Perubahan diri dimaknai sebagai perubahan dimulai dari diri siswa sendiri
itu sendiri yang lebih menghargai orang lain agar dia bisa hidup damai dengan
sekelilingnya. Kemudian diwujudkan dalam tata tutur dan tata perlakunya di
lingkungan sekolah dan berlanjut hingga di masyarakat. Karena sekolah
merupakan agen perubahan, maka diharapkan ada perubahan yang terjadi di
masyarakat seiring dengan terjadi perubahan yang terdapat dalam lingkungan
persekolahan. (Gorski, 2001).
BAB II
Horace Kallen
Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-
lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism). Teori
pluralisme budaya ini dikembangkan oleh Horace Kallen. la
menggambarkan pluralisme budaya itu dengan definisi operasional
sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam
batas-batas menjaga persatuan nasional. Kallen mencoba mengekspresikan
bahwa masing-masing kelompok etnis dan budaya di Amerika Serikat itu
penting dan masing-masing berkontribusi unik menambah variasi dan
kekayaan budaya, misalnya bangsa Amerika. Teori Kallen mengakui
bahwa budaya yang dominan harus juga diakui masyarakat. Dalam
konteks ini Kallen tetap mengakui bahwa budaya WASP di AS itu sebagai
budaya yang dominan, sementara budaya-budaya yang lain itu dipandang
menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika.
Sekarang, cobalah anda membandingkan dengan situasi dan kondisi
bangsa Indonesia! Adakah budaya yang nampak dominan di negeri ini?
Jawa, Bali, Tionghoa atau yang lainnya? Apa dasar anda untuk
menentukan mereka sebagai budaya dominan. Misalnya, anda berpendapat
bahwa budaya yang dominan adalah Jawa karena sebagian besar penduduk
berasal dari Jawa dan berada di Jawa. Tetapi Jawa yang mana karena ada
aneka ragam budaya yang ada di Jawa? Sebagian yang lain mungkin
menyebut Bali karena Bali lebih dikenal di seluruh dunia daripada
Indonesia. Sehingga sering terjadi pertanyaan yang menggelitik, Indonesia
itu letaknya sebelah mana dari Bali? Mengapa pertanyaan ini sering
muncul? Karena Bali lebih dikenal sebagai tempat wisata Internasional.
Nah cobalah cari di koran atau internet, Indonesia lebih dikenal karena
faktor apa?
Atau mungkin ada yang memandang bahwa budaya Cina yang mulai
menampakkan pengaruhnya? Penggunaan Feng Shui dan adanya
Barongsai di berbagai acara dan di berbagai tempat strategis di tanah air
ini saat ini sangat mewarnai budaya bangsa kita. Namun yang perlu kita
perhatikan adalah posisi yang anda tentukan itu didasarkan atas teori dari
Horace Kallen yang belum tentu disetujui olch kelompok lain.
Penghargaan atau pengakuan terhadap budaya yang dominan dari
Horace Kallen oleh kelompok yang lain ini dipandang bukan merupakan
bagian dari teori multikultural. Nanti akan kita lihat dalam pembahasan
teori dari Banks mengenai kelompok Afrosentris yang antipati terhadap
keberadaan kelompok dominan ini.
James A. Banks
Kalau Horace Kallen perintis teori multikultur, maka James A. Banks
dikenal sebagai perintis Pendidikan Multikultur. Jadi penekanan dan
perhatiannya difokuskan pada pendidikannya. Banks yakin bahwa
sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana
berpikir daripada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa harus
diajar memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan
konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang
berbeda-beda. Siswa yang baik adalah siswa yang selalu mempelajari
semua dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstruksi
pengetahuan pengetahuan. Dia juga perlu disadarkan bahwa di dalam
pengetahuan yang dia terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang
sangat ditentukan oleh kepentingan masing-masing. Bahkan interpretasi
itu nampak bertentangan sesuai dengan sudut pandangnya. Siswa
scharusnya diajari juga dalam menginterpretasikan sejarah masa lalu dan
dalam pembentukan sejarah (interpretations of the history of the past and
history in the making) sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri.
