta api pertama di Jawa, yaitu
jalur Semarang-Vorstelanden (daerah Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta yang ketika itu
merupakan daerah pertanian paling produktif, tapi sekaligus juga paling sulit dijangkau), dan
jalur antara Batavia (Jakarta) Buitenzorg (Bogor), tempat kedudukan pemerintah Hindia
Belanda dan daerah penghasil teh dan kopi.
Kedua jalur ini dibangun dari sebuah perusahaan swasta, yaitu Nederlandsch Indische
Spoorweg Maatschappj (NIS). Setelah diadakan berbagai persiapan termasuk bentuk konsesi
yang akan diberikan, maka pada hari Jumat tanggal 7 Juni 1864 di Kota Semarang
diselenggarakan upacara sebagai tanda pekerjaan pemasangan jalan rel dimulai. Sebagai puncak
upacara ditandai pencangkulan tanah pertama yang dilakukan oleh JAJ Baron Sloet van den
Beele (Subarkah, 1987, halaman 3). Berbagai masalah mewarnai pembangunan jalan rel ini, baik
yang berupa hambatan kondisi alam yang sulit maupun masalah keuangan, silih berganti muncul.
Meski demikian pada 10 Agustus 1867 jalan kereta api pertama di Indonesia bisa diresmikan,
yaitu dari Samarang sampai ke Tangoeng (sekarang Tanggung, Kabupaten Grobogan) sejauh
sekitar 25 kilometer. Tapi bukan berarti kesulitan telah bisa diatasi. Bahkan tidak lama kemudian
pekerjaan terpaksa dihentikan, karena Algemene Maatschappj voor Handel en Nijverheld
Amsetrdam, pemegang saham utama NIS, mengalami kesulitan keuangan dan nyaris bangkrut.
Pembangunan baru bisa dilanjutkan lagi setelah pemerintah turun tangan memberikan pinjaman
lunak.
Stasiun pertama NIS di Semarang berada di Tambaksasi (Kemijen), bernama Stasiun Samarang
di dekat Pelabuhan Semarang. Stasiun Tambaksari ini adalah stasiun ujung, atau dalam bahasa
Belanda disebut kopstation. Tahun 1914 stasiun Tambaksari dibongkar untuk memungkinkan
pembangunan jalan rel ke stasiun NIS yang baru di Tawang. Sebagian bangunan stasiun
Tambaksari masih dipakai untuk gudang, sehingga kemudian dikenal sebagai stasiun Semarang
Gudang.
Kedua jalur ini dibangun dari sebuah perusahaan swasta, yaitu Nederlandsch Indische
Spoorweg Maatschappj (NIS). Setelah diadakan berbagai persiapan termasuk bentuk konsesi
yang akan diberikan, maka pada hari Jumat tanggal 7 Juni 1864 di Kota Semarang
diselenggarakan upacara sebagai tanda pekerjaan pemasangan jalan rel dimulai. Sebagai puncak
upacara ditandai pencangkulan tanah pertama yang dilakukan oleh JAJ Baron Sloet van den
Beele (Subarkah, 1987, halaman 3). Berbagai masalah mewarnai pembangunan jalan rel ini, baik
yang berupa hambatan kondisi alam yang sulit maupun masalah keuangan, silih berganti muncul.
Meski demikian pada 10 Agustus 1867 jalan kereta api pertama di Indonesia bisa diresmikan,
yaitu dari Samarang sampai ke Tangoeng (sekarang Tanggung, Kabupaten Grobogan) sejauh
sekitar 25 kilometer. Tapi bukan berarti kesulitan telah bisa diatasi. Bahkan tidak lama kemudian
pekerjaan terpaksa dihentikan, karena Algemene Maatschappj voor Handel en Nijverheld
Amsetrdam, pemegang saham utama NIS, mengalami kesulitan keuangan dan nyaris bangkrut.
Pembangunan baru bisa dilanjutkan lagi setelah pemerintah turun tangan memberikan pinjaman
lunak.
Stasiun pertama NIS di Semarang berada di Tambaksasi (Kemijen), bernama Stasiun Samarang
di dekat Pelabuhan Semarang. Stasiun Tambaksari ini adalah stasiun ujung, atau dalam bahasa

Belanda disebut kopstation. Tahun 1914 stasiun Tambaksari dibongkar untuk memungkinkan
pembangunan jalan rel ke stasiun NIS yang baru di Tawang. Sebagian bangunan stasiun
Tambaksari masih dipakai untuk gudang, sehingga kemudian dikenal sebagai stasiun Semarang
Gudang.
Dengan berbagai masalah yang timbul, akhirnya pada 10 Februari 1870 selesailah jalur sampai
ke Solo, setahun kemudian pembangunan jalan rel telah sampai ke Yogyakarta. Akhirnya, pada
21 Mei 1873 jalur Semarang-Surakarta-Yogyakarta, termasuk cabang Kedungjati-Willem I
(Ambarawa) diresmikan pemakainnya. Pada tahun itu selesai pula alur Batavia-Buitenzorg.
Melihat besarnya kesulitan yang dihadapi NIS, tidak ada investor yang tertarik untuk
membangun jalan kereta api. Terpaksa pemerintah terjun langsung. Pemerintah mendirikan
perusahaan Staat Spoorwagen (SS). Jalur rel pertama yang di bangun oleh SS adalah antara
Surabaya-Pasuruan sepanjang 115 kilometer yang diresmikan pada 16 Mei 1878.
Setelah NIS maupun SS kemudian terbukti mampu meraih laba, bermunculan belasan
perusahaan-perusahaan kereta api swasta besar maupun kecil. Umumnya mereka membangun
jalan rel ringan atau tramwagen yang biaya pembangunannya lebih murah. Tramwagen biasanya
di bangun di sisi jalan raya. Dan karena konstruksinya yang ringan, kecepatan kereta api tidak
bisa lebih dari 35 kilometer per jam. Di antara perusahaan-perusahaan tersebut yang mempunyai
jaringan terpanjang adalah Semarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) sepanjang 417
kilometer dan Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) sepanjang 373 kilometer.
Yang terpendek adalah Poerwodadi-Goendih Stoomtram Maatschappj (PGSM) yang hanya
mempunyai jaringan sepanjang 17 kilometer.
Keberhasilan swasta, NV NISM membangun jalan KA antara Samarang-Tanggung, yang
kemudian pada tanggal 10 Februari 1870 dapat menghubungkan kota Semarang Surakarta (110
kilometer), akhirnya mendorong minat investor untuk membangun jalan KA di daerah lainnya.
Tidak mengherankan, kalau pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864-1900 tumbuh dengan
pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 kilometer, tahun 1870 menjadi 110 kilometer, tahun 1880
mencapai 405 kilometer, tahun 1890 menjadi 1427 kilometer dan pada tahun 1900 menjadi 3338
kilometer.
Selain di Jawa, pembangunan rel KA juga dilakukan di Aceh (1874), Sumatera Utara (1886),
Sumatera Barat (1891), (1914). Bahkan tahun 1922 di Sulawesi juga telah dibangun jalan KA
sepanjang 47 kilometer antara Makasar-Takalar, yang pengoperasiannya dilakukan tanggal 1 Juli
1923. Sisanya Ujungpandang-Maros belum sempat diselesaikan. Sedangkan di Kalimantan,
meskipun belum sempat dibangun, studi jalan KA rute Pontianak-Sambas (220 kilometer) sudah
diselesaikan. Demikian juga di pulau Bali dan Lombok, juga pernah dilakukan studi
pembangunan jalan KA.

Rel kereta api pertama kali diletakkan di bumi Sumatera Utara oleh Perusahaan Kereta Api
Swasta Belanda yang bernama Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) di tahun 1883 yang

menghubungkan Kota Medan dan Labuan (laboean) yang merupakan cikal bakal jalur kereta api
Medan-Belawan.
Sejak dulunya Pelabuhan Belawan merupakan pelabuhan utama Sumatera Utara untuk membawa
hasil bumi seperti tembakau ke luar negeri. Dulu, Labuan merupakan sentral keramaian, bahkan
sebelum kota Medan berdiri. Pelabuhan Labuan di Sungai Deli inilah yang menjadi pusat
perdagangan, transportasi dan bongkar muat barang perkebunan (khususnya tembakau) di
Sumatera bagian Timur, akan tetapi karena Labuan seringkali kebanjiran dan tidak mampu
mengakomodasi kapal-kapal uap besar maka transportasi usaha perkebunan mulai
dikonsentrasikan ke Pelabuhan Belawan
Sejak dulunya Pelabuhan Belawan merupakan pelabuhan utama Sumatera Utara untuk membawa
hasil bumi seperti tembakau ke luar negeri. Dulu, Labuan merupakan sentral keramaian, bahkan
sebelum kota Medan berdiri. Pelabuhan Labuan di Sungai Deli inilah yang menjadi pusat
perdagangan, transportasi dan bongkar muat barang perkebunan (khususnya tembakau) di
Sumatera bagian Timur, akan tetapi karena Labuan seringkali kebanjiran dan tidak mampu
mengakomodasi kapal-kapal uap besar maka transportasi usaha perkebunan mulai
dikonsentrasikan ke Pelabuhan Belawan.

Jalur kereta api Medan-Belawan yang berjarak sekitar 21 kilometer, pada saat itu memiliki
beberapa stasiun, yaitu Stasiun Medan Gloegoer Poeloebraijan Mabar Titi Papan
Kampong Besar Laboean Belawan Pasar Belawan dan Pelabuhan Belawan (Oceaanhaven
I II dan III).

Akan tetapi seiring perkembangan waktu, bertambahnya transportasi jalan raya dan
berkurangnya tingkat okupansi penumpang, maka pada saat ini Jalur Medan-Belawan tidak lagi
digunakan untuk mengangkut penumpang, melainkan hanya digunakan hanya untuk jalur KA
Barang saja, yakni KA Barang pengangkut CPO (Crude Palm Oil), PKO (Palm Kernel Oil),
getah karet (lateks), BBM dan pupuk. Dulu, saking ramainya jalur Medan-Belawan ini dilayani
oleh double track (triple track dari Medan-Pulubrayan dan double track dari PulubrayanBelawan). Sekarang sisa satu track, tinggal bekas-bekasnya yang berserakan di beberapa lokasi.
Stasiun KA yang saat ini masih digunakan pun tidak lagi sebanyak pada zaman DSM masih
berjaya.
Sampai dengan tahun 1939, panjang jalan KA di Indonesia mencapai 6811 kilometer. Tetapi,
pada tahun 1950, panjangnya berkurang menjadi 5910 kilometer, kurang lebih 901 kilometer
raib, yang diperkirakan karena dibongkar semasa pemerintahan Jepang dan diangkut ke Burma
untuk pembangunan jalan KA di sana.
Jenis jalan rel KA di Indonesia dibedakan dengan lebar sepur 1067 milimeter; 750 milimeter (di
Aceh) dan 600 milimeter di beberapa lintas cabang dan tram kota. Jalan rel yang dibongkar
semasa pemerintahan Jepang (1942-1943) sepanjang 473 kilometer, sedangkan jalan KA yang
dibangun semasa pendudukan Jepang adalah 83 kilometer antara Bayah Cikara dan 220
kilometer antara Muaro-Pekanbaru.
Ironisnya, dengan teknologi yang seadanya, jalan KA Muaro Pekanbaru diprogramkan selesai
pembangunannya selama 15 bulan yang mempekerjakan 27500 orang, 25000 di antaranya adalah
Romusha. Jalan yang melintasi rawa-rawa, perbukitan, serta sungai yang deras arusnya ini,
banyak menelan korban yang makamnya bertebaran sepanjang Muaro-Pekanbaru.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, karyawan KA yang
tergabung dalam Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) mengambil alih kekuasaan
perkeretaapian dari pihak Jepang. Peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 28 September
1945, pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA lainnya,
menegaskan mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada ditangan bangsa
Indonesia. Orang Jepang tidak diperkenankan lagi campur tangan dengan urusan perkeretaapian
di Indonesia.
Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api di Indonesia,
serta dibentuknya Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI).
Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) namanya diubah sejak tanggal 15 September 1971
menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Pada tanggal 2 Januari 1991, PJKA diubah
menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka), dan sejak tanggal 1 Juni 1999 menjadi PT
Kereta Api Indonesia (Persero).
Meskipun jalur Semarang-Tanggung, baru diresmikan pada 10 Agustus 1867, pada tahun 1863,
NIS telah memesan dua buah lokomotif dari Pabrik Borsig di Berlin, Jerman. Kedua lokomotif
itu dirancang untuk nantinya melayani jalur antara Kedungjati dan Willem I (Ambarawa) yang di
beberapa tempat mempunyai kemiringan sampai 2,8 persen.

Ketika itu lokomotif buatan Borsig banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan kereta api di
Belanda. Setahun kemudian dua lokomotif dikirim ke Semarang, tapi baru pada 22 Juni 1865
mulai dioperasikan, masing-masing dengan nomor seri NIS 1 dan NIS 2. Karena jalur kereta api
pada saat itu baru dalam tahap pembangunan, NIS 1 dan NIS 2 dimanfaatkan untuk
mempercepat pemasangan rel, sekaligus untuk melatih petugas yang akan mengoperasikan dan
memelihara lokomotif-lokomotif tersebut.
Sementara itu kedatangan lokomotif uap tersebut disambut masyarakat dengan rasa kagum tapi
sekaligus tajut. Seperti dikatakan Liem Thian Joe dalam buku Riwayat Semarang (1933),
Publiek Priboemi dan Tionghoa pertjaja, itoe kepala spoor didjalanken dengan kekoeatan ..
setan. Pada akhir 1866, empat lokomotif buatan Beyer Peacock, Manchester, Inggris itu tiba di
Semarang dan diberi nomor seri NIS 3-6. selain nomor seri keempat lokomotif itu mendapatkan
nama, masing-masing JP de Bordes (nama seorang pejabat NIS), Merapi, Merbaboe dan
Lawoe. Nama-nama tersebut pada satu sisi ditulis dalam aksara latin, pada sisi lain dalam
aksara Jawa. Namun penggunaan keempat lokmotif secara resmi baru pada 10 Agustus 1867,
bersamaan dengan pembukaan jalur Semarang-Tanggung

Sejarah kereta api Indonesia (1)


Dunia perkeretaapian di Indonesia sebenarnya sudah berjaya semenjak jaman penjajahan
Belanda dahulu. Sampai sekarang, ada beberapa yang masih beroperasi sebagai jalur transportasi
publik, angkutan barang, hanya sebagai kereta wisata, atau bahkan dijadikan sebagai museum
kereta api. Yang menyedihkan, malah ada beberapa yang sudah tidak terawat, tidak dilestarikan
dan punah. Berikut Sharing di Sini Stasiun Kereta Api Tertua di Indonesia.
1. Stasiun Semarang Gudang / Tambaksari (1864)
Stasiun Gudang Tambak Sari Semarang Tempo Doeloe
Stasiun ini dibangun pada tanggal 16 Juni 1864 yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal Baron
Sloet van de Beele. Untuk pengoperasian rute ini, pemerintah Belanda menunjuk Nederlandsch
Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), salah satu markas NIS yang sekarang dikenal sebagai
Gedung Lawang Sewu. Dan tepatnya pada 10 Agustus 1867 sebuah kereta meluncur untuk
pertama kalinya di stasiun ini.

2. Stasiun Semarang Tawang (1868)

Stasiun Semarang Tawang Tempoe Doeloe


Stasiun Semarang Tawang (kode SMT) adalah stasiun induk di Tanjung Mas, Semarang Utara,
Semarang yang melayani kereta api eksekutif dan bisnis. Kereta api ekonomi tidak singgah di
stasiun ini. Stasiun ini merupakan stasiun kereta api besar tertua di Indonesia setelah Semarang
Gudang dan diresmikan pada tanggal 19 Juli 1868 untuk jalur Semarang Tawang ke Tanggung.
Jalur ini menggunakan lebar 1435 mm. Pada tahun 1873 jalur ini diperpanjang hingga Stasiun
Solo Balapan dan melanjut hingga Stasiun Lempuyangan di Yogyakarta.

3. Stasiun Lempuyangan Yogyakarta (1872)

Stasiun Yogyakarta Lempuyangan tempoe Doeloe


Stasiun Lempuyangan (kode LPN, +114 m) adalah stasiun kereta api yang terletak di Kota
Yogyakarta, berjarak sekitar 1 km di sebelah timur dari stasiun utama di kota ini, yaitu Stasiun
Yogyakarta. Stasiun yang didirikan pada tanggal 2 Maret 1872 ini melayani pemberhentian
semua KA ekonomi yang melintasi Yogyakarta. Stasiun Lempuyangan beserta dengan rel yang
membujur dari barat ke timur merupakan perbatasan antara Kecamatan Gondokusuman di utara

dan Danurejan di selatan.


4. Stasiun Buitenzorg /Bogor (1872)

Stasiun Bogor Tempoe Doeloe


Stasiun Bogor dibangun oleh perusahaan kereta api milik Pemerintah Belanda 1872 sebagai
stasiun terakhir untuk jalur Batavia-Buitenzorg (Jakarta-Bogor) dan mulai dibuka pada 1873.
Pembukaan jalur ini untuk mempersingkat perjalanan Batavia-Buitenzorg (Jakarta-Bogor) yang
saat itu masih menggunakan kereta kuda untuk melayani penumpang. Semakin meningkatnya
jumlah penumpang yang hilir-mudik Bogor-Jakarta (Jakarta-Bogor) maupun sebaliknya

diperlukan ruang-ruang lebih besar agar bisa menampung banyak orang. Pada 1881 dibangun
stasiun baru. Salah satu ruangan di stasiun ini terdapat prasasti yang didirikan pada 1881.
Prasasti itu terbuat dari marmer sebagai persembahan karyawan sebagai ucapan selamat pagi
terhadap D Marschalk yang memasuki masa pensiun atas jasanya mengembangkan
perkeretaapian di Pulau Jawa. Arsitekturnya pun bergaya Eropa dan berlantai dua dengan hiasan
berbagai motif. Seperti geometrik awan, kaki-kaki singa dan relung-relung bagian lantai. Sampai
saat ini, Kusen pintu masuk dan jendelanya masih dalam kondisi utuh dengan gaya khas.
Lapangan yang ada didepannya yang konon bernama Wilhemina Park. Bangunan itu sendiri
luasnya kurang lebih 5.955 m2 yang dibangun di areal lahan seluas 43.267 m2 lokasi tepatnya di
Jalan Nyi Raja Permas Kelurahan Cibogor Kecamatan Bogor Tengah.
5. Stasiun Ambarawa (1873)

Stasiun Ambarawa Tempoe Doeloe


Museum Kereta Api Ambarawa adalah sebuah stasiun kereta api yang sekarang dialihfungsikan
menjadi sebuah museum di Ambarawa, Jawa Tengah, yang memiliki kelengkapan kereta api
yang pernah berjaya pada zamannya. Salah satu kereta api uap dengan lokomotif nomor B 2502
dan B 2503 buatan Maschinenfabriek Esslingen sampai sekarang masih dapat menjalankan
aktivitas sebagai kereta api wisata. Kereta api uap bergerigi ini sangat unik dan merupakan salah
satu dari tiga yang masih tersisa di dunia. Dua di antaranya ada di Swiss dan India. Selain
koleksi-koleksi unik tadi, masih dapat disaksikan berbagai macam jenis lokomotif uap dari seri
B, C, D hingga jenis CC yang paling besar (CC 5029, Schweizerische Lokomotiv und
Maschinenfabrik) di halaman museum.
6. Stasiun Kedungjati (1873)

Stasiun Kedungjati Tempoe Doeloe


Stasiun Kedungjati (KEJ) merupakan stasiun kereta api yang terletak di Kedungjati, Kedungjati,
Grobogan. Stasiun yang terletak pada ketinggian +36 m dpl ini berada di Daerah Operasi 4
Semarang. Stasiun Kedungjati diresmikan pada bulan 21 Mei 1873. Arsitektur stasiun ini serupa
dengan Stasiun Willem I di Ambarawa, bahkan dulu beroperasi jalur KA dari Kedungjati ke
Ambarawa, yang sudah tidak beroperasi pada tahun 1976. Pada tahun 1907, Stasiun Kedungjati
yang tadinya dibangun dari kayu diubah ke bata berplester dengan peron berkonstruksi baja
dengan atap dari seng setinggi 14,65 cm.

7. Stasiun Solo Balapan (1873)

Stasiun Solo Balapan Tempoe Doeloe


Stasiun Solo Balapan (kode: SLO, +93 m) adalah stasiun induk di Kestalan dan Gilingan,
Banjarsari, Surakarta yang menghubungkan Kota Bandung, Jakarta, Surabaya, serta Semarang.
Stasiun ini didirikan oleh jaringan kereta api masa kolonial NIS pada abad ke-19 (tepatnya
1873).

8. Stasiun Tuntang (1873)

Stasiun Tuntang Tempoe Doeloe

Stasiun Tuntang Kini


Stasiun Tuntang mulai beropersi 21 Mei 1873. Stasiun Tuntang merupakan stasiun kereta api
yang terletak di Tuntang, Semarang. Stasiun Tuntang adalah bagian dari jaringan AmbarawaTuntang-Bringin-Kedungjati. Mungkin sebagai pengumpan untuk rute Semarang-Solo yang
melewati Kedungjati. Jalur rel Semarang-Solo dibangun tidak hanya untuk kepentingan
ekomomis (perkebunan dan kehutanan) tetapi juga militer. Itu sebabnya Kedungjati, yang di
tengah hutan, lebih hidup ketimbang Tuntang yang di tepi jalan raya Semarang-Salatiga-Solo.
Stasiun Tuntang dulu merupakan stasiun kelas III di jalur ini. Namun sejak jalur yang
menghubungkan Yogyakararta dan Kedungjati ini, stasiun ini dijadikan museum. Stasiun ini
waktu baru ditutup sempat melayani kereta wisata Ambarawa-Tuntang namun itu tak
berlangsung lama karena rel yang sudah rusak. Sejak itu stasiun ini hanya melayani lori
Ambarawa-Tuntang. Namun pada tahun 2009 dimulailah renovasi dan stasiun ini melayani
kereta uap wisata lagi. Direncanakan jalur menuju Stasiun Kedungjati dihidupkan lagi.

9. Stasiun Aceh Tramp (1874)

Stasiun Aceh Tramp Tempoe Doeloe


Station van de Atjehtram te Oelelheu bij Koetaradja. (Stasiun tram dari Aceh ke Oelelheu di
Koetaradja)
Kereta api Aceh, zaman dulu disebut Atjeh Tramp, lebih dimaksud sebagai sarana komuter
(transportasi) masyarakat kota yang mempunyai mobilitas tinggi berpindah antar kota, jarakdekat. Sejarah Atjeh Tram di mulai apda 26 Juni 1874 Gubernur Aceh dan daerah taklukannya
memerintahkan untuk menghubungkan tempat demarkasi pelabuhan Ulee Lheue dan Kutaraja
dengan rel kereta api sepanjang 5 km dengan lebar spoor (rel) 1,067 m. Namun, sayanganya pada
tahun 1982 Banda Aceh resmi sudah tidak memilik jalur perhubungan kereta api lagi. Hal ini
dikarenakan tidak mampu bersaing dengan sarana transportasi jalan raya yang sudah semakin
baik dan onderdil yang semakin sulit dicari.

10. Stasion Purwosari (1875)

Stasiun Purwosari Tempoe Doeloe


Stasiun Purwosari (PWS) merupakan stasiun kereta api yang terletak di Jl. Slamet Riyadi No.
502, Purwosari, Lawiyan, Surakarta. Stasiun yang terletak pada ketinggian +98 m dpl ini berada
di Daerah Operasi 6 Yogyakarta. Stasiun Purwosari dibangun pada tahun 1875, dan merupakan
stasiun tertua di Surakarta. Pembangunannya ditangani oleh NIS. Stasiun Purwosari berada di
wilayah Mangkunegaran.

11. Stasiun Surabaya Kota / Semut (1878)

Stasiun Surabaya / Semut Tempoe Doeloe


Stasiun Surabaya Kota (SB) yang populer dengan nama Stasiun Semut terletak di Bongkaran,
Pabean Cantikan, Surabaya. Letaknya sebelah utara Stasiun Surabaya Gubeng dan juga
merupakan stasiun tujuan terakhir di kota Surabaya dari jalur kereta api selatan pulau Jawa yang
menghubungkan Surabaya dengan Yogyakarta dan Bandung serta Jakarta.
Berdasarkan sejarahnya, Stasiun Surabaya Kota dibangun ketika jalur kereta api SurabayaMalang dan Pasuruan mulai dirintis sekitar tahun 1870. Tujuannya untuk mengangkut hasil bumi
dan perkebunan dari daerah pedalaman Jawa Timur, khususnya dari Malang, ke Pelabuhan
Tanjung Perak yang juga mulai dibangun sekitar tahun itu. Gedung ini diresmikan pada tanggal

16 Mei 1878. Dengan meningkatnya penggunaan kereta api, pada tanggal 11 Nopember 1911,
bangunan stasiun ini mengalami perluasan hingga ke bentuknya yang sekarang ini.
12. Stasiun Malang Kotalama (1879)

Stasiun Malang Kotalama Tempoe Doeloe


Stasiun Malang Kotalama (MLK) merupakan stasiun kereta api yang terletak di Kecamatan
Sukun, Malang. Stasiun yang berada pada ketinggian +429 m dpl ini berada di Daerah Operasi 8
Surabaya. Stasiun ini merupakan stasiun KA paling selatan yang berada di Kota Malang, dan
tertua, dibangun pada tahun 1879. Penambahan nama Kotalama dimaksudkan untuk
membedakan dengan Stasiun Malang Kotabaru yang dibangun belakangan. Dari Stasiun Malang
Kotalama juga terdapat percabangan rel yang menuju ke Dipo Pertamina.

