Anda di halaman 1dari 27

PROFIL KARANGKITRI

1. SECARIK CERITA

Seiring perkembangan jaman, adaptasi laku hidup manusia perlahan mengalami pergeseran.
Modernisasi, yang ditandai dengan masifnya perkembangan teknologi menawarkan berbagai
kemudahan dan kecepatan gerak sedikit banyak telah mengubah relasi sosial dan membuka gap
transfer pengetahuan lokal turun temurun yang selama ini lekat dalam praktek kehidupan khas
desa. Sikap ‘tepo sliro’ dan ilmu ‘titen’ yang yang menyandarkan pada sikap saling menghormati
dan melihat kecenderungan alam menjadi corak khas masyarakat agraris. Sebagai contoh,
masyarakat agraris di zaman dahulu (juga masyarakat Kalurahan Panggungharjo) dalam
bercocok tanam berpedoman pada yang namanya pranata mangsa. Sistem kalender jawa ini
kerap digunakan para petani untuk menentukan aktivitas mereka di lahan seturut dengan kondisi
alam (musim). Sederhananya, penentuan hitung kalender pranata mangsa bertujuan agar petani
dalam proses merawat padi untuk ketahanan pangan, tidak mengalami kegagalan/ kerugian.

Penjagaan kelestarian alam dan hubungan antar manusia tersebut tentunya menyandar pada
penghormatan atas Sang Pencipta. Trilogi kebudayaan manusia (hubungan manusia dengan
pencipta, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam) menciptakan keadaan desa yang
‘tata titi tentrem kerta raharja’ (teratur, tenang, sejahtera, dan bahagia). Hal ini diperkuat
wawancara oleh narasumber Pak Agus “Jugangan/pawuhan, digali sedalam 1 meter, buat tempat
sampah-sampah misal dedaunan nanti jangka 3-4 bulan musim kemarau-musim hujan maka
sampahnya akan terurai sendiri. Lalu nanti ditanami pohon pisang, hasilnya biasanya bagus
karena tanahnya juga diuruk. Ini salah satu wujud pemulihan hayati dan kecerdasan yang
diturunkan oleh bapak (orang tua Pak Agus)”. Dapat disimpulkan bahwa praktik yang dilakukan
orang terdahulu menonjolkan Trilogi kebudayaan yaitu hubungan manusia dengan pencipta serta
manusia dengan alamnya.

Selanjutnya, kearifan-kearifan lokal tersebut menjadi nafas terbentuknya norma, nilai lokal,
hingga peraturan tidak tertulis yang menjadi konsensus sosial. Peraturan-peraturan yang tidak
tertulis itulah yang dinamakan adat (Bahasa Jawa: adate berarti yang biasanya terjadi).

Tata hidup masyarakat dengan alat-alat yang digunakan untuk bertahan hidup dan
mengembangkannya di dalam lingkungan alam dalam istilah asing dinamakan teknologi.
Teknologi dan adat bersama-sama menjadi kebudayaan masyarakat. Teknologi dinamakan
kebudayaan material dan adat merupakan kebudayaan non-material.

Seperti petuah Jawa kuno ‘jaman iku owah gingsir’. Kebudayaan selalu bersifat dinamis, ia
niscaya terus bergerak mengikuti ruang dan waktu. Artinya, kebudayaan akan selalu identik
dengan setiap karakteristik wilayah dan bergerak sesuai perkembangan jaman. Hal ini dapat kita
buktikan dengan pergeseran beberapa ekspresi kebudayaan seperti cara berpakaian, arsitektur
rumah, hingga pemanfaatan sumber – sumber ekonomi.

Berkembangnya ilmu pengetahuan yang bersumber dari berbagai penjuru dunia sedikit banyak
menghasilkan wawasan baru bagi masyarakat Indonesia. Hal ini berpengaruh pada bagaimana
masyarakat memandang sesuatu. Sebagai contoh munculnya berbagai desain rumah yang
memberi kesan modern dan kekinian membuat sebagian orang tergiur. Walhasil membuat
mereka ingin menerapkannya pada rumah masing-masing. Di samping soal fungsinya, estetika
kini cukup menjadi pertimbangan seseorang dalam memilih/ menentukan sesuatu. Dengan kata
lain, sesuatu yang sedang trend akan banyak menjadi incaran banyak orang. Hal ini cukup
menjadi ancaman untuk hal-hal yang sifatnya ‘lokal’ demi tetap eksis di tengah kondisi yang
sulit terkendali. Kesadaran setiap individu untuk tetap merasa memiliki perlu menjadi hal yang
patut diperhatikan.

Lantas, apakah warisan-warisan kebudayaan tersebut sudah tidak kontekstual dengan masa
sekarang dan layak untuk ditinggalkan? Tentu tidak. Justru pengetahuan – pengetahuan lokal
yang menjadi latar kebudayaan kita perlu dijaga, dilestarikan, didiskusikan, dan disebar tularkan.
Komodifikasi kebudayaan sebagai basis nilai laku hidup masyarakat harus dilakukan tanpa
menyerabut akarnya. Pemberangusan kebudayaan (baik yang disengaja maupun tidak disengaja
= tergerus arus) justru merupakan penghilangan karakter jati diri suatu kelompok
masyarakat.Kebudayaan selalu bersifat dinamis, karena kebudayaan bergerak mengikuti ruang
dan waktu yang berarti kebudayaan selalu tertuju pada karakteristik wilayah dan berubah sesuai
dengan perkembangan jaman. Hal ini bisa kita buktikan dengan melihat pergeseran kebudayaan
seperti cara berpakaian, konsep rumah, dan pemanfaatan sumber ekonomi. Di kondisi sekarang
warisan budaya sudah tidak sama dengan masa sekarang, hal ini warisan budaya seharusnya
tidak boleh kita tinggalkan, karena warisan budaya penting untuk generasi berikutnya, jika satu
tercerabut maka akan hilang warisan tersebut.
Panggungharjo, sebuah kalurahan di pinggiran kota tetap ‘handarbeni’, percaya diri dengan
budayanya sendiri. Ini mewujud dalam tata pemerintahan dan pola sosial yang dirangkai
mengarah kedalam dirinya sendiri (inward oriented). Kaum petani dan keluarganya tetap
bertahan dalam kehidupan yang unik, sederhana dan damai. Kaum yang memegang teguh
amanah leluhur ‘Memayu Hayuning Bawana’, sehingga dalam kehidupannya senantiasa
mengasah pemikiran, kepedulian dan bertindak sesuai dengan kearifan budaya lokal dengan
tujuan untuk menjaga kelestarian bumi, alam yang telah memberikan kehidupan dan dititipkan
kepada mereka untuk generasi yang akan datang.

1.1 KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI

Keping Terakhir Trilogi Pilar Kebudayaan di Miniatur Mataram

Panggungharjo merupakan daerah sub-urban yang dilewati garis imajiner Keraton


Ngayogyakarta Hadiningrat. Situs penting Mataram yang mendiami desa teladan nasional ini
adalah Gedong Panggung/ Kandang Menjangan/ Panggung Krapyak. Lainnya adalah situs Yoni,
yang menjadi simbol kesuburan masyarakat Mataram. Di situs Yoni bersemayam inilah,
dibangun Kampoeng Mataraman. Simbol–simbol tersebut dituangkan dalam berbagai kebijakan
pembangunan, tata ruang dan rekayasa sosial di Panggungharjo.

