NASKAH PUBLIKASI
untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S-2
Program Studi Arkeologi
Kelompok Bidang Ilmu Humaniora
diajukan oleh:
YADI MULYADI
07/259852/PSA/1819
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009
NASKAH PUBLIKASI
1. Pendahuluan
Tinggalan arkeologi selain memiliki potensi sumberdaya arkeologi, juga
potensi sebagai sumberdaya budaya yang mempunyai kedudukan sama dengan
sumberdaya lain sebagai salah satu modal pokok dalam pembangunan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Kusumahartono, 1995).
Di sisi lain, sumberdaya budaya memiliki tingkat keterancaman yang
tinggi baik itu berupa kerusakan ataupun musnah. Begitupun dengan
konteksnya, jika sebuah tinggalan arkeologis kehilangan konteks maka tidak
dapat memberikan informasi apa-apa. Oleh karena itu, sebagai sumberdaya
budaya,
tinggalan
arkeologis
perlu
dikelola
untuk
dipertahankan
dalam
rangka
pelestarian
sumberdaya
budaya.
Dalam
2. Rumusan Masalah
Pengelolaan sumberdaya budaya di Kawasan Sulaa memiliki kaitan erat
dengan ruang yang mengandung pengertian sebagai wadah yang meliputi ruang
daratan, lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah. Ruang itu terbatas
dan jumlahnya relatif tetap, berbeda dengan aktivitas manusia dan perkembangan
penduduk memerlukan ruang yang bertambah setiap hari. Hal ini mengakibatkan
kebutuhan akan ruang semakin tinggi (Dardak, 2006).
Demikian pula dalam pengelolaan sumberdaya budaya, kebutuhan ruang
pun menjadi hal yang tak terelakan. Tidak menutup kemungkinan kebutuhan akan
ruang pun dapat terjadi di KCB Sulaa, sehingga penataan ruang yang tepat,
dibutuhkan dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya budaya di kawasan ini.
Perbedaan kepentingan akan ruang yang mungkin saja terjadi di kawasan ini perlu
segera diantisipasi, sehingga seluruh kepentingan akan ruang baik sebagai
kawasan cagar budaya maupun kawasan wisata tetap dapat terakomodir.
Berkaitan dengan permasalahan ruang ini, Undang-Undang Dasar 1945
dalam Pasal 33 ayat (3), menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal tersebut semakin menegaskan
pentingnya pengelolaan ruang karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi,
terpadu, dan berkelanjutan. Hal ini selaras dengan konsep pengelolaan
sumberdaya budaya yang juga menitikberatkan pada pelestarian, keterpaduan, dan
keberlanjutan.
Pelestarian
dipahami
sebagai
upaya
pengelolaan,
perlindungan,
beragam
kepentingan
termasuk
membuka
ruang untuk
yang dilakukan dalam bentuk integrasi data dari mass media dan perolehan data
di lapangan.
Untuk temuan keramik dilakukan analisis teknologi yang meliputi motif
hias, teknik glasiran, dan bahan. Metode Delphi digunakan pula dalam
menentukan asal keramik. Sumberdaya budaya yang menjadi salah satu data yang
dianalisis dalam penelitian ini mencakup semua hal yang berkaitan dengan
peradaban manusia, baik bersifat tangible maupun intangible, yang diteruskan
dari generasi ke generasi (Pearson dan Sullivan, 1995). Sedangkan analisis
lansekap, memfokuskan pada bentanglahan KCB Sulaa. Analisis lansekap yang
dimaksudkan dalam penelitian ini akan meliputi lansekap sebagaimana yang
diuraikan oleh Bintarto yang meliputi: Lansekap Alami, Lansekap Fisik, Lansekap
Sosial, Lansekap Ekonomi, dan Lansekap Budaya.
Hasil dari kegiatan tersebut dijadikan pijakan untuk menentukan delienasi
KCB Sulaa serta menjadi dasar untuk evaluasi pengelolaan kawasan Pantai
Nirwana. Akhirnya diperoleh data yang dapat dipergunakan untuk merumuskan
model pengelolaan sumberdaya budaya di KCB Sulaa. Model pengelolaan ini
diharapkan dapat mengakomodasi berbagai informasi potensi sumberdaya budaya
dalam satu keterpaduan dan sinerji dengan kepentingan berbagai sektor. Dengan
demikian, diharapkan rekomendasi yang dihasilkan dapat menjadi solusi tidak
hanya bagi masyarakat Sulaa secara khusus, namun juga bagi pihak-pihak lain
pada umumnya.
