Anda di halaman 1dari 147

BAB I

HAKIKAT KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN LINTAS BUDAYA

1.1 Pengertian Kebudayaan


Budaya merupakan istilah yang banyak dijumpai dan digunakan hampir
dalam setiap aktivitas sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa budaya begitu
dekat dengan lingkungan kita. Kata budaya/kultur (culture) dipandang penting
karena kata ini membentuk dan merupakan bagian dari istilah Pendidikan
Multikultural. Jika budaya didefinisikan sebagai warisan dan tradisi dari suatu
kelompok sosial, maka Pendidikan Multikultural berarti mempelajari tentang
berbagai (multi) warisan dan tradisi budaya. Namun jika budaya didefinsikan
sebagai desain kelompok sosial untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan
lingkungannya, maka satu tujuan pendidikan multikultural adalah untuk
mempelajari tentang berbagai kelompok sosial dan desain yang berbeda untuk
hidup dalam masyarakat yang pluralis (Bullivant, dalam Banks, 1993: 29).
Di dunia Barat istilah budaya juga digunakan dalam pengertian yang
populer, yaitu budaya tinggi (high culture) untuk menyebut bidang estetik
(keindahan) seperti seni, drama, balet dan karya sastra dan budaya rendah (low
cultur) untuk menyebut seni yang lebih populer seperti musik pop, dan media
massa. Namun ada beberapa ciri khas budaya yang dapat dijadikan petunjuk untuk
memperoleh gambaran tentang definisi budaya.
Dalam istilah Inggris, ”budaya” adalah culture, yang berasal dari kata
Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau
bertani (Koentjaraningrat, 2000). Hal ini berarti bahwa budaya merupakan
aktivitas manusia, bukan aktivitas makhluk yang lain dan menjadi ciri manusia.
Dari sudut antropologi budaya, mengkategorian temuan artifak yang disebut
”Pithecanthropus Erectus”, ”Homo Soloensis” sebagai manusia atau bukan,
didasarkan pada kemampuan artifak itu saat hidup dalam menciptakan benda
budaya. Koentjaraningrat menjelaskan peradaban (civilization) itu sebagai bagian
dan merupakan bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian, ilmu
pengetahuan, sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu
masyarakat dengan struktur yang kompleks. Sering juga peradaban dipakai untuk
menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan,
seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.
Menurut Margaret Mead (1901-1978) budaya adalah perilaku yang
dipelajari dari sebuah masyarakat atau sub kelompok. Ada banyak pengertian
mengenai kebudayaan yang dipergunakan. Kluckhohn dan Kroeber mencatat
sekitar 175 definisi kebudayaan yang berbeda. Koentjaraningrat mengartikan
budaya dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit budaya itu adalah kesenian
(Koentjaraningrat, 2000). Secara luas, Koentjaraningrat mendefinisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus
dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya.
Dapat kita simpulkan bahwa budaya itu berkaitan dengan kata kunci yang
mencakup (1) gagasan, (2) perilaku dan (3) hasil karya manusia. Pengertian
kebudayaan ini difokuskan pada pendapat Bullivant yang mendefinisikan budaya
sebagai program bertahan hidup dan adaptasi suatu kelompok dengan
lingkungannya. Program budaya terdiri dari pengetahuan, konsep, dan nilai-nilai
yang dimiliki oleh anggota kelompok melalui sistem komunikasi. (Banks, 1993:
8). Kebudayaan juga terdiri dari keyakinan, simbol, dan interpretasi dalam
kelompok manusia. Sebagian besar ilmuwan sosial saat ini memandang budaya
terdiri dari aspek simbolik, ideasional, dan tidak terlihat (intangible) dari
masyarakat manusia. Esensi budaya bukan pada benda, alat, atau elemen budaya
yang terlihat lainnya namun bagaimana kelompok menginterpretasikan,
menggunakan, dan merasakannya. Nilai-nilai, simbol, interpretasi, dan
perspektiflah yang membedakan seseorang dari orang yang lain dari masyarakat
manusia, bukan obyek material dan aspek yang terlihat lainya dari masyarakat
manusia.
Orang-orang di dalam suatu kebudayaan biasanya menginterpretasikan
makna simbol, benda dan perilaku menurut cara yang sama atau yang serupa
(Banks, 1993: 8) dan ada kemungkinan orang menginterpretasikan secara lain
pada suatu perilaku yang sama. Semua kebudayaan menggunakan bahasa tubuh
(body language) untuk berkomunikasi. Ada kebudayaan yang lebih banyak
menggunakan bahasa tubuh dibandingkan dengan yang lainnya. Masalah dalam
penggunakan bahasa tubuh untuk komunikasi dapat terjadi jika dua makna yang
bertentangan menggambarkan satu gerakan tubuh. Misalnya di Bulgaria,
menganggukkan berarti “tidak” dan menggelengkan kepala berarti “ya” (Axtel,
1995) sedangkan di tempat lain umumnya mengartikan sebaliknya.

1.2 Unsur-Unsur Budaya


E.B. Tylor (1832-1917) memandang budaya sebagai kompleksitas hal
yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Sedangkan menurut Raymond Williams (1921-1988) budaya meliputi
organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang mengungkapkan
atau mengatur hubungan-hubungan sosial, bentuk komunikasi yang khas dalam
anggota masyarakat. Menurut Claude Levi-Strauss, kebudayaan harus dipandang
dalam konteks teori komunikasi yaitu sebagai keseluruhan sistem symbol (bahasa,
kekerabatan, ekonomi, mitos, seni) yang pada berbagai tingkat memungkinkan
dan mengatur komunikasi (Cremers, 1997: 147). Hal ini karena manusia adalah
homo simbolicum. Kita lihat bahwa budaya diartikan selalu dalam konteks
hubungannya sebagai anggota masyarakat.
Koentjaraningrat lebih sistematis dalam memerinci unsur-unsur
kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2000: 2) adalah
sebagai berikut:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi dan peralatan
Secara garis besar unsur-unsur yang berada di urutan bagian atas
merupakan unsur yang lebih sukar berubah daripada unsur-unsur di bawahnya.
Namun perlu diperhatikan, karena ada kalanya sub unsur dari suatu unsur di
bawahnya lebih sukar diubah dari pada sub unsur dari sutau unsur yang tercantum
di atasnya. Misalnya sub-sub unsur hukum waris yang merupakan sub unsur dari
hukum (bagian dari unsur sistem dan organisasi kemasyarakatan) lebih sukar
berubah bila dibandingkan dengan sub-sub unsur arsitektur tempat pemujaan
(bagian dari sub unsur prasarana upacara yang menjadi bagian dari sistem religi).
Masjid, gereja, tasbih, kitab suci, atau bau dupa, itu merupakan contoh
kongkrit sistem religi dan upacara keagamaan. Pembagian warisan di antara
keluarga, ada walikota, ada kantor dan tokoh politik, anak SD memakai seragam
merah putih yang kesemuanya itu merupakan contoh sistem dan organisasi
kemasyarakatan. Buku IPS anak SD, orang yang menghitung uang kembalian atau
mengenal tentang astronot, itu semua merupakan contoh sistem pengetahuan. Ada
orang yang berbahasa Madura, bahasa Jawa dan ada yang berbahasa Indonesia. Itu
merupakan bagian dari unsur bahasa. Panggung seni, lukisan, gambar reklame
yang indah sebagai perwujudan unsur kesenian. Penjual sayuran, sopir angkot,
seorang guru berseragam abu-abu yang memasuki sekolah, remaja yang memakai
seragam pertokoan tertentu itu merupakan contoh kongkrit unsur sistem mata
pencaharian hidup. Komputer, internet, cangkul dan sabit, Hand Phone, itu semua
merupakan contoh sistem teknologi dan peralatan.
Unsur-unsur yang diurutkan di atas merupakan unsur budaya yang
universal dalam arti ada di manapun, kapan pun dan berlaku pada siapa pun.
Artinya di belahan dunia mana pun ada ketujuh unsur itu. Dalam sejarah manusia
baik yang primitif maupun yang modern ke tujuh unsur itu berlaku pada siapapun
yang dinamakan “manusia”. Kebudayaan memberi pengetahuan dan ide tentang
dan untuk berperilaku. Artinya, orang harus mengetahui jenis pengetahuan dan ide
yang harus digunakan pada jenis perilaku tertentu yang sesuai (untuk berperilaku)
dan juga untuk memahami perilaku tentang apa yang dia lihat (tentang perilaku).

1.3 Wujud Kebudayaan


Wujud kebudayaan (Koentjaraningrat, 2000: 5) terdiri dari:
1. Wujud idiil (adat tata kelakuan) yang bersifat abstrak, tak dapat diraba.
Terletak di alam pikiran dari warga masyarakat di mana kebudayaan
yang bersangkutan itu hidup, yang nampak pada karangan, lagu-lagu.
Fungsinya adalah pengatur, penata, pengendali, dan pemberi arah
kelakuan manusia dalam masyarakat. Adat terdiri atas beberapa lapisan,
yaitu sistem nilai budaya (yang paling abstrak dan luas), sistem norma-
norma (lebih kongkrit), dan peraturan khusus mengenai berbagai
aktivitas sehari-hari (aturan sopan santun) yang paling kongkrit dan
terbatas ruang lingkupnya.
2. Wujud kedua adalah sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari
manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang
berinteraksi yang selalu mengikuti pola tertentu. Sifatnya kongkrit, bisa
diobservasi.
3. Wujud ketiga adalah kebudayaan fisik yang bersifat paling kongkrit dan
berupa benda yang dapat diraba dan dilihat.

Ketiga wujud dari kebudayaan di atas dalam kenyataan kehidupan


masyarakat tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan idiil memberi arah
pada perbuatan dan karya manusia. Pikiran atau ide dan karya manusia
menghasilkan benda kebudayaan fisik. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk
suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia
dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pola perbuatan, bahkan juga
mempengaruhi cara berpikirnya.

1.4 Budaya dan Lingkungan


Pada dasarnya kelompok sosial merupakan kolektivitas manusia yang
kurang lebih permanen yang hidup bersama dan berinteraksi dengan berbagai
lingkungan yang mengitari dirinya. Kelompok sosial harus bertahan hidup dengan
beradaptasi dengan dan mengubah lingkungannya. Pengetahuan, ide, dan
keterampilan yang memungkinkan suatu kelompok untuk bertahan hidup dapat
dipandang sebagai program bertahan hidup atau budaya. Keberhasilan bertahan
hidup suatu kelompok tergantung pada jenis lingkungan yang dihadapi kelompok.
Pertama, ada lingkungan geografis, atau habitat fisik. Lingkungan ini memberi
berbagai keunikan alamiah di mana kelompok sosial itu beradaptasi dengan atau
mengubah lewat teknologinya.
Kedua, anggota kelompok sosial harus hidup bersama dan berinteraksi.
Kelompok sosial sebagai satu keseluruhan memiliki kelompok lain sebagai
tetangga yang akan membentuk lingkungan sosial dengan mana mereka juga
berinteraksi. Beberapa dari kelompok ini ada interaksi lokal dan memungkinkan
interaksi tatap muka, sedangkan yang lain lebih berjarak. Dalam skala dunia,
kelompok sosial utama seperti negara hidup dalam lingkungan sosial regional dan
global dan harus beradaptasi dengan negara lain. Bagian budaya sebagian besar
tersusun dari semua kebiasaan dan aturan yang memungkinkan semua skala
interaksi yang berbeda ini dilakukan.
Ketiga, ada suatu jenis lingkungan yang biasanya kita tidak
memikirkannya karena tidak terlihat atau berinteraksi di dalam dunia ini. Namun
nyatanya jutaan manusia dan sangat mempengaruhi hidup. Asalnya terletak pada
apa yang dipikirkan terhadap dorongan manusia yang mendasar (a basic human
drive) atau kebutuhan universal untuk menemukan makna dan penjelasan dalam
hidupnya. Satu cara untuk memuaskan kebutuhan akan makna ini adalah
mengembangkan keyakinan bahwa hidup ditentukan oleh Sesuatu yang lebih
tinggi, yang adanya di luar umat manusia, seperti Tuhan atau hal-hal supernatural
lainnya. Seringkali ada pemikiran tentang kehidupan surga. Karena lingkungan ini
berlokasi di luar pengalaman disini-dan-kini (outside here-and-now experience)
atau transenden (melampaui dunia), kita dapat menunjuk jenis dunia spiritual ini
sebagai lingkungan metafisik (metaphysical environment).
Gambar Manusia dan Lingkungan

Bagan di atas menunjukkan, manusia ternyata berada dan merespon lingkungan


fisik (A), lingkungan sosial (B) dan lingkungan metafisik (C).

1.5 Budaya dan Non Budaya


Hal-hal non budaya mencakup benda yang keberadaannya sudah ada
dengan sendirinya atau ciptaan Tuhan yang tidak/belum mendapat sentuhan
aktivitas manusia (bendabenda alamiah seperti batu, pohon, gunung, tanah,
planet), sedangkan budaya mencakup sesuatu yang keberadaannya sudah
mendapat sentuhan tangan manusia (misal, patung marmer/onix, bonsai,
bangunan, aturan makan dan lain-lain). Jadi batu dan kayu dapat dipandang
sebagai non budaya bila didapatkan apa adanya sebagai batu gunung dan
pepohonan, namun menjadi sebuah benda budaya bila mendapat campur tangan
manusia.

Gambar Non Budaya (benda yang belum disentuh aktivitas manusia)


Gambar Budaya (benda alamiah yang sudah mendapat campur tangan manusia)

1.6 Pranata Budaya


Pranata (institution) yang ada dalam kebudayaan dikelompokkan
berdasarkan kebutuhan hidup manusia yang hidup dalam ruang dan waktu :
1. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan
(kinship atau domestic institutions). Misal: perkawinan, pengasuhan anak.
2. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencaharian
hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta benda (economic
institutions). Contoh: pertanian, industri, koperasi, pasar.
3. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan
manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna (educational
institutions). Contoh: pengasuhan anak, pendidikan dasar, menengah dan
pendidikan tinggi, pendidikan keagamaan, pers.
4. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami
alam semesta (scientific institutions). Contoh : penjelajahan luar angkasa,
satelit
5. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan
keindahannya dan rekreasi (aesthetic and recreational institutions). Contoh:
batik, seni suara, seni gerak, seni drama, olah raga,.
6. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan
dengan Tuhan atau dengan alam gaib (religious institutions). Contoh: masjid,
do’a, kenduri, upacara, pantangan, ilmu gaib.
7. Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia (somatic
institutions). Contoh: perawatan kecantikan, pemeliharaan kesehatan,
kedokteran. (Koentjaraningrat, 2000).

1.7 Pengertian Pendidikan Multikultural


Pengertian “Multikultural” secara luas mencakup pengalaman yang
membentuk persepsi umum terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi,
jenis identitas budaya, bahasa, ras, dan berkebutuhan khusus.

Gambar Titik Temu Variabel Multikultural pada Perilaku Siswa

Ketika membahas multikultural atau studi budaya lainnya, maka konsep


ethic dan Emic akan selalu muncul. Ethic dan emic sebenarnya merupakan istilah
anthropologi yang dikembangkan Pike (1967). Istilah ini berasal dari kajian
anthropologi bahasa, yaitu Phonemics yang merupakan studi yang mempelajari
suara unik pada bahasa tertentu dan Phonetics atau studi yang mempelajari bunyi-
bunyian yang ditemukan pada semua bahasa (universal) pada semua budaya. Pike
memakai istilah Emic dan Ethic untuk menjelaskan dua sudut pandang dalam
mempelajari perilaku multikultural.
Ethic adalah sudut pandang dalam mempelajari budaya dari luar sistem
budaya itu, dan merupakan pendekatan awal dalam mempelajari suatu sistem
budaya yang asing. Sedangkan emic sebagai sudut pandang merupakan studi
perilaku dari dalam sistem budaya tersebut (Segall, 1990). Ethic adalah aspek
kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya, emic adalah aspek
kehidupan yang muncul dan benar hanya pada satu budaya tertentu. Jadi, Ethic
menjelaskan universalitas suatu konsep kehidupan sedangkan emic menjelaskan
keunikan dari sebuah konsep budaya (Matsumoto, 1996).
Pemahaman kedua konsep ini sangat penting dan menjadi dasar dalam
memahami budaya dalam Pendidikan Multikultural. Sebuah perilaku manusia kita
akui kebenarannya sebagai sebuah ethic, maka dapat dikatakan bahwa perilaku
manusia tersebut adalah universal, termasuk dalam kebenarannya. Hasil penelitian
yang dapat dilakukan dapat digeneralisasi dan dijadikan dasar dalam penelitian
selanjutnya. Misalnyaekspresi tertawa pada semua budaya untuk mengekspresikan
rasa senang. Sebaliknya sebuah perilaku atau nilai hanya diketemukan pada satu
budaya dan hanya benar pada budaya tersebut, dalam studi Pendidikan
Multikultural tidak boleh digeneralisasi dan hanya berlaku pada satu budaya
tersebut saja.
Pendidikan Multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of
beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya
dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,
kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara (Banks, 2001).
Di dalam pengertian ini terdapat adanya pengakuan yang menilai penting aspek
keragaman budaya dalam membentuk perilaku manusia.
Lebih lanjut, James A. Banks dalam bukunya ”Multicultural Education,”
mendefinisikan Pendidikan Multikultural sebagai berikut:
Multicultural education is an idea, an educational reform movement,
and a process whose major goal is to change the structure of
educational institutions so that male and female students,
exceptional students, and students who are members of diverse
racial, ethnic, and cultural groups will have an equal chance to
achieve academically in school “(Pendidikan Multikultural adalah
ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang
tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga
pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa
berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari
kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan
memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis
di sekolah)”.

Jadi Pendidikan Multikultural akan mencakup:


a. Ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya.
b. Gerakan pembaharuan pendidikan.
c. Proses pendidikan.

1.8 Dasar Pendidikan Multikultural


Berdasarkan kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural, maka untuk
membentuk negara Indonesia yang kokoh perlu mengembangkan jenis pendidikan
yang cocok untuk bangsa yang multikultural. Jenis pendidikan yang cocok untuk
bangsa yang multikultur ini adalah Pendidikan Multikultural. Sebagaimana
disebutkan di atas, Pendidikan Multikultural paling tidak menyangkut tiga hal
yaitu (1) ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, (2) gerakan
pembaharuan pendidikan dan (3) proses.

Berikut ini akan diuraikan dasar yang membentuk perlunya Pendidikan


Multikultur.
(1) kesadaran nilai penting keragaman budaya
Perlu peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki
karakteristik khusus karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau
karakteristik budaya tertentu yang melekat pada diri masing-masing.
Pendidikan Multikultural berkaitan dengan ide bahwa semua siswa tanpa
memandang karakteristik budayanya itu seharusnya memiliki kesempatan
yang sama untuk belajar di sekolah. Perbedaan yang ada itu merupakan
keniscayaan atau kepastian adanya namun perbedaan itu harus diterima
secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya perbedaan itu perlu kita
terima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap toleransi agar kita bisa hidup
berdampingan secara damai tanpa melihat unsur yang berbeda itu untuk
membeda-bedakan.
(2) Gerakan pembaharuan pendidikan
Ide penting yang lain dalam Pendidikan Multikultural adalah bahwa
sebagian siswa karena karakteristik tersebut di atas, ternyata ada yang
memiliki kesempatan yang lebih baik untuk belajar di sekolah favorit
tertentu sedangkan siswa dengan karakteristik budaya yang berbeda tidak
memiliki kesempatan itu.
(3) Proses pendidikan
Pendidikan Multikultural juga merupakan proses (pendidikan) yang
tujuannya tidak akan pernah terrealisasikan secara penuh. Pendidikan
Multikultural adalah proses menjadi. Pendidikan Multikultural harus
dipandang sebagai suatu proses yang terus-menerus (an ongonging process),
dan bukan sebagai sesuatu yang langsung bisa tercapai. Tujuan utama dari
Pendidikan Multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara utuh
bukan sekedar meningkatkan skor.
Gorski menyimpulkan bahwa sejak konsep paling awal muncul pada
tahun 1960-an, pendidikan multikultural telah berubah, difokuskan kembali,
dan dikonseptualisasikan kembali. Pendidikan multikultural berada di dalam
kondisi perubahan baik teoritis maupun praktek sehingga jarang ada dua
pengajar atau ahli pendidikan yang memiliki definisi yang sama tentang
pendidikan multikultural.

Sekalipun banyak perbedaan konsep pendidikan multikultural, ada


sejumlah ide yang dimiliki bersama dari semua pemikiran dan merupakan dasar
bagi pemahaman Pendidikan Multikultural:
- kesempatan yang sama bagi setiap siswa untuk mewujudkan potensi
sepenuhnya,
- penyiapan pelajar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat antar
budaya,
- penyiapan pengajar agar memudahkan belajar bagi setiap siswa secara
efektif, tanpa memperhatikan perbedaan atau persamaan budaya dengan
dirinya,
- partisipasi aktif sekolah dalam menghilangkan penindasan dalam segala
bentuknya.Pertama-tama dengan menghilangkan penindasan di sekolahnya
sendiri, kemudian menghasilkan lulusan yang sadar dan aktif secara sosial
dan kritis,
- pendidikan harus berpusat pada siswa dengan mendengarkan aspirasi dan
pengalaman siswa,
- pendidik, aktivis, dan yang lain harus mengambil peranan lebih aktif dalam
mengkaji kembali semua praktek pendidikan, termasuk teori belajar,
pendekatan mengajar, evaluasi, psikhologi sekolah dan bimbingan, materi
pendidikan dan buku teks, dan lain-lain.

Menurut Paul Gorski pendidikan multikultural merupakan pendekatan


progresif untuk mengubah pendidikan secara holistik dengan mengkritik dan
memusatkan perhatian pada kelemahan, kegagalan, dan praktek diskriminatif di
dalam pendidikan akhir-akhir ini. Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan
dedikasi menjadi landasan Pendidikan Multikultural dalam memfasilitasi
pengalaman pendidikan agar semua siswa dapat mewujudkan semua potensinya
secara penuh dan menjadikannya sebagai manusia yang sadar dan aktif secara
lokal, nasional, dan global.
1.9 Rasionalita Arti Pentingnya Keberadaan Pendidikan Multikultur
Pendidikan Multikultural dapat menjadi elemen yang kuat dalam
kurikulum Indonesia untuk mengembangkan kompetensi dan ketrampilan hidup
(life skills). Masyarakat Indonesia terdiri dari masyarakat multikultur yang
mencakup berbagai macam perspektif budaya yang berbeda. Pendidikan
Multikultural dapat melatih siswa untuk menghormati dan toleransi terhadap
semua kebudayaan.
Pendidikan Multikultural sebagai kesadaran merupakan suatu pendekatan
yang didasarkan pada keyakinan bahwa budaya merupakan salah satu kekuatan
yang dapat menjelaskan perilaku manusia. Budaya memiliki peranan yang sangat
besar di dalam menentukan arah kerjasama maupun konflik antar sesama manusia.
Huntington meramalkan bahwa pertentangan manusia yang akan datang
merupakan pertentangan budaya.
Oleh sebab itu kita perlu meneliti kekuatan yang tersimpan di dalam
budaya masing-masing kelompok manusia agar dapat dimanfaatkan bagi kebaikan
bersama. Pendidikan Multikultural dipersepsikan sebagai suatu jembatan untuk
mencapai kehidupan bersama dari umat manusia di dalam era globalisasi yang
penuh tantangan baru. Pertemuan antarbudaya bisa berpotensi memberi manfaat
tetapi sekaligus menimbulkan salah paham. Itulah rasional yang menunjukkan arti
pentingnya keberadaan Pendidikan Multikultural.

1.10 Tujuan Pendidikan Multikultural


Tujuan Pendidikan Multikultural dapat mencakup tiga aspek belajar
(kognitif, afektif, dan tindakan) dan berhubungan baik nilai-nilai ocial lt (ends)
maupun nilai instrumental (means) Pendidikan Multikultural. Tujuan Pendidikan
Multikultural mencakup:
1. Pengembangan Literasi Etnis dan Budaya
Salah satu alasan utama gerakan untuk memasukkan Pendidikan
Multikultural dalam program sekolah adalah untuk memperbaiki kelalaian
dalam penyusunan kurikulum. Tujuan utama Pendidikan Multikultural
adalah mempelajari tentang latar belakang sejarah, bahasa, karakteristik
budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi
ocial, politik, dan ekonomi dari berbagai kelompoketnis mayoritas dan
minoritas. Informasi ini harus komprehensif, analistis, dan komparatif, dan
harus memasukkan persamaan dan perbedaan di antara kelompokkelompok
yang ada.
2. Perkembangan Pribadi
Dasar psikhologis Pendidikan Multikultural menekankan pada
pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif,
dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Penekanan bidang ini merupakan
bagian dari tujuan Pendidikan Multikultural yang berkontribusi pada
perkembangan pribadi siswa, yang berisi pemahaman yang lebih baik
tentang diri yang pada akhirnya berkontribusi terhadap keseluruhan prestasi
intelektual, akademis, dan ocial siswa.
Pendidikan Multikultural juga membantu mencapai tujuan
memaksimalkan potensi kemanusiaan, dengan memenuhi kebutuhan
individu, dan mengajar siswa seutuhnya dengan mempertinggi rasa
penghargaan pribadi, kepercayaan dan kompetensi dirinya. Pendidikan
Multikultural menciptakan kondisi kesiapan psikhososial dalam diri individu
dan lingkungan belajar yang memiliki efek positif pada upaya dan
penguasaan tugas akademis.
3. Klarifikasi Nilai dan Sikap
Pendidikan Multikultural mengangkat nilai-nilai inti yang berasal
dari prinsip martabat manusia (human dignity), keadilan, persamaan,
kebebasan, dan demokrasi. Maksudnya adalah mengajari generasi muda
untuk menghargai dan menerima ocial lt etnis, menyadarkan bahwa
perbedaan budaya tidak sama dengan kekurangan atau rendah diri, dan untuk
mengakui bahwa keragaman merupakan bagian integral dari kondisi
manusia. Pengklarifikasian sikap dan nilai etnis didesain untuk membantu
siswa memahami bahwa berbagai konflik nilai itu tidak dapat dielakkan
dalam masyarakat ocial ltur; dan bahwa konflik tidak harus
menghancurkan dan memecah belah.
Jika kita mengelola dengan baik hal itu akan dapat menjadi katalis
kemajuan ocial ocial kekuatan dalam ocial lt etnis dan budaya; bahwa
kesetiaan etnis (ethnic allegiance) dan loyalitas nasional (national loyalty)
bukan tidak dapat didamaikan; dan bahwa kerjasama dan koalisi di antara
kelompok etnis tidak tergantung pada pemilikan keyakinan, nilai, dan
perilaku yang sama. Menganalisa dan mengklarifikasi sikap dan nilai etnis
merupakan langkah kunci dalam proses melepaskan potensi kreatif individu
untuk memperbarui diri dan masyarakat untuk tumbuh-kembang lebih lanjut.
4. Kompetensi Multikultural
Pendidikan Multikultural dapat meredakan ketegangan ini dengan
mengajarkan ketrampilan dalam komunikasi lintas budaya, hubungan antar
pribadi, pengambilan perspektif, analisis kontekstual, pemahaman sudut
pandang dan kerangka berpikir ocial ltur, dan menganalisa bagaimana
kondisi budaya mempengaruhi nilai, sikap, harapan, dan perilaku.
Pendidikan Multikultural dapat membantu siswa mempelajari bagaimana
memahami perbedaan budaya tanpa membuat pertimbangan nilai
yangsemena-mena tentang nilai intrinsiknya. Untuk mencapai tujuan ini anak
dapat diberi pengalaman belajar dengan memberi berbagai kesempatan pada
siswa untuk mempraktekkan kompetensi budaya dan berinteraksi dengan
orang, pengalaman, dan situasi yang berbeda.
5. Kemampuan Ketrampilan Dasar
Tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah untuk memfasilitasi
pembelajaran untuk melatih kemampuan ketrampilan dasar dari siswa yang
berbeda secara etnis. Pendidikan Multikultural dapat memperbaiki
penguasaan membaca, menulis dan ketrampilan matematika; materi
pelajaran; dan keterampilan proses intelektual seperti pemecahan masalah,
berpikir kritis, dan pemecahan konflik dengan memberi materi dan teknik
yang lebih bermakna untuk kehidupan dan kerangka berpikir dari siswa yang
berbeda secara etnis. Menggunakan materi, pengalaman, dan contoh-contoh
sebagai konteks mengajar, mempraktekkan, dan mendemonstrasikan
penguasaan keterampilan akademis dan mata pelajaran dapat meningkatkan
daya ocia pembelajaran, mempertinggi relevansi praktis ketrampilan yang
dipelajari, dan memperbaiki tempo siswa dalam melaksanakan tugas.
Kombinasi kondisi ini akan membimbing ocial upya yang lebih terfokus,
penguasaan ketrampilan dan prestasi akademis.
Aspek lain dari Pendidikan Multikultural yang berkontribusi secara
langsung pada level pencapaian ketrampilan dasar yang lebih tinggi adalah
kesesuaian dengan gaya belajar dan mengajar. Tidak adanya titik temu dalam
bagaimana siswa yang berbeda mempelajari masyarakat budayanya dan
bagaimana mereka diharapkan belajar di sekolah menyebabkan banyak
waktu dan perhatian dicurahkan pada pemecahan konflik daripada
berkonsentrasi dalam tugas akademis itu sendiri. Mengajari siswa supaya
biasa belajar meminimalkan konflik ini dan menyalurkan ocial dan upaya
secara langsung lebih diarahkan pada penyelesaikan tugas akademis. Jadi,
pengajaran kontekstual secara kultural dalam melakukan proses pendidikan
lebih efektif untuk siswa yang beragam secara etnis menjadi prinsip
mendasar dari Pendidikan Multikultural.
6. Persamaan dan Keunggulan Pendidikan
Tujuan persamaan ocial ltural berkaitan erat dengan tujuan
penguasaan keterampilan dasar, namun lebih luas dan lebih filosofis. Untuk
menentukan sumbangan komparatif terhadap kesempatan belajar, pendidik
harus memahami secara keseluruhan bagaimana budaya membentuk gaya
belajar, perilaku mengajar, dan keputusan pendidikan.
Aspek lain dari tujuan memasukkan informasi akurat dalam
mengajarkan tentang masyarakat adalah mengembangkan rasa kesadaran
ocial (a sense of social consciousness), keberanian moral, dan komitmen
terhadap persamaan; dan memperoleh ketrampilan dalam aktivitas politik
untuk mereformasi masyarakat untuk membuatnya lebih manusiawi,
simpatik terhadap ocial lt kultural, keadilan moral, dan persamaan. Oleh
karena itu tujuan ocial ltural untuk mencapai persamaan dan keunggulan
pendidikan mencakup kognitif, afektif dan ketrampilan perilaku, di samping
prinsip demokrasi (Banks, 1993).
7. Memperkuat Pribadi untuk Reformasi Sosial
Tujuan terakhir dari Pendidikan ocial ltural adalah memulai proses
perubahan di sekolah yang pada akhirnya akan meluas ke masyarakat.
Tujuan ini akan melengkapi penanaman sikap, nilai, kebiasaan dan
ketrampilan siswa sehingga mereka menjadi agen perubahan ocial (social
change agents) yang memiliki komitmen yang tinggi dengan reformasi
masyarakat untuk memberantas perbedaan (disparities) etnis dan rasial
dalam kesempatan dan kemauan untuk bertindak berdasarkan komitmen ini.
Tujuan dan pengembangan keterampilan ini didesain untuk membuat
masyarakat lebih benar-benar egaliter dan lebih menerima ocial lt kultural.
Juga dimaksudkan untuk menjamin bahwa kelompok etnis dan budaya yang
secara tradisional menjadi korban dan terasingkan akan lebih berpartisipasi
secara penuh pada semua level masyarakat, dengan semua hak, dan tanggung
jawab yang menyertainya.
Pendidikan Multikultural berkontribusi secara langsung terhadap
warga negara yang demokratis di dalam global village (Swiniarski, 1999).
Fungsi multikulturalisme ini adalah apa yang dimaksudkan Banks dengan
pendekatan aksisosial dari Pendidikan Multikultural, yang mengajari siswa
bagaimana menjadi kritikus ocial (social critics), aktivis politik (political
activists), agen perubahan (change agents), dan pemimpin yang berkompeten
dalam masyarakat dan yang berbeda secara etnis dan ocial ltur secara
kultural.
Juga sama dengan konsep Grant tentang Pendidikan ocial ltural
untuk rekonstruksi ocial. Pendekatan ini berfokus pada penindasan dan
ketidak samaan struktur ocial, dengan perhatian menciptakan suatu
masyarakat yang lebih mampu dan melayani kebutuhan dan kepentingan
semua kelompok orang. Pendekatan ini membangun penguatan pribadi
dengan menetapkan relevansi antara pelajaran sekolah dengan kehidupan
ocial, dengan memberi latihan menerapkan pengetahuan dan pengambilan
tindakan langsung dengan kehidupannya sendiri, dan mendemonstrasikan
kekuatan pengetahuan, upaya kolaboratif, dan aksi politis dalam
mempengaruhi perubahan ocial.
Pendidikan Multikultural akan membantu siswa dari berbagai
kelompok budaya yang berbeda dalam memperoleh ketrampilan akademik
yang dibutuhkan untuk fungsinya di dalam masyarakat yang berpengetahuan
(a knowledge society). Pendidikan Multikultural merupakan pendidikan
untuk hidup (an education for life) dalam masyarakat yang ber-Pancasila.
Membantu siswa melampaui batas-batas budayanya dan memperoleh
pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk keterlibatannya
di dalam wacana ocial dengan orang yang berbeda dengan dirinya.
Pendidikan Multikultural juga membantu siswa mempelajari ketrampilan
yang dibutuhkan untuk berpartisipasi di dalam tindakan kewarganegaraan (a
civic action), yang merupakan bagian integral dari negara yang berlandaskan
Pancasila. Pendidikan Multikultural bukan hanya didasarkan pada tradisi
demokratis negara, namun memiliki fungsi esensial bagi daya tahan dari
suatu tradisi demokratis, pluralistis di abad mendatang (for the survival of a
democratic, pluralistic traditions in next century).
8. Memiliki wawasan kebangsaan/kenegaraan yang kokoh
Dengan mengetahui kekayaan budaya bangsa itu akan tumbuh rasa
kebangsaan yang kuat. Rasa kebangsaan itu akan tumbuh dan berkembang
dalam wadah Negara Indonesia yang kokoh. Untuk itu Pendidikan
Multikultural perlu menambahkan materi, program dan pembelajaran yang
memperkuat rasa kebangsaan dan kenegaraan dengan menghilangkan
etnosentrisme, prasangka, diskriminasi dan ocial ltu.
9. memiliki wawasan hidup yang lintas budaya dan lintas bangsa sebagai warga
dunia
Hal ini berarti individu dituntut memiliki wawasan sebagai warga
dunia (world citizen). Namun siswa harus tetap dikenalkan dengan budaya
ocia, harus diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar lokalnya.
Mahasiswa diajak berpikir secara internasional dengan mengajak mereka
untuk tetap peduli dengan situasi yang ada di sekitarnya – act locally and
globally.
10. Hidup berdampingan secara damai
Dengan melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, dengan
menjunjung tinggi nilai kemanusian, dengan menghargai persamaan akan
tumbuh sikap toleran terhadap kelompok lain dan pada gilirannya dapat
hidup berdampingan secara damai.
2.10 Fungsi Pendidikan Multikultural
The National Council for Social Studies (Gorski, 2001) mengajukan
sejumlah fungsi yang menunjukkan pentingnya keberadaan dari Pendidikan
Multikultural.
Fungsi tersebut adalah :
1. memberi konsep diri yang jelas.
2. membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari
sejarahnya.
3. membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang
ada pada setiap masyarakat.
4. membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision making),
partisipasi ocial dan ketrampilan kewarganegaraan (citizenship skills).
5. mengenal keberagaman dalam penggunaan bahasa.