Keberadaan Panggung Krapyak beserta kawasan religius disekitarnya merefleksikan hubungan


manusia dengan penciptanya. Sedangkan Kampoeng Mataraman yang dibangun di lahan seluas 6
Ha di pinggir jalan lingkar selatan menggambarkan hubungan antar manusia dengan manusia,
sehingga arah pengembangannya menitikberatkan pada terjadinya pertemuan pengalaman dan
pengetahuan yang ada di Kalurahan Panggungharjo dan desa-desa lain untuk didiskusikan,
disistematisasi, hingga disebartularkan. Sehingga interaksi antar manusia yang terjadi dapat
memperkuat literasi dan khasanah pengetahuan khas nusantara.

Keberadaan Embung Julantoro yang dibangun pada tahun 2017 bukan hanya memenuhi fungsi
konservasi. Lebih dari itu, Embung Julantoro dan kawasan pe-nyangga disekitarnya akan
dikembangkan sebagai media pendidikan hubungan manusia dengan alamnya. Budaya menanam
yang menjadi corak khas masyarakat Mataram lekat dengan konsep Karangkitri, sebuah warisan
leluhur tentang pola pemanfaatan lahan pekarangan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan
pangan. Pelestarian kawasan dan penjagan atas budaya lokal menjadi elemen penting
pengembangan Kawasan Budaya Karangkitri. Masyarakat Mataram yang bersifat agraris tentu
sudah mafhum dengan teknologi/ cara menanam, hingga konservasi air, tanah, dan udara.
Sebagai contoh pola tanam di persawahan zaman dahulu dalam kurun waktu satu tahun hanya
menanam padi 2 kali, selanjutnya sawah tanamani palawija. Hal ini dimaksudkan agar tanam
bisa beristirahat. Selain itu tanaman palawija seperti kacang tanah juga dapat menyuburkan
tanah, sehingga di musim tanam tahun berikutnya tanah sudah dalam keadaan subur. sebab
kacang tanah dapat bersimbiosis antara bakteri Rizobium yang terdapat di akar untuk menangkap
nitrogen di atmosfer. Aktivitas yang demikian tidak berdampak buruk pada kesehatan tanah.
Walhasil, anak cucu kita nantinya dapat menikmati tanah yang dapat berfungsi dengan optimal

Namun, seiring berkembangnya zaman, transformasi dibawah bendera globalisasi mulai


menggeser nilai dan kultur masyarakat. Salah satu kondisi yang dipandang berpengaruh besar
terhadap keberadaan Karangkitri adalah berlangsungnya revolusi hijau sejak masa pasca Perang
Dunia II. Kisah-kisah yang dihimpun dari warga Panggungharjo menunjukkan bagaimana
dinamika relasi antara manusia dan alam berlangsung. Tradisi-tradisi agraris perlahan menjadi
kurang populer di kalangan muda. Aktivitas-aktivitas ekonomi yang bertumpu pada budaya
tanam-menanam kurang diminati. Pengetahuan tentang pranoto mongso didominasi oleh kaum
tua, pun praktik wiwitan ataupun nyadran sudah jarang kita temukan. Hal lain yang paling
kentara adalah alih fungsi lahan yang menggerus tanah-tanah produktif. Tanah yang notabene
produktif untuk bercocok tanam musnah digempur oleh beton-beton dan pencemaran yang
mematikan kesuburan lahan.
Terjadinya transformasi pengetahuan lokal dalam hal ini mengenai bercocok tanam di area
sawah maupun pekarangan juga dipengaruhi oleh faktor geografis. Meningkatnya angka
pertumbuhan beriringan dengan peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal. Pembangunan
rumah hingga penginapan atau kost-an membuat mereka kehilangan lahan sebagai sumber
penghidupan. Selain itu, kepemilikan tanah yang luas dan jumlah anak yang tidak sedikit
membuat para orang tua mau tidak mau memberikan warisan tanah untuk anak-anaknya. Namun
demikian, pewarisan tanah tersebut tidak dibarengi dengan pewarisan pengetahuan mengenai
kebermanfaatan tanah yang dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan.

Dalam hal tata ruang, Kawasan Budaya Karangkitri merupakan manifestasi laku hidup
masyarakat gemah ripah loh jinawi. Pembagian area njero dalem (balai budaya), dan njaban
dalem (pekarangan) dimaksudkan untuk merealisaikan pola pemanfaatan lahan yang terintegrasi
dalam satu kawasan. Njero dalem sebagai rumah inti dikelilingi oleh njaban dalem yang untuk
memenuhi fungsi dari patirtan (sumber air), kebon (pertanian), sengkeran (pemuliaan tanaman
langka), alas (konservasi air dan udara), pangonan (kandang), pawuhan (pengelolaan sampah)
dan area-area publik untuk menunjang efektivitas dan aksesibilitas pemanfaatan kawasan.

Kendati demikian, area-area publik akan dibangun untuk menunjang aktitas berbagai aktivitas
ekonomi kreatif, seperti area kuliner, area outbond, area ciblon, penginapan hingga ruang
pertemuan guna menjamin keberlanjutan pengelolaan kawasan ini. Konsep Karangkitri yang
juga menyisipkan pesan “tanam apa yang dimakan, makan apa yang dimakan” akan dielaborasi
ditempat ini melalui model wisata pengalaman dan edukasi. Pengunjung akan diajak
“teleportasi” ke dalam kultur masyarakat agraris yang njawani dan memegang teguh ajaran
Memayu hayuning Bawana. Sehingga nostalgia akan kejayaan Mataram Islam dapat ditemukan
ditempat ini.

Kawasan Budaya Karangkitri bukan tafsir pakem ala keraton. Tanpa dikomando, sistem
sosialnya secara organik tumbuh dalam sendi-sendi tata pemerintahan/ kelembagaan, hubungan
kemasyarakatan, aktivitas ekonomi, dan keagamaan dalam kerangka budaya yang unik dalam
memaknai ajaran memayu hayuning bawana. Kehidupan masyakarat dan keluarga petaninya
memiliki pola yang natural, agamis, humanis, ramah, humoris dan menyenangkan sehingga
edukasi terhadap masyarakat luas tentang nilai-nilai lokalitas akan lebih mudah diterima. Dan
bagi siapapun yang berkunjung akan merasakan berbagai tatanan sosial dan budaya di sudut-
sudut kawasan ini yang menyuguhkan nuansa Jawa Mataraman, apalagi sembari ikut melakukan
aktivitas dan permainan khas pedesaan, tandur, ciblon, numpak gethek lalu menikmati sajian
klonengan atau uro-uro yang diiringi alunan siter dan menyeruput minuman teh tubruk gula batu
atau kopi cokot gula Jawa yang nasgithel.....panas, legi, kenthel!!

1.2 KONSEP & SISTEM TATA RUANG

Di Kawasan Budaya Karangkitri, ada sebuah kaidah yang disebut paugeran atau tata cara untuk
mengatur ruang dan lingkungannya. Penataan fisik dan struktur lingkungan tersebut tidak lepas
dari budaya yang dipegang teguh oleh masyarakatnya secara turun-temurun yang tidak mudah
terkontaminasi oleh budaya dari luar sehingga sangat kental terasa originalitasnya.

