Anda di halaman 1dari 7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan pada penelitian ini akan disajikan dalam tiga
bagian, bagian pertama merupakan profil pasien (umur, jenis kelamin, diagnosis)
yang menggunakan antibiotika di ICU (Unit perawatan intensif) RSH di Jerman.
Pada bagian kedua akan dijelaskan mengenai pola peresepan antibiotika terkait
dengan sub golongan, antibiotika, dan durasi pemberian antibiotika dan pada
bagian ketiga akan dijelaskan mengenai seperti apakah perbandingan dosis
antibiotika dengan dosis standar antibiotika tersebut menurut daftar ATC/DDD
yang disediakan oleh WHO 2015.

A. Gambaran umum pasien ICU dan karakteristik demografi Pasien ICU yang
dirawat pada RSH di Jerman

Perempuan
39%

Laki - Laki
61%

Laki - Laki Perempuan

Gambar 1. Kurva Perbandingan Jumlah Pasien Laki Laki dan Perempuan

Dari 23 rekam medis yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi
didapatkan 23 rekam medis yang memiliki informasi lengkap. Pada diagram di atas
diperoleh bahwa berdasarkan jenis kelamin jumlah pasien laki laki memiliki
prosentase yang lebih besar (61 %) dibandingkan dengan pasien perempuan (39%).
Berdasarkan rekam medis yang diperoleh dari RSH di Jerman maka
pencatatan dan identifikasi data bagi pasien yang menjalani perawatan pada ICU
RSH pada bulan Januari 2015 September 2015 dibagi menjadi 6 kelompok usia
yaitu yaitu usia pada rentang antara 95 tahun 85 tahun, 84 tahun 75 tahun, 74
tahun 65 tahun, 64 tahun 55 tahun, 54 tahun 45 tahun dan lebih muda dari 45
tahun. Berdasarkan grafik dan pendataan yang dilakukan oleh peneliti, diketahui
bahwa pasien dengan usia antara 95 tahun 85 tahun memiliki presentase sebesar

13
4%, 84 tahun 75 tahun sebesar 35%, 74 tahun 65 tahun sebesar 18%, 64 tahun
55 tahun sebesar 13%, 54 tahun 45 tahun sebesar 26% dan sisanya adalah
tahun kelahiran sesudah tahun 1970 yaitu 4%.
Meskipun usia sudah sering diteliti sebagai faktor prognostik yang
berkaitan dengan kematian pasien yang dirawat di ICU, beberapa studi
sebelumnya telah memberikan perkiraan kuantitatif peningkatan risiko yang
terkait dengan interval usia tertentu. Sebagian besar penelitian ini mengadopsi
kriteria seleksi yang berbeda ketika mendefinisikan populasi lanjut usia, terutama
mulai dari 60 sampai 85 tahun dan tidak membedakan antara berbagai interval
usia (Salma dan Said : 2013).
Terdapat 10 diagnosis penyakit yang terdapat pada Unit Perawatan Intensif
RSH dengan rincian kasus yaitu sebanyak 29% pasien menderita pneumonia, 26%
menderita sepsis, 19% menderita COPD serta infeksi lain sebanyak 26%. Jumlah
pasien terlampir di dalam tabel 1 (lampiran 1).
Dari tabel tersebut diperoleh data bahwa presentase penyakit paling sering
yang dialami oleh pasien ICU pada RSH di Jerman adalah berupa Sepsis (26%),
COPD (19%), Pneumonia (29%) dan penyakit infeksi lain sebanyak 26%. Dari
pengamatan tersebut diketahui bahwa penyakit paling besar berdasarkan
penelitian yang dilakukan peneliti adalah sepsis dan pneumonia. Sepsis menurut
DiPiro merupakan suatu gejala dimana terjadinya suatu keadaan yang menurun
dari pasien secara fisiologis (DiPiro, 2016). Sepsis, sepsis berat, dan syok septik
merupakan respons inflamasi sistemik yang semakin memperparah infeksi. Sepsis
adalah umum terjadi pada populasi yang mengalami penuaan (aging), dan
mempengaruhi pasien dengan kanker dan mengalami tekanan sistem imun yang
didasari oleh penyakit infeksi Dalam bentuk yang paling parah, sepsis dapat
menyebabkan disfungsi multi-organ yang dapat menyebabkan keadaan penyakit
kritis kronis yang ditandai dengan disfungsi kekebalan tubuh dan katabolisme
yang parah (Gotts dan Matthay : 2016).
Dari 23 rekam medis pasien pada ICU RSH, diketahui bahwa pasien
tersebut memiliki rata-rata sepsis paling banyak dan biasanya disertai dengan
adanya infeksi pada saluran pernapasan. Dan penjelasan tersebut sesuai dengan
bukti rekam medis yang ada bahwa sepsis selalu diikuti dengan adanya infeksi
pada saluran pernapasan khususnya pneumonia. Menurut DiPiro sejak tahun 1987
bakteri dari gram positif memiliki peran yang sangat dominan pada kasus sepsis
tersebut. Bakteri yang paling sering menyebabkan sepsis adalah Staphylococcus
aureus, Streptoccocus pneumoniae, Staphylococcus negatif koagulase dan juga
spesies enterococcus (DiPiro : 2016)
Sepsis yang diakibatkan oleh S. Pneumoniae sering dihubungkan dengan
angka kematian lebih dari 25% dan Staphylococcus epidermidis adalah lebih sering

