Anda di halaman 1dari 5

Machine Translated by Google

E/CONF.105/111/CRP.111

23 Juni 2017

Asli: Bahasa Inggris

Konferensi PBB Kesebelas tentang


Standarisasi Nama Geografis
New York, 8-17 Agustus 2017
Mata Acara Sementara ke 10*
Nama geografis sebagai budaya, warisan dan identitas

Mengubah Nama Tempat untuk Mencerminkan Warisan:


Studi Kasus Filsafat Jawa di Yogyakarta

Dikirim oleh Indonesia**

*E/CONF.105/1
** Disiapkan oleh Allan F. Lauder, Multamia RMT Lauder, Fajar Erikha, Inayah Wardany, dan Ega Rezeki Barus dari Indonesia
Machine Translated by Google

Abstrak

Penggantian nama jalan dapat menimbulkan perdebatan, yang mengadu domba para pendukung dengan mereka yang mendukung status quo.
Namun, jika dilakukan dengan benar, hal ini dapat memberikan hasil positif dan menonjolkan warisan budaya. Laporan
kemajuan ini didasarkan pada penelitian yang sedang berlangsung oleh anggota Komunitas Toponimi Indonesia
(Komunitas Toponimi Indonesia - KOTISIA). Penelitian ini melihat niat pemerintah daerah untuk melakukan perubahan
terhadap sebanyak 600 nama jalan di kota Yogyakarta, sebuah kota bersejarah di pulau Jawa di Indonesia. Laporan
ini berfokus pada nama-nama jalan panjang yang membentang dari utara ke selatan dan memotong istana kerajaan
(keraton). Jalan-jalan di sana memiliki nama berbeda selama periode sejarah berbeda. Pemerintah termotivasi oleh
keinginan untuk lebih mencerminkan warisan lokal dalam nama jalan kota. Pembelajaran
sejauh ini menunjukkan makna leksikal dan historis yang melekat pada nama-nama baru yang diusulkan. Ia juga
memiliki dimensi filosofis. Reaksi publik terhadap perubahan nama tersebut beragam. Banyak orang menerima
keputusan tersebut karena dianggap berasal dari Sultan. Tidak semua orang bahagia. Namun, sebagian masyarakat
antusias karena menyambut baik perhatian yang diberikan terhadap tradisi dan warisan budaya.
Machine Translated by Google

Yogyakarta dan rencana penggantian nama beberapa jalan penting kota

Yogyakarta adalah kota bersejarah penting di Pulau Jawa di Indonesia. Ini adalah pusat sejarah keluarga kerajaan
Jawa yang berasal dari Dinasti Mataram (akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-18 ). Kota ini saat ini menjadi
kandidat sebagai kota filsafat UNESCO.

Status tersebut disebabkan adanya keterkaitan dalam filsafat Jawa antara tata kota dengan jalan takdir manusia.
Oleh karena itu, kehidupan manusia harus berpedoman pada tiga prinsip dasar. Pertama, seluruh umat manusia
hendaknya mengetahui asal usul dan tujuan akhir hidup manusia (sangkan paraning dumadi).
Kedua, selama hidupnya manusia harus menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, dengan manusia lain,
dan dengan alam (manunggaling kawula Gusti). Terakhir, tugas seluruh umat manusia adalah menjadikan dunia
ini tempat yang indah dan damai (hamemayu hayuning bawono).1

Oleh karena itu, menjadi penting ketika, pada tahun 2013, pemerintah daerah memutuskan untuk mengubah nama
tiga ruas jalan yang membentuk jalan utama yang mengarah ke selatan istana. Ketiga jalan tersebut adalah Jalan
Margo Utomo (sebelumnya Jalan Pangeran Mangkubumi), Jalan Margo Mulyo (sebelumnya Jalan Jenderal Ahmad
Yani), dan Jalan Pangurakan (sebelumnya Jalan Trikora).

Penelitian dilakukan untuk menyelidiki semua dimensi yang terkait dengan perubahan nama tersebut, makna
nama, sejarah, budaya dan filosofi di balik nama tersebut. Yang penting, pihaknya juga berkonsultasi dengan
sejumlah pejabat penting setempat termasuk anggota keluarga kerajaan, mengenai persepsi dan sikap mereka
terhadap perubahan nama. Reaksi masyarakat diperoleh melalui penelusuran di media sosial Indonesia dan
wawancara pribadi. Penelitian ini menyoroti situasi kompleks di mana perubahan nama jalan mempunyai dimensi
sejarah, budaya, dan filosofis.

Gambar 1: Tata letak jalan dan keraton (Keraton) serta dua alun-alun kota (Alun-alun). Yang diganti namanya
dilingkari. Sumber : Buku Profil Filsafat Kota Yogyakarta.

1
http://whc.unesco.org/en/tentativelists/6206/
Machine Translated by Google

Jalan Pangurakan / Jalan Trikora

Gambar 2: Tanda jalan untuk salah satu jalan di peta. Di situ tertera nama lama Jalan Trikora dan nama baru Jalan Pangurakan.
Tandanya ditulis dalam aksara Latin dan aksara hanacaraka lokal. Sumber: Koleksi pribadi.

Jalan Pangurakan (dahulu Jalan Trikora ) merupakan jalan pendek yang membentang dari pintu gerbang utama Alun-Alun
Utara Keraton Yogyakarta hingga pertigaan lampu lalu lintas Jalan Margo Mulyo . Pada masa penjajahan Belanda, jalan ini
diberi nama Kadasterstraat. Di sepanjang ruas jalan ini terdapat sejumlah bangunan, antara lain kantor Bank Negara Indonesia
(BNI), Kantor Pos, dan Sono Budoyo ini.
Museum. Di sepanjang jalan juga terdapat tiga pintu gerbang: Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan Jawi, dan Gapura
Pangurakan Nglÿbÿt. Setelah kemerdekaan, Kadasterstraat berganti nama menjadi Jalan Trikora untuk memperingati operasi
militer pada masa perang kemerdekaan yang dikenal dengan nama Tri Komando Rakyat.
(disingkat Trikora) atau Komando Tiga Rakyat, pada tanggal 19 Desember 1961. Presiden Soekarno mendeklarasikan Trikora
di Alun-Alun Utara Istana.

Nama baru Jalan Pangurakan diberikan pada tahun 2013 oleh Pemerintah Daerah Yogyakarta. Kajian toponimik nama
Pangurakan mengungkap maknanya. Literatur mengungkapkan bahwa nama tersebut muncul juga di keraton Solo. Sarjana
Belanda Rouffaer dan Winter (1902) menyebut Keraton Solo mempunyai lima pintu gerbang, mengarah utara ke selatan: 1)
Pangurakan; 2) Senang; 3) Brajanala; 4) Kemandungan 5)
Srimenganti. Pangurakan dikonsepsikan sebagai gerbang awal. Berasal dari kata urak yang berarti amanat, perintah. Kelima
nama ini juga terdapat di Keraton Yogyakarta. Pangurakan
telah dijelaskan sebagai berikut:
Machine Translated by Google

Pangurakan atau Pamurakan yang semula memanjang hingga perempatan jalan dekat klub itu, menurut PA
Soerjadiningrat, adalah tempat para punggawa Sultan yang diasingkan dikawal oleh para pengawalnya .
Dwijasaraya menghubungkan adat tersebut dengan kata ngurak-urak yang artinya mengusir dengan kata-
kata marah. Gericky dan Roorda memberikan arti berbeda dalam kamusnya, yaitu 'tempat dikeluarkannya
daftar tugas'.

Nama Pangurakan mengandung arti menolak, membuang, atau mengusir. Konsep tersebut dikenal oleh orang Jawa
sebagai bagian dari kosmologi yang berdasarkan tahapan kehidupan manusia. Filosofi ini dimaksudkan untuk
menyucikan dan melepaskan manusia dari keburukan dan hawa nafsu. Pangurakan juga dikenal sebagai tempat
dibawanya kereta Sultan yang siap digunakan.

Bahasa Jawa Kuno Arti


Urak desakan, dorongan
Aÿurak, inurak mendorong, mendesak, mengejar
Inurak-arik (bp) mendesak, merangsang, merujuk
Paÿurakan Alun-alun Paÿurakan di sebelah utara keraton (pintu gerbang menuju Sultan)
Tabel 1: Deskripsi Leksikal Pangurakan.

Kesimpulan

Studi ini menunjukkan bagaimana perspektif sejarah terhadap nama jalan mengungkap cerita yang berbeda dan
berpotensi bersaing. Usulan perubahan nama yang mencerminkan warisan, nilai-nilai lokal, sejarah, budaya dan
filosofi layak untuk dilestarikan dan dipulihkan. Dengan menggunakan pendekatan konsultatif, dan dengan
menghormati nilai-nilai yang saling bersaing, ditemukan solusi dengan menggunakan nama lama (masa pasca
kemerdekaan) dan nama baru (masa Majapahit ) pada rambu-rambu jalan.

Hal ini merupakan bagian dari kesadaran akan sejarah dan warisan ruang fisik kota serta statusnya sebagai kota
filsafat warisan UNESCO.

Anda mungkin juga menyukai