Kepatuhan terhadap paugeran tersebut menjadi sebuah keunggulan kawasan ini dibandingkan
dengan sistem pertanian modern, atau penataan desa-desa lainnya di Yogyakarta terkait
pembagian area atau tata ruang imajinernya. Konsep ini mengadopsi garis imajiner Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, namun lebih dimaknai konsep hulu ke hilirnya. Dengan demikian,
maka akan tampak hubungan keselarasan antara Tuhan, manusia dan alam.

Mengadopsi budaya masyarakat Jawa, penataan wilayah pun terbagi menjadi enam daerah
utama, yaitu pomahan, plataran, pangonan lan pawuwuhan, kebonan, lumbon, dan sengkeran lan
pamujan. Pomahan merupakan titik inti/pusat dari keseluruhan Kawasan Budaya Karangkitri
bila ditinjau dari segi arsitektur tidak terlepas dari perlambangan atau simbol yang klasikal.
Ditinjau dari aspek budayanya, bangunan ini memberikan kesan “sakral” dan mengandung
pesan tersirat diluar bentuk fisik arsitekturnya. Peran simbol dalam arsitektur ini berkaitan
dengan tujuan fungsional dan estetiknya, artinya bentuk arsitekturnya sangat dipengaruhi oleh
tujuan guna (sebagai anchor), dan juga tujuan non fungsi yang menafsirkan ketentraman,
kewibawaan, dan sebagainya.

Area pomahan terdiri dari 3 bagian utama, yakni pendhapa, pringgitan, dan Dalem Ageng. Dari
segi pemanfaatannya, areal pendhapa akan digunakan untuk penyambutan tamu-tamu penting,
sedangkan Dalem Ageng akan dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan beberapa benda
penting. Pada sisi bagian ini juga akan dibangun/dimanfaatkan sebagai kantor pengelola
Kawasan Budaya Karangkitri.
Area plataran yang berada di depan pomahan difungsikan sebagai ruang interaksi sosial dan
budaya khususnya budaya masyarakat tani. Selayaknya halaman rumah dalam konsep
karangkitri, dalam area ini digunakan sebagai arena bermain anak-anak, kegiatan santai, dan
tempat parkir alat transportasi juga terdapat lahan untuk menanam berbagai tanaman pangan.

Pangonan lan pawuwuhan merupakan daerah berupa peternakan dan area pengelolaan sampah.
Di paling ujung selatan ini kita dapat menyaksikan berbagai hewan ternak masyarakat Jawa
seperti sapi, kambing, ayam, bebek, serta kerbau. Selain menyaksikan hewan ternak, juga
terdapat area pawuwuhan yakni lahan guna pengelolaan sampah tanpa residu.

Area Kebonan difungsikan sebagai penyangga ekonomi kawasan budaya Karangkitri yang
didalamnya terdapat berbagai wahana atraksi. Selayaknya kebon atau kebun, segala hal yang ada
di daerah tersebut dimaksudkan sebagai sumber “pangan” dari masyarakat yang mendiami
kawasan budaya karangkitri.

Dua kebutuhan dasar atas hidup manusia tersedia di area sengkeran lan pamujan, yakni air dan
udara, beserta support system untuk menjaga kualitas lingkungan yang sehat. Dalam daerah ini
terdapat area konservasi hutan yang didalamnya terdapat hutan lindung berisi berbagai tanaman
serta satwa endemik.

Daerah Lumbon berbentuk sungai bernama Kali Buntung yang membelah kawasan budaya
karangkitri dari utara hingga selatan ini difungsikan sebagai area konservasi ekosistem sungai
dan ikan endemik agar keberadaannya tetap lestari.

1.3 PRINSIP WISATA BERKELANJUTAN

Pembangunan pariwisata berkelanjutan, seperti disebutkan dalam Piagam Pariwisata


Berkelanjutan (1995) adalah pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak
secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan
berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup
dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya
secara berkelanjutan.

Pariwisata Berkelanjutan atau bisa disebut sustainable tourism merupakan konsep pariwista yang
berkembang pesat, didalamnya terdapat penambahan arus kapasitas akomodasi, meningkatnya
populasi lokal dan lingkungan. Perkembangan pariwisata dan investasi-investasi baru dalam
sektor pariwisata seharusnya membawa dampak baik dan bisa terintegrasi dengan lingkungan.
Oleh karenanya, inisiatif muncul dari sektor publik untuk diambil alih dan mengatur
pertumbuhan pariwisata agar menjadi lebih baik dan menempatkan permasalahan akan
sustainable tourism sebagai prioritas utama. Karena usaha atau bisnis yang baik dapat
melindungi sumber-sumber dan asset yang penting bagi pariwisata tidak hanya untuk sekarang
tetapi di masa depan.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan pada intinya berkorelasi dengan upaya untuk menjamin
agar sumber daya alam, sosial, dan budaya dapat didayagunakan untuk pembangunan pariwisata
untuk dapat dinikmati generasi masa kini dan masa yang akan datang. Pembangunan pariwisata
harus didasarkan pada aspek sustainability yang artinya pembangunan dapat didukung secara
ekologis dalam jangka waktu yang panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika,
sosial terhadap masyarakat.

Dalam praksisnya, pembangunan pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism senantiasa


haruslah berpijak pada prinsip-prinsip sebagaimana berikut;

1. Pembangunan pariwisata dibangun dengan melibatkan masyarakat local

2. Menciptakan keseimbangan antara kebutuhan wisatawan dan masyarakat

3. Pembangunan pariwisata harus melibatkan para pemangku kepentingan dan banyak pihak
lain

4. Memberikan kemudahan akses bagi pengusaha lokal dalam skala kecil dan menengah

5. Pariwisata harus berorientasi untuk membangkitkan bisnis lainnya dalam masyarakat

6. Adanya kerja sama antara masyarakat lokal sebagai creator atraksi wisata dengan para
operator paket wisata

7. Pembangunan pariwisata harus dapat memperhatikan perjanjian, peraturan, perundang-


undangan baik tingkat nasional maupun intenasional

8. Pembangunan pariwisata harus mampu menjamin keberlanjutan, memberikan


keuntungan bagi masyarakat saat ini dan tidak merugikan generasi yang akan datang
9. Pariwisata harus bertumbuh dalam prinsip optimalisasi bukan pada exploitasi

10. Melakukan program peningkatan sumber daya manusia dalam bentuk pendidikan,
pelatihan, dan lain sebagainya

11. Terciptanya tiga kualitas, yaitu; 1) Quality of life; 2) Quality of opportunity, 3) Quality of
experience

Melihat dari perkembangan orientasi wisata dunia yang mengarah ke wisata alternatif yang
menjadikan desa-desa sebagai tujuan utama, maka peluang tersebut ditangkap oleh Pemerintah
Kalurahan Panggungharjo untuk mengemas potensi yang terkait dengan unsur-unsur kebudayaan
Jawa di Kalurahan Panggungharjo diakulturasikan ke dalam program wisata budaya dan edukasi
yang diberi nama KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI dengan latar belakang kisah yang
tertulis pada secarik cerita di pendahuluan. Potensi yang terkait dengan kebutuhan primer
masyarakat Jawa yaitu sandang, pangan dan papan serta bentuk-bentuk mata pencaharian lokal
pedesaan seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kerajinan maupun seni budaya
lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Kalurahan Panggungharjo mempunyai
peranan tinggi bagi keberlangsungan sejarah kehidupan manusia sejak jaman nenek moyang,
baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial budaya maupun ekologi diyakini dapat menjadi daya tarik
wisata yang dapat dikembangkan dengan sentuhan usaha ekonomi kreatif.

