Rusnaini
Program Studi PKN, FKIP
Universitas Negeri Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36, Kentingan Surakarta
HP. 08156873638, Fax. (0271) 632368
ABSTRACT
This study aims at describing the socio-cultural life of the Chinese com-
munity in Sungailiat, Bangka Island. The data-collecting technique used in-
cludes in-depth interview and observation. In-depth interview is used to re-
flect the point of view, whereas observation is used to explore the socio-
cultural life of the Chinese community. The data analysis is based on the quali-
tative analysis which combines the point of view of the subject and that of the
researcher. The result of this study showed that the dialect spoken by the
Chinese community in Sungailiat, consisted of Khe’ (Hakka), Hokkian,
Kongfu, and Teociu. The dialect of Khe’ represents the majority, and most of
them are Peranakan (descendants). The subculture of Khe’ community has
mixed with the local Malay language and culture of the native people in Bangka
Island. Language used represents a mixture dialect between Khe’ and Bangka
Malay. Although the Chinese community in Sungailiat embraced different re-
ligions and religious sects, such as Christian, Roman, and Confucianism, it
was Confucianism that gave the strongest influence on the family systems of
communication and social interaction, despite the similar lifestyle to the Malay
and other community groups in Sungailiat.
PENDAHULUAN
Pulau Bangka terletak di sebelah pesisir Timur Sumatera Selatan berbatasan
dengan Laut China Selatan sebelah utara, Pulau Belitung sebelah timur, dan Laut
Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 101
Kehidupan sosial budaya etnis Cina di Sungailiat selalu stabil. Aktivitas sehari-
hari seperti bekerja dan melakukan aktivitas budaya ataupun ritual agama berjalan
dengan serasi. Sistem sosial budaya masyarakat etnis Cina ini dapat diumpamakan
sebagai “organisme”, seperti yang dikatakan teori fungsional Malinowski dan Radcliffe
Brown bahwa sistem sosial budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-
bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi
pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup “organisme” itu (Kaplan dan Manners,
1999). Pelestarian aktivitas budaya seperti sembahyang kubur (ceng beng) misalnya
dapat dijelaskan dengan teori Malinowski tentang fungsi aktivitas budaya untuk
mengurangi kecemasan menghadapi hal-hal yang tak dipahami. Teori Radcliffe Brown
mengatakan unsur kebudayaan merupakan suatu kebutuhan sosial yang sangat
diperlukan untuk dapat bertahan hidup atau survive. Mengacu pada teori Brown,
beberapa ritual kepercayaan yang tetap dijalankan seperti sembahyang di Kelenteng,
Hari Raya Kong Ngian atau Xin Nian, dan lain-lain merupakan eksistensi (dan
juga persistensi) upacara keagamaan bagi kerekatan sosial.
Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis uraikan di muka, masalah
penelitian ini penulis rumuskan sebagai berikut: “Bagaimana kehidupan sosial budaya
masyarakat etnis Cina di Sungailiat, Kabupaten Bangka?”
Penelitian ini mendeskripsikan kehidupan sosial budaya masyarakat etnis Cina
di Sungailiat, Kabupaten Bangka.
METODE PENELITIAN
Sesuai dengan sifat masalahnya, jenis metode penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif. Pemilihan metode ini didasarkan pada pertimbangan metode
kualitatif dapat digunakan untuk memahami makna dan konteks (Moleong, 2004).
