Dosen:
Ir. Dwi Rosnarti, MT
Di susun oleh:
Lulu Dhiyathalla (052001700079)
Jayakarta (1527–1619)
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-
16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di
Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri
dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut
diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah, di mana Surawisesa
diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut
terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut.
Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, wali kota Jakarta, pada tahun 1956 adalah
berdasarkan pendudukan Pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti
nama kota tersebut menjadi Jayakarta (aksara Dewanagari: ) yang berarti "kota kemenangan",
Jayakarta berasal dari dua kata Sansekerta yaitu Jaya ( ) yang berarti "kemenangan" dan Karta ( )
yang berarti "dicapai". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan
pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan
di Kesultanan Banten.
Batavia (1619–1942)
Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596.
Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan
Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan
pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi
Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. (Lihat Batavia). Untuk pembangunan
kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal
dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka
inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi. Waktu itu luas
Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum
kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti
masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolinialisme
Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas
komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung
Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.
Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang
Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan
perlawanan terhadap Belanda.[16] Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia
berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja
atau gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota
taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di
utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah
wilayah Jakarta Raya.
Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan
sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom
provinsi. Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan
dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara)
1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Batavia menjadi salah satu
keresidenan dalam Provincie West Java disamping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.
Djakarta (1942–1945)
Pendudukan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia
menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat
dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki
Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Jakarta (1945-sekarang)
Sejak kemerdekaan sampai sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa
Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah wali
kota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi
gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI
waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Djakarta diubah dari
Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan
tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya
berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung permukiman kelas menengah baru kemudian berkembang,
seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan. Pusat-pusat permukiman
juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum
Perumnas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara
lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan
Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan
Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat permukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak
pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di
wilayah Jakarta Selatan.
Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal
1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa
berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta
masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk,
seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.
Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang memakan korban banyak
etnis Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki oleh para mahasiswa yang menginginkan reformasi. Buntut
kerusuhan ini adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan.
1. Suatu kota bisa dikatakan kota Megapolitan dengan jumlah penduduknya lebih dari 10 jt jiwa,
jadi dari data di atas dapat diketahui bahwa Kota Jakarta Merupakan kota Megapolitan dengan
jumlah penduduk 10.075.310 jiwa.
2. Berdasarkan Status Kewenangan Kota Jakarta merupakan Kawasan Perkotaan Yang bestatus
administratif daerah Kota.
3. Berdasarkan Lokasi Kota Jakarta merupakan kota yang berada di pinggir laut dengan memiliki
panjang pantai dari barat ke timur sepanjang kurang lebih 35 km.
4. Menurut Louis Mumford Kota (polis) membesar dan membentuk suatu sistim perkotaan, yang
terpusat dan membesar, semakin tidak efisien. (Metropolis) adalah kota yang tumbuh sebagai
pusat utama dalam suatu wilayah. berdasarkan teori louis mumford Kota Jakarta termasuk kota
Metropolis.
5. Berdasarkan Fungsi Kota Secara Hirarkis (Berdasarkan RTRWN) Kota Jakarta Merupakan
Pusat Kegiatan Nasional (PKN) ; yaitu Kota yang mempunyai potensi sbg pintu gerbang ke
kawasan internasional, melayani beberapa propinsi dan nasional.
Morfologi Kota Jakarta
Berawal dari Cunda Calapa, Jayakarta, Batavia, terakhir sebutannya menjadi Jakarta. Sebagai Ibukota
Negara , Jakarta pantas disebut sebagai kota Megapolitan dan Bandar Empat Zaman. Jakarta
memang sebuah kota yang megah, sebagai kota jasa (Service City) ia menjadi tumpuan harapan lebih
dari 12,5 juta penduduk yang menurut survey 70 persen warganya adalah pendatang. Perkembangan
morfologi Kota Jakarta menurut pendapat saya dapat dibagi menjadi 4 tahapan.