Dan konsep pariwisata berkelanjutan dipilih karena merupakan kegiatan wisata ramah
lingkungan dengan mengutamakan:

 aspek konservasi / pelestarian alam dan budaya

 aspek pemberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat lokal

 aspek pembelajaran dan pendidikan

 aspek rekreasi

Oleh karena itu di dalam kegiatan pariwisata berkelanjutan terkandung unsur-unsur kepedulian,
tanggung jawab dan komitmen terhadap keaslian budaya dan kelestarian lingkungan alam demi
kesejahteraan masyarakat setempat. Wisata tersebut diharapkan dapat menciptakan kesempatan
kerja bagi masyarakat setempat dan mengurangi kemiskinan. Kehadiran wisatawan ke kawasan
yang unik dan ramah lingkungan tersebut akan memberikan peluang bagi penduduk setempat
untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjadi pemandu wisata, pengelola home
stay, pendukung warung makan, pembuat suvenir, penyedia jasa transportasi, dan usaha-usaha
lain yang berkaitan dengan kegiatan wisata budaya pedesaan, sehingga dapat memberikan
tambahan penghasilan, meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup penduduk
lokal.

2. VISI, MISI, & TUJUAN

VISI

KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI menjadi poros kebudayaan desa untuk memulihkan


ekosistem desa dan dijadikan sebagai salah satu sumber pengetahuan tentang budaya desa.

MISI

1. Melestarikan, mengembangkan, memanfaatkan dan mengeksplorasi unsur-unsur


kebudayaan Jawa secara berkelanjutan

2. Menata area persawahan kimiawi menjadi pertanian yang lestari

3. Menanam berbagai jenis tanaman dan pohon lokal yang bernilai secara ekologi, ekonomi
ataupun sosial budaya.

4. Menemukenali, mendokumentasikan, melestarikan, mengembangkan dan menggunakan


kembali serta memaknai berbagai macam aktivitas budaya masyarakat pedesaan sebagai
upaya untuk menguatkan jati diri bangsa.

5. Menggerakkan kelompok pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan secara


terpadu untuk bersama-sama mewujudkan kedaulatan pangan lokal.

6. Meningkatkan kapasitas warga desa mulai dari anak-anak hingga dewasa agar lebih
peduli dan melakukan aksi nyata dalam menjaga kearifan budaya lokal dan melestarikan
alam.
7. Meningkatkan keterampilan usaha menengah, kecil dan mikro warganya melalui kegiatan
ekonomi kreatif untuk mendukung pengembangan wisata sehingga dapat meningkatkan
nilai potensi desa yang berdampak pada pengurangan angka kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat

8. Mengedepankan pola partisipasi dan pemberdayaan warga, kesinambungan program


pembangunan pedesaan, serta pelestarian budaya dan lingkungan, agar masyarakat
menjadi lebih berdaya, mandiri serta meningkat sumber penghidupannya.

2.1 TUJUAN

1. KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI sebagai poros kebudayan desa, yakni suatu


kawasan yang digunakan untuk pemulihan ekosistem desa, lengkap dengan ekosistem
sawah, ekosistem pekarangan, ekosistem pekarangan dan ekosistem hutan.

2. KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI sebagai salah satu sumber pengetahuan


tentang budaya desa.

3. KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI sebagai ruang yang diharapkan akan menjadi


salah satu titik mula kembalinya kebudayaan sebagai pijakan dan strategi dalam
membangun ruang hidup yang layak, patut dan bermartabat bagi semua warga bangsa.

4. KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI menjadi ruang yang menegaskan hubungan


manusia dengan air, tanah, dan udara.

5. KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI menjadi ruang kolaborasi bagi empat pilar


desa mandiri budaya, yakni; gotong royong, relasi sosial, relasi ekonomi dan relasi
politik.

6. KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI menjadi percontohan untuk memperjuangkan


kedaulatan pangan lokal melalui pertanian tradisional, sehat dan ramah lingkungan yang
berbasis budaya.

7. KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI menjadi taman ekologi berupa area


pelestarian berbagai tanaman dan pepohonan yang dibutuhkan oleh petani pangan lokal,
bermanfaat bagi kesehatan ataupun yang bermakna filosofis.
8. KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI menjadi tempat untuk belajar berbagai
macam teknologi tepat guna yang ramah lingkungan dan bermanfaat bagi kehidupan
sehari-hari sekaligus dalam rangka mendukung kedaulatan pangan dan energi terbarukan
seperti biogas, kincir angin, kincir air, dsb

9. KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI menjadi tujuan wisata kuliner pedesaan


berbahan pangan lokal yang diolah dengan resep menu warisan leluhur.

10. KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI menjadi pusat permainan tradisional berbasis


alam pedesaan.

3. LOKASI & LAHAN YANG DIGUNAKAN

Kawasan Budaya Karangkitri berlokasi di Kalurahan Panggungharjo, Kapanewon Sewon,


Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lahan yang digunakan untuk pengembangan
kawasan ini adalah tanah kas Kalurahan Panggungharjo berupa; sawah, bangunan balai budaya,
Embung Julantoro, peternakan sapi, kawasan pengelolaan sampah (KUPAS.id) dan kali buntung,
yaitu sungai yang melintasi kawasan budaya karangkitri ini.

NILAI STRATEGIS KAWASAN BUDAYA KARANGKITRI untuk dikembangkan


berdasarkan pertimbangan:

1. Suasana pedesaan dengan sawah yang membentang luas, sumber air yang melimpah, dan
tanah perkebunan yang subur.

2. Berada di dekat kawasan perkotaan dan jalur wisata

3. Kalurahan Panggungharjo sebagai percontohan desa terbaik di tahun 2014

4. Masyarakat desa masih menjalankan tradisi sebagai petani, pengrajin dan pelestari seni
budaya Jawa

1. SITE PLAN
Gambar 2 Peta Konsep Kawasan Budaya KARANGKITRI

2. PRODUK WISATA DAN JASA

Brand-image yang menjadi fondasi Kawasan Budaya Karangkitri adalah bermain dan
belajar bersama masyarakat desa yang artinya adalah sebuah laboratorium rekreasi yang
edukatif untuk mengkontekstualisasikan kembali nilai-nilai kearifan budaya pedesaan yang
terkait dengan pertanian lestari, pangan lokal dan seni budaya.

Produk wisata dan jasa dari Kawasan Budaya Karangkitri merupakan pengejawantahan dari
brand-image tersebut dengan segmentasi klien yang luas, mulai dari anak-anak hingga dewasa,
komporasi, lembaga pemerintahan, keluarga, anak sekolah, mahasiswa, termasuk wisatawan
asing. Produk wisata dan jasa inilah yang akan dikemas menjadi sumber utama pendapatan dari
Kawasan Budaya Karangkitri.

