1920-an
Oleh
Dian Octaviani 20/463158/SA/20725
Pendahuluan
Priyayi baru adalah satu sub dari pengertian priyayi secara umum yang
sudah dijelaskan oleh peneliti. Priyayi baru disebut juga priyayi terpelajar, elit
intelektual, dan atau elit modem (Van Niel, 1984). Ciri-ciri umum priyayi
baru diantaranya telah mempunyai pengalaman pendidikan pribumi dan atau
pendidikan Belanda. Akan tetapi pendidikan Belanda lah yang biasanya.
membentuk elit cendekiawan yang berpikiran modem karena dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan Barat melalui keterampilan bahasa Belanda yang
diperoleh, sehingga dapat mengakses buku-buku asing dengan lebih leluasa
memperoleh pengetahuan Barat. Faktor keturunan bukan hal yang menjadi.
ketentuan, bisa berasal dari kaum bangsawan (ningrat) dan bisa juga dari
keturunan priyayi rendahan atau rakyat kebanyakan. Jabatan pemerintahan dan.
Keahlian yang diperoleh dari priyayi ini adalah hasil kerja keras sendiri. Para-
priyayi ini biasanya berpikir progresif ke depan dan sangat terbuka dengan
atmosfir modernisasi yang mulai melanda Hindia Belanda pada awal abad.
Ke-XX. Golongan priyayi baru yang memasuki dunia priyayi yaitu termasuk.
golongan yang terdiri dari akademisi Indonesia, sarjana hukum, insinyur
dokter, doktor ilmu hukum, dan ilmu-ilmu lainnya. Mereka terutama berasal dari golongan
pegawai tinggi, golongan satu-satunya yang mampu membiayai. pelajaran yang mahal itu
dari kantong sendiri dan yang sering kali bersedia berusaha sekeras-kerasnya dan
berkorban besar.
Gelar sekolah tinggi sangat didambakan kalangan bangsawan.
Pertama-tama, karena pertimbangan keuangan, pendidikan sekolah tinggi.
membuka pintu untuk memasuki berbagai kedudukan dalam dinas
pemerintahan yang mempunyai gaji lebih baik daripada pamong praja.
Indonesia. Kedua, gelar sekolah tinggi di Indonesia sangat tinggi.
penghargaannya. Kaum akademisi, karena asal dan pendidikannya oleh Barat
diterima masyarakat, khususnya kaum bangsawan, maka pendidikan tinggi
dalam abad ke-XX menjadi maju karena cita-cita feodal yang mulia (Burger,
1983).
Priyayi baru dimasukkan ke salah satu kelas yang diklasifikasikan oleh
para ahli yang membahas priyayi. Robert Van Niel mengkategorikan priyayi
baru tidak ada bedanya dengan priyayi lama. Dia tidak memasukkan unsur
keturunan sebagai syarat menjadi pegawai pemerintahan kolonial Belanda.
Siapa pun yang mendapatkan kedudukan politik, dia termasuk ke dalam.
golongan priyayi (1984). Pendapat ini hampir sama dengan Cliffort Geertz
(1987), bahwa priyayi tidak ditentukan oleh asal keturunan. Akan tetapi, menurut
Soemarsaid Moertono (1985), walaupun asal keturunan tidak.
merupakan syarat utama menjadi priyayi, gelar kebangsawanan akan tetap
terlihat karena dicantumkan di depan nama priyayi tersebut. Mereka yang
bekerja pada pemerintahan disebut priyayi (baik bangsawan maupun bukan).
Awal abad 20 Surakarta yang menjadi salah satu bagian dari Vorstenlanden,1 yang
secara administrasi Surakarta berbatasan dengan daerah Yogyakarta, Kedu, Semarang dan
Madiun. Sejak berdirinya Kerajaaan Surakarta 1745 M, penduduk yang menghuni kota ini
dapat dikatakan homogen, mulai dari Orang Jawa, Belanda, Cina, Arab, dan masyarakat timur
lainnya bertempat tinggal di kota Surakarta. Akhir abad 19 menjadi titik Kulminasi dari
kolonialisme di Surakarta. Setelah berhasil menguasai hampir seluruh Nusantara pada awal
abad ke-18. Pengusaha-pengusaha asing mulai bermunculan hampir di setiap sudut kota. Oleh
karena itu, Rudolf Mrazek mendeskripsikan bahwa hampir seluruh Jawa tidak terkecuali di
Surakarta sejak pembukaan awal jalan Daendels tahun 1808 yang disebut sebagai groote
postweg (jalan raya besar) mengalami proses pembakaran.2 kemodernan mulai disebar disana-
sini, sehingga terkesan bahwa penguasa sebenarnya adalah pemerintahan Belanda bukannya
Keraton Surakarta itu sendiri.3
Kondisi sosial tersebut, sedikit banyak turut memberi imbas kepada kehidupan
masyarakat Surakarta, perilaku hidup masyarakat Surakarta pun mulai berubah dalam
memandang kekuasaan di Jawa. Kemudahan hidup yang mulai dirasakan mengilhami
mempertanyakan ke-Jawa-an mereka. Sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa struktur sosial
yang berkembang masih sangat kaku, namun pertanyaan-pertanyaan untuk menggugat
keberadaan diri mereka dalam dunia ke-jawaan mulai terdengar disana-sini. Gugatan itu
sebenarnya sudah dimulai oleh pujangga Kraton sendiri yang melihat tanda-tanda zaman yang
menunjukkan zaman telah berakhir,4 dengan melihat kekuasaan keraton yang semakin kecil.5
Sistem sosial masyarakat Surakarta pada awal abad XX tidak dapat dilepaskan dari
sejarah perkembangan kota Surakarta ini sendiri. Sebagaimana penulis sebutkan dimuka,
bahwa sejak pemilihan kawasan kerajaan ini pada tahun 1742, daerah Sala telah menjadi
1
Pergolakan politik di kerajaan Mataram menyebabkan terpecahnya kerajaan ini menjadi dua kerajaan 1755.