Mereka perlu diajari bahwa mereka sebenarnya memiliki interpretasi
sendiri tentang peristiwa masa lalu yang mungkin penafsiran itu berbeda
dan bertentangan dengan penafsiran orang lain. Misalnya, mengapa
sampai terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825 - 1830. Salah satu
sebab kemunculannya adalah pembangunan jalan yang melintasi makam
di daerah Tegal rejo, Yogyakarta yang secara kultural sangat dihormati
oleh masyarakat sekitar pada waktu itu. Dari sudut pandang Belanda
tindakan Diponegoro itu dianggap sebagai pemberontakan dan sudut
pandang penguasa waktu itu dianggap sebagai upaya perebutan kekuasaan
dari seorang putera selir yang dalam kultur Jawa kedudukannya tidak
setinggi putera permaisuri. Namun sudut pandang apa pun yang digunakan
sebagai motif yang melatar belakanginya perang Diponegoro, namun
sebagai sebuah bangsa dan komitmen kita sebagai putera bangsa, kita
memandang perjuangan Pangeran Diponegoro itu sebagai perjuangan
seorang putra daerah yang ingin memerdekakan diri dari penjajahan
bangsa asing. Siswa harus belajar mengidentifikasi posisinya sendiri
sebagai putera bangsa yang sedang dijajah, kepentingannya yang ingin
memerdekakan diri, asumsi dan filsafat idealnya. Dengan demikian dia
akan mengetahui bagaimana sejarah itu terjadi dan menjadikan hal yang
terjadi itu sebagai sejarah. Singkatnya, mereka harus menjadi pemikir
kritis (critical thinkers) dengan selalu menambah pengetahuan dan
ketrampilan, disertai komitmen yang tinggi. Semuanya itu diperlukan
untuk berpartisipasi dalam tindakan demokratis. Dengan landasan ini,
mereka dapat membantu bangsa ini mengakhiri kesenjangan antara ideal
dan realitas (Banks, 1993). Di dalam The Canon Debate, Knowledge
Construction, and Multicultural Education, Banks mengidentifikasi tiga
kelompok cendekiawan yang berbeda dalam menyoroti keberadaan
kelompok - kelompok budaya di Amerika Serikat:
Pertama adalah traditionalis Barat. Tradisionalis Barat, seperti halnya
dengan kelompok pluralisme budaya dari Horace Kallen, meyakini bahwa
budaya yang dominan dari peradaban Barat yaitu kelompok White, Anglo
Saxon dan Protestan perlu dipresentasikan secara menonjol di sekolah.
Kelompok ini beranggapan bahwa mereka berada dalam posisi terancam
dan berbahaya karena mengenyampingkan kelompok feminis, minoritas
dan reformasi multikultural yang lain. Namun tidak seperti kelompok
Pluralisme Budaya Horace Kallen, tradisionalis Barat masih sedikit
memberi perhatian pada pengajaran keanekaragaman atau multikultur.
Tetapi pertanyaan yang dapat dikemukakan terhadap kelompok ini, jika
peradaban Barat hanya mengajarkan sejarah dan budaya kelompok
dominan, apakah tidak akan mengecilkan pentingnya kelompok budaya
lain yang turut serta dalam pembentukan Amerika Serikat?
Sekarang cobalah anda terapkan adanya kelompok dominan ini
dengan kondisi di Indonesia ! Perhatikan pula dampak atau bahaya yang
muncul ke permukaan dalam bentuk perlawanan fisik maupun perlawanan
non fisik. Kita pernah mengenal adanya kegiatan transmigrasi orang Jawa
ke berbagai daerah di tanah air untuk mengatasi kepadatan penduduk di
Jawa ini dipandang sebagai "penjajahan dari Jawa",
Kelompok kedua yaitu mereka yang menolak kebudayaan Barat
secara berlebihan, yaitu kelompok Afrosentris. Kelompok ini beranggapan
bahwa pengabaian kelompok lain itu memang benar terjadi dan kelompok
ini berpendapat bahwa sejarah dan budaya orang Afrika lah yang
scharusnya menjadi sentral dari kurikulum agar semus siswa dapat
mempelajari peranan Afrika dalam perkembangan peradaban Barat.
Afrosentris juga meyakini bahwa sejarah dan budaya orang Afrika
scharusnya menjadi sentral dalam kurikulum untuk memotivasi siswa
Afrika Amerika dalam belajar.
Namun pertanyaan yang dapat diajukan pada kelompok Afrosentris ini
adalah jika teori Afrosentris sebagai suatu budaya tertentu yang harus
menjadi sentral bagi pendidikan untuk semua siswa, apakah itu tidak
diikuti orang Spanyol yang juga yakin bahwa sejarah dan budaya Spanyol
seharusnya yang menjadi sentral dari kurikulum? Tentu, kita memahami
peranan penting orang Spanyol dalam perkembangan Barat, khususnya
dalam mengenal sejarah Amerika, penemuan Amerika, dan penguasaan
seluruh Texas.
