Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH KARTOGRAFI

SURVEI TOPONIMI

Disusun oleh:

Nevi Tri Lestiyo Asih 21110118120009

DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI


FAKULTAS TEKNIK – UNIVERSITAS DIPONEGORO
Jl. Prof. Sudarto SH, Tembalang Semarang Telp. (024) 76480785, 76480788
email: geodesi@ft.undip.ac.id
2020
A. Pengertian Toponimi
Toponim atau dalam bahasa Inggris disebut toponym, menurut Rais
dkk. (2008) dalam (Mashadi, Ilham; Zulharnen, 2014) toponimi diartikan
secara harfiah sebagai nama tempat di muka bumi (“topos” adalah “tempat”
atau “permukaan” seperti “topografi” adalah gambaran tentang permukaan
atau tempat-tempat di bumi, dan “nym” dari “onyma” adalah “nama”).
Raper (1996) mengemukakan bahwa toponimi mempunyai dua
pengertian, yaitu ilmu yang mempunyai objek studi tentang toponim pada
umumnya dan tentang nama geografis khususnya; dan totalitas dari toponim
dalam suatu wilayah.
Bishop dkk. (2011) yang mendefinisikan toponimi sebagai suatu studi
tentang tempat berdasarkan pada informasi historis dan geografis,
menggunakan kata atau kumpulan kata untuk menunjukkan, menjabarkan,
atau mengidentifikasi sebuah wilayah geografis, seperti: gunung, sungai,
hutan, dan kota.
Secara teknis, Kamonkarn dkk. (2008) membagi toponimi menjadi
dua kategori besar, yaitu nama huni dan nama fitur. Nama huni merupakan
nama yang menunjukkan suatu wilayah yang ditempati atau dihuni. Nama
fitur merupakan nama yang mengacu pada alam atau karakteristik fisik
suatu bentanglahan. Nama fitur diklasifikasikan menjadi hidronim (fitur
air), oronim (fitur relief), dan tempattempat pertumbuhan vegetasi alami.
Tak jauh berbeda dengan pembagian toponimi yang telah
disampaikan sebelumnya, Rais dkk. (2008) menyatakan bahwa dalam
toponimi terdapat elemen generik dan elemen spesifik, atau disebut juga
nama generik dan nama spesifik. Elemen generik dari suatu toponim
merepresentasikan migrasi manusia di masa lalu yang umumnya dinamakan
menurut bahasa pemukim pertama di wilayah itu. Elemen spesifik dari
toponim merupakan nama diri dari elemen generik yang telah disebutkan
sebelumnya.
Kamonkarn dkk. (2008) dalam (Mashadi, Ilham; Zulharnen, 2014)
mengungkapkan bahwa toponimi merupakan fenomena bahasa pada suatu
bentanglahan yang terjadi dari budaya lokal, bahasa, sejarah, dan
lingkungan masing-masing daerah. Oleh karena itu, pola bahasa dari
toponimi tergantung pada wilayah masing-masing.
Nama unsur geografi muncul ketika manusia untuk pertama kalinya
mendiami suatu wilayah dan perlu memberi nama pada unsur-unsur
geografi yang ada di sekitarnya (Mashadi, Ilham; Zulharnen, 2014).
1. Deskripsi Keterkaitan Toponim terhadap Fenomena Geografis
Deskripsi dilakukan secara kualitatif mengacu pada hasil yang
diperoleh dari tahap analisis keterkaitan/asosiasi keruangan antara
toponim desa dengan fenomena geografis yang melatar belakangi
masing–masing toponim desa. Hasil dari tahap analisis
keterkaitan/asosiasi adalah klasifikasi keterkaitan toponim dengan
fenomena geografis yang meliputi toponim terkait fenomena geografi
fisikal dan fenomena geografi non fisikal. Masing-masing dari macam
fenomena geografis tersebut memiliki aspek keterkaitan. Fenomena
geografi fisikal memiliki aspek topologi, aspek non biotik, dan aspek
biotik. Ketiga aspek tersebut kemudian dijabarkan kembali menjadi
beberapa sub aspek. Aspek topologi memiliki sub aspek letak, luas,
bentuk, dan batas. Aspek non biotik memiliki sub aspek tanah, air, dan
iklim. Aspek biotik memiliki sub aspek manusia, hewan, dan
tumbuhan. Fenomena geografi non fisikal memiliki sosial, aspek
ekonomi, aspek budaya, dan aspek politik. Keempat aspek tersebut
kemudian dijabarkan kembali menjadi beberapa sub aspek. Aspek
sosial meliputi, tradisi, kelompok, masyarakat, dan lembaga sosial.
Aspek ekonomi meliputi, industri, perdagangan, perkebunan,
transpor, pasar, dan kegiatan ekonomi lainnya. Aspek budaya
meliputi, pendidikan, agama, bahasa, kesenian, dan sebagainya.
Aspek politik meliputi, pemerintahan dan kepartaian.
2. Pemetaan Keterkaitan Toponim terhadap Fenomena Geografis Peta
Keterkaitan Toponim terhadap Fenomena Geografis ini merupakan
luaran yang digunakan untuk menjawab tujuan kedua, yaitu
memvisualisaikan keterkaitan antara toponim dengan fenomena
geografis secara spasial. Dalam pembuatan peta ini, terlebih dahulu