13. Stasiun Ijo (1880)

Stasin Ijo Tempoe Doeloe


Stasiun Ijo (IJ) adalah stasiun kereta api yang terletak di sebelah barat Stasiun Gombong. Secara
administratif, stasiun ini berada di Desa Bumiagung, Kecamatan Rowokele, Kabupaten
Kebumen. Selain sebagai stasiun persilangan, fungsi lainnya adalah sebagai pengontrol
terowongan jalur rel (disebut Terowongan Ijo) yang berada di sisi timur stasiun ini. Pengelolaan
stasiun yang terletak pada ketinggian +25 m dpl ini berada di bawah Daerah Operasi 5
Purwokerto. Stasiun yang dibangun pada pertengahan tahun 1880-an ini jarang disinggahi oleh
kereta api. Stasiun berperon sisi ini memiliki tiga jalur rel.
14. Stasiun Jember (1897)

Stasiun Jember Tempoe Doeloe


Stasiun Jember (+89m dpl) adalah salah satu stasiun kereta api penting dalam lintasan sejarah
perkerataapian di Indonesia. Stasiun ini dibangun pada tahun 1897 oleh Staats Spoorwegen (SS),

salah satu perusahaan kereta api di zaman pemerintahan Hindia Belanda, untuk melayani
kebutuhan transportasi hasil bumi di wilayah Jember dan sekitarnya. Pada masa itu, Komoditas
perkebunan seperti gula, karet dan tembakau diangkut dari Stasiun Jember menuju Pelabuhan
Panarukan di wilayah Situbondo untuk selanjutnya diangkut dengan kapal api menuju Kota
Rotterdam di Belanda. Saat ini, Stasiun Jember yang terletak di Jl. Dahlia No. 2, Jemberlor,
Patrang, Jember, menjadi stasiun penting di wilayah Jawa Timur karena menjadi pusat kegiatan
PT. Kereta Api Indonesia Daerah Operasi (Daop) 9 yang mengatur stasiun dan perjalanan kereta
api dari Stasiun Bangil di wilayah Pasuruan (ujung barat) hingga Stasiun Banyuwangi (ujung
timur).
15. Stasiun Klaten (1903)

Stasiun Klaten Tempoe Doeloe


Tahun 1903 stasiun Klaten mulai dioperasikan NIS (Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda),
Jawa Tengah. Stasiun Klaten (KT) merupakan stasiun kereta api yang terletak di Tonggalan,
Klaten Tengah, Klaten. Stasiun yang terletak pada ketinggian +151 m dpl ini terletak di Daerah
Operasi 6 Yogyakarta. Stasiun ini terletak dekat jalan by-pass yang melingkari Klaten dan
memiliki 6 jalur KA.
3 Stasiun Djakarta Tempo Doeloe

Stasiun Batavia (Stasiun Kota)

Stasiun Batavia (Stasiun Jakarta) Pada masa lalu, karena terkenalnya stasiun ini, nama itu
dijadikan sebuah acara oleh stasiun televisi swasta. Hanya saja mungkin hanya sedikit warga
Jakarta yang tahu apa arti Beos yang ternyata memiliki banyak versi.
Yang pertama, Beos kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai
Angkutan Kereta Api Batavia Timur), sebuah perusahaan swasta yang menghubungkan Batavia
dengan Kedunggedeh. Versi lain, Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang artinya
Batavia dan Sekitarnya, dimana berasal dari fungsi stasiun sebagai pusat transportasi kereta api
yang menghubungkan Kota Batavia dengan kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg
(Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain.
Sebenarnya, masih ada nama lain untuk Stasiun Jakarta Kota ini yakni Batavia Zuid yang berarti
Stasiun Batavia Selatan. Nama ini muncul karena pada akhir abad ke-19, Batavia sudah memiliki
lebih dari dua stasiun kereta api. Satunya adalah Batavia Noord (Batavia Utara) yang terletak di
sebelah selatan Museum Sejarah Jakarta sekarang. Batavia Noord pada awalnya merupakan
milik perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg, dan merupakan terminus untuk
jalur Batavia-Buitenzorg. Pada tahun 1913 jalur Batavia-Buitenzorg ini dijual kepada pemerintah
Hindia Belanda dan dikelola oleh Staatsspoorwegen. Pada waktu itu kawasan Jatinegara dan
Tanjung Priok belum termasuk gemeente Batavia.
Batavia Zuid, awalnya dibangun sekitar tahun 1870, kemudian ditutup pada tahun 1926 untuk
renovasi menjadi bangunan yang kini ada. Selama stasiun ini dibangun, kereta api-kereta api
menggunakan stasiun Batavia Noord. Sekitar 200 m dari stasiun yang ditutup ini dibangunlah
Stasiun Jakarta Kota yang sekarang. Pembangunannya selesai pada 19 Agustus 1929 dan secara
resmi digunakan pada 8 Oktober 1929. Acara peresmiannya dilakukan secara besar-besaran
dengan penanaman kepala kerbau oleh Gubernur Jendral jhr. A.C.D. de Graeff yang berkuasa
pada Hindia Belanda pada 1926-1931.
Di balik kemegahan stasiun ini, tersebutlah nama seorang arsitek Belanda kelahiran Tulungagung
8 September 1882 yaitu Frans Johan Louwrens Ghijsels. Bersama teman-temannya seperti Hein
von Essen dan F. Stolts, lelaki yang menamatkan pendidikan arsitekturnya di Delft itu
mendirikan biro arsitektur Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA). Karya biro ini bisa
dilihat dari gedung Departemen Perhubungan Laut di Medan Merdeka Timur, Rumah Sakit

PELNI di Petamburan yang keduanya di Jakarta dan Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta.
Stasiun Beos merupakan karya besar Ghijsels yang dikenal dengan ungkapan Het Indische
Bouwen yakni perpaduan antara struktur dan teknik modern barat dipadu dengan bentuk-bentuk
tradisional setempat. Dengan balutan art deco yang kental, rancangan Ghijsels ini terkesan
sederhana meski bercita rasa tinggi. Sesuai dengan filosofi Yunani Kuno, kesederhanaan adalah
jalan terpendek menuju kecantikan.

Stasiun Gambir

Stasiun Gambir adalah stasiun kereta api terbesar di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
dan terletak di Gambir, Gambir, Jakarta Pusat. Stasiun ini dibangun pada dasawarsa 1930-an dan
mendapatkan renovasi secara besar-besaran pada 1990-an. Stasiun Gambir melayani transportasi
kereta api untuk tujuan-tujuan utama di Pulau Jawa. Di stasiun ini, tersedia pula bus DAMRI
untuk menuju Bandara Soekarno Hatta. Stasiun ini berada di Daerah Operasi 1 Jakarta.

Stasiun JatiNegara

Stasiun Jatinegara sebelum kemerdekaan bernama Stasiun Meester Cornelis adalah sebuah
stasiun kereta api di daerah Jatinegara, Jakarta Timur. Stasiun ini merupakan stasiun bertemunya
tiga jalur, yaitu jalur ke Pasar Senen, jalur ke Manggarai, dan jalur ke Bekasi. Setiap harinya
dilewati sekitar 350 kereta api. Di dekat stasiun ini terdapat dipo lokomotif.
Sebagai stasiun penghubung ke luar Jakarta, stasiun ini dilalui oleh semua KA ke berbagai kota
di Pulau Jawa (kecuali tentu saja ke arah Banten dan Bogor). Namun demikian, tidak semua KA
yang ke luar dari Jakarta berhenti untuk menaikkan penumpang di stasiun ini. Hanya KA
ekonomi dan KA bisnis yang berhenti untuk menaikkan penumpang dalam perjalanan menuju
kota-kota di Jawa, sedangkan semua KA eksekutif, kecuali KA Argo Gede, KA Argo Jati, dan
KA Sembrani tidak berhenti di sini. Tetapi, semua KA yang datang menuju Jakarta berhenti
untuk menurunkan penumpang di stasiun ini.

Foto Lembah Anai Tempo Dulu


27/04/2010
46 Komentar
295 Tinjauan
Suatu ketika saya sedang menikmati alunan lagu minang, entah kenapa telinga ini sedang rindu
dengan nada-nada yang memang saya akrab sejak kecil, terutama tarikan suara Elly Kasim.
Salah satu lagu favorit saya adalah Malereang Tabiang.
Malereang lah tabiang malereang, mak oi
Malereang sampai nan ka pandakian
Den sangko langik nan lah teleang, mak oi
Kironyo awan nan manggajuju
Lagu tersebut bercerita tentang perjalanan menelusuri lereng-lereng tebing yang banyak dijumpai
di Ranah Minang yang memang banyak daerah perbukitannya.

Lereng tebing di rel sepanjang Lembah Anai

Sore harinya Otty Widasari memberitahu bahwa suaminya (Hafiz) menemukan foto-foto
Minang tempo dulu di situs jejaring sosial Facebook. Orang yang memiliki foto tersebut bernama
Ronal Chandra. Kami pun dari akumassa minta izin kepada beliau untuk memuat foto-foto
tersebut di www.akumassa.org dan permintaan izin tersebut disambutnya dengan baik.

Lembah Anai, sebelum ada jalur kereta api


Saya cukup terkesima ketika melihat foto-foto perkeretaapian di Sumatera Barat, terutama jalur
Padang-Bukittinggi yang melewati Lembah Anai. Saya begitu menikmati keindahan
panoramanya ketika terakhir kali melewati kawasan tersebut pada workshop akumassa
Padangpanjang tahun lalu. Dengan menyaksikan air mancur yang besar, kita juga dapat melihat
kera hutan yang jinak sepanjang Lembah Anai. Udaranya disana sangat sejuk, tak terbayang
betapa lebih indahnya pemandangan hutan lindung beserta jalur kereta tersebut di awal
peresmiannya di akhir tahun 1800-an dahulu.

Peresmian jalur kereta api Padangpanjang pertama kali, tahun 1895

Pembukaan jalur kereta api Padangpanjang, sekitar tahun 1895

Kebetulan, 21 Februari 2009 lalu, ketika workshop akumassa Padangpanjang saya


berkesempatan untuk menghadiri peresmian kembali kereta Mak Uniang sebagai kereta wisata.
Menariknya, jalur Mak Uniang ini juga melewati lubang kalam (terowongan) dan jembatan
Lembah Anai yang dibangun Belanda untuk menembus perbukitan.

Stasiun Padangpanjang tahun 1880-1900

Lembah Anai (1885-1895)

Terowongan Lembah Anai, tahun 1910


Topografi Lembah Anai menyebabkan kawasan ini sering terjadi longsor. Terlebih kawasan ini
juga termasuk daerah rawan gempa seperti Sumatera pada umumnya. Orang-orang tua dahulu
tidak akan lupa kenangan pahit pada 28 Juni 1926, di mana gempa sebesar 7,8 SR pernah
melanda Padangpanjang dan sekitarnya. Menurut Riosadja, kawan saya asal Bukittinggi yang
baru beberapa bulan merantau di Jakarta mengatakan bahwa saat itu sudah ada cerita turuntemurun yang beredar di masyarakat tentang dashyatnya gempa tersebut. Digambarkan setelah
terjadi gempa, seluruh telur ayam menjadi tamalangan (tidak bisa menetas dan membusuk dalam
cangkangnya).

Hancurnya Stasiun Padangpanjang setelah gempa tahun 1926

Akibat gempa tahun 1926


Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 16 April 2010 kawasan Lembah Anai dihantam longsor
besar. Longsor tersebut menyebabkan jembatan di dekat Lembah Anai rusak berat sehingga jalur
Padang-Bukittinggi terputus total. Menurut kawan saya yang tinggal di Padangpanjang,
sebelumnya curah hujan memang cukup tinggi dan turun tanpa henti. Hal ini mengakibatkan
volume air membesar dan meluluh lantakan jalanan yang mengitari bibir sungai di Lembah Anai
ini.

Kerusakan Lembah Anai karena longsor dan banjir tahun 1900-1940

Kerusakan Lembah Anai karena longsor dan banjir tahun 1900-1940

Lembah Anai merupakan jalur utama yang menghubungkan kota kawasan atas (darek) seperti
Payakumbuh, Bukittinggi, Batusangkar, Padangpanjang dan Solok dengan kota di kawasan
bawah (pasisia) seperti Pariaman, Lubukbasung, Padang dan Painan. Jalur ini juga merupakan
jalur awal perekonomian di Sumatera Barat untuk mengangkut hasil pertanian dari kawasan
atas ke bawah dan hasil laut dari kawasan bawah ke atas. Akan pentingnya jalur ini, maka
Pemerintah Belanda membangun jalur kereta api sebagai sarana transportasi. Setelah
didirikannya PT Semen Padang pada tahun 1910, kereta api juga digunakan untuk mengangkut
batubara dari Ombilin ke Padang. Ada juga dua jalur besar lainnya yang menghubungkan atas
ke bawah seperti Sitinjau Laut dari arah Solok dan Kelok 44 dari arah Bukittinggi, tapi dengan
jarak dan waktu tempuh yang berbeda.

Jalur kereta arah Kayu Tanam sekitar tahun 1895

Pembangunan rel kereta Air Putih Payakumbuh tahun 1913

Stasiun Kereta Payakumbuh sekitar tahun 1900

Foto-foto Lembah Anai tersebut kembali mengingatkan Riosadja akan jalur yang selalu
dilaluinya bolak-balik Bukittinggi dan Padang saat kuliah di UNP (Universitas Negeri Padang).
Jalur yang akrab dengan pengamen dan penjaja paragede jaguang (perkedel jagung) yang sigap
melompat saat bus melambat di tikungan tajam dan jalanan menanjak. Jalur yang sejuk berkabut
tempat beristirahat saat perjalanan; tempat berderet-deret rumah makan menyajikan masakan
khasnya. Dan saya pun hanya bisa berkata Den takana jo kampuang.

Naik kereta api, tut-tut-tut

Litografi lukisan karya Josias Cornelis Rappard yang menggambarkan stasiun Tanggung di
Grobogan, Jawa Tengah
Sejarah transportasi kereta api di Indonesia mungkin termasuk yang tertua di dunia. Pada tahun
1864, pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah membangun lintasan rel dari desa Kemijen
(Semarang) ke Tanggung (Grobogan), meski di Inggris kereta api sudah digunakan sebagai alat
transportasi sejak tahun 1830. Dalam konteks alih teknologi, selang waktu 34 tahun termasuk
cepat pada waktu itu, mengingat jauhnya jarak dunia Barat dan Timur, serta terbatasnya moda
angkutan antar benua yang hanya mengandalkan kapal laut.
Perkembangan transportasi ini begitu pesat. Jika pada tahun 1864 panjang rel yang dibangun
baru 25 km, pada tahun 1900 lintasannya sudah mencapai 3.338 km, bertambah 133 kali lipat
dalam kurun waktu 36 tahun! Suatu pencapaian luar biasa yang pernah ditorehkan bangsa
Belanda di negeri jajahannya.
Bepergian dengan kereta api tempo doeloe memberi kesan tersendiri bagi mereka yang pernah
merasakannya. Banyak pengalaman yang mereka tulis dalam sejumlah buku untuk mengenang
betapa menyenangkannya duduk di atas si roda besi sambil menikmati pemandangan kota,
sawah dan pegunungan waktu itu.
Thomas H. Reid dalam buku yang ditulisnya, Across the Equator (1908), mengutip
pengalaman temannya yang pernah menumpang kereta api dari Semarang ke Yogyakarta sebagai
berikut:
Perjalanan dari Samarang ke Djocjakarta biasanya ditempuh melalui Solo(Soerakarta), tapi
rute ini biasa-biasa saja karena cuma melintasi dataran rendah yang dipenuhi persawahan. Aku
menyarankan rute yang lebih menarik melalui (benteng) Willem I. Ada kereta yang berangkat
pukul 5.57 atau 8.17 pagi dan sampai di Djocja pukul 2.16 atau 5.10 sore. Kereta yang

berangkat pukul 10.50 cuma sampai Magelang, jadi akhirnya aku menumpang kereta yang
berangkat pukul 2.9 siang, dan setelah sampai di stasiun Kedoeng Djattie, kami pun pindah ke
kereta lain. Selama dua jam berikutnya, kereta melintasi kaki-kaki bukit, hutan dan padang
rumput yang indah, silih berganti dengan pemandangan lembah, sawah dan bukit-bukit di
kejauhan saat kereta merayap naik ke Willem I. Tempat ini kami capai pada pukul 5 sore,
dimana kami bisa merasakan sejuknya semilir angin dan menikmati keindahan alam serta
matahari terbenam di gunung kecil di depan hotel.
Keesokan harinya pada pukul 8.54, aku ikut kereta api yang berangkat dari Semarang pukul
5.57 dan tak lama kemudian sampai di sebuah stasiun dimana lokomotifnya ditukar dengan loko
cog-wheel karena daerah yang akan kami lewati nanti terlalu berat bagi loko biasa. Kereta
kemudian berjalan lagi memutari bukit-bukit yang dipenuhi ladang hingga ke puncaknya. Kereta
pun terus naik ke atas hingga kami bisa merasakan udara yang sangat menyegarkan. Tiffin
(makan siang) harus dipesan melalui kondektur sebelumnya dan akan diantarkan ke gerbong.
Kira-kira pukul satu siang loko kereta diganti lagi, dan perjalanan ke Djocja pun dimulai
melalui Magelang. Bagi mereka yang ingin mengunjungi Samarang, aku sangat menyarankan
rute ini.
Lain Belanda, lain pula Jepang. Saat Indonesia diduduki oleh Negeri Matahari Terbit itu,
perkeretapian kita ikut mengalami dampak buruknya. Batang-batang rel sepanjang 901 km
dibongkar lalu dipindahkan ke Burma. Untungnya pendudukan Jepang tidak berlangsung lama.
Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, para karyawan kereta api mengambil alih kuasa
perkeretaapian dari tangan Jepang pada 28 September 1945. Tanggal ini kemudian ditetapkan
sebagai Hari Kereta Api di Indonesia.

Rute Jalan Raya Sepanjang Rel Kereta Api dari Pasar Minggu Menuju Citayam
Via Lenteng Agung dan Depok Tempo Doeloe

StasiondiBuitenzorg,1881(tampakluar)

Stasiun Beos (Stasiun Kota) di Batavia (Jakarta) dibangun pada tahun 1870. Pada tahun 1880 rel
kereta api JakartaBuitenzorg (Bogor) dibangun sepanjang 59 Km. Stasiun Bogor yang terletak
di Kota Bogor dibangun pada tahun 1881. Berdasarkan peta tahun 1883-1885, diantara dua
stasiun besar itu terdapat halte (pemberhentian kereta) di Depok, Citayam, dan Pondok Cina. Ini
berarti halte-halte ini sudah ada sejak pembangunan rel Jakarta-Bogor dibangun. . Pengoperasian
kereta api jalur Jakarta-Bogor sendiri waktu itu masih dilakukan oleh swasta.

StasiondiBuitenzorg1881(tampakdalam)

StasionManggarai1918

StasionDepok1925

RuteBataviaBuitenzorg1883

Rel warna hitam dikelola swasta


Pasar Minggu- Citayam

Auto atau mobil tahun 1900


Rute perjalanan ini adalah rute yang sudah ada pada tahun 1900. Anggap anda kini sedang
melakukan perjalanan kilas balik antara Pasar Minggu ke Citayam. Kemudian , bayangkan auto
atau mobil yang anda kendarai adalah seperti gambar ini (mobil pertama yang hadir di Indonesia
tempo doeloe). Perjalanan dimulai dari Pasar Minggoe.

Peta Pasar Minggu Tempo Doeloe, 1900


Di Pasar Minggu, posisi jalan raya menuju Citayam berada di sebelah barat stasion Pasar
Minggu (parallel). Ini artinya anda kini sedang berada di sisi kanan stasion. Tidak jauh dari
stasion ada prapatan: belok kiri ke perkampungan, belok kanan menuju Ragunan. Lurus berarti
menuju ke Citayam. Selanjutnya tidak jauh dari prapatan tadi jalan raya memotong rel ke kiri
lalu melewati perkampungan (jalan yang sekarang ada SMP, dulu jalur pintas sisi rel belum
ada).

Peta Tanjung Barat Tempo Doeloe, 1900


Kemudian perjalanan akan ketemu pertigaan (simpang jalan ke kiri menuju Poltangan).
Selanjutnya jalan melewati perkampungan (yang sekarang ada SPBU, jalan sepanjang rel dan
lintasan kereta belum ada). Jalan ini selanjutnya akan ketemu kembali jalan dari Pol Tangan
(Jalan Poltangan memutar ke dalam kampong). Setelah pertemuan jalan ini, kemudian jalan
mengarah ke sisi rel, lalu memotong rel (Posisi sekarang berada di bawah Flyover Tanjung
Barat).
Posisi jalan raya sekarang di sebelah kanan rel. Jalan ini kemudian lurus dan melewati
perkampungan di Kebagusan. Pada masa sekarang jalan ini terlihat melawan arus, dan jalan di
sisi rel (jalan pintas) belum ada. Artinya anda sekarang sedang melewati SPBU dan Kantor PDIP
dengan melawan arus. Selanjutnya akan ketemu pertigaan (belok kanan ada jalan menuju jalan
Joe).

Peta Srengseng Sawah Tempo Doeloe, 1900


Pada saat anda sudah di depan ISIP (Sekolah Tinggi Jurnalistik) sekarang lantas kemudian jalan
memotong rel lagi lalu menuju halte Lenteng Agoeng (perlintasan ini masih ada sekarang). Ini
berarti jalan sisi barat stasion Lenteng Agung belum ada. Justru yang ada, diujung selatan stasion
Lenteng Agung ada pertigaan belok ke kanan memotong rel yang menuju ke Srengseng.
Selanjutnya setelah halte Lenteng Agung jalan mengarah ke perkampungan (sekarang tangsi
tentara). Jalan pintas sisi rel stasion Pancasila belum ada). Pada pertemuan jalan lama dan jalan
lintas yang sekarang, kemudian jalan memotong rel ke kanan (lampu lintasan kereta yang
sekarang) menuju ke arah kanan (perkampungan) dan jalan sisi rel di kanan belum ada. Di
perkampungan ini terdapat pertigaan (belok ke kanan menuju Srengseng), Setelah perkampungan
ini jalan melewati sisi kanan rel di bawah lalu naik ke atas melewati kuburan sampai akhirnya
ketemu halte UI yang sekarang.

Peta Pondok Cina Tempo Doeloe, 1900


Selanjutnya setelah halte UI ini jalan akan memotong rel lagi ke kiri rel (persis dibawah flyover
UI yang sekarang). Pada posisi bawah flyover sekarang, dulu belum ada jalan/jembatan menuju
ke Kelapa Dua. Kemudian jalan mengikuti jalan Margonda yang sekarang. Pada pertigaan
pertama (belok ke kanan ada jalan menuju halte stasion Pondok Tjina) selanjutnya pada
pertigaan kedua (belok kiri ada jalan (jalan Karet/samping Gramedia yang sekarang) menuju ke
Rumah Pondok Cina.
Pada pertigaan selanjutnya akan ketemu simpang jalan yang belok ke kiri (jalan STM yang
sekarang). Jalan Arif Rahman Hakim kala itu belum ada. Kemudian pada pertigaan berikutnya

ketemu simpang belok ke kiri ke arah perkampungan/kuburan (seberang BNI sekarang). Pada
pertigaan berikutnya belok ke kiri (menuju jalan Silawangi sekarang). Selanjutnya ketemu
pertigaan lagi belok ke kiri (samping optic) dan kemudian ada pertigaan lagi belok ke kanan
(jalan yang menuju ke arah Dewi Sartikajalan ini memotong rel).

Peta Depok (lama) Tempo Doeloe, 1900


Selanjutnya jalan akan memasuki Jalan Kartini yang sekarang dan ketemu pertigaan pertama
jalan belok ke kiri (menuju jalan Pemuda sekarang). Kemudian akan ketemu pertigaan kedua
yang simpang yang berbelok ke kanan (menuju stasion Depok).

Peta Citayam Tempo Doeloe, 1900


Perjalanan ini terus ke Citayam sepanjang rel (parallel). Selepas halte Citayam, jalan memotong
rel ke kanan (seperti yang sekarang). Kemudian jalan ini ketemu pertugaan dimana belok ke kiri
menuju ke Bojong Gede dan belok ke kanan menuju Rumah Citayam--suatu mansion Meester
Cornelis di Landhuis Citayam***Dideskripsikan oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan peta
dari Topographisch Bureau, Batavia yang diterbitkan tahun 1900 yang disimpan KITLV.NL.

