Anda di halaman 1dari 16

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA ETNIS CINA DI PULAU BANGKA:

Studi Kasus di Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka


THE SOCIO-CULTURAL LIFE OF THE CHINESE IN BANGKA:
A Case Study in Sungailiat District of Bangka Regency

Rusnaini
Program Studi PKN, FKIP
Universitas Negeri Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36, Kentingan Surakarta
HP. 08156873638, Fax. (0271) 632368

ABSTRACT

This study aims at describing the socio-cultural life of the Chinese com-
munity in Sungailiat, Bangka Island. The data-collecting technique used in-
cludes in-depth interview and observation. In-depth interview is used to re-
flect the point of view, whereas observation is used to explore the socio-
cultural life of the Chinese community. The data analysis is based on the quali-
tative analysis which combines the point of view of the subject and that of the
researcher. The result of this study showed that the dialect spoken by the
Chinese community in Sungailiat, consisted of Khe’ (Hakka), Hokkian,
Kongfu, and Teociu. The dialect of Khe’ represents the majority, and most of
them are Peranakan (descendants). The subculture of Khe’ community has
mixed with the local Malay language and culture of the native people in Bangka
Island. Language used represents a mixture dialect between Khe’ and Bangka
Malay. Although the Chinese community in Sungailiat embraced different re-
ligions and religious sects, such as Christian, Roman, and Confucianism, it
was Confucianism that gave the strongest influence on the family systems of
communication and social interaction, despite the similar lifestyle to the Malay
and other community groups in Sungailiat.

Kata Kunci: Pulau Bangka, komunitas Cina , kehidupan sosiokultural

PENDAHULUAN
Pulau Bangka terletak di sebelah pesisir Timur Sumatera Selatan berbatasan
dengan Laut China Selatan sebelah utara, Pulau Belitung sebelah timur, dan Laut

Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 99


Jawa di sebelah Selatan. Pulau ini juga terletak pada 1°20’-3°7 Lintang Selatan dan
105° - 107° Bujur Timur memanjang dari Barat Laut ke Tenggara sepanjang ± 180
km. Luas pulau ini 11.910 km2. Dahulu Pulau Bangka merupakan wilayah Kesultanan
Palembang. Sultan Palembang menyerahkan wilayah Bangka ke tangan Inggris pada
tahun 1812. Pada tahun 1814 pulau ini dibarter dengan cochin di India yang tadinya
milik Belanda. Jepang menguasai pulau ini dari tahun 1942 hingga 1945, kemudian
menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1949. Pulau Bangka dan pulau Belitung
merupakan bagian dari provinsi Sumatra Selatan hingga tahun 2000 ketika kedua
pulau disahkan menjadi Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pulau Bangka juga
pernah dihuni oleh orang-orang Hindu dalam abad ke-7. Pada masa Kerajaan
Sriwijaya pulau Bangka termasuk daerah yang takluk terhadap kerajaan itu. Kerajaan
Majapahit dan Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah
menguasai Pulau Bangka. Namun, Pulau Bangka baru mendapat perhatian orang-
orang dari daratan Asia maupun Eropa yang berlomba-lomba ke Indonesia untuk
mencari rempah-rempah. Pulau Bangka merupakan daerah penghasil lada yang
merupakan rempah yang sangat disukai oleh bangsa Eropa dan bangsa-bangsa lain
di dunia
Sekitar tahun 1709 ditemukan timah di Sungai Olin di Kecamatan Toboali di
Pulau Bangka. Dengan ditemukannya timah ini, mulailah Pulau Bangka disinggahi
oleh segala perahu dari Asia maupun Eropa. Perusahaan-perusahaan penggalian
timah pun semakin maju sehingga Sultan Palembang mengirimkan orang-orangnya
ke Negeri Cina untuk mencari tenaga-tenaga ahli yang sangat diperlukan. Sejak
tahun 1710 Bangka merupakan salah satu wilayah penghasil timah di dunia (Http:/
id.wikipedia.org/wiki/Pulau Bangka).
Tahun 2003 jumlah penduduk di Kabupaten Bangka berjumlah 217.545 jiwa
yang terdiri dari penduduk laki-laki 107.213 (49,28%) dan perempuan 110.337
jiwa (50,72%) dengan kepadatan rata-rata 74 jiwa/km2. Konsentrasi penduduk
terpadat berada di wilayah kecamatan Sungailiat (379,13 jiwa/km2) yang juga
merupakan ibukota Kabupaten Bangka dan merupakan salah satu tujuan wisata
pantai di Pulau Bangka. Pulau Bangka didiami berbagai suku bangsa, seperti suku
Melayu, Cina, Jawa, Batak, Sunda, Bugis, Banten, Banjar, Madura, Palembang,
Minang, Aceh, Flores, Maluku, Manado, dan Cina. Agama penduduk berdasarkan
urutan jumlah pengikutnya terdiri dari agama Islam, Buddha, Kong Hu Cu, Kristen,
Katolik, dan Hindu. Etnis Cina merupakan suku urutan kedua dalam jumlahnya di
Pulau Bangka (sekitar 30%). Urutan pertama ditempati oleh etnis Melayu Bangka
(Http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau Bangka).
Skinner (1981) mengatakan bahwa kehadiran etnis Cina secara besar-besaran
di Pulau Bangka berawal dari penambangan timah. Etnis Cina di Pulau Bangka sebagian
besar berasal dari pedalaman propinsi Kwangtung, Tiongkok. Mereka diperkirakan

