Anda di halaman 1dari 15

PENGARUH TOPONIMI KAMPUNG TRADISIONAL DI SURAKARTA

TERHADAP BENTUK RUANG DAN ARSITEKTUR


Wahyu Prabowo1*, Ikaputra2
1Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Tunas Pembangunan, Jl. Balekambang No 1
1Mahasiswa Doktor Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Jl Grafika, 55284
2Dosen Departemen Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Jl Grafika, 55284
boniprabowo@mail.ugm.ac.id

Abstraksi
Menurut sebuah sumber di bidang pemetaan atau informasi geospasial, toponimi atau nama
tempat adalah nama yang diberikan kepada unsur rupabumi yang tidak hanya berupa tulisan di
peta atau papan nama petunjuk jalan atau lokasi suatu tempat, melainkan juga berupa informasi
geospasial yang berfungsi sebagai titik akses langsung dan intuitif terhadap sebuah sumber
informasi lainnya. Kajian toponimi sangat erat kaitannya dengan bidang ilmu lain terutama
pemetaan, kartografi, antropologi, geografi, sejarah dan kebudayaan. Manusia yang bermukim
pertama kali di suatu wilayah tentunya memberi nama pada unsur-unsur geografik di
lingkungannya. Nama diberikan berdasarkan apa yang dilihatnya, seperti pohon-pohonan atau
buah-buahan yang dominan di wilayah tersebut. Contoh: Kampung Rambutan, pulau Pisang,
pulau Bangka, dsb. atau binatang yang dijumpai atau menghuni, seperti pulau Kambing, pulau
Menjangan, pulau Merpati, pulau Burung, dsb. (Mursidi dan Soetopo;2018;7). Penamaan
tempat tersebut secara arsitektur mencerminkan sebuah fungsi dalam penggunaan ruang, pada
masa awal penamaan tempat atau kampung berawal dari profesi yang membutuhkan penataan
ruang yang berbeda untuk setiap profesinya, namun seiring berjalannya waktu, terjadi
pergeseran fungsi ruang dan bentuk arsitektur dari kampung-kampung di Kota Surakarta,
penelitian ini bertujuan untuk menggali bagaimana korelasi antara toponimi dengan bentuk
ruang dan arsitektur pada sebuah kampung kuno di Surakarta meskipun mengalami pergeseran
fungsi ruang.
Kata Kunci : Toponimi, Geografi, Arsitektur, Kampung Kuno,
I. Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat lepas dari penggunaan sebuah nama. Kajian
nama mencakup nama tempat (toponomastika atau toponimi), nama diri (antroponimi), nama
bulan, nama merek, nama angka, nama penyakit dan spesies biologi, serta autonyms(
Langendonck dan Vande Velde;2016). Perserikatan Bangsa-bangsa telah mengatur sistem
pengaturan nama melalui divisi yang bernama United Nations Group of Experts on
Geographical Names (UNGEGN). Menurut Lauder (2017), organisasi tersebut telah
memberikan perhatian dan mengangkat isu tentang pentingnya menjaga dan melestarikan
warisan budaya yang ada dalam ragam nama-nama rupabumi. Sistem penamaan tempat adalah
tata cara atau aturan memberikan nama tempat pada waktu tertentu yang bisa disebut dengan
toponimi (Sudaryat, 2009: 10). Dilihat dari asal-usul kata atau etimologisnya, kata toponimi
berasal dari bahasa Yunani topoi = “tempat‟ dan onama = “nama‟, sehingga secara harfiah
toponimi bermakna “nama tempat‟, dalam hal ini, toponimi diartikan sebagai pemberian nama-
nama tempat (Sudaryat, 2009: 10). Sedangkan menurut Kridalaksana (2011: 245) dalam
Sudaryanto (2018 : 2), toponimi memiliki dua buah pengertian, yaitu (1) cabang onomastika
yang menyelidiki nama tempat dan (2) nama tempat. Sedangkan menurut Wittgenstein’s
(1968) in Berg, Lawrence D. 2009, 10, “toponyms pinpoint (individualize) places necessary to
the functioning of societies, invest them with variable but politically expedient meanings, and
simultaneously totalize space by imposing hierarchical, often monolingual spatial
nomenclatures”. Lebih lanjut toponim juga dapat diartikan toponymy, taxonomic study of
place-names, based on etymological, historical, and geographical information (Encyclopedia
Britannica).
Tujuan Penelitian
Pembahasan Toponim pada bidang arsitektur akan menjadi fokus pada penelitian ini. Penulis
mencoba mengetengahkan bagaimana pengaruh atau setidaknya korelasi antara toponimi
dengan bentukan ruang arsitektur pada perkampungan kuno di Surakarta. Pada beberapa
temuan mengenai makna toponimi, ilmu toponimi sangat erat kaitannya dengan pemaknaan
suatu wilayah terhadap fungsi ruang ataupun respon manusia terhadap kondisi geografis
wilayah tersebut sehingga mempengaruhi bentukan arsitekturnya. Hal ini sesuai dengan teori
form follow function (Sullivan,1896), dimana dalam artikelnya yang berjudul The Tall Building
Artistically Considered Sullivan menyatakan, The shape of a building or an object must be
adapted to its function or use (Sullivan, 1896). Sullivan juga menjelaskan bahwa sebuah desain
arsitektur seharusnya mengedepankan aspek terlebih dahulu, barulah setelah aspek fungsional
terpenuhi maka aspek keindahan akan mengikuti secara alamiah. Dalam salah satu aspek
penamaan tempat, juga didasari dari bagaimana tempat itu dikenal secara fungsi ruang yang
tercermin dari profesi penduduknya, selain itu ada pula penamaan tempat yang berdasarkan
bentuk geografisnya sehingga berpengaruh pada bentuk arsitekturnya. Namun temuan yang
perlu didalami lebih lanjut adalah, fenomena yang terjadi pada perkampungan kuno adalah
seiring berjalannya waktu, bagaimana makna toponimi pada suatu perkampungan terhadap
perubahan fungsi perkampungan, baik tata guna lahan, fungsi ruang dan bentukan
arsitekturnya, serta seberapa banyak artefak yang masih tersisa dari fungsi awal terbentuknya
perkampungan tersebut.

