Anda di halaman 1dari 11

http://situs.dagdigdug.com/2008/04/14/semiotika-kain-sindur-pada-upacara-pernikahan-adat-jawadi-surakarta/ Oleh: Desi Nurcahyanti, S.Sn. A. PENDAHULUAN Globalisasi menyebabkan kebudayaan berkembang tanpa batas.

Ruang dan waktu merupakan konteks untuk membedakan sejarah sebuah kebudayaan. Masing-masing bangsa di dunia berlomba untuk memperlihatkan keunggulan budaya yang dimiliki. Persengketaan perihal hak milik sebuah produk budaya adalah bentuk peperangan baru di zaman ini.

Bangsa yang disegani dan dihormati bangsa lain, adalah yang mampu menjaga dan menghargai hasil-hasil budayabukan bangsa yang menciptakan budaya. Menjaga eksistensi budaya bangsa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Merekonstruksi sesuai dengan bentuk lama maupun menambahkan sentuhan baru adalah salah satu cara. Mempelajari dengan mengupas bagian-bagiannya untuk mendapatkan hakekat makna, dapat memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan. Upacara adat yang masih diselenggarakan oleh masyarakat Indonesia, merupakan bentuk eksistensi. Hal tersebut sebagai indikasi bahwa kebudayaan tidak akan punah dan hilang. Permasalahan terletak pada peran serta masyarakat untuk menampilkannya secara nyata; dengan medium gambar, suara, dan tulisan. Budaya lisan pada masyarakat Jawa menyebabkan beberapa produk budaya bersifat semu, bermakna relatif, sulit diterjemahkan, dan penuh misteri. Penafsiran dilakukan dengan bebas, sesuai dengan kaidah-kaidah tertentu lewat pengendalian logika. Dokumentasi secara tertulis diperlukan, supaya mudah dipahami oleh semua pihak. Menuliskan suatu makna produk budaya termasuk cara menjaga budaya bangsa. Upacara adat di Indonesia bermacam-macam, karena faktor pluralitas masyarakatnya dari suku dan ras berbeda. Jawa adalah masyarakat terbesar di

Indonesia. Terbagi menjadi tiga kelompok besar berdasarkan kondisi geografis dan secara administratif, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada tulisan ini akan diulas perihal produk budaya dari Jawa Tengah, khususnya wilayah Surakarta. Produk budaya tersebut adalah kain sindur, yang digunakan dalam upacara pernikahan. Kain dengan tekniktritik (semacam ikat celup) ini memiliki makna khusus dan istimewa. Khusus karena digunakan sebagai busana (kemben, ikat pinggang) dan perlengkapan upacara (selendang) sekaligus. Istimewa karena menggunakan proses pembuatan dan pewarnaan yang berbeda dengan kain batikumumnya digunakan pada sebagian besar prosesi upacara pernikahan. Terlepas dari makna khusus dan keistimewaan yang dimiliki, kain Sindur menarik dan layak untuk dipelajari dari sudut pandang ilmu tentang tanda semiotika. Di dalamnya mengandung nasehat-nasehat, kebijaksanaan, dan pesan tentang kehidupan manusia. Terutama bagi sepasang insan yang akan membangun keluarga. Kain Sindur mengandung filosofi, karakter, dan pola pikir masyarakat Jawa dalam memaknai sebuah peristiwa daur hidup. Pernikahan merupakan ritual penting bagi masyarakat Jawa, karena memiliki posisi sebagai awal kelahiran (bayi) dan menjelang purna hidup (mati). B. LANDASAN TEORI 1. Tanda Tanda menurut Pierce, seorang filsuf Jerman yang juga ahli logika, merupakan elemen utama komunikasi, artinya manusia hanya berpikir dengan tanda, menurut Pierce logika adalah sinonim semiotik. Fungsi esensial dari tanda adalah untuk membuat hubungan menjadi efisien, meskipun bukan tindakan, tetapi merupakan usaha untuk menjadikannya yang umum dan operasional. Tanda diurai dengan mengambil sudut pandang dari relasinya, dibedakan atas tiga jenis yaitu: a. Ikon: suatu tanda yang terjadi berdasarkan adanya persamaan potensial dengan sesuatu yang ditandakannya (seperti peta dan wilayah geografisnya, foto dengan objeknya, lukisan dengan gagasannya).