100 Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 99-114


sudah berada di Bangka pada abad ke-17 lalu mulai berbondong-bondong datang ke
pulau Bangka sejak pertambangan timah di Pulau Bangka dikembangkan secara teratur
dengan mempekerjakan buruh-buruh tambang yang didatangkan dari daratan
Tiongkok. Adapun Mary F. Sommers Heidhues (dalam Kompas, 14 April 2005)
memaparkan bahwa ribuan pekerja asal China datang secara massal sebagai kuli
kontrak di penambangan timah di Bangka pada tahun 1710. Mereka didatangkan
secara bergelombang oleh perusahaan Belanda yang mau menambang timah di daerah
tersebut. Warga asal China tertarik untuk datang ke Pulau Bangka karena Belanda
menjanjikan keuntungan besar sebagai penambang timah. Apalagi situasi di negeri
China sedang rawan karena terjadi konflik perebutan kekuasaan sekitar tahun 1920.
Gelombang kedatangan terbesar, antara lain, terjadi dari tahun 1907-1940 yang
disponsori perusahaan Holland-China Handles Companie. Setelah itu, kuli kontrak
yang datang ke Bangka terus menyurut. WP Goeneveldt (dalam Kompas, 14 April
2005) mengungkapkan bahwa pembahasan tentang Pulau Bangka pernah ditulis dalam
kitab klasik China, Hsing–ch’a Sheng-lan, yang ditulis tahun 1436. Kitab itu
menceritakan wilayah Bangka Belitung yang memiliki tradisi unik dan pemandangan
indah dengan sungai-sungai dan tanah datar. Dalam penuturan beberapa literatur kuno,
Bangka telah dikenal pelaut-pelaut China dan mereka pernah singgah di pulau Bangka
serta memberinya nama Pu-lei sejak abad ke-3 Masehi.
Imigran dari negeri China yang datang ke Pulau Bangka, sebagian di antaranya
menetap di Sungailiat. Orang-orang ini (selanjutnya disebut etnis Cina) sejak dulu
berperan hampir di semua sektor kehidupan, baik di desa maupun di kota. Sampai
saat ini, hubungan etnis Cina dengan etnis Melayu dan etnis lainnya yang ada di
Sungailiat berlangsung cukup harmonis. Pada Hari Raya Imlek etnis Cina maupun
Hari Raya Idul Fitri umat Melayu muslim, mereka saling mengunjungi. Banyak juga
yang berhubungan sebagai teman atau sahabat. Di Sungailiat tidak pernah terjadi
masalah antaretnis yang berbentuk kerusuhan atau pertikaian antarkelompok. Melihat
keberadaan etnis Cina ini, penulis tertarik untuk meneliti kehidupan sosial budaya
mereka. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kajian yang berguna
dalam mengenal etnis Cina di Pulau Bangka.
Dalam tulisan ini penulis tidak menggunakan istilah “Tionghoa”, tetapi memakai
istilah “Cina”, karena bagi masyarakat Sungailiat umumnya, istilah Cina (dalam bahasa
lokal “Cin”) lebih familiar dan telah digunakan sejak lama. Istilah “Tionghoa” tidak
masuk dalam perbendaharaan bahasa Melayu Bangka. Selain itu, sebutan “orang
Cin” bagi masyarakat lokal (Melayu) sama sekali tidak menimbulkan prasangka
buruk (prejudice) dan dianggap istilah biasa baik bagi etnis Melayu maupun etnis
Cina. Sebutan orang Cina tidak berbeda dengan sebutan orang Jawa, Sunda, Bugis,
Batak, dan lain-lain. Jadi, sebutan itu hanya untuk membedakan etnis satu dengan
yang lainnya.

Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 101
Kehidupan sosial budaya etnis Cina di Sungailiat selalu stabil. Aktivitas sehari-
hari seperti bekerja dan melakukan aktivitas budaya ataupun ritual agama berjalan
dengan serasi. Sistem sosial budaya masyarakat etnis Cina ini dapat diumpamakan
sebagai “organisme”, seperti yang dikatakan teori fungsional Malinowski dan Radcliffe
Brown bahwa sistem sosial budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-
bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi
pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup “organisme” itu (Kaplan dan Manners,
1999). Pelestarian aktivitas budaya seperti sembahyang kubur (ceng beng) misalnya
dapat dijelaskan dengan teori Malinowski tentang fungsi aktivitas budaya untuk
mengurangi kecemasan menghadapi hal-hal yang tak dipahami. Teori Radcliffe Brown
mengatakan unsur kebudayaan merupakan suatu kebutuhan sosial yang sangat
diperlukan untuk dapat bertahan hidup atau survive. Mengacu pada teori Brown,
beberapa ritual kepercayaan yang tetap dijalankan seperti sembahyang di Kelenteng,
Hari Raya Kong Ngian atau Xin Nian, dan lain-lain merupakan eksistensi (dan
juga persistensi) upacara keagamaan bagi kerekatan sosial.
Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis uraikan di muka, masalah
penelitian ini penulis rumuskan sebagai berikut: “Bagaimana kehidupan sosial budaya
masyarakat etnis Cina di Sungailiat, Kabupaten Bangka?”
Penelitian ini mendeskripsikan kehidupan sosial budaya masyarakat etnis Cina
di Sungailiat, Kabupaten Bangka.

METODE PENELITIAN
Sesuai dengan sifat masalahnya, jenis metode penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif. Pemilihan metode ini didasarkan pada pertimbangan metode
kualitatif dapat digunakan untuk memahami makna dan konteks (Moleong, 2004).
Ruang lingkup penelitian meliputi kehidupan sosial budaya masyarakat etnis Cina
dengan mengamati aspek-aspek: golongan bahasa, kebudayaan, pemukiman, mata
pen-caharian, agama dan kepercayaan, orientasi kebangsaan, dan kebiasaan
merantau.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan in-depth
interviews. In-depth interviews dilakukan untuk memperoleh keterangan lengkap
dan mendalam terhadap semua variabel yang diteliti, seperti hal-hal yang dipercaya,
nilai-nilai yang dianut, dan sebagainya, khususnya untuk memahami mengapa sesuatu
terjadi dan makna yang ada di balik perilaku, nilai, dan norma-norma sosial. Penulis
mewawancarai beberapa informan, seperti tokoh masyarakat serta beberapa
perempuan dan laki-laki dewasa dari golongan etnis Cina yang penulis kenal secara
pribadi. Dengan cara ini penulis mencoba melakukan pendalaman terhadap kehidupan
sosial budaya etnis Cina di Sungailiat. Observasi dilakukan untuk memperoleh

102 Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 99-114


pemahaman mengenai hal-hal yang ingin diteliti dari “insider’s point of view” dan
memperoleh gambaran mengenai pola budaya yang tidak diutarakan dengan kata-
kata (Spradley, 1979).
Selanjutnya, data primer yang bersumber dari wawancara dengan informan
dideskripsikan secara kualitatif untuk menjelaskan fenomena yang ada sekaligus
untuk menjawab pertanyaan penelitian. Penulis akan memberikan deskripsi mengenai
hasil penelitian ini dengan menganalisisnya menurut lihatan dari sudut pandang pelaku
(insider’s view) dan menurut lihatan dari sudut pandang peneliti sendiri (outsider’s
view). Analisis dilakukan dengan menggabungkan pemahaman dari sudut pandang
yang diteliti (atau biasa disebut dengan istilah “emik’) dengan interpretasi dari sudut
pandang peneliti sendiri (biasa disebut dengan istilah “etik”) (Kaplan, 1999).
Selanjutnya, data sekunder diperoleh dari jurnal, artikel, buku, internet, dan arsip
yang berkaitan dengan penelitian ini disajikan dengan cara pemaparan dan data
dokumenter dilampirkan sesuai dengan kebutuhan penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Temuan hasil penelitian dan analisis data dipaparkan dalam pembahasan tentang
aspek-aspek golongan bahasa, kebudayaan, pemukiman, matapencaharian, agama
dan kepercayaan, orientasi kebangsaan, dan kebiasaan merantau masyarakat etnis
Cina di Sungailiat.