dilakukan klasifikasi keterkaitan antara data toponim desa dengan
aspek fenomena geografis pada tahap analisis keterkaitan/asosiasi
keruangan antara makna toponim desa dengan aspek fenomena
geografis yang melandasi makna toponim. Hasil klasifikasi
keterkaitan akan memunculkan macam keterkaitan toponim dengan
fenomena geografis yang meliputi toponim terkait fenomena geografi
fisikal dan fenomena geografi non fisikal. Kedua macam keterkaitan
tersebut memiliki aspek dan sub aspek masing-masing yang berbeda
dan dapat pula terjadi perpaduan. Macam dari keterkaitan toponim
itulah yang digunakan sebagai acuan dalam mendesain Peta
Keterkaitan Toponim terhadap Fenomena Geografis Sebagian
Kabupaten Batang. Peta dibuat dalam 3 macam, yaitu peta yang
memuat informasi mengenai klasifikasi keterkaitan toponim dengan
lingkungan fenomena geografis, peta yang memuat informasi
mengenai klasifikasi keterkaitan toponim dengan aspek-aspek
fenomena geografis, dan peta yang memuat informasi mengenai
klasifikasi keterkaitan toponim dengan sub aspek-sub aspek fenomena
geografis.
3. Deskripsi Pola Keruangan Keterkaitan Toponim terhadap Fenomena
Geografis Deskripsi dilakukan mengacu pada hasil yang diperoleh
dari tahap analisis keterkaitan/asosiasi keruangan antara toponim desa
dengan fenomena geografis yang melatar belakangi masing–masing
toponim desa dan tahap pembuatan peta keterkaitan toponim terhadap
fenomena geografis. Elemen keruangan dalam penelitian ini
diabstraksikan dalam bentuk titik. Kekhasan sebaran dari fenomena
geografi fisikal dan fenomena geografi non fisikal yang tergambar
dalam peta keterkaitan antara toponim terhadap fenomena geografis
selanjutnya diklasifikasikan dalam kategori pola persebaran titik
teratur, pola persebaran titik acak, atau pola persebaran titik
mengumpul sesuai dengan hasil yang diperoleh pada tahap analisis
autokorelasi spasial.
B. Sejarah
Sejarah Toponimi dimulai bersamaan dengan dikenalnya peta
(sehingga berkaitan dengan Kartografi) dalam peradaban manusia yang
dimulai pada zaman Mesir kuno. Untuk memberikan keterangan (nama)
pada unsur yang digambarkan pada peta diperlukan suatu usaha untuk
‘merekam’ dari bahasa verbal (lisan) ke dalam bentuk tulisan atau simbol.
Sejarah mencatat nama-nama Comtey de Volney (1820), Alexander John
Ellis (1848), Sir John Herschel (1849) dan Theodore W. Erersky (1913)
yang terus berusaha untuk membakukan proses penamaan unsur geografis
pada lembar peta melalui berbagai metode. Pada akhirnya Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk United Nations Group of Experts on
Geographical Names (UNGEGN) di bawah struktur Dewan Ekonomi dan
Sosial PBB (UN ECOSOC).
C. Pentingnya Penamaan Unsur Rupabumi
Permukaan bumi yang didiami oleh manusia terdiri dari bermacam-
macam unsur, sebut saja unsurunsur alami seperti pulau, sungai, gunung,
bukit, lembah dan lain-lain. Manusia juga membuat sarana dan prasarana
untuk mendukung kehidupannya, sebut saja unsur buatan, seperti waduk,
jalan raya, bandar udara, pelabuhan laut. Kemudian manusia juga
membentuk komunitas yang dibatasi dalam area wilayah kewenangan, sebut
saja wilayah desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi. Kesemua unsur-
unsur yang disebutkan tentulah sangat perlu diberi nama. Pemberian nama
unsur rupabumi tentu diatur dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan pada gilirannya akan dibakukan dan tersimpan dalam bentuk
Gasetir Nasional.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sangat peduli dalam pembakuan
nama rupabumi. Setidaknya ada dua organisasi di bawah naungan PBB6
yang menangani hal ihwal pembakuan nama rupabumi, yaitu (1) UN Group
of Experts on Geographical Names (UNGEGN), merupakan Kelompok
Pakar tentang nama geografis. Salah satu tujuan dasar dari Kelompok Pakar
ini adalah untuk memainkan peranan yang aktif melalui fasilitas pemasokan
bantuan ilmiah dan teknis, khususnya kepada negaranegara berkembang,
dalam menciptakan mekanisme untuk pembakuan nasional dan
internasional dari nama geografis. (2) UN Conference on Standardization of
Geographical Names, yaitu sebagai tindak lanjut kegiatan Kelompok Pakar
untuk mendukung upaya pembakuan secara internasional berdasarkan
pembakuan nasional dalam bentuk pertemuan internasional yang dihadiri
seluruh anggota PBB untuk pengambilan keputusan berupa resolusi PBB
(Asadi, 2015).