II. Tinjauan Teori


Sebagai usaha untuk menandai dan membagikan informasi kepada sesamanya mengenai
wilayah tersebut, maka pemberian berbagai nama disesuaikan dengan fenomena geografis
yang menjadi ciri suatu wilayah. fenomena geografis berupa unsur rupa bumi yang berupa
gunung, bukit, sungai, tanjung, lembah, pulau dan sebagainya diberi nama oleh manusia
dengan tujuan untuk mempermudah identifikasi tempat tersebut sehingga mudah dikenali oleh
orang lain (Rais, 2008). Dalam perkembangannya, pemberian nama suatu wilayah juga
berkaitan dengan berbagai fenomena sosial, budaya, dan peristiwa yang dialami manusia,
seperti nama babakan dan kampung (Miftah, 2008; Rais: 2008). Berbagai fenomena alam,
sosial, budaya, dan peristiwa yang dialami oleh manusia yang diabadikan dalam penamaaan
wilayah, turut pula mendapatkan legalitas dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah bahwa penamaan suatu wilayah berkaitan dengan unsur rupa bumi
sebagai bagian dari khazanah kebudayaan bangsa.
Menurut Sudaryat (2009: 10) penamaan tempat atau toponimi memiliki tiga aspek, yaitu,
(1) aspek perwujudan; Aspek wujudiah atau perwujudan (fisikal) berkaitan dengan kehidupan
manusia yang cenderung menyatu dengan bumi sebagai tempat berpijak dan lingkungan alam
sebagai tempat hidupnya (Sudaryat, 2009: 12). Dalam hal ini penamaan tempat dilandaskan
pada bentuk atau kondisi alam sekitar tempat tersebut, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok antara lain (1) latar perairan (hidrologis); (2) latar rupa bumi (Geomorfologis); dan
(3) latar lingkungan alam (biologis-ekologis). Di antara kajian toponimi yang penulis dapat
jumpai, yaitu Munsyi (1996: 25), Wijana (2003: 753—754), dan Rosidi (2011: 120) dalam
Sudaryanto (2018 : 2). Munsyi menguraikan nama-nama daerah di Jawa Barat yang sarat
petunjuk tentang air. Dalam bahasa Sunda, air disebut cai atau ci sehingga ada nama-nama
daerah di Jawa Barat, seperti Cibodas, Cibeureum, Cihideung, Cihejo, Cibiru, dan Cikoneng.
Sementara itu penulis juga menyoroti penamaan tempat yang terjadi di Jawa Tengah dan
Yogyakarta yang menggunakan nama giri yang merujuk pada kata bahasa jawa, yang berarti
gunung, untuk mengintepretasikan letak lokasi, antara lain Girilayu, Imogiri, Giribangun.
(2) aspek kemasyarakatan; Aspek kemasyarakatan (sosial) dalam penamaan tempat berkaitan
dengan interaksi sosial atau tempat berinteraksi sosial, termasuk kedudukan seseorang di dalam
masyarakatnya, pekerjaan dan profesinya (Sudaryat, 2009: 17). Pada poin ini penamaan tempat
dapat dikaitkan dengan aktifitas dan interaksi social masyarakat yang ada pada lokasi teresebut.
Sudaryanto (2018 : 5) mengemukakan beberapa nama kampung yang ada di Yogyakarta yang
mengambil profesi dari masyarakat kampung tersebut, seperti, Jogokaryan berasal dari nama
prajurit Keraton Yogyakarta Hadiningrat, yaitu Jogokaryo. Nama Jogokaryo sendiri berasal
dari dua kata, jogo dan karyo. Kata jogo berasal dari bahasa Sanskerta berarti „menjaga‟,
sedangkan karyo dari bahasa Kawi berarti „tugas, pekerjaan‟. Secara filosofis, Jogokaryo
bermakna „pasukan yang mengemban tugas selalu menjaga dan mengamankan jalannya
pelaksanaan pemerintahan dalam kerajaan‟. Atau kampung Kauman yang berasal dari kata
Kaum yang diartikan sebagai santri, dimana kampung Kauman sangat identik dengan masjid
Agung, karena kampung tersebut letaknya hampir selalu berdekatan dengan letak masjid
Agung, baik di Kota Yogyakarta, Surakarta ataupun Kabupaten Demak.
(3) aspek kebudayaan. Ketiga aspek tersebut sangat berpengaruh terhadap cara penamaan
tempat dalam kehidupan masyarakat. Di dalam penamaan tempat banyak sekali yang dikaitkan
dengan unsur kebudayaan seperti masalah mitologis, folklor, dan sistem kepercayaan (religi),
pemberian nama tempat jenis ini sering pula dikaitkan dengan cerita rakyat yang disebut
legenda (Sudaryat, 2009: 18). Banyak sekali nama-nama tempat di Indonesia yang tidak jauh
dari legenda yang ada di masyarakatnya, misalnya Banyuwangi. Pemberian nama banyuwangi
yang berarti air yang wangi sesuai dengan legenda yang ada di tempat tersebut. Legenda
tersebut bercerita tentang seorang istri yang dibunuh suaminya karena suaminya tidak percaya
dengan kesucian istri. Darah yang mengalir ke sungai membuat air sungai menjadi wangi
karena istri tidak berbohong kepada suami. Legenda air sungai yang berbau wangi itulah yang
memberi ide tentang penamaan kota Banyuwangi.
