Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH TEOLOGI HERMENEUTIK

ECO-TEOSENTRIS
“Studi Eco-Teologi dan Kearifan Lokal
dalam Masyarakat Kota Palu”

DI SUSUN OLEH:

EFRAIM HESED EL-ROI PASILA

PASCASARJANA SEKOLAH TINGGI THEOLOGIA INDONESIA BAGIAN TIMUR


MAKASSAR
TAHUN 2024
Abstrak

Krisis ekologi yang diakibatkan aktivitas manusia di era modern ini telah mengancam eksistensi
kehidupan manusia, alam, dan berbagai makhluk hidup lainnya. Krisis lingkungan hidup yang
terjadi saat ini adalah sebagai akibat dari paradigma antroposentrisme yang bersifat egoistis dan
mengutamakan kepentingan manusia dalam memandang alam. Sebagai akibatnya manusia harus
merekonstruksi cara pandang mereka terhadap alam dengan pendekatan etika eco-teosentris yang
dianggap lebih mempertimbangkan keselarasan dalam seluruh tatanan ekosistem dan berpusat
kepada Allah. Hasil temuan menunjukkan bahwa etika lingkungan tidak harus bersifat
antroposentris, biosentris atau ekosentris, tetapi harus bersifat eco-teosentris. Etika eco-teosentris
mengajarkan bahwa manusia harus melihat positif, baik dirinya maupun alam, dalam kerangka
kebaikan Allah. Sebagai pencipta. Baik dari segi ajaran Alkitab dan kearifan lokal dalam
masyarakat Kota Palu mengajarkan bahwa manusia perlu menjaga kelestarian teluk Palu maupun
menjaga hutan dari penebangan liar, manusia sebagai pelayan yang bertanggung jawab terhadap
alam dan Allah, manusia harus hidup sederhana dan selaras dengan alam, bersikap adil dalam
mengelola alam dan mampu mengendalikan diri untuk tidak mengeksploitasi alam secara tidak
bertanggung jawab.
Kata Kunci: Eco-teosentris, Eco-teolog, krisis lingkungan, kearifan lokal, masyarakat
Kota Palu, budaya Kaili.
BAB 1
PENDAHULUAN
Dunia yang saat ini menjadi tempat tinggal bagi lebih dari tujuh miliar jiwa manusia benar-
benar berada dalam kondisi yang sangat mengkuatirkan. Berbagai fakta menunjukkan bahwa
kerusakan lingkungan atau yang sering dinamakan dengan krisis ekologi sedang berada pada
puncaknya. Jika kondisi ini tidak segera diatasi, maka keberlangsungan alam dan manusia berada
dalam ancaman yang sangat serius. Bukti-bukti krisis ekologis dapat dilacak pada sejumlah fakta
berikut, yaitu; pertama, kerusakan hutan (deforestasi). Data menunjukkan bahwa pada awal abad
ke-20 luas areal hutan dunia mencapai lima miliar hektar. Namun, telah terjadi deforestasi secara
besar-besaran di berbagai belahan dunia sehingga luas hamparan hutan terus menurun dengan
perkiraan laju deforestasi mencapai tujuh juta hektar per tahun.1
Fenomena kerusakan lingkungan hidup menjadi isu dunia saat ini. Kerusakan alam,
eksploitasi laut dan pembuangan sampah secara sembarangan menjadi hal yang sangat menarik
dalam kehidupan saat ini. Manusia dituntut untuk turut menyelamatkan lingkungan, dari orang-
orang yang tidak menjaga keselamatan lingkungan. Sikap etik atau tanpa etika terhadap alam
dalam bentuk eksploitasi, manipulasi dan dominasi yang overdosis terhadap alam merupakan
arogansi manusia yang terlampau berlebihan. Alam seakan tanpa nilai apapun dihadapan
manusia, kecuali sebagai instrument bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia semata.1 Sikap
manusia seperti ini telah menyebabkan manusia harus menerima reaksi dari alam yang hancur,
seperti bencana alam, pembuangan sampah secara sembarangan, tanah longsor, krisis air, dan
sebagainya.
Lingkungan tempat berlangsungnya kehidupan, baik manusia, hewan dan tumbuhan
seharusnya dilihat sebagai suatu kesatuan ekosistem. Dewasa ini banyak bermunculan isuisu
lingkungan, sebagai dampak dari sikap hidup manusia yang semena-mena dan tidak bertanggung
jawab. Hutan misalnya, yang merupakan penopang kelestarian kehidupan di bumi, yang tidak
saja menyediakan bahan pangan maupun bahan produksi, melainkan juga sebagai penghasil
oksigen, penahan lapisan tanah, dan menyimpan cadangan air. 2 Penebangan hutan secara liar
(illegal logging) semakin tak terkendali untuk kebutuhan industri kayu, bahan bagunan, bahan
1
Medy Martje Lobang dan Yosua Feliciano Camerling, “Media Pembelajaran dan Kurikulum Pendidikan
Jemaat dalam Gereja Berbasis Online untuk Menghadapi Perubahan Globalisasi Abad ke-21,” Jurnal Ilmu
Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 2, no. 1 (2021): 61–78.
2
R. Kusumaningtias dan I. Chofyan, “pengelolaan hutan dalam mengatasi alih fungsi lahan hutan di
wilayah Kabupaten Subang”, Jurnal Perencanaan wilayah dan kota. Vol. 13 No. 2, (Juni 2021), 2.
perkakas rumah tangga, maupun untuk bahan bakar. Hutan juga beralih fungsi menjadi lahan
pertanian.
Faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan dan lingkungan antara lain, kehidupan modern
pada masa kini yang telah mengubah cara pandang manusia terhadap alam. Lingkungan alam
telah menjadi objek bagi manusia sehingga terjadi pengeksplotasian secara tidak tertanggung
jawab. Inovasi dalam menciptakan barang semakin dilakukan untuk menarik perhatian
konsumen. Dengan demikian, semakin banyak produsen berupaya mengambil modal berupa
bahan baku yang berasal dari lingkungan alam sekitarnya. Perlu diakui bahwa pembangunan
ekonomi dapat menyejahterakan manusia dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) sebagai alat pendorong pembangunan ekonomi tersebut, akan tetapi, terkadang IPTEK
juga menjadi salah satu faktor yang telah menghancurkan alam lingkungan kehidupan seluruh
makhluk hidup.3
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kerusakan ekologi mulai mengancam perairan Teluk Palu,
kota Palu, provinsi Sulawesi Tengah. Perairan Teluk Palu yang selama ini diarungi untuk
melanjutkan kehidupan dinyatakan dalam kondisi kritis. akibat aktivitas-aktivitas baik itu di
darat maupun di laut secara intensif. Dampaknya adalah terjadi perubahan ekologi Teluk Palu
terutama pada sumber daya ikan. Di satu sisi laut merupakan tempat berbagai organisme atau
biota laut yang hidup dan berkembang. Di sisi lain ada sekitar 160 nelayan tradisional yang
berada di wilayah teluk Palu yang menggantungkan hidup dengan hasil laut. Selain persoalan
diatas sampah juga dihasilkan oleh rumah tangga bagi penduduk yang mendiami badan sungai
serta pesisir teluk Palu, ini dapat dilihat bagaimana penduduk memanfaatkan sungai sebagai
sarana (keranjang sampah) untuk pembuangan akhir, dari hasil studi Tahun 2004 yang dilakukan
YPR bersama Penduduk yang bermuikm mulai dari pasar Inpres/Manonda, Pasar Tua, Kampung
Baru, sampai Kampung Lere (yang mendiami pinggir Sungai) semuanya menggunakan sungai
untuk mengangkut/membawa sampah mereka hingga akhirnya sampai ke-Laut Teluk Palu, dan
diperparah lagi dengan adanya limbah kimia yang dihasilkan oleh bengkel, beberapa rumah sakit
yang juga menggunakan air sungai dan selokan/ drainnase sebagai media yang praktis untuk
membuang limbah hal ini-pun semuanya bermuara ke-Laut Teluk Palu.4