Ruang lingkup penelitian meliputi kehidupan sosial budaya masyarakat etnis Cina
dengan mengamati aspek-aspek: golongan bahasa, kebudayaan, pemukiman, mata
pen-caharian, agama dan kepercayaan, orientasi kebangsaan, dan kebiasaan
merantau.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan in-depth
interviews. In-depth interviews dilakukan untuk memperoleh keterangan lengkap
dan mendalam terhadap semua variabel yang diteliti, seperti hal-hal yang dipercaya,
nilai-nilai yang dianut, dan sebagainya, khususnya untuk memahami mengapa sesuatu
terjadi dan makna yang ada di balik perilaku, nilai, dan norma-norma sosial. Penulis
mewawancarai beberapa informan, seperti tokoh masyarakat serta beberapa
perempuan dan laki-laki dewasa dari golongan etnis Cina yang penulis kenal secara
pribadi. Dengan cara ini penulis mencoba melakukan pendalaman terhadap kehidupan
sosial budaya etnis Cina di Sungailiat. Observasi dilakukan untuk memperoleh
Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 103
Cina”. Selain itu, ada sebutan Singke’ (yang berarti pendatang baru) bagi mereka
yang lahir di negeri Cina, dan datang ke Sungailiat sebagai buruh tambang. Setelah
pertambangan timah beralih dari tangan Belanda ke tangan pemerintah Indonesia,
para Singke’ ini beralih profesi sebagai petani sayuran atau pembuat kerajinan
anyaman dari bambu. Singke’ biasanya sama sekali tidak bisa berbahasa Melayu
Bangka ataupun berbahasa Indonesia dan memiliki kelas sosial yang paling rendah
di kalangan etnis Cina di Sungailiat. Mereka juga gemar berpakaian stelan baju dan
celana panjang berwarna hitam polos seperti orang di daratan Cina dan hampir
tidak pernah berganti model busana. Menurut penuturan informan yang penulis
wawancarai, sampai pada tahun 1970-an populasi orang yang disebut Singke’ tinggal
sedikit sekali dan awal tahun 1990-an boleh dikatakan mereka sudah tidak ada lagi
karena sudah meninggal dunia. Singke’ biasanya kurang bergaul dan umumnya miskin.
Sebutan totok juga diberikan kepada orang Hokkian, Kanton atau Kongfu yang,
walaupun sebagian besar dari mereka kelahiran Bangka, tetapi secara budaya mereka
adalah totok. Istilah totok biasanya dikaitkan dengan Hoklo walaupun tidak selalu
demikian. Jumlah kaum totok di Bangka tidak banyak dan sejak awal tahun 1980-
an istilah totok ini hampir tidak pernah lagi digunakan.
Pemukiman
Sie Kwan Lun (dalam Kompas, 15 April 2006) dan informan bernama Lie
Beb menuturkan, pada awal kedatangan etnis Cina sebagai kuli kontrak di Pulau
Bangka. Mereka mengeruk tanah untuk mengumpulkan butiran-butiran timah. Mereka
juga membangun permukiman di sekitar tempat kerja dengan sebutan “parit”, yang
mengacu pada lubang-lubang galian tambang. Selanjutnya, perkampungan itu diberi
nama “Parit 1”, “Parit 4”, “Parit 7”, dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan
penambangan, permukiman kuli kontrak ini juga menyebar ke berbagai pelosok di
Sungailiat. Pada masa sekarang, terutama di wilayah perkotaan, etnis Cina dan Melayu
sudah banyak yang tinggal berdekatan atau berdampingan.
Seorang informan lain yang bernama A Thin mengatakan dahulu kala rumah-
rumah Cina tradisional memisahkan bagian ruang utama dengan dapur, tetapi sekarang
tidak lagi demikian. Pada saat melakukan penelitian, penulis menemukan rumah-
rumah etnis Cina dan Melayu di Sungailiat arsitekturnya pada umumnya tidak berbeda
dengan arsitektur rumah-rumah di daerah lainnya di Indonesia. Rumah adat yang
berbentuk limas juga masih ada dalam jumlah terbatas di desa-desa. Di dalam rumah
orang Cina tradisional biasanya ada tempat pemujaan atau altar. Altar atau meja abu
sering ditempatkan pada ruang utama rumah. Pada altar diletakkan foto keluarga
atau leluhur yang sudah meninggal dunia. Disediakan tempat dupa atau hio dan lilin
merah atau lampu berwarna merah. Kadang-kadang ada juga yang meletakkan
patung dewi Kwan Im (Kwan Jim), dewa Kwan Kong, dewa Toa Pek Kong, dan
lain-lain untuk dipuja di rumah.
Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 105
warna hitam atau biru dongker polos atau yang bermotif dengan warna yang tidak
terlalu mencolok (berdasarkan penuturan beberapa informan dari etnis Cina dan
Melayu, juga berdasarkan apa yang penulis lihat sejak kecil sampai remaja ketika
masih tinggal di Sungailiat).
Kesamaan lain antara etnis Cina dengan etnis lokal adalah kesukaan akan
makanan dari hasil laut (sea food). Jenis masakan yang digemari oleh kedua etnis ini
juga hampir sama (kecuali makanan mengandung babi yang tidak dimakan oleh
orang Melayu yang muslim). Selain untuk lauk sehari-hari, hasil laut juga dibuat
makanan camilan, seperti empek-empek, otak-otak, kemplang, kerupuk, kletek,
bakmi, pantiauw (sejenis kwe tiauw) lakso, terasi, rusip, kecalo, dan lain-lain.
Secara umum, gaya hidup etnis Cina di Sungailiat ini tidak berbeda jauh dengan
etnis lainnya. Ada yang sederhana, tetapi ada juga sebagian kecil yang tampak sangat
kosmopolitan. Pergaulan antaretnis Cina dengan etnis Melayu dan etnis-etnis lain
juga berjalan harmonis. Perkawinan antaretnis Cina dengan etnis lain terutama etnis
Melayu yang muslim juga sudah sering terjadi. Jika etnis Cina (terutama Peranakan)
menikah dengan etnis Melayu yang muslim, maka mereka pindah agama mengikuti
pasangannya yang muslim.
Melihat keharmonisan hubungan antaretnis ini, menurut Koentjaraningrat (1999),
dapat dikatakan bahwa tampaknya loyalitas etnis dan loyalitas nasional mendominasi
dua bidang lain dari kehidupan mereka, yaitu bidang kehidupan pribadi dan bidang
kehidupan umum sehingga kedua loyalitas itu lebih saling melengkapi daripada saling
bersaing atau saling terlibat dalam konflik. Mengacu pada Harold R.Isaacs (1993),
pertalian antaretnis yang semacam ini merupakan penghargaan dan rasa harga diri:
bagaimana individu dapat terlihat oleh orang lain dan bagaimana mereka melihat diri
mereka sendiri.
Mata Pencaharian
Dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa orang Hoklo ada yang membuka
rumah makan atau restoran, mendirikan pabrik kecap dan tauco, membuka toko
obat Cina dan menjadi tabib obat-obatan Cina, atau menjadi tukang gigi. Pada
umumnya Hoklo berkecimpung di bidang usaha, sedangkan peranakan lebih beraneka
ragam bidang pekerjaannya mulai dari petani, pengrajin, nelayan, pedagang, tukang
batu, sopir bus, guru sekolah swasta, dan pengusaha. Kaum perempuan peranakan
banyak yang menjadi penjahit, pengusaha salon dan pembuat makanan seperti kue-
kue dan lain sebagainya. Baik Hoklo maupun peranakan pada umumnya tidak
tertarik untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Kaum peranakan yang menjadi petani umumnya bertanam sayuran, seperti sawi,
bayam, kangkung, mentimun, kucai, bengkoang, dan lain-lain. Pemasok sayuran
Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 107
karena berarti hubungannya dengan keluarga sendiri akan renggang sehingga jarang
terjadi perkawinan antara wanita peranakan dengan laki-laki Hoklo.
Agama dan Kepercayaan
Mengenai masalah agama ini, Joachim Wach (dalam Hendropuspito, 1983)
mengatakan bahwa aspek yang perlu diperhatikan dalam agama adalah pertama
unsur teoritisnya, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan. Kedua unsur
praktisnya, yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga, aspek
sosiologisnya, bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial.
Berdasarkan hal ini, penulis mencoba untuk memaparkan perihal agama dan
kepercayaan etnis Cina di Sungailiat.