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Sumber : Analisa penulis, 2022

Toponim berkaitan dengan nama tempat yang merujuk kepada perkampungan yang ada di
lokasi yang disebut sesuai penamaanya. Toponim mencerminkan rekaman kolektif akan
interpretasi masyarakat mengenai lingkungan saat wilayah tersebut diberi nama (Karsana, 2019
dalam Hisyam 2020; 2). Kampung sendiri merupakan salah satu bentuk permukiman urban di
Indonesia. Kampung merupakan pusat pertumbuhan awal area kota dibentuk oleh konsep
keruangan dalam kurun waktu yang sangat lama dan tempat bermukim mayoritas masyarakat
pribumi (Flieringa, 1986 dalam Noor, 2016;115). Menurut Koentjaraningrat (1990), kampung
sebagai kesatuan manusia yang memiliki empat ciri yaitu interaksi antar warganya, adat
istiadat, norma-norma hukum dan aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah lakunya.
Merujuk pada pengertian diatas, pada sebuah perkampungan terdapat ciri adat istiadat yang
melekat pada sebuah perkampungan. Dimana adat istiadat sendiri menurut kamus antropologi
sama dengan tradisi yang berarti kebiasaan-kebiasaan yang bersifat magis-religius dari
kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma,
hukum dan aturan-aturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi suatu sistem atau
peraturan yang sudah mantap serta mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu
kebudayaan untuk mengatur tindakan sosial (A rriyono dan Siregar, Aminuddi. Kamus
Antropologi.(Jakarta : Akademik Pressindo,1985) hal. 4).
Pengkajian secara sepintas saja tentang toponimi memberikan gambaran bahwa toponimi
merupakan bagian dari budaya atau kebudayaan. Secara khusus, etimologi nama tempat
berfokus pada bahasa apa nama tempat itu diciptakan dan apakah namanya berasal dari nama
tempat lain, dari nama pribadi, dari peringatan kejadian, atau deskripsi aspek geografis atau
sosial tempat itu atau memiliki beberapa asal lain (McArthur, 1992: 1048; Lauder, 2015: 403).
PBB dalam hal ini UNGEGN (United Nation Geographical Experts on Geographical Names)
menganggap bahwa toponimi sangat penting untuk komunikasi antarbangsa. Menurut
UNGEGN ada enam kategori yang mendasari penamaan rupabumi :
1. Unsur Bentang alami
2. Tempat atau area berunsur lokalitas
3. Pembagian administrative
4. Are administrative
5. Rute moda transportasi
6. Unsur-unsur pembangunan
Di Indonesia juga terdapat lembaga pemerintah yang mengintegrasikan informasi geospasial
mengenai nama rupa bumi yaitu Badan Informasi Geosapsial (BIG). Pada tahun 2021 telah
diterbitkan peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2021 tentang penyelenggaraan nama
rupabumi. Pada peraturan tersebut setidaknya terdapat 10 prinsip yang mendasari dalam
penamaan rupabumi, antara lain :
1. Pemakaian Bahasa Indonesia
2. Diperbolehkan penggunaan Bahasa daerah atauu asing asalkan memuat nilai sejarah,
budaya, adat istiadat, dan atau keagamaan.
3. Pemakaian abjad romawi
4. Satu nama untuk satu rupabumi
5. Menghormati identitas suku, ras, agama dan golongan
6. Menggunakan tiga kata
7. Tidak menggunakan nama orang yang masih hidup atau menunggu hingga lima tahun
untuk mengabadikan nama orang yang telah meninggal
8. Menghindari penamaan menggunakan nama instansi/lembaga
9. Menghindari penamaan yang bertentangan dengan kepentingan nasional ataupun daerah
10. Memenuhi tata cara penulisan rupabumi dan spasial.
Toponim dapat digunakan untuk mempelajari aspek budaya setempat sehingga sangat
diperlukan untuk melestarikan warisan budaya bangsa. Bahasa yang digunakan dalam
penamaan geografis menunjukkan kekayaan budaya suatu bangsa. Di dalam sistem toponimi
tersebut terdapat nilai-nilai kehidupan atau filosofis yang menjadi ciri khas bahasa dan
masyarakat daerah. Ada dua pengalaman yang dipertimbangkan untuk nama tempat, Pertama,
pertimbangan yang dihasilkan oleh proses-proses alam dan nama dari hasil rekayasa manusia.
Kedua, pemberian nama tempat mungkin didasarkan pada gagasan, harapan, cita-cita, dan citra
rasa manusia terhadap tempat tersebut agar sesuai dengan apa yang dikehendakinya.
1. Unsur Rupabumi Dalam Toponimi
Sistem penamaan tempat adalah tata cara atau aturan memberikan nama tempat pada waktu
tertentu. Ilmu ini berkaitan erat dengan kajian Linguistik, Antropologi, Geografi Sejarah dan
Kebudayaan (Agustan, 2008). Yulius (2004:2) berpendapat “Toponimi adalah ilmu atau studi
56 tentang nama- nama geografis. Toponim sendiri mempunyai arti “penamaan unsur- unsur
geografis”. Nama- nama pulau, gunung, sungai, bukit, kota, desa, dsb. adalah nama- nama dari
unsur- unsur geografis muka bumi”. Dapat di lihat dari pengertian diatas, yang menjadi objek
kajian dari toponimi adalah penamaan lokasi geografis yang memiliki kenampakan fisik dan
kultural. Objek geografi yang ada dipermukaan bumi akan teridentifikasi oleh panca indera
manusia, sehingga dengan nal urinya manusia memberikan nama pada tempat itu. Mengapa
manusia memberikan nama pada tempat itulah yang dikaji pada sebuah studi toponimi.
Pemberian nama pada unsur geografi, selain untuk orientasi atau penegasan letak
titik,sebenarnya juga memberikan dampak psikologis, yaitu menumbuhkan rasa lebih dekat
anggota masyarakat terhadap unsur geografi tersebut.
Toponim adalah nama dari objek tempat yang dibuat oleh manusia, dijelaskan lebih jauh oleh
Hanks (2011:344) “ A toponym is the name used to identify a specific location on the landscape.