3
Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru: Akses Etika dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003), 50-51
4
Ansar, “MENUJU KEBIJAKAN PENGELOLAAN TELUK PALU YANG HARMONIS,” Media Litbang Sulteng IV
(2) : 142 – 148 , 2 (Desember 2011): 145.
Selain faktor di atas, krisis lingkungan juga terjadi pada keanekaragaman hayati pada
kawasan teluk Palu yang telah mengalami ancaman, baik itu habitat daratan maupun habitat
perairan, Kegiatan penambangan pasir, batu dan kerikil yang beroprasi tidak jauh dari badan
sungai-sungai dan pantai teluk Palu tidak memperhatikan etika pemanfaatan tentang sempadan
pantai dan sempadan sungai yang seharusnya 100 meter dari sisi kiri dan kanan badan pantai dan
sungai, penambangan ini memicu banyak hal yang dapat mengganggu kosentrasi keseimbangan
lingkungan diwilayah pesisir, dan dapat mengakibatkan sungai menjadi lebar hal ini berdampak
pada perkebunan serta pemukiman masyarakat. Pada kawasan pesisir dapat mengakibatkan
penimbunan terhadap beberapa ekosistim seperti terumbu karang, dan vegatasi hutan mangrove,
dan didaerah lainnya akan terjadi abrasi pantai.
Berteologi dalam konteks krisis ekologis berarti berteologi terhadap ancaman yang dihadapi
lingkungan hidup yang sudah sangat rusak dan terancam binasa oleh ulah manusia. Berteologi
dalam konteks kerusakan lingkungan hidup berarti suatu usaha merefleksikan teologi dalam
konteks kondisi faktual lingkungan hidup yang sedang krisis. Dalam konteks krisis lingkungan
hidup saat ini, ada beberapa prinsip yang harus kita pahami mengapa kita harus memelihara
alam. Pertama, alam tanpa manusia, maka alam dapat melangsungkan keberlangsungan hidupnya
sebagai mana dia adanya, seperti yang terlihat dari sejarah bumi sebelum ada manusia.
Sebaliknya, manusia tanpa alam, manusia tidak akan dapat bertahan hidup dan melangsungkan
hidupnya, sebab manusia bergantung kepada lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dalam prinsip pertama ini manusia perlu menjaga alam semesta ini demi
keberlangsungan hidupnya. Kedua, hakekat Allah adalah Pencipta, sebagaimana yang di
ungkapkan dalam kejadian pasal 1 dan pasal 2, maka secara tidak langsung Allah selalu berada
dalam ciptaan-Nya atau dunia ini, oleh sebab itu manusia harus memelihara alam ini,
sebagaimana mandat yang telah di berikan Allah kepada manusia untuk mengusahakan,
menjaga, mengelola alam ini secara bertanggung jawab demi keberlangsungan hidup manusia di
muka bumi ini.5
Dalam tulisan ini penulis mengkaji tentang prinsip-prinsip eco-teosentris dan
implementasinya dalam praktik-praktik kearifan lokal dalam masyarakat Kota Palu, sebagai
salah satu strategi untuk berteologi secara kontekstual bagi masyarakat Kota Palu dalam
memelihara lingkungan hidup dan pencegahan sejak dini krisis lingkungan. Penulis juga
5
Yosefo, “Konsep Eduecologi dalam Pendidikan Agama Kristen Konteks Sekolah,” Fidei: Jurnal Teologi
Sistematika dan Praktika, Vol. 3, No. 2, (Desember.2020): 188.
menggunakan konsep Etika kristosentris-holisme yang dimana merupakan etika yang
menjadikan Kristus sebagai teladan bagi ciptaan dan melihat ciptaan sebagai bagian yang utuh
dan tidak terpisah, setara dan saling bergantung, dengan tanggungjawab manusia sebagai
penatalayanan. Etika ini menghargai nilai dari semua ciptaan, tetapi juga melihat tempat
tanggung jawab manusia dan semuanya tidak dapat terpisah dari Kristus. Seluruh ciptaan
merupakan suatu keutuhan dengan peran yang berbeda-beda dan dikepalai oleh Kristus. Kearifan
lokal bukan hanya berbicara tentang pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat berkenaan
dengan membangun relasi yang baik antar sesama, melainkan juga bagaimana relasi diantara
semua penghuni komunitas ekologi bisa berjalan seimbang tanpa ada salah satu aspek yang
tertinggal atau tertindih. Maka dari itu kearifan lokal merupakan suatu jawaban dalam mencari
landasan dan berteologi dalam konteks pembangunan berkelanjutan dengan masyarakat sebagai
subjek yang akan terlibat langsung dalam memelihara alam.