Namun pemisahan tersebut tidak menyebabkan berhentinya gejolak politik tersebut, bahkan menjadi gejolak
tersebut lebih parah, dengan terpecahnya menjadi empat kerajaan. Hal itu memberikan konsekuensi tersendiri bagi
kerajaan-kerajaan eks kerajaan Mataram tersebut dan pemerintah kolonial yang sedang berkuasa saat itu. Bagi
kerajaan-kerajaan tersebut batas-batas kekuasaan mereka semakin terpecah-pecah, sehingga tidak jarang wilayah
kekuasaan satu kerajaan berada di wilayah kerajaan lain. Kondisi itu memberikan konsekuensi yang tidak
terpikirkan oleh pemerintah kolonial. Kesemrawutan kekuasaan di kerajaan Jawa pun terjadi, sehingga membuat
administrasi pemerintahan kolonial mengalami tumpang tindih. Oleh karena itu agar dapat memudahkan menyusun
administrasi maka pada tahun 1799, daerah-daerah tersebut diberi nama baru dan memiliki aturan-aturan tersendiri
dan khusus dibandingkan daerah-daerah lainnya. Nama itu adalah Vorstenlanden. Kawasan Vorstenlanden terdiri
dari empat wilayah bekas kerajaan Mataram, Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegara, dan Paku Alam. Lihat G.P.
Rouffaer, “Vorstenlanden” dalam Overgedrukt uit de Encyclopedie van Nederlandsch-Indië (Batavia: tp, 1905), 2.
2
Rudolf. Mrázek, 2006, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni,
terj. Hermojo, Jakarta: Yayasan Obor, hal. 67.
3
Bersamaan dengan hal itu, Belanda mulai memperkenalkan dan menyeragamkan mata uang yang berlaku di Hindia
Belanda Penyeragaman ini dimulai pada tahun 1899-1917. Peter Creutzberg dan J.T.M. Van Laanen, 1987, Sejarah
Statistik Ekonomi Indonesia, terj Kustiniyati Mochtar dkk, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 311.
4
Ranggawarsita mengatakan demikian bertepatan dengan pembangunan rel-rel kereta api antara Semarang ke
Vorstenlanden. Mengenai ungkapan-ungkapannya lihat S. Margana, 2004, Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang
Kolonial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.182-188.
5
Muhammad Misbahuddin, 2021, “Priyayi dan Fashion: Perubahan Cara Berpakaian Priyayi Kecil Surakarta 1900-
1921”, Jurnal Studi islam dan Humaniora, Vol. 2(1), hal. 1-5.
permukiman multi etnis mulai dari masyarakat Arab, Tionghoa, Madura, Jawa dan
masyarakat Belanda.6 Sebagaimana layaknya struktur sosial masyarakat tradisional
pembagian struktur tersebut memiliki sifat yang tertutup. Struktur sosial yang tertutup ini
semakin kuat ketika mendapat dukungan dari kekuasaan kolonial yang semakin berhasil
menguasai politik kerajaan Surakarta.
Masyarakat Bumiputera terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan atas yang
terdiri dari para pembesar dan para priyayi dan golongan cilik yang terdiri dari petani, buruh
tani, buruh batik, pedagang, pengrajin dll. 7 Bangsawan adalah kelompok sosial atas yang yang
memiliki hubungan genealogi dengan raja. Mereka adalah patih, sentana, bupati, para
keluarga raja. Mereka itu seluruhnya juga disebut dengan para priyayi. Sebutan yang terkesan
tumpang tindih ini disebabkan karena para priyayi ini merupakan nama sebutan bagi orang
yang memiliki pekerjaan halus. Para priyayi yang menduduki kedudukan tinggi di kerajaan
disebut dengan priyayi gede.8
Bersamaan dengan perkembangan birokrasi kolonial dan agro-industri pada pertengahan
abad XIX, pemerintah kolonial membutuhkan penguatan administrasi, sehingga banyak
jabatan-jabatan dalam pemerintahan kolonial yang mulai diisi oleh priyayi cilik, seperti juru
tulis, penarik pajak, kasir dan lain sebagainya. 9 Sekalipun di sebut priyayi cilik, akan tetapi
tetap saja mereka memiliki pengaruh besar dalam masyarakat awam. Kedudukannya yang
disebabkan pendidikan kolonial menyebabkan mereka menjadi “raja” kecil di tengah
masyarakat.
Tak ayal situasi tersebut menyebabkan pandangan masyarakat awam mulai berubah
dalam memandang pakaian yang sedang mereka kenakan. Berfashion yang awalnya hanya
tidak hanya milik kaum elit dan selalu berkaitan dalam kekuasaan, kini semakin memudar.