An examination of place names in a region can provide a g reat deal of information about the
cultural landscape, both past and present, and may provide clues regarding sequent
occupance”. Jadi toponim digunakan oleh manusia untuk mengidentifikasi secara spesifik dari
sebuah tempat yang terdapat dalam morfologi, atau fenomena fisik terkait tempat. Selanjutnya
Khvesko (2014:402) memperkuat hal tersebut dengan mengatakan “The serious academic
study of place-names began among medievalists, because the geographical and historical
record of names can supplement other historical evidence, sometimes in unexpected ways”.
Mengkaji toponimi perlu dilakukan dengan seksama dan melalui prosedur akademik, karena
dengan mempelajari toponimi seringkali banyak rekaman peristiwa geografi dan sejarah yang
terungkap. Peristiwa geografis atau alam mungkin saja sebuah proses alam yang menjadi
bencana pada masa lalu, sehingga pemberian nama geografis bisa saja merupakan upaya
memperpanjang ingatan, bermakna catatan peristiwa alam yang didapat digunakan untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana (Bachtiar, 2016). Pembelajaran dengan
memanfaatkan lingkungan sangat sesuai dengan pembelajaran Geografi di sekolah (Anggini,
2016:115). Melalui inventarisi toponimi yang ada di suatu daerah, akan menjadikan
pembelajaran geografi lebih bermakna dan menantang. Sebagai contoh sebuah tempat yang
bernama “Siadem” merupakan sebuah contoh tempat yang diambil dari kondisi geografis, yaitu
temperatur tempat. Daerah itu dahulunya memiliki udara yang sejuk dan suhu yang relatif lebih
rendah dibandingkan dengan daerah lain disekitarnya yang panas. Hal tersebut ternyata
diakibatkan banyaknya pepohonan, sehingga seringkali petani-petani yang beristirahat
memilih tempat itu dan menamainya “Siadem” yang berasal dari dua kata “Si” artinya tempat
dan “adem” artinya sejuk. Sekarang Siadem sudah tidak lagi sejuk karena banyaknya
permukiman yang berdiri, namun kondisi masa lalu diabadikan menjadi sebuah tempat.
Nama-nama unsur geografis, disebut juga dengan nama geografis atau nama rupabumi,
terbentuk dari elemen generik dan spesifik dan ditulis terpisah. Yang dimaksud dengan elemen
generik adalah sebutan :
a. Untuk nama unsur fisik rupabumi : gunung, pegunungan, sungai, danau, laut, pulau, selat,
dan sebagainya.
b. Untuk nama bangunan bagi unsur rupabumi buatan : Bandar udara, Bandar laut, terowongan,
istana, mercusuar, stasiun kereta api, dan sebagainya.
c. Untuk nama wilayah administrasi : provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, desa, dan
sebagainya.
d. Untuk nama kawasan fisiografis dari rupabumi : taman nasional, taman margasatwa, hutan
lindung, laut lindung, daerah aliran sungai (DAS), dan sebagainya (Rais et al, 2008:9)
2. Unsur Budaya Dalam Toponimi
Penamaan tempat di Indonesia memiliki proses yang cukup panjang, tidak hanya dilihat dari
fenomena geografis saja, namun fenomena sosial juga sangat mempengaruhi penamaan suatu
tempat. Rais (2008:7) mengatakan “banyak nama unsur geografi yang diberikan manusia di
masa lalu ketika pertama kali mendiami suatu wilayah yang berdasarkan legenda atau cerita-
cerita rakyat dan juga terkait dengan sejarah pemukiman manusia”. Dengan begitu dapat
dikatakan bahwa topinimi suatu tempat memang tidak lepas dari aktivitas manusia, dan
sesungguhnya penamaan tersebut memberikan tempat tersebut identitas yang berbeda dengan
tampat lainnya. Penggunaan istilah mitos (mite), cerita rakyat, legenda, dan sejarah dalam
penelitian ini dapat digunakan untuk menggali suatu kejadian atau peristiwa yang berkaitan
dengan penamaan tempat bahkan dapat lebih luas penelusurannya. Sutarto (1997 : 12-13).
Manusia dan lingkungan berjalan secara selaras. Manusia berupaya terus menyesuaikan
dengan kondisi lingkungannya. Bagaimana sikap dan perilaku suatu masyarakat terhadap
lingkungannya dapat terungkap pula melalui berbagai tradisi dan ketentuan yang dipatuhi
bersama. Salah satu tradisi yang merepresentasikan pandangan-pandangan terhadap
lingkungan itu adalah bahasa yang merupakan salah satu unsur dari budaya. Berbagai ekspresi,
misalnya kekaguman, keindahan, dan bahkan kedahsyatan alam, terekam melalui bahasa dan
tradisi. Oleh karena itu, pengkajian terhadap bentuk pengetahuan masyarakat lokal (tradisinya)
tentang lingkungannya menjadi penting dan strategis. Di beberapa tempat, masyakarat lokal
mengelola lingkungan dengan baik dengan tunduk pada norma (yang diangap sesuata yang
tabu untuk dilakukan sebuah perubahan) sehingga kualitas lingkungan hidup masyarakat
setempat pun terjaga. Penggalian cara pandang masyarakat terhadap alam melalui nilai budaya
tentu menjadi penting, Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai budaya seperti ini perlu dilakukan
agar masyarakat tidak hanya menjadi objek pembangunan (konservasi), tetapi menjadi subjek
pemeliharaan lingkungan alam. Dalam penelitian Awalulu (1979) menyatakan dalam
penelitianya bahwa Bagi orang-orang Afrika, pemberian nama tidak hanya sekadar untuk
identifikasi; ini merupakan aspek penting dari budaya masyarakat. Sehingga pemberian nama