Foto Kuno Stasiun Kediri


Dari hasil googling juga, foto-foto kuno stasiun kediri. Terletak di pertengahan Jalan
dhoho.

stasiun kediri lama 1892

stasiun kediri lama 1910

stasiun kediri kuno 1930

Foto-Foto Jadul Stasiun di Indonesia


SELAMAT DATANG DI THREAD INI
Halo Agan2 semua, terutama pecinta kereta api atau bangunan-bangunan klasik. Ane disini akan
berbagi foto-foto jadul stasiun-stasiun yang ada di Indonesia...
1. Stasiun Tanjung Priok
Spoiler for Jaman dulu : :

Tahun 1929

Tahun 1920

Tahun 1885

Jadwal Kereta Priok - Batavia Jadul

Spoiler for Jaman sekarang:

3. Stasiun Jakarta Kota/ Beos


Spoiler for Jaman dulu:

Jalan Depan Stasiun

Spoiler for Jaman Sekarang:

4. Stasiun Bogor
Spoiler for Jaman dulu:
Tahun 1904

Spoiler for Jaman Sekarang :

5. Stasiun di Jogja dan sekitarnya


Spoiler for Jaman Dulu :

Malioboro 1925

Stasiun Tugu Jogja Tahun 1930

Stasiun Lempuyangan Tahun 1910

Stasiun Klaten Tahun 1910

Spoiler for Jaman Sekarang :


Stasiun Tugu Jogja

Stasiun Lempuyangan

Stasiun Klaten

6. Stasiun di Solo dan sekitarnya


Spoiler for Jaman dulu:
Stasiun Solo Balapan

Stasiun Jebres

Stasiun Gawok

Stasiun Purwosari

Spoiler for Jaman Sekarang:

7. Stasiun Kroya
Spoiler for Jaman Dulu:

Spoiler for Jaman Sekarang :


8. Stasiun Hall Bandung
Spoiler for Jaman Dulu :
Tahun 1930

Spoiler for Jaman Sekarang:


9. Stasiun Malang Kota Baru
Spoiler for Jaman Dulu :
Tahun 1950

Spoiler for Jaman Sekarang:


10. Stasiun di Sumatera Barat
Spoiler for Jaman Dulu :
Stasiun Sawah Lunto
Tahun 1890

Tahun 1940

Stasiun Padang
Tahun 1910

Stasiun Padang Panjang

Stasiun Bukittinggi

Stasiun Pariaman

Stasiun Payakumbuh

Spoiler for Jaman Sekarang :


11. Stasiun Depok
Spoiler for Jaman Dulu :

Spoiler for Jaman Sekarang:


12. Stasiun Manggarai dan Stasiun Gambir

Spoiler for Jaman Dulu:


Stasiun Manggarai

Stasiun Gambir

Spoiler for Jaman Sekarang:


13. Stasiun Sukabumi
Spoiler for Jaman Dulu:

Spoiler for Jaman Sekarang:


14. Stasiun Pasar Senen
Spoiler for Jaman Dulu :

Intinya, tiket tipe Edmondson merupakan satu sistem tiket kereta api mulai dari bentuk dan
bahan tiket yang mungil, mesin cetak tanggal hingga ke alat yang biasa digunakan oleh
kondektur kereta api untuk memeriksa tiket para penumpang.
SketsaIndonesia.com, Jakarta
Pernah dengar tiket Edmondson? Ini adalah tiket kereta api yang terbuat dari karton dengan
ukuran sekitar 6 cm x 3 cm. Tiket tipe ini sudah jarang ditemukan karena PT Kereta Api-KA
(Persero) sudah mengganti sistem tiket yang pertama kali diperkenalkan tahun 1840-an di Inggris
ini, dengan tiket sistem komputerisasi. Penggantian sistem tiket dari tiket Edmondson ke sistem
komputerisasi itu khususnya dilakukan di stasiun-stasiun besar. Mesin ini dihentikan
penggunaannya secara total pada Oktober 2009.
Adalah Thomas Edmondson, yang semula hanya perajin furnitur, station master atau semacam
kepala stasiun di Newcastle dan Carlisle, Inggris, yang memperkenalkan sistem temuannya pada
jalur kereta api Manchester dan Leeds pada tahun 1840-an. Sistem itu adalah sistem validasi
pembayaran karcis kereta api serta sistem akunting untuk meningkatkan pendapatan yang
kemudian diberi nama sesuai si penemu, Edmondson. Seiring dengan pembukaan Railway
Clearing House sebuah organisasi yang dibikin untuk mengatur alokasi pendapatan kolektif
dari berbagai perusahaan kereta api pada 1842, sistem Edmondson pun digunakan sebagai
sistem tiket secara luas.
Berbagai item standar pun ditetapkan pada tiket karton itu. Misalnya, besarnya tiket, aslinya
2,5 cm x 5 cm, dan diberi nomor. Saat stasiun mengeluarkan tiket itu, ada mesin yang akan
mencetak tanggal sesuai dengan saat tiket dikeluarkan (mesin stempel tiket). Tiket itu juga
dibedakan berdasarkan tujuan dan kelas (bisnis, ekonomi, eksekutif). Pola dan warna tiket
dibedakan untuk memudahkan petugas dan calon penumpang membedakan tipe tiket.
Intinya, tiket tipe Edmondson merupakan satu sistem tiket kereta api mulai dari bentuk dan
bahan tiket yang mungil, mesin cetak tanggal hingga ke alat yang biasa digunakan oleh
kondektur kereta api untuk memeriksa tiket para penumpang. Di Inggris, tiket Edmondson
digunakan hingga 1990. Sistem tiket ini kemudian diadopsi oleh beberapa negara di Eropa
seperti Czechoslovakia, Perancis, Jerman, Polandia, Swiss, Belanda bahkan hingga ke luar Eropa
seperti Australia, Argentina dan Hindia Belanda saat Staatsspoorwegen (SS) memperkenalkan
sistem tiket itu.
Di beberapa kota di Inggris, tiket itu bahkan sudah berhenti digunakan pada 1980-an. Belanda,
dalam hal ini Nederlandsche Spoorwegen (NS) perusahaan kereta api menghentikan tiket tipe
Edmondson pada 1982. Negara-negara yang
dulu mengadopsi tiket Edmondson, kini sudah secara total meninggalkan sistem tersebut. Swiss
masih menggunakan tiket Edmondson di beberapa stasiun hingga Desember 2007. Kini, tiket
legendaris itu lebih banyak digunakan sebagai tiket untuk
masuk ke wisata kereta api tempo dulu atau wisata pusaka (heritage tourism).
Di Indonesia, Museum Kereta Api Ambarawa masih menyimpan mesin stempel tiket atau
karcis bermerek Edmondson dari tahun 1923. Di beberapa stasiun kecil kita masih bisa melihat
tiket tersebut, termasuk seluruh sistem tersebut, mulai dari karcis, mesin stempel dan alat

pengecek tiket milik kondektur. Di Graha Parahyangan, Bandung, terdapat mesin pencetak kuno
(tiket Edmondson) yang pernah digunakan PT KA sebagai mesin untuk mencetak tiket kereta api
jarak dekat dan ekonomi selama 100 tahun lebih. (Pradaningrum Mijarto)

Jejak dan sosok di balik trem Surabaya


Meski sudah lama terlupakan, Surabaya pernah dilewati transportasi berbasis rel yang bernama
trem. Surabaya memiliki jalur trem pertama kali tahun 1886 berupa trem uap, lima tahun setelah
Batavia meresmikan jalur trem uapnya. Trem listrik di resmikan di Surabaya 27 tahun setelahnya
di tahun 1923. Baik trem uap ataupun trem listrik di operasikan oleh perusahaan OJS (Oost
Javanische Stoomtram Matschapiij). Seiring diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda tahun
1949, pengelolaan trem uap dan trem listrik diambil alih oleh DKA (Djawatan Kereta Api). Di
manakah jejak-jejak trem itu sekarang? Apa yang terjadi pada depo, bengkel, rel, dan para
pekerjanya? Simak penelusuran jejak-jejak trem yang tersisa di Surabaya, dari benda mati hingga
kehidupan di baliknya.
Ditulis dan difoto Moh. Firman dari komunitas yang memiliki antusiasme terhadap sejarah dan
budaya lokal Surabaya, Surabaya Tempo Dulu, berkolaborasi dengan Ayos Purwoaji
dari Hifatlobrain Travel Institute. Ilustrasi trem oleh graphichapter.
Sejarah 8 July 2013 Keywords: Transportasi, trem 46 165
Share0 3 Share0 1 5075

Kedua tiang pantograf itu tampaknya tak peduli akan keramaian di jalan Rajawali yang mengitari
mereka setiap harinya. Tak terlihat pula tanda-tanda akan menyerah pada perubahan jaman.
Kedua tiang itu hanya berdiri kokoh di sana. Setelah 44 tahun tak dialiri listrik, tiang pantograf
itu menjadi satu dari sedikit peninggalan kejayaan trem uap dan trem listrik yang pernah malangmelintang di kota Surabaya sejak lebih dari satu abad silam. Tiang yang pernah menjadi penyalur
listrik untuk trem ini menjadi titik awal cerita tentang trem di masa lalu, yang akan ditelusuri
melalui peningalan-peninggalan yang masih ada.

Tiang pantograf di Jalan Rajawali. Foto: Firman (Surabaya Tempo Dulu)

Kepulan asap di Jalan Diponegoro

Di Karangpilang terdapat satu-satunya halte trem yang masih utuh di Indonesia. Sebuah
bangunan memanjang minimalis bergaya art nouveau yang sekarang menjadi toko jual pulsa HP
dan toko meracang (toko kelontong). Foto: Firman (Surabaya Tempo Dulu)
Trem uap adalah trem yang pertama hadir di Surabaya sekaligus yang terakhir ditutup pada tahun
1975. Trem ini berangkat dari stasiun trem Wonokromo melewati jalan-jalan yang sekarang
bernama Jalan Diponegoro Jalan Arjuno Pasar Turi Kebun Rojo Cantikan Ampel
Benteng dan berakhir di Pangkalan AL Ujung. Sedangkan jalur ke selatan mengarah ke
Gunungsari hingga Karangpilang dan berakhir di Tarik, Mojokerto. Di Karangpilang terdapat
satu-satunya halte trem yang masih utuh di Indonesia. Sebuah bangunan memanjang minimalis
bergaya art nouveau yang sekarang menjadi toko jual pulsa HP dan toko meracang(toko
kelontong).
Trem uap masih cukup banyak ditemui peninggalannya. Sebuah areal luas di bilangan Waringin
dekat Terminal Joyoboyo adalah bekas depo trem uap dan trem listrik. Sebuah bangunan besar
seperti gudang dengan dinding beton yang mulai tergerus lumut itu adalah tempat dimana trem
uap diperbaiki. Satu bangunan lagi, dengan tulisan ANNO 1913 adalah tempat trem uap
beristirahat setelah seharian bekerja melayani penumpang. Suara pukulan palu dan desis las para
mekanik trem telah berganti menjadi kesunyian diantara mobil-mobil pribadi warga sekitar yang
areal luas ini sebagai lahan parkir berbayar.

Depo trem uap Wonokromo. Foto: Firman (Surabaya Tempo Dulu)


Dua pasang rel ukuran R25 tampak menyembul di atas sebuah gorong-gorong di Jalan
Diponegoro 50 meter dari Rumah Sakit RKZ. Baut-baut dan mur nya masih lengkap seperti
masih yakin mampu dilewati lokomotif B12 yang salah satunya masih bisa terlihat sebagai
monumen di Stasiun Pasar Turi. Kepulan asap B12 yang khas tak pernah terlihat lagi di
sepanjang jalan Diponegoro hingga Jalan Arjuno, jalur rel itu telah berganti dengan jalur hijau
dan sebuah jembatan layang di Pasar Kembang.
Trem uap masih terus melaju melalui Jalan Semarang, Pasar Turi, Kebun Rojo, Semut hingga
Ampel dan berakhir di Ujung. Teringat juga sesaknya gerbong trem oleh rombongan para santri
dan kiai yang akan ziarah ke makam Sunan Ampel saat bulan puasa atau cerocos kasar para
pelaut Belanda yang baru tiba di pangkalan Ujung. Dimana-mana terdapat bekas rel yang masih
menyempul dari timbunan aspal seperti di dekat Bank Mandiri Kebon Rojo, Jalan KH Mas
Mansyur dan di jalan masuk Lantamal Ujung. Rel-rel itu masih ada di sana, menunggu untuk
dilewati trem uap lagi.

Membelah Jalan Darmo menuju Jembatan Merah

Stasiun trem Wonokromo Kota adalah ground zero bagi sejarah transportasi trem di Surabaya. Di
sebuah bangunan berbentuk panjang khas stasiun kereta api yang berada tepat di seberang utara
Terminal Joyoboyo, adalah satu-satunya tempat dimana trem uap dan trem listrik berbagi tempat
selama masa aktifnya. Dari Wonokromo Kota ini dimulai Lyn 1 trem listrik yang melayani rute
Wonokromo Jembatan Merah.

Depo trem listrik Wonokromo. Foto: Firman (Surabaya Tempo Dulu)


Jalur Wonokromo Jembatan Merah merupakan jalur tersibuk dan terpanjang dari semua jalur
trem listrik yang ada. Jalur ini dilayani oleh 13 pasang wagon trem listrik. Satu pasang terdiri
dari 2 wagon trem dan terkadang ditambahkan satu gerbong terbuka untuk angkutan pedagang ke
pasar di pagi hari. Hiruk-pikuk penumpang dari kalangan pemerintahan, pegawai swasta, anak
sekolah, pedagang semua berdesakan dalam wagon trem setiap harinya.
Pada masa kolonial, penumpang trem dibagi menjadi kelas 1 untuk warga Belanda, dan kelas 2
untuk warga pribumi. Setelah diambil alih pemerintah RI, kelas penumpang trem listrik hanya
dibagi berdasarkan harga tiket. Tiket untuk kelas 1 seharga 15 sen, dan kelas 2 seharga 10 sen.

Saksi bisu dari jalur ini terlihat pada sisa-sisa rel berpenjepit khas trem listrik yang tampak di
sepanjang Jalan Kepanjen tepat di seberang Gereja Katedral dan Sekolah Katolik Frateran. Rel
ini lalu berbelok ke arah Jalan Veteran, yang lengkungan relnya masih terlihat di samping
Mapolwiltabes Surabaya.
Satu spot unik dari jalur ini ada di Kebun Rojo, mengingatkan kita pada Bumi Manusia, buku
pertama trilogi Pulau Buru dari Pramoedya Ananta Toer. Di sini jalur kembar ini harus berpisah
lagi. Satu jalur jalan lurus ke Jalan Veteran dan yang satu membelok ke depan Kantor Pos Kebun
Rojo (bekas sekolah HBS), tempat Minke dari Bumi Manusia bersekolah dulu. Di sinilah jalur
trem listrik dan trem uap bersilangan. Bayangkan betapa eloknya pemandangan kota jika
keduanya masih aktif. Persilangan ini dahulu diatur oleh seorang petugas. Uniknya tak pernah
satupun terjadi tabrakan antara trem uap dan trem listrik di sini.

Bezoek ke CBZ naik trem.


Tak ada yang tersisa dari halte Goebeng Boulevard. Halte yang kini berada di depan restoran
Ayam Goreng Suharti itu telah berubah jadi taman bermain anak-anak. Tak banyak bekas trem
listrik yang bisa ditemukan di Jalan Gubeng selain jalan raya yang cukup lebar yang dulunya
pernah mengakomodasi jalur trem di tengahnya.
Halte di depan Stasiun Gubeng telah berubah menjadi restoran makanan Jepang. Selanjutnya
trem berjalan di atas jembatan kokoh rancangan arsitek C.Citroen yang sekarang dikenal sebagai
Jembatan Monkasel. Lyn ini adalah rute yang dilalui oleh para dokter, perawat dan keluarga
pasien yang akan berkunjung (bezoek) ke Rumah Sakit CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekenhuis).
Seperti juga jalur trem di depannya, rumah sakit ini juga telah hilang berganti dengan pusat
perbelanjaan bernama Surabaya Plaza.
Lyn 2 yang berjalan dari Gubeng ke Jembatan Merah ini akhirnya menyatu dengan Lyn 1 di
perempatan Jalan Pemuda dan Jalan Panglima Sudirman, untuk kemudian jalan terus ke
Jembatan Merah.
Cara membedakan trem listrik dari rute yang berbeda cukup dapat dibedakan dengan membaca
papan nama yang berada di bagian depan dan belakang trem. Cara penggunaan nama di bagian
depan dan belakang juga istilah lyn konon diwariskan pada transportasi bemo di Surabaya
hingga sekarang.

Ke Perak
Hingga tahun 1990-an di jalur hijau sepanjang Jalan Perak Barat dan Jalan Perak Timur ini masih
terlihat double track dari jalur trem listrik Lyn 4 yang melayani Jembatan Merah Tanjung
Perak. Sekarang yang ada tinggal sepotong rel yang menggantung di atas selokan dekat pos
polisi dan dua tiang pantograf di Jalan Rajawali yang diceritakan di awal tulisan tadi.
Para penumpang di jalur Lyn 4 kebanyakan adalah penumpang kapal laut yang akan berangkat
naik kapal di Pelabuhan Tanjung Perak. Ramainya penumpang di jalur ini terjadi saat pagi dan
siang hari. Para penumpang yang memenuhi trem di jam-jam tersebut adalah para pekerja

galangan kapal dan pelabuhan Tanjung Perak. Wajah-wajah lelah para pekerja pelabuhan,
pegawai PELNI dan para buruh angkut yang memenuhi bus DAMRI jurusan Perak di setiap sore
seakan menjadi cerminan dari kondisi penumpang trem listrik Lyn 4 di masa lalu.
Rute ini memiliki keunikan karena berpotongan dengan rel kereta api di tiga titik sepanjang
jalurnya. Persilangan persilangan seperti ini menunjukan betapa Surabaya di masa lalu adalah
sebuah kota yang disaling-silang oleh ular besi nyaris di semua sudut kota. Bahkan dapat dikata
sendi kehidupan Surabaya bergantung pada aktivitas yang berlalu lalang di atas sabuk-sabuk besi
ini.

Pulang ke Rumah di Sawahan

Bengkel trem listrik Sawahan. Foto: Firman (Surabaya Tempo Dulu)


Dua bangunan besar memanjang di ujung Jalan Tidar itu masih menunjukkan keperkasaannya
walau kini telah dipadati pemukiman di sekelilingnya. Masih dapat pula kita temukan tulisan
stensil SOERABAIA pada dinding asbes bangunan ini. Dua bangunan berbentuk gudang besar
itu sejatinya adalah Depo Trem Sawahan, tempat semua armada trem listrik memulai hari-hari
sibuk di jam 5 pagi setiap harinya dan kembali jam 10 malam. Depo trem ini pada masa jayanya

memiliki 12 jalur untuk perawatan dan perbaikan. Semuanya kini tak berbekas berganti menjadi
gudang penyimpanan usaha yang konon berstatus sewa ke PT KAI.
Sawahan juga menjadi titik awal dari jalur Lyn 3 yang melayani Stasiun Gubeng Sawahan.
Rute ini berada satu jalur dengan Lyn 1 dan 2 sebelum akhirnya berpisah di persimpangan
Tunjungan Embong Malang. Tumpukan rel diantara lapak-lapak tukang stempel dan stiker di
Jalan Embong Malang menjadi bukti adanya jalur trem pernah lewat di jalan ini dahulu kala.
Persilangan dengan jalur trem uap di Jalan Arjuno sudah lama tiada. Tak ada tanda-tanda yang
nampak di sepanjang Jalan Tidar, walau terkadang lubang jalan di tengah jalan kala musim hujan
terkadang memunculkan kembali rel-rel ini. Tiang-tiang pantograf yang sempat menjadi tiang
lampu jalan paska trem listrik dihentikan operasionalnya juga telah lenyap. Antrean anak-anak
sekolah Don Bosco yang menunggu trem di Halte Tembok Doekoeh digantikan antrean mobil
mewah pribadi yang mengantar mereka.
Rumah-rumah bergaya art deco dengan papan bertanda ASET PT KAI di sekitar Depo Trem
Sawahan menjadi petunjuk bahwa di sana terdapat peninggalan penting dari PT KAI. Batanganbatangan rel yang telah beralih fungsi sebagai akses masuk rumah di atas selokan menjadi
penjelas dari keberadaan Depo Trem Sawahan.

Sang penjaga nyala api

Pak Abdul Azis, penjaga nyala api trem. Pintu di rumahnya ini adalah pintu trem yang ia
selamatkan ketika tremnya dibesituakan. Foto: Firman (Surabaya Tempo Dulu)
Jejak kejayaan trem listrik di masa lalu tak hanya diceritakan melalui peninggalan-peninggalan
benda mati yang tersebar di kota Surabaya. Masih banyak keluarga atau keturunan dari pelaku
trem listrik yang tinggal di pemukiman tepat di sisi timur Depo Trem Sawahan. Tidak banyak
yang tahu bahwa diantara penduduk itu ada saksi hidup yang tak pernah lelah bercerita tentang
masa jaya trem listrik.
Sosok itu bernama Abdul Azis. Cara beliau bertutur membuat kita tak percaya bahwa ia telah
berusia 90 tahun. Bapak Abdul Azis adalah satu-satunya motoris atau pengemudi trem listrik
yang masih hidup. Bagi generasi sekarang yang tak pernah mengalami era trem listrik, Pak
Abdul Azis dan trem listrik bagaikan satu kesatuan. Sebagian besar bahan dalam tulisan ini
berasal dari cerita pengalaman Pak Abdul Azis.

Pak Abdul Azis masih mengingat saat harus menghalau copet dari trem. Para pencopet itu sering
naik dari Toko Metro di Jalan Tunjungan. Pak Abdul Azis selalu memaksa para pencopet turun
dari trem sebelum sempat beraksi. Pak Azis juga masih ingat cara mengemudi trem dan cara
mengerem yang mengeluarkan suara dengungan khas trem kala itu. Beliau juga mengenang
bahwa trem listrik tak pernah sekalipun mengalami kekurangan pasokan listrik.
Pak Abdul Azis memiliki pengalaman tak terlupakan saat trem yang dikemudikannya menabrak
sepeda motor sespan Harley Davidson yang dikemudikan seorang polisi lalu lintas. Kejadian di
Lyn 4 Jalan Perak ini membuat sang polisi terpental bersama sepeda motornya masuk ke selokan.
Insiden ini sempat membuat Pak Abdul Azis dipanggil atasan sang polisi di Mapolwiltabes
Surabaya. Bukannya mendapat teguran, Kepolisian malah meminta maaf karena tindakan
ceroboh anggotanya.
Sesekali Abdul Azis menitikan air mata mengenang rekan-rekan sesama motoris trem yang kini
semua telah tiada. Sesekali beliau geram mengingat banyaknya fasilitas bangunan dan jalur trem
yang telah dijual PT KAI dan telah beralih fungsi menjadi bangunan lain. Beliau juga sedih saat
trem akhirnya harus diberhentikan dan kereta tremnya dibesituakan.
Rupanya Pak Abdul Azis masih ingin menyelamatkan beberapa benda dari trem untuk
mengenang eksistensi trem listrik di Surabaya. Terdapat dua pintu kamar dalam rumah Pak
Abdul Azis yang sejatinya adalah pintu trem listrik yang beliau ambil saat trem dibesituakan.
Melihat dua pintu ini serasa seperti melihat gerbang dari mesin waktu. Saat berada di depan pintu
dan membukanya, terasa suasana riuh penumpang trem
Mereka berdesakan di pintu, bergantungan tangan dan duduk saling berhadapan. Plafon di atas
tempat duduk dipenuhi iklan-iklan Unilever, Pamolive atau Lindeteves Stockvis. Kondektur
berjalan diantara penumpang menarik karcis. Baru saja trem meninggalkan pertigaan Tunjungan
Genteng Besar. Di depan tampak Pak Abdul Azis di kursi pengemudi, kali ini ia tampak 58
tahun lebih muda. Tangan kanannya bersiap di tangkai rem, bersiap menggunakannya saat
berhenti di halte Siola.
- See more at: http://ayorek.org/2013/07/jejak-dan-sosok-di-balik-tremsurabaya/#sthash.keUGrYLH.dpuf

Ketika Kereta Api Berjaya di Tanah Jawa


Posted on 03/06/2013 by komunitaskotatoeamagelang
Standard

Stasiun Kereta Api Ambarawa


Sejarah transportasi kereta api di Indonesia mungkin termasuk yang tertua di dunia. Pada tahun
1864, pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah membangun lintasan rel dari Semarang
ke Vorstenlanden(Solo dan Yogyakarta), hanya terpaut 34 tahun sejak kemunculan kereta api
pertama di Inggris. Tergolong cepat pada waktu itu, mengingat jauhnya jarak dunia Barat dan
Timur, serta terbatasnya moda angkutan antar benua yang hanya mengandalkan kapal laut.

Ilustrasi Stasiun Tanggung di Purwodadi


Hadirnya kereta api di Indonesia, berawal dengan berdirinya perusahaan swasta NV NederlandsIndische Spoorweg Maatschappij (NISM) pada 27 Agustus 1863. Sekitar enam tahun kemudian,
tepatnya pada tanggal 10 April 1869, Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan perusahaan
kereta api Staats Spoorwegen (SS). Pendirian SS ini dilatarbelakangi adanya kesulitan dalam
pembangunan jalur kereta, misalnya masalah finansial. Namun, ide pembangunan jaringan jalur
kereta api telah dikemukakan oleh Kolonel JHR Van Der Wijk, seorang petinggi Koninklijk
Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL), pada 5 Agustus 1840, 23 tahun sebelum NISM didirikan.
Menurut Kolonel JHR Van Der Wijk kereta api merupakan salah satu jalan keluar untuk
mengatasi masalah pengangkutan dan akan sangat menguntungkan dalam bidang pertahanan. Ide
awal yang ia rencanakan adalah pembangunan jalur kereta api Batavia-Surabaya melalui
Yogyakarta dan Surakarta. Pemerintah Hindia Belanda menerima ide itu, tetapi jalur yang
dibangun malah menghubungkan Semarang dengan Surakarta dan Yogyakarta.

Kantor pusat NISM di Semarang, sekarang kita mengenalnya dengan sebutan Lawang Sewu.
NISM sendiri didirikan setelah mendapatkan izin dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat
itu, Mr. L.A.J.W. Baron Sloet Van De Beele untuk membangun jalur Kemijen-Tanggung yang
berjarak 26 km. Pembangunan jalur kereta api di Jawa, kemudian dilakukan pada 17 Juni 1864,
ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke- 52 Van De
Beele. Jalur Kemijen-Tanggung selesai dan mulai dipergunakan pada 10 Agustus 1867. Jalur
Kemijen-Tanggung ini kemudian diperpanjang hingga sampai Yogyakarta melalui Surakarta dan
mulai dipergunakan pada 10 Juni 1872. Selesainya jalur baru ini sekaligus menandai masuknya
kereta api untuk pertama kali ke wilayah Yogyakarta. Stasiun Lempuyangan kemudian dibuka
dan diresmikan pada 2 Maret 1882. Semua jalur tersebut dikuasai dan dikelola oleh NV. NISM
(Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij / Perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda).
Pelopor pembangunan kereta api di Jawa adalah Nederlandsch Indische Spoorweg
Maatschappij atau NISM. Walau sebelumnya ijin konsesi sempat ditolak oleh Pemerintah Hindia
Belanda dan mengalami masalah keuangan pada masa pembangunan, akhirnya rel kereta api
antara Semarang Vorstenlandenselesai dibangun tahun 1871.

Foto dan peta tempo doeloe tentang perkeretaapian antara Kedungjati dan Ambarawa
Thomas H. Reid dalam buku yang ditulisnya, Across the Equator (1908), mengutip
pengalaman temannya yang pernah menumpang kereta api dari Semarang ke Yogyakarta sebagai
berikut :
Perjalanan dari Samarang ke Djocjakarta biasanya ditempuh melalui Solo(Soerakarta), tapi
rute ini biasa-biasa saja karena cuma melintasi dataran rendah yang dipenuhi persawahan.
Aku menyarankan rute yang lebih menarik melalui (benteng) Willem I. Ada kereta yang
berangkat pukul 5.57 atau 8.17 pagi dan sampai di Djocja pukul 2.16 atau 5.10 sore. Kereta
yang berangkat pukul 10.50 cuma sampai Magelang, jadi akhirnya aku menumpang kereta
yang berangkat pukul 2.9 siang, dan setelah sampai di stasiun Kedoeng Djattie, kami pun
pindah ke kereta lain. Selama dua jam berikutnya, kereta melintasi kaki-kaki bukit, hutan
dan padang rumput yang indah, silih berganti dengan pemandangan lembah, sawah dan
bukit-bukit di kejauhan saat kereta merayap naik ke Willem I. Tempat ini kami capai pada
pukul 5 sore, dimana kami bisa merasakan sejuknya semilir angin dan menikmati keindahan
alam serta matahari terbenam di gunung kecil di depan hotel.Keesokan harinya pada pukul
8.54, aku ikut kereta api yang berangkat dari Semarang pukul 5.57 dan tak lama kemudian
sampai di sebuah stasiun dimana lokomotifnya ditukar dengan loko cog-wheel karena daerah
yang akan kami lewati nanti terlalu berat bagi loko biasa. Kereta kemudian berjalan lagi
memutari bukit-bukit yang dipenuhi ladang hingga ke puncaknya. Kereta pun terus naik ke
atas hingga kami bisa merasakan udara yang sangat menyegarkan. Tiffin (makan siang)
harus dipesan melalui kondektur sebelumnya dan akan diantarkan ke gerbong. Kira-kira
pukul satu siang loko kereta diganti lagi, dan perjalanan ke Djocja pun dimulai melalui

Magelang. Bagi mereka yang ingin mengunjungi Samarang, aku sangat menyarankan rute
ini.