5. Potensi Sumberdaya Budaya Kawasan Sulaa
Kawasan Sulaa, secara administratif termasuk dalam wilayah Kel. Sulaa dan
Katobengke, yang merupakan wilayah Kec. Betoambari Kota Bau-Bau. Kawasan
ini, terletak di selatan Kota Bau-Bau, berhadapan langsung dengan Selat Buton.
Letaknya yang berada di tepi pantai, menjadikan kawasan ini memiliki lansekap
yang khas dan unik berupa lansekap laut, pantai dan karst yang memanjang di
bagian utara dan selatan Pantai Nirwana.
Dalam perjalanan sejarahnya, Kota Bau-Bau pernah menjadi ibukota
Kesultanan Buton. Pada masa itu, Bau-Bau merupakan pelabuhan yang cukup
ramai dikunjungi para pedagang karena posisinya yang sangat penting dalam jalur
pelayaran dan perdagangan. Bau-Bau menjadi pelabuhan transit bagi kapal-kapal
yang berlayar dari wilayah timur menuju barat dan sebaliknya. Schoorl (2003),
menyatakan bahwa Kesultanan Buton berperan penting dalam jalur perdagangan
pada abad 15-18 yang disinggahi kapal-kapal dari Asia dan Eropa.
Pada abad ke-16, Buton mengalami perubahan sistem pemerintahan dari
kerajaan ke kesultanan dengan basis agama Islam. Raja Lakilaponto yang bergelar
Murhum Khalifatul Hamis (1538-1584) yang merupakan
menjadi Sultan Buton yang pertama. Pada tahun 1960, Kesultanan Buton yang
berusia lebih dari empat abad ini dihapuskan. Kejadian tersebut hanya berselang
beberapa bulan setelah Sultan Muhammad Falihi wafat. Sejak saat itu, berakhir
pula masa kekuasaan kesultanan di Buton, wilayahnya kemudian bergabung
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam cerita rakyat Buton, keberadaan Sulaa tidak dapat dilepaskan dari
sejarah datangnya Mia Patamiana dari Melayu. Orang Buton menyebutnya
Mancuana Patamiana yang berarti Orang Tua Berempat, terdiri dari Sipanjonga,
Simalui, Sijawangkati dan Sitamanajo. Menurut cerita rakyat tersebut, Sipanjonga
mendarat di pesisir pantai di daerah Buton, kemudian membuat lubang pada batu
untuk menancapkan tiang guna mengibarkan bendera leluhurnya. Proses membuat
lubang tersebut dinamakan dengan menusuk atau menancapkan yang dalam
bahasa Wolio disebut dengan kata Sulaa. Oleh karena itu, tempat di mana
Sipanjonga mendarat pertama kalinya di Pulau Buton dinamakan Sulaa yang kini
menjadi nama salah satu Kel. di wilayah Kec. Betoambari.
Sulaa yang terletak di pesisir pantai, sangat kental dengan aktivitas
kemaritiman. Sebagian besar penduduk merupakan nelayan dan petani rumput
laut. Selain itu, masyarakat Sulaa tepatnya di lingkungan Topa mengandalkan ojek
laut yang disebut dengan pook-pook sebagai salah satu pekerjaan sehari-hari untuk
menambah penghasilan keluarga. Di samping digunakan sebagai pengangkutan
orang, ojek laut juga difungsikan untuk mengangkut barang-barang kebutuhan
hidup. Sulaa dikenal juga
Aktivitas ini dilakukan oleh kaum perempuan, terutama dari kalangan orang tua,
dengan produk berupa sarung Buton yang dikenal sebagai produk khas pulau
Buton.
Di sebelah selatan Kel. Sulaa, terdapat Pantai Nirwana sebagai salah satu
objek wisata pantai di Kota Bau-Bau. Sebelum dijadikan objek wisata, kawasan
ini pada awalnya bernama pantai Lombe. Baru pada tahun 1970-an ditetapkan
menjadi objek wisata pantai yang diberi nama Pantai Nirwana. Setelah ditetapkan
menjadi objek wisata, Pemkot Bau-Bau melakukan penataan di kawasan Pantai
Nirwana berupa pembuatan sarana dan prasarana penunjang. Saat ini kondisinya
rusak dan ditelantarkan, sehingga pos penjagaan dan gerbang pintu masuk rusak
berat, akibatnya kenyamanan pengunjung terganggu.