Masyarakat awam mulai berani menyamai bahkan melebihi kehebohan model pakaian yang
dikenakan kaum priyayi atas. Sehingga hal ini menarik sebuah pertanyaan apakah lifestyle
para priyayi baru memiliki keterkaitan dengan modernisasi sebagai asumsi diatas atau
memang murni dari keinginan untuk membangun sebuah identitas baru. Tidak hanya dalam
hal berpakaian saja yang menyerupai priyayi atas, priyayi baru juga bergabung dalam sebuah
komunitas layaknya priyayi atas di dalam sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat
banyak orang Belanda dan priyayi atas.
Surakarta pada abad ke-XX berubah menjadi salah satu kota yang mengalami
modemisasi. Surakarta yang semula merupakan kota kerajaan di pedalaman yang diawasi
pemerintah kolonial, mulai berubah wajah dan semangatnya. Perubahan ini disebabkan
berbagai faktor yang mendorong berbagai kemajuan di tanah kerajaan berkaitan dengan
berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, mulai dari status
kerajaan hingga berbagai kebijakan ekonomi dan politik kolonial.
Beberapa ciri modernisasi yang terlihat adalah dibangunnya transportasi modem dan
cepat (kereta api dan trem), gedung-gedung pemerintahan bergaya Barat, industri pabrik,
rumah sakit, lembaga-lembaga keuangan, kantor-kantor swasta, gedung sekolah, dan sarana
6
Radjiman, 1993, Sejarah Surakarta Tinjauan Politik dan Sosial, Surakarta: UNS, hal. 10.
7
Onghokham, 1986, “Korupsi dan Pengawasan dalam Perspektif Sejarah”, Prisma, No.3, hal 3.
8
Sartono Kartodirjo, 1993, Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: UGM Press, hal.1.
9
Suhartono, 1991, Apanage dan bekel: Perubahan Sosial Pedesaan Surakarta 1830-1920, Yogyakarta: Tiara
wacana, hal. 33.
hiburan yang modem. Gedung bioskop, gedung teater, kebun binatang, dan kamar bola
merupakan tempat hiburan yang menjadi ciri kehidupan masyarakat kota yang tersentuh item-
item modernisasi. Listrik tenaga diesel juga telah dibangun pada tahun 1902 oleh perusahaan
Solosche Nederlandsch Maatschappij yang dipasang dekat Stasiun di Purwosari. Listrik
tersebut dinyalakan untuk pertama kalinya pada 19 April 1902.
Akibat modernisasi adalah terjadinya perubahan struktur masyarakat perkotaan menjadi
lebih kompleks yang ditandai dengan munculnya kelas menengah baru yang disebut orang
particulier. Mereka adalah pekerja kantoran pada perusahaan swasta (berlawanan dengan
mereka yang bekerja pada dinas pemerintah), yang bersama priyayi pemerintah membentuk
kelas menengah. Mereka inilah kelas menengah penerima gaji yang dinamis, tetapi secara
mendasar bersifat kota, dan dengan satu persamaan yang sangat umum, yaitu pendidikan gaya
Barat (Shiraishi, 2005).
Tempat hiburan bergaya Eropa di Surakarta bagi kalangan elit yang muncul salah
satunya adalah Societelt Hormone (sekarang menjadi kawasan Hotel Kusuma Sahid dan
Monumen Pers di Jalan Gajah Mada), tempat ekslusif berkumpulnya orang Eropa, para
pengusaha, dan pejabat (priyayi). Perkumpulan seperti itu biasanya diisi dengan kegiatan yang
mencirikan modernisasi. Walaupun begitu kegiatan-kegiatan tersebut tetap ada hubungannya
dengan keraton, seperti pagelaran gamelan, prosesi arak-arakan medali sunan, dan pagelaran
tari Jawa. Para priyayi dan orang Eropa sering menikmati pesta makan- makan, mengobrol,
merokok, minum-minuman beralkohol, main kartu, main biliar, dan berdansa hingga pagi.
Hal-hal tersebut merupakan gaya hidup modem sebagaimana mestinya (Kuntowijoyo, 2004).
Menurut teori historis mengenai modernisasi, acuan yang dipakai ialah masyarakat maja
atau masyarakat Barat. Oleh sebab itu, modernisasi diartikan sebagai westernisasi. Menurut
penglihatan More dalam Tilaar (2002), modemisasi merupakan suatu transformasi total dari
masyarakat pra-modern ke masyarakat modem, yaitu suatu masyarakat yang telah
berkembang teknologinya serta organisasi sosial yang mendukungnya. Sedangkan menurut
Teori Analitik, modemisasi suatu masyarakat dilihat dari berbagai aspek, yaitu aspek
ekonomi, politik, pendidikan, keluarga, stratifikasi dan mobilitas sosial, dan agama. Šwatu.
masyarakat modem di dalam bidang ekonomi antara lain menerapkan teknologi berdasarkan
ilmu pengetahuan.
Surakarta sejak lama telah berhubungan dengan bangsa-bangsa lain. Kehadiran bangsa-
bangsa lain maupun etnis lain dari luar Surakarta menyebabkan pertemuan beberapa
kebudayaan yang berlainan itu semakin erat (Burger, 1983). Kebudayaan asing yang masing-
masing didukung oleh etnik berbeda mempunyai struktur sosial yang berbeda pula, bercampur
dalam wilayah Surakarta. Akibat pertemuan kebudayaan tersebut, kebudayaan Jawa di
Surakarta diperkaya dengan berbagai kebudayaan lain. Lambat laun pengarah tersebut
semakin besar mempengaruhi berbagai bidang dan unsur kebudayaan. Terkait dengan
pertemuan berbagai kebudayaan itu menimbulkan perubahan struktur pada masyarakat Jawa.