Dalam konteks krisis ekologi ini, gereja terpanggil untuk melakukan transformasi paradigma
dari Antroposetrisme kepada Teosentrisme dan etika Kristosentris, yang merupakan teori etika
lingkungan yang lebih memperhatikan lingkungan secara keseluruhan, yaitu hubungan antara
manusia dengan lingkungannya, manusia dengan sesamanya yang berpusat kepada Allah.

BAB II
ISI
1.1. Etika Eco-Teosentris

Etika secara etimologis berawal dari kata Yunani ethos yang memiliki arti adat istiadat atau
kebiasaan. Dalam pengertian ini, etika berkaitan erat dengan kebiasaan atau cara hidup yang baik
seseorang atau masyarakat. Etika diadopsi dan diwariskan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya. Etika juga dipandang sama dengan moralitas, yakni adat kebiasaan yang dibakukan
dalam bentuk aturan tentang bagaimana manusia seharusnya hidup secara baik. Sebaliknya, etika
juga dapat dipahami secara berbeda dari moralitas. Dalam pengertian ini, etika dipahami sebagai
refleksi kritis tentang bagaimana manusia seharusnya hidup dan bertindak dalam situasi konkret
tertentu. Etika adalah filsafat moral atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis
persoalan benar dan salah secara moral. Etika juga mengkaji tentang bagaimana manusia
bertindak dalam situasi konkret.6