14
dikaitkan dengan infeksi organ-organ intravaskuler seperti katup jantung buatan
dan penggunaan dari intravena ataupun intaarterial Kateter (DiPiro : 2016).
Penyakit lain yang terdapat pada grafik dari RSH selain Sepsis, Pneumonia
dan COPD adalah peritonitis akut, peptic ulcer, ISK, infeksi vagina dan keracunan
makanan. Akan tetapi penyakit tersebut terjadi dalam presentase yang kecil
sehingga tidak begitu menimbulkan pengaruh yang begitu signifikan meskipun
beberapa diantaranya memiliki presentase yang cukup besar yaitu pada bagian
Herpes Zoster dan ISK.

B. Pola penggunaan Antibiotika


Sepanjang bulan Januari 2015-September 2015 berdasarkan 23 rekam
medis yang diperoleh dari RSH Jerman tercatat ada 34 kali penggunaan
antibiotika. Frekuensi pemakaian antibiotika paling banyak tercatat pada
antibiotika Meropenem.

Tabel 1. Distribusi Jumlah Penggunaan Antibiotika


No. Antibiotika Jumlah Presentase
Penggunaan (n=35)
1 Karbapenem 8 23
2 penisilin 7 20
3 antivirus 4 11.43
4 makrolida 4 11.43
5 Sulfa 3 8.6
6 tetrasiklin 4 11.43
7 lain-lain 5 14.11
Jumlah total 35 100

Dalam diagram sekitar 22% rekam medis yang diperoleh pada RSH
menggunakan antibiotika meropenem sebagai antibiotika yang paling sering
diresepkan dan antibiotika kedua yang paling banyak diresepkan ialah Penisilin
yaitu sebanyak 20,6 %. Meropenem merupakan salah satu antibiotika golongan
dari Carbapenem berspektrum lebar. Sebagai salah satu antibiotik spektrum luas,
meropenem secara luas digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi. Hal
ini dianggap sebagai obat yang poten untuk pengobatan infeksi bakteri Gram-
negatif yang resisten dengan multi-obat karena stabilitas agen ini terhadap
mayoritas beta-laktamase dan tingkat tinggi dari pemasukan obat melalui
membran luar bakteri (Salehifar et al. : 2015).
Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi terhadap rute pemakaian
antibiotika. Identifikasi tersebut perlu dilakukan karena nilai sntandar DDD WHO
yang nantinya digunakan dalam perhitungan memiliki nilai yang berbeda beda