Pembahasan
Kehidupan Priyayi Baru Di Surakarta Abad 20
Sejak pertengahan abad ke 19 di wilayah vorstenlanden kehidupan raja-raja, para
bangsawan dan proyayi tingkat atas mengantu haya hidup yang mengutakamakn status
sosialnya. Sikap ini kemudian menyebabkan mereka mengeluarkan uang lebih besar dari
pendapatannya. Sehingga berakibat menumpuknya hutang karena gaya hidup hedon. Di
Surakarta pasca erang Diponegoro, hutan raja dan pembear keraton Surakarta berjumlah f.
1.194.787,17. Bngasawna yang memiliki hutang besar antara lain adalah Pangeran Purbaya,
Mangkunegara III, Pangeran Buminata, Pangeran Hangaei, K.R, Adipati Sasaradiningrat II,
dan R. Ng. Wirakusuma.10 Tidak hanya terjadi di dalam Keraton Surakarta, di kadipaten
Mangkunegara pada mas apemerintahan Mangkunegaran V menjadi masa yang angat sulit
bagi perkembangan perekonomian Mangkunegaran. Kesulitan-kesulitan ini disebabkan
karena buruknya manajemen keuangan oleh Mangkunegaran V, gaya hidup mewah yang
diterapkan oleh Raja, keluarga dan para pejabat Mangkunegara. Pola hidup mewah dan
hedonis Mangkuneagaran V menenyababkan terjadinya pemborosan keuangan.
Selain akrena gaya hidup boros para bangsawan di Vorstenlanden terutama di
seurakarta yang menyebabkan menumpuknya hutan raja, pangeran, dan para pembesar itu
pada beberapa aspek juga karena disebabkan oleh peraturan Gubernur Jenderal Van Der
capellan (1818-1826) mengenai bahwa penyewaan tanah. Peraturan yang dikeluarkan secara
mendadak mengenai larangan penyewaan tanah kepada para pengusaha Eropa dan Cina itu
mengakibatkan timbulnya kebingungan bagi pada para pengusaha asing maupun pada mereka
yang menyewakan tanah. Untuk memenuhi tuntutan pada penyewa mengenai kembalinya
uang muka dan seluruh biasa untuk perbaikan lahan yang disertai dengan perhitungan sangat
mahal, maka pemilik terpaksa juga mencari uang pinjaman uang dengan bunga yang cukup
tinggi.
Pengeluaran Keraton untuk kepentingan pesta dan rekreasi memakan biaya yang cukup
besar. Raja-raja Jawa baik di Surakarta maupun Yogyakarta pada waktu itu terkenal dengan
mewahnya penyelenggaraan pesta-pesta perkawinannya. Di Surakarta Paku Buwono VII dan
IX dikenal dengan penyelenggaraan pesta-pesta perkawinannya yang sangat mewah dan
memakan banyak biasa, seusai dilangsingkan upacara pernikahan pada malah harinya akan
diadakan pesta dengan mengundang para pembesar yang kemudian disertai dengan acara
dansa.11
Gaya hidup kebarat-baratan pada abad 19 terus diikuti hingga munculnya politik etis
yang melahirkan adanya kaum-kaum intelektual yang sering disebut sebagai priyayi baru.
Dengan mereka mengenayam pendidikan mereka juga banyak bergaul dnegan orang-orang
Belanda dan secara tidak langung mengikuti gaya hidupnya. Sehingga yang dsebut priyayi
pada waktu itu tidak hanya keluarga keraton dan para pembesarnya tetapi juga para kaum
terpelajar. Kaum terpelajar inilah yang membawa perubahan pada wajah priyayi, abad 20
priyayi bukan hanya mereka yang berasal dari keluarga kerajaan atau bangsawan. Tetapi juga
10
Darsiti Soeratman, 1989, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta, 1830-1939: Masa Kolonial (1870-1915),
Yogyakarta: Tamansiswa, hal. 105.
11
Op.cit, Darsiti Soeratman, hal. 107.
mereka yng telah mengenayam pendidikan dan berkontribusi dalam pemerintahan disebut
sebagai priyayi. Melalui pendidikan mereka mampu memiliki status sosial baru seperti para
keluarga bangsawan. Sehingga setelah abad 19 lebih tea=ih tepatnya tahun 1900-an, kaum
bangsawan tidak hanya terbatas pada garis keturunan raja saja. Hal ini memberikan
kesempatan bagi kaum terpelajar yang bukan keluarga bangsawan untuk terjun dan ikut andil
dalam pemerintahan bekat pendidikan yang mereka dapatkan.
