Pendahuluan
Mengapa kita melakukan penelitian terhadap naskah kuno nusantara,
karena naskah-naskah tersebut di Indonesia kurang dikenal masyarakat, maka
tidak ada yang peduli terhadap warisan budaya masa lalu itu. Padahal, naskah-
naskah kuno mengandung manfaat dan kearifan yang besar buat generasi
sekarang.
Dalam melihat Penelitian Naskah Melayu: Sebelum dan Sesudah
Kemerdekaan (1985) oleh Sri Wulan Rujiati Mulyadi, terdapat pesan yang tersurat
dan tersirat dalam tulisan ini. Pada pesan tersurat dapat dilihat bahwa penelitian
terhadap naskah melayu telah banyak sekali dilakukan, baik di dalam negeri dan
terutama di luar negeri, meskipun naskah tersebut terbatas jumlahnya.
Menurut beberapa literature, sastra Melayu bermula pada abad ke-16
Masehi. Semenjak itu sampai sekarang gaya bahasanya tidak banyak berubah.
Dokumen pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu klasik adalah sepucuk surat
dari raja Ternate, Sultan Abu Hayat kepada raja João III di Portugal dan
bertarikhkan tahun 1521 Masehi.
Mulyadi (1985) mengatakan bahwa:
1
(Journal of the Malayan [Malaysian] Branch, Royal Asiatic Society)
yang sampai sekarang masih terbit; JSRAS (Journal of the Royal Asiatic
Society); TBG (Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde);
VBG (Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen); VKI (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor
de TaaI, Land en Volkenkunde). Disertasi pertama mengenai naskah
Melayu baru disusun pada akhir abad ke-19, yaitu disertasi Ronkel yang
meneliti Hikayat Amir Hamzah (1895). Jauh sesudah itu baru muncul
disertasi-disertasi lain mengenai Abdul Rauf (Rinkes, 1909), Cerita Panji
(Rasser, 1922), Kitab Seribu Masail (Pijper, 1924), Sejarah Banjarmasin
(Cense, 1927), Hamzah Fansuri (Doorenbos, 1933), Syair Kompeni
Berperang (Rusconi, 1935), Sejarah Kutei (Mees, 1935), Hikayat
Iskandar (Leeuwan, 1937), Hikayat Hasanudin (Edel, 1938), dan
Samsuddin Pasai (Nieuwenhuyze, 1945). Tiga disertasi mengenai bahasa
juga memakai naskah-naskah Melayu sebagai masukan (Emeis, 1945;
Dankmeyer, 1945; dan Roolvink, 1948).
2
Kajian penelitian naskah melayu merupakan kajian filologi yang berasal
dari kata dalam bahasa Yunani “philos” yang berarti “cinta” dan logos” yang
diartikan kata. Pengkajian filologi pun selanjutnya membatasi diri pada penelitian
hasil kebudayaan masyarakat lama yang berupa tulisan dalam naskah. Kegiatan
filologi di Indonesia dimulai oleh sarjana-sarjana Eropa, terutama Belanda. Di
antara para peneliti itu kita kenal misalnya nama-nama Gericke dan Cohen Stuart
untuk bahasa Jawa, Van der Tuuk untuk bahasa Batak dan Bal, Kern dan Juynboll
untuk bahasa Jawa-Kuno, dan Klinkert, Van Ronkel, Van Dewal, dan Van
Hoevell untuk bahasa Melayu.
Selain filologi, kodikologi adalah satu bidang ilmu yang biasanya bekerja
bareng dengan bidang ilmu ini. Kalau filologi mengkhususkan pada pemahaman
isi teks/kandungan teks, kodikologi khusus membahas seluk-beluk dan segala
aspek sejarah naskah. Dari bahan naskah, tempat penulisan, perkiraan penulis
naskah, jenis dan asal kertas, bentuk dan asal cap kertas, jenis tulisan,
gambar/ilustrasi, hiasan/illuminasi, dan lain-lain. Tugas kodikologi selanjutnya
adalah mengetahui sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, meneliti tempat2
naskah sebenarnya, menyusun katalog, nyusun daftar katalog naskah, menyusuri
perdagangan naskah, sampai pada penggunaan naskah-naskah itu.
II. Pembahasan
Pada pesan tersirat dari penelitian naskah Melayu sebelum dan sesudah
kemerdekaan dapat dilihat bahwa bangsa Indonesia selain dijajah dalam hal
kemerdekaan, kita juga dijajah dalam hal kesastraan, dalam hal ini naskah kuno
nusantara. Banyak naskah nusantara yang telah berpindah tangan ke negara lain,
terutama sang penjajah Belanda.
Sejak lama, banyak warisan budaya Indonesia diboyongi ke mancanegara.