Dan bagaimana pula dengan keturunan orang Perancis, yang telah
menyumbang banyak pada bahasa Amerika dan khususnya terhadap
budaya Louisiana, akankah mereka tidak merasa bahwa sejarah mereka
sama pentingnya dengan yang dimainkan oleh orang Afrika di Selatan?
Kelompok ketiga. Multikulturalis yang percaya bahwa pendidikan
scharusnya direformasi untuk lebih memberi perhatian pada pengalaman
orang kulit berwama wanita. Kelompok ini sekarang sedang berkembang
dan sedang memperjuangkan posisinya di tengah dominasi kelompok yang
sudah mapan.
Kita sebagai bangsa Indonesia boleh berbangga karena bangsa kita
pernah dipimpin olch seorang presiden wanita sementara negara
superpower seperti AS yang memproklamasikan dirinya sebagai negara
paling demokratis ini masih sedang mempertanyakan posisi wanita dalam
kancah pertarungan politik di tingkat tertinggi, presiden wanita di
AmerikaSerikat.
Bill Martin
Dalam tulisannya yang berjudul Transformational?, Bill Martin
menulis, bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme memunculkan
pertanyaan tentang "perbedaan" yang nampak sudan dilakukan berbagai
teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan politik, jika
multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai kelompok
yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi 'pertemuan' dari berbagai
kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi
semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin,
1998: 128)
Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari Afrosentris dan
tradisionalis Barat. Martin menyebut Afrosentris dan tradisional Barat itu
sebagai "consumerist multiculturalism". Selanjutnya, Martin mengusulkan
sesuatu yang baru. Multikulturalisme bukan "konsumeris" tetapi
"transformational", yang memerlukan kerangka kerja. Martin mengatakan
bahwa di samping isu tentang kelas sosial, ras, etnis dan pandangan lain
yang berbeda, diperlukan komunikasi tentang berbagai segi pandangan
yang berbeda. Masyarakat harus memiliki visi kolektif tipe baru dari
perubahan sosial menuju multikulturalisme yaitu visi yang muncul lewat
transformasi.
Martin memandang perlu adanya perubahan yang mendasar di antara
kelompok- kelompok budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru
yang dimiliki dan dikembangkan bersama. Untuk mencapai tujuan itu
sangatlah dibutuhkan adanya komunikasi antar berbagai segi pandang
yang berbeda. Mengapa ini penting? Karena selama ini masing-masing
kelompok bersikap tertutup terhadap kelompok yang lain dan tidak ada
komunikasi tanpa prasangka di antara kelompok-kelompok yang ada.
Judith M. Green
Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya unik di
A.S. Negara lain pun harus mengakomodasi berbagai kelompok kecil dari
budaya yang berbeda. Kelompok-kelompok ini biasanya bertoleransi
terhadap keuntungan budaya dominan. Secara unik, Amerika memberi
tempat perlindungan dan memungkinkan mereka mempengaruhi
kebudayaan yang ada. Dengan team, kelompok memperoleh kekuatan dan
kekuasaan, membawa perubahan seperti peningkatan upah dan keamanan
kerja. Wanita dan minoritas (Hispanis, Afrika dan Amerika Asli) harus
memperoleh kesempatan ekonomi yang lebih baik, partisipasi politis yang
lebih efektif, representasi media yang lebih disukai, dan sebagainya.
Namun akhir abad 20 telah membawa orang Amerika pada suatu tempat
"memerangi kebuntuan yang memerlukan pemikiran kembali yang baru
dan lebih dalam tentang tujuan dan materi pendidikan dalam suatu
masyarakat yang masih terus diharapkan dan dicita- eitakan yang
dibimbing olch ide demokrasi" (CGreen, 1998). Bangsa ini selalu
memandang pendidikan sebagai cara perubahan yang efektif, baik secara
personal maupun sosial. Sehingga lewat pendidikan Amerika meraih
kesuksesan terbesar dalam transformasi. Beberapa kelompok tidak bisa
melihat bahwa kita sekarang adalah apa yang selalu ada. Yaitu, Amerika
yang sejak kelahirannya, selalu memiliki masyarakat multikultural di
mana berbagai budaya telah bersatu lewat perjuangan, interaksi, dan
kerjasama (Green, 1998).