15
untuk masing masing pemberian. Salah satu contoh adalah nilai DDD untuk ciprofloxacin.
Pada pemberian secara parenteral siprofloksasin memiliki nilai standar sebesar 1, sementara
pada pemberian secara per-oral siprofloksasin memiliki nilai standar sebesar 0,5. Adanya
perbedaan nilai standar antara masing-masing rute pemberian akan berpengaruh terhadap
penentuan tinggi rendahnya nilai DDD dari suatu antibiotika. Penentuan tinggi rendahnya
nilai DDD dari suatu antibiotika ditentukan oleh perbandingan nilai DDD yang didapat
dengan nilai DDD standar yang sudah ditetapkan. Nilai DDD dikatakan tinggi apabila nilai
DDD yang diperoleh melebihi standar WHO (WHO, 2015).
Cara menghitung DDD tersebut adalah :
1. Peneliti mengumpulkan data semua pasien yang menerima terapi antibiotik
2. Peneliti mengumpulkan lamanya waktu perawatan pasien rawat inap (total Length of
Stay, LOS semua pasien)
3. Menghitung dosis antibiotika (gram) selama dirawat
4. Kemudian menghitung DDD 100 patient-days dengan rumus :

(Kemenkes : 2011)
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh peneliti, ternyata rute pemberian
secara oral lebih banyak daripada rute pemberian secara intrravena. Sebanyak 53,125%
pasien dari rekam medis yang diperoleh mendapatkan rute peresepan antibiotika secara oral,
sedangkan untuk intravena sebanyak 46,875%.
Pasien pada Unit Perawatan intensif (ICU) mempunyai kebutuhan perawatan
yang sangat spesifik, yang memerlukan standar tertinggi pada semua perawatan professional.
Mereka mungkin diisolasi pada tabung nasogastric dan memungkinkan terjadinya dehidrasi
dan bernapas melalui mulut (Silva et all. : 2014). Pada gilirannya hal tersebut dapat
menyebabkan perubahan flora oral dan pertumbuhan bakteri dengan penghilangan
keefektifan saliva. Pertumbuhan yang efektif dari bakteri ini dapat memungkinkan terjadinya
penyakit pneumonia yang terkait dengan ventrikulator (VAP). VA pneumonia merupakan
suatu penyakit yang terjadi pada seorang pasien yang telah diisolasi sekitar 48 jam dan
merupakan infeksi nosocomial paling umum yang terdapat pada unit perawatan intensif dan
menyebabkan kematian pada unit perawatan intensif (ICU) (Kalanuria, Zai dan Mirsky :
2014).
Rute penghantaran secara oral merupakan rute yang mendapatkan prioritas
paling rendah pada unit perawatan intensif, hal tersebut disebabkan adanya kekhawatiran
akan menyebabkan sakit atau infeksi pada pasien ketika mengganti tube dan rute ini sulit
dijalankan pada pasien yang tidak sadarkan diri dan sukar untuk bekerja sama dalam
penghantaran obat secara oral (sulit makan, adanya rasa obat yang tidak enak).
Kebersihan oral sangat diperlukan untuk pasien-pasien di ICU sebab hal
tersebut membantu untuk menjaga sistem stomatognatis mereka supaya tetap terjaga. Tanpa
bantuan yang seharusnya, keadaan kesehatan pasien di ICU tersebut dapat menjadi
membahayakan. Perubahan pada aliran ludah yang disebabkan oleh medikasi dapat
meningkatkan formasi biofilm. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya
biofilm ini dapat menjadi penyebab dari meningkatnya jumlah bakteri gram negatif.
Pada awalnya, bakteri gram positif sering berada pada oral microflora pada pasien
sehat, namun keseimbangan dari mikoflora ini akan berubah s etelah 48 jam. Perubahan ini
menyebabkan kepada peningkatan prevalensi dari bakteri gram negatif seperti
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza dan
Pseudomonas Aeruginosa
Aturan pemakaian antibiotika juga diduga secara tidak langsung memiliki
dampak terhadap tinggi rendahnya nilai DDD dari suatu jenis antibiotika. Jika antibiotika
tersebut semakin sering digunakan dalam satu hari maka frekuensi penggunaan antibiotika
yang digunakan juga akan semakin tinggi. Hal tersebut akan meningkatkan jumlah dosis
antibiotika (g) yang digunakan akan membuat nilai DDD dari suatu jenis Antibiotika akan
meningkat (WHO, 2012).
Berdasarkan hasil yang diperoleh, aturan pemakaian yang paling sering
diterapkan pada Unit Perawatan Intensif di RSH Jerman selama bulan Januari September
2015 adalah seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini :

Tabel 2. Distribusi Aturan Pakai dan Jumlah Penggunaan Antibiotika pada Pasien di Unit
Perawatan Intensif RSH
Aturan Pemakaian Jumlah Antibiotika Presentase (n=25)
1 x Sehari 3 12 %
2 x Sehari 8 32%
3 x Sehari 11 44%
4 x Sehari 3 12%
Total 25 100%

Pada penelitian yang dilakukan dengan menggunakan rekam medis dari RSH
Jerman diketahui bahwa kebanyakan kasus yang sering ditemukan adalah penggunaan
antibiotika yang sangat lama lebih dari diatas sepuluh hari. Berdasarkan studi literatur yang
dilakukan dimana lama pemberian antibiotika untuk sebagian besar penyakit infeksi adalah
selama 3 7 hari (Kemenkes, 2011). Untuk mempermudah deskripsi dari lama penggunaan
antibiotika maka lama penggunaan antibiotika dibagi dengan jarak interval pada unit
perawatan intensif dengan jarak sebesar 5 hari sehingga pembagian interval pada masa rawat
inap menjadi 1 sampai dengan 5 hari, 6 sampai dengan 10 hari, 11 sampai dengan 15 hari, 16
sampai dengan 20 hari dan lama penggunaan diatas 20 hari.
Dari tabel di atas diperoleh data bahwa lama pemakaian antibiotika yang paling
sering dilakukan pada Unit Perawatan Intensif RSH Jerman adalah pada interval waktu 1 5
hari. Terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan pemberian antibiotika tersebut adalah
selama 1 5 hari, diantaranya adalah pertama antibiotika digunakan untuk dijadikan tujuan
empiris. Menurut Permenkes RI (Permenkes 2011) dalam kasus terapi empiris tersebut digunakan
antibiotika dengan spektrum luas, seperti antibiotika golongan sefalosporin atau penisilin dengan
lama pemakaian antibiotika adalah 2 sampai dengan 3 hari. Meropenem merupakan salah satu
antibiotika yang berspektrum luas. Berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh
Infectious Disease Society of America meropenem direkomendasikan untuk diberikan
sebanyak 2 g secara intravena setiap 8 jam selama 7 hari hingga 21 hari.
Kedua, lama pemberian antibiotika untuk sebagian besar penyakit infeksi
contohnya seperti pneumonia, cystitis, sepsis dan ISK berdasarkan studi pustaka yang
dilakukan adalah 3 sampai dengan 7 hari (Kemenkes RI, 2011).
Selama periode Januari September 2015,tercatat bahwa Length Of Stay (LOS)
dari 23 pasien adalah selama 277 hari. Total LOS yang digunakan pada penelitian ini
digunakan pada perhitungan DDD dimana total LOS akan digunakan sebagai pembagi
bersama nilai standar DDD. Banyaknya penggunaan antibiotika yang berlebihan akan
mempengaruhi besarnya jumlah nilai gram antibiotika yang dipakai sehingga terkadang
jumlah nilai total LOS yang dikalikan dengan standar DDD yang digunakan sebagai pembagi
tidak sebanding dengan jumlah gram antibiotika ikalikan dengan 100 sehingga nilai DDD
akan tinggi bahkan melebihi standar WHO (WHO,2015).
Pembagian lama rawat inap pada penelitian ini didasarkan pada studi dari
literature-literatur terkait ( Komite Pelayanan Medik, 2005; Kemenkes 2011) dimana lama
pengobatan serta perawatan untuk sebagian besar penyakit infeksi sampai dengan pasien
diperbolehkan keluar adalah sekitar 5 sampai dengan 7 hari.

