Anda di halaman 1dari 17

Kebudayaan Baru: Gaya Hidup dan Pakaian Priyayi Baru Di Surakarta

Tahun 1900-an

Oleh
Dian Octaviani
20/463158/SA/20725

Program Studi S1 Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya


Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2022
Pendahuluan
Tahun 1900 golongan priyayi merupakan kelompok sosial yang termasuk dalam
golongan elit. Golongan elit ini adalah siapa saja yang berdiri di atas rakyat jelata, yang dalam
beberapa hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur dan menuntun masyarakat. Seperti
Administratur, Pegawai Pemerintah, Orang-orang berpendidikan dan berkedudukan lebih
baik, mereka adalah seorang priyayi. 1 Elit di tahun 1900 tidak lagi mereka yang berasal dari
keluarga raja pada masa lalu. Sehingga mereka dapat ikut andil dalam menjalankan
pemerintahan dengan memainkan perannya sebagai priyayi. Karena gelar priyayi tidak lagi
dikaitkan dengan garis keturunan melainkan juga atas dasar jasa dan kesetiaannya pada
penguasa, maka para tokoh terpelajar yang ikut andil dalam pemerintahan juga mendapatkan
gelar kepriyayian dan mereka disebut sebagai priyayi baru.
Menurut Van Niel priyayi baru merupakan salah satu dari golongan priyayi pada
umumnya. Priyayi baru ini mencakup para priyayi terpelajar, elite intelektual atau elit
modern.2 para priyayi baru dicirikan sebagai orang yang mempunyai pengalaman pendidikan
pribumi atau pendidikan Belanda. Akan tetapi pendidikan dari Belandalah yang akan
membentuk selit intelektual yang memiliki pemikiran modern karena telah terpengaruh
pandangan-pandangan barat melalui keterampilan bahasa Belanda yang diperoleh. Sehingga
dengan begitu mereka dapat mengakses buku-buku asing yang memudakan mereka
memperoleh pengetahuan barat. Faktor keturunan bukan lagi penentu utama seseorang
menjadi priyayi di tahun 1900. Para priyayi di tahun ini bisa berasal dari keluarga bangsawan
ataupun dari keturunan rakyat biasa.3
Priyayi baru memperoleh jabatan di pemerintahan atas usaha mereka sendiri. Para
priyayi ini memiliki kebiasaan untuk bersikap progresif dan sangat terbuka dengan arus
modernisasi yang menjamur di Hindia Belanda awal abad 20. Kelompok priyayi baru yang
masuk dunia kepriyayian termasuk dari akademisi Indonesia, sarjana hukum, insinyur, dokter,
doktor ilmu hukum dan ilmu-ilmu lainnya. Para terdidik ini biasanya berasal dari golongan
pegawai tinggi yang menjadi satu-satunya golongan yang mampu membiayai dirinya sendiri
untuk menempuh pendidikan. Mereka juga bersedia untuk berusaha keras dna berkorban
besar.
Pendidikan tinggi sangat didambakan oleh semua orang tidak terkecuali keluarga
bangasawan, sebab dengan pendidikan dapat membuka pintu untuk memasuki berbagai
kedudukan dalam pemerintahan yang memiliki gaji lebih baik dari pamong praja. Sebab yang
kedua, pendidikan tinggi di Indonesia sangat dihargai, sehingga kaum akademisi yang berasal
dari pendidikan barat mereka akan diterima khususnya para bangsawan. Sehingga pendidikan
di abad 20 dibentuk untuk tujuan feodal yang mulia.4
Robert Van Niel mengkategorisasikan priyayi baru tidak ada bedanya dengan priyayi
lama. Dia tidak memasukkan unsur keturunan sebagai syarat menjadi pegawai pemerintahan
1
Sartono Kartodirjo, 1987, Perkembangan Peradaban priyayi, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, hal. 4.
2
Robert Van Niel, 1984, Munculnya Elite Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, hal. 72.
3
Op.cit, Robert Van Niel, hal. 75.
4
D.H. Burger, 1977, Perubahan-perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Bhratara, hal. 30.
kolonial Belanda. Siapapun yang mendapatkan kedudukan politik, termasuk dalam golongan
priyayi. Hal ini hampir sama dengan pendapat dari Clifford Geertz bahwa priyayi tidak
ditentukan oleh asal keturunannya. Akan tetapi menurut Soemarsaid Moertono, walaupun asal
keturunan tidak menjadi syarat utama menjadi priyayi, gelar kebangsawanan akan tetap
terlihat karena dicantukam di depan nama priyayi.5
Munculnya priyayi baru di Hindia Belanda terjadi di banyak tempat, yang salah satunya
berada di wilayah Vorstenlanden. Salah satu wilayah Vorstenlanden 6 yang menjadi saksi
kemunculan dari priyayi baru adalah Surakarta. Surakarta yang berdiri tahun 1745 M dihuni
oleh masyarakat yang heterogen seperti orang Jawa, Belada, Tionghoa, Arab dan masyarakat
timur lainnya. Akhir abad 19 menjadi titik kulminasi dari kolonialisme di Surakarta. Hal ini
menjadikan Surakarta menerima imbas dari modernisasi yang dibawa oleh Belanda. Keadaan
ini memberikan kesan bahwa penguasa di Surakarta bukan Keraton Surakarta, melainkan
pemerintah Belanda.7
Kondisi tersebut jika dilihat dari segi sosial banyak memberikan dampak kepada
kehidupan masyarakat Surakarta. Bahkan perilaku dan gaya hidup masyarakat juga berubah
dalam memandang kekuasaan Jawa. Kemudahan hidup yang mulai dirasakan mengilhami
pertanyaan Ke-Jawa-an mereka. Sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa struktur sosial yang
berkembang masih sangat kaku, namun pertanyaan-pertanyaan untuk menggugat keberadaan
diri mereka dalam dunia ke Jawa-an mulai terdengar. Gugatan itu sudah ada sejak pujangga
Keraton sendiri melihat tanda-tanda zaman yang menunjukkan zaman akhir 8, karena melihat
kekuasaan keraton semakin dipersempit.9 Sistem sosial masyarakat Surakarta awal abad 20
tidak terlepas dari sejarah perkembangan kota Surakarta. Seperti yang telah disebutkan oleh