3. RENCANA PENGEMBANGAN AREA

Disesuaikan dengan visi, misi dan tujuan sebagai tempat yang diharapkan menjadi pusat wisata
pendidikan budaya pedesaan yang berfokus pada salah satu trilogi kebudayaan yaitu hubungan
manusia dengan alamnya serta nilai yang dimiliki sebagai kawasan yang menghadirkan
pengalaman “teleportasi” kehidupan desa tahun 1950-1970, maka semua area di Kawasan
Budaya Karangkitri yang dibangun senantiasa mengedepankan konsep :

a. Ramah anak

b. Ramah warga berkebutuhan khusus (difabel)

c. Ramah lingkungan

d. Ramah budaya

Beberapa area yang akan dibangun meliputi:

AREA I (Pomahan)

Area ini merupakan pusat atau inti dari keseluruhan Kawasan Budaya Karangkitri yang
berbentuk dari beberapa bangunan berarsitektur jawa. Bila ditinjau dari segi arsitekturnya,
bangunan inti ini tidak terlepas dari perlambangan atau simbol yang klasikal. Dilihat dari aspek
budayanya, bangunan inti ini memberikan kesan “sakral” dan mengandung pesan tersirat diluar
bentuk fisik arsitekturnya. Dalam pembangunannya memunculkan simbol-simbol yang
melambangkan pola hidup masyarakat tradisional jawa yang dipatok dari aktivitas, pandangan,
dan pribadi masyarakat jawa itu sendiri yang memiliki nilai-nilai budaya yang dipentingkan
untuk memenuhi hidupnya. Pandangan hidup masyarakat jawa memiliki beberapa arah
pengungkapan yaitu kepercayaan yang mereka anut, pengetahuan, etika sosial, dan rasa estetika,
pada pandangan hidup tersebut kemudian memunculkan kegiatan-kegiatan penting terutama
kegiatan spiritual dan ritual. Kegiatan spiritual dan ritual ini menjadi kegiatan utama masyarakat
yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk kegiatan tersebut. Sedangkan pada kepribadian
Jawa memunculkan kebutuhan-kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan. Kebutuhan
dari masyarakat Jawa ini memunculkan sifat atau konsep ruang-ruang yang dibutuhkan untuk
memenuhi kegiatannya seperti adanya kebutuhan ruang privasi dan tempat berinteraksi.

Area yang mengambil konsep bangunan Joglo dan merupakan inti dari Kawasan Budaya
Karangkitri ini terdiri atas tiga bagian yaitu pendhapa (bagian depan), pringgitan (bagian tengah),
dan dalem (ruang utama) yang masing-masing bagiannya memiliki simbol-simbol yang
menggambarkan fungsinya. Pada pembagian rumah ini, ada prinsip hierarki yang unik, yaitu
bagian depan lebih bersifat umum, sedangkan bagian belakang lebih khusus lagi atau ruang
privat. sehingga, akses orang yang bisa masuk ke dalam ruangan tertentu juga berbeda-beda.
Bagian-Bagian di dalam bangunan Joglo secara lebih terperinci bisa dicermati sebagai berikut:

1. AREA I Pendhapa (Bagian Depan)

Bagian ini terletak di area terdepan bangunan yang pada fungsinya untuk ruang umum digunakan
untuk menyambut tamu-tamu penting atau kegiatan-kegiatan umum lainnya. Pada bagian depan
ini juga terdiri dari beberapa bangunan pendukung yang diantaranya adalah sebagai berikut:

 Regol adalah pintu masuk utama atau gerbang utama yang letaknya berada di bagian
paling depan.

 Rana yang terletak di bagian belakang regol

 Sumur merupakan fasilitas pendukung yang digunakan mencuci dan berwudhu. Posisi
sumur terletak di bagian depan sebelah kanan bagungan utama pendhapa. Sumur terletak
di ruang terbuka, berupa sumur bong berdinding batu bata setinggi 90 cm (setinggi
pinggang orang dewasa).

 Kuncung adalah bangunan terdepan dari Pendhopo. Lantai kuncung lebih rendah dari
lantai Pendhopo berfungsi sebagai tempat pemberhentian kendaraan tamu atau pemilik
rumah, sedangkan lantai kuncung yang sebidang dengan lantai pendhopo berfungsi
sebagai tempat bersantai pemilik rumah dan tamu, serta berfungsi sebagai tempat
pertunjukan yang dapat dinikmati masyarakat yang hadir di halaman rumah.

 Gedhongan adalah kendang kuda yang berasal dari kata ‘gegedhug’ yang merupakan
istilah dari kuda yang merupakan hewan yang diandalkan oleh pemiliknya. Di masa
sekarang area ini difungsikan untuk parker.

 Pendhopo adalah bangunan terbuka, terletak dibelakang kuncung dan serambi depan
yang berfungsi sebagai tempat ruang tamu atau tempat penyelenggaraan upacara adat
sehingga merupakan ruang publik yang bersifat provan. pendhapa berasal dari kata dasar
pa-andhap-an. Andhap berarti rendhah dari lantai Dalem Ageng. bentuk dan arsitektur
mencerminkan status sosial pemilik rumah. pendhapa berbentuk joglo dengan tumpang
sari banyak dan disertai ragam hiasan, maka pemilik rumah merupakan orang dengan
status sosial yang tinggi. sedangkan bagi orang kebanyakan bentuk pendhapa basanya
limasan.

 Longkangan adalah sebuah jalan yang memisahkan antara pendhapa dan pringgitan.
longkangan berfungsi sebagai tempat pemberhentian kendaraan bagi pemilik rumah atau
keluarga, yang disebut juga dengan paretan, berarti tempat pemberhentian kereta. dalam
perkembanganyya halaman terbuka antara gandhok dengan dalem ageng juga disebut
longkangan, namun tidak berfungsi sebagai tempat pemberhentian kendaraan.

 Seketheng yakni dinding pembatas yang terbuat dari batu bata dan mempunyai 2 buah
gerbang kecil. Fungsi dari bangunan ini untuk menghubungkan antara halaman luar sama
halaman dalam rumah.

2. Pringgitan (Bagian Tengah)

adalah ruangan diantara pendhapa dan dalem ageng yang berfungsi sebagai tempat pementasan
wayang kulit. pringgitan berasal dari kata rinngit yang berarti wayang. karena letak pringgitan
berada diantara pendhapa yang bersifat profan dan dalem ageng yang bersifat sakral/privat, maka
pringgitan bersifat semi publik atau semi privat. pertunjukan wayang kulit dapat dinikmati dari
pendhapa bagi tamu dan masyarakat umum, sedang bagi keluwarga dan saudara menikmati
pertunjukan dari Dalem Ageng atau belakang kelir/layer

3. Dalem (Ruang Utama)

Dalem menurut bahasa berarti “saya”, tapi rumah juga sering disebut dengan kata dalem.
Penyamaan ini mengandung pengertian bahwa rumah adalah identitas kedua dari seseorang.
Setiap kita berkenalan dengan seseorang setelah menanyakan namanya pasti kita bertanya,
“Rumahnya di mana?” Dan setelah kita melihat rumah yang bersangkutan kita sudah bisa
menyimpulkan tentang orang itu.

Namun kata “dalem” yang dimaksud di sini adalah bagian rumah yang dipakai sebagai tempat
untuk aktivitas rumah tangga yang sifatnya pribadi seperti tidur, makan, bercengkerama dengan
keluarga dan beristirahat. Letak dalem dalam susunan rumah tradisional berada di belakang
pendhapa. Jika kebetulan ada pringgitan maka letak dalem berada di belakang pringgitan.