D. Prinsip Penamaan Unsur Rupabumi


Pengertian prisip dalam penamaan unsur rupabumi merupakan acuan
dasar berpikir dan bertindak. Setidaknya terdapat 8 prinsip yang menjadi
patokan dalam pemberian nama unsur rupabumi, yaitu (Asadi, 2015):
1. Penggunaan huruf Romawi. Setiap nama unsur rupabumi yang
dibakukan harus menggunakan huruf Romawi dan tidak boleh
menggunakan diakritik seperti á, è, ù dan tidak menggunakan tanda
penghubung. Sebagai contoh: Serang untuk kota Serang tidak ditulis
Sèrang. Parepare tidak ditulis Pare-pare;
2. Satu nama untuk satu unsur rupabumi. Ini berlaku untuk satu wilayah
administrasi terkecil, seperti wilayah desa. Dalam satu wilayah desa
tidak diperkenankan mempunyai nama unsur rupabumi yang sama.
Seandainya ternyata ada dua nama yang sama, maka jalan keluarnya
adalah dengan memberi nama tambahan berdasarkan letak, sifat atau
keadaannya. Contoh pulau Pinang Besar dan pulau Pinang Kecil,
Cimanggu Utara dan Cimanggu Selatan;
3. Penggunaan nama elemen generik lokal. Nama lokal tentu tetap perlu
dipelihara dan nantinya akan dibakukan. Contoh: Ci Liwung. Ci
dalam bahasa Sunda artinya sungai; Batang Antokan. Batang dalam
bahasa Minang artinya sungai. Lihat Lampiran-I Penggunaan nama
lokal;
4. Unsur rupabumi buatan manusia seperti bandar udara umumnya
menggunakan nama pahlawan nasional. Persyaratan yang harus
dipenuhi adalah pahlawan nasional tersebut sudah meninggal
sedikitnya 5 tahun;
5. Tidak bersifat SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).
Penggunaan nama unsur rupabumi yang mengandung unsur SARA
harus dihindari karena bisa menimbulkan permasalahan;
6. Tidak menggunakan nama yang menggunakan bahasa asing. Bahasa
asing yang dominan saat ini dalam penamaan unsur buatan adalah
bahasa Inggris. Nama perumahan misalnya, yang dilaksanakan oleh
pengembang perumahan, sangat banyak dijumpai menggunakan
bahasa Inggris. Sebutlah beberapa nama perumahan seperti Green
Garden, Cimanggu Residence, Depok Country;
7. Tidak menggunakan nama yang terlalu panjang. Sebuah nama
rupabumi dibatasi dengan nama maksimum tiga kata. Nama yang
terlalu panjang dijumpai di daerah Tapanuli Selatan Sumatera Utara
dan hal ini tentu akan menyulitkan. Ada sebuah nama wilayah desa di
Tapanuli yang terlalu panjang, yaitu: Purbasinombamandalasena;
8. Tidak menggunakan nama yang berisi rumus matematik. Nama
seperti ini kita jumpai di daerah Sumatera Barat, contohnya adalah:
IV x 11 6 Lingkung