5
Soemarsaid Moertono, 1985, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang
Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 113.
6
Pergolakan politik di kerajaan Mataram menyebabkan terpecahnya kerajaan ini menjadi dua kerajaan
1755. Namun pemisahan tersebut tidak menyebabkan berhentinya gejolak politik tersebut, bahkan
menjadi gejolak tersebut lebih parah, dengan terpecahnya menjadi empat kerajaan. Hal itu memberikan
konsekuensi tersendiri bagi kerajaan-kerajaan eks kerajaan Mataram tersebut dan pemerintah kolonial
yang sedang berkuasa saat itu. Bagi kerajaan-kerajaan tersebut batas-batas kekuasaan mereka semakin
terpecah-pecah, sehingga tidak jarang wilayah kekuasaan satu kerajaan berada di wilayah kerajaan lain.
Kondisi itu memberikan konsekuensi yang tidak terpikirkan oleh pemerintah kolonial. Kesemrawutan
kekuasaan di kerajaan Jawa pun terjadi, sehingga membuat administrasi pemerintahan kolonial
mengalami tumpang tindih. Oleh karena itu agar dapat memudahkan menyusun administrasi maka pada
tahun 1799, daerah-daerah tersebut diberi nama baru dan memiliki aturan-aturan tersendiri dan khusus
dibandingkan daerah-daerah lainnya. Nama itu adalah Vorstenlanden. Kawasan Vorstenlanden terdiri
dari empat wilayah bekas kerajaan Mataram, Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegara, dan Paku Alam.
7
Rudolf. Mrázek, 2006, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah
Koloni, terj. Hermojo, Jakarta: Yayasan Obor, hal. 67.
8
Ranggawarsita mengatakan demikian bertepatan dengan pembangunan rel-rel kereta api antara
Semarang ke Vorstenlanden. Mengenai ungkapan-ungkapannya lihat S. Margana, 2004, Pujangga Jawa
dan Bayang-Bayang Kolonial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.182-188.
9
Muhammad Misbahuddin, 2021, “Priyayi dan Fashion: Perubahan Cara Berpakaian Priyayi Kecil
Surakarta 1900-1921”, Jurnal Studi islam dan Humaniora, Vol. 2(1), hal. 1-5.
penulis bahwa sejak pemilihan kawasan kerajaan 1742, Sala menjadi daerah pemukiman
multi etnis mulai dari masyarakat Arab, Tionghoa, Madura, Jawa, dan Belanda.10
Masyarakat Bumiputera di Surakarta dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan besar
terdiri dari pembesar dan para priyayi, dan golongan kecil yang terdiri dari tani, buruh batik,
pedagang, pengrajin.11 Bangsawan adalah kelompok sosial atas yang memiliki hubungan
genealogi dengan raja. Mereka adalah para patih, sentoana, bupati, para keluarga raja. Mereka
disebut sebagai priyayi. Sebutan yang terkesan tumpang tindih ini disebabkan karena para
priyayi ini merupakan nama sebutan bagi orang yang memiliki pekerjaan halus. Para priyayi
yang menduduki kedudukan tinggi di kerajaan disebut dengan priyayi gede.12 Bersamaan
dengan perkembangan birokrasi kolonial dan agro industri pada pertengahan abad 19,
pemerintah kolonial membutuhkan penguatan administrasi sehingga banyak jabatan-jabatan
dalam pemerintah kolonial yang diisi oleh priyayi kecil seperti juru tulis, penarik pajak, kasir,
dan lain sebagainya.13 Meskipun disebut priyayi kecil tetapi mereka memiliki pengaruh besar
dalam masyarakat. Kedudukan ini mereka peroleh melalui pendidikan Belanda yang
menyebabkan mereka menjadi “raja” kecil di tengah masyarakat, para priyayi kecil ini sering
disebut sebagai priyayi baru. Gelar kepriyayiannya diperoleh dengan usaha sendiri melalui
pendidikan.
Sehingga dengan kemunculan priyayi-priyayi baru inilah yang menyebabkan pandangan
masyarakat mulai terbuka dengan memperhatikan apa yang mereka lakukan dan apa yang
mereka lakukan dalam sehari-hari. Munculnya priyayi baru menciptakan budaya baru yang
mereka sendiri belum pernah mengalaminya. Seperti budaya dalam berpakaian mereka mulai
terkesan lebih modern dengan menggunakan jas, dasi, topi, sepatu dan kaus kaki. Tidak hanya
dalam berpakaian, tetapi dalam pergaulan mereka juga berubah. Banyak para priyayi yang
mulai berbaur dengan orang-orang Belanda di sebuah klub yang disebut Societe Harmonie.
Berpakaian yang awalnya hanya tidak hanya milik kaum elit dan selalu berkaitan dalam
kekuasaan, kini semakin memudar. Masyarakat awam mulai berani menyamai bahkan
melebihi kehebohan model pakaian yang dikenakan kaum priyayi atas. Sehingga hal ini
menarik sebuah pertanyaan apakah lifestyle para priyayi baru memiliki keterkaitan dengan
modernisasi sebagai asumsi diatas atau memang murni dari keinginan untuk membangun
sebuah identitas baru. Tidak hanya dalam hal berpakaian saja yang menyerupai priyayi atas,
priyayi baru juga bergabung dalam sebuah komunitas layaknya priyayi atas di dalam sebuah
organisasi yang di dalamnya terdapat banyak orang Belanda dan priyayi atas. Para priyayi
baru bahkan tidak hanya tergabung dalam komunitas orang Belanda, tetapi sebagian dari
mereka juga bergabung dengan organisasi yang dibuat oleh masyarakat pribumi sendiri.

10
Radjiman, 1993, Sejarah Surakarta Tinjauan Politik dan Sosial, Surakarta: UNS, hal. 10.

11
Onghokham, 1986, “Korupsi dan Pengawasan dalam Perspektif Sejarah”, Prisma, No.3, hal 3
12
Op.cit, Sartono Kartodirjo, hal.1.
13
Suhartono, 1991, Apanage dan bekel: Perubahan Sosial Pedesaan Surakarta 1830-1920, Yogyakarta:
Tiara wacana, hal. 33.
Pembahasan
Gaya Hidup Priyayi Baru Di Surakarta Tahun 1900
Surakarta yang merupakan kota dengan penduduk yang beragam menjadi kota ini juga
memiliki tingkat modernitas yang cepat. Sebab kota Surakarta juga dihuni oleh masyarakat
Belanda, yang banyak mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat pribumi.
Gaya hidup orang belanda pada awalnya diikuti oleh para keluarga bangsawan. Sehingga
kehidupan mereka mulai kebarat-baratan dan hedon. Sehingga sepanjang abad 19 hidup
kebarat-barat terus diterapkan oleh keluarga bangsawan yang pada akhirnya menyebabkan
menumpuknya hutang para raja, pangeran dan para pembesar. Bahkan keraton tidak segan
mengeluarkan biaya besar untuk mengadakan pesta besar-besaran dengan diadakan acara
dansa.14
Gaya hidup ini terus berjalan hingga munculnya politik etis yang melahirkan kaum
intelektual yang dalam hal ini disebut sebagai priyayi baru. Dengan salah satu isi dari politik
etis, maka baik bangsawan maupun non-bangsawan dibebaskan untuk mengenyam
pendidikan. Melalui pendidikan inilah mereka mendapatkan gelar priyayi. Sehingga yang
disebut priyayi bukan hanya keluarga bangsawan. Abad 20, muncul priyayi-priyayi baru yang
ikut berkontribusi dalam pemerintahan. Pendidikan menjadikan mereka memiliki status sosial
tinggi layaknya keluarga keraton dan bangsawan lainnya.