Dalem biasanya memakai dinding dari gebyok atau dinding batu-bata. Atap rumah biasanya
berbentuk kampung, meski tidak selalu begitu. Adakalanya berbentuk joglo yang diberi dinding
gebyok. Di dalam dalem sendiri ada beberapa sekat sebagai pemisah antar ruangan. Sekat
pemisah ini juga mirip gebyok dan dinamakan patangaring. Kamar-kamar yang disekat tersebut
disebut senthong. Fungsi senthong selain sebagai kamar tidur juga sebagai tempat menyimpang
harta berharga seperti perhiasan dan uang.

Di dalam dalem ini juga ada ruang besar sebagai tempat untuk mengobrol. Adakalanya dipakai
untuk menerima tamu wanita. Misalnya sang empunya rumah kedatangan tamu suami istri maka
suami diterima di pendhapa dan istrinya diajak oleh nyonya rumah untuk bercengkerama di
dalem ini. Hal itu karena para istri tempo dulu tidak terlibat dalam urusan kaum lelaki sehingga
mereka perlu bercakap-cakap secara terpisah.

Bagi orang pedesaan yang tidak mampu membuat pendhapa, dalem ini diberi perpanjangan atap
di depan membentuk emper. Fungsinya mirip dengan pendhapa, sebagai area publik dan sebagai
tempat santai. Di emper biasa ditaruh satu set kursi sederhana untuk duduk-duduk.

Bagian dalem ini terdiri dari beberapa bangunan yaitu:

 Senthong Kiwo

Senthong Kiwo ialah kamar yang letaknya pada bagian kiri Omah Ndalem, persis dengan
namanya “KIWO” dalam bahasa yang berarti kiri. Posisinya pun sangat dekat dengan dapur.

Pada umumnya senthong kiwo dimanfaatkan sebagai gudang bahan pokok rumah tangga seperti
beras dan bumbu dapur ataupun hasil tani lainnya. Sekaligus menjadi tempat penyimpanan alat-
alat perlengkapan tani.

 Senthong Tengah

adalah kamar berjumlah tiga buah di ndalem ageng tepatnya dibawah atap pananggap. Senthong
tengah berada diantara dua saka guru sisi belakang dalem ageng yang mempunyai kedudukan
khusus dan paling di sakralkan. bagi masyarakat pedesaan, ruangan ini khusus bagi dewi sri/dewi
kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. saat musim panen padi, seuntai padi yang dipotong
pertama kali dibalut kain batik dan ditempatkan di senthong tengah sebagai persembahan kepada
dewi sri sehingga senthong tengah disebut Pasren yang berarti tempat untuk dewi Sri.

 Senthong Tengen

merupakan senthong (kamar) yang berada di sebelah kanan senthong tengah. senthong tengen ini
berfungsi sebagai tempat tidur bagi bapak ibu kepala rumah tangga atau pemilik rumah.

 Gendhok

adalah bangunan memanjang, terletak di sebelah kanan dan kiri dalem ageng yang dipisahkan
dengan halaman terbuka. untuk menghubungkan halaman tersebut dengan halaman rumah
bagian luar dibuat dinding pasangan bata berpintu yang disebut deketheng. bentuk atap gandhok
pada umumnya kampung atau limasan dengan variannya. fungsi gandhok sebagai ruang tinggal
keluarga/kerabat, serta menginap tamu. gandhok tengen berfungsi sebagai ruang tidur wanita,
sedang gandhok kiwa berfungsi sebagai ruang tidur pria.

 Gadri

merupakan ruangan dibelakang dalem ageng menghadap kebelakang atau kearah pawon. karena
atap gadri ini menyatu dengan atap dalem ageng dan merupakan susunan atap ketiga setelah
Brunjung, dan penanggap yang disebut emper, maka gadri ini juga disebut emper mburi ( emper
belakang). sisi depan gadri tidak berdinding dan tidak berpintu. fungsi gadri untuk tempat
bersantai bagi keluarga sekaligus sebagai ruang makan letaknya dekat dengan pawon (dapur).

 Pawon

pawon atau dapur letaknya ada di dibelakang dalem ageng berhadapan dengan gadri yang
dipisahkan dengan halaman terbuka. pawon berasal dari kata dasar awu (abu) karena zaman dulu
memasak menggunakan bahan bakar kayu,apabila kayu habis terbakar menyisakan abu (abu).
selain untuk memasak pawon juga untuk menyimpan peralatan dapur bahkan kadang juga untuk
menyimpan bahan dasar makanan.

 Pekiwan

adalah kamar mandi dan toilet, letaknya dibuat terpisah dengan bangunan induk yaitu disebelah
kiri dapur. kata dasar pekiwan adalah kiwa yang berarti kiwa. pada zaman dulu kamar mandi
dan toilet dianggap tempat kotor dan berbau, sehingga harus dijauhkan dari bangunan induk.
didalam pekiwan ini juga terdapat sumur sebagai sumber air untuk mandi,cuci, dan masak.

AREA II (Plataran)

Area plataran yang berada di depan area pomahan pada masyarakat lalu lebih difungsikan
sebagai ruang interaksi sosial dan budaya, begitu pula dalam kawasan karangkitri. Area ini
dibagi menjadi dua kawasan yakni plataran kiwo dan plataran tengen dengan fungsi yang
berbeda.

 Plataran Kiwo

Diperuntukkan sebagai area penerimaan tamu dari luar atau gerbang masuk menuju kawasan
budaya karangkitri yang beratmosfir di tahun limapuluhan dengan kelengkapan berupa area
parkir untuk sepeda, becak, andong, gerobak sapi, sepeda motor, mobil, bus, dan truk; dermaga
gethek sebagai terminal transportasi gethek bambu menuju area III (pawuwuhan lan pangonan);
serta cakruk atau tempat untuk beristirahat dan ngobrol.

 Plataran Tengen

Area ini berisi kegiatan interaksi sosial dan budaya yang berupa area ciblonan bocah untuk
menghadirkan kembali keceriaan anak dengan berbagai permainannya di halaman rumah
(pomahan) serta area pelestarian benih lokal tanaman pangan dan area edukasi pertanian
berkelanjutan sebagai cerminan budaya masyarakat tani di era lalu. Di area konservasi benih
lokal tanaman pangan ini juga banyak didapati gubuk tani beratapkan rapak sebagai ruang
interaksi sosial masyarakat.

AREA III (Pawuwuhan lan Pangonan)

Pangonan lan pawuwuhan adalah pusat peternakan dan pengelolaan sampah. Di lokasi ini, dapat
disaksikan proses pengelolaan ternak warga, mulai dari sapi, kambing, ayam, bebek dan ternak
lainnya serta proses pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.

 Pangonan

Pangonan merupakan tempat sentral untuk melakukan proses peternakan. Di sini dapat dilihat
bagaimana tata kelola yang baik dan benar. Peternakan di sini tidak hanya sekedar merawat
lokasi pangonan tetapi mampu memanfaatkan dan mengolah kotoran ternak menjadi pupuk
kandang. Pupuk kandang dari kotoran hewan ternak, dapat menekan penggunaan pupuk
anorganik yang masih tinggi. Seperti yang umum banyak diketahui pupur anorganik atau kimia
secara terus-menerus dapat membuat tanah mengeras dan kehilangan porositasnya. Hal ini
dikarenakan penggunaan pupuk meningkatkan kadar asam dalam tanah.