Kawasan Sulaa selain memiliki objek wisata Pantai Nirwana juga
mengandung potensi sumberdaya budaya yang beragam. Sumberdaya budaya
tersebut meliputi Situs Cagar Budaya (SCB), Tradisi dan Adat Istiadat (TDA),
Ritual Keagamaan (RKK), dan Kerajinan Tradisional (KTR). Terdapat tiga SCB
di kawasan ini, yaitu Gua Moko, Makam Kuno Betoambari, dan Kasulana Tombi
Sipanjonga yang merupakan lubang bekas tiang bendera Sipanjonga. Ritual
keagamaan, terdiri dari ritual Pakandeana Anana Maelu, Sumpuana Uwena
Syafara, Gorana Oputa, Mauluduna Hukumu, Haroa Rajabu, dan Nisifu Syabani.
Kerajinan tradisional berupa kain tenun khas Buton, dengan motif hiasnya
terinspirasi oleh warna buah dan bunga. Hal unik, adalah motif kain tenun Buton
berhubungan erat dengan kehidupan agraris bukan bahari.
Keberadaan sumberdaya budaya di kawasan Sulaa, ditunjang pula dengan
kondisi lansekap kawasan yang khas, berupa daerah pesisir, laut dan gugusan
karst. Mengacu pada pembagian lansekap oleh Bintarto (1991), uraian lansekap
KCB Sulaa meliputi Lansekap Alami, Lansekap Fisik, Lansekap Sosial, Lansekap
Ekonomi, dan Lansekap Budaya. Keberadaan sumberdaya budaya di Sulaa
dengan kandungan nilai pentingnya yang tinggi dan lansekapnya yang unik,
adalah faktor utama untuk menjadikan kawasan ini sebagai KCB.
6. Analisis Data
Analisis data meliputi analisis sumberdaya budaya, analisis lansekap, dan
analisis tekstual, yaitu perbandingan antara data media dengan perolehan data di
lapangan. Diuraikan pula evaluasi pengelolaan kawasan wisata Pantai Nirwana
serta isu kepemilikan lahan dan pemanfaatannya untuk pariwisata.
Analisis tekstual difokuskan pada data dari media dan data lapangan
mengenai temuan keramik kuno di Gua Moko. Data dari media ternyata tidak
semuanya sesuai dengan perolehan data di lapangan. Analisis sumberdaya budaya
adalah tahapan untuk menentukan nilai penting sumberdaya budaya yang terdapat
di Kawasan Sulaa. Kriteria nilai penting mengacu pada pasal 1 UU BCB No. 5
tahun 1992, yaitu nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Kriteria tersebut masih bersifat umum, sehingga diperlukan penjabaran setiap
kriteria untuk memudahkan dalam analisis nilai penting sumberdaya budaya
(Lihat Tabel 1. Kriteria Nilai Penting Sumberdaya Budaya di Kawasan Sulaa).
Hasil analisis nilai penting, menjadi dasar untuk menentukan tahapan dalam
pengelolaan sumberdaya budaya tersebut.
Tabel 1. Kriteria Nilai Penting Sumberdaya Budaya di Kawasan Sulaa
1
2
3
4
5
1
2
3
4
1
2
Nilai Penting
Ilmu
Sejarah
Kebudayaan
Pengetahuan
3
3
2
2
4
3
Jumlah
Kriteria
66,7
75
75
12
100
66,7
58,3
ekonomi,
kehutanan,
berkaitan
dengan
pertambangan,
usaha
pengelolaan
pertanian,
air,
dan
pariwisata.
2. Nilai
ilmiah,
berkaitan
dengan
ilmu-ilmu
kebumian,
unsur-unsur
spiritual,
dan
agama
atau
kepercayaan.
Berdasarkan data lapangan, kawasan karst di Sulaa memiliki kriteria yang
tercantum dalam nilai penting strategis di atas. Hal ini, membuka peluang bagi
para ahli untuk melakukan kajian yang lebih mendalam di Sulaa. Keberadaan
Gua Moko di lansekap karst Sulaa, dengan bentukannya yang khas serta
keanekaragaman biota gua (biospeleologi) menjadi daya tarik lain pada sebuah
gua. Secara umum, flora gua relatif lebih langka dibandingkan dengan faunanya.