E. Kaidah dan Tata Cara Penulisan Nama Unsur Rupabumi


Berikut adalah beberapa kaidah penulisan nama unsur rupabumi:
1. Nama generik dan nama spesifik ditulis secara terpisah. Contoh: Selat
Sunda, pulau Jawa, sungai Musi;
2. Jika nama spesifik memakai nama sifat dan atau arah di depan atau di
belakangnya, maka nama tersebut ditulis secara terpisah. Contoh:
Jawa Barat, Kebayoran Lama, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten
Rokan Hilir.
3. Jika nama spesifik memuat nama generik didalamnya dan berbeda
dari nama generik yang bersangkutan, maka nama spesifik yang
memuat nama generik harus ditulis dalam satu kata. Contoh:
Tanjungpandan, Kotamubago, Bukittinggi, Gunungsitoli;
4. Jika nama spesifik terdiri dari kata berulang, maka nama spesifiknya
ditulis dalam satu kata tanpa tanda penghubung. Contoh Kota
Parepare, Kota Baubau, Tanjung Apiapi;
5. Apabila nama spesifik terbentuk dari dua atau tiga kata benda, atau
nama spesifik terbentuk dari dua atau tiga kata keterangan, dan angka
yang bermakna penomoran, maka penulisan nama rupabuminya
ditulis secara terpisah dan angka yang bermakna penomoran ditulis
dengan huruf bilangan. Contoh: Kecamatan Tigokoto Aua Malintang
di Kabupaten Agam Sumatera Barat, Kecamatan Madang Suku Satu,
Kecamatan Madang Suku Dua di Kabupaten Ogan Komering Ulu
(OKU) Provinsi Sumatera Selatan;
6. Apabila nama spesifik diikuti dengan angka yang bermakna
penomoran, maka angka penomoran tersebut ditulis dengan huruf.
Contoh: Depok Satu, Depok Dua, Depok Tiga di provinsi Jawa Barat;
7. Apabila nama spesifik yang diikuti dengan angka yang bukan
bermakna penomoran, maka penulisannya digabung. Contoh:
Jatitujuh (di Kabupaten Majalengka), Manggadua (kawasan
perdagangan di Jakarta), Muaradua (kecamatan di Kabupaten OKU);
8. Apabila nama spesifik terdiri dari dua kata sifat atau dua kata benda,
maka penulisan nama rupabuminya ditulis menjadi satu kata. Contoh:
Pagaralam, Sukamiskin, Banyuwangi, Jatinegara;
9. Apabila nama spesifik berasal dari nama seorang tokoh masyarakat,
maka nama spesifiknya ditulis sebagaimana nama tokoh tersebut.
Contoh: Jalan Jenderal Soedirman, Bandara Halim Perdana Kusuma
10) Apabila nama spesifik berasal dari nama dua orang tokoh, maka
nama spesifiknya ditulis dengan menggunakan tanda penghubung di
antara kedua nama tokoh tersebut. Contoh Bandara Soekarno-Hatta.
F. Metode Survei Toponimi
Metode dalam survey toponimi dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan peta RBI
untuk melihat daerah yang akan dilakukan survei toponimi.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai
nama tempat atau unsur geografis serta sejarah dari penamaan
tersebut.
3. Survei lapangan
Survei lapangan dilakukan untuk mendapatkan data koordinat
tempat yang dilakukan survei toponimi.