Dengan pendidikan belanda yang diterima maka muncul golongan-golongan priyayi
baru di Jawa. Sehingga terdapat semecam regenerasi yang ditandi dnegan munculnya generasi
baru priyayi yang hidup di kota kecil yaitu ibukota kabupaten. Mereka terdiri dari orang baru
(homines novi), dimana mereka adalah priyayi yang telah menyelesaikan sekolah menengah
sehingga secara tekis mereka menuduki jabatan semi professional sepert bidang kedokteran,
pertanian, peternakan, pekerjaan umum, perguruan, pengadilan dan berbagai cabang
administrasi. Sebagai keoompok yang menduduki jabatan semi profesional merek
amerupakan sekelompok priyayi yang berkedudukan sebagai aristokrasi lama yang telah turun
temurun menduduki pangkat pangkat dalam pangreh Praja. 12 Adanya mobilitas vertikal ini
menyebabkan gaya hidup mereka juga berubah. Karena bekerja di dalam akntor administrasi
bentukan kolonial, gaya hiudp para priyayi baru ini juga mengikuti gaya hidup orang-orang
belanda.
Sehingga tidka mnegeheranan jika mereka mampu menentukan norma-norma ehidupan
golongan priyayi. Merekalah yang tahu akan tradisi sedrta senantiasa menduduki temat
terhormat, maka snagtalah wajar apabila merka menjadi titik orientasi pola kehiupan para
priyayi lainnya. Perlu diakui bawha banyak juga dari golonga priyayi terpelajar atau proyayi
profesional berasal dari klaagan priyayi angkatan lama an telah mengalami pendidika dalam
peradaban priyayi. Disampin itu ada pula yang berasal dari keluarga yang tinggal di pedesaan,
pemuka tani atau bukan petani. Serikali genealogi mereka dilacak kembali ke tokoh-tokoh
daerah seperti Kyai atau Kyai Ageng. Tidak jarang pula mereka terbukti masih memiliki
ikatan keturunan dnegan bangsawan masa lalu (trahing kusuma, rembesing madu).13
Ada juga jalur yang membuka kesmepatan bagi anak yang lewat sistem magang pada
seorang patron dari ayahnya, menempuh jenjang kerja sebagai pegawai negeri dan akirnya
diterima sebagai priyayi profesional atau priyayi terpelajar. Dengan semkan meluasnya
endidkan, makas mobilitas vertikal dengan sistem magang bagi anak-anao dari keluarga
petani atau wong cili tetap terbuka. Terbuka pula kemungkinan ayang lebih luas untuk
menmabh pelajran di sekolah negeri baik yang memakai bahas apengantar bahasa daerah 14
atau yang berbahasa belanda (HIS). Sehubungan dnegan ini perlu diterangkan bahwa ada
persyaratan yang diskriminatif. Untuk masuk sekolah Belanda penyeleksiannya ditentukan
oleh kedudukan orang tua.15
12
Fachry Ali, 186, Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern, Jakarta: Gramedia, hal. 102.
13
Sartono Kartodirjo, 1987, Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 102.
14
Sekolah Ongko loro, kelas II.
15
Ibid, Sartono Kartodirjo, hal. 103.
Dengan demikian jalur sekolah belanda terbatas untuk golongan berposisi baik, maka
golongan otula ag diberi hak istimewa untuk mempersiapkan anak-anak mereka memasuki
jenjang jabatan golongan mereka. Hal ini tidak jarang dari istilah monopoli pendidikan,
dimana hal tersebut dapat menghambat mobilitas dari bawah menjadi lebih konservatif. Hal
ini selaras dnegan politik pendidikan kolonial yang enggan mengembakan persekolahan dan
sebisa mungkin untuk mneghambat perluasannya. Sehubungan dnegan keterbatasan
kesmepaatan bersekolah serta menduduki lapangan pekerjaan kepegawaian, sistem magang
merupakan prosedur yang pad aumumny ditempuh oleh para pemudam khususnya mereka
yng bersal dati kalangan bukan priyayi. Dengan sistem magang ini maka terbentukah Patron
client relationship sebagai penyalur utama untuk membuat jenjang kerja dalam kepegawaian,
sekaligus masih daam golongan priyayi.
16
Gusti Subadiyo, 1991, Serat Wulareng terj. Tim Penulis, Semarang: Dahara Prize, hal. 98.
17
Sekalipun demikian, berbeda dalam hal merokok, bagi priyayi Surakarta, merokok adalah perbuatan yang
memalukan. Mereka lebih baik bunuh diri daripada mereka ketahuan merokok oleh kawan sejawatnya sekalipun
dalam dunia privat. Karena itu, para priyayi surakarta hanya akan merokok ketika tidak ada orang.
18
Disebutkan pada tahun 1871-an, setelah menyelesaikan bangunan Langenharja, Pakubuwono IX memanggil
Mangkunegara IV untuk menghadap. Ia ingin menunjukkan tempat beristirahatnya kepada Mangkunegara.
Kedudukan yang sama dengan Pakubuwono menyebabkan Mangkunegara IV agak repot untuk memilih pakaian
yang akan dikenakannya ketika menghadap Pakubuwono IX. Hendak mengenakan beskap atau atela tidak sesuai,
karena baju itu hanya pantas dipakai oleh para abdi dalem, sedangkan ia bukanlah abdi dalem. Hendak memakai
Akan tetapi, merosotnya kekuasaan raja-raja Jawa pada abad 18-19 menyebabkan
bergesernya paradigma masyarakat Jawa, khususnya para priyayi. Pandangan-pandangan baru
lahir di kalangan para priyayi, yang tersirat terungkap dalam karya sastra priyayi. Etika satria
digantikan etika priyayi, cita-cita nggayuh utami dalam artian nilai-nilai sosial keraton
digantikan dengan cita-cita mobilitas sosial dalam mencari kedudukan baru. Rupanya hal ini
menyebabkan lahirnya pandangan baru dalam konsepsi berpakaian golongan priyayi. Pakaian
tidak saja simbol jati diri dan status sosial tetapi juga sebuah alat untuk menampilkan rasa
ketidaksukaannya atas aturan aturan yang ada. Sebagaimana yang didengungkan oleh Boedi
Oetomo 1908 kemudian diikuti oleh Sarekat Islam 1912.