Tabel 3. Distribusi Lama Perawatan serta Jumlah Pasien pada Unit Perawatan Intensif RSH
di Jerman
No. Lama perawatan (Length of Stay) Jumlah Presentase
Pasien (n=23)
1 7 hari (satu minggu) 10 43.5%
2 8 lama rawat 15 hari (2 6 26.1%
minggu)
3 15 lama rawat 22 hari (3 4 17.4%
minggu)
4 22 lama rawat 29 hari (4 1 4.34%
minggu)
5 lebih dari 29 hari ( diatas 4 minggu 2 8.7%
)
Jumlah Total 23 100%
(pembulatan)

Pada penelitian ini dilakukan evaluasi penggunaan antibiotika selama bulan Januari 2015
hingga September 2015 dengan pendekatan kuantitatif menggunakan metode DDD (Defined
Daily Dose). DDD merupakan unit pengukuran yang tidak tergantung pada harga dan formulasi
obat akan tetapi suatu unit pengukuran

independen yang mencerminkan dosis global yang terlepeas dari variasi genetik sehingga
memungkinkan untuk menilai konsumsi obat dan membandingkan antar kelompok populasi
atau sistem pelayanan kesehatan. Metode ini dipilih karena hasil yang diperoleh pada
penelitian penggunaan antibiotika dapat dibandingkan dengan antar bangsal, rumah sakit,
daerah bahkan negara sekalipun (WHO 2015).
Pada perhitungan DDD yang dilakukan pada ICU RSH di Jerman, diperoleh hasil
yaitu terdapat satu antibiotika yang memiliki nilai DDD lebih tinggi dari DDD yang
disarankan menurut WHO yaitu Doxycyclin dengan nilai DDD sebesar 0,722. Jumlah dari
keseluruhan DDD dari penelitian pada Unit Perawatan Intensif dari RSH adalah 5,351 nilai
tersebut masih lebih rendah jika kita bandingkan dengan penelitian Maria Carolina pada
tahun 2011 pada pasien rawat inap anak-anak di sebuah rumah sakit di Yogyakarta dengan
hasil DDD total sebesar 41.99. Meskipun demikian penelitian ini belum bisa dikatakan
memadai, sebab hanya menggunakan 23 rekam medis sehingga belum mampu
menggambarkan pasien ICU RSH secara keseluruhan. Secara lengkap tabel antibiotika serta
DDD dirangkum pada tabel 6 (lampiran 6.)
Doxycyclin merupakan suatu antibiotika yang berasal dari golongan tetrasiklin.
Mekanisme doxycyline dalam menghambat pertumbuhan bakteri adala dengan cara
bergabung secara tak terbalikkan dengan sub-unit 30S pada ribosom bakteri. Aksi ini
mencegah penempelan tRNA pada mRNA dalam kompleks ribosom. Tetrasiklin merupakan
antibiotika bakteriostatik aktif yang melawan mikroorganisme secara luas baik bakteri gram
positif maupun bakteri gram negatif. Doxycycline digunakan dalam mengatasi infeksi
Chlamidia (Karen et al. : 2015).
Kelemahan dari metode evaluasi penggunaan antibiotika dengan metode DDD
adalah tidak dapat secara penuh menggambarkan kerasionalan penggunaaan antibiotika. Hasil
yang didapat dari nilai DDD memberikan perkiraan akan adanya ketidakrasionalan penggunaan
antibiotika (dalam hal ini parameter kerasionalan yang dapat diperkirakan adalah tepat indikasi
dan tepat dosis). Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai parameter-parameter rasionalitas
penggunaan antibiotika yang lain (tepat penderita, tepat obat dan waspada ESO) agar rasionalitas
penggunaan antibiotika dapat digambarkan secara penuh.

Anda mungkin juga menyukai