b. Indeks: suatu tanda yang sifatnya tergantung dari adanya suatu denotasi, atau mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya (seperti: ada asap pasti ada api). c. Simbol: suatu tanda yang ditentukan oleh suatu aturan yang berlaku umum, kesepakatan bersama, atau konvensi (seperti: gerakan tubuh atau anggukan kepala sebagai tanda setuju). Lebih jelas bila disajikan dengan tabel sebagai berikut: Trikotomi Ikon, Indeks dan Simbol Pierce

Tanda Ditandai dengan Contoh

Ikon Indeks persamaan hubungan sebab(kesamaan) akibat gambar-gambar, asap-api,gejalapatung-patung, tokoh penyakit, besar, foto presiden bercak merahcampak

Simbol konvensi kata-kata,isyarat

Proses

dapat dilihat

dapat diperkirakan

harus dipelajari

Sumber: Berger, 2000: 14. Tanda bersifat empiris dan indrawi bila diamati dengan lingkup budaya Umberto Eco, masuk klasifikasi ke-16 dalam ranah budaya Eco yang berjumlah 19 urutan (a sampai s), yakni ranah kode-kode budaya,meliputi kajian semiotik pada sistem nilai, kebiasaan, adat tipologi kebudayaan, model kebudayaan, model organisasi sosial, sistem kekeluargaan, hingga jaringan komunikasi dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Dua aspek penting terdapat dalam tinjauan semiotika bahasa rupa yaitu indeks dan tanda. Indeks adalah tanda yang memiliki hubungan ketergantungan eksistensial antara tanda dan yang ditandai, atau mempunyai ikatan kausal dengan yang diwakili. Tanda adalah unsur dasar dalam semiotika dan komunikasi mencakup segala sesuatu yang mengandung arti, memiliki dua kategori yakni sebagai penanda (bentuk dasar, ikon, simbol, notasi) dan sebagai petanda (arti) (Sachari, 2004: 65-67, 74). Tanda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai lima pengertian yakni yang menjadi alamat atau yang mengatakan sesuatu, gejala, bukti, pengenal,

dan petunjuk. Tidak semua tanda terlihat. Suara dapat dikategorikan sebagai tanda, begitu juga bau, rasa, dan bentuk. Beberapa tanda mempunyai dimensi visual dan mengetahui varisasi aspek-aspek visual tanda adalah hal penting sebagai pertimbangan dalam analisis. Aspek-aspek tersebut adalah penggunaan warna, ukuran, ruang lingkup, kontras, bentuk, dan detail (Berger, 2000: 3942). 2. Tanda Dalam Kebudayaan Jawa Tanda pada kebudayaan Jawa dapat dikategorikan dalam ikon, indeks dan simbol. Kategori paling banyak adalah simbol, karena beberapa hal termasuk klasifikasi simbol. Hal-hal tersebut yakni: 1. Benda yang berujud, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan (bunga, buah, pohon), bagian rumah, susunan keraton, motif-motif pada kain dan busana, perlengkapan upacara; 2. Warna; 3. Gerak (dengan isyarat mimik muka, bahasa tubuh, sikap); 4. Kata-kata; 5. Perbuatan yang mengandung simbol; 6. Bilangan, angka, huruf (Suwondo, 1981: 236). Bentuk kebudayaan sering diwujudkan berupa simbol-simbol. Masyarakat Jawa, kaya akan sistem simbol tersebut. Sepanjang sejarah manusia Jawa, simbol telah mewarnai tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan, dan religi. Sistem simbol digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan. Simbol memiliki pengetahuan linuwih yang mampu memahami segala bentuk dan tujuan dari simbol-simbol itu sendiri (Hariwijaya, 2004: 3). Bentuk simbol dalam budaya Jawa dominan dalam segala bidang. Simbol pada kebudayaan orang Jawa, menurut sejarah, dimulai dari zaman prasejarah atau zaman belum mengenal tulisan sehingga komunikasi lewat gambar di dindingdinding gua atau tanah liat sampai sekarang ini, dimaksudkan sebagai tanda memperingati suatu kejadian tertentu, agar segala peristiwa dapat diketahui atau diingat kembali oleh masyarakat segenarasi ataupun generasi berikutnya.