adalah kepercayaan di antara banyak kelompok di Afrika bahwa semua yang diciptakan Allah
memiliki nama dan makna. Awolalu (1979: 36) mengemukakan bahwa nama tempat
merupakan bagian dari kosakata orang, yang memberi informasi berharga dari jenis budaya
tertentu. Selanjutnya, Awolalu (1979) menyatakan bahwa nama-nama orang, kota, kota dan
desa mengungkapkan keadaan sebenarnya di sekitar kelahiran mereka, jenis kehidupan yang
akan mereka jalani, masa depan dan karakter mereka. Nama demikian menyampaikan sentimen
atau kebenaran, atau iman dalam dewa, keyakinan dan tentang dewa dan dunia yang super
masuk akal, jaminan dan harapan manusia dan kepercayaan di akhirat. Dalam nada yang sama
Maduibuike (1976) menyatakan bahwa nama adalah alat penting untuk memulihkan kebiasaan
dan kebiasaan sosial masyarakat, harapan dan aspirasi mereka. lebih signifikan adalah nama
kota, kota dan desa, karena, menurut Momin (1989: 44), nama-nama seperti itu “membantu
menerangi sejumlah geografis, sejarah keagamaan dan aspek lain dari kehidupan kota serta
pada berbagai sumber daya alam yang menarik manusia untuk menetap dan bagaimana
permukiman dimulai. Momin (1989), setiap nama seseorang dan / atau kota, kota atau desa
beruang berevolusi keluar dari kebutuhan, keinginan, harapan, dan aspirasi masyarakat, dan
yang memberikan wawasan tentang gaya hidup pribadi orang-orang semacam itu. Oleh karena
itu, toponim sebagai sumber untuk rekonstruksi sejarah dapat membuka jalan bagi pemahaman
yang tepat tentang (i) topografi permukiman serta tokoh sejarah yang kontribusinya terhadap
pembentukan, pengembangan, dan stabilitas pemukiman tersebut sangat besar, (ii) lokasi dan
distribusi berbagai kelompok kepentingan yang tinggal di permukiman serta wilayah historis
penting lainnya. Lebih lanjut Gupta (2007) menyampaikan toponimi merupakan representasi
peninggalan sejarah dan budaya yang masih dapat dilacak keberadaannya.
III. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh atau
korelasi antara toponimi dengan bentukan ruang dan arsitektur pada perkampungan kuno di
Surakarta adalah melalui penelusuran literatur terkait dengan isu mengenai penamaan
rupabumi atau toponimi. Berbagai sumber literatur digunakan dalam membangun pemahaman
mengenai teori pengaruh toponimi terhadap bentukan ruang dan arsitektur perkampungan kuno
di Surakarta. Sumber literatur berupa, jurnal, disertasi, maupun dokumen resmi lainnya, hingga
foto dan peta lama digunakan untuk melihat toponimi dalam konteks arsitektur.
IV. Analisa dan Pembahasan
1. Dinamika perubahan kampung tradisional menuju kampung kota.
Kampung merupakan wilayah abu-abu antara batas formal dan informal (Setiawan,2001), jika
dilihat dari sisi legalitas maupun dari sisi ekonomi masyarakatnya. Melihat perkembangan pada
masa sekarang ini yang mengarah kepada era digital dan lebih banyak membutuhkan ruang
informal, menarik untuk dipelajari lebih lanjut bagaimana perubahan kampung tradisional dari
masa ke masa hingga saat ini menjadi kampung kota dan bagaimana relevansi toponimi
kampung tradisional terhadap kondisi yang ada pada saat ini.

Gambar 2. Peta Toponimi Kota Surakarta


Tahun1935
Sumber : Sumber :
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Pada pembahasan kali ini lokus yang akan menjadi fokus pembahasan adalah beberapa
perkampungan yang ada di kota Surakarta yang mempunyai toponimi yang didasari dari profesi
yang berkembang di masyarakat kampung tersebut. Kota Surakarta yang notabene tidak
memiliki kelebihan geografis yang menonjol, maka akan banyak dijumpai toponimi yang lebih
berkaitan dengan kultur masyarakat sekitar atau bahkan berasal dari ketokohan seseorang yang
menghuni wilayah tersebut. Ada beberapa kategori penamaan kampung yang diambil penulis
dalam penelitian ini. Penamaan kampung yang berdasarkan profesi masyarakat biasanya
mempunyai karakter perekonomian terhadap masyarakat dan berperan dalam kehidupan
masyarakat. Salah satu dari perkampungan tersebut adalah kampung Ketandhan yang terletak
di sekitaran Pasar Gedhe Surakarta tepatnya di pinggiran sungai Pepe. Ketandhan yang dari
asal-usul katanya berasal dari kata tandha yang dalam hal ini diartikan semacam tanda
masuk/tiket/tanda masuk, jika dilihat dari sejarahnya, area Ketandhan ini dulunya pada masa
kerajaan Surakarta merupakan tempat pembayaran cukai atau pajak dari pelabuhan yang berada
di daerah Beton dan Nusupan, hal ini dapat terjadi karena letak kampung Ketandhan yang
berada pada aliran sungai yang pada masa kerajaan menjadi sarana transportasi utama menuju
kota Surakarta. Pembayaran cukai dari dua pelabuhan yang berada di Beton dan Nusupan
merupakan salah satu sumber pendapatan penting bagi kerajaan. Ketandhan saat ini sudah
berubah menjadi deretan toko-toko atau ruko yang dimiliki warga etnis tionghoa dan memiliki
nilai ekonomi yang tinggi, hal ini dipengaruhi karena letak kampung Ketandhan terletak
didekat pasar Gedhe yang merupakan kampung yang dihuni oleh mayoritas warga keturunan
tionghoa yang menurut sejarahnya merupakan warga pendatang yang datang melalui
pelabuhan Beton dan Nusupan untuk berdagang di Kota Surakarta.