Sebagai barang antik, benda-benda itu menjadi benda dekorasi sekaligus investasi
yang menggiurkan. Berkoleksi barang antik di mata segelintir masyarakat,
memang melambangkan status sosial atau gengsi. Barangkali orang tak
membayangkan kalau banyak naskah kuno asal Indonesia juga telah bermukim di
mancanegara sejak ratusan tahun yang lalu. Untuk apa benda-benda itu dikoleksi?
Berapakah harga jualnya sekarang atau layakkah dipajang sebagai penghias
ruangan? Sulit untuk mengetahui apakah motivasi mereka mengoleksi naskah
kuno milik bangsa lain. Apakah sekadar ingin tahu, ingin mengorek informasi
sejarah, ataukah melestarikan benda itu.
Namun, yang mesti kita ketahui, meskipun naskah-naskah tersebut bukan
milik bangsanya, mereka sangat peduli sekali terhadap kekayaan milik bangsa
lain. Terbukti, di Inggris naskah-naskah kita terinventarisasi secara teliti dalam
sebuah katalogus susunan M.C. Ricklefs dan P. Voorhoeve. Naskah-naskah itu
teridentifikasi ditulis dalam berbagai bahasa daerah, seperti Aceh, Bali, Batak,
Bugis, Jawa (kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Makasar, Melayu,
Minangkabau, Nias, Rejang, Sangir, Sasak, Sunda (kuno), dan Sulawesi (di luar
Bugis dan Makasar). Seluruh naskah yang ada di sana berjumlah lebih dari 1.200.
Semuanya tersimpan rapi pada 20-an perpustakaan dan museum di beberapa kota
di Inggris. Koleksi terbanyak berada di British Library dan School of Oriental and
3
African Studies. Di kedua tempat itulah para arkeolog, sejarawan, dan filolog dari
seluruh dunia, termasuk dari Indonesia, sering melakukan riset kepustakaan.
Surat-surat demikian menjadi koleksi unggulan sampai sekarang. Misalnya
surat dari Sultan Pontianak kepada Raffles yang dikirim dalam sampul terbuat dari
kain sutra berwarna-warni. Begitu pula surat dari Raja Bali kepada seorang
Gubernur Belanda di Semarang. Surat itu ditulis di atas lempengan emas. Dari
segi fisik, koleksi-koleksi itu begitu menarik dan unik. Dari segi isi, juga sarat
informasi kesejarahan.
Kemudian kita beralih kepada sang penjajah, Belanda. Sebagai negara
penjajah, sudah barang tentu koleksi naskah Indonesia lebih banyak berada di
Belanda. Naskah-naskah tersebut juga disimpan pada sejumlah perpustakaan dan
museum, antara lain di Amsterdam, Leiden, Delft, dan Rotterdam.
Yang amat terkenal adalah naskah Nagarakretagama. Naskah itu telah
dikembalikan ke Indonesia pada 1970-an oleh Ratu Yuliana kepada Presiden
Suharto. Namun yang patut disayangkan, isi naskah tersebut telah dikupas habis
sarjana-sarjana Belanda.
4
Beerdasarkan sejarah, teks ini semula dikira hanya terwariskan dalam
sebuah naskah tunggal yang diselamatkan oleh J.L.A. Brandes, seorang ahli Sastra
Jawa Belanda, yang ikut menyerbu istana Raja Lombok pada tahun 1894. Ketika
penyerbuan ini dilaksanakan, para tentara KNIL membakar istana dan Brandes
menyelamatkan isi perpustakaan raja yang berisikan ratusan naskah lontar. Salah
satunya adalah lontar Nagarakretagama ini. Semua naskah dari Lombok ini
dikenal dengan nama lontar-lontar Koleksi Lombok yang sangat termasyhur.
Koleksi Lombok disimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Naskah Nagarakretagama disimpan di Leiden dan diberi nomor kode L Or
5.023. Lalu dengan kunjungan Ratu Juliana, Belanda ke Indonesia pada tahun
1973, naskah ini diserahkan kepada Republik Indonesia. Konon naskah ini
langsung disimpan oleh Ibu Tien Soeharto di rumahnya, namun ini tidak benar.
Naskah disimpan di Perpustakaan Nasional RI dan diberi kode NB 9. Kakawin
Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui sebagai bagian dalam Daftar Ingatan
Dunia (Memory of the World Programme) oleh UNESCO.
Diperkirakan hingga kini naskah Indonesia masih banyak bermukim di 30-
an negara. Bagaimana naskah-naskah tersebut bisa berada di sana? Sebagian besar
dibawa pada masa penjajahan, antara lain sebagai barang sitaan, cendera mata dari
pejabat lokal kepada pejabat asing, pembelian, perburuan, dan tukar-menukar.
Sebagian lagi, selepas masa kemerdekaan, diperoleh dengan cara hibah, titipan,
pinjaman, dan transaksi lewat balai lelang.