BAB III
KARAKTERISTIK LINTAS BUDAYA
1
Demokrasi adalah sistem terbaik untuk menciptakan keadilan.
Karena semua orang bebas berkarya tapi dibatasi oleh ideologi negara dan
kepentingan umum; keterwakilan setiap kelompok untuk menjadi
pemimpin; dan perselisihan politik diselesaikan secara damai dan demi
kepentingan umum; peranserta rakyat menjadi lebih banyak orang
memperoleh keadilan; dan inti demokrasi adalah pemantauan rakyat, dengan
begitu penguasa tidak semena-mena (Kamil, 2002: 31).
Pertalian orang satu dengan yang orang lain yang dilandasi oleh
nilai kebersamaan (Aly, 2011: 116). Kebersamaan menurut Dariusz
Dobrzanski (2004: 121-122) sebagaimana dikutip oleh Abdullah Aly
(2011: 116), Kebersamaan adalah kesatuan perasaan dan sikap dalam
hubungan manusia satu dengan yang lain, meskipun mempunyai
perbedaan suku, budaya, agama, ras, etnik dan strata sosial.
6. Hubungan-Hubungan
Budaya juga mengatur hubungan-hubungan manusia dan
hubungan-hubungan organisasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status,
kekeluargaan, kekayaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan.
1. Kepercayaan
Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan.
Dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai
perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan atau
ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada
komunikasi di dalam masyarakat/plural.
2. Toleransi
Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai
keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan
adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga
dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya.
BAB IV
a. Teknologi
Teknologi dalam bahasa latin “texere” yang berarti to weave
(menenun) atau to construct (membangun). Dalam bahasa Yunani,
teknologi disebut tecnologia yang berarti pembahasan sistematik
mengenai seluruh seni dan kerajinan. Istilah tersebut memiliki akar kata
techne dalam bahasa Yunani kuno berarti seni (art), atau kerajinan (craft).
Dari makna harfiah tersebut, teknologi dalam bahasa Yunani kuno dapat
didefinisikan sebagai seni memproduksi alat-alat produksi dan
menggunakannya. Teknologi dapat pula dimaknai sebagai pengetahuan
mengenai bagaimana membuat sesuatu (know-how of making things) atau
bagaimana melakukan sesuatu (know-how of doing things), dalam arti
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu dengan nilai yang tinggi, baik
nilai manfaat maupun nilai jualnya.
Dalam konsep yang pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara
akademis dapatlah dikatakan bahwa pengetahuan (body of knowledge), dan
teknologi sebagai suatu seni (state of art) yang mengandung pengertian
berhubungan dengan proses produksi; menyangkut cara bagaimana
berbagai sumber, tanah, modal, tenaga kerja, dan keterampilan
dikombinasikan untuk merealisasikan tujuan produksi. Secara
konvensional mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara
luas juga meliputi teknologi sosial, terutama teknologi sosial
pembangunan sehingga teknologi itu adalah metode sistematis untuk
mencapai setiap tujuan Insani”.
Teknologi diciptakan manusia melalui penerapan (exercise)
budidaya akalnya. Manusia harus mendayakan akal pikirannya dalam
reka teknologi berdasarkan ratio (nalar) dan kemudian meyasanya menjadi
suatu produk yang kongkrit. Teknologi selalu disandingkan dengan
istilah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan usaha manusia
untuk memahami gejala dan fakta alam, dan melestarikan pengetahuan
tersebut secara konseptional dan sistematis.
Secara sosiologis, teknologi memiliki makna yang lebih mendalam
daripada peralatan. Teknologi menetapkan suatu kerangka bagi
kebudayaan non material suatu kelompok. Jika teknologi suatu kelompok
mengalami perubahan, maka cara berpikir manusia juga akan
mengalami perubahan. Hal ini juga berdampak pada cara mereka
berhubungan dengan yang lain. Namun bagi pahaman Marx, teknologi
merupakan alat, dalam pandangan materialisme historis hanya menunjuk
pada sejumlah alat yang dapat dipakai manusia untuk mencapai
kesejahteraannya.