1. Tahap pertama dimulai pada masa pemerintahan Jayawikarta pada tahun 1618 dengan
membangun tepian sungai Ciliwung sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian. Pangeran
Jayawikarta, pengikut dari Sultan Banten, yang bertakhta di tepian barat sungai Ciliwung, yang
pada awal abad ke 17 mengalir sampai ke Pasar Ikan. Ia mendirikan sebuah post militer untuk
mengawasi muara sungai dan orang orang Belanda, yang dia izinkan untuk membangun
gudang dari kayu ditahun 1610, serta perumahan diseberangnya tepian timur. Kapal kapal
Belanda telah merapat didermaga Jayakarta ditahun 1596. Untuk mengimbangi kekuatan
Belanda, pangeran Jayawikarta mengizinkan Inggris membangun komplex ditepian barat
sungai Ciliwung, diseberang gudang gudang Belanda. Pada 1615 sang pangeran memberikan
izin pada orang orang Inggris untuk mendirikan benteng didekat kantor pabean. Perlindungan
Inggris ini penting sekali, sebab istana pangeran berada dalam jarak trembak meriam meriam
Belanda.
2. Tahap Kedua dimulai pada tahun 1619 ketika datangnya bangsa Belanda yang diperbolehkan
membangun Benteng pertahanan dan membuat pemukiman untuk warga Belanda. Dijuluki
sebagai “Queen of The East” Batavia (sebutan ketika itu) sudah mulai tampak sebagai bakal
bandar besar pusat pemerintahan dan perekonomian. Karenanya untuk memperkuat posisi
pemerintahan kolonial dan memperlancar pertumbuhan ekonomi, pemerintah kolonial
membangun infrastruktur kota Batavia dengan perencanaan sedemikian rupa. Diataranya
pelabuhan, pusat pemerintahan, pemukiman, benteng pertahanan militer, pusat hiburan,
pusat perbelanjaan dan sarana transportasi berupa kanal-kanal. Herman Willem Daendels
adalah seorang politikus Belanda yang merupakan Gubernur Jendral Hindia Belanda yang ke
36. Ia memerintah di Batavia antara tahun 1808 – 1811.
3. Tahap ketiga, ketika presiden pertama RI Ir.Sukarno menunjuk Ali Sadikin sebagai
Gubernur Jakarta untuk membangun Jakarta menjadi setara dengan kota-kota besar di
dunia. Warga kota pada awal tahun 1970 berjumlah sekitar empat juta orang. Ali Sadikin
bertekat untuk merubah dan membangun kota Jakarta menjadi kota metropolitan tidak kalah
dengan ibukota negar-negara tetangga di Asia. Ali Sadikin adalah gubernur yang sangat
berjasa dalam mengembangkan Jakarta menjadi sebuah kota metropolitan yang modern. Di
bawah kepemimpinannya Jakarta mengalami banyak perubahan karena proyek-proyek
pembangunan buah pikiran Bang AliSejak tahun 1970-an seperti Taman Ismail Marzuki,
Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas,
Taman Ria Remaja,Kota satelit Pluit, dan pelestarian budaya Betawi di Condet dan masih
banyak lagi termasuk proyek MHT. Melalui dekade itu, Kota Jakarta berkembang pesat hingga
awal tahun 2000-an.
4. Tahap Keempat, ketika Gubernur Sutiyoso dengan tangan besinya menertibkan dan
membangun kembali Jakarta yang modern & dinamis. Periode pertama dia menjabat terjadi
kerusuhan, sehingga pertumbuhan ekonomi Jakarta kala itu minus Rp17,4 persen. lalu dia
membenahi secara berangsur-angsur sehingga tahun 2002 APBD DKI Jakarta menjadi Rp9,4
triliun. Kemudian Bang Yos dipercaya menjadi gubernur periode berikutnya, dan dia
menyusun dedicated program dan program peningkatan kesehjateraan, termasuk gaji guru,
kesehatan, dan pendidikan. Kemudian pada periode kedua APBD DKI Jakarta sudah mencapai
Rp21,9 triliun. Karya monumental Sutiyoso diantaranya pembangunan Bus Way yang telah
membawa perubahan cara pandang warga Jakarta terhadap public transport , pembangunan
kembali banjir kanal, peremajaan kawasan Monas dan Senayan, merubah total kawasan kumuh
Kramat Tunggak menjadi Islamic Center and megah, pembangunan taman-taman – kota satelit
dan banyak lagi.