Ekosentrisme adalah pandangan atau pendekatan yang memandang bahwa keberlangsungan


ekosistem dan keberlangsungan hidup di bumi secara keseluruhan adalah prioritas utama dalam
mengambil keputusan dan tindakan. Pandangan ini menekankan pentingnya mempertahankan
keseimbangan alam dan menjaga kualitas lingkungan hidup untuk keberlangsungan hidup di
bumi di masa yang akan datang. Ekosentrisme berbeda dengan pandangan antroposentrisme
yang memandang manusia sebagai pusat dari segala sesuatu dan menempatkan kepentingan
manusia di atas kepentingan alam dan ekosistem lainnya. Ekosentrisme memfokuskan etika pada
semua komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak hidup. Makhluk ekologis dan
hal-hal abiotik lainnya terkait. Oleh karena itu, tugas dan tanggung jawab moral tidak hanya
terbatas pada makhluk hidup, tetapi juga berlaku pada semua realitas ekologis.7

Ekosentrisme Berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan
biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya,
ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup
maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling
terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya
6
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup (Jakarta: Kompas, 2010), 14-17.
7
Siti Sarah dan Radea Yuli, Ekofilosofi "Deep Ecology" Pandangan Ekosentrisme terhadap Etika Deep
Ecology,” Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2023): 759.
dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku
terhadap semua realitas ekologis.

Ekosentrisme dapat dikatakan sebagai lanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme.
Kalau biosentrisme hanya memusatkan perhatian pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme
justru memusatkan perhatian pada seluruh komunitas biologis, baik yang hidup maupun tidak.
Pandangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa secara ekologis, baik makhluk hidup maupun
benda-benda antibiotik lainnya saling terkait satu sama lainnya. Jadi, ekosentrisme, selain sejalan
dengan biosentrisme di mana keduanya sama-sama menentang pandangan antroposentrisme juga
mencakup komunitas ekologis seluruhnya Namun dalam kenyataannya manusia masih
dipengaruhi paham nalar antroposentrisme yang merupakan penyebab utama munculnya krisis
lingkungan. Cara pandang antroposentrisme ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan
menguras sumber daya alam dengan sebesar-besarnya demi kelangsungan hidupnya. Praktis,
krisis lingkunganpun sulit terhindarkan, karenanya alam tidak mampu lagi berdaya menahan
gempuran keserakahan manusia.8

Dalam konteks krisis lingkungan hidup yang terjadi saat ini di kota Palu, yang perlu di
bangun adalah etika Eco-Teosentrisme. Pandangan etika Eco-Teosentrisme yang merupakan
teori etika yang lebih memperhatikan lingkungan secara keseluruhan dan bersifat holistik yang
berpusat kepada Allah, yaitu hubungan manusia dengan lingkungannya yang berpusat kepada
Allah. Dalam beberapa hal, pandangan ini melebihi baik pendekatan antroposentris maupun
pendekatan biosentris dan ekosentris. Pandangan ini menghargai nilai semua ciptaan, tetapi juga
melihat tempat tanggung jawab manusia.

Pandangan Eco-Teosentris, lebih menekankan kepedulian terhadap seluruh makhluk


yang memiliki nilai di dalamnya (ekosentris) serta kepedulian Allah atas ciptaan (teosentris).
Meskipun tidak menganggap Allah dan alam adalah sama, tetapi seluruh ciptaan berada dalam
hubungan yang harmonis berpusat pada Allah (teosentris). 9 Etika Eco-Teosentris adalah etika

8
Nirwasui Arsita Awang et al., “EKOTEOLOGI FUNGSI HUTAN OENAEK,” Gema Teologika 4, no. 2 (2019):
135–154.
9
Kivatsi J. Kavusa, “Ecological Hermeneutics and the Interpretation of Biblical Texts Yesterday , Today and
Onwards : Critical Reflection and Assessment,” Old Testament Essays 32, no. 1 (2019): 229–255.
yang mengasihi seluruh ciptaan dan juga ekosistem. Mazmur 104:10-18 dan Kolose 1:15-23
menegaskan bahwa setiap komponen ciptaan dipuji dan dirayakan, dan Allah berkenan pada
kebaikan alam secara menyeluruh. Pandangan etika teosentris mengenai alam atau lingkungan
bersumber pada Alkitab yang secara jelas mengatakan bahwa alam semesta ini adalah baik
secara fisik dan merefleksikan kemuliaan Pencipta-Nya dan yang menjadikan Kristus sebagai
teladan bagi ciptaan dan melihat ciptaan sebagai bagian yang utuh dan tidak terpisah, setara dan
saling bergantung, dengan tanggungjawab manusia sebagai penatalayanan. Etika ini
menghargai nilai dari semua ciptaan, tetapi juga melihat tempat tanggung jawab manusia dan
semuanya tidak dapat terpisah dari Kristus. Seluruh ciptaan merupakan suatu keutuhan dengan
peran yang berbeda-beda dan dikepalai oleh Kristus. Pemikiran yang layak menjadi dasar
berteologi pada konteks masa kini. Pada pemikiran ini Kristus menjadi dasar dalam ber-etika
dan terdapat penghargaan terhadap semua ciptaan dalam hubungan kemitraan yang sejajar
sambil melihat tempat tanggung jawab manusia yakni sebagai penatalayan yang mengurus dan
mengelola alam secara bertanggungjawab.