Pendidikan Multikultural memberi tekanan bahwa sekolah pada dasarnya


berfungsi mendasari perubahan masyarakat dan meniadakan penindasan dan
ketidakadilan. Fungsi pendidikan ocial ltural yang mendasar adalah
mempengaruhi perubahan ocial. Jalan di atas dapat dirinci menjadi tiga butir
perubahan :
1. perubahan diri
2. perubahan sekolah dan persekolahan
3. perubahan masyarakat

Perubahan diri dimaknai sebagai perubahan dimulai dari diri siswa sendiri
itu sendiri yang lebih menghargai orang lain agar dia bisa hidup damai dengan
sekelilingnya. Kemudian diwujudkan dalam tata tutur dan tata perlakunya di
lingkungan sekolah dan berlanjut hingga di masyarakat. Karena sekolah
merupakan agen perubahan, maka diharapkan ada perubahan yang terjadi di
masyarakat seiring dengan terjadi perubahan yang terdapat dalam lingkungan
persekolahan. (Gorski, 2001).
BAB II

TEORI DAN PENDEKATAN PENDIDIKAN LINTAS BUDAYA

2.1. Pengertian Multikulturalisme


Multikulturalisme mengandung dua pengertian yang sangat
kompleks yaitu “multi” yang berarti “plural” sedangkan “kulturalisme”
yang berarti “budaya” (Tilaar, 2004: 82). Menurut Parsudi Suparlan akar
kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang
dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam
konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk
suatu ideologi yang di sebut multikulturalisme.

Secara etimologis, multikulturalisme digunakan kali pertama pada


tahun 1950-an dikanada. Menurut Longer Oxford Dictionary, istilah
multicultural merupakan deviasi dari kata multicultural. Kamus ini
menyitir kalimat dari surat kabar kanada, Montreal Times yang
menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multicultural
dan multi-lingual. Multikulturalisme dalam konteks tersebut diartikan
sebagai pengakuan terhadap kelompok-kelompok kecil menjalankan
kehidupannya, baik yang berkaitan dengan urusan politik maupun privat.
Hak-hak mereka sebagai anggota masyarakat dijamin sepenuhnya oleh
negara. Disamping itu, masyarakat saling menghargai satu sama lain
(Nurcahyo, 2008: 94-95). C.w. Watson mengemukakan bahwa
multikulturalisme merupakan paham yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupan secara
kebudayaan. Azumardi Azra menyatakan bahwa multikulturalisme secara
sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah
negara/masyarakat adalah beragam dan majemuk (Nurcahyo, 2008: 97).
Setiap negara membutuhkan kekuatan budaya untuk menghadapi arus dan
tekananglobalisasi.budayalah yang tetap akan memberikan sebuah negara
ciri khas disaat globalisasi mulai membiaskan batas-batas geografis
negara-negara. Indonesia sendiri merupakan negara yang plural akan hasil
budaya sehingga disebut multikultural. Apabila semua budaya dapat
dihimpun, maka akan menjadi kekuatan bagi bangsa indonesia untuk
menghadapi arus globalisasi.

2.2. Pendidikan Multikultural

Di jerman dan Inggris, pendidikan multikultural dipicu oleh


migrasi penduduk akibat pembangunan kembali jerman atau migrasi
bekas jajahan Inggris memasuki Inggris Raya(Tilaar, 2004: 126).
Jerman setelah perang dunia I dan menderita kekalahan harus
menandatangani perjanjian yang menyebabkan berdirinya negara-negara
baru yang multietnis dan heterogen seperti Cekoslovalia, yugoslavia, dan
berubahnya perbatasan beberapa negara lalu muncullah Nazisme Hitler
yna menyebabkan ada tiga kelompok minoritas yaitu: (1) suatu kelompok
kecil minoritas yang telah tinggal di Jerman selama berabad-abad berasal
dari Denmark, Friesland, dan Sorbes; (2) kaum pelarian yang berjumlah
12 juta orang; (3) orang-orang jerman yang terusir dari Cekoslovalia,
Polandia, dan Rusia. Kehadiran kelompok-kelompok minoritas itulah
yang menuntut adanya kesetaraan akan harkat kemanusiaan dan
persamaan hak, termasuk didalamnya hak untuk memperoleh pendidikan,
sehingga mendorong timbulnya pendidikan multikultural yang
menyangkut:
1. Pendidikan Integratif yang menekankan pada empati, penghormatan
terhadap kekhususan yang dimiliki orang asing, komunikasi dengan
berbagai jenis etnis dan budaya. Studi perempuan. Pendidikan serta studi
mengenai perempuan terutama berkenaan dengan emansipasi
2. Kaum perempuan yang berasal dari timur, termasuk masalah
pemakaian cadar bagi kaum perempuan di sekolah-sekolah muslim
3. Pendidikan antirasisme. Pendidikan yang khusus dibangun di
lingkungan pekerja asing (Tilaar, 2004: 144).
Pendidikan multikultural di Inggris berkembang sejalan dengan
banyaknya imigran yang masuk ke Inggris. Salah satu undang-undang
mengenai di Inggris yang menyangkut pendidikan multikultural adalah
UU Education (schools) Act tahun 1992 yang menyatakan bahwa ada
kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah
(Equality of opportunity) (Tilaar, 2004: 147). Pada tahun 1981 di dalam
konferensi tahunan NAME (National Association for multikultural
Education), Muilard mengemukakan empat tahap perkembangan dan
pendidikan multikultural:
1.Pendidikan untuk kelompok imigran (1950-an dan 1960-an)
2. Pendidikan multirasial (1960-an-permulaan 1970-an)
3. Pendidikan multietnik (akhir tahun 1970-an)
4. Pendidikan multikultural (akhir 1970-an dan 1980-an)
5. Pendidikan antirasis (Tilaar, 2004: 148).

2.3. Teori Pendidikan Lintas Budaya


Para pakar memiliki visi yang berbeda dalam memandang
multikultural, Para pakar memiliki tekanan yang beragam dalam
memahami fenomena multikultural. Ada yang tetap mempertahankan
adanya dominasi kelompok tertentu hingga yang benar-benar menekankan
pada multikultural. Pada Unit 2.1 ini anda akan diajak mengenali berbagai
teori Pendidikan Multikultural yang dikemukakan oleh para ahli.
Pengenalan sudut pandang para pakar teori Pendidikan Multikultural ini
akan sangat membantu kita lebih mengenali pelaksanaannya di lapangan.

Horace Kallen
Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-
lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism). Teori
pluralisme budaya ini dikembangkan oleh Horace Kallen. la
menggambarkan pluralisme budaya itu dengan definisi operasional
sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam
batas-batas menjaga persatuan nasional. Kallen mencoba mengekspresikan
bahwa masing-masing kelompok etnis dan budaya di Amerika Serikat itu
penting dan masing-masing berkontribusi unik menambah variasi dan
kekayaan budaya, misalnya bangsa Amerika. Teori Kallen mengakui
bahwa budaya yang dominan harus juga diakui masyarakat. Dalam
konteks ini Kallen tetap mengakui bahwa budaya WASP di AS itu sebagai
budaya yang dominan, sementara budaya-budaya yang lain itu dipandang
menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika.
Sekarang, cobalah anda membandingkan dengan situasi dan kondisi
bangsa Indonesia! Adakah budaya yang nampak dominan di negeri ini?
Jawa, Bali, Tionghoa atau yang lainnya? Apa dasar anda untuk
menentukan mereka sebagai budaya dominan. Misalnya, anda berpendapat
bahwa budaya yang dominan adalah Jawa karena sebagian besar penduduk
berasal dari Jawa dan berada di Jawa. Tetapi Jawa yang mana karena ada
aneka ragam budaya yang ada di Jawa? Sebagian yang lain mungkin
menyebut Bali karena Bali lebih dikenal di seluruh dunia daripada
Indonesia. Sehingga sering terjadi pertanyaan yang menggelitik, Indonesia
itu letaknya sebelah mana dari Bali? Mengapa pertanyaan ini sering
muncul? Karena Bali lebih dikenal sebagai tempat wisata Internasional.
Nah cobalah cari di koran atau internet, Indonesia lebih dikenal karena
faktor apa?
Atau mungkin ada yang memandang bahwa budaya Cina yang mulai
menampakkan pengaruhnya? Penggunaan Feng Shui dan adanya
Barongsai di berbagai acara dan di berbagai tempat strategis di tanah air
ini saat ini sangat mewarnai budaya bangsa kita. Namun yang perlu kita
perhatikan adalah posisi yang anda tentukan itu didasarkan atas teori dari
Horace Kallen yang belum tentu disetujui olch kelompok lain.
Penghargaan atau pengakuan terhadap budaya yang dominan dari
Horace Kallen oleh kelompok yang lain ini dipandang bukan merupakan
bagian dari teori multikultural. Nanti akan kita lihat dalam pembahasan
teori dari Banks mengenai kelompok Afrosentris yang antipati terhadap
keberadaan kelompok dominan ini.

James A. Banks
Kalau Horace Kallen perintis teori multikultur, maka James A. Banks
dikenal sebagai perintis Pendidikan Multikultur. Jadi penekanan dan
perhatiannya difokuskan pada pendidikannya. Banks yakin bahwa
sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana
berpikir daripada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa harus
diajar memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan
konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang
berbeda-beda. Siswa yang baik adalah siswa yang selalu mempelajari
semua dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstruksi
pengetahuan pengetahuan. Dia juga perlu disadarkan bahwa di dalam
pengetahuan yang dia terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang
sangat ditentukan oleh kepentingan masing-masing. Bahkan interpretasi
itu nampak bertentangan sesuai dengan sudut pandangnya. Siswa
scharusnya diajari juga dalam menginterpretasikan sejarah masa lalu dan
dalam pembentukan sejarah (interpretations of the history of the past and
history in the making) sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri.
Mereka perlu diajari bahwa mereka sebenarnya memiliki interpretasi
sendiri tentang peristiwa masa lalu yang mungkin penafsiran itu berbeda
dan bertentangan dengan penafsiran orang lain. Misalnya, mengapa
sampai terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825 - 1830. Salah satu
sebab kemunculannya adalah pembangunan jalan yang melintasi makam
di daerah Tegal rejo, Yogyakarta yang secara kultural sangat dihormati
oleh masyarakat sekitar pada waktu itu. Dari sudut pandang Belanda
tindakan Diponegoro itu dianggap sebagai pemberontakan dan sudut
pandang penguasa waktu itu dianggap sebagai upaya perebutan kekuasaan
dari seorang putera selir yang dalam kultur Jawa kedudukannya tidak
setinggi putera permaisuri. Namun sudut pandang apa pun yang digunakan
sebagai motif yang melatar belakanginya perang Diponegoro, namun
sebagai sebuah bangsa dan komitmen kita sebagai putera bangsa, kita
memandang perjuangan Pangeran Diponegoro itu sebagai perjuangan
seorang putra daerah yang ingin memerdekakan diri dari penjajahan
bangsa asing. Siswa harus belajar mengidentifikasi posisinya sendiri
sebagai putera bangsa yang sedang dijajah, kepentingannya yang ingin
memerdekakan diri, asumsi dan filsafat idealnya. Dengan demikian dia
akan mengetahui bagaimana sejarah itu terjadi dan menjadikan hal yang
terjadi itu sebagai sejarah. Singkatnya, mereka harus menjadi pemikir
kritis (critical thinkers) dengan selalu menambah pengetahuan dan
ketrampilan, disertai komitmen yang tinggi. Semuanya itu diperlukan
untuk berpartisipasi dalam tindakan demokratis. Dengan landasan ini,
mereka dapat membantu bangsa ini mengakhiri kesenjangan antara ideal
dan realitas (Banks, 1993). Di dalam The Canon Debate, Knowledge
Construction, and Multicultural Education, Banks mengidentifikasi tiga
kelompok cendekiawan yang berbeda dalam menyoroti keberadaan
kelompok - kelompok budaya di Amerika Serikat:
Pertama adalah traditionalis Barat. Tradisionalis Barat, seperti halnya
dengan kelompok pluralisme budaya dari Horace Kallen, meyakini bahwa
budaya yang dominan dari peradaban Barat yaitu kelompok White, Anglo
Saxon dan Protestan perlu dipresentasikan secara menonjol di sekolah.
Kelompok ini beranggapan bahwa mereka berada dalam posisi terancam
dan berbahaya karena mengenyampingkan kelompok feminis, minoritas
dan reformasi multikultural yang lain. Namun tidak seperti kelompok
Pluralisme Budaya Horace Kallen, tradisionalis Barat masih sedikit
memberi perhatian pada pengajaran keanekaragaman atau multikultur.
Tetapi pertanyaan yang dapat dikemukakan terhadap kelompok ini, jika
peradaban Barat hanya mengajarkan sejarah dan budaya kelompok
dominan, apakah tidak akan mengecilkan pentingnya kelompok budaya
lain yang turut serta dalam pembentukan Amerika Serikat?
Sekarang cobalah anda terapkan adanya kelompok dominan ini
dengan kondisi di Indonesia ! Perhatikan pula dampak atau bahaya yang
muncul ke permukaan dalam bentuk perlawanan fisik maupun perlawanan
non fisik. Kita pernah mengenal adanya kegiatan transmigrasi orang Jawa
ke berbagai daerah di tanah air untuk mengatasi kepadatan penduduk di
Jawa ini dipandang sebagai "penjajahan dari Jawa",
Kelompok kedua yaitu mereka yang menolak kebudayaan Barat
secara berlebihan, yaitu kelompok Afrosentris. Kelompok ini beranggapan
bahwa pengabaian kelompok lain itu memang benar terjadi dan kelompok
ini berpendapat bahwa sejarah dan budaya orang Afrika lah yang
scharusnya menjadi sentral dari kurikulum agar semus siswa dapat
mempelajari peranan Afrika dalam perkembangan peradaban Barat.
Afrosentris juga meyakini bahwa sejarah dan budaya orang Afrika
scharusnya menjadi sentral dalam kurikulum untuk memotivasi siswa
Afrika Amerika dalam belajar.
Namun pertanyaan yang dapat diajukan pada kelompok Afrosentris ini
adalah jika teori Afrosentris sebagai suatu budaya tertentu yang harus
menjadi sentral bagi pendidikan untuk semua siswa, apakah itu tidak
diikuti orang Spanyol yang juga yakin bahwa sejarah dan budaya Spanyol
seharusnya yang menjadi sentral dari kurikulum? Tentu, kita memahami
peranan penting orang Spanyol dalam perkembangan Barat, khususnya
dalam mengenal sejarah Amerika, penemuan Amerika, dan penguasaan
seluruh Texas.
Dan bagaimana pula dengan keturunan orang Perancis, yang telah
menyumbang banyak pada bahasa Amerika dan khususnya terhadap
budaya Louisiana, akankah mereka tidak merasa bahwa sejarah mereka
sama pentingnya dengan yang dimainkan oleh orang Afrika di Selatan?
Kelompok ketiga. Multikulturalis yang percaya bahwa pendidikan
scharusnya direformasi untuk lebih memberi perhatian pada pengalaman
orang kulit berwama wanita. Kelompok ini sekarang sedang berkembang
dan sedang memperjuangkan posisinya di tengah dominasi kelompok yang
sudah mapan.
Kita sebagai bangsa Indonesia boleh berbangga karena bangsa kita
pernah dipimpin olch seorang presiden wanita sementara negara
superpower seperti AS yang memproklamasikan dirinya sebagai negara
paling demokratis ini masih sedang mempertanyakan posisi wanita dalam
kancah pertarungan politik di tingkat tertinggi, presiden wanita di
AmerikaSerikat.

Bill Martin
Dalam tulisannya yang berjudul Transformational?, Bill Martin
menulis, bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme memunculkan
pertanyaan tentang "perbedaan" yang nampak sudan dilakukan berbagai
teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan politik, jika
multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai kelompok
yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi 'pertemuan' dari berbagai
kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi
semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin,
1998: 128)
Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari Afrosentris dan
tradisionalis Barat. Martin menyebut Afrosentris dan tradisional Barat itu
sebagai "consumerist multiculturalism". Selanjutnya, Martin mengusulkan
sesuatu yang baru. Multikulturalisme bukan "konsumeris" tetapi
"transformational", yang memerlukan kerangka kerja. Martin mengatakan
bahwa di samping isu tentang kelas sosial, ras, etnis dan pandangan lain
yang berbeda, diperlukan komunikasi tentang berbagai segi pandangan
yang berbeda. Masyarakat harus memiliki visi kolektif tipe baru dari
perubahan sosial menuju multikulturalisme yaitu visi yang muncul lewat
transformasi.
Martin memandang perlu adanya perubahan yang mendasar di antara
kelompok- kelompok budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru
yang dimiliki dan dikembangkan bersama. Untuk mencapai tujuan itu
sangatlah dibutuhkan adanya komunikasi antar berbagai segi pandang
yang berbeda. Mengapa ini penting? Karena selama ini masing-masing
kelompok bersikap tertutup terhadap kelompok yang lain dan tidak ada
komunikasi tanpa prasangka di antara kelompok-kelompok yang ada.

Martin J. Beck Matustik


Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang
masyarakat multikultural di masyarakat Barat berkaitan dengan
norma/tatanan. Matustík mengatakan "Semua segi dalam pembicaraan
budaya saat ini mengarah pada pemikiran kembali norma Barat (the
western canon) yang mengakui bahwa dunia multikultural adalah benar-
benar nyata adanya " (Matustik, 1998). Dalam artikelnya, "Ludic,
Corporate and Imperial Multiculturalism: Impostors of Democracy and
Cartographers of the New World Order," Matustik menulis, "perang
budaya, politik dan ekonomi menyerang pada segi yang mana, bagaimana
dan lewat siapa sejarah multikultural dijelaskan."
Matustik mengatakan bahwa teori multikulturalisme meliputi berbagai
hal yang semuanya mengarah kembali ke liberalisasi pendidikan dan
politik Plato, filsuf Yunani. Sebuah karya Plato yang berjudul Republik,
bukan hanya memberi norma politik dan akademis klasik bagi pemimpin
dari negara ideal yang dia cita-citakan, namun juga menjadi petunjuk
dalam pembahasan bersama tentang pendidikani bagi yang tertindas
(Matustík, 1998). la yakin bahwa kita harus menciptakan pencerahan
multikultural baru (a new multicultural enlightenment) yaitu
"multikulturalisme lokal yang saling berkaitan, secara global sebagai
lawan dari monokultur nasional" (Matustik, 1998).

Judith M. Green
Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya unik di
A.S. Negara lain pun harus mengakomodasi berbagai kelompok kecil dari
budaya yang berbeda. Kelompok-kelompok ini biasanya bertoleransi
terhadap keuntungan budaya dominan. Secara unik, Amerika memberi
tempat perlindungan dan memungkinkan mereka mempengaruhi
kebudayaan yang ada. Dengan team, kelompok memperoleh kekuatan dan
kekuasaan, membawa perubahan seperti peningkatan upah dan keamanan
kerja. Wanita dan minoritas (Hispanis, Afrika dan Amerika Asli) harus
memperoleh kesempatan ekonomi yang lebih baik, partisipasi politis yang
lebih efektif, representasi media yang lebih disukai, dan sebagainya.
Namun akhir abad 20 telah membawa orang Amerika pada suatu tempat
"memerangi kebuntuan yang memerlukan pemikiran kembali yang baru
dan lebih dalam tentang tujuan dan materi pendidikan dalam suatu
masyarakat yang masih terus diharapkan dan dicita- eitakan yang
dibimbing olch ide demokrasi" (CGreen, 1998). Bangsa ini selalu
memandang pendidikan sebagai cara perubahan yang efektif, baik secara
personal maupun sosial. Sehingga lewat pendidikan Amerika meraih
kesuksesan terbesar dalam transformasi. Beberapa kelompok tidak bisa
melihat bahwa kita sekarang adalah apa yang selalu ada. Yaitu, Amerika
yang sejak kelahirannya, selalu memiliki masyarakat multikultural di
mana berbagai budaya telah bersatu lewat perjuangan, interaksi, dan
kerjasama (Green, 1998).

1.2. Pendekatan Pendidikan Lintas Budaya


Kurikulum menjadi faktor yang menentukan dalam Pendidikan
Multikultural K sekolah-sekolah Amerika Serikat terdapat berbagat
pendekatan dalam melakukan reformasi kurikulum multikultural.
Pendekatan Pendidikan Multikultural, khususnya di Amerika Serikat.
Setiap negara, termasuk Indonesia mempunyai permasalahan unik yang
berbeda-beda namun ada sejumlah permasalahan yang sama dan kita bisa
banyak belajar negara lain, termasuk mengembangkannya. Kita tahu
bahwa Perintis Pendidikan Multikultural berasal dan negara ini. Berikut ini
akan kita telaah bersama-sama perkembangan kurikulum untuk
Pendidikan Multikultural.
Kurikulum Berpusat Pada Paham Budaya Utama
Amerika Serikat terbentuk dari berbagai kelompok ras, etnis, agama,
dan budaya yang berbeda. Sebagian besar kurikulum sekolah, buku teks,
dan materi pelajaran kurang memberi perhatian pada kelompok ini.
Bahkan. sebagian besar kurikulum, buku teks, dan materi pelajaran lebih
berfokus pada White Anglo-Saon Protestants (Banks, 1993: 195).
Kelompok budaya vang dominan di masyarakat AS ini sering disebut
aliran utama budaya orang Amerika. Kurikulum yang hanya berfokus pada
alıran utama (budaya dominan) Amerika dan mengabaikan pengalaman,
budaya dan sejarah dari kelompok etnis, ras, budaya dan agama yans lain
akan memiliki konsekuensi yang negatif. Konsekuensi negatif bagi siswa
Amerika dari aliran utama maupun siswa dan kulit berwarna yang bukan
termasuk dalam kelompok dominan ini. James A. Banks bernendapat
bahwa kurikulum yang berpusat pada aliran utama (a mainstream-centric
curriculum) ini justru dapat menjadi satu cara utama yang memperkuat
rasisme dan etnosentrisme dan hal ini diabadikan di sebagian besar
sekolah dan di masyarakat Amerika.
Kurikulum berpusat pada aliran utama memiliki konsekuensi negatif
terhadap siswa dari aliran utama karena kurikulum mi memperkokoh rasa
superioritas yung keliru (false sense of superiority), memberi mereka
konsepsi vang salah tentang hubungan mereka dengan kelompok ras dan
etnis lainnva, dan menolak kesempatan memperoleh manfaat dari
pengetahuan, perspektif, dan kerangka pikir vang dapatdiperoleh dari
mengkaji dan mengalami budaya dan kelompok tain. Kurikulum yang
berpusat pada aliran utama juga mengabuikan kesempaten siswa Amerika
aliran utama untuk melihat kebudayacm mereka dari sulun pandang bulaya
lain. Jika orang melibat kebudayaan mereka dari sudut pandang budaya
lain, mereka dapat memahami budayanya sendiri secara lebih utuh.
Dengan demikian mereka dapat melihat bagaimana keunikannya dan
perbedaanya dari budaya lain, dan memahami secara lebih baik bagaimana
budaya itu berhubungan dan berinteraksi dengan budaya lainnya.
Kurikulum berpusat aliran utama herpengaruh secara negatif terhadap
siswa kulit berwarna, seperti orang Afrika-Amerika, Ilispanis, dan Asia-
Amerika. Kurikulum itu mengahaikan pengalaman dan buckaya mereka
dan tidak menggambarkan impian, harapam, dan perspektif kelompuk yem
tielak termasuk aliran utama ini. Siswa akan dapat belajar secara maksimal
dan amat termotivasi jika kurikulum sekolah menggambarkan budaya,
pengalanan, dan perspektif mereka. Beberapa siswa kulit berwarna
diasingkan di sekolah tempat dia belajar karena mereka mengalami konflik
budaya dan diskontinuitas yang dischabkan perbedaan budaya antara
sekolah dengan masyarakat mercka. Sekolah dapat membantu untuk
menjadi juru penengah antara budaya rumah dan sekolah dari siswa kulit
berwarna dengan mengimplementasikan kurikulum yang menggambarkan
budaya dari kelompok dan komunitas etnis mereka. mengefektifkan
penggunaan budlaya masyarakat dari siswa kulit berwarna saat mengajari
mereka seperti mata pelajaran menulis, seni, bahasa, sains dan Sekolah
dapat dan seharusnya matematika.
Nah, sesudah melihat perspektif bangsa Amerika, sekarang silakan
Anda mencoba membandingkannya dengan kondisi di Indonesia.
Pada pendekatan herpusat aliran utama, peristiwa, tema, konsep, dan
isu dipandang terutama dari perspektif kelas menengah Anglo-Amerika
dan Eropah. Perkembangan peristiwa dan budaya seperti eksplorasi orang
Eropah di Amerika dan perkembangan musik Amerika dipandang dari
perspektif Anglo dan Eropah dan dievaluasi dengan menggunakan kriteria
dan sudut pandang dari aliran utama.
Jika eksplorasi orang Eropah atas Amerika dipandang dari perspektif
berpusat- Eropah, Amerika dipandang sebagai "ditemukan" olch
penjelajah Eropah seperti Columbus dan Cortes. Pandangan bahwa
penduduk asli di Amerika diketemukan olch orang Eropah menyiratkan
bahwa budaya Indian tidak ada hingga mereka "ditemukan" olch orang
Eropah. Sesudah itu orang Eropah menempati dan mengklaim bahwa
tanah itu yang didiami olch Indian Amerika itu menjadi pemilik yang sah
(rightfully owner). Pandangan Anglosentris, yang mengabaikan
keberadaan kelompok Indian Amerika ini sangat mewarnai gaya
penulisan. Dengan pilihan kata seperti yang mendiami (settlers), dan
pemherontakan (rehelled), penulis menjustifikasi pengambilan tanah
Indian dan menggambarkan perlawanan mereka sebagai pemberontakan.
Ini yang tidak masuk akal. Bandingkan dengan peristiwa Perang
Kemerdekaan I dan II yang terjadi sekitar tahun 1947 dan 1948, Oleh
pemerintah Hindia Belanda, peperangan itu dianggap sebagai aksi
polisional. Jadi "perang kemerdekaan itu" dipandang sebagai aksi polisi
yang mengatasi kekacauan.
Jika bentuk dan sifat pengembangan budaya AS seperti musik dan
tari, dipandang dari perspektif berpusat-aliran utama, bentuk seni tertentu
menjadi penting dan berarti hanya jika diakui atau dilegitimasi oleh
kritikus dan artis aliran utama. Musik dari seniman Afrika-Amerika seperti
Chuck Berry dan Little Richard tidak dipandang sebagai signifikan oleh
masyarakat aliran utama sampai penyanyi kulit putih seperti Beatles dan
Rod Stewart secara publik mengakui secara signifikan musik mereka
sendiri benar-benar dipengaruhi oleh seniman Afrika-Amerika. Seringkali
artis kulit putih mengakui bentuk dan inovasi budaya etnis oleh orang
Asia-Amerika, Afrika Amerika, Hispanis, dan Amerika Asli.

Upaya Menyusun Kurikulum Multikultural


Sejak gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an, para pendidik sedang
mencoba, dengan berbagai cara, mengintegrasikan kurikulum sekolah
secara lebih baik dengan materi etnis dan berupaya mengubah kurikulum
berpusat Eropah (aliran utama). Hal ini dibuktikan dengan sulitnya
merumuskan tujuan sekolah karena adanya berbagai pertimbangan yang
kompleks. Ideologi Kaum Asimilasi yang kuat yang dianut oleh sebagian
besar pendidik AS adalah satu alasan utama. Ideologi asimilasionis
membuat pendidiknya sulit berpikir beda tentang bagaimana masyarakat
dan budaya AS berkembang dan memperoleh komitmen untuk membuat
kurikulum multikultural. Individu yang memiliki ideologi asimilasionis
yang kuat berpandangan bahwa peristiwa dan perkembangan paling
penting di masyarakat AS dihubungkan dengan warisan negara Inggris dan
bahwa kontribusi kelompok etnis dan budaya yang lain tidak begitu
penting.
Jika pendidik mempelajari ideologi dan konsepsi multikultural tentang
budaya Amerika Serikat secara benar, maka mereka mampu memandang
arti pentingnya pengalaman dan kontribusi dari berbagai kelompok
budaya, etnis, dan religi bagi perkembangan Amerika Serikat.
Perlawanan ideologis (ideological resistance) merupakan faktor utama
yang memperlambat dan masih lambatnya perkembangan multikultural,
namun faktor lain juga mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangannya. Perlawanan politis terhadap kurikulum multikultural
sangat berkaitan dengan perlawanan ideologis. Beberapa orang yang
menentang kurikulum multikultural meyakini bahwa pengetahuan adalah
kekuatan dan bahwa perspektif multikultural masyarakat AS menantang
struktur kekuatan yang ada, Jadi mereka berpandangan bahwa kemunculan
kurikulum multikultural bisa dianggap sebagai kekuatan baru yang
membahayakan eksistensi dari kelompok yang menjadi aliran utama ini.
Mercka yakin bahwa kurikulum berpusat pada aliran utama yang dominan
mendukung. memperkuat, dan membenarkan struktur sosial, ekonomi dan
politik yang ada. Kurikulum berpusat pada aliran utama berusaha
mempertahankan status quo. Sedangkan perspektif dan sudut pandang
multikultural akan membenarkan dan mempromosikan perubahan sosial
dan rekonstruksi sosial. Ada dua sisi yang berhadapan yakni kelompok
aliran utama ingin mempertahankan status quo seperti sekarang ini dan
kelompok multikultural yang ingin melakukan rekonstruksi sosial.
Pada tahun-tahun terakhir perdebatan hangat terjadi tentang seberapa
jauh kurikulum seharusnya berpusat Eropah dan Barat dan seberapa jauh
seharusnya menggambarkan perbedaan kultural, etnis dan rasial di
Amerika Serikat. Paling tidak ada tiga posisi utama yang dapat
diidentifikasi dalam perdebatan ini. Tradisionalis Barat berpendapat Barat,
seperti didefinisikan dan dikonseptualisasi di masa lampau, seharusnya
menjadi fokus di dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi Amerika
Serikat dan bahkan seluruh dunia. Ahli Afrosentris berpendapat bahwa
kontribusi Afrika dan orang Afrika seharusnya mendapat penekanan yang
lebih di dalam kurikulum. Multikulturalis berpendapat bahwa sekalipun
Barat harus mendapat penekanan lebih dalam kurikulum, Barat harus
mengkonseptualisasi kembali sehingga menggambarkan kontribusi orang
kulit berwarna dalam membentuk budaya Barat. Juga mengajarkan tentang
jurang pemisah antara ideal dan realitasnya tentang rasialisme, gender, dan
diskriminasi dari budaya Barat. Multikulturalis juga yakin bahwa di
samping mempelajari tentang Barat, siswa seharusnya mempelajari
kebudayaan dunia yang lain, seperti budaya di Afrika, Asia, dan Timur
Tengah, dan Amerika, termasuk seperti apa mereka adanya sebelum
bangsa Eropah datang.
Faktor lain yang memperlambat pelembagaan kurikulum multikultural
mencakup rendahnya tingkat pengetahuan tentang budaya etnis yang
dikuasai sebagian besar pendidik dan beratnya beban pelajaran yang ada
pada buku teks. Pengajar harus memiliki pengetahuan yang mendalam
tentang budaya etnis dan juga memiliki pengalaman mengintegrasikan
materi, pengalaman, dan sudut pandang etnis dalam kurikulum. Pengajar
menceritakan pada siswanya bahwa Columbus menemukan Amerika dan
bahwa Amerika adalah suatu "dunia baru" karena mereka hanya memiliki
sedikit pengetahuan tentang aneka budaya Amerika Asli yang ada di
Amerika selama lebih dari 40.000 tahun. Padahal bangsa Eropah baru
menempati Amerika dalam jumlah yang signifikan pada abad enambelas.
Beberapa studi telah menyatakan bahwa buku teks masih menjadi
sumber utama pengajaran, khususnya mata pelajaran tertentu seperti studi
sosial, memba dan seni bahasa. Beberapa perubahan signifikan telah
dibuat dalam buku teks seie gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an. Banyak
kelompok etnis dan wanita telah muncul dalam buku teks saat ini
dibandingkan masa lampau. Namun, materi tentany kelompok etnis dalam
buku teks biasanya disajikan dari perspektif aliran utama, mengandung
informasi dan kepahlawanan yang diseleksi dengan menggunakan kriteria
aliran utama, dan jarang terintegrasi secara konsisten dan total. Informasi
seputar kelompok etnis biasanya dibahas dalam unit, topik, dan bagian
teks yang khusus. Mereka mendekati pengajaran bermuatan etnis dalam
cara-cara yang terpilah-pilah.

