Anda di halaman 1dari 9

KEHIDUPAN BUDAYA ETNIS TIONGHOA DI KOTA SUKABUMI

1966-2002
Winda Fitri Febriani, Dade Mahzuni, Ayu Septiani

Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran


winda_fitrifebriani@yahoo.co.id; dade.mahzuni@unpad.ac.id; ayu.septiani@unpad.ac.id

Abstrak
Artikel ini berjudul “Kehidupan Budaya Etnis Tionghoa di Kota Sukabumi 1966-
2002”. Membahas mengenai kehidupan budaya etnis Tionghoa pada kurun waktu 1966-
2002 yang mencakup kehidupan budaya etnis Tionghoa terutama pasca terjadinya
kerusuhan anti-Tionghoa dan diterapkannya kebijakan pemerintah terhadap kehidupan
etnis Tionghoa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang
terdiri atas empat tahapan yakni, heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Konsep
yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah konsep akulturasi, asmiliasi dan
kebijakan. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa pada kurun waktu 1966-2002,
sebagian besar etnis Tionghoa di Kota Sukabumi telah membaur dengan masyarakat asli
Sukabumi. Meskipun pada Mei 1963 terjadi kerusuhan anti-Tionghoa di Kota Sukabumi
dan diterapkannya kebijakan yang membatasi ruang gerak etnis Tionghoa, hal tersebut
tidak menghambat terjadi proses akulturasi dan asimilasi antara etnis Tionghoa dengan
masyarakat Sukabumi. Seperti, adanya perubahan nama menjadi nama Indonesia,
perkawinan campuran, dan perayaan-perayaan dalam rangka Imlek, Cap Go Meh, dan
perayaan lainnya.

Kata kunci: akulturasi, asimilasi, etnis Tionghoa, kebijakan, dan Sukabumi

Abstract
This article is entitled "Chinese Ethnic Cultural Life in Sukabumi City 1966-2002".
this artivle discussing about the ethnic Chinese cultural life in the period 1966-2002
which included the ethnic Chinese cultural life especially after the anti-Chinese riots and
the implementation of government policies towards the ethnic Chinese life. The method
used in this article is a historical method consisting of four stages namely, heuristics,
criticism, interpretation, and historiography. The concept used in this article is the
concept of acculturation, affiliation and policy. The results obtained show that during the
period 1966-2002, most of the ethnic Chinese in the City of Sukabumi had mingled with
the native people of Sukabumi. Although in May 1963 there were anti-Chinese riots in
Sukabumi City, and implementing policies that limit the ethnic Chinese space. This did
not hamper the acculturation and assimilation process between the ethnic Chinese and
the Sukabumi people.

Keywords: acculturation, assimilation, Chinese, policy, and Sukabumi


PENDAHULUAN dijadikan oleh pemerintah Hindia Belanda
Di Indonesia kita mengenal tiga sebagai partner dalam bidang ekonomi.
penulisan yang berbeda untuk merujuk Oleh karena itu, permukiman etnis
pada orang Tionghoa. Pertama yakni kata Tionghoa ditempatkan secara khusus
Cina. Sebelum RRC berganti nama terpisah dari masyarakat bumiputra, untuk
menjadi Republik Rakyat Tiongkok membatasi interaksi antara masyarakat
(RRT), kata China merupakan penulisan bumiputra dengan etnis Tionghoa.
resmi yang diinginkan oleh kedutaan Meskipun demikian, pembauran tetap
RRC. Sementara kata Cina yang merujuk terjadi antara etnis Tionghoa dengan
pada orang Cina adalah orang yang masyarakat bumiputera.
berkewarganegaraan Cina, seperti halnya Tujuan penelitian ini untuk
orang Jepang, orang Indonesia, Orang mendapatkan pengetahuan tentang
India, dan sebagainya. Kedua, kata kehidupan budaya etnis Tionghoa di Kota
Tionghoa sendiri yakni merujuk pada Sukabumi pada 1966-2002, memberikan
orang-orang Cina di Indonesia yang informasi tentang kehidupan budaya etnis
dikenal sebagai orang Tionghoa. Kata Tionghoa dan kebijakan yang ditetapkan
Tionghoa bagi orang Tionghoa pemerintah yang mempengaruhi
bermaksud untuk menunjukan bahwa kehidupan budaya etnis Tionghoa di Kota
orang Cina berkewarganegaraan Sukabumi pada 1966-2002.