Simbol dalam berbagai upacara adat mempunyai makna yang dirangkai oleh para pendahulu dan memunculkan tradisi yang terpakai secara turun temurun baik di masyarakat maupun keraton (Sukmawati, 2004: 18-19). Masyarakat Jawa mempunyai anutan yang selalu diterapkan hampir diseluruh kehidupannya yaitu berupa dua falsafah bentuk dasar piramida dan kerucut. Bentuk dasar ini dibagi atas dua sudut pandang yakni: 1. Vertikal, meliputi konsep makrokosmos, tegak lurus, mengatas, alam atas. Perspektif vertikal digambarkan dalam bentuk segitiga. Bentuk dasar segitiga memiliki makna yang khas dan tercipta melalui simbol-simbol dalam kehidupan sehari-hari. 2. Horisontal, meliputi konsep mikrokosmos, mendatar, mendunia, alam tengah atau bawah. Sudut pandang horisontal digambarkan dengan segiempat. Bentuk segiempat garis diagonalnya lebih bersifat hubungan horisontal, hubungan sosial, kekerabatan, perbuatan manusia, kehidupan alam tengah dan kehidupan materi. Karakter semiotika unsur simbol terdapat pada aneka jenis barang, elemen arsitektur, benda upacara, kereta, dan berbagai perabot keseharian yang mengandung ornamen. Karakter Semiotika Unsur Simbol Pada Aneka Jenis Barang Dalam Kebudayaan Jawa

INDEKS
Sumber: Sachari, 2004: 77.

TANDA: IKON, SIMBOL

3. Upacara Adat Jawa di Surakarta


Prosesi upacara adat yang dilaksanakan masyarakat di luar tembok keraton mempunyai perbedaan dengan di dalam lingkup keraton, terdapat batasanbatasan dan peraturan yang dibuat oleh keraton selaku pusat pemerintahan dan budaya, meskipun untuk kasunanan sudah mulai surut pengaruh kekuasaannya setelah pasca kemerdekaan Republik Indonesia (Kuntowijoyo, 2004:1-4).

Upacara adat yang paling umum diselenggarakan oleh masyarakat Jawa di Surakarta terdapat dua macam yakni upacara adat berdasarkan penanggalan Jawa (berkaitan dengan perayaan hari besar agama Islam) dan berkaitan dengan siklus hidup. Upacara adat berdasarkan penanggalan Jawa di Surakarta diselenggarakan pihak Keraton Kasunanan dan Puro Mangkunagaran. Upacara adat berdasarkan penanggalan Jawa memungut pola waktu Islam dalam menghitung bulan menurut rembulan dan hari-hari suci yang berkaitan dengan itu, orang Jawa merasa berkewajiban merayakan menurut satu-satunya cara yang mereka ketahui yakni dengan mengadakan slametan. Upacara ini dipengaruhi budaya Jawa Klasik dan Hindu dengan adanya penggunaan tari-tarian, langgam Jawa yang diiringi gamelan serta benda-benda seperti gamelan dan wayang. Upacara menurut perhitungan tanggal Jawa yakni Syuro, Sekaten, dan Syawalan. Upacara adat Jawa di Surakarta yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dilaksanakan sejak dari kandungan, kelahiran, perkawinan dan kematian. Pelaksanaan upacara adat itu menurut penyelenggaraannya tidak sama dalam hal detail prosesi dan jumlah perlengkapan yang digunakan. Upacara yang paling banyak jumlah tata urutan acaranya dalam siklus hidup ini adalah upacara perkawinan. Upacara siklus hidup adalah upacara peralihan tahap (rites of passage)yang digambarkan seperti busur panah, mulai dari gerak-gerik isyarat kecil tak teratur yang melingkungi kelahiran sampai pada pesta dan hiburan besar yang diatur rapi seperti khitanan, perkawinan dan terakhir pada upacara kematian yang hening dan mencekam perasaan (Geertz, 1989: 48, 104). Upacara siklus hidup juga disebut crisis rites atau upacara waktu krisis dalam ilmu Antropologi, karena peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dari lahir sampai mati, memunjukkan adanya perubahan status sosial dari kedudukan sosial yang satu beralih ke tingkat sosial lain yang lebih tinggi. Waktu peralihan ini merupakan dianggap sebagai saat-saat penuh bahaya, sehingga diadakan upacara atau pesta untuk menolak bahaya gaib (Suwondo, 1981:157).