Kereta uap saat melewati rel bergerigi di perbukitan Bedono


Terhitung ada sebuah perusahaan kereta api negara dan 16 perusahaan kereta api swasta yang
beroprasi di Jawa. Adapun perusahaan kereta api dan trem yang mendapat konsesi di Jawa:
1. Staats Spoorwegen (SS),
2. Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM),
3. Semarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS),
4. Javaasche Spoorweg Maatschappij (JSM),
5. Poerwodadi Goendih Stoomtram Maatschappij (PGSM),
6. Bataviaasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS),
7. Ooster Java Stoomtram Maatschappij (OJS),
8. Surabaja Solosche Tramweg Maatschappij (SoTM),

9. Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS),


10. Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS),
11. Pasoeroean Stoomtram Maatschappij (PoSM),
12. Bataviaasche Stoomtram Maatschappij (BSTM),
13. Probolinggo Stoomtram Maatschappij (PbSM),
14. Kediri Stoomtram Matschappij (KSM),
15. Modjokerto Stoomtram Maatschappij (MSM),
15. Babat Djombang Stoomtram Maatschappij (BDSM),
16. Malang Stoomtram Maatschappij (MS)

Stasiun Magelang Pasar tempo doeloe


Perkembangan transportasi ini begitu pesat. Jika pada tahun 1864 panjang rel yang dibangun
baru 25 km, pada tahun 1900 lintasannya sudah mencapai 3.338 km, bertambah 133 kali lipat
dalam kurun waktu 36 tahun! Suatu pencapaian luar biasa yang pernah ditorehkan bangsa
Belanda di negeri jajahannya.

Stasiun Magelang Kota

Sejarah Kereta Api Rancaekek-Jatinangor-Tanjung Sari


Selain kebun teh milik tuan Baron, Jatinangor juga terkenal karena keberadaan kereta api.
Trayeknya yaitu Rancaekek-Jatinangor-Tanjung Sari. Di Jatinangor stasiunnya terletak di tempat
yang sekarang menjadi Dinas Pendidikan, seberang warung Kalde, sayangnya, kenangan yang
masih ada hingga saat ini hanya tangganya saja.
Menurut buku Wajah Bandoeng Tempo Dulu, jalur KA tersebut diresmikan pada 23 Februari
1918, dan diurus oleh SS (Staats Spoorwegar) perusahaan kereta api zaman Belanda. Rutenya
yaitu stasiun Rancaekek, memotong jalan mobil di Cipacing, masuk Cipacing, lalu masuk ke
jalan mobil dekat kampung Caringin, Cikuda, Jembatan Caringin, Cileles, dan Tanjung Sari.
Sayangnya rutenya ini tidak melewati Sumedang, awalnya memang pernah direncanakan, tetapi
permasalahan ada di kawasan Cadas Pangeran. Jurang dan cadasnya terlalu curam sehingga tidak
cocok untuk dijadikan jalan rel kereta api.
Dari Rancaekek tidak terus ke Bandung, kalau mau langsung ke Bandung harus ganti kereta.
Bekas rel kereta disebutnya tanah SS. Sekarang sudah tidak terlihat bekas-bekas adanya rel
kereta api, karena lahan tersebut sudah dijadikan kebun atau malah sudah dijadikan bangunan,
Kalau di Tanjung Sari ada desa yang namanya Desa SS, asal muasalnya ya dari sana juga.
Tempatnya dekat dengan alun-alun. Halte Tanjung Sari adanya di sebelah Utara Jembatan.
Jembatan itu juga dilewati oleh rel, tambah Surpiatna.
Menurut Bah Idik, seorang teman lama Surpiatna, pemberhentian kereta api itu berada di
Tanjung Sari. Jam pertama adalah jam lima subuh, jalannya dari Tanjung Sari tiba di Jatinangor

jam lima seperempat, sampai ke Rancaekek setengah enam kurang. Jalan keduanya jam enam,
jalan dari Rancaekek, sampai di Jatinangor jam enam lewat sedikit. Sampai ke Tanjung Sari jam
setengah tujuh. Jam ketiganya jam tujuh dari Tanjung Sari, dan begitulah bolak-balik. Tengah
hari baru istirahat. Setelah itu jam lima sore dari rancaekek ke Tanjung Sari. Jalur kereta api ini,
sangat besar bantuannya bagi pemerintah dan masyarakat, baik yang mau pergi ataupun bagi
yang mau usaha.
Dulu tidak ada penumpang yang tidak kebagian duduk, karcis yang dijual selalu karcis duduk.
Yang ketahuan tidak membeli karcis dihukum tanpa ampun.

sumber : Harianto Arif. (2003). Jatinangor Guidebook. Jatinangor: Sapta Media


Communication, inc.

YANG TERSISA DARI (SEPUR) DI MAGELANG


Berbicara mengenai Kota Magelang, pastilah banyak hal yang bisa diperbincangkan.
Mulai dari kuliner, tempat wisata, sampai sejarah semuanya dimiliki oleh kota yang terkenal
dengan Gunung Tidarnya ini. Kota yang berusia lebih dari 1000 tahun ini memiliki sejarah yang
amat panjang dan menarik untuk diperbincangkan. Banyaknya situs arkeologi yang ditemukan di
wilayah ini menandakan bahwa peradaban di Kota Magelang telah tumbuh sejak berabad-abad
yang lalu.
Kali ini saya berkesempatan untuk melalukan observasi atau blusukan di Kota Magelang
terkait dengan sejarah transportasi masal yang ernah ada di kota ini pada awal abad 19 yaitu
kereta api. Berbicara mengenai transportasi kereta api di Magelang tentu tidak bisa kita lepaskan
dari peran pemerintah kolonial yang menguasai Indonesia pada saat itu. Magelang yang memiliki
udara yang sejuk layaknya di Belanda menjadi magnet tersendiri bagi orang-orang Belanda
untuk bermukim di kota sejuta bunga itu. Dari situlah Magelang mulai ramai dengan peradaban
yang dibangun oleh kolonialisme.
Banyak indsutri, sekolah, rumah sakit, pusat bisnis bahkan basis militer dibangun di
Magelang pada waktu itu. Ramainya Magelang pada saat itulah yang membuat pemerintah
kolonial ingin menghubungkan Magelang dengan kota-kota lain di pulau Jawa seperti Semarang,
Yogyakarta, dan Parakan. Untuk memudahkan mobilitas dan menggerakkan roda perekonomian,
maka dibangunlah jalur kereta api ke Magelang.
Jalur kereta api ke Magelang merupakan perpanjangan dari jalur kereta api Ambarawa
Secang. Jalur tersebut dibangun di akhir abad 19 yang menghubungkan Magelang hingga
Yogyakarta. Pada masanya jalur ini sangat ramai oleh mobilitas warga yang hendak bepergian.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya stasiun yang dibangun di jalur Magelang hingga Yogya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan majunya teknologi, moda transportasi mulai diramaikan
oleh angkutan jalan raya. Banyak jalan mulai dibangun pada dekade 1960-an. Pembangunan
jalan raya ini lah yang menyebabkan beberapa jalur kereta api bersinggungan dengan jalan raya
yang kala itu sudah diramaikan oleh kendaraan berbasis ban karet.
Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya moda transportasi kereta api di Magelang
harus dipaksa menyerah terhadap kemajuan zaman. Tercatat pada tahun 1976 kereta api yang
kala itu dikelola oleh PJKA harus menutup layanan perjalanan kereta api dari Magelang hingga

Yogyakarta akibat kalah bersaing dengan transportasi jalan raya yang dianggap lebih cepat dan
efisien. Penutupan ini merupakan rentetan penutupan jalur kereta api dari Kedungjati Tuntang
Ambarawa Secang Temanggung Parakan Magelang Jogja.
Kini yang tersisa dari sejarah kereta api di Magelang hanyalah bangkai-bangkai rel kereta
api yang melintang diberbagai tempat serta bangunan stasiun dengan kondisi yang merana seolah
menanti untuk dihidupkan kembali. Saat ini tak banyak orang yang tahu bahwa kota yang indah
ini dulunya pernah dilalui oleh ular besi yang selalu menyembulkan asap hitam membumbung
tinggi seolah menandakan keperkasaannya.

Peta Jalur Kereta Api di Magelang Tahun 1903


Sumber: kitlv.nl
Sedikit meninggalkan rutinitas harian yang cukup melelahkan, kali ini saya mencoba
untuk melakukan blusukan menguak sejarah kereta api di Indonesia khususnya di Kota
Magelang. Blusukan kali ini saya lakukan pada tanggal 25 Oktober 2014, bertepatan dengan hari
libur Tahun Baru Hijriyah. Sebenarnya rencana ini sudah saya rencanakan jauh-jauh hari akan
tetapi karena berbagai alasan baru bisa terlaksana pada tanggal 25 Oktober. Tepat pukul enam
pagi saya bergerak meninggalkan Solo. Blusukan saya kala ini saya rencanakan mengambil titik
strart di Desa Krincing Kecamatan Secang Magelang.

Sebenarnya di sisi paling utara Kabupaten Magelang terdapat sebuah stasiun yaitu
Stasiun Candi Umbul, akan tetapi karena saya pernah mengunjunginya beberapa waktu yang lalu
dan pertimbangan efisiensi waktu maka saya putuskan untuk melewatinya. Sebagai informasi
Stasiun yang berada di Magelang hingga Jogjakarta setelah Stasiun Candi Umbul adalah: Stasiun
Brangkal Stasiun Secang Stasiun Payaman Halte Magelang Kramat Stasiun Kebonpolo
Stasiun Magelang Alun-Alun Stasiun Magelang Pasar Halte Banyurejo Stasiun Mertoyudan
Stasiun Japonan Stasiun Blondo Stasiun Blabak Stasiun Pabelan Stasiun Muntilan
Halte Muntilan Kidul Stasiun Dangeyan Stasiun Tegalsari Stasiun Semen Stasiun Tempel
Halte Ngebong Stasiun Medari Stasiun Sleman Halte Pangukan Stasiun Beran Halte
Mlati Halte Kutu Halte Kricak Stasiun Tugu. Menurut informasi yang saya peroleh dari
semua bangunan halte dan stasiun tersebut tidak semua bangunannya masih bisa ditemukan.
Banyak bangunan halte dan stasiun yang sudah dirobohkan karena tergusur oleh pembangunan
kota.
Kurang lebih dua jam perjalanan saya mulai memasuki wilayah Secang Kabupaten
Magelang. Sesampainya di Secang saya mulai mencari lokasi keberadaan Desa Krincing yang
mana di desa itulah Stasiun Brangkal pernah berdiri. Sempat tersesat, akhirnya saya berhasil
menemukan lokasi Desa Krincing. Lokasinya berada di pertigaan Krincing sebelah kiri jalan dari
Ambarawa. Disana terdapat sebuah pasar desa yang ukurannya tidak terlalu besar. Dari pertigaan
tersebut masuk kurang lebih dua kilo meter maka akan menjumpai sebuah jembatan yang
ukurannya tidak begitu besar. Disebelah jembatan terdapat bekas rel kereta api yang
bersinggungan dengan jalan raya. Kondisi rel sudah tidak utuh lagi, hanya tampak beberapa
potongan rel saja yang menandakan bahwa disitulah dulu kereta api pernah lewat. Terlihat dari
jalan raya jalur kereta masuk kedalam hutan kopi milik warga.
Menurut informasi yang saya peroleh dari teman saya yang merupakan warga asli
Magelang, dahulu Stasiun Brangkal terletak dekat dengan jembatan disamping jalan desa dan
bangunnya sendiri sudah lama dirubuhkan. Disana memang saya sudah tidak menemukan
bangunan yang menyerupai stasiun, yang nampak hanyalah bangunan semi permanen milik
warga. Hanya sebuah plang milik PT. KAI yang sudah tidak utuh lagi yang bisa dijadikan
penanda bahwa di situlah lahan milik PT. KAI yang kemungkinan letak Stasiun Brangkal
dulunya berdiri.

Stasiun Brangkal adalah stasiun kecil yang terletak di Desa Krincing Kabupaten
Magelang. Stasiun ini didirikan pada tahun 1905 oleh NIS. Seiring dengan berjalannya waktu
stasiun ini resmi ditutup pada tahun 1976 karena jalur kereta mulai sepi penumpang.

Bekas Jalur Kereta di Desa Brangkal dari Arah Candi Umbul

Perkiraan Lokasi Stasiun Brangkal

Rel Bersinggungan dengan Jalan Raya di Desa Brangkal

Beranjak meninggalkan bekas lokasi Stasiun Brangkal, perjalanan saya lanjutkan menuju
Secang. Setelah Stasiun Brangkal stasiun berikutnya adalah Stasiun Secang. Pada perjalanan kali
ini saya tidak mampir ke Stasiun Secang dikarenakan saya sudah pernah singgah distasiun ini
sebelumnya dan untuk mempersingkat waktu. Setelah melewati Secang perjalanan saya
lanjutkan menuju Desa Payaman untuk mencari keberadaan Stasiun Payaman.
Tidaklah sulit untuk mencari lokasi Stasiun Payaman. Letaknya tepat didekat Pasar
Payaman disebelah kiri jalan dari arah Ambarawa. Setelah melewati pasar kita akan menjumpai
gang kecil menuju perkampungan, dari gang tersebut masuk kurang lebih 50 meter maka kita
akan menjumpai bangunan stasiun yang berada disebelah kanan jalan. Diarea tersebut saya
masih banyak menjumpai bekas jalur kereta yang masih tampak utuh.
Kebetulan kedatangan saya waktu itu agak kurang tepat. Kala itu warga sekitar sedang
mengadakan acara jalan santai dan panggung dangdut tepat di depan bangunan Stasiun Payaman,
sehingga saya tidak bisa leluasa mengamati dan mengambil gambar di bangunan bekas stasiun.
Sambil menikmati musik dangdut yang kebetulan saat itu sedang menyanyikan lagu yang sedang
naik daun sakitnya tuh disini saya mencoba mencari celah untuk bisa mengambil gambar di
lokasi.
Ada hal unik yang saya temukan disini. Ada sebuah prasasti kecil di samping bangunan
stasiun yang bertuliskan H.W.P (Hoog Water Peil) 1930 yang berdasarkan referensi yang saya
cari memiliki arti sebagai batas ketinggian air saat terjadi banjir pada tahun 1930. Hal ini
menandakan bahwa stasiun ini pernah terendam banjir pada tahun 1930. Jika melihat kondisi
fisik bangunan Stasiun Payaman sebenarnya kondisinya masih bisa dikatakan terawat. Akan
tetapi sayang di bagian sisi lain bangunan stasiun kini telah ditutupi oleh bangunan baru milik
warga setempat. Di samping bangunan stasiun saya juga masih bisa menjumpai bangunan toilet
milik Stasiun Payaman akan tetapi dengan kondisi yang kurang terawat.
Stasiun Payaman mulai dibangun pada tahun 1905 oleh NIS yang melayani perjalanan
dari Ambarawa hingga Magelang dan sebaliknya. Stasiun ini berada di Desa Payaman
Kabupaten Magelang. Penutupan stasiun ini dilakukan pada tahun 1976 seperti stasiun yang
lainnya karena kalah bersaing dengan bus dan mobil pribadi.

Bekas Bangunan Stasiun Payaman

Bekas Jalur Kereta Menuju Stasiun Payaman

Bekas Jalur Kereta di Area Stasiun Payaman


Setelah puas menikmati musik dangdut gratis Stasiun Payaman, perjalanan saya lanjutkan
ke Kecamatan Magelang Utara untuk mencari lokasi Halte Magelang Kramat. Tak lama
kemudian perjalanan saya tiba di bekas lokasi Halte Magelang Kramat. Letaknya tepat di depan
RSJ Soerojo Magelang. Dari lokasi yang saya amati, saya sudah tidak bisa menjumpai bekas
bangunannya sama sekali. Referensi mengenai keberadaan halte ini pun juga sangat sedikit.
Hanya sebuah plang milik PT. KAI saja yang menjadi penanda.

Perkiraan Lokasi Halte Kramat

Berlanjut meninggalkan lokasi Halte Magelang Kramat, saya segera beranjak menuju
Stasiun Magelang Kota atau akrab disebut Stasiun Kebonpolo. Cukup mudah mencari letak
stasiun ini. Sebelum masuk ke Kota Magelang kita akan menjumpai papan petunjuk menuju
Terminal Kebonpolo dan disitulah letak lokasi Stasiun Magelang Kota atau Stasiun Kebonpolo
berada. Komplek stasiun ini sekarang memang sudah dialih fungsikan sebagai terminal angkot di
Kota Magelang. Dilihat dari fisik bangunannya, Stasiun Kebonpolo sebenarnya tidak memiliki
ukuran yang terlalu besar akan tetapi pada zaman dulu stasiun ini memiliki fungsi yang cuku
besar mengingat lokasinya yang strategis.
Stasiun Kebonpolo terletak di Kelurahan Petrobangsan Kecamatan Magelang Utara.
Stasiun ini didirikan pada tahun 1905 dan resmi ditutup pada tahun 1976. Penutupan stasiun ini
juga diikuti penutupan stasiun lain yang sejalur. Dulu di lokasi stasiun ini terdapat sebuah
gerbong kayu berjenis CR sebagai monument kereta api di Kota Magelang, akan tetapi karena
kondisinya yang tidak terawatt dan rusak akhirnya pada tahun 2011 gerbong tersebut
dipindahkan ke museum kereta api Ambarawa. Komplek area Stasiun Kebonpolo memiliki area
yang cukup luas. Disini bekas rel jalur kereta api sudah sulit ditemui karena telah tertutup oleh
aspal jalan dan bangunan milik masyarakat.

Bekas Bangunan Stasiun Magelang Kota atau Stasiun Kebonpolo

Stasiun Magelang Kota (Kebonpolo)


Sumber: Tropen Museum
Demi mengejar waktu, perjalanan saya lanjutkan menuju ke pusat Kota Magelang untuk
mencari lokasi Halte Magelang Alun-Alun. Menurut info yang saya dapatkan dari berbagai
sumber, lokasi halte tersebut berada di dekat Toserba Matahari yang berada disekitar alun-alun
Kota Magelang. Bangunannya sendiri memang sudah tidak berbekas sama sekali karena tergusur
oleh pembangunan kota.

Perkiraan Area Lokasi Stasiun Magelang Alun-Alun

Stasiun Alun-Alun Magelang Tahun 1910


Sumber: kitlv.nl

Kondisi Jalur Kereta di Kota Magelang Tahun 1910


Sumber: kitlv.nl
Bergerak meninggalkan alun-alun Kota Magelang, perjalanan saya lanjutkan menuju
Pasar Rejowinangun. Menurut informasi yang saya dapatkan dulu di Pasar Rejowinangun
terdapat sebuah stasiun kereta bernama Stasiun Magelang Pasar. Cukup sulit bagi saya
menemukan lokasinya. Sayapun mencoba menyusuri setiap jalan dan gang yang ada diarea
sekitar pasar. Bahkan Jejak-jejak rel pun tidak satupun yang bisa saya jumpai. Pencarian saya
lakukan terus secara berulang dengan asumsi mungkin saya kurang teliti atau kurang jeli.
Akhirnya setelah hampir 20 menit mencari saya menyerah dan tidak berhasil menemukan jejakjejak dari Stasiun Magelang Pasar. Suasana pasar yang ramai dengan lalu lalang kendaraan

bermotor serta padat akan bangunan toko-toko mempersulit pencarian saya di area tersebut.
Mungkin kali ini saya kurang beruntung.
Menurut info yang saya dapatkan dari rekan saya yang tinggal di Magelang, bangunan
Stasiun Pasar Magelang memang sudah tidak ada dan digantikan oleh taman yang ada disekitar
pasar. Stasiun Magelang Pasar didirikan pada tahun 1905 dan ditutup pada tahun 1976.
Dahulunya stasiun ini ramai oleh pedagang yang akan menjual hasil perkebunan dan
pertaniannya ke Pasar Rejowinangun.

Kereta Berhenti di Stasiun Pasar Magelang Tahun 1910


Sumber: kitlv.nl

Suasana Penumpang Menunggu Kereta Api di Stasiun Magelang Pasar


Sumber: Kitlv.nl

Beranjak dari Pasar Rejowinangun, perjalanan saya lanjutkan mencari Stasiun Banyurejo.
Menurut info yang saya dapatkan letak stasiun ini berada di Jalan Mayor Jenderal Sugeng
Kelurahan Mertoyudan. Setelah lama mencari saya tidak bisa menemukan lokasi stasiun,
mungkin karena bangunannya sudah dibongkar tak bersisa. Akhirnya saya berlanjut ke stasiun
berikutnya yaitu Stasiun Mertoyudan. Kali ini saya beruntung karena masih bisa menjumpai
bangunnannya.
Lokasi Stasiun Mertoyudan sendiri sangat strategis karena terletak dipinggir jalan
Magelang - Muntilan. Bangunan stasiun masih nampak bagus dan terawat meskipun sudah tidak
terpakai. Sama dengan stasiun sebelumnya, stasiun ini didirikan pada tahun 1905 dan ditutup
pada tahun 1976. Diseberang jalan saya masih bisa melihat bekas bangunan rumah dinas kepala
stasiun yang masih kokoh berdiri di pinggir jalan. Bangunan Stasiun Mertoyudan sangat kontras
dengan bangunan yang ada disekitarnya yang rata-rata adalah bangunan baru. Disamping
bangunan stasiun saya juga masih bisa menjumpai sisa alat persinyalan kereta api yang lazim ada
di stasiun-stasiun. Jika dilihat dari foto Stasiun Mertoyudan zaman dulu, jalan raya yang ada
didepannya adalah bagian emplasemen stasiun.

Bekas Bangunan Stasiun Mertoyudan

Stasiun Mertoyudan Tempo Dulu


Sumber: De Tuin Van Java
Perjalanan saya lanjutkan kembali, kali ini mencari lokasi Stasiun Japonan. Menurut
sumber yang ada Stasiun Japonan terletak di Jalan Mayor Jenderal Sugeng. Kali ini saya kembali
kurang beruntung karena saya tidak berhasil menjumpai bangunan stasiun. Mungkin bangunan
stasiun sudah dibongkar seperti stasiun yang lain. Berlanjut perjalanan saya mencari Stasiun
Blondo, kali ini perjalanan agak sulit karena ternyata posisi rel telah berubah bersilangan dengan
jalan raya. Rel yang semula berada di kiri jalan searah dengan arah saya, kini telah bersilang ke
kanan jalan. Tentu saja hal ini agak menyulitkan pencarian saya.
Mencari Stasiun Blondo mengantarkan saya ke daerah Mungkid Desa Blondo yang
letaknya berada di sebelah kanan jalan dari arah Magelang. Cukup sulit mencari lokasi stasiun
karena setelah berputar-putar lama saya hanya berhasil menemukan jejak rel nya saja. Itupun sisa
rel yang masih ada nyelempit diantara rumah warga yang sangat padat. Mungkin saya telah
menemukan stasiunnya tapi saya melewatkannya. Sempat bertanya pada 3 orang anak yang
kebetulan ada dipinggir jalan yang mengatakan bahwa lokasi stasiun telah menjadi rumah warga
bernama Pak Aan. Stasiun Blondo berdiri pada tahun 1905 bebarengan dengan stasiun lain di
Magelang. Lokasinya yang ada di tengah pemukiman warga ini lah yang membuat banyak orang
tak tahu kalau disana pernah terdapat stasiun.

Bekas Rumah Dinas Kepala Stasiun Blondo


Sumber: AkeRu

Bekas Jalur Kereta di Blondo


Beranjak dari Desa Blondo perjalanan saya lanjutkan mencari Stasiun Blabak. Kali ini
jalur kereta api mulai berpindah menyeberang jalan raya ke sebelah kiri jalan dari arah

Magelang. Hal ini cukup memudahkan saya untuk melakukan penelusuran. Akan tetapi saya
tidak bisa menemukan titik perpotongan jalur kereta dengan jalan raya karena sudah tidak
terdapat bekas rel kereta.
Sesuai dengan petunjuk yang saya miliki, Stasiun Blabak terletak tidak jauh dari pabrik
kertas Blabak. Dahulu distasiun ini terdapat jalur menuju pabrik kertas. Selain untuk mengangkut
penumpang, Stasiun Blabak juga digunakan untuk angkutan kertas pada masanya. Stasiun ini di
buka pada tahun 1905 dan resmi ditutup pada tahun 1976. Kini bangunan stasiun telah berubah
menjadi warung makan.
Disekitar area stasiun saya masih bisa menjumpai beberapa potongan besi rel kereta api.
Melihat kondisi fisiknya, bangunan Stasiun Blabak masih Nampak cukup terawat. Di titik ini
sebenarnya saya agak kesulitasn untuk mengambil gambar stasiun karena kondisi jalan raya yang
padat akan kendaraan sehingga saya harus berputar kesebrang jalan.

Bekas Bangunan Stasiun Blabak


Meninggalkan Stasiun Blabak, perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Pabelan.
Menurut info yang ada letak stasiun ini tidaklah jauh dari jembatan Kali Pabelan. Mendekati Kali
Pabelan saya mencoba mencari jalan menuju bekas jembatan kereta yang melintas diatas sungai.
Bekas jembatan kereta yang melintas di atas Kali Pabelan cukup besar. Bahkan dari jalan
rayapun kita bisa menyaksikannya. Diperkampungan dekat jembatan, saya tidak berhasil

menemukan bekas rel kereta. Menurut saya bekas rel telah banyak yang hilang dan tertimbun
tanah.
Setibanya di bibir jembatan saya menyempatkan untuk beristirahat sejenak melepas lelah
sembari menikmati keindahan Sungai Pabelan. Disana saya juga berusaha mencari petunjuk yang
mungkin bisa menuntun saya ke bekas lokasi Stasiun Pabelan. Cukup beristirahat perjalanan
saya lanjutkan dengan melintasi jembatan bekas jalur kereta yang telah disemen tersebut. Cukup
menakutkan memang mengingat ketinggian jembatan yang cukup tinggi.
Bangunan Stasiun Pabelan menurut informasi yang saya peroleh dari teman saya
memang sudah tidak. Tiba diseberang jembatan saya mencoba mencari jejak bekas lokasi stasiun
dahulu berada. Lama mencari, akhirnya saya teta tidak berhasil menemukan bekas lokasi stasiun.
Akhirnya perjalanan saya lanjutkan kembali.

Bekas Jembatan Kereta di Pabelan


Perjalanan kali ini saya lanjutkan mencari Stasiun Muntilan. Cukup mudah mencari
lokasi stasiun ini karena stasiun telah diberubah menjadi Terminal Bus Muntilan. Tiba diarea
terminal saya langsung bisa mengenali bangunan bekas Stasiun Muntilan. Posisi bangunan
terletak disamping pintu masuk terminal. Ukuran bangunannya lumayan besar dan masih tampak
terawat. Sayang sekali saya tidak bisa mengabadikan bangunan stasiun karena kebutulan pada
waktu itu Hand Phone mendadak error.