Seorang informan bernama Mi Fa menuturkan bahwa sampai pertengahan tahun
1970-an, sebagian kecil etnis Cina memeluk kepercayaan yang disebut Samkau atau
Sam Kauw Hwee (Tri Dharma), yaitu merupakan campuran Konghucuisme, Taoisme
dan Budhisme. Sebagian besar lainnya memeluk agama leluhur mereka, yaitu ajaran
Kong Hu Cu. Walaupun demikian, pada umumnya mereka tidak begitu mengenal
karya-karya klasik Kong Hu Cu. Ajaran yang paling penting dari Kong Hu Cu yang
dikenal etnis Cina adalah “berbakti kepada orangtua dan leluhur”, yang diajarkan
secara turun-temurun. Suryadinata (2002) mengatakan tampaknya hal ini terjadi pada
hampir semua penganut Kong Hu Cu di Indonesia. Dalam pengamatan penulis, ajaran
berbakti kepada orang tua dan leluhur menyebabkan etnis Cina yang sudah memeluk
agama Katolik atau Kristen masih melakukan sembahyang pada arwah orang tua atau
kakek-neneknya yang sudah meninggal dunia atau sembahyang di kuburan mereka.
Tampaknya kecenderungan untuk berbakti dengan cara menghormati arwah leluhur
itu masih sangat kuat pada etnis Cina., yang dilakukan etnis Cina di Sungailiat pada
saat peringatan hari “sembahyang kubur” atau “Ceng Beng”. Pada hari itu orang Cina
berziarah ke makam atau kuburan orang tua dan leluhur, membersihkan makam, berdoa,
dan sembahyang. Di atas makam diletakkan berbagai macam makanan yang enak-
enak, seperti ayam goreng, kue dan buah-buahan, serta kertas kuning kecil memanjang.
Yang merantau pun selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung (mudik) pada
hari besar ini agar dapat turut serta melakukan ritual ini. Jadi, ritual ini berfungsi sebagai
pengikat hubungan kekeluargaan.
Menurut informan bernama Tjen Mi Mi, pada umumnya keluarga etnis Cina
tidak memiliki kitab suci. Kitab suci yang disebut Empat Kitab (Si Shu) dan Lima
Karya Klasik (Ngo King) umumnya hanya dimiliki oleh pendeta dan pengurus
kelenteng. Mereka juga umumnya tidak bisa berbahasa Mandarin dan tidak bisa
membaca huruf Cina, kecuali segelintir orang yang pernah mengenyam pendidikan
di sekolah-sekolah Cina sebelum sekolah-sekolah tersebut ditutup oleh pemerintah
Indonesia seiring dengan putusnya hubungan diplomatik Indonesia dengan negeri
Tiongkok (China) setelah pemberontakan G.30.S PKI tahun 1965.
Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 109
dengan perhitungan berdasarkan peredaran matahari dan pergantian musim dingin
ke musim semi di negeri Cina atau Tiongkok. Penanggalan Imlek ini banyak digunakan
oleh petani atau nelayan. Menjelang hari raya imlek, biasanya turun hujan, banyak
buah, juga banyak hasil laut, seperti ikan dan lain-lain. Imlek di negeri Cina mempunyai
arti memasuki musim semi di belahan bumi bagian utara, maka disebut pesta musim
semi. Makna musim semi adalah meninggalkan musim dingin, gelap, dengan pohon-
pohon yang gundul, memasuki musim yang hangat, terang dengan pohon yang bersemi.
Di Indonesia khususnya di pulau Bangka berarti memasuki musim tanam.