Tahap-tahap Integrasi Materi Multikultural ke dalam Kurikulum


Sejak tahun 1960-an dapat diidentifikasi ada empat pendekatan yang
mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum:
Pertama, pendekatan kontribusi (the contributions approach).
Level 1 ini adalah satu dari yang paling sering dan paling luas dipakai
dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan etnis (ethnic revival
movement). Juga sering digunakan jika sekolah mencoba
mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum aliran
utama.
Ciri pendekatan kontribusi adalah dengan memasukkan pahlawan
etnis dan benda-benda budaya yang khas ke dalam kurikulum, yang dipilih
dengan menggunakan kriteria budaya aliaran utama. Jadi individu seperti
Crispus Attucks, Benjamin Bannaker, Sacajawea, Booker T. Washington,
dan Cesar Chavez sebagai pahlawan dari kelompok multikultural
ditambahkan dalam kurikulum. Mereka dibahas saat pahlawan Amerika
aliran utama seperti Patrick Henry, George Washington, Thomas
Jefferson, dan John F. Kennedy dipelajari dalam kurikulum inti, Elemen
budaya yang khas seperti makanan, tari, musik dan benda kelompok etnis
dipelajari, namun hanya sedikitmemberi perhatian pada makna dan
pentingnya budaya khas itu bagi komunitas etnis.
Karakteristik penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa
kurikulum aliran utama tetap tidak berubuh dalam struktur dasar, tujuan,
dan karakteristik. Persyaratan implementasi pendekatan ini adalah minimal
yang hanya mencakip pengetahuan dasar mengenai musyarakat AS dan
pengetahuan tentang pahlawan etnis dan peranan dan kontribusinya
terhadap masyarakat dan budaya AS.
Individu yang menentang ideologi, nilai dan konsepsi masyarakat
yang dominan dan yang mendukung reformasi sosial, politik, dan ekonomi
radikal jaran dimasukkan dalam pendekatan kontribusi, Jadi Booker T.
Washington lebih mungkindipilih untuk studi dibandingkan dengan W.E.B
Du Bois, dan Sacajawea lebih mungkin dipilih daripada Geronimo.
Kriteria yang dugunakan untuk memilih pahlawan etnis untuk dipelajari
dlan penentuan keherhasilan perjuangannya berasal dari masvarakat aliran
utama dan bukan dari komunitas etnis: Akibatnya, pemakaian pendekatan
kontribusi biasanya menghasilkan studi tentang pahlawan etnis yang hanya
menggambarkan satu perspektif penting dalam komunitas etnis. Dalam
pendekatan kontribusi, individu yang lebih radikal dan kurang konformis
yang hanya menjadi pahlawan bagi komunitas etnis cenderung untuk
diabaikan dalam buku teks, materi pembelajaran dan aktivitas yang
dipakai.
Pendekatan kepahlawanan dan hari libur adalah varian dari
pendekatan kontribusi. Dalam pendekatan ini, materi etnis terutama
terbatas pada hari, minggu dan bulan spesial yang berhubungan dengan
peristiwa dan peringatan etnis. Cinco de Mayo, HUT Martin Luther King,
dan Minggu Sejarah Afrika Amerika merupakan contoh hari dan minggu
etnis yang diperingati di sekolah. Selama perayaan ini, pengajar
melibatkan siswa dalam pelajaran, pengalaman, dan pawai sejarah yang
berkaitan dengan kelompok etnis yang sedang diperingati. Ketika
pendekatan ini digunakan, kelas mempelajari sedikit atau tidak sama sekali
tentang kelompok etnis sebelum atau sesudah peristiwa atau kesempatan
khusus itu.
Pendekatan kontribusi memberi kesempatan pada guru untuk
mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum secara cepat dengan
memberi pengenalan tentang kontribusi etnis terhadap masyarakat dan
budaya AS. Pengajar yang komit untuk mengintegrasikan materi etnis ke
dalam kurikulum hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang kelompok
etnis dan hanya sedikit merevisi kurikulum. Akibatnya, mereka
menggunakan pendekatan kontribusi saat mengajarkan tentang kelompok
etnis. Guru-guru ini seharusnya mendorong, mendukung, dan memberi
kesempatan untuk mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang
diperlukan untuk mereformasi kurikulumnya dengan menggunakan satu
atau beberapa pendekatan yang efektif.
Seringkali ada tuntutan politik yang kuat dari komunitas etnis
terhadap sekolah untuk mencantumkan pahlawan, kontribusi dan budaya
mereka ke dalam kurikulum Sekolah. Kekuatan politik ini dapat
mengambil bentuk tuntutan atas pahlawan dan kontribusi pahlawan dari
kelompok mereka karena pahlawan aliran utama seperti washington,
Jefferson, dan Lincoln sangat nampak dalam kurikulum sekolah.
Masyarakat etnis kulit berwat sciidiri berdampingan dengan masyarakat
aliran utama. Kontribusi tersebut dapat icmbantu mereka merasa
dicantumkan (inklusi struktural), teruji, dan persamaan. Inklusi kurikulum
juga memfasilitasi penelitian tentang kelompok etnis dan budaya ingin
melihat pahlawan dan kontribusi mereka Jang menjadi korban kekuatan
dan kekuasaan yang ada saat ini.
Pendekatan kontribusi juga merupakan pendekatan paling awal bagi
pengajar untuk digunakan untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam
kurikulum. Narmun. pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan serius.
Jika integrasi kurikulum dilengkapi terutama dengan memasukkan
pahlawan dan kontribusi etnis, siswa tidak memperoleh pandangan global
tentang peranan kelompok etnis dan budaya di masyarakat AS. Lebih dari
itu, mereka melihat isu dan peristiwa etnis terutama sebagai tambahan
terhadap kurikulum dan akibatnya budaya itu hanya berkedudukan sebagai
tempelan terhadap sejarah utama perkembangan bangsa dan terhadap
kurikulum inti dari seni bahasa, studi sosial, seni, dan bidang pelajaran
yang lain.
Pengajaran isu etnis dengan menggunakan kepahlawanan dan
kontribusi juga cenderung untuk mengabaikan konsep dan isu penting
yang berkaitan dengan korban dan penindasan dari kelompok enis dan
perjuangan melawan rasisme dan kekuasaan. Isu seperti ras, kemiskinan,
dan penindasan cenderung dijauhi dalam pendekatan kontribusi untuk
integrasi kurikulum. Cenderung berfokus pada suatu keberhasilan dan
pengesahan dari mitos Horatio Alger bahwa semua orang Amerika yang
berkemauan untuk bekerja keras dapat beranjak dari miskin menjadi kaya
dan menaikkan sendiri dengan usaha mereka sendiri.
Kisah keberhasilan dari sejarah etnis seperti Booker T. Washington
George Washington Carver, dan Jackie Robinson, biasanya diceritakan
dengan fokus pada kesuksesan mereka, dengan sedikit perhatian pada
rasisme dan hambatan lain yang mereka hadapi dan bagaimana mereka
berhasil mengatasi rintangan yang mereka hadapi. Siswa seharusnya
belajar tentang proses seseorang menjadi pahlawan di samping tentang
status dan peranannya sebagai pahlawan. Hanya jika siswa mempelajari
proses individu menjadi pahlawan akan membuat mereka memahami
secara utuh bagaimana individu, khususnya individu kulit berwarma,
mencapai dan mempertahankan status pahlawan dan proses menjadi
pahlawan apa yang berarti bagi kehidupan mereka sendiri.
Pendekatan kontribusi seringkali menghasilkan peremehan budaya
etnis, studi tentang karakteristik aneh dan eksotis mereka, dan penguatan
stereotipe dan salah konsepsi. Jika fokusnya adalah pada kontribusi dan
aspek unik dari budaya etnis, siswa tidak terbantu untuk memandangnya
sebagai keseluruhan yang lengkap dan dinamis. Pendekatan kontribusi
juga cenderung berfokus pada gava kelompok etnis daripada struktur
lembaga seperti rasisme dan diskriminasi, yang secara kuat mempengaruhi
kesempatan hidup mereka dan tetap membuatnya lemah dan terpinggirkan.
Pendekatan kontribusi terhadap integrasi materi dapat memberi siswa
dengan pengalaman sesaat yang dapat diingat dengan pahlawan etnis,
namun seringkali gagal untuk membantunya memahami peran dan
pengaruh pahlawan itu dalam konteks keseluruhan dari sejarah dan
masyarakat Amerika. Jika pahlawan etnis dipelajari terpisah dan menjadi
bagian dari konteks sosial dan politis di mana mereka hidup dan bekerja,
siswa hanya memperoleh pemahaman parsial tentang peranan dan
signifikannya dalam masyarakat. Jika Martin Luther King, Jr. dipelajari di
luar konteks sosial dan politik rasisme pelembagaan di AS Selatan pada
tahun 1940 dan 1950 an, dan tanpa perhatian yang lebih tajam dari rasisme
pelembagaan di Utara selama periode ini, signifikansi utuhnya sebagai
pembaharu sosial tidak ternyatakan ataupun dimengerti oleh siswa.

Kedua, Pendekatan Aditif (Additive Approach)


Tahap kedua Pendekatan penting lain terhadap integrasi materi etnis
terhadap kurikulum adalah penambahan materi, konsep, tema dan
perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan
karateristik dasarnya. Pendekatan Aditif (Tahap 2) ini sering dilengkapi
dengan penambahan suatu buku, unit, atau bidang terhadap kurikulum
tanpa mengubahnya secara substansial. Contoh pendekatan ini meliputi
penambahan buku seperti The Color Purple pada suatu unit tentang abad
duapuluh, penggunaan film Miss Jane Patman selama unit tentang 1960-
an, dan penambahan tentang suatu unit pada tawanan Jepang Amerika
selama studi Perang Dunia II di sebuah kelas sejarah Amerika Serikat.
Pendekatan aditif memungkinkan pengajar untuk memasukkan materi
etnis ke dalam kurikulum tanpa restrukturisasi, suatu proses yang akan
memakan waktu, usaha, latihan dan pemikiran kembali dari maksud, sifat
dan tujuan kurikulum yang substansial. Pendekatan aditif dapat menjadi
fase awal dalam upaya reformasi kurikulum transformatif yang didesain
untuk menyusun kembali kurikulum total dan untuk mengintegrasikannya
dengan materi, perspektif dan kerangka pikir etnis.
Namun pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan seperti dari
pendekatan kontribusi. Yang paling penting adalah pandangan tentang
materi etnis dari perspektif sejarawan, penulis, artis, dan ilmuwan aliran
utama yang tidak memerlukan restrukturisasi kurikulum. Peristiwa,
konsep, isu, dan masalah yang diseleksi untuk studi diseleksi dengan
menggunakan kriteria dan perspektif Eurosentris dan aliran utama sentris.
Jika mengajar suatu unit seperti Gerakan Barat pada kelas sejarah di AS
kelas 5, guru dapat mengintegrasikan unit dengan menambahkan materi
tentang Oglala Sioux Indian. Namun, unit tetap berpusat dan difokuskan
pada aliran utama, Suatu unit disebut Gerakan Barat dan Eropah sentris
ebagai aliran utama karena berfokus pada orang Eropah Amerika dari
bagian Timur ke Barat Amerika Serikat. Oglala Sioux telah ada bergerak
menuju ke barat. Unit mungkin menyebut Invasi dari Timur, dari sudut
pandang Oglala Sioux. Black Elk, orang suci Oglala Sioux, mengeluhkan
musnahan orang-orangnya yang berpuncak pada kekalahan mereka di
Wounded Niec Creek pada 29 Desember 1890. Kurang lebih 200 laki,
perempuan, dan anak Sioux terbunuh oleh pasukan AS. Black Elk
berkata,"Ranting-ranting bangsa (Sioux) patah dan terpencar. Tidak ada
lagi pusat, dan pohon yang dikeramatkan telah mati."
Black Elk tidak memandang tanahnya "Barat," tetapi lebih pada pusat
dunia. Ia memandang arah utama secara metafisik. Jika mengajar tentang
gerakan orang Eropah melintasi Amerika Utara, pengajar seharusnya
membantu siswa memahami bahwa kelompok budaya, ras, dan etnis yang
berbeda sering memiliki konsepsi dan sudut pandang yang berbeda dan
bertentangan atas peristiwa sejarah, konsep, isu, dan perkembangan yang
sama. Pemenang dan yang ditundukkan seringkali memiliki konsep yang
berlawanan atas peristiwa sejarah yang sama. Namun, biasanya sudut
pandang pemenang yang terlembagakan dalam sekolah dan masyarakat
aliran utama. Ini terjadi karena sejarah dan buku teks biasanya ditulis oleh
orang yang menang perang dan memperoleh keuntungan untuk
mengontrol masyarakat, dan bukan oleh yang kalah korban dan lemah.
Perspektif dari kedua kelompok perlu untuk membantu kita memahami
secara penuh sejarah, budaya dan masyarakat kita.
Orang yang ditaklukkan dan orang yang menaklukkan memiliki
sejarah dan budaya yang saling menjalin dan saling berhubungan secara
berbelit-belit. Mereka harus mempelajari masing-masing sejarah dan
budaya yang lain untuk memahaminya secara utuh. Pendekatan aditif
gagal membantu siswa melihat masyarakat dari perspektif budaya dan
etnis yang berbeda dan memahami cara yang saling berhubungan sejarah
dan budaya dari kelompok etnis, ras, budaya, dan religi yang berbeda.
Isi, materi, dan isu yang ditambahkan ke dalam kurikulum seperti
embel-embel daripada bagian integral dari unit pelajaran dapat menjadi
problematis. Problem mungkin muncul jika buku seperti The Color Purple
atau film seperti Miss Jane Pittman ditambahkan pada unit jika siswa
kekurangan konsep, latar belakang materi, dan kematangan emosional
sehubungan dengan isu dan masalah dalam materi ini. Penggunaan efektif
dari materi yang kompleks dan bermuatan emosi biasanya memerlukan
guru yang membantu siswa mempelajari secara bertahap dan berkembang,
memiliki latar belakang materi yang kuat serta memiliki kematangan
sikap. Penggunaan kedua materi ini di kelas dan sekolah yang berbeda
telah menimbulkan masalah utama bagi pengajar yang menggunakannya.
Suatu kontroversi masyarakat timbul. Masalah berkembang karena materi
digunakan pada siswa yang tidak memiliki latar belakang isi atau kepuasan
sikap untuk meresponnya secara memadai. Menambahkan materi etnis ke
dalam kurikulum menurut cara yang sporadis dan terpilah-piliah dapat
menyebabkan masalah pedagogis, kesulitan bagi guru, kebingungan siswa,
dan kontroversi masyarakat.

Ketiga, Pendekatan Transformasi


Pendekatan transformasi (The transformation approach) berbeda
secara mendasar dari pendekatan kontribusi dan aditif. Pada kedua
pendekatan, materi etnis ditambahkan pada kurikukulum inti aliran utama
tanpa mengubah asumsi dasar, sifat, dan strukturnya. Dalam pendekatan
transformasi ada perubahan dalam tujuan, struktur, dan perspektif
fundamental dari kurikulum.
Pendekatan transformasi (tahap 3) mengubah asumsi dasar kurikulum
dan menumbuhkan kompetensi siswa dalam melihat kosep, isu, tema dan
problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif
berpusat pada aliran utama adalah hunya satu di antara beberapa perspektif
darimana isu, masalah, konsep, dan isu dipandang. Tidak mungkin dan
tidak inginlah untuk melihat setiap isu, konsep, peristiwa atau masalah dari
sudut pandang setiap kelompok etnis AS. Lebih dari itu, tujuan scharusnya
memungkinkan siswa untuk melihat konsep dan isu lebih dari satu
perspektif dan melihat peristiwa, isu, atau konsep yang sedang dipelajari
dari sudut pandang kelompok etnis, budaya dan ras partisipan yang paling
aktif, atau berpengaruh paling meyakinkan (Banks, 1993: 203).
Isu kurikulum esensial yang terdapat dalam reformasi kurikulum
multikultural bukan penambahan dari daftar panjang dari kelompok,
pahlawan, atau kontribusi etnis namun pemasukan berbagai perspektif,
kerangka pikir, dan materi dari berbagai kelompok yang akan memperluas
pemahaman siswa akan sifat, perkembangan, dan kompleksitas masyarakat
AS. Jika siswa sedang mempelajari revolusi dari koloni Inggris, perspektif
dari revolusi Anglo, loyalis Anglo, Afrika Amerika, India, dan Inggris
adalah esensial bagi mereka untuk memperoleh suatu pemahaman utuh
tentang peristiwa yang signifikan dalam sejarah Amerika. Siswa harus
mempelajari revolusi dari berbagai kelompok yang berbeda ini untuk
dipahami secara utuh.
Dalam seni bahasa, jika siswa sedang mempelajari sifat bahasa Inggris
Amerika, mereka seharusnya dibantu untuk memahami perbedaan bahasa
dan kekayaan linguistik di Amerika Serikat dan hal-hal dari berbagai
kelompok regional, kultural, dan etnis mempengaruhi perkembangan
bahasa Inggris AS. Siswa seharusnya juga mengkaji bagaimana
penggunaan bahasa normatif berbeda dalam konteks sosial, wilayah dan
situasi. Pemakaian bahasa Inggris orang kulit hitam sesuai untuk konteks
sosial dan kultural tertentu dan tidak cocok untuk yang lain. Ini juga benar
bagi bahasa Inggris AS baku. AS kaya bahasa dan dialek. Negara ini
memiliki lebih dari 20 juta warga Hispanis. Spanyol adalah bahasa
pertama sebagian besar dari mereka. Sebagian besar dari sekitar 30 juta
bangsa Afrika Amerika berbicara baik dengan bahasa Inggris baku
maupun bahasa Inggris kulit hitam. Perbedaan bahasa yang kaya di
Amerika Serikat mencakup lebih dari dua puluh lima bahasa Eropah, Asia,
Afrika, dan bahasa Timur Tengah, serta bahasa Indian Amerika. Sejak
tahun 1970-an, bahasa dari Indo China, digunakan berbicara oleh
kelompok seperti orang Hmong, Vietnam, Laos, dan Kamboja, lebih
memperkava perbedaan bahasa di Amerika Serikat.
Jika mempelajari musik, tari, dan sastra, guru seharusnya
memperkenalkan siswa dengan bentuk-bentuk seni di antara etnis AS yang
amat berpengaruh dan memperkaya tradisi seni dan sastra negara ini. Hal-
hal yang berkaitan dengan musikus Afrika Amerika seperti Bessie Smith,
W.C. Handy, dan Leontyne Price yang telah mempengaruhi sifat dan
perkembangan musik AS seharusnya dikaji saat mempelajari
perkembangan musik AS. Orang Afrika Amerika dan Puerto Rico
mempengaruhi perkembangan tarian orang Amerika. Penulis dari orang
kulit berwarna seperti Langston Hughes, N. Scott Momaday, Carlos
Bulosan dan lain-lain bukan hanya telah mempengaruhi secara signifikan
perkembangan sastra Amerika, namun juga memberikan perspektif unik
dan menampakkan sastra dan masyarakat Amerika.
Jika mempelajari sejarah, bahasa, musik, seni, sains, dan matematika
AS, penekanan seharusnya bukan pada cara-cara di mana berbagai
kelompok etnis dan budaya itu telah berkontribusi pada aliran utama
budaya dan masyarakat AS. Lebih dari itu, penekanan seharusnya pada
bagaimana budaya dan masyarakat AS pada umumnya muncul dari
sintesis dan interaksi kompleks dari elemen budaya yang berbeda yang
asalnya dari berbagai kelompok budaya, ras, etnis, dan agama yang
membentuk masayarakat Amerika. Banks menyebut proses ini multiple
acculturation dan berpendapat bahwa sekalipun Anglo-Saxon Protestan
adalah kelompok dominan di Amerika Serikat secara kultural, politis, dan
ekonomis, akan terjadi salah pengertian dan tidak akuratlah untuk
menggambarkan budaya dan masyarakat AS sebagai budaya Anglo-Saxon
Protestan. Kelompok etnis dan budaya AS yang lain amat mempenganuhi,
membentuk, dan berpartisipasi dalam perkembangan dan pembentukan
masyarakat dan budaya AS. Orang Afrika Amerika, misalnya, amat
mempengaruhi perkembangan budaya AS selatan, sekalipun mereka hanya
memiliki sedikit kekuasaan politik dan ekonomi.
Konsepsi akulturasi ganda (a multiple acculturation conception) dari
masyarakat dan budaya AS mengarah pada perspektif bahwa memandang
peristiwa etnis, sastra, musik, dan seni sebagai bagian integral dari yang
membentuk budaya AS secara umum. Budaya WASP hanya dipandang
sebagai bagian dari keseluruhan budaya yang lebih besar. Jadi mengajari
sastra Amerika tanpa melibatkan penulis kulit berwarna yang signifikan
memberikan pandangan yang parsial dan tidak lengkap tentang sastra,
budaya, dan masyarakat AS.

Keempat, Pendekatan Aksi Sosial


Pendekatan Aksi Sosial (the Social Action Approach) mencakup
semua elemen dari pendekatan transformasi namun menambahkan
komponen yang mempersyaratkan siswa membuat keputusan dan
melakukan aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah yang
dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pengajaran dalam pendekatan ini
adalah mendidik siswa melukukan untuk kritik Vasial dan perubahan
sosial dan mengajari mereka ketrampilan pembuatan keputusan. Untuk
memperkuat siswa dan membantu mereka memperoleh kemanjuran politis,
sekolah seharusnya membantunya menjadi kritikus sosial yang reflektif
dan partisipan yang terlatih dalam perubahan sosial. Tujuan tradisional
dari persekolahan yang telah ada adalah untuk mensosialisasi siswa
sehingga mereka menerima tanpa bertanya idelogi, lembaga, dan praktek
yang ada dalam masyarakat dan negara.
Pendidikan politik di Amerika Serikat secara tradisional
meningkatkan kepasifan politik daripada aksi politik. Tujuan utama dari
pendekatan aksi sosial adalah untuk membantu siswa memperoleh
pengetahuan, nilai, dan ketrampilan vang mereka butuhkan untuk
berpartisipasi dalam perubahan sosial sehingga kelompok-kelompok ras
dan etnis yang terahaikan dan menjadi korban ini dapat menjadi
berpartisipan penuh dalam masyarakat AS dan negara akan lebih dekat
dalam mencapai ide demokrasi. Untuk berpartisipasi secara efektif dalam
perubahan sosial yang demokratis, siswa harus diajar kritik sosial dan
harus dibantu untuk memahami inkonsistensi antara ideal dan realitas
sosial, kegiatan yang harus dilakukan untuk mendekatkan jurang pemisah
ini, dan bagaimana siswa, sebagai individu dan kelompok, dapat
mempengaruhi sistem politik dan sosial pada masyarakat AS. Dalam
pendekatan ini, pengajar adalah agen perubahan sosial (agents of social
change) yang meningkatkan nilai-nilai demokratis dan kekuatan siswa,
Empat pendekatan untuk integrasi materi multikultural ke dalam
kurikulum sering dipadukan dalam situasi pengajaran aktual. Satu
pendekatan, seperti pendekatan kontribusi, dapat dipakai sebagai wahana
untuk bergerak ke yang lain, yang lebih menantang secara intelektual
seperti pendekatan transformasi dan pendekatan aksi sosial. Tidak realistis
untuk mengharapkan guru berpindah secara Tangsung dari kurikulum
yang amat berpusat pada aliran utama ke pendekatan yang berfokus pada
pembuatan keputusan dan aksi sosial. Pergerakan dari tahap awal ke Tahap
lebih tinggi dalam mengintegrasikan materi multikultural dapat terjadi
secara bertahap dan kumulatif.
Guru yang memiliki kurikulum yang berpusat pada aliran utama
mungkin iemakai peringatan ulang tahun Martin Luther King sebagai
kesempatan untuk mengintegrasikan kurikulum dengan materi etnis, di
samping memikirkan secara enus tentang bagaimana materi tentang orang
Afrika Amerika dan kelompok etnis yang lain dapat diintegrasikan ke
dalam kurikulum secara berangsur-angsur.

BAB III
KARAKTERISTIK LINTAS BUDAYA

3.1.Pengertian Lintas Budaya (multikultural)

Lintas budaya terjadi ketika manusia dengan budayanya berhubungan


dengan manusia lain yang berasal dari budaya berbeda, berinteraksi dan
bahkan saling mempengaruhi. Lintas budaya adalah istilah yang sering
digunakan untuk menjabarkan situasi ketika sebuah budaya berinteraksi
dengan budaya lain dan keduanya saling memberikan pengaruh dan dampak
baik positif maupun negatif, seperti yang terjadi dalam setiap kegiatan wisata,
para wisatawan dipastikan melakukan interaksi dan memberikan dampak baik
positif maupun maupun negatif kepada masyarakat setempat. Adanya
perbedaan budaya karena budaya bersifat dinamis dan selalu berevolusi
sehingga perlu beragam pendekatan untuk memahami kebudayaan, antara lain,
dengan cara melakukan asimilasi, integrasi, dan pemahaman lintas budaya.

Lintas budaya menciptakan nilai untuk menentukan mana yang dapat


diterima oleh budaya lain. Lintas budaya menjadikan manusia dapat
berkomunikasi dengan baik dan pada akhirnya, lintas budaya dapat
mempererat ikatan manusia dengan manusia lain serta memberikan keunikan
pada diri manusia dan masyarakat. Dengan berbagi pengalaman dan
pengetahuan, saling memahami dan melengkapi melalui komunikasi lintas
budaya akan tercipta perdamaian dan harmonisasi kehidupan.

3.2 Karakteristik Lintas Budaya (multikultural)

Menurut Abdullah Aly (2011: 109) pendidikan multikultural terdapat tiga


karakteristik, yaitu berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan,
Berorientasi pada kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian dan
Mengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai.

1. Berprinsip pada Demokrasi, Kesetaraan dan Keadilan.


Negara Amerika, Kanada, dan Jerman tidak membolehkan anakanak dari
keluarga kulit hitam dan imigran untuk sekolah, sedangkan di negara
Afrika, Banglades, Brazil, China, Mesir, India, Indonesia, Mexico, Nigeria,
dan Pakistan1 terbatasnya untuk sekolah. Ini bertentangan dengan nilai
demokrasi, kesetaran dan keadilan sebagai prinsip pendidikan multikultural
(Aly, 2011: 112-113).

Demokrasi diperbolehkan membuat ruang publik untuk


berkumpulnya semua kelompok masyarakat. Semua kelompok masyarakat
mengekspresikan keberadaan di ruang publik. Kelompok masyarakat
memberikan sumbangsih dalam proses pembangunan negara dengan
berdialog, bersimbiosis dan berintarksi secara harmonis. Dengan begitu
eksistensi masing-masing kelompok tidak hilang (Maksum, 2011: 178-179).

Sedangkan Nilai kesetaraan dalam demokrasi mengacu pada


keyakinan bahwa manusia diciptakan setara. Semua manusia diperlakukan
kesetaraan memperoleh pendidikan, kesetaraan dimuka hukum dan
kesetaraan. Setara dalam mengembangkan potensi yang dimaki setiap
manusia. tidak adanya hak-hak superior pada setiap manusia (Rumadi,
2006: 6).

Setiap manusia mengakui kesetaraan antara manusia satu dengan


yang lain. Pengakuan kesetaraan derajat, kesetaraan hak dan kesetaraan
kewajiban sesama manusia. dengan begitu, manusia dilindungi hak-hak dan
memperoleh haknya setelah melakukan kewajiban-kewajibannya

Kesetaraan penting dalam kondisi masyarakat yang beragam.


Kesetaraan kedudukan, kewajiban dan hak sama dalam kehidupan di
masyarakat sekitar, berbangsa dan bernegara (Herimanto, 2010: 98-99).

1
Demokrasi adalah sistem terbaik untuk menciptakan keadilan.
Karena semua orang bebas berkarya tapi dibatasi oleh ideologi negara dan
kepentingan umum; keterwakilan setiap kelompok untuk menjadi
pemimpin; dan perselisihan politik diselesaikan secara damai dan demi
kepentingan umum; peranserta rakyat menjadi lebih banyak orang
memperoleh keadilan; dan inti demokrasi adalah pemantauan rakyat, dengan
begitu penguasa tidak semena-mena (Kamil, 2002: 31).

Keadilan terpenuhi sesudah terbentuk keadilan secara umum, yaitu


semua orang mendapatkan haknya dan semua orang mendapatkan sama dari
bagian aset yang dimiliki bersama. Ada dua macam keadilan, yaitu keadilan
khusus adalah keadilan berdasarkan keselamatan. Dan keadilan umum
adalah keadilan yang ada dalam undang-undang yang wajib dilaksanakan
untuk umum (Windati, 2005: 7). Menurut Notohamidjoyo sebagaimana
dikutip oleh Agnes Windati (2005: 7) keadilan dibedakan menjadi dua yaitu
keadilan kreatif adalah keadilan semua orang bebas membuat sesuatu sesuai
dengan minatnya yang dibatasi oleh ideologi negara. Dan keadilan protektif
adalah keadilan semua orang memperoleh penjagaan yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Dalam kehidupan manusia harus memperoleh perlindungan
kemerdekaan untuk berkarya, tapi juga keselamatan untuk hidup, sehingga
tidak ada manusia yang melakukan ketidakadilan (Windati, 2005: 7).

Materi ajar diberi muatan demokrasi, kesetaraan dan keadilan.


Materi ajar demokrasi, kesetaraan dan keadilan menjadi materi pokok yang
kemudian dijabarkan submateri. Siswa memahami demokrasi, kesetaraan
dan keadilan yang kemudian melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Siswa memiliki sifat demokrasi, kesetaraan dan keadilan di kondisi
masyarakat beragam.

2. Berorientasi kepada kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian.


Nilai kemanusiaan seorang manusia itu secara alamiah dan sosial
juga didasarkan pada kemampuannya menghargai kode etik dan sopan
santun sebagai makhluk berbudaya yang tidak liar. Dalam kehidupan
sehari-hari, manusia dihargai bukan karena bangunan tubuhnya yang
indah, akan tetapi karena kualitas perbuatannya yang didasarkan pada
kematangan pemikiran dan kesadaran yang membentuk sikap hidup yang
bijak. Kapasitas akal manusia itulah yang menjadi ciri utama kemanusiaan
dan aktualitasnya dalam kehidupan konkret (Rahman, 2011: 56).

Memanusiakan manusia adalah bersikap memanusiakan antar


sesamanya. Karena dirinya adalah manusia dan orang lain adalah manusia.
sikap memanusiakan manusia memiliki manfaat bagi dirinya dan manusia
lainnya. Bagi dirinya akan tampak martabat dan luhur budi perkertinya.
Sedangkan bagi manusia yang lain, manusia yang lain merasa dihargai,
dipahami, keharmonisan (Herimanto, 2010: 32).

Pertalian orang satu dengan yang orang lain yang dilandasi oleh
nilai kebersamaan (Aly, 2011: 116). Kebersamaan menurut Dariusz
Dobrzanski (2004: 121-122) sebagaimana dikutip oleh Abdullah Aly
(2011: 116), Kebersamaan adalah kesatuan perasaan dan sikap dalam
hubungan manusia satu dengan yang lain, meskipun mempunyai
perbedaan suku, budaya, agama, ras, etnik dan strata sosial.

Manusia mengharapkan kedamaian dalam berhubungan dengan


manusia lain. Kedamaian dalam berhubungan dengan masyarakat yang
beragam. Kedamaian itu terbentuk dengan tidak adanya sikap-sikap dan
perilaku yang menyakitkan dan merugikan manusia yang lain. (Aly, 2011:
117). Dan kedamaian itu juga terbentuk di dalam masyarakat yang
beragam, dimana manusia berinteraksi dengan damai (Ali, 2003: 72).

Materi ajar diberi pembahasan tentang kemanusiaan, kebersamaan


dan kedamaian. Materi ajar kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian
bisa dimuncul dalam cerita-cerita yang mengandung ketiga nilai
multikultural. Tokoh yang berperan baik akan menjadi teladan bagi siswa.