Dalam Mazmur 104:10-18, di sini penulis Mazmur menggambarkan bahwa Allah


pemberi hidup dan Allah sebagai sumber air hidup untuk segala yang hidup di bumi. Dalam
teologi Mazmur ini penulis mau melihat bahwa semua makhluk yang ada di muka bumi ini
memiliki hak untuk hidup, semua dipelihara dan dilindungi. 10 Seluruh ciptaan ini bergantung
pada Tuhan dan semua saling bergantung supaya dapat berkembang sejahtera dan bertahan
hidup. Ada dua gagasan yang perlu dipahami dalam teologi Mazmur ini, yakni kesatuan seluruh
ciptaan dan tujuan penciptaan itu. Kacamata baru sangat diperlukan untuk membaca teks
Alkitab dalam sentuhan ekoteologi. Kacamata tersebut ialah paradigma berpikir atau berteologi
yang meniadakan relasi hierarkis dan menyatakan keutuhan ciptaan melalui karya Kristus,
namun paradigma tersebut akan lebih bernilai jika dapat diterapkan dalam kehidupan. 11
Paradigma keutamaan Kristus dalam wacana ekoteologi hasil penafsiran Kolose 1:15-23
melahirkan suatu pola berelasi yang baru antara Allah dan ciptaan maupun antar ciptaan. Pola
atau etika ini, saya sebut sebagai kristosentris-holisme.Ini berarti bahwa teks Kolose 1:15-23

10
Kalemba Mwambazambi, “A Glance on Environmental Protection in Africa: Theological Perspective,”
Ethiopian Journal of Environmental Studies and Management 2, no. 3 (2009): 19–26.
11
Robert P. Borrong, Teologi dan Ekologi( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 36-38.
seharusnya dibaca dalam paradigma ekoteologi yang ber-etika kristosentris-holisme.

1.2. Eco-Teologi dan Kearifan Lokal Masyarakat Kota Palu

Dalam perspektif Teologi lingkungan hidup, manusia adalah sebagai citra dan mitra
Allah bagi dan dalam dunia seutuhnya. Manusia memiliki tanggung jawab moral dalam
menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya.12Perspektif ini mengindikasikan kehadiran dan
keberadaan manusia yang turut bergumul mengaplikasikan pengakuan dan kehadiran Allah
yang mencipta, memelihara dan menebus seluruh karya-Nya. Kehadiran manusia di tengah-
tengah dunia mengindikasikan kehadiran Allah yang terus berkarya.
Konsep ini mengingatkan manusia untuk berperan secara bertanggung jawab, karena
seluruh perannya menampilkan peran Allah. Manusia merupakan citra Allah berarti manusia
bertanggung jawab pula dalam menghadirkan wajah dan karakter Allah yang memelihara
segala ciptaanNya. Jika manusia tidak memelihara tetapi semata-mata mau menguasai alam,
maka ia menolak eksistensi dirinya sebagai citra Allah. Dalam istilah representasi Allah, tidak
tepat dan terkesan berlebihan, karena manusia memiliki keterbatasan, tetapi manusia harus
memahami dirinya sebagai wakil atau mandataris Allah yang telah menciptakan alam semesta
dan terus ada dalam karyaNya yang tidak terbatas dalam menjaga dan memelihara segala
ciptaanNya.

Teori ekologi budaya diperkenalkan Julian H. Steward pada permulaan dasawarsa 1730-
an. Inti dari teori ini adalah lingkungan dan budaya tidak bisa dilihat terpisah, tetapi merupakan
hasil campuran yang berproses lewat dialektika. Dengan kata lain, proses-proses ekologi
memiliki hukum timbal balik. Budaya dan lingkungan bukan entitas yang masing-masing
berdiri sendiri atau bukan barang jadi yang bersifat statis.13

Menurut pendapat beberapa ahli ekoteologi bahwa alam tidak saja memiliki nilai
instrumen tetapi juga nilai subjek. Artinya bahwa alam tidak sekedar memiliki nilai instrumen
dan nilai subjek tetapi alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri yakni nilai intrinsik bahwa

12
Jefri Hina Remikatu, “Teologi Ekologi: Suatu Isu Etika Menuju Eskatologi Kristen,” CARAKA: Jurnal
Teologi Biblika dan Praktika 1, no. 1 (May 2020): 70.
13
Rachmad K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 47–48.
alam itu berharga.14 Menurut Capra manusia harus memiliki kesadaran ekologis, esensi kearifan
sistemik yang didasarkan atas suatu penghormatan yang tinggi pada kearifan alam, yang
sepenuhnya konsisten dengan wawasan-wawasan ekologi modern. Penghormatan kepada
kearifan alam itu harus didukung lebih jauh oleh wawasan bahwa lingkungan kita tidak hanya
hidup melainkan juga berjiwa.15