Teknologi memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat
sebagai hal impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang
kehidupan manusia menjadi lingkup teknis seperti ciri-ciri rasionalitas,
artifisialitas, otomatisme, teknik berkembang pada suatu kebudayaan,
monisme, universalisme, dan otonomi.2[11] Tentunya teknologi tidak
hanya terbatas kepada penggunaan mesin - mesin, meskipun dalam
pengertian sempit teknologi seringkali dikaitkan dengan mesin dalam
bahasa sehari- hari. Technology is a design for instrumental action that
reduces the uncertainly in the course-effect relationships invalved in
achieving a desired outcome.
b. Teknologi Informasi dan Komunikasi
2
teknologi informasi tersebut belum menggambarkan secara langsung
kaitannya dengan sistem komunikasi, namum lebih pada pengolahan data
dan informasi. Namun setelah aspek hardware (perangkat keras) dan
software (perangkat lunak) dalam rangkaian media diterapkan akan
berhubungan dengan manusia dan antar manusia, kelompok bahkan
masyarakat sebagai pengguna dan khalayak media, struktur-struktur
organisasional, dan nilai-nilai sosial yang dikoleksi, muncullah teknologi
informasi dan komunikasi.
c. Budaya
3
Ada beberapa pengertian budaya menurut beberapa ahli
diantaranya Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan dengan kata
dasar budaya berasal dari bahasa sansakerta buddhayah, yaitu bentuk
jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Koentjaraningrat
mendefinisikan budaya sebagai daya budi yang berupa cipta, karsa dan
rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.
Koentjaraningrat membedakan adanya tiga wujud dari kebudayaan yaitu:
pertama, wujud kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua,
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam suatu masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia.4[14]
6
Sementara, Hawkins mengatakan bahwa budaya adalah suatu
kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat
serta kemampuan dan kebiasaan lain yang dimiliki manusia sebagai
bagian masyarakat7[17]. Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari
masyarakat yang mana pun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara
hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau
lebih diinginkan8[18]. Jadi kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek
kehidupan meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan
sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia khas untuk suatu
masyarakat atau kelompok penduduk tertentu
8
dari perilaku konkret. Dan keenam, definisi genetis yaitu definisi budaya
yang melihat asal usul bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap
bartahan. Definisi ini cenderung melihat budaya lahir dari interaksi antara
manusia dan tetap bisa bertahan karena di transmisikan dari satu generasi
ke generasi lain.
b. Tujuan Komunikasi
Dampak negative:
Siswa menjadi malas belajar dengan adanya peralatan yang
seharusnya dapat memudahkan siswa dalam belajar, seperti laptop
dengan jaringan internet, ini malah sering membuat siswa menjadi
malas belajar, terkadang banyak diantara mereka yang
menghabiskan waktunya untuk internetan yang hanya
mendatangkan kesenangan semata, seperti ; Facebook, Chating,
Frienster dan lain-lain, yang semuanya itu tentu akan berpengaruh
terhadap minat belajar siswa.
Terjadinya Pelanggaran Asusila,Sering kita dengar di berita-berita,
dimana terjadi pelaku pelanggaran asusila dilakukan oleh seorang
pelajar terhadap pelajar lainnya, seperti terjadinya tawuran antar
pelajar, terjadi priseks, pemerkosaan siswi dan lain-lain.
Munculnya metode-metode pembelajaran yang baru, yang
memudahkan siswa dan guru dalam proses pembelajaran, sehingga
membuat siswa menjadi malas. Dengan adanya fasilitas yang dapat
digunakan dengan mudah dalam proses pembelajaran, ini
terkadang sering membuat siswa dan mahasiswa menjadi malas
dan merasa lebih dimanjakan, misalnya ketika siswa diberi tugas
untuk membuat makalah, maka mereka merasa tidak perlu pusing-
pusing, karena cukup mencari bahan lewat Internet dan mengkopy
paste karya orang lain, sehingga siswa menjadi malas berusaha dan
belajar.
Adanya penyalahgunaan system pengolah data yang menggunakan
Teknologi.Dengan adanya pengolahan data dengan system
Teknologi, sering kali kita temukan adanya terjadi kecurangan
dalam melakukan analisis data hasil penelitian yang dilakukan oleh
siswa dan bahkan mahasiswa, ini mereka lakukan untuk
mempermudah kepentingan pribadi, dengan mengabaikan hasil
penelitian yang dilakukan.