G. Gasetir
Gasetir (bahasa Inggris: gazetteer) adalah informasi nama-nama
rupabumi yang tersusun secara alfabetik. Setiap informasi nama rupabumi
memuat berbagai informasi tambahan yang terkait dengan nama rupabumi
tersebut. Informasi tambahan itu tentu sangat banyak, antara lain memuat
posisi geografis (koordinat), lokasi wilayah administrasi, arti nama, sejarah
nama, asal kata, penulisan, pengucapan. Informasi tambahan ini semakin
lengkap semakin baik. Ada kemungkinan bahwa gasetir selalu dinamis
dengan adanya tambahan informasi baru terhadap suatu nama rupabumi
(Asadi, 2015).

H. Manfaat
Nama-nama geografis yang standar merupakan sarana yang efektif
dan dibutuhkan dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat seperti transaksi
penanggulangan bencana, perdagangan, jasa pengiriman barang,
pendidikan, wisata, dan juga dalam upaya mempertahankan kedaulatan
negara. Toponim juga dapat digunakan untuk mempelajari aspek budaya
dan sejarah bangsa sehingga sangat diperlukan untuk melestarikan warisan
budaya yang tak ternilai (intangible cultural heritage). Nama rupabumi
harus dibakukan karena merupakan suatu titik akses langsung dan intuitif
terhadap sumber informasi lain, yang dapat membantu untuk pengambilan
keputusan bagi para pembuat kebijakan serta membantu kerjasama di antara
organisasi lokal, nasional dan internasional (Djaja, 2017).
Dengan perkembangan gasetir (basis data toponim) dijital dan
teknologi pencarian data, keberadaan toponim menjadi lebih dibutuhkan.
Sering terdapat nama-nama tempat dengan pengejaan yang sama, tempat
dengan nama lokal dan nama-nama tempat dalam bahasa asing yang
memerlukan otorisasi resmi untuk dapat dijadikan rujukan dalam
penggunaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Asadi. (2015). Nama Rupa Bumi, Toponimi, Aturan dan Kenyataan. Jurnal
Lingkungan Widyaiswara, 4, p.18-35.
http://juliwi.com/published/E0204/Juliwi0204_18-35.pdf diakses pada 31
Maret 2020 pukul 19.00 WIB
Djaja, B. M. (2017). Peran Informasi Geospasial dalam Inventarisasi Toponimi,
Perencanaan dan Pengelolaan Pembangunan. Prosiding Seminar Nasional
Toponimi “Toponimi Dalam Perspektif Ilmu Budaya,” 85–97. asedivision-
ungegn.org › ungegn_ase › data › _uploaded › Presentasi diakses pada 31 Maret
2020 pukul 18.57 WIB
Mashadi, Ilham; Zulharnen, Z. (2014). Kajian Keterkaitan Toponim terhadap
Fenomena Geografis Studi Kasus: Toponim Desa di Sebagian Kabupaten
Pemalang. Jurnal Bumi Indonesia, 3(4), 1–13.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 diakses pada 31 Maret 2020
pukul 19.45 WIB

Anda mungkin juga menyukai