Indonesia disebut sebagai orang Fokus penelitian ini mengenai
Tionghoa, seperti orang Jawa atau orang kehidupan budaya etnis Tionghoa di Kota
Sunda. Maka hal inilah yang menjadi Sukabumi, yang berkaitan dengan segala
pembeda antara orang Cina Warga Negara aktivitas kebudayaan, kepercayaan dan
Asing dengan orang Tionghoa yang adat istiadat. Mengingat adanya
berarti Warga Negara Indonesia perbedaan budaya yang sangat jauh antara
(Suryadinata, 2005) etnis Tionghoa dengan kebudayaan
Etnis Tionghoa merupakan salah setempat.
satu etnis terbesar di dunia, hal inilah
yang mengakibatkan banyaknya migrasi METODE PENELITIAN
etnis Tionghoa ke berbagai kawasan di Penelitian ini mengambil lingkup
Asia Tenggara khususnya Indonesia, spasial di Kota Sukabumi dan dilakukan
umumnya disebabkan oleh besarnya pada 2017-2018. Batas temporal
jumlah penduduk yang tidak sebanding penelitian ini mengambil kurun waktu
dengan produksi pertanian yang 1966-2002, sejak dikeluarkannya
dihasilkan oleh negara Tiongkok. Sering kebijakan ganti nama hingga ditetapkan
terjadinya becana alam, seperti udara Imlek sebagai hari libur nasional.
yang sangat panas mengakibatkan Metode yang digunakan untuk
berkurangnya hasil panen, bahkan gagal penulisan ini adalah metode sejarah.
panen bisa berlangsung lama (Arania Dalam metode sejarah terdapat empat
dalam Kartika, 1999). Indonesia menjadi tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi
salah satu tempat tujuan migrasi etnis dan historiografi (Herlina, 2015).
Tionghoa, maka tidak mengherankan
apabila banyak permukiman Tionghoa di HASIL DAN PEMBAHASAN
Indonesia. Gambaran Umum Kota Sukabumi dan
Etnis Tionghoa di Indonesia Kehidupan Budaya etnis Tionghoa
merupakan salah satu etnis minoritas yang sebelum 1966
memiliki pengaruh dalam lingkungan Dalam laporan survei Andries
masyarakat Indonesia. Hal ini telah Christoffel Johannes de Wilde tanggal 13
terlihat sejak masa pemerintahan Hindia Januari 1815 dicantumkan nama
Belanda, dimana etnis Tionghoa telah Soekaboemi dan nama Tji Colle sebagai
tempatnya menginap di kampung yang yakni penduduk Eropa sekitar 588 jiwa,
sekarang Bernama Cikole. Kemudian, penduduk bumiputera sekitar 12.388 jiwa,
tanggal 13 Januari 1815 sebagaimana dan penduduk Etnis Tionghoa sekitar
yang tercantum dalam laporan Survei 2.112 jiwa. Sementara menurut data
Wilde, ditetapkan sebagai hari “Jadi” statistik tahun 1926, di Kota Sukabumi
Sukabumi (Jaya, 2003). Nama Sukabumi jumlah penduduknya mencapai angka
sendiri, berasal dari dua kata yakni 23.520 jiwa, yang terdiri dari; penduduk
“Suka” dan “Bumi”. Menurut Djatnika Eropa berjumlah sekitar 1.520 jiwa,
Djakajanggala Kepala Bagian penduduk bumiputera berjumlah sekitar
Kebudayaan Kabupaten Sukabumi, 4 19.000 jiwa, dan penduduk etnis
April 1985 dalam ANRI (2013), kata Tionghoa berjumlah sekitar 3.000 jiwa.
“Suka” pada Sukabumi artinya “senang”, Sementara untuk Kabupaten Sukabumi
dan kata “bumi” artinya “rumah” atau berdasarkan data statistik tahun 1915,
“tempat tinggal”. Maka Sukabumi jumlah penduduknya mencapai angka
mengandung arti “senang berada di 43.500 jiwa (Jaya, 2003; ANRI, 2013).
rumah”. Sementara dalam ensiklopedi Kedatangan orang Tionghoa
bahasa Inggris, Sukabumi diterjemahkan semakin meningkat setelah dibukanya
sebagai “paradise” yang artinya “surga”. jalur kereta api yang melintasi Sukabumi.