Kemudian, lenyapnya naskah-naskah Melayu dari abad-abad yang lalu
pasti disebabkan banyak faktor. Pernah diberitakan misalnya bahwa pada awal
abad ke-16, setelah direbutnya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, sebuah
kapal dagang Portugis berlayar ke Lisabon dan tenggelam di perairan Selat
Malaka yang dalam. Ikut tenggelam bersama kapal itu adalah ratusan naskah
Melayu yang dikoleksi orang Portugis dari Malaka dan Pasa (Siti Hawa Haji
Salleh 1997). Bagi kolonialis Eropa seperti Portugis, naskah-naskah Islam itu
5
sangat penting untuk dikaji dan dijauhkan dari masyarakat Melayu sehingga
mereka kehilangan sumber sejarah dan ingatan masa lalunya yang melekat pada
Islam juga terlupakan.
Berikut ini adalah beberapa contoh naskah Melayu yang berada pada awal
sastra Indonesia, yaitu Pujangga Lama. Pujangga lama merupakan bentuk
pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20.
Pada masa ini karya sastra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat.
Banyak karya sastra Pujangga Lama yang terkenal seperti berikut:
6
2. Hikayat Hang Tuah
Hikayat Hang Tuah adalah sebuah karya sastra Melayu yang termasyhur
dan mengisahkan Hang Tuah. Dalam zaman kemakmuran Kesultanan Malaka,
adalah Hang Tuah, seorang laksamana yang amat termasyhur. Ia berasal dari
7
kalangan rendah, dan dilahirkan dalam sebuah gubug reyot. Tetapi karena
keberaniannya, ia amat dikasihi dan akhirnya pangkatnya semakin naik. Maka
jadilah ia seorang duta dan mewakili negeranya dalam segala hal.
Hang Tuah memiliki beberapa sahabat karib: Hang Jebat, Hang Kesturi,
Hang Lekir dan Hang Lekiu. Hikayat ini bercerita pada kesetiaan Hang Tuah pada
Sri Sultan. Hikayat ini telah dijadikan film dengan judul Alexander (2004)
8
Dua adegan dari manuskrip daun lontar Bali Ramayana, ditulis dan diilustrasikan
oleh Ida Bagus Adnyana dari Geriya Gunung Sari, Pliatan, Bali (1975).
(Gambar atas) Sita melihat rusa emas dan mendesak Rama untuk menangkapnya.
(Gambar bawah) Rahwana dengan dalih seorang pertapa tua memikat Sita dari
keselamatan lingkaran sihirnya. Perpustakaan Inggris.
Hikayat Seri Rama merupakan salah satu cerita adaptasi dalam bahasa
Melayu dari epik Ramayana yang tersebar luas mulai dari India sampai ke seluruh
Asia Tenggara. Garis besar cerita masih sama dengan cerita aslinya yang
merupakan karya sastra berbahasa Sanskerta, tetapi ada perubahan dalam
penyebutan nama dan tempat menyesuaikan dengan lidah Melayu. Ramayana
versi Melayu telah dikembangkan oleh para sastrawan Melayu, sehingga
mempunyai perbedaan dengan versi aslinya, contohnya Hikayat Seri Rama yang
aslinya ditulis dalam huruf Jawi gundul, banyak menunjukkan variasi ejaan nama
karena juru salin tidak mengenali nama-nama tokoh ini secara benar lagi.
Beberapa contoh: Rawana (Duwana), (si) Hanuman (Syah Numan), Berahma
(Brahma), Indera (Indra), Suria (Surya), Seri Rama (Sri Rama), Siti Dewi (Sita
Devi), Barata (Bharata), Laksmana (Lakshman), Satrugna (Shatrughna), dan
Rawana (Rahwana) raksasa berlengan 20 dan ber-wajah 20 Raja dari Langkapuri.
Hikayat ini telah dijadikan Serial Televisi di TVRI pada tahun 1991.
9
III. Kesimpulan
Penelitian naskah Melayu sampai sekarang belum dapat dikatakan banyak.
Naskah kuno nusantara terpencar-pencar sehingga usaha untuk menemukannya
mengalami kesulitan. Usaha pengkajian sangat diperlukan.
Begitupun halnya dengan naskah-naskah kuno di Indonesia kurang dikenal
masyarakat, maka tidak ada yang peduli terhadap warisan budaya masa lalu itu.
Padahal, naskah-naskah kuno mengandung manfaat dan kearifan yang besar buat
generasi sekarang. Tergambar bahwa naskah memiliki beragam jenis bahasa, isi,
dan bentuk. Betapapun perlu upaya untuk memahami naskah-naskah kuno itu agar
segala informasi tentang masa lampau sampai kepada generasi masa kini dan
masa mendatang.
Referensi
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1985. Penelitian Naskah Melayu: Sebelum dan
Sesudah Kemerdekaan dalam Prosiding Masyarakat Melayu dan Budaya
Melayu dalam Perubahan (editor Heddy Shri Ahmisa-Putra). Riau: Balai
Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.
10
PRESENTASI
Oleh:
Andy Amiruddin
1720732003
Universitas Andalas
2018
11