3. Mengembangkan sikap mengakui, menerima, dan menghargai


keragaman.

Sikap menerima, mengakui dan menghargai keragaman penting dalam


hubungan sosial di masyarakat yang beranekaragam. Dalam masyarakat
beragam ada bagian masyarakat yang dominan dan minoritas. Dengan
sikap menerima, mengakui dan menghargai keragaman memunculkan
hubungan harmonis (Aly, 2011: 119).

Tabel: Karakteristik Pendidikan Multikultural


Karakteristik Nilai Multikultural Perspektif
Barat
Mengembangkan sika Toleransi, empati, simpati,
mengakui, p dan solidaritas sosial
menerima, dan
menghargai keragaman
Sumber: dari Abdullah Aly (2011: 124)

Hubungan antar kelompok berlandaskan atas saling percaya dan


menghargai menjadikan terjaganya kelompok masing-masing. Dalam
hubungan antara kelompok semacam ini tidak akan hilangnya identitas
kelompok. Hubungan ini tidak ada kendali kelompok mayoritas terhadap
kelompok minoritas. Setiap individu mampu menerima, menghormati
dan membentuk kerjasama dengan kelompok yang berlainan ini
dinamakan kompetensi kultural. Kemampuan berbudaya berasal dari
pengetahuan dan bias kultural yang menjadikan perbedaan kultural.
Proses penambahan kompetensi kultural membutuhkan penambahan
pengetahuan, kreatifitas, sifat dan perbuatan yang memahamkan orang
dan berhubungan secara efektif dengan orang yang mempunyai
perbedaan kultural (Zamroni, 2011: 34-35).
Materi ajar diberi muatan yang mempunyai makna mengakui,
menerima, dan menghargai keragaman dalam bentuk tema. Materi ajar
mengakui, menerima, dan menghargai keragaman bisa berada di cerita
yang berhubungan dengan ketiga nilai tersebut.

Karakteristik lintas budaya merupakan ciri khas yang mencirikan


lintas budaya itu sendiri. Untuk mencirikan sesuatu dengan yang lainnya,
pastilah memiliki karakteristik. Begitupula dengan Lintas budaya. Lintas
budaya memiliki karakteristik, yakni diantaranya :

1. Komunikasi dan bahasa


Sistem komunikasi, verbal dan non- verbal, satu unsur yang
membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Ada sekitar 15
bahasa utama atau lebih dan tiap –tiapnya terdapat dialek, logat, jargon
dan ragam lainnya. Belum lagi gerak gerik bahasa tubuh yang mingkin
universal namun beda makna secara lokal atau kultural.

2. Pakaian dan penampilan


Meliputi pakaian, perhiasan dan dandanan. Pakaian ini akan
menjadi ciri yang menandakan seseorang berasal dari daerah mana. Atau
ciri lukisan pada muka dan badan orang Papua atau orang Indian yang ada
saat akan berperang menandakan keberanian.

3. Makanan dan kebiasaan makan


Ciri ini menyangkut hal dalam pemilihan, penyajian, dan cara
makan. Dilarangnya seorang muslim untuk mengkonsumsi daging babi,
tidak berlaku bagi mereka orang Cina. Orang Sunda terkesan senang
makan tanpa alat sendok (tangan saja) akan terlihat kurang sopan bagi
mereka orang – orang barat.

4. Waktu dan kesadaran akan waktu


Hal ini menyangkut pandangan orang akan waktu. Sebagian orang
tepat waktu dan sebagian lain berpandangan merelatifkan waktu. Ada
orang yang tidak mempedulikan jam atau menit tapi hanya menandai
waktunya dengan saat matahari terbit atau saat matahari terbenam saja.

5. Penghargaan dan Pengakuan


Suatu cara untuk mengamati suatu budaya adalah dengan
memperhatikan cara dan metode memberikan pujian bagi perbuatan-
perbuatan baik dan berani, lama pengabdian atau bentuk-bentuk lain
penyelesaian tugas.

6. Hubungan-Hubungan
Budaya juga mengatur hubungan-hubungan manusia dan
hubungan-hubungan organisasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status,
kekeluargaan, kekayaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan.

7. Nilai dan Norma


Berdasarkan sistem nilai yang dianutnya, suatu budaya
menentukan norma-norma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Aturan ini bisa berkenaan dengan berbagai hal, mulai dari etika kerja atau
kesenangan hingga kepatuhan mutlak atau kebolehan bagi anak-anak; dari
penyerahan istri secara kaku kepada suaminya hingga kebebasan wanita
secara total.

8. Rasa Diri dan Ruang


Kenyamanan yang dimiliki seseorang atas dirinya bisa
diekspresikan secara berbeda oleh masing-masing budaya. Beberapa
budaya sangat terstruktur dan formal, sementara budaya lainnya lebih
lentur dan informal. Beberapa budaya sangat tertutup dan menentukan
tempat seseorang secara persis, sementara budaya - budaya lain lebih
terbuka dan berubah.
9. Proses mental dan belajar
Beberapa budaya menekankan aspek perkembangan otak
ketimbang aspek lainnya sehingga orang dapat mengamati perbedaan-
perbedaan yang mencolok dalam cara orang-orang berpikir dan belajar.

10. Kepercayaan dan sikap


Semua budaya tampaknya mempunyai perhatian terhadap hal-hal
supernatural yang jelas dalam agama-agama dan praktik keagamaan atau
kepercayaan mereka.

3.3 Karakteristik Lintas Budaya (multikultural) Di Indonesia

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat


keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai
keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural.
Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah
cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu
mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu
kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep
masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki
makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk
dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.

Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia


merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang
begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki
banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia
yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah
sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini
berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka
ragam.

Multikultural dapat terjadi di Indonesia karena: 1. Letak geografis


indonesia 2. Perkawinan campur 3. Iklim

Multikultural di Indonesia bersifat normatif. Multikulural normatif


adalah petunjuk tentang berbagai kepentingan yang membimbing pada
pengakuan yang lebih tinggi mengenai kebangsaan dan identitas kelompok
yang berbeda di dalam masyarakat. Multikultural normatif di Indonesia
pertama kali diamanatkan dalam UUD 1945. Ketentuan di dalam UU
menyatakan bahwa rakyat dan bangsa Indonesia mencakupi berbagai
kelompok etnis. Mereka telah berbagi komitmen dalam membangun
bangsa Indonesia.

Di dalam pendidikan multikultural terletak tanggung jawab besar


untuk pendidikan nasional. Tanpa pendidikan yang difokuskan pada
pengembangan perspektif multikultural dalam kehidupan adalah tidak
mungkin untuk menciptakan keberadaan aneka ragam budaya di masa
depan dalam masyarakat Indonesia. Multikultural hanya dapat disikapi
melalui pendidikan nasional.

Ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan


multikultural di Indonesia, yaitu Agama, suku bangsa dan tradisi

Agama secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam


kehidupan orang Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal
itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal
itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu atau
kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau
tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.

Masing-masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk


menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi
pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal ini hanya dapat
dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan
prinsip seseorang dalam menghargai agama.

1. Kepercayaan
Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan.
Dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai
perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan atau
ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada
komunikasi di dalam masyarakat/plural.

2. Toleransi
Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai
keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan
adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga
dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya.
BAB IV

PENGARUH IPTEK TERHADAP PENDIDIKAN LINTAS BUDAYA

4.1 Pengertian Teknologi, Teknologi dan Infomasi dan Budaya

a. Teknologi
Teknologi dalam bahasa latin “texere” yang berarti to weave
(menenun) atau to construct (membangun). Dalam bahasa Yunani,
teknologi disebut tecnologia yang berarti pembahasan sistematik
mengenai seluruh seni dan kerajinan. Istilah tersebut memiliki akar kata
techne dalam bahasa Yunani kuno berarti seni (art), atau kerajinan (craft).
Dari makna harfiah tersebut, teknologi dalam bahasa Yunani kuno dapat
didefinisikan sebagai seni memproduksi alat-alat produksi dan
menggunakannya. Teknologi dapat pula dimaknai sebagai pengetahuan
mengenai bagaimana membuat sesuatu (know-how of making things) atau
bagaimana melakukan sesuatu (know-how of doing things), dalam arti
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu dengan nilai yang tinggi, baik
nilai manfaat maupun nilai jualnya.
Dalam konsep yang pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara
akademis dapatlah dikatakan bahwa pengetahuan (body of knowledge), dan
teknologi sebagai suatu seni (state of art) yang mengandung pengertian
berhubungan dengan proses produksi; menyangkut cara bagaimana
berbagai sumber, tanah, modal, tenaga kerja, dan keterampilan
dikombinasikan untuk merealisasikan tujuan produksi. Secara
konvensional mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara
luas juga meliputi teknologi sosial, terutama teknologi sosial
pembangunan sehingga teknologi itu adalah metode sistematis untuk
mencapai setiap tujuan Insani”.
Teknologi diciptakan manusia melalui penerapan (exercise)
budidaya akalnya. Manusia harus mendayakan akal pikirannya dalam
reka teknologi berdasarkan ratio (nalar) dan kemudian meyasanya menjadi
suatu produk yang kongkrit. Teknologi selalu disandingkan dengan
istilah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan usaha manusia
untuk memahami gejala dan fakta alam, dan melestarikan pengetahuan
tersebut secara konseptional dan sistematis.
Secara sosiologis, teknologi memiliki makna yang lebih mendalam
daripada peralatan. Teknologi menetapkan suatu kerangka bagi
kebudayaan non material suatu kelompok. Jika teknologi suatu kelompok
mengalami perubahan, maka cara berpikir manusia juga akan
mengalami perubahan. Hal ini juga berdampak pada cara mereka
berhubungan dengan yang lain. Namun bagi pahaman Marx, teknologi
merupakan alat, dalam pandangan materialisme historis hanya menunjuk
pada sejumlah alat yang dapat dipakai manusia untuk mencapai
kesejahteraannya.
Teknologi memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat
sebagai hal impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang
kehidupan manusia menjadi lingkup teknis seperti ciri-ciri rasionalitas,
artifisialitas, otomatisme, teknik berkembang pada suatu kebudayaan,
monisme, universalisme, dan otonomi.2[11] Tentunya teknologi tidak
hanya terbatas kepada penggunaan mesin - mesin, meskipun dalam
pengertian sempit teknologi seringkali dikaitkan dengan mesin dalam
bahasa sehari- hari. Technology is a design for instrumental action that
reduces the uncertainly in the course-effect relationships invalved in
achieving a desired outcome.
b. Teknologi Informasi dan Komunikasi

Teknologi Informasi menekankan pada pelaksanaan dan


pemprosesan data seperti menangkap, mentransmisikan, menyimpan,
mengambil, memanipulasi atau menampilkan data dengan menggunakan
perangkat-perangkat teknologi elektronik terutama komputer. Makna

2
teknologi informasi tersebut belum menggambarkan secara langsung
kaitannya dengan sistem komunikasi, namum lebih pada pengolahan data
dan informasi. Namun setelah aspek hardware (perangkat keras) dan
software (perangkat lunak) dalam rangkaian media diterapkan akan
berhubungan dengan manusia dan antar manusia, kelompok bahkan
masyarakat sebagai pengguna dan khalayak media, struktur-struktur
organisasional, dan nilai-nilai sosial yang dikoleksi, muncullah teknologi
informasi dan komunikasi.

Teknologi Informasi dan komunikasi adalah bagian dari


perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan suatu
media atau alat bantu khususnya dalam hubungan dunia guna
mempermudah mengakses informasi dan merangsang pembelajaran. Ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu hasil usaha manusia
untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, yang telah dimulai pada
permulaan kehidupan manusia3[13].

Sejarah teknologi informasi dan komunikasi seiring sejalan dengan


sejarah manusia, seperti ditemukannya bahasa lisan dan bahasa tulisan
dalam bentuk photographs yang ditulis pada dinding gua. Kompetensi
insan komunikasi dalam teknologi komunikasi mencakup tiga hal yaitu
Pertama, user (pengguna), dimana insan komunikasi sebagai ilmuwan
sosial harus berbasis teknologi komunikasi. Kedua, content of technology,
misalnya teknologi komunikasi berbentuk televisi atau media online, maka
yang mengisinya adalah insan komunikasi. Dan ketiga, riset dampak sosial
teknologi komunikasi.

c. Budaya

3
Ada beberapa pengertian budaya menurut beberapa ahli
diantaranya Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan dengan kata
dasar budaya berasal dari bahasa sansakerta buddhayah, yaitu bentuk
jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Koentjaraningrat
mendefinisikan budaya sebagai daya budi yang berupa cipta, karsa dan
rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.
Koentjaraningrat membedakan adanya tiga wujud dari kebudayaan yaitu:
pertama, wujud kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua,
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam suatu masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia.4[14]

Menurut Liliweri (2002: 8) kebudayaan merupakan pandangan


hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai,
dan simbol-simbol yang mereka terima tanpa sadar yang semuanya
diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi ke generasi
berikutnya.5[15] Lebih lanjut, Liliweri (2002: 62) mendefinisikan
kebudayaan tersusun oleh kategori-kategori kesamaan gejala umum yang
disebut adat istiadat yang mencakup teknologi, pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, estetika, rekreasional dan kemampuan-
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai
anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup semua yang
didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.6[16]

6
Sementara, Hawkins mengatakan bahwa budaya adalah suatu
kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat
serta kemampuan dan kebiasaan lain yang dimiliki manusia sebagai
bagian masyarakat7[17]. Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari
masyarakat yang mana pun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara
hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau
lebih diinginkan8[18]. Jadi kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek
kehidupan meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan
sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia khas untuk suatu
masyarakat atau kelompok penduduk tertentu

Kroeber dan Kluckhohn menyatakan bahwa ada enam pemahaman


mengenai budaya, yaitu: pertama, definisi deskriptif yaitu cenderung
melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun
keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah (bidang
kajian) yang membentuk budaya. Kedua, definisi historis dimana
cenderung melihat budaya sebagai warisan yang di alih turunkan dari
generasi ke generasi berikutnya. Ketiga, definisi normatif dimana bisa
mengambil dua bentuk, yaitu budaya adalah aturan atau jalan hidup yang
membentuk pola-pola perilaku dan tindakan yang kongkret dan
menekankan peran gugus nilai tanpa mengacu pada perilaku. Keempat,
definisi psikologis, yaitu cenderung memberikan tekanan pada peran
budaya sebagai piranti pemecahan masalah yang membuat orang bisa
berkomunikasi, belajar atau memenuhi kebutuhan material maupun
emosionalnya. Kelima, definisi stuktural dimana mau menunjukan pada
hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya
sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi yang berbeda

8
dari perilaku konkret. Dan keenam, definisi genetis yaitu definisi budaya
yang melihat asal usul bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap
bartahan. Definisi ini cenderung melihat budaya lahir dari interaksi antara
manusia dan tetap bisa bertahan karena di transmisikan dari satu generasi
ke generasi lain.

Pendapat ahli lainnya, Barnouw menyatakan bahwa budaya adalah


sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang di miliki
bersama oleh sekelompuk orang, yang di komunikasikan dari generasi ke
generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain.
Kebudayaan menurut Falsom adalah keseluruhan benda yang diciptakan
manusia, seperangkat alat-alat, kebiasaan-kebiasaan hidup yang diciptakan
manusia yang kemudian di turunkan dari generasi ke generasi berikutnya.
Sementara, menurut Sir Edward B.Tylor bahwa kata kebudayaan
menunjukan keseluruhan kompleks dari ide dan segala sesuatu yang
dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya. Termasuk
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral hukum, kebiasaan, dan
kemampuan serta perilaku lainya yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain, serta
kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Definisi lain dikemukakan oleh Linton dalam The Cultural


Background of Personality, bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari
tingkah laku yang dipelajari dari hasil tingkah laku, yang unsur-unsur
pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat
tertentu . Sementara itu, Soemardjan dan Soemardi merumuskan,
kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau
kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia
untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat
diabdikan untuk keperluan masyarakat.

Dari beberapa definisi diatas dapat dilihat bahwa kebudayaan


adalah hasil daya pemikiran manusia baik dalam bentuk abstrak maupun
konkret. Daya pikir manusialah yang diandalkan dalam kebudayaan,
dengan kata lain manusialah yang menciptakan kebudayaan tersebut
sehingga dua unsur manusia dan budaya tidak dapat di pisahkan.
Kebudayaan mempunyai tiga wujud, yakni pertama wujud kebudayaan
sebagai suatu khasanah dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma
peraturan dan sebagainya, kedua wujud kebudayaan sebagai suatu
khasanah aktivitas perilaku terpola dari manusia dalam mayarakat dan
ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

4.2 Fungsi dan Tujuan Komunikasi

a. Komunikasi massa dapat berfungsi untuk


 Informasi;
yaknikegiatanuntukmengumpulkan,menyimpandata,fakta dan
pesan,opini dan komentar, sehingga orang bisa mengetahui
keadaan yang terjadi diluar dirinya, apakah itu dalam lingkungan
daerah, nasional atau intenasional.
 Sosialisasi;
Yakni menyediakan dan mengajarkan ilmu pengetahuan
bagaimana orang bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang ada, serta
betindak sebagai anggota masyarakat secara efektif.
 Motivasi;
Yakni mendorong orang untuk mengikuti kemajuan oranglain
melalui apa yang mereka baca,lihat,dengar lewat media massa.
 Bahan diskusi;
Menyediakan informasi sebagai bahan diskusi untuk mencapai
persetujuan dalam hal perbedaan pendapat mengenai hal-hal yang
menyangkut orangbanyak.
 Pendidikan;
Yakni membuka kesempatan untuk memperoleh pendidikan
secaraluas,baik untuk pendidikan formal disekolah maupun untuk
di luar sekolah. Juga meningkatkan kualitas penyajian materi yang
baik, menarik dan mengesankan.
 Memajukan kebudayaan;
Media massa menyebarluaskan hasil-hasil kebudayaan melalui
pertukaran program siaran radio dan televisi, ataukah bahan
tercetak seperti buku dan penerbitan-penerbitan lainnya.
Pertukaran ini akan memungkinkan peningkatan daya kreatifitas
guna memajukan kebudayaan nasional masing-masing negara,
serta mempertinggi kerjasama hubungan antarnegara.
 Hiburan;
Media massa telah menyita banyak waktu untuk semua golongan
usia dengan difungsikannya sebagai alat hiburan dalam rumah
tangga.
 Integrasi;
Banyak bangsa dewasa ini digunakan untuk kepentingan-
kepentingan tertentu karena perbedaan etnis dan ras. Komunikasi
seperti satelit dapat dimanfaatkan untuk menjembatani perbedaan-
perbedaan itu dalam memupuk dan memperkokoh persatuan
bangsa.

Sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi (informasi)


dan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dan global,
terutama makin sulitnya dipisahkan antara kehidupan modern dengan
telekomunikasi dan media massar, maka fungsi komunikasi tidak lagi
sekadar untuk memenuhi kebutuhan informasi dan hiburan sebagai mana
yang telah dikemukakan diatas, tetapi makin terasa dibutuhkan dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Apakah itu sector industri, perdagangan, hubungan antar negara,


manajemen, pertanian, hubungan antaretnis, lingkungan hidup, kesehatan
masyarakat, pendidikan baik itu pendidikan umum maupun pendidikan
agama dan sebagainya. Jadi komunikasi berlangsung apabila antara orang-
orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang
dikomunikasikan. Jelasnya jika seseorang mengerti tentang sesuatu yang
dinyatakan orang lain kepadanya, maka komunikasi berlangsung. Dengan
lain perkataan, hubungan antara mereka itu bersifat komunikatif.
Sebaliknya jika ia tidak mengerti, komunikasi tidak berlangsung. Dengan
demikian, hubungan antara orang-orang itu tidak komunikatif.

b. Tujuan Komunikasi

Dalam kehidupan sehari-hari apalagi kalau kita sebagai seorang


pejabat atau pemimpin maka kita sering berhubungan dengan masyarakat.
Dalam hal ini kita bertujuan untuk menyampaikan informasi dan mencari
informasi kepada mereka agar apa yang ingin disampaikan atau kita minta
dapat disampaikan, dapat dimengerti sehingga komunikasi yang
dilaksanakan dapat tercapai. Pada umumnya komunikasi dapat mempunyai
beberapa tujuan antaralain: Supaya yang disampaikan itu dapat
dimengerti. Sebagai pejabat atau komunikator kita harus menjelaskan
kepada komunikan (penerima) atau bawahan dengan sebaik-baiknya dan
tuntas sehingga mereka dapat mengikuti apa yang dimaksudkan.
Memahami orang lain,baik sebagai pejabat atau pimpinan harus
mengetahui benar aspirasi masyarakat tentang apa yang diinginkannya,
jangan menginginkan arah untuk pergi ke Barat tetapi kita berikan jalan
pergi ke Timur. Supaya gagasan kita dapat diterima oleh oranglain. Kita
harus berusaha agar gagasan kita dapat diterima oleh lain dengan
pendekatan yang persuasive bukan memaksakan kehendak.
Menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu.
Menggerakkan sesuatu itu dapat bermacam-rnacam, mungkin berupa
kegiatan yang lebih banyak mendorong, namun yang penting harus diingat
adalah bagaimana cara untuk melakukannya. Jadi secara singkat dapat
dikatakan bahwa komunikasi itu bertujuan: mengharapkan pengertian,
dukungan gagasan dan tindakan. Setiap kali bermaksud mengadakan
komunikasi perlu meneliti apa yang menjadi tujuan. Tujuan tersebut
adalah

Apakah kita ingin menjelaskan sesuatu kepada oranglain. lni


dimaksudkan apakah kita menginginkan supaya orang lain mengerti dan
dapat memahami apa yang kita maksudkan.

Apakah kita ingin supaya orang lain menerima dan mendukung


gagasan kita dalam hal ini tentunya cara penyampaianakan berbeda dengan
cara yang dilakukan diatas.

Apakah kita ingin supaya orang lain tersebut mengerjakan sesuatu


atau supaya mereka bertindak.

Jadi keefektifan komunikasi ditentukan oleh etos komunikator.


Etos adalah nilai diri seseorang yang merupakan paduan dari kognisi
(cognition), afeksi (affection), dan konasi (connaiions).

Kognisi adalah proses memahami (processof knowing) yang


bersangkutan dengan pikiran, afeksi adalah perasaan yang ditimbulkan
oleh perangsang dariluar; dan konasi adalah aspek psikologis yang
berkaitan dengan upaya atau perjuangan. Jelas kiranya bahwa suatu
informasi atau pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan
akan komunikatif apabila terjadi proses psikologis yang sama antara insan-
insan yang terlibat dalam proses tersebut. Dengan perkataan lain,
informasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan adalah
situasi komunikatif seperti itu akan terjadi bila terdapat etos pada diri
komunikator. Untuk memahami interaksi antar budaya, terlebih dahulu
kita harus memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi
manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi
berlangsung, mengapa itu terjadi, apa yang terjadi, akibat-akibat dari apa
yang terjadi, dan akhirnya apa yang dapat kita perbuat untuk
mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut.

4.3 Dampak Positif Dan Negatif IPTEK Dalam Bidang Pendidikan

Ilmu pengetahuan dan teknologi atau disingkat IPTEK,adalah suatu


sumber informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan ataupun
wawasan seseorang dibidang teknologi,atau merupakan segala sesuatu
yang berhubungan dengan teknologi, baik itu penemuan yang terbaru yang
bersangkutan dengan teknologi ataupun perkembangan dibidang teknologi
itu sendiri.Dalam bidang pendidikan IPTEK sangat diperlukan untuk
menunjang pengetahuan dan wawasan para peserta didik.Namun,tidak
sedikit yang menyalah gunakannya untuk sesuatu yang hanya merugikan
diri sendiri dan orang lain.
Tapi disini IPTEK tidak bisa disalahkan sepenuhnya,karena ia
diciptakan untuk suatu tujuan tertentu,dan jika tujuan itu melenceng dari
jalur yang seharusnya maka yang patut disalahkan adalah penggunaannya
itu sendiri,bukan medianya.IPTEK diciptakan agar penggunanya mendapat
lebih banyak ilmu dan wawasan.Kesalahan penggunaan IPTEK
dikarenakan kurangnya pengawasan orang dewasa dan kesadaran akan
bagaimana sebenarnya kegunaan IPTEK itu sendiri.Oleh sebabnya ada
beberapa dampak positif dan negative dari IPTEK itu sendiri yaitu :
Dampak positif:
 Munculnya media massa, khususnya media elektronik sebagai
sumber ilmu dan pusat Pendidikan. Seperti jaringan Internet,yang
dapat menunjang proses belajar mengajar yang berlagsung.
 Munculnya metode-metode pembelajaran yang baru, yang
memudahkan siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Dengan
kemajuan Teknologi terciptalah metode-metode baru yang
membuat siswa mampu memahami materi-materi yang abstrak,
karena materi tersebut dengan bantuan Teknologi bisa dibuat
abstrak, dan dapat dipahami secara mudah oleh siswa.
 Sistem pembelajaran tidak harus melalui tatap muka. Selama ini,
proses pembelajaran yang kita kenal yaitu adanya pembelajaran
yang disampaikan hanya dengan tatap muka langsung, namun
dengan adanya kemajuan teknologi, proses pembelajaran tidak
harus mempertemukan siswa dengan guru, tetapi bisa juga
menggunakan jasa pos Internet dan lain-lain.
 Adanya sistem pengolahan data hasil penilaian yang menggunakan
pemamfaatan teknologi. Dulu, ketika orang melakukan sebuah
penelitian, maka untuk melakukan analisis terhadap data yang
sudah diperoleh harus dianalisis dan dihitung secara manual.
Namun setelah adanya perkembangan IPTEK, semua tugasnya
yang dulunya dikerjakan dengan manual dan membutuhkan waktu
yang cukup lama, menjadi sesuatu yang mudah untuk dikerjakan,
yaitu dengan menggunakan media teknologi, seperti komputer,
yang dapat mengolah data dengan memamfaatkan berbagai
program yang telah di installkan.
 Pemenuhan kebutuhan akan fasilitas pendidikan dapat dipenuhi
dengan cepat. Dalam bidang pendidikan tentu banyak hal dan
bahan yang harus dipersiapkan, salah satu contoh, yaitu ;
Penggandaan soal Ujian, dengan adanya mesin foto copy, untuk
memenuhi kebutuhan akan jumlah soal yang banyak tentu
membutuhkan waktu yang lama untuk mengerjakannya kalau
dilakukan secara manual. Tapi dengan perkembangan teknologi
semuanya itu dapat dilakukan hanya dalam waktu yang singkat.

Dampak negative:
 Siswa menjadi malas belajar dengan adanya peralatan yang
seharusnya dapat memudahkan siswa dalam belajar, seperti laptop
dengan jaringan internet, ini malah sering membuat siswa menjadi
malas belajar, terkadang banyak diantara mereka yang
menghabiskan waktunya untuk internetan yang hanya
mendatangkan kesenangan semata, seperti ; Facebook, Chating,
Frienster dan lain-lain, yang semuanya itu tentu akan berpengaruh
terhadap minat belajar siswa.
 Terjadinya Pelanggaran Asusila,Sering kita dengar di berita-berita,
dimana terjadi pelaku pelanggaran asusila dilakukan oleh seorang
pelajar terhadap pelajar lainnya, seperti terjadinya tawuran antar
pelajar, terjadi priseks, pemerkosaan siswi dan lain-lain.
 Munculnya metode-metode pembelajaran yang baru, yang
memudahkan siswa dan guru dalam proses pembelajaran, sehingga
membuat siswa menjadi malas. Dengan adanya fasilitas yang dapat
digunakan dengan mudah dalam proses pembelajaran, ini
terkadang sering membuat siswa dan mahasiswa menjadi malas
dan merasa lebih dimanjakan, misalnya ketika siswa diberi tugas
untuk membuat makalah, maka mereka merasa tidak perlu pusing-
pusing, karena cukup mencari bahan lewat Internet dan mengkopy
paste karya orang lain, sehingga siswa menjadi malas berusaha dan
belajar.
 Adanya penyalahgunaan system pengolah data yang menggunakan
Teknologi.Dengan adanya pengolahan data dengan system
Teknologi, sering kali kita temukan adanya terjadi kecurangan
dalam melakukan analisis data hasil penelitian yang dilakukan oleh
siswa dan bahkan mahasiswa, ini mereka lakukan untuk
mempermudah kepentingan pribadi, dengan mengabaikan hasil
penelitian yang dilakukan.
4.4 Dampak dan Pengaruh Teknologi Informasi Komunikasi terhadap
Budaya

Zaman dulu Manusia hanya mengenal teknologi sebagai alat


bantunya dalam mencari makan, alat bantu dalam berburu, serta mengolah
makanan. Alat bantu yang mereka gunakan sangatlah sederhana, terbuat
dari bambu, kayu, batu, dan bahan sederhana lain yang mudah mereka
jumpai di alam bebas. Misalnya untuk membuat perapian, ia
memanfaatkan bebatuan yang dapat memunculkan percikan api. Hal ini
terlihat bahwa pada awalnya teknologi berkembang secara lambat.
Namun sekarang ini era masyarakat digital dalam berbagai bidang
kehidupan merupakan bukti dari kemajuan teknologi. Masyarakat dan
negara-negara di dunia berlomba-lomba untuk dapat menguasai teknologi
tinggi (high tech) sebagai simbol kemajuan, kekuasaan, kekayaan dan
prestise.
Secara sosiologis, teknologi merupakan salah satu aspek yang turut
mempengaruhi setiap aktivitas, tindakan, serta perilaku manusia.
Teknologi informasi dan komunikasi mampu mengubah pola hubungan
dan pola interaksi antar manusia. Kehadiran teknologi ini merupakan
sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Perkembangan teknologi yang cepat kadangkala membuat manusia tidak
sempat untuk beradaptasi dengan kemajuan tersebut dan akibatnya terjadi
anomi dalam masyarakat serta cultural lag.
Teknologi informasi dan komunikasi sebagai jawaban atas
pemikiran manusia menjadi alat untuk membantu memecahkan persoalan
yang ada. Dan diharapkan dapat menjadi fasilitator dan interpreter.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan dan perkembangan
teknologi yang terus pada informasi dn komunikasiakan berdampak pada
kehidupan sosial yang ada hingga mempengaruhi aspek yang lebih besar
lagi yakni kebudayaan.
Beberapa dampak nyata dari keberadaan serta perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi antara lain: Pertama. Menciptakan
kolonialisme. Kesenjangan akan selalu ada di muka bumi dan begitupun
kesenjangan arus informasi yang ada. Munculnya teknologi komunikasi
menyebabkan arus informasi dari negara maju ke negara berkembang
adalah tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini menyebabkan masyarakat
negara tertentu lebih banyak mengonsumsi informasi dari negara yang
maju. Sehingga memungkinkan munculnya kolonialisasi. Bukan taktik
imperialisme dalam penaklukan negara lain melalui akuisisi tanah dan
wilayah, melainkan berupa penjajahan melalui arus informasi dan
komunikasi.
Kedua, Menciptakan ketergantungan. Dengan segala kemudahan
yang diberikan oleh teknologi informasi dan komunikasi, maka
masyarakat seolah dimanjakan oleh ketersediaan segala kebutuhanya.
Sebagian besar masyarakat pengguna teknologi informasi dan komunikasi
saat ini kian enggan untuk menggunakan alat-alat manual dan mulai
meninggalkan pola=pola komunikasi interpersonal untuk alasan efektivitas
dan efisiensi. Masyarakat semakin sulit melepaskan diri dari serba
kecanggihan teknologi dan hal ini akan terus berlangsung dalam waktu
lama dan kian membawa masyarakat ketergantungan pada pemanfaatan
teknologi. Sesuatu yang berlangsung lama inilah yang menyebabkan
perubahan kebudayaan pada suatu masyarakat. Misalnya adalah
penggunaan jejaring sosial ataupun situs pertemanan melalui media
internet yang sering dijadikan tolak ukur eksistensi seseorang.
Ketiga. Perubahan sistem nilai dan norma. Perubahan tidak dapat
luput dari dua sifatnya, konstruktif dan destruktif. Seiring dengan
berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi serta
pemanfaatannya, perubahan sistem dan norma pun tidak dapat dihindari.
Perubahan konstruktif terjadi ketika pemanfaatan teknologi digunakan
untuk hal baik, bersifat profesional dan berintegritas.
Artinya, penggunaan teknologi telah membawa kehidupan sosial
masyarakat ke arah yang lebih baik dan membangun. Namun itu haruslah
didukung dengan tingkat pemahaman dan pendidikan tinggi. Jikalau tidak
maka perubahan akan destruktif terjadi ketika pemanfaatan teknologi yang
memberikan segala kemudahan telah sampai pada penyalahgunaannya.
Misal, akses internet belum cukup membawa sebagian besar
masyarakatnya pada kecerdasan intelektual. Malah, yang kerap terjadi
adalah penyalahgunaan fasilitas tersebut seperti, pengaksesan situs yang
berbau pornografi dan judi online. Dampak desktruktif lainnya adalah
pengaruh isu-isu dari media massa dapat dengan mudah menimbulkan
kepercayaan dan pemahaman bagi khalayak.
Dari pengaruhnya, teknologi informasi dan komunikasi terhadap
pergeseran budaya meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh
negatif. Pengaruh Positif terlihat dari perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi telah menghadirkan dunia online berbasis digital, dimana
pengaruh positif yang dapat dirasakan adalah peningkatan kecepatan,
ketepatan, dan kemudahan yang memberikan efisiensi waktu, tenaga dan
biaya.
Sebagai contohnya yang mudah dilihat di sekitar kita adalah
pengiriman surat melalui e-mail hanya memerlukan waktu singkat,
ketelitian hasil perhitungan dapat ditingkatkan dengan adanya komputasi
numeris, pengelolaan data dalam jumlah besar juga bisa dilakukan dengan
mudah yaitu dengan basis data (database), dengan fasilitas internet begitu
mudah diakses. Bahkan beberapa pelaku industri memercayakan proses
industri seperti produksi, promosi, distribusi, dan transaksi melalui jalur
online dewasa ini. Sesuatu yang disebut sebagai e-marketing. selain
mudah dalam sistem operasional, kelebihan internet adalah
kemampuannya berinteraksi dan menjangkau audiens yang luas, dalam
biaya yang tidak besar.
Budaya yang mendukung pada kemajuan terus ditumbuhkan. Ini
menuntut pergulatan budaya yang tidak diartikan secara sempit sebagai
tradisi semata, namun lebih luas lagi sebagai sikap dan nilai yang
membuat setiap masyarakat memiliki kapasitas untuk membuat budayanya
lebih baik dan berperan secara global (Jakarta, Kompas.com). Hal ini
menghadirkan kompetisi yang tajam di berbagai aspek kehidupan
sebagai konsekuensi globalisasi, yang kemudian akan melahirkan generasi
dengan budaya disiplin, tekun dan pekerja keras. Bahkan juga
berpengaruh terhadap terbukanya secara lebar porsi wanita yang
memegang posisi sebagai pemimpin, baik dalam dunia pemerintahan
maupun dunia bisnis.
Selanjutnya teknologi informasi dan komunikasi juga memberi
pengaruh Negatif seperti: aspek ekonomi, terbukanya pasar bebas dapat
mengurangi rasa kecintaan masyarakat terhadap produk dalam negeri
ketika produk luar negeri masuk dengan mudahnya. Hilangnya rasa cinta
terhadap produk sendiri akan mematikan daya kreasi dan inovasi
menguatkan budayanya dari gesekan budaya lain. Akhirnya berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku masyarakat, karena teknologi informasi
mempunyai daya tarik tersendiri yang bisa membuat manusia lupa akan
dirinya sendiri. Seperti lewat game, jejaring sosial dan pornografi.
Kehadiran komputer pada kebanyakan rumah tangga golongan
menengah ke atas telah merubah pola interaksi keluarga. Komputer yang
disambungkan dengan telepon telah membuka peluang bagi siapa saja
untuk berhubungan dengan dunia luar. Berbagai aplikasi yang ditawarkan
oleh media telah semakin banyak orang yang menghabiskan waktunya
sendirian dengan komputer.
Kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja semakin
meningkat semakin lemahnya kewibawaan tradisi-tradisi yang ada di
masyarakat, seperti gotong-royong dan tolong-menolong telah
melemahkan kekuatan kekuatan sentripetal yang berperan penting dalam
menciptakan kesatuan sosial. Selanjutnya, kemerosotan moral di kalangan
warga masyarakat, khususnya kemajuan kehidupan ekonomi yang terlalu
menekankan pada upaya pemenuhan berbagai keinginan material, telah
menyebabkan sebagian warga masyarakat menjadi kaya dalam materi
tetapi miskin dalam rohani.