Etnis Cina Berdasarkan Golongan Bahasa


Berdasarkan wawancara dengan beberapa informan, penulis mendapatkan
informasi bahwa mayoritas etnis Cina di Sungailiat, golongan bahasanya termasuk
golongan bahasa Khe’ (Hakka). Di kalangan etnis Cina di Sungailiat maupun di
kalangan orang Melayu, golongan bahasa Khe’ (Hakka) ini pada umumnya
“Peranakan” karena mereka sudah turun temurun tinggal di Sungailiat, Orang Khe’
(Hakka) sudah tinggal di Sungailiat sejak beberapa generasi. Skinner (1981)
memperkirakan etnis Cina ini datang ke pulau Bangka pada masa kesulitan angkutan
darat dan pada waktu itu kaisar negeri Cina mengeluarkan dekrit yang secara resmi
melarang orang China meninggalkan dan masuk kembali ke negeri Cina. Oleh karena
itu, orang Cina yang datang adalah laki-laki yang kemudian kawin dengan wanita
setempat. Lama-kelamaan keturunan mereka membentuk masyarakat yang mantap,
yaitu masyarakat Cina Peranakan.
Selain golongan bahasa Khe’ yang merupakan mayoritas, di Sungailiat ada
golongan bahasa Hokkian, Kongfu, Kanton dan Teociu. Golongan bahasa Hokkian
sering disebut “Hoklo”. Perbedaan Hoklo dan Peranakan sebetulnya adalah
perbedaan derajat, yakni bahwa Hoklo “lebih Cina”, sedangkan Peranakan “kurang

Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 103
Cina”. Selain itu, ada sebutan Singke’ (yang berarti pendatang baru) bagi mereka
yang lahir di negeri Cina, dan datang ke Sungailiat sebagai buruh tambang. Setelah
pertambangan timah beralih dari tangan Belanda ke tangan pemerintah Indonesia,
para Singke’ ini beralih profesi sebagai petani sayuran atau pembuat kerajinan
anyaman dari bambu. Singke’ biasanya sama sekali tidak bisa berbahasa Melayu
Bangka ataupun berbahasa Indonesia dan memiliki kelas sosial yang paling rendah
di kalangan etnis Cina di Sungailiat. Mereka juga gemar berpakaian stelan baju dan
celana panjang berwarna hitam polos seperti orang di daratan Cina dan hampir
tidak pernah berganti model busana. Menurut penuturan informan yang penulis
wawancarai, sampai pada tahun 1970-an populasi orang yang disebut Singke’ tinggal
sedikit sekali dan awal tahun 1990-an boleh dikatakan mereka sudah tidak ada lagi
karena sudah meninggal dunia. Singke’ biasanya kurang bergaul dan umumnya miskin.
Sebutan totok juga diberikan kepada orang Hokkian, Kanton atau Kongfu yang,
walaupun sebagian besar dari mereka kelahiran Bangka, tetapi secara budaya mereka
adalah totok. Istilah totok biasanya dikaitkan dengan Hoklo walaupun tidak selalu
demikian. Jumlah kaum totok di Bangka tidak banyak dan sejak awal tahun 1980-
an istilah totok ini hampir tidak pernah lagi digunakan.

Pemukiman
Sie Kwan Lun (dalam Kompas, 15 April 2006) dan informan bernama Lie
Beb menuturkan, pada awal kedatangan etnis Cina sebagai kuli kontrak di Pulau
Bangka. Mereka mengeruk tanah untuk mengumpulkan butiran-butiran timah. Mereka
juga membangun permukiman di sekitar tempat kerja dengan sebutan “parit”, yang
mengacu pada lubang-lubang galian tambang. Selanjutnya, perkampungan itu diberi
nama “Parit 1”, “Parit 4”, “Parit 7”, dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan
penambangan, permukiman kuli kontrak ini juga menyebar ke berbagai pelosok di
Sungailiat. Pada masa sekarang, terutama di wilayah perkotaan, etnis Cina dan Melayu
sudah banyak yang tinggal berdekatan atau berdampingan.
Seorang informan lain yang bernama A Thin mengatakan dahulu kala rumah-
rumah Cina tradisional memisahkan bagian ruang utama dengan dapur, tetapi sekarang
tidak lagi demikian. Pada saat melakukan penelitian, penulis menemukan rumah-
rumah etnis Cina dan Melayu di Sungailiat arsitekturnya pada umumnya tidak berbeda
dengan arsitektur rumah-rumah di daerah lainnya di Indonesia. Rumah adat yang
berbentuk limas juga masih ada dalam jumlah terbatas di desa-desa. Di dalam rumah
orang Cina tradisional biasanya ada tempat pemujaan atau altar. Altar atau meja abu
sering ditempatkan pada ruang utama rumah. Pada altar diletakkan foto keluarga
atau leluhur yang sudah meninggal dunia. Disediakan tempat dupa atau hio dan lilin
merah atau lampu berwarna merah. Kadang-kadang ada juga yang meletakkan
patung dewi Kwan Im (Kwan Jim), dewa Kwan Kong, dewa Toa Pek Kong, dan
lain-lain untuk dipuja di rumah.