4.4 Dampak dan Pengaruh Teknologi Informasi Komunikasi terhadap
Budaya
BAB VII
BAB VIII
Pengertian Pendidikan
Hakikat pendidikan menurut Langeveld dalam Munib (2007: 26),
merupakan suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak
yang belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan. Sejalan
dengan pengertian pendidikan tersebut, pendidikan terbentuk pemberian
bimbingan dari seseorang kepada orang lain yang membuat seseorang dari
tidak mengetahui menjadi memahami. Bimbingan tersebut dapat berupa
bimbingan yang bersifat membangun kedewasaan seseorang yang
mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Pendidikan berbasis budaya (culture based education) merupakan
mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya
ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup.
Kemunculan paradigma pendidikan berbasis budaya lebih dipicu oleh dua
arus besar. Pertama, berangkat dari asumsi modernisme yang telah sampai
pada titik kulminasinya sehingga cenderung membuat manusia untuk
kembali kepada hal-hal yang bersifat natural (alami). Kedua, modernisasi
sendiri yang menghendaki terciptanya demokrasi dalam segala dimensi
kehidupan manusia. Berangkat dari hal tersebut, mau tidak mau pendidikan
harus dikelola secara lebih optimal dengan memberikan tempat seluas-
luasnya bagi partisipasi masyarakat dengan muatan value culture (kebijakan
lokal) sebagai bagian dari tujuan isi dari pendidikan.
Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang
melibatkan partisipasi dan peran kearifan sistem nilai budaya di dalamnya.
Partisipasi dalam konteks ini berupa kerjasama antara warga dengan
pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan
mengembangkan aktivitas pendidikan. Sebagai sebuah kerja sama, maka
masyarakat dengan budayanya diasumsikan mempunyai aspirasi yang harus
diakomodasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program
pendidikan yang berpondasi dari akar sistem nilai budayanya sendiri.
Perubahan masyarakat yang sedemikian cepat sebagai dampak
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menuntut lembaga pendidikan
untuk bisa mengimbangi percepatan perubahan yang ada di dalam
masyarakat. Demikian juga lembaga pendidikan di Sekolah Dasar, dalam
upaya membekali siswa untuk dapat bermasyarakat dengan baik, perlu
meng-up date bahan pembelajarannya sesuai dengan perkembangan dalam
masyarakat.
Indonesia sebagai negara yang cukup potensial dalam perkembangan
pendidikan tentu saja harus bisa menyesuaikan dengan kondisi kekinian.
Keniscayaan akan format pendidikan yang lebih banyak sudah menjadi
kewajiban kita bersama dalam usaha merealisasikannya. Melakukan suatu
usaha pembebasan terhadap pendidikan yang selama ini banyak diwarnai
nilai-nilai yang menghegemoni kreativitas berpikir anak didik, telah
mengharuskan kita berusaha merubah sembari berusaha memberikan konsep
baru tentang pendidikan yang sebenarnya. Memberikan peluang sepenuhnya
kepada anak didik dalam rangka mengembangkan kemampuan sesuai
dengan talentanya. Hal tersebut akan berimplikasi positif terhadap
pertumbuhan dan perkembangannya secara alamiah (nature).
Pembelajaran berbasis budaya merupakan pembelajaran yang
meingintegrasikan budaya dalam proses pembelajaran serta salah satu
bentuknya adalah menekankan belajar dengan budaya. Belajar dengan
budaya dapat menjadikan siswa tidak terasing dari budaya lokalnya serta
meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya lokal. Pembelajaran
berabasis budaya juga merupakan pembelajaran yang bersifat
konstruktivistik (Alexon, 2010: 14).
Pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi penciptaan
lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang
mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran (Sutarno,
2012). Pembelajaran berbasis budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap
budaya sebagai bagian yang fundamental bagi pendidikan, ekspresi dan
komunikasi suatu gagasan, serta perkembangan pengetahuan. Lebih lanjut
Sutarno (2012) menjelaskan bahwa pembelajaran berbasis budaya sangat
bermanfaat bagi pemaknaan proses dan hasil belajar bagi peserta didik
untuk mendapatkan pengalaman belajar yang kontekstual dan bahan
apersepsi untuk memahami konsep ilmu pengetahuan dalam budaya lokal
(etnis) yang dimiliki.