4.5 Pengaruh Teknologi Informasi terhadap Budaya Indonesia

Perkembangan dunia teknologi yang demikian cepat dewasa ini


memang telah membawa perubahan yang luar biasa bagi budaya manusia
terutama budaya Indonesia. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya
menuntut kemampuan fisik yang cukup besar, kini relatif sudah bisa
digantikan oleh perangkat mesin-mesin otomatis. Demikian juga
ditemukannya formulasi-formulasi baru kapasitas komputer, seolah sudah
mampu menggeser posisi kemampuan otak manusia dalam berbagai
bidang ilmu serta jarak yang jauh menjadi dekat dalam segala aktivitas
manusia.

Kemajuan teknologi saat ini benar-benar telah diakui dan dirasakan


memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan umat
manusia. Perkembangan teknologi yang cepat juga akan seiring dengan
kemajuan budaya dan peradaban manusia. Begitupun sebaliknya semakin
maju kebudayaan maka semakin berkembang teknologi, karena teknologi
merupakan perkembangan dari kebudayaan yang maju. Teknologi yang
berkembang dengan pesat, meliputi berbagai bidang kehidupan manusia.
Masa sekarang nampaknya sulit memisahkan kehidupan manusia dengan
teknologi, bahkan sudah menjadi kebutuhan manusia.

Teknologi merupakan hasil olah pikir manusia yang pada akhirnya


digunakan manusia untuk mewujudkan berbagai tujuan hidupnya dan
teknologi menjadi sebuah instrumen untuk mencapai tujuan. Manusia
menggunakan konsep teknologi baru untuk menunjuk pada timbulnya
suatu teknologi yang membawa dampak penting pada kehidupan sosial.
Bagi orang- orang dahulu, teknologi baru dimulai dengan kehadiran
pencetakan, sedangkan pada masa sekarang, teknologi menunjuk pada
komputer, satelit, pesawat atau teknologi komunikasi yang lain. Suatu hal
yang perlu mendapat perhatian khusus adalah bahwa setiap perkembangan
teknologi selalu menjanjikan kemudahan, efisiensi, serta peningkatan
produktifitas. Walaupun pada sisi lain, teknologi juga dimaknai sebagai
alat yang memperlebar perbedaan kelas dalam masyarakat. Teknologi
menjadi simbol status bagi kaya dan miskin, siapa yang mampu menguasai
teknologi, maka akan mampu menguasai manusia yang lain.

Budaya yang memiliki beberapa unsur, seperti sistem bahasa,


sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi dan mata
pencaharian, sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial, sistem ilmi
pengetahuan, sistem kesenian, dan sistem kepercayaan. Dengan teknologi
tentunya bisa menyebabkan terjadi proses perubahan sosial dan
kebudayaan seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan-penemuan
baru, pertentangan masyarakat, pemberontakan dan reformasi dalam
proses moderenisasi teknologi. Modernisasi mencakup proses sosial
budaya yang ruang lingkupnya sangat luas sehingga batas-batasnya tidak
bisa ditetapkan secara mutlak. Fenomena ini memang sudah banyak dikaji,
namun demikian tetap menarik untuk terus menjadi kajian tersendiri dalam
kaitannya dengan perubahan budaya dalam masyarakat seiring
berkembangnya teknologi, khususnya teknologi informasi dan
komunikasi. Karena dengan menggunakan media ini banyak hal yang
dapat kita lakukan dan lebih banyak sumber ilmu pengetahuan yang dapat
kita akses. Selanjutnya memunculkan permasalahan bagaimana dampak
dan pengaruh teknologi terhadap pergeseran nilai-nilai budaya dalam
batasan dalam lingkupan teknologi informasi dan komunikasi.

Beberapa dampak nyata dari keberadaan serta perkembangan


teknologi informasi dan komunikasi antara lain: Pertama. Menciptakan
kolonialisme. Kesenjangan akan selalu ada di muka bumi dan begitupun
kesenjangan arus informasi yang ada.
Munculnya teknologi komunikasi menyebabkan arus informasi
dari negara maju ke negara berkembang adalah tidak seimbang.
Ketidakseimbangan ini menyebabkan masyarakat negara tertentu lebih
banyak mengonsumsi informasi dari negara yang maju. Sehingga
memungkinkan munculnya kolonialisasi. Bukan taktik imperialisme dalam
penaklukan negara lain melalui akuisisi tanah dan wilayah, melainkan
berupa penjajahan melalui arus informasi dan komunikasi.

Kedua, Menciptakan ketergantungan. Dengan segala kemudahan


yang diberikan oleh teknologi informasi dan komunikasi, maka
masyarakat seolah dimanjakan oleh ketersediaan segala kebutuhanya.

Sebagian besar masyarakat pengguna teknologi informasi dan


komunikasi saat ini kian enggan untuk menggunakan alat-alat manual dan
mulai meninggalkan pola-pola komunikasi interpersonal untuk alasan
efektivitas dan efisiensi.

Masyarakat semakin sulit melepaskan diri dari serba kecanggihan


teknologi dan hal ini akan terus berlangsung dalam waktu lama dan kian
membawa masyarakat ketergantungan pada pemanfaatan teknologi.

Sesuatu yang berlangsung lama inilah yang menyebabkan


perubahan kebudayaan pada suatu masyarakat. Misalnya adalah
penggunaan jejaring sosial ataupun situs pertemanan melalui media
internet yang sering dijadikan tolak ukur eksistensi seseorang.

Ketiga. Perubahan sistem nilai dan norma. Perubahan tidak dapat


luput dari dua sifatnya, konstruktif dan destruktif. Seiring dengan
berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi serta
pemanfaatannya, perubahan sistem dan norma pun tidak dapat dihindari.

Perubahan konstruktif terjadi ketika pemanfaatan teknologi digunakan untuk hal


baik, bersifat profesional dan berintegritas
BAB V

PROBLEM PENDIDIKAN LINTAS BUDAYA


5.1 Problema Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Beberapa peristiwa budaya yang negative dan sering muncul di tanah air
seperti peristiwa di Poso, Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta dan
lain-lain disebabkan oleh problema kemasyarakatan sebagai berikut :

5.1.1 Keragaman Identitas Budaya Daerah


Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik.
Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan
menjadi modal yang berharga utuk membangun Indoesia yang
multikultural. Namun kondisi keanekaan budaya itu sangat berpotensi
memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan
social. Masalah itu muncul jika tidak ada komunukasi antar budaya
daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahama pada berbagai
kelompok budaya lain justru dapat menjadi konflik. Sebab dari konflik-
konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh
adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras. Misalnya peristiwa
Sampit, Mengapa? karena keragaman ini dapat digunakan oleh
provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui
sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya.
Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik
dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-lanhkah
pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui pendidikan multikultural.
Dengan adanya pendidikan multikultural diharapkan masing-masing
warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa
saling berkomunikasi.
5.1.2 Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia
dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu
di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam
arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan
keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang terkait dengan
kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi. Kebudayaan,
sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan
pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal
masingmasing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka
berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun
melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep “putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam
pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi
pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi
sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting
memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan
berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu
adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus
menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu
kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu
kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh
jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika
persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah
dan pendatang.
Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten
baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh
kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat.
Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan
ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari
kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung.

5.1.3 Kurang Kokohnya Nasionalisme


Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang
menyatukan (“integrating force”) seluruh pluralitas negeri ini.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan
ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan
berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat
perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan
semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan
orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde
Baru yang harus ditinggalkan. Pada masa Orde Baru kebijakan
dirasakan terlalu tersentralisasi. Sehingga ketika Orde Baru tumbang,
maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek,
perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila.
Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya
tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan.
Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif,
persuasif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah
telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan
kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang
kokoh untukmeredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah
persatuan dan kesatuan bangsa ini.

5.1.4 Fanatisme Sempit


Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang
salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa
kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain
harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan
korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di
kalangansuporter sepak bola nampak menggejala di tanah air.
Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi
kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi
kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat.
Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan
benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya
kalah menunjukkan gejala ini. Kecintaan dan kebanggaan pada korps
memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggaan
itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan
berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini
menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian
antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional
Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari
fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu
agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah),
maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.

5.1.5 Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural


Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan
gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan
bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam
penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini
dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika
kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan
pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti
pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi
ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat
diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang
bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun
daerah yang porak poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan
terjangan Tsunami ini.
Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin
memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran
budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini.
Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua.
Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang
terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM yang
menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah
mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya.

5.1.6 Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok


Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa
waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan
sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial
ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di
tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan
kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah
air ini, apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena
orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang
demi selembar kertas dua puluh ribu orang akan ikut terlibat dalam
demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah
banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan
yang anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka
akan menumpah kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan
dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya.
Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak
oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa ditanah air
ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang
menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan
cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang
dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang
masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini.

5.1.7 Keberpihakan yang salah dari Media Massa, khususnya televisi


swasta dalam memberitakan peristiwa.
Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung
tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik
untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab
terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya
pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk
kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia.
Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang
banyak dilansir media massa dan tidak mendapat “hukuman yang
setimpal” baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat
menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur.
Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu mendapat
perhatian publik, tetapi kalau terus menerus diberitakan setiap hari
mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi
orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan
budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis yang tiap
hari diudarakan dapat membentuk opinipublik yang negatif. Sehingga
kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi
trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati
lembaga perkawinan.
Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi
tema sinetron karena dapat mendidik orang untuk terlalu
mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu juga
tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan modus
kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi
orang melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan
media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan
yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan
membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga
tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi tontonan.
Ketika penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan
dalam bentuk tangisan yang memilukan seorang anak atau orang tua
yang dipadukan dengan tindakan aparat yang menyeret para
gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan
adalah para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong
praja. Ironi itu nampak bila yang disorot adalah tangisan bayi/orang tua
dibandingkan dengan tato di lengan atau di punggung. Peristiwanya
adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan berbeda.
Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan putus asa.
Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan
tindakan pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam
menyorot berbagai peristiwa.

5.2 Problema Penyakit Budaya : Prasangka, Stereotipe, Etnosentrisme,


Rasisme, Diskriminasi, dan Scape Goating
Konflik bukan untuk dimusuhi, tapi dikelola secara arif dan bijaksana.
Masingmasing individu yang terlibat dalam konflik perlu menjernihkan
pikiran dan hati dari prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme dan
diskriminasi dan scape goating terhadap pihak lain. Karena pemahaman
terhadap adanya penyakit budaya tersebut merupakan kunci utama dalam
proses resolusi dan manajemen konflik. Negara ini membutuhkan solusi yang
memuaskan dalam menghadapi ancaman konflik dan separatismedi daerah-
daerah yang lebih sering disebabkan oleh tumbuh berkembangnya berbagai
penyakit budaya seperti prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme dan
diskriminasi ini ;
5.2.1 Prasangka
Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh
psikholog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis
konsep itu dalam bukunya, The Nature of Prejudice pada tahun 1954.
Istilah ini berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan
tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal
terhadap orang atau kelompok tertentu.
Menurut Allport, “Prasangka adalah antipati berdasarkan
generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan
atau dinyatakan. Antipati itu bisa langsung ditujukan kepada kelompok
atau individu dari kelompok tertentu.”Allport memang sangat
menekankan antipati bukan sekedar antipati pribadi tetapi antipati
kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif
atau negatif berdasarkan keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari
kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk
menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan
peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita sebut
rasisme, sedangkan yang berbasis etnis disebut etnisisme.
Menurut John (1981) prasangka adalah sikap antipati yang
berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel.
Kesalahan ini mungkin saja diungkapkan secara langsung kepada orang
yang menjadi anggota kelompok tertentu.Prasangka merupakan sikap
negatifyang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan
dengan kelompoknya sendiri.
Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan
bagi kegiatan komunikasi karena orang yang berprasangka sudah
bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan
komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik
kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan
pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, bila prasangka
sudah menghinggapi seseorang, orang tidak dapat berpikir logis dan
obyektif dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif.
Kata Allport, prasangka negatif terhadap etnik merupakan sikap
antipati yang dilandasi oleh kekeliruan atau generalisasi yang tidak
fleksibel, hanya karena perasaan tertentu dan pengalaman yang salah.
Karena itu, sejak dulu sampai sekarang, pengertian prasangka telah
mengalami transformasi. Pada, mulanya prasangka merupakan
pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan
yang tidak teruji terlebih dahulu. Pernyataan itu bergerak pada skala
kontinum seperti suka/tidak suka atau mendukung/tidak mendukung
terhadap sifatsifat tertentu (Liliweri, 201). Sekarang pengertian
prasangka lebih diarahkan pada pandangan emosional dan negatif
terhadap seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan
kelompok sendiri.
Definisi Allport ini disanggah oleh psikholog Theodore Adorno.
Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter (authoritarian
personality) mengemukakan melalui riset atas pola rasisme yang
dilakukan di wilayah selatan AS. Ia menemukan bahwa pola-pola
rasisme munculdari kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya prasangka
merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian, kita tidak
perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan itu muncul
dari pribadi berprasangka (prejudiced persons) yang diwarisi dari
proses sosialisasi.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan dan bukan
tindakan. Jadi prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi
mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi
tindakan nyata, maka prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi
yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari
hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia. Secara umum kita
dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan dengan
perasaan negatif), kognitif (selalu berpikir tentang suatu stereotipe) dan
konasi (kecenderungan perilaku diskriminatif).
Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti :
 generalisasi yang keliru pada perasaan,
 stereotipe antaretnik,
 kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan
ras“mereka” sebagai kelompok lain yang berbeda latar
belakangkebudayaan dengan “kami”.
5.2.2 Stereotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnik/ras.
Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku
orang lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan
tampilan komunikasi verbal maupun non verbal. Stereotipe merupakan
salah satu bentuk utama prasangka yang menunjukkan perbedaan
“kami” (in group) yang selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok
in group dan yang cenderung mengevaluasi orang lain yang dipandang
inferior yaitu ”mereka” (out group).
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang
berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya karena dia berasal
dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa sifat positif maupun
negatif. Verdeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap dan
juga karakter yang dimiliki seseorang dalam menilai karakteristik, sifat
negatif maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan
orang itu pada kelompok tertentu. Sebagaimana halnya dengan sikap,
stereotipe memiliki valensi dari positif hingga negatif atas sesuatu yang
disukai/tidak (favorability). Allan G. Johnson (1986) menegaskan
bahwa stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk
menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang
orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman
tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif
atau bahkan merendahkan kelompok lain. Ada kecenderungan untuk
memberi “label” atau cap tertentu pada kelompok tertentu dan yang
termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau
memandang rendah kelompok lain.
Misalnya, seseorang dari suku tertentu diberi“label”, pandai bicara
untuk orang dari daerah Batak. Seseorang menyimpulkan ini karena
dari pengalaman dia mengetahui bahwa mereka memang banyak bicara.
Ditambah dengan pengetahuan yang dia dapatkan dari televisi yang
memperlihatkan bahwa sebagian besar mengacara yang terkenal di
Indonesia dan sering muncul dari pemberitaan di televisi itu ternyata
berasal dari orang Batak. Kita menggeneralisasikan secara salah dari
informasi terbatas yang ada pada kita. Untuk mengatasi masalah ini
adalah kita perlu memberi informasi yang benar dan lebih komprehensif
tentang sesuatu hal sehingga stereotipe semacam ini tidak tumbuh. Di
dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita
perlu memberi informasi yang benar tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan suku, ras, agama dan antar golongan. Seringkali,
keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi dan
digeneralisasi.
Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga
aspek esensial dari stereotipe:
1. Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku,
kebiasaan berperilaku, gender dan etnis. Misalnya wanita Priangan
itu suka bersolek.
2. bentuk atau sifat perilaku turun temurun sehingga seolah-olah
melekat pada semua anggota kelompok. Misalnya orang Ambon
itu keras.
3. Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku
kelompokpada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Pemberian stereotipe merupakan gejala yang nampak alami dalam
proses hubungan antar ras atau etnik sehingga tidak mungkin kita tidak
melakukan stereotip. Tajfel (1981) membedakan bentuk atau jenis
stereotipe itu dalam stereotipe individu dengan menggeneralisasikan
karakteristik orang lain dengan ukuran yang luas dan jarak tertentu
melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan pengalaman
individu). sedangkan stereotipe sosial terjadi jika stereotipe itu telah
menjadi evaluasi kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas pada
kelompok sosial lain.

Stereotipe itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu,


namun kadang merupakan hasil pengalaman dan pergaulan dengan
orang lain maupun dengan anggota kelompok kita sendiri. adakah
hubungan antara stereotipe dengan komunikasi.

Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang


proses stereotipe:

1. Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderuangan


mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan
tertentu antara anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat
psikhologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita
lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
2. Sumber dan sarana informasi mempengaruhi proses informasi yang
diterima atau yaang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh
terhadap proses informasi individu.
3. Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu
(in group) dan kelompok lain (out group).
4. Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan
orang lain.
5.2.3 Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham paham yang pertama kali
diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906), seorang
antropolog yang beraliran interaksionisme. Sumner berpandangan
bahwa manusia pada dasarnya individualistis yang cenderung
mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan
manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan yang antagonistik
(pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada
folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu.
Mereka yang mempunyai folkways yang sama cenderung berkelompok
dalam suatu kelompok yang disebut etnis. Etnosentrisme adalah
kecenderungan untuk menetapkan semua normadan nilai budaya orang
lain dengan standar budayanya sendiri.
5.2.4 Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa Perancis dan Italia “razza”. Pertama
kali istilah ras diperkenalkan Franqois Bernier, antropolog Perancis,
untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia
berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah.
Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarkhi manusia berdasarkan
karakteristik fisik atas orang Eropa berkulit putih yang diasumsikan
sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang Afrika
yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua. Atau ada ideologi rasial
yang berpandangan bahwa orang kulit putih mempunyai misi suci untuk
menyelamatkan orang kulit hitam yang dianggap sangat primitif. Hal
tersebut berpengaruh terhadap stratifikasi dalam berbagai bidang seperti
bidang sosial, ekonomi, politik, di amana orang kulit hitam merupakan
subordinasi orang kulit putih.
Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi
“penggolongan manusia” oleh Buffon, anthropolog Perancis, untuk
menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai
parameter. Pada abad 19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas
tiga kelompok, yaitu Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada ras yang benar-benar murni
lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian
karaktersitik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu
kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti
warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan
seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar. Nah sekarang, carilah
ciri-ciri kelompok Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Kemudian cari
contohnya. Mana negara yang mayoritas penduduknya memiliki ciri-
ciri ketiga kelompok itu.
Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep
tentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non-biologis.
Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang menggambarkan
gagasan rasis.
Secara kultural, Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi
kultural. Ada empat jenis ras: Eropah, Afrika, Mongol dan Amerika
yang berturut-turut mencerminkan siang hari (terang), malam hari
(gelap), cerah pagi (kuning) dan sore (senja) yang merah.
Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep
kultural dan merupakan kategori sosial, bukan biologis.Montagu,
membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”.
Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.
5.2.5 Diskriminasi
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka
diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya
dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan
tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan, atau hukum.
Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling
menguatkan, selama ada prasangka, di sana ada diskriminasi. Jika
prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka
diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi
merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat
dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya.
5.2.6 Kambing Hitam (Scape Goating)
Teori kambing hitam (scape goating) mengemukakan kalau
individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka
perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi
depresi ekonomi di Jerman, Hitler mengkambing hitamkan orang
Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi di
negara itu. Ada satu pabrikdi Auschwitz, Polandia yang digunakan
untuk membantai hampir 1,5 juta orang Yahudi. Tua muda, besar kecil
laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut
yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul
itu akan dikirimkan ke Jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain
berteori bahwa bangsa Aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang
mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa
Aria (Jerman) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di
Jerman ini disebabkan oleh bangsa Yahudi.

5.3 Problema Pembelajaran Pendidikan Multikultural


Sesudah mengetahui problema kemasyarakatan dan problema penyakit
budaya yang harus di atasi dengan Pendidikan Multikultural ini, selanjutnya
kita akan membicarakan tentang problema pembelajaran Pendidikan
Multikultural. Dalam kerangka strategi pembelajaran, Pembelajaran
Berbasis Budaya dapat mendorong terjadinya proses imajinatif, metaforik,
berpikir kreatif dan sadar budaya.(Dikti, 2004:5). Namun demikian,
penggunaan budaya lokal (etnis) dalam Pembelajaran Berbasis Budaya tidak
terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen
pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya.
Beberapa permasalahan awal Pembelajaran Berbasis Budaya pada
tahap persiapan awal, antara lain:
1) Guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya
peserta didik;
2) Guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta
didiknya, terutama dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya
3) Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang
dapatmerangsang minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik
terhadapkhasanah budaya masing-masing dalam konteks budaya masing-
masing dalamkonteks pengalaman belajar yang diperoleh (Dikti, 2004:5).
Pada kenyataannya berbagai dimensi dari keberagamaan budaya
Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama
dalam kelas yang budaya etnis peserta didiknya sangat beragam (Banks,
1997), antara lain:

5.3.1 Masalah “seleksi dan integrasi isi” (content selection and


integration) mata pelajaran:
1. Sejauh mana guru mampu memilih aspek dan unsur budaya yang
relevan dengan isi dan topik mata pelajaran.
2. Sejauh mana guru dapat mengintegrasikan budaya lokal dalam
mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran lebih
bermakna bagi peserta didik.
2.3.2 Masalah “proses mengkonstruksikan pengetahuan” (the knowledge
construction process)
1. Aspek budaya manakah yang dapat dipilih sehingga dapat
membantu peserta didik untuk memahami konsep kunci secara
lebih tepat.
2. Bagaimana guru dapat menggunakan frame of reference dari
budaya tertentu dan mengembangkannya dalam perspektif ilmiah
3. Bagaimana guru tidak bias dalam mengembangkan persepektif itu.
Misalnya kincir air diambil sebagai frame of reference dari
khasanah budaya local (tradisional), tetapi dapat dipakai untuk
menjelaskan PLTA.
2.3.3 Masalah “mengurangi prasangka” (prejudice reduction)
1. Bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal budaya yang
dijadikan media pembelajaran menjadi tidak berprasangka bahwa
guru cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu.
Dalam perlakuan ini muncul masalah kesetaraan status budaya
peserta didik yang budayanya jarang dijadikan media
pembelajaran.
2. Bagaimana agar guru dapat mengusahakan “kerjasama”
(cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya
tertentu bukan merupakan “kompetisi,” tetapi sebuah kebersamaan.
Contoh jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah)
untuk pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong
dan mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa
Barat), Sangut (Bali), Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa).
Dengan mengambil contoh yang sepadan, di samping guru dapat
menghindari “prasangka” bahwa dia mengutamakan unsur budaya
tertentu. Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta
didik dan saling memperkaya unsur budaya masing-masing.
2.3.4 Masalah “kesetaraan pedagogy” (equity paedagogy)
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya
etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya
kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya
membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan
pustaka, mencari tahu dari tokoh sehingga guru dapat melaksanakan
kesetaraan pedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya”
mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu, termasuk
Tionghoa dan yang lainnya.Misal:

1. Sastra Hikayat Rakyat dengan tema durhaka. Contoh; Malin


Kundang (Minangkabau), Tangkuban Perahu (Sunda), Loro
Jonggrang (Yogyakarta).
2. Obat-obatan : Jamu (Jawa), Minyak Kayu Putih (Maluku).
3. Tekstil/tenun : Batik (Jawa), Kain Ikat (Nusa Tenggara), Songket
(Melayu Deli, Palembang, Kalimantan, Lombok, dan Bali).
4. Perahu Layar: Phinisi (Bugis-Makasar), Cadik (Madura), Lancang
Kuning (Melayu). Seni teater: Ludruk (Jawa Timur), Wayang
Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), Ketoprak (Yogyakarta).
5. Tokoh Pahlawan: Dewi Sartika (Sunda), Cut Nyak Dien, Cut
Meutia Aceh), Kartini (Jawa Tengah).

BAB VII

PERAN SD SEBAGAI LEMBAGA PENGEMBANG BUDAYA


Peranan Sekolah Dasar sebagai Sistem Sosial
Lingkungan sekolah secara keseluruhan merupakan satu sistem yang terdiri
dari sejumlah variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi sebagai budaya
sekolah, kebijakan dan politik sekolah, dan kurikulum formula bidang studi. Salah
satu dari faktor ini mungkin menjadi fokus dari reformasi sekolah pada awalnya,
namun perubahan itu harus tepat pada masing-masing variabel dalam membantu
menciptakan dan mendukung lingkungan sekolah multi budaya yang efektif.
Variabel dan faktor sekolah sebagai sistem sosial itu antara lain
Kebijakan dan Politik Sekolah
Kebijakan dan politik sekolah Dengan er KTSP sekarang ini kebijakan dan
politik sekolah sangat menentukan ke arah mana anak didik akan
dikembangkan potensinya.Kebijakan dan politik sekolah yang bernuansa khas
dan unggul dapat dikembangkan oleh sekolah itu secara terencana dan
berkelanjutan.
Budaya sekolah dan kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum).
Budaya yang berlangsung di sekolah dan kurikulum yang tersembunyi
(hidden curriculum) sangat menentukan kepribadian yang dikembangkan
pada lingkungan sekolah. Keunikan budaya sekolah dapat dibacu sebagai
keunggulan komparatif. Misalnya di Sekolah Dasar tertentu dibudayakan
untuk setiap hari guru atau kepala sekolah menyambut kedatangan siswa di
depan pagar secara bergiliran untuk bersalaman untuk mengajarkan nilai
keakraban, kekeluargaan, rasa saling hormat dan kasih sayang.
Gaya belajar dan sekolah
Gaya belajar dan sekolah ikut mewarnai pembelajaran yang berlangsung di
sekolah itu. Gaya belajar siswa hendaknya diperhitungkan oleh sekolah dalam
pembuatan kebijakan dan dalam menciptakan gaya (style) sekolah itu dalam
menciptkan kondisi belajar yang nyaman dan akrab dengan kondisi
siswa.Tentu tidak sama gaya sekolah perkotaan dengan segala fasilitasnya
dengan gaya sekolah pedesaan.
Bahasa dan dialek Sekolah
Bahasa dan dialek sekolah disni berkaitan dengan bahasa dan dialek yang
digunakan disekolah dimana di setiap sekolah itu berada.Sekolah yang ada di
Madura tentunya, disadari atau tidak, akan mempengaruhi budaya anak
didiknya karena dalam keseharian guru dan siswanya akan berkomunika
silewat bahasa Madura atau minimal logatataudialek Madura yang kental.
Sekalipun menggunakan bahasa Indonesia, kita akan dengan mudah mengenal
bahasa dan dialek yang digunakan siswanya. Sekolahdasardijawa, Khususnya
di Jawa Tengah atau sebagian Jawa Timur yang banyak menggunakan bahasa
dan dialek jawa dapat membuat program mingguan misalnya, padahari sabtu
untuk menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil pada waktuanakdidik lewat
penggunaan bahasa dan dialek yang dibudayakan ekolah.
Partisipasi dan Input Masyarakat
Partsispasidan input sekolah ikut menetukan arah kebijakan dan iklim
disekolah yang akan dikembangkan. Peranan komite sekolah ikut menetukan
arah kebijakan dan iklim sekolah yang akan dikembangkan. Peranan komite
sekolah sangat bervariasi di tiap-tiap sekolah dasar.Bila kesadaran
masyarakatakan pendidikantinggidan komite sekolah dipimpin oleh orang
yang memilki wawasan pendidikan yang baik, makasekolah ituakan banyak
mendapat bantuan dari masyarakat, baik dan ataupun pemantauan kearah
pengembangan sekolah kedepan. Untuk itu komite sekolah perludipimpin
oleh orang yang bukan saja dikenal, disegani dan berpengaruh dimasyarakat,
tetapi juga oleh orang yang memilki kompeten yang sangat tinggi terhadap
kemajuan pendidikan putra-putrinya.
Program penyuluhan / konseling.
Program bimbingan dan penyuluhan konseling akan berperanan dalam
membantu mengatasi kesulitan belajar pada anak, baik itu anak yang
mengalami kelambatan belajar maupun anak yang memiliki bakat
khusus.Petugas penyuluhan dapat memberikan masukan pada kepala sekolah
tentang bakat terpendam dari siswa asuhannya. Kemungkinan ada anak yang
lemah dalam mata pelajaran tertentu ternyata dia memiliki bakat yang besar
dalam menari dan menyanyi yang membutuhkan penyaluran bakat yang
memadai.
Prosedur asesmen dan pengujia.
Memang saat ini, kita masih belum boleh melakukan prosedur asesmen
dan pengujian sendiri untuk mata pelajaran yang diujikan dalam UAN (Ujian
Akhir Nasional), namun kita bisa mengembangkan pada mata pelajaran yang
bukan termasuk dalam UANG. Asesmen dan pengujian tidak identik
denganduduk di kelas dan mengerjakan soal dalam bentuk paper-pencil test.
Asesem berwlar holistà yang menggambarka kemampuan aktual keseharian
anak Anak kan dinila secara bede dalam arti dikurangi skamya bila dia
teriibat dalam tindakan yang kurang berhasilnya mencuri sering membolos
kurang sopan mesum di sekolah dan sebagainya, walaupun dalam ujian di
kelas milk bags shayar diyu baik akan mendapat dar tahun yang dapat
membantu mengangkat nilainya satuan di kelas yang menunjukkan
penampilan dan sikap yang baik akan mendaptkan skor tambahan yang dapat
membantu mengangkat nilainya saat ujian dikelas.
Materi Pelajaran
Materi pembelajaran Materi pelajaran pada semua bidang studi atau
bidang yang paling cocok dapat memasukkan materi budaya itu dalam
pembelajaran. Penggunaan sempoa pada mata pelajaran matematika, materi
bacaan pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial, permainan
tradisional dalam pelajaran olah raga dan sebagainya. Kurikulum formal dan
bidang studi Kurikulum formal dan bidang studi perlu memasukkan.
Pendidikan Multikultural itu sebagai bidang studi tersendiri. Perlu ada bidang
studi Pendidikan Multikultural tersendiri di sekolah dasar untuk lebih
mengenalkan budaya secara lebih terencana terorganisir daun matang, bukan
sekedar dititipkan pada materi yang ada pada bidang studi yang lain. Sekarang
ini sudah ads sekolah dasar yang secara tegas memunculkan bidang studi
Pendidikan Multikultural di sekolah dasar. Diharapkan hal ini akan diikuti
oleh sekolahdasar yang lain.
Gaya dan strategi mengajar.
Gaya dan strategi mengajar guru akan turut menentukan pendidikan anak
didiknya. Mengapa? Tentunya guru yang sedang mengajar anak didiknya
tentunya sarat dengan nilai budaya. Dia dimiliki ideologi dan nilai-nilai
budaya yang diperoleh sepanjang hidupnya. Hal itu tentunya sangat mewarnai
gaya dan strategi mengajar yang digunakan di sekolah.
Sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku staf sekolah
Sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku staf sekolah juga mempengaruhi
kinerja sekolah. Seluruh staf yang mendukung pembelajaran akan sangat
membantu menciptakan kondisi pembelajaran yang diinginkan dan begitu
juga sebaliknya. Bila staf sekolah biasa berbicara dengan tatakrama yang baik
dan sopan maka anak didik juga akan dibiasakan menggunakan itu di sekolah
dan pada gilirannya menggunakannya di rumah dan di masyarakat. Hal ini
berarti staf sekolah perlu dipilih dan diangkat dari orang yang mengerti dan
mendapatbekal pendidikan yang sesuai. Staf sekolah bukan sekedar berurusan
dengan benda mati seperti kertas, penggaris, alat tulis atau tanaman yang ada
di sekolah, namun bergaul dengan seluruh komponen sekolah. Sikap sinis dan
tidak peduli dari staf sekolah akan sangat mempengaruhi kinerja
sekolah.Untuk itu perlulah memilih orang yang benar-benar cocok untuk
profesi itu.

Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga Pengembangan Budaya


Pendidikan Multikultural merupakan proses di manatujuan-tujuannya tidak
akan pernah terealisasi secara penuh. Persamaan pendidikan seperti kebebasan
dan keadilan merupakan ideal terhadap manaumatmanusia bekerja namun tidak
pernah tercapai secara penuh. Ras sex, dan diskrimininasiakan tetap ada,tidak
pedulibagaimanakerjakeras kitauntuk menghilangkan masalah ini. Jikaprasangka
dan diskriminasi direduksi dalam satu kelompok, keduanya biasanya ditujukan
pada kelompok lain atau keduanya mengambil bentuk yang baru. Karenatujuan
Pendidikan Multikultural tidak akan pernah tercapai secara penuh, kita harus
bekerja terencana dan berkelanjutan untuk meningkatkan persamaan pendidikan
bagi semuasiswa.
Pendidikan Multikultural harus dipandang sebagai suatu proses pelibatan (
ongoing process ), dan bukan sebagai suatu yang kita “ lakukan dengan segera”.
Oleh karena itu memecahkan masalah ini menjadi target reformasi Pendidikan
Multikultural. Jika kita bertanya pada staf sekolah yang berusaha
mengimplementasikan Pendidikan Multikultural di sekolahnya, ia berkata bahwa
sekolahnya telah “melakukan” Pendidikan Multikultural tahun lalu dan sekarang
sedang memulai reformasi yang lain, seperti memperbaiki skor membaca.
Administrator ini bukan saja tidak memahami sifat dan ruang lingkup Pendidikan
Multikultural, namun juga tidak memahami bahwa tujuan utama Pendidikan
Multikultural adalah memperbaiki prestasi akademik.
Multikutural adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita
tersebut memang berposisi sebagai objek dalam proses pengembangan
perencanaan dan pelaksanaan pendidikan, termasuk di dalamnya Pendidikan
Multikultural. Tetapi posisi sebagai objek yang terabaikan dalam pengembangan
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ini berubah menjadi subjek yang
menentukan dalamimplementasinya. Sekalipun sebenarnya multikultural menjadi
penentu dalam implementasi tetapi tetap tidak dijadikan landasan ketika guru
mengembangkan pembelajaran. Padahal multikultural itu berpengaruh langsung
terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran, kemampuan
sekolah dalam memberikan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam
proses belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat
diterjemahkan sebagai hasil belajar. Artinya, pembelajaran baik sebagai
multikultural itu menjadi penentu yang memiliki sumbangan terhadap
keberhasilan
Oleh karena itu, multikultural tersebut harus menjadi faktor yang
dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan
pembelajaran pendidikan, termasuk di dalamnya Pendidikan Multikultural.
Multikultural sebagai Landasan Pembelajaran
Kebudayaan adalah salah satu ladasan pengembangan dalam kurikulum.
Menurut beberapa ahli , landasan yang digunakan dalam sebuah pembelajaran
adalah :
a. Taba ( 1962 )
Kebudayaan adalah sebuah landasan dalam pengembangan kurikulum
b. Ki Hadjar Dewantara
Akar pendidikan suatu bangsa adalah kebudayaan.
c. Print ( 1993 :15 )
Kurikulum merupakan konstruk dari kebudayaan, yang mana kebudayaan
berarti keseluruhan dari totalitas dari cara manusia hidup dan cara ia
mengembangkan pola kehidupanya sehingga ia tidak saja menjadi landasan,
tetapi sekaligus menjadi target hasil dari perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran.
d. Longstreet dan Shane ( 1993 :87 )
Kebudayaan berfungsi sebagai lingkungan kurikulum. Lingkungan dapat
dilihat dari 2 perspektif ( sudut pandang ) yakni sebagai lingkungan eksternal
( lingkungan tempat tatanan sosial seperti sekolah berada ) dan lingkungan
internal ( merupakan lingkungan yang terbentuk dari visi masing – masing
pendidik bagaimana sekolah berfungsi dan kurikulum digunakan.

Kedudukan budaya dalam sebuah pembelajaran sangat penting, dikarenakan


pendidikan merupakan salah satu bagian dari system pengetahuan yang menjadi
unsur dalam sebuah kebudayaan. Namun dalam proses pengembangan, biasanya
hal ini hanya dipengauhi oleh pandangan pengembang tentang perkembangan
iptek. Secara instrinsik, filosofi, visi dan tujuan pendidikan para pengembang
pembelajaran sangat dipengaruhi oleh akar budaya pengembang yang melandasi
pandangan hidupnya. Longstreet dan Shane (1993:162) menyatakan bahwa kita
umumnya tidak menyadari berbagai kualitas yang dibentuk oleh budaya yang
menjadi ciri perilaku kita.
Landasan lain yang diperlukan dalam perkembangan adalah teori belajar.
Teori belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana orang dan hewan
belajar , sehingga membantu kita dalam memahami proses belajar, teori yang
banyak dikembangkan dalam pembelajran berasal dari aliran psikologi seperti
behaviorisme dan kognitivisme. Teori belajar dalam pandangan ini hanya
berasumsi bahwa siswa belajar dalam suatu situasi yang bebas nilai dan bebas
budaya dan tidak memerhitungkan bahwa siswa yang belajar adalah pribadi yang
bereaksi terhadap lingkungan sosial, fisik maupun metafisik tempat dimana
mereka hidup. Pendapat ahli mengenai ini diantaranya :
Maehr ( 1974) berpendapat bahwa keterkaitan antara budaya dan bahasa ,
persepsi, kognisi, keinginan berprestasi, motivasi berprestasi merupakan factor
yang berpengaruh dalam proses belajar siswa.
Webb ( 1990 ) dan Burnett (1994) menunjukkan pentingnya pertimbangan budaya
dalam proses belajar siswa.
Darling - Hammond (1996:12) mengatakan bahwa kita semua
menginterpretasikan perilaku, informasi dan perilaku melalui lensa budaya
sendiri.
Wloodski dan Ginsberg ( 1995) juga menyatakan bahwa kebudayaan adalah dasar
dari motivasi instrinsik dan mengembangkan model belajar yang komprehensif
dalam arti pengjaran yang responsive terhadap kultural .
Berdasarkan beberapa pernyataan ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa
sekrang adalah saat yang tepat untuk memerhitungkan kebudayaan sebgai
landasan penting dalam pembelajaran dalam menentukan komponen tujuan,
materi , proses dan evaluasi suatu perencanan dan pelaksanaan dari kegiatan
belajar siswa .
Seperti yang telah dibahas pada materi –materi sebelumnya, pendidikan
multicultural adalah sebuah pembelajaran yang diguakan oleh pendidik untuk
menggambarkan kegiatan siswa yang beragam ras, gender, suku dan kelas atau
bahkan ketidakmampuan. Tujuan dari pendidikan multikutural ini adalah untuk
mengurangi prasangka dan diskriminasi terhadap kelompok yang tertindas ,
bekerja atas dasar kesempatan, yang sama dan adanya keadilan sosial pada semu
kelompok termasuk distribusi kekuasaan yang adil antara semua anggota
keompok budaya yang berbeda. Pendektan yang ada didalam pendidikan
Multikultural ini mencoba untuk mereformasi proses persekolahan secara
keseluruhan tanpa memandang sekolah maju atau sekolah pinggiran. Praktik dan
proses dalam pembelajaran juga direkonsruksi kembali, sehingga model sekolah
menjadi sekolah yang berdasarkan persamaan dan pluralisme .
Oleh sebab itulah, kebudayaan merupakan salah satu landasan kuat dalam
pengembangan pendidikan di Indonesia yang memiliki kebergaman budaya yang
banyak untuk meningkatkan toleransi dan saling pengertian antar budaya yang
berbeda di Indonesia.
Dasar hukum pendidikan multicultural di Indonesi diatur dalam Undang –
Undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah tidak otomatis
memberlakukan pendekatan multicultural dalam pengembangan pembelajaran di
Indonesia. Undang – Undang yang memberikan wewenang kepada pemda itu
tidak otomatis langsung menjadi pembelajaran yang berdasarkan pendidikan
multicultural . perencanaan dengan pedekata multicultural haruslah dikembangkan
dengan kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang multicultural.
Dalam upaya untuk mewujudkan pembelajaran yang berbasis multicultural,
makam pendidikan multicultural menjadi pendidikan yang bersifat hidden
curriculum , yang artinya diselipkan dalam perencanaan pembelajaran seluruh
mata pelajaran.
Atas dasar posisi multicultural sebagai pendekatan dalam pengembangan
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran maka pendekatan multicultural dapat
diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman kebudayaan peserta
didik yang dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan dan komponen
perencanaan dan pelaksanaan serta lingkungan belajar sehingga siswa dapat
menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan megembangkan
sebagai wawasan konsep, keterampilan, nilai, sikap moral yang diharapkan.

Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Multikultural


Pengembangan Ide
Pengembangan ide berkenaan dengan :
Penemuan filosofi
Model perencanaan yang digunakan,
Pendekatan dan teori belajar yang digunakan,
Pendekatan / model evaluasi hasil belajar dari pendidikan multicultural.
Pengembangan langkah kerja operasional didasarkan pada ide yang sudah
ditetapkan sebelumnya. Secara teknis, pengembangan langkah kerja berkenaan
dengan :
Informasi dan jenis dokumen yang akan dihasilkan
Bentuk format atau silabus
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang harus dikembangkan
Pengembangan pendidikan multicultural sebagai proses pembelajran yang
merupakan perpaduan dan pengembangan ide dan langkah kerja opersional. Atau
dengan kata lain sebagai bukti nyata dari kegiatan pembelajaran pendidikan
multicultural adalah kegiatan pembelajaran yang dilakukan di sekolah.
Untuk otonomi daerah, pengembangan ide dan pelaksanaan pembelajran dari
pusat lebih banak berisikan prinsip dan petunjuk teknis pembelajaran sedangkan
kewenangan dari daerah adalah untuk memasukkan karakteristik budaya
daerahnya kedalam pembelajaran.
Dalam perencanaan pembelajaran multicultural ini dapat dilihat dari
pemberlakuaan 2 kurikulum, yaitu dalam kurikulum KBK dan kurikulum KTSP.
Di dalam kurikulum 2004, pendidikan multi kulturl banya mengalami reduksi /
pengurangan yang beragam sehingga banyak terjadi penyimpangan dan penafsiran
yang beragam dalam pelaksanaan sehingga tidak bisa diterapkan dengan baik.
Kekurangan dalam kurikulum 2004 ini diperbaiki dalam pemberlakuan
kurikulum KTSP yang mana prinsip dan petunjuk teknis yang mngamndung
rambu- ramu pembelajaran sebagai ide dalam bentuk silabus dikembangkan di
tingkat nasional , sedangkan untuk operasional yang lebih rinci diserahkan kepada
tingkat satuan pendidikan dalam bentuk RPP . hal ini memungkinkan untuk dalam
proses pembelajaran yang disesuaikan oleh guru dengan budaya setempat, namun
hal ini juga dipengaruhi oleh adanya tenaga pendidik yang berpengalaman dan
terampil tentang masalah keragaman budaya.
Pengembangan Pendidikan Multikultural Sebagai Ide
Pengembangan pembelajaran ide adalah langkah awal yang sangat
menentukan karakteristik pembelajaran di masa mendatang: apakah yang akan
dihasilkan adalah perencanaan dan pelaksanaan multikultural,perencanaan dan
pelaksanaan monokultural,ataukah perencanaan dan pelaksanaan yang berlakukan
secara umum tanpa memperhatikan perbedaan kultur yang ada oleh karena
pembahasan an keputusan tentang dimensi ide suatu perencanaan dan pelasanaan
sangat penting.
Suatu prinsip yang harus di perhatikan dalam oengembangan pembelajaran
multikultural adalah ketiadaan keseragaman dalam perencanaa dan pelaksanaan
pada saat lampau.keseragaman tersebut terlihat pada keseragaman pendekatan
perencanaan dan pelaksanaan untuk setiap jenjang pendidikan yaitu perencanaan
dan pelaksanaan pendidikan disiplin ilmu
Untuk perencanaan dan pelaksanaan multikultural pendekatan pendidikan
disiplin ilmu bagi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dasar harus
ditinggalkan sama sekali(hasan,2006).alasan pertama adalah tidak semua orang
akan menjadi ilmuan,alasan kedua adalah terlalu dini untuk memasukkan siswa
pendidikan dasar dalam kotak-kotak kepentingan disiplin ilmu.pendidikan dasar
adalah pendidikan minimal untuk memberikan kualitas minimal bangsa
indonesia.pendidikan disiplin ilmu tidak memiliki kepastitas untuk
mengembangkan selruh aspek kepribadian dan kemanusiaan seorang siswa
padahal pendidikan dasar harus bertujuan pada pengembangan kualitas anusia
yang berbudaya.
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran harus secara tegas menyikapi
bahwa siswa bukan belajar bukan untuk kepentingan mata pelajaran, namun mata
pelajaranlah yang di jadikan sebagai wahana untuk mengembankan kepribadian
siswa. Jadi, inti dari pendekatan adalah bukan banyaknya materi yang harus
dipelajari , namun bagaimana cara memelajari sebuah materi.
Secara teknis, filsafat pendidikan dasar harus berubah dengan esensi kearah
yang lebih memanusiakan manusia. Pendekatan multikultural bukan saja mampu
menjadi media pengembangan budaya local, namun juga pengembang budaya
nasional maupun universal. Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan dalam
dimensi ide harus jelas mengungkapkan hal ini dan kemudian harus tercermin
dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
Pengembangan Pendekatan Multikultural sebagai Gerakan
Pengembangan pendekatan multikultural sebagai gerakan
menyangkut pengembangan pembelajaran berbasis budaya. Seluruh
komponen sekolah harus berlandaskan budaya. Pembelajaran seperti tujun,
konten, pengalaman belajar, dan evaluasi dilakukan dengan berbasiskan
budaya. Rumusan yang berdasarkan pandangan behaviorisme dan
menghendaki rumusan tujuan yang terukur perlu kita tinggalkan. Para
pengembang harus dapat membuka diri untuk menyadari bahwa tidak
semua kualitas manusia dapat diukur berdasarkan kriteria tertentu. Ada
tujuan-tujuan yang dapat diukur dan dikuasai dalam satu atau dua
pengalaman belajar, tetapi ada juga tujuan yang baru tercapai dalam waktu
yang panjang.
Sesuai dengan penekatan multi kultural, sumber kualitas yang
dinyatakan dalam perencanaan dan pelaksanaan tidak pula terbatas pada
kualitas yang ditentukan oleh disiplin ilmu semata. Kualitas manusia
seperti bertatakrama ( santun ), religious, toleransi, kreatifitas, disiplin,
kerja keas , kemampuan kerjasama, berfikir kritis , dan sebagainya harus
dapat ditonjolkan sebagai tujuan pembelajaran. Kualitas tertentu yang
dirasakan penting oleh kelpmpok budaya dan sosial tertentu harus dapat
dikembangkan dan oleh karenanya pembelajaran harus memberikan
kemungkinan adanya pengembangan tujuan di komunitas dan lingkungan
budaya tertentu.
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran Pendidikan
Multikultural menghendaki adanya pengertian konten yang berbeda dari
pengertian yang dianut dalam kurikulum 1975 dan 1984. Kurikulum 1994
memang mencoba untuk mengembangkan pengertian konten yang lebih
luas tetapi belum mencakup keseluruhan gerak pengembangan. Pengertian
konten harus diartikan lebih luas yang mencakup hal-hal substantif (teori,
generalisasi, konsep, fakta), nilai, keterampilan,dan proses.
Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan
sebagai sumber konten perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Oleh
karena itu, nilai, moral, kebiasaan, adat/tradisi, dan cultural traits tertentu
harus dapat diakomodasi sebagai konten perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran. Konten pembelajaran haruslah tidak bersifat formal semata
tetapi society and cultural-based, dan terbuka pada masalah yang hidup
dalam masyarakat. Konten pembelajaran haruslah menyebabkan siswa
merasa bahwa sekolah bukanlah institusi yang lepas dengan masyarakat,
tetapi sekolah adalah suatu lembaga sosial dan lembaga budaya yang
hidup dan berkembang di masyarakat. Selanjutnya, konten pembelajaran
harus dapat mengembangkan kualitas kemanusiaan peserta didik.
Pengembangan komponen proses dalam pembelajaran menghendaki
pendekatan yang menempatkan siswa sebagai subjek dalam belajar. Dalam
posisi ini maka siswa belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar
(termasuk masyarakat). Guru bertindak sebagai orang yang memberi
kemudahan bagi siswa dalam belajar. Oleh karena itu, dalam pembelajaran
Pendidikan Multikultural siswa sebagai subjek dalam belajar memberi arti
bahwa metode adalah alat guru dalam membantu siswa belajar. Metode
guru ditentukan oleh cara siswa belajar.

Pengembangan Perencanaan dan pelaksanaan Pembelajaran Sebagai Prose


Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran sebagai
proses sangat ditentukan oleh guru berdasarkan kondisi budaya siswa.
Pendidikan Multikultural sebagai proses harus sesuai Pendidikan
Multikultural dengan sebagai ide.
Pengetahuan, pemahaman, dan sikap, serta kemauan guru terhadap
PendidikanMultikultural akan sangat menentukan keberhasilan
pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan sebagai proses.
Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan
Pendidikan Multikultural sebagai proses, yaitu:
posisi siswa sebagai subjek dalam belajar,
cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya,
lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior
kultural siswa,
lingkungan budaya siswa sebagai sumber belajar.
Posisi keragaman yang berada pada tataran sekolah dan masyarakat tak
boleh diabaikan. Oleh karena itu, keragaman sosial dan budaya harus menjadi
faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan
dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran.
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan berwujud pengalaman hidup
dari berbagai lingkungan budaya mempengaruhi perkembangan individu itu
selanjutnya. Pendidikan yang bernuansa budaya itu berlangsung sejak anak usia
dini berlanjut sampai pada jenjang pendidikan lebih lanjut bahkan sampai akhir
hayat. Hal ini berarti anak Sekolah Dasar perlu dikenalkan bahwa dirinya
merupakan bagian dari aneka budaya yang ada di lingkungan terdekat dirinya:
budaya keluarga, budaya masyarakat, budaya bangsa dan negara, dan mengenal
berbagai budaya dunia.
Pada umumnya, sekolah dasar di daerah perkotaan telah menjadi komunitas
budaya yang plural dan muncul sebagai model masyarakat yang multi kultural.
Kenyataan ini seharusnya memperkuat kebersamaan antar-kelompok budaya,
saling mengenal, saling tergantung, dan saling menghargai. Kondisi ini dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan budaya nasional karena budaya nasional
muncul dari unsur budaya lokal dan etnis. Kita perlu menciptakan agar budaya
sekolah yang dikembangkan para guru dapat berfungsi sebagai perekat kehidupan
bersama, Perlu dilakukan berbagai upaya untuk mewujudkan kebersamaan dalam
ikatan budaya yang lebih luas, termasuk budaya sekolah yang mengembangkan
berbagai unsur budaya Nusantara melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik
dan benar, penerapan visi dan misi sekolah, etika, dan disiplin sekolah.
Sekolah dasar sebagai lembaga pengembangan budaya dapat dikembangkan
untuk membantu siswa melewati garis batas budaya lokal dan etnisnya sehingga
tumbuh sikap toleransi, keterbukaan, dan kemampuan pembentukan diri. Mereka
belajar menyatukan diri dan mengembangkan diri dalam keanekaan budaya
masyarakat sekolah.

Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Budaya Menuju Transformasi


Kurikulum Multikultural di Sekolah Dasar
Tahap transformasi kurikulum berikut diadaptasi dari beberapa model yang
ada, termasuk oleh Banks (1993) dan McIntosh (2000), dan Paul C. Gorski.
Tahap 1. Status Quo atau Kurikulum Dominan (curriculum of the
mainstream)
Di Amerika, kurikulum dominan berpusat pada Eropah dan pria. Kurikulum
sangat mengabaikan pengalaman, suara, sumbangan, dan perspektif dari individu
dan kelompok non-dominan pada semua bidang. Semua materi pendidikan yang
mencakup buku teks, film, dan alat belajar yang lain menyajikan informasi dalam
format yang Eropah-sentris dan pria sentris murni. Sleeter dan Grant (1999: 37)
melihat tahap ini bertujuan mengasimilasi siswa yang terabaikan. Kurikulum dan
pembelajaran berfokus pada "strategi mengajar yang memperbaiki kekurangan
atau membangun jembatan antara siswa dan sekolah ".

Tahap 2. Hari Libur dan Pahlawan (Makanan, Festival, & Kesenangan)


Pada tahap ini ada kegiatan "merayakan" perbedaan dengan menyatukan
informasi atau sumber tentang orang terkenal dan benda budaya dari berbagai
kelompok ke dalam kurikulum yang dominan. Papan pengumuman dapat berisi
gambar dari tokoh-tokoh kelompok yang bukan dominan dan guru dapat
merencanakan perayaan khusus untuk Hari Kartini, Hari Anak, Hari Pahlawan
atau HUT Kemerdekaan. Pagelaran tentang “budaya yang lain” berfokus pada
kostum, makanan, musik, dan item budaya yang dapat diraba lainnya (other
tangible cultural items).
Kekuatan dari tahap ini adalah bahwa pengajar mencoba mendiversifikasi
kurikulum dengan memberi materi dan pengetahuan di luar budaya dominan dan
bahwa pendekatan Hari Libur dan Pahlawan benar-benar mudah
dimplimentasikan dengan hanya memerlukan sedikit pengetahuan baru.
Adapun kelemahan pada pendekatan ini, yaitu:
Dengan perhatian perayaan pada kelompok bukan dominan di luar konteks yang
diletakkan dalam kurikulum, pengajar sedang mendefinisikan lebih lanjut
kelompok ini sebagai "yang lain".
Kurikulum pada tahap ini gagal memberikan pengalaman nyata pada kelompok
non dominan alih-alih memfokuskan pada pemenuhan beberapa karakter
pahlawan. Siswa dapat belajar memperhitungkan perjuangan dari kelompok non
dominan sebagai informasi "extra" daripada pengetahuan penting dalam
keseluruhan pemahaman tentang dunia.
Perayaan spesial pada tahap ini sering digunakan untuk pembenaran (justifikasi),
tidak benar-benar mengubah kurikulum.
Pendekatan Hari Libur dan Pahlawan dalam bentuk keseluruhan pengalaman,
sumbangan, perjuangan, dan suara kelompok dominan, bersesuaian secara
langsung dengan kurikulum dominan.
Perubahan kecil terhadap perencanaan dan pelaksanaan atau materi di kelas
berfokus pada oradisi budaya pada level kulit luar secara eksklusif. Hanya yang
muncul di permukaan dan tidak terlalu mendalam. Sering yang ditampilkan itu
hanya didasarkan pada penggeneralisasian atau stereotipe. Kalau di Amerika pada
tahap ini, Pendidikan Multikultural dipraktekkan sebagai pekan raya makanan
internasional (an international food fair) atau peringatan representatif tertentu dari
suatu kelompok. Bentuknya bisa berupa kegiatan festival yang bernuansakan
kesenangan. Kalau di AS siswa memakai hiasan kepala atau tomahawks untuk
mempelajari budaya Amerika Asli (Native American culture), kalau di Indonesia
siswa memakai kostum suku Dayak, Papua atau Jawa. Guru ikut terlibat di dalam
bazar tersebut. Di dalam festival itu ditayangkan poster wanita terkenal atau
gambar orang dari kelompok multikultural. Di Indonesia kegiatan itu bisa
dilaksanakan pada peringatan hari Hartini dan pada perayaan Hari Kemerdekaan
tujuh belas Agustus.
Tahap 3: Integrasi
Pada tahap Integrasi, guru melampaui kepahlawanan dan hari libur dengan
menambahkan materi dan pengetahuan substansial tentang kelompok bukan
dominan ke dalam kurikulum. Pengajar dapat menambahkan pada koleksi buku
yang ditulis oleh penulis dari kelompok lain. Ia dapat menambahkan suatu unit
yang mencakup, misalnya, peranan wanita pada Perang Dunia I. Guru musik
dapat menambah dari daerah Papua atau tarian Cakalele dari Maluku Utara. Pada
level sekolah, sejarah kota tertentu dapat ditambahkan pada keseluruhan
kurikulum.
Kekuatan tahap integrasi adalah melanpaui peringatun khos dengan memberi
isu dan konsep nyata dan yang lebih meletakkan maten baru ke dalam kurikulum.
Namun tetap ada beberapa kelemahan yaitu:
Materi dan unit baru menjadi sumber dan pengetahuan seperti baka teks dan
kurikulum masih didasarkan pada orientasi kelompok dominan (Banks, 1993)
Materi baru masih berangkat dan perspektif atau sudut pandang keloenpok
dominan.

Tahap 4. Belajar dan Mengajar Antarbudaya (Kamus Budaya)


Guru mempelajari tradisi dan perilaku budaya asal siswanya dalam upaya
untuk lebih memahami bagaimana guru itu harus memperlakukan siswa itu. Di
Barat, khususnya Amerika Serikat, guru memiliki buku pegangan yang
mendeskripsikan bagaimana mereka seharusnya berhubungan dengan siswa
Afrika-Amerika, siswa Latin, siswa Asia Amerika, siswa Amerika Asli, dan
kelompok lain berdasarkan interpretasi terhadap tradisi dan gaya komunikasi dari
kelompok tertentu itu. Di Indonesia, khususnya di Jawa guru perlu lebih mengenal
budaya Jawa secara utuh budaya Jawa walaupun dia berasal dari luar Jawa.

Tahap 5: Reformasi Struktural


Materi, perspektif, dan suara baru diserukan dengan kerangka kerja
pengetahuan yang mutakhir untuk memberi tahap pemahaman baru dari
kurikulum yang lebih lengkap dan akurat. Guru mendedikasikan dirinya untuk
memperluas dasar pengetahuannya secara berkelanjutan melalui eksplorasi
berbagai perspektif, dan berbagi pengetahuan dengan siswanya. Siswa belajar
memandang peristiwa, konsep, dan fakta melalui berbagai kacamata. Misalnya,
untuk "Sejarah Amerika" mencakup sejarah orang Afrika-Amerika, Sejarah
Wanita, Sejarah orang Asia Amerika, Sejarah orang Amerika Latin, dan semua
bidang pengetahuan yang berbeda.
Tahap 6 Hubungan Manusia (Mengapa-kita-tidak-semuanya-ikut-serta)
Anggota masyarakat sekolah didorong untuk memperingati perbedaan dengan
membuat hubungan lintas identitas kelompok yang berbeda. Guru
memperlihatkan antusiasme untuk mempelajari tentang budaya “yang lain”
melalui pendekatan Belajar dan Mengajar Antarbudaya (Intercultural Teaching
and Learning approach). Guru menggambarkan pengalaman pribadi siswa
sehingga siswa dapat belajar dari masing-masing yang lain. Melalui hubungan
antar pribadi, itu siswa dapat mengenal budaya siswa yang lain. Perbedaan
pengalaman dan budaya siswa yang berbeda-beda itu dilihat sebagai aset yang
memperkaya pengalaman kelas.

Tahap 7. Pendidikan Multikultural Selektif (Kita melakukan Pendidikan


Multikultural secara temporer)
Guru dan staf memulai program temporer dan satu waktu tertentu dengan
mengenal adanya keketidaksamaan dalam berbagai aspek pendidikan. Mereka
dipanggil bersama-sama dalam suatu pertemuan untuk mendiskusikan konflik
rasial atau mendatangkan seorang konsultan untuk membantu guru merancang
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang ditujukan untuk berbagai
kelompok yang berbeda.

Tahap 8. Pendidikan Multikultural Transformatif (Pendidikan persamaan


dan Keadilan Sosial)
Semua praktek pendidikan dimulai dengan penentuan yang sama pada semua
aspek sekolah dan persekolahan dan menjamin bahwa semua siswa memiliki
kesempatan yang sama untuk menggapai potensi sepenuhnya sebagai pelajar.
Semua praktek pendidikan yang menguntungkan suatu kelompok yang merugikan
kelompok lain diubah untuk menjamin persamaan. Tahap ini sama dan sejalan
dengan pendekatan aksi sosial dari James A.Bank

Strategi Pembelajaran dan Metode untuk Humanisasi, Pendidikan


Multikultural
Vasquez dan Wainstein (1990:608) menyatakan hanya ada sedikit literatur
yang memberi “strategi praktis untuk pembelajaran ssiswa minoritas. Banyak
siswa yang gagal di sekolah bukan karena berbeda secara kultural namun karena
anggota pengajar tidak disiapkan untuk mengenal perbedaan antar budaya sebagai
kekuatan”. Pada ahli teori kritis seperti Giroux, Freire, and Anyon yang
menekankan kebutuhan akan pedagogi humanisasi dengan "menciptakan
lingkungan yang memungkinkan adanya tindakan dan refleksi " (Bartolome,1994:
177). Bartolome (1994: 177) mengusulkan dua model pembelajaran yang
memungkinkan “siswa yang tersubordinasi berubah dari posisi obyek menjadi
subyek”:
Pembelajaran responsif secara kultural. "kesulitan akademis siswa kelompok
subordinasi disebabkan tidak adanya pertalian budaya atau diskontinuitasantara
belajar, pemakaian bahasa, dan praktek perilaku yang ditemukan di rumah dan
sekolah". Hal ini berarti budaya yang ada di sekolahmerupakan kepanjangan
tangan dari budaya yang ada di rumah. Untuk itupengajar harus "belajar
mendengar, belajar dari, dan menjadi mentorsiswanya"
Strategic Teaching yang menunjuk pada model pembelajaran yang secaraeksplisit
mengajari siswa suatu strategi yang memungkinkan mereka secara sadar
memonitor belajarnya sendir .melalui pengembangan monitoring kognitif reflektif
dan ketrampilan metakognitif.

1). Cooperative Learning


Cooperative Learning adalah metode esensial untuk mendesain pendidikan
multikultural. Ini bukan kerja kelompok dimana pengajar hanya menyusun siswa
dalam suatu kelompok, memberi suatu topik yang diarahkan untuk "diskusi."
Johnson dan Johnson (1994: 61) mendefinisikan cooperative learning
sebagai "penggunaan pembelajaran dari kelompok kecil sehingga siswa bekerja
bersama untuk memaksimalkan belajarnya sendiri maupun masing-masing yang
lain". Mereka menunjukkan bahwa cooperative learning lebih sekedar diskusi,
membantu, dan berbagi.
Lima elemen esensial cooperative learning (Johnson dan Johnson, 1994: 64-
71 adalah:
Kemandirian positif (Positive interdependence).
Anggota kelompok memenuhi peranan (pembaca, mengecek, pendorong) dan
harus mencapai konsensus.
Interaksi tatap muka yang promotif (Face-to-face promotive interaction).
Siswa mendiskusikan, mengajar, dan menjelaskan pada yang lain dalam cara-
carapromotif yang "membantu, mendorong dan mendukung masing-
masingorang lain untuk belajar"
Tanggung jawab individu (Individual accountability).
Siswa dinilai secara individu. Ini menjamin bahwa masing-masing orang
melakukan "berbagi kerjasecara adil " .
Ketrampilan sosial (Social skills).
Siswa harus juga mempelajari ketrampilansosial yang diperlukan untuk
bekerja dengan orang lain: "ketrampilan kepemimpinan, pembuatan
keputusan, pembangunan kepercayaan, komunikasidan manajemen konflik.
Keefektifan proses kelompok (Groups process their effectiveness).
Kelompok mendiskusikan kemajuannya dan memberikan umpan balik seperti
terhadapapa masing-masing orang berkontribusi dan di mana masing-masing
orangdapat memperbaiki.
Sleeter and Grant (1999) menyoroti model-model cooperative learning seperti
group investigation model, jigsaw model, dan model tim permainan.