104 Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 99-114


Kebudayaan
Kebudayaan etnis Cina sudah bercampur dengan kebudayaan penduduk lokal.
Dalam pergaulan sesama etnis mereka menggunakan “bahasa keakraban”, yaitu
bahasa Cina dengan banyak kata pinjaman dari bahasa Melayu Bangka. Dalam
berkomunikasi dengan etnis Melayu, etnis Cina menggunakan “bahasa solidaritas”
yaitu bahasa Melayu Bangka (walaupun kadang-kadang bercampur dengan kata-
kata dan istilah dari bahasa Khe’). Penggunaan bahasa seperti ini merupakan salah
satu standar ideal hubungan antaretnis di Sungailiat. Bahasa subetnis Hokkian, Kong
Fu, dan lain-lain hanya digunakan dalam lingkungan keluarga masing-masing karena
pada umumnya masing-masing subetnis tidak memahami bahasa subetnis lainnya.
Selain bahasa, dalam hal berbusana etnis Cina dengan etnis Melayu memiliki
kemiripan. Informan bernama Tina dan A In mengatakan pemakaian kain kebaya
sering dipakai oleh perempuan dewasa usia 40-an ke atas atau perempuan yang
sudah menikah, baik golongan perempuan dari Cina maupun etnis Melayu. (Walaupun
orang Melayu sebetulnya mempunyai pakaian adat berupa “baju kurung” dan kain
sarung untuk perempuan dan “kemeja teluk belango” dan kain sarung untuk laki-
laki, tetapi dalam busana sehari-hari pakaian ini jarang sekali dipakai). Perempuan
dewasa etnis Cina menyukai kebaya yang di dunia mode disebut “kebaya encim”.
Kebaya ini terbuat dari bahan “Paris rubiah” dengan warna-warna yang lembut.
Untuk padanan kebaya tersebut, mereka memakai kain sarung batik pesisir dari
Pekalongan, Lasem, dan Cirebon yang berwarna cerah, seperti merah, kuning, hijau.
Motif kain yang disukai adalah motif naga (liong) dan burung hong serta motif bunga-
bunga, daun-daunan, dan pohon-pohon. Naga melambangkan kerajaan atau
kekuasaan, dianggap bermukim di lautan dan berkaitan dengan cuaca dan hujan.
Adapun burung hong melambangkan binatang yang datang dari khayangan,
melambangkan keagungan, kemewahan, dan kecantikan. Menurut penuturan
beberapa informan, perempuan dewasa atau yang sudah menikah dari golongan
etnis Melayu memakai kebaya dengan model “kebaya Kartini” (tahun 60-an ke
bawah) dan model “kebaya kutubaru” (tahun 60-an ke atas) yang terbuat dari
bermacam-macam bahan seperti Paris, Chiffon, Brokat, dan lain-lain. Kain panjang
yang digunakan adalah kain batik motif Solo dan Yogya dengan warna-warna sogan.
Menjelang tahun 90-an kebaya ini tidak lagi digemari, kecuali oleh generasi tua atau
perempuan yang berusia 60-an ke atas. Saat ini perempuan di Sungailiat lebih senang
menggunakan rok, gaun dan kadang-kadang juga stelan blus dan celana panjang
dengan model-model yang mutakhir. Kaum laki-laki dari kedua golongan etnis biasa
mengenakan kemeja dengan celana panjang seperti umumnya laki-laki di daerah
lain di Indonesia. Kain sarung palekat hanya digunakan untuk sholat bagi yang
beragama Islam. Adapun generasi tua atau Cina tradisional yang berbahasa Hokkian
dan golongan bahasa lain selain Khe’ yang merupakan minoritas, senang memakai
stelan baju dan celana yang dalam dunia mode disebut “model Shanghai” dengan

Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 105
warna hitam atau biru dongker polos atau yang bermotif dengan warna yang tidak
terlalu mencolok (berdasarkan penuturan beberapa informan dari etnis Cina dan
Melayu, juga berdasarkan apa yang penulis lihat sejak kecil sampai remaja ketika
masih tinggal di Sungailiat).
Kesamaan lain antara etnis Cina dengan etnis lokal adalah kesukaan akan
makanan dari hasil laut (sea food). Jenis masakan yang digemari oleh kedua etnis ini
juga hampir sama (kecuali makanan mengandung babi yang tidak dimakan oleh
orang Melayu yang muslim). Selain untuk lauk sehari-hari, hasil laut juga dibuat
makanan camilan, seperti empek-empek, otak-otak, kemplang, kerupuk, kletek,
bakmi, pantiauw (sejenis kwe tiauw) lakso, terasi, rusip, kecalo, dan lain-lain.
Secara umum, gaya hidup etnis Cina di Sungailiat ini tidak berbeda jauh dengan
etnis lainnya. Ada yang sederhana, tetapi ada juga sebagian kecil yang tampak sangat
kosmopolitan. Pergaulan antaretnis Cina dengan etnis Melayu dan etnis-etnis lain
juga berjalan harmonis. Perkawinan antaretnis Cina dengan etnis lain terutama etnis
Melayu yang muslim juga sudah sering terjadi. Jika etnis Cina (terutama Peranakan)
menikah dengan etnis Melayu yang muslim, maka mereka pindah agama mengikuti
pasangannya yang muslim.
Melihat keharmonisan hubungan antaretnis ini, menurut Koentjaraningrat (1999),
dapat dikatakan bahwa tampaknya loyalitas etnis dan loyalitas nasional mendominasi
dua bidang lain dari kehidupan mereka, yaitu bidang kehidupan pribadi dan bidang
kehidupan umum sehingga kedua loyalitas itu lebih saling melengkapi daripada saling
bersaing atau saling terlibat dalam konflik. Mengacu pada Harold R.Isaacs (1993),
pertalian antaretnis yang semacam ini merupakan penghargaan dan rasa harga diri:
bagaimana individu dapat terlihat oleh orang lain dan bagaimana mereka melihat diri
mereka sendiri.

Mata Pencaharian
Dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa orang Hoklo ada yang membuka
rumah makan atau restoran, mendirikan pabrik kecap dan tauco, membuka toko
obat Cina dan menjadi tabib obat-obatan Cina, atau menjadi tukang gigi. Pada
umumnya Hoklo berkecimpung di bidang usaha, sedangkan peranakan lebih beraneka
ragam bidang pekerjaannya mulai dari petani, pengrajin, nelayan, pedagang, tukang
batu, sopir bus, guru sekolah swasta, dan pengusaha. Kaum perempuan peranakan
banyak yang menjadi penjahit, pengusaha salon dan pembuat makanan seperti kue-
kue dan lain sebagainya. Baik Hoklo maupun peranakan pada umumnya tidak
tertarik untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Kaum peranakan yang menjadi petani umumnya bertanam sayuran, seperti sawi,
bayam, kangkung, mentimun, kucai, bengkoang, dan lain-lain. Pemasok sayuran