Di samping itu, model pengintegrasian budaya dalam pembelajaran
dapat memperkaya budaya lokal (etnis) tersebut yang pada gilirannya juga
dapat mengembangkan dan mengukuhkan budaya nasional yang merupakan
puncak-puncak budaya lokal dan budaya etnis yang berkembang. Dalam
pembelajaran berbasis budaya, diintegrasikan sebagai alat bagi proses
belajar untuk memotivasi peserta didik dalam mengaplikasikan
pengetahuan, bekerja secara kooperatif, dan mempersepsikan keterkaitan
antara berbagai mata pelajaran.
Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya menjadi sebuah
metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka ke
dalam bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip yang kreatif tentang alam. Dengan
demikian, melalui pembelajaran berbasis budaya, siswa bukan sekadar
meniru dan atau menerima saja informasi yang disampaikan, tetapi siswa
menciptakan makna, pemahaman,dan arti dari informasi yang diperolehnya.
Pengetahuan, bukan sekadar rangkuman naratif dari pengetahuan yang
dimiliki orang lain, tetapi suatu koleksi (repertoire) yang dimiliki seseorang
tentang pemikiran, perilaku, keterkaitan, prediksi dan perasaan, hasil
transformasi dari beragam informasi yang diterimanya.
Pembelajaran berbasis budaya merupakan salah satu cara yang
dipersepsikan dapat (1) menjadikan pembelajaran bermakna dan kontekstual
yang sangat terkaitdengan komunitas budaya, di mana suatu bidang ilmu
dipelajari dan akan diterapkan nantinya, dan dengan komunitas budaya dari
mana kita berasal. (2) menjadikan pembelajaran menarik dan
menyenangkan. Kondisi belajar yang memungkinkan terjadinya penciptaan
makna secara kontekstual berdasarkan pada pengalaman awal sebagai
seorang anggota suatu masyarakat budaya. Hal ini sejalan dengan pemikiran
aliran konstruktivisme.
Pembelajaran Berbasis Budaya
Pengertian Pembelajaran Berbasis Budaya
Proses belajar dapat terjadi di mana saja sepanjang hayat.
Sekolah merupakan salah satu tempat proses belajar terjadi. Sekolah
merupakan tempat kebudayaan karena pada dasarnya proses belajar
merupakan proses pembudayaan. Dalam hal ini, proses pembudayaan
di sekolah adalah untuk pencapaian akademik siswa, untuk
membudayakan sikap, pengetahuan, keterampilan dan tradisi yang ada
dalam suatu komunitas budaya, serta untuk mengembangkan budaya
dalam suatu komunitas melalui pencapaian akademik siswa.
Budaya adalah pola untuk perilaku manusia dan produk yang
dihasilkannya membawa pola pikir, pola lisan, pola aksi, artifak, dan
sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk belajar dan
menyampaikan pengetahuannya kepada generasi berikutnya. Proses
pembelajaran budaya terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya
dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Pewarisan tradisi
budaya dikenal sebagai proses enkulturasi, sedangkan adopsi budaya
dikenal dengan proses akulturasi. Kedua proses ini berujung pada
pembentukan budaya dalam suatu komunitas. Pendidikan merupakan
proses pembudayaan, proses pembelajaran di sekolah merupakan
proses pembudayaan formal atau proses akulturasi; maka pada saat
yang bersamaan pendidikan merupakan alat untuk konservasi budaya,
transmisi budaya, dan adopsi budaya, serta pelestarian budaya.
Pembelajaran Berbasis Budaya merupakan strategi penciptaan
lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang
mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran
(Dirjen Dikti, 2004: 12). Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya
menjadi sebuah metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil
observasi mereka ke dalam bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip yang
kreatif tentang alam sehingga peran siswa bukan sekedar meniru atau
menerima saja informasi, tetapi berperan sebagai penciptaan makna,
pemahaman, dan arti dari informasi yang diperolehnya.
Pembelajaran Berbasis Budaya dilandaskan pada pengakuan
terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental bagi pendidikan,
ekspresi dan komunikasi suatu gagasan, serta perkembangan
pengetahuan. Pembelajaran Berbasis Budaya dapat dibedakan menjadi
empat macam, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya,
belajar melalui budaya, dan belajar berbudaya. Landasan teori
pembelajaran berbasis budaya, didasarkan pada teori konstruktivisme
dalam pendidikan terutama berkembang dari hasil pemikiran
Vygotsky, pemikiran Piaget, serta pemikiran Brooks & Brooks.