Beranjak dari Terminal Muntilan perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Muntilan
Kidul. Saya tidak berhasil menemukan bekas stasiun, karena menurut informasi yang ada
bangunan stasiun sudah dirubuhkan. Untuk letak bekas stasiun sendiri terletak di Jalan Pemuda.
Berlanjut, perjalanan saya lanjutkan di Desa Gulon Kecamatan Salam untuk mencari lokasi
Stasiun Dangean. Kali ini saya kembali kurang beruntung karena susah sekali mencari informasi
mengenai sisa stasiun ini. Akhirnya sayapun langsung bergegas menuju Desa Jumoyo untuk
mencari lokasi Stasiun Tegalsari.
Kali ini saya agak beruntung karena berhasil menemukan lokasi Stasiun Tegalsari.
Posisinya sendiri berada tepat di samping Jalan Magelang sebelum jembatan Kali Putih. Kondisi
stasiun sendiri masih cukup baik dan telah berubah fungsi menjadi warung makan. Dilokasi
bekas stasiun saya agak mengalami kesulitan karena kebetulan dijalan raya didepan bangunan
bekas stasiun terjadi kemacetan panjang sehingga saya tidak bisa mengambil gambar bangunan
stasiun.

Stasiun Tegalsari Tempo Dulu


Sumber: google.com
Sembari berkutat dengan macetnya jalan raya, perjalanan saya beranjak meninggalkan
Stasiun Tegalsari menuju Stasiun Semen. Stasiun Semen terletak di Desa Sucen Kecamatan
Salam atau di Jalan Magelang. Sayang sekali saya tidak bisa menemukan bekas bangunan
stasiun. Sangat sedikit sekali informasi mengenai stasiun ini, namun menurut info lokasi stasiun

berada didekat pertigaan Semen. Berhubung hari semakin siang, perjalanan saya lanjutkan
menuju Stasiun Tempel yang berada di Kabupaten Sleman. Stasiun ini terletak disamping kanan
jembatan Krasak atau perbatasan antara Jateng dan DIY.
Awalnya saya sangat kesulitan mencari lokasi stasiun ini, karena posisi saya berada di kiri
jalan sedangkan saya harus menyebrang jalan dengan kondisi lalu lintas yang sangat padat.
Akhirnya melalui informasi yang saya peroleh dari seorang nenek yang berada disana, saya
ditunjukkan jalan pintas menuju stasiun melalui terowongan yang berada di bawah jembatan.

Stasiun Tempel Tempo Dulu


Sumber: Tropen Museum

Bekas Bangunan Stasiun Tempel

Bangunan Gudang Stasiun Tempel

Bangunan Rumah Dinas Kepala Stasiun Tempel


Stasiun Tempel terletak di dekat Pasar Tempel. Stasiun ini dibuka pada tahun 1905 dan
resmi ditutup pada tahun 1976 akibat sepinya jumlah penumpang. Bangunan bekas stasiun masih
nampak bagus dan terawat. Disana kita masih bisa menemukan bekas rumah dinas kepala
stasiun, bangunan stasiun, bangunan gudang stasiun dan menara air. Stasiun Tempel sendiri kini
telah dialihfungsikan sebagai taman kanak-kanak.

Sebelum beranjak dari Tempel, saya menyempatkan diri untuk istirahat sejenak sambil
melepas lelah. Kebetulan didekat jembatan Kali Krasak ada penjual lotek yang lumayan enak
dengan harga terjangkau. Setelah puas mengisi perut perjalanan saya lanjutkan mencari Halte
Ngebong yang pada akhirnya saya juga tidak berhasil menemukan bekas halte ini.
Berpacu dengan teriknya matahari siang itu, saya segera tancap gas menuju stasiun
berikutnya yakni Stasiun Medari. Stasiun Medari menurut info yang saya dapatkan terletak di
dekat bekas pabrik Medari yang dulunya adalah bangunan Pabrik Gula Medari di Desa
Caturharjo. Cukup lama saya berkutat ditempat itu, namun yang saya temukan hanyalah tiang
listrik yang terbuat dari bekas besi rel kereta api. Dulu terdapat jalur kereta menuju ke pabrik
Medari saat masih menjadi pabrik gula. Kini bekas jalur kereta sudah sangat sulit ditemukan.

Bekas Bangunan Stasiun Medari


Sumber: kombor.com
Selanjutnya perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Sleman. Menurut info yang saya
dapatkan Stasiun Sleman telah berubah menjadi taman kota yang berada di dekat Pasar Sleman.
Tak banyak informasi yang saya miliki mengenai stasiun ini. Perjalananpun saya lanjutkan
kembali menuju Stasiun Pangukan. Saya kurang tahu persis mengenai lokasi Stasiun Pangukan
ini karena sedikitnya info yang saya miliki. Akhirnya perjalananpun saya lanjutkan menuju
Stasiun Beran.

Perkiraan Bekas Lokasi Stasiun Sleman


Perjalanan saya akhirnya tiba dipusat Kota Sleman. Kali ini saya mencoba mencari posisi
Stasiun Beran yang terletak di Desa Tridadi Sleman. Posisinya sendiri terletak dijalan
Pringgodiningrat dibagian depan dan Jalan PJKA dibagian belakang. Sebenarnya saya agak
sedikit mengalami kesulitan mencari lokasi bekas bangunan stasiun karena banyaknya
percabangan jalan disana.
Menurut info yang saya dapatkan bangunan bekas Stasiun Beran kini dipakai sebagai
kantor Koramil. Setibanya didepan kantor Koramil, sepintas bangunan yang saya lihat sudah
tidak menyerupai bangunan stasiun lagi. Hal ini dikarenakan bangunan sendiri sudah mengalami
banyak renovasi. Menurut beberapa artikel yang pernah saya baca dibagian dalam kantor
Koramil tersebut masih terdapat bagian bangunan yang dahulu digunakan sebagai tempat
penjualan tiket seperti yang ada disetiap stasiun. Perlengkapan kereta api yang masih tersisa di
lokasi tersebut adalah bekas peralatan sinyal yang terletak di saming bangunan kantor Koramil.

Bekas Bangunan Stasiun Beran


Beranjak dari Stasiun Beran, perjalanan saya lanjutkan menuju Halte Mlati. Halte ini terletak di
Desa Sendangdadi Kecamatan Mlati Sleman. Lokasinya sangat mudah untuk ditemukan yaitu di
Jalan Magelang KM 7,8. Bangunan halte sendiri sekarang sudah dialihfungsikan sebagai pos
polisi sehingga bangunannya sudah tidak menyerupai bangunan halte kereta api.

Bekas Bangunan Halte Mlati

Dibagian samping halte terdapat sebuah bangunan gereja yang cukup besar yakni Gereja
Santo Aloysius. Menurut sejarah yang pernah saya baca, dahulu tujuan pembangunan Halte Mlati
adalah sebagai sarana bagi orang-orang Belanda yang hendak ingin pergi sembahyang ke gereja.
Bahkan menurut beberapa referenssi menyebutkan didalam bekas bangunan halte sekarang
masih terdapat tulisan ruang tunggu bagi penumpang kereta.
Perjalanan kembali saya lanjutkan mencari lokasi Halte Kutu. Halte ini terletak di Desa
Sinduaji Kecamatan Mlati Sleman atau tepatnya berada di depan gedung TVRI Jogja.
Sesampainya disana saya sama sekali sudah tidak bisa menemukan bekas halte karena telah
tergusur oleh pembangunan kota. Sayapun hanya bisa memperkirakan lokasi halte dimana
dulunya berdiri.

Perkiraan Lokasi Halte Kutu


Dibekas lokasi Halte Kutu inilah perjalanan saya berakhir. Sebenarnya setelah Halte Kutu
masih ada dua lokasi lagi, yaitu Halte Kricak dan Stasiun Tugu. Halte Kricak menurut informasi
yang saya peroleh bangunannya sudah tidak ada karena telah lama dirubuhkan. Halte ini terletak
di Kelurahan Kricak atau tepatnya di depan gedung KPU Jogja. Sedangkan untuk Stasiun Tugu
sendiri saat ini masih aktif digunakan dan merupakan stasiun terbesar di Provinsi DIY yang
melayani perjalanan kereta api keseluruh pelosok pulau Jawa terutama dijalur selatan. Di Stasiun
Tugu itulah jalur kereta api dari Megelang berakhir. Stasiun Tugu merupakan stasiun yang ramai

dimasanya karena distasiun tersebut terdapat beberapa percabangan jalur menuju kebeberapa
wilayah diantaranya adalah Solo, Kutoarjo, Magelang, Pundong via Ngabean, dan Sewugalur.

Stasiun Tugu Tahun 1890 dan 1935


Sumber: kitlv.nl
Setelah melalui puluhan stasiun dan halte disepanjang Magelang dan Jogja, perjalanan saya
lanjutkan pulang menuju Solo. Kurang lebih dua jam perjalanan akhirnya saya tiba di Solo
dengan selamat. Lelah pasti iya, akan tetapi banyak pengalaman dan hal-hal baru yang saya
jumpai diperjalanan saya kali ini. Semoga dilain waktu saya bisa melakukan blusukan lagi
ditempat lain dengan sejarah kereta api yang tak kalah serunya.
_______________________________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanabrikgula.blogspot.com
_______________________________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com / INSTA:
@primautama

JALUR MATI GROBOGAN - BLORA

TERGUSURNYA JALUR PURWODADI BLORA


Keberadaan jalur kereta api lintas Grobogan belakangan ini menarik perhatian saya.
Kabupaten yang berjarak kurang lebih 50 kilometer arah utara Kota Solo ini ternyata pernah
dilewati dua jalur kereta api sekaligus, yakni jalur kereta api milik NIS dan jalur kereta api milik
SJS. Sungguh istimewa memang mengingat Grobogan bukanlah kabupaten yang besar dan
bukan pula pusat perdagangan dimasa itu. Melaui beberapa referensi saya mencoba menggali
informasi mengenai hal tersebut.
Menurut informasi yang saya peroleh jalur kereta api lintas Demak Grobogan - Blora
dibangun oleh salah satu perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda kala itu yang bernama
SJS atau Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij. Perusahaan ini dulunya membangun jalur
kereta api di wilayah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dengan daerah operasi di sekitar
Semarang seperti Kabupaten Demak, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang,
Kabupaten Jepara, sebagian di Kabupaten Blora, sebagian di Kabupaten Grobogan, sebagian di
Kabupaten Bojonegoro, dan sebagian di Kabupaten Tuban. Total jalur yang pernah dibangun
oleh SJS mencapai 417 kilometer. Pembangunan jalur tersebut dilakukan sekitar akhir abad 18
hingga awal abad 19.
Pembangunan jalur kereta api oleh Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij dilatar
belakangi oleh banyaknya komoditi perdagangan yang dihasilkan oleh wilayah diatas seperti
komoditi gula, kapuk, kayu jati, tras dan bahan bangunan lainnya. Selain itu belum adanya alat
transportasi masal diwilayah tersebut juga menjadi alasan dibangunnya jalur tersebut. Diawal
abad 19 jalur tersebut ramai oleh kereta lokal yang mengantarkan warga bepergian dari
Kabupaten Demak hingga Kabupaten Blora. Seiring dengan berjalannya waktu kereta api mulai
ditinggalkan karena kecepatannya yang lambat dibandingkan dengan bus dan moda transportasi
lain.
Sepinya jalur kereta api yang menghubungkan wilayah Kabupaten Demak hingga
Kabupaten Blora membuat pemerintah harus menutup jalur tersebut ditahun 1987. Sejarahnya

yang panjang serta sisa-sisa jalur peninggalan SJS di Kabupaten Grobogan ini lah yang menarik
saya untuk mencari tahu jejak keberadaan jalur tersebut.

Peta Jalur Kereta Api di Demak hingga Blora Tahun 1913


Sumber: kitlv.nl
Blusukan saya kali ini saya lakukan pada hari Sabtu 3 Januari 2015. Ini adalah blusukan
pertama saya di tahun 2015. Perjalanan saya mulai dari Kota Solo pada pukul 6 pagi. Rute yang
saya ambil adalah rute dari Solo Gemolong (Kabupaten Sragen) Grobogan kurang lebih
sejauh 50 kilometer. Diperjalanan saya juga menyempatkan diri untuk mampir dibeberapa
stasiun yang kebetulan saya lewati. Bergerak kearah utara saya melaju menuju Gemolong.
Sebelum masuk wilayah Gemolong saya sempat mampir di Stasiun Kalioso yang masuk dalam
wilayah Kabupaten Karanganyar.
Setibanya di Stasiun Kalioso hanya suasana sepi yang nampak. Tidak ada aktivitas yang
berarti di stasiun ini. Hal ini terjadi karena stasiun ini memang sudah tidak melayani perjalanan
kereta api regular. Kemudian perjalanan saya lanjutkan ke utara menuju Gemolong. Di jalur ini
terdapat dua stasiun yang masuk dalam wilayah Kabupaten Sragen yaitu Stasiun Salem dan
Stasiun Sumberlawang. Dari dua stasiun tersebut hanya Stasiun Salem saja yang masih melayani
perjalanan kereta api.

Stasiun Kalioso

Stasiun Salem

Stasiun Sumberlawang
Selepas dari wilayah Sumberlawang perjalanan saya mulai memasuki wilayah Kabupaten
Grobogan. Kurang lebih 15 kilometer perjalanan, akhirnya saya tiba di wilayah Gundih. Disini
berdiri Stasiun Gundih yang ukurannya cukup besar. Disini pula terdapat titik percabangan jalur
kereta api menuju ke Semarang dan ke Kabupaten Grobogan. Di Stasiun Gundih ini dulunya
terdapat banguan dipo lokomotif yang ukuran lumayan besar. Akan tetapi sayang, bangunan dipo
tersebut sekarang sudah tidak terpakai dan kondisinya tak terawat, bahkan kesan angker pun
sangat kental terasa.
Stasiun Gundih adalah stasiun besar dimasanya. Hal ini bisa dilihat dari ukuran bangunan
stasiun dan fasilitas pendukung yang ada disana. Hal ini dikarenakan wilayah Gundih adalah
kawasan yang kaya akan hasil hutan seperti kayu. Di bagian barat stasiun, saya masih bisa
menjumpai bangunan rumah dinas kepala stasiun yang beberapa diantaranya masih dimanfaatkan
sebagai tempat tinggal dan bangunan menara air yang dulu digunakan untuk mensuplai air untuk
lokomotif-lokomotif yang singgah disana. Disebelah selatan bangunan stasiun terdapat sebuah
bangunan gudang yang sudah tidak terpakai dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Sementara itu dibagian emplasemen timur stasiun terparkir beberapa gerbong bekas berkarat
yang sudah lama tidak difungsikan.

Stasiun Gundih

Stasiun Gundih Tahun 1910


Sumber: Tropen Museum

Bekas Bangunan Dipo Stasiun Gundih


Perjalanan saya lanjutkan kearah pusat Kota Purwodadi. Sebelum memasuki pusat kota,
saya sempat melewati Stasiun Ngrombo yang berada di sebelah kiri jalan. Menurut informasi
yang saya peroleh, di stasiun ini lah dulunya terdapat jalur percabangan kereta dengan Stasiun
Purwodadi. Dari titik inilah blusukan saya mencari jejak jalur kereta api sepanjang Grobogan
Blora dimulai.

Stasiun Ngrombo
Beranjak dari Stasiun Ngrombo perjalanan saya lanjutkan kearah Simpang Lima
Purwodadi. Selama diperjalanan menuju Simpang Lima, saya menemukan beberapa petunjuk
mengenai keberaadaan jalur kereta api. Menurut pengamatan saya percabangan jalur kereta dari
Stasiun Ngrombo berada di sebelah kiri jalan dan kemudian memotong jalan raya berpindah
kesebelah kanan jalan menuju Simpang Lima. Asumsi ini saya dasarkan pada bekas jalur rel
kereta api yang berpotongan dengan jalan raya yang saya temukan.
Disepanjang jalur tersebut saya masih menjumpai beberapa potongan besi rel kereta api
dan beberapa tiang listrik yang menggunakan besi bekas dari rel kereta. Beberaa patok milik PT.
KAI pun juga tertancap dilokasi tersebut. Terus berjalan mengikuti bekas jalur kereta, akhirnya
perjalanan saya tiba di lapangan Simpang Lima Purwodadi. Di tengah lapangan Simpang Lima
terdapat dua garis lurus sejajar yang terbuat dari semen mengarah kearah Pasar Purwodadi.
Menurut informasi yang saya peroleh, sepasang garis tersebut adalah bekas jalur kereta menuju
Stasiun Purwodadi yang memang sengaja dibuat sebagai penanda. Perjalananpun kemudian saya
lanjutkan mencari keberadaan Stasiun Purwodadi yang menurut informasi berada di area Pasar
Purwodadi.

Bekas Jalur Kereta dari Stasiun Ngrombo

Bekas Jalur Kereta Menuju Simpang Lima


Cukup membingungkan ternyata mencari bekas lokasi Stasiun Purwodadi. Banyaknya
percabangan jalan dari Simpang Lima serta jalan searah membuat saya harus tersesat beberapa
kali. Bahkan saya harus bertanya kepada beberapa orang warga untuk bisa menemukan lokasi
Pasar Purwodadi.
Selang kemudian saya berhasil menemukan lokasi Pasar Purwodadi. Salah satu tanda
yang bisa dijadikan petunjuk mengenai keberadaan bekas Stasiun Purwodadi adalah plang milik
PT. KAI yang tertancap di samping jalan raya. Dibelakang plang tersebut terdapat sebuah
bangunan besar berkerangka besi yang kini digunakan sebagai terminal angkot. Perkiraan saya,
itulah bangunan bekas Stasiun Purwodadi yang saya cari.
Stasiun Purwodadi didirikan pada tahun 1884 oleh SJS atau Samarang-Joana Stoomtram
Maatschappij. Dahulu stasiun ini terhubung dengan jalur menuju Stasiun Ngrombo, Stasiun
Godong, dan Stasiun Wirosari. Stasiun ini resmi ditutup pada tahun 1980 karena sepinya
penumpang dan kalah bersaing dengan moda transportasi jalan raya. Saat ini kondisi bangunan
stasiun masih tampak megah dengan besi-besinya yang masih kokoh.

Bekas Jalur Kereta di Simpang Lima Purwodadi


Sumber: ajarkonmuter.wordpress.com

Perkiraan Stasiun Purwodadi Tempo Dulu


Sumber: kitlv.nl

Bekas Bangunan Stasiun Purwodadi


Beranjak dari Stasiun Purwodadi perjalanan saya lanjutkan menuju Stasiun Godong yang
masih terletak di Kabupaten Grobogan. Stasiun ini terletak di jalur menuju Kabupaten Demak.
Cukup jauh memang jarak antara Stasiun Purwodadi dengan Stasiun Godong. Dulu diantara
kedua stasiun tersebut berdiri beberapa halte kereta diantaranya Halte Nglejok, Halte Cekok, dan
Halte Mulungan. Menurut informasi yang saya dapatkan semua bangunan halte tersebut kini
sudah tidak tersisa karena telah dirobohkan.

Selama diperjalanan hanya sedikit sisa keberadaan jalur kereta api yang bisa saya
temukan. Beberapa jejak tersebut diantaranya adalah gundukan tanah bekas jalur kereta,
potongan-potongan rel besi, bantalan kayu rel kereta serta pondasi jembatan kereta. Jalur kereta
api dari Stasiun Purwodadi menuju Stasiun Godong terletak disebelah kanan jalan atau disisi
utara jalan raya.
Kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya saya tiba di daerah Godong. Disana saya
melihat sebuah bekas tiang sinyal kereta api tepat berdiri di depan dealer motor milik warga.
Sesampainya di Pasar Godong akhirnya saya berhasil menemukan bekas bangunan stasiun yang
kini dimanfaatkan sebagai kios buah. Bangunan asli Stasiun Godong hampir keseluruhannya
terbuat dari kayu. Jika kita tidak teliti, mungkin kita tidak akan menyadari jika bangunan kayu
yang berada tepat didepan Pasar Godong tersebut adalah bekas bangunan stasiun. Kondisi
emplasemen stasiun memang sudah sangat sulit dikenali karena banyaknya penambahan
bangunan baru. Dibagian belakang stasiun kini dimanfaatkan sebagai lahan parkir bus antar kota.

Bekas Jalur Kereta Menuju Godong

Bekas Sinyal Masuk Stasiun Godong

Bekas Bangunan Stasiun Godong


Stasiun Godong didirikan oleh SJS atau Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij pada
tahun 1888. Stasiun ini dulunya melayani perjalanan kereta api hingga ke Demak. Pada tahun
1987 stasiun ini resmi ditutup oleh pemerintah karena kalah bersaing dengan moda transportasi
berbasis jalan raya.
Beranjak dari Stasiun Godong perjalanan saya lanjutkan kembali menuju Simpang Lima
Purwodadi. Kali ini perjalanan saya lanjutkan menuju Kabupaten Blora. Menurut beberapa
referensi yang saya peroleh, dahulu jalur kereta api yang menghubungkan Purwodadi dan Blora
memiliki beberapa bangunan stasiun dan halte, diantaranya adalah: Halte Mayahan, Halte Jono,
Halte Ngantru, Halte sambirejo, Stasiun Wirosari, Halte Pengkol, Halte Truwolu, Halte
Ngaringan, Halte Ngariang Pasar, Stasiun Kunduran, Halte Brengus, Halte Klokan, Halte
Trembul, Stasiun Ngawen, Halte Kembang, Halte Sembong, Halte Tutup, Halte Blora Pasar, dan
Stasiun Blora.

Petunjuk Arah Menuju Blora


Tujuan saya selanjutnya adalah menuju Wirosari untuk mencari keberadaan bekas Stasiun
Wirosari. Posisi bekas jalur kereta menuju Wirosari tepat berada di sebelah kanan jalan raya. Hal
ini cukup menyulitkan saya untuk menemukan bekas jalur kereta karena posisi saya yang berada
disebelah kiri jalan raya. Selama perjalanan menuju Wirosari hanya sedikit bekas jalur kereta
yang bisa saya temui. Sebagian bekas rel telah hilang dan tertimbun jalan raya akibat pelebaran
jalan. Dibeberapa titik saya juga menemukan bekas rel yang dijadikan tiang listrik oleh
masyarakat.
Sebelum memasuki wilayah Wirosari saya sempat menemukan bekas rel yang berada
tepat di depan Masjid Baiturahman. Bekas rel tersebut masih nampak terlihat jelas. Selain itu
dititik tersebut saya juga menjumpai bekas rel yang bercabang dua.

Menurut analisa saya

dulunya di area tersebut terdapat sebuah halte pemberhentian kereta karena terdapat dua
percabangan jalur kereta seperti yang lazim saya temui dibeberapa halte kereta di Magelang.
Didekat percabangan jalur tersebut terdapat sebuah rumah yang saya perkirakan adalah bekas
lokasi Halte Sambirejo.

Bekas Rel di Sambirejo


Dari Sambirejo perjalanan saya lanjutkan menuju Wirosari. Sesampainya di daerah
Wirosari tepatnya di dekat Pasar Wirosari, saya menjumpai bekas rel kereta bersilangan dengan

jalan raya berpindah ke sebelah kiri jalan raya. Rel tersebut menembus pertokoan disekitar pasar
dan masuk ke perkampungan warga. Setelah saya ikuti ternyata rel tersebut mengarah ke Stasiun
Wirosari yang terletak tidak jauh dari pasar.
Bangunan Stasiun Wirosari saat ini digunakan sebagai toko bahan bangunan. Bangunan
asli stasiun yang didominasi oleh kayu masih bisa saya saksikan meskipun dibeberapa bagian
sudah mengalami perubahan. Stasiun ini didirikan oleh SJS atau Samarang-Joana Stoomtram
Maatschappij. Kemungkinan stasiun ini didirikan pada tahun 1894 seiring dengan dibukanya
jalur Purwodadi menuju Wirosari. Dahulu stasiun ini melayani perjalanan dari Purwodadi
menuju Blora. Distasiun ini pula terdapat percabangan jalur terhubung dengan jalur kereta milik
NIS di Kradenan. Seiring berjalannya waktu stasiun ini mulai sepi dan ditinggalkan masyarakat
hingga akhirnya ditutup pada tahun 1987.

Bekas Jalur Kereta Menuju Stasiun Wirosari

Bekas Bangunan Stasiun Wirosari


Beranjak dari Stasiun Wirosari perjalanan saya lanjutkan menuju Kunduran untuk
mencari lokasi bekas Stasiun Kunduran. Setelah Stasiun Wirosari posisi rel berubah-ubah.
Dibeberapa titik posisi rel berada disebelah kiri jalan dan di beberapa titik posisi rel berpindah
disebelah kanan jalan. Hal ini lah yang agak menyulitkan saya dalam mencari jejak jalur kereta.
Selain itu ada beberapa titik dimana lokasi bekas jalur kereta masuk ke area persawahan dan
perkampungan warga.
Selama perjalanan menuju Kunduran, saya mulai menemui beberapa pos milik Perhutani
dimana ditempat tersebut terdapat banyak kayu gelondongan hasil hutan yang siap dijual.
Menurut saya inilah salah satu alasan kenapa jalur kereta ini dahulu dibangun, yaitu untuk
mengangkut hasil kayu yang akan dijual ke beberapa wilayah disekitar Purwodadi.
Beberapa saat saya menemukan sebuah bekas tiang sinyal kereta berdiri di depan pos
Perhutani. Tiang sinyal tersebut nampak masih kokoh meskipun kondisinya sudah berkarat.
Setelah saya amati ternyata di dekat tiang sinyal tersebut terdapat bekas rel yang bercabang
masuk ke area Perhutani. Bekas rel nya masih nampak bagus dengan menyisakan dudukan
wesel. Mungkin pada zaman dahulu Perhutani memiliki kereta khusus untuk mengangkut hasil
kayu seperti yang terdapat di daerah Cepu Blora dimana terdapat jalur khusus angkutan kayu.

Bekas Tiang Sinyal di Dekat Area Perhutani

Rel Bercabang ke Area Perhutani


Dari area Perhutani tersebut perjalanan saya lanjutkan menuju Kunduran Blora. Posisi
jalur kereta berpindah kesebelah kanan jalan raya. Kali ini bekas rel sudah jarang saya temui,
yang tersisa hanyalah bekas rel kereta yang digunakan warga sebagai tiang listrik.
Di beberapa titik sesekali jalur kereta masuk ke perkampungan warga dan ke area
persawahan. Selain bekas rel, saya juga menemui beberapa bekas jembatan kereta api melintas
dibeberapa sungai yang saya lewati. Meskipun besi penyangga rel sudah tidak ada dan hanya
menyisakan pondasi jembatan, akan tetapi saya bisa memprediksi betapa kokohnya jembatan
kereta kala itu dengan plengkung khas jembatan buatan Belanda.
Mendekati perbatasan Purwodadi dan Blora saya kembali menemukan bekas rel yang
bercabang seperti yang saya temui di area Sambirejo sebelumnya. Bekas rel tersebut terletak
disebelah kanan jalan dengan ukuran yang lumayan panjang. Perkiraan saya dulu disekitar area
tersebut terdapat sebuah halte pemberhentian kereta. Sayang sekali saya tidak bisa menemukan
bangunan yang saya duga sebagai halte karena bangunan disekitar lokasi sudah didominasi
bangunan baru.