BAB VIII

PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA

Pengertian Pendidikan
Hakikat pendidikan menurut Langeveld dalam Munib (2007: 26),
merupakan suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak
yang belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan. Sejalan
dengan pengertian pendidikan tersebut, pendidikan terbentuk pemberian
bimbingan dari seseorang kepada orang lain yang membuat seseorang dari
tidak mengetahui menjadi memahami. Bimbingan tersebut dapat berupa
bimbingan yang bersifat membangun kedewasaan seseorang yang
mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Pendidikan berbasis budaya (culture based education) merupakan
mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya
ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup.
Kemunculan paradigma pendidikan berbasis budaya lebih dipicu oleh dua
arus besar. Pertama, berangkat dari asumsi modernisme yang telah sampai
pada titik kulminasinya sehingga cenderung membuat manusia untuk
kembali kepada hal-hal yang bersifat natural (alami). Kedua, modernisasi
sendiri yang menghendaki terciptanya demokrasi dalam segala dimensi
kehidupan manusia. Berangkat dari hal tersebut, mau tidak mau pendidikan
harus dikelola secara lebih optimal dengan memberikan tempat seluas-
luasnya bagi partisipasi masyarakat dengan muatan value culture (kebijakan
lokal) sebagai bagian dari tujuan isi dari pendidikan.
Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang
melibatkan partisipasi dan peran kearifan sistem nilai budaya di dalamnya.
Partisipasi dalam konteks ini berupa kerjasama antara warga dengan
pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan
mengembangkan aktivitas pendidikan. Sebagai sebuah kerja sama, maka
masyarakat dengan budayanya diasumsikan mempunyai aspirasi yang harus
diakomodasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program
pendidikan yang berpondasi dari akar sistem nilai budayanya sendiri.
Perubahan masyarakat yang sedemikian cepat sebagai dampak
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menuntut lembaga pendidikan
untuk bisa mengimbangi percepatan perubahan yang ada di dalam
masyarakat. Demikian juga lembaga pendidikan di Sekolah Dasar, dalam
upaya membekali siswa untuk dapat bermasyarakat dengan baik, perlu
meng-up date bahan pembelajarannya sesuai dengan perkembangan dalam
masyarakat.
Indonesia sebagai negara yang cukup potensial dalam perkembangan
pendidikan tentu saja harus bisa menyesuaikan dengan kondisi kekinian.
Keniscayaan akan format pendidikan yang lebih banyak sudah menjadi
kewajiban kita bersama dalam usaha merealisasikannya. Melakukan suatu
usaha pembebasan terhadap pendidikan yang selama ini banyak diwarnai
nilai-nilai yang menghegemoni kreativitas berpikir anak didik, telah
mengharuskan kita berusaha merubah sembari berusaha memberikan konsep
baru tentang pendidikan yang sebenarnya. Memberikan peluang sepenuhnya
kepada anak didik dalam rangka mengembangkan kemampuan sesuai
dengan talentanya. Hal tersebut akan berimplikasi positif terhadap
pertumbuhan dan perkembangannya secara alamiah (nature).
Pembelajaran berbasis budaya merupakan pembelajaran yang
meingintegrasikan budaya dalam proses pembelajaran serta salah satu
bentuknya adalah menekankan belajar dengan budaya. Belajar dengan
budaya dapat menjadikan siswa tidak terasing dari budaya lokalnya serta
meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya lokal. Pembelajaran
berabasis budaya juga merupakan pembelajaran yang bersifat
konstruktivistik (Alexon, 2010: 14).
Pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi penciptaan
lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang
mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran (Sutarno,
2012). Pembelajaran berbasis budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap
budaya sebagai bagian yang fundamental bagi pendidikan, ekspresi dan
komunikasi suatu gagasan, serta perkembangan pengetahuan. Lebih lanjut
Sutarno (2012) menjelaskan bahwa pembelajaran berbasis budaya sangat
bermanfaat bagi pemaknaan proses dan hasil belajar bagi peserta didik
untuk mendapatkan pengalaman belajar yang kontekstual dan bahan
apersepsi untuk memahami konsep ilmu pengetahuan dalam budaya lokal
(etnis) yang dimiliki.
Di samping itu, model pengintegrasian budaya dalam pembelajaran
dapat memperkaya budaya lokal (etnis) tersebut yang pada gilirannya juga
dapat mengembangkan dan mengukuhkan budaya nasional yang merupakan
puncak-puncak budaya lokal dan budaya etnis yang berkembang. Dalam
pembelajaran berbasis budaya, diintegrasikan sebagai alat bagi proses
belajar untuk memotivasi peserta didik dalam mengaplikasikan
pengetahuan, bekerja secara kooperatif, dan mempersepsikan keterkaitan
antara berbagai mata pelajaran.
Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya menjadi sebuah
metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka ke
dalam bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip yang kreatif tentang alam. Dengan
demikian, melalui pembelajaran berbasis budaya, siswa bukan sekadar
meniru dan atau menerima saja informasi yang disampaikan, tetapi siswa
menciptakan makna, pemahaman,dan arti dari informasi yang diperolehnya.
Pengetahuan, bukan sekadar rangkuman naratif dari pengetahuan yang
dimiliki orang lain, tetapi suatu koleksi (repertoire) yang dimiliki seseorang
tentang pemikiran, perilaku, keterkaitan, prediksi dan perasaan, hasil
transformasi dari beragam informasi yang diterimanya.
Pembelajaran berbasis budaya merupakan salah satu cara yang
dipersepsikan dapat (1) menjadikan pembelajaran bermakna dan kontekstual
yang sangat terkaitdengan komunitas budaya, di mana suatu bidang ilmu
dipelajari dan akan diterapkan nantinya, dan dengan komunitas budaya dari
mana kita berasal. (2) menjadikan pembelajaran menarik dan
menyenangkan. Kondisi belajar yang memungkinkan terjadinya penciptaan
makna secara kontekstual berdasarkan pada pengalaman awal sebagai
seorang anggota suatu masyarakat budaya. Hal ini sejalan dengan pemikiran
aliran konstruktivisme.
Pembelajaran Berbasis Budaya
Pengertian Pembelajaran Berbasis Budaya
Proses belajar dapat terjadi di mana saja sepanjang hayat.
Sekolah merupakan salah satu tempat proses belajar terjadi. Sekolah
merupakan tempat kebudayaan karena pada dasarnya proses belajar
merupakan proses pembudayaan. Dalam hal ini, proses pembudayaan
di sekolah adalah untuk pencapaian akademik siswa, untuk
membudayakan sikap, pengetahuan, keterampilan dan tradisi yang ada
dalam suatu komunitas budaya, serta untuk mengembangkan budaya
dalam suatu komunitas melalui pencapaian akademik siswa.
Budaya adalah pola untuk perilaku manusia dan produk yang
dihasilkannya membawa pola pikir, pola lisan, pola aksi, artifak, dan
sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk belajar dan
menyampaikan pengetahuannya kepada generasi berikutnya. Proses
pembelajaran budaya terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya
dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Pewarisan tradisi
budaya dikenal sebagai proses enkulturasi, sedangkan adopsi budaya
dikenal dengan proses akulturasi. Kedua proses ini berujung pada
pembentukan budaya dalam suatu komunitas. Pendidikan merupakan
proses pembudayaan, proses pembelajaran di sekolah merupakan
proses pembudayaan formal atau proses akulturasi; maka pada saat
yang bersamaan pendidikan merupakan alat untuk konservasi budaya,
transmisi budaya, dan adopsi budaya, serta pelestarian budaya.
Pembelajaran Berbasis Budaya merupakan strategi penciptaan
lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang
mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran
(Dirjen Dikti, 2004: 12). Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya
menjadi sebuah metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil
observasi mereka ke dalam bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip yang
kreatif tentang alam sehingga peran siswa bukan sekedar meniru atau
menerima saja informasi, tetapi berperan sebagai penciptaan makna,
pemahaman, dan arti dari informasi yang diperolehnya.
Pembelajaran Berbasis Budaya dilandaskan pada pengakuan
terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental bagi pendidikan,
ekspresi dan komunikasi suatu gagasan, serta perkembangan
pengetahuan. Pembelajaran Berbasis Budaya dapat dibedakan menjadi
empat macam, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya,
belajar melalui budaya, dan belajar berbudaya. Landasan teori
pembelajaran berbasis budaya, didasarkan pada teori konstruktivisme
dalam pendidikan terutama berkembang dari hasil pemikiran
Vygotsky, pemikiran Piaget, serta pemikiran Brooks & Brooks.
Pembelajaran berbasis budaya bermula dari pendekatan
experiental learning, yang berarti belajar melalui penghayatan
langsung atas pengalaman yang dialami. Mikarsa (2007: 7.20),
menerangkan syarat dalam pendekatan experiental learning, yaitu (1)
Siswa memikul tanggung jawab pribadi untuk belajar apa yang ingin
dicapainya, (2) lebih dari hanya sekedar melibatkan proses-proses
kognitif, (3) tujuan belajarnya meliputi pula aspek keterampilan dan
aspek afektif, (4) siswa aktif dalam proses pembelajaran, baik secara
fisik maupun psikologis.
Kaitan pendekatan experiental learning dengan proses
pembelajaran yang menggunakan pendekatan berbasis budaya adalah
penghayatan atas pengalaman langsung dengan yang ada di lingkungan
sekitar tempat siswa belajar. Menurut Suprayekti (2008: 1),
pembelajaran berbasis budaya membawa budaya lokal yang selama ini
tidak selalu mendapat tempat dalam kurikulum sekolah ke dalam
proses pembelajaran beragam mata pelajaran di sekolah.
Pembelajaran berbasis budaya dapat diterapkan dalam berbagai
mata pelajaran, dengan menggunakan model pembelajaran, seperti
berikut ini :
Program SUAVE (Socios Unidos para Artes via Education)
Program SUAVE digunakan untuk membantu guru dalam
menggunakan benda-benda seni untuk mengajarkan bidang ilmu
seperti, matematika, IPA, IPS, dan bahasa.
Etno Matematika
Pembelajaran ini digunakan dalam mempelajari struktur teori
aljabar yang ada dalam pola tenun tradisional, pola musik, dan
sistem persaudaraan dalam budaya.
Pembelajaran SETS (Science, Environmet, Technology, and Society)
Pembelajaran SETS merupakan pembelajaran terpadu yang
diharapkan mampu membelajarkan siswa untuk memiliki
kemampuan memandang sesuatu secara terintegratif.
Pembelajaran Inovatif IPA Toray
Inovasi ini dikembangkan untuk sekolah menengah dalam
pembelajaran biologi, fisika, dan kimia dengan cara menggunakan
lingkungan sekitar sebagai laboratorium pembelajaran IPA.
Pembelajaran berbasis budaya dalam tulisan ini dikhususkan
pada mata pelajaran SBK Seni rupa, lebih khususnya materi
menggambar motif batik. Dalam pembelajaran berbasis budaya ini
karya seni gambar yang dirancang berhubungan dengan budaya siswa
yaitu batik. Batik merupakan budaya asli Indonesia yang harus
dilestarikan, dengan pembelajaran berbasis budaya diharapkan siswa
dapat lebih mengenal batik dan membanggakan batik sebagai karya
budaya bangsa Indonesia.
Suprayekti (2008: 12), mengemukakan pendekatan berbasis
budaya merupakan cara penciptaan lingkungan belajar dan
perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya
sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dapat diartikan bahwa
pembelajaran berbasis budaya merupakan sebuah strategi
pembelajaran yang relevan dan menarik untuk dikembangkan pada
mata pelajaran seni rupa, proses pembelajaran ini mengenalkan siswa
kepada budaya yang ada di lingkungan sekitar.
Sesuai dengan teori konstruktivisme, proses belajar dalam
pembelajaran berbasis budaya tidak dapat dirancang dengan guru
berperan sebagai penceramah, sementara siswa duduk dengan pasif
mendengarkan, mencatat materi pelajaran yang disampaikan guru,
melainkan proses belajar difokuskan pada strategi atau cara agar siswa
dapat:
Melihat keterhubungan antara konsep/prinsip dalam bidang ilmunya, dengan
budaya dalam beragam konteks yang baru.
Memperoleh pemahaman terpadu tentang bidang ilmu dan budaya sebagai
landasan untuk berpikir kritis.
Berpartisipasi aktif, senang, dan bangga untuk belajar bidang ilmu dalam belajar
berbasis budaya.
Menciptakan makna berdasarkan pengetahuan dan pengalaman awal yang
dimiliki, melalui beragam interaksi.
Memperoleh pemahaman bahwa ada kaidah keilmuan dalam kehidupan sehari-
hari siswa dalam konteks komunitas budayanya.
Memperoleh pemahaman yang integral dan keterampilan ilmiah dalam
mempersepsikan segala sesuatu di sekelilingnya, termasuk budaya dan ragam
perwujudan budaya.
Landasan Teori Pembelajaran Berbasis Budaya

Semua bentuk atau pendekatan dalam pembelajaran memiliki


landasan tori tersendiri. Pembelajaran berbasis budaya merupakan
salah satu cara yang dapat dipersepsikan sebagai berikut :
Menjadikan pembelajaran bermakna dan kontekstual yang sangat terkait dengan
komunitas budaya, dimana suatu bidang ilmu dipelajari dan akan diterapkan
nantinya, dan dengan komunitas budaya dari mana anda berasal.
Menjadi pembelajaran menarik dan menyenangkan. Kondisi belajar yang
demikian memungkinkan terjadinya penciptaan makna secara kontekstual
berdasarkan pada pengalaman sebagai seorang anggota suatu masyarakat budaya
merupakan salah satu prinsip dasar dari teori konstruktivisme.
Teori konstruktivisme dalam pendidikan terutama berkembang
dari hasil pemikiran Vygotsky yang menyimpulkan bahwa siswa
mengkontruksikan pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil
dari pemikiran dan berinteraksi dalam suatu konteks sosial.
Konstruktivisme juga dikembangkan oleh piaget yang menyatakan
bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru,
berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui, dan
dipercayai dengan fenomena ide atau informasi baru yang dipelajari.
Jenis-jenis Pembelajaran Berbasis Budaya
Pembelajaran Berbasis Budaya dilandaskan pada pengakuan
terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental bagi pendidikan,
ekspresi dan komunikasi suatu gagasan, serta perkembangan
pengetahuan.
Belajar tentang budaya
Belajar tentang budaya menempatkan budaya sebagai bidang
ilmu. Menurut Sardjiyo dan Panen (2005: 88), budaya sebagai ilmu
berarti budaya dipelajari dalam satu mata pelajaran khusus tentang
budaya untuk budaya. Mata pelajaran tersebut tidak diintegrasikan
dengan mata pelajaran yang lain dan tidak berhubungan satu sama lain.
Mata pelajaran yang menempatkan budaya sebagai ilmu adalah mata
pelajaran Seni Rupa, Seni Tari, Seni Musik, Seni Budaya dan
Keterampilan, dan sebagainya. Pembelajaran berbasis budaya yang
menempatkan budaya sebagai ilmu cenderung bergantung pada media
kebudayaan yang disediakan guru.

Di sekolah yang menyediakan sumber belajar seperti alat musik


dan peralatan drama dalam mempelajari budaya maka mata pelajaran
budaya di sekolah tersebut akan berkembang relatif lebih baik. Namun
banyak sekolah yang tidak memiliki sumber belajar yang memadai
sehingga mata pelajaran tersebut menjadi matapelajaran hafalan dari
buku atau dari cerita guru (yang belum tentu benar). Dengan kondisi
seperti itu pada akhirnya, mata pelajaran budaya menjadi tidak
bermakna baik bagi siswa, guru, sekolah, maupun pengembang budaya
dalam komunitas tempat sekolah berada. Inilah gambaran tentang
ketidakberhasilan mata pelajaran budaya yang sekarang ini ada.
Belajar dengan budaya
Dalam belajar dengan budaya, budaya dan perwujudannya
menjadi media pembelajaran dalam proses belajar, menjadi konteks
dari contoh-contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu mata
pelajaran, serta menjadi konteks penerapan prinsip atau prosedur
dalam suatu mata pelajaran. Misalnya, untuk memperkenalkan bentuk
bilangan (bilangan positif, bilangan negatif) dalam suatu garis
bilangan, digunakan Cepot (tokoh jenaka dalam wayang Sunda). Cepot
akan memandu siswa berinteraksi dengan garis bilangan dan operasi
bilangan dalam pembelajaran matematika.
Contoh lain, diwujudkan ketika seorang pengajar
mempergunakan sempoa (alat untuk menghitung yang biasa digunakan
oleh orang Tionghoa). Pengajar dapat menunjukkan kedudukan satuan,
puluhan, ratusan, ribuan dan seterusnya dan menunjukkan cara
penambahan dan pengurangan bahkan untuk perkalian dan pembagian.
Contoh lain, seorang pengajar pelajaran fisika menggunakan angklung,
calung atau berbagai bentuk dan ukuran gong untuk memperkenalkan
konsep bunyi, gelombang bunyi, dan gema. Guru seni suara pun bisa
menggunakan angklung itu untuk memperkenalkan nada dan
mengiringi lagu.