Sebagai perkumpulan priyayi, Boedi Oetomo selalu mengusung ide-ide kemodernan.
Berdirinya perkumpulan ini yang bersamaan dengan pemugaran Borobudur merupakan
perlambang bahwa perkumpulan ini menginginkan adanya kekokohan budaya dengan
memperpadukan dua budaya antara budaya Jawa dan budaya Barat, dengan tanpa
mengkhianati warisan bangsa. Karenanya, jiwa kemandirian tersebut tidak saja diungkapkan
dalam beberapa surat kabar, Medan Prijaji, dan Pewarta Priyayi 68 misalnya, tetapi juga
diungkapkan dengan banyaknya anggota Boedi Oetomo yang mengenakan pakaian Eropa.
Pakaian Eropa merupakan lambang dari sikap hidup modern dan rasional, meskipun
terkadang tetap menunjukkan diri dalam ciri-ciri yang konservatif. 19 Tidak jauh beda dengan
Boedi Oetomo, Sarekat Islam, sebagai gerakan politik, perkumpulan ini melakukan
pengucapan identitas juga melalui pakaian, meskipun dalam konteks yang berbeda. Anggota
Sarekat Islam kerap kali melakukan propaganda dengan menganjurkan masyarakat pribumi
untuk berpakaian Eropa. Dalam kajiannya, Krover menyebutkan bahwa mengenakan pakaian
Eropa bagi kalangan Sarekat Islam menjadi sebuah tindakan politis untuk menentang tata cara
penghormatan Eropa dan dominasi kelas penguasa di kalangan masyarakat pribumi. 20 Dengan
demikian, perubahan politik telah menyebabkan berkembangnya persepsi priyayi mengenai
pakaian. Tidak saja sebagai tekanan kepada “dunia” akan status sosialnya, tetapi juga
melambangkan lahirnya sebuah era baru.
Akhir abad ke-19 kebanyakan priyayi Surakarta masih memakai pakaian tradisional.
Hal ini karena pada dasarnya, pakaian yang dipakai oleh para priyayi pada abad ke-19
merupakan gaya pakaian yang sudah berlaku turun temurun, hanya “negara” kemudian yang
mengatur pemakaian busana tersebut. Catatan-catatan sejarah mengenai pakaian priyayi,
biasanya tercantum dalam peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh kerajaan. Peraturan itu
dikeluarkan untuk mengatur pakaian para abdi termasuk para priyayi dalam pekerjaannya di
kerajaan. Dalam acara resmi kerajaan misalnya, priyayi yang bekerja sebagai wedana
memakai baju sikepan besar sangkelat hitam dengan dilengkapi oleh songkok bludru hitam.
yang pinggirannya memakai renda mas, gilig lamparan. Dilengkapi pula dengan keris dengan
warangka gayaman, sruwal panji-panji, gasper, kaos kaki hitam dan sepatu.21 Di lain
baju takwa sikepan, juga tidak sesuai karena undangan yang disampaikan bukanlah acara resmi. Oleh karena itu,
agar secara simbolik kedudukan Mangkunegara IV tidak tampak berada dibawah kedudukan Pakubuwono IX, maka
ia mencoba berimprovisasi dengan memakai baju rok Eropa yang telah dimodifikasi. Dengan baju alternatif itu, ia
ingin menunjukkan kesan dan pesan bahwa posisi kedudukannya dengan Pakubuwono IX sejajar. Kesejajaran
kedudukan tersebut diungkapkan dengan bentuk pakaian yang berbeda dengan pakaian yang ada pada masa itu.
Sejak saat itu, muncul istilah baju Langenharjan atau disebut juga beskap Landung, sebagai pakaian yang tidak
19
Kuntowijoyo, 1988, “Sastra Priyayi sebagai Sebuah Jenis Sastra jawa, Basis XXVII, no.9, hal 339.
20
A.P.E. Korver, 1985, Sarekat Islam Ratu Adil terj. Tim Penerjemah, Jakarta: Grafiti Press.
21
Sri Margana, 2010, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 297.
kesempatan, dalam acara jamuan makan bersama, antara priyayi Wedana dan gubernur
jendral, maka pakaian yang dikenakannnya hampir serupa ketika dalam acara resmi lainnya.
Bedanya, ia harus memakai sabuk cindhe kembang, kebaya bali yan kembang suruh serta
bebet dan gesper tanpa cincingan. Namun secara umum, pakaian resmi sehari-hari para
priyayi adalah baju atela berwarna putih atau hitam dengan dilengkapi oleh blangkon dan
keris. Sartono menambahi pakaian resmi lainnya adalah dodotan, kanigaran dan keprajuritan.