4. Pernikahan Adat Jawa di Surakarta Pernikahan merupakan sumbu tempat berputarnya seluruh hidup kemasyarakatan. Peralihan dari remaja ke masa berkeluarga. Menutupi taraf hidup lama dan membuka taraf hidup baru. Proses ini tidak dialami oleh perorangan, tapi tanggungjawab bersama bagi masyarakat Jawa. Orang tua memainkan peranan penting dalam peristiwa ini. Sebelum menikahkan anak gadis atau perjaka mereka memberi pertimbangan dan persetujuan berdasarkan tata cara lama yang tidak boleh diabaikan, yakni bibit (tanaman muda yang akan ditanam, pengertiannya tingkat pendidikan), bobot (berat, pengertiannya status atau kedudukan sosial orang tua sehingga tidak menjadi neraca yang berat sebelah), dan bebet (keturunan, artinya apa si gadis atau pemuda adalah keturunan orang baik atau apa profesi dari orang tua). Selain itu juga melihat tanggal kelahiran dihitung berdasarkan neptu (nilai dari suatu hari tertentu) baik atau tidak untuk jodoh. Setelah itu lamaran, bapak dari anak laki-laki membuat surat lamaran, jika disetujui maka keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang kedatangan keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai lamaran. Sekaligus merancang tentang pernikahan. Lamaran usai dilanjutkan dengan peningsetan (pengikatan), maksud dari upacara ini ialah sebagai simbol bahwa si gadis telah ada yang mempersunting. Pihak laki-laki memberikan sejumlah barang pada kerabat si gadis yang disebut peningset. Wujud peningset ini tidak ada ketentuannya, tergantung persetujuan atau keadaan dari kedua belah pihak, dengan adanya upacara ini pemuda dan gadis telah ada dalam ikatan untuk melangsungkan perkawinan. Sebelum menikah prosesinya antara lainsrah-srahan, pingitan, pasang tarub, siraman, midodareni, ijab (temu, panggih), tumplak punjen. Orang yang pertama kali menikahkan anak perempuannya dinamakanmantu sapisanan atau mbuka kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu regil atau tumplak punjen. Orang Jawa khususnya Surakarta, yang sibuk dalam perkawinan adalah pada pihak pengantin perempuan, sedangkan pihak laki-laki cukup memberikan sejumlah uang guna membantu pengeluaran yang dikeluarkan pihak perempuan. Ada pemberian sejumlah