Belajar dengan budaya meliputi pemanfaatan beragam bentuk


perwujudan budaya (Suprayekti, 2008: 14). Pembelajaran berbasis
budaya ini dapat diterapkan di berbagai mata pelajaran, misalnya pada
mata pelajaran IPA materi gelombang bunyi, guru dapat menggunakan
gong yang merupakan alat musik tradisional, hal ini dapat
meningkatkan kemampuan siswa di bidang mata pelajaran IPA dan
juga menambah wawasan siswa dalam mengenal bentuk dan jenis-
jenis alat musik tradisional.
Belajar melalui budaya
Belajar melalui budaya merupakan salah satu bentuk multiple
representation of learning (Dirjen Dikti, 2004: 15), atau bentuk
menilaian pemahaman dalam beragam bentuk. Misalnya siswa tidak
perlu mengerjakan tes untuk mengerjakan topik tentang lingkungan
hidup, tetapi siswa dapat membuat poster, membuat karangan, lukisan,
lagu atau puisi yang melukiskan tentang lingkungan hidup. Mereka
bebas mengekspresikan lewat karyanya tentang kekeringan, banjir,
hutan yang gundul, gunung yang asri dan sebagainya. Dengan
menganalisis produk budaya yang diwujudkan siswa, pengajar dapat
menilai sejauh mana siswa memperoleh pemahaman dalam topik
lingkungan, dan bagaimana siswa menjiwai topik tersebut.
Suprayekti (2008: 16) menerangkan bahwa belajar melalui
budaya merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang
diciptakan dalam suatu mata pelajaran melalui ragam perwujudan
budaya. Penerapan pembelajaran berbasis budaya ini misalnya pada
mata pelajaran IPS materi mata angin, siswa dapat menyanyikan lagu
mata angin dengan memberikan gerakan untuk menunjukkan arah
mata angin serta siswa juga dapat menggambarkan arah mata angin.
Sementara itu, ahli lain membagi jenis-jenis pembelajaran
berbasis budaya menfadi empat macam sebagai berikut :
Belajar tentang budaya
Belajar tentang budaya menempatkan budaya sebagai bidang
ilmu. Budaya dipelajari dalam program studi khusus, tentang budaya
dan untuk budaya. Dalam hal ini, budaya tidak terintegrasi dengan
bidang ilmu lain. Proses belajar tentang budaya, sudah cukup dikenal
selama ini, misalnya mata pelajaran kesenian dan kerajinan tangan,
seni dan sastra, seni suara, melukis atau menggambar, seni musik, seni
drama, tari dan lain-lain. Budaya dipelajari dalam satu mata pelajaran
khusus, tentang budaya. Mata pelajaran tersebut tidak terintegrasi
dengan mata pelajaran lain, dan tidak berhubungan satu sama lain.
Belajar dengan budaya
Belajar dengan budaya terjadi pada saat budaya diperkenalkan
kepada siswa sebagai cara atau metode untuk mempelajari pokok
bahasan tertentu. Belajar dengan budaya meliputi pemanfaatan
beragam bentuk perwujudan budaya. Dalam belajar dengan budaya,
budaya dan perwujudannya menjadi media pembelajaran dalam proses
belajar, menjadi konteks dari contoh-contoh tentang konsep atau
prinsip dalam suatu mata pelajaran, serta menjadi konteks penerapan
prinsip atau prosedur dalam suatu mata pelajaran.
Misalnya, untuk memperkenalkan bentuk bilangan (bilangan
positif, bilangan negatif) dalam suatu garis bilangan, digunakan Cepot
(tokoh jenaka dalam wayang Sunda). Cepot akan memandu siswa
berinteraksi dengan garis bilangan dan operasi bilangan dalam
pembelajaran matematika. Contoh lain, diwujudkan ketika seorang
pengajar mempergunakan sempoa (alat untuk menghitung yang biasa
digunakan oleh orang Tionghoa). Pengajar dapat menunjukkan
kedudukan satuan, puluhan, ratusan, ribuan dan seterusnya dan
menunjukkan cara penambahan dan pengurangan bahkan untuk
perkalian dan pembagian. Contoh lain, seorang pengajar pelajaran
fisika menggunakan angklung, calung atau berbagai bentuk dan ukuran
gong untuk memperkenalkan konsep bunyi, gelombang bunyi, dan
gema. Guru seni suara pun bisa menggunakan angklung itu untuk
memperkenalkan nada dan mengiringi lagu.
Belajar melalui budaya
Belajar melalui budaya merupakan strategi yang memberikan
kesempatan siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau
makna yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam
perwujudan budaya. Belajar melalui budaya merupakan salah satu
bentuk multiple representation of learning (Dirjen Dikti, 2004: 15),
atau bentuk menilaian pemahaman dalam beragam bentuk. Misalnya
siswa tidak perlu mengerjakan tes untuk mengerjakan topik tentang
lingkungan hidup, tetapi siswa dapat membuat poster, membuat
karangan, lukisan, lagu atau puisi yang melukiskan tentang lingkungan
hidup. Mereka bebas mengekspresikan lewat karyanya tentang
kekeringan, banjir, hutan yang gundul, gunung yang asri dan
sebagainya. Dengan menganalisis produk budaya yang diwujudkan
siswa, pengajar dapat menilai sejauh mana siswa memperoleh
pemahaman dalam topik lingkungan, dan bagaimana siswa menjiwai
topik tersebut.
Belajar berbudaya
Belajar berbudaya merupakan bentuk pengejawantahan budaya
itu dalam perilaku nyata sehari-hari siswa. Misalnya, anak
dibudayakan untuk selalu menggunakan bahasa Krama Inggil pada
hari Sabtu melalui Program Sabtu Budaya. Anak juga dapat
melaksanakan kebersihan lingkungan sekolah pada hari Jumat melalui
program Jumat Bersih.
Belajar melalui budaya merupakan metode yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman
atau makna yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui
ragam perwujudan budaya. Belajar melalui budaya merupakan salah
satu bentuk multiple representation of learning assessment atau bentuk
penilaian pemahaman dalam beragam bentuk.
Goldberg dalam bukunya yang berjdudul Art and learning: An
integrated approach to teaching and learning in multicultural and
multilingual setting membedakan pembelajaran berbasis budaya
menjadi beberapa macam , yaitu sebagai berikut :
Belajar tentang budaya (menempatkan budaya sebagai bidang ilmu). Budaya
dipelajari dalam satu mata pelajaran khusus dan tidak diintegrasikan dengan mata
pelajaran yang lain. Namun, banyak sekolah yang tidak memiliki sumber belajar
yang memadai sehingga mata pelajaran tersebut menjadi mata pelajaran hafalan
dari buku atau cerita guru yang belum pasti kebenarannya.
Belajar dengan budaya terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa
sebagai cara atau metode untuk mempelajari suatu mata pelajaran tertentu. Belajar
dengan budaya menjadikan budaya dan perwujudannya sebagai media
pembelajaran dalam proses belajar, konteks dari contoh tentang konsep atau
prinsip dalam mata pelajaran, serta konteks penerapan prinsip atau prosedur dalam
suatu mata pelajaran.
Belajar melalui budaya merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang
diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam perwujudan budaya
(2000).
Proses Pembelajaran Berbasis Budaya
Budaya diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya dalam
suatu proses yang disebut pewarisan budaya, selain diwariskan proses
pembudayaan juga tercipta dalam bentuk adopsi tradisi budaya oleh
orang yang belum mengetahui suatu budaya. Pewarisan tradisi budaya
dikenal dengan enkulturasi (enculturation) sedangkan adopsi budaya
disebut akulturasi (acculturation).
Proses enkulturasi biasanya terjadi di lingkungan keluarga atau
masyarakat secara informal, misalnya tata krama dan adat istiadat.
Sementara itu, proses akulturasi menurut Suprayekti (2008: 9), terjadi
secara formal melalui pendidikan. Suprayekti (2008: 10), menegaskan
kembali, pendidikan merupakan proses pembudayaan, dan pendidikan
juga dipandang sebagai alat untuk perubahan budaya.
Pendidikan berperan dalam adopsi budaya, transmisi,
konservasi, serta pelestarian budaya. Jika guru bermaksud untuk
menerapkan pembelajaran berbasis budaya dalam mata pelajaran seni
rupa (misalnya membatik), maka proses pembelajaran dapat dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut.
Proses pembudayaan
Pengenalan siswa kepada unsur kebudayaan, dengan cara
memperlihatkan jenis-jenis ornamen ragam hias yang terdapat pada
berbagai macam benda, salah satunya yang terdapat pada kain atau
pakaian yang biasa dikenal dengan sebutan batik. Selanjutnya siswa
dikenalkan pada berbagai jenis motif batik dari berbagai daerah di
Indonesia, dan motif batik yang berkembang di daerah sekitar, yaitu
daerah kabupaten Pemalang, seperti motif batik Parang atau Kawung.
Pengenalan ini membuat siswa mengetahui bagaimana motif-motif
batik. Proses pengenalan budaya pada pembelajaran seni rupa akan
memicu siswa untuk mewarisi atau mengadopsi budaya dari generasi
sebelumnya.
Observasi hasil budaya
Siswa mengamati berbagai karya seni motif batik dari berbagai
daerah. Transformasi budaya memicu siswa untuk sekedar meniru atau
menciptakan karya seni motif batik yang baru dengan memadukan dan
kreativitas siswa itu sendiri. Pengamatan siswa terhadap motif-motif
batik yang telah dipilih untuk menjadi contoh dalam proses
pembelajaran ini. Dengan mengamati berbagai bentuk motif maka
pelaksanaan pemeblajaran dalam pembuatan karya motif batik akan
berlangsung dengan baik karena siswa telah mendapat gambaran yang
mengenai bentuk-bentuk motif batik.
Pendalaman pengetahuan budaya
Dengan melihat contoh-contoh hasil karya motif batik dari
berbagai daerah di Indonesia, siswa menganalisis perbedaan corak
yang ada dan mengetahui ciri khusus dalam karya batik suatu daerah.
Misalnya menurut Sunaryo (2009: 28) motif kawung terjadi dari
bentuk-bentuk lingkaran yang saling berpotongan berjajar, motif
kawung (Pa’bombo uai) memiliki makna nasihat agar giat bekerja
serta sebagai simbol ketabahan.
Pembuatan karya
Siswa membuat karya seni rupa dalam bentuk gambar batik
dengan corak sesuai kreativitas siswa yang dibatasi pada corak motif
batik daerah sekitar, yaitu motif batik Pemalang karena sekolah tempat
dilaksanakan penelitian terletak di kabupaten Pemalang. Pada
pembuatan karya, teknik transformasi dapat digunakan karena siswa
telah mengamati contoh-contoh motif batik dan telah melihat bentuk
serta ciri-ciri yang menonjol pada jenis motif batik, dengan demikian
siswa dapat menggabungkan beberapa contoh jenis motif atau siswa
dapat memadukan serta mengembangkan suatu motif dengan kreasi
siswa sendiri sesuai kreativitas siswa.
Tindak lanjut
Karya yang sudah dibuat siswa dipamerkan di majalah dinding
sekolah atau papan pamer kelas untuk memicu dan memotivasi siswa
berkaya serta mencintai kebudayaan batik.
Perubahan Budaya Pembelajaran
Setiap pendekatan proses pembelajaran mempunyai ciri khas
dan karakter tersendiri yang membedakan dengan pendekatan lainnya.
Adapun perubahan budaya pembelajaran adalah sebagai berikut.
Proses Belajar
Proses belajar dalam pembelajaran berbasis budaya berfokus
pada beberapa hal-hal seperti 1) Strategi atau cara agar siswa dapat
melihat keterhubungan antar konsep atau prinsip dalam bidang
ilmunya, dengan budaya, dalam beragam konteks yang baru, dan
dalam konteks komunitas budayanya. 2) Strategi atau cara agar siswa
memperoleh pemahaman terpadu tentang bidang ilmu dan budaya
sebagai landasan untuk berfikir kritis, menyelesaikan beragam
permasalahan dalam konteks komunitas budaya, serta mengambil
keputusan yang sahih berdasarkan kaidah keilmuan. 3) Strategi atau
cara agar siswa dapat menciptakan makna berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman awal yang dimiliki, melalui beragam interaksi aktif
dengan siswa lain, tokoh, guru, dan juga dengan materi contoh
konkret. 4) Strategi atau cara agar semua siswa dapat berpartisipasi
aktif, senang dan bangga utuk belajar bidang ilmu dalam pembelajaran
berbasis budaya. 5) Strategi atau cara agar siswa dapat memperoleh
pemahaman bahwa ada kaidah keilmuan dan kehidupan sehari-hari
siswa dan konteks komunitas budayanya, juga ada budaya dalam
konteks bidang ilmu, dan bahwa kaidah keilmuan adalah bagian dari
budaya mereka.
Proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan
interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis.
Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil pemikiran
individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini,
tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih
baik atau benar. Sesuai dengan pendapat Vygotsky (Utami, 2012)
bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam
tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat
dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan dan
di mana makna diciptakan, serta komunitas budaya di mana
pengetahuan didesiminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas,
interaksi sosial dan komunitas budaya tersebut penciptaan makna
terjadi.
Sujana (2007: 7) menyatakan bahwa peran model pembelajaran
sebagai penunjang dalam penerapan metode pembelajaran, sehingga
meningkatkan kualitas interaksi siswa dengan guru sesuai dengan
karakteristik siswa dan bahan belajar yang akan disampaikannya.
Peningkatan atau pemahaman terjadi secara kolektif oleh siswa karena
adanya kolaborasi, interaksi langsung atau face to face interaction, dan
saling ketergantungan positif atau positive interdependence yang
dibentuk oleh siswa selama proses pembelajaran. Hal ini sejalan
dengan teori Kagan (1994), dan Johson and Johson (Howe & Jones,
1993: 195) yang menyatakan dengan adanya usaha saling
ketergantungan positif dan interaksi langsung, siswa dapat saling
mengajarkan pengetahuan, menjelaskan cara pemecahan masalah,
mendiskusikan materi yang sedang dipelajari, serta adanya rasa
tanggung jawab terhadap kesuksesan kelompok.
Siswa dengan kemampuan intelektual tinggi dapat berbagi ilmu
kepada siswa dengan kemampuan intelektual rendah dalam
memecahkan persoalan yang diberikan kepada mereka. Hal ini sejalan
dengan konsep ZPD (Zona Perkembangan Proximal) yang
dikemukakan oleh Vygotsky (Utami, 2012). Konsep ZPD menekankan
bahwa tugas yang cukup sulit dikerjakan oleh anak itu sendiri, maka
mereka memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa atau anak yang
terampil. Ketika anak-anak mengalami pembelajaran atau contoh
verbal, mereka mengorganisasikan informasi dalam struktur mental
mereka sehingga pada akhirnya mereka dapat melaksanakan sendiri
keterampilan atau tugasnya (Santrock, 2004: 247).
Mencermati penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis budaya lebih
efektif dibandingkan dengan model konvensional. Guru dapat
membantu siswa dengan cara memfokuskan perhatian, menentukan
mana yang penting, sulit dan tidak jelas, memberitahu tujuan
pengajaran yang akan diberikan, agar siswa dapat memfokuskan
perhatiannya pada hal-hal penting bukan pada hal-hal yang tidak
penting, membantu mengingat kembali informasi yang telah dipelajari
sebelumnya, dan menggabungkan informasi baru dengan informasi
dalam memori jangka panjang.
Kurikulum
Dalam pembelajaran berbasis budaya, kurikulum dirancang
agar: 1) Memungkinkan siswa untuk belajar dengan tenang, dan guru
untuk memadu proses pembelajaran tanpa dikejar-kejar target pokok
bahasan namun tetap tidak menyimpang dari pengetahuan dan
keterampilan yang harus dikuasai siswa berdasarkan kurikulum. 2)
Dapat mengggambarkan keterkaitan antar konsep dalam suatu bidang
ilmu, dengan bidang lain dan juga budaya komunitas siswa, dan
menggambarkan posisi suatu bidang ilmu dalam hubungannya dengan
beragam bidang ilmu. 3) Membantu siswa untuk dapat menunjukkan
atau mengekspresikan keterkaitan bidang ilmu yang dipelajarinya
dengan budaya komunitasnya dan dengan bidang ilmu lainnya.
Guru
Peranan guru dalam hal pendekatan konstruktivisme adalah
membantu siswa mengembangkan pengertian baru. Hal ini juga
dipertegas teori konstruksi sosial yang menekankan bahwa intelegensi
manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini
juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama
kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) dan
intrapersonal (internalisasi yang terjadi pada diri sendiri).
Dalam pembelajaran berbasis budaya, guru berfokus untuk: 1)
Dapat menjadi pemandu siswa, negosiator makna yang andal, dan
pembimbing siswa dalam eksplorasi, analisis, dan pengambilan
keputusan. 2) Menahan diri agar tidak menjadi otoriter atau menjadi
satu-satunya sumber informasi bagi siswa. 3) Dapat merancang proses
pembelajaran yang aktif, kreatif dan menarik sehingga guru tidak
hanya berceramah dan siswa hanya mendengarkan. 4) Merancang
strategi secara kreatif agar dapat mengetahui kemampuan dan
keterampilan yang dicapai persiswa dalam proses belajar. 5)
Merancang strategi yang memungkinkan siswa agar terbiasa berpikir
ilmiah dalam mengutarakan ide atau gagasan, menjelaskan rasional,
berargumentasi dan menghasilkan karya tulis ilmiah.
Siswa
Ide dan pendapat siswa adalah jendela dari pola pikir mereka.
Dalam pembelajaran berbasis budaya, siswa bukan pasif hanya
menerima pengetahuan dan keterampilan yang disampaikan guru,
tetapi merupakan subyek yang menciptakan makna, dan bahkan
kontributor terhadap perkembangan pengetahuan dan keterampilan
dalam bidang ilmu. Dengan demikan siswa dalam pembelajaran
berbasis budaya, diakui dan dihargai sebagai sebagai individu dengan
latar belakang, pengalaman, dan pengetahuan awal yang unik, yang
memiliki kemampuan dan keinginan untuk belajar dan untuk menjadi
kreatif berdasarkan kaidah dalam konteks komunitas budayanya.
Pembelajaran berbasis budaya menempatkan siswa pada posisi
strategis dalam proses pembelajaran, dan guru sebagai perancang dan
pelaksana pembelajaran yang andal dan kreatif. Dalam pembelajaran
ini siswa melakukan kegiatan pengamatan di luar kelas tentang
kenampakan alam yang ada di sekitar sekolah dan tempat tinggal
mereka. Melalui pengamatan tersebut siswa menemukan beberapa
kenampakan alam seperti rawa, sungai, pantai, gunung. Hasil dari
pengamatan tersebut memampukan siswa untuk mengkonstruk
pengalaman belajarnya menjadi sebuah konsep pembelajaran baru
yang berkaitan dengan budaya yang ada di lingkungan mereka, seperti
masyarakat yang tinggal di daerah pantai rata-rata mata pencaharian
mereka sebagai nelayan, pakaian yang digunakan rata-rata dari bahan
yang tipis/katun karena cuaca panas (budaya yang berlaku di daerah
tersebut). Hal ini sesuai dengan pendapat Paul Suparno (2012: 18)
yang mengatakan bahwa konstruktivisme adalah suatu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah
konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu tiruan
dari kenyataan (realitas) dan bukanlah gambaran dunia kenyataan yang
ada.
Langkah-langkah Mengembangkan Model Pembelajaran Berbasis Budaya
Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh guru untuk
mengembangkan model pembelajaran berbasis budaya lokal adalah
sebagai berikut.
Guru perlu mengidentifikasi pengetahuan awal siswa tentang sains asli.
Identifikasi pengetahuan awal siswa tentang sains asli
bertujuan untuk menggali pikiran-pikiran siswa dalam rangka
mengakomodasikan konsep-konsep, prinsip-prinsip atau keyakinan
yang dimiliki siswa yang berakar pada budaya masyarakat di mana
mereka berada. Ausubel menyatakan bahwa satu hal penting dilakukan
guru sebelum pembelajaran dilakukan adalah mengetahui apa yang
telah diketahui siswa.
Pembelajaran dalam kelompok.
Masyarakat tradisional cenderung melakukan kegiatan secara
berkelompok yang terbentuk secara sukarela dan informal.
Pembelajaran dalam bentuk kelompok merupakan pengembalian ke
ciri pembelajaran mereka yang bersifat indigenous (asli).
Guru berperan sebagai penegosiasi yang cerdas dan arif.
Peran guru sebagai negosiator budaya, yaitu: 1) memberikan
kesempatan pada siswa untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya,
untuk mengakomodasikan konsep-konsep dan keyakinan yang dimiliki
siswa yang berakar pada sains asli (budaya), 2) menyajikan pada siswa
contoh-contoh keganjilan yang sebenarnya biasa menurut sains Barat,
3) berperan untuk mengidentifikasi batas budaya, 4) mendorong siswa
aktif bertanya, 5) memotivasi siswa agar menyadari akan pengaruh
positif dan negatif sains Barat bagi teknologi.
Model dan Aplikasi Pembelajaran Berbasis Budaya
Proses pembelajaran merupakan suatu kegiatan dalam rangka
melaksanakan kurikulum pada sekolah, agar dapat membantu siswa untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tujuan pendidikan pada
hakikatnya ingin merubah perilaku, intelektual dan moral maupun sosial agar
bisa mandiri dalam kehidupan masyarakat. Dalam mencapai tujuan pendidikan
tersebut siswa berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur guru melalui
proses pembelajaran.
Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran
berbasis budaya, yaitu sebagai berikut :
Substansi dan Kompetensi Bidang Studi
Pembelajaran berbasis budaya lebih menekankan tercapainya
pemahaman yang terpadu (integrated understansing) daripada sekedar
pemahaman mendalam (inert understanding). Pemahaman terpadu
membuat siswa mampu bertindak secara mandiri berdasarkan prinsip
ilmiah untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dalam
konteks komunitas budaya dan mendorong siswa untuk kreatif terus
mencari dan menemukan gagasan berdasarkan konsep dan prinsip
ilmiah.
Pemahaman terpadu sebagai hasil pembelajaran berbasis
budaya mempersyaratkan adanya penciptaan makna oleh siswa atas
substansi bidang ilmu dan konteksnya. Konteks dalam hal ini adalah
komunitas budaya. Substansi meliputi (a) content knowledge, yaitu
konsep dan prinsip dalam bidang ilmu, (b) Inquiry and problem
solving knowledge, yaitu pengetahuan tentang proses penemuan dan
proses penyelesaian masalah dalam bidang ilmu, dan (c) Epistemic
knowledge, yaitu pengetahuan tentang aturan main yang berlaku dalam
bidang ilmu.
Kebermaknaan dan Proses Pembelajaran
Aktivitas dalam pembelajaran berbasis budaya tidak hanya
dirancang untuk mengaktifkan siswa tetapi dibuat untuk memfasilitasi
terjadinya interaksi sosial dan negosiasi makna sampai terjadi
penciptaan makna. Proses penciptaan makna melalui proses
pembelajaran berbasis budaya memiliki beberapa komponen sebagai
berikut :
Tugas yang bermakna bersifat kontekstual karena dirancang dari pengetahuan dan
pengalaman awal siswa berdasarkan contoh-contoh dan penerapan aktivitas
sehari-hari pada konteks komunitas budayanya.
Interaksi aktif, yang merupakan sarana terjadinya proses negoisasi dalam
penciptaan arti atau interaksi harus bermakna bagi siswa dan memfasilitasi
terjadinya proses penciptaan makna. Terdapat beragam metode yang dapat
dirancang dalam pembelajaran berbasis budaya, antara lain pembelajaran melalui
proyek dan pembelajaran berbasis masalah.
Penjelasan dan penerapan bidang ilmu secara kontekstual. Dalam penjelasan dan
penerapan bidang ilmu secara kontekstual guru maupun siswa bertumpu pada
pengalaman dan pengetahuan awal siswa dalam konteks komunitas budaya
sebagai titik awal proses belajar
Pemanfaatan berbagai sumber belajar. Dalam pembelajaran berbasis budaya,
pemanfaatan berbagai sumber belajar mencakup pemanfaatan bahasa sebagai alat
komunikasi ide dan pemanfaatan komunikasi budaya sebagai konteks proses
pembelajaran.
Penilaian Hasil Belajar
Beragam teknik dan alat ukur hasil belajar digunakan dalam
pembelajaran berbasis budaya yang pada dasarnya memiliki kelebihan
dan kekurangan. Dalam upaya siswa untuk menunjukkan keberhasilan
dalam belajar dengan penciptaan makna dan pemahaman terpadu,
siswa dapat menggunakan beragam perwujudan, misalnya poster,
puisi, catatan harian, laporan, tarian, lukisan, dan ukiran.
Konsep penilaian hasil belajar dalam pembelajaran berbasis
budaya adalah beragam perwujudan (multiple representation).
Misalnya: merancang suatu proyek dalam kegiatan pembelajaran akan
merangsang imajinasi dan kreativitas siswa (Weiner, 2003). Salah satu
cara yang digunakan untuk membuat proyek yaitu dengan menuangkan
fenomena-fenomena yang mereka temui dalam kehidupan nyata dan
kejadian yang mereka alami yang sesuai dengan kegiatan
pembelajaran.
Kegiatan ini membuat siswa aktif belajar tentang bagaimana
melakukan studi budaya. Aspek penting dari proyek ini adalah
mempresentasikan proyek yang sudah dibuat dan siswa yang lain
memberikan tanggapan terhadap proyek/media yang dipresentasikan.
Dalam hal ini, pelaksanaan penilaian dilakukan secara bersama, yakni
dari siswa sendiri, siswa yang lain, dan guru berdasarkan beberapa
kriteria yang ditentukan oleh guru.
Peran Budaya
Budaya dalam berbagai perwujudannya secara instrumental
dapat berfungsi sebagai media pembelajaran dalam proses belajar.
Dalam pembelajaran berbasis budaya, peran budaya dalam
memberikan suasana baru yang menarik untuk mempelajari suatu
bidang ilmu yang dipadukan secara interaksi aktif dalam proses
pembelajaran. Budaya menjadi sebuah metode bagi siswa untuk
mentransformasikan hasil observasi ke dalam bentuk dan prinsip yang
kreatif tentang bidang-bidang ilmu. Budaya dalam berbagai
perwujudannya, secara instrumental dapat berfungsi sebagai media
pembelajaran dalam proses belajar.
Sebagai media pembelajaran, budaya dan beragam
perwujudannya dapat menjadi konteks dari contoh tentang konsep atau
prinsip dalam suatu mata pelajaran serta menjadi konteks penerapan
prinsip dalam suatu mata pelajaran. Keempat komponen tersebut
saling berinteraksi sehingga memiliki implikasi dalam pembelajaran
berbasis budaya antara lain:
Pihak guru, yaitu guru dituntut memiliki kemampuan mengeksplorasi segala
informasi yang berkaitan tentang budaya setempat pada materi yang akan dibahas.
Guru berperan memandu dan mengarahkan potensi siswa untuk menggali
beragam budaya yang sudah diketahui, serta mengembangkan budaya tersebut.
Pihak siswa, yaitu pembelajaran berbasis budaya lebih menekankan tercapainya
pemahaman yang terpadu (integrated understanding) dari pada hanya sekedar
pemahaman mendalam (inert understanding). Pemahaman terpadu sebagai hasil
pembelajaran berbasis budaya menciptakan suatu kebermaknaan oleh siswa
terhadap suatu subtansi materi dan konteksnya. Siswa dalam kegiatan
pembelajaran selalu dibawa ke konteks nyata yang mengandung unsur-unsur
budaya, sehingga dalam proses konstruksi konsep, siswa mampu melakukan
kegiatan tersebut dengan lebih bermakna. Pengetahuan dan pengalaman tentang
proses penemuan serta proses penyelesaian masalah dalam bidang ilmu, mengasah
kemampuan siswa dalam merumuskan permasalahan dan hipotesis, merancang
percobaan dan penelitian, serta menghasilkan pemecahan yang terpercaya. Selain
itu, siswa memiliki keterampilan untuk menerapkan pengetahuan bidang ilmu
(fisika) dan berbagai pengetahuan lainnya untuk memecahkan masalah dalam
konteks yang lebih luas lagi, yaitu komunitas budaya, nasional, regional.
Sumber belajar utama yang dapat digunakan dalam pembelajaran berbasis budaya
dapat berbentuk teks tertulis seperti buku pembelajarn sains, bukti-bukti budaya,
nara sumber budaya, atau berupa lingkungan sekitar seperti lingkungan alam dan
lingkungan sosial sehari-hari (Wahyudi, 2003).
Bentuk dan Nilai-nilai yang Dikembangkan
Wujud budaya itu dapat berupa wujud idiil (adat tata kelakuan) yang
abstrak yang terletak di alam pikiran masyarakat. Wujud kedua adalah sistem
sosial mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sifatnya kongkrit,
bisa diobservasi. Wujud ketiga adalah kebudayaan fisik yang bersifat paling
kongkrit dan berupa benda yang dapat diraba dan dilihat Ketiga wujud dari
kebudayaan di atas dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak terpisah satu
dengan yang lain.
Bentuk-bentuk budaya daerah itu dapat berupa : (a) cerita daerah
dengan nilai-nilai yang terdapat pada cerita daerah seperti nilai kepatuhan dan
penghormatan pada orang tua dalam cerita Malin Kundang, nilai emansipasi
wanita dalam cerita Roro Mendut, nilai kesetiaan seorang istri dalam cerita
Banyuwangi, (b) Tari-tarian dengan nilai-nilai yang terdapat padaseni tari
seperti Kepahlawan, kelincahan, kegesitan, dan semangat serta nilai spiritual,
(c) Tembang atau lagu-lagu daerah yang berisi nilai religius seperti Ilir-ilir, (d)
Permainan yang mengandung Kelenturan, kecermatan, kegesitan, dan
kebersamaan (e) seni pertunjukan yang mengandung nilai tuntunan dan
ketuhanan, heroisme, dan keindahan, dan (f) Kebiasaan atau tradisi setempat
yang mengandung nilai-nilai keselarasan, keserasian dan keseimbangan.
Begitu pula halnya dengan pakaian daerah sebagai kulit sosial dari
kebudayaan kita. Pakaian adalah perpanjangan tubuh yang menghubungkan
sekaligus memisahkan antara tubuh dan dunia luar.
Konteks Pendidikan Berbasis Budaya
Ketika reformasi yang telah digulirkan sekian tahun belum mampu
membuahkan hasil maksimal, maka dapat dikatakan kegagalan pendidikan
menciptakan masyarakat cerdas sebagai penyebab akan hal itu. Bahkan ketika
saat ini kita masih berdiskusi tentang pendidikan, dapat dikatakan bahwa hal
itu sebagai dampak ketika selama ini pendidikan belum mampu meciptakan
sumberdaya manusia yang cerdas yang dapat merumuskan sistem pendidikan
yang ideal untuk indonesia.
Melihat beberapa fakta di atas dan memandang out put pendidikan saat
ini, dapat disimpulkan bahwa harus ada reformasi pendidikan di indonesia.
Reformasi sangat penting sebelum paradigma yang salah semakin menguasai
sistem pendidikan di indonesia. Konstitusi mengamanatkan bahwa salah satu
tujuan bangsa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu
pendidikan harus diarahkan untuk mampu mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagai perwujudan dari cita-cita negara itu. Secara demografis, besarnya
jumlah penduduk di Indonesia seharusnya sebagai aset yang menjadi
kelebihan dibanding negara lain. Seandainya penduduk dengan jumlah yang
besar itu merupakan sumberdaya manusia yang unggul dan berbudaya, maka
kemajuan pun akan menjadi milik bangsa ini.
Integrasi Pendidikan dan Kebudayaan
Kebudayaan adalah unsur fundamental dalam pengembangan
pendidikan secara utuh. Pendidikan yang baik tidak serta merta hanya
mengembangkan intelektualitas tetapi yang terpenting intelektualitas yang
berbudaya. Sejak didirikannya negara ini, para founding fathers telah
memperhitungkan bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana untuk
melihat ragam budaya nasional, sehingga merevitalisasi pendidikan harus
memasukkan unsur-unsur nilai budaya yang menjadi penopang kualitas
pendidikan.
Di Indonesia, eksperimen terhadap pendidikan yang ada selama ini
dibajak dari standar global yang senyata telah membabibutakan penerapan
pendidikan yang meninggalkan nilai-nilai keaslian budaya lokal. Keaslian
pendididikan yang berbudaya termarjilkan akibat harus mengikuti standar-
standar global. Kehadiran sistem baru dalam pendidikan yang terbangun
lebih banyak memberikan efek samping yang kurang baik dibandingkan
dari manfaatnya, sehingga masalah kompleksitas peningkatan kualitas
pendidikan saat ini adalah masalah yang hanya berorientasi pada
pengejaran standar global, sehingga kecenderungan pendidikan terstigma
oleh pengejaran angka semata.
Para ahli antropologi seperti Theodore Brameld melihat keterkaitan
yang sangat erat antara pendidikan, masyarakat, dan kebudayaan. Antara
pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti
keduanya berkenan dengan suatu hal yang sama yaitu nilai-nilai. Di dalam
rumusan mengenai kebudayaan, telah menjalin ketiga pengertian: manusia,
masyarakat, budaya, sebagai tiga dimensi dari hal yang bersamaan. Oleh
sebab itu, pendidikan tidak dapat terlepas dari kebudayaan dan hanya
dapat terlaksana dalam suatu masyarakat.
Apabila kebudayaan mempunyai tiga unsur penting yaitu
kebudayaan sebagai suatu tata kehidupan (order), kebudayaan sebagai
suatu proses, dan kebudayaan yang mempunyai suatu visi tertentu (goals),
maka pendidikan dalam rumusan tersebut adalah sebenarnya proses
pembudayaan. Dengan demikian tidak ada proses suatu pendidikan tanpa
kebudayaan dan tanpa masyarakat, dan sebaliknya tidak ada suatu
kebudayaan dalam pengertian suatu proses tanpa pendidikan, dan proses
kebudayaan dan pendidikan hanya dapat terjadi dalam hubungan antar
manusia di dalam suatu masyarakat tertentu. Betapa suatu kebudayaan
tanpa adanya proses pendidikan berarti kemungkinan kebudayaan tersebut
punah. Pendidikan yang terlepas dari kebudayaan akan menyebabkan
alienasi dari subjek yang dididik.
Kebudayaan untuk Pendidikan
Kebudayaan yang menjadi roh pendidikan adalah kebudayaan
dalam tataran nilai. Kebudayaan tersebut bukanlah kebudayaan yang statis,
namun responsif-evaluatif dengan unsur yang terkandung di dalamnya.
Koentjaraningrat merumuskan tujuh unsur kebudayaan: sistem religi dan
upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem
teknologi dan peralatan.
Dengan demikian memisahkan pendidikan dari kebudayaan
merupakan suatu kebijakan yang merusak perkembangan kebudayaan
sendiri, malahan mengkhianati keberadaan proses pendidikan sebagai
proses pembudayaan. Nilai-nilai budaya yang menjadi roh pendidikan
merupakan nilai luhur yang telah hidup di msyarakat. Di sana terdapat
pesan hidup, pesan moral sehingga tercipta masyarakat yang berkarakter.
Unsur universal dan nilai budaya terdapat dalam bahasa, teknologi,
organisasi sosial, sistem pengetahuan dan kesenian. Di bidang teknologi
misalnya, kita dapat melihat peninggalan-peninggalan sejarah dan
arsitektur tradisional seperti berbagai rumah adat. Organisasi sosial dapat
kita lihat di dalam organisasi yang masih hidup seperti sistem subak di
Bali. Di dalam bidang kesenian misalnya terdapat berbagai tekstil seperti
batik.
Apabila kebudayaan menjadi roh pendidikan, maka pendidikan pun
akan mampu menjawab permasalahan dalam masyarakat karena yang
dipelajari bersumber dari masyarakat itu sendiri. Misalnya saat ini untuk
menentukan cara becocok tanam yang baik di Indonesia kita malah
mengadopsi teori pertanian dari Jepang yang belum tentu sesuai dengan
keadaan di indonesia.
Pendidikan untuk Kebudayaan
Ketika pendidikan diintegrasikan dengan kebudayaan maka
terdapat manfaat timbal balik. Misalnya pendidikan mengajarkan nilai-
nilai budaya dalam seni budaya seperti tarian, dongeng dan lain
sebagainya maka secara otomatis tindakan tersebut juga sebagai salah satu
bentuk pelestarian budaya.
Implementasi Pendidikan Berbasis Budaya
Konsep pendidikan berbasis budaya adalah pendidikan yang
diselenggarakan untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang diperkaya
dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasar nilai-nilai luhur
budaya agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi diri
sehingga menjadi manusia yang unggul, cerdas, visioner, peka terhadap
lingkungan dan keberagaman budaya, serta tanggap terhadap perkembangan
dunia.
Standar mutu pendidikan berbasis budaya mencakup: standar isi;
standar proses; standar kompetensi lulusan; standar pendidik dan tenaga
kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar
pembiayaan; dan standar penilaian pendidikan.
Standar Isi
Standar isi: memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan
berbasis budaya yang mengintegrasikan muatan nilai luhur budaya
dengan ilmu pengetahuan, pendidikan, teknologi, humaniora, kesenian,
olahraga dan kegiatan sosial.
Standar Proses
Standar proses: mengedepankan partisipasi aktif peserta didik dengan
memperhatikan keunikan pribadi, nilai kebebasan berkreasi,
kesopanan, ketertiban, kebahagiaan, kebersamaan, keadilan, dan saling
menghormati.
Standar Kompetensi Lulusan
Standar kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Ketentuan lebih lanjut mengenai sikap, pengetahuan,
dan keterampilan diatur dengan Peraturan Gubernur.
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar pendidik dan tenaga kependidikan: memenuhi prinsip
profesionalitas dan memahami nilai luhur budaya; wajib
mengembangkan pemahaman dan menerapkan nilai luhur budaya.
Pendidik dan tenaga kependidikan yang tidak melaksanakan kewajiban
mengembangkan pemahaman dan menerapkan nilai luhur budaya
dikenai sanksi administratif.
Standar Sarana dan Prasarana
Standar sarpras: meliputi Standar Nasional Pendidikan sebagai standar
pelayanan minimal ditambah dengan sarana dan prasarana untuk
mendukung terlaksananya pendidikan berbasis budaya. Penyediaan
sarpras merupakan tanggung jawab Pemda untuk mendukung
terlaksananya pendidikan berbasis budaya pada: rintisan sekolah
bertaraf internasional; sekolah bertaraf internasional; dan pendidikan
khusus. Pemda membantu penyediaan sarana dan prasarana untuk
mendukung terlaksananya pendidikan berbasis budaya. Pemda
melaksanakan pengawasan terhadap bantuan sarana dan prasarana.
Standar Pengelolaan Pendidikan
Standar Pengelolaan Pendidikan: Standar pengelolaan pendidikan
digunakan untuk kerangka dasar tata kelola pendidikan di jalur formal,
nonformal dan informal berbasis budaya. Pengelolaan satuan
pendidikan jalur formal dilakukan melalui jenjang pendidikan dasar
dan menengah dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah.
Pengelolaan satuan pendidikan jalur nonformal dilakukan dengan
menerapkan manajemen berbasis masyarakat. Pengelolaan pendidikan
informal dikelola secara mandiri oleh keluarga dan/atau lingkungan
masyarakat.
Standar Pembiayaan
Standar pembiayaan terdiri atas biaya investasi, biaya operasional dan
biaya personal. Pemda bertanggung jawab terhadap pembiayaan untuk
mendukung terlaksananya pendidikan layanan khusus sesuai dengan
kewenangannya. Pemda membantu pembiayaan untuk mendukung
terlaksananya pendidikan berbasis budaya pada satuan pendidikan di
jalur formal, nonformal, dan informal yang diselenggarakan
masyarakat. Pemda melaksanakan pengawasan terhadap bantuan
pembiayaan.
Standar Penilaian
Standar Penilaian: Penilaian pendidikan meliputi: mekanisme;
prosedur; dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian
dilaksanakan dengan pendekatan evaluasi berkesinambungan dan
evaluasi otentik dengan menggunakan berbagai metode. Evaluasi
berkesinambungan adalah evaluasi hasil belajar yang diikuti dengan
tindak lanjutnya, data hasil evaluasi belajar dimanfaatkan sebagai
bahan untuk menyempurnakan program pembelajaran, memperbaiki
kelemahan-kelemahan pembelajaran, dan kegiatan bimbingan belajar
pada peserta didik yang memerlukannya.
Evaluasi otentik adalah evaluasi yang berbasis kompetensi, peserta
didik bisa dikatakan belajar dengan benar dan baik bila sudah bisa
mengimplementasikan hasil belajar dan mengaplikasikan
keterampilannya dalam kehidupan sehari-hari. Fokus pelaksanaan
evaluasi otentik antara lain: mengevaluasi kemampuan peserta didik
untuk menganalisis materi pembelajaran dan kejadian di sekitarnya,
mengevaluasi kemampuan peserta didik untuk mengintegrasikan apa
yang telah dipelajari, kreativitas, kemampuan kerja sama, dan
kemampuan mengekspresikan secara lisan dan praktik.
Beberapa Petunjuk
Pengajaran Materi Multikultural
Empat belas petunjuk berikut didesain untuk membantu Anda dengan lebih
baik dalam mengintegrasikan isi tentang kelompok etnis ke dalam perencanaan dan
pelaksanaan sekolah dan mengajar secara efektif dalam lingkungan multikultural.
Anda, guru, adalah variabel yang amat penting dalam mengajarkan materi etnis. Jika Anda
memiliki pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diperlukan, saat Anda menghadapi materi
rasis di dalam bahan pelajaran atau mengobservasi rasisme dalam pernyataan dan perilaku siswa,
Anda dapat menggunakan situasi ini untuk mengajarkan pelajaran penting tentang pengalaman
kelompok etnis tertentu.
Pengetahuan tentang kelompok etnis diperlukan untuk mengajarkan materi etnis secara efektif.
Baca paling sedikit satu buku utama yang mensurvei sejarah dan budaya kelompok etnis.
Sensitiflah dengan sikap, perilaku rasial Anda sendiri dan pernyataan yang Anda buat sekitar
kelompok etnis di kelas. Pernyataan seperti ”Duduk seperti seorang Indian” sebagai stereotipe
Amerika Asli. Duduk “bersimpuh seperti orang Jawa”.
Yakinkan bahwa kelas Anda membawa citra positif tentang berbagai kelompok etnis. Anda
dapat melakukan ini dengan menayangkan majalah dinding, poster, dan kalender yang
memperlihatkan perbedaan rasial dan etnis dalam masyarakat.
Sensitiflah terhadap sikap rasial dan etnis dari siswa Anda dan jangan menerima keyakinan
bahwa “anak-anak tidak melihat ras, kelompok kaya/miskin, warna kulit.” Karena hal ini
disangkal oleh riset. Semenjak riset pemula oleh Lasker pada tahun 1929, peneliti telah
mengetahui bahwa anak yang muda sekali sadar akan perbedaan rasial dan bahwa mereka
cenderung menerima penilaian atas berbagai kelompok ras yang normatif dalam masyarakat luas.
Jangan mencoba mengabaikan perbedaan ras dan etnis yang Anda lihat; cobalah merespon
perbedaan ini secara positif dan sensitif.
Bijaksanalah dalam pilihan Anda dan dalam menggunakan materi pelajaran. Sebagian materi
mengandung stereotipe yang halus maupun mencolok atas kelompok etnis. Menjelaskan pada
siswa kalau suatu kelompok etnis distereotipkan, diabaikan dari, atau menggambarkan materi
dari sudut pandang tertentu.
Gunakan buku, film, videotipe, dan rekaman yang dijual di pasaran untuk pelengkap buku teks
dari kelompok etnis dan menyajikan perspektif kelompok etnis pada siswa Anda. Beberapa
sumber ini mengandung gambaran yang kaya dan kuat atas pengalaman dari orang kulit
berwarna.
Berikan sentuhan warisan budaya dan etnis Anda sendiri. Dengan berbagi kisah etnis dan budaya
dengan siswa, Anda akan menciptakan iklim berbagai di kelas, akan membantu memotivasi
siswa mendalami akar budaya dan etnis dan akan menghasilkan pembelajaran yang kuat bagi
siswa Anda.
Sensitiflah dengan kemungkinan sifat kontroversial dari sebagian materi studi etnis. Jika Anda
telah jelas dan paham tentang tujuan pengejaran, Anda dapat menggunakan buku yang kurang
kontroversial untuk mencapai utujuan yang sama.
Sensitiflah dengan tahap perkembangan dari siswa Anda jika Anda memilih konsep, mater, dan
aktivitas yang brkaitan dengan kelompok etnis. Konsep dan aktivitas belajar bagi anak TK dan
SD seharusnya spesifik dan kongkrit. Siswa di sekolah dasar seharusnya diajari konsep seperti
persamaan, perbedaan, prasangka, dan diskriminasi daripada konsep yang lebih tinggi seperti
rasisme dan penjajahan. Visi dan biografi merupakan wahana yang bagus untuk
memperkenalkan konsep ini pada siswa di teman kanak-kanak dan sekolah dasar. Kita bisa
kenalkan bagaimana seorang yang memiliki kekurangan dalam segi pendengaran dan terkucilkan
dari lingkungan seperti Thomas Alfa Edison mampu menghasilkan karya yang spektakuler.
Siswa berkembang berangsurangsur, mereka dapat dikenalkan konsep, contoh, dan aktivitas
yang lebih kompleks.
Memandang siswa kelompok minoritas Anda sebagai pemenang. Beberapa siswa kulit berwarna
mencapai tujuan karier dan akademis yang tinggi. Mereka membutuhkan guru yang meyakini
bahwa mereka dapat berhasil dan berkemauan untuk membantu keberhasilan mereka. Baik riset
maupun teori menunjukkan bahwa siswa lebih mungkin mencapai prestasi akademis tinggi jika
guru mereka memiliki harapan akademis yang tinggi untuk siswasiswanya.
Ingatlah bahwa orang tua dari siswa berkulit berwarna amat berminat dalam pendidikan dan
ingin anak-anak mereka berhasil secara akademis sekalipun orang tua mereka terpinggirkan dari
sekolah. Jangan menyamakan pendidikan dengan persekolahan. Sebagian orang tua orang tua
yang inin anak-anak mereka berhasil memiliki perasaan yang bersatu tentang sekolah. Mencoba
memperoleh dukungan dari orang tua dan menjadikan mereka partner dalam pendidikan bagi
anak-anak mereka.
Gunakan teknik belajar yang kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan integrasi ras
dan etnis di sekolah dan di kelas. Riset menunjukkan bahwa jika kelompok belajar itu
terintegrasi secara rasial, siswa mengembangkan lebih banyak teman dari kelompok rasial yang
lain, dan hubungan rasial di sekolah diperbaiki.\
Yakinkan bahwa permainan sekolah, pemandu sorak, publikasi sekolah kelompok informal dan
formal yang lain terintegrasi secara rasial. Juga yakinkan bahwa berbagai kelompok etnis dan
rasial memiliki status yang sama di penampilan dan presentasi sekolah. Dalam sekolah
multirasial, jika semua pemegang peran pembimbing di sekolah diisi oleh karakter Kulit putih,
pesan penting dikirimkan pada siswa dan orang dari siswa kulit berwarna betapa pun pesan itu
diintensifkan atau tidak.
Hernandes (1989) memberi petunjuk pada guru dalam memilih materi dan proses
pendidikan multkultural. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan materi dan
proses pembelajaran pendidikan multikultural adalah sebagai berikut.
Penting mengemukakan alasan politik, sosial, pendidikan dan ekonomi untuk mengenalkan
bangsa sebagai masyarakat yang beraneka ragam secara budaya.
Pendidikan Multikultural untuk semua siswa.
Pendidikan Multikultural sinonim dengan pengajaran efektif.
Pengajaran adalah pertemuan multi dan lintas budaya.
Sistem pendidikan tidak melayani semua siswa sama baiknya.
Pendidikan Multikultural (seharusnya) sinonim dengan inovasi dan reformasi pendidikan.
Yang terdekat dengan orang tua (terutama pemberi perhatian) adalah guru. Guru merupakan
salah satu faktor terpenting dalam hidup siswa.
Interaksi kelas antara guru dan siswa merupakan bagian utama dari proses pendidikan dari
sebagian besar siswa.
Prinsip-prinsip dalam Menyeleksi Materi Pokok Bahasan
Dari Gordon dan Robert mengajukan sejumlah prinsip yang menjadi dasar
dalam menyeleksi materi pokok adalah sebagai berikut.
Seleksi materi pokok bahasan seharusnya mencantumkan hal-hal kultural. Didasarkan pada
keilmuan masa kini. Keinklusifan ini seharusnya berhubungan dengan pendapat yang berbeda
dan interpretasi yang beragam.
Materi pokok bahasan yang diseleksi untuk dicantumkan seharusnya merepresentasikan
keberagaman dan kesatuan di dalam dan lintas kelompok.
Materi pokok bahasan yang diseleksi untuk dicantumkan seharusnya berada dalam konteks
waktu dan tempat.
Materi pokok bahasan yang diseleksi untuk dicantumkan seharusnya dapat memberikan prioritas
untuk memperdalam di samping keluasan.
Perspektif multi budaya seharusnya dimasukkan di dalam keseluruhan kurikulum.
Materi pokok bahasan yang diseleksi untuk dicantumkan seharusnya diperlakukan sebagai
konstruk sosial dan oleh karena itu tentatif seperti halnya seluruh pengetahuan.
Pokok bahasan seharusnya menggambarkan dan tersusun berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan yang dialami siswa untuk dibawa ke kelas.
Pedagogik seharusnya berkaitan dengan sejumlah cara belajar mengajar interaktif agar
menambah pengertian, pengujian kontraversi dan saling belajar

Anda mungkin juga menyukai