Pembelajaran berbasis budaya bermula dari pendekatan
experiental learning, yang berarti belajar melalui penghayatan
langsung atas pengalaman yang dialami. Mikarsa (2007: 7.20),
menerangkan syarat dalam pendekatan experiental learning, yaitu (1)
Siswa memikul tanggung jawab pribadi untuk belajar apa yang ingin
dicapainya, (2) lebih dari hanya sekedar melibatkan proses-proses
kognitif, (3) tujuan belajarnya meliputi pula aspek keterampilan dan
aspek afektif, (4) siswa aktif dalam proses pembelajaran, baik secara
fisik maupun psikologis.
Kaitan pendekatan experiental learning dengan proses
pembelajaran yang menggunakan pendekatan berbasis budaya adalah
penghayatan atas pengalaman langsung dengan yang ada di lingkungan
sekitar tempat siswa belajar. Menurut Suprayekti (2008: 1),
pembelajaran berbasis budaya membawa budaya lokal yang selama ini
tidak selalu mendapat tempat dalam kurikulum sekolah ke dalam
proses pembelajaran beragam mata pelajaran di sekolah.
Pembelajaran berbasis budaya dapat diterapkan dalam berbagai
mata pelajaran, dengan menggunakan model pembelajaran, seperti
berikut ini :
Program SUAVE (Socios Unidos para Artes via Education)
Program SUAVE digunakan untuk membantu guru dalam
menggunakan benda-benda seni untuk mengajarkan bidang ilmu
seperti, matematika, IPA, IPS, dan bahasa.
Etno Matematika
Pembelajaran ini digunakan dalam mempelajari struktur teori
aljabar yang ada dalam pola tenun tradisional, pola musik, dan
sistem persaudaraan dalam budaya.
Pembelajaran SETS (Science, Environmet, Technology, and Society)
Pembelajaran SETS merupakan pembelajaran terpadu yang
diharapkan mampu membelajarkan siswa untuk memiliki
kemampuan memandang sesuatu secara terintegratif.
Pembelajaran Inovatif IPA Toray
Inovasi ini dikembangkan untuk sekolah menengah dalam
pembelajaran biologi, fisika, dan kimia dengan cara menggunakan
lingkungan sekitar sebagai laboratorium pembelajaran IPA.
Pembelajaran berbasis budaya dalam tulisan ini dikhususkan
pada mata pelajaran SBK Seni rupa, lebih khususnya materi
menggambar motif batik. Dalam pembelajaran berbasis budaya ini
karya seni gambar yang dirancang berhubungan dengan budaya siswa
yaitu batik. Batik merupakan budaya asli Indonesia yang harus
dilestarikan, dengan pembelajaran berbasis budaya diharapkan siswa
dapat lebih mengenal batik dan membanggakan batik sebagai karya
budaya bangsa Indonesia.
Suprayekti (2008: 12), mengemukakan pendekatan berbasis
budaya merupakan cara penciptaan lingkungan belajar dan
perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya
sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dapat diartikan bahwa
pembelajaran berbasis budaya merupakan sebuah strategi
pembelajaran yang relevan dan menarik untuk dikembangkan pada
mata pelajaran seni rupa, proses pembelajaran ini mengenalkan siswa
kepada budaya yang ada di lingkungan sekitar.
Sesuai dengan teori konstruktivisme, proses belajar dalam
pembelajaran berbasis budaya tidak dapat dirancang dengan guru
berperan sebagai penceramah, sementara siswa duduk dengan pasif
mendengarkan, mencatat materi pelajaran yang disampaikan guru,
melainkan proses belajar difokuskan pada strategi atau cara agar siswa
dapat:
Melihat keterhubungan antara konsep/prinsip dalam bidang ilmunya, dengan
budaya dalam beragam konteks yang baru.
Memperoleh pemahaman terpadu tentang bidang ilmu dan budaya sebagai
landasan untuk berpikir kritis.
Berpartisipasi aktif, senang, dan bangga untuk belajar bidang ilmu dalam belajar
berbasis budaya.
Menciptakan makna berdasarkan pengetahuan dan pengalaman awal yang
dimiliki, melalui beragam interaksi.
Memperoleh pemahaman bahwa ada kaidah keilmuan dalam kehidupan sehari-
hari siswa dalam konteks komunitas budayanya.
Memperoleh pemahaman yang integral dan keterampilan ilmiah dalam
mempersepsikan segala sesuatu di sekelilingnya, termasuk budaya dan ragam
perwujudan budaya.
Landasan Teori Pembelajaran Berbasis Budaya