Gambar: Suasana jamuan pesta di Sasono Ondrowino tempo dulu, tampak Susuhunan Paku
Buwono X berada di tengan ( Sumber : Tropen Museum )
Pendidikan belanda yang diterima melahirkan golongan priyayi-priyayi baru di Jawa,
terutama di Surakarta. Sehingga terdapat regenerasi yang ditandai dengan munculnya generasi
baru priyayi yang hidup di kota kecil yaitu ibukota kabupaten. Mereka merupakan orang baru
(homines novi) yaitu priyayi yang telah mengenyam pendidikan sekolah menengah sehingga

14
Darsiti Soeratman, 1989, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta, 1830-1939: Masa Kolonial (1870-1915),
Yogyakarta: Taman siswa, hal. 107.
secara teknis mereka mampu menduduki jabatan semi profesional seperti dalam bidang
kedokteran, pertanian, peternakan, pekerjaan umum, keguruan, pengadilan dan berbagai
bidang administrasi. Sebagai kelompok yang menduduki jabatan semi profesional mereka
merupakan sekelompok priyayi yang berkedudukan sebagai aristokrasi lama yang telah turun
temurun menduduki jabatan dalam pangreh praja. 15 Adanya mobilitas vertikal ini
menyebabkan gaya hidup mereka juga berubah. Karena bekerja di dalam kantor administrasi
bentukan Belanda, gaya hidup para priyayi baru ini juga mengikuti gaya hidup orang-orang
Belanda.
Tidak mengherankan apabila mereka mampu menentukan norma-norma kehidupan
golongan priyayi. Mereka yang mengetahui tradisi serta selalu menduduki tempat terhormat,
sehingga menjadi lumrah apabila mereka menjadi titik orientasi pola kehidupan priyayi
lainnya. Perlu diakui juga bahwa lahirnya golongan priyayi terpelajar dan profesional berasal
dari kalangan priyayi lama yang telah mengenyam pendidikan. Di satu sisi juga terdapat
priyayi yang berasal dari keluarga yang tinggal di pedesaan. Sering kali genealogi mereka
dilacak kembali ke tokoh-tokoh daerah seperti Kyai atau Kyai Ageng. Tidak jarang pula
mereka terbukti masih memiliki keturunan dengan bangsawan masa lalu (trahing kusuma,
rembesing madu).16

Gaya Berpakaian Priyayi Baru Di Surakarta Tahun 1900


Kedudukannya sebagai elite sosial mengharuskan seorang priyayi memiliki sopan
santun dalam pergaulan. Tidak hanya berperilaku tetapi juga berbusana. Pakaian menurut
kaum bangsawan merupakan perwujudan statusnya sebagai elite yang menduduki strata
tertinggi di tengah-tengah masyarakat. Pakaian yang dipakai di tubuh tidak saja penutup tubuh
dari dinginnya malam dan teriknya siang, tetapi juga mengartikan priyayi akan siapa jati
dirinya. Oleh sebab itu, priyayi dituntut untuk pintar memilih dan memilah busana yang akan
dikenakannya.
Dalam konteks ini, kehidupan seorang priyayi selalu dituntun oleh beberapa piwulang
yang menjadi pedoman hidup. Dalam serat Wulareng misalnya, ditekankan bagaimana
seseorang harus berperilaku. Hal mana, di setiap langkah, manusia Jawa harus memperhatikan
akan kedudukan status sosialnya. Oleh karenanya, harus mengerti bagaimana bersikap
diantara wong agung dan wong asor.17 Sekalipun kaum priyayi sebagai manusia bebas
memiliki kehendak untuk memakai pakaian sesuai dengan keinginannya, namun
kenyataannya tidak demikian. Terdapat aturan-aturan ketat yang harus dipatuhi oleh setiap
orang di Surakarta. Aturan dan larangan itu tidak hanya berlaku pada masyarakat awam, tetapi
juga mereka yang berasal dari priyayi, baik itu priyayi gede maupun cilik bahkan seorang raja
bawahan, ketika dalam kehidupan sosial. Hal itu berbeda ketika dalam kehidupan privat. 18
Larangan-larangan dan aturan aturan tersebut merupakan sebuah kontrol sosial dari pihak
penguasa, agar kekuasaannya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan tidak saja
15
Fachry Ali, 1986, Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern, Jakarta: Gramedia, hal.
102.
16
Op.cit, Sartono Kartodirjo, hal. 102.
17
Gusti Subadiyo, 1991, Serat Wulareng terj. Tim Penulis, Semarang: Dahara Prize, hal. 98.
18
Sekalipun demikian, berbeda dalam hal merokok, bagi priyayi Surakarta, merokok adalah perbuatan
yang memalukan. Mereka lebih baik bunuh diri daripada mereka ketahuan merokok oleh kawan
sejawatnya sekalipun dalam dunia privat. Karena itu, para priyayi Surakarta hanya akan merokok ketika
tidak ada orang.
penguasa dengan bawahannya, tetapi juga penguasa dengan penguasa lainnya. Hal ini terlihat
dari bagaimana Mangkunegara IV disibukkan dengan pakaiannya ketika akan menghadap
Pakubuwono IX.
Akan tetapi, merosotnya kekuasaan raja-raja Jawa pada abad 18-19 menyebabkan
bergesernya paradigma masyarakat Jawa, khususnya para priyayi. Pandangan-pandangan baru
lahir di kalangan para priyayi, yang tersirat terungkap dalam karya sastra priyayi. Etika satria
digantikan etika priyayi, cita-cita nggayuh utami dalam artian nilai-nilai sosial keraton
digantikan dengan cita-cita mobilitas sosial dalam mencari kedudukan baru. Rupanya hal ini
menyebabkan lahirnya pandangan baru dalam konsepsi berpakaian golongan priyayi. Pakaian
tidak saja simbol jati diri dan status sosial tetapi juga sebuah alat untuk menampilkan rasa
ketidaksukaannya atas aturan aturan yang ada. Sebagaimana yang didengungkan oleh Boedi
Oetomo 1908 kemudian diikuti oleh Sarekat Islam 1912.
Sebagai perkumpulan priyayi, Boedi Oetomo selalu mengusung ide-ide kemodernan.
Berdirinya perkumpulan ini yang bersamaan dengan pemugaran Borobudur merupakan
perlambang bahwa perkumpulan ini menginginkan adanya kekokohan budaya dengan
memperpadukan dua budaya antara budaya Jawa dan budaya Barat, dengan tanpa
mengkhianati warisan bangsa. Karenanya, jiwa kemandirian tersebut tidak saja diungkapkan
dalam beberapa surat kabar, Medan Prijaji, dan Pewarta Priyayi 68 misalnya, tetapi juga
diungkapkan dengan banyaknya anggota Boedi Oetomo yang mengenakan pakaian Eropa.
Pakaian Eropa merupakan lambang dari sikap hidup modern dan rasional, meskipun
terkadang tetap menunjukkan diri dalam ciri-ciri yang konservatif. 19 Tidak jauh beda dengan
Boedi Oetomo, Sarekat Islam, sebagai gerakan politik, perkumpulan ini melakukan
pengucapan identitas juga melalui pakaian, meskipun dalam konteks yang berbeda. Anggota
Sarekat Islam kerap kali melakukan propaganda dengan menganjurkan masyarakat pribumi
untuk berpakaian Eropa. Dalam kajiannya, Krover menyebutkan bahwa mengenakan pakaian
Eropa bagi kalangan Sarekat Islam menjadi sebuah tindakan politis untuk menentang tata cara
penghormatan Eropa dan dominasi kelas penguasa di kalangan masyarakat pribumi. 20 Dengan
demikian, perubahan politik telah menyebabkan berkembangnya persepsi priyayi mengenai
pakaian. Tidak saja sebagai tekanan kepada “dunia” akan status sosialnya, tetapi juga
melambangkan lahirnya sebuah era baru.
Akhir abad ke-19 kebanyakan priyayi Surakarta masih memakai pakaian tradisional.
Hal ini karena pada dasarnya, pakaian yang dipakai oleh para priyayi pada abad ke-19
merupakan gaya pakaian yang sudah berlaku turun temurun, hanya “negara” kemudian yang
mengatur pemakaian busana tersebut. Catatan-catatan sejarah mengenai pakaian priyayi,
biasanya tercantum dalam peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh kerajaan. Peraturan itu
dikeluarkan untuk mengatur pakaian para abdi termasuk para priyayi dalam pekerjaannya di
kerajaan. Dalam acara resmi kerajaan misalnya, priyayi yang bekerja sebagai wedana
memakai baju sikepan besar sangkelat hitam dengan dilengkapi oleh songkok bludru hitam.
yang pinggirannya memakai renda mas, gilig lamparan. Dilengkapi pula dengan keris dengan
warangka gayaman, sruwal panji-panji, gasper, kaos kaki hitam dan sepatu.21 Di lain
kesempatan, dalam acara jamuan makan bersama, antara priyayi Wedana dan gubernur
jendral, maka pakaian yang dikenakannnya hampir serupa ketika dalam acara resmi lainnya.
19
Kuntowijoyo, 1988, “Sastra Priyayi sebagai Sebuah Jenis Sastra Jawa”, Basis XXVII, no.9, hal 339.
20
A.P.E. Korver, 1985, Sarekat Islam Ratu Adil terj. Tim Penerjemah, Jakarta: Grafiti Press.
21
Sri Margana, 2010, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 297.
Bedanya, ia harus memakai sabuk cindhe kembang, kebaya bali yan kembang suruh serta
bebet dan gesper tanpa cincingan. Namun secara umum, pakaian resmi sehari-hari para
priyayi adalah baju atela berwarna putih atau hitam dengan dilengkapi oleh blangkon dan
keris. Sartono menambahi pakaian resmi lainnya adalah dodotan, kanigaran dan keprajuritan.
Tiga yang disebutkan terakhir tersebut, pemakaiannya harus disesuaikan dengan pangkat dan
jabatan seorang priyayi yang memakainya. 22 Di Surakarta tempat berkembangnya kebudayaan
lama, lebih menempatkan Sunan, dan sanak keluarganya serta para bupati sebagai pihak yang
paling dihormati. Sehingga pakaian yang dikenakan pun memiliki ciri khas tersendiri. Oleh
karena itu meskipun model pakaiannya sama, antara pakaian priyayi bangsawan maupun
bukan priyayi kecil akan tetapi motif dan bahan pun berbeda. Para sunan serta para priyayi
bangsawan seperti para bupati memiliki kebebasan yang cukup luas dalam memilih pakaian,
bahkan mereka kerap memakai simbol-simbol budaya Belanda. Sehingga pakaian Eropa
merupakan pakaian yang tidak asing bagi mereka.23