Bekas Rel di Perbatasan Grobogan dengan Blora


Dari lokasi bekas rel tersebut hanya berjarak kurang lebih 30 meter saya mulai masuk
kedalam wilayah Kabupaten Blora. Perjalanan mulai saya percepat untuk mengejar waktu yang
kala itu nampak mendung. Kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya saya tiba di wilayah
Kunduran. Dulu diwilayah ini terdapat sebuah stasiun bernama Stasiun Kunduran.
Terus berjalan saya mencoba mencari pasar central di Kunduran. Perlu menjadi sebuah
acuan, lazimnya pada zaman dahulu stasiun-stasiun yang di bangun oleh Belanda terletak di
wilayah sekitar pasar karena pasar merupakan pusat perekonomian warga dan tempat distribusi
barang. Tak berapa lama akhirnya saya tiba di Pasar Kunduran. Kondisi pasar sangat ramai kala
itu. Disana saya agak kesulitan untuk melacak keberadaan bekas jalur kereta karena telah
tertutup oleh bangunan pertokoan disekitar pasar. Akhirnya saya mencoba untuk masuk kesebuah
gang yang berada di belakang komplek pasar. Dari bagian belakang pasar terlihat bekas jalur
kereta melintas di tengah-tengah pasar.
Terus berjalan akhirnya saya menjumpai sebuah bekas tiang sinyal yang berdiri tepat di
rumah seorang warga yang tertutup oleh pohon pisang. Tiang sinyal tersebut sampai saat ini

masih dipertahankan. Mungkin sebagai penanda bahwa disana dulu terdapat jalur kereta.
Riuhnya suasana pasar membingungkan saya mencari lokasi stasiun. Saya sempat bertanya
kepada seorang kakek yang kebetulan melintas di samping pasar. Kakek tersebut mengatakan
bahwa bekas stasiun berada dipinggir jalan dekat pasar dan telah berubah menjadi warung
makan. Dengan penuh semangat saya segera tancap gas menuju kesana.
Tak berapa lama akhirnya saya berhasil menemukan bekas bangunan Stasiun Kunduran.
Bangunannya masih utuh hanya berubah fungsi sebagai warung makan mie ayam. Sebenarnya
saat itu sempat berniat untuk makan siang dilokasi bekas Stasiun Kunduran, akan tetapi saya
kurang beruntung warung tersebut saat itu tutup. Stasiun Kunduran dibangun oleh SJS pada
tahun 1894. Stasiun ini merupakan perpanjangan dari Grobogan menuju Kota Blora. Selain
untuk angkutan penumpang, dahulu stasiun ini juga digunakan sebagai sarana distribusi barang.
Sepinya jumlah penumpang membuat pemerintah menutup stasiun ini pada tahun 1987.

Bekas Sinyal Masuk Stasiun Kunduran

Bekas Bangunan Stasiun Kunduran

Bekas Rumah Dinas Kepala Stasiun Kunduran


Beranjak meninggalkan Stasiun Kunduran, perjalanan saya lanjutkan menuju Ngawen
untuk mencari keberadan Stasiun Ngawen. Cukup jauh perjalanan dari Kunduran hingga
Ngawen. Kondisi jalan yang bergelombang menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Tibalah saya
di Pasar Ngawen. Kondisi pasar sangat ramai karena bersebelahan dengan Terminal Ngawen.

Pasar Ngawen memiliki ukuran yang lebih luas jika dibandingkan dengan Pasar Kunduran.
Disini sekali lagi saya menjumpai bekas tiang sinyal tepat berada di depan pasar.
Saya sempat kebingungan mencari lokasi Stasiun Ngawen karena asumsi saya letak
bangunan stasiun berada di pinggir jalan seperti beberapa stasiun sebelumnya. Kebingungan saya
berakhir setelah mendapat informasi dari seorang tukang parkir yang memberi informasi kepada
saya bahwa lokasi Stasiun Ngawen berada masuk di dalam gang yang ada di depan terminal.
Sayapun mengikuti petunjuk dari tukang parkir tersebut dengan masuk kesebuah gang yang ada
didepan terminal. Ternyata gang tersebut menuju kesebuah perkampungan warga yang berada
dibelakang pasar. Terus berjalan akhirnya saya tiba dipertigaan jalan yang kebetulan saat itu ada
beberapa anak kecil yang sedang bermain bola. Tak disangka ternyata bekas bangunan stasiun
tepat berdiri disamping kiri saya.

Bekas Sinyal Masuk Stasiun Ngawen

Bekas Bangunan Stasiun Ngawen


Bentuk bangunan Stasiun Ngawen sendiri sangat mirip dengan bangunan Stasiun
Kunduran. Disamping bangunan stasiun berdiri bangunan rumah dinas kepala stasiun yang
hingga kini masih digunakan. Kondisi bangunan stasiunpun masih nampak terawat meskipun
terlihat sudah tidak terpakai. Yang saya sayangkan adalah saya hanya bisa melihat bagian depan
bangunan stasiun saja, karena sisi emplasemen stasiun sudah dikelilingi pagar dan nampak ada
beberapa bangunan tambahan baru. Bekas jalur rel pun sudah tidak bisa saya temui karena jalan
disekitar bangunan stasiun sudah tertutup paving. Stasiun Ngawen didirikan oleh SJS pada tahun
1894 yang melayani perjalanan hingga ke Blora. Stasiun ini ditutup pada tahun 1987 bersamaan
dengan ditutupnya jalur tersebut.
Dari Ngawen perjalanan saya lanjutkan menuju Kota Blora. Selama perjalanan saya
menuju Kota Blora saya sudah tidak melihat jejak bekas jalur kereta api lagi. Menurut saya
posisi jalur kereta telah berpindah di area persawahan dan perkebunan yang ada disebelah kiri
jalan. Selang beberapa waktu akhirnya saya tiba di Kota Blora. Saya agak bingung dengan
kondisi Kota Blora, karena ini merupakan kali pertama saya blusukan di Kota Blora.
Tujuan saya di Kota Blora adalah untuk mencari daerah Tempelan mencari bekas Stasiun
Blora yang menurut informasi yang saya peroleh disanalah dulu Stasiun Blora berdiri. Setelah
mendapat petunjuk dari warga sekitar akhirnya saya tiba di daerah Tempelan. Terus berjalan
akhirnya saya menjumpai bangunan besar berwarna biru yang seluruh bangunanya terbuat dari

kayu berdiri kokoh di tengah kota tepat di depan pusat oleh-oleh khas Blora. Ternyata itu adalah
bekas bangunan Stasiun Blora.
Bangunan Stasiun Blora menurut saya hampir menyerupai bentuk bangunan Stasiun
Godong. Bangunan tersebut hampir 100 persen masih asli. Konstruksi bangunan yang terbuat
dari kayu dan berarsitek Belanda sangat kontras dengan bangunan sekitar yang bergaya modern.
Bangunan stasiun kini dijadikan kios pertokoan. Meskipun bangunan telah dialihfungsikan
sebagai kios, namun hal itu tidak merubah bentuk asli bangunan stasiun. Berbeda dengan Stasiun
Godong yang bangunan aslinya telah dirubah oleh masyarakat akibat dialihfungsikan.

Bekas Bangunan Stasiun Blora

Stasiun Blora Tempo Dulu


Sumber: priyatmaja.blogspot.com
Didekat stasiun saya juga menjumpai sebuah bangunan kuno yang cukup besar yang menurut
saya adalah bangunan dipo lokomotif. Bentuk bangunannya menyerupai bangunan dipo
lokomotif yang ada di Stasiun Gundih. Akan tetapi sayang nasib bangunan tersebut tak sebaik
nasib bangunan stasiun. Bangunan tampak tak terawat dan rusak. Bangunan dipo nampaknya
dimanfaatkan warga sebagai gudang. Stasiun Blora didirikan oleh SJS atau Samarang Joana
Stoomtram pada tahun 1894. Dahulu stasiun ini merupakan stasiun terminus atau stasiun terakhir
dari arah Wirosari. Akan tetapi pada tahun 1904, SJS memperpanjang jalur dari stasiun ini
menuju Rembang dan menuju Cepu. Stasiun Blora resmi ditutup oleh pemerintah pada tahun
1987 karena menurunnya jumlah penumpang yang banyak beralih ke bus dan kendaraan lainnya.

Bekas Bangunan Dipo Stasiun Blora Tampak Samping


Beranjak dari Stasiun Blora perjalanan saya lanjutkan ke arah Jepon untuk mencari
keberadaan bekas Stasiun Jepon. Kurang lebih membutuhkan waktu 20 menit perjalanan dari
Stasiun Blora menuju Jepon. Selama diperjalanan saya tidak menjumpai bekas jalur kereta. Yang
tampak hanyalah patok KAI yang tertancap di sisi kanan jalan. Karena asyiknya mengendarai

motor, tanpa sadar ternyata saya telah melewati lokasi stasiun. Saya sempat bertanya kepada
seorang kakek di pinggir jalan yang sangat ramah menunjukkan letak Stasiun Jepon kepada saya.
Ternyata saya telah melewatkan lokasi stasiun sejauh 1 kilometer. Kakek tersebut menjelaskan
bahwa bangunan Stasiun Jepon berdiri persis di depan kantor polisi Jepon. Berbekal informasi
dari kakek tersebut sayapun segera tancap gas berputar arah menuju lokasi Stasiun Jepon berada.
Sesampainya di depan kantor polisi Jepon yang saya lihat hanyalah barisan pertokoan.
Ternyata disana ada sebuah barisan komplek toko yang didepannya tertancap plang milik PT.
KAI. Setelah saya amati ternyata bangunan toko itulah bekas bangunan Stasiun Jepon. Bentuk
bangunan stasiun mirip dengan bangunan Stasiun Ngawen dan Stasiun Kunduran, hanya saja
bangunan stasiun sudah sangat berubah sehingga agak sulit untuk mengenalinya.
Sayapun mencoba melihat sisi belakang bangunan stasiun yang ternyata tepat berada di
pinggir sungai. Bangunaan dinding stasiun dibeberapa titik sudah dimodifikasi seperti
menghilangkan jendela dan pintu stasiun. Bekas emplasemen stasiunpun sekarang sudah tertutup
tanah. Tak ada bekas rel yang terlihat di sekitar bekas bangunan stasiun.

Emplasemen Stasiun Jepon


Stasiun Jepon dibangun oleh SJS dimana pembangunan stasiun ini bebarengan dengan
pembangunan jalur perpanjangan dari Stasiun Blora kurang lebih pada tahun 1904. Stasiun ini
juga terhubung dengan Stasiun Cepu. Akan tetapi pada tahun 1987 jalur menuju Cepu dan

Rembang di tutup oleh pemerintah karena jumlah penumpang yang menurun. Penutupan jalur
kereta api disepanjang rute Godong Purwodadi hingga Jepon Blora sebenarnya disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya adalah: letak jalur kereta yang berada dipinggir jalan raya sehingga
sering menimbulkan kecelakaan, laju kereta api yang dianggap lambat karena masih
menggunakan kereta uap dan kereta lokomotif jenis D300 atau D301 yang saat ini hanya
digunakan untuk langsiran, dan penumpang yang beralih ke moda transportasi lain sehingga
jumlah penumpang yang menurun drastis.

Bagian Belakang Stasiun Jepon


Dengan sampainya saya di bekas Stasiun Jepon, berakhir pula perjalanan blusukan saya
menyusuri jejak jalur kereta api lintas Purwodadi - Blora. Kurang lebih pukul setengah satu siang
saya beranjak pergi meninggalkan Stasiun Jepon kembali menuju Kota Solo. Perjalanan kali ini
tentu saja masih menyisakan beberapa misteri yang perlu ditelaah lebih lanjut. Harapan saya
kepada pemerintah semoga bisa merawat peninggalan dari Samarang Joana Stoomtram ini
dengan baik. Kita tidak membuat, tapi kita mewarisi. Sudah selayaknya peninggalan yang
mahal ini harus kita jaga dengan sebaik-baiknya.
Kurang lebih pukul setengah lima sore akhirnya saya tiba di Kota Solo dengan selamat
meskipun sempat basah kuyup akibat diguyur hujan diwilayah Gundih. Banyak kenangan yang
tersisa. Harapan saya, semoga dilain kesempatan saya bisa meneruskan blusukan saya hingga ke

Kota Cepu dimana disana juga terdapat banyak peninggalan kereta api milik Samarang Joana
Stoomtram.
_______________________________________________
artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
_______________________________________________
PRIMA UTAMA / 2014 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com /
INSTA: @primautama

JALUR MATI MADIUN - PONOROGO


Madiun adalah salah satu kota yang cukup ramai yang ada di Provinsi Jawa Timur. Kota
yang terkenal dengan nasi pecelnya ini menyimpan banyak sejarah masa lalu yang sangat
panjang. Bukti sejarah mengenai pentingnya kota ini dimasa lalu adalah banyaknya bangunanbangunan kolonial serta industri peninggalan Belanda seperti pabrik gula yang masih bisa kita
jumpai hingga sekarang.
Perkembangan perekonomian Madiun kala itu tidaklah terlepas dari pengaruh
pembangunan jalur kereta api milik Staats Spoorwegen (SS) yaitu perusahaan kereta api milik
pemerintah Hindia Belanda yang menghubungkan Madiun dengan kota-kota lain di Jawa seperti
Solo dan Surabaya. Bahkan untuk menggeliatkan roda perekonomian di Kota Madiun, SS juga
membangun sebuah jalur kereta api yang menghubungkan Madiun dengan Ponorogo.
Sedikit menyinggung sejarah kereta api yang dulu pernah menghubungkan Kota Madiun
dan Kota Ponorogo, jalur kereta api tersebut dibangun di awal abad 19 yaitu sekitar tahun 1907
oleh perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda kala itu Staats Spoorwegen (SS)
dari Stasiun Madiun hingga Stasiun Slahung di Ponorogo. Panjang jalur tersebut kurang lebih
sepanjang 58 kilometer. Karakteristik jalur Madiun-Ponorogo hampir menyerupai jalur yang
menghubungkan Kota Solo dengan Baturetno di Wonogiri.
Jalur tersebut dahulu diramaikan oleh penduduk yang mayoritas adalah pedagang yang
akan menjual hasil buminya kepasar. Hingga tahun 1970-an jalur ini masih menjadi primadona
masyarakat karena dianggap murah. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya zaman,
kereta api mulai ditinggalkan. Masyarakat mulai beralih menggunakan moda transportasi lain
berbasis jalan raya dalam mobilitas hariannya karena dianggap lebih cepat dari pada kereta api.

Pada tahun 1984, jalur kereta api Madiun-Ponorogo resmi ditutup karena kalah bersaing dengan
moda transportasi lain. Kini sisa-sisa jalur yang menghubungkan dua kota tersebut masih bisa
kita temukan meskipun jumlahnya tinggal sedikit. Sisa-sisa rel besi yang dulunya menjadi
pijakan kereta api dibeberapa titik masih terlihat jelas dan kokoh seolah-olah menanti untuk
dilewati kereta api kembali.

Peta Jalur Kereta Api Madiun Ponorogo


Sumber: kitlv.nl
Bertepatan dengan Tahun Baru Imlek 2015, akhirnya saya bisa melakukan blusukan jalur
mati lagi ditempat yang berbeda. Kali ini tujuan blusukan saya adalah jalur mati di petak Madiun
- Ponorogo. Rencana blusukan ke Madiun hingga Ponorogo ini sebenarnya saya rencanakan di
awal bulan Februari, akan tetapi karena banyaknya tugas yang harus diselesaikan dan kondisi
cuaca yang masih kurang mendukung memaksa saya untuk menunda blusukan saya di Madiun
dan Ponorogo. Akhirnya di tanggal 19 Februari 2015 saya bisa melaksanakan misi penting ini
untuk menelisik sisa-sisa keberadaan jalur kereta api yang pernah menghubungkan kedua kota
tersebut.
Tepat pada pukul 6 pagi saya berangkat meninggalkan Solo sebagai titik start saya
menuju Kota Madiun. Kali ini jalur yang saya lalui adalah via Sarangan di Kabupaten Magetan.
Suhu pegunungan yang dingin serta pemandangan alam pegunungan yang indah menghiasi
perjalanan saya. Kurang lebih pukul 8 pagi saya mulai memasuki wilayah Maospati di
Kabupaten Magetan. Disini saya berjalan melambat karena ada hal menarik yang saya temukan.

Saya memperhatikan disebelah kanan dan kiri jalan tampak ada gundukan-gundukan tanah yang
menurut saya berbentuk tak lazim terbentang menuju perkebunan milik warga yang
dimanfaatkan warga sebagai jalan menuju ke ladang. Hipotesis saya itu adalah bekas decauville.
Tak berapa lama hipotesis saya ternyata benar, disekitar area tersebut saya menjumpai
banyak decauville yang berpotongan dengan jalan raya. Bahkan dibeberapa titik saya masih bisa
menjumpai sisa-sisa besi yang masih utuh tersamarkan oleh tanah. Ini adalah sesuatu yang
langka bagi saya, hal semacam ini sudah tidak bisa saya temui lagi di tempat asal saya di
Kabupaten Sragen yang notabene juga terdapat sebuah Pabrik Gula (PG) atau Suiker Fabriek
dimana semua decauville sudah hilang tergusur oleh pembangunan kota.
Sebagai informasi, decauville adalah jalur kereta lori pengangkut tebu yang biasa dimiliki
oleh pabrik gula. Decauville memiliki gauge yang lebih kecil jika dibandingkan dengan gauge
pada kereta api. Saat ini sudah jarang bisa kita temukan jalur decauville yang masih aktif. Seiring
berkembangnya zaman, pabrik gula lebih memilih menggunakan truk untuk mengangkut tebunya
ke pabrik karena dianggap lebih murah dan efisien.

Bekas Decauville di Maospati


Puas mengamati sisa-sisa decauville di Maospati, saya segera tancap gas menuju Kota
Madiun. Sebelumnya saya juga sempat melewati jalur kereta api non aktif dari Lanud Iswahjudi
menuju Stasiun Barat yang dulu pernah saya bahas di tulisan saya sebelumnya. Kurang lebih

pukul setengah sembilan saya mulai memasuki Kota Madiun. Tujuan pertama saya adalah
mencari Stasiun Madiun yang merupakan titik awal jalur dari Madiun menuju Ponorogo.
Ini adalah pertama kali bagi saya blusukan ke Kota Madiun, meskipun sebelumnya saya
juga pernah berkunjung ke kota ini. Sesampainya di Stasiun Madiun, saya menyempatkan diri
untuk melihat pabrik kereta api atau PT. INKA yang berdiri diseberang stasiun meskipun hanya
dari luarnya saja. Menurut sebuah artikel, PT. INKA adalah satu-satunya pabrik kereta api yang
ada di Asia Tenggara. Selain memproduksi kereta api untuk kebutuhan dalam negeri, perusahaan
ini juga telah mengekspor kereta api kebeberapa negara di Asia. Sungguh sangat membanggakan.

PT. INKA Madiun


Didepan PT. INKA terdapat jalur kereta aktif yang menghubungkan Stasiun Madiun
dengan dipo milik Pertamina. Jalur ini sepintas mirip dengan jalur antara Lanud Iswahjudi
dengan Stasiun Barat di Magetan yang dulu juga digunakan untuk mengangkut avtur dari Stasiun
Barat ke Lanud Iswahjudi. Kebetulan saya hadir disaat yang tepat, saat saya berada disana ada
serangkaian gerbong milik Pertamina melaju menuju dipo dengan ditarik lokomotif jenis BB. Ini
menjadi tontonan menarik bagi saya yang sebelumnya belum pernah melihat pemandangan
seperti ini.

Kereta dari Stasiun Madiun Menuju Dipo Pertamina


Puas melihat sisi lain Kota Madiun, tepat pukul 9 pagi blusukan saya mulai dengan
mengambil titik awal dari Stasiun Madiun. Dalam blusukan saya kali ini, ada sebanyak 26
stasiun dan halte yang akan saya lintasi, akan tetapi sesuai dengan data yang sudah saya
persiapkan dan referensi yang saya baca sebelumnya hanya beberapa stasiun saja yang saat ini
masih berdiri, sisanya sudah hilang tergusur pembangunan kota.
Daftar stasiun dan halte yang terletak di sepanjang jalur dari Madiun hingga Ponorogo
adalah: Stasiun Madiun Halte Madiun Pasar Besar Halte Sleko Stasiun Kanigoro Halte
Kepuh Stasiun Pagotan Halte Uteran Halte Slambur Halte Delopo Halte Umbul
Stasiun Milir Halte Kanten Halte Polorejo Stasiun Ponorogo Halte Surodikraman
Stasiun Siman Halte Brahu Halte Grageh Halte Demangan Stasiun Jetis Halte Ngasinan
Stasiun Balong Halte Nailan Halte Banggel Halte Broto Stasiun Slahung.

Stasiun Madiun Tempo Dulu


Sumber: kitlv.nl
Perjalanan saya yang pertama adalah mencari bekas jalur percabangan dari Stasiun
Madiun menuju Halte Madiun Pasar Besar. Sesuai dengan peta Belanda tahun 1922, jalur
percabangan tersebut terletak disebelah timur Stasiun Madiun. Saya pun segera meluncur ke sisi
timur Stasiun Madiun. Benar saja, disebelah timur stasiun atau tepatnya di Jalan Kemuning, saya
menjumpai sebuah portal besi dimana terdapat bekas jalur keluar area Stasiun Madiun, tepatnya
disebelah gang kecil menuju perkampungan warga.
Bekas jalur tersebut samar tertutup semak yang sangat lebat. Akan tetapi jika kita
perhatikan secara seksama bekas percabangan rel masih bisa kita temukan. Selain melalui
pengamatan, sebenarnya kita juga bisa mencocokkan antara sudut jalan dititik percabangan
tersebut dengan peta buatan Belanda yang persis membentuk sudut melengkung.

Bekas Jalur Percabangan di Sisi Timur Stasiun Madiun


Beranjak dari Jalan Kemuning, perjalanan saya lanjutkan menyusuri perkampungan
warga yang saya duga sebagai bekas jalur kereta. Tidak mudah bagi saya menemukan bekas jalur
kereta di lokasi tersebut. Padatnya perumahan penduduk dan sedikitnya patok milik PT. KAI
serta minimnya pengetahuan saya mengenai daerah tersebut membuat saya agak kesulitan
mencari bekas jalur kereta menuju Halte Pasar Besar. Saya pun masuk ke Jalan TGP di
Kelurahan Oro-Oro Ombo kemudian tembus di Jalan Halmahera. Disana saya melihat patok besi
tertancap dipinggir jalan. Menurut perkiraan saya jalur kereta masuk ke Jalan Halmahera
memotong jalan Diponegoro kemudian berbelok menuju Halte Pasar Besar.

Bekas Jalur Kereta di Oro-Oro Ombo


Masuk ke Jalan Halmahera saya berhasil menemukan beberapa patok besi milik PT. KAI.
Saya kembali dibingungkan dengan banyaknya gang yang ada disana. Saya putuskan untuk
ambil jalan kekanan dan tembus di Jalan Bali. Di traffic light Jalan Bali terdapat sebuah patok
tertancap disebelah kiri jalan. Dari titik tersebut berbelok ke kanan menuju Pasar Besar Madiun.
Sesampainya di Pasar Besar Madiun hanya bangunan modern yang saya temui. Menurut
informasi yang saya dapatkan, Halte Pasar Besar Madiun dulu terletak diseberang Pasar.
Bangunan halte sudah dirubuhkan dan digantikan dengan bangunan ruko modern.
Sepanjang penelusuran saya dari Stasiun Madiun hingga Pasar Besar Madiun saya sudah
tidak menjumpai bekas jalur kereta api yang masih terlihat. Asumsi saya bekas jalur tersebut kini
telah tertimbun oleh aspal jalan raya serta telah tertutup oleh bangunan-bangunan baru milik
masyarakat.

Pasar Besar Madiun

Bekas Jalur Kereta di Depan Pasar Besar Madiun Tahun 1930


Sumber: kitlv.nl

Kereta Melintas di Tengah Kota Madiun


Sumber: Copyright Rob Dickinson
Jika dilihat dari peta buatan Belanda, sebenarnya di jalur tengah Kota Madiun terdapat
percabangan jalur kereta menuju ke kawasan Kauman. Akan tetapi jalur menuju Kauman
tersebut buntu hingga sungai yang membelah Kota Madiun. Saya kurang tahu persis apa fungsi
jalur tersebut, namun kemungkinan jalur tersebut ada kaitannya dengan aktivitas perdagangan
yang ada di Kota Madiun zaman dulu.
Beranjak dari Pasar Besar Madiun, perjalanan saya lanjutkan menuju Pasar Sleko untuk
mencari lokasi Halte Sleko. Jalan menuju Sleko searah dengan jalan menuju ke Ponorogo
sehingga tidaklah sulit untuk menemukannya. Kurang lebih 15 menit akhirnya saya tiba di Pasar
Sleko. Disekitar area pasar saya sudah tidak menjumpai bangunan yang menyerupai bangunan
stasiun atau halte, yang tampak hanyalah sebuah plang milik PT. KAI tertancap diseberang jalan
tepat di depan barisan ruko bertingkat. Itulah satu-satunya petunjuk yang bisa saya temukan
disana. Menurut referensi, bangunan Halte Sleko memang sudah tidak ada. Lokasi bekas
bangunan halte kini telah digantikan dengan barisan ruko modern bertingkat. Berhubung tidak
ada petunjuk lain yang bisa saya dapatkan, perjalananpun saya lanjutkan kembali.

Bekas Lokasi Halte Sleko


Perjalanan saya lanjutkan kembali menuju PG Kanigoro. Menurut informasi yang saya
dapatkan di PG Kanigoro dulu terdapat sebuah stasiun untuk mengangkut penumpang dan tetes
tebu dari pabrik gula. Jarak dari Sleko menuju Kanigoro lumayan jauh. Disepanjang perjalanan
saya berusaha mencari jejak jalur kereta api menuju ke Kanigoro. Tiba di Kelurahan Banjarejo
Kecamatan Taman atau tepatnya di Jalan Mangkuprajan, saya mulai menjumpai banyak patok
milik PT. KAI. Patok-patok tersebut tertancap di pinggir jalan perkampungan di dekat UII
Madiun dan tembus hingga Jalan Kapten Tendean.
Dari Jalan Kapten Tendean saya lurus masuk ke perkampungan hingga tembus ke PG
Kanigoro. Sesampainya di pabrik gula, saya mulai menjumpai sisa-sisa rel kereta yang berubah
fungsi menjadi pagar pabrik. Saya mencoba mengamati di sekitar pabrik mencari bangunan yang
menyerupai bangunan stasiun. Pencarian saya nihil tak membuahkan hasil. Akhirnya saya
putuskan untuk kembali berputar arah. Saya mencoba masuk kesebuah gang di kanan jalan tepat
disamping pabrik. Sambil terus mengamati bangunan-bangunan di sekitar pabrik akhirnya saya
tiba di ujung gang dimana terdapat sawah dan kebun tebu. Ternyata secara tak disengaja saya
menemukan bangunan Stasiun Kanigoro yang masih gagah berdiri di kanan saya.