106 Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 99-114


lokal di pasar-pasar di Sungailiat adalah orang Khe’. Baik Hoklo maupun peranakan,
jarang di antara mereka yang menjadi petani lada yang merupakan tanaman andalan
masyarakat Pulau Bangka. Walaupun demikian, mereka merupakan pedagang
perantara, tengkulak atau eksportir lada yang terkenal. Hoklo terkenal sangat
menghargai kekayaan dan hemat, sedangkan peranakan lebih menikmati hidup,
kedudukan sosial, dan lebih egaliter. Secara umum, dalam pergaulan sosial orang
Hokkian, Teociu, dan Kongfu dengan peranakan tidak banyak berhubungan.
Kontak sosial yang terjadi biasanya hanya bersifat bisnis dan jarang yang merupakan
pertemanan biasa.
Tanaman keras yang banyak ditanam orang Khe’ adalah tanaman buah-buahan
dan kelapa yang juga biasanya ditanam oleh etnis Melayu. Orang Khe’ merupakan
pengrajin sapu dan sikat yang terbuat dari sabut kelapa. Sebagian lagi menjadi
pengrajin bakul, keranjang, dan meja kursi yang terbuat dari rotan. Orang Khe’
juga terkenal sebagai pembuat makanan dari kedelai seperti tahu (theufu), susu
kedelai (theufusui), dan kembang tahu (theufufa). Selain itu, mereka pintar membuat
bermacam kue basah dan kue kering. Di Sungailiat sejak dulu sudah terdapat
beberapa pabrik kecap dan tauco yang didirikan oleh orang Kongfu tetapi
pemasarannya terbatas untuk masyarakat lokal saja. Orang Bangka yang merantau
biasanya kalau pulang kampung sering membeli untuk dibawa ke perantauan,
bersama-sama dengan produk makanan khas Bangka lainnya seperti kemplang,
kerupuk, terasi, keletek, dan lain-lain. Hanya saja sejak pabrik serupa didirikan
oleh perusahaan besar seperti ABC dan Indofood yang menguasai pasaran kecap
di Indonesia, pabrik kecap dan taoco lokal mulai bangkrut, dan kalaupun tetap
bertahan seperti pepatah mengatakan “hidup segan, mati tak mau”. Orang Khe’
banyak yang memproduksi makanan khas Bangka seperti kerupuk, kemplang,
keletek, otak-otak, empek-empek, lakso, pantiauw (sejenis kweetiaw yang banyak
dijual di supermarket). Peranakan dan Hoklo juga banyak yang membuat kue
hoklopan khas Bangka (Etnis Melayu lebih sering menyebut kue “pannekuk”).
Kue Hoklopan (di daerah lain disebut “martabak manis” atau kue “terang bulan”,
tapi hoklopan lebih gurih, enak dan legit karena terbuat dari banyak susu dan mentega)
yang banyak dijual di Jakarta umumnya dibuat oleh etnis Cina dari Pulau Bangka.
Berdasarkan pengamatan penulis dan penuturan beberapa informan, laki-laki
dan perempuan di kalangan peranakan tidak membedakan kekuasaan di bidang
ekonomi dan sosial dibandingkan dengan Hoklo. Dalam hubungan dengan
kekerabatan mereka juga tidak membedakan hubungan dengan keluarga dari pihak
ayah ataupun ibu, sedangkan Hoklo sangat berpihak pada keluarga pihak ayah atau
suami. Seorang menantu perempuan harus melayani suami, anak-anak dan mertua,
bahkan juga saudara-saudara suaminya. Ia juga harus patuh pada suami dan mertua.
Bagi kaum wanita peranakan, menikah dengan Hoklo sangat tidak membahagiakan

Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 107
karena berarti hubungannya dengan keluarga sendiri akan renggang sehingga jarang
terjadi perkawinan antara wanita peranakan dengan laki-laki Hoklo.
Agama dan Kepercayaan
Mengenai masalah agama ini, Joachim Wach (dalam Hendropuspito, 1983)
mengatakan bahwa aspek yang perlu diperhatikan dalam agama adalah pertama
unsur teoritisnya, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan. Kedua unsur
praktisnya, yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga, aspek
sosiologisnya, bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial.
Berdasarkan hal ini, penulis mencoba untuk memaparkan perihal agama dan
kepercayaan etnis Cina di Sungailiat.
Seorang informan bernama Mi Fa menuturkan bahwa sampai pertengahan tahun
1970-an, sebagian kecil etnis Cina memeluk kepercayaan yang disebut Samkau atau
Sam Kauw Hwee (Tri Dharma), yaitu merupakan campuran Konghucuisme, Taoisme
dan Budhisme. Sebagian besar lainnya memeluk agama leluhur mereka, yaitu ajaran
Kong Hu Cu. Walaupun demikian, pada umumnya mereka tidak begitu mengenal
karya-karya klasik Kong Hu Cu. Ajaran yang paling penting dari Kong Hu Cu yang
dikenal etnis Cina adalah “berbakti kepada orangtua dan leluhur”, yang diajarkan
secara turun-temurun. Suryadinata (2002) mengatakan tampaknya hal ini terjadi pada
hampir semua penganut Kong Hu Cu di Indonesia. Dalam pengamatan penulis, ajaran
berbakti kepada orang tua dan leluhur menyebabkan etnis Cina yang sudah memeluk
agama Katolik atau Kristen masih melakukan sembahyang pada arwah orang tua atau
kakek-neneknya yang sudah meninggal dunia atau sembahyang di kuburan mereka.
Tampaknya kecenderungan untuk berbakti dengan cara menghormati arwah leluhur
itu masih sangat kuat pada etnis Cina., yang dilakukan etnis Cina di Sungailiat pada
saat peringatan hari “sembahyang kubur” atau “Ceng Beng”. Pada hari itu orang Cina
berziarah ke makam atau kuburan orang tua dan leluhur, membersihkan makam, berdoa,
dan sembahyang. Di atas makam diletakkan berbagai macam makanan yang enak-
enak, seperti ayam goreng, kue dan buah-buahan, serta kertas kuning kecil memanjang.
Yang merantau pun selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung (mudik) pada
hari besar ini agar dapat turut serta melakukan ritual ini. Jadi, ritual ini berfungsi sebagai
pengikat hubungan kekeluargaan.
Menurut informan bernama Tjen Mi Mi, pada umumnya keluarga etnis Cina
tidak memiliki kitab suci. Kitab suci yang disebut Empat Kitab (Si Shu) dan Lima
Karya Klasik (Ngo King) umumnya hanya dimiliki oleh pendeta dan pengurus
kelenteng. Mereka juga umumnya tidak bisa berbahasa Mandarin dan tidak bisa
membaca huruf Cina, kecuali segelintir orang yang pernah mengenyam pendidikan
di sekolah-sekolah Cina sebelum sekolah-sekolah tersebut ditutup oleh pemerintah
Indonesia seiring dengan putusnya hubungan diplomatik Indonesia dengan negeri
Tiongkok (China) setelah pemberontakan G.30.S PKI tahun 1965.