Gambar: Susuhunan Pakubuwono X Berkunjung ke Candi Borobudur Tahun 1910


(sumber: www.kitlv.nl)
Dalam sehari-hari atau ketika keluar rumah, pakaian priyayi adalah lurik (kemeja),
dengan memakai kain panjang sebagai bebet tubuh bagian bawah dan dilengkapi dengan
blankon. 24Kadang memakai baju putih dengan berpeci gaya Padang sebagai tutup
kepalanya.30 Pakaian semacam ini merupakan pakaian yang umum dipakai oleh masyarakat
Jawa. Kedudukan seseorang dapat dikenali dengan melihat motif dan bahan dasar dari
pakaian tersebut. Penggunaan peci juga acap kali digunakan oleh priyayi, utamanya priyayi
cilik. Dikenalnya peci dalam kehidupan priyayi akibat adanya pengaruh dari orang-orang
Hadramaut yang telah mukim di Nusantara ribuan tahun lalu. Di samping itu pada tahun 1902
masyarakat di Hindia Belanda telah terjangkit penyakit yang dikenal dengan penyakit wisata,
yaitu keinginan yang menggebu-gebu dalam melakukan perjalanan ke daerah-daerah di
Hindia Belanda. Hal itu kemudian mengakibatkan bercampurnya budaya satu daerah dengan
budaya di daerah lainnya.

22
Op.cit, Sartono, hal. 39.
23
Penggunaan pakaian Eropa tersebut membuat para bupati lebih senang dan diperbolehkan oleh para
residen untuk duduk di kursi. Adapun para wedana yang tidak diperkenankan memakai pakaian Eropa,
tidak diperkenankan pula duduk di kursi juga, karena dianggap desura. Kartini, 1985, Surat-Surat Kartini;
Renungan tentang dan Untuk Bangsanya terj. Sulastin Sutrisno Jakarta: Djambatan, hal. 70.
24
RM. Karno dan Mooryati Soedibyo, 1990, Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri
Soesoehoenan Pakubuwono ke- X; 1893-1939, Surakarta, hal. 120.
Pembentukan citra diri tidak dapat didapatkan secara mudah dilakukan oleh priyayi baru
tanpa adanya sebuah proses panjang. Proses pembentukan budaya dimulai semenjak dalam
sekolah. Penyusupan pandangan-pandangan Barat mengenai pakaian di sekolah mulai
meningkat. Meskipun hal itu tidak sesederhana yang kita bayangkan saat ini, dimana
kemudian banyak siswa yang terpengaruh oleh budaya-budaya modern. Namun demikian,
kaum pelajar dinilai sebagai agen penting dalam proses penataan peradaban baru, karena
melalui kaum belajarlah unsur-unsur baru dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam
kehidupan masyarakat. Sekalipun Kartini menyebutkan bahwa dengan bersekolah kami
sekali-kali tidak hendak menjadikan para siswa menjadi orang setengah Eropa atau orang
Jawa yang kebarat-baratan,25 tetapi dalam kenyataannya, budaya Eropa melalui simbol
seragam menjadi sebuah kebudayaan yang tidak dapat dilepaskan oleh para pelajar itu sendiri.
Oleh karena itu, simbol-simbol kuasa politik pemerintah kolonial dalam memonopoli
pembentukan identitas para bangsawan dan priyayi Surakarta lahir dalam sebuah pakaian
seragam. Margono Djojohadikusumo menulis dalam memoarnya bahwa masa-masa awal
sekolah di sekolah Eropa tahun 1901, merupakan masa yang menyakitkan baginya. Hal ini
karena memakai atau tidak memakai sepatu memainkan peran yang penting di sekolah. 26
Sembilan tahun kemudian, pada tahun 1910, siksaan dan rasa tidak nyaman mulai
luntur. Bersamaan dengan hal itu, banyak pelajar dari kalangan priyayi muncul secara
mencolok dengan menggunakan dasi, ikat pinggang dan sepatu. Mereka semuanya hampir
tanpa terkecuali berpakaian rapi, bahkan sebagian dari mereka dapat dikatakan dandy. Mereka
menjadi “belanda-belanda” baru di tengah-tengah ratusan masyarakat Jawa. Nama “Belanda”
ketika itu tidak hanya dipakai oleh orang Belanda totok saja, asalkan saja ia bercelana
panjang, maka orang itu juga dinamakan Belanda.27 Dengan kata lain, gemerlapnya seragam
sekolah tidak lagi merupakan simbol kekuasaan kolonial, akan tetapi menjadi dambaan kaum
terpelajar dalam relung kehidupan mereka.