Bekas Jalur Kereta di Jalan Mangkuprajan Menuju Kanigoro

Bekas Stasiun Kanigoro


Stasiun Kanigoro dibangun pada tahun 1907 di ketinggian 78 meter. Stasiun ini dulu
digunakan untuk angkutan penumpang dan angkutan gula dari PG Kanigoro. Seiring dengan
berjalannya waktu, stasiun ini mulai sepi penumpang karena kecepatan kereta yang lambat dan

mulai banyaknya moda transportasi lain berbasis jalan raya. Selain itu, prasarana kereta api yang
sudah tua juga menjadi alasan ditutupnya jalur ini. Akhirnya pada tahun 1984 stasiun ini resmi
ditutup. Kini bangunan stasiun nampak sepi tak berpenghuni. Kondisi bangunan stasiun pun
masih bisa dikatakan bagus dengan warna cat yang beraneka ragam. Disekitar stasiun saya
sudah tidak bisa menemukan bekas rel kereta api. Mungkin bekas rel sudah dicabuti warga untuk
dijadikan pagar seperti yang saya lihat di depan pabrik gula. Dari Stasiun Kanigoro perkiraan
saya jalur kereta melintas di tengah kebun dan persawahan milik warga menuju ke arah
Ponorogo.
Sebenarnya sebelum sampai di Stasiun Kanigoro saya sempat tersesat hingga daerah
Kertosari. Disana saya menemukan banyak bekas jalur kereta api tepat berdiri sejajar di samping
jalan raya Madiun-Ponorogo. Mungkin jika ditarik sebuah garis, bekas rel di Kertosari akan
terhubung dengan Stasiun Kanigoro yang ada di sebelah utara.
Beranjak dari Stasiun Kanigoro, perjalanan saya lanjutkan menuju PG Pagotan untuk
mencari lokasi Stasiun Pagotan. Niat hati ingin mencari jalan pintas, apa daya saya justru malah
tersesat. Beberapa kali saya harus bertanya kepada orang dipingir jalan untuk menunjukkan arah
menuju Pagotan. Dengan petunjuk dari orang yang saya tanyai di pinggir jalan, akhirnya saya
menuju Pagotan via Dagangan. Sebenarnya bekas jalur rel menuju Pagotan berada di wilayah
Kertosari, akan tetapi dari pada harus memutar balik dan pertimbangan efisiensi waktu akhirnya
saya putuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan via Dagangan. Kurang lebih 30 menit
perjalanan akhirnya saya sampai di Pasar Pagotan yang berada tepat disamping PG Pagotan.
Disekitar pasar saya tidak menjumpai bangunan yang mirip dengan bangunan stasiun. Hanya
bangunan ruko modern yang berjejer menghiasi pasar. Akhirnya saya mencoba masuk kesebuah
gang di belakang pabrik gula yang cukup sepi. Dikiri jalan secara tak sengaja saya menemukan
bangunan Stasiun Pagotan yang tampak kumuh tapi masih utuh berdiri. Bangunan tampak tak
terawat dengan ditutupi seng.

Bekas Jalur Kereta Menuju Pagotan di Kertosari

Stasiun Pagotan memiliki fungsi yang sama seperti Stasiun Kanigoro. Selain melayani
penumpang, dulu stasiun ini juga melayani angkutan gula dari PG Pagotan. Stasiun ini didirikan
pada tahun 1922 pada ketinggian 84 meter. Senasib dengan Stasiun Kanigoro, pada tahun 1984
stasiun harus ditutup karena sepinya penumpang yang mulai beralih ke moda transortasi lain.

Bekas Stasiun Pagotan

Stasiun Pagotan Tahun 1969


Sumber: Copyright James Waite

Lokomotif B5012 Melintas di Pagotan


Sumber: Copyright James Waite
Dari Pagotan perjalanan saya lanjutkan menuju Ponorogo. Sebenarnya disepanjang
Pagotan hingga Ponorogo ada beberapa halte dan stasiun, akan tetapi menurut referensi yang
saya dapatkan semua bangunannya telah hilang tak bersisa. Melintasi daerah Milir saya banyak
menemukan sisa-sisa bekas jalur rel kereta api dan pondasi jembatan kereta api berdiri tepat
disamping jalan raya. Bekas jalur kereta kadang berada di sebelah kanan jalan, namun
dibeberapa titik jalur berpindah ke kiri jalan bersinggungan dengan jalan raya Madiun-Ponorogo.
Sebenarnya jika diamati lebih detail, didaerah Milir ini bekas jalur kereta hampir berdampingan
dengan jalur decauvile milik PG Pagotan. Hal ini saya buktikan dengan adanya sebuah bekas
jembatan lori yang terletak hampir berdampingan dengan bekas jembatan kereta menuju
Ponorogo.
Tak berapa lama kemudian, akhirnya saya mulai memasuki wilayah Kabupaten
Ponorogo. Disana saya masih bisa menemukan beberapa bekas pondasi jembatan kereta api yang
kokoh berdiri di pinggir jalan. Menurut analisa saya, dulu posisi rel lebih tinggi dari jalan raya,
hal ini dibuktikan dengan posisi bekas pondasi penyangga jembatan yang memiliki ketinggian
lebih tinggi dari jalan raya.

Bekas Jalur Kereta di Milir

Kereta Berhenti di Milir


Sumber: Copyright Rob Dickinson

Gapura Masuk Kota Ponorogo


Masuk kedalam kota saya bergegas mencari lokasi bekas Stasiun Ponorogo. Di Jalan
Soekarno-Hatta tepatnya disamping traffic light, saya menemukan sebuah bekas tiang sinyal
berdiri di kanan jalan. Sinyal tersebut kemungkinan adalah sinyal masuk Stasiun Ponorogo.
Terus berjalan akhirnya saya menjumpai sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai warung
makan bertuliskan rumah dinas Stasiun Ponorogo. Perkiraan saya di sekitar area itulah dahulu
Stasiun Ponorogo pernah berdiri.
Tak puas dengan hanya menjumpai bangunan rumah dinas kepala stasiun, saya pun
mencoba mencari jejak keberadaan Stasiun Ponorogo yang menurut cerita disana dulu juga
terdapat turntable untuk memutar lokomotif. Sayapun mencoba masuk ke sebuah gang kecil
dibelakang rumah dinas kepala stasiun dengan harapan bisa menemukan petunjuk. Disana
terdapat sebuah pabrik tempe dimana saya melihat sebuah lubang melingkar tertutup semaksemak di belakang pabrik tersebut. Sayang sekali saya tidak bisa mendekat, karena area tersebut
ditutupi pagar oleh siempunya rumah. Saya hanya bisa memperkirakan bahwa kemungkinan itu
adalah bekas turntable milik Stasiun Ponorogo. Diarea yang saya perkirakan adalah bekas
emplasemen Stasiun Ponorogo tersebut, saya juga menemukan bekas jalur kereta yang mengarah
ke Slahung. Akan tetapi sayang, saya tidak bisa memperkirakan berapa jalur yang ada di
emplasemen karena kondisi rel yang sudah tidak utuh akibat telah tertutup tanah dan hilang.

Kereta Melintas di Ponorogo


Sumber: Copyright Rob Dickinson

Bekas Sinyal Masuk Stasiun Ponorogo

Bekas Rumah Dinas Kepala Stasiun Ponorogo

Bekas Emplasemen Stasiun Ponorogo

Stasiun Ponorogo Tempo Dulu


Sumber: Copyright Rob Dickinson
Stasiun Ponorogo adalah stasiun terbesar dilintas jalur Madiun Ponorogo setelah Stasiun Madiun
yang dibangun oleh perusahaan kereta Hindia Belanda Staats Spoorwegen (SS). Stasiun ini
dibuka pada kisaran tahun 1922. Pada zaman dahulu stasiun ini juga terhubung dengan jalur
kereta api menuju Sumoroto sebelum akhirnya jalur tersebut dibongkar oleh Jepang. Tahun 1984
adalah tahun terakhir stasiun ini beroperasi setelah ditutup oleh pemerintah karena menurunnya
jumlah penumpang.
Dari lokasi bekas Stasiun Ponorogo perjalanan saya lanjutkan kembali menuju Jetis. Saat
melintasi daerah Siman saya menjumpai banyak sekali bekas rel yang masih utuh berjajar tepat
dipinggir jalan. Di daerah Siman ini dahulu juga terdapat stasiun dan halte. Akan tetapi menurut
referensi yang saya dapatkan bangunan stasiun dan halte disepanjang area tersebut sudah
dirubuhkan.
Akhirnya tak berapa lama kemudian perjalanan saya tiba di Pasar Jetis, sayapun segera
mencari lokasi posisi Stasiun Jetis. Tak sulit bagi saya menemukan bangunan bekas Stasiun Jetis.
Bangunan bekas Stasiun Jetis terletak disebelah kanan jalan setelah pasar. Bangunannya masih
tampak terawat dengan cat warna putih bersih. Sayapun menyempatkan untuk masuk ke area
emplasemen stasiun yang saya perkirakan berada dibagian belakang bangunan. Diarea tersebut
saya masih bisa melihat dua jalur kereta api yang membentang menuju Slahung meskipun
kondisinya sudah tertutup oleh tanah dan semak belukar.

Bekas Jalur Kereta di Siman

Bekas Bangunan Stasiun Jetis

Bekas Emplasemen Stasiun Jetis


Dari Stasiun Jetis perjalanan saya lanjutkan kembali menuju daerah Balong. Sepanjang
perjalanan saya menuju Balong, saya kembali menjumpai banyak bekas rel kereta berjajar
disamping jalan raya. Rata-rata kondisi rel masih utuh meskipun dibeberapa titik ada yang sudah
hilang. Kondisi ini mengingatkan saya pada blusukan di Grobogan - Blora dimana posisi rel juga
berada tepat disamping jalan raya.
Tak lama kemudian saya tiba di Ngasinan. Dulu di daerah ini terdapat sebuah halte kereta
api, tetapi saat saya berada di Pasar Ngasinan saya sudah tidak menjumpai bekas bangunan halte.
Kemungkinan bangunan halte sudah dirubuhkan. Untuk menuju darerah Balong, dari perempatan
Ngasinan berbelok ke kanan jika dari arah Jetis. Saya sempat tersesat diperempatan ini karena
salah mengambil arah. Seharusnya arah yang saya ambil adalah berbelok kekanan, akan tetapi
waktu itu saya justru mengambil arah lurus sehingga sempat tersesat cukup jauh.
Saat saya memasuki wilayah Balong hujan mulai turun. Kondisi bekas jalur rel disana
rata-rata sudah tertutup oleh perumahan warga dan sedikit sekali bekas rel yang masih utuh.
Hanya beberapa bekas pondasi jembatan kereta yang sesekali terlihat. Tak lama kemudian
akhirnya saya menjumpai bekas bangunan Stasiun Balong. Bangunan stasiun berdiri tepat di
sebelah kanan jalan raya. Letaknya berada sebelum perempatan Balong atau sebelum Pasar
Balong.

Bekas Jalur Kereta di Ngasinan

Bekas Bangunan Stasiun Balong

Bekas Jalur Kereta di Emplasemen Stasiun Balong


Stasiun Balong dibangun pada tahun 1922 oleh perusahaan kereta api Hindia Belanda
Staats Spoorwegen (SS). Sama dengan stasiun-stasiun sebelumnya, Stasiun Balong ditutup pada
tahun 1984 karena jumlah penumpang yang menurun drastis. Kini bangunan stasiun dimanfaat
sebagai tempat tinggal dan toko kelontong dengan kondisi yang masih cukup terawat.
Beranjak dari Stasiun Balong, dengan kondisi diguyur hujan perjalanan saya lanjutkan
menuju Slahung. Tiba di perempatan Balong, saya kembali bingung dengan jalan yang harus
saya ambil. Dua kali saya salah mengambil arah. Ternyata jalan menuju Slahung adalah berbelok
kekiri dari Stasiun Balong. Saat perjalanan menuju Slahung hujan semakin deras menghujam.
Hal ini menyulitkan saya untuk mengamati bekas jalur kereta api yang mungkin masih tersisa.
Untuk menghemat waktu, perjalanan tetap saya lanjutkan meskipun kondisi hujan deras.
Sambil berjalan pelan, beberapa kali saya menemukan bekas rel menuju Slahung berada dikiri
jalan. Dibeberapa titik yang tersisa hanyalah gundukan tanah bekas jalur kereta yang melintasi
perkebunan warga.
Disepanjang jalur dari Madiun hingga Ponorogo, patok penanda bekas jalur kereta api
masih menggunakan patok lama (patok dengan logo PT. KAI lama) dan patok dari bekas besi rel.
Tak jarang beberapa patok tersebut sudah tidak jelas logo dan tulisannya. Hal ini berbeda dengan
kondisi patok yang saya temui dibeberapa tempat yang pernah saya datangi dimana sudah
menggunakan patok dengan logo PT. KAI yang baru.

Bekas Rel di Area Pasar Balong


Memasuki wilayah Slahung, kondisi jalan mulai sedikit berkelok-kelok. Pemandangan di
sana sangat indah dengan bukit-bukit hijau menjulang yang nampak dari kejauhan. Mungkin
pemandangan seperti itu akan semakin indah jika disaksikan dari atas kereta api. Pemandangan
seperti ini mengingatkan saya akan jalur kereta api Wonogiri-Baturetno yang memiliki nasib
serupa dengan jalur di Slahung ini. Mungkin jika jalur tersebut masih aktif, pemandangannya
juga akan seindah di jalur ini.
Di Slahung saya melihat gundukan tanah yang saya perkirakan adalah bekas jalur kereta
api terbentang memanjang di tengah persawahan. Bahkan saya juga sempat menemukan bekas
perpotongan jalur kereta dengan jalan raya. Tak terasa perjalanan saya telah sampai di Pasar
Slahung yang juga berfungsi sebagai Sub Terminal Slahung. Saya mencoba memasuki area pasar
yang saya duga dibelakang pasar tersebutlah bekas Stasiun Slahung Berdiri. Dugaan saya tepat,
dibelakang pasar itulah Stasiun Slahung berdiri.

Perpotongan Rel dengan Jalan Raya di Slahung

Bekas Bangunan Stasiun Slahung

Stasiun Slahung Tempo Dulu


Sumber: Copyright Rob Dickinson

Kereta Menuju Slahung


Sumber: Copyright Rob Dickinson
Stasiun Slahung didirikan pada tahun 1922 dan terletak pada ketinggian 154 meter.
Menurut referensi yang saya baca, dulu jalur di stasiun ini sempat akan diperpanjang hingga
Trenggalek. Namun hingga masa pendudukan Belanda berakhir rencana tersebut tak kunjung
terealisasi. Stasiun ini menjadi stasiun paling ujung di jalur Ponorogo. Tahun 1984 adalah tahun
terakhir stasiun ini beroperasi. Sedikitnya jumlah penumpang membuat pemerintah harus
menutup jalur kereta disepanjang Madiun-Ponorogo. Sisa-sisa alat kereta api pun sudah tidak

bisa saya temui disini. Bahkan di bagian bekas emplasemen stasiun pun sudah tidak tampak
bekas rel kereta api. Kini bangunan stasiun digunakan warga sebagai tempat menyimpan jahe.
Setelah hujan cukup reda, perjalanan saya lanjutkan. Kali ini tujuan saya yang terakhir
adalah menuju kawasan Badegan Sumaroto. Menurut peta Kota Ponorogo buatan Belanda yang
saya miliki, dulu terdapat sebuah jalur percabangan dari Ponorogo menuju Badegan. Menurut
refensi dijalur tersebut terdapat beberapa halte dan stasiun, diantaranya adalah: Badegan
Kapuran Srandil Sumoroto Karanglo. Kebetulan jalur ini searah dengan jalan pulang saya
via Purwantoro Wonogiri.
Setibanya di Badegan, saya sama sekali tidak menemukan jejak peninggalan kereta api
disana. Bahkan patok milik PT. KAI satupun tidak saya jumpai. Bekas bangunan seperti pondasi
jembatan kereta api juga tidak saya temukan. Menurut informasi yang saya peroleh, jalur kereta
api dari Ponorogo hingga Badegan dulu dibongkar oleh Jepang saat menjajah Indonesia. Entah
dipindah kemana rel-rel tersebut saya juga belum menemukan referensi yang jelas. Tapi menurut
sebuah artikel yang saya baca, Bekas lokasi Stasiun Badegan terletak di komplek Pasar Badegan,
akan tetapi bangunan stasiun sudah tidak bersisa sama sekali.
Karena tak satupun jejak kereta yang saya temukan di Badegan, sayapun lanjut
meneruskan perjalanan pulang menuju Solo via Wonogiri. Sesampainya di Wonogiri sebenarnya
ada rencana untuk mampir ke Stasiun Wonogiri untuk melihat persiapan reaktivasi jalur SoloWonogiri yang rencananya akan di lewati railbus Batara Kresna. Akan tetapi saya kurang
beruntung, sesampainya di Wonogiri saya disambut dengan hujan yang amat deras hingga Solo.
Terpaksa rencana tersebut urung saya lakukan.
Tepat pukul setengah lima sore akhirnya saya tiba di Solo dengan kondisi basah kuyup.
Jika kembali mengingat bekas jejak jalur kereta api dari Madiun hingga Ponorogo, saya rasa
akan sulit untuk menghidupkan kembali jalur tersebut meskipun hal itu bisa saja dilakukan. Hal
ini saya dasarkan pada kondisi jalur yang berada di tengah kota dan banyak bersinggungan
dengan jalan raya. Akan tetapi saya secara pribadi juga berharap suatu saat jalur tersebut bisa
dihidupkan kembali sebagai sarana transportasi alternatif bagi warga Madiun dan Ponorogo.
_________________________
Artikel ini dikembangkan oleh: blusukanpabrikgula.blogspot.com
_________________________

PRIMA UTAMA / 2015 / WA: 085725571790 / FB, MAIL: primautama@ymail.com /


INSTA: @primautama

JELAJAH JALUR SEPUR BEDONO - AMBARAWA

DJELAJAH DJALOER SPOOR BERSAMA KOTA TOEA


MAGELANG
Dalam rangka memperingati hari ulang tahun PT. KAI yang ke 70 tahun, Komunitas Kota
Toea Magelang kembali mengadakan acara rutin tahunan bertajuk jelajah jalur sepur yang tahun
ini adalah acarayang ke empat kalinya. Pada tahun ini rute yang diambil adalah jalur kereta
apidari Stasiun Bedono hingga Stasiun Ambarawa atau Museum Kereta Api Ambarawa.
Sedikit menyinggung sejarah pembangunan jalur kereta api diwilayah Ambarawa hingga
Secang, jalur ini dibangun diawal abad 19 atau tahun 1900-an dimana merupakan salah satu jalur
kereta api termahal yang pernah dibuat oleh perusahaan kereta api Hindia Belanda Nederlands
Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Bagaimana tidak, jalur yang hanya memiliki panjang
sejauh kurang lebih 28 kilometer tersebut menghabiskan biaya sebesar f 390.000 dan harus
mengerahkan 3.000 pekerja setiap hari untuk mengerjakannya. Angka tersebut sangatlah mahal
jika dibandingkan dengan pembangunan jalur kereta yang pernah dilakukan oleh Samarang
Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) yang membangun jalur dari Blora hingga Cepu sejauh
kurang lebih 30 kilometer dengan biaya f 50.000 serta jalur dari Blora hingga Rembang sejauh
kurang lebih 29 kilometer dengan biaya hanyaf 45.000.
Mahalnya pembangunan jalur kereta api dari Ambarawa hingga Secang ini cukup
beralasan. Kondisi geografis yang berbukit-bukit memberikan kesulitan tersendiri dalam proses
pembangunannya. Tak ayal jika dalam proses pembangunan jalur tersebut banyak bukit yang
harus dibelah untuk mendapatkan gradient jalur kereta yang sesuai. Pembangunan jalur kereta
api diwilayah Ambarawa tidaklah lepas dari peran Ho Tjong An. Beliau adalah seorang
pemborong berdarah Tionghoa yang tercatat pernah membangun jalur kereta api milik beberapa
perusahaan Hindia Belanda, seperti: Samarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS), Samarang

Ceribon Stoomtram Maatschappij (SCS) dan Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij


(NIS).

Kereta dari Stasiun Willem I Menuju Jogja


Sumber: kitlv.nl

Jalur Kereta di Ambarawa Tahun 1900-an


Sumber: kitlv.nl
Tanggal 13 Agustus 2015 adalah hari pelaksanaan jelajah jalur sepur 4 yang diadakan oleh
Komunitas Kota Toe Magelang. Acara kali ini masih sama dengan tahun kemarin dimana
mengambil titik kumpul di daerah Boton Magelang. Kurang lebih pukul setengah tiga dini hari
saya berangkat menuju Magelang dengan menggunakan bus melalui Terminal Tirtonadi
Solo.Pada kesempatan ini saya memangsengaja berangkat lebih awal untuk menghindari
kejadian yang pernah saya alami tahun kemarin dimana saya hampir saja terlambat dan ditinggal
rombongan karena lambatnya bus yang saya naiki.
Berniat berangkat lebih pagi menuju Magelang agar tidak terlambat, ternyata saya tiba di
Magelang kepagian.Tepat pukul setengah lima pagi bus yang mengantarkan saya sudah tiba di
Terminal Tidar Magelang. Sempat bingung hal apa yang akan saya lakukan disana karena hari

yang masih petang. Setelah melaksanakan sholat subuh sayapun mengisi waktu senggang saya
dengan tidur diemperan terminal.
Setelah hari mulai terang sayapun pergi menuju Boton dengan menaiki angkutan kota.
Sudah lama tidak menyambangi Kota Magelang membuat perjalanan saya menuju Boton dengan
menggunakan angkot bak city tour. Bagaimana tidak, jalur angkot yang cukup panjang menuju
Boton serta indahnya pemandangan Kota Magelang yang di kelilingi perbukitan serta bangunanbangunan tua yang menghiasi kotamembuat saya betah berada didalam angkot. Ditambah lagi
dengan keramahan penumpang didalam angkot yang membuat saya seolah-olah berada di kota
sendiri.
Akhirnya tiba juga saya di Boton.Suasana dititik kumpul terlihat belum begitu
ramai.Hanya beberapa peserta saja yang tampak sudah hadir. Setelah melakukan registrasi saya
sempatkan untuk bercakap-cakap dengan peserta lain yang berasal dari beberapa kota sembari
menunggu waktu pemberangkatan menuju Bedono. Waktu telah menunjukkan pukul setengah
delapan pagi.Pemberangkatan menuju Bedono pun semakin dekat.Tahun ini jumlah peserta
mencapai seratusan orang, lebih banyak dari tahun kemarin yang hanya mencapai 75-an orang.
Setelah mendapatkan pengarahan dari panitia dan doa bersama, kami pun berangkat
menuju Stasiun Bedono yang terletak di Kabupaten Semarang dengan menggunakan angkot
yang telah disediakan oleh panitia. Kurang lebih ada 10 angkot yang telah disediakan panitia
untuk mengangkut peserta.

Foto Bersama Perserta Jelajah Jalur Sepur 4 di Boton Magelang


Sumber: Kota Toea Magelang

Peserta Bersiap Menuju Bedono Menggunakan Angkot


Kurang lebih empat puluh lima menit perjalanan, kamipun tiba di komplek Stasiun
Bedono. Ini adalah ketiga kalinya saya mengunjungi stasiun ini.Bangunan stasiun kini tampak
lebih bagus dari sebelumnya.Bahkan lingkungan diarea stasiunpun juga lebih indah dan tertata
rapi.Disini peserta diberi waktu untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan
menuju Halte Jambu dengan berjalan kaki.
Stasiun Bedono adalah stasiun kecil yang terletak di Kabupaten Semarang.Stasiun ini
didirikan oleh Nederlands Insdische Spoorweg Maatschappij (NIS) dan resmi dibuka untuk
umum pada tahun 1905. Diarea stasiun terdapat beberapa alat penunjang perkeretaapian seperti
turn table atau meja putar lokomotif, tempat penampungan air untuk bahan bakar kereta, serta
alat wesel yang masih bisa dijumpai di emplasemen stasiun.
Diarea Stasiun, bangunan yang tidak saya jumpai adalah rumah dinas stasiun. Lazimnya
disebuah stasiun terdapat fasilitas rumah dinas yang diperuntukkan bagi kepala maupun pegawai
stasiun, namun hal tersebut tidak saya temui di Stasiun Bedono. Sayapun menanyakan hal
tersebut kepada salah satu petugas yang ada disana. Beliau bercerita bahwa dahulu sebenarnya
terdapat beberapa rumah dinas stasiun yang pernah berdiri, salah satunya berada disamping

bangunan stasiun. Akan tetapi pada dekade 70-an bangunan rumah dinas dihancurkan oleh
oknum yang kini hanya menyisakan pondasinya saja. Sementara untuk bangunan rumah dinas
lainnya dirubuhkan dan dirubah menjadi sekolah yang berada tak jauh dari Stasiun Bedono.
Satu-satunya bangunan rumah dinas stasiun yang masih utuh kini dimanfaatkan sebagai kantor
sekolah.
Diemplasemen Stasiun Bedono, saya sempat berdiskusi dengan kepala stasiun mengenai
beberapa stopplast dan halte yang pernah berdiri di petak Ambarawa Bedono. Menurut
keterangan beliau, beberapa stopplast memang pernah berdiri di petak tersebut, namun hal
tersebut pada masanya hanya digunakan sebagai penanda pembangunan jalur tersebut yang
dilakukan secara bertahap.Sempat juga saya menunjukkan foto lawas Halte Jambu dimana beliau
menceritakan bahwa foto yang saya miliki tersebut adalah masa dimana Halte Jambu belum
digunakan untuk angkutan penumpang dan barang.