Berikutnya adalah Kampung Gemblegan, atau jika dilihat dari asal-usul katanya, dapat berarti
Gemblak, yang merupakan abdi dalem keraton yang memiliki profesi sebagai pembuat barang
dari kuningan. Pada masa kerajaan barang-barang yang terbuat dari kuningan mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi karena menyerupai emas, sehingga mempunyai nilai jual dan nilai beli
yang tinggi. Kampung ini mengalami perubahan total yang merubah wajah kampung ini yang
semula merupakan kampung pengrajin kuningan menjadi deretan toko dan ruko yang
mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Sebagian besar toko-toko yang berada di wilayah
kampung Gemblekan ini menjual bermacam-macam asesoris dan variasi untuk kelengkapan
kendaraan bermotor. Sedangkan bagi warga kampung Gemblekan sendiri mengalami
perubahan profesi yang awalnya pengrajin kuningan, menjadi pramuniaga atau montir di toko-
toko yang ada di Kawasan tersebut.
Selain penamaan nama kampung yang terinspirasi dari profesi penunjang perekonomian,
penamaan perkampungan juga dapat berasal dari profesi kemiliteran atau keprajuritan keraton
yang pada masa kerajaan memang menjadi salah satu elemen penting dalam menjaga
pertahanan dan kedaulatan sebuah kerajaan. Salah satu nama perkampungan atas dasar
keprajuritan adalah kampung Stabelan. Stabelan yang berasal dari serapan bahas asing yaitu
stable, berasal dari nama prajurit stable, salah satu nama divisi keprajuritan legiun
Mangkunegaran yang bertugas menjaga Meriam. Kata stable berasal dari kata belanda
konstabel yaitu prajurit meriam. Pada divisi stable ini terdiri dari serdadu dan tentara dari
Belanda dan Legiun Mangkunegaran. Pada saat ini kampung ini sudah tidak lagi digunakan
sebagai baraka tau tempat tinggal prajurit stable, namun sudah beralih fungsi dan penghuninya
saat ini didominasi oleh etnis keturunan Tionghoa.
Selanjutnya, terdapat juga kampung Tamtaman yang terdapat di komplek Baluwarti atau di
dalam tembok keraton, tepatnya berada di sisi timur kawasan Baluwarti. Kampung Tamtaman
berasal dari kata tamtama, yaitu satuan prajurit keraton yang bertugas dalam menjaga atau
mengawal raja. Kampung tamtaman yang terdapat di dalam kompleks keraton kasunanan saat
ini telah mengalami pergeseran fungsi yang awalnya merupakan sebuah kampung prajurit atau
abdi dalem keraton yang bertugas mengawal raja, saat ini sudah beralih fungsi menjadi
permukiman penduduk yang dihuni tidak hanya oleh keturunan dari para abdi dalem saja
namun juga dihuni oleh warga pendatang.
Berikutnya adalah penamaan kampung yang berasal dari ketokohan masyarakat, dimana pada
kampung - kampung tersebut biasanya erat kaitannya dengan keberadaan seseorang yang
memiliki pengaruh penting maupun seseorang yang dianggap penting seperti misalnya
memiliki kedekatan dengan keluarga kerajaan atau masih kerabat kerajaan, sehingga dianggap
masih memiliki semacam kharisma yang diagungkan dalam kehidupan masyarakat. Seperti
halnya kampung kepatihan yang terletak di utara pasar Gedhe, kampung ini merupakan tempat
tinggal sekaligus kantor bagi para patih dari keraton Surakarta semenjak masa pemerintahan
raja Paku Buwono IV. Kampung kepatihan sendiri saat ini sudah tidak digunakan lagi sebagai
tempat tinggal ataupun kantor bagi para patih keraton, karena memang fungsi keraton saat ini
hanya sebagai simbol budaya dan tidak memiliki struktur pemerintahan, selain itu hilangnya
posisi patih dan berdampak pada hilangnya fungsi dari rumah dan kantor patih adalah adanya
gerakan anti swapraja yang terjadi antara tahun 60an, yaitu gerakan yang diprakarsai oleh Tan
Malaka yang ingin menghapus sistem pemerintahan monarki, dan sampai melakukan tindakan
represif dengan menculik dan membunuh para patih yang bertugas pada saat itu sehingga
menimbulkan sebuah kepanikan di masyarakat, sehingga berimbas pada dicabutnya status
keistimewaan Surakarta hingga saat ini. Saat ini kampung kepatihan telah berubah fungsi
menjadi fungsi hunian, usaha dan kantor. Terdapat beberapa kantor pemerintahan yang berada
pada lingkungan kampung kepatihan, antara lain kantor kejaksaan, sekolah SMKI, dan
beberapa pertokoan serta pemukiman penduduk.
Kampung Mangkuyudan merupakan sebuah tanah yang diperuntukkan bagi Kanjeng Pangeran
Harya Mangkuyuda yang merupakan kerabat dari raja Pakubuwono X, KGPH. Mangkuyuda
merupakan sentana dalem yang berjasa kepada sinuhun Pakubuwono X dan Keraton
Kasunanan, sehingga bagi masyarakat, tempat tinggal KGPH Mangkuyuda diberi nama
kampung Mangkuyudan yang merujuk pada tempat tinggal KGPH Mangkuyuda. Saat ini
tempat tinggal KGPH Mangkuyuda memang tidak lagi berfungsi sebagai rumah tinggal
seorang pangeran melainkan sudah beralih fungsi menjadi sebuah hotel, namun secara fisik,
rumah pangeran tersebut masih terlihat utuh dan menghadirkan makna dari rumah pangeran itu
sendiri.
Selain dari nama-nama kerabat keraton ataupun sesorang yang memiliki pengaruh di keraton,
penamaan kampung- kampung juga dapat didasarkan pada serapan bahasa asing yang
diasimilasikan dengan bahasa daerah, contohnya saja kampung loji wetan, dimana merupakan
perkampungan yang berawal dari keberadaan benteng vestenburg sebagai fasilitas militer,
kemudian memerlukan kebutuhan hunian bagi para tentara dan perwira dari pihak militer
Belanda, sehingga terjadilah perluasan fasilitas militer berupa hunian, yang direalisasikan di
timur benteng vestenburg. Kata loji yang berarti rumah yang besar, merupakan penggambaran
masyarakat pribumi terhadap bentuk arsitektur rumah - rumah yang terdapat di kawasan
tersebut. Proses menghuni manusia eropa yang diikuti dengan proses adaptasi melahirkan
arsitektur yang berbeda dari arsitektur lokal yaitu rumah Joglo atau kampung, sehingga bagi
warga pribumi, rumah - rumah tersebut merupakan sebuah rumah - rumah besar yang terdapat
di timur benteng vestenburgh, dan tersebutlah daerah tersebut menjadi loji wetan.