25
Jean Gelman Taylor, 1989, Kartini in her Historical Context In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 145, no: 2/3, Leiden, hal. 300.
26
Margono Djojohadikusumo, Kenang-kenangan dari Tiga Zaman; Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis,
Jakarta: PT Indira.
27
Winarsih Partaningrat Arifin, 1999, “Sembilan Tahun di Stovia, 1907-1916” dalam Henri Chambert-Loir
dan Hasan Muarif Ambary (ed,.), Panggung Sejarah; Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard,
Jakarta. Yayasan Obor, hal. 487.
Gambar: Priyayi terpelajar yang menggunakan jas, topi dan sepatu
Pertumbuhan produk budaya dalam berfashion tersebut mendapat perhatian yang serius
di kalangan priyayi kecil yang terlebih dahulu lulus dari sekolah. Bahkan tidak jarang
memancing perdebatan-perdebatan tajam diantara mereka (priyayi gedhe dan priyayi kecil)
tentang pentingnya menjaga kebudayaan atau mengikuti kemajuan yang ada di depan mata.
Mereka terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang merespon dengan rasa tidak
peduli bahwa realita kehidupan telah berubah dan tetap memandang bahwa realitas pakaian
tetap seperti dahulu. Golongan ini beranggapan bahwa pakaian yang dipakai oleh para priyayi
baru menghilangkan nilai-nilai luhur. Kedua, kelompok yang merespon secara rasional,
bahwa zaman telah berubah sehingga mereka perlu mengikuti gerak bandul zaman agar tidak
tertinggal jauh. Derasnya arus modernisasi yang menerpa jantungnya kebudayaan Jawa,
memungkinkan kelompok ini menjadi golongan yang terbanyak dalam kehidupan sosial di
Surakarta. Hal ini dapat dipahami, sebagai aristokrasi, para priyayi baru senantiasa
memerlukan penguatan status, sehingga gaya hidup yang dianut pun merupakan sebuah jalan
untuk menguatkan statusnya.
Cara berpikir, kebudayaan mereka terpengaruh dengan kuat oleh kontaknya dengan
orang-orang Belanda. Sikap itu semakin terlihat jelas dari beberapa cerita yang sengaja
diungkapkan oleh beberapa penerbit surat kabar saat itu. Citra ideal priyayi terlihat jelas
dalam cerita hikayat Siti Mariah yang diterbitkan oleh surat kabar Medan Prijaji dibawah
pimpinan Tirto Adhi Soerjo. Fisik kuat, berbadan kuat dan besar serta berpakaian trendy
merupakan ciri ideal priyayi saat itu. 28 Priyayi beranggapan bahwa merupakan cerminan dari
pribadi
seseorang, sehingga pakaian priyayi selalu dijaga keberadaannya Pakaian
mendapat perhatian tersendiri karena akan diteliti sedemikian detail baik dari segi mode
maupun kelengkapannya.
Di keraton Surakarta, motif-motif batik, model-model keris, dan gaya berpakaian
ditetapkan dengan terperinci sementara keraton menganugerahkan hak-hak memakai pakaian
istimewa kepada pejabat-pejabat keraton yang bertingkat-tingkat. Aturan-aturan penggunaan
tandu, payung kebesaran secara visual menunjukkan pangkat dan lambang status sosial
seorang priyayi. Pakaian bahkan menjadi simbol gaya hidup priyayi. Manusia dapat
mewujudkan kebudayaan karena ia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi melalui
lambang-lambang.

28
Dwi Susanto, 2009, Hikayat Siti Mariah; Estetika Perselingkuhan Pramoedya Ananta Toer, Yogyakarta:
Insist Press, hal. 48.
Gambar: Priyayi Menggunakan Pakaian Orang Eropa
Modernisasi pakaian terjadi sejajar dengan perubahan fungsi-fungsi dalam masyarakat.
Banyak pekerjaan teknis yang memerlukan dinamisitas fisik, schingga pakaian tradisional
dianggap tidak praktis lagi. Kebiasaan baru, seperti duduk di kursi, berkendaraan sepeda,
mengendarai motor, bepergian jauh, kesemuanya secara lebih praktis menuntut pakaian
modem. Di zaman modern itu, pakain bukan lagi menjadi simbol status yang mencolok, tetapi
lebih banyak meningkatkan egalitarisme. Pakaian gaya Barat sangat berpengaruh, terutama
untuk bekerja dan untuk situasi yang formal. Munculnya kupluk atau pecis melambangkan
kesadaran nasional yang pada umumnya menjadi simbol kaum pergerakan nasional.
Topi, celana, dan, hingga taraf yang lebih sempit, yakni sepatu, berfungsi untuk
membedakan orang-orang ini dari orang-orang Indonesia lainnya di Surakarta, yang
diwajibkan untuk setia pada pakaian tradisional dan tutup kepala mereka Orang-orang
Indonesia non-Kristiani tidak diperbolehkan berpakaian seperti orang Eropa. Mereka
diperintahkan, setidaknya selama mereka tinggal di Batavia, untuk tetap mengenakan pakaian
daerah atau pakaian "nasional" mereka. Beberapa kali peraturan yang sama diulang bahwa
masing-masing kelompok etnis memiliki tempat tinggal tersendiri di Surakarta dan bahwa
para anggotanya tidak boleh memakai pakaian adat kelompok etnik Indonesia lain mana pun.
Pada tahun 1658, misalnya, suatu ordonansi dikeluarkan yang melarang orang Jawa di
Batavia untuk berbaur dengan "bangsa-bangsa Indonesia lainnya dan memakai kostum
mereka.29
Gaya berpakain seperti orang eropa di Surakarta sudah digemari sejak abad ke 19. Raj
pertama yang menyukai pakaian barat berupa seragam angkatan laut Belanda adalah Raja
Mataram Amangkurat II yang bertahta tahun 1677-1703. Pengaruh busana barat dan hiasan
sehari-hari sangat terasa ketika memasuki paruh abad ke 19 yang berlanjut ketika awal abad
20. Bahkan Raja dan Bupati memerintahkan pembuatan pakaian Eropa berupa celana dan jas
pendek warna menyala, namun tetap menggunakan ikat kepala tradisional Jawa. Baju Sikepan
merupakan pakaian resmi pemerintahan yang banyak dipengaruhi oleh gaya barat. Memiliki
model seperti jas dan memiliki kerah kecil dan berdiri, serta kancingnya berada di sebelah
samping.