perhiasan, perabot rumah maupun rumahnya sendiri, selain itu saat acara ngunduh (acara setelah pernikahan dimana yang membuat acara pihak laki-laki untuk memboyong istri ke rumahnya), biaya dan pelaksana adalah pihak laki-laki. Urutan acaranya antara lain: pasang tarub, siraman, midodareni, temu, akad nikah, dan terakhir resepsi (Nino, diakses dari internet tanggal 17 Maret 2006). 5. Kain Sindur Pada Pernikahan Adat Jawa di Surakarta Kain Sindur adalah kain dengan perpaduan warna tertentu, yang digunakan pada upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta. Keseluruhan jenis kain tersebut melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Teknik yang digunakan untuk membuat kain Sindur adalahtritiksemacam teknik jumputan, tetapi motif tritik lebih kecil. Corak kain Sindur didapat dengan cara menjelujur kain menggunakan benang, sesuai bentuk yang diinginkan. Corak tersebut diberi nama menurut bentuknya, yakni untu walang (gigi belalang), regulon (ukiran penghias pinturumah adat Jawa), tapak dara (telapak kaki burung merpati), dangadan (senjata gada). Struktur corak kain Sindur terbagi menjadi tiga, disebut pinggiran (tepi),tengahan (bagian tengah), dan badan (antara pinggiran dan tengahan).Tengahan dapat berbentuk persegi empat, bulat, dan wajik (layang-layang). Tata letak dan urutan warna pada kain Sindur menentukan nama dan makna. Tiap perpaduan warna mempunyai istilah, nilai, dan daya magis. Kain Sindur digunakan pada urutan acara tertentusaat penyelenggaraan upacara pernikahan adat Jawa. Pada acara panggih, kain Sindur digunakan untuk menutupi bahu kedua mempelai pengantin (lihat lampiran). Kain Sindur dengan perpaduan warna merah-putih dinamakan gula klapa. Sindur merah-putih digunakan sebagai ikat pinggang, kemben, penghias keris, dan kain kacar kucur pada upacara pernikahan. Merah melambangkan laki-laki, sedangkan putih melambangkan perempuan. Saat acara kacur kucur, kain Sindur digunakan untuk menampung pemberian mempelai laki-laki. sedang berkembang, ibarat seorang gadis (sang mempelai perempuan) sia

Sindur diletakkan pada pangkuan mempelai perempuan, kemudian mempelai pria menuangkan nafkah. Nafkah disimbolkan dengan beras, kedelai, dan uang logam; benda-benda kebutuhan pokok dalam hidup. Hal tersebut melambangkan laki-laki (dalam adat Jawa) berkewajiban mencari dan memberi nafkah untuk keluarga. Kain Sindur dengan perpaduan warna hijau tua dan merah dinamakanKlabang Ngantup (lipan menyengat). Sindur jenis ini dianggap sakral, dan dipakai untuk pembungkus dan penghias benda-benda pusakaoleh masyarakat Jawa. Disakralkan karena klabang yang berarti lipan, dianggap sebagai hewan berbisa, meskipun kecil tetapi kekuatannya mematikan. Klabang Ngantup digunakan pada acara ngunduh mantu, yaitu rangkaian upacara pernikahan yang diadakan oleh pihak pengantin pria. Acara ini diselenggarakan beberapa hari sesudah upacara oleh pihak perempuan. Orang tua kedua mempelai menggunakan Klabang Ngantup sebagai pelapis ikat pinggang (untuk pria; bapak) dan kemben (untuk perempuan; ibu). Penggunaan tersebut melambangkan bahwa putra-putri mereka telah menapaki proses awal hidup berumah tanggasang pengantin pria telah melaksanakan kewajiban memberi nafkah batin untuk pertama kalinya kepada istri. Kain Sindur berikutnya adalah dengan urutan perpaduan warna dari luar ke dalam, yakni hijau, merah, dan putih. Sindur ini dinamakan Manten Anyar (pengantin baru). Kain tersebut dikenakan oleh pasangan pengantin saat acara ngunduh mantu. Setelah acarangunduh mantuusai, mempelai perempuan menggunakan kain Sindur Mayang Mekar, dengan kombinasi warna hijau tua dan hijau muda. Mayang Mekarberarti bunga kelapa yang sedang berkembang, ibarat gadis (mempelai perempuan) yang siap menuju tahap selanjutnya (Djoemena, 1990: 90-91, 109-112). C. PEMBAHASAN DAN ANALISIS Berdasarkan uraian landasan teori, kain Sindur yang akan dianalisis pada bab ini, antara lain: 1. kain Sindur Gula Klapa; 2. kain Sindur Klabang Ngantup; 3. kain Sindur Manten Anyar; dan