Pada awal abad ke-20 Kota Mereka kemudian ada yang menetap di
Sukabumi telah berkembang sangat pesat, Kota Sukabumi sehingga dibentuk
hal ini terlihat dari sudah lengkapnya permukiman khusus untuk etnis Tionghoa
fasilitas yang dapat dinikmati penduduk yang dikoordinir oleh kapiten Tionghoa
Kota Sukabumi. Tidak lama setelah jalur dan ditunjuk oleh pemerintah Hindia
kereta api melintasi wilayah Sukabumi, Belanda (Roswandi, 1987). Permukiman
penerangan listrik sudah dapat dinikmati etnis Tionghoa Sukabumi berada di
oleh penduduk Sukabumi. Seperti halnya kawasan Odeon, keberadaan permukiman
PLTA Cipetir Parakan Salak yang etnis Tionghoa atau “Pecinan Odeon”
dibangun pada 26 Oktober 1911 dan berada di sepanjang Jl. Penjagalan gang
PLTA Ubrug di Sukabumi pada 1923. Parigi no. 20. Akan tetapi, sebelumnya
Selain listrik sebagai fasilitas penerangan, kawasan pencinan tersebut berada di gang
dibangun kolam penampungan air bersih ikan yang masih termasuk ke dalam
pada 1926. Sarana kesehatan juga sudah kawasan pecinan Odeon. Pecinan Odeon
ada sejak lama di Sukabumi, yakni pada Kota Sukabumi memiliki elemen-elemen
1916 dibangun Rumah Sakit bernama seperti, kelenteng, pasar, ruko, sekolah,
Santa Lidwina di daerah Bunut yang saat dan akses jalan (wawancara dengan
ini lebih dikenal sebagai Rumah Sakit Teddyl, 24 Mei 2017). Kelenteng Bie
Bunut atau Mr. Syamsuddin (ANRI, Hian Kong dibangun pada 1912, dan
2013). menjadi pusat kegiatan sembahyang
Berkaitan dengan penduduk di maupun adat Istiadat etnis Tionghoa di
Kota Sukabumi, dari tahun ke tahun data Kota Sukabumi (Yayasan Vihara Widhi
statistik mengenai jumlah penduduk di Sakti, 2012).
kota dan Kabupaten Sukabumi Keberadaan etnis Tionghoa mulai
menunjukan angka yang berbeda karena dibatasi oleh pemerintah Hindia Belanda
mengalami pertumbuhan penduduk yang dengan diterapkannya beberapa kebijakan
sangat pesat. Pada akhir tahun 1905, seperti wijkenstelsel, yakni permukiman
diperkirakan penduduk Kota Sukabumi khusus etnis Tinghoa yang terpisah dari
berjumlah 15.080 jiwa. Jumlah ini hampir masyarakat bumiputera (Achmad, 2014).
satu pertiga dari jumlah penduduk di Selain itu, kebijakan lainnya adalah
Kabupaten Sukabumi. Peduduk di Kota passenstelsel atau surat jalan untuk
Sukabumi dibagi atas tiga kelompok, menghambat gerak masyarakat etnis
Tionghoa. Passenstelsel digunakan bumiputra agar tidak terjadi persekutuan
masyarakat etnis Tionghoa sebagai akses antara mereka (Onghokham, 1999). Selain
keluar masuk wilayah pecinan. itu, ketionghoaan mereka juga terlihat dari
Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda ciri-ciri kebudayaan mereka, seperti
menerapkan politik minoritas melalui tiga pemujaan terhadap nenek moyang, nilai
cara, pertama, pemerintah Belanda dan norma tertentu, serta nama mereka
sengaja mengisolasi warga keturunan (Tan, 1979).
etnis Tionghoa dengan cara membuat Etnis Tionghoa pada masa
permukiman khusus bagi mereka dan pemerintahan Hindia Belanda, dibebaskan
keturunannya yang disebut sebagai dalam menjalankan segala aktivitas
pecinan. Kedua, pemerintah Hindia agama, kepercayaan dan adat istiadat
Belanda sengaja menciptakan suasana mereka secara terbuka di depan umum,
psikis agar mereka selalu takut dan cemas. Salah satunya yakni perayaan Imlek dan
Ketiga, mereka diikat dengan persyaratan Cap Go Meh. Oleh karena itu, etnis
dan perjanjian dengan penguasa. Politik Tionghoa sangat kental dengan
minoritas sengaja dirancang untuk ketionghoaan mereka. Namun demikian,
menangkal tumbuhnya kekuatan dari diskriminasi terhadap etnis Tionghoa
masyarakat kelas menengah dan terjadi manakala memasuki masa
berpeluang mengancam pemerintahan kemerdekaan, terutama pada periode Orde
kolonial Belanda. Selain itu, sebagai cara Lama dan Orde Baru.