Mengingat Teluk Palu terletak di wilayah Sulawesi Tengah, maka mayoritas penduduk
lokalnya berasal dari etnik Kaili. Dalam kebudayaan Kaili sudah terbentuk pola hubungan antar
manusia dengan pencipta, manusia dengan sesama, manusia dan manusia dengan lingkungannya.
Dalam cerita budaya Kaili memahami bahwa dalam suatu lingkungan tertentu ada penguasanya
yang mereka percayai sebagai pemeran utama terjadinya alam yaitu Anitu. Budaya Kaili
mengenal atau percaya dengan keberadaan penguasa (Pue) seperti “Karampua Langi” atau Pue
Langi (penguasa langit), roh atau kekuatan gaib yang mengatur iklim, cuaca, bulan dan matahari,
gerhana matahari dan bulan, serta benda-benda langit lainnya. Selain itu, mereka juga percaya
adanya “Karampua Ntana” atau Pue Ntana (penguasa tanah/bumi). Penguasa bumi ini dipercaya
dapat mengatur atau penyebab kehidupan yang ada di bumi seperti gempa, banjir, angin ribut dan
lain sebagainya. Ada juga yang bersemayam dalam sebuah tempat seperti Pue Ntasi (penguasa
laut), Pue Nggayu (penguasa hutan). 16

Setiap pemanfaatan air untuk kegiatan khusus misalnya pengobatan harus melewati
pemahaman khusus, yaitu: Penghormatan kepada Pue Ntasi yang menjaga kelestarian air
yang akan digunakan untuk kebutuhan hidup, "Tora Bingga" Dalam upacara ini sejumlah
pemangku adat suku Kaili mengambil air sungai saat prosesi ritual "Tora Binggga". Prosesi
ritual tersebut dimaksudkan untuk meminta kepada sang pencipta agar sumber air tetap
terjaga. Namun tidak hanya dalam pemanfaatan air tetapi kelestarian hutan menjadi salah
satu kearifan lokal, pengetahuan tentang vegetasi yang dapat menjaga kelestarian hutan dan
erosi yang berada di sekitar kota Palu, antara lain: kayu tea, kayu beata, kayu mona, kayu
kapa, kalibau. Selain itu, bagi masyarakat Kaili juga berlaku secara adat dalam melestarikan

14
Keraf. A Sonny, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 115.
15
Capra Fritjop, Titik Balik Peradaban Cetakan Kedelapan, (Yogyakarta: Pustaka Prometha, 2014), 486-
487.
16
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018), 107.
hutan dengan jenis pohon yang harus dilestarikan seperti, pohon malabano, nokilana,
maravola, malasia, dan tanjaibo. Untuk menjaga mekanisme pelarangan dan pelestarian
hutan, diperlakukan aturan dengan istilah “Ombo” artinya selama masa ombo diberlakukan
secara adat, maka jenis pohon yang ada di hutan tidak boleh ditebang atau diambil pohonnya,
kecuali ranting-ranting yang kering untuk dijadikan kayu bakar, maksudnya upaya
masyarakat untuk tetap melestarikan hutan agar tidak kena longsor atau bahaya banjir yang
bisa merusak lingkungan dan perumahan. Selain fungsi ekologis, seperti hutan, danau dan
jagad raya agar tetap dilestarikan, juga merupakan sumber kehidupan warga masyarakat
setempat, karena itu, upacara-upacara adat atau ritual lainnya, masih tetap dipertahankan dan
dilakukan di Bantaya bagi masyarakat Kaili , Lobo bagi masyarakat Kulawi. Sebagai contoh,
upacara Vunja yakni upacara kegembiraan selesai panen, mereka melakukan di areal dekat
hutan, karena di lokasi itu ada bangunan Bantaya atau lobo, diselingi dengan tarian modero.

Rusaknya ekologi teluk Palu, hilangnya garis pantai, abrasi, sedimentasi, pencemaran,
hancur dan rusaknya terumbu karang, menurunnya potensi ikan, dll menjadi ancaman bagi
kelestarian dan kesinambungan sistem ekologi di teluk Palu. Teluk Palu mempunyai
ekosistim pesisir yang sangat kompleks dengan memiliki ekosistim estuaria, mangrove,
terumbu karang, dan padang lamun menjadikan teluk Palu kaya akan organisme perairan, hal
ini dibarengi dengan makin meningkatnya populasi manusia yang tinggal dan mendiami
wilayah pesisir sepanjang teluk Palu. Masyarakat nelayan yang bermukim disepanjang
pesisir teluk Palu.