Pada masa lalu, peternak memberi makan dengan bahan organik seperti rumput-rumputan. Di era
sekarang hal tersebut masih eksis tetapi ditambah dengan adanya konsentrat dan bahan pakan
yang tidak alami lagi. Di area pangonan ini kita akan dapat mempelajari pola “ngingu”
sebagaimana masa lalu yang tanpa adanya pakan dengan campuran kimia.

Area pangonan bisa menjadi area yang cukup tepat untuk menjadi pusat edukasi yang mendalam
bagaimana dapat mengelola “ingon-ingon” dengan baik dengan teknik yang baik dengan tetap
menghadirkan nostalgia masa lalu. Dengan demikian, protein hewani yang dihasilkan merupakan
protein yang baik dan menyehatkan. Di samping itu kotoran yang dihasilkan dapat menjadi
pupuk kandang yang pure organik.

 Pawuwuhan

Area pawuwuhan merupakan merupakan lokasi yang difungsikan sebagai tempat pengolahan
sampah sedangkan area pangonan merupakan area yang dikhususkan untuk pemeliharaan hewan
ternak. Pawuwuhan lan Pangonan berada di area paling selatan kawasan Karang Kitri.

Area pawuwuhan sejauh ini telah ada dan beroperasi dengan Kelompok Usaha Pengelola
Sampah (KUPAS) yang menjadi pengelolanya dimana KUPAS adalah salah satu unit usaha yang
dimiliki BUM Desa Panggung Lestari. Unit beroperasi sejak tahun 2012 untuk menjawab
permasalahan sosial, yaitu terkait masalah sampah di wilayah Panggungharjo.

Hal yang ingin dipecahkan dari adanya unit usaha KUPAS ini adalah meminimalisir dan bahkan
menghentikan pembuangan sampah yang menjadi permasalahan pelik akhir-akhir ini.

Pawuwuhan di era lampau berbentuk jugangan (galian tanah untuk membuang sampah). Di
zaman dulu orang-orang membuang sampah ke pawuhan atau jugangan lalu membakar hingga
menjadi abu untuk mengurangi ruang yang ditempati oleh sampah. Ketika sudah penuh maka
akan menggali lokasi baru dan membuang lagi membakar dan begitu seterusnya.
Siklus pengelolaan tersebut tentunya memiliki beberapa kelemahan, di antaranya:

 Merusak tata ruang pekarangan atau kebun karena harus menggali tanah dan membuang
sampah di jugangan

 Merusak ekosistem tanah karena adanya proses pembakaran

 Menimbulkan polusi udara karena karbon monoksida (CO) karena proses pembakaran

Konsep pawuwuhan yang akan dimasukkan dalam kawasan Karang Kitri adalah dengan tetap
menggandeng KUPAS sebagai pengelolanya dan memaksimalkan prosesnya. Pengelolaan
sampah di area pawuwuhan ini menggunakan paradigma baru pengelolaan sampah yaitu reuse
(memfungsikan kembali), recycle (daur ulang) dan reduce (mengurangi). Potensi sampah yang
bisa dijadikan kompos dapat menunjang pengembangan area plataran tengen dengan
memaksimalkan penggunaan pupuk organik. Sedangkan, sampah yang anorganik dapat
dimanfaatkan kembali dan didaur ulang menjadi teknologi yang tepat guna. Dengan demikian,
sampah yang harus dibuang (residu) semakin terminimalisir sehingga ramah lingkungan.

AREA IV (Kebonan)

Kebonan merupakan area yang bersifat komersil. Hal-hal yang ada di dalamnya ada pusat
permainan anak, pasar produk pertanian, cinderamata dan pangan lokal. Di area ini juga ada area
rumah berkonsep heritage yang membawa pengunjungnya menikmati nostalgia masa lalu.

Area bermain anak ada di sekitar timur laut Tlaga Julantoro yang berbentuk playground berupa
hamparan yang berisi permainan tradisiol (dolanan anak) yang sudah hampir tidak pernah
dikenal anak masa kini. Di samping itu, Tlogo Cilik di sebelah Selatan Tlaga Gedhe dapat
digunakan sebagai area ciblonan atau kekeceh. Area bermain tersebut memberi pengalaman dan
pengetahuan kepada anak-anak sebagai sarana napak tilas permainan masa lalu yang seru walau
tanpa sentuhan gadget.

Tlogo Gedhe menjadi pusat perekonomian yang menghadirkan nuansa era 1950an yang
membawa pasar apung. Di pasar apung akan disediakan beberapa komoditas hasil olahan pangan
lokal (jajan pasar), pertanian dan olahan kerajinan tradisional. Area ini akan menjadi episentrum
wisata yang akan menghadirkan suasana tahuan 1950an dan akan menjadi magnet pertumbuhan
ekonomi di wilayah sekitarnya sehingga membuka peluang lapangan kerja baru dan peluang
usaha baru.

AREA V (Sengkeran lan Pamujan)

Dua kebutuhan dasar atas hidup manusia tersedia di area ini, yakni air dan udara, beserta support
system untuk menjaga kualitas lingkungan yang sehat. Sengkeran sendiri merupakan tempat
pingitan, dalam hal ini diartikan sebagai lokasi yang memang ditujukan sebagai area konservasi
hutan yang didalamnya terdapat hutan lindung berisi berbagai tanaman serta satwa endemik.

Dalam area yang berupa Wana Desa ini, terdapat satu sumber mata air yang dahulunya
merupakan hulu dari Kali Buntung. Ini menjelaskan kenapa nama Buntung menjadi sandangan
nama dari sungai tersebut.

Selain difungsikan sebagai sengkeran, area ini juga digunakan sebagai pamujan. Dalam arti
yakni sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Agung. Pada masyarakat era
lalu, sarana mendekatkan diri kepada Tuhan yakni dengan melakukan semedi di tengah hutan
lebat untuk mencapai kondisi “Suwung”. Suwung mengandung makna kekosongan yang
bernuansa pengendalian diri yang sempurna dan kesadaran sejati akan diri yang berkaitan dengan
ketuhanan. Melalui kondisi suwung ini, manusia dengan sadar dapat memecahkan masalah yang
dihadapi dalam kehidupan secara lebih bijaksana.

AREA VI (Lumbon)

Daerah berupa sungai bernama Kali Buntung yang membelah kawasan budaya Karangkitri ini
berfungsi sebagai area konservasi ekosistem sungai dan konservasi ikan endemik. Seperti
yang kita ketahui bersama, di era kini banyak sekali ekosistem sungai yang sudah tercemari
berbagai limbah. Tak hanya limbah pabrik, limbah usaha rumah tangga dan limbah rumah tangga
turut pula meramaikan pencemaran air.

Kerinduan akan jernihnya sungai dengan berbagai ikan bersliweran didalamnya akan terobati di
area ini. Berbagai ikan endemik dapat ditemukan di kawasan tersebut, seperti ikan nilem, tawes,
wader pari, uceng, kuthuk benguk dan ikan-ikan endemik lainnya. Tak jarang satwa aves
endemik seperti burung pitikan, gemak sawah, dan derbombok terlihat di pinggiran Sungai
Buntung.
4. PROFIL KELEMBAGAAN

Kawasan Budaya Karangkitri merupakan sebuah usaha jasa yang bergerak dibidang pengelolaan
kegiatan wisata alternatif dan dikelola oleh Koperasi Warga Desa. Kawasan Budaya Karangkitri
sebagai unit usaha akan dikelola oleh sebuah Koperasi Warga Desa yang merupakan lembaga
kerakyatan, berfokus pada “fund manager” untuk mengelola dana masyarakat. Dana yang
terkumpul melalui Koperasi Warga Desa menjadi bagian dari pemilik atas perusahaan yang
mengelola barang dan jasa publik.