Tiga yang disebutkan terakhir tersebut, pemakaiannya harus disesuaikan dengan pangkat dan
jabatan seorang priyayi yang memakainya. 22 Di Surakarta tempat berkembangnya kebudayaan
lama, lebih menempatkan Sunan, dan sanak keluarganya serta para bupati sebagai pihak yang
paling dihormati. Sehingga pakaian yang dikenakan pun memiliki ciri khas tersendiri. Oleh
karena itu meskipun model pakaiannya sama, antara pakaian priyayi bangsawan maupun
bukan priyayi kecil akan tetapi motif dan bahan pun berbeda. Para sunan serta para priyayi
bangsawan seperti para bupati memiliki kebebasan yang cukup luas dalam memilih pakaian,
bahkan mereka kerap memakai simbol-simbol budaya Belanda. Sehingga pakaian Eropa
merupakan pakaian yang tidak asing bagi mereka.23
Dalam sehari-hari atau ketika keluar rumah, pakaian priyayi adalah lurik (kemeja),
dengan memakai kain panjang sebagai bebet tubuh bagian bawah dan dilengkapi dengan
blankon. 24Kadang memakai baju putih dengan berpeci gaya Padang sebagai tutup
kepalanya.30 Pakaian semacam ini merupakan pakaian yang umum dipakai oleh masyarakat
Jawa. Kedudukan seseorang dapat dikenali dengan melihat motif dan bahan dasar dari
pakaian tersebut. Penggunaan peci juga acap kali digunakan oleh priyayi, utamanya priyayi
cilik. Dikenalnya peci dalam kehidupan priyayi akibat adanya pengaruh dari orang-orang
Hadramaut yang telah mukim di Nusantara ribuan tahun lalu. Di samping itu pada tahun 1902
masyarakat di Hindia Belanda telah terjangkit penyakit yang dikenal dengan penyakit wisata,
yaitu keinginan yang menggebu-gebu dalam melakukan perjalanan ke daerah-daerah di
Hindia Belanda. Hal itu kemudian mengakibatkan bercampurnya budaya satu daerah dengan
budaya di daerah lainnya.
Pembentukan citra diri tidak dapat didapatkan secara mudah dilakukan oleh priyayi cilik
tanpa adanya sebuah proses panjang. Proses pembentukan budaya dimulai semenjak dalam
sekolah. Penyusupan pandangan-pandangan Barat mengenai pakaian di sekolah mulai
meningkat. Meskipun hal itu tidak sesederhana yang kita bayangkan saat ini, dimana
kemudian banyak siswa yang terpengaruh oleh budaya-budaya modern. Namun demikian,
kaum pelajar dinilai sebagai agen penting dalam proses penataan peradaban baru, karena
melalui kaum belajarlah unsur-unsur baru dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam
kehidupan masyarakat. Sekalipun Kartini menyebutkan bahwa dengan bersekolah kami
sekali-kali tidak hendak menjadikan para siswa menjadi orang setengah Eropa atau orang
Jawa yang kebarat-baratan,25 tetapi dalam kenyataannya, budaya Eropa melalui simbol
seragam menjadi sebuah kebudayaan yang tidak dapat dilepaskan oleh para pelajar itu sendiri.
22
Op.cit, Sartono, hal. 39.
23
Penggunaan pakaian Eropa tersebut membuat para bupati lebih senang dan diperbolehkan oleh para residen untuk
duduk di kursi. Adapun para wedana yang tidak diperkenankan memakai pakaian Eropa, tidak diperkenankan pula
duduk di kursi juga, karena dianggap desura. Kartini, 1985, Surat-Surat Kartini; Renungan tentang dan Untuk
Bangsanya terj. Sulastin Sutrisno Jakarta: Djambatan, hal. 70.
24
RM. Karno dan Mooryati Soedibyo, 1990, Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan
Pakubuwono ke- X; 1893-1939, Surakarta: tp, hal. 120.
Oleh karena itu, simbol-simbol kuasa politik pemerintah kolonial dalam memonopoli
pembentukan identitas para bangsawan dan priyayi Surakarta lahir dalam sebuah pakaian
seragam. Margono Djojohadikusumo menulis dalam memoarnya bahwa masa-masa awal
sekolah di sekolah Eropa tahun 1901, merupakan masa yang menyakitkan baginya. Hal ini
karena memakai atau tidak memakai sepatu memainkan peran yang penting di sekolah. 26
Sembilan tahun kemudian, pada tahun 1910, siksaan dan rasa tidak nyaman mulai
luntur. Bersamaan dengan hal itu, banyak pelajar dari kalangan priyayi muncul secara
mencolok dengan menggunakan dasi, ikat pinggang dan sepatu. Mereka semuanya hampir
tanpa terkecuali berpakaian rapi, bahkan sebagian dari mereka dapat dikatakan dandy. Mereka
menjadi “belanda-belanda” baru di tengah-tengah ratusan masyarakat Jawa. Nama “Belanda”
ketika itu tidak hanya dipakai oleh orang Belanda totok saja, asalkan saja ia bercelana
panjang, maka orang itu juga dinamakan Belanda.27 Dengan kata lain, gemerlapnya seragam
sekolah tidak lagi merupakan simbol kekuasaan kolonial, akan tetapi menjadi dambaan kaum
terpelajar dalam relung kehidupan mereka.