Berkumpul Dalam Komunitas Belanda Hingga Kebebasan Berorganisasi

29
Henk Schulte Nordholt, 2005, Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan terj. Imam Aziz.
Yogyakarta: LKiS, hal. 6.
Gambar: Societe Harmonie Tempat Pesta Dansa Kaum Elite Di Surakarta
Suhartono menggambarkan bahwa masyarakat Surakarta terbagi dalam dua golongan
sosial yang besar yaitu golongan atas yang terdiri dari para bangsawan dan priyayi, dan
golongan bawah yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, perajin dan lain-lain.30
Bangsawan adalah golongan sosial atas yang memiliki hubungan genealogi dengan raja.
Mereka merupakan sentana atau keluarga raja. Priyayi juga termasuk golongan sosial atas dan
mereka merupakan pejabat dalam pemerintahan kerajaan atau narapraja. Pendidikan abad ke-
XX memunculkan kelompok sosial baru sebagai produk politik etis.31 Para ahli menyebut
mereka sebagai priyayi baru atau priyayi profesional,32 priyayi alit atau kecil, priyayi pangreh
praja, pejabat administrasi, bangsawan pikiran elit modern, golongan intelektual, dan lain-
lain.33
Priyayi baru tersebut berbeda dari elit bangsawan yang lama (berdasarkan keturunan).
Citra mereka diukur dengan status priyayi yang telah mereka sandang bukan mengandalkan
status kebangsawanan keturunan seperti priyayi lama. Priyayi baru itu mencapai status
mereka melalui pendidikan yang diperoleh sebelumnya dan keahlian pribadi, sedangkan
priyayi lama memperoleh status mereka karena keturunan. Bangsawan yang telah mengenyam
pendidikan barat juga termasuk dalam golongan ini. Mereka pertama kali muncul pada akhir
abad XIX, mereka adalah orang-orang yang berpendidikan dan bekerja pada dinas-dinas
pemerintahan maupun independen, seperti priyayi guru, priyayi dokter, priyayi kehewanan,
dan lainnya34. Priyayi baru (elit modern) mulai memainkan peranan yang sangat penting
dalam pergerakan nasional. Kesadaran akan adanya organisasi sebagai alat perjuangan
nasionalisme Indonesia diwujudkan oleh pemuda pelajar STOVIA (Sekolah Dokter Djawa)
yang dipimpin Soetomo dengan berdirinya organisasi yang teratur dan modem seperti Boedi
Octomo (1908) sebagai organisasi pergerakan pertama yang menjadi perintis organisasi-
organisasi pergerakan kebangsaan yang lain baik di dalam maupun luar negeri.
Munculnya para priyayi dan modernisasi menjadikan kota Surakarta memiliki berbagai
fasilitas layanan publik yang lengkap. Tidak terkecuali sebuah tempat hiburan yang banyak
dikunjungi oleh orang-orang kelas atas belanda. Karena kebanyakan priyayi terpelajar bekerja
dengan orang belanda, mereka lambat laun juga meniru kebiasan orang-orang belanda untuk
berkumpul di sebuah kompleks eksklusif. Di Surakarta sendiri klub itu dinamakan Societe
Harmonie yang sekarang menjadi kawasan hotel Sahid Jaya di Jalan Gadjah Mada, tempat
hiburan ini tidak hanya diisi oleh orang Belanda tetapi juga diisi oleh orang Eropa, para
pengusaha, dan para priyayi.
Societeit merupakan pusat pertemuan yang bersifat informal bagi kalangan elit Eropa
atau elit pribumi yang banyak dimanfaatkan sebagai forum menjalin lobby, forum
komunikasi, tempat rekreasi (pesta dansa atau minum-minuman keras) serta menikmati
kesenian atau hiburan modem yang bersifat elitis dan eksklusif. Dalam societeit ini sering

30
Op.cit, Suhartono, hal. 35.
31
Koentjaraningrat, 1994, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 15.
32
Savitri Prastiti Scherer, 1985, Keselarasan dan Kejanggalan Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis
Jawa Awal Abad XX, Jakarta: Sinar Harapan, hal. 58.
33
W.F.Wertheim, 1999, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, terj. Misbah Zulfa
Elizabet, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 50.
34
Heather Sutherland, 1983, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Jakarta: Sinar Harapan, hal. 39.
diselenggarakan pagelaran konser-konser musik klasik Barat, baik yang dimainkan oleh
kelompok-kelompok simponi Eropa maupun korps musik keraton Surakarta.
Societeit Harmonie merupakan Klub terbesar di Surakarta yang menyelenggarakan
konser dari Korps Musik Kepatihan dengan repertoire-repertoire komposisi musik klasik
Barat. Pengunjung diberi kesempatan untuk berdansa dengan irama musik Waltz. Kaum elit
Eropa yang tinggal di Jawa khususnya kota Surakarta beserta keluarganya biasanya terdiri
dari golongan terpelajar dan para profesional seperti dokter, insinyur, sarjana hukum,
ilmuwan, administrator, ekonom dan lain sebagainya. Tingkat pendidikan dan penghasilan
yang tinggi memungkinkan mereka mempunyai daya apresiasi yang tinggi pula terhadap
ekspresi kesenian ataupun hiburan yang dikonsumsinya. Kalangan elit Eropa yang banyak
mempengaruhi selera elit pribumi. Kemampuan ekonomi golongan elit Eropa telah
memungkinkan mereka untuk memindahkan suasana lingkungan budaya borjuasi Eropa
tempat asal mereka, ke dalam lingkungan baru di tanah jajahan Jawa. Maka, pada masa itu
dibangunlah infrastruktur yang mendukung kebutuhan hiburan seperti gedung teater, gedung
opera, gedung bioskop, dan klub-klub eksklusif seperti societeit dan gedung biliar (kamar
bola) dan juga hotel oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dalam societeit ini sering diselenggarakan pagelaran konser-konser musik klasik
Barat, baik yang dimainkan oleh kelompok-kelompok simponi Eropa maupun
korps musik keraton Surakarta. Harmonie merupakan salah satu perkumpulan (societeit) elit
pada akhir abad ke-XIX. Soos-akronim dari societeit-didirikan di kota-kota besar di Hindia
Belanda termasuk di Batavia, Surakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar,
dan di kota-kota kecil lainnya. Menurut Rudolf Mrazek, Soos Batavia yang paling bergengsi
dan menjadi model bagi seluruh soos di Hindia Belanda. 35 Ahli kimia, fisika dan biologi
berkebangsaan Jerman, Heinrich Burger, menjabat sebagai pengurus societeit periode 1850-
1853. Namun, gedung indah ini dihancurkan oleh pemerintah Orde Baru pada 1985.