4. kain Sindur Mayang Mekar. Analisis dilakukan terhadap nama, jenis warna, corak kain, struktur corak, makna, dan fungsi kain Sindur pada pernikahan adat Jawa di Surakarta. Konsep dan pendapat yang digunakan adalah trikotomi Charles Sanders Pierce seputar tanda, yang ia bagi menjadi ikon, indeks dan simbol. Bagian-bagian tersebut akan digolongkan sesuai dengan makna dan pengertian yang ada pada masing-masing kain, untuk memperjelas kedudukannya dalam pendekatan semiotika. 1. Ikon Yang termasuk ikon dalam kain Sindur pada upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta yakni jenis kain Sindur Gula Klapa dan corak kain. Penjelasannya sebagai berikut: Kain Sindur Gula Klapa berwarna merah-putih. Warna tersebut diambil dari benda yang berwarna serupa yakni gula (Jawa dari Aren) yang berwarna merah (kecoklatan) dan klapa atau buah kelapa berdaging putih. Kain Sindur jenis lain yakni kain Sindur Klabang Ngantup, Manten Anyar, dan Mayang Mekar, tidak masuk kategori karena penamaan kain-kain tersebut berdasarkan makna. Corak kain sindur yakni untu walang (gigi belalang), regulon (ukiran penghias pinturumah adat Jawa), tapak dara (telapak kaki burung merpati), dan gadan (senjata gada), diberi nama sesuai dengan bentuknya. Sesuai dengan konsep ikon pada trikotomi Pierce, kesesuaian bentuk dan nama yang digunakan dapat dilihat langsung (secara visual). 2. Indeks Yang termasuk indeks dalam kain Sindur pada upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta yakni fungsi kain. Pada upacara lain yang diselenggarakan masyarakat Jawa tidak menggunakan kain jenis ini, sehingga bila terdapat acara yang menggunakan kain Sindur, dapat dipastikan upacara pernikahan adat Jawa. Masing-masing kain Sindur, yakni Gula Klapa, Klabang Ngantup, Manten Anyar, dan Mayang Mekar, digunakan untuk acara yang berbeda. Gula Klapa untuk acara kacar kucur. Untuk acara ngunduh

mantumenggunakan Klabang Ngantup dikenakan orang tua kedua mempelai dan Manten Anyar dikenakan oleh pasangan pengantin. Mayang Mekardigunakan saat purna acara atau rangkaian upacara pernikahan usai. 3. Simbol Yang termasuk simbol dalam kain Sindur pada upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta adalah nama, jenis warna, corak kain, struktur corak, makna, dan fungsi kain, karena bagian-bagian tersebut mewakili dari keseluruhan maksud yang disampaikan dalam suatu sistem. Sistem yang dimaksud adalah acara pernikahan yang meliputi kacar kucur, panggih, ngunduh mantu, dan purna acara (setelah rangkaian acara usai). Halhal yang disimbolkan pada masing-masing jenis kain Sindur mengandung arti kemakmuran dan kesuburan. Nama kain Sindur, yakni Gula Klapa, Klabang Ngantup, Manten Anyar, danMayang Mekar berdasarkan jenis warna, corak kain, struktur corak. Hal-hal tersebut melahirkan makna dan diikuti dengan fungsi sesuai makna kain Sindur. D. PENUTUP Ikon, indeks, dan simbol pada bab pembahasan dan analisis akan mudah dipahami bila tersaji dalam bentuk tabel, sebagai berikut: Trikotomi Ikon, Indeks dan Simbol Pierce Dalam Kain Sindur Pada Upacara Pernikahan Adat Jawa Di Surakarta <td style=border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 25.5pt valign=top%

No

Bagian-Bagian Kain Sindur Ikon Indeks Simbol

1 2

Nama Jenis Warna (merah, putih, hijau)

Anda mungkin juga menyukai