Seorang informan bernama A Lian menuturkan pada hari raya Imlek rumah
tidak boleh disapu sehari penuh agar rezeki tidak terbuang. Anak-anak atau mereka
yang belum menikah mendapat “angpau” atau uang yang masih baru dibungkus
dengan kertas merah. Merah adalah warna yang melambangkan kebahagiaan. Yang
belum menikah tidak boleh memberikan angpau walaupun dia sudah mempunyai
penghasilan sendiri. Pada hari raya Imlek juga sering disediakan kue keranjang yang
bermakna agar keluarga tidak kekurangan apapun. Kebiasaan lain adalah memainkan
mercon. Mercon dimainkan oleh anak-anak yang menunjukkan kegembiraan mereka
menyambut datangnya Imlek, tetapi sejak penggunaan mercon dibatasi oleh
pemerintah, penggunaannya tidak seramai dulu lagi. Pada hari ini sanak keluarga
dan teman saling mengunjungi dan bersalam-salaman. Mereka menggunakan pakaian
baru. Perayaan dan tradisi kunjung mengunjung dalam perayaan Imlek ini berlangsung
sampai tanggal 15, dan pada malam 15 diadakan perayaan cap go meh. Pada
perayaan cap go meh ada keluarga yang memasang lampion warna warni di
rumahnya. Akan tetapi, tradisi perayaan cap go meh di Sungailiat tidak meriah,
hanya berlangsung di keluarga inti.
Perayaan hari besar keagamaan lainnya yang dirayakan etnis Cina di Sungailiat
adalah perayaan “Pehcun” yang dilakukan tiap tahun dengan rekreasi di pantai.
Pada perayaan Pehcun mereka membawa makanan sejenis lepat yang terbuat dari
ketan dibungkus dengan daun pandan hutan yang wangi baunya. Lepat ini biasa
disebut “kue cung”, berisi daging babi atau abon ikan (sambelingkung), atau tumisan
udang kering (ebi). Pada hari ini etnis Melayu dan etnis lainnya juga ikut meramaikan.
Pehcun jatuh pada bulan 5 tanggal 5 Imlek. Menurut seorang informan bernama A
Kiun, Pehcun berasal dari legenda, konon dahulu kala di negeri Tiongkok ada seorang
patriot dan pujangga bernama Kut Guan (Qu Yuan), ia sangat berduka menyaksikan
negaranya dihancurleburkan oleh musuh. Kut Guan bunuh diri dengan menceburkan
diri ke dalam sungai, mati dan hanyut terbawa air. Rakyat dan para pengikutnya
mencari jenazahnya dengan mendayung perahu sambil melemparkan makanan yang
dibungkus daun ke dalam sungai agar ikan-ikan tidak memakan jasadnya. Kejadian
itu terus diperingati sampai sekarang dan mempunyai makna cinta tanah air,
menghormati para pahlawan dan meneladani, serta melanjutkan perjuangannya. Akan
tetapi, generasi etnis Cina masa kini sebagian besar tidak lagi mengetahui sejarah
Orientasi Kebangsaan
Pada tahun 1960-an sampai tahun 1980-an sewaktu masih menetap di Sungailiat,
penulis menemukan bahwa sebagian etnis Cina menggunakan sebutan fan ngin (orang
tidak beradab) terhadap orang Melayu dan sebutan Thong ngin (orang beradab)
untuk orang Cina. Walaupun istilah ini kedengaran mengesankan superioritas etnis
Cina, tetapi seorang informan mengatakan sebutan itu hanya menjadi kebiasaan
orang-orang Cina zaman dahulu yang baru datang dari negeri Cina. Generasi sesu-
dahnya kemudian meniru tanpa bermaksud buruk, bukan merupakan stigma terhadap
etnis Melayu. Anehnya masyarakat lokal (etnis Melayu) tidak peduli dengan istilah
ini dan sama sekali tidak merasa terganggu. Ketika penulis melakukan penelitian ini,
istilah tersebut jarang terdengar dalam pergaulan sehari-hari masyarakat di Pulau
Bangka.
Menurut seorang informan yang bernama Tjhin Li Wen, jika etnis Cina Sungailiat
berada di luar negeri, mereka mempersatukan dirinya dengan tempat kelahiran mereka
di Indonesia, tidak dengan propinsi di Cina Selatan tempat asal nenek moyang mereka.