Mengacu pada pemaparan di atas, kawasan karst di Sulaa
dapat dikatagorikan sebagai kawasan karst kelas 1, Dengan
demikian, Kawasan Sulaa dengan lansekap karstnya memiliki nilai penting yang
tinggi, sehingga diperlukan upaya-upaya perlindungan dan pelestarian kawasan
karst. Upaya perlindungan dan pelestarian kawasan karst yang tepat dapat
memberikan implikasi yang baik bagi pengelolaan sumberdaya budaya di
Kawasan Sulaa. Hal ini, menjadi bagian dari pengelolaan Sulaa sebagai KCB di
Kota Bau-Bau.
bahwa
pengelolaan
yang
dilakukan
belum
maksimal.
PEMANFATAAN
RUANG
PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG
situs,
sedangkan
pengelolaannya
berdasarkan
pada
manajemen
sumberdaya budaya yang berbasis pada penataan ruang dan bersifat integratif.
Ketiga SCB merupakan situs baru yang belum dilakukan pengelolaan.
Langkah awal yang dilakukan adalah identifikasi sumberdaya budaya serta
penentuan mintakat/zoning situs yang meliputi zona inti, zona penyangga dan
zona pengembangan terbatas. Untuk itu,
Pengelolaan
terhadap
sumberdaya
budaya
ini
dilakukan
dengan
memanfaatkan ruang pada zona pengembangan, termasuk dalam hal ini di area
pemukiman masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dilibatkan secara aktif
dalam menyajikan tradisi, adat istiadat, dan atraksi kerajinan tenun tradisional
secara langsung. Secara umum, dalam pengelolaannya mengacu pada prinsipprinsip manajemen sumberdaya budaya dan pendekatan perencanaan yang bersifat
sustainable culture resource management, pelestarian dinamis, keserasian tata
ruang dan ekologi, serta sustainable visitor management (Nuryanti, 2008).
8. Kesimpulan
Pengelolaan sumberdaya budaya tidak dapat dilepaskan dari konteks
kawasan, sehingga tidak lagi dipandang sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri,
tetapi melekat pada konteks yang lebih luas yaitu kawasan. Dengan demikian,
sebaran sumberdaya budaya yang meliputi BCB, SCB dan sumberdaya budaya
lainnya yang berada dalam satu ruang merupakan sebuah KCB. Oleh karena itu,
pendekatan kawasan yang berbasis pada penataan ruang, dapat menjadi solusi
alternatif untuk model pengelolaan KCB, termasuk Kawasan Sulaa.
Kawasan Sulaa yang merupakan daerah pesisir pantai, memiliki beragam
sumberdaya budaya. Bentanglahan Sulaa yang meliputi daerah pesisir pantai dan
gugusan karst, telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai area pemukiman
dengan pola yang mengikuti alur gugusan karst. Bentuk pemanfaatan ruang ini
memperlihatkan kearifan lokal masyarakat Sulaa terhadap lingkungannya.
Demikian pula, bentuk rumah di Sulaa yang berupa rumah panggung yang
dibangun dengan mempergunakan material kayu lokal, merefleksikan kesadaran
masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam.
Selain untuk pemukiman, masyarakat pun telah memanfaatkan ruang laut di
kawasan ini sebagai sumber mata pencahariannya baik dalam bentuk penangkapan
ikan laut maupun budidaya rumput laut. Aktivitas kemaritiman terutama
penangkapan ikan, sudah berlangsung sejak masa Kesultanan Buton. Bahkan di
wilayah pantai ini, yaitu Pantai Lombe-yang kini menjadi Pantai Nirwana-pada
masa lalu merupakan pasar tradisional, di mana nelayan melakukan transaksi
barter hasil tangkapan ikan dengan sayuran yang dibawa oleh masyarakat dari
daerah pegunungan. Dengan demikian, telah terjadi pemanfaatan ruang yang
terkait dengan aktivitas perekonomian.
Di awal tahun 1960-an, kawasan Pantai Lombe yang memiliki panorama
alam indah dijadikan objek wisata Pantai Nirwana oleh Pemkab Buton yang
kemudian
dilanjutkan
oleh
Pemkot
Bau-Bau
sampai
sekarang.
Selain
9. Saran
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dalam pelaksanaan pengelolaan KCB
Sulaa perlu ditunjang dengan kegiatan yang berdampak positif pada pelestarian
budaya di kawasan tersebut. Kegiatan yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
a.
Pelaksanaan
studi
kelayakan
yang
komperhensif,
termasuk
Membuat
batasan
wilayah
pengelolaan
yang
jelas,
dengan