Anggota Koperasi Warga Desa terdiri dari 4 predikat desa yaitu desa budaya, desa prima, desa
preuneur, dan desa wisata. Selain itu melibatkan berbagai macam unsur masyarakat seperti
perangkat desa, lembaga desa, dan masyarakat umum.

Koperasi dipilih karena merupakan badan hukum yang sesuai dengan kehidupan masyarakat
desa Panggungharjo, dimana keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka. Pengelolaan koperasi
dilakukan secara demokrasi. Pembagian SHU dilakukan secara adil sesuai dengan jasa usaha
masing-masing anggota.
Koperasi Warga Desa bekerja sama dengan Pemerintah Desa Panggungharjo untuk mengelola
aset berupa tanah kas desa seluas sekitar 4 Ha beserta bangunan Balai Budaya Karangkitri dan
Tlaga Desa Julantoro. Pembagian investasi ditetapkan sebesar 60% untuk pemerintah desa
Panggungharjo dan 40% untuk Koperasi Warga Desa.

Koperasi sebagai fund manager menghimpun dana warga desa melalui simpanan pokok,
simpanan wajib, dan simpanan sukarela. Simpanan pokok adalah simpanan yang harus
dibayarkan anggota koperasi saat pertama kali menjadi anggota. Simpanan pokok hanya
dilakukan sekali selama menjadi anggota dan jumlahnya ditentukan oleh koperasi. Jumlahnya
sama bagi setiap anggota yang baru masuk. Simpanan Wajib adalah sejumlah uang yang wajib
disetor setiap bulan. Besarnya Balas Jasa Simpanan wajib ditetapkan dalam keputusan Rapat
Anggota Tahunan. Simpanan Wajib tidak dapat ditarik selama masih menjadi anggota. Simpanan
sukarela berjangka adalah simpanan anggota untuk merencanakan keperluan dana dalam jangka
waktu tertentu. Dana tersebut digunakan untuk pembiayaan atas nilai guna aset yang terdapat
pada Kawasan budaya karangkitri.

Bentuk Kerjasama antara koperasi warga desa dengan pemerintah desa diwujudkan dalam
bentuk unit usaha Bumdes. Bumdes merupakan badan hukum yang didirikan oleh desa dan/atau
bersama sama desa guna mengelola usaha, memanfaatkan aset, mengembangkan investasi dan
produktifitas, menyediakan jasa pelayanan dan/atau menyediakan jenis usaha lainnya untuk
sebesar besarnya kesejahteraan masyarakat desa.

5. ASPEK EKONOMI DAN KEUANGAN

Langkah strategis guna menjalankan tata kelola Kawasan Budaya Karangkitri Desa Mandiri
Budaya agar senantiasa efektif, efisien, dan sustainable dapat menggunakan pendekatan Bussines
Model Canvas (BMC), BMC adalah bentuk kerangka kerja yang digunakan untuk
mendefinisikan sebuah modes bisnis sehingga Langkah-langkah perencanaan yang dilakukan
lebih sistematis.
Dalam hal ini terdapat dua model BMC, yakni produksi dan jasa. BMC produksi dengan berpijak
pada value propositions “Makan apa yang ditanam, tanam apa yang dimakan”, dengan aktivitas
kuncinya; (1) Demploting dan pemeliharaan ternak, (2) Standar mutu produk organic, (3)
Manajemen produksi (tanam-panen), (4) Manajemen distribusi, (5) Manajemen Gudang, dan (6)
Pengolahan rumah makan balai budaya. Kendati demikian, aktivitas kunci yang telah dijabarkan
tersebut sesuai dengan resources yang dimilki berupa: (1) Ketersediaan lahan siap tanam dan
jaringan irigasi, (2) Infrastruktur kendang dan peralatan yang mendukung, (3) Tersedianya
tempat pengolahan pupuk kohe, (4) Mudahnya akses Kerjasama produksi (petani penggarap), (5)
Sistem manajemen yang terstruktur dan (6) Tersedianya SDM untuk pengelolaan. Dalam rangka
menjalankan aktivitas tersebut tentunya diperlukan partner dalam menjalankan praksisnya,
stakeholder atau partner yang telah dipetakan diantaranya; (1) Petani Penggarap, (2) Kampoeng
Mataraman, (3) Kupas.id, (4) Pasardesa.id, (5) Restoran balai budaya, dan (6) Resto lainnya.

Selanjutnya, agar senantiasa Kawasan Budaya Karangkitri menjadi destinasi khalayak ramai,
kami memetakan segmen customer, diantaranya wisatawan, rombongan studi banding, dan
pelanggan pasardesa.id. Agar customer memiliki trust terhadap destinasi kita, kami senantiasa
membangun relasi dengan customer menggunakan; (1) Campaign “Pangan Sehat”, (2) Wisata
edukasi (tanam/ panen), (3) Resto bernuansa budaya, dan lain sebagainya. Tentunya upaya untuk
mempromosikan Kawasan Budaya Karangkitri agar dikenal banyak orang, kami menggunakan
media promosi baik secara daring dan luring sepertihalnya melalui website, medsos, dan melalui
stakeholder-stakeholder terkait.

Sedangkan untuk yang BMC jasa value propositions yang menjadi landasannya adalah
Pengalaman teleportasi “Desa Masa Lampau”. Dengan aktivitas kuncinya; (1) Melakukan
manajemen penginapan, (2) Manajemen wisata, dan (3) Manajemen pengetahuan. Dengan
didukung dengan resources; (1) Ketersediaan infrastruktur dan peralatan yang mendukung , (2)
Adanya materi & modul pelatihan, dan (3) Sistem manajemen & SDM pengelola yang mumpuni.
Agar senantiasa aktivitas dan kegiatan berjalan efektif dan efisien, kami menggandeng
stakeholder terkait sepertihalnya; (1) Travel agent, (2) Penyedia platform market hub hotel atau
penginapan, dan (3) Instansi penyelenggara pelatihan atau outbond.

Selanjutnya, agar senantiasa pengelolaan Kawasan Budaya Karangkitri ini efektif-efisien dan
dikenal khalayak umum, kami memetakan customer segment diantarnya (1) Institusi sekolah, (2)
Instansi Pemerintahan dan lembaga, (3) Wisatawan luar daerah, dan (4) Keluarga. Agar customer
memiliki trust terhadap destinasi kita, kami senantiasa membangun relasi antar customer dengan
memberikan insentif bagi travel agent dan memberikan bingkisan sayur dan newsletter kepada
customer. Kemudian Langkah yang dilakukan agar Kawasan Budaya Karangkitri ini dikenal
masyarakat umum, kami menggunakan media promosi baik secara daring ataupun luring,
sepertihalnya; (1) Melalui Website, sosial media, dan brosur (2) Melalui online market hub hotel,
dan (3) Promosi konvensional seperi study tour ke sekolah.

Anda mungkin juga menyukai