Elegi Negeriku
Layu
Dedaunanku
Kering kerontang
Tanahku
Marah
Lautku
Retak
Wajah-wajah bumi
Kemunafikan
Di Sekelilingku
Arogan
Semuanya meroket
Darah
Harga
Semua menjerit
Sekedar berita sebelum kau rasa
26 Maret 2003.
Saya membuat puisi itu 20 tahun yang lalu. Sebuah puisi pilihan yang masuk kedalam buku
antologi puisi religius “Sebuah Titik” Fossi Fakultas Hukum Universitas Lampung. Saya
menuliskan kembali puisi tersebut untuk menggugah semua orang tentang kondisi lingkungan
hidup yang saat ini semakin memburuk akibat pemanasan global.
Derasnya arus globalisasi saat ini, terkadang menggerus budaya lokal bangsa.
Informasi, media sosial dan era disrupsi menjadikan budaya dan kearifan lokal masyarakat
adat terpinggirkan. Hal tersebut karena budaya local dianggap kuno dan jauh dari nilai
modernitas, padahal dalam budaya dan kearifan lokal masyarakat tradisional terdapat nilai
keseimbangan yang dapat membuat kehidupan menjadi lebih harmoni.
Indonesia memiliki kekayaan adat dan budaya yang heterogen dan kompleks, salah
satunya dalamhal pengelolaan tanah dan air. Masyarakat adat Lampung contohnya memiliki
warisan budaya terkait pengelolaan tanah dan air yang dikenal dengan nama Hulu Tulung.
Makna Hulu Tulung dalam bahasa lampung, yaitu Hulu artinya kepala dan Tulung
yang berarti menolong. Menolong secara harfiah memiliki arti sumber pertolongan atau
sumber mata air. Sumber mata air atau tempat air berasal sekaligus menjadi tempat
berkembang biaknya flora dan fauna yang dijaga dan dipelihara kelestariannya oleh
masyarakat adat melalui sarana kepercayaan orang Lampung, yaitu Hulu Tulung.
Masyarakat adat Lampung mempercayai bahwa memasuki daerah Hulu Tulung
adalah sebuah pantangan atau perbuatan yang terlarang. Hal tersebut karena Hulu Tulung
dianggap kerahmat (keramat) yang apabila dilanggar akan mendapatkan balak dari Tuhan
atau tegor-tegoran dari nenek moyang. Hulu Tulung yang menjadi daerah larangan tersebut
biasanya selalu ada disetiap Huma atau ladang masyarakat adat Lampung. Hulu tulung
dianggap sebagai tempat “suci” sehingga tempat tersebut harus senantiasa dijaga, disucikan,
tidak boleh diganggu gugat keberadaannya.
Kepercayaan tentang akan adanya balak dari Tuhan dan tegor-tegoran dari Nenek
moyang tersebut dapat berlaku apabila telah terjadi pelanggaran atas larangan, misalnya
memasuki kawasan hulutulung dengan sengaja untuk merambah, membakar, mengambil
hasil hutan baik berupa tumbuhan ataupun hewan, membuang sampah atau sesuatu secara
sembarangan. Berteriak-teriak, ataupun mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan
ketika berada disana. Menurut kepercayaan apabila pelanggaran-pelanggaran tersebut
dilakukan, maka pelaku akan mendapatkan balak dari Tuhan atau tegor-tegoran dari Nenek
moyang berupa penyakit misterius yang sulit untuk disembuhkan atau mendapatkan celaka.
Kepercayaan masyarakat adat Lampung terhadap keramat-nya Hulu Tulung tersebut
telah terjadi secara turun temurun meskipun pada zaman sekarang sudah mulai dilupakan dan
lambat laun hilang ditelan oleh pesatnya perkembangan zaman. Manusia modern yang ada
saat ini perlahan tidak lagi mengindahkan tentang arti penting sebuah warisan kearifan lokal
yang sarat dengan pesan-pesan moral, kemanfaatan, kelestarian, dan keberlangsungan hidup
manusia itu sendiri.