2. Wujud Kampung Kota saat ini dan Toponiminya
Perkampungan kuno yang ada di kota Surakarta saat ini sudah mengalami pergeseran fungsi
yang awalnya hanya berfungsi sebagai pemukiman, saat ini sudah bergeser menjadi fungsi
ekonomi, utamanya pada layer pertama dari jalan kota. Hal ini terjadi karena adanya
penyesuaian dengan perkembangan kebutuhan kota, dimana perkotaan saat ini tidak lagi
mengedepankan makna dan filosofi kearifan lokal untuk berkembang namun lebih
mengedepankan aspek fungsional untuk berkembang. Pembahasan ini akan berfokus pada
perubahan perkampungan kuno yang bertranformasi menjadi kampung kota dan seberapa
banyaknya artefak yang masih tersisa dari sebuah perkampungan, hal ini digunakan untuk
melihat seberapa pengaruh makna toponimi kampung kuno masih membekas di kampung kota
saat ini.
Salah satu kampung yang telah mengalami perubahan fungsi adalah kampung Kepatihan yang
terletak di sisi utara pasar Gedhe Surakarta, kampung ini sejatinya dulu adalah lokasi kantor
dan kediaman patih pada masa pemerintahan Keraton Kasunanan Hadiningrat, namun seiring
berjalannya waktu, karena pergeseran posisi Keraton yang tidak lagi memiliki pemerintahan,
sehingga menghapus posisi patih pada struktur organisasinya berimbas pada tidak
digunakannya lagi kantor dan kediaman patih ini. Namun demikian, lokasi kantor dan
kediaman patih ini tetap menggunakan nama Kepatihan sebagai nama administrasinya, bahkan
ketika artefak rumah dan kantor dari seorang patih tersebut sudah tidak ada sekalipun.

Gambar 3. Kepatihan Surakarta Tahun 1900 Gambar 4. Gerbang Kepatihan Tahun 2022
Sumber : Sumber : Sumber : Gmaps, 2022
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Pada gambar 3 diatas adalah foto yang diambil dari perpustakaan digital online Universitas
Leiden Belanda, katalog ini diakses melalui laman
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl. Foto yang diberi angka tahun 1900 ini
merupakan gerbang depan dari kantor Kepatihan yang masih aktif digunakan. Sedangkan foto
pada gambar 4 adalah foto yang diambil melalui Gmaps yang diambil pada tahun 2022, pada
foto tersebut terlihat perubahan yang signifikan pada lingkungan sekitar gerbang masuk
kampung Kepatihan dan hanya menyisakan artefak berupa gerbang Kepatihan saja sebagai
simbol masuk kampung Kepatihan. Saat ini fungsi dari kampung ini didominasi oleh
perkantoran dan pertokoan.
Gambar 5. Kepatihan Surakarta Tahun 1900 Gambar 6. Gerbang Kepatihan Tahun 2022
Sumber : Sumber : Gmaps, 2022
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Masuk lebih dalam lagi, foto pada gambar 5 merupakan tampak regol atau gerbang dari kantor
kepatihan dari Keraton Kasunanan, foto ini diambil pada tahun 1900. Kemudian jika
dibandingkan dengan foto pada tahun 2022, tampak pada lokasi ini hanya meninggalkan
ornamen gerbang masuk saja sama seperti sebelumnya. Pada foto gambar 6 terlihat artefak
yang tersisa dari lingkungan kepatihan terdapat pada ornamen gerbang masuk kampung
kepatihan, namun pada lingkungannya sudah berubah menjadi area pertokoan dan perkantoran.

Gambar 7. Regol Kepatihan Surakarta Tahun 1900 Gambar 8. Kondisi Kantor Kepatihan Tahun 2022
Sumber : Sumber : Gmaps, 2022
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Foto pada gambar 7 adalah tampak regol atau gerbang masuk ke dalam area kantor kepatihan,
foto yang diambil pada tahun 1900 ini mengindikasikan lokasi ini masih aktif digunakan
sebagai kantor kepatihan bagi pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta. Sedangkan pada
tahun 2022, lokasi tersebut sudah berubah total menjadi sebuah kantor pemerintahan, tepatnya
adalah kantor Kejaksaan Negeri Surakarta. Sedangkan foto gambar 8 yang diambil tahun 2022
ini terlihat area gerbang masuk dan halaman kantor kepatihan sudah berubah fungsi menjadi
kantor pemerintahan. Perbandingan dokumentasi diatas mencerminkan bagaimana perubahan
fungsi pada Kawasan kampung Kepatihan, dari awalnya adalah kantor dan kediaman seorang
patih pada masa pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta berubah fungsi menjadi kantor
instansi pemerintahan negara dan perkantoran swasta. Namun demikian beberapa artefak
masih mengilhami penamaan kampung tersebut untuk tetap menggunakan nama kampung
Kepatihan. Beberapa artefak yang tersisa antara lain dapat dilihat dari foto-foto berikut,
Gambar 9. Salah satu artefak Kepatihan Gambar 10. Salah satu artefak Kepatihan
Sumber : Komunitas Laku lampah,2017 Sumber : Komunitas Laku lampah,2017

Foto pada gambar 9 merupakan salah satu artefak yang masih tersisa dari kampung Kepatihan
yang dulunya berfungsi sebagai kendang Kereta kuda bagi patih yang bertugas. Bukti kuat dari
artefak ini adalah terdapat angka tahun 1815 yang menandakan pembuatan ornamen ragam hias
tersebut. Selain itu juga diperkuat dengan adanya tulisan yang menandakan nama seorang abdi
dalem yang bertugas mendiami bangunan tersebut. Gambar 10 merupakan penanda bahwa
rumah atau bangunan tersebut merupakan kediaman seorang abdi dalem Keraton Kasunanan
yang menurut penuturan warga setempat adalah abdi dalem yang bertugas untuk mengurusi
kuda dan kereta kuda patih yang bertugas.