108 Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 99-114


Informan lain yang bernama A Liem menuturkan pada masa pemerintahan Orde
Baru, budaya Cina banyak mendapat larangan dan pembatasan. Ketika agama Kong
Hu Cu tidak lagi diakui oleh pemerintah Indonesia, sebagian dari mereka (terutama
yang berpendidikan) banyak yang memeluk agama Katholik, Kristen Protestan dan
Pantekosta. Meskipun demikian, di Sungailiat masih banyak etnis Cina yang tetap
mempertahankan agama leluhur mereka, dan biasanya untuk memudahkan urusan
dalam bidang sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan. Mereka mengaku beragama
Budha dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya. Hal ini mereka lakukan agar tidak
menghadapi kesulitan-kesulitan administrasi dalam pengurusan KTP, Akta Nikah,
dan lain-lain.
Menurut penuturan informan tadi, pada masa Orde Baru di beberapa kota di
Indonesia, banyak kelenteng diberi papan nama vihara (rumah peribadatan agama
Buddha), sekadar untuk mempertahankan eksistensinya. Agar kelenteng tetap bisa
melakukan kegiatan, ditempatkan juga patung Buddha dalam kelenteng dan juga
disebut vihara. Sebenarnya kelenteng dan vihara adalah dua bangunan yang berbeda.
Kelenteng adalah rumah pemujaan bagi dewa, dewi atau arwah orang-orang suci,
arwah pahlawan, arwah leluhur bahkan barang-barang yang disucikan seperti pedang,
jangkar, dan lain-lain. Kadang-kadang juga patung dari penguasa hutan, gunung,
laut juga binatang tertentu seperti macan, liong, dan lain-lain. Adapun vihara adalah
tempat ibadah bagi Buddha biasanya terdapat patung Budha dan stupa. Umat Budha
yang beribadah di vihara dipimpin pendeta Buddha laki-laki disebut bosong
(heshang), sedangkan pendeta wanita disebut niku (nigu). Meskipun di beberapa
kota di Indonesia kelenteng ada yang berganti nama menjadi vihara, di Sungailiat,
kelenteng tidak pernah berganti nama menjadi vihara, contohnya kelenteng Kuan Ti
Mio.
Kelenteng (sering juga disebut toa pek kong) Kuan Ti Mio memiliki atap jenis
pelana (saddleback-roof) yang bagian kerpusnya melengkung dengan ujung-ujung
yang lancip. Warna merah mendominasi semua elemen bangunan, sebagian diselingi
warna kuning dan polesan emas. Menurut seorang informan, warna merah yang
melambangkan kegembiraan digunakan untuk tiang. Langit-langit kelenteng dicat
dengan warna emas dan merah. Seperti halnya kelenteng pada umumnya, dalam
Kelenteng ini pejabat keagamaan dibagi menjadi tiga macam: haksu, bunsu, dan
kausing. Kelenteng digunakan untuk sembahyang sehari-hari umat Kong Hu Cu,
tatapi kunjungan yang paling ramai adalah saat hari-hari besar agama. Selain
diperingati di kelenteng, beberapa hari besar juga dirayakan dengan meriah di rumah-
rumah. Adapun hari raya atau hari besar keagamaan umat Kong Hu Cu yang dirayakan
antara lain Hari Raya Imlek atau ‘Kong Ngian atau Xinnian” dirayakan oleh seluruh
masyarakat etnis Cina tanpa membedakan agama dan kepercayaan. Imlek jatuh
pada tanggal 1 bulan 1 tahun imlek (Cia gwee Che It), bertepatan dengan pergantian
tahun Imlek yang berdasarkan perhitungan lunar (peredaran bulan), dikombinasikan

Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 109
dengan perhitungan berdasarkan peredaran matahari dan pergantian musim dingin
ke musim semi di negeri Cina atau Tiongkok. Penanggalan Imlek ini banyak digunakan
oleh petani atau nelayan. Menjelang hari raya imlek, biasanya turun hujan, banyak
buah, juga banyak hasil laut, seperti ikan dan lain-lain. Imlek di negeri Cina mempunyai
arti memasuki musim semi di belahan bumi bagian utara, maka disebut pesta musim
semi. Makna musim semi adalah meninggalkan musim dingin, gelap, dengan pohon-
pohon yang gundul, memasuki musim yang hangat, terang dengan pohon yang bersemi.
Di Indonesia khususnya di pulau Bangka berarti memasuki musim tanam.
Seorang informan bernama A Lian menuturkan pada hari raya Imlek rumah
tidak boleh disapu sehari penuh agar rezeki tidak terbuang. Anak-anak atau mereka
yang belum menikah mendapat “angpau” atau uang yang masih baru dibungkus
dengan kertas merah. Merah adalah warna yang melambangkan kebahagiaan. Yang
belum menikah tidak boleh memberikan angpau walaupun dia sudah mempunyai
penghasilan sendiri. Pada hari raya Imlek juga sering disediakan kue keranjang yang
bermakna agar keluarga tidak kekurangan apapun. Kebiasaan lain adalah memainkan
mercon. Mercon dimainkan oleh anak-anak yang menunjukkan kegembiraan mereka
menyambut datangnya Imlek, tetapi sejak penggunaan mercon dibatasi oleh
pemerintah, penggunaannya tidak seramai dulu lagi. Pada hari ini sanak keluarga
dan teman saling mengunjungi dan bersalam-salaman. Mereka menggunakan pakaian
baru. Perayaan dan tradisi kunjung mengunjung dalam perayaan Imlek ini berlangsung
sampai tanggal 15, dan pada malam 15 diadakan perayaan cap go meh. Pada
perayaan cap go meh ada keluarga yang memasang lampion warna warni di
rumahnya. Akan tetapi, tradisi perayaan cap go meh di Sungailiat tidak meriah,
hanya berlangsung di keluarga inti.
Perayaan hari besar keagamaan lainnya yang dirayakan etnis Cina di Sungailiat
adalah perayaan “Pehcun” yang dilakukan tiap tahun dengan rekreasi di pantai.
Pada perayaan Pehcun mereka membawa makanan sejenis lepat yang terbuat dari
ketan dibungkus dengan daun pandan hutan yang wangi baunya. Lepat ini biasa
disebut “kue cung”, berisi daging babi atau abon ikan (sambelingkung), atau tumisan
udang kering (ebi). Pada hari ini etnis Melayu dan etnis lainnya juga ikut meramaikan.
Pehcun jatuh pada bulan 5 tanggal 5 Imlek. Menurut seorang informan bernama A
Kiun, Pehcun berasal dari legenda, konon dahulu kala di negeri Tiongkok ada seorang
patriot dan pujangga bernama Kut Guan (Qu Yuan), ia sangat berduka menyaksikan
negaranya dihancurleburkan oleh musuh. Kut Guan bunuh diri dengan menceburkan
diri ke dalam sungai, mati dan hanyut terbawa air. Rakyat dan para pengikutnya
mencari jenazahnya dengan mendayung perahu sambil melemparkan makanan yang
dibungkus daun ke dalam sungai agar ikan-ikan tidak memakan jasadnya. Kejadian
itu terus diperingati sampai sekarang dan mempunyai makna cinta tanah air,
menghormati para pahlawan dan meneladani, serta melanjutkan perjuangannya. Akan
tetapi, generasi etnis Cina masa kini sebagian besar tidak lagi mengetahui sejarah