Stasiun Bedono

Rumah Dinas Stasiun Bedono

Bekas Pondasi Rumah Dinas Stasiun Bedono

Peserta Jelajah Jalur Sepur 4 di Stasiun Bedono


Sumber: Kota Toea Magelang

Waktu telah menunjukkan pukul 9 pagi.Rombongan pun segera bergegas melanjutkan


perjalanan menuju Halte Jambu dengan berjalan kaki.Jika melihat peta lawas tahun 1909,
terdapat sebuah stopplast di wilayah Tempuran sebelum Halte Jambu.Stopplast adalah sebuah
tempat pemberhentian kereta yang lebih kecil daripada halte.Biasanya stopplast hanya diberi
penanda berupa plang tanpa memiliki bangunan.
Berjalan pelan menyusuri rel bergerigi, kamipun di manjakan dengan pemandangan alam
yang begitu indah.Pepohonan yang hijau serta deretan perumahan pendudukpun turut menemani
perjalanan kami.Disepanjang jalur kereta masih banyak dijumpai tiang telegraf yang sudah tidak
terpakai.Kami juga sempat berpapasan dengan beberapa warga yang sedang mengangkut rumput
untuk pakan ternak mereka dengan menggunakan troli yang didorong diatas jalur kereta.Di titik
tertentu terdapat jalur kereta yang melintas ditengah dan diatas bukit. Bahkan ada spot jalur
kereta yang bersinggungan dengan jalan raya yang menyajikan panorama yang sangat indah.

Jalur Kereta dari Bedono Menuju Jambu

Peta Jalur Kereta dari Bedono Menuju Jambu


Jalur rel bergerigi adalah jalur kereta langka yang tidak disembarang tempat bisa
dijumpai.Di Indonesia sendiri hanya terdapat dua wilayah saja yang memiliki jalur kereta
bergerigi, yaitu di Ambarawa dan di Lembah Anai Sumatra.Sedangkan di Asia tercatat hanya dua
Negara saja yang memiliki jenis rel seperti ini, yaitu Indonesia dan India.Rel bergerigi sangat
dibutuhkan kereta yang melintas di wilayah dengan gradient menanjak.Saat melintas direl
bergerigi posisi lokomotifpun mendorong gerbong bukan menarik gerbong.Di Ambarawa sendiri

jalur kereta bergerigi telah vakum selama kurang lebih empat tahun.Beberapa alasan menjadi
penyebab kereta tidak melintas dijalur tersebut.

Titik Awal Rel Bergerigi dari Bedono Menuju Jambu

Titik Awal Rel Beregerigi di Bedono Tahun 1939


Sumber: Copy Right Gerry Verhoeven

Pemanfaatan Jalur Kereta oleh Warga Sekitar

Jalur Kereta Bersinggungan dengan Jalan Raya

Kereta Menuju Ambarawa Tahun 1939

Sumber: Copy Right Gerry Verhoeven

Kereta Menuju Jambu Tahun 1939


Sumber: Copy Right Gerry Verhoeven

Perkiraan Lokasi Stopplast Tempuran


Setelah cukup jauh berjalan, rombongan memutuskan untuk beristirahat sejenak dibawah
jembatan penyeberangan yang melintas diatas rel. Sambil mengisi tenaga dengan menyantap

bekal masing-masing, panitia juga sempat menjelaskan beberapa sejarah penting yang pernah
terjadi di jalur yang kami lewati tersebut.Waktu semakin siang, kamipun bergegas untuk
melanjutkan perjalanan kembali menuju Halte Jambu.
Disepanjang perjalanan menuju Jambu, perjalanan kami dihiasi oleh ladang persawahan
yang luas dengan latar belakang pegunungan yang sangat indah.Hembusan angin yang semilir
menjadi bonus tersendiri dalam perjalanan kami. Setibanya di wilayah Jambu kami mulai
melintasi jembatan-jembatan kereta api yang melintas di atas sungai. Kamipun harus berhati-hati
dan waspada karena jembatan tersebut memiliki ketinggian yang cukup tinggi.Setelah lelah
melangkah, akhirnya Halte Jambu sudah nampak dari kejauhan.Semangat kamipun kembali
memuncak tak sabar ingin segera menyambangi dan beristirahat di Halte Jambu.
Setibanya di Halte Jambu peserta dimanjakan dengan pemandangan yang luar biasa indah
di sekitar bangunan halte. Disini peserta dibagikan buah semangka segar sebagai penghilang
dahaga yang telah disediakan oleh panitia. Halte Jambu pada masanya digunakan sebagai tempat
naik turun penumpang.Selain itu halte ini juga menjadi tempat untuk mengubah posisi lokomotif
yang hendak menuju Bedono dengan posisi mendorong gerbong.Di daerah Jambu pula jalur rel
bergerigi berakhir.
Saat beristirahat melepas lelah saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang
petugas dari PT. KAI mengenai Halte Jambu.Beliau menjelaskan bahwa bangunan Halte Jambu
masih asli, yang dibuat pada masa pendudukan Belanda meskipun telah mengalami beberapa
perubahan.Hal ini diluar prediksi saya karena saya sempat berpikir bahwa bangunan halte adalah
bangunan baru yang dibuat pada masa DKA. Disekitar lokasi bangunan halte saya masih
menjumpai rumah dinas yang masih berdiri. Bahkan rumah dinas tersebut masih dimanfaatkan
sebagai tempat tinggal dan kondisinya masih terawat dengan baik. Setelah cukup melepas lelah,
rombonganpun kembali melanjutkan perjalanan menuju pemberhentian terakhir di Stasiun
Ambarawa.

Jembatan Kereta Menuju Jambu

Peserta Melintas di Sebuah Jembatan di Jambu

Peserta Jelajah Beristirahat di Halte Jambu

Halte Jambu Tahun 1890-1906


Sumber: kitlv.nl

Bangunan Utama Halte Jambu

Rumah Dinas Halte Jambu


Beranjak meninggalkan Halte Jambu rombonganpun bergerak menuju Stasiun
Ambarawa.Kali ini perjalanan di dominasi oleh barisan perumahan penduduk yang berada
disebelah kiri kanan jalur kereta.Cuaca yang panas dan terik menjadi tantangan tersendiri dalam
etape terakhir ini.
Merujuk pada peta lawas buatan Belanda, dari Halte Jambu hingga Stasiun Ambarawa
terdapat dua lokasi stopplast, yaitu Stopplast Karangkepoh dan Stopplast Ampin Wetan. Selama
diperjalanan ini pula jembatan-jembatan kereta banyak kami jumpai.Di etape terakhir ini,
rombongan banyak yang mulai terbecah menjadi kelompok-kelompok kecil.Tenaga yang sudah
banyak terkuras dan kondisi kaki yang sudah mulai lelah melangkah membuat banyak peserta
yang memperlambat langkah mereka.
Kurang lebih setelah menempuh 4 kilometer perjalanan, kami mulai memasuki wilayah
Ambarawa.Dari kejauhan mulai terlihat tiang sinyal milik Stasiun Ambarawa yang sudah karatan
yang menjadi penanda bahwa lokasi stasiun sudah tidak jauh lagi. Semangat kamipun mulai
menggebu-gebu tak sabar ingin segera mencapai garis finish.

Peta Jambu Ambarawa Tahun 1909


Sumber: kitlv.nl

Peserta Melintas di Atas Sebuah Jembatan Menuju Ambarawa

Jalur Kereta dan Bekas Tiang Telegraf Menuju Ambarawa

Perkiraan Lokasi Stopplast Karangkepoh

Jembatan-Jembatan Kereta Menuju Ambarawa

Perkiraan Lokasi Stopplast Ampin Wetan

Tiang Sinyal Stasiun Ambarawa

Sebuah Kereta dari Stasiun Ambarawa Menuju Bedono Tahun 1938


Sumber: Copy Right Gerry Verhoeven
Akhirnya rombongan mulai memasuki area Stasiun Ambarawa atau Willem I. Disini
peserta diberi waktu untuk beristirahat dan menikmati koleksi Museum KeretaApi Ambarawa
hingga pukul 3 sore. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk memanjakan kaki yang sejak
pagi kerja keras menaklukkan jalur kereta api dari Bedono hingga Ambarawa. Disini saya sempat
berbincang-bincang dengan salah satu petugas museum. Saya sempat menanyakan rencana
peresmian Museum Kereta Api Ambarawa pada tanggal 28 September kelak yang rencananya
akan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo.
Beliau menjelaskan kemungkinan rencana pada tanggal 28 September kelak masih
bersifat soft launching yang hanya akan dihadiri oleh Menteri Perhubungan. Hal ini dikarenakan
masih banyaknya kekurangan-kekurangan di bagian museum yang perlu diperbaiki.Koleksi
museum pun juga belum seratus persen lengkap, ujar beliau. Beliau juga sempat memberikan
gambaran kepada saya mengenai konsep museum kedepannya dimana akan ditempatkan

beberapa bekas bangunan halte kereta dari beberapa tempat termasuk halte disepanjang SoloWonogiri yang akan dipindah ke Museum Ambarawa serta taman sinyal dan beberapa koleksi
pendukung lainnya.
Diharapkan proses revitalisasi Museum Kereta Api Ambarawa akan selesai seratus persen
pada bulan Mei tahun 2016yang bertepatan dengan ulang tahun Stasiun Ambarawa. Melihat
sejarah Stasiun Ambarawa, pendirian stasiun ini diprakarsai oleh raja Belanda kala itu yang
bernama Raja Willem I pada tahun 1873.Stasiun tersebut merupakan perpanjangan jalur dari
Kedungjati dengan tujuan utama pembangunannya adalah untuk kepentingan militer, karena
pada zaman dahulu Ambarawa adalah salah satu wilayah basis militer Hindia Belanda. Stasiun
inipun dahulu terkenal dengan nama Stasiun Willem I, sesuai dengan nama pemrakarsanya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Stasiun Ambarawa pun ditutup oleh pemerintah pada tahun
1976 karena sepinya jumlah penumpang.Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 1976 Stasiun
Ambarawa resmi dialihfungsikan sebagai museum kereta api oleh pemerintah.
Selain berdiskusi mengenai pengembangan komplek Museum Kereta Api Ambarawa,
saya juga sempat menanyakan rencana reaktivasi jalur kereta api dari Ambarawa menuju
Magelang. Beliau menjelaskan bahwa rencana tersebut sebenarnya sudah dibuat oleh PT. KAI
dan rencananya pembangunan jalur kereta api menuju Magelang akan selesai pada tahun 2020.
Tetapi beliau juga menerangkan bahwa kemungkinan rencana tersebut akan molor seperti
rencana reaktivasi jalur kereta api di wilayah Semarang Demak Kudus dan Kedungjati
Tuntang yang terkendala masalah Amdal.
Banyak pelajaran dan informasi berharga yang saya ambil dari diskusi ini.Meskipun
rencana reaktivasi jalur kereta api di beberapa wilayah banyak yang akan mengalami
keterlambatan, tapi beliau menjelaskan bahwa untuk wilayah di Jawa Tengah menjadi salah satu
prioritas utama dalam rencana reaktivasi jalur kereta api. Harapan saya semoga rencana tersebut
bisa terlaksana dengan baik dan tepat waktu, sehingga banyak masyarakat di berbagai daerah
yang bisa menikmati layanan kereta api.

Salah Satu Bangunan Gudang Stasiun Ambarawa

Bangunan Stasiun Ambarawa

Stasiun Ambarawa Tahun 1890-1906


Sumber: kitlv.nl

Peron Stasiun Ambarawa

Peserta Jelajah Jalur Sepur di Museum Ambarawa


Sumber: Kota Toea Magelang
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 3 sore.Itu artinya peserta harus meninggalkan
Museum Kereta Api Ambarawa untuk melanjutkan perjalanan pulang kembali menuju
Magelang. Waktu itu saya memutuskan untuk memisahkan diri dari rombongan karena saya
memilih pulang kembali ke Solo via Terminal Bawen Semarang untuk menghemat waktu.
Banyak pelajaran dan pengalaman berharga yang saya peroleh selama perjalanan kali ini.
Semoga tahun depan saya bisa memiliki kesempatan mengikuti acara ini lagi dengan pengalaman
yang tak kalah serunya. Semoga.
____________
developed by: blusukanpabrikgula.blogspot.com
____________
PRIMA UTAMA / 2015 / WA: 085725571790 / MAIL, FB : primautama@ymail.com /
INSTA: @primautama

MUSEUM KERETA API AMBARAWA

MENENGOK RENOVASI MUSEUM AMBARAWA


Hampir satu jam perjalanan saya menuju Ambarawa setelah melakukan blusukan di daerah
Kemijen Semarang untuk mencari jejak stasiun tertua di Indonesia. Tepat pukul tiga sore
akhirnya saya mendarat di Ambarawa. Suasana berbeda sentak menyambut kedatangan saya.
Sejumlah bangunan yang berada disekitar jalur rel antara Ambarawa hingga Tuntang sudah
diratakan dengan tanah. Selain itu wajah Museum ambarawa pun juga terlihat semakin rapi.
Kebetulan saya sempat bertanya dengan seorang warga asli Ambarawa yang menjadi juru
parkir di area Museum Ambarawa mengenai proses reaktivasi Stasiun Ambarawa. Beliau
menjelaskan bahwa penggusuran pemukiman warga di Ambarawa memang berkaitan dengan
rencana reaktivasi Stasiun Ambarawa yang akan dihubungkan dengan Stasiun Kedung Jati.
Beliau juga senang jika Stasiun Ambarawa akan dijadikan stasiun kereta regular. Menurutnya,
dengan reaktivasi stasiun otomatis akan meningkatkan ekonomi warga, karena kawasan
Ambarawa akan semakin ramai.
Setelah cukup berbincang-bincang, saya pun melanjutkan blusukan saya ke Stasiun
Ambarawa yang juga berfungsi sebagai Museum Kereta Api Ambarawa. Tujuan saya kali ini
bukanlah untuk berwisata atau melihat koleksi museum, akan tetapi lebih melihat proses
reaktivasi Stasiun Ambarawa dan proses Renovasi Museum Ambarawa.
Sedikit berbicara mengenai sejarah Stasiun Ambarawa, bangunan stasiun ini didirikan
oleh pemerintah Hindia Belanda melalui perintah raja Belanda kala itu yaitu Raja Willem I pada
tahun 1873. Tujuan utama dibangunnya Stasiun Ambarawa adalah untuk kepentingan militer,
karena pada zaman dahulu Ambarawa merupakan salah satu pusat basis militer pemerintah
Hindia Belanda. Stasiun Ambarawa juga dikenal dengan nama Stasiun Willem I, sesuai dengan
nama pencetus pendiriannya. Pada zaman dahulu di stasiun ini dilalui kereta dengan tujuan
Semarang via Kedung jati, Magelang, Jogja, Temanggung, dan Parakan. Seiring dengan
berjalannya waktu dan berkembangnya alat transportasi, Stasiun Ambarawa mulai ditinggalkan
penumpangnya. Akhirnya pada tahun 1976 Stasiun Ambarawa resmi ditutup oleh pemerintah.
Dalam rangka melestarikan sejarah perkeretaapian di Indonesia, maka pemerintah kala
itu berinisiatif mendirikan museum kereta api yang berfungsi sebagai tempat menyimpan
peninggalan perkeretaapian serta sarana edukasi bagi masyarakat. Akhirnya dipilihlah Stasiun

Ambarawa sebagai lokasi museum kereta api di Indonesia. Tepat pada tanggal 6 Oktober 1976
Stasiun Ambarawa resmi berubah menjadi Museum Kereta Api Ambarawa. Dan kini Museum
Ambarawa melayani perjalanan kereta wisata ke Stasiun Tuntang dan Stasiun Bedono.

Proses Reaktivasi Jalur Kereta di Ambarawa


Sangat berbeda sekali kondisi Museum Ambarawa saat ini. Dulu kondisi lokomotif serta
beberapa koleksi museum tampak tak terawat dan rusak. Lingkungan disekitar stasiunpun juga
nampak kotor. Akan tetapi setelah adanya proses renovasi ini, kondisi museum nampak lebih rapi
dan terawat. Lokomotif serta beberapa koleksi lainnya pun juga tampak diperbaiki. Menurut
informassi yang saya peroleh, Museum Kereta Api Ambarawa akan dijadikan museum kereta api
terbesar di Asia Tenggara. Semoga rencana ini benar-benar terwujud agar masyarakat bisa
mengenal dan mengetahui sejarah perkeretaapian di Indonesia.
Saat saya berkeliling di area museum, ada hal menarik yang saya temukan disana. Ada
dua buah bangunan kecil yang terbuat dari kayu yang didirikan di samping stasiun mirip seperti
bangunan gazebo atau warung kopi. Saya penasaran dengan dua bangunan tersebut karena ada
sesuatu yang aneh dan unik yang mengusik rasa ingin tahu saya. Dugaan saya itu pasti bangunan
halte. Setelah mendekat ternyata dugaan saya benar, dua bangunan tersebut adalah bekas
bangunan halte kereta. Salah satu bangunannya adalah bekas bangunan Halte Cicayur. Senang
sekali rasanya bisa menemukan bangunan halte disini. Halte adalah sebuah tempat yang
digunakan untuk naik turunnya penumpang kereta api selain stasiun. Halte tidak selalu memiliki

bangunan, kadang hanya berupa tempat berkumpul untuk naik dan turun penumpang kereta yang
diberi plang penanda. Selama blusukan yang pernah saya lakukan, banyak sekali bangunan halte
yang pernah saya temui dan rata-rata kondisinya kurang terawat. Sebagai contoh halte
disepanjang jalur Solo-Wonogiri.

Turn Table Stasiun Ambarawa

Salah Satu Gerbong Kayu Koleksi Museum Ambarawa

Loko Penarik Tram Koleksi Museum Ambarawa

Gerbong Madura Koleksi Museum Ambarawa

Emplasemen Stasiun Ambarawa

Bekas Bangunan Halte Cicayur

Bangunan Dipo Lokomotif Stasiun Ambarawa

Halaman Stasiun Ambarawa

Stasiun Ambarawa Tahun 1890 1906


Sumber: kitlv.nl

Bangunan Gudang Stasiun Ambarawa


Puas menjelajahi isi Stasiun Ambarawa dan pertimbangan waktu yang semakin sore,
akhirnya tepat pada pukul empat sore saya pergi meninggalkan Stasiun Ambarawa kembali
melanjutkan perjalanan pulang menuju Kota Solo. Puas rasanya blusukan saya kali ini, karena
bisa menjangkau tiga tempat sekaligus dalam satu waktu. Namun dibalik itu semua tersirat
sedikit keprihatinan mengenai konservasi bangunan cagar budaya yang dilakukan oleh
pemerintah dimana banyak sekali bangunan cagar budaya warisan kejayaan kereta api dimasa
silam yang merana tak terawat. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk

menjaga warisan cagar budaya yang menjadi bagian besar dari sejarah perjalanan bangsa
Indonesia.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama dua jam, tak terasa perjalanan saya
sudah tiba di Kota Bengawan. Semoga dilain kesempatan saya bisa berkesempatan kembali
melakukan blusukan ditempat lain dengan cerita dan sejarah yang berbeda. Semoga.
___________________________________________________
Developed by: blusukanpabrikgula.blogspot.com
___________________________________________________
PRIMA UTAMA / 2015 / WA: 085725571790 / MAIL, FB: primautama@ymail.com /
INSTA: @primautama

Sebuah jalan kereta api menuju Bandung

Lokomotif Uap
Lokomotif uap adalah kendaraan rel yang dapat bergerak sendiri dengan penggerak mesin uap
yang dihasilkan dari ketel uap yang dipanaskan dengan kayu bakar, batu bara atau minyak bakar.
Lokomotif uap pertama di Indonesia mulai beroperasi pada tahun 1867 seiring dengan
pembukaan jalur kereta api yang pertama dari stasiun Samarang ke Tanggung sepanjang 26 km.
Lokomotif uap tersebut bernomor seri NIS 1 dan NIS 2 buatan pabrik Borsig di Jerman.
Selanjutnya berbagai jenis lokomotif mulai didatangkan dari Eropa dan Amerika. Lokomotiflokomotif tersebut memiliki daya sampai 1850 HP (horse power), misalnya lokomotif uap
terbesar di Indonesia yaitu DD52. Mulai tahun 1953, lokomotif diesel mulai datang dan
selanjutnya menggantikan lokomotif uap. Baru sekitar tahun 1980, lokomotif uap tidak
dioperasionalkan lagi kecuali untuk kereta wisata

Lokomotif B12

Zoom in Read more


Pada perkembangan transportasi kereta api, pemerintah Hindia Belanda tidak hanya...

Lokomotif B13

Jalan rel rute Yogyakarta Maos Cilacap (176 km) dibangun oleh perusahaan kereta...

Lokomotif B16

Pada masa pemerintah Hindia Belanda, kota Pasuruan dan kota Probolinggo merupakan sentra...

Lokomotif B17

Pemerintah Hindia Belanda benar-benar serius dalam merencanakan tata kota Malang dan...

Lokomotif B20

diantaranya adalah Jurnatan-Pendrikan. Stasiun Jurnatan dibangun oleh perusahaan kereta...

Lokomotif B22

Selain kaya dengan sumber daya alam, seperti kayu jati, kawasan pantai utara Jawa Tengah...

Lokomotif B23

Keuntungan finansial yang diperoleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische...

Lokomotif B25

Lokomotif B25 buatan pabrik Esslingen (Jerman) mulai dioperasionalkan pada tahun 1902....

Lokomotif B27

Industrialisasi di kota Semarang, yang telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-19,...

Lokomotif B50

Pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan kereta api Staats Spoorwegen (SS) memulai...

Lokomotif B51

Zoom in Read more


Untuk memenuhi kebutuhan angkutan penumpang dan peningkatan kecepatan kereta api, maka...

Lokomotif B52

Zoom in Read more


Lokomotif uap B52 dibeli dari pabrik Hartmann (Jerman) oleh perusahaan kereta api swasta...

Lokomotif BB10

Lokomotif uap BB10 merupakan generasi pertama dari lokomotif tipe Mallet yang beroperasi...

Lokomotif BB84

Kereta api di Aceh berperan membuka keterpencilan Aceh dengan menghubungkan wilayah ini...

Lokomotif C12

Zoom in Read more


tahun 1893 1902 dari pabrik Hartmann (Jerman). Lokomotif ditugaskan sebagai lokomotif...

Lokomotif C14

Kegiatan tanam paksa yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Johanes van Den Bosch di...

Lokomotif C15

Pada tahun 1875 1897, perusahaan kereta api Staatsspoorwegen (SS) mulai membangun...

Lokomotif C16

Untuk memperkuat kekuatan militer dan ekonomi, pemerintah Hindia Belanda menjadikan
kota...

Lokomotif C17

Lokomotif uap C17 didatangkan oleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische...

Lokomotif C18

Keberadaan transportasi perkotaan di Solo ditandai dengan selesainya pembangunan jalur...

Lokomotif C19

Selain mengoperasikan tram untuk sarana transportasi di kota Semarang, perusahaan kereta...

Lokomotif C20

Lokomotif uap C20 didatangkan oleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische...

Lokomotif C21

Pemerintah Hindia Belanda memberikan konsesi kepada perusahaan kereta api swasta...

Lokomotif C23

Pada tahun 1893, pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan rencana induk pengembangan...

Lokomotif C24

Sejak awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda banyak membuka perkebunan-perkebunan
di...

Lokomotif C25

Pemerintah Hindia Belanda memberikan konsesi kepada perusahaan kereta api swasta...

Lokomotif C26

Kota Kediri bagian timur dan kota Kediri bagian barat dipisahkan oleh sungai Brantas....

Lokomotif C27

Untuk memenuhi kebutuhan angkutan penumpang dan barang di jalur kereta api yang lurus
dan...

Lokomotif C28

Zoom in Read more


Lokomotif uap C28 dibeli oleh perusahaan kereta api Staats Spoorwegen (SS) sebanyak 58...

Lokomotif C29

Keuntungan finansial yang diperoleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische...

Lokomotif C30

Semakin meningkatnya volume angkutan barang dan penumpang di jalur kereta api rute...

Lokomotif C33

Pemerintah Hindia Belanda membangun jalan rel di Sumatra Barat karena terdapat tambang...

Lokomotif C51

Dengan selesainya pembangunan jalur kereta api rute Gundih Gambringan Cepu ...

Lokomotif C53

Lokomotif uap C53 dibeli sejumlah 20 buah oleh perusahaan kereta api Staats Spoorwegen...

Lokomotif C54

Untuk menguasai jalur kereta api di wilayah Jawa Barat bagian utara, perusahaan kereta...

Lokomotif CC50

Lokomotif uap CC50 merupakan lokomotif tipe Mallet generasi ke enam yang beroperasi di...

Lokomotif D10

Lokomotif uap D10 didatangkan oleh perusahaan kereta api swasta Serajoedal Stoomtram...

Lokomotif D11

Kota Malang ditetapkan sebagai Kota (gemeente) oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun...

Lokomotif D14

Lokomotif uap seri D14 merupakan lokomotif uap yang didatangkan oleh Staats Spoorwegen...

Lokomotif D15

Untuk memenuhi kebutuhan sarana transportasi dalam kota, maka pada tahun 1881,
perusahaan...

Lokomotif D50

Semakin meningkatnya volume barang dan penumpang yang akan diangkut di jalur kereta api...

Lokomotif D51

Pada awalnya, lokomotif D51 dipesan oleh Pemerintah Turki sejumlah 10 buah dari pabrik...

Lokomotif D52

Lokomtif Seri D52 adalah lokomotif uap multifungsi yang dioperasikan oleh Djawatan Kereta...

Lokomotif E10

Dibangunnya jalur kereta api di Sumatra Barat tak lepas dari ditemukannya batu bara di...

Lokomotif F10

Semakin meningkatnya volume angkutan barang di wilayah Jawa Barat maka perusahaan
kereta...

Lokomotif TC10

Perusahaan kereta api Staats Spoorwegen (SS) mulai mengoperasionalkan jalan rel dengan...

Lokomotif TD10

Zoom in Read more


Pada masa pemerintah Hindia Belanda, daerah sepanjang pantai utara di Jawa Barat...

Lokomotif DSM 22

Pembangunan jalan rel di Sumatra Utara datang dari usulan JT Cremer yakni seorang manajer...

Lokomotif DSM 28

Memasuki tahun 1870-an, komoditas perkebunan di Sumatra Utara tidak lagi terfokus pada...

Lokomotif DSM 38

Pada awalnya, tujuan utama pembangunan jalan rel di Sumatra Timur adalah untuk
mengangkut...

Lokomotif DSM 48

Dalam pengembangan perekonomian di Sumatra, pemerintah Hindia Belanda memiliki


rencana...

Lokomotif DSM 55

Perusahaan kereta api Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) merupakan perusahaan kereta api...

Lokomotif NIS 107

Setelah berhasil membangun jalan rel rute Semarang Tanggung Kedung Jati ...

Lokomotif SS 200T/SS 300T

Pembangunan jalur-jalur kereta api di Jawa Barat bagian utara, dimaksudkan untuk...

Menjelajahi Gedung Lawang Sewu yang merupakan Kantor Nederlandsche-Indische


Spoorweg Maatschappij (NIS) atau Maskapai KA Hindia Belanda

Anda mungkin juga menyukai