Secara fungsi dan bentukan ruang dan arsitekturnya, kampung Kepatihan memang sudah tidak
memperlihatkan lagi bagaimana bentuk asli kampung Kepatihan, namun dari artefak yang
tersisa pada kampung tersebut, menandakan bahwa dulunya terdapat sebuah fasilitas
pemerintahan Keraton berupa kantor dan kediaman seorang Patih pada masa pemerintahan
Keraton Kasunanan Surakarta, sehingga kampung tersebut dinamakan kampung Kepatihan.
Kesimpulan
Dari penelusuran data literatur berupa jurnal, disertasi, laporan penelitian dan dokumentasi
ditemukan perubahan yang signifikan pada perkampungan kuno di Surakarta, perubahan fungsi
dan bentuk arsitektur terlihat jelas pada kampung Kepatihan, dimana kampung tersebut
dinamakan dengan nama kampung Kepatihan karena adanya kantor dan kediaman seorang
patih pada masa pemerintahan Keraton Kasunanan Kota Surakarta, namun saat ini meskipun
kantor dan kediaman patih tersebut sudah tidak ada, namun penamaan kampung tersebut secara
administrative tetap menggunakan nama Kepatihan. Peninggalan artefak yang disinyalir
merupakan peninggalan bekas kantor dan kediaman Kepatihan masih memberikan makna
kepatihan pada kampung tersebut.
Daftar Pustaka
A rriyono dan Siregar, Aminuddi. Kamus Antropologi.(Jakarta : Akademik Pressindo,1985)
hal. 4
Ayanovna, N. L. (2014). The Role of Old Turkic Place Names in Teaching History. Procedia
- Social and Behavioral Sciences 141 ( 2014 ) 1054-1061.
Camalia, M. 2015. Toponimi Kabupaten Lamongan ( Kajian Antropologi Linguistik). Parole
Vol.5 No.1, April 2015.
Erikha, F. dan Lauder, Multamia R.M.T. 2022. Toponimi di Jantung Kota Yogyakarta dari
perspektif kebahasaan hingga psikologi social. LIPI Press. Jakarta
Gupta, D., Handayani, T., Harnoko, D., dan P. Yuliani (Eds). (2007). Toponim Kota
Yogyakarta. Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta.
Hamidah, Noor., Rijanta, R., Setiawan, B., Aris Marfai, M., (2016). Kampung Sebagai Model
Permukiman Berkelanjutan Di Indonesia. Jurnal INERSIA, Vol. XII No. 2, Desember 2016.
115.
Hisyam, F. dan Ichsan Sabila, W., 2020. Kajian Toponimi Kampung di Sepanjang Sungai
Brantas, Kota Malang: Suatu Upaya Mitigasi Bencana Hidrologi. Jurnal Dialog
Penanggulangan Bencana, VOL. 11, NO. 2, TAHUN 2020. Hal 155-166
Kartika Sari, H. dan Trisnu Brata, N. 2020. Fungsi dan Peran Abdi Dalem Di Keraton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Jurnal Solidarity Vol. 9 No 2.
Khudori, K., (2002). Menuju Kampung Pemerdekaan ; Membangun Masyarakat Sipil dari
akar-akarnya belajar dari Romo Mangun di pinggir kali Code. Yayasan Pondok Rakyat.
Yogyakarta.
Koentjaraningrat (1990), Pengantar Ilmu Antropologi. PT.Rineka Cipta, Jakarta
Lauder, A.F., and Lauder M., R.M.T. 2015. Ubiquitos Place Names Standardization and Study
in Indonesia. Jurnal Wacana Vol. 16 No. 2 ; 383-410.
Lawrence D. Berg and Jani Vuolteenaho.(2009). Critical toponymies: the contested politics of
place naming. British Library Cataloguing in Publication Data. Ashgate publishing limited.
England
Mursidi, A dan Soetopo, D. 2018. Toponimi Kecamatan Kabupaten Banyuwangi Pendekatan
historis. Banyuwangi.
Rajiman, Pratiwi N., Sulistiani L. 2012. Toponimi Kutha Solo. Pemerintah Kota Surakarta
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Surakarta
Segara, N.B. 2017. Kajian Nilai Pada Toponimi di Wilayah Kota Cirebon Sebagai Potensi
Sumber Belajar Geografi. JURNAL GEOGRAFI VOLUME 14 NO. 1 Januari 2017.
Sudaryat,Y., Gunardi G., Hadiansah D. (2009). Toponimi Jawa Barat (Berdasarkan Cerita
Rakyat). Bandung : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
Sudaryanto (2018). Kajian Toponimi Kampung-kampung Prajurit Keraton Yogyakarta :
Kaitannya Dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA). Tuah
Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018. Balai Bahasa Kalimantan Barat.
Sumintarsih dan Adrianto, Ambar. 2014. Dinamika Kampung Kota Prawirotaman Dalam
Perspektif Sejarah dan Budaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian
Nilai Budaya. Yogyakarta
United Nations Group of Experts on Geographical Names. (2001). Consistent use of place-
names. United Nations Group of Experts on Geographical names.
United Nations Group of Experts on Geographical Names. (2006). Manual for the national
standardization of geographical names. United Nations Group of Experts on Geographical
Names. United Nations Publication.
Willems, K.,2000, Form, Meaning and Refereence in Natural Language. Journal of the
International Council of Onomastic Science, Vol. 35, 86.
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/traditional Diakses pada 14 September
2022
https://www.britannica.com/science/toponymy Diakses pada 14 September 2022
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl.

Anda mungkin juga menyukai