Manusia modern sekarang terkadang dengan dalih pembangunan justru merusak
lingkungan secara massif, gunung-gunung dan bukit dikeruk tanahnya, penambangan dan
eksploitasi secara serampangan, hutan-hutan dibabat habis, lahan-lahan produktif seperti
persawahan ditimbun menjadi perumahan, belum lagi rawa-rawa dan sumber resapan (cache
area) ditimbun kemudian berubah dijadikan pabrik, Mall, dan perumahan-perumahan baru
atas nama investasi tanpa memperhatikan akibat yang akan terjadi kemudian hari. Oleh
karena itu, tidak heran pada tempat-tempat tertentu yang semula sumber resapan yang
berubah menjadi pemukiman ketika hujan turun yang seharusnya menjadi berkah bagi umat
manusia justru menjadi bencana karena banjir dan tanah longsor. Sebaliknya apabila terjadi
musim kemarau kekeringan terjadi dimana-mana diakibatkan hilangnya sumber-sumber
resapan dan hilangnya hutan serta tanaman-tanaman tumbuh diperbukitan.
Perilaku masyarakat modern nyaris seperti tidak takut akan balasan dari Alam dan
Tuhan, menimbun rawa dan lautan, menggusur bukit dan gunung, serta membabat habis
hutan adalah perbuatan melawan sunnatullah alam. Perilaku manusia-manusia itu pernah
saya abadikan dalam sebuah puisi yang berjudul “Bekerja melawan Tuhan” sebagai akibat
keberanian mereka melawan sunnatullah berkedok investasi dan pembanguan.
Apabila kita renungkan dan teliti lebih mendalam, kepercayaan masyarakat adat
lampung terhadap hal-hal takhayul dan magis merupakan salah satu cara mereka untuk dapat
hidup selaras dan harmoni dengan alam. Sehingga kelestarian alam tetap terjaga dan
memberikan manfaat dalam jangka waktu yang panjang. Kebiasaan masyarakat adat tersebut
tidak kita temukan pada masyarakat modern. Kearifan lokal atau nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat adat timbul secara naluriah yang mereka dapatkan
dari hasil kedekatan hidup mereka dengan alam. Alam menjadi sahabat dan tempat hidup
karena mereka sangat meyakini bahwa alam adalah karunia Tuhan dan warisan nenek
moyang yang harus mereka jaga dan pelihara dengan sebaik-baiknya.
Konsep sistem kearifan lokal sebenarnya berakar dari sistem pengetahuan dan
pengelolaan masyarakat adat, hal ini dikarenakan kedekatan hubungan mereka dengan
lingkungan dan sumber daya alam. Melalui proses interaksi dan adaptasi dengan lingkungan
dan sumber daya alam yang panjang, masyarakat adat mampu mengembangkan cara untuk
mempertahankan hidup dengan menciptakan sistem nilai, pola hidup, sistem kelembagaan
dan hukum yang selaras dengan kondisi dan ketersediaan sumber daya alam disekitar daerah
yang ditinggalinya.
Pengalaman berinteraksi dan beradaptasi secara erat dengan alam telah memberikan
pengetahuan yang mendalam bagi kelompok-kelompok masyarakat adat dalam pengelolaan
sumber daya alam lokalnya. Mereka telah memiliki pengetahuan lokal untuk mengelola
tanah, tumbuhan, dan binatang baik dihutan maupun disungai untuk memenuhi segala
kebutuhan hidup mereka seperti makanan, obat-obatan, pakaian, dan pemukiman.
Harus diakui bahwa masyarakat adat yang hidup puluhan ribu tahun yang lalu hingga
saat ini, merupakan “ilmuan-ilmuan” yang sangat mengetahui tentang alam lingkungan
mereka. Sayangnya, sistem pengetahuan lokal mereka belum banyak didokumentasi,
dipublikasi, dan disosialisasikan, bahkan dalam percepatan pembangunan saat ini keberadaan
masyarakat adat dan kearifan lokalnya cenderung tersingkir dan terpinggirkan.
Glosarium :
Hulu tulung : tempat yang dikeramatkan sebagai sumber mata air
Tegor-tegoran : kesambet/mendapatkan penyakit yang tidak dapat dideteksi secara medis
Balak : celaka
Kerahmat : keramat/tempat yang dikeramatkan