Gambar: Pertemuan di Societeit Harmonie, Sebuah Eksklusivitas Sosialita


Societeit Harmonie di Surakarta sangat terkenal (sekarang menjadi kawasan Hotel Sahid
Jaya Solo di Jalan Gajah Mada). Tempat ekslusif ini adalah tempat berkumpulnya orang
Eropa, para pengusaha, dan pejabat (priyayi). Harmonie didirikan pada tahun 1920 di
Surakarta. Perkumpulan seperti itu biasanya diisi dengan kegiatan yang mencirikan
modernisasi. Masih banyak organisasi-organisasi di Surakarta yang beranggotakan para

35
Op.cit, Rudolf Mrazek, hal, 70.
priyayi. Ada juga organisasi keturunan raja yang bernama Narendra Putra yang merupakan
cikal bakal Narpo Wandowo. Para priyayi kolonial (pegawai Binnenland Bestuur) mempunyai
organisasi Lenardang Dilihat dari aspek kultural, maka terdapat satu organisasi yang didirikan
oleh Mas Ngabehi Wirapustaka yang bernama Mardi Basa yang merupakan forum untuk
memajukan bahasa Jawa, terutama untuk melestarikan bahasa Jawa halus (krama). Selain itu
juga terdapat organisasi priyayi untuk penguburan pada tahun 1914. Anggota dari berbagai
organisasi-organisasi yang dibentuk di berbagai kota di Jawa kebanyakan adalah generasi
muda priyayi, yaitu para mudha ing jaman sapunika.36
Kegiatan-kegiatan klub eksklusif yang awalnya hanya bertujuan untuk mempererat
hubungan sosial priyayi dan sarana rekreasional kemudian berkembang menjadi perkumpulan
yang semakin kritis menggagas kemajuan untuk mereka sendiri menjadi kepedulian akan
kemajuan masyarakat sekitarnya. Perbincangan- perbincangan dalam klub semakin banyak
membahas tentang kedudukan politis mereka di tanah air sendiri dengan adanya kolonialisme.
Puncak dari gagasan itu adalah tentang nasionalisme dan demokrasi, sehingga kemudian
muncullah suatu pemikiran bersama tentang kebangkitan pergerakan modern dari kaum elit
baru yang telah memperoleh pendidikan Barat.
Selain perkumpulan Societeit Harmonie yang sudah dijelaskan di atas, ada sebuah
perkumpulan priyayi kerajaan, Abipraya, yang didirikan di Surakarta menjelang pergantian
abad ini memberikan contoh mengenai bagaimana kehidupan priyayi dijalani dalam awal
abad ke-XX. Abipraya merupakan paguyuban priyayi pribumi. Organisasi ini adalah salah
satu organisasi priyayi yang bertindak sebagai ekspresi identitas sosial dan kultural. Mereka
sadar dengan peran mereka sebagai pembawa kemajuan bagi masyarakat Jawa. Ideologi
kemajuan Abipraya kemudian diikuti oleh organisasi priyayi lainnya. Organisasi lainnya yang
muncul seperti Mardiatmoko di Sukaharja, Bondolumekso di Surakarta. Salah satu organisasi
priyayi di Banjarnegara, Pandria Harja, selain berorientasi pada kemajuan, tujuan yang lain
adalah untuk bersenang-senang. Di Mangkunegaran, sebuah organisasi priyayi yang bernama
Mardi Taya, merupakan asosiasi budaya guna memajukan seni musik dan tari Jawa. Di Kudus
pada tahun 1909 muncul asosiasi priyayi, seperti Susila Mardi Prasastra, suatu perkumpulan
rekreasional bermain bilyar (kamar bola); Rukun Utama, asosiasi bisnis; Boga Sudarma,
asosiasi makan-makan; Makhalul Adab asosiasi bisnis dan kajian agama; Among Kliyeg,
asosiasi piknik hari Senin; Courant Vereeniging, asosiasi baca koran; dan ada asosiasi yang
menarik yaitu asosiasi lelaki mata keranjang Cina.37
Menurut Kuntowijoyo, Abipraya mempunyai manajemen yang baik dan teratur, serta
mempunyai bangunan permanen tempat melakukan aktivitas kegiatan organisasi. Setiap acara
resmi Abipraya diatur dengan baik dengan diumumkan terlebih dahulu melalui surat.
Presidennya dipilih dari kalangan pejabat tinggi, para bupati, dengan persetujuan bersama.
Para pelayan dipekerjakan melalui sebuah prosedur birokratis. Anggota-anggota Abipraya
adalah semua abdi dalem parentah ageng, termasuk wedana, kliwon, panevu, mantri javi-le
bet, shannon- hannigan, pulisi pamajikan, dan semua abdi dalem berpangkat lurah harus
mengikuti Abipraya. Biaya penyelenggaraan Abipraya akan ditanggung bersama menurut
besarnya lungguh atau gaji masing-masing orang. Para anggota Abipraya termasuk semua
abdi dalem dibawah administrasi kepatihan negeri dan gunung, tetapi tidak termasuk mereka
yang bekerja di lingkungan istana atau abdi dalem keraton. Dengan demikian Abipraya
36
Desi Khanifah Nirwati, 2014, Budaya Priyayi Baru: Studi Gaya Hidup Priyayi baru di Societeit Harmonie
Surakarta Tahun 1920-1930, Skripsi, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, hal. 96.
37
Kuntowijoyo, 2004, Raja, Priyayi, dan Priyayi, Yogyakarta: Ombak, hal. 44-47.
membatasi diri hanya pada priyayi birokrat. Pengaruh gaya hidup Eropa yang ditiru oleh
kaum pribumi tidak terlepas dari masyarakat kulit putih Eropa yang bermukim di kota
Surakarta dengan membawa bentuk-bentuk kesenian kota, hiburan serta berbagai macam
bentuk rekreasi yang bersifat modern. Bentuk-bentuk kesenian, hiburan atau rekreasi baru
yang dibawa itu berhasil menjadi kecenderungan baru yang juga digemari dan disukai oleh
masyarakat pribumi, terutama golongan menengah ke atas. Siklus kehidupan sehari-hari yang
telah berubah karena disiplin waktu yang dituntut dalam pekerjaan-pekerjaan modern di kota-
kota besar, ikut memicu terbentuknya minat yang baru terhadap bentuk-bentuk seni hiburan
ataupun rekreasi yang sesuai kelonggaran waktu masyarakat perkotaan. Maka bentuk-bentuk
kesenian atau hiburan agraris tradisional yang banyak menyita waktu dalam menikmatinya
seperti wayang kulit, ketoprak, tari-tari klasik tradisional mulai mendapat pesaing baru yaitu
kesenian atau hiburan modem kota yang bersifat popular, komersial dan dipertunjukkan
dengan waktu singkat seperti film bioskop, musik modem, opera, sirkus, dan sebagainya.38