Konsisten dan kebersamaan dalam menjaga ketertiban dan keamanan melalui motto
“hintuwu mome panimpu” disimbolkan agar tetap menjaga keutuhan dan ketenteraman hidup
dalam masyarakat, dengan pilar utama adalah “ pakaroho hintuwu” artinya perkuat persatuan
dan kesatuan, dan “nemo mome kingki, padaa dan kubi “ artinya jangan saling membenci,
dan saling menyakiti antara sesame penghuni jagad.17

Jadi, bagi masyarakat sekitar kawasan kota Palu, tanah, air dan hutan adalah satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Tanah, air dan hutan harus dijaga
17
Sukmawati, “KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAILI DI SULAWESI TENGAH.” JURNAL ACADEMICA Fisip
Untad VOL.05 No. 02 (Oktober 2013): 1126.
agar tetap lestari, tidak boleh dirusak agar kehidupan masyarakat nyaman dan tentram dan
keseimbangan ekologi tetap terjaga baik. Dalam siklus kehidupan terhadap alam merupakan
komponen penting bagi manusia, tumbuhan, dan hewan dalam proses kehidupannya.
Dalam kebudayaan di Nusantara ini baik secara khusus budaya Kaili, diajarkan bahwa
alam semesta dan isinya terjadi secara pengaliran dari satu asas yaitu zat ilahi, sehingga
dalam relasi manusia terhadap alam terbentuk kebudayaan yang mereka lakukan terhadap
alam, seperti menganggap alam memiliki kekuatan/roh, sakral, sehingga perilaku mereka
sehari-hari dalam masyarakat dikaitkan dalam hubungan dengan alam, artinya baik atau
buruknya perilaku manusia akan mempengaruhi hubungan harmonis atau disharmonis
dengan alam.18 Kebudayaan kearifan lokal memiliki nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
lestari, karena manusia berada dan tidak terlepas dari alam. Namun kadang kala budaya itu
dapat merusak lingkungan dengan munculnya budaya konsumtif, materialisme,
antroposentris dan lain-lain.19
Jika dilihat dari segi ajaran Kristen dan budaya Kaili, adanya krisis ekologi yang terjadi
di kawasan Teluk Palu dan Hutan, menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam relasi
manusia dengan alam, masyarakat itu sendiri melanggar nilai-nilai yang telah ditanamkan
dari semula bahwa alam itu adalah bagian terpenting dalam hidup masyarakat Kaili dan juga
ajaran Kristen, sehingga perlu memelihara dan mengelola lingkungan hidup kawasan Kota
Palu secara baik dan benar. Krisis ekologi di kawasan teluk Palu dan penebangan hutan
secara ilegal, berarti terjadinya suatu ketidakseimbangan dalam tatanan ekosistem, sehingga
yang harus dilakukan adalah bagaimana mencegah dan memperbaiki sikap manusia yang
rakus dan tamak dalam mengeksploitasi alam kawasan Kota Palu yang berbasis uang,
ekonomi, dan untung. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara mentransformasi cara
pandang manusia dari paham antroposetris kepada paham Eco-Teosentris dan juga
menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Kaili yang mencintai alam, sebagai bagian dari
hidup mereka yang memiliki nilai kesakralan baik dalam penggunaan maupun
pemanfaatannya, dan melihat alam sebagai pemberian Allah. Gereja juga dapat melakukan

18
Kalemba Mwambazambi, “Environmental Problems in Africa: A Theological Response,” Ethiopian
Journal of Environmental Studies and Management 3, no. 2 (2010): 54–64.
19
Norman L. Geisler, Chirstian Ethics: Options and Issues (Amerika: Baker Academic, 2007), 284–
297.
kontekstualisasi dengan menggali nilai-nilai budaya setempat yang dapat dikembangkan
dengan nilai-nilai Kristen sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas tentang kearifan
lokal masyarakat suku Kaili dalam memelihara alam, agar menjadi kekuatan untuk menjaga
dan melestarikan perairan Teluk Palu maupun pelestarian hutan yang semakin tercemar dan
rusak.