Dalam hampir empat dekade, luas wilayah kota bertambah dari sekitar 300 km2 menjadi sekitar 700
km2. Sementara itu, kepadatan penduduk turut meningkat. Catatan statistik menunjukkan, kepadatan
penduduk Jakarta tahun 1995 ini pada kisaran di atas 12.000 orang/km2, sedangkan kepadatan
penduduk di tahun 2002 diperkirakan melebihi 15.000 orang/km2.
Kini Jakarta memerlukan Tahapan Kelima untuk membangun kembali infrastruktur modern seperti
pelabuhan laut dan udara, banjir kanal, mass rapid transportation system, penataan ulang kawasan
industri dan pemukiman, pembangunan lebih banyak taman sebagai paru-paru kota, penataan ulang
penempatan pusat perbelanjaan dan pemberdayaan pasar-pasar tradisionil, peningkatan sarana-
prasarana pendidikan & rumah sakit, pembangunan rumah susun murah, sarana ibadah dan
rekreasi, dlsb.Yang tidak kalah penting adalah membangun kultur dan kebiasaan positif warga Jakarta
mulai dari disiplin dalam berkendaraan dan di jalan raya, cinta pada kebersihan dan kerapihan ,
mengelola sampah dengan benar dan melestraikan lingkungan supaya lebih hijau dan bersih.
Permasalahan Pada Kota Jakarta
Sebagai ibukota negara, Jakarta, memang menjadi tujuan utama para urban dari seluruh Indonesia. Jakarta
memiliki sejuta harapan bagi para pendatang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kota yang
padat penduduk memang memiliki banyak masalah, karena sulit mengatur dan mengontrol begitu banyak
orang yang tentu saja masing-masing memiliki cara hidup yang berbeda.
Sebagai kota metropolitan terbesar di Asia Tenggara, Jakarta dan penduduknya harus segera berbenah diri
agar tidak ketinggalan dari ibukota negara-negara lain. Inilah beberapa masalah yang ada di Jakarta yang
perlu segera dibenahi:
1. Tidak Aman.
Terbatasnya lapangan pekerjaan dan minimnya ide usaha membuat tingkat kriminalitas makin
bertambah. Jangankan untuk naik bus, naik taksi pun sekarang selalu was-was. Penumpang bus
juga sering terganggu dengan adanya preman-preman yang meminta uang dengan cara menakut-
nakuti. Belum lagi pelecehan seksual yang mengintai wanita, mulai dari yang berpakaian
kantoran hingga yang berhijab tidak luput dari sasaran lelaki yang tidak bisa mengontrol napsu.
2. Kemacetan Parah.
Masalah kemacetan tidak pernah berkurang, justru bertambah parah dari tahun ke tahun.
Penyebabnya mulai dari angkutan umum yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terlalu
banyak mobil dan motor pribadi, luas jalan berkurang akibat kendaraan yang parkir di tepi jalan,
lapak pedagang kaki lima, angkot ngetem sembarangan, hingga jalan yang rusak. Apalagi
ditambah dengan rencana pemerintah menjual mobil murah!
9. Merokok sembarangan.
Meski sudah ada aturan merokok bagi penduduk Jakarta, sampai saat ini belum ada yang benar-
benar dilaksanakan. Perokok masih bisa bebas merokok di mana saja mereka mau. Bahkan,
mereka tidak peduli merokok di dekat ibu hamil atau anak-anak. Tempat khusus untuk merokok
di airport juga tidak berfungsi sempurna, misalnya di Terminal 3 Soekarno-Hatta. Para perokok
yang masuk ke dalam bilik merokok kebanyakan tidak menutup pintu dengan sempurna hingga
asap rokok masih bisa keluar sampai ke tempat duduk di ruang tunggu.