untuk membangun struktur sosial Akibat dari adanya diskriminasi
ekonomi yang aman. Pada akhirnya berlebihan dari pemerintah pada tahun
memberikan citra buruk terhadap warga 1960-an terjadi repatriasi masyarakat etnis
keturunan etnis Tionghoa di Indonesia Tionghoa ke Tiongkok. Sekitar 136.000
terutama di Jawa (Kompas, 20 November etnis Tionghoa meninggalkan Indonesia,
2000). dan 100.000 di antaranya kembali ke
Namun demikian, etnis Tionghoa Tiongkok. Hal ini terjadi akibat dari
Sukabumi tetap bisa memperlihatkan adanya diskriminasi dalam aturan yang
eksistesinya, terlihat dari adanya andil diterapkan oleh pemerintah Indonesia
masyarakat etnis Tionghoa Sukabumi (Skober, 2006).
dalam perkembangan pers di Indonesia, Meskipun, etnis Tionghoa
yakni tepatnya pada 12 Januari 1901 mengalami diskriminasi, namun nyatanya
peranakan etnis Tionghoa di Kota kesejahteraan mereka tidak terganggu.
Sukabumi menerbitkan surat kabar Hal tersebut memicu terjadinya kerusuhan
pertama di pulau Jawa yang bernama Li anti Tionghoa di beberapa kota di
Po (Suryadinata, 2010). Indonesia. Seperti Cirebon, Bandung,
Selain dalam bentuk pembatasan Bogor dan Sukabumi. Kerusuhan
sosial, diskriminasi terhadap etnis dipengaruhi oleh permasalahan ekonomi
Tionghoa juga dilakukan dengan cara dan pendidikan. Adanya perbedaan yang
mewajibkan etnis Tionghoa menunjukan sangat jauh antara tingkat perekonomian
kekhasan dari kebudayaan dan adat istadat dan pendidikan masyarakat bumiputera
mereka. Ciri khas yang sangat jelas dari dengan etnis Tionghoa (Lubis, 2011).
etnis Tionghoa adalah ketionghoaan Kerusuhan terjadi di Sukabumi terjadi 18
mereka, yakni berkucir, pemakan daging dan 19 Mei 1963 dan menjadi kerusuhan
babi, bernama Tionghoa dan selalu yang besar dibandingkan kerusuhan yang
terdapat meja altar sembahyang di setiap terjadi di kota-kota lainnya. Dalam harian
rumah mereka. Kewajiban berambut kucir Merdeka edisi 20 Mei 1963, Presiden
untuk mengucilkan etnis Tionghoa Soekarno menyatakan bahwa kerusuhan
sehingga mereka terlihat mencolok yang terjadi di Cirebon, Bandung, Bogor
apabila berada di tengah masyarakat dan Sukabumi merupakan gerakan kontra-
revolusioner yang ditujukan terhadap kalangan etnis Tionghoa dilakukan
tokoh besar revolusioner yakni Soekarno. berdasarkan motif pribadi seperti demi
keuntungan material, adanya semangat
Perubahan Nama patriotisme, dan motif lainnya. Akan
Pergantian nama dari Tionghoa tetapi, pada fenomena ganti nama yang
ke nama-nama yang berciri khas terjadi serentak di Sukabumi merupakan
Indonesia, Sunda, dan Jawa terjadi secara hal yang tidak lazim. Selain itu, pada saat
besar-besaran akibat dari peraturan sidang ganti nama tersebut sekaligus juga
pemerintah yang dikeluarkan yakni dilakukan untuk proses ganti
Keputusan Presidium Kabinet No. kewarganegaraan dari Warga Negara
127/Kep/12/1966 mengenai pergantian Asing (WNA) menjadi Warga Negara
nama di kalangan etnis Tionghoa di Indonesia (WNI). Maka orangtua dari
Indonesia. Meskipun demikian, etnis Gunawan akhirnya melepas
Tinghoa masih mempertahankan nama kewarganegaraan Asing (Tiongkok) dan
Tionghoa mereka sehingga terkadang menjadi Warga Negara Indonesia,
dalam setiap ritual atau perayaan biasanya bersamaan dengan sidang ganti nama.
