Anda di halaman 1dari 3

PROPOSAL KOTA PUSAKA

Untuk mendalami penataan dan pelestarian kota pusaka yang sangat kompleks sebaiknya kita
memahami dahulu unsur dasarnya yaitu pusaka dan pelestarian pusaka. Kita sering lalai, tidak
memperhatikan aset berharga di sekitar kita rusak, dirusak, hilang atau punah, padahal aset itu
sangat dibutuhkan utuk membangun kedepan. Ia mengandung banyak pelajaran berharga, ia
merupakan bukti sejarah, ia membangun collective memory, Ia merupakan asset yang tak
tergantikan.
Indonesia yang mempunyai lebih dari 500 kelompok etnis yang tinggal di lebih dari 17000
pulau, begitu kaya dengan pusaka alam dan pusaka budaya yang beragam, tersebar di berbagai
penjuru nusantara. Kota dan kabupaten dengan kekayaan alam dan karya budaya ragawi dan tak
ragawi dapat membangun karakter yang kuat berdasarkan kekuatan alam dan budayanya. Sayang
sekali banyak kota dan kabupaten kehilangan karakternya, kehilangan kepribadiannya,
kehilangan api, catatan sejarah, collective memory, dan bahan pelajaran yang sangat berharga.
Banyak kota/kabupaten tumbuh tanpa sadar, tanpa kepribadian, sekedar mengikuti kebetulan
tanpa sengaja, mengabaikan alur sejarah yang telah dijalaninya.

Dalam arus globalisasi yang sedang berlangsung, banyak kota/kabupaten yang


hanyut dalam keseragaman, sekedar tumbuh seperti yang lain, tanpa identitas yang
akrab dan melekat pada masyarakatnya. Kota/kabupaten seharusnya selalu dekat
ke hati masyarakatnya, dekat dalam rajutan collective memory yang terekam dalam
lapis-lapis sejarahnya. Pusaka alam dan budaya selalu terancam oleh unsur atau
pengembangan yang membawa keuntungan ekonomi jangka pendek. Pada masa
dimana perhatian sangat difokuskan pada pembangunan prasarana fisik dan
pembangunan ekonomi, sisi pembangunan manusia dan nilai-nilai budaya kurang
berkembang. Pengembangan kepribadian, penyelamatan aset sejarah dan budaya
kurang mendapat prioritas. Dalam situasi demikian banyak yang berfikiran bahwa
hilang atau rusaknya pusaka alam dan budaya serta melemahnya modal sosial dan
modal budaya itu bukan merupakan masalah penting yang perlu segera
ditanggulangi. Kecenderungan ini perlu segera dirubah, dan dikembalikan kepada
konsep pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang mencakup keseimbangan
dan keserasian pembangunan fisik, ekonomi, dan sosial-budaya.
Untunglah lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, organisasi, dan
kelompok masyarakat mulai bergerak dan berjuang untuk mengamankan dan
melestarikan pusaka alam dan budaya, serta mengingatkan dan mendorong
berbagai fihak untuk memperkuat upaya pelestariannya. Monoementen Ordonantie
1931 yang dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda
Cagar Budaya dan UU No. 12 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya meletakkan dasar
pengamanan Benda Cagar Budaya. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
menegaskan bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mnemperhatikan
kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan, keamanan,lingkungan
hidup, serta iptek sebagai satu kesatuan. Ada UU No. 28 Tahun 2002 tentang

Bangunan Gedung dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Pada
tahun 2000 berbagai organisasi pelestarian di berbagai daerah berkumpul dan
bersepakat membangun suatu Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia. JPPI
mengadakan bayak dialog dan pembahasan, kemudian meluncurkan Tahun Pusaka
Indonesia 2003, dan bersama dengan berbagai lembaga, perguruan tinggi serta
organisasi
masyarakat
mencanangkan
Piagam
Pelestarian
Pusaka
Indonesia.Dalam Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia tersebut diikrarkan bahwa
yang akan dilestarikan adalah pusaka alam, pusaka budaya ragawi dan tak ragawi,
serta pusaka saujana yang merupakan gabungan antara pusaka alam dan pusaka
budaya.
Pada tahun 2004 berbagai organisasi pelestarian yang bergabung dalam JPPI
membentuk Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dimana peresmian
pembentukannya disaksikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, berbagai
lembaga, perguruan tinggi, dan organisasi masyarakat. BPPI bertujuan (i)
menyiapkan masukan tentang kebijakan, strategi, program dan panduan peletarian,
(ii) membantu dan memperkuat gerakan masyarakat untuk pelestarian, dan (iii)
membangun sistem pendanaan pelestarian.
Langkah maju selanjutnya adalah terbentuknya Jaringan Kota Pusaka Indonesia
(JKPI) pada tahun 2008 dimana para Walikota dan Bupati yang peduli pada
pelestarian dan ingin memperkuat pengelolaan Kota Pusaka bersama-sama
membentuk organisasi. Pembentukan JKPI diprakarsai oleh Bapak Joko Widodo,
Walikota Solo, dan sekarang Ketua JKPI pertama dijabat oleh Bapak Amran Nur,
Walikota Sawahlunto. Pada saat didirikan JKPI beranggotakan 11 Walikota/Bupati
dan sekarang anggotanya sudah meningkat menjadi 48 kota/kabupaten. Hal ini
menunjukkan berkembangnya perhatian Pemerintah Daerah pada upaya penataan
dan pelestarian kota pusaka. Kemudian pada tahun 2012 Kementerian Pekerjaan
Umum, khususnya Direktorat
Jendral Penataan Ruang mengembangkan Program Penataan dan Pelestarian Kota
Pusaka (P3KP). Diharapkan melalui program P3KP ini kota dan kabupaten dapat
memperkuat upaya penataan dan pelestarian kota pusaka, membangun kota yang
berkarakter, berbasis pada alam, sejarah, dan budaya masyarakatnya. Masyarakat
diajak untuk menemukenali seluruh pusaka alam dan budaya di daerahnya,
menganalisis dan menghimpunya dalam suatu daftar pusaka dan peta pusaka yang
komprehensif, menetapkan perlindungan pusaka, membangun menkanisme
pengamanan, pengembangannya, dan pemanfaatannya, serta mengembangkan
.kehidupan budaya yang kreatif, bergairah, dan berkelanjutan.

1.2. MENGENALI PUSAKA

Jika kita ingin mengamankan dan menyelamatkan pusaka di kota//kabupaten,


tentunya kita
harus mengenali pusaka apa saja yang kita miliki. Banyak kota/kabupaten yang
belum
mengetahui persis berbagai pusaka yang dimiliki. Langkah pertama yang perlu
digarap adalah
mengadakan inventarisasi atas semua pusaka di wilayah itu secara menyeluruh,
yaitu: Pusaka
alam, pusaka budaya ragawi, pusaka budaya tak ragawi, dan pusaka saujana.
a. PUSAKA
Peninggalan dari masa lalu yang sangat berharga untuk kehidupan sekarang dan
generasi yang akan datang yang harus dilestarikan dan disampaikan kepada
generasi yang
akan datang.
Pusaka tidak sama dengan warisan. Pada warisan, si penerima warisan mempunyai
hak
penuh atas warisan itu dan ia berhak melakukan apapun: menjual, membagi,
membongkar,
atau menghancurkannya. Pada pusaka, si penerima pusaka mempunyai kewajiban
untuk
menjaga, memelihara, dan melestarikannya.

Anda mungkin juga menyukai