110 Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 99-114


dirayakannya Pehcun. Bagi mereka perayaan Pehcun adalah wisata yang
menyenangkan, pergi ke pantai untuk bersenang-senang atau “having fun” menurut
istilah anak muda jaman sekarang.
Ada lagi perayaan Chong Yen Cie ( Zhong Yuan Jie) atau hari raya ‘Rebut”
dalam bahasa lokal. Hari raya ini jatuh pada bulan ke 7 tanggal 15 Imlek. Menurut
kepercayaan orang Cina tradisional, mulai hari itu roh atau arwah terlantar diberi
kebebasan satu bulan penuh. Mereka patut menyelenggarakan upacara sembahyang
untuk menyajikan sajian bagi arwah terlantar. Sembahyang ini disebut sembahyang
Cioko atau sembahyang rebutan, maksudnya setelah selesai sembahyang apa yang
disajikan bisa direbut atau dibagikan secara tertib bagi yang miskin atau
membutuhkan. Perayaan “Rebut” ini tidak banyak dilakukan oleh orang Cina di
Sungailiat, hanya desa-desa tertentu yang merayakannya.

Orientasi Kebangsaan
Pada tahun 1960-an sampai tahun 1980-an sewaktu masih menetap di Sungailiat,
penulis menemukan bahwa sebagian etnis Cina menggunakan sebutan fan ngin (orang
tidak beradab) terhadap orang Melayu dan sebutan Thong ngin (orang beradab)
untuk orang Cina. Walaupun istilah ini kedengaran mengesankan superioritas etnis
Cina, tetapi seorang informan mengatakan sebutan itu hanya menjadi kebiasaan
orang-orang Cina zaman dahulu yang baru datang dari negeri Cina. Generasi sesu-
dahnya kemudian meniru tanpa bermaksud buruk, bukan merupakan stigma terhadap
etnis Melayu. Anehnya masyarakat lokal (etnis Melayu) tidak peduli dengan istilah
ini dan sama sekali tidak merasa terganggu. Ketika penulis melakukan penelitian ini,
istilah tersebut jarang terdengar dalam pergaulan sehari-hari masyarakat di Pulau
Bangka.
Menurut seorang informan yang bernama Tjhin Li Wen, jika etnis Cina Sungailiat
berada di luar negeri, mereka mempersatukan dirinya dengan tempat kelahiran mereka
di Indonesia, tidak dengan propinsi di Cina Selatan tempat asal nenek moyang mereka.
Mereka mengidentifikasikan diri dengan negeri tempat mereka lahir dan tetap sadar
sebagai orang Cina Indonesia. Mereka memiliki “identitas nasional” sebagai orang
Cina Indonesia, “identitas komunal” sebagai orang Cina Sungailiat, dan “identitas
budaya” sebagai orang Hakka (Khe), Kongfu, Kanton, Hokkian dan Teociu.
Cushman dan Gung Wu (1991) pernah meneliti masalah identitas ganda yang dimiliki
etnis Cina yang melibatkan banyak variabel dan cukup membingungkan dan mereka
menyimpulkan bahwa masalah ini sebaiknya didekati melalui gagasan tentang norma
(yakni standar ideal yang mereka anggap sebagai pengikat diri mereka sebagai orang
Cina dan standar lain yang harus mereka terima dalam lingkungan mereka yang
bukan Cina dan melalui usaha memahami cara orang Cina menanggapi dan membela
norma-norma tersebut).

Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 111
Hal menarik lainnya adalah masalah nama panggilan sehari-hari. Walaupun nama-
nama Indonesia digunakan untuk menggantikan nama-nama dari bahasa Cina, nama-
nama Indonesia hanya digunakan di sekolah dan untuk keperluan membuat surat-
surat penting. Dalam kehidupan sehari-hari nama-nama Cina tetap digunakan. Hal
ini tidak ada hubungannya dengan orientasi kebangsaan mereka. Pada umumnya
mereka merasa agak canggung jika harus memanggil dengan nama Indonesia, terkesan
“elitis” atau sok elit di mata sesamanya. Walaupun demikian, jika mereka merantau
ke pulau Jawa (Jakarta) dan melahirkan anak di sana, maka banyak di antara etnis
Cina yang berasal dari Sungailiat menggunakan nama-nama Indonesia untuk panggilan
sehari-hari bagi anak-anaknya. Mereka menganggap hal itu biasa. Justru yang tidak
biasa jika mereka tetap memanggil dengan nama-nama Cina karena sulit untuk
diucapkan oleh penduduk Jakarta pada umumnya.