Pertumbuhan produk budaya dalam berfashion tersebut mendapat perhatian yang serius
di kalangan priyayi kecil yang terlebih dahulu lulus dari sekolah. Bahkan tidak jarang
memancing perdebatan-perdebatan tajam diantara mereka (priyayi gedhe dan priyayi kecil)
tentang pentingnya menjaga kebudayaan atau mengikuti kemajuan yang ada di depan mata.
Mereka terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang merespon dengan rasa tidak
peduli bahwa realita kehidupan telah berubah dan tetap memandang bahwa realitas pakaian
tetap seperti dahulu. Golongan ini beranggapan bahwa pakaian yang dipakai oleh para priyayi
cilik menghilangkan nilai-nilai luhur. Kedua, kelompok yang merespon secara rasional,
bahwa zaman telah berubah sehingga mereka perlu mengikuti gerak bandul zaman agar tidak
tertinggal jauh. Derasnya arus modernisasi yang menerpa jantungnya kebudayaan Jawa,
memungkinkan kelompok ini menjadi golongan yang terbanyak dalam kehidupan sosial di
Surakarta. Hal ini dapat dipahami, sebagai aristokrasi, para priyayi cilik senantiasa
memerlukan penguatan status, sehingga gaya hidup yang dianut pun merupakan sebuah jalan
untuk menguatkan statusnya.
Cara berpikir, kebudayaan mereka terpengaruh dengan kuat oleh kontaknya dengan
orang-orang Belanda. Sikap itu semakin terlihat jelas dari beberapa cerita yang sengaja
diungkapkan oleh beberapa penerbit surat kabar saat itu. Citra ideal priyayi terlihat jelas
dalam cerita hikayat Siti Mariah yang diterbitkan oleh surat kabar Medan Prijaji dibawah
pimpinan Tirto Adhi Soerjo. Fisik kuat, berbadan kuat dan besar serta berpakaian trendy
merupakan ciri ideal priyayi saat itu. 28 Priyayi beranggapan bahwa merupakan cerminan dari
pribadi
seseorang, sehingga pakaian priyayi selalu dijaga keberadaannya Pakaian
mendapat perhatian tersendiri karena akan diteliti sedemikian detail baik dari segi mode
maupun kelengkapannya.
25
Jean Gelman Taylor, 1989, Kartini in her Historical Context In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
145, no: 2/3, Leiden, hal. 300.
26
Margono Djojohadikusumo, Kenang-kenangan dari Tiga Zaman; Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis, Jakarta: PT
Indira.
27
Winarsih Partaningrat Arifin, 1999, “Sembilan Tahun di Stovia, 1907-1916” dalam Henri Chambert-Loir dan
Hasan Muarif Ambary (ed,.), Panggung Sejarah; Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Jakarta. Yayasan
Obor, hal. 487.
28
Dwi Susanto, 2009, Hikayat Siti Mariah; Estetika Perselingkuhan Pramoedya Ananta Toer, Yogyakarta: Insist
Press, hal. 48.
Di keraton Surakarta, motif-motif batik, model-model keris, dan gaya
berpakaian ditetapkan dengan terperinci sementara keraton menganugerahkan
hak-hak memakai pakaian istimewa kepada pejabat-pejabat keraton yang
bertingkat-tingkat. Aturan-aturan penggunaan tandu, payung kebesaran secara
visual menunjukkan pangkat dan lambang status sosial seorang priyayi. Pakaian
bahkan menjadi simbol gaya hidup priyayi. Manusia dapat mewujudkan
kebudayaan karena ia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi melalui
lambang-lambang
Modernisasi pakaian terjadi sejajar dengan perubahan fungsi-fungsi dalam
masyarakat. Banyak pekerjaan teknis yang memerlukan dinamisitas fisik,
schingga pakaian tradisional dianggap tidak praktis lagi. Kebiasaan baru, seperti
duduk di kursi, berkendaraan sepeda, mengendarai motor, bepergian jauh,
kesemuanya secara lebih praktis menuntut pakaian modem. Di zaman modern itu,
pakain bukan lagi menjadi simbol status yang mencolok, tetapi lebih banyaj
meningkatkan egalitarisasi. Pakaian gaya Barat sangat berpengaruh, terutama
untuk bekerja dan untuk situasi yang formal. Munculnya kupluk atau pecis
melambangkan kesadaran nasional yang pada umumnya menjadi simbol kaum
pergerakan nasional.
Topi, celana, dan, hingga taraf yang lebih sempit, yakni sepatu, berfungsi
untuk membedakan orang-orang ini dari orang-orang Indonesia lainnya di
Batavia, yang diwajibkan untuk setia pada pakaian tradisional dan tutup kepala
mereka Orang-orang Indonesia non-Kristiani tidak diperbolehkan berpakaian
seperti orang Eropa. Mereka diperintahkan, setidaknya selama mereka tinggal di
Batavia, untuk tetap mengenakan pakaian daerah atau pakaian "nasional" mereka.
Beberapa kali peraturan yang sama diulang bahwa masing-masing kelompok etnis
memiliki tempat tinggal tersendiri di Batavia dan bahwa para anggotanya tidak
boleh memakai pakaian adat kelompok etnik Indonesia lain mana pun. Pada tahun
1658, misalnya, suatu ordonansi dikeluarkan yang melarang orang Jawa di
Batavia untuk berbaur dengan "bangsa-bangsa Indonesia lainnya dan memakai
kostum mereka (Nordholt, 2005).