BAB III
PENUTUP
Adapun beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam penulisan ini, yaitu implementasi
teologi lingkungan hidup mesti nampak dalam perilaku hidup yang sehat, peduli lingkungan,
menjaga dan memelihara alam serta tidak membuang sampah secara sembarangan. Konsep
Manusia dan semua makhluk hidup lainnya, bahkan seluruh alam semesta ini, bersumber dari
Allah. Allah yang menciptakannya dan Allah menghendaki seluruhnya berada, topang-
menopang, dan saling membutuhkan. Maka etika lingkungan, dari perspektif teologi Kristen,
mestinya bersifat eco-teosentris. Ajaran etika eco-teosentris yang memandang manusia dan alam
semesta yang berpusat pada satu sumber utama yaitu Allah. Allah yang menciptakan alam
semesta ini, dan manusia dengan seluruh ciptaan lainnya bertanggung jawab kepada Allah dalam
rangka untuk memelihara keutuhan dan keseimbangan serta keteraturan alam semesta ini.
Sebagai konsekuensinya dari pandangan eco-teosentris ini ialah manusia harus melihat positif,
baik dirinya maupun alam, dalam kerangka kebaikan Allah sebagai pencipta. EkoTeologi
dimplementasikan dalam bentuk-bentuk praksis yang berorientasi pada upaya menghadirkan
damai Allah bagi segala makhluk. Konsep tentang Allah yang mencipta, memelihara dan
menebus segala ciptaan harus disasarkan pada sikap kritis teologis terhadap realitas upaya
membangun dan membingkai konsep ekklesia nula salus yang tidak relevan dengan konsep
ekoteologi lingkungan hidup, dimana alam semesta dan segala isinya memiliki hak yang sama
untuk memperoleh keselamatan.
Dalam konteks krisis ekologi yang terjadi saat ini, gereja terpanggil untuk hidup
menggereja secara transformatif pada era society 5.0 demi menjawab tantangan-tantangan
tersebut dengan cara mentransformasi cara pandang manusia yang bersifat antroposentris
menjadi eco-teosentris.
Menghidupkan kembali nilai-nilai dan kearifan lokal budaya Kaili yang mencintai alam
Kota Palu sebagai bagian dari hidup mereka yang memiliki nilai kesakralan baik dalam
penggunaan maupun pemanfaatannya dan melihat alam sebagai pemberian Allah. Penulis
melihat bahwa ada banyak aspek positif yang penting bahkan mirip dengan cerita Alkitab, di
mana manusia harus menjaga dan memelihara alam dengan sebaik-baiknya demi keutuhan
ekosistem dan keberlanjutan hidup manusia di muka bumi ini. Aspek-aspek ini bisa
dikembangkan oleh gereja untuk berteologi dalam konteks lokal.
Daftar Pustaka
BUKU
Borrong, Robert P., Etika Bumi Baru: Akses Etika dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Borrong, Robert P., Teologi dan Ekologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Dwi Susilo Rachmad K., Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
H. Sidik, Tradisi Balia. Palu: IAIN Palu press, 2018.
Norman L. Geisler, Chirstian Ethics: Options and Issues. Amerika: Baker Academic,
2007.
Fritjop. Capra, Titik Balik Peradaban Cetakan Kedelapan. Yogyakarta: Pustaka
Prometha, 2014,
Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas, 2010..
Keraf. A Sonny, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Yogyakarta: Kanisius,
2010.
JURNAL, ARTIKEL

Ansar, “MENUJU KEBIJAKAN PENGELOLAAN TELUK PALU YANG


HARMONIS,” Media Litbang Sulteng IV (2) : 142 – 148 , 2 (Desember 2011).
Jefri Hina Remikatu, “Teologi Ekologi: Suatu Isu Etika Menuju Eskatologi Kristen,”
CARAKA: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika 1, no. 1 (May 2020).
Kalemba Mwambazambi, “A Glance on Environmental Protection in Africa: Theological
Perspective,” Ethiopian Journal of Environmental Studies and Management 2, no. 3 (2009).
Kivatsi J. Kavusa, “Ecological Hermeneutics and the Interpretation of Biblical Texts
Yesterday , Today and Onwards : Critical Reflection and Assessment,” Old Testament Essays
32, no. 1 (2019).
Medy Martje Lobang dan Yosua Feliciano Camerling, “Media Pembelajaran dan
Kurikulum Pendidikan Jemaat dalam Gereja Berbasis Online untuk Menghadapi Perubahan
Globalisasi Abad ke-21,” Jurnal Ilmu Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 2, no. 1 (2021).
Nirwasui Arsita Awang et al., “EKOTEOLOGI FUNGSI HUTAN OENAEK,” Gema
Teologika 4, no. 2 (2019).
Siti Sarah dan Radea Yuli, Ekofilosofi "Deep Ecology" Pandangan Ekosentrisme
terhadap Etika Deep Ecology,” Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2023).
Sukmawati, “KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAILI DI SULAWESI
TENGAH.” JURNAL ACADEMICA Fisip Untad VOL.05 No. 02 (Oktober 2013).
Yosefo, “Konsep Eduecologi dalam Pendidikan Agama Kristen Konteks Sekolah,”
Fidei: Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika, Vol. 3, No. 2, (Desember.2020).
R. Kusumaningtias, “pengelolaan hutan dalam mengatasi alih fungsi lahan hutan di
wilayah Kabupaten Subang”, Jurnal Perencanaan wilayah dan kota. Vol. 13 No. 2, (Juni 2021).

Anda mungkin juga menyukai