Merantau
Etnis Cina di Sungailiat mempunyai kebiasaan merantau ke daerah lain setelah
mereka dewasa. Setelah menamatkan pendidikan setingkat SLTP ataupun SMU,
banyak yang merantau ke luar Pulau Bangka. Ada yang merantau untuk meneruskan
pendidikannya, ada pula yang merantau dengan tujuan ingin mencari pekerjaan atau
meningkatkan taraf hidup mereka. Etnis Cina yang merantau ke Jakarta sebagian
meneruskan pendidikan mereka, banyak juga yang sampai perguruan tinggi. Setelah
tamat, mereka banyak yang bekerja sebagai pegawai kantor-kantor swasta,
pengusaha, dan pedagang. Yang tidak melanjutkan pendidikan, sebagian besar
bekerja sebagai buruh atau pegawai di perusahaan-perusahaan atau pelayan toko
milik etnis Cina. Yang sudah merantau jarang sekali mereka pulang untuk menetap
kembali di Sungailiat.
Seorang informan bernama Tjhie Lan Kiun mengatakan etnis Cina peranakan
dari Sungailiat, walaupun sudah merantau meninggalkan pulau Bangka, dalam urusan
jodoh mereka lebih senang memilih etnis Cina yang sama-sama berasal dari Pulau
Bangka umumnya, dan Sungailiat khususnya. Tidak banyak yang menikah dengan
etnis Cina dari daerah lain. Yang menetap di Jakarta, tempat tinggal mereka tersebar
di seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya.Yang paling banyak terkonsentrasi di wilayah
Jakarta Pusat seperti di Pademangan, Rajawali, di Jakarta Barat terutama di daerah
sekitar Roxy, Bukit Duri, dan Jelambar. Hingga permulaan tahun 1980-an, sebagian
besar etnis Cina Bangka lebih senang merantau ke pulau Jawa khususnya Jakarta
dibandingkan dengan ke pulau Sumatera (walaupun pada saat itu Pulau Bangka
masih merupakan wilayah propinsi Sumatera Selatan, dengan ibukota propinsinya
adalah Palembang). Alasannya karena biaya dan jarak tempuhnya untuk pergi ke
Jakarta dan Palembang hampir sama (pada waktu itu transportasi satu-satunya adalah
lewat udara, kalaupun bepergian lewat laut maka mereka terpaksa harus menumpang
kapal-kapal barang atau kapal-kapal kecil yang sesak dan hal ini tentu saja tidak

112 Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 99-114


nyaman). Sebagian kecil yang merantau ke Sumatera, kota tujuan yang paling
disenangi adalah Tanjung Pinang (Pulau Bintan) dan Batam. Hal ini bisa dimengerti
karena pada waktu itu banyak barang yang keluar masuk ke Singapura melalui
Tanjung Pinang dan Batam, juga karena sebagian etnis Cina ini menjadi pedagang
perantara dari barang-barang yang masuk ke Tanjung Pinang baik legal maupun
ilegal yang diperoleh dari penyelundupan. Pertengahan tahun 1980-an, setelah
pelayaran kapal-kapal PELNI mulai memasuki pelabuhan Mentok dan kapal-kapal
pelayaran swasta mulai banyak yang melayani jurusan Pangkalpinang-Palembang,
orang-orang Cina ini mulai banyak yang ke Palembang dan Lampung dan dari sana
sebagian besar meneruskan perjalanan ke Riau terutama ke Pulau Batam.

SIMPULAN
Etnis Cina yang tinggal di Sungailiat sejak dulu berperan hampir di semua sektor
kehidupan, baik di desa maupun di kota. Kehidupan sosial budaya mereka dilandasi
nilai-nilai budaya Cina bercampur dengan nilai-nilai budaya masyarakat asli (Melayu).
Dalam pergaulan antaretnis, tampaknya tidak ada keinginan mereka untuk
menekankan harga diri suatu kelompok, dan loyalitas setiap orang Cina dengan
etnisnya sama sekali tidak mengganggu hubungan mereka dengan etnis lain.
Mayoritas etnis Cina di Sungailiat, bahasanya termasuk golongan bahasa Khe’
(Hakka). Selain bahasa Khe’ yang merupakan mayoritas, di Sungailiat ada juga
bahasa Hokkian, Kongfu, Kanton, dan Teociu. Dalam pergaulan sesama etnis
mereka menggunakan “bahasa keakraban”, yaitu bahasa Cina dengan banyak kata
pinjaman dari bahasa Melayu Bangka. Dalam berkomunikasi dengan etnis Melayu,
etnis Cina menggunakan “bahasa solidaritas” yaitu bahasa Melayu Bangka (walaupun
kadang-kadang bercampur dengan kata-kata dan istilah dari bahasa Khe’).
Penggunaan bahasa seperti ini merupakan salah satu standar ideal hubungan antaretnis
di Sungailiat. Adapun bahasa subetnis Hokkian, Kong Fu dan lain-lain hanya
digunakan dalam lingkungan keluarga masing-masing.
Etnis Cina di Sungailiat mata pencahariannya sangat beragam, mulai dari petani,
pengrajin, nelayan, pedagang, tukang batu, sopir bis, guru sekolah swasta, dan
pengusaha. Walaupun pada masa kini etnis Cina di Sungailiat memeluk agama yang
bermacam-macam, mereka tetap patuh pada ajaran Kong Hu Cu “berbakti kepada
orangtua dan leluhur” yang diajarkan secara turun-temurun. Upacara atau ritual ceng
beng, rebut, kong ngian, dan pehcun selalu diperingati setiap tahun dan dirayakan
dengan meriah.
Etnis Cina di Sungailiat mempunyai kebiasaan merantau. Kota tujuan utama
mereka adalah Jakarta dan sekitarnya. Namun demikian, ada juga yang merantau
ke Palembang, Batam, dan lain-lain. Etnis Cina Sungailiat jika berada di luar negeri,
selalu mengidentifikasikan diri dengan negeri tempat mereka lahir dan tetap sadar

Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina di Pulau Bangka: ... (Rusnaini) 113
sebagai orang Cina Indonesia. Mereka memiliki “identitas nasional” sebagai orang
Cina Indonesia, “identitas komunal” sebagai orang Cina Sungailiat, dan “identitas
budaya” sebagai orang Hakka (Khe), Kongfu, Kanton, Hokkian, dan Teociu.

DAFTAR PUSTAKA

Hendropuspito, DOC. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Isaacs, Harold R. 1993. Pemujaan terhadap kelompok Etnis. Jakarta: Yayasan


Obor Indonesia.

Kaplan, David & Albert L. Manners. Teori Budaya. Terjemahan oleh Landung
Simatupang. 1999. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. 1999. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional.


Jakarta: UI Press.

Kompas. 14 April 2005. Belajar Toleransi dari Warung Kopi, hal. 29.

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Spradley, JP. 1979. The Ethnographic Interview. USA: Holt, Rinehart and Win-
ston.

Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia. Jakarta:
LP3ES.

Wikipedia. Pulau Bangka. (online). (Http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau Bangka,


diakses 4 Januari 2006).

114 Jurnal Penelitian Humaniora, Edisi Khusus, Juni 2006: 99-114

Anda mungkin juga menyukai