Kesimpulan
Raja dan priyayi di Kasunanan Surakarta abad 20 mengalami patologi sosial berupa
kesenjangan antara world image dengan kenyataan. Raja, sebenarnya, bisa menjadi
pembaharu seperti "Rama V dari Thailand atau setidaknya seperti rivalnya, Mangkunegoro
VI, dengan etos ekonominya, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak sebab kenyataannya ia justru
menjadi tawanan di keratonnya dan hanya bisa mengembangkan emotional intelligence-nya.
Priyayi bisa jadi elite pembaharu tetapi hierarki telah menyerimpung mereka. Wong cilik biasa
dapat saja menjadi sebuah kekuatan, tetapi bergabungnya mereka ke dalam SI lebih karena
mitos yang irasional daripada kepentingan yang rasional. Kalau kita masih mengakui bahwa
sejarah adalah guru kehidupan, maka pelajaran yang dapat kita petik dari topik ini adalah
bahwa masyarakat terjajah, masyarakat berhierarki, masyarakat berketimpangan struktural
tidak menguntungkan warganya, bahkan bagi pelaku yang nampaknya diuntungkan pun. Oleh
karenanya, penegakan masyarakat bebas, egalitarian, dan penghapusan ketimpangan
struktural adalah prasyarat terbentuknya masyarakat sehat, tanpa konflik antara harapan dan
realitas.
Realitas sebagaimana yang diungkapkan diatas menunjukkan bahwa perubahan atau
pengaruh fashion pada rakyat jelata merupakan hasil dari proses historis. Hal mana
perkembangan yang dialami oleh rakyat jelata tidak lepas dari proses sejarah. Terbukanya
lahan pekerjaan yang lebar di perkotaan menyebabkan banyak rakyat yang melakukan migrasi
ke perkotaan. Hidup di perkotaan yang masyarakatnya heterogen secara perlahan
menimbulkan nilai-nilai, gaya-gaya serta modus seni yang baru, berbeda dengan cara hidup
yang konvensional.
Dalam suasana perkembangan hidup tersebut, keunggulan-keunggulan individu (rakyat
jelata) kerap kali dikembangkan sebagai pembeda antara satu individu dengan individu
lainnya sehingga mereka dapat menyuguhkan lompatan-lompatan terbaru dalam hidup
mereka. Namun, sebagai rakyat kecil, dimana proses sejarahnya kurang terekam dengan baik
oleh sejarah. Diberlakukannya politik etis pada tahun 1901 membawa perubahan yang
signifikan dalam diri priyayi baru di Surakarta. Gerakan dalam diri priyayi Surakarta untuk
mendobrak tatanan dan pembatasan berpakaian tersebut muncul. Di sana sini, tumbuh

38
Bedjo Riyanto, 2000, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial, Yogyakarta:
Tarawang, hal. 52.
desakralisasi pakaian oleh para priyayi baru di Surakarta. Utamanya bagi mereka yang
menjabat pada jabatan tertentu di pemerintahan kegilaan kepada pakaian Eropa bersemi. Hal
itu menyebabkan kegoncangan yang hebat di kalangan para pegawai, sehingga menyebabkan
para pegawai Eropa merasa khawatir terhadap pergerakan tersebut.
Nuansa perubahan itu semakin diperkuat dengan lemahnya perdagangan pakaian
tradisional di Surakarta. Para pedagang batik Surakarta harus dihadapkan dengan serbuan dan
hantaman dari pedagang Asia Timur(Tionghoa dan Arabia) dan Eropa, sehingga walaupun
mereka berhasil lepas dari cengkraman pedagang Asia Timur para pedagang dan masyarakat
Jawa umumnya tidak dapat lepas dari serbuan pedagang Eropa yang menyuguhkan
kecantikan-kecantikan modernisasi. Hasrat aktualitas dan estetika dengan menggunakan
pakaian menimbulkan dibuangnya aksesoris-aksesoris tempo dulu. Payung dan keris tidak
lagi sebagai simbol prestise dan gaya hidup, tetapi beralih kepada sepatu, arloji serta celana
yang menjadi simbol ekspresi budaya baru gaya berpakaian di kalangan priyayi Surakarta.
Berubahnya gaya berpakaian tersebut secara tidak langsung membentuk tata nilai kesopanan
baru. Selain gaya berpakaian, para priyayi baru juga mengikuti gaya hidup para keluarga
bangsawan dan orang Belanda yang berkumpul dalam sebuah klub eksklusif sebagai tempat
hiburan mereka.

Daftar Pustaka
Ali, F. (1986). Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.
Arifin, W. P. (1999). Sembilan Tahun di Stovia, 1907-1916” dalam Henri Chambert-Loir dan
Hasan Muarif Ambary (ed,.), Panggung Sejarah; Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys
Lombard. Jakarta: Yayasan Obor.
Burger, D. H. (1977). Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Bharatara.
Karno, R. M., & Soedibyo, M. (1990). Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri
Soesoehoenan Pakubuwono ke- X; 1893-1939. Surakarta: -.
Kartini. (1985). Surat-Surat Kartini; Renungan tentang dan Untuk Bangsanya terj. Sulastin
Sutrisno. Jakarta: Djambatan.
Kartodirjo, S. (1987). Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Krover, A. P. (1985). Sarekat Islam Ratu Adil terj. Tim Penerjemah. Jakarta: Grafiti Press.
Kuntowijoyo. (1988). Sastra Priyayi sebagai Sebuah Jenis Sastra Jawa. Basis, 330-339.
___________ (2004). Raja, Priyayi, dan Priyayi. Yogyakarta: Ombak.
Margana, S. (2004). Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
__________ (2010). Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Margono, D. (-). Kenang-kenangan dari Tiga Zaman; Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis.
Jakarta: PT.Indira.
Misbahuddin, M. (2021). Priyayi dan Fashion: Perubahan Cara Berpakaian Priyayi Kecil
Surakarta 1900-1921 . Jurnal Studi islam dan Humaniora, Vol. 2(1), 1-16.
Moertono, S. (1985). Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang
Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX, . Jakarta: Yayasan Obor.
Mrazek, R. (2006). Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di
Sebuah Koloni, terj. Hermojo,. Jakarta: Yayasan Obor.
Niel, R. V. (1984). Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Nirwati, D. K. (2014). Budaya Priyayi Baru: Studi Gaya Hidup Priyayi baru di Societeit
Harmonie Surakarta Tahun 1920-1930, Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Nordholt, H. S. (2005). Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan terj. Imam Aziz.
Yogyakarta: LKiS.
Onghokham. (1986). Sejarah Surakarta Tinjauan Politik dan Sosial. Prisma, 1-10.
Radjiman. (1993). Sejarah Surakarta Tinjauan Politik dan Sosial. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Riyanto, B. (2000). Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial.
Yogyakarta: Tarawang.
Scherer, S. P. (1985). Keselarahan dan Kejanggalan Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis
Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Sinar Harapan.
Soeratman, D. (1989). Kehidupan Dunia Keraton Surakarta, 1830-1939: Masa Kolonial (1870-
1915). Yogyakarta: Taman Siswa.
Subadiyo, G. (1991). Serat Wulareng terj. Tim Penulis. Semarang: Dahara Prize.
Suhartono. (1991). Apanage dan bekel: Perubahan Sosial Pedesaan Surakarta 1830-1920.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Susanto, D. (2009). Hikayat Siti Mariah; Estetika Perselingkuhan Pramoedya Ananta Toer.
Yogyakarta: Insist Press.
Sutherland, H. (1983). Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Taylor, J. G. (1989). Kartini in her Historical Context In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 145. Leiden.
Wertheim, W. F. (1999). Masyarakat Indonesia Dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, terj.
Misbah Zulfa Elizabet. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Anda mungkin juga menyukai