selain disebutkan nama Indonesia juga Orangtua dari Gunawan sendiri memiliki
disebutkan nama Tionghoa. nama Tionghoa Ong (Nio Tek Kyung)
Contohnya, Gunawan yang yang kemudian berganti nama menjadi
memiliki nama Agus Gunawan, masih nama Indonesia yakni Buyung
diberi nama Tionghoa, meskipun orangtua Rusmawan. Pada sidang tersebut,
Gunawan sendiri telah berganti nama orangtua Gunawan diberi sertifikat
Indonesia. Nama Tionghoa dari Gunawan sebagai bukti bahwa telah melakukan
yakni Nio Cung Yun yang memiliki arti sidang ganti nama dan ganti
sebagai “raja”, sehingga disamping nama kewarganegaraan (wawancara dengan
Indonesia, Gunawan masih memiliki Gunawan, 24 Mei 2017).
nama Tionghoa (wawancara dengan Kebijakan mengenai ganti nama
Gunawan, 24 Desember 2017). Sementara merupakan upaya pemerintah untuk
Haddi Djaja Suria, yang menggunakan mempercepat proses asimilasi antara
nama Indonesia, sudah tidak lagi keturunan etnis Tionghoa dengan
menggunakan nama Tionghoa. Meskipun masyarakat bumiputra. Akan tetapi,
memiliki nama Tionghoa bermarga Tan, dengan diterapkannya kebijakan ganti
akan tetapi Suria tidak mengetahui nama nama ini, terlihat bahwa proses asimiliasi
Tionghoanya kecuali nama keluarga cenderung dipaksakan oleh pemerintah
(wawancara dengan Suria, 24 Agustus dan tidak terjadi secara natural antara
2017). keturunan etnis Tionghoa dengan
Keputusan Presidium Kabinet No. masyarakat bumiputra. Ganti nama
127/Kep/12/1966 yang dikeluarkan oleh ditujukan untuk menghapus identitas
pemerintah menyebabkan sebanyak 6621 kelompok orang Indonesia keturunan
jiwa etnis Tionghoa di Sukabumi Tionghoa, untuk mencapai tujuan
melakukan ganti nama secara serempak. asimilasi sendiri yang menghilangkan
Ganti nama di kalangan etnis Tionghoa identifikasi sebagai anggota golongan
memang merupakan hal yang biasa dan minoritas, yakni peleburan seratus persen
sudah terjadi sejak lama, terutama sejak menjadi orang Indonesia asli
ditetapkannya perjanjian dwi (Suryadinata, 2005).
kewarganegaraan pada 1955 di Bandung.
Akan tetapi, hal yang menjadikan ganti Aktivitas Agama, Kepercayaan, dan
nama semakin menarik yakni adanya Adat Istiadat
ganti nama secara massal yang terjadi di Pemerintah Orde Baru
Sukabumi. Biasanya ganti nama di mengeluarkan Instruksi Presiden No.14
tahun 1967 mengenai segala bentuk Cioko, sembahyang Se Jit, Tiong Ciu dan
aktivitas agama, kepercayaan, dan adat sembahyang ke Kongco, dilakukan secara
istiadat yang berciri khas Tionghoa tidak sederhana dan terbatas hanya
boleh diperlihatkan di depan umum. Sejak dilaksanakan di makam leluhur dan di
dikeluarkannya kebijakan tersebut, Vihara Widhi Sakti (Yayasan Vihara
masyarakat Tionghoa tidak boleh Widhi Sakti, 2012). Sedangkan untuk
melaksanakan berbagai aktivitas agama, sembahyang Cioko, meskipun tetap
kepercayaan, dan adat istiadat yang dilaksanakan seperti biasa (sebelum
berciri khas ketionghoaan mereka. Maka, diberlakukan inpres No.14/1967) namun
etnis Tionghoa Sukabumi, melaksanakan dipersulit perizinannya.
segala aktivitas tersebut dengan cara Selain ritual sembahyang,
tertutup dan sembunyi-sembunyi di perayaan juga dilaksanakan secara
lingkungan keluarga dan kelenteng Bie tertutup dan terbatas seperti Perayaan
Hian Kong/Vihara Widhi Sakti. Imlek, Cap Go Meh, dan Pek Cun.
Setelah diterapkannya Inpres Perayaan Imlek, Cap Go Meh, dan Pek
No.14/1967 oleh pemerintah, terdapat Cun/Festival Bacang dilarang untuk
beberapa di antara masyarakat etnis dirayakan di depan umum, sehingga
Tionghoa Sukabumi yang berpindah perayaan terbatas hanya di lingkungan
keyakinan dan memilih agama Kristen keluarga dan Vihara Widhi Sakti untuk
Katolik, Protestan, Buddha dan Islam. lingkungan masyarakat keturunan etnis
Akan tetapi bagi sebagian besar etnis Tionghoa Sukabumi. Selain itu, hanya
Tionghoa yang masih memegang ritual keagamaannya saja yang dilakukan
kepercayaan leluhurnya menyiasati cara sedangkan tradisi dan kebudayaan
berdoa mereka serupa dengan agama dilarang, hanya tradisi kecil dan
Buddha (Wawancara dengan Teddyl, 24 sederhana yang dilaksanakan di dalam
Mei 2017). Kegiatan sembahyang umat lingkungan Vihara Widhi Sakti (Marcus,
Kong Hu Cu setelah diberlakukannya 2003; wawancara dengan Hariyanto, 14
kebijakan tersebut kemudian disatukan Januari 2018).
dengan kegiatan sembahyang umat Selama lebih dari tiga dekade
Buddha. perayaan imlek selalu diselenggarakan
Dalam agama, kepercayaan dan secara tertutup oleh masyarakat etnis
adat istiadat Tionghoa, sembahyang Tionghoa Sukabumi. Hal ini tentunya
kepada leluhur merupakan sebuah membatasi ruang gerak mereka terutama
kebiasaan dan ajaran leluhur yang dalam kebebasan menyelenggarakan
senantiasa dilakukan sebagai aktivitas adat istiadat leluhur yang selalu
penghormatan kepada orangtua baik itu diselenggarakan secara meriah setiap
yang masih hidup maupun telah tahun.
meninggal. Adat dan kebiasaan tersebut Masyarakat etnis Tionghoa
bermula dari rasa cinta dan hormat anak mendapatkan angin segar karena pada
kepada orangtua yang kemudian masa pemerintahan presiden Abdurahman
berkembang menjadi rasa cinta dan Wahid atau yang lebih dikenal dengan
hormat kepada leluhurnya (Hariyono, Gus Dur, Inpres No.14/1967 dihapuskan
1993). Kegiatan sembahyang tidak hanya dan diganti oleh Keppres No.6/2000.
dilakukan degan menyembah dewa-dewi, Dengan digantinya Inpres menjadi
melainkan juga dengan cara memelihara keppres, etnis Tionghoa kembali bebas
abu leluhur sebagai bentuk cinta kasih dan menyelenggarakan berbagai aktivitas
rasa hormat mereka. agama, kepercayaan dan adat istiadat
Setelah diterapkannya Inpres leluhur mereka secara terbuka dan meriah.
No.14/1967. Beberapa ritual seperti Selain itu, Kebahagiaan yang dirasakan
Sembahyang Ceng Beng, sembahyang oleh masyarakat etnis Tionghoa semakin
bertambah ketika pada masa Gaya Hidup
pemerintahan Presiden Megawati, yakni Gaya hidup masyarakat keturunan
tepatnya pada tahun 2002 Imlek dijadikan etnis Tionghoa di Kota Sukabumi
sebagai hari libur Nasional. Menurut meliputi beberapa aspek, di antaranya
Megawati, ia menanggapi aspirasi rumah tinggal yang dihuni oleh
masyarakat umat Kong Hu Cu Indonesia masyarakat keturunan etnis Tionghoa
agar Imlek dijadikan sebagai hari libur Sukabumi, baik itu di lingkungan
nasional. Dengan pernyataan tersebut, permukiman pecinan maupun di luar
maka secara otomatis perayaan Imlek lingkungan pecinan. Kebanyakan telah
pada tahun selanjutnya telah menjadi hari menjadi rumah berbentuk modern, kecuali
libur nasional (Kompas, 18 Februari bentuk rumah-rumah yang berada di
2002). Pernyataan Presiden Megawati sekitar Vihara Widhi Sakti di Jl.
kemudian dikeluarkan dalam Keputusan Penjagalan dan di sekitar Gang Ikan yang
Presiden No. 19 tahun 2002 tentang hari masih merupakan kawasan pecinan
Tahun Baru Imlek. Odeon. Hal ini karena di Jl. Penjagalan
Setelah dikeluarkannya Keppres dan sekitar Gang Ikan merupakan pusat
No.6/2000, ritual sembahyang Ceng wilayah Pecinan di Sukabumi dan dikenal
Beng, Se Jit, Tiong Ciu, dan sembahyang sebagai kawasan elit. Selain itu, kawasan
ke Kongco, serta perayaan Imlek, Cap Go tersebut merupakan pusat rumah tinggal
Meh, dan Pek Cun kembali bagi masyarakat etnis Tionghoa golongan
diselenggarakan secara meriah, bahkan totok. Akan tetapi, seiring dengan
arak-arakan Joli Kongco dan pertunjukan berjalannya waktu, kawasan pecinan
Barong Gie Say semakin menyemarakan Odeon kemudian sudah mulai di huni oleh
kemeriahan perayaan Cap Go Meh. masyarakat bumiputra Sukabumi yang
Tentunya dalam perayaan Cap Go Meh membuka pertokoan di sekitar Jl. Pecinan
juga terdapat makanan-makanan khas Odeon. Oleh karena itu, pembauran
Tionghoa dan Kota Sukabumi sebagai semakin terlihat antara masyarakat
hidangan dan persembahan untuk para keturunan etnis Tionghoa dengan
dewa dan leluhur. Adapun untuk masyarakat bumiputra, dari segi
Sembahyang Cioko dipermudah permukiman yakni tinggal dalam suatu
perizinannya (Yayasan Vihara Widhi kawasan yang sama. Sementara etnis
Sakti, 2012; wawancara dengan Tionghoa peranakan hampir sebagian
Hariyanto, 14 Januari 2018). besar tinggal di luar pecinan yakni di
Selain ritual sembahyang dan kompleks perumahan.
perayaan, hal lain yang berkaitan dengan Kemudian perkawinan, etnis
aktivitas agama, kepercayaan dan adat Tionghoa di Kota Sukabumi tidak lagi
istiadat adalah tempat ibadah yakni terlalu terikat oleh adat istiadat leluhur
kelenteng. Pada saat dikeluarkan Inpres mereka. seperti pada perkawinan di
No.14/1967, kelenteng Bie Hian Kong lingkungan masyarakat keturunan etnis
yang merupakan tempat sembahyang etnis Tionghoa pada umumnya, biasanya
Tionghoa berganti nama menjadi Vihara orangtua terlibat dalam pengaturannya
Widhi Sakti. Pergantian nama ini tentunya karena perkawinan melibatkan keluarga
berkaitan dengan fungsinya yang tidak besar dalam tradisi Tionghoa. Mereka
lagi sebagai tempat sembahyang kepada juga kerap melakukan amalgamasi yakni
para dewa dan leluhur, melainkan juga perkawinan campur antara individu dari
kepada Budha Gautama. Hal ini dilakukan kelompok etnis yang berbeda sehingga
untuk menyelamatkan kelenteng agar membentuk akulturasi dalam keluarga
tidak dihancurkan seiring dengan mereka. Selain itu, juga mengenai bahasa
berlakunya kebijakan Inpres No.14/1967. yang digunakan oleh mereka dalam
berkomunikasi sehari-hari. kehidupan
sehari-hari masyarakat keturunan etnis di Indonesia, salah satunya yakni adanya
Tionghoa di Kota Sukabumi terbagi atas kebijakan ganti nama bagi etnis Tionghoa
tiga golongan. Pertama, masyarakat etnis menjadi nama Indonesia.
Tionghoa yang masih menguasai bahasa
Tionghoa/Mandarin secara aktif, biasanya DAFTAR PUSTAKA
sesekali mereka masih menggunakan
bahasa Mandarin saat berkomunikasi Skripsi, Tesis, Disertasi dan Jurnal Ilmiah
dengan keluarganya. Kedua, masyarakat Kartika, Nyai. 1999. Kebijakan Pemerintah
etnis Tionghoa yang masih mengerti Republik Indonesia terhadap Etnis
Tionghoa di Jakarta Tahun 1966-1977.
bahasa Tionghoa tetapi tidak memakai
Skripsi. Bandung: Universitas
bahasa Mandarin dalam berkomunikasi Padjadjaran.
kesehariannya, biasanya mereka Roswandi. H. Iwan. 1987. Kerusuhan Anti
menggunakan bahasa Indonesia. Ketiga, Cina di Sukabumi (18-19 Mei 1963):
masyarakat etnis Tionghoa yang tidak Tinajuan Sejarah dan Sosiologi Politik.
menguasai bahasa Mandarin meskipun Skripsi. Bandung: Universitas
paham huruf-huruf Mandarin, biasanya Padjadjaran.
mereka menggunakan bahasa Indonesia Skober, Tanti. 2006. Orang Cina di Bandung
atau Sunda dalam berkomunikasi. Pada 1930-1960: Siasat Etnis Cina di
contoh kasus ini yakni Gunawan yang Bandung dalam Penghadapi Kebijakan
Penguasa. Yogyakarta: Universitas
hanya mengerti beberapa huruf saja dalam
Gadjah Mada.
bahasa Mandarin. Oleh karenanya
Gunawan berkomunikasi menggunakan Buku
bahasa Indnesia dan Sunda (wawancara ANRI. 2013.Citra Kota Sukabumi dalam
dengan Gunawan, 24 Desember 2017). Arsip. Jakarta : ANRI.
Hariyono. 1993. Kultur Cina dan Jawa :
KESIMPULAN Pemahaman Menuju Asimilasi
Proses akulturasi dan asimilasi Kultural. Jakarta: PT Sinar Agape
dalam lingkungan etnis Tionghoa Press.
Sukabumi dengan masyarakat bumiputra Herlina, Nina. 2015. Metode Sejarah. Cetakan
terjadi dengan sendirinya. Meskipun V. Bandung: Yayasan Masyarakat
Sejarawan.
berbagai kebijakan pemerintah menjadi
Jaya, Ruyatna. 2003. Sejarah Sukabumi.
salah satu faktor terjadinya proses Sukabumi: Pemerintah Kota Sukabumi.
tersebut. Proses akulturasi lebih terlihat Koentjaraningrat. 2009.
dalam perayaan-perayaan tradisi etnis Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta :
Tionghoa, seperti Imlek, Cap Go Meh, Rineka Cipta.
Pek Cun. Sementara proses asimilasi Lubis, Nina Herlina dkk. 2011. Sejarah
banyak terjadi pada golongan etnis Provinsi Jawa Barat 2. Bandung:
Tionghoa Peranakan, karena pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
golongan etnis Tionghoa peranakan, Marcus, A. 2003. Hari-Hari Raya Tionghoa.
batasan-batasan antara masyarakat Cetakan II. Jakarta: Marwin.
Onghokham. 1999. Rakyat dan Negara.
bumiputra dengan etnis Tionghoa sudah
Jakarta: Sinar Harapan.
tidak lagi dapat terlihat. Hal ini karena, Suryadinata, Leo.2005. pemikiran Politik
golongan etnis Tionghoa peranakan Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002.
cenderung lebih mudah untuk menerima Jakarta: LP3ES.
pengaruh kebudayaan dan agama _____. 2010. Etnis Tionghoa dan
setempat. Adanya pernikahan antara etnis Nasionalisme Indonesia: sebuah bunga
Tionghoa peranakan dengan masyarakat rampai, 1965-2008. Jakarta: Kompas.
Sukabumi merupakan salah satu bentuk Tan, Mely G. 1979.
asimilasi. Asmilasi sendiri juga digunakan Golongan etnis Tionghoa di Indonesia.
pemerintah kepada seluruh etnis Tionghoa jakarta : Gramedia.
Yayasan Vihara Widhi Sakti. 2012.
Buku Peringatan 100 tahun Vihara
Widhi Sakti (d/h Kelenteng Bie Hian
Kong) Sukabumi 1912-2002. Sukabumi
: Yayasan Widhi Sakti.

Surat Kabar
“Politik Minoritas - Warga Tionghoa
Cenderung dijadikan Kambing Hitam”.
Kompas. Edisi 20 November 2000.
Hlm. 38.
“Presiden Tetapkan Imlek Hari Nasional”.
Kompas. Edisi 18 Februari 2002 Hlm. 1
dan 11.
“Rasialisme jang Terjadi di Indonesia
Didalangi oleh Subversip Asing”.
Merdeka. Edisi 20 Mei 1963. Hlm. 1.

Sumber Lisan/Informan
Gunawan, Agus (45 tahun). 2017.
Pegawai swasta. Wawancara,
Sukabumi, 24 Desember 2017.
Hariyanto, Bambang (46 tahun). 2018.
PNS. Wawancara, Sukabumi, 14
Januari 2018.
Teddyl (69 tahun). 2017.
Karyawan. Wawancara, Sukabumi,
24 Mei 2017.

Anda mungkin juga menyukai