Mereka mengidentifikasikan diri dengan negeri tempat mereka lahir dan tetap sadar
sebagai orang Cina Indonesia. Mereka memiliki “identitas nasional” sebagai orang
Cina Indonesia, “identitas komunal” sebagai orang Cina Sungailiat, dan “identitas
budaya” sebagai orang Hakka (Khe), Kongfu, Kanton, Hokkian dan Teociu.
Cushman dan Gung Wu (1991) pernah meneliti masalah identitas ganda yang dimiliki
etnis Cina yang melibatkan banyak variabel dan cukup membingungkan dan mereka
menyimpulkan bahwa masalah ini sebaiknya didekati melalui gagasan tentang norma
(yakni standar ideal yang mereka anggap sebagai pengikat diri mereka sebagai orang
Cina dan standar lain yang harus mereka terima dalam lingkungan mereka yang
bukan Cina dan melalui usaha memahami cara orang Cina menanggapi dan membela
norma-norma tersebut).
Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 111
Hal menarik lainnya adalah masalah nama panggilan sehari-hari. Walaupun nama-
nama Indonesia digunakan untuk menggantikan nama-nama dari bahasa Cina, nama-
nama Indonesia hanya digunakan di sekolah dan untuk keperluan membuat surat-
surat penting. Dalam kehidupan sehari-hari nama-nama Cina tetap digunakan. Hal
ini tidak ada hubungannya dengan orientasi kebangsaan mereka. Pada umumnya
mereka merasa agak canggung jika harus memanggil dengan nama Indonesia, terkesan
“elitis” atau sok elit di mata sesamanya. Walaupun demikian, jika mereka merantau
ke pulau Jawa (Jakarta) dan melahirkan anak di sana, maka banyak di antara etnis
Cina yang berasal dari Sungailiat menggunakan nama-nama Indonesia untuk panggilan
sehari-hari bagi anak-anaknya. Mereka menganggap hal itu biasa. Justru yang tidak
biasa jika mereka tetap memanggil dengan nama-nama Cina karena sulit untuk
diucapkan oleh penduduk Jakarta pada umumnya.
Merantau
Etnis Cina di Sungailiat mempunyai kebiasaan merantau ke daerah lain setelah
mereka dewasa. Setelah menamatkan pendidikan setingkat SLTP ataupun SMU,
banyak yang merantau ke luar Pulau Bangka. Ada yang merantau untuk meneruskan
pendidikannya, ada pula yang merantau dengan tujuan ingin mencari pekerjaan atau
meningkatkan taraf hidup mereka. Etnis Cina yang merantau ke Jakarta sebagian
meneruskan pendidikan mereka, banyak juga yang sampai perguruan tinggi. Setelah
tamat, mereka banyak yang bekerja sebagai pegawai kantor-kantor swasta,
pengusaha, dan pedagang. Yang tidak melanjutkan pendidikan, sebagian besar
bekerja sebagai buruh atau pegawai di perusahaan-perusahaan atau pelayan toko
milik etnis Cina. Yang sudah merantau jarang sekali mereka pulang untuk menetap
kembali di Sungailiat.
Seorang informan bernama Tjhie Lan Kiun mengatakan etnis Cina peranakan
dari Sungailiat, walaupun sudah merantau meninggalkan pulau Bangka, dalam urusan
jodoh mereka lebih senang memilih etnis Cina yang sama-sama berasal dari Pulau
Bangka umumnya, dan Sungailiat khususnya. Tidak banyak yang menikah dengan
etnis Cina dari daerah lain. Yang menetap di Jakarta, tempat tinggal mereka tersebar
di seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya.Yang paling banyak terkonsentrasi di wilayah
Jakarta Pusat seperti di Pademangan, Rajawali, di Jakarta Barat terutama di daerah
sekitar Roxy, Bukit Duri, dan Jelambar. Hingga permulaan tahun 1980-an, sebagian
besar etnis Cina Bangka lebih senang merantau ke pulau Jawa khususnya Jakarta
dibandingkan dengan ke pulau Sumatera (walaupun pada saat itu Pulau Bangka
masih merupakan wilayah propinsi Sumatera Selatan, dengan ibukota propinsinya
adalah Palembang). Alasannya karena biaya dan jarak tempuhnya untuk pergi ke
Jakarta dan Palembang hampir sama (pada waktu itu transportasi satu-satunya adalah
lewat udara, kalaupun bepergian lewat laut maka mereka terpaksa harus menumpang
kapal-kapal barang atau kapal-kapal kecil yang sesak dan hal ini tentu saja tidak
SIMPULAN
Etnis Cina yang tinggal di Sungailiat sejak dulu berperan hampir di semua sektor
kehidupan, baik di desa maupun di kota. Kehidupan sosial budaya mereka dilandasi
nilai-nilai budaya Cina bercampur dengan nilai-nilai budaya masyarakat asli (Melayu).
Dalam pergaulan antaretnis, tampaknya tidak ada keinginan mereka untuk
menekankan harga diri suatu kelompok, dan loyalitas setiap orang Cina dengan
etnisnya sama sekali tidak mengganggu hubungan mereka dengan etnis lain.
Mayoritas etnis Cina di Sungailiat, bahasanya termasuk golongan bahasa Khe’
(Hakka). Selain bahasa Khe’ yang merupakan mayoritas, di Sungailiat ada juga
bahasa Hokkian, Kongfu, Kanton, dan Teociu. Dalam pergaulan sesama etnis
mereka menggunakan “bahasa keakraban”, yaitu bahasa Cina dengan banyak kata
pinjaman dari bahasa Melayu Bangka. Dalam berkomunikasi dengan etnis Melayu,
etnis Cina menggunakan “bahasa solidaritas” yaitu bahasa Melayu Bangka (walaupun
kadang-kadang bercampur dengan kata-kata dan istilah dari bahasa Khe’).
Penggunaan bahasa seperti ini merupakan salah satu standar ideal hubungan antaretnis
di Sungailiat. Adapun bahasa subetnis Hokkian, Kong Fu dan lain-lain hanya
digunakan dalam lingkungan keluarga masing-masing.
Etnis Cina di Sungailiat mata pencahariannya sangat beragam, mulai dari petani,
pengrajin, nelayan, pedagang, tukang batu, sopir bis, guru sekolah swasta, dan
pengusaha. Walaupun pada masa kini etnis Cina di Sungailiat memeluk agama yang
bermacam-macam, mereka tetap patuh pada ajaran Kong Hu Cu “berbakti kepada
orangtua dan leluhur” yang diajarkan secara turun-temurun. Upacara atau ritual ceng
beng, rebut, kong ngian, dan pehcun selalu diperingati setiap tahun dan dirayakan
dengan meriah.
Etnis Cina di Sungailiat mempunyai kebiasaan merantau. Kota tujuan utama
mereka adalah Jakarta dan sekitarnya. Namun demikian, ada juga yang merantau
ke Palembang, Batam, dan lain-lain. Etnis Cina Sungailiat jika berada di luar negeri,
selalu mengidentifikasikan diri dengan negeri tempat mereka lahir dan tetap sadar
Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 113
sebagai orang Cina Indonesia. Mereka memiliki “identitas nasional” sebagai orang
Cina Indonesia, “identitas komunal” sebagai orang Cina Sungailiat, dan “identitas
budaya” sebagai orang Hakka (Khe), Kongfu, Kanton, Hokkian, dan Teociu.
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, David & Albert L. Manners. Teori Budaya. Terjemahan oleh Landung
Simatupang. 1999. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kompas. 14 April 2005. Belajar Toleransi dari Warung Kopi, hal. 29.
Spradley, JP. 1979. The Ethnographic Interview. USA: Holt, Rinehart and Win-
ston.